Anda di halaman 1dari 14

KEWAJIBAN PEMBUKUAN

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pembukuan / pencatatan pajak dipergunakan sebagai dasar penghitungan pajak terutang pada
suatu tahun pajak, selain itu, informasi yang benar dan lengkap penghasilan wajib pajak sangat
penting untuk dapat mengenakan pajak yang adil dan wajar senilai dengan kemampuan
ekonomis wajib pajak. Untuk dapat menyajikan informasi yang dimaksud. Wajib pajak harus
menyelengarakan pembukuan. Dimana dengan pembukuan tersebut wajib pajak dapat
mengetahui sendiri berapa besanya pajak terutang, menyetor dan melapor pajak.
Aktivitas pembukuan oleh Wajib Pajak memegang peranan penting dalam praktek
perpajakan. Dari pembukuanlah data dan informasi terutama digunakan dalam melaksanakan
kewajiban perpajakan. Terlebih lagi dalam sistem Self Assesment, dimana Wajib Pajak harus
menghitung sendiri besarnya pajak yang terutang, peranan pembukuan rasanya sangat penting.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan kewajiban pembukuan?
2. Apa tujuan penyelenggaraan pembukuan dan pencatatan pajak?
3. Bagaimana tempat penyimpanan buku/ catatan/ dokumen?
4. Apa yang dimaksud koreksi fiskal positif dan koreksi fiskal negatif?
1.3 BATASAN MASALAH
1. Pengertian Pembukuan & Pencatatan
2. Yang Wajib Menyelenggarakan Pembukuan & Pencatatan
3. Hal yang harus diperhatikan dalam melakukan Pembukuan / Pencatatan
4. Tujuan Penyelenggaraan Pembukuan/Pencatatan
5. Tempat Penyimpanan Buku/Catatan/Dokumen
6. Koreksi Fiskal
1.4 TUJUAN
1. Menambah pengetahuan mengenai kewajiban pembukuan dan pencatatan pajak.
2. Mengetahui sanksi jika tidak menyelenggarakan pembukuan.
3. Menambah pengetahuan mengenai koreksi fiskal.

BAB II
PEMBAHASAN
Mengapa Perusahaan Diwajibkan Melakukan Pembukuan/Akuntansi?
Di Indonesia kewajiban melakukan pembukuan setiap perusahaan didasarkan pada Kitab
Undang Undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 6, yang berbunyi: Tiap-tiap orang yang
melakukan/menjalankan perusahaan menyelenggarakan pembukuan perusahaan, sehingga
diketahui segala hak dan kewajibannya.

Tujuan yang Akan Dicapai:


Untuk mendapatkan informasi-informasi tentang transaksi keuangan dan transaksi barang
agar dapat ditentukan dengan tepat kebijaksanaan selanjutnya. Selain KUHD Pasal 6, juga UU
Pajak tahun 2000 Pasal 28 ayat 1-12 yang mewajibkan perusahaan menyelenggarakan
pembukuan perusahaan, sehingga diketahui hak dan kewajibannya.
Pembukuan yang baik memudahkan pengusaha menghitung laba rugi dan menentukan
besarnya pajak yang harus dibayar. Begitu pula pembukuan yang diselenggarakan dengan baik
akan memungkinkan investor melakukan penilaian keadaan perusahaan apakah sehat atau tidak
Pembukuan
Pengertian
Untuk dapat menghitung dan memperhitungkan sendiri pajak terhutang diperlukan suatu
pembukuan dan pencatatan yang teratur terhadap segala kegiatan usaha Wajib Pajak.
Pembukuan menurut pajak berbeda dengan pengertian menurut akuntansi.
Menurut akuntansi, Pembukuan adalah kegiatan mengumpulkan, mencatat, meringkas data
transaksi keuangan ke dalam buku atau catatan yang telah disediakan serta pengendalian proses
akuntansi melalui prinsip pengendalian internal, pengukuran nilai transaksi ke dalam nilai
moneter berdasarkan standar akuntansi yang berlaku dan penyajian hasil transaksi keuangan
menjadi suatu informasi keuangan yang berguna bagi pengambil keputusan.
Menurut Pasal 1 angka 29 UU KUP (Menurut Perpajakan): "Pembukuan adalah suatu proses
pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan
yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta harga perolehan dan
penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca,
dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
Dari bunyi pasal tersebut ada hal-hal penting yang biasanya kurang diperhatikan oleh Wajib
Pajak sebagai berikut :
1. Pembukuan atau pencatatan tersebut harus dilakukan secara tertaur yang berarti harus
dikerjakan dari waktu ke waktu dan secara up to date atau dimutakhirkan terus-menerus
dan berkesinambungan. Hal ini bisa menjadi indikasi dari benar-tidaknya pembukuan
yang diselenggarakan oleh Wajib Pajak;
2. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan sedemikian rupa sehingga dapat
dengan mudah diketahui harga perolehan dan harga penyerahan barang atau jasa yang
terhutang PPN, tidak terhutang PPN, dikenakan PPN 0%, PPN-nya ditangguhkan, PPNnya ditanggung pemerintah dan dikenakan PPnBM.

Dengan demikian pengertian pembukuan dalan peraturan perpajakan lebih luas cakupannya,
karena di samping tujuannya untuk memperoleh angka Penghasilan Kena Pajak juga untuk
menghitung kewajiban pemungutan PPN dan PPnBM serta untuk menghitung kewajiban
pemotongan dan pemungutan pajak yang menjadi kewajiban Wajib Pajak.
Wajib Pajak Yang Menyelenggarakan Pembukuan
Pembukuan wajib diselenggarakan oleh:
a. Wajib Pajak (WP) Badan
b. WP Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
Kriteria kesiapan wajib pajak dalam melakukan pembukuan diukur dari jumlah peredaran
usahanya. Karena peredaran usaha ini menunjukkan skala aktivitas perusahaan yang dianggap
merupakan ukuran yang paling dapat diterima untuk menentukan kesiapan Wajib pajak tersebut
dalam melakukan pembukuan.
Khusus untuk Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha yang memenuhi
syarat tertentu dikecualikan dari kewajiban pembukuan. Wajib Pajak ini adalah Wajib Pajak
orang pribadi yang omsetnya dalam satu tahun kurang dari Rp 4,8 Milyar sesuai Pasal 14 ayat
(1) Undang-undang Pajak Penghasilan. Sedangkan Wajib Pajak badan tidak diberikan
pengecualian. Artinya seluruh Wajib Pajak badan (dalam negeri dan BUT) wajib untuk
menyelenggarakan pembukuan.

Persyaratan Pembukuan/ Prinsip-Prinsip Pembukuan Menurut Ketentuan Pajak


Berikut ini adalah syarat-syarat atau ketentuan tentang pembukuan yang harus dipenuhi oleh
Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan perpajakan:
1. Harus dilandasi itikad baik
Pembukuan harus diselenggarakan oleh Wajib Pajak dengan memperhatikan itikad baik
dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya. Perhatikan bahwa
pembukuan harus dibuat berdasarkan prinsip kejujuran dan tidak diniatkan untuk
memanipulasi data atau merekayasa pembukuan untuk menghindari pajak atau bahkan
untuk menggelapkan pajak. Tidak ada data yang disembunyikan dan juga tidak ada
pencatatan yang tanpa didukung fakta.

2. Konten Pembukuan
Isi atau kandungan dari pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai
harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga
dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. Pengaturan ini dimaksudkan agar
berdasarkan pembukuan tersebut dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
Selain untuk dapat menghitung besarnya PPh terutang, pajak lainnya juga harus dapat
dihitung dari pembukuan tersebut. Agar PPN dan PPnBM dapat dihitung dengan benar,
pembukuan harus mencatat juga jumlah harga perolehan atau nilai impor, jumlah harga
jual atau nilai ekspor, jumlah harga jual dari barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah, jumlah pembayaran atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud
dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak
dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, jumlah Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan.

Dengan demikian, pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim
dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali
peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain.

3. Tempat, Huruf, Angka, Mata Uang, Bahasa


Pembukuan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka
Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa
asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.
Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat
diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri Keuangan. Ketentuan
teknis tentang pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain
rupiah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.03/2007 tentang Tata
Cara Penyelenggaraan Pembukuan Dengan Menggunakan Bahasa Asing Dan Satuan
Mata Uang Selain Rupiah Serta Kewajiban Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan.

4. Waktu dan Tempat Penyimpanan Dokumen


Pembukuan harus diselenggarakan di Indonesia. Buku, catatan, dan dokumen yang
menjadi dasar pembukuan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari
pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line wajib
disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat
tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak badan.
Dalam hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan para pihak yang mempunyai
hubungan istimewa dengan Wajib Pajak, kewajiban menyimpan dokumen lain meliputi
dokumen dan/atau informasi tambahan untuk mendukung bahwa transaksi yang
dilakukan dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa telah sesuai dengan prinsip
kewajaran dan kelaziman usaha.
Ketentuan tersebut dimaksudkan agar apabila Direktur Jenderal Pajak akan mengeluarkan
surat ketetapan pajak, bahan pembukuan atau pencatatan yang diperlukan masih tetap ada
dan dapat segera disediakan. Kurun waktu 10 (sepuluh) tahun penyimpanan buku,
catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan adalah sesuai
dengan ketentuan yang mengatur mengenai batas daluwarsa penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan.
Penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau
pencatatan dan dokumen lain termasuk yang diselenggarakan secara program aplikasi online harus dilakukan dengan memperhatikan faktor keamanan, kelayakan, dan kewajaran
penyimpanan.

5. Prinsip Taat Asas


Pembukuan harus diselenggarakan dengan prinsip taat asas. Prinsip taat asas adalah
prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya

untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Prinsip taat asas dalam metode pembukuan
misalnya dalam penerapan stelsel pengakuan penghasilan, tahun buku, metode penilaian
persediaan, atau metode penyusutan dan amortisasi.
Wajib Pajak juga harus taat asas dalam menerapkan stelsel akrual atau stelsel kas. Stelsel
akrual adalah suatu metode penghitungan penghasilan dan biaya dalam arti penghasilan
diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada waktu terutang. Jadi, tidak tergantung
kapan penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu dibayar secara tunai.
Termasuk dalam pengertian stelsel akrual adalah pengakuan penghasilan berdasarkan
metode persentase tingkat penyelesaian pekerjaan yang umumnya dipakai dalam bidang
konstruksi dan metode lain yang dipakai dalam bidang usaha tertentu seperti build
operate and transfer (BOT) dan real estat.
Sebaliknya, Stelsel kas adalah suatu metode yang penghitungannya didasarkan atas
penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai. Menurut stelsel ini,
penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan apabila benar-benar telah diterima secara
tunai dalam suatu periode tertentu serta biaya baru dianggap sebagai biaya apabila benarbenar telah dibayar secara tunai dalam suatu periode tertentu.
Stelsel kas biasanya digunakan oleh perusahaan kecil orang pribadi atau perusahaan jasa,
misalnya transportasi, hiburan, dan restoran yang tenggang waktu antara penyerahan jasa
dan penerimaan pembayarannya tidak berlangsung lama. Dalam stelsel kas murni,
penghasilan dari penyerahan barang atau jasa ditetapkan pada saat pembayaran dari
pelanggan diterima dan biaya-biaya ditetapkan pada saat barang, jasa, dan biaya operasi
lain dibayar.
Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku masih dimungkinkan tetapi
harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. Ya, Pada dasarnya metode
pembukuan yang dianut harus taat asas, yaitu harus sama dengan tahun-tahun
sebelumnya, misalnya dalam hal penggunaan metode pengakuan penghasilan dan biaya
(metode kas atau akrual), metode penyusutan aktiva tetap, dan metode penilaian
persediaan.
Namun demikian, perubahan metode pembukuan masih dimungkinkan dengan syarat
telah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. Perubahan metode pembukuan
harus diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum dimulainya tahun buku yang
bersangkutan dengan menyampaikan alasan yang logis dan dapat diterima serta akibat
yang mungkin timbul dari perubahan tersebut.
Perubahan metode pembukuan akan mengakibatkan perubahan dalam prinsip taat asas
yang dapat meliputi perubahan metode dari kas ke akrual atau sebaliknya atau perubahan
penggunaan metode pengakuan penghasilan atau pengakuan biaya itu sendiri, misalnya
dalam metode pengakuan biaya yang berkenaan dengan penyusutan aktiva tetap dengan
menggunakan metode penyusutan tertentu
Selain itu, perubahan periode tahun buku juga berakibat berubahnya jumlah penghasilan
atau kerugian Wajib Pajak. Oleh karena itu, perubahan tersebut juga harus mendapat
persetujuan Direktur Jenderal Pajak.
Sebagaimana kita ketahui, Tahun Pajak adalah sama dengan tahun kalender kecuali
Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. Apabila
Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender,
penyebutan Tahun Pajak yang bersangkutan menggunakan tahun yang di dalamnya
termasuk 6 (enam) bulan pertama atau lebih.

Contoh: Misalnya tahun buku 1 Juli 2008 sampai dengan 30 Juni 2009 adalah Tahun
Pajak 2008. Sementara itu tahun buku 1 Oktober 2008 sampai dengan 30 September 2009
adalah Tahun Pajak 2009.

Pembukuan Terpisah Untuk Penghasilan Yang Dikenakan PPh Final dan Yang Bukan Objek
Pajak
Dalam Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010, Wajib Pajak juga harus
menyelenggarakan pembukuan secara terpisah dalam hal:
1. Memiliki usaha yang penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan
tidak final;
2. Menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek pajak dan bukan objek
pajak; atau
3. Mendapatkan dan tidak mendapatkan fasilitas perpajakan sebagaimana diatur dalam
Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan
Pembukuan secara terpisah merupakan proses pencatatan yang dilakukan secara teratur
dengan melakukan pemisahan pencatatan untuk setiap transaksi, penghasilan dan biayabiaya antara kegiatan usaha yang dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif umum Pasal 17
UU PPh dengan kegiatan usaha yang dikenai PPh yang bersifat final maupun atas
penerimaan penghasilan bruto yang merupakan objek pajak dan yang bukan merupakan
objek pajak, serta penghasilan dan biaya-biaya dari usaha yang tidak mendapatkan
fasilitas perpajakan dan yang mendapatkan fasilitas perpajakan sebagaimana diatur dalam
Pasal 31A UU PPh.
Misalkan: PT A bergerak di bidang industri pengalengan ikan yang berkedudukan di
Jakarta mempunyai aset berupa gudang dan mesin pengolahan di Papua dalam rangka
pengembangan kegiatan dan produksi perusahaan.
Sesuai dengan PP Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk
Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu
sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 62 Tahun 2008, atas industri pengalengan
ikan dan biota perairan lainnya di daerah Papua dapat diberikan fasilitas Pajak
Penghasilan.
Salah satu bentuk fasilitas Pajak Penghasilan yang dimaksud adalah penyusutan dan
amortisasi yang dipercepat. Dalam hal ini, pencatatan secara terpisah harus dilakukan
untuk biaya penyusutan atas aset dalam rangka usaha yang mendapatkan fasilitas
perpajakan (di Papua) dan yang tidak mendapatkan fasilitas perpajakan (di Jakarta)

Pada prinsipnya pembukuan pajak mengikuti akuntansi yang lazim dan berlaku umum.
Akuntansi menganut stelsel kas dan akrual, sedangkan pajak membolehkan Wajib Pajak
melakukan pembukuan berdasarkan stelsel akrual atau stelsel kas yang telah
dimodifikasi (modified cash basis) yang dilakukan secara taat asas. Dalam rangka penghitungan
Penghasilan Kena Pajak, maka pembukuan harus dilaksanakan dengan modified cash basis yang
dapat diterangkan sebagai berikut:
1. Penghitungan jumlah penjualan dalam satu periode harus meliputi seluruh penjualan baik
tunai maupun kredit, konsekuensinya penghitungan harga pokok juga harus menyertakan
seluruh pembelian dan persediaan;
2. Dalam hal memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak yang dapat diamortisasi,
biaya-biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan hanya dapat dilakukan melalui
penyusutan dan amortisasi.

Seperti yang telah diuraikan di atas, orang atau badan hukum yang melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas di Indonesia yang menurut undang-undang perpajakan diwajibkan untuk
mengadakan pembukuan, harus menyelenggarakan pembukuan dengan memperhatikan
ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a. Pembukuan harus meliputi seluruh kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang
dilakukannya;
b. Pembukuan harus dilakukan secara teratur, tepat waktu, terinci dan taat azas;
c. Pembukuan harus didukung dengan bukti-bukti transaksi yang dapat dipertanggungjawabkan kebenaran dan keabsahannya;
d. Pembukuan harus ditutup dengan membuat laporan neraca dan perhitungan laba rugi
untuk periode tahun pajak tersebut.

Perubahan Tahun Buku dan Metode Pembukuan


Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel
kas. Perubahan tahun buku dan perubahan metode pembukuan harus mendapat persetujuan
Direktur Jenderal Pajak

Tujuan Pembukuan
Pembukuan dalam perpajakan dimaksudkan untuk mempermudah pengisian Surat
Pemberitahuan (SPT), penghitungan Pengusaha Kena Pajak (PKP), dan Penghitungan PPN dan
PPnBM, yang pada dasarnya untuk mengetahui posisi keuangan. SPT sendiri merupakan sarana
bagi Wajib Pajak (WP) untuk melaporkan semua kegiatan usahanya dalam periode tertentu. SPT
yang dihasilkan merupakan alat bantu komunikasi antara fiskus dan WP.
SPT juga merupakan obyek pemeriksan pajak sehingga sebaiknya tidak menyajikan
informasi-informasi yang salah, yang dapat merugikan baik dari pihak fiskus ataupun pihak
wajib pajak. Wajib Pajak yang melakukan pembukuan, diminta untuk melampirkan SPT tahunan
PPh WP Badan sedangkan bagi WP orang pribadi, hanya yang diwajibkan dalam UndangUndang saja yang wajib melakukan pembukuan. Bagi WP orang pribadi yang tidak melakukan
pembukuan, wajib melakukan pencatatan dengan melampirkan Daftar/Perhitungan Penghasilan
Bruto pada SPT tahunan PPh WP Orang Pribadi (WPOP).
Pembukuan dan pencatatan yang terorganisir dapat membantu Wajib Pajak dalam menyusun
laporan keuangan dan mengisi SPT serta dapat membantu pertanggungjawaban WP jika terjadi
pemeriksaan dan penyidikan pajak yang dilakukan oleh pihak fiskus.

Siapa Saja yang Diperkenankan Menyelenggarakan Pembukuan dalam Bahasa Asing dan
Mata Uang Selain Rupiah?
Yang dapat melakukan pembukuan dalam bahasa asing dan mata uang selain rupiah:
1.
2.
3.
4.
5.

Wajib Pajak Penanaman Modal Asing;


Wajib Pajak dalam rangka kontrak karya pertambangan;
Wajib Pajak dalam rangka kontrak bagi hasil;
Wajib Pajak yang berafiliasi dengan perusahaan induk di luar negeri;
Bentuk Usaha Tetap (BUT).

Apa Persyaratan bagi Wajib Pajak untuk Diperkenankan Menyelenggarakan Pembukuan


dalam Bahasa Asing dan Mata Uang Selain Rupiah ?
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa asing
dan mata uang selain rupiah:
1. Bahasa asing dan mata uang selain rupiah yang boleh dipergunakan adalah bahasa
Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat;
2. Mendapat izin Menteri Keuangan;
3. Permohonan izin kepada Menteri Keuangan harus dilampiri dengan:
a. Wajib Pajak yang telah berdiri lebih dari 1 tahun :
fotokopi SPT Tahunan PPh Badan tahun terakhir
b. Wajib Pajak yang baru berdiri dalam tahun berjalan:
foto kopi NPWP
foto kopi Akte Pendirian, atau dokumen lain yang serupa (bagi WP BUT)
Jika telah memenuhi syarat, Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan akan
menerbitkan Surat Keputusan Menteri Keuangan dalam jangka waktu 30 hari sejak permohonan
diterima

Pencatatan
Pengertian
Pencatatan adalah pengumpulan data secara teratur tentang peredaran bruto dan atau
penerimaan Penghasilan sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk
penghasilan yang bukan objek pajak dan atau yang dikenakan pajak yang bersifat final.
Wajib pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib
melakukan pencatatan, adalah wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang
diperbolehkan menghitung penghasilan neto dan wajib pajak orang pribadi yang tidak
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
Pencatatan wajib dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi yang diperkenankan norma
perhitungan penghasilan neto, yaitu WP Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas dengan peredaran usaha kurang dari Rp. 4.800.000.000 setahun diperbolehkan
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma dan Wajib pajak orang pribadi yang
tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. Pencatatan sebaiknya dilakukan dalam
satu tahun pajak yang meliputi 12 bulan. Keinginan wajib pajak dalam menyelenggarakan
pencatatan wajib dilaporkan ke Dirjen Pajak.
Apa Tujuan Pencatatan bagi Wajib Pajak ?
Tujuan pencatatan:
1. Mempermudah pengisian SPT
2. Mempermudah penghitungan Penghasilan Kena Pajak
3. Mempermudah penghitungan PPN dan PPn BM
Yang Boleh Menyelenggarakan Pencatatan
Pencatatan wajib dilakukan oleh:

1. Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang
diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan
penghasilan neto berdasarkan pasal 14 ayat (2) undang-undang pajak penghasilan
2. Wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
harus mencatat penghasilan bruto dan penghasilan yang bukan objek pajak dan/ atau
penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat final, dengan bentuk dan tata cara
sebagaimana yang ditetapkan dalam keputusan direktur jenderal pajak.
Syarat-Syarat Pencatatan
1. Pencatatan harus dibuat secara lengkap dan benar, serta didukung dengan dokumen yang
dijadikan dasar penghitungan peredaran atau penerimaan bruto dan/ penghasilan bruto,
serta penghasilan yang bukan objek pajak dan atau penghasilan yang dikenakan pajak
yang bersifat final.
2. Pencatatan dalam suatu tahun pajak meliputi jangka waktu 12 (dua belas) bulan, mulai
tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember.
3. Pencatatan dalam 1 tahun harus diselenggarakan secara kronologis
4. Pencatatan dan dokumen yang menjadi dasar pencatatan harus disimpan di tempat tinggal
wajib pajak atau tempat kegiatan usaha dilakukan selama 10 tahun terhitung sejak saat
terutangya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak
5. Pencatatan terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau
penerimaan bruto dan/ atau penghasilan buto sebagai dasar untuk menghitung pajak yang
terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/ atau yang dikenakan pajak
yang bersifat final
6. Bagi wajib pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha dan atau tempat usaha,
pencatatan harus dapat menggambarkan secara jelas jumlah peredaran atau penerimaan
bruto dari masing-masing jenis usaha dan atau tempat usaha yang bersangkutan.

Tata Cara Pencatatan

1. Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan harus mencatat
peredaran atau penerimaan bruto, dan penghasilan yang bukan objek pajak dan/ atau
penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat final, dengan bentuk dan tata cara
sebagaimana yang ditetapkan dalam keputusan direktur jenderal pajak.
2. Wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
harus mencatat penghasilan bruto dan penghasilan yang bukan objek pajak dan/ atau
penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat final, dengan bentuk dan tata cara
sebagaimana yang ditetapkan dalam keputusan direktur jenderal pajak.

Kerahasiaan Pembukuan
Pembukuan yang diselenggarakan oleh wajib pajak bersifat rahasia. Pada saat dilakukan
pemeriksaan oleh pihak pemeriksa pajak, maka kerahasiaan/kewajiban untuk merahasiakan
pembukuan itu ditiadakan/ gugur.

Norma Penghitungan Penghasilan Neto


Norma penghitungan adalah pedoman untuk menentukan penghasilan netto Wajib Pajak,
karena Wajib Pajak tersebut tidak wajib melakukan pembukuan.
Wajib pajak yang boleh menggunakan Norma Penghitungan adalah wajib pajak orang pribadi
yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.

WP Orang Pribadi yang peredaran brutonya di bawah Rp. 4.800.000.000,00

2. WP Orang Pribadi yang peredaran brutonya di atas Rp. 4.800.000.000,00 Wajib


Pembukuan
3. Memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama
dari tahun buku
4. Menyelenggarakan pencatatan.
Wajib Pajak yang tidak menyampaikan pemberitahuan akan menggunakan Norma
Penghitungan sebagai dasar penghitungan pajaknya kepada Direktur Jenderal Pajak
dianggap memilih untuk menggunakan pembukuan.
Wajib Pajak yang tidak sepenuhnya menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan atau
tidak memperlihatkan pencatatan atau pembukuan atau bukti-bukti pendukungnya, maka
Penghasilan nettonya dihitung berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Netto atau cara
lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak wajib
menyelenggarakan pembukuan dan pencatatan adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak
wajib menyampaikan SPT Tahunan PPh
Beberapa Wajib Pajak Badan sesuai dengan jenis usahanya akan menyajikan Norma Khusus
yaitu bagi Perusahaan seperti berikut ini:
1.
2.
3.
4.
5.

Perusahaan pelayaran dan penerbangan internasional.


Perusahaan asuransi luar negeri.
Perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi.
Perusahaan dagang asing.
Perusahaan yang melakukan investasi dengan pola bangun-guna-serah (build-operatetransfer).

Pemeriksaan Pajak
Menurut Pasal 1 angka 25 UU KUP, Pemeriksaan merupakan serangkaian kegiatan
menghimpun dan mengolah data, keterangan dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif
dan proporsional berdasarkan standar pemeriksaan.
Tujuan Pemeriksaan
Untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.

SANKSI
Dalam prakteknya, tidak semua wajib pajak melakukan pembukuan atau pencatatan sesuai
dengan yang diatur dalam Undang-Undang pajak Indonesia. Jika terjadi pemeriksaan atau
penyidikan dan wajib pajak tidak dapat menunjukkan pembukuan atau pencatatan yang
dilakukan maka akan diberikan sanksi.
Pasal 39 undang-undang KUP, yaitu barang siapa dengan sengaja:
1. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan
seolah-olah benar
2. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperhatikan atau tidak
meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya; atau
3. Tidak menyimpan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau
pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang
dikelola secara elektronik atau secara progam aplikasi online di indonesia.
Sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, akan dikenakan sanksi:
1.

Sanksi Administratif.

Mewajibkan sistem Norma Penghitungan dengan penerapan tarif tertentu tanpa


melihat kembali apakah wajib pajak tersebut rugi atau untung;
Memberikan sanksi bunga 2% per bulan kepada Wajib Pajak jika terdapat pajak yang
tidak atau kurang bayar.
Menyetor kembali PPN dan PPnBM terutang atau kurang bayar akibat kompensasi
yang seharusnya tidak mendapat kompensasi tarif 0% ditambah kenaikan 100% dari
jumlah yang kurang dibayar.
2.

Sanksi Pidana
Penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak 4 kali jumlah pajak terutang
yang tidak atau kurang bayar.

Koreksi Fiskal
Definisi Koreksi Fiskal
Koreksi fiskal yaitu Penyesuaian-penyesuaian yang harus dilakukan oleh Wajib Pajak yang
disebabkan adanya perbedaan pengakuan penghasilan dan atau biaya antara laporan keuangan
komersial dan laporan keuangan menurut pajak.

Macam-Macam Koreksi Fiskal


Ada 2(dua) macam koreksi fiskal yaitu:
1. Koreksi Fiskal Positip.
Koreksi fiskal positif terjadi jika ada penyesuaian pos-pos neraca/ rugi laba yang
menyebabkan jumlah laba bersih sebelum pajak pada laporan keuangan fiskal menjadi
lebih besar dibandingkan dengan laporan keuangan komersial.
Lihat ilustrasi contoh sederhana sebagai berikut :
POS

Lap Keu Komersial

Koreksi Fiskal

Lap Keu Fiskal

Pendapatan

1.000.00.000

1.000.00.000

HPP

800.000.000

800.000.000

Laba Bruto

200.000.000

200.000.000

Biaya-Biaya

100.000.000

50.000.000

50.000.000

Laba Bersih

100.000.000

50.000.000

150.000.000

Penjelasan : Terjadi koreksi fiskal positif pada pos biaya yang disebabkan oleh biayabiaya yang menurut laporan keuangan komersial boleh dibiayakan, tetapi menurut
ketentuan undang-undang tidak boleh dibiayakan. Dalam contoh diatas biaya perusahaan
sebesar Rp. 100.000.000,- ternyata sebesar Rp 50.000.000 nya tidak boleh sebagai
pengurang biaya karena merupakan biaya sumbangan dan entertainment, sehingga
menyebabkan laba bersih menurut pajak menjadi lebih besar.
Koreksi fiskal positif diantaranya:
Biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pemegang saham
Pembentukan atau pemupukan dana cadangan

Pengeluaran dalam bentuk natura


Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham
Sumbangan atau bantuan
Pajak Penghasilan
Sanksi administrasi (Pajak)
Penyusutan/amortisasi
Dll
2. Koreksi Fiskal Negatif
Tentu saja koreksi fiskal negatif berkebalikan dengan koreksi fiskal positif. Koreksi fiskal
negatif ini terjadi jika penyesuaian-penyesuaian tersebut menyebabkan laba menurut
pajak menjadi lebih kecil apabila dibandingkan dengan laba menurut laporan komersial.
Sebagai contoh: Penyusutan pada tahun ke-3 atas aktiva kelompok I (masa manfaat 4
tahun menurut ketentuan pajak) yang menurut laporan keuangan komersial hanya
mempunyai masa manfaat selama 2(dua) tahun, sehingga pada tahun ke-3 tidak ada biaya
penyusutan, tetapi masih ada biaya penyusutan menurut pajak. Dengan demikian maka
laba menurut pajak menjadi lebih kecil.
Koreksi fiskal negatif diantaranya:
Penyusutan/amortisasi
Penghasilan yang ditangguhkan pengakuannya
Dll
Penyusutan bisa menimbulkan koreksi negatif atau positif tergantung hasil perhitungan apa
lebih besar atau malah lebih kecil.
Laporan keuangan yang disusun perusahaan biasanya harus disesuaikan dengan peraturan
fiskal ketika laporan keuangan tersebut sebagai dasar pada SPT PPh yang disampaikan ke kantor
pajak. Hal ini disebabkan laporan keuangan perusahaan mengacu pada standar akuntansi
komersial. Untuk memenuhi kebutuhan pelaporan pajak maka perusahaan melakukan
penyesuaian fiskal (koreksi fiskal).
Perbedaan laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal berdasarkan
pembebanannya dapat dibedakan dua macam, yaitu:
1. Beda Tetap
Yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan yang tidak boleh dikurangkan pada
penghasilan kena pajak
Contohnya : Sumbangan, Entertain (tanpa daftar nominatif), Pengeluaran yang tidak ada
kaitannya dengan kegiatan perusahaan dan lain-lain.
2. Beda Waktu
Yaitu perbedaan pembebanan suatu biaya dimana jangka waktu pembebananya berbeda.
Misal: Biaya penyusutan, perusahaan menetapkan masa manfaat aktiva 10 tahun, tapi
berdasarkan fiskal Cuma 4 tahun, maka akan terjadi pembebanan yang berbeda.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Setiap akhir tahun, ada kegiatan yang menarik untuk diperhatikan pada perusahaanperusahaan khususnya perusahaan yang mempunyai kesadaran akan pentingnya pembukuan dan
pencatatan pajak.
Pembukuan yaitu proses pencatatan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi
tentang Keadaan harta, Kewajiban atau utang, Modal, Penghasilan dan biaya,dan Harga
perolehan dan penyerahan barang / jasa.
Pencatatan yaitu pengumpulan data secara teratur tentang peredaran bruto dan/ penerimaan
penghasilan sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang.
Untuk memenuhi kebutuhan pelaporan pajak maka perusahaan melakukan penyesuaian fiskal
(koreksi fiskal). Penyesuaian-penyesuaian yang harus dilakukan oleh Wajib Pajak yang
disebabkan adanya perbedaan pengakuan penghasilan dan atau biaya antara laporan keuangan
komersial dan laporan keuangan menurut pajak.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Mas. 4 April 2011. Definisi Koreksi Fiskal. (Online). (http://duniapajak.com/artikelpajak/2011/pengertian-koreksi-fiskal/ , diakses 29 September 2011)
Suandy, Erly. 2008. Hukum pajak. Jakarta: salemba empat.
Wijaya, Achmad. 9 Desember 2010. Pembukuan/Pencatatan Pajak. (Online).
(http://www.pajakpribadi.com/2010/12/9/pembukuan-pencatatan-pajak/ , diakses 29 September
2010).
Zaidanzidna.
28
Februari
2008.
Koreksi
Fiskal.
(Online).
(http://pajak
indonesia.wordpress.com/2008/02/28/koreksi-fiskal/ , diakses 29 September 2011).
Waluyo, (2007), Perpajakan Indonesia pembahasan sesuai dengan ketentuan perundangundangan perpajakan dan aturan pelaksanaan perpajakan terbaru, buku 1, edisi 6, Salemba
Empat, Jakarta.

Mansyur, Muhammad, BAP dan Hadi Wardoyo, Teguh, SE, AK, (2005), Pajak Terapan Brevet
A & B, pemahaman terapan dalam kerangka hokum pajak, Tax Spesialist, Jakarta.
Mardiasmo, Prof, Dr, MBA, Ak, (2006), Perpajakan edisi Revisi 2006, Penerbit Andy
Yogyakarta.
Bisnis Indonesia, Tanggal 06 Maret 2007

Anda mungkin juga menyukai