BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pembukuan / pencatatan pajak dipergunakan sebagai dasar penghitungan pajak terutang pada
suatu tahun pajak, selain itu, informasi yang benar dan lengkap penghasilan wajib pajak sangat
penting untuk dapat mengenakan pajak yang adil dan wajar senilai dengan kemampuan
ekonomis wajib pajak. Untuk dapat menyajikan informasi yang dimaksud. Wajib pajak harus
menyelengarakan pembukuan. Dimana dengan pembukuan tersebut wajib pajak dapat
mengetahui sendiri berapa besanya pajak terutang, menyetor dan melapor pajak.
Aktivitas pembukuan oleh Wajib Pajak memegang peranan penting dalam praktek
perpajakan. Dari pembukuanlah data dan informasi terutama digunakan dalam melaksanakan
kewajiban perpajakan. Terlebih lagi dalam sistem Self Assesment, dimana Wajib Pajak harus
menghitung sendiri besarnya pajak yang terutang, peranan pembukuan rasanya sangat penting.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan kewajiban pembukuan?
2. Apa tujuan penyelenggaraan pembukuan dan pencatatan pajak?
3. Bagaimana tempat penyimpanan buku/ catatan/ dokumen?
4. Apa yang dimaksud koreksi fiskal positif dan koreksi fiskal negatif?
1.3 BATASAN MASALAH
1. Pengertian Pembukuan & Pencatatan
2. Yang Wajib Menyelenggarakan Pembukuan & Pencatatan
3. Hal yang harus diperhatikan dalam melakukan Pembukuan / Pencatatan
4. Tujuan Penyelenggaraan Pembukuan/Pencatatan
5. Tempat Penyimpanan Buku/Catatan/Dokumen
6. Koreksi Fiskal
1.4 TUJUAN
1. Menambah pengetahuan mengenai kewajiban pembukuan dan pencatatan pajak.
2. Mengetahui sanksi jika tidak menyelenggarakan pembukuan.
3. Menambah pengetahuan mengenai koreksi fiskal.
BAB II
PEMBAHASAN
Mengapa Perusahaan Diwajibkan Melakukan Pembukuan/Akuntansi?
Di Indonesia kewajiban melakukan pembukuan setiap perusahaan didasarkan pada Kitab
Undang Undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 6, yang berbunyi: Tiap-tiap orang yang
melakukan/menjalankan perusahaan menyelenggarakan pembukuan perusahaan, sehingga
diketahui segala hak dan kewajibannya.
Dengan demikian pengertian pembukuan dalan peraturan perpajakan lebih luas cakupannya,
karena di samping tujuannya untuk memperoleh angka Penghasilan Kena Pajak juga untuk
menghitung kewajiban pemungutan PPN dan PPnBM serta untuk menghitung kewajiban
pemotongan dan pemungutan pajak yang menjadi kewajiban Wajib Pajak.
Wajib Pajak Yang Menyelenggarakan Pembukuan
Pembukuan wajib diselenggarakan oleh:
a. Wajib Pajak (WP) Badan
b. WP Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
Kriteria kesiapan wajib pajak dalam melakukan pembukuan diukur dari jumlah peredaran
usahanya. Karena peredaran usaha ini menunjukkan skala aktivitas perusahaan yang dianggap
merupakan ukuran yang paling dapat diterima untuk menentukan kesiapan Wajib pajak tersebut
dalam melakukan pembukuan.
Khusus untuk Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha yang memenuhi
syarat tertentu dikecualikan dari kewajiban pembukuan. Wajib Pajak ini adalah Wajib Pajak
orang pribadi yang omsetnya dalam satu tahun kurang dari Rp 4,8 Milyar sesuai Pasal 14 ayat
(1) Undang-undang Pajak Penghasilan. Sedangkan Wajib Pajak badan tidak diberikan
pengecualian. Artinya seluruh Wajib Pajak badan (dalam negeri dan BUT) wajib untuk
menyelenggarakan pembukuan.
2. Konten Pembukuan
Isi atau kandungan dari pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai
harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga
dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. Pengaturan ini dimaksudkan agar
berdasarkan pembukuan tersebut dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
Selain untuk dapat menghitung besarnya PPh terutang, pajak lainnya juga harus dapat
dihitung dari pembukuan tersebut. Agar PPN dan PPnBM dapat dihitung dengan benar,
pembukuan harus mencatat juga jumlah harga perolehan atau nilai impor, jumlah harga
jual atau nilai ekspor, jumlah harga jual dari barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah, jumlah pembayaran atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud
dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak
dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, jumlah Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan.
Dengan demikian, pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim
dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali
peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain.
untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Prinsip taat asas dalam metode pembukuan
misalnya dalam penerapan stelsel pengakuan penghasilan, tahun buku, metode penilaian
persediaan, atau metode penyusutan dan amortisasi.
Wajib Pajak juga harus taat asas dalam menerapkan stelsel akrual atau stelsel kas. Stelsel
akrual adalah suatu metode penghitungan penghasilan dan biaya dalam arti penghasilan
diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada waktu terutang. Jadi, tidak tergantung
kapan penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu dibayar secara tunai.
Termasuk dalam pengertian stelsel akrual adalah pengakuan penghasilan berdasarkan
metode persentase tingkat penyelesaian pekerjaan yang umumnya dipakai dalam bidang
konstruksi dan metode lain yang dipakai dalam bidang usaha tertentu seperti build
operate and transfer (BOT) dan real estat.
Sebaliknya, Stelsel kas adalah suatu metode yang penghitungannya didasarkan atas
penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai. Menurut stelsel ini,
penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan apabila benar-benar telah diterima secara
tunai dalam suatu periode tertentu serta biaya baru dianggap sebagai biaya apabila benarbenar telah dibayar secara tunai dalam suatu periode tertentu.
Stelsel kas biasanya digunakan oleh perusahaan kecil orang pribadi atau perusahaan jasa,
misalnya transportasi, hiburan, dan restoran yang tenggang waktu antara penyerahan jasa
dan penerimaan pembayarannya tidak berlangsung lama. Dalam stelsel kas murni,
penghasilan dari penyerahan barang atau jasa ditetapkan pada saat pembayaran dari
pelanggan diterima dan biaya-biaya ditetapkan pada saat barang, jasa, dan biaya operasi
lain dibayar.
Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku masih dimungkinkan tetapi
harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. Ya, Pada dasarnya metode
pembukuan yang dianut harus taat asas, yaitu harus sama dengan tahun-tahun
sebelumnya, misalnya dalam hal penggunaan metode pengakuan penghasilan dan biaya
(metode kas atau akrual), metode penyusutan aktiva tetap, dan metode penilaian
persediaan.
Namun demikian, perubahan metode pembukuan masih dimungkinkan dengan syarat
telah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. Perubahan metode pembukuan
harus diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum dimulainya tahun buku yang
bersangkutan dengan menyampaikan alasan yang logis dan dapat diterima serta akibat
yang mungkin timbul dari perubahan tersebut.
Perubahan metode pembukuan akan mengakibatkan perubahan dalam prinsip taat asas
yang dapat meliputi perubahan metode dari kas ke akrual atau sebaliknya atau perubahan
penggunaan metode pengakuan penghasilan atau pengakuan biaya itu sendiri, misalnya
dalam metode pengakuan biaya yang berkenaan dengan penyusutan aktiva tetap dengan
menggunakan metode penyusutan tertentu
Selain itu, perubahan periode tahun buku juga berakibat berubahnya jumlah penghasilan
atau kerugian Wajib Pajak. Oleh karena itu, perubahan tersebut juga harus mendapat
persetujuan Direktur Jenderal Pajak.
Sebagaimana kita ketahui, Tahun Pajak adalah sama dengan tahun kalender kecuali
Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. Apabila
Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender,
penyebutan Tahun Pajak yang bersangkutan menggunakan tahun yang di dalamnya
termasuk 6 (enam) bulan pertama atau lebih.
Contoh: Misalnya tahun buku 1 Juli 2008 sampai dengan 30 Juni 2009 adalah Tahun
Pajak 2008. Sementara itu tahun buku 1 Oktober 2008 sampai dengan 30 September 2009
adalah Tahun Pajak 2009.
Pembukuan Terpisah Untuk Penghasilan Yang Dikenakan PPh Final dan Yang Bukan Objek
Pajak
Dalam Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010, Wajib Pajak juga harus
menyelenggarakan pembukuan secara terpisah dalam hal:
1. Memiliki usaha yang penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan
tidak final;
2. Menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek pajak dan bukan objek
pajak; atau
3. Mendapatkan dan tidak mendapatkan fasilitas perpajakan sebagaimana diatur dalam
Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan
Pembukuan secara terpisah merupakan proses pencatatan yang dilakukan secara teratur
dengan melakukan pemisahan pencatatan untuk setiap transaksi, penghasilan dan biayabiaya antara kegiatan usaha yang dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif umum Pasal 17
UU PPh dengan kegiatan usaha yang dikenai PPh yang bersifat final maupun atas
penerimaan penghasilan bruto yang merupakan objek pajak dan yang bukan merupakan
objek pajak, serta penghasilan dan biaya-biaya dari usaha yang tidak mendapatkan
fasilitas perpajakan dan yang mendapatkan fasilitas perpajakan sebagaimana diatur dalam
Pasal 31A UU PPh.
Misalkan: PT A bergerak di bidang industri pengalengan ikan yang berkedudukan di
Jakarta mempunyai aset berupa gudang dan mesin pengolahan di Papua dalam rangka
pengembangan kegiatan dan produksi perusahaan.
Sesuai dengan PP Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk
Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu
sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 62 Tahun 2008, atas industri pengalengan
ikan dan biota perairan lainnya di daerah Papua dapat diberikan fasilitas Pajak
Penghasilan.
Salah satu bentuk fasilitas Pajak Penghasilan yang dimaksud adalah penyusutan dan
amortisasi yang dipercepat. Dalam hal ini, pencatatan secara terpisah harus dilakukan
untuk biaya penyusutan atas aset dalam rangka usaha yang mendapatkan fasilitas
perpajakan (di Papua) dan yang tidak mendapatkan fasilitas perpajakan (di Jakarta)
Pada prinsipnya pembukuan pajak mengikuti akuntansi yang lazim dan berlaku umum.
Akuntansi menganut stelsel kas dan akrual, sedangkan pajak membolehkan Wajib Pajak
melakukan pembukuan berdasarkan stelsel akrual atau stelsel kas yang telah
dimodifikasi (modified cash basis) yang dilakukan secara taat asas. Dalam rangka penghitungan
Penghasilan Kena Pajak, maka pembukuan harus dilaksanakan dengan modified cash basis yang
dapat diterangkan sebagai berikut:
1. Penghitungan jumlah penjualan dalam satu periode harus meliputi seluruh penjualan baik
tunai maupun kredit, konsekuensinya penghitungan harga pokok juga harus menyertakan
seluruh pembelian dan persediaan;
2. Dalam hal memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak yang dapat diamortisasi,
biaya-biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan hanya dapat dilakukan melalui
penyusutan dan amortisasi.
Seperti yang telah diuraikan di atas, orang atau badan hukum yang melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas di Indonesia yang menurut undang-undang perpajakan diwajibkan untuk
mengadakan pembukuan, harus menyelenggarakan pembukuan dengan memperhatikan
ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a. Pembukuan harus meliputi seluruh kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang
dilakukannya;
b. Pembukuan harus dilakukan secara teratur, tepat waktu, terinci dan taat azas;
c. Pembukuan harus didukung dengan bukti-bukti transaksi yang dapat dipertanggungjawabkan kebenaran dan keabsahannya;
d. Pembukuan harus ditutup dengan membuat laporan neraca dan perhitungan laba rugi
untuk periode tahun pajak tersebut.
Tujuan Pembukuan
Pembukuan dalam perpajakan dimaksudkan untuk mempermudah pengisian Surat
Pemberitahuan (SPT), penghitungan Pengusaha Kena Pajak (PKP), dan Penghitungan PPN dan
PPnBM, yang pada dasarnya untuk mengetahui posisi keuangan. SPT sendiri merupakan sarana
bagi Wajib Pajak (WP) untuk melaporkan semua kegiatan usahanya dalam periode tertentu. SPT
yang dihasilkan merupakan alat bantu komunikasi antara fiskus dan WP.
SPT juga merupakan obyek pemeriksan pajak sehingga sebaiknya tidak menyajikan
informasi-informasi yang salah, yang dapat merugikan baik dari pihak fiskus ataupun pihak
wajib pajak. Wajib Pajak yang melakukan pembukuan, diminta untuk melampirkan SPT tahunan
PPh WP Badan sedangkan bagi WP orang pribadi, hanya yang diwajibkan dalam UndangUndang saja yang wajib melakukan pembukuan. Bagi WP orang pribadi yang tidak melakukan
pembukuan, wajib melakukan pencatatan dengan melampirkan Daftar/Perhitungan Penghasilan
Bruto pada SPT tahunan PPh WP Orang Pribadi (WPOP).
Pembukuan dan pencatatan yang terorganisir dapat membantu Wajib Pajak dalam menyusun
laporan keuangan dan mengisi SPT serta dapat membantu pertanggungjawaban WP jika terjadi
pemeriksaan dan penyidikan pajak yang dilakukan oleh pihak fiskus.
Siapa Saja yang Diperkenankan Menyelenggarakan Pembukuan dalam Bahasa Asing dan
Mata Uang Selain Rupiah?
Yang dapat melakukan pembukuan dalam bahasa asing dan mata uang selain rupiah:
1.
2.
3.
4.
5.
Pencatatan
Pengertian
Pencatatan adalah pengumpulan data secara teratur tentang peredaran bruto dan atau
penerimaan Penghasilan sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk
penghasilan yang bukan objek pajak dan atau yang dikenakan pajak yang bersifat final.
Wajib pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib
melakukan pencatatan, adalah wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang
diperbolehkan menghitung penghasilan neto dan wajib pajak orang pribadi yang tidak
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
Pencatatan wajib dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi yang diperkenankan norma
perhitungan penghasilan neto, yaitu WP Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas dengan peredaran usaha kurang dari Rp. 4.800.000.000 setahun diperbolehkan
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma dan Wajib pajak orang pribadi yang
tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. Pencatatan sebaiknya dilakukan dalam
satu tahun pajak yang meliputi 12 bulan. Keinginan wajib pajak dalam menyelenggarakan
pencatatan wajib dilaporkan ke Dirjen Pajak.
Apa Tujuan Pencatatan bagi Wajib Pajak ?
Tujuan pencatatan:
1. Mempermudah pengisian SPT
2. Mempermudah penghitungan Penghasilan Kena Pajak
3. Mempermudah penghitungan PPN dan PPn BM
Yang Boleh Menyelenggarakan Pencatatan
Pencatatan wajib dilakukan oleh:
1. Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang
diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan
penghasilan neto berdasarkan pasal 14 ayat (2) undang-undang pajak penghasilan
2. Wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
harus mencatat penghasilan bruto dan penghasilan yang bukan objek pajak dan/ atau
penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat final, dengan bentuk dan tata cara
sebagaimana yang ditetapkan dalam keputusan direktur jenderal pajak.
Syarat-Syarat Pencatatan
1. Pencatatan harus dibuat secara lengkap dan benar, serta didukung dengan dokumen yang
dijadikan dasar penghitungan peredaran atau penerimaan bruto dan/ penghasilan bruto,
serta penghasilan yang bukan objek pajak dan atau penghasilan yang dikenakan pajak
yang bersifat final.
2. Pencatatan dalam suatu tahun pajak meliputi jangka waktu 12 (dua belas) bulan, mulai
tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember.
3. Pencatatan dalam 1 tahun harus diselenggarakan secara kronologis
4. Pencatatan dan dokumen yang menjadi dasar pencatatan harus disimpan di tempat tinggal
wajib pajak atau tempat kegiatan usaha dilakukan selama 10 tahun terhitung sejak saat
terutangya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak
5. Pencatatan terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau
penerimaan bruto dan/ atau penghasilan buto sebagai dasar untuk menghitung pajak yang
terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/ atau yang dikenakan pajak
yang bersifat final
6. Bagi wajib pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha dan atau tempat usaha,
pencatatan harus dapat menggambarkan secara jelas jumlah peredaran atau penerimaan
bruto dari masing-masing jenis usaha dan atau tempat usaha yang bersangkutan.
1. Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan harus mencatat
peredaran atau penerimaan bruto, dan penghasilan yang bukan objek pajak dan/ atau
penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat final, dengan bentuk dan tata cara
sebagaimana yang ditetapkan dalam keputusan direktur jenderal pajak.
2. Wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
harus mencatat penghasilan bruto dan penghasilan yang bukan objek pajak dan/ atau
penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat final, dengan bentuk dan tata cara
sebagaimana yang ditetapkan dalam keputusan direktur jenderal pajak.
Kerahasiaan Pembukuan
Pembukuan yang diselenggarakan oleh wajib pajak bersifat rahasia. Pada saat dilakukan
pemeriksaan oleh pihak pemeriksa pajak, maka kerahasiaan/kewajiban untuk merahasiakan
pembukuan itu ditiadakan/ gugur.
Pemeriksaan Pajak
Menurut Pasal 1 angka 25 UU KUP, Pemeriksaan merupakan serangkaian kegiatan
menghimpun dan mengolah data, keterangan dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif
dan proporsional berdasarkan standar pemeriksaan.
Tujuan Pemeriksaan
Untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
SANKSI
Dalam prakteknya, tidak semua wajib pajak melakukan pembukuan atau pencatatan sesuai
dengan yang diatur dalam Undang-Undang pajak Indonesia. Jika terjadi pemeriksaan atau
penyidikan dan wajib pajak tidak dapat menunjukkan pembukuan atau pencatatan yang
dilakukan maka akan diberikan sanksi.
Pasal 39 undang-undang KUP, yaitu barang siapa dengan sengaja:
1. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan
seolah-olah benar
2. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperhatikan atau tidak
meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya; atau
3. Tidak menyimpan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau
pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang
dikelola secara elektronik atau secara progam aplikasi online di indonesia.
Sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, akan dikenakan sanksi:
1.
Sanksi Administratif.
Sanksi Pidana
Penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak 4 kali jumlah pajak terutang
yang tidak atau kurang bayar.
Koreksi Fiskal
Definisi Koreksi Fiskal
Koreksi fiskal yaitu Penyesuaian-penyesuaian yang harus dilakukan oleh Wajib Pajak yang
disebabkan adanya perbedaan pengakuan penghasilan dan atau biaya antara laporan keuangan
komersial dan laporan keuangan menurut pajak.
Koreksi Fiskal
Pendapatan
1.000.00.000
1.000.00.000
HPP
800.000.000
800.000.000
Laba Bruto
200.000.000
200.000.000
Biaya-Biaya
100.000.000
50.000.000
50.000.000
Laba Bersih
100.000.000
50.000.000
150.000.000
Penjelasan : Terjadi koreksi fiskal positif pada pos biaya yang disebabkan oleh biayabiaya yang menurut laporan keuangan komersial boleh dibiayakan, tetapi menurut
ketentuan undang-undang tidak boleh dibiayakan. Dalam contoh diatas biaya perusahaan
sebesar Rp. 100.000.000,- ternyata sebesar Rp 50.000.000 nya tidak boleh sebagai
pengurang biaya karena merupakan biaya sumbangan dan entertainment, sehingga
menyebabkan laba bersih menurut pajak menjadi lebih besar.
Koreksi fiskal positif diantaranya:
Biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pemegang saham
Pembentukan atau pemupukan dana cadangan
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Setiap akhir tahun, ada kegiatan yang menarik untuk diperhatikan pada perusahaanperusahaan khususnya perusahaan yang mempunyai kesadaran akan pentingnya pembukuan dan
pencatatan pajak.
Pembukuan yaitu proses pencatatan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi
tentang Keadaan harta, Kewajiban atau utang, Modal, Penghasilan dan biaya,dan Harga
perolehan dan penyerahan barang / jasa.
Pencatatan yaitu pengumpulan data secara teratur tentang peredaran bruto dan/ penerimaan
penghasilan sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang.
Untuk memenuhi kebutuhan pelaporan pajak maka perusahaan melakukan penyesuaian fiskal
(koreksi fiskal). Penyesuaian-penyesuaian yang harus dilakukan oleh Wajib Pajak yang
disebabkan adanya perbedaan pengakuan penghasilan dan atau biaya antara laporan keuangan
komersial dan laporan keuangan menurut pajak.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Mas. 4 April 2011. Definisi Koreksi Fiskal. (Online). (http://duniapajak.com/artikelpajak/2011/pengertian-koreksi-fiskal/ , diakses 29 September 2011)
Suandy, Erly. 2008. Hukum pajak. Jakarta: salemba empat.
Wijaya, Achmad. 9 Desember 2010. Pembukuan/Pencatatan Pajak. (Online).
(http://www.pajakpribadi.com/2010/12/9/pembukuan-pencatatan-pajak/ , diakses 29 September
2010).
Zaidanzidna.
28
Februari
2008.
Koreksi
Fiskal.
(Online).
(http://pajak
indonesia.wordpress.com/2008/02/28/koreksi-fiskal/ , diakses 29 September 2011).
Waluyo, (2007), Perpajakan Indonesia pembahasan sesuai dengan ketentuan perundangundangan perpajakan dan aturan pelaksanaan perpajakan terbaru, buku 1, edisi 6, Salemba
Empat, Jakarta.
Mansyur, Muhammad, BAP dan Hadi Wardoyo, Teguh, SE, AK, (2005), Pajak Terapan Brevet
A & B, pemahaman terapan dalam kerangka hokum pajak, Tax Spesialist, Jakarta.
Mardiasmo, Prof, Dr, MBA, Ak, (2006), Perpajakan edisi Revisi 2006, Penerbit Andy
Yogyakarta.
Bisnis Indonesia, Tanggal 06 Maret 2007