Anda di halaman 1dari 34

PAJAK PENGHASILAN

(UMUM)
Maria Dewi. MM
Materi Pembahasan

1. Subjek Pajak
2. Objel Pajak Penghasilan
3. Objek Pajak Penghasilan Bentuk Usaha Tetap
4. Pengurangan Pennghasilan
5. Menghitung Pajak Penghasilan
6. Pelunasan Pajak Penghasilan
Pendahuluan

• Peraturan perundang – undangan perpajakan


yang mengatur tentang Pajak Penghasilan
yang berlaku sejak 1 Januari 1984 adalah
Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1983,
pengenaan pajak yang berhubungan dengan
penghasilan diistilahkan dengan nama Pajak
Perseroan (Ord. PPs 1925), Pajak Kekayaan
(Stb 1932), Pajak Pendapatan (Ord 1944) dan
Pajak Penjualan (UUNo. 19 Drt. Th. 1951).
Perbedaan antara Subjek Pajak dan Wajib
Pajak Penghasilan
• Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan
terhadap suatu Subjek Pajak atau penghasilan yang
diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun pajak.
– Dasar Hukum:
Peraturan yang mengatur Pajak Penghasilan di Indonesia
adalah UU Nomor 7 Tahun 1983 yang telah
disempurnakan dengan UU Nomor 7 tahun 1991, UU
Nomor 10 Tahun 1994, UU Nomor 36 Tahun 2008,
Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan
Mentri Keuangan, Keputusan Direktur Jenderal Pajak dan
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
Subjek Pajak

• Subjek Pajak Penghasilan adalah segala sesuatu yang


mempunyasi potensial untuk memperoleh
penghasilan dan menjadi sarana untuk dikenakan
Pajak Penghasilan.
• Pasal 1 UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang KUP
menyebutkan bahwa wajib Pajak adalah orang Pribadi
atau Badan yang menurut ketentuan peraturan
perundang – undangan perpajakan ditentukan untuk
melakukan kewajiban perpajakan temasuk pemungut
pajak dan pemotongan pajak tertentu
• Berdasarkan Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 36
tahun 2008 Subjek Pajak dikelompokan
menjadi:
– Subjek Pajak orang pribadi
– Subjek Pajak warisan yang belum terbagi sebagai
satu kesatuan, menggantikan yang berhak.
– Subjek Pajak Badan.
– Subjek Pajak Badan Usaha Tetap (BUT)
Penghasilan
Subjek Pajak Dalam Negeri Subjek Pajak Luar negeri
 Orang pribadi yang bertempat  Orang Pribadi yang tidak bertempat
tinggal diIndonesia /orang pribadi tinggal di Indionesia/berada di
yang berada di Indonesia lebih Indonesia tidak melebihi 183 hari
dari 183 hari dalam jangka waktu dalam jangka waktu 12 bulan dan
12 bulan/orang pribadi yang badan yang tidak bertempat
dalam suatu tahun pajakberada kedudukan di Indonesia.
di Indonesia dan mempunyai niat  Menjalankan usaha/melakukan
untuk bertempat tinggal di kegiatan melalui bentuk usaha
Indonesia. tetap di Indonesia.
 Badan yang didirikan / bertempat  Dapat menerima/ memperoleh
kedudukan di Indonesia. penghasilan dari Indonesia bukan
 Warisan yang belum terbagi dari menjalankan usaha/
sebagai kesatuan menggantikan melakukan kegiatan melalui bentuk
yang berhak. usaha tetap di Indonesia.
Kewajiban Pajak subjektif
Kewajiban Pajak yang melekat pada subjeknya dan tidak
dapat dilimpahkan pada orang lain atau pihak lain.

Saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif


Objek Pajak Penghasilan

• Objek Pajak penghasilan adalah penghasilan yaitu


setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak baik yang
berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,
yang dipakai untuk konsumsi atau menambah
kekayan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan
nama dan dalam bentuk apapun.
Cara Menghitung Pajak

• Cara menghitung pajak penghasilan adalah mengalikan tarif


pajak dengan penghasilan kena pajak.

• Dalam menghitung pajak penghassilan yang terutang,


dibedakan antara wajib pajak dalam negeri dan wajib pajak
luar negeri, untuk wajib pajak dalam negeri ada dua untuk
menentukan besarnya penghasilan kena pajak:
– Perhitungan PPh dengan dasar pembukuan
– Perhitungan PPh dengan dasar pencatatan.
Perhitungan PPh dengan Dasar Pembukuan

1. Wajib Pajak Badan

Contoh Perhitungan:
Peredaran bruto tahun 2016 (objek pajak WP Badan) Rp 100.000.000.000,-
Biaya untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan Rp 65.000.000.000,- (-)
Penghasilan kena pajak Rp 35.000.000.000,-

PPh Badan Terutang:


25% x Rp 35.000.000.000,- = Rp 8.750.000.000,-
Perhitungan PPh dengan Dasar Pembukuan

2. Wajib Pajak Orang Pribadi

Contoh Perhitungan
Peredaran bruto (objek pajak) Rp 300.000.000,-
Biaya untuk mendapatkan, menagih, Rp 65.000.000,- (-)
dan memelihara penghasilan
Penghasilan netto Rp235.000.000,-
Pengurangan PTKP (TK/0) Rp 54.000.000,- (-)
Peneghaislan Kena pjaka RP181.000.000,-
Lanjutan

PPH Terutang :
5% x Rp 50.000.000,- Rp 2.500.000,-
15% x Rp 131.000.000,- Rp19.650.000,-
Total PPh Terutang Rp22.150.000,-
Perhitungan PPh dengan Dasar Pencatatan

Semua wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha


tetap diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Wajib pajak
orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan
bebas dengan jumlah peredaran bruto tertentu, tidak diwajibkan
untuk menyelenggarakan pembukuan.
Norma perhitungan sebagai pedoman untuk menentukan
besarnya penghasilan neto yang diterbitkan oelh Direktur Jendral
Pajak dan disempurnakan terus menerus.
1. Tidak terdapat dasar perhitungan yang lebih baik, yaitu
pembukuan yang lengkap
2. Pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata
diselenggarakan secara tidak benar.
Perhitungan PPh dengan Dasar Pencatatan

• Norma Perhitungan terdiri atas dua, yaitu:


1. Norma perhitungan penghasilan netto
2. Norma perhitungan peredaran Bruto
Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, Wajib Pajak
Orang pribadi diperkenankan menghitung penghaislan netto
dengan menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto
sebagai diatur dalam Pasal 14 ayat 2 UU Pajak Penghasilan
Contoh Perhitungan
• Tuan Purnomo di Jakarta, status bujangan tanpa tanggungan,
bekerja sebagai seorang dokter dengan penghasilan bruto
setahun RP600.000.000,-. Sebagai contoh persentase norma
untuk dokter dijakarta sebesar 45%, maka Peneghasilan Kena
pjaknya dihitung sebagai berikut:
• Peredaran Bruto Rp600.000.000,-
• Penghasilan neto=45%xRp600.000.000, Rp270.000.000,-
• PTKP (TK/0) (Rp 54.000.000,-)
• Penghasilan kena pajak Rp216.000.000,-

• PPh terutang
• 5% x Rp 50.000.000,- Rp 2.500.000,-
• 15% x Rp166.000.000,- Rp24.900.000,-
• Total PPh terutang Rp27.400.000,-
Jenis-jenis Obyek Pajak (Pasal 4 ayat 1) UU Nomor
38 Tahun 2008
• Penggantian / imbalan berkenaan dengan pekerjaan /
jasa yg diterima / diperoleh termasuk ; gaji, upah,
tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya , kecuali
ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
• Hadiah dari undian /pekerjaan / kegiatan dan
penghargaan.
• Laba usaha.
• Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan
harta, termasuk : 1. keuntungan karena pengalihan harta
kepada perseroan, persekutuan dan badan lainnya
sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
1. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan dan
badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
2. Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu,
atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya
3. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, peme karan,
pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi - dengan nama dan
bentuk apa pun.
4. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau
sumbangan kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis
ketutunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan,
badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yg menjalankan
usaha mikro dan kecil, yg ketentuannya diatur lebih lanjut dgn Peraturan
MenKeu , sepanjang tdk ada hubungan dgn usaha, pekerjaan, kepemilikan
atau penguasaan diantara pihak-pihak yg bersangkutan.
5. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan
dalam perusahaan pertambangan
• Contoh:
– PT AB memiliki sebuah mobil yang digunakan dalam
kegiatan usahanya dengan nilai sisa buku sebesar Rp.
40.000.000 (emapt puluh juta rupiah). Mobil tersebut
dijual dengan harga Rp. 60.000.000 (enampuluh juta
rupiah). Oleh karena itu keuntungan PT AB yang diperoleh
karena keuntungan penjualan mobil tersebut adalah Rp.
20.000.000 (dua puluh juta rupiah). Apabila mobil tersebut
dijual kepada salah seorang pemegang sahamnya dengan
harga Rp. 55.000.000 , nilai jual mobil tersebut tetap
dihitung berdasarkan harga pasar sebesar Rp. 60.000.000 .
Selisih sebesar Rp 20.000.000 merupakan keuntungan bagi
PT AB. Sementara selisih Rp. 5.000.000 merupakan
keuntungan (penghasilan ) bagi pemegang saham.
TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK Pasal 4
ayat (3)
• Bantuan atau sumbangan termasuk zakat yang diterima
badan amil zakat/lembaga amil zakat dan penerima yang
berhak warisan harta termasuk setoran tunai yang
diterima oleh badan sebagai suatu pengganti saham atau
penyertaan modal.
• Pengganti/imbalan dalam bentuk natura dan
atau/kenikmatan dari wajib pajak atau pemerintah.
• Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang
pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan,
kecelakaan,, jiwa, dwiguna dan bea siswa harta hibahan
dengan syarat tertentu.
TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK Pasal 4
ayat (3)
• Warisan
• Iuran yang diterima atau diperoleh dana
pensiunan yang pendiriannya telah disahkan
menteri keuangan, baik yang dibayar oleh
pemberi kerja maupun pegawai.
• Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu
yang ketentuanya diatur lebih lanjut dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri keuangan.
Objek Pajak Penghasilan BUT
Pasal 5 Ayat (1) Undang – undang Nomor 36 Tahun 2008

1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan Bentuk Usaha Tetap


tersebut dan dari asset yang dimiliki atau dikuasai oleh
BUT.
2. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan,
penjualan barang, dan pemberian jasa di Indonesia yang
sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh
BUT di Indonesia.
3. Penghasilan sebagaimana tersebut dalam pasal 26 yang
diterima atau diperoleh oleh kantor pusat sepanjang
terdapat hubungan efektif antara BUT dan aset atau
kegiatan yang memberikan penghasilan tersebuty.
Penghasilan BUT yang ditanamkan kembali
di Indonesia
• Contoh perhitungan Penghasilan kena
pajak Bentuk Usaha Tetap Rp. 17.500.000.000
• Di Indonesia Tahun 2012 Pajak
Penghasilan 25% x Rp. 17.500.000.000 Rp. 4.375.000.000
Rp.13.125.000.000 Pajak penghasilan
yang dipotong:
• 20% x Rp. 13.125.000.000 = Rp. 2.625.000.000
• Apabila Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi pajak tersebut
sebesar Rp. 13.125.000.000 ditanamkan kembali di Indonesia,
atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak
Pengurangan Penghasilan

• Biaya yang diperkenankan sebagai Pengurang:


– Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan
kegiatan usaha yaitu biaya pembelian bahan, bunga, sewa dan royalti,
biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya
administrasi, biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau
berdasarkan Perauturan Menteri keuangan.
– Iuran kepada dana pensiun
– Kerugian karena penjualan atau pengaliahan aset yang dimilki .
– Kerugian selisih kurs mata uang asing.
– Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan
– Biaya beasiswa, magang dan pelatihan.
• Contoh PT A dalam tahun 2012 menderita
kerugian fiskal sebesar Rp. 200.000.000.
Selama lima tahun berikutnya, laba rugi fiskal
PT A sebagai berikut:
– 2013 laba fiskal Rp. 200.000.000
– 2013 rugi fiskal (Rp. 300.000.000)
– 2015 laba fiskal NIHIL
– 2016 laba fiskal Rp. 100.000.000
– 2017 laba fiskal Rp. 800.000.000
Kompensasi Kerugian
Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut:

Rugi fiskal tahun2012 (Rp. 1.200.000.000)


Laba fiskal tahun 2013 Rp. 200.000.000 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 2012 (Rp. 1.000.000.000)
Rugi fiskal tahun 2014 (Rp. 300.000.000)
Sisa rugi fiskal tahun 2012 (Rp. 1.000.000.000)
Laba fiskal tahun 2015 NIHIL (+)
Sisa rugi fiskal tahun 2012 (Rp. 1.000.000.000)
Laba fiskal tahun 2016 Rp. 100.000.000 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 2016 (Rp. 900.000.000)
Laba rugi fiskal tahun 2017 Rp. 800.000.000 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 2012 (Rp. 100.000.000)
• Dari perhitungan diatas bahwa:
– Rugi fiskal tahun 2012 sebesar Rp.100.000.000
yang masih tersisa pada akhir 2017 tidak boleh
dikompensasikan lagi dengan laba fiska tahun
2018, sedangkan rugi fiskal tahun 2014 sebesar
Rp. 300.000.000 hanya boleh dikompensasikan
dengan laba fiskal tahun 2018 dan tahun 2019,
karena jangka waktu lima tahun yang dimulai
sejak tahun 2015 berakhir pada akhir tahun 2019
Penyesuaian PTKP terakhir diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No.
101/PMK.010/2016 yang diberlakukan efektif tahun pajak 2016
• Tuan A yang merupakan karyawan PT. Maju sudah menikah dan memiliki
seorang anak. Pasangan Tuan A tidak berpenghasilan sendiri. Gaji pokok
Tuan A per bulan adalah Rp10.000.000. Berapa besaran PPh yang harus
dibayar Tuan A? Bila kita hitung, berarti rinciannya adalah sebagai berikut:
• Gaji pokok per bulan = Rp10.000.000
• Pengurang: 
• Biaya jabatan = 5% x Rp10.000.000 = Rp500.000
• Biaya pensiun = 1% x Rp10.000.000 = Rp100.000
• Total = Rp600.000
• Penghasilan neto = Rp9.400.000/bulan; Rp112.800.000/tahun
• PTKP (K 1) = Rp63.000.000
• Penghasilan Kena Pajak = Rp49.800.000
• PPh Terutang = 5% x Rp49.800.000 = Rp2.490.000
• PPh Pasal 21 per bulan = Rp2.490.000/12 = Rp207.500
• Jadi, Tuan A harus membayar PPh 21 sebesar Rp207.500 per bulan atau
Rp2.490.000 setahun.
PTKP bagi wanita
• Contoh:
– Wajip Pajak Anita, berstatus kawin(suami tidak
berpenghasilan)anak 3. Besar PTKP untuk Anita adalah Rp.
72.000.000, yang teridri dari:
– Rp. 54.000.000 untuk diri wajib pajak
– Rp. 4.500.000 tambahan untuk Wajib Pajak kawin
– 3 x Rp. 4.500.000 tambahan untuk tanggungan maks 3
Starus wajib pajak pada awal tahun PTKP setahun
Laki-laki (tidak kawin tanpa tanggungan Diri Wajib Pajak Rp. 54.000.000
Laki-laki (tidak kawin, 2 tanggungan) Diri Wajib Pajak Rp. 54.000.000
2 tanggungan Rp. 9.000.000
Total Rp. 63.000.000
Laki-laki (kawin, tanpa tanggungan) Diri Wajib Pajak Rp. 54.000.000
Status kawin Rp. 4.000.000
Total Rp. 58.500.000
Laki-laki (kawin 3 tanggungan) Diri Wajib Pajak Rp. 54.000.000
Status kawin Rp. 4.500.000
3 tanggungan Rp 13.500.000
total Rp. 72.000.000

Anda mungkin juga menyukai