Anda di halaman 1dari 33

SPT Pajak Penghasilan UMKM:

Ketentuan, Perhitungan, dan Cara


Pelaporan
SPT Pajak Penghasilan UMKM:
Ketentuan, Perhitungan, dan Cara Pelaporan

Copyright © oleh PT Delegasi Teknologi Indonesia


All rights reserved

Diterbitkan oleh Delegasi


Jl. Dago No. 70
Sekeloa, Coblong, Kota Bandung
Jawa Barat 40134

Penulis
Ardi Leonardi

Editor
Kabrina Rian

Desain
Alifiansyah Deto

www.delegasi.co
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
Dilarang memperbanyak sebagian atau
seluruh buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit
Asisten keuangan virtual untuk UKM
Indonesia
Delegasi membantu pebisnis untuk membuat laporan keuangan dan analisis bisnis
tanpa input data sendiri.

Hanya dengan 4 langkah mudah:


1. Beri akses POS dan online delivery (hanya sekali setting)
2. Kirim foto nota belanja via Telegram (harian)
3. Kirim mutasi rekening via Telegram (mingguan)
4. Kirim catatan stock opname via Telegram (akhir bulan)

3 Laporan Keuangan

Laba Rugi Neraca Arus Kas

12 Analisis Bisnis
Kontrol ketepatan pemakaian bahan baku Profit per channel penjualan
Menu engineering (product mix) Rekomendasi rasio biaya ideal
HPP real per menu Panduan menentukan target penjualan
Estimasi cash untuk bagi hasil/ekspansi Break Event Point (BEP)
Pareto pengeluaran bahan baku Payback Period
Highlight laporan keuangan ROI
Daftar Isi

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)


Aturan Pajak UMKM
Perhitungan Pajak UMKM
Cara Lapor Pajak untuk UMKM
Konsekuensi Tidak Lapor Pajak
Usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) berkontribusi terhadap 60,5% terhadap
PDB. Karena peran UMKM yang termasuk signifikan, pemerintah telah menerbitkan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Kemudahan,
Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.
Kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan dilakukan Pemerintah melalui
pembinaan dan pemberian fasilitas.
Usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) berkontribusi terhadap 60,5% terhadap
PDB. Karena peran UMKM yang termasuk signifikan, pemerintah telah menerbitkan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Kemudahan,
Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.
Kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan dilakukan Pemerintah melalui
pembinaan dan pemberian fasilitas.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021,


kriteria UMKM adalah sebagai berikut:

Usaha Mikro:
Modal usaha paling besar 1 miliar Rupiah atau;
Penjualan paling banyak 2 miliar Rupiah

Usaha Kecil:
Modal usaha dari 1 miliar Rupiah sampai 5 miliar Rupiah atau;
Penjualan dari 2 miliar sampai 15 miliar Rupiah

Usaha Menengah:
Modal usaha lebih dari 5 miliar Rupiah atau;
Penjualan lebih dari 15 miliar Rupiah

Bentuk UMKM para pelaku usaha juga berbeda-beda, ada yang dilakukan secara
pribadi (atau perorangan), ada yang sudah berbentuk Commanditaire Vennootschap
(CV) dan Perseroan Terbatas (PT). Setiap bentuk UMKM ini butuh membayar pajak
kepada Pemerintah dengan hitungan dan pajak masing masing.
Terdapat beberapa jenis pajak yang wajib dibayar oleh
pengusaha UMKM, yang mana yang paling besar adalah Pajak
Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Pajak Penghasilan (PPh)
PPh diatur melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak
Penghasilan, yang beberapa kali diubah yang mana perubahan terakhir melalui:

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan


Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
dan;
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi
Peraturan Pajak

Subjek Pajak
Yang menjadi Subjek Pajak (yang dikenakan pajak) adalah

A.1. Orang Pribadi


A.2. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak
B. Badan (termasuk Perseroan Terbatas, CV, dan lainnya)
C. Badan Usaha Tetap (yaitu bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi atau
badan yang tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usahaa
atau melakukan kegiatan di Indonesia

Pada dasarnya, UMKM akan dapat masuk golongan A.1 Orang Pribadi (bagi pelaku
UMKM yang melakukan usahanya dan melaporkan penghasilannya pada NPWP
pribadi pemilik usaha) dan Badan (bagi pelaku UMKM yang mendirikan usahanya
dengan bentuk PT, CV atau lainnya)

Objek Pajak
Terdapat beberapa jenis pajak yang wajib dibayar oleh pengusaha UMKM, yang mana
yang paling besar adalah Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai
(PPN).
Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 Tentang
Harmonisasi Peraturan Pajak, yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan, yaitu
setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak,
baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai
untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan,
dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:

A. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang


diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi,
bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya termasuk
natura dan/atau kenikmatan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang
ini;
B. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
C. Laba usaha;
D. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan,
dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2. Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham,sekutu,
atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya;
3. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama
dan dalam bentuk apapun;
4. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan
pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang
pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, sepanjang tidak ada
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di
antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
5. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh
hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau
permodalan dalam perusahaan pertambangan;
E. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya
dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
F. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang;
G. Dividen dengan nama dan bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
suransi kepada pemegang polis;
H. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
I . Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
J . Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
K . Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu
yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
L. Keuntungan selisih kurs mata uang asing;
M. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
N. Premi asuransi;
O. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri
dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
P. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
pajak;
Q. Penghasilan dari usaha berbasis syariah;
R. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
S. Surplus Bank Indonesia

Perpajakan relevan untuk UMKM


Secara garis besar jenis pajak yang penting menjadi perhatian pelaku usaha UMKM
adalah:

PPh Pasal 4 (2)


PPh 4 (2) merupakan pajak yang bersifat final (yaitu harus dibayarkan setiap
transaksi terjadi) kepada Pemerintah. Transaksi cakupan PPh 4 (2) yang relevan bagi
UMKM termasuk:

Penghasilan bunga (berasal dari deposito, tabungan dan sumber lainnya)


Penghasilan dari sewa aset tanah dan/atau bangunan
Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berbentuk aset tanah dan/atau
bangunan
Penghasilan atas jasa konstruksi;
Dan lainnya sesuai ketentuan yang berlaku

Penyetoran PPh 4 (2) harus dilakukan secara bulanan paling lambat tanggal 10 bulan
(tanggal 15 untuk Wajib Pajak jasa konstruksi) berikutnya.
PPh Pasal 21

PPh 21 merupakan kewajiban pemotongan pajak atas penghasilan atas penghasilan


yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi. PPh 21 yang relevan untuk UMKM
termasuk:

Pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan


pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan
oleh pegawai atau bukan pegawai;
Badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan
bebas;
Lainnya sesuai ketentuan yang berlaku

Contoh aktivitas kewajiban pemotongan PPh 21 adalah

Pengusaha merekrut 2 pegawai tetap untuk bekerja sebagai chef dapur restoran
pengusaha. Pengusaha wajib memotong PPh 21 atas gaji yang diperoleh
pegawai tetap (jika gaji lebih dari Penghasilan Tidak Kena Pajak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, detail di bab selanjutnya)
Pengusaha meminta bantuan konsultan pribadi (bukan badan) untuk analisis
bisnisnya dan rekomendasi SoP perusahaan. Atas pembayaran kepada konsultan
pribadi tersebut, pengusaha wajib memotong PPh 21 sesuai ketentuan yang
berlaku.

Penyetoran PPh 21 harus dilakukan oleh pemotong pajak paling lambat tanggal 10
bulan berikutnya.

PPh Pasal 23
PPh 23 merupakan kewajiban pemotongan pajak oleh pihak yang membayar
beberapa transaksi kepada Wajib Pajak dalam negeri sesuai ketentuan yang berlaku.
PPh 23 yang relevan untuk UMKM termasuk:
Royalti
Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e
Sewa dan penghasilan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta kecuali
atas tanah dan/atau bangunan (pengecualian atas yang sudah dipotong pada
pph 4(2)
Imbalan sehubungan jasa teknis, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
Lainnya sesuai ketentuan yang berlaku

Contoh aktivitas kewajiban pemotongan PPh 23 adalah:

Pengusaha membayarkan royalti kepada PT pemilik franchise yang merupakan


Wajib Pajak (PT) dalam negeri. Atas pembayaran royalti tersebut, Pengusaha
wajib memotong PPh 23
Pengusaha menyewa mobil dari PT penyewa mobil. Atas pembayaran sewa
mobil tersebut, Pengusaha wajib memotong PPh 23
Pengusaha meminta bantuan suatu PT untuk jasa konsultan manajemen kepada
Wajib Pajak dalam negeri. Atas pembayaran jasa tersebut, Pengusaha wajib
memotong PPh 23. Jika Pengusaha meminta bantuan dari suatu Orang Pribadi,
maka yang berlaku adalah PPh 21

Penyetoran PPh 23 harus dilakukan oleh pemotong pajak paling lambat tanggal 10
bulan berikutnya. Detail tarif PPh 23 dapat dilihat di bab selanjutnya.

PPh Pasal 25
PPh Pasal 25 merupakan kewajiban setiap Wajib Pajak untuk mengangsur pajak
secara bulanan, yang mana dapat menjadi potongan (kredit pajak) jumlah pajak
tahunan yang harus dibayarkan di sesuai perhitungan pada SPT tahunan.
Contoh kasus PPh pasal 25 sebagai berikut:

Sesuai perhitungan PPh pasal 25 yang dilakukan awal tahun, Pengusaha harus
mengangsur sebesar 1 juta Rupiah per bulan. Pada akhir tahun, disaat
Pengusaha menghitung jumlah pajak yang harus dibayarkan di tahun tersebut,
Pengusaha harus membayar 15 juta Rupiah. Karena pengusaha telah
mengangsur PPh Pasal 25 sebesar 1 juta Rupiah per bulan (12 juta Rupiah per
tahun), maka sisa pajak yang Pengusaha harus setor adalah sebesar 3 juta
Rupiah

Penyetoran PPh Pasal 25 harus dilakukan oleh pemotong pajak paling lambat
tanggal 15 bulan berikutnya. Detail tarif PPh 25 dapat dilihat di bab selanjutnya.

PPh Pasal 26
PPh 26 merupakan kewajiban pemotongan pajak oleh pihak yang membayar
beberapa transaksi kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di
Indonesia sesuai ketentuan yang berlaku. Secara garis besar, UMKM akan lebih
banyak berurusan dengan PPh 23 karena akan lebih banyak transaksi dengan Wajib
Pajak dalam negeri. PPh 26 yang relevan untuk UMKM (jika ada) termasuk:

Dividen
Bunga
Royalti, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
Lainnya sesuai ketentuan yang berlaku

Contoh aktivitas kewajiban pemotongan PPh 26 adalah:

Pengusaha membayar royalti franchisee kepada franchisor yang merupakan


Wajib Pajak luar negeri. Atas pembayaran tersebut, Pengusaha wajib memotong
PPh 26. Jika Pengusaha membayar royalti franchisee kepada franchisor yang
merupakan Wajib Pajak dalam negeri, maka wajib memotong PPh 23
Pengusaha meminta bantuan suatu PT untuk jasa konsultan manajemen kepada
Wajib Pajak luar negeri. Atas pembayaran jasa tersebut, Pengusaha wajib
memotong PPh 26. Jika Pengusaha meminta bantuan dari suatu Wajib Pajak
dalam negeri PPh, dan PPh 21 jika Pengusaha meminta bantuan dari Orang
Pribadi
Penyetoran PPh 26 harus dilakukan oleh pemotong pajak paling lambat tanggal 10
bulan berikutnya. Detail tarif PPh 26 dapat dilihat di bab selanjutnya.

PPh Final sesuai PP 23 Tahun 2018

Dalam rangka memberikan kemudahan dan kesederhanaan kepada Wajib Pajak dan
mendorong masyarakat untuk berperan dalam kegiatan ekonomi fiskal, Pemerintah
menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 Tentang Pajak

Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak
Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

Pada prakteknya, Peraturan Pemerintah ini sangat relevan dan menguntungkan


UMKM dalam menghitung dan melaporkan kewajiban pajak bulanan dan
tahunannya. Dibandingkan pembukuan (yang akan dijelaskan di bab selanjutnya),
perhitungan kewajiban pajak sesuai Peraturan ini cukup suatu % dikali dengan
peredaran bruto (omzet).

Penyetoran PPh Final sesuai PP 23 Tahun 2018 harus dilakukan oleh Pengusaha
paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya..

PPh Pasal 29 (disetor secara tahunan)

Setiap Wajib Pajak (Pribadi, Badan dan lainnya) dalam negeri diwajibkan untuk
melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan yang dilampiri dengan Laporan
Keuangan yang sekurang kurangnya memuat komponen sebagai berikut:

Jumlah penghasilan
Jumlah penghasilan kena pajak
Jumlah pajak yang terutang
Jumlah pajak yang telah dilunasi dalam tahun berjalan dan
Jumlah kekurangan dan kelebihan pajak

Sesuai dengan PPh Pasal 29, jika pajak yang terutang lebih besar daripada jumlah
kredit pajak (pajak yang telah dibayarkan dan dapat menjadi pengurang pajak
tahunan), maka kekurangan pajak yang terutang harus dilunasi selambat-lambatnya
sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan disampaikan.
Contoh kasus PPh pasal 29 sebagai berikut:

Setelah dihitung sesuai dengan ketentuan pajak yang berlaku (detail


disampaikan di bab selanjutnya), jumlah jumlah pajak yang terutang adalah
sebesar 5jt Rupiah dan jumlah pajak yang telah dilunasi adalah sebesar 4jt
Rupiah, Pengusaha wajib menyetorkan 1jt Rupiah kepada Pemerintah sebelum
menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak.
Terdapat ketentuan tersendiri untuk perhitungan masing -
masing Pasal perpajakan. Berikut adalah detail perhitungan
pajak yang telah disampaikan pada bab sebelumnya (Aturan
Pajak UMKM).
PPh Pasal 4 (2)
Perhitungan PPh Pasal 4 (2) tergantung pada transaksi yang diliputi pada PPh Pasal
4 (2), yang mana tarif atas setiap tipe transaksi diatur pada UU PPh atau dalam
peraturan lainnnya. Tarif beberapa PPh Pasal 4 (2) yang relevan kepada UMKM
adalah sebagai berikut:

Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan


Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
212/PMK.03/2018 Tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito
dan Tabungan Serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia, tarif pajak PPh 4 (2) atas
bunga deposito dan tabungan adalah 20% dari bunga yang dibayarkan
Pemotongan dilakukan oleh pihak yang membayarkan bunga (bank atau institusi
lainnya)

Penghasilan atas sewa aset tanah dan/atau bangunan


Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2017
Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Persewaan Tanah dan/atau
Bangunan, tarif pajak PPh 4 (2) atas sewa aset tanah dan/atau bangunan adalah
10% dari nilai persewaan
Penyewa aset wajib memotong PPh 4 (2) atas transaksi sewa

Penghasilan atas transaksi pengalihan harta berbentuk aset tanah dan/atau


bangunan
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2016
Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah
dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau
Bangunan Beserta Perubahannya, tarif pajak PPh 4 (2) atas transaksi pengalihan
harta berbentuk aset tanah dan/atau bangunan adalah
2,5% untuk pengalihan aset tanah dan/atau bangunan selain Rumah
Sederhana atau Rumah Susun Sederhana
1,0% untuk pengalihan aset tanah dan/atau bangunan Rumah Sederhana
atau Rumah Susun Sederhana
0,0% untuk pengalihan aset tanah dan/atau bangunan kepada Pemerintah,
BUMN dan BUMD yang mendapatkan penugasan khusus
PPh Pasal 4 (2)

Perhitungan PPh Pasal 21 tergantung pada hubungan pihak yang dipotong dengan
pemotongnya, yang mana tarif atas hubungan berbeda beda sesuai ketentuan yang
berlaku (undang - undang atau peraturan). Tarif beberapa PPh Pasal 21 yang relevan
kepada UMKM adalah sebagai berikut:

Pegawai tetap
Perhitungan potongan PPh 21 pegawai tetap pada dasarnya sama dengan
perhitungan pajak Orang Pribadi yang menjadi pegawai tetap pada suatu
perusahaan (tanpa penghasilan dari sumber lainnya). Terdapat beberapa komponen
yaitu

Penghasilan Bruto: jumlah tunjangan (gaji, bonus, thr dll) yang diberikan oleh
pemberi kerja
Biaya jabatan: dapat menjadi pengurang penghasilan untuk perhitungan pajak
Penghasilan Tidak Kena Pajak: pengurang atas penghasilan
Penghasilan Kena Pajak: Penghasilan - biaya jabatan - Penghasilan Tidak Kena
Pajak
Tarif pajak: % pajak yang akan dikenakan terhadap Penghasilan Kena Pajak

Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.03/2008 Tentang


Besarnya Biaya Jabatan atau Biaya Pensiun yang Dapat Dikurangkan dari
Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau Pensiunan, biaya jabatan yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto adalah 5% dari penghasilan bruto, setinggi-
tingginya 6jt Rupiah.

Sesuai dengan Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 Tentang
Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) pertahun
paling sedikit

54jt Rupiah untuk Orang Pribadi;


4,5jt Rupiah tambahan untuk yang sudah kawin;
54jt Rupiah tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung
dengan penghasilan suami;
4.5jt Rupiah tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga
semeda dalam garis keturunan luurs serta anak angkat, yang menjadi
tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga;
Dan tarif pajak progresif sesuai dengan Undang - Undang Republik Indonesia Nomor
7 tahun 2021 sebagai berikut:

Lapisan Penghasilan Tarif Pajak

5% (lima
Sampai dengan Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)
persen)

15% (lima
Di atas Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) sampai
belas
dengan Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
persen)

25% (dua
Di atas  Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
puluh lima
sampai dengan Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
persen)

30% (tiga
Di atas Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai
puluh
dengan Rp 5.000.000.000 (lima miliar rupiah)
persen)

35% (tiga
Di atas Rp 5.000.000.000 (lima miliar rupiah) puluh lima
persen)

Berikut sebuah contoh kasus untuk pemotong PPh 21 Pegawai Tetap:

Pengusaha berkewajiban untuk memotong PPh 21 salah 1 karyawan tetapnya


dengan informasi sebagai berikut
Penghasilan bruto tahunan: 350jt Rupiah
Belum kawin
Tidak ada tanggungan
Maka setiap bulannya, Pengusaha harus memotong
Penghasilan kena pajak = 350jt (penghasilan tahunan) - 54jt (PTKP Orang
Pribadi yang belum kawin dan tidak punya tanggungan) - 6jt (Biaya Jabatan)
= 290jt Rupiah
Kewajiban pajak = 60jt x 5% + 190jt x 15% + 46jt * 25% = 41.5juta Rupiah
Wajib potong PPh 21 per bulan adalah 43juta / 12 = ~3,46juta Rupiah
Pegawai tidak tetap
Komponen perhitungan PPh 21 pegawai tidak tetap sebagai berikut:

Penghasilan Bruto: jumlah tunjangan (gaji, upah lainnya, dll) yang diberikan oleh
pemberi kerja
Penghasilan Tidak Kena Pajak: pengurang atas penghasilan
Penghasilan Kena Pajak: Penghasilan - biaya jabatan - Penghasilan Tidak Kena
Pajak
Tarif pajak: % pajak yang akan dikenakan terhadap Penghasilan Kena Pajak

Pada dasarnya perhitungan PPh 21 pegawai tidak tetap dan tetap hanya berbeda di
biaya jabatan (yang mana pegawai tidak tetap tidak dapat mengurangi penghasilan
bruto dengan biaya jabatan). Ketentuan Penghasilan Tidak Kena Pajak dan tarif
pajak sama dengan Pegawai tetap.

Berikut sebuah contoh kasus untuk pemotong PPh 21 pegawai tidak tetap:

Pengusaha berkewajiban untuk memotong PPh 21 salah 1 karyawan tidak


tetapnya dengan informasi sebagai berikut
Penghasilan bruto bulanan: 7jt Rupiah
Belum kawin
Tidak ada tanggungan
Maka setiap bulannya, Pengusaha harus memotong
Penghasilan kena pajak = 7jt x 12 (penghasilan tahunan) - 54jt (PTKP Orang
Pribadi yang belum kawin dan tidak punya tanggungan) = 30jt Rupiah
Kewajiban pajak = 30jt x 5% = 1,5jt
Wajib potong PPh 21 per bulan adalah 1,5juta / 12 = 0,125 juta Rupiah

Tenaga Ahli (tidak bersifat berkesinambungan)


Komponen perhitungan PPh 21 pegawai tidak tetap sebagai berikut:

Penghasilan Bruto: jumlah tunjangan yang diberikan oleh pemberi kerja


Penghasilan Kena Pajak: Penghasilan Bruto * 50%
Tarif pajak: % pajak yang akan dikenakan terhadap Penghasilan Kena Pajak

Tarif pajak PPh 21 tenaga ahli sama dengan Pegawai tetap.


Berikut sebuah contoh kasus untuk pemotong PPh 21 tenaga ahli (tidak bersifat
berkesinambungan):

Pengusaha berkewajiban untuk memotong PPh 21 salah 1 tenaga ahli dengan


informasi sebagai berikut
Penghasilan yang harus dibayarkan atas jasa tenaga ahli: 200 jt Rupiah
Maka atas jasa tersebut, Pengusaha harus memotong
Penghasilan Kena Pajak 200jt * 50% = 100jt
Kewajiban pajak = 60jt * 5% + 40jt * 15% = 9jt Rupiah
Atas jasa yang diberikan, Pengusaha harus memotong PPh 21 sebesar 9jt Rupiah

PPh Pasal 23
Perhitungan PPh Pasal 23 tergantung pada transaksi yang diliputi pada PPh Pasal
23, yang mana tarif atas setiap tipe transaksi diatur pada UU PPh atau dalam
peraturan lainnya. Tarif beberapa PPh Pasal 23 yang relevan kepada UMKM adalah
sebagai berikut:

Royalti

Sesuai dengan Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008


Tentang Perubahan Keempat Atas Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1983
Tentang Pajak Penghasilan, tarif PPh Pasal 23 atas pembayaran royalti adalah
sebesar 15% dari jumlah bruto
Pemotongan dilakukan oleh pihak yang membayar royalti

Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e

Sesuai dengan Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008


Tentang Perubahan Keempat Atas Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1983
Tentang Pajak Penghasilan, tarif PPh Pasal 23 atas Hadiah, penghargaan, bonus,
dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e adalah sebesar 15% dari jumlah bruto
Pemotongan dilakukan oleh pihak yang membayar pengeluaran sebagaimana
disampaikan di poin sebelumnya
Imbalan sehubungan jasa teknis, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21

Sesuai dengan Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008


Tentang Perubahan Keempat Atas Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1983
Tentang Pajak Penghasilan, tarif PPh Pasal 23 atas Imbalan sehubungan jasa
teknis, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa
yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
adalah sebesar 2% dari jumlah bruto
Pemotongan dilakukan oleh pihak yang membayar pengeluaran sebagaimana
disampaikan di poin sebelumnya

PPh Pasal 25
Perhitungan angsuran PPh Pasal 25 dilakukan sesuai dengan SPT tahun
sebelumnya. Pajak yang harus diangsur adalah jumlah pajak yang terutang sesuai
dengan SPT tahun sebelumnya dikurangi dengan kredit pajak dibagi 12. Angsuran
yang dilakukan pada bulan bulan sebelum SPT disampaikan sebelum batas waktu
penyampaian SPT sama dengan angsuran bulan terakhir tahun pajak lalu.

Berikut sebuah contoh kasus untuk perhitungan angsuran PPh 25

Pengusaha berbentuk badan telah melaporkan SPT PPh Tahun Pajak 2022
(berakhir pada Desember 2022) dan berencana menghitung jumlah angsuran
PPh 25
Pada Tahun Pajak 2022, Pengusaha mencatat pajak terhutang sebesar 100jt
Rupiah dan kredit pajak sebesar 4jt Rupiah
Maka selisih PPh yang harus dibayarkan oleh Pengusaha untuk tahun pajak 2022
adalah sebesar 96jt
Oleh karena itu, angsuran PPh 25 setelah pelaporan SPT tahun pajak 2022
tersebut adalah 96jt / 12 = 8jt Rupiah per bulan
Angsuran PPh 25 pada tahun 2023 sebelum pelaporan SPT tahun pajak 2022
(sebelum batas waktu) sama dengan angsuran pada bulan Des 2022

Penyetoran PPh 25 dilakukan oleh Wajib Pajak bersangkutan (pada contoh di atas,
Pengusaha wajib menyetorkan PPh 25 sebesar 8jt Rupiah setiap bulannya)
PPh Pasal 26
Tarif beberapa PPh Pasal 26 yang relevan kepada UMKM adalah sebagai berikut:

Dividen

Sesuai dengan Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008


Tentang Perubahan Keempat Atas Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1983
Tentang Pajak Penghasilan, tarif PPh Pasal 26 atas dividen yang dibayarkan
kepada Wajib Pajak Luar Negeri adalah sebesar 20% dari jumlah bruto
Pemotongan dilakukan oleh pihak yang membayar dividen

Bunga

Sesuai dengan Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008


Tentang Perubahan Keempat Atas Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1983
Tentang Pajak Penghasilan, tarif PPh Pasal 26 atas bunga yang dibayarkan
kepada Wajib Pajak Luar Negeri adalah sebesar 20% dari jumlah bruto
Pemotongan dilakukan oleh pihak yang membayar bunga

Royalti, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta

Sesuai dengan Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008


Tentang Perubahan Keempat Atas Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1983
Tentang Pajak Penghasilan, tarif PPh Pasal 26 atas Royalti, sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang dibayarkan
kepada Wajib Pajak Luar Negeri adalah sebesar 20% dari jumlah bruto
Pemotongan dilakukan oleh pihak yang membayar pengeluaran sebagaimana
disampaikan di poin sebelumnya

Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan

Sesuai dengan Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008


Tentang Perubahan Keempat Atas Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1983
Tentang Pajak Penghasilan, tarif PPh Pasal 26 atas Imbalan sehubungan dengan
jasa, pekerjaan, dan kegiatan yang dibayarkan kepada Wajib Pajak Luar Negeri
adalah sebesar 20% dari jumlah bruto
Pemotongan dilakukan oleh pihak yang membayar pengeluaran sebagaimana
disampaikan di poin sebelumnya
PPh Final sesuai PP 23 Tahun 2018
UMKM (Wajib Pajak) yang memiliki peredaran bruto (Omzet) lebih kecil dari 4.8miliar
Rupiah dapat menggunakan fasilitas sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23
Tahun 2018 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima
atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

Secara garis besar cara menghitung pajak yang harus dibayarkan jika menggunakan
fasilitas ini adalah 0,5% x peredaran bruto (omzet). Peredaran bruto tidak termasuk:

Penghasilan yang diterima dari pekerjaan bebas yang meliputi:


tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,
akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, PPAT, penilai, dan aktuaris;
pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang
sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model,
peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
olahragawan;
penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
pengarang, peneliti, dan penerjemah;
agen iklan;
pengawas atau pengelola proyek;
perantara;
petugas penjaja barang dagangan;
agen asuransi;
distributor perusahaan pemasaran berjenjang atau penjualan langsung dan
kegiatan sejenis lainnya.
Penghasilan yang diterima di luar negeri yang pajaknya terhutang di luar negeri
penghasilan yang telah dikenai Pajak Penghasilan dan
penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak

Berikut sebuah contoh kasus untuk perhitungan PPh sesuai dengan PP 23


Tahun 2018

Pengusaha memiliki suatu perusahaan F&B dan ritel bahan makanan. Jumlah
penjualan di bulan Maret 2023 adalah 100jt Rupiah.
Maka PPh yang harus dibayar bulan Maret 2023, sesuai dengan PP 23 Tahun
2018 sebesar 100jt (peredaran bruto) x 0.5% = 0,5jt Rupiah

Penyetoran dilakukan oleh Wajib Pajak bersangkutan (pada contoh di atas,


Pengusaha wajib menyetorkan 0,5jt Rupiah di bulan Maret 2022)
PPh Pasal 29 (disetor secara tahunan)
PPh Pasal 29 menyatakan jika setelah dihitung, pajak yang terhutang lebih besar
dari kredit pajak di suatu Tahun Pajak, maka kekurangan bayar harus dilunasi
sebelum menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan. Terdapat 3 (tiga)
metode untuk menghitung pajak yang terhutang pada suatu tahun pajak, yakni:

1. Dari penghasilan bruto sesuai dengan PP 23 Tahun 2018 (dijelaskan di atas)


2. Berdasarkan Norma (Sesuai dengan Undang - Undang Republik Indonesia
Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang - Undang
Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan)
3. Menghitung Penghasilan Kena Pajak dengan menyelenggarakan Pembukuan

Perhitungan berdasarkan Norma


Sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per - 17/PJ/2015 Tentang
Norma Perhitungan Penghasilan Neto, Orang Pribadi yang melakukan kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas dan menyelenggarakan pencatatan yang peredaran
brutonya kurang dari 4.8miliar Rupiah dalam 1 tahun pajak dapat menggunakan
Norma Perhitungan Penghasilan Neto. Wajib Pajak harus mengirimkan
pemberitahuan kepada Direktur Jendral Pajak paling lama 3 bulan sebelum awal
tahun pajak selanjutnya untuk menggunakan Norma.

Terdapat persentase berbeda beda untuk masing - masing kegiatan dan wilayah,
sebagaimana diatur dalam Peraturan yang berlaku. Contoh perhitungan pajak
penghasilan terhutang menggunakan norma sebagai berikut:

Seorang akuntan membuka praktek di Kota Bandung dan menghasilkan 500jt


Rupiah ditahun pajak 2018. Norma yang berlaku sesuai Peraturan adalah 50%
(Contoh). Orang Pribadi belum memiliki tanggungan dan belum kawin.
Maka pajak yang terhutang pada tahun pajak 2018 adalah:
Penghasilan Neto: 500jt * 50% = 250jt Rupiah
Penghasilan Tidak Kena Pajak (TK/0) = 54jt Rupiah
Penghasilan Kena Pajak = 196jt Rupiah
Pajak Penghasilan Terhutang = 60jt * 5% + 136jt * 15% = 23,4jt Rupiah
Perhitungan berdasarkan Pembukuan
Perhitungan pajak terhutang menggunakan cara pembukuan adalah sebagai berikut

“Jumlah pajak terhutang = Penghasilan Kena Pajak (dihitung dengan cara


pembukuan) x tarif sesuai dengan Peraturan yang berlaku”

Penghasilan Kena Pajak (dihitung dengan cara pembukuan)


Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 Tentang
Harmonisasi Peraturan Pajak, Penghasilan Kena Pajak sesuai dengan pembukuan
adalah penghasilan bruto yang dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan. Pengurangan penghasilan termasuk:

biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan
usaha, antara lain:
biaya pembelian bahan;
biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,
honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk
uang;
bunga, sewa, dan royalti;
biaya perjalanan;
biaya pengolahan limbah;
premi asuransi;
biaya promosi dan penjualan;
biaya administrasi; dan
pajak kecuali Pajak Penghasilan;
penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi
atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
dan Pasal 11A;
iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan;
kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan
dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan;
kerugian selisih kurs mata uang asing;
biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
Perhitungan berdasarkan Pembukuan

piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:


telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih
kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau
instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian
tertulis mengenai penghapusan piutang/ pembebasan utang antara kreditur
dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan
umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya
telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk
penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k;
sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
sumbangan dalam rangka penelitian danpengembangan yang dilakukan di
Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah;
sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah;
sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah; dan
biaya penggantian atau imbalan yang diberikan dalam bentuk natura dan/atau
kenikmatan.
Cara Lapor Pajak untuk UMKM

PPh Pasal 4 (2)


Pemotong / Pemungut pajak PPh Pasal 4 (2) wajib melakukan pelaporan per bulan
melalui formulir Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan Final Pasal 4
Ayat 2. Pengisian dapat dilakukan langsung di website resmi DJP.

PPh Pasal 21
Pelaporan Pemotongan / Pajak Penghasilan PPh 21 dan/atau PPh 26 wajib
melakukan pelaporan per bulan melalui formulir 1721 - Surat Pemberitahuan (SPT)
Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26. Pengisian dapat dilakukan
langsung di website resmi DJP

PPh Pasal 23
Pelaporan Pemotongan / Pajak Penghasilan PPh 23 dan/atau PPh 26 wajib
melakukan pelaporan per bulan melalui formulir Surat Pemberitahuan (SPT) Masa
Pajak Penghasilan Pasal 23 dan/atau Pasal 26. Pengisian dapat dilakukan langsung
di website resmi DJP.

PPh Pasal 25
Tidak perlu lapor lewat formulir bulanan, cukup setor secara tepat waktu dan dapat
dijadikan kredit pajak saat melaporkan SPT Tahunan (formulir 1770 atau 1771).

PPh Pasal 26
Dilaporkan pada formulir
formulir 1721 - Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan Pasal 21
dan/atau Pasal 26; dan
formulir Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan Pasal 23 dan/atau
Pasal 26
PPh Final sesuai PP 23 Tahun 2018
Tidak perlu lapor lewat formulir bulanan, cukup setor bulanan secara tepat waktu
sesuai dengan peredaran bruto dan dilaporkan pada SPT Tahunan (formulir 1770
atau 1771).

PPh Pasal 29
PPh Pasal 29 dilakukan dengan mengisi formulir 1770 bagi Orang Pribadi dan 1771
bagi Badan (termasuk namun tidak terbatas pada PT dan CV)
Terdapat konsekuensi telat lapor pajak (pajak bulanan atau masa maupun pajak
tahunan). Sanksi administratif telat melaporkan surat pemberitahuan pajak, sesuai
dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang
Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah sebagai berikut
Denda 100.000 Rupiah untuk ketelatan pelaporan SPT Masa selain PPn
Denda 1.000.000 Rupiah untuk ketelatan pelaporan SPT PPh tahunan bagi Wajib
Pajak Badan
Denda 100.000 Rupiah untuk ketelatan pelaporan SPT PPh tahunan bagi Wajib
Pajak Orang Pribadi

Adapun terdapat konsekuensi tidak melaporkan atau kurang membayar pajak


terhutang sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021
Tentang Harmonisasi sebagai berikut:

Sanksi administratif sebesar bunga dari Pajak Penghasilan yang tidak atau
kurang dibayar dalam 1 tahun pajak
Sanksi administratif sebesar bunga dari Pajak Penghasilan yang tidak atau
kurang dipotong atau dipungut
Sanksi administratif sebesar kenaikan sebesar 75% (tujuh puluh lima persen)dari
Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor
Tambahan sanksi administratif berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan
(ditentukan Menteri Keuangan) dihitung sejak jatuh tempo pembayaran pajak
Pusing Bikin Laporan Keuangan?
Delegasi-in Aja!
PT Delegasi Teknologi Indonesia

Jl. Dago No. 70 Bandung


0812 2200 3011


www.delegasi.co

Follow Us:

: @delegasi.co
: @delegasi.co
: @delegasi_co
: @delegasi_co
: Delegasi
: Delegasi

Anda mungkin juga menyukai