Anda di halaman 1dari 16

BAB 1 DASAR-DASAR

PERENCANAAN PAJAK

Pajak Bagi Negara

Dalam Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara


disebutkan bahwa negara Indonesia memiliki sumber penghasilan yang berasal dari
penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak dan penerimaan hibah baik itu
dari dalam negeri maupun luar negeri. Dari ketiga sumber penghasilan itu, penerimaan
negara yang bersumber dari Pajak merupakan penerimaan yang paling tinggi
dibandingkan dengan bukan pajak (penerimaan bukan pajak dan hibah). Sejak tahun
2016 sampai dengan tahun perkiraan pendapatan yang tertuang didalam Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2021 penghasilan yang berasal dari
pajak selalu lebih besar dibandingkan dengan penghasilan yang berasal dari bukan
pajak. Didalam Peraturan Presiden nomor 72 tahun 2020 disebutkan pendapatan negara
sejak tahun 2016 sampai dengan 2021 sebagai berikut.
Tabel 1
Penerimaan Negara

Sumber: Perpres nomor 72 tahun 2020


Apabila dilakukan analisis dengan membandingkan antara penerimaan negara
yang berasal dari pajak dan penerimaan negara yang berasal dari bukan pajak maka
akan didapatkan tabel sebagai berikut.
Tabel 2
Penerimaan Negara

Pajak Bukan Pajak Jumlah


Tahun
Nilai % Nilai % Nilai %

2016 1.285,0 83,1 262,0 16,9 1.546,9 100,0

2017 1.343,5 81,2 311,2 18,8 1.654,7 100,0

2018 1.518,8 78,8 409,3 21,2 1.928,1 100,0

2019 1.546,1 79,1 409,0 20,9 1.955,1 100,0

Outlook 2020 1.404,5 82,8 294,1 17,2 1.696,6 100,0

RAPBN 2021 1.481,9 83,4 293,5 16,6 1.775,5 100,0

Sumber: Nota Keuangan tahun 2020


Dari data tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa negara sangat bergantung
kepada pajak untuk menjalankan program-program yang dituangkan dalan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dibuat setiap tahun sehingga apabila
terjadi penurunan terhadap penerimaan yang berasal dari pajak membuat negara akan
kesulitan dalam hal pendanaan. Meskipun pendapatan negara yang berasal dari pajak
besar namun secara tax ratio masih dibawah 15%. Tax ratio merupakan perbandingan
antara jumlah penerimaan pajak dan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara. Rasio
itu dipergunakan untuk menilai tingkat kepatuhan pembayaran pajak oleh masyarakat
dalam suatu negara. Sebagai perbandingan negara-negara maju yang tergabung dalam
OECD (Organization for Economic Co-Operation and Development) memiliki rata-rata tax
ratio diatas 30%, bahkan Swedia memiliki tax ratio sebesar 53%. Berikut adalah
perkembangan tax ratio Indonesia
Gambar 1
Perkembangan Tax Ratio

Sumber: Nota Keuangan Republik Indonesia


Tim Edukasi Perpajakan Direktorat Jenderal Pajak menyebutkan Negara
ibaratkan seperti sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan Anak. Apabila Ayah
setiap bulan memiliki penghasilan sebesar 7 juta dan Ibu 3 juta maka apabila suatu saat
Ayah di PHK oleh perusahaan tempatnya bekerja maka dapat dipastikan keluarga
tersebut akan kesulitan untuk melanjutkan kehidupan rumah tangga mereka karena
penghasilan dari keluarga tersebut hilang sebesar 70%. Begitupun dengan pajak bagi
negara Indonesia karena sampai dengan saat ini negara masih bergantung kepada
pajak. Oleh karena itu pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak Republik Indonesia
menyusun beberapa strategi untuk mencapai target penerimaan pajak yaitu
1. Perluasan basis pajak dan tetap berperan dalam meningkatkan perekonomian
nasional dengan mengimplementasikan Rencana Strategi 2020-2024
2. Perluasan basis pajak yang akan ditempuh:
a. Peningkatan kepatuhan sukarela wajib pajak yang tinggi
b. Pengawasan dan penegakan hukum yang berkeadilan
3. Mendorong kemudahan investasi yang akan meningkatkan perekonomian
nasional melalui
a. Terobosan di bidang regulasi melalui Perpu-1/2020
b. Fasilitas perpajakan melalui penerbitan insentif
c. Proses bisnis layanan user friendly berbasis Informasi Teknologi (IT)
4. DJP memetakan dan melakukan pengawasan pembayaran masa (voluntary
payment) untuk memastikan bahwa tidak terjadi upaya tax avoidance, moral
hazard di tengah kondisi pandemi COVID-19
Empat langkah yang direncanakan pemerintah tersebut menunjukkan betapa
besarnya perhatian terhadap pajak sehingga langkah yang dibuat sangat komprehensif
dari mulai langkah untuk perbaikan dari warga negara yang ada di Indonesia bahkan
untuk warga negara yang berada atau memiliki penghasilan diluar negeri. Namun
sebenarnya pajak yang dikumpulkan oleh pemerintah tersebut manfaatnya akan kembali
kepada masyarakat meskipun secara tidak langsung sebagaimana dinyatakan
pengertian pajak menurut Undang-Undang nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yaitu kontribusi wajib kepada negara yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-
Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sejak dahulu memang
pajak digunakan untuk negara dalam mengelola negaranya misalkan pada tahun 1945-
1951 dengan adanya Pajak Bumi yang berganti dengan Undang-Undang Nomor 14 tahun
1951 yaitu Pajak Penghasilan atas Tanah Pertanian (PPTP).

Pajak Bagi Perusahaan

Setiap organisasi yang dibentuk pasti memiliki tujuan. Begitupun halnya dengan
perusahaan memiliki tujuan. Namun apakah setiap perusahaan itu memiliki tujuan yang
sama? Ataukah ada perbedaan tujuan antara satu perusahaan dengan perusahaan yang
lain?
Semua perusahaan memiliki tujuan yang sama baik itu perusahaan yang termasuk
kedalam profit oriented ataupun perusahaan yang termasuk kedalam non profit oriented
yaitu meningkatkan nilai perusahaan. Yang membedakan adalah penjelasan atau
pendefinisian dari nilai perusahaan. Jika perusahaan yang termasuk kedalam profit
oriented maka yang disebut nilai perusahaan adalah yang bisa memaksimalkan laba atau
yang bisa meningkatkan kekayakaan pemilik perusahaan atau memiliki harga saham
yang tinggi per lembarnya sebagaimana yang disebutkan oleh Eugene F. Fama. Semakin
tinggi harga saham, semakin tinggi nilai perusahaan. Adapun nilai perusahaan untuk
perusahaan yang termasuk kedalam non profit oriented adalah reputasi perusahaan
sehingga dipercaya oleh donatur (misalnya) untuk menitipkan bantuannya atau bisa juga
kontrol yang ada diperusahaan non profit oriented tersebut seperti contoh pada yayasan
berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang nomor 2001 diperuntukkan untuk
mencapai tujuan tertentu dibidang sosial, kegamaan dan kemanusiaan.
Salah satu Laporan Keuangan yang wajib dibuat oleh setiap perusahaan
sebagaimana yang disebutkan dalam Standar Akuntansi Keuangan yaitu Laporan Laba
Rugi yang isinya yaitu laporan jumlah pendapatan dan laporan jumlah biaya pada periode
tertentu. Selisih antara pendapatan dan biaya didapatkan laba baik itu laba posiitif
(untung) maupun laba negatif (rugi). Agar mendapatkan laba positif yang besar maka
perusahaan harus memperbesar pendapatan dan mengefisienkan biaya. Adapun pajak
termasuk kedalam biaya yang dapat mengurangi pendapatan. Artinya semakin besar
pajak yang harus dibayar maka laba yang akan didapatkan pun menjadi lebih sedikit.
Bahkan dalam akuntansi pajak dianggap sebagai hutang sehingga apabila ada
pembayaran pajak maka akan dicatat (dijurnal) utang pajak meskipun sebelumnya
perusahaan tidak pernah berhutang pajak. Fiskus berdalih memang wajib pajak tidak
pernah berhutang namun karena aktivitasnya termasuk kedalam objek pajak sehingga
aktivitasnya menimbulkan utang pajak dan harus dibayar. Hal ini menimbulkan masalah
yang dihadapi oleh setiap perusahan karena pajak dimasukkan kedalam biaya yang
dapat mengurangi laba.
Pajak dikenakan bukan hanya apabila terdapat aktivitas saja melainkan apabila
tidak terdapat aktivitas pun masih dikenakan pajak. Berikut adalah jenis pajak yang
timbul.
1. Pajak langsung, yaitu adanya dana yang masuk keperusahaan yang mengakibatkan
perusahaan harus membayar pajak karena menerima dana yang masuk atau
penghasilan yang masuk. Pajak yang diakibatkan dana masuk maka harus dibayar
sendiri oleh penerima dana. Contoh dari pajak langsung adalah Pajak Penghasilan
yang harus dibayar dikarenakan ada penghasilan yang didapatkan dan Pajak Bumi
dan Bangunan.
2. Pajak tidak langsung, yaitu adanya dana yang keluar atau sumber daya yang keluar
sehingga yang menanggung pajak adalah pihak yang mengeluarkan dana atau
sumber daya. Namun bedanya dengan pajak tidak langsung adalah pajak yang
harus dibayarkan oleh perusahaan bisa dilimpahkan atau dikreditkan ke pihak lain
sehingga jumlah pajak yang harus dibayar menjadi berkurang. Contoh dalam hal ini
adalah Pajak Pertambahan Nilai yang terhutang dikarenakan terdapat transaksi
pembelian atau penjualan barang diakibatkan keluarnya sumber dana, Pajak
Pertambahan Nilai atas Barang Mewah dan Bea Materai.

Perbedaan Antara Pemerintah (Fiskus) dengan Perusahaan (Wajib Pajak)

Dijelaskan sebelumnya bahwa fiskus menginginkan pajak tinggi dikarenakan


pajak merupakan sumber penghasilan yang paling besar untuk negara sedangkan
perusahaan menginginkan laba yang maksimal sehingga perlu menekan biaya yang
dikeluarkan. Dalam hal ini posisi fiskus lebih kuat dikarenakan memiliki kekuasaan,
legalitas dan dasar untuk memaksa perusahaan mengeluarkan pajak yang memang
sudah merupakan kewajibannya. Hal ini berdampak kepada perusahaan sebagai wajib
pajak yang akan melakukan tindakan untuk memaksimalkan laba. Akibat konflik ini ada
dua kemungkinan yang akan dilakukan oleh perusahaan (wajib pajak) yaitu,
1. Tax evasion (penggelapan pajak)
Yaitu penghindaran yang dilakukan oleh wajib pajak dengan melanggar peraturan
perpajakan sehingga wajib pajak dapat dikenakan sanksi berupa sanksi adminitratif
ataupun sanksi pidana. Tax evasion adalah niat untuk menghindari pembayaran
pajak terutang, dengan cara menyembunyikan data dan fakta secara sengaja dari
otoritas pajak dan ini merupakan tindakan ilegal. Tax Evasion memiliki dampak
hilangnya penerimaan pajak suatu negara. Namun dapat meningkatkan
kesejahteraan wajib pajak (tax payer welfareI). Secara singkat bisa dikatakan
bahwa tax evasion merupakan tindakan melanggar hukum yang dilakukan oleh
wajib pajak yang memiliki dampak berkurangnya atau hilangnya pajak yang
harusnya diterima oleh negara. Pelaku dari tax evasion ini bukan hanya merugikan
negara tetapi juga merugikan dirinya sendiri karena pajak yang harusnya dia bayar
dia gelapkan atau hilangkan sehingga menghambat kinerja pemerintah dalam
upaya mensejahterakan warga negaranya.
Contoh dari tax evasion adalah wajib pajak tidak melaporkan SPT atau
membebankan biaya-biaya yang tidak seharusnya dijadikan pengurang
penghasilan untuk tujuan meminimalkan beban pajak atau menyembunyikan
penghasilan sehingga pajak yang dikenakan menjadi lebih sedikit atau membuat
laporan keuangan palsu yang ditujukan hanya agar pajak yang dikenakan kecil dan
lain-lain.
Tax evasion ini memiliki dua kemungkinan yang akan didapatkan oleh pelaku. Ada
kemungkinan dia akan mendapatkan apa yang diinginkan yaitu berkurangnya pajak
yang dibayar atau hilangnya pajak yang dibayar atau kemungkinan kedua yaitu
pajak yang dikenakan menjadi lebih besar dikarenakan telah melanggar peraturan
yang berlaku bahkan bisa dipidana karena telah melakukan penggelapan pajak
yang merugikan negara. Keduanya merupakan kejahatan karena usaha
menghilangkan pajak dengan cara yang tidak diperbolehkan.
2. Tax avoidance (penghindaran pajak)
Yaitu penghindaran yang dilakukan oleh wajib pajak dengan memanfaatkan
peraturan perpajakan yang belum jelas (grey area) agar pajak yang dibayarkan
tidak besar. Menurut Zain (2003) tax avoidance yaitu suatu tindakan efisiensi biaya
yang dilakukan seara sah menurut undang-undang dikarenakan undang-undang
perpajakan yang masih belum sempurna. Strategi bagi perusahaan untuk menekan
pajak hingga seminim mungkin disebut penghindaran pajak. Posisi tax avoidance
ini berada diantara tax evasion dan tax avoidance sehingga apabila wajib pajak
melakukan perencanaan pajak terlalu agresif akan jatuh ke tax evasion. Oleh
karena itu Justice Reddy dalam kasus McDowell & Co Versus CTO di US
menyebutkan bahwa tax avoidance itu sebagai seni. Adapun Black’s Law
Dictionary menjelaskan bahwa tax avoidance adalah upaya meminimalkan beban
pajak dengan memanfaatkan peluang penghindaran pajak (loopholes) dengan tidak
melanggar hukum pajak. Singkatnya tax avoidance itu boleh dilakukan selama tidak
melanggar peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia. Ronen Palan (2008)
menyebutkan suatu transaksi diindikasikan sebagai itax avoidance apabila
melakukan salah satu tindakan berikut ini,
1) Wajib pajak berusahaan untuk membayar pajak lebih sedikit dari yang
seharusnya terutang dengan memanfaatkan kewajaran interpretasi hukum
pajak
2) Wajib pajak berusaha agar pajak dikenakan atas keuntungan yang di declare
dan bukan atas keuntungan yang sebenarnya diperoleh
3) Wajib pajak mengusahakan penundaan pembayaran pajak
Contoh dari tax avoidance adalah memilih metode biaya depresasi yang masih
dilegalkan dalam pajak agar pajaknya bisa diatur, memilih metode persediaan yang
masih diakui pajak agar pajak yang dikenakan sesuai dengan perkiraan dan masih
banyak lainnya.

Manajemen Pajak

Dikarenakan tidak memungkinkannya perusahaan untuk menghindari pajak maka


perusahaan perlu melakukan manajemen pajak. Pengertian manajemen pajak adalah
suatu strategi manajemen untuk mengendalikan, merencanakan dan mengorganisasikan
aspek-aspek perpajakan dari sisi yang dapat menguntungkan nilai bisnis perusahaan
dengan tetap melaksanakan kewajiban perpajakan secara peraturan dan perundang-
undangan. Sehingga dengan adanya manajemen pajak diharapkan dapat
mengoptimalkan laba perusahaan. Manajemen pajak itu disatu sisi menerapkan
peraturan pajak semaksimal mungkin agar tidak menjadi sanksi untuk wajib pajak namun
disisi yang lain melakukan efisiensi agar laba yang dihasilkan menjadi maksimal.
Tujuan manajemen pajak dapat dicapai melalui fungsi-fungsi manajemen pajak
yang terdiri atas:
1. Perencanaan pajak (tax planning) yaitu untuk meminimumkan kewajiban pajak
atau sama dengan tax avoidance yang sudah dibahas sebelumnya.
2. Pelaksanaan kewajiban perpajakan (tax implementation), yaitu melakukan
kewajiban perpajakan yang harus dilaksanakan oleh wajib pajak sehingga
diperlukan pehamahaman terhadap ketentuan peraturan perpajakan yang
berlaku dan juga melakukan penyelenggaraan pembukuan yang memenuhi
syarat.
3. Pengendalian pajak bertujuan untuk memastikan bahwa kewajiban pajak telah
dilaksanakan sesuai dengan yang telah direncanakan dan telah memenuhi
persyaratan formal maupun material.
Untuk melakukan manajemen pajak yang salah satu tahap pentingnya adalah
melakukan perencanaan pajak maka yang harus diperhatikan adalah
1. Apakah, yaitu pajak apa yang akan disiasati sehingga pengetahuan tentang
pajak tersebut harus mendalam agar tidak masuk kedalam area tax evasion.
2. Kapan, yaitu waktu yang tepat untuk melakukan perencanaan pajak. Tidak
semua pajak bisa dilakukan perencanaan pada tahap awal, tengah ataupun
akhir, kesemua pajak memiliki karakteristiknya masing-masing sehingga
momentum yang tepat harus bisa didapatkan demi tujuan manajemen pajak
tercapai.
3. Bagaimana, yaitu dengan cara apa bisa melakukan siasat terhadap pajak
tersebut. Tentu setiap objek pajak satu dengan yang lainnya berbeda
tergantung grey area yang mengatur tentang pajak tersebut.
4. Dengan siapa, yaitu siapa yang bisa “dimanfaatkan” agar rencana
perencanaan pajak berjalan dengan baik. Mungkin ada pihak-pihak yang sama
sekali enggan masuk kedalam grey area.

Motivasi Dilakukannya Perencanaan Pajak

Melakukan perencanaan pajak tentu ada motivasi yang mendasarinya yaitu


1. Kebijakan perpajakan (tax policy)
Apabila kebijakan perpajakan yang ditetapkan oleh fiskus terdapat celah maka
dimungkinkan wajib pajak untuk memanfaatkan celah tersebut untuk
kepentingan dirinya. Kebijakan perpajakan menyangkut didalamnya
a. Jenis pajak yang akan dipungut, apakah pajak tersebut termasuk kedalam
pajak langsung atau pajak tidak langsung. Hal ini penting karena setiap
pajak memiliki sifat perlakuan pajak yang berbeda. Seperti contoh bea
masuk dianggap sebagai biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan
kena pajak sedangkan pajak penghasilan tidak bisa dikurangkan dari
penghasilan kena pajak. Contoh lainnya adalah PBB yang termasuk
kedalam pajak langsung sehingga WP harus bisa memanfaatkan aset yang
dia miliki karena baik aset tersebut dimanfaatkan ataupun tidak tetap harus
membayar PBB disetiap tahunnya dan adanya PBB itu dikarenakan WP
memiliki aset yang termasuk kedalam objek PBB.
b. Subyek pajak, apakah subyek pajak termasuk kedalam subyek pajak
pribadi atau subyek pajak badan karena perlakuan untuk keduanya
berbeda. Contohnya yaitu tranasksi modal perseroan atas dividen dan
keuntungan modal; dimana atas pembayaran dividen kepada pemegang
saham perorangan dan kepada pemagang saham berbentuk badan usaha.
Jika pemegang sahamnya perorangan maka dikenakan tarif progresif pajal
17 sedangkan jika berbentuk badan dikenakan tarif tetap sebesar 0.1%
atau 0.6% dari jumlah bruto nilai penjualan saham.
c. Obyek pajak, apakah transaksi atau aktivitas yang dilakukan masuk
kedalam obyek pajak penghasilan Pasal 21 atau 23. Hal ini sangat penting
diketauhi mengingat perlakuan, tarif dan pelaporannya berbeda untuk
setiap pasal.
d. Tarif pajak, yaitu apabila satu objek memiliki kemungkinan dua tarif makan
dipilih tarif yang paling rendah sehingga pajak yang dibayarkan oleh
perusahaan menjadi efisien. Contohnya adalah penghasilan yang
didapatkan oleh perseorangan atas bisnis. Jika usaha tersebut dimiliki oleh
perseorangan maka dikenakan tarif progresif pasal 17 yang tarif paling
kecilnya sebesar 5%, namun jika dibuatkan menjadi satu bentuk badan
maka tarifnya bisa 0.5% jika peredaran brutonya kurang dari 4.8 milyar.
2. Undang-Undang Perpajakan (tax law)
Undang-Undang yang dibuat oleh manusia pasti akan ada kesalahan dan
kekurangan sehingga celah hukum akan selalu ada sehingga hal ini
menjadikan salah satu motivasi dilakukannya perencanaan pajak. Karena tidak
lengkapnya undang-undang maka diterbitkan ketentuan lain untuk melengkapi
Undang-Undang namun peraturan ini seringkali tidak mengatur secara jelas
bahkan kontradiksi dengan Undang-Undang. Seperti contoh didalam peraturan
perpajakan diperbolehkannya menggunakan metode penyusutan terhadap
aset yang berbeda. Metode penyusutan ini pada akhirnya akan bernilai sama
namun dalam prosesnya berbeda untuk setiap tahunnya sehingga pajak yang
dibayarpun menjadi berbeda disetiap tahunnya. Hal ini bisa menguntungkan
wajib pajak namun bisa juga merugikan pajak. Perlu dilakukan perencanaan
agar pembayaran pajak menjadi lebih efektif dengan ketentuan ini.
3. Adminstrasi Perpajakan (tax administration)
Administrasi perpajakan yang ada di Indonesia selalu menjadi masalah yang
sampai dengan saat ini belum terselesaikan. Banyaknya sarana dan prasarana
yang tidak merata antara satu pulau dengan pulau lainnya membuat
modernisasi yang dilakukan fiskus menjadi kurang efektif sehingga masih
banyak kekurangan dalam melakukan administrasi perpajakan. Contohnya
yaitu pembuatan faktur pajak berbentuk elektronik yang akan memiliki
keterbatasan bagi daerah-daerah yang belum memiliki akset pembuatan faktur
pajak berbentuk elektronik.

Tahapan dalam Membuat Perencanaan Pajak

Dalam melakukan perencanaan pajak terdapat tahap-tahap yang harus dilakukan


yaitu
1. Menganalisis informasi yang ada
Informasi mengenai pajak yang akan dilakukan perencanaan harus memenuhi
a. Fakta yang relevan, yaitu memiliki informasi yang sesuai dengan apa yang
dibutuhkan untuk melakukan perencanaan pajak. Dalam PPN yang
termasuk kedalam fakta yang relevan yaitu UU Nomor 42 tahun 2009, PMK-
151/PMK 03/2013, PER-16/PJ/2014, KEP-136/PJ/2014 dan lain
sebagainya.
b. Faktor-faktor pajak yaitu harus bisa menentukan jenis pajak yang ada
sehingga bisa memilih mana yang lebih menguntungkan, masalah
penafsiran atas suatu Undang-Undang/Perjanjian, faktor penghubung,
residen/domisili dan kebangsaan pembayar pajak, bentuk badan dari
pembayar pajak, sumber penghasilan, sifat dari transasksi atau operasi,
hubungan antara pembayar dengan pihak lain, insentif pajak, tax haven dan
antipenghindaran. Dalam PPN faktor pajaknya yaitu apakah akan memililih
menjadi PKP atau tidak, kejelasan tentang peraturan yang berkaitan
dengan PPN, hubungan antara pembeli dan penjual dalam masalah PPN
dan lain sebagainya.
c. Faktor non pajak, yaitu yang harus diperhatikan dalam penyusunan suatu
perencanaan pajak antara lain masalah badan hukum, masalah mata uang
dan nilai tukar, masalah pengawasan devisa, masalah program insentif
investasi dan masalah faktor nonpajak lainnya. Dalam PPN yang termasuk
kedalam non pajak yaitu apabila ingin menjadi PKP maka badan hukum
apa yang harus dipenuhi, apa persyaratan yang harus dipenuhi agar
menjadi badan hukum yang legal, apakah transaksi yang akan dilakukan
menggunakan mata uang selain rupiah dan lain sebagainya.
2. Membuat satu model atau lebih rencana kemungkinan besarnya pajak
Membuat model yang lain untuk memliki alternatif apabila skema perencanaan
pajak tidak berjalan dengan baik atau teradapat masalah. Pemilihan tersebut
diantaranya
a. Pemilihan bentuk transaksi operasi atau hubungan internasional
b. Pemilihan negara asing sebagai tempat melakukan investasi
c. Penggunaan satu atau lebih negara tambahan
3. Mengevaluasi pelaksanaan rencana pajak
Setelah rencana pajak berjalan lakukan evaluasi sehingga bisa diketahui
kekurangan dan kelebihan dari rencana pajak tersebut dan bisa segera
diperbaiki sebelum terlambat. Termasuk melakukan evaluasi jika
a. Rencana tersebut tidak dilaksanakan
b. Rencana tersebut dilaksanakan dan berhasil dengan baik
c. Rencana tersebut dilaknsakan tapi gagal
4. Mencari kelemahan dan kemudian memperbaiki kembali rencana pajak
Setelah melakukan evaluasi lakukan tindakan perubahan (up to date planning)
5. Memutakhirkan rencana pajak
Meskipun suatu rencana pajak telah dilaksanakan dan proyek juga telah
berjalan, tetapi perlu diperhitungkan setiap perubahan yang terjadi, baik dari
undang-undang maupun pelaksanaannya. Hal ini berhubungan dengan
a. Perencanaan pajak domestik
b. Perencanaan pajak internasional
Referensi:

Fama, Eugene F. 1978. The Effect of a Firm’s Investment and Financing Decisions on
the Welfare of Its Security Holders. The American Economic Review. 68 (3): pp:
272-284
Ikatan Akuntan Indonesia. 2018. Standar Akuntansi Keuangan. Jakarta : Ikatan Akuntan
Indonesia
Jati, Ahmad Waluya, Ihyaul Ulum, Cahyo Utomo. Tax Avoidance, Corporate Governance
dan Kinerja Keuangan Perusahaan yang Terdaftar dalam Jakarta Islamic Index.
Jurnal Reviu Akuntansi dan Keuangan, Vol 9 no 2, halaman 214-225
Palan, Ronen. 2008. Tax Havens and The Commercialization of State Soverighnty.
Cornell University Press : International Organization
Rahayu, Siti Kurnia. 2017. Perpajakan (Konsep dan Aspek Formal). Bandung : Penerbit
Rekayasa Sains
Republik Indonesia. 2001. Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 tentang Yayasan
Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan
Negara
Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004 tentang Yayasan
Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 16 tahun 2009
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Republik Indonesia. 2020. Buku II Nota Keuangan Beserta Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2021
Republik Indonesia. 2020. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 tahun 2020
tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang
Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun
Anggaran 2020
Resmi, Siti. 2019. Perpajakan Teori & Kasus Edisi 11 Buku 1. Jakarta: Penerbit Salemba
Riny. 2018. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Perusahaan pada
Perusahaan Consumer Goods yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia. JWEM
STIE Volume 8, nomor 02, Oktober 2018 Mikrosil halaman 139-150
Setiabudi, Andang Wirawan. 2008. Rasio Pajak Optimal dan Tingkat Pertumbuhan
Ekonomi Di Indonesia Tahun 1970-2008. Jurnal Akuntansi, 10 (2), 151-179
Siahaan, G. 2020. Strategi Pemerintah dalam Mencapai Target Penerimaan Pajak pada
Masa Pandemi COVID-19.
https://www.pajakku.com/read/5ea6455620249840da3c2340/Strategi-
Pemerintah-dalam-Mencapai-Target-Penerimaan-Pajak-pada-Masa-Pandemi-
COVID-19 (diakses pada tanggal 27 September 2020 pukul 13.32 WIB)
Suandy, Erly. 2016. Perencanaan Pajak Edisi 6. Jakarta: Penerbit Salemba
Supriono, Fendi. 2015. Implementasi Undang-Undang Yayasan dalam Mencapai Maksud
dan Tujuan Yayasan. Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion Edisi 1, Volume 3, tahun
2015
Tim Edukasi Perpajakan Direktorat Jenderal Pajak. 2016. Materi Terbuka Kesadaran
Pajak untuk Perguruan Tinggi. Kementrian Kuangan Republik Indonesia:
Direktorat Jenderal Pajak
Winata, F. 2014. Pengaruh Corporate Governance Terhadap Tax Avoidance Pada
Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2013. Tax & Accounting
Review Vol. 4, No 1, halaman 1-11
Wisanggeni, Irwan dan Michell Suharti. 2017 Manajemen Perpajakan Taat Pajak dengan
Efisien. Jakarta : Mitra Wacana Media
Zain, M. 2003. Manajemen Perpajakan. Jakarta: Salemba Empat

Anda mungkin juga menyukai