Anda di halaman 1dari 59

1

BAGIAN III

PAJAK PENGHASILAN (UMUM)

A. PENDAHULUAN

Pajak Penghasilan merupakan pajak yang dikenakan terhadap Subyek Pajak atas penghasilan
yang diterima atau diperolehnya dalam satu tahun pajak. Subyek Pajak tersebut dikenakan pajak apabila
menerima atau memperoleh penghasilan. Subyek Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan
dalam Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia disebut Wajib Pajak. Dengan perkataan lain, Wajib
Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subyektif danobyektif. Wajib
Pajak dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh selama satu tahun pajak atau dapat
pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subyek-nya
dimulai atau berakhir dalam tahun pajak. Yang dimaksud dengan tahun pajak dalam Undang-undang
Pajak Penghasilan Indonesia adalah tahun takwim, namun Wajib Pajak dapat menggunakan tahun buku
yang tidak sama dengan tahun takwim, sepanjang tahun buku tersebut meliputi waktu 12 (dua belas)
bulan

Pengertian Subyek Pajak meliputi orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu
kesatuan, badan, dan bentuk usaha tetap.Subyek pajak dapat dibedakan antara Subyek Pajak dalam
negeri dan Subyek Pajak luar negeri. Subyek Pajak dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah
menerima atau memperoleh penghasilan, sedangkan Subyek Pajak luar negeri sekaligus menjadi Wajib
Pajak, sehubungan dengan penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan di Indonesia atau
diperoleh melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business)
yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesian dan peralatan. Tempat
Usaha tersebut bersifat permanent dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia.

Sesuai dengan lelaziman internasional, badan perwakilan negara asing beserta pejabat-pejabat
perwakilan diplomatic, konsulat dan pejabat-pejabat lainnya, dikecualikan sebagai sebagai Subyek
Pajak di tempat mereka mewakili negaranya. Pengecualian tersebut tidak berlaku apabila mereka
memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya atau mereka adalah warga Negara Indoensia.

Pajak Penghasilan menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas,
yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan
Wajib Pajak tersebut. Pengertian penghasilan dalam Undang-Undang ini tidak memperhatikan adanya
penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai
kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah
untuk kegiatan rutin dan pembangunan
2

Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan
dapat dikelompokkan menjadi: penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan sebagainya, penghasilan
dari usaha dan kegiatan, penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak,
seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan
untuk usaha, danpenghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.

Bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek pajak sepanjang
diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan
penguasaan di antara pihakpihak yang bersangkutan. Zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak
serta sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama lainnya yang diakui di Indonesia
yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima
oleh penerima sumbangan yang berhak diperlakukan sama seperti bantuan atau sumbangan. Yang
dimaksud dengan zakat adalah zakat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai zakat

Pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak dapat dibedakan antara pengeluaran
yang boleh dan tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan
dari penghasilan bruto adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan
untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan. Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan
dari penghasilan bruto meliputi pengeluaran yang sifatnya adalah pemakaian penghasilan, atau yang
jumlahnya melebihi kewajaran.

Beban-beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dapat dibagi dalam 2 (dua)
golongan, yaitu beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun dan
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun. Beban yang mempunyai masa manfaat tidak
lebih dari 1 (satu) tahun merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya
administrasi dan bunga, biaya rutin pengolahan limbah dan sebagainya, sedangkan pengeluaran yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau
melalui amortisasi. Di samping itu, apabila dalam suatu tahun pajak didapat kerugian karena penjualan
harta atau karena selisih kurs, kerugian-kerugian tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto

Informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak sangat penting untuk dapat
mengenakan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak. Untuk dapat
menyajikan informasi dimaksud, Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan. Namun, disadari
bahwa tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan. Semua Wajib Pajak badan dan
bentuk usaha tetap diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Wajib Pajak orang pribadi yang
menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran bruto tertentu tidak
diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan. Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung
besarnya penghasilan neto bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan
bebas dengan peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma penghitungan

Penghasilan kena Pajak merupakan dasar penghitungan untuk menentukan besarnya Pajak
Penghasilan Terutang. Bagi Wajib Pajak dalam negeri pada dasarnya terdapat dua cara untuk
menentukan besarnya Pajak Penghasilan Kena Pajak, yaitu penghitungan dengan cara biasa daan
penghitungan dengan menggunakan Norma Penghitungan . Sedangkan bagi Wajib Pajak luar negeri
penentuan besarnya Penghasilan Kena Pajak dibedakan antara Wajib Pajak luar negeriyang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dan Wajib
Pajak luar negeri lainnya
3

Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, kepadanya
diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak berdasarkan ketentuan pasal 7 Undang-
undang nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-undang nomor 36 Tahun 2008. Untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak dari
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, penghasilan netonya dikurangi dengan jumlah Penghasilan
Tidak Kena Pajak. Di samping untuk dirinya, kepada Wajib Pajak yang sudah kawin diberikan
tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Bagi Wajib Pajak yang isterinya menerima atau memperoleh
penghasilan yang digabung dengan penghasilannya, Wajib Pajak tersebut mendapat tambahan
Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk seorang isteri Wajib Pajak yang mempunyai anggota keluarga
sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus yang menjadi tanggungan sepenuhnya, misalnya
orang tua, mertua, anak kandung, atau anak angkat diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak
untuk paling banyak 3 (tiga) orang. Yang dimaksud dengan anggota keluarga yang menjadi tanggungan
sepenuhnya adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya
ditanggung oleh Wajib Pajak.

Untuk lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak, sistem self assessment tetap
dipertahankan dan diperbaiki. Perbaikan terutama dilakukan pada sistem pelaporan dan tata cara
pembayaran pajak dalam tahun berjalan agar tidak mengganggu likuiditas Wajib Pajak dan lebih sesuai
dengan perkiraan pajak yang akan terutang. Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha
atau pekerjaan bebas, kemudahan yang diberikan berupa peningkatan batas peredaran bruto untuk dapat
menggunakan norma penghitungan penghasilan neto. Peningkatan batas peredaran bruto untuk
menggunakan norma ini sejalan dengan realitas dunia usaha saat ini yang makin berkembang tanpa
melupakan usaha dan pembinaan Wajib Pajak agar dapat melaksanakan pembukuan dengan tertib dan
taat asas.

Atas penghasilan-penghasilan tertentu dikenakan Pajak Penghasilan yang perlu diberikan


perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya. Perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis
penghasilan tersebut termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau
pemungutan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam rangka meningkatkan daya saing dengan negera-negara lain, mengedepankan prinsip
keadilan dan netralitas dalam penetapan tarif, dan memberikan dorongan bagi berkembangnya usaha-
usaha kecil, struktur tarif pajak yang berlaku juga perlu diubah dan disederhanakan yang meliputi
penurunan tarif secara bertahap, terencana, pembedaan tarif, serta penyederhanaan lapisan yang
dimaksudkan untuk memberikan beban pajak yang lebih proporsional bagi tiap-tiap golongan Wajib
Pajak tersebut;

Dengan makin berkembangnya ekonomi dan perdagangan internasional sejalan dengan era
globalisasi dapat terjadi bahwa Wajib Pajak dalam negeri menanamkan modalnya di luar negeri. Untuk
mengurangi kemungkinan penghindaran pajak, terhadap penanaman modal di luar negeri selain pada
badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, Menteri Keuangan berwenang untuk menentukan
saat diperolehnya dividen.

Pada prinsipnya pelunasan Pajak Penghasilan oleh Wajib Pajak dalam Tahun berjalan dapat
dikelompokan menjadi :

a.Pelunasan Pajak Penghasilan melalui Pemotongan pajak oleh pihak lain, yaitu dalam hal :
Diterima atau diperoleh penghasilan dari pekerjaan, jasa atau kegiatan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 21;
4

Diterima atau diperoleh penghasilan dari modal, jasa atau kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud
dalam pasal 23;
Diterima atau diperoleh penghasilan oleh Wajib Pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26;
b.Pelunasan Pajak Penghasilan melalui pemungutan pajak oleh bendaharawan pemerintah sehubungan
dengan pembayaran atas penyerahan barang, dan badan-badan tertentu sehubungan dengan kegiatan
di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 22;
c.Pelunasan Pajak Penghasilan melalui pembayaran pajak di luar negeri atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh dari luar negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 24;
d.Pelunasan Pajak Penghasilan melalui pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri, sebagaimana
dimaksud dalam pasal 25;
e.Pelunasan Pajak Penghasilan melalui pembayaran pajak Pelunasan Pajak Penghasilan, atas
penghasilan-penghasilan tertentu sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (2).

Pelunasan Pajak Penghasilan oleh Wajib Pajak dalam negeri, termasuk Bentuk Usaha tetap, dalam
tahun berjalan merupakan angsuran pembayaran pajak yang nantinya dapat diperhitungkan dengan cara
mengkreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan. Namun
demikian, dengan pertimbangan kemudahan, kesederhanaan, kepastian, pengenaan pajak yang tepat
waktu, dan pertimbangan lainnya, maka pelunasan pajak dalam tahun berjalan ada yang ditetapkan
bersifat final atas jenis-jenis penghasilan tertentu seperti dimaksud dalam pasal 4 ayat (2), Pasal 21,
Pasal 22, dan Pasal 23. Pajak Penghasilan yang bersifat final tersebut tidak dapat dikreditkan dengan
Pajak Penghasilan yang terutang pada akhir tahun pajak

Pada prinsipnya Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh penghasilan yang diterima
atau diperoleh baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Untuk meringankan beban pajak ganda
yang dapat terjadi karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar
negeri, maka pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas
seluruh penghasilan wajib pajak dalam negeri. Besarnya kredit pajak tersebut adalah sebesar Pajak
Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri, tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak
terutang berdasarkan pasal 24 UU nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU
nomor 36 Tahun 2008.

Peraturan perundang-undangan perpajakan yang mengatur tentang Pajak Penghasilan yang berlaku sejak 1
Januari 1984 adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983. Sebelum tahun 1983, pengenaan pajak yang
berhubungan dengan penghasilan diistilahkan dengan nama: Pajak Perseroan ( Ord, PPs 1925), Pajak
Kekayaan (Stb. 1932), Pajak Pendapatan (Ord. PPd 1944), Pajak Penjualan (UU No. 19 Drt. Th. 1951).
Dengan makin pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil pembangunan nasional dan
globalisasi serta reformasi di berbagai bidang, maka perlu dilakukan perubahan undang- undang tersebut guna
meniagkatkan fungsinya dan peranannya dalam rangka mendukungkebijakan pembangunan nasional khususnya
di bidang ekonomi. Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan telah beberapa kali diubah
dan disempurnakan, yaitu dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, Undang-Undang Nomor 10 Tahun
5

1994, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 dan yang terakhir adalah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Perubahan Undang-undang Pajak Penghasilan tersebut dilakukan dengan tetap berpegang pada
prinsip-prinsip perpajakan yang dianut secara universal, yaitu keadilan, kemudahan/efisiensi administrasi dan
produktivitas penerimaan negara serta tetap mempertahankan sistem self assessment. Oleh karena itu
tujuan dan arah penyempurnaan Undang-undang Pajak Penghasilan tersebut adalah sebagai berikut:

1. lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak;


2. lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak;
3. lebih memberikan kesederhanaan administrasi perpajakan;
4. lebih memberikan kepastian hukum, konsistensi, dan transparansi;
5. lebih nienunjang kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan daya saing
dalam menarik investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun
penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah
tertentu yang mendapat prioritas.

Pokok-pokok perubahan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasiian
menjadi Undang-Undang Nomor 1.7 Tahun 2000 adalah sebagai berikut:
1. dalam rangka meningkatkan keadilan pengenaan pajak maka dilakukan perluasan
subjek dan Objek Pajak dalam hal-hal tertentu dan pembatasan pengecualian atau
pembebasan pajak dalam hal lainnya;
2. dalam rangka meningkatkan daya saing dengan negera-negara lain, mengedepankan
prinsip keadilan dan netralitas dalam penetapan tarif, dan memberikan dorongan bagi
berkembangnya usaha-usaha kecil, struktur tarif pajak yang berlaku juga perlu diubah dan
disederhanakan yang meliputi penurunan tarif secara bertahap, terencana, pembedaan
tarif, serta penyederhanaan lapisan yang dimaksudkan untuk memberikan beban pajak
yang lebih proporsional bagi tiap-tiap golongan Wajib Pajak tersebut; dan
3. untuk lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak, sistern self assessment tetap
dipertahankan dan diperbaiki. Perbaikan terutama dilakukan pada sistem pelaporan
dan tata cara pembayaran pajak dalam tahun berjalan agar tidak mengganggu
likuiditas Wajib Pajak dan lebih sesuai dengan perkiraan pajak yang akan terutang.
Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas,
kemudahan yang diberikan berupa peningkatan batas peredaran bruto untuk dapat
menggunakan norma penghitungan penghasilan neto. Peningkatan batas peredaran
bruto untuk menggunakan norma ini sejalan dengan realitas dunia usaha saat ini yang
makin berkembang tanpa melupakan usaha dan pembinaan Wajib Pajak agar dapat
melaksanakan pembukuan dengan tertib dan taat asas.

B. SUBJEK PAJAK

Pajak Penghasilan merupakan pajak yang dikenakan terhadap Subyek Pajak atas penghasilan yang
diterima atau diperolehnya dalam satu tahun pajak. Subyek Pajak tersebut dikenakan pajak apabila
menerima atau memperoleh penghasilan. Subyek Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan,
dalam Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia disebut Wajib Pajak.

Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan . Termasuk di dalam
6

pengertian Wajib Pajak adalah pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu. Wajib Pajak dikenakan
pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenakan
pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subyek-nya dimulai atau
berakhir dalam tahun pajak. Yang dimaksud dengan tahun pajak dalam Undang-undang Pajak
Penghasilan Indonesia adalah tahun takwim, namun Wajib Pajak dapat menggunakan tahun buku yang
tidak sama dengan tahun takwim, sepanjang tahun buku tersebut meliputi waktu 12 (dua belas) bulan

1. Yang Menjadi Subjek Pajak, Pajak Penghasilan


Pengertian Subyek Pajak dalam UU Pajak Penghasilan Indonesia meliputi orang pribadi, warisan
yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, badan, dan bentuk usaha tetap yaitu sebagai berikut :
a.Orang pribadi;
Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun
di luar Indonesia
b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subyek pajak pengganti,
menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi
sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang
berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.
c. Badan
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik
daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi
lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk
usaha tetap. Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah merupakan subjek pajak
tanpa memperhatikan nama dan bentuknya sehingga setiap unit tertentu dari badan
Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh
penghasilan merupakan subjek pajak. Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi,
persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang
sama

d. Bentuk Usaha Tetap


Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of
business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin,
peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau peralatan otomatis (automated
equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik
untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet. Tempat usaha tersebut bersifat permanen
dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang
tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia.
Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang
kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang
tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang
tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang
pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia
menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen
7

atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan
perusahaannya sendiri.
Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap
mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima
pembayaran premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan
atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa
yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah
bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di Indonesia
Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan
dengan subjek pajak badan
Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. gudang;
h. ruang untuk promosi dan penjualan;
i. pertambangan dan penggalian sumber alam;
j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
l. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
m. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan
lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
n. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
o. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di
Indonesia; dan
1. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha
melalui internet.

2. Subyek Pajak Dalam Negeri dan Subyek Pajak Luar Negeri

Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.
a. Subjek pajak dalam negeri adalah:
1. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia
lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan,
atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat
untuk bertempat tinggal di Indonesia;
2. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari
badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
a. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau
8

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;


c. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
dan
d. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan
3. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
b. Subjek pajak luar negeri adalah:
1. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia,
yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;
dan
2. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia,
yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri terletak
dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:
a. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak hanya
atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia;
b. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum,
sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif
pajak sepadan; dan
c. Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak,
sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat
final.

Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan
kewajiban perpajakan Wajib Pajak badan dalam negeri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Pajak Penghasilan dan Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara
perpajakanPerbedaan yang penting antara wajib pajak dalam negeri dan wajib pajak luar negeri
terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya,

3. Penentuan Saat Mulai dan Berakhirnya Kewajiban Pajak Subyektif


Pajak Penghasilan merupakan jenis pajak subyektif yang kewajiban pajaknya melekat pada subyek
pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan
kepada subyek pajak lainnya. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan kepastian hokum,
penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subyek tif menjadi penting. Saat mulai dan
berakhirnya kewajiban pajak subyektif tersebut ditentukan sebagai berikut :
Saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subyektif diatur dalam pasal 2A UU Pajak Penghasilan
sebagai mana terlihat dalam tabel berikut :
Saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif untuk setiap Subjek Pajak diuraikan dalam
9

tabel berikut ini.

Kewajiban Pajak Subjektif Kewajiban Pajak Subjektif


Jenis Subjek Pajak
Dimulai Berakhir
Dalam Negeri  Saat dilahirkan  Saat meninggal
Orang Pribadi  Saat berada di Indonesia  Saat meninggalkan
atau berniat bertempat Indonesia untuk selama-
tinggal di Indonesia lamanya
10

Kewajiban Pajak Subjektif Kewajiban Pajak Subjektif


Jenis Subjek Pajak
Dimulai Berakhir
* Saat didirikan atau bertempat • Saat dibubarkan atau tidak
Dalam Negeri-Badan kedudukan di Indonesia lagi bertempat kedudukan di
Indonesia
• Saat menjalankan usaha atau • Saat tidak lagi menjalankan
Luar Negeri Melalui melakukan kegiatan melalui BUT di usaha atau melakukan kegiatan
BUT Indonesia melalui BUT di Indonesia

• Saat menerima atau memperoleh • Saat tidak lagi menerima atau


Luar Negeri Tidak penghasilan dari Indonesia memperoleh penghasilan dari
Melalui BUT Indonesia
Warisan Belum • Saat timbulnya warisan yang belum • Saat warisan selesai
Terbagi terbagi dibagikan

Apabila kewajiban pajak subjektif orang pribadi yang bertempat tinggal atau yang berada di Indonesia
hanya meliputi sebagian dari tahun pajak, maka bagian tahun pajak tersebut menggantikan tahun pajak.

4. Tidak termasuk subjek pajak

Yang tidak termasuk subjek pajak adalah:


1. kantor perwakilan negara asing;
2. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara
asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan
bertempat tinggal bersamasama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan
di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau
pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
3. organisasi-organisasi internasional dengan syarat:
a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan
b. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari
iuran para anggota;
4. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c,
dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan,
atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
5. Organisasi internasional yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

C. OBYEK , OBYEK BERSIFAT FINAL DAN BUKAN OBYEK PAJAK

1. Obyek Pajak
Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun
dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib
Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
11

Pajak Penghasilan menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang
luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau
menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut. Pengertian penghasilan dalam Undang-Undang ini
tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan
kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut
bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan
pembangunan

Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan
dapat dikelompokkan menjadi:
a. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji,
honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan
sebagainya;
b. Penghasilan dari usaha dan kegiatan;
c. Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti bunga,
dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan
untuk usaha; dan
d. Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.

Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula
ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak. Karena Undang-Undang ini menganut
pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh
dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan
demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, kerugian
tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi horizontal), kecuali kerugian
yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenai pajak
dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari objek pajak, maka penghasilan tersebut
tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lainyang dikenai tarif umum. contoh penghasilan
yang disebut dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memperjelas pengertian tentang
penghasilan yang luas yang tidak terbatas pada contoh-contoh dimaksud.

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang nomor 36 Tahun 2008,
yang termasuk di dalam pengertian Obyek Pajak Penghasilan, antara lain adalah :
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-
undang ini;
b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti upah, gaji, premi
asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan
dalam bentuk lainnya adalah Objek Pajak. Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya
termasuk imbalan dalam bentuk natura yang pada hakikatnya merupakan penghasilan
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1) keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
12

2) keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota
yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
3) keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
4) keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan,
kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,
koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang
tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di
antara pihakpihak yang bersangkutan; dan
5) keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan;

e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak;
Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat menghitung
Penghasilan Kena Pajak merupakan objek pajak. Sebagai contoh, Pajak Bumi dan
Bangunan yang sudah dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab
dikembalikan, maka jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan.
f.Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang;
Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya sedangkan
diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut
merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan
penghasilan bagi yang membeli obligasi

g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis
asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi.
Termasuk dalam pengertian dividen adalah:
1) pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan
dalam bentuk apapun;
2) pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor;
3) pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus
yang berasal dari kapitalisasi agio saham;
4) pembagian laba dalam bentuk saham;
5) pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;
6) jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh
pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang
bersangkutan;
7) pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika
dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran
kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan
secara sah;
8) pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima
sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut;
13

9) bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;


10) bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
11) pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi;
12) pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang
dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara
terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh
modalnya dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang
melebihi kewajaran. Apabila terjadi hal yang demikian maka selisih lebih antara bunga
yang dibayarkan dan tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai
dividen. Bagian bunga yang diperlakukan sebagai dividen tersebut tidak boleh
dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan

h. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak;


Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau
perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan
atas:
a. penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau
karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek
dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;
b. penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial,
atau ilmiah;
c. pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau
komersial;
d. pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau
hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak
menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian
pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3, berupa:
1) penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau
keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat
optik, atau teknologi yang serupa;
2) penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau
keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui
satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
3) penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio
komunikasi;
e. penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film
atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan
f. pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau
pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana
tersebut di atas.
i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama
dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak atau harta tak
gerak, misalnya sewa mobil, sewa kantor, sewa rumah, dan sewa gudang.

j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;


Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya "alimentasi" atau tunjangan seumur
hidup yang dibayar secara berulang-ulang dalam waktu tertentu.
14

k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan bagi
pihak yang semula berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibebankan
sebagai biaya. Namun, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa
pembebasan utang debitur kecil misalnya Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera
(Kukesra), Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), kredit untuk
perumahan sangat sederhana, serta kredit kecil lainnya sampai dengan jumlah tertentu
dikecualikan sebagai objek pajak.

l. Keuntungan selisih kurs mata uang asing;


Keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan
sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar
Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.

m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;


Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
merupakan penghasilan
n. Premi asuransi;
o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
Tambahan kekayaan neto pada hakekatnya merupakan akumulasi penghasilan baik
yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak serta yang belum dikenakan
pajak. Apabila diketahui adanya tambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi
penghasilan yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak, maka tambahan
kekayaan neto tersebut merupakan penghasilan.

q. Penghasilan dari usaha berbasis syariah;


Kegiatan usaha berbasis syariah memiliki landasan filosofi yang berbeda dengan
kegiatan usaha yang bersifat konvensional. Namun, penghasilan yang diterima atau
diperoleh dari kegiatan usaha berbasis syariah tersebut tetap merupakan objek pajak
menurut Undang-Undang ini.
r. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
s. Surplus Bank Indonesia.

Mengenai perlakuan PPh terhadap hadiah dan penghargaan agar tidak terdapat
keragu-raguan dalam pelaksanaannya telah dikeluarkan surat surat edaran /keputusan
Direktur Jenderal Pajak dan yang terakhir, Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor
: KEP. 395/PJ. /2000 tanggal 13 Juni 2001 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan atas
Hadiah dan Penghargaan yang mengatur hal hal sebagai berikut:
(1). Pengertian
Hadiah undian adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan
melalui undian;
Hadiah atau penghargaan perlombaan adalah hadiah atau penghargaan yang diberikan
melalui suatu perlombaan atau adu ketangkasan.
Hadiah sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan lainnya adalah hadiah
15

dengan narna dan dalam bentuk apapun yang diberikan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh penerima hadiah.
Penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan prestasi dalam
kegiatan tertentu.
(2). Tarif dan dasar pengenaan
a. Hadiah undian dikenakan PPh sebesar 25% dari jumlah penghasilan bruto dan
bersifat final
b. Hadiah atau penghargaan perlombaan, penghargaan, dan hadiah sehubungan
dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan lainnya dikenakan Pajak Penghasilan dengan
ketentuan sebagai berikut :
 dalam hal penerima penghasilan adalah orang pribadi Wajib Pajak dalam
negeri, dikenakan PPh pasal 21 sebesar tarif pasal 17 Undang undang Pajak
Penghasilan dari jumlah penghasilan bruto;
 dalam hal penerima penghasilan adalah Wajib Pajak luar negeri selain BUT,
dikenakan PPh pasal 26 sebesar 20% dari jumlah bruto dengan
memperhatikan ketentuan dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda;
 dalam hal penerima penghasilan adalah Wajib Pajak badan termasuk BUT,
dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan pasal 23 ayat (1) huruf a. 4
Undang-undang Pajak Penghasilan, sebesar 15% dari jumlah penghasilan
bruto.

(3).Tidak termasuk pengertian hadiah dan penghargaan yang dikenakan PPh adalah hadiah
langsung dalam penjualan barang atau jasa sepanjang diberikan kepada semua pembeli
atau konsumen akhir tanpa diundi dan hadiah tersebut diterima langsung oleh
konsumen akhir pada saat pembelian barang atau jasa.
Dengan dikeluarkannya ketentuan diatas surat Edaran nomor SE02/PJ. 33/1998 tanggal
16 Maret 1998 yang mengatur tentang Pengenaan PPh atas Hadiah dan Penghargaan
dinyatakan tidak berlaku lagi. Dalam SE-02/PJ. 33/1998 tersebut terdapat perlakuan
tarif PPh yang berbeda antara Hadiah dan penghargaan perlombaan dengan
penghargaan serta hadiah sehubungan dengan pekerjaan pemberian jasa, dan kegiatan
lainnya

 Untuk hadiah dan penghargaan perlombaan, dalam hal penerimanya adalah orang
pribadi Wajib Pajak dalam negeri, dikenakan PPh pasal 21 sebesar 15% dari
jumlah bruto yang bersifat final;
 Untuk penghargaan serta hadiah sehubungan dengan pekerjaan pemberian jasa, dan
kegiatan lainnya, dalam hal penerimanya adalah orang pribadi Wajib Pajak dalam
negeri, dikenakan PPh pasal 21 dengan tarif berdasarkan pasal 17 Undang-undang
Pajak Penghasilan.

2. Obyek Pajak Bersifat Final


Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang
negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi
orang pribadi;
b. penghasilan berupa hadiah undian;
c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan
modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
16

d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan

e. penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah
Jenis Jenis Penghasilan Yang Pengenaan Pajaknya Bersifat Final
Dalam Undang-undang Pajak Penghasilan, pasal pasal yang mengatur mengenai jenis
penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final terdapat dalam Pasal 4 ayat (2),
pasal 8 ayat (1) pasal 15, pasal 19 ayat (1), pasal 22 dan pasal 23 ayat (4).
Jenis penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final dapat dilihat pada table
dibawah ini
No Perihal Tarip Keterangan Dasar Hukum
1. Bunga 20% Jumlah bruto bagi Wajib Pasal 4 ayat (2) PP
Deposito/Tabungan dan Pajak Dalam Negeri No. 131/2000
Diskonto Sertifikat Bank 20% Umlah bruto bagi Wajib 51/KMK. 04/01
Indonesia (SBI) Pajak Luar negeri atau Kep. 217/PJ/01
tarif berdasarkan
perjanjian penghindaran
pajak berganda yang
berlaku (P3B)
2. Hadiah Undian 25% Jumlah bruto nilai hadiah Pasal 4 ayat (2) PP
yang dibayarkan atau nilai No. 132/2000
pasar hadiah berupa
natura atau kenikmatan.
3. Bunga Simpanan 15% Seluruh bunga yang Pasal 23 ayat (4) g
Anggota Koperasi diterima, tanpa dikurangi 522/KMK. 04/1998
batas bunga simpanan SE-43/PJ. 43/-1998
yang tidak dipotong PPh
sebesar Rp. 240.000,00

4. Penghasilan Bunga dan 20% Jumlah bruto bunga sesuai Psal 4 ayat (2) PP
Diskonto dari Obligasi dengan masa kemelikan No. 6 tahun 2002
yang diperdagangkan obligasi. 121/KMK. 03/2002
dan/atau dilaporkan 20% Dari selisih lebih harga
perdagangannya di jual atau nilai nominal
Bursa Efek diatas harga perolehan
obligasi tidak termasuk
20% bunga berjalan
Dari selisih lebih harga
jual atau nilai nominal
diatas harga perolehan
obligasi
5. Penjualan Saham Pendiri 0, 1% Jumlah bruto nilai Psal 4 ayat (2) PPNo.
dan bukan Pendiri di transaksi penjualan 41/1994
Bursa Efek saham. PPNo. 14/1997
Tambahan PPh bagi 282/KMK. 04/1997
pemilik saham pendiri, SE-06/PJ. 4-1997
dari nilai saham pada saat
penawaran umum perdana
17

6. Penyalur/Dealer/Agen 0, 3% Penjualan Premium/Solar/ Pasal 22 254/KMK.


Produk Pertamina dan Premix dari SPBU Swasta 03/2001
Premix 0, Penjualan Premium/Solar/
25% Premix dari SPBU 392/KMK. 03/01
Pertamina Penjualan
0, 3% minyak Tanah
0, 3% Penjualan Gas LPG
0, 3% Penjualan Pelumas

7. Penghasilan Penyalur/ 0, Harga bandrol penjualan Pasal 22 254/KMk.


Distribusi Rokok 15% rokok didalam negeri 03/2001
392/KMK. 03/2001
KEP-592/PJ. /2001
8. Penghasilan dari 5% Jumlah bruto nilai Psal 4 ayat (2) PPNo.
Pengalihan Hak Atas penjualan/pengalihan 27/1996 392/KMK.
Tanah dan/atau tanah dan/atau bangunan 04/-1996
Bangunan lainnya PPNo 79/199
(Bagi WP Badan, selain 566/KMK. 04/-1999
Yayasan dan sejenisnya-
tidak bersifat final)
9. Penghasilan yang 10% Jumlah bruto nilai Psal 4 ayat (2) PP
diterima atau diperoleh persewaan tanah dan/atau no. 5 Tahun 2002
dari Persewaan Tanah bangunan baik yang 120/KMK. 03/2002
dan/atau Bangunan diterima/diperoleh WP KEP-227/PJ/2002
Orang Pribadi maupun
WP Badan.
10. Usaha Jasa Kontruksi 2% Atas imbalan jasa Psal 4 ayat (2)
yang memenuhi pelaksanaan kontruksi. PP No 140/2000
kualifikasi usaha kecil 4% Atas imbalan jasa 559/KMK. 04/2000
dan nilai pengadaan s/d perencanaan Kontruksi
satu miliar Rp 4% Atas imbalan jasa
pengawasan konstruksi
11. Uang pesangon, uang 5% Penghasilan bruto di atas Psal 4 ayat (2)
tebusan pensiun yang Rp. 25 juta s/d Rp. 50 PP No. 149/2000
dibayarkan oleh dana juta Kep. 545/PJ. /2000
pensiun yang Penghasilan bruto diatas
pendiriannya telah Rp. 50 juta s. d Rp. 100
disahkan oleh Menteri juta
Keuangan; Penghasilan bruto diatas
Tunjangan hari tua atau Rp. 100 juta s. d Rp. 200
Jaminan Hari Tua yang juta
dibayarkan sekaligus Dikecualikan dari
oleh Badan pemotongan atas jumlah
Penyelenggara penghasilan bruto Rp. 25
Pensiun/Jaminan Sosial juta atau kurang
Tenaga Kerja
12 Penghasilan Wajib Pajak 1, 2% Peredaran bruto Pasal 15. 416/KMK.
yang bergerak dibidang 04/1996
usaha pelayaran dalam
18

negeri
13 Penghasilan Wajib Pajak 2, 64% Peredaran bruto Pasal 15. 417/KMK.
yang bergerak di bidang 04/1996
usaha pelayaran atau
penerbangan luar negeri
14 Penghasilan Wajib Pajak 0, Nilai ekspor bruto Pasal 15. 634/KMK.
LN yang mempunyai 44% 04/1994
kantor perwakilan Kep-667/PJ. /2001
dagang di Indonesia
berdasarkan Ps. 15 UU
PPh
15 Honorarium dan imbalan 15% Penghasilan bruto Pasal 21 ay (1)
lain dengan nama PP 45 tahun 1994
apapun atas beban Kep-545/PJ. /2000
APBN/APBD yang
diterima Pejabat Negara,
PNS, anggota TNI dan
POLRI dan pensiunan
16 Nilai bangunan yang 5% Nilai penyerahan Pasal 15. 249/KMK.
diterima dalam rangka bangunan 04/1995
Bangun Guna Serah SE-38/PJ. 4/1995
sehubungan dengan
berakhirnya masa
perjanjian
17 Penjualan Saham Milik 0, 1% Jumlah bruto nilai Psal 4 ayat (2) PP
Perusahaan Modal transaksi penjualan saham No. 4/1995.
Ventura atau pengalihan 250/KMK. 04/1995
penyertaan modal SE-33/PJ. 4-1995
18 Selisih penilaian kembali 10% Selisih lebih penilaian Psl 19 ayat 1)
aktiva tetap kembali setelah dikurangi 486/KMK. 03-/2002
dengan kompensasi Kep. 519/PJ/02 SE
kerugian fiskal 03/PJ. /02

3. Penghasilan TidakTermasuk Objek Pajak


.
Berdasarkan Pasal 4 ayat 3 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, terhadap penghasilan-1 penghasilan
tertentu yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, dikecualikan dari I pengenaan Pajak Penghasilan
(bukan merupakan Objek Pajak). Penghasilan yang tidal | termasuk Objek Pajak menurut ketentuan
tersebut adalah:
1. a. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat
yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima
oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh
penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah;
b.harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan
19

keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di
antara pihak-pihakyang bersangkutan;
Bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima bukan merupakan Objek Pajak sepanjang
diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan
penguasaan di antara pihakpihak yang bersangkutan. Zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak
serta sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama lainnya yang diakui di Indonesia
yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang
diterima oleh penerima sumbangan yang berhak diperlakukan sama seperti bantuan atau sumbangan.
Hubungan usaha antara pihak yang memberi dan yang menerima dapat terjadi, misalnya PT A
sebagai produsen suatu jenis barang yang bahan baku utamanya diproduksi oleh PT B. Apabila PT B
memberikan sumbangan bahan baku kepada PT A, sumbangan bahan baku yang diterima oleh PT A
merupakan Objek Pajak.
Harta hibahan bagi pihak yang menerima bukan merupakan Objek Pajak apabila diterima oleh
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan, badan
pendidikan, atau badan sosial termasuk yayasan atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro
dan kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang diterima tidak dalam
rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan antara
pihak-pihak yang bersangkutan.
2. warisan;
3. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPh sebagai pengganti saham atau sebagai
pengganti penyertaan modal;
4. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak
atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak
yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma
penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UU
PPh;
Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa
merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima bukan dalam bentuk uang. Penggantian
atau imbalan dalam bentuk natura seperti beras, gula, dan sebagainya, dan imbalan dalam bentuk
kenikmatan, seperti penggunaan mobil, rumah, dan fasilitas pengobatan bukan merupakan Objek
Pajak. Apabila yang memberi imbalan berupa natura atau kenikmatan tersebut bukan Wajib Pajak
atau Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan Wajib Pajak yang dikenai
Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemedprofit), imbalan dalam bentuk
natura atau kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerima atau memperolehnya.
Misalnya, seorang penduduk Indonesia menjadi pegawai pada suatu perwakilan diplomatik asing di
Jakarta. Pegawai tersebut memperoleh kenikmatan menempati rumah yang disewa oleh perwakilan
diplomatik tersebut atau kenikmatan-kenikmatan lainnya. Kenikmatan-kenikmatan tersebut
merupakan penghasilan bagi pegawai tersebut sebab perwakilan diplomatik yang bersangkutan
bukan merupakan Wajib Pajak.
5. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa;
Penggantian atau santunan yang diterima oleh orang pribadi dari perusahaan asuransi sehubungan
dengan polis asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, i asuransi dwiguna, dan
20

asuransi beasiswa, bukan merupakan Objek Pajak. Hal ini selaras dengan ketentuan dalam Pasal 9
ayat (1) huruf d, yaitu bahwa premi asuransi j yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi untuk
kepentingan dirinya tidak boleh j dikurangkan dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak.
6. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak
dalam negeri, koperasi, badan usaba milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari
penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan j bertempat kedudukan di
Indonesia dengan syarat:
a. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
b. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah
yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen
paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;
" Badan usaha milik negara" dan "badan usaha milik daerah" antara lain, adalah perusahaan
perseroan (Persero), bank pemerintah, dan bank pembangunan daerah, I Dalam hal penerima
dividen atau bagian laba adalah Wajib Pajak selain badan-badan j tersebut di atas, seperti orang
pribadi baik dalam negeri maupun luar negeri, firma, j perseroan komanditer, yayasan dan
organisasi sejenis dan sebagainya, penghasilan berupa dividen atau bagian laba tersebut tetap
merupakan Objek Pajak.
7. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri
Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
Dikecualikan dari Objek Pajak adalah iuran yang diterima dari peserta pensiun, baik I atas beban
sendiri maupun yang ditanggung pemberi kerja. Pada dasarnya iuran yang diterima oleh dana pensiun
tersebut merupakan dana milik peserta pensiun, yang akan dibayarkan kembali kepada mereka pada
waktunya. Pengenaan pajak atas iuran tersebut berarti mengurangi hak para peserta pensiun, dan oleh
karena itu iuran tersebut dikecualikan sebagai Objek Pajak.
8. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud
pada angka 7, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan;
Pengecualian ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari
Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari Objek Pajak dalam hal ini adalah penghasilan dari modal yang
ditanamkan di bidang-bidang tertentu berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan. Penanaman modal
oleh dana pensiun dimaksudkan untuk pengembangan dan merupakan dana untuk pembayaran kembali
kepada peserta pensiun di kemudian hari, sehingga penanaman modal tersebut perlu diarahkan pada
bidang-bidang yang tidak bersifat spekulatif atau yang berisiko tinggi.
9. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya
tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk
pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
10. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari
badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia,
dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
a. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan
kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan; dan
b. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
Perusahaan modal ventura adalah suatu perusahaan yang kegiatan usahanya membiayai badan usaha
(sebagai pasangan usaha) dalam bentuk penyertaan modal untuk suatu jangka waktu tertentu.
Berdasarkan ketentuan ini, bagian laba yang diterima atau diperoleh dari perusahaan pasangan usaha
tidak termasuk sebagai Objek Pajak, dengan syarat perusahaan pasangan usaha tersebut merupakan
21

perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dalam sektor-
sektor tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan saham perusahaan tersebut tidak
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia. Apabila pasangan usaha perusahaan modal ventura memenuhi
ketentuan ini, dividen yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura bukan merupakan
Objek Pajak. Agar kegiatan perusahaan modal ventura dapat diarahkan kepada sektor-sektor kegiatan
ekonomi yang memperoleh prioritas untuk dikembangkan, misalnya untuk meningkatkan ekspor non-
migas, usaha atau kegiatan dari perusahaan pasangan usaha tersebut diatur oleh Menteri Keuangan.
Mengingat perusahaan modal ventura merupakan alternatif pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal,
penyertaan modal yang akan dilakukan oleh perusahaan modal ventura diarahkan pada perusahaan-
perusahaan yang belum mempunyai akses ke bursa efek.
ll. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
12. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang
pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi
yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana
kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling
lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
Bahwa dalam rangka mendukung usaha peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui
pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan diperlukan sarana dan prasarana yang
memadai. Untuk itu dipandang perlu memberikan fasilitas perpajakan berupa pengecualian
pengenaan pajak atas sisa lebih yang diterima atau diperoleh sepanjang sisa lebih tersebut
ditanamkan kembali dalam bentuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan
dimaksud. Penanaman kembali sisa lebih dimaksud harus direalisasikan paling lama dalam
jangka waktu 4 (empat) tahun sejak sisa lebih tersebut diterima atau diperoleh. Untuk menjamin
tercapainya tujuan pemberian fasilitas ini, maka lembaga atau badan yang menyelenggarakan
pendidikan harus bersifat nirlaba. Pendidikan serta penelitian dan pengembangan yang
diselenggarakan bersifat terbuka kepada siapa saja dan telah mendapat pengesahan dari instansi
yang membidanginya.
13.bantuan atau santunanyang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib
Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
Bantuan atau santunan yang diberikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kepada Wajib
Pajak tertentu adalah bantuan sosial yang diberikan khusus kepada Wajib Pajak atau anggota
masyarakat yang tidak mampu atau sedang mendapat bencana alam atau tertimpa musibah.

D. OBJEK PAJAK PENGHASILAN BENTUK USAHA TETAP

1. Obyek BUT
Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Objek Pajak Bentuk Usaha Tetap adalah:
a. Penghasilan dari usaha atau kegiatan Bentuk Usaha Tetap tersebut dan dari harta yang
dimiliki atau dikuasai oleh Bentuk Usaha Tetap;
Penghasilan kantor pusat dari objek di atas berdasarkan pertimbangan logis bahwa I transaksi
antara kantor pusat denean perusahaan lain di Indonesia harus ada bantuan
Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. Ditinjau dari segi barang yang diperdagangkan atau jasa
yang diberikan tentu sama dengan barang atau jasa yang diberikan BUT. Dasar inilah yang sering
22

disebut dengan Force of Attraction Concept, dengan asumsi hukum yaitu apabila barang atau jasa
dalam transaksi yang diselenggarakan kantor pusat sama dengan transaksi yang diselenggarakan
BUT. Dengan demikian transaksi yang dilakukan langsung oleh kantor pusat BUT dianggap sebagai
penghasilan dari BUT.
b. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, dan pemberian
jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh
Bentuk Usaha Tetap di Indonesia;
Penghasilan kantor pusat yang berasal dari usaha atau kegiatan, penjualan barang dan pemberian
jasa, yang sejenis dengan yang dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap dianggap sebagai penghasilan
Bentuk Usaha Tetap, karena pada hakikatnya usaha atau kegiatan tersebut termasuk dalam ruang
lingkup usaha atau kegiatan dan dapat dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap. Usaha atau kegiatan
yang sejenis dengan usaha atau kegiatan Bentuk Usaha Tetap, misalnya terjadi apabila sebuah
bank di luar Indonesia yang mempunyai Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, memberikan pinjaman
secara langsung tanpa melalui Bentuk Usaha Tetapnya kepada perusahaan di Indonesia.
Penjualan barang yang sejenis dengan yang dijual oleh Bentuk Usaha Tetap, misalnya kantor
pusat di luar negeri yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia menjual produkyang sama
dengan produkyang dijual oleh Bentuk Usaha Tetap tersebut secara langsung tanpa melalui Bentuk
Usaha Tetapnya kepada pembeli di Indonesia.
Pemberian jasa oleh kantor pusat yang sejenis dengan jasa yang diberikan oleh Bentuk Usaha Tetap,
misalnya kantor pusat perusahaan konsultan di luar Indonesia memberikan konsultasi yang sama
dengan jenis jasa yang dilakukan Bentuk Usaha Tetap tersebut secara langsung tanpa melalui Bentuk
Usaha Tetapnya kepada klien di Indonesia.
c. Penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh
oleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara Bentuk Usaha Tetap
dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan tersebut.
Sebagai contoh, X Inc. menutup perjanjian lisensi dengan PT Y untuk mempergunakan merek
dagang X Inc. Atas penggunaan hak tersebut X Inc. menerima imbalan berupa royalti dari PT Y.
Sehubungan dengan perjanjian tersebut, X Inc. juga memberikan jasa manajemen kepada PT Y
melalui suatu Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, dalam rangka pemasaran produk PT Y yang
mempergunakan merek dagang tersebut. Dalam hal demikian, penggunaan merek dagang oleh
PT Y mempunyai hubungan efektif dengan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, dan oleh karena
itu penghasilan X Inc. yang berupa royalti tersebut diperlakukan sebagai penghasilan Bentuk
Usaha Tetap. Dengan demikian, dianggap sebagai penghasilan BUT asalkan terdapat hubungan
efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan termasuk juga
penghasilan yang dikenakan withholding berdasar pada PPh Pasal 26. Konsep hubungan efektif
ini berasal dari effectively connected income yang berasal dari undang- undang Pajak Domestik
Amerika Serikat (Internal Revenue Code). Undang-undang Pajak Penghasilan di Indonesia tidak
mempunyai ketentuan yang mengatur dalam hal sebagaimana menentukan suatu penghasilan
kantor pusat mempunyai hubungan | efektif dengan BUT di Indonesia,

2. Penentuan Laba Bentuk Usaha Tetap


Dalam menentukan besarnya laba suatu Bentuk Usaha Tetap, perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut:

a. Biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan,
penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau
yang dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, serta biaya-biaya yang berkenaan dengan
23

penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat,
sepanjang terdapat hubungan efektif I antara Bentuk Usaha Tetap dengan harta atau kegiatan yang
memberikan penghasilan ] tersebut, diperbolehkan untuk dibebankan sebagai biaya bagi Bentuk
Usaha Tetap.
b. Biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya
yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan Bentuk Usaha Tetap, yang besarnya ditetapkan
oleh Direktur Jenderal Pajak.
c. Pembayaran kepada kantor pusat yang tidak diperbolehkan dibebankan sebagai biaya
adalah:
i. royalti atau imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta, paten, atau hak-hak
lainnya;
ii. imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya;
iii. bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.
d. Pembayaran sebagaimana tersebut pada butir 3 yang diterima atau diperoleh dari kantor I
pusat tidak dianggap sebagai Objek Pajak, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha j
perbankan.

3. Penghasilan Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang Ditanamkan Kembali di Indonesia


Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu Bentuk Usaha Tetapj di Indonesia
dikenakan pajak sesuai Ketentuan Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan tarif
sebesar 20%. Apabila atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan Pasal 26 ayat
(4) tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, maka atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak,
dengan syarat:
a. penanaman kembali dilakukan atas seluruh Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi
b. Pajak Penghasilan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang barn didirikan dan
berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri;
c. penanaman kembali dilakukan dalam Tahun Pajakberjalan atau selambat-lambatnya Tahun
Pajak berikutnya dari Tahun Pajak diterima atau diperolehnya penghasilan tersebut;
d. tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut paling sedikit dalam
jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat penanaman dilakukan
berproduksi secara komersial.

Contoh penghitungan:
Penghasilan Kena Pajak Bentuk Usaha
Tetap di Indonesia tahun 2009 Rp 17.500.000.000
Pajak Penghasilan: 28% x Rpl7.500.000.000 Rp 4.900.000.000 (-)
Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi pajak Rp 12.600.000.000
Pajak Penghasilan yang dipotong:
20% x Rpl2.600.000.000 = Rp 2.520.000.000

Apabila Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi pajak tersebut (sebesar Rpl2.600.000.000)
ditanamkan kembali di Indonesia, maka atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak.

Pajak penghasilan dihitung dari tarif dikalikan dengan penghasilan kena pajak. Penghasilan kena pajak bagi
Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi dengan
pengurangan atau pengeluaran tertentu. Pengeluaran tersebut dinamakan juga biaya atau beban.
Pengeluaran/beban/biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dapat dibagi dalam 2 (dua)
24

golongan, yaitu:
1. Pengeluaran/beban/biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu)
tahun yang merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya
administrasi dan bunga, biaya rutin pengolahan limbah dan sebagainya;
2. Pengeluaran/beban/biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu)
tahun yang pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi, misalnya
aset tetap atau harta berwujud, aset tak berwujud, dan Iain-lain.

Pengeluaran/beban/biaya dalam perpajakan tidak sepenuhnya sama dengan menurut akuntansi


komersial. Dalam perpajakan, pengeluaran/beban/biaya dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Pengeluaran/beban/biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (deductible expense).


Adalah pengeluaran/beban/biaya yang mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau
kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek
Pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama masa manfaat
atas pengeluaran tersebut.

b. Pengeluaran/beban/biaya yang tidak dapat dibebankan sebagai biaya (non-deductible expenses).


Adalah pengeluaran/beban/biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
yangbukan merupakan Objek Pajak atau pengeluaran dilakukan tidak dalam batas-batas yang wajar
sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang baik. Oleh karena itu, pengeluaran yang melampaui
batas kewajaran yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa tidak boleh dikurangkan dari
penghasilan bruto

E.BIAYA YANG DIPERKENANKAN SEBAGAI PENGURANG (DEDUCTIBLE EXPENSE)


Pajak penghasilan dihitung dari tarif dikalikan dengan penghasilan kena pajak. Penghasilan kena pajak bagi
Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi
dengan pengurangan atau pengeluaran tertentu. Pengeluaran tersebut dinamakan juga biaya atau
beban. Pengeluaran/beban/biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dapat dibagi dalam
2 (dua) golongan, yaitu:
Pengeluaran/beban/biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu)
tahun yang merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya
administrasi dan bunga, biaya rutin pengolahan limbah dan sebagainya;
Pengeluaran/beban/biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu)
tahun yang pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi, misalnya
aset tetap atau harta berwujud, aset tak berwujud, dan Iain-lain.

Pengeluaran/beban/biaya dalam perpajakan tidak sepenuhnya sama dengan menurut akuntansi


komersial. Dalam perpajakan, pengeluaran/beban/biaya dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Pengeluaran/beban/biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (deductible expense).


Adalah pengeluaran/beban/biaya yang mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau
kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek
Pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama masa manfaat
atas pengeluaran tersebut.

b. Pengeluaran/beban/biaya yang tidak dapat dibebankan sebagai biaya (non-deductible


expenses). Adalah pengeluaran/beban/biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
25

penghasilan yangbukan merupakan Objek Pajak atau pengeluaran dilakukan tidak dalam batas-
batas yang wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang baik. Oleh karena itu, pengeluaran
yang melampaui batas kewajaran yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto

Berdasar Pasal 6 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi
Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto
dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan termasuk;

a. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain:
1) biaya pembelian bahan;
2) biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium,
bonus, gratinkasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang;
3) bunga,sewa,danroyalti;
4) biaya perjalanan;
5) biaya pengolahan limbah;
6) premi asuransi;
7) biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan;
8) biaya administrasi; dan
9) pajak kecuali Pajak Penghasilan.
Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran-pengeluaran tersebut harus mempunyai
hubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha atau kegiatan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak. Pengeluaran-
pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan
Objek Pajak tidak boleh dibebankan sebagai biaya.

Contoh:
Dana Pensiun A yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan memperoleh
penghasilan bruto yang terdiri dari:

Penghasilan yang bukan merupakan


Objek Pajak sesuai Rp 100.000.000
Penghasilan bruto lainnya Rp300.000.000 (+)
Jumlah penghasilan bruto Rp400.000.000

Apabila seluruh biaya adalah sebesar Rp200.000.000, biaya yang boleh dikurangkan untuk
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan adalah: 3/4 x Rp200.000.000 = Rpl50.000.000.
Demikian pula bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli saham tidak dapat
dibebankan sebagai biaya sepanjang dividen yang diterimanya tidak merupakan Objek Pajak.
Bunga pinjaman yang tidak boleh dibiayakan tersebut dapat dikapitalisasi sebagai penambah harga
perolehan saham.
Pengeluaran-pengeluaran yang tidak ada hubungannya dengan upaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan, misalnya pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan
pribadi pemegang saham, pembayaran bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk keperluan
26

pribadi peminjam serta pembayaran premi asuransi untuk kepentingan pribadi, tidak boleh
dibebankan sebagai biaya. Pembayaran premi asuransi oleh pemberi kerja untuk kepentingan
pegawainya boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan, tetapi bagi pegawai yang bersangkutan
premi tersebut merupakan penghasilan.
Pengeluaran-pengeluaran sehubungan dengan pekerjaan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto
harus dilakukan dalam bentuk uang. Pengeluaran yang dilakukan dalam bentuk natura atau kenikmatan,
misalnya fasilitas menempati rumah dengan cuma-cuma, tidak boleh dibebankan sebagai biaya, dan
bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan. Namun, pengeluaran
dalam bentuk natura atau kenikmatan tertentu boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pihak yang
menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan.
Pengeluaran-pengeluaran yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam batas-
batas yang wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang baik. Dengan demikian, apabila
pengeluaran yang melampaui batas kewajaran tersebut dipengaruhi oleh hubungan istimewa, jumlah
yang melampaui batas kewajaran tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
Pajak-pajak yang menjadi beban perusahaan dalam rangka usahanya selain Pajak Penghasilan,
misalnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Meterai (BM), Pajak Hotel, dan Pajak Restoran,
dapat dibebankan sebagai biaya.
Mengenai pengeluaran untuk promosi perlu dibedakan antara biaya yang benar-benar dikeluarkan
untuk promosi dan biaya yang pada hakikatnya merupakan sumbangan. Biaya yang benar-benar
dikeluarkan untuk promosi boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Besarnya biaya promosi dan
penjualan yang diperkenankan sebagai pengurang penghasilan bruto diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari
1 (satu) tahun;
Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan harta tak berwujud serta pengeluaran
lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun,
pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi. Pengeluaran yang menurut sifatnya
merupakan pembayaran di muka, misalnya sewa untuk beberapa tahun yang dibayar sekaligus,
pembebanannya dapat dilakukan melalui alokasi.
c.iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan;
d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan
dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan;
Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki tetapi tidak digunakan dalam perusahaan,
atau yang dimiliki tetapi tidak digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan,
tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
e. kerugian selisih kurs mata uang asing;
f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
g. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
h. piutang yang nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat:
1) telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
2) Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada
Direktorat Jenderal Pajak; dan
3) telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi
pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis
27

mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur


yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau
khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan
untuk jumlah utang tertentu;
4) syarat pada huruf c) tidak berlaku untuk menghapuskan piutang tak tertagih
debitur kecil; yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan;
i. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah;
j. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia
yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
k. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah;
l. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah;
m. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dalam
Peraturan Pemerintah;

2. Kompensasi Kerugian.
Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan tersebut didapat erugian, kerugian tersebut ikompensasikan
dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.

Contoh:
PT A dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar Rp 1.200.000.000 (satu miliar dua ratus juta
rupiah). Dalam 5 (lima) tahun berikutnya laba rugi fiskal PT A sebagai berikut:

2010 : laba fiskal Rp 200.000.000


2011 : rugi fiskal (Rp 300.000.000)
2012 :labafiskal RpNIHIL
2013 : laba fiskal Rp 100.000.000
2014: laba fiskal Rp 800.000.000
Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut:

Rugi fiscal tahun 2009 ( Rp. 1.200.000.000 )


Laba fiscal tahun 2010 Rp. 200.000.000 (+)
Sisa rugi fiscal tahun 2009 (Rp. 1.000.000.000)
Rugi fiscal tahun 2011 (Rp. 300.000.000)
Sisa rugi fiscal tahun 2009 (Rp. 1.000.000.000)
Laba fiscal tahun 2012 Rp. N I H I L (+)
Sisa rugi fiscal tahun 2009 (Rp. 1.000.000.000)
Laba fiscal tahun 2013 Rp. 100.000.000(+)
Sisa rugi fiscal tahun 2009 (Rp. 900.000.000)
Laba fiscal tahun 2014 Rp. 800.000.000(+)
Sisa rugi fiscal tahun 2009 (Rp. 100.000.000)
Rugi fiskal tahun 2009 sebesar Rp100.000.000 (seratus juta rupiah) yang masih tersisa pada akhir tahun
2014 tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 2015, sedangkan rugi fiskal tahun 2011
sebesar Rp300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) hanya boleh dikompensasikan dengan laba fiskal tahun
28

2015 dan tahun 2016, karena jangka waktu lima tahun yang dimulai sejak tahun 2012 berakhir pada
akhir tahun 2016.

3. Pengertian PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak)

PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) yaitu merupakan besarnya penghasilan yang menjadi batasan
tidak kena pajak bagi Wajib Pajak Orang yang Pribadi, dengan kata lain apabila penghasilan neto
Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas lainnya maka jumlahnya
dibawah PTKP tidak akan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) dan memiliki Pasal 25/29. Apabila
berstatus sebagai pegawai atau penerima penghasilan sebagai objek PPh Pasal 21, maka penghasilan
tersebut tidak akan dapat dilakukan dalam pemotongan PPh Pasal 21.

Pada saat ini pengaturan ketentuan berkaitan dengan PTKP diatur dalam PMK Nomor
101/PMK.010/2016 mengatur tentang PTKP 2016 yang naik sebesar 50% dari tarif PTKP 2015.
Kenaikan PTKP 2016 terbilang cukup cepat mengingat pada tahun 2015 pemerintah juga sempat
menaikkan besarnya tarif PTKP. Kenaikan PTKP 2016 ini tentu merupakan kabar baik, karena
dengan demikian pajak penghasilan yang dipotong untuk karyawan menjadi lebih kecil..
Besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak ini tidak sama dari tahun ke tahun. Pemerintah melalui
Kementerian Keuangan telah menetapkan perubahan PTKP berdasarkan sejumlah pertimbangan
seperti kondisi perekonomian nasional, pergerakan upah minimum dan biaya hidup manusia.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian
Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak, PTKP Indonesia yaitu sebesar Rp 54 juta. Jika wajib pajak
sudah kawin, terdapat tambahan senilai Rp 4,5 juta. Begitu pula jika wajib pajak memiliki tambahan
tanggungan untuk setiap anggota keluarga sedarahnya, maka akan dikenai tambahan senilai Rp 4,5
juta.

Berikut ini adalah tabel jumlah PTKP yang berlaku sejak tahun 2019, yaitu antara lain:
Kode
Tahun 2016-2019
PTKP
TK/0 Rp 54.000.000
K/0 Rp 58.500.000
K/1 Rp 63.000.000
K/2 Rp 67.500.000
Rp 72.000.000
K/3
Macam – Macam Tarif PTKP 2019
PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) juga memiliki tiga golongan WP orang pribadi dalam tarif
PTKP tahun 2019, yaitu antara lain:

1. Tarif PTKP Tahun 2019 Pria/Wanita Lajang Kode TK (Tidak Kawin)


 TK/0 adalah Tarif PTKP untuk Pria/Wanita lajang tanpa adanya tanggungan atau tanggungan
sebesar Rp 54.000.000./tahun.
 TK/1 adalah Tarif PTKP untuk Pria/Wanita lajang dengan adanya 1 tanggungan(berupa ibu,
bapak, atau anak) tanggungan sebesar Rp 58.500.000./tahun.
 TK/2 adalah Tarif PTKP untuk Pria/Wanita lajang dengan adanya 2 tanggungan(berupa ibu,
bapak, atau anak) tanggungan sebesar Rp 63.000.000./tahun.
 TK/3 adalah Tarif PTKP untuk Pria/Wanita lajang dengan adanya 3 tanggungan(berupa ibu,
bapak, atau anak) tanggungan sebesar Rp 67.500.000./tahun.
29

2. Tarif PTKP Tahun 2019 Pria Kawin Kode K (Kawin)


 K/0 adalah Tarif PTKP untuk Pria sudah kawin tanpa adanya tanggungan hanya Pria tersebut
dan istrinya sebesar Rp 58.500.000./tahun.
 K/1 adalah Tarif PTKP untuk Pria sudah kawin mempunyai 1 tanggungan(berupa ibu, bapak,
atau anak) sebesar Rp 63.000.000./tahun.
 K/2 adalah Tarif PTKP untuk Pria sudah kawin mempunyai 2 tanggungan(berupa ibu, bapak,
atau anak) sebesar Rp 67.500.000./tahun.
 K/3 adalah Tarif PTKP untuk Pria sudah kawin mempunyai 3 tanggungan(berupa ibu, bapak,
atau anak) sebesar Rp 72.000.000./tahun.

3. Tarif PTKP Tahun 2019 Penghasilan Suami dan Istri Kode KI (Kawin + Istri)
 KI/0 adalah Tarif PTKP untuk Penghasilan Suami dan Istri digabung tanpa tanggungan hanya
Suami dan istrinya sebesar Rp 112.500.000./tahun.
 KI/1 adalah Tarif PTKP untuk Penghasilan Suami dan Istri digabung dengan 1
tanggungan(berupa ibu, bapak, atau anak) sebesar Rp 117.000.000./tahun.
 KI/2 adalah Tarif PTKP untuk Penghasilan Suami dan Istri digabung dengan 2
tanggungan(berupa ibu, bapak, atau anak) sebesar Rp 121.500.000./tahun.
 KI/3 adalah Tarif PTKP untuk Penghasilan Suami dan Istri digabung dengan 3
tanggungan(berupa ibu, bapak, atau anak) sebesar Rp 126.000.000./tahun.

Wajib Pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan
lurus yang menjadi tanggungan sepenuhnya, misalnya orang tua, mertua, anak kandung, atau
anak angkat diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk paling banyak 3 (tiga)
orang. Anggota keluarga tersebut dapat menjadi tanggungan sepenuhnya apabila tidak mempunyai
penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak.

Sistem pengenaan pajak berdasarkan undang-undang ini menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan
ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga digabungkan sebagai satu
kesatuan yang dikenai pajak dan pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga. Namun,
dalam hal-hal tertentu pemenuhan kewajiban pajak tersebut dilakukan secara terpisah.
Penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun
pajak dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya dan dikenai pajak sebagai satu kesatuan.
Penggabungan tersebut tidak dilakukan dalam hal penghasilan istri diperoleh dari pekerjaan sebagai pegawai
yang telah dipotong pajak oleh pemberi kerja, dengan ketentuan bahwa:
1. penghasilan istri tersebut semata-mata diperoleh dari satu pemberi kerja,
2. penghasilan istri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan
usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
Contoh:
Wajib Pajak A yang memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah)
mempunyai seorang istri yang menjadi pegawai dengan penghasilan neto sebesar Rp70.000.000 (tujuh
puluh juta rupiah). Apabila penghasilan istri tersebut diperoleh dari satu pemberi kerja dan telah dipotong
pajak oleh pemberi kerja dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota
keluarga lainnya, penghasilan neto sebesar Rp70.000.000 (tujuh puluh juta rupiah) tidak digabung dengan
penghasilan A dan pengenaan pajak atas penghasilan istri tersebut bersifat final. Apabila selain menjadi
pegawai, istri A juga menjalankan usaha, misalnya salon kecantikan dengan penghasilan neto sebesar
Rp80.000.000 (delapan puluh juta rupiah), seluruh penghasilan istri sebesar Rp 150.000.000 (Rp70.000.000 +
Rp80.000.000) digabungkan dengan penghasilan A. Dengan penggabungan tersebut, A dikenai pajak atas
penghasilan neto sebesar Rp250.000.000 (Rp100.000.000 + Rp70.000.000 + Rp80.000.000). Potongan
30

pajak atas penghasilan istri tidak bersifat final, artinya dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas
penghasilan sebesar Rp250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah) tersebut yang dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Dalam hal suami-istri telah hidup berpisah berdasarkan keputusan hakim, penghitungan Penghasilan Kena
Pajak dan pengenaan pajaknya dilakukan sendiri-sendiri. Apabila suami istri mengadakan perjanjian pemisahan
harta dan penghasilan secara tertulis atau jika istri menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya sendiri, penghitungan pajaknya dilakukan berdasarkan penjumlahan penghasilan neto suami-
istri dan masing-masing memikul beban pajak sebanding dengan besarnya penghasilan neto.
Contoh:
Penghitungan pajak bagi suami-istri yang mengadakan perjanjian pemisahan penghasilan secara tertulis
atau jika istri menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri adalah sebagai
berikut.
Wajib Pajak A pada contoh sebelumnya, istri Wajib Pajak A menjalankan usaha salon kecantikan,
pengenaan pajaknya dihitung berdasarkan jumlah penghasilan sebesar Rp250.000.000 (dua ratus lima
puluh juta rupiah). Misalnya, pajakyang terutang atas jumlah penghasilan tersebut adalah sebesar
Rp27.550.000 (dua puluh tujuh juta lima ratus lima puluh ribu rupiah) maka untuk masing-masing suami
dan istri pengenaan pajaknya dihitung sebagai berikut:
-Suami: 100.000.000/250.000.000x27.550.000 = 11.020.000
-Istri: 150.000.000/250.000.000x27.550.000 = 16.530.000

Penghasilan anak yang belum dewasa dari mana pun sumber penghasilannya dan apa pun sifat
pekerjaannya digabung dengan penghasilan orang tuanya dalam tahun pajak yang sama. Dalam
perpajakan, anak yang belum dewasa adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan
belum pernah menikah. Apabila seorang anak belum dewasa, yang orang tuanya telah berpisah,
menerima atau memperoleh penghasilan, pengenaan pajaknya digabungkan dengan penghasilan ayah
atau ibunya berdasarkan keadaan sebenarnya.

E. PENYUSUTAN (DEPRESIASI) DAN AMORTISASI


1. Penyusutan
Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari
satu tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
dengan cara mengalokasikan pengeluaran tersebut selama masa manfaat harta yang bersangkutan melalui
penyusutan (depresiasi). Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh tanah hak milik, tanah hak guna
usaha, hak guna usaha dan pakai tidak boleh disusutkan, kecuali jika tanah tersebut berkurang karena
digunakan untuk memperoleh penghasilan, seperti perusahaan genteng, perusahaan keramik, dan
perusahaan batu bara.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan besarnya biaya penyusutan adalah saat
dimulainya penyusutan, metode penyusutan, kelompok masa manfaat dan tarif penyusutan, dan harga
perolehan. Penentuan besarnya harga perolehan akan dibahas dalam penentuan perolehan/penjualan atau
nilai perolehan/penjualan.

a. Saat Dimulainya Penyusutan


Penyusutan harta berwujud dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, atau pada bulan selesainya
pengerjaan suatu harta sehingga penyusutan pada tahun pertama dihitung secara prorata. Namun
berdasarkan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, saat dimulainya penyusutan dapat dilakukan pada
bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada
31

bulan harta tersebut mulai menghasilkan (saat mulai berproduksi dan tidak dikaitkan dengan saat
diterimanya atau diperolehnya penghasilan).

Contoh 1
Pengeluaran untuk pembangunan sebuah gedung sebesar Rp 100.000.000. Pembangunan dimulai
pada bulan Oktober 2008. Bangunan tersebut selesai dan siap digunakan pada bulan Maret 2009.
Penyusutan atas harga perolehan bangunan gedung tersebut dimulai pada bulan Maret 2009.

Contoh 2
Sebuah mesin dibeli dan ditempatkan pada bulan Juli 2009 dengan harga perolehan Rp
100.000.000, masa manfaat mesin adalah 4 (empat) tahun, tarif penyusutan 50% (lima puluh persen).
Penyusutan atas harga perolehan mesin tersebut dimulai pada bulan Juli 2009.

Contoh 3
PT X yang bergerak di bidang perkebunan membeli traktor pada tahun 2008. Perkebunan tersebut
diperkirakan mulai menghasilkan (panen) pada tahun 2009. Penyusutan traktor tersebut dimulai pada
tahun 2009. Akan tetapi dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, penyusutan traktor tersebut dapat
dilakukan mulai tahun 2008.

b. Metode Penyusutan
Metode penyusutan yang diperbolehkan untuk kelompok harta berwujud dikelompokkan
menjadi dua, yaitu penyusutan harta berwujud bangunan dan harta berwujud selain (bukan) bangunan.
Untuk harta berwujud selain (bukan) bangunan, Wajib Pajak diperbolehkan memilih metode
penyusutan, yaitu dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat atau
dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara
menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku
disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas. Dengan kata lain metode yang
diperbolehkan adalah metode garis lurus (straight-line method) atau saldo menurun (declining balanced
method) di mana pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus (closed ended). Untuk
harta berwujud bangunan, Wajib Pajak hanya dapat menggunakan metode garis lurus.
Penghitungan penyusutan setiap tahun untuk metode garis lurus adalah harga perolehan dibagi masa
manfaat. Jika terdapat nilai residu maka tidak boleh dikurangkan dari harga perolehan. Penghitungan
penyusutan setiap tahun untuk metode saldo menurun adalah tarif penyusutan dikalikan nilai sisa
buku.

c. Kelompok Masa Manfaat Harta dan Tarif Penyusutan


Besarnya penyusutan suatu periode dipengaruhi oleh metode yang digunakan, besarnya harga perolehan
harta berwujud, dan masa manfaat dari harta berwujud tersebut. Untuk memberikan kepastian hukum bagi
Wajib Pajak dalam melakukan penyusutan atas pengeluaran harta berwujud, Pasal 11 UU No. 36 Tahun
2008 mengatur masa manfaat harta berwujud dan tarif penyusutan, baik menurut metode garis lurus
maupun saldo menurun. Jenis harta yang termasuk dalam kelompok harta berwujud bukan bangunan untuk
keperluan penyusutan sesuai dengan Kep. Men Keu No 96/PMK.03/2009 ada pada

Lampiran 2. Masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud diatur sebagai berikut:

Kelompok Harta Berwujud Masa Manfaat Tarif Penyusutan


Garis Lurus Saldo Menurun
32

I. Bukan Bangunan:
 Kelompok I 4 tahun 25 % 50 %
 Kelompok II 8 tahun 12,5 % 25 %
 Kelompok III 16 tahun 6,25 % 12,5 %
 Kelompok IV 20 tahun 5% 10 %
II. Bangunan:
 Permanen 20 tahun 5% _
 Tidak Pemanen 10 tahun 10 %

Bangunan tidak permanen adalah bangunan yang bersifat sementara dan terbuat dari bahan yang tidak tahan
lama atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan, yang masa manfaatnya tidak lebih dari 10 (sepuluh)
tahun, misalnya barak atau asrama yang terbuat dari kayu. Jenis-jenis harta berwujud untuk setiap kelompok
harta dapat dilihat pada lampiran buku ini.

Dalam hal terjadi penjualan atau pengalihan harta berwujud, maka jumlah nilai sisa buku dibebankan
sebagai kerugian, sedangkan jumlah harga jual atau penggantian asuransi dibukukan sebagai
penghasilan pada tahun terjadinya pengalihan atau penarikan harta. Kerugian sebesar nilai sisa buku
harta karena penggantian asuransi yang jumlahnya baru diketahui di masa kemudian, dibukukan sebagai
beban masa kemudian dengan persetujuan Dirjen Pajak. Jika pengalihan harta berwujud digunakan sebagai
bantuan atau sumbangan, harta hibahan atau warisan, jumlah nilai sisa buku tidak boleh dibebankan
sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.
Contoh 1
Wajib Pajak membeli sebuah bangunan permanen dengan harga perolehan Rp 100.000.000. Bangunan
tersebut mulai digunakan pada tanggal 1 Januari 2007. Sesuai ketentuan perpaj akan, bangunan tersebut
termasuk harta berwujud dengan masa manfaat 20 tahun dan hanya diperbolehkan menggunakan metode
garis lurus.

Penyusutan setiap tahunnya adalah Rp5.000.000 (yaitu Rp100.000.000:20).


Besarnya penyusutan setiap tahun dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tahun Penyusutan Nilai Sisa Buku


2007 Rp5.000.000 Rp95.000.000
2008 Rp5.000.000 Rp90.000.000
2009 Rp5.000.000 Rp85.000.000
dst. dan seterusnya dan seterusnya
2026 Rp5.000.000 0

Contoh 2
Wajib Pajak memiliki sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Januari 2007 dengan harga
perolehan Rpl50.000.000. Mesin tersebut termasuk harta bukan bangunan kelompok I dengan masa
manfaat empat tahun. Wajib Pajak memilih metode saldo menurun. Berdasar ketentuan, harta
bukan bangunan kelompok I disusut 50% dari nilai sisa setiap tahunnya. Penghitungan penyusutannya
adalah sebagai berikut:
33

Tahun Tarif Penyusutan Milai Sisa Buku


- - Rpl50.000.000
2007 50% 50% x Rpl50.000.000 = Rp75.000.000 Rp 75.000.000
2008 50% 50% x Rp75.000.000 = Rp37.500.000 Rp 37.500.000
2009 50% 50% x Rp37.500.000 = Rpl8.750.000 Rp 18.750.000
2010 50% Rp 18. 750.000  = nilai sisa buku tahun Rp0 (disusutkan

2010 sekaligus)

Contoh 3
Wajib Pajak membeli sebuah kendaraan pada bulan Januari 2008 dengan harga perolehan
Rp200.000.000. Kendaraan tersebut mulai dioperasikan pada bulan April 2008. Menurut akuntansi
perkiraan umur ekonomis kendaraan tersebut adalah 10 tahun, dengan nilai sisa 10% dari harga
perolehan. Sementara menurut perpajakan kendaraan tersebut termasuk harta berwujud kelompok II
(umur ekonomis 8 tahun, tarif penyusutan 12,5% dengan metode garis lurus).

Penyusutan setiap tahunnya adalah Rp25.000.000 (yaitu 12,5% x Rp200.000.000). Besarnya


penyusutan setiap tahun dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tahun Penyusutan Nilai Sisa Buku


— Rp.200.000.000
2008 9 : 12 x Rp25.000.000= Rpl 8.750.000 Rp.l 8 1.250.000
2009 Rp25.000.000 Rp.l56.250.000
2010 Rp25.000.000 Rp.l31.250.000
2011 Rp25.000.000 Rp.l06.250.000
2012 Rp25.000.000 Rp. 81.250.000
2013 Rp25.000.000 Rp. 56.250.000
2014 Rp25.000.000 Rp. 31.250.000
2015 Rp25.000.000 Rp. 6.250.000
2016 3 : 12 x Rp25.000.000 = Rp6.250.000 -

d. Penyusutan Harta Berwujud Tertentu


Terhadap harta berwujud tertentu berikut ini, penyusutannya diatur secara khusus.
a. Atas biaya perolehan atau pembelian telepon seluler yang dimiliki dan digunakan perusahaan untuk
pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya, dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan
sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah biaya perolehan atau pembelian melalui penyusutan
34

aset tetap kelompok I. Sedangkan atas biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan
telepon seluler yang dimiliki dan digunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau
pekerjaannya, dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen) dari
jumlah biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan dalam tahun pajakyang
bersangkutan.
b. Atas biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan bus, minibus, atau yang
sejenis yang dimiliki dan digunakan perusahaan untuk antar jemput para pegawai, dapat
dibebankan seluruhnya sebagai biaya perusahaan melalui penyusutan aset tetap kelompok II.
Sedangkan atas biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan bus, minibus, atau yang sejenis
yang dimiliki dan digunakan perusahaan untuk antar jemput para pegawai, dapat dibebankan
seluruhnya sebagai biaya perusahaan dalam tahun pajakyang bersangkutan.
c. Atas biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan sedan atau yang sejenis yang
dimiliki dan digunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya,
dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah biaya
perolehan atau pembelian atau perbaikan besar melalui penyusutan aset tetap kelompok II. Sedangkan
atas biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan (jenis kendaraan bus, minibus, atau
yang sejenis) yang dimiliki dan digunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau
pekerjaannya dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen) dari
jumlah biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin dalam tahun pajak yang bersangkutan.

2. Amortisasi
a. Penyusutan/Amortisasi untuk Penanaman Modal Bidang Tertentu
Untuk penanaman modal dalam bidang-bidang usaha tertentu dan/atau daerah-daerah tertentu diberikan
fasilitas terhadap percepatan penyusutan dan amortisasi. Sesuai PP No. 1/2007 (Amendemen PP
No.148/2000), jenis usaha, tarif penyusutan, dan amortisasi yang dipercepat adalah:

1. Jenis industri terdiri atas industri makanan lainnya; tekstil dan pakaian j adi; bubur kertas, kertas, dan
karton; bahan kimia industri; barans kimia lain, karet, dan barang dari karet; barang kimia lain;
barang dari porselen; logam dasar besi dan baja; kelompok industri logam dasar bukan besi; mesin
dan perlengkapannya; industri motor listrik, generator, dan transformator; elektronika dan
telematika; alat angkut darat; pembuatan dan perbaikan kapal dan perahu; pembuatan logam dasar
bukan besi; sembilan kelompok usaha di daerah tertentu meliputi industri pengolahan makanan;
pengelolaan sumber daya alam berbasis agro; kemasan dan
kotak dari kertas dan karton; barang dari plastik; kelompok industri semen kapur dan gips;
furnitur; penangkapan ikan laut dan pengolahannya dalam usaha terpadu; dan penangkapan
Crustacea laut dan pengolahannya dalam usaha terpadu. Fasilitas tersebut hanya akan diberikan
kepada Wajib Pajak dalam negeri berbentuk perseroan terbatas dan koperasi.

2. Tarif penyusutan dan amortisasi dipercepat, dapat dilihat pada tabel berikut:

Kelompok Aset Tetap Masa manfaat Tarif penyusutan/amortisasi


Berwujud menjadi Garis lurus Garis komando
I. Bukan Bangunan:
- Kelompok I 2 tahun 50% 100%
- Kelompok II 4 tahun 25% 50%
- Kelompok III 6 tahun 16,67% 33,33%
- Kelompok IV 8 tahun 12,5% 25%
35

II. Bangunan:
- Permanen 10 tahun 10% -
- Tidak Permanen 5 tahun 20% -
b. Amortisasi.
Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya
termasuk perpanjangan hak-hak atas tanah yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun,
diamortisasi dengan metode garis lurus (straight-line method) maupun metode saldo menurun
(declining balanced method). Dalam metode saldo menurun, nilai buku harta tak berwujud, atau hak-
hak tersebut diamortisasi sekaligus pada akhir masa manfaatnya.
Pengelompokan harta tak berwujud, masa manfaat, dan tarif amortisasi dapat dilihat pada tabel berikut
ini:

Kelompok Harta Masa Tarif Amortisasi


Tak Berwujud Manfaat Garis Lurus Saldo Menurun
• Kelompok I 4 tahun 25% 50%
• Kelompok II 8 tahun 12,5% 25%
• Kelompok III 16 tahun 6,25% 12,5%
• Kelompok IV 20 tahun 5% 10%

Pengeluaran-pengeluaran berikut ini juga akan diamortisasi sesuai dengan ketentuan kelompok harta
tak berwujud, masa manfaat, dan tarif amortisasi seperti tabel di atas:
•Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu perusahaan yang
dibebankan dalam tahun terjadinya pengeluaran.
•Pengeluaran yang dilakukan sebelum operas! komersial yang mempunyai masa manfaat
lebih dari satu tahun, seperti biaya studi kelayakan dan biaya produksi percobaan,
sedangkan biaya operasional yang bersifat rutin seperti rekening listrik dan telepon,

gaji pegawai, dan biaya kantor lainnya tidak boleh dikapitalisasi tetapi dibebankan sekaligus pada
tahun pengeluaran (tidak diamortisasi).
Seperti halnya dalam penyusutan, amortisasi harta tak berwujud dan pengeluaran tersebut jika
menggunakan metode saldo menurun, nilai sisa buku pada tahun terakhir masa manfaat akan
diamortisasi sekaligus dengan syarat dilakukan secara taat asas. Untuk harta tidak beujud yang masa
manfaatnya tidak tercantum pada kelompok masa manfaat yang ada, maka Wajib Pajak menggunakan
masa manfaat yang terdekat. Misalnya masa manfaat yang sebenarnya enam tahun, maka dapat
menggunakan kelompok masa manfaat delapan tahun atau empat tahun. Sedangkan jika masa manfaat
harta tak berwujud sebenarnya adalah lima tahun, maka harta tak berwujud tersebut diamortisasi
dengan menggunakan masa manfaat empat tahun. Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya
pengeluaran, kecuali untuk bidang usaha tertentu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.
Contoh 1
PT Alfiano pada tanggal 2 Januari 2008 mengeluarkan uang sebesar Rp200.000.000 untuk
memperoleh waralaba dari Kentucky Fried Chicken (KFC) selama 4 tahun untuk memroduksi ayam
goreng KFC. Penghitungan amortisasi untuk setiap metode yang diperbolehkan dipilih sebagai
berikut:
36

Tahun Metode Garis Lurus Metode Saldo Menurun


Amortisasi Nilai Sisa Buku Amortisasi Nilai Sisa Buku

25% x Rp200.000.000 50% x Rp200.000.000


2008 Rp 150.000.000 Rpl00.000.000
= Rp50.000.000 = Rpl00.000.000

25% x Rp200.000.000 50% x Rpl00.000.000


2009 Rpl00.000.000 Rp50.000.000
= Rp50.000.000 = Rp50.000.000

25% x Rp200.000.000 50% x Rp50.000.000


2010 Rp50.000.000 Rp25.000.000
= Rp50.000.000 = Rp25.000.000

Rp25.000.000
25% x Rp200.000.000 Rp0 (diamortisasi
2011 Rp.0 (= nilai sisa buku akhir
= Rp50.000.000 sekaligus)
tahun 2010)

c. Amortisasi di Bidang Penambangan Minyak dan Gas Bumi.


Pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih
dari satu tahun di bidang penambangan minyak dan gas bumi diamortisasi dengan metode satuan
produksi. Metode satuan produksi dilakukan dengan menerapkan persentase amortisasi. Besarnya
persentase amortisasi setiap tahun sama dengan persentase perbandingan antara realisasi
penambangan minyak dan gas bumi pada tahun yang bersangkutan dan taksiran jumlah seluruh
kandungan minyak dan gas bumi yang dapat diproduksi di lokasi tersebut. Apabila jumlah produksi
yang sebenarnya lebih kecil dari yang diperkirakan, sehingga masih terdapat sisa pengeluaran
untuk memperoleh hak atau pengeluaran lain, sisa pengeluaran tersebut boleh dibebankan
sekaligus dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Contoh 2
Pada awal tahun 2008, PT X mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak penambangan minyak dan gas
bumi di suatu lokasi sebesar Rp500.000.000. Taksiran jumlah kandungan minyak di daerah tersebut
adalah 200.000 barel. Realisasi produksi selama lima tahun berturut-turut adalah 30.000 barel, 40.000
barel, 60.000 barel, 45.000 barel, dan 25.000 barel. Amortisasi selama lima tahun dihitung sebagai
berikut:

Tahun Persentase Amortisasi Amortisasi Nilai Sisa Buku

15% x Rp500.000.000
2009 30.000 : 200.000 x 100% = 15% Rp425.000.000
= Rp75.000.000
20% x Rp500.000.000
2010 40.000 : 200.000 x 100% = 20% Rp325.000.000
= Rpl00.000.000
30% x Rp500.000.000
2011 60.000 : 200.000 x 100% = 30% Rpl75.000.000
= Rp 150.000.000
37

22,5% x Rp500.000.000
2012 45.000 : 200.000 x 100% = 22,5% Rp62.500.000
= Rpl 12.500.000

2013 25.000 : 200.000 x 100% = 12,5% Rp62.500.000 -

d.Amortisasi di Bidang Penambangan Selain Minyak dan Gas Bumi.

Pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi, hak pengusahaan hutan,
atau hak pengusahaan sumber alam serta hasil alam lainnya seperti hak pengusahaan hasil laut yang
mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun diamortisasi berdasarkan metode satuan produksi
dengan jumlah paling tinggi 20% setahun. Jika dalam suatu tahun ternyata jumlah produksi mencapai lebih
20% (dua puluh persen) dari jumlah potensi yang tersedia, besarnya amortisasi yang diperkenankan untuk
dikurangkan dari penghasilan bruto pada tahun tersebut adalah 20% (dua puluh persen) dari pengeluaran
untuk memperoleh hak-hak tersebut

Contoh 3
PT Belantara pada tahun 2005 mengeluarkan uang sejumlah Rp500.000.000 untuk memperoleh hak
pengusahaan hutan, yang mempunyai potensi 10.000.000 ton kayu. Jumlah produksi pada tahun 2009
dan 2010 masing-masing adalah 3.000.000 ton kayu dan 2.000.000 ton kayu. Amortisasi maksimum
yang diperbolehkan dihitung sebagai berikut:

Jumlah Amortisasi Berdasar Persentase Realisasi Jumlah Amortisasi


Tahun Maksimal
Produksi Diperbolehkan (20%)
2009 (3.000.000 ton:10.000.000 ton) x 500.000.000 20% x 500.000.000
=30% x 500.000.000 = 100.000.000
= 150.000.000
2010 (2.000.000 ton:10.000.000 ton) x 500.000.000 20% x 500.000.000
=20% x 500.000.000 = 100.000.000
= 100.000.000

Walaupun jumlah produksi tahun 2009 mencapai 30% (tiga puluh persen) dari jumlah potensi
yang tersedia tetapi besarnya amortisasi yang diperkenankan untuk dikurangkan dari penghasilan
bruto pada tahun tersebut adalah 20% (dua puluh persen) dari pengeluaran, yaitu sebesar
Rpl00.000.000.

e.Amortisasi atas Pengalihan Harta Tak Berwujud/Hak.

Dalam hal terdapat pengalihan harta tak berwujud/hak, nilai sisa buku harta atau hak tersebut
dibebankan sebagai kerugian, sedangkan jumlah penggantian dibukukan sebagai penghasilan pada
tahun terjadinya pengalihan. Jika pengalihan harta tersebut digunakan sebagai bantuan atau
sumbangan, harta hibahan atau warisan, maka jumlah nilai sisa buku tidak boleh dibebankan
sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.

Contoh 4
38

PT Ananda mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak penambangan minyak dan gas bumi di
suatu lokasi sebesar Rp500.000.000. Taksiran jumlah kandungan minyak di daerah tersebut
sebanyak 200.000.000 barel. Setelah produksi minyak dan gas bumi mencapai 100.000.000 barel,
PT Ananda menjual hak penambangan tersebut kepada pihak lain dengan harga sebesar
Rp300.000.000. Penghitungan penghasilan dan kerugian dari penjualan hak tersebut adalah:

Harga perolehan Rp500.000.000


Amortisasi yang telah dilakukan:
(100.000.000 : 200.000.000) x Rp500.000.000 Rp. 250.000.000(-)
Nilai buku harta Rp. 250.000.000
Harga jual harta Rp. 300.000.000

Dengan demikian, jumlah nilai buku harta sebesar Rp250.000.000 dibebankan sebagai kerugian
dan harga jual harta sebesar Rp300.000.000 dibukukan sebagai penghasilan.

F. PENENTUAN NILAI PEROLEHAN.


Penghitungan penyusutan atau amortisasi dipengaruhi oleh metode, masa manfaat (umur ekonomis),
dan jumlah yang disusudkan (depreciable amount) atau harga perolehan. Dalam hal perolehan harta
secara umum, harga perolehan dihitung dari harga beli ditambah dengan biaya-biaya yang
dikeluarkan sampai harta tersebut siap untuk digunakan. Demikian halnya jika harta berwujud
dibangun/dibuat sendiri, maka harga perolehan merupakan akumulasi pembelian material, tenaga
kerja dan overhead pabrik. Jika perolehan harta dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka nilai atau
harga perolehan harta tersebut ditentukan secara berbeda. Penilaian dalam hubungan istimewa
tersebut meliputi jika terjadi jual beli harta; tukar-menukar; likuidasi, penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, pengambilalihan; persediaan dan pemakaian persediaan untuk
penghitungan harga pokok; pengalihan harta hibahan, bantuan atau sumbangan, dan warisan yang
memenuhi syarat Pasal 4 ayat (3) huruf a UU PPh; pengalihan harta sebagai pengganti saham atau
pengganti persyaratan Pasal 4 ayat (3) huruf a dan b UU PPh; pengalihan harta yang tidak memenuhi
penyertaan modal,
1. Penilaian dalam Hal Jual Beli Harta
Dalam jual beli secara umum, harga perolehan harta bagi pihak pembeli adalah harga yang
sesungguhnya dibayar dan harga penjualan bagi pihak penjual adalah harga yang sesungguhnya diterima.
Termasuk dalam harga perolehan adalah harga beli dan biaya yang dikeluarkan dalam rangka
memperoleh harta tersebut, seperti bea masuk, biaya pengangkutan dan biaya pemasangan.
Apabila jual beli harta dipengaruhi hubungan istimewa, bagi pihak pembeli nilai perolehannya adalah
jumlah yang seharusnya dibayar dan bagi pihak penjual nilai penjualannya adalah jumlah yang
seharusnya diterima. Adanya hubungan istimewa, bagi pihak pembeli nilai perolehannya adalah
jumlah yang harus nya dibayar dan bagi pihak penjual nilai penjualannya adalah jumlah yang
seharusnya diterima. Adanya hubungan istimewa antara pembeli dan penjual dapat menyebabkan harga
perolehan menjadi lebih besar atau lebih kecil dibandingkan dengan jika jual beli tersebut tidak
dipengaruhi hubungan istimewa. Oleh karena itu, nilai perolehan atau nilai penjualan harta bagi pihak-
pihak yang bersangkutan adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau yang seharusnya diterima.

2. Penilaian dalam Hal Tukar Menukar


Apabila terdapat harta yang diperoleh melalui transaksi tukar menukar dengan harta lain,
nilai perolehan atau nilai penjualannya adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau
diterima berdasarkan harga pasar.
39

Contoh:
PTA PTB
(Harta X) (Harta Y)
Nilai sisa buku Rp 10.000.000 Rpl2.000.000
Harga pasar Rp20.000.000 Rp20.000.000

Antara PT A dan PT B terjadi pertukaran harta. Walaupun tidak terdapat realisasi pembayaran
antara pihak-pihak yang bersangkutan, namun karena harga pasar harta yang dipertukarkan
adalah Rp20.000.000, maka jumlah sebesar Rp20.000.000 merupakan nilai perolehan yang
seharusnya dikeluarkan atau nilai penjualan yang seharusnya diterima. Selisih antara harga
pasar dan nilai sisa buku harta yang dipertukarkan merupakan keuntungan yang dikenakan
pajak. Dalam pertukaran ini PT A memperoleh keuntungan sebesar RplO.000.000 (= Rp20.000.000
- Rp 10.000.000), dan PT B memperoleh keuntungan sebesar Rp8.000.000 (= Rp20.000.000
- Rpl2.000.000).

3. Pengalihan Harta dalam Rangka Pengembangan Usaha Berupa


Likuidasi, Penggabungan, Peleburan, Pemekaran, Pemecahan, dan
Pengambilalihan Usaha
Apabila terjadi pengalihan harta seperti di atas, nilai perolehan atau pengalihannya dibedakan
menjadi dua, yaitu:
1. Jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar. Selisih antara
harga pasar dengan nilai sisa buku harta yang dialihkan merupakan penghasilan yang
dikenakan pajak.
Contoh:
PT Akbar dan PT Hakim melakukan peleburan usaha dan membentukbadanbaru |
yaitu PT Perdana Ananda. Nilai sisa buku dan harga pasar harta dari kedua bad
tersebut adalah sebagai berikut:

PT Akbar PT Hakim
Nilai sisa buku Rp200.000.000
Rp300.000.000 Rp450.000.000
Harga pasar Rp300.000.000

Pada dasarnya penilaian harta yang diserahkan oleh PT Akbar dan PT Hakin dalam rangka
peleburan menjadi PT Perdana Ananda adalah harga pasar ha yang diserahkan. Dengan
demikian, PT Akbar mendapat keuntungan sebesar j Rpl00.000.000 (= Rp300.000.000 -
Rp200.000.000) dan PT Hakim mendapal keuntungan sebesar Rpl50.000.000 (=
Rp450.000.000 - Rp300.000.000),| Sedangkan PT Perdana Ananda membukukan semua
harta tersebut dengai jumlah Rp750.000.000 (= Rp300.000.000 + Rp450.000.000). Namun
dalam ranghj menyelaraskan dengan kebijakan di bidang sosial, ekonomi, investasi, moneter dan j
kebijakan lainnya, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan nilai lain! selain harga
pasar, misalnya atas dasar nilai sisa buku (pooling of interest). Dalam hall demikian PT Perdana
Ananda membukukan penerimaan harta dari PT Akbar dan| PT Hakim tersebut sebesar
Rp500.000.000 (= Rp200.000.000 + Rp300.000.000).

Penggunaan Nilai Buku. Menurut akuntansi komersial, penggabungan, peleburan pemekaran


usaha akan melibatkan pihak yang mengalihkan harta dan pihakya: memperoleh harta, sesuai
metode yang digunakan dalam konsolidasi yaitu:
40

1) penyatuan kepentingan (pooling of interest).


2) pembelian (purchase).
Dalam perpajakan digunakan metode pembelian (purchase method) ataul berdasarkan
harga pasar, sedang metode penyatuan kepentingan dapat digunakaJ berdasarkan Peraturan
Harta dalam Rangka Penggabunganj Peleburan, atau Pemekaran Usaha. Wajib Pajak dapat
menggunakan nilai buku pada
saat melakukan merger. Pengertian atau batasan merger tersebut yaitu meliputi penggabungan
usaha atau peleburan usaha. Hal yang perlu dipahami terhadap Wajib Pajak yang melakukan
merger atau pemekaran usaha dalam hal menggunakan nilai buku sebagai dasar pengalihan harta
adalah sebagai berikut:
1) Wajib Pajak yang melakukan pemekaran usaha yang dapat menggunakan nilai
buku yaitu:
• Wajib Pajak yang belum Go Public yang akan melakukan penawaran umum perdana
(initialpublic offering); atau
•Wajib Pajak yang telah Go Public sepanjang seluruh badan usaha hasil pemekaran
melakukan penawaran umum perdana (initialpublic offering).
2) Bagi Wajib Pajak yang melakukan merger atau pemekaran usaha dalam menggunakan
nilai buku wajib memenuhi syarat:
• mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan alasan dan tujuan
melakukan merger dan pemekaran usaha;
• melunasi seluruh utang pajak dari tiap badan usaha yang terkait;dan
• memenuhi persyaratan tujuan bisnis (businesspurpose test).
3) Wajib Pajak yang melakukan merger dengan menggunakan nilai buku tidak boleh
mengompensasikan kerugian atau sisa kerugian dari Wajib Pajak yang menggabungkan
diri/Wajib Pajak yang dilebur.
4) Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta mencatat nilai perolehan harta tersebut sesuai
dengan nilai sisa buku sebagaimana tercantum dalam pembukuan pihak atau pihak-pihak yang
mengalihkan.
5) Penyusutan atas harta yang diterima pada butir 4 dilakukan berdasarkan masa manfaat yang
tersisa sebagaimana tercantum dalam pembukuan pihak atau pihak-pihak yang mengalihkan.
6) Apabila merger atau pemekaran usaha dilakukan dalam Tahun Pajak berjalan,
maka jumlah angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 dari pihak atau pihak-pihak
yang menerima pengalihan tidak boleh lebih kecil dari jumlah angsuran yang
wajib dibayar oleh pihak atau pihak-pihak yang mengalihkan.
7) Pembayaran, pemungutan, dan pemotongan Pajak Penghasilan yang telah dilakukan oleh
pihak atau pihak-pihak yang mengalihkan sebelum dilakukannya merger atau pemekaran usaha
dapat dipindahbukukan menjadi pembayaran, pemungutan, atau pemotongan Pajak
Penghasilan dari Wajib Pajak yang menerima pengalihan.

8) Wajib Pajak yang melakukan pemekaran usaha yang akan menjual sahamnya di bursa
efek, selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah memperoleh persetujuan
dari Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan pemekaran usaha dengan menggunakan
nilai buku, harus telah mengajukanpernyataan pendaftaran kepada Badan Pengawas Pasar
Modal (BPPM)-Lembaga Keuangan dalam rangka penawaran perdana (initial public offering) dan
pernyataan pendaftaran tersebut telah menjadi efektif.

4. Penilaian karena Hibah, Bantuan, dan Sumbangan


41

Dalam hal terjadi penyerahan harta karena sumbangan atau bantuan, hibah yang diterima oleh
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan
pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi sepanjang tidak ada
hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang
bersangkutan, atau warisan, nilai perolehan bagi pihak yang menerima harta adalah nilai sisa buku harta
pihak yang melakukan penyerahan. Apabila Wajib Pajak tidak menyelenggarakan pembukuan sehingga
nilai sisa buku tidak diketahui, nilai perolehan atas harta ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Jika
penyerahan harta tersebut tidak sesuai dengan syarat yang ada, nilai perolehan bagi pihak yang
menerima harta adalah harga pasar.

5. Pengalihan Harta sebagai Pengganti Saham


Permodalan suatu badan dapat dipenuhi dengan setoran tunai atau pengalihan harta. Jika
permodalan tersebut dipenuhi dengan pengalihan harta, nilai harta yang diserahkan sebagai pengganti
saham atau penyertaan modal dinilai berdasarkan nilai pasar harta yang dialihkan tersebut.
Contoh:
Wajib Pajak X menyerahkan 20 unit mesin bubut yang nilai bukunya Rp25.000.000 kepada PT Y
sebagai pengganti penyertaan sahamnya dengan nilai nominal Rp20.000.000. Harga pasar mesin-
mesin bubut tersebut adalah Rp40.000.000. Dalam hal ini PT Y akan mencatat mesin bubut tersebut sebagai
aset dengan nilai Rp40.000.000 dan sebesar nilai tersebut bukan merupakan penghasilan bagi PT Y.
Selisih antara nilai nominal saham dengan nilai pasar harta, yaitu Rp20.000.000 ( = Rp40.000.000
- Rp20.000.000) dibukukan sebagai agio. Bagi Wajib Pajak PT X, selisih sebesar Rpl5.000.000
(= Rp40.000.000 - Rp25.000.000) merupakan Objek Pajak.

6. Penilaian Persediaan dan Harga Pokok Penjualan.


Harga pokok penjualan merupakan salah satu biaya langsung yang berkaitan dengan usaha terutama
usaha dagang dan manufaktur. Pada usaha dagang terdapat persediaan barang dagang sedangkan pada
usaha manufaktur terdapat 3 jenis persediaan, yaitu persediaan bahan baku dan bahan penolong,
persediaan barang jadi, dan persediaan barang dalam proses produksi. Persediaan perlengkapan atau
bahan habis pakai tidak termasuk dalam pembahasan ini. Penilaian persediaan barang didasarkan pada
harga perolehan. Penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok penjualan hanya
boleh dilakukan dua cara, yaitu:
• metode rata-rata (average), atau
• metode masuk pertama keluar pertama (first in first out—FIFO)

Contoh:
1. Persediaan awal 100 unit @ Rp9
2. Pembelian 100 unit @Rpl2
3. Pembelian 100 unit @ Rpll,25
4. Penjualan/dipakai 100 unit
5. Penjualan/dipakai 100 unit
Penghitungan harga pokokpenjualan dan nilai persediaan jika digunakan metode
rata-rata:

No. Didapat/Dibeli Dipakai/Dijual Sisa/Persediaan


1. • 100@Rp9 =Rp900
2. 100@Rpl2 = Rpl.200 200@RplO,50 = Rp2.100
3. 100 @Rpl 1,25 = Rpl. 125 300 @ RplO.75 = Rp3.225
42

4. 100 @ RplO.75 = Rpl.075 200@RplO,75 = Rp2.150


5. 1 00 @Rp 10,75 = Rpl.075 100 @ RplO,75 = Rpl.075

Besarnya harga pokok penjualan dengan metode rata-rata adalah Rp2.150.000,


sedangkan nilai persediaan adalah Rpl.075.000.
Penghitungan harga pokok penjualan dan nilai persediaan jika digunakan metode
FIFO:

No. Didapat/Dibeli Dipakai/Dijual Sisa/Persediaan


1. 100 @ Rp 9 = Rp900
100 @ Rp 9 = Rp900 100
2. 100 @Rp 12 = Rp 1.200
@Rp 12= Rpl.200
100 @ Rp 9 = Rp900 100
3. 100 @Rpl 1,25 = Rpl.125 @Rp 12= Rpl.200 100 @
Rpl 1,25= Rpl.125
100 @Rp 12= Rpl.200
4. 100 @ Rp9 = Rp 900
100@Rpll,25= Rpl.125
5. 100 @Rpl2 = Rpl.200 100 @Rpl 1,25= Rpl.125

Besarnya harga pokok penjualan dengan metode rata-rata adalah Rp2.100.000, sedangkan nilai
persediaan adalah Rp 1.125.000
Wajib Pajak diperbolehkan memilih salah satu metode tersebut sepanjang dilakukan secara taat asas,
artinya sekali Wajib Pajak memilih salah satu cara penilaian pemakaian persediaan untuk
penghitungan harga pokok penjualan, maka untuk tahun-tahun selanjutnya hams digunakan cara
yang sama.

G.BIAYA YANG TIDAK DIPERKENANKAN (NON-DEDUCTIBLE EXPENSE)


Pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak dapat dibedakan antara pengeluaran yang
boleh dikurangkan dari penghasilan bruto (deductible expenses) dan yang tidak boleh dibebankan sebagai
biaya (non-deductible expenses). Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto
adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak. Pembebanan tersebut dapat
dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama masa manfaat pengeluaran tersebut. Pengeluaran yang tidak
boleh dikurangkan dari penghasilan bruto (non-deductible expenses) meliputi pengeluaran yang sifatnya
sebagai pemakaian penghasilan, atau yang jumlahnya melebihi kewajaran. Pengeluaran yang
diperkenankan dikurangkan dari penghasilan bruto diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UU PPh, dan telah
dibahas pada bagian sebelumnya. Pengeluaran yang tidak diperkenankan dikurangkan dari penghasilan
bruto bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, sesuai Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun
2008 adalah:

1. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apa pun seperti dividen, termasuk dividen yang
dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi.
Pembagian laba ini tidak boleh dikurangkan dari penghasilan badan yang membagikannya
karena pembagian laba tersebut merupakan bagian dari penghasilan badan yang akan dikenakan pajak.
43

2. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu,
atau anggota.
Contoh biaya ini adalah perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan, biaya premi asuransi yang dibayar
oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi para pemegang saham atau keluarganya.
3. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:
a. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit,
sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak
piutang;
b. cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial;
c. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
d. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
e. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
f. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industry untuk usaha
pengolahan limbah industri, yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.

Besarnya pemupukan dana cadangan atau cadangan piutang tak tertagih diatur sebagai berikut:

1) Usaha bank umum dan sewa guna usaha dengan hak opsi, Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Besarnya cadangan adalah:
• 0,5% (setengah persen) dari kredit yang digolongkan lancar, dan
• 3% (tiga persen) dari kredit yang digolongkan kurang lancar setelah dikurangi dengan nilai
agunan
yang dikuasai, dan
• 50% (lima puluh persen) dari kredit yang digolongkan diragukan setelah
dikurangi dengan nilai agunan yang dikuasai; dan
• 100% (seratus persen) dari kredit yang digolongkan diragukan setelah dikurangi
dengan nilai agunan yang dikuasai.
2) Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada dana
cadangan ditetapkan atas setinggi-tingginya:
• 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid;
• 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya, atau sebesar nilai yang
ditetapkan oleh perusahaan penilai.
3) Perusahaan asuransi
Besarnya cadangan premi yang dibentuk adalah 40% dari jumlah premi tanggungan sendiri yang
diterima atau diperoleh dalam tahun pajak yang bersangkutan.
4) Perusahaan pertambangan.
Perusahaan pertambangan yang menurut kontrak diharuskan melakukan reklamasi atas tanah yang
dieksploitasi dapat membentuk atau memupuk cadangan biaya reklamasi mulai tahun produksi
komersial. Besarnya dana cadangan biaya reklamasi dihitung berdasarkan metode satuan produksi
yang didasarkan pada jumlah taksiran biaya reklamasi.
4. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi
beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja
dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.
Bagi Wajib Pajak orang pribadi, premi asuransi yang dibayarkannya tersebut tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto, dan pada saat penerimaan penggantian atau santunan asuransi,
jumlah tersebut juga bukan merupakan Objek Pajak. Apabila premi tersebut ditanggung atau dibayar
44

oleh pemberi kerja, bagi pemberi kerja pembayaran tersebut merupakan pengurang penghasilan bruto
atau dibebankan sebagai biaya dan bagi pegawai yang bersangkutan merupakan Objek Pajak.
5. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk
natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta
penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang
berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Sebagaimana telah diuraikan dalam penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf d UU PPh, penggantian atau
imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan dianggap bukan merupakan Objek Pajak. Selaras
dengan hal tersebut, dalam ketentuan ini penggantian atau imbalan dimaksud dianggap bukan
merupakan pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja. Namun, dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, pemberian natura dan kenikmatan berikut ini dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan merupakan penghasilan pegawai yang
menerimanya:
a. penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan
pelaksanaan pekerjaan di daerah tersebut dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk
mendorong pembangunan di daerah terpencil;
b. pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai
sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya, seperti pakaian dan
peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan (satpam), antar jemput
karyawan, serta penginapan untuk awak kapal dan yang sejenisnya; dan
c. pemberian atau penyediaan makanan dan atau minuman bagi seluruh pegawai yang berkaitan
dengan pelaksanaan pekerjaan.
6. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada
pihakyang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan
yang dilakukan.
Dalam hubungan pekerjaan, kemungkinan dapat terjadi pembayaran imbalan yang diberikan kepada
pegawai yang juga pemegang saham. Oleh karena pada dasarnya pengeluaran untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah
pengeluaran yang jumlahnya wajar sesuai dengan kelaziman usaha, berdasarkan ketentuan ini jumlah
yang melebihi kewajaran tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Misalnya, seorang tenaga ahli
yang merupakan pemegang saham dari suatu badan memberikan jasa kepada badan tersebut dengan
memperoleh imbalan sebesar Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah). Apabila untuk jasa yang sama yang
diberikan oleh tenaga ahli lain yang setara hanya dibayar sebesar Rp20.000.000 (dua puluh juta rupiah),
jumlah sebesar Rp30.000.000 (tiga puluh juta rupiah) tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Bagi tenaga
ahli yang juga sebagai pemegang saham tersebut jumlah sebesar Rp30.000.000 (tiga puluh juta rupiah)
dimaksud dianggap sebagai dividen.
7. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b UU PPh, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m UU PPh serta zakat yang diterima oleh badan amil
zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh
lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

8. Pajak penghasilan
Pajak penghasilan yang dimaksud adalah Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak. Contoh,
PT Perdana selama tahun 2008 telah membayar angsuran PPh Pasal 25 sebesar Rpl2.000.000,
jumlah ini tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto tahun 2008.
9. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang
45

yang menjadi tanggungannya


Biaya untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang pribadi yang menjadi tanggungannya
pada hakikatnya merupakan penggunaan penghasilan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.
10. Gaji yang dibayarkan kepada anggota pcrsekutuan, firma, atau perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham.
Anggota firma, persekutuan, dan perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham
diperlakukan sebagai suatu kesatuan, sehingga tidak ada imbalan sebagai gaji.
11. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang
berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan
Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan mengatur pula mengenai pengeluaran dan biaya
yang tidak boleh dikurangkan dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak
Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap termasuk:
1. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan
Objek Pajak;
2. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang pengenaan pajaknya
bersirat final;
3. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang dikenakan
pajakberdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Norma Penghitungan Khusus
(perhatikan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang PPh);
4. Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, kecuali pajak atas
penghasilan yang dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan tetapi tidak
termasuk dividen sepanjang Pajak Penghasilan tersebut ditambahkan dalam penghitungan dasar
untuk pemotongan pajak; dan
5. Kerugian dari harta atau utang yang tidak dimiliki dan tidak dipergunakan dalam usaha atau
kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak.

Demikian halnya yang berkaitan dengan pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (PPN dan PPnBM) selanjutnya Peraturan Pemerintah mengatur bahwa Pajak Masukan yang tidak
dapat dikreditkan (Pasal 9 ayat (8) Undang-Undang PPN dan
PPnBM) dapat dikurangkan dari penghasilan bruto tetapi terdapat unsur pengecualian. Pengecualian
tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, meliputi:
1. Pajak Masukan (Pasal 9 ayat (8) huruf f dan huruf g) sepanjang tidak dapat dibuktikan
bahwa Pajak Masukan tersebut benar-benar telah dibayar.
2. Pajak Masukan berkenaan dengan pengeluaran yang tidak dapat dikurangkan dalam menentukan
besarnya Penghasilan Kena Pajak (Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan). Terhadap
Pajak Masukan, walaupun dapat dikurangkan dari penghasilan bruto tetapi perlu diperhatikan apabila
hal tersebut sehubungan dengan pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan atau harta tidak
berwujud serta biaya lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun (Pasal 11
dan Pasal 11A Undang-Undang Pajak Penghasilan) terlebih dahulu harus dikapitalisasi dengan
pengeluaran/biaya tersebut dan dibebankan melalui penyusutan dan amortisasi.

H.MENGHITUNG PAJAK PENGHASILAN


Pajak penghasilan yang terutang dihitung dengan mengalikan tarif tertentu terhadap Penghasilan Kena
Pajak (PKP). Penghasilan Kena Pajak yang digunakan sebagai dasar menghitung PPh tersebut dihitung
dengan cara yang berbeda-beda tergantung pada jenis Wajib Pajak. Di samping cara-cara penghitungan
46

PKP tersebut, terdapat peghitungan PKP dengan menggunakan Norma Penghitungan Khusus. Norma
penghitungan khusus ini diperuntukkan bagi Wajib Pajak tertentu, seperti perusahaan pelayaran atau
penerbangan internasional; perusahaan asuransi luar negeri; perusahaan pengeboran minyak, gas, dan
panas bumi; perusahaan dagang asing; dan perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun
guna serah (build, operate, and transfer). Ketentuan penghitungan PPh ini telah dibahas pada bagian lain
tentang Penentuan Pajak Penghasilan Khusus.
Dalam UU PPh Indonesia dikenal dua golongan Wajib Pajak, yaitu Wajib Pajak dalam negeri dan
Wajib Pajak luar negeri. Bagi Wajib Pajak dalam negeri pada dasarnya terdapat dua cara untuk menentukan
besarnya PKP, yaitu dengan metode pembukuan dan menggunakan Norma Penghitungan. Bagi Wajib Pajak
luar negeri, penentuan besarnya PKP dibedakan menjadi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dan Wajib Pajak luar negeri
lainnya.
Menghitung pajak penghasilan dibedakan menjadi dua yaitu menghitung pajak atas
penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak yang bersangkutan dan menghitung pajak atas penghasilan pihak
lain. Menghitung pajak atas penghasilan sendiri biasanya disebut dengan menghitung pajak penghasilan
terutang. Menghitung pajak atas penghasilan pihak lain dilakukan pada saat Wajib Pajak membayarkan
penghasilan kepada pihak lain dalam bentuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, sewa, royalti, dan Iain-
lain.
Secara umum, pajak penghasilan yang terutang dihitung dengan formula sebagai berikut:

PPh Terutang = Tarif Pajak x Penghasilan Kena Pajak

1.Tar if Pajak
Tarif pajak merupakan persentase tertentu yang digunakan untuk menghitung besarnya PPh. Tarif PPh yang
berlaku di Indonesia dikelompokkan menjadi dua yaitu tarif umum sesuai Pasal 17 UU No. 7 Tahun 1983
(sebagaimana telah diubah beberapa kali dan yang terakhir adalah dalam UU No. 36 Tahun 2008) dan tarif
lainnya.
Sistem penerapan tarif Pajak Penghasilan sesuai dengan Pasal 17 UU PPh dibagi menjadi dua, yaitu
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, dan Wajib Pajak dalam negeri badan dan bentuk usaha tetap.

a.Tarif PPh untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, yaitu:

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak Tarif Pajak

sampai dengan Rp50. 000.000 (lima puluh juta rupiah) 5% (lima persen)

di atas Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan


15% (lima belas persen)
Rp250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah)

di atas Rp250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai


25% (dua puluh lima persen)
dengan Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah)

di atas Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah) 30% (tiga puluh persen)
47

Contoh:
a. Jumlah Penghasilan Kena Pajak Tuan Akbar pada tahun 2009 adalah Rp45.000.000.
Pajak Penghasilan yang terutang:
5% x Rp45.000.000 Rp2.250.000
b. Jumlah Penghasilan Kena Pajak Tuan Chika pada tahun 2009 adalah Rp200.000.000.
Pajak Penghasilan yang terutang:
5% x Rp50.000.000 Rp 2.500.000

15% x Rpl50.000.000 Rp22.500.000(+)


Rp 25.000.000
c. Jumlah Penghasilan Kena Pajak Tuan Dedy pada tahun 2009 adalah Rp500.000.000.
Pajak Penghasilan yang terutang:
5% x Rp50.000.000 Rp 2.500.000
15% x Rp200.000.000 Rp30.000.000
25% x Rp250.000.000 Rp62.500.000 (+)
Rp95.000.000
d. Jumlah Penghasilan Kena Pajak Tuan Hakim pada tahun 2009 adalah Rp600.000.000.
Pajak Penghasilan yang terutang:
5% x Rp50.000.000 Rp 2.500.000
15% x Rp200.000.000 Rp.30.000.000
25% x Rp250.000.000 Rp 62.500.000
30% x Rpl00.000.000 Rp.30.000.000 (+)
Rp.125.000.000
Untuk keperluan penerapan tarif pajak tersebut, jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah
dalam ribuan rupiah penuh.
Contoh:
a. Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp25.650.990, maka untuk keperluan penerapan tarif Pajak
Penghasilan, Penghasilan Kena Pajak tersebut dibulatkan ke bawah menjadi Rp25.650.000
b. Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp225.990.499, maka untuk keperluan penerapan tarif Pajak
Penghasilan, Penghasilan Kena Pajak tersebut dibulatkan ke bawah. menjadi Rp225.990.000
Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dalam bagian tahun pajak,
dihitung sebanyak jumlah hari dalam bagian tal dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) dikalikan dengan
pajak yang terut tahun pajak. Tiap bulan yang penuh dihitung 30 (tiga puluh) hari.

Contoh:
Penghasilan Kena Pajak setahun sebesar Rp584.160.000
Pajak Penghasilan setahun:
5% x Rp50.000.000 Rp 2.500.000
15% x Rp200.000.000 Rp 30.000.000
25% x Rp250.000.000 Rp 62.500.000
30%xRp84.160.000 Rp 25.248.000 (+)
Rp 120.248.000
Pajak Penghasilan yang terutang dalam bagian tahun pajak (3 bulan):
{(3 x 30) H- 360} x Rpl20.248.000 = Rp30.062.000

b.Tarif PPh untuk Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap adalah 28% (dua puluh
delapan persen). Tarif tersebut menjadi 25% (dua puluh lima persen) berlaku mulai Tahun Pajak 2010.
48

Tarif pajak untuk Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit
40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di
Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen)
lebih rendah daripada tarif untuk Wajib Pajak Badan pada umumnya.

Berdasar Surat Edaran No. SE-66/PJ/2010 tentang penegasan atas pelaksanaan pasal 3IE ayat (1) UU
No. 7 Tahun 1083 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah diubah beberapa kali dan diubah terakhir
dengan UU No. 36 Tahun 2008, bahwa:
1. Wajib Pajak Badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif
sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dijelaskan pada nomor 2 paragraf pertama
(Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a)) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian
peredaran bruto sampai dengan
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
2. Fasilitas pengurangan tersebut dilaksanakan secara self assessment pada saat penyampaian SPT
Tahunan PPh Wajib Pajak Badan, tidak perlu menyampaikan permohonan untuk dapat
memperoleh fasilitas tersebut.
3. Peredaran bruto tersebut adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha
sebelum dikurangi dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
baik berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, meliputi:
a. Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final;
b. Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan tidak bersifat final;
c. Penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak.
Fasilitas pengurangan tersebut bukan merupakan pilihan.

Contoh 1
Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2012 sebesar Rp4.500.000.000 dengan penghasilan kena
pajak sebesar Rp500.000.000 dengan rincian sebagai berikut:
a. Peredaran bruto dari penghasilan yang:
- dikenaiPPhbersifat final Rp 1.500.000.000
- bukan objek pajak Rp 500.000.000
- Dikenai PPh tidak bersifat final Rp 2.500.000.000
Jumlah Rp 4.500.000.000
b. Biaya untuk mendapatkan, menagih
dan memelihara penghasilan usaha yang:
- dikenai PPh bersifat final (Rp 450.000.000)
- bukan objek pajak (Rp 200.000.000)
- dikenai PPh tidak bersifat final (Rpl.350.000.000)
Jumlah (Rp2.000.000.000)
c. Laba usaha (penghasilan neto usaha) Rp 2.500.000.000
d. Penghasilan dari luar usaha yang:
- dikenai PPh bersifat final Rp 50.000.000
- dikenai PPh tidak bersifat final Rp 100.000.000
e. Biaya untuk mendapatkan, menagih
dan memelihara penghasilan usaha yang:
- dikenai PPh bersifat final (Rp 25.000.000)
- dikenai PPh tidak bersifat final (Rp 50.000.000)
Penghasilan neto dari usaha Rp 75.000.000
f. Jumlah seluruh penghasilan neto Rp 2.575.000.000
49

g. Koreksi fiscal:
- peredaran bruto dari penghasilan
yang dikenai PPh bersifat final (Rpl.500.000.000)
- peredaran bruto dari penghasilan
yang bukan objek pajak (Rp 500.000.000)
- biaya untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan usaha
yang dikenai PPh bersifat final Rp 450.000.000
- biaya untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan usaha
yang bukan objek pajak Rp 200.000.000
- peredaran dari luar usaha yang
dikenai PPh bersifat final (Rp 50.000.000)
- biaya untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan dari luar
usaha yang dikenai PPh bersifat final Rp 25.000.000
Jumlah (Rp. l.375.000.000) ;

h. Jumlah seluruh penghasilan neto seteleh koreksi fiscal Rp 1.200.000.000


i. Kompensasi kerugian (Rp 700.000.000)
j. Penghasilan kena pajak Rp 500.000.000

Penghitungan Pajak Penghasilan terutang:


Seluruh penghasilan kena pajak dikenai tarif 50% (lima puluh persen) dari tariff Pajak Penghasilan
badan yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT X (hanya Rp4.500.000.000) tidak melebihi
Rp4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Pajak Penghasilan yang terutang:
(50% x 25%) x Rp500.000.000 = Rp62.500.000

Contoh 2
Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2012 sebesar Rp30.000.000.000 dengan penghasilan kena
pajak sebesar Rp3.000.000.000 dengan rincian sebagai berikut:
a. Peredaran bruto dari penghasilan yang:
- dikenai PPh bersifat final Rp 7.000.000.000
- bukan objek pajak Rp 3.000.000.000
- dikenai PPh tidak bersifat final Rp20.000.000.000
Jumlah Rp 30.000.000.000
b. Biaya untuk mendapatkan, menagih
dan memelihara penghasilan usaha yang:
- dikenai PPh bersifat final (Rp 4.000.000.000)
- bukan objek pajak (Rp 2.000.000.000)
- dikenai PPh tidak bersifat final (Rpl8.000.000.000)
Jumlah (Rp24.000.000.000)

c. Laba usaha (penghasilan neto usaha) Rp 6.000.000.000


d. Penghasilan dari luar usaha yang:
- dikenai PPh bersifat final Rp 50.000.000
- dikenai PPh tidak bersifat final Rp 2.500.000.000
50

e. Biaya untuk mendapatkan, menagih


dan memelihara penghasilan usaha yang:
- dikenai PPh bersifat final (Rp 25.000.000)
- dikenai PPh tidak bersifat final (Rpl.000.000.000)
Penghasilan neto dari usaha Rp 1.525.000.000
f. Jumlah seluruh penghasilan neto Rp 7.525.000.000

g. Koreksi fiskal
- peredaran bruto dari penghasilan
yang dikenai PPh bersifat final (Rp7.000.000.000)
- peredaran bruto dari penghasilan
yang bukan objek pajak (Rp3.000.000.000)
- biaya untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan usaha
yang dikenai PPh bersifat final Rp 4.000.000.000
- biaya untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan usaha
yang bukan objek pajak Rp 2.000.000.000
- peredaran dari luar usaha yang
dikenai PPh bersifat final (Rp 50.000.000)
- biaya untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan dari luar
usaha yang dikenai PPh bersifat final Rp 25.000.000
Jumlah ' (Rp 4.025.000.000)

h. Jumlah seluruh penghasilan neto seteleh koreksi fiskal Rp 3.500.000.000


i. Kompensasi kerugian (Rp 500.000.000)
j. Penghasilan kena pajak Rp 3.000.000.000

Penghitungan Pajak Penghasilan terutang:


a. Jumlah penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh
fasihtas:
' (Rp4.800.000.000 / Rp30.000.000.000) x Rp3.000.000.000 = Rp480.000.000
b. Jumlah penghasilan kena pajak dari bagian peredaran usaha yang tidak memperoleh
fasilitas:
Rp3.000.000.000 - Rp480.000.000 = Rp2.520.000.000
Pajak Penghasilan yang terutang:
- (50%x25%)xRp480.000.000 = Rp 60;000.000
- 25% x Rp2.520.000.000 = Rp 630.000.000
Rp 690.000.000
51

Contoh 3
Peredaran bruto PT. Z pada tahun 2012 adalah:
-Terkait PPh bersifat final Rp. 30.000.000.000
-Terkait bukan objek pajak Rp. 10.000.000.000
-Terkait PPh tidak bersifat final Rp. 20.000.000.000
Jumlah peredaran bruto Rp. 60.000.000.000
Penghasilan kena pajak sebesar Rp. 2.000.000.000

Penghitungan Pajak Penghasilan terutang:


Seluruh penghasilan kena pajak dikenai tarif berdasar Pasal 17 ayat (1) huruf b
UU PPh karena jumlah peredaran bruto PT Z sebesar Rp60.000.000.000 telah
melebihi batas maksimal peredaran bruto yang mendapat fasilitas pengurangan
(Rp50.000.000.000).
Pajak Penghasilan yang terutang;
25% x Rp. 2.000.000.000 = Rp. 500.000.000

3. TarifPPh untukpenghasilanberupa dividenyang dibagikan kepadaWajib Pajak orang pribadi dalam


adalah paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat final.

3. Penghasilan Kena Pajak (PKP)


Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif bagi Wajib Pajak dalam negeri dalam suatu tahun
pajak dihitung dengan cara penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dikurangi dengan
pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 7 ayat (1), serta Pasal 9
ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g. Pasal-pasal dan ayat-ayat tersebut telah disebut dalam bab
ini dalam sub bab berikut:

UUPPh

51
52

Sub bab dalam bab ini

Pasal 4 ayat (1) Penghasilan Termasuk Objek Pajak

Pasal 6 ayat (1) Biaya Diperkenankan sebagai Pengurang Objek Pajak

Pasal 6 ayat (2) Kompensasi

Pasal 7 ayat (1) Penghasilan Tidak Kena Pajak

Pasal 9 ayat (1): Biaya Tidak Diperkenankan sebagai Pengurang Objek Pajak:
- huruf c No. 3 -v pembentukan dan pemupukan dana cadangan dengan syarat tertentu.

- huruf d No. 4 -> Premi asuransi tertentu yang dibayar oleh pemberikerja (sebagai Wajib Pajak
orang pribadi) dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang
rnenerima.
- huruf e No. 5 -> Natura dalam bentuk makanan dan minuman bagi seluruh pegawai dan
natura & kenikmatan untuk daerah tertentu diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan
- huruf g No. 7 -> sumbangan dan zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil
zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh
lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah

Penghitungan Penghasilan Kena Pajak tersebut dihitung dengan cara tertentu berdasar pengelompokan
sebagai berikut:
1. Wajib Pajak badan;
2. Wajib Pajak orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan;
3. Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan Norma Penghitungan;
4. Wajib Pajak bentuk usaha tetap;
5. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam suatu bagian tahun pajak

a. Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Badan.

Wajib Pajak badan diwajibkan untuk melakukan pembukuan dengan cara-cara yang telah ditetapkan
dalam KUP. Penghasilan Kena Pajak untuk Wajib Pajak badan sama dengan penghasilan bruto
dikurangi dengan pengurang yang diperkenankan (sesuai Pasal 6 ayat (1) UU PPh dan kompensasi
kerugian (sesuai Pasal 6 ayat (2) UU PPh). Penghasilan bruto dikurangi dengan biaya yang
diperkenankan disebut sebagai penghasilan neto. Apabila terdapat sisa kerugian tahun sebelumnya
yang masih dapat dikompensasikan, maka PKP dihitung dari penghasilan neto dikurangi kerugian
tahun sebelumnya dengan catatan tidak lebih dari lima tahun. Penghitungan tersebut dapat
diformulasikan sebagai berikut:

52
53

PKP = Penghasilan neto


= Penghasilan bruto - pengurang/biaya diperkenankan sesuai UU PPh.

Contoh a.
Penjualan bruto Rp6.100.000.000
Retur penjualan Rp 60.000.000
Potongan penjualan Rp 40.000.000 (+)
Rpl00.000.000 (-)
Penjualan neto Rp6.000.000.000
Biaya untuk mendapatkan, menagih
dan memelihara penghasilan Rp5.400.000.000 (-)
Laba usaha (penghasilan neto usaha) Rp 600.000.000
Penghasilan di luar usaha Rp50.000.000
Biaya-biaya di luar usaha Rp30.000.000 (-)
Penghasilan neto di luar usaha Rp 20.000.000 (+)
Total penghasilan neto Rp 620.000.000
Dalam hal terdapat rugi tahun sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan, maka:
PKP = Penghasilan neto - kompensasi kerugian
= (Penghasilan bruto - pengurang/biaya diperkenankan sesuai UU PPh)
- kompensasi kerugian
Contoh 1.2.
Seperti pada Contoh 1.1. jika terdapat sisa kerugian tahun sebelumnya yang masih dapat
dikompensasikan sebesar Rp 10.000.000, PKP-nya menjadi:
Penghasilan neto Rp 620.000.000
Kompensasi kerugian Rp 10.000.000 (-)
Penghasilan Kena Pajak Rp 610.000.000

b. Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang Menyelenggarakan
Pembukuan.
Penghitungan PKP untuk Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan pembukuan sama dengan
Wajib Pajak badan tetapi dikurangi lagi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Besarnya
PTKP yang boleh dikurangkan dari penghasilan neto telah dibahas pada bagian sebelumnya.
Komponen penghasilan neto bagi Wajib Pajak orang pribadi terdiri atas penghasilan neto dari
usaha, penghasilan neto dari pekerjaan, penghasilan neto dari usaha lainnya (royalti, dividen, bunga,
dan Iain-lain), dan penghasilan neto dari luar negeri. Penghitungan PKP tersebut dapat
diformulasikan sebagai berikut:
PKP = Penghasilan neto - PTKP
= (Penghasilan brut.o - pengorang/biaya diperkenankan sesuai UU PPh) - PTKP '

Contoh
Seperti pada Contoh 2.1 jika Wajib Pajak membayar zakat atas penghasilan sebesar Rpl0.000.000
sesuai ketentuan yang ada, maka PKP-nya menjadi Rp603.004.000 (= Rp613.004.000 –
Rpl0.000.000).
Dalam hal Wajib Pajak membayar zakat atas penghasilan dan terdapat rugi tahun sebelumnya
yang masih dapat dikompensasikan, maka Penghitungan PKP selanjutnya diformulasikan sebagai

53
54

berikut:
PKP = Penghasilan neto - zakat atas penghasilan - kompensasi kerugian - PTKP
= (Penghasilan bruto - pengurang/biaya diperkenankan sesuai UU PPh) - zakat atas
penghasilan - kompensasi kerugian - PTKP
Contoh 2.3
Seperti pada Contoh 2.2. jika terdapat sisa kerugian tahun sebelumnya yang masih dapat
dikompensasikan sebesar Rp20.000.000, maka PKP-nya menjadi Rp583.004.000 (=
Rp613.004.000 –
Rpl0.000.000 - Rp20.000.000).

c. Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang Menggunakan Norma
Penghitungan.
Informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak sangat penting untuk digunakan
sebagai dasar penghitungan pajak. Informasi tersebut diperoleh jika Wajib Pajak telah
menyelenggarakan pembukuan dengan baik dan benar. Namun, disadari bahwa tidak semua Wajib
Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan. Semua Wajib Pajak badan dan Bentuk Usaha Tetap
diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha
atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran bruto tertentu tidak diwajibkan untuk
menyelenggarakan pembukuan. Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya
penghasilan neto bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan
peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma penghitungan.
Norma Penghitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan neto
yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dan disempurnakan terus-menerus. Penggunaan
Norma Penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal:
a. tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang lengkap,atau
b. pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan secara
tidak benar.
Norma Penghitungan disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian atau data lain, dan
dengan memperhatikan kewajaran. Norma Penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang
belum mampu menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan neto. Norma
Penghitungan Penghasilan Neto hanya boleh digunakan dengan syarat sebagai berikut:

a. Wajib Pajak orang pribadi melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran
brutonya kurang dari jumlah Rp4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah);
b. Wajib Pajak orang pribadi harus memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka
waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan;
c. Wajib Pajak wajib menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran brutonya sebagaimana
diatur dalam undang-undang yang mengatur mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Apabila Wajib Pajak orang pribadi yang berhak bermaksud untuk menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto, tetapi tidak memberitahukannya kepada Direktur Jenderal Pajak dalam
jangka waktu yang ditentukan, Wajib Pajak tersebut dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, wajib menyelenggarakan pencatatan,
atau dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan, tetapi:
a. tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan kewajiban pencatatan atau pembukuan; atau
b. tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya

54
55

pada waktu dilakukan pemeriksaan sehingga mengakibatkan peredaran bruto dan penghasilan neto
yang sebenarnya tidak diketahui maka peredaran bruto Wajib Pajak yang bersangkutan dihitung
dengan cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan dan
penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
Menteri Keuangan dapat menyesuaikan besarnya batas peredaran bruto dengan memperhatikan
perkembangan ekonomi dan kemampuan masyarakat Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan.
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan norma sama dengan
penghasilan neto dikurangi dengan PTKP. Penghasilan neto sama dengan jumlah peredaran usaha atau
penerimaan bruto dari usaha atau pekerjaan bebas dikalikan dengan persentase Norma Penghitungan
Penghasilan Neto (NPPN). Oleh karena tidak menyelenggarakan pembukuan (menggunakan norma
penghitungan yang dasarnya adalah peredaran usaha) maka tidak ada rugi bagi Wajib Pajak tersebut,
sehingga tidak ada pengakuan terhadap kompensasi kerugian dalam menghitung PKP. Penghitungan
PKP tsb dapat diformulasikan sbagai berikut;

PKP = Penghasilan neto - PTKP


= (Peredaran usaha x % NPPN) - PTKP

Contoh c.1
Peredaran bruto Rp4.000.000.000
Penghasilan neto (menurut Norma Penghitungan)
misalnya 20%: 20% x Rp4.000.000.000 Rp 800.000.000
Penghasilan neto lainnya Rp 5.000.000 (+)
Jumlah seluruh penghasilan neto Rp 805.000.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/3):
-DiriWP Rp 15.840.000
-tambahan kawin Rp 1.320.000
-tanggungan 2 Rp 2.640.000 (+)
Rp.21.120.000(-)
Penghasilan Kena Pajak Rp 783.880.000

Bagi Wajib Pajak orang pribadi muslim yang membayarkan zakat atas penghasilan kepada badan amil
zakat (BAZIS), jumlah zakat yang dibayarkan tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan neto
sebelum dikenakan pajak. Penghitungan PKP selanjutnya diformulasikan sebagai berikut:
-
PKP = Penghasilan neto - zakat atas penghasilan - PTKP
= (Peredaran usaha x % NPPN) - zakat atas penghasilan - PTKP

Contoh c.2
Seperti pada Contoh 3.1 jika Wajib Pajak membayar zakat atas penghasilan sebesar Rp20.000.000
sesuai ketentuan yang ada, maka PKP-nya menjadi Rp763.880.000 (= Rp783.880.000 -
Rp20.000.000).

55
56

d. Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap.

Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk
usaha tetap di Indonesia, cara penghitungan Penghasilan Kena Pajaknya pada dasarnya sama dengan
cara penghitungan Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri. Karena bentuk
usaha tetap berkewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung
dengan cara penghitungan biasa (Contoh 1.1. Wajib Pajak Badan).

Contoh d..
Peredaran bruto Rp 10.000.000.000
Biaya untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan Rp 8.000.000.000 (-)
Rp 2.000.000.000
Penghasilan bunga Rp 50.000.000
Penjualan langsung barang yang sejenis
dengan barang yang dijual bentuk usaha tetap
oleh kantor pusat Rp 2.000.000.000

Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara


penghasilan Rp1.500.000.000 (-)
Rp. 500.000.000
Dividen yang diterima atau diperoleh kantor pusat yang mempunyai hubungan
efektif dengan bentuk usaha tetap Rp1.000.000.000 (+)
Rp.3.550.000.000
Biaya-biaya menurut Pasal 5 ayat (3) Rp450.000.000 (-)
Penghasilan Kena Pajak Rp 3.100.000.000

e. Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang Terutang Pajak dalam Suatu Bagian
Tahun Pajak.

Dapat terjadi kemungkinan bahwa orang pribadi menjadi Subjek Pajak tidak dalam jangka waktu 1
(satu) tahun pajak penuh, misalnya orang pribadi yang menjadi Subjek Pajak pada pertengahan
tahun pajak atau yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya pada pertengahan tahun
pajak. Jangka waktu kurang dari 1 (satu) tahun pajak tersebut dinamakan "bagian tahun pajak" yang
menggantikan tahun pajak. PKP bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak
dalam suatu bagian tahun pajak tersebut, dihitung berdasarkan penghasilan neto yang diterima atau
diperoleh dalam bagian tahun pajak yang disetahunkan.

Contoh e.
Orang pribadi tidak kawin yang kewajiban pajak subjektifnya sebagai Subjek Pajak dalam negeri
adalah 3 (tiga) bulan dan dalam jangka waktu tersebut memperoleh penghasilan sebesar Rpl
50.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah) maka penghitungan Penghasilan Kena Pajaknya adalah
sebagai berikut.

Penghasilan selama 3 (tiga) bulan Rp 150.000.000

56
57

Penghasilan setahun sebesar:


{360 : (3 x 30)} x Rpl50.000.000 Rp600.000.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak:
- Diri Wajib Pajak Rp 15.840.000 (-)
Penghasilan Kena Pajak Rp584.160.000

Contoh Beberapa Kasus Perhitungan Pajak Penghasilan


Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pajak penghasilan dihitung dari tarif dikalikan dengan
penghasilan kena pajak. Pajak penghasilan yang terutang atas contoh-contoh sebelumnya dihitung
sebagai berikut:
Penghasilan Kena
Kasus PPh yang terutang
Pajak
PKP mendapat fasilitas pengurangan tarif: (Rp4,8 M - Rp6 M)
PKP: Rp620.000.000 x Rp620.000.000 = Rp 496.000.000 PKP tidak mendapat
Contoh 1.1. Peredaran bruto fasilitas pengurangan tarif: Rp620.000.000 - Rp496.000.000
(WP Badan) dari kegiatan usaha: =Rp 124.000.000 PPh yang terutang: (50% x 25%) x
Rp6.000.000.000 Rp496.000.000 = Rp 62.000.000 25%xRpl24.000.000=
Rp 31.000.000
Rp
93.000.000
PKP mendapat fasilitas pengurangan tarif: (Rp4,8 M H- Rp6
PKP: Rp610.000.000 M) x Rp62 10.000.000= Rp 488.000.000 PKP tidak mendapat
Contoh 1.2. Peredaran bruto fasilitas pengurangan tarif: Rp610.000.000 - Rp488.000.000 =
(WP Badan) dari kegiatan usaha: Rp 122.000.000 PPh yang terutang: (50% x 25%) x
Rp6.000.000.000 Rp488.000.000 = Rp 61.000.000 25%xRpl22.000.000=
Rp 30.500.000
Rp
91.500.000
5% x Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000
Contoh 2.1. 15% x Rp200.000.000 = Rp 30.000.000
Rp613.004.000
(WP OP) 25% x Rp250.000.000 = Rp 62.500.000
30% xRpl 13.004.000 = Rp 33.901.200
Rp
128.90 1.200
5% x Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000
Contoh 2.2. 15% x Rp200.000.000 = Rp 30.000.000
Rp603.004.000
(WP OP) 25% x Rp250.000.000 = Rp 62.500.000
30% x Rpl03.004.000 = Rp 30.901.200

Rpl25.901.200
5% x Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000
Contoh 2.3. 15% x Rp200.000.000 = Rp 30.000.000
Rp583.004.000
(WP OP) 25% x Rp250.000.000 = Rp 62.500.000
30% x Rp 83.004.000 = Rp 24.901.200
Rpl 19.901.200

57
58

5% x Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000
Contoh 3.1. 15% x Rp200.000.000 = Rp 30.000.000
Rp783.880.000
(WP OP) 25% x Rp250.000.000 = Rp 62.500.000
30% x Rp283.880.000 = Rp 85.164.000
Rp.l 80. 164.000

Rp 2.500.000
5% xRp 50.000.000 15% x Rp 30.000.000
Contoh 3.2. Rp200.000.000 25% x Rp 62.500.000
Rp763.880.000
(WP OP) Rp250.000.000 30% x Rp 79.164.000
Rp263.880.000
Rpl74.164.000
Contoh 4.1.
Rp3. 100.000.000 28% x Rp3.100.000.000 Rp243.040.000
(WP BUT)
Rp 2.500.000
5%xRp 50.000.000 15% x Rp 30.000.000
Contoh 5.1. Rp200.000.000 25% x Rp 62.500.000
Rp584.160.000
(WP OP) Rp250.000.000 30% x Rp Rp 25.248.000
84.160.000
Rpl20.248.000

Catalan:
• WP OP : Wajib Pajak orang pribadi
. WP BUT : Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap

I. PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN

Pelunasan pajak penghasilan dalam tahun berjalan dapat dilakukan dengan dua caral yaitu
pelunasan pajak melalui pihak lain dan oleh Wajib Pajak sendiri. Pelunasan pajakl penghasilan dalam
tahun berjalan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000. Dalam hal pelunasan pajak
dilakukan oleh pihak lain, penghitungan, pemotongan, I penyetoran, dan pelaporan dilakukan oleh
pihak yang memberikan/membayarkanj penghasilan. Pelunasan pajak juga bisa dilakukan tidak
dalam tahun berjalan (sesudah j tahun pajak berakhir).

1.Pelunasan Pajak dalam Tahun Berjalan Melalui Pihak Lain

Pelunasan pajak dalam tahun berjalan melalui pihak lain (pemberi penghasilan/pemoti
pajak) dikelompokkan sebagai berikut:

1. Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak lain atas penghasilan berupa gaji, upahl honorarium,
tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk J pun sehubungan dengan
pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal2l ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan
terutang pada akhir bulan dilakukannyaj pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya

58
59

penghasilan yang bersangkutai tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.


2. Pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak badan pemerintah berkenaan dengai pembayaran
atas penyerahan barang; dan badan-badan tertentu baik badan pemerinta maupun swasta berkenaan
dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usahac bidang lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, terutang pada saat pembayaran,
kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
3. Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak lain atas penghasilan berupa dividen, bunga, royalti,
penghargaan, hadiah, bonus, dan Iain-lain yang diterima oleh Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk
usaha tetap, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan, terutang pada
akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang
bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
4. Pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha
tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) Undang- Undang Pajak Penghasilan,
terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang
bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
5. Pelunasan pajak atas penghasilan-penghasilan tertentu (bunga deposito dan simpanan lain di bank,
hadiah undian, transaksi saham dan sekuritas lain, dan Iain-lain) yang diatur tersendiri dengan
Peraturan Pemerintah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak.

2.Pelunasan Pajak dalam Tahun Berjalan oleh Wajib Pajak Sendiri


Di samping melalui pihak lain, pelunasan pajak dapat dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak dengan cara
sebagai berikut:
1. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang menerima penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan dari badan-badan yang tidak wajib melakukan pemotogan, penyetoran dan
pelaporan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Pajak
Penghasilan, wajib memiliki NPWP dan melaksanakan sendiri penghitungan dan pembayaran Pajak
Penghasilan yang terutang dalam tahun berjalan serta melaporkannya dalam Surat pemberitahuan
Tahunan.
2. Wajib Pajak membayar sendiri pajak atas penghasilan yang diperoleh atau diterima
melalui angsuran Pajak Penghasilan dalam Tahun Pajak berjalan (PPh Pasal 25).

3.Pelunasan Pajak Saat Sesudah Akhir Tahun Pajak


Pelunasan pajak sesudah Tahun Pajak berakhir dilakukan dengan:
1. Membayar pajak yang kurang disetor dengan menghitung sendiri jumlah PPh yang terutang untuk
satu tahun pajak dikurangi dengan jumlah kredit pajak tahun yang bersangkutan sebagaimana
diatur dalam Pasal 29 UU PPh.
2. Membayar pajak yang kurang disetor karena menerima surat ketetapan pajak (SKPKB
atau SKPKBT) ataupun Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak.

59

Anda mungkin juga menyukai