Anda di halaman 1dari 137

Subjek PPh Badan

Badan :
“sekumpulan orang dan atau modal
yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun
yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN,
BUMD dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi
yang sejenis, lembaga, Bentuk Usaha Tetap (BUT), dan
bentuk badan lainnya.”
Subjek PPh Badan

Subjek Pajak Badan Dalam Negeri

Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di


Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang
memenuhi kriteria tertentu.

Kewajiban pajak subjektif badan dalam negeri dimulai


pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan
atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia.
Subjek PPh Badan

Subjek Pajak Badan Luar Negeri

Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan


di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat


menjalankan usaha melalui BUT ataupun pada saat menerima
dan memperoleh penghasilan. Sedangkan berakhirnya pada
saat tidak lagi menjalankan usaha di Indonesia dengan melalui
BUT atau tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan di
Indonesia.
Bentuk Usaha Tetap
 Bentuk usaha yang dipergunakan oleh 1. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia,
2. warga negara asing yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, 3. Warga Negara Indonesia yang berada di luar
Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan dan 4. badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

Contoh :

Sebuah perusahaan dari China memenangkan tender pembangunan PLTU.


Untuk membangun PLTU tersebut perusahaan dari China mendirikan BUT
yang akan beroperasi selama pembangunan PLTU tersebut.

Mr Wong, warga negara China ditugaskan oleh China Life Insurance,


perusahaan asuransi yang berkedudukan di china untuk menjadi agen di
Indonesia. Dalam hal ini maka Mr Wong adalah BUT.

Kedudukan BUT dipersamakan kewajiban perpajakannya dengan Wajib


Pajak Badan Dalam Negeri.
Perbedaan WP Dalam Negeri
dan WP Luar Negeri

URAIAN WAJIB PAJAK DALAM WAJIB PAJAK LUAR NEGERI


NEGERI
Penghasilan yang dikenai pajak Atas penghasilan baik yang Hanya atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh dari berasal dari sumber
Indonesia maupun dari luar penghasilan di Indonesia
Indonesia

Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan neto dengan tarif Penghasilan bruto dengan tarif
umum pajak sepadan

SPT Wajib menyampaikan Surat Tidak wajib menyampaikan


Pemberitahuan Tahunan Pajak Surat Pemberitahuan Tahunan
Penghasilan sebagai sarana Pajak Penghasilan karena
untuk menetapkan pajak yang kewajiban pajaknya dipenuhi
terutang dalam suatu tahun melalui pemotongan pajak yang
pajak bersifat final.

Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib
Pajak badan dalam negeri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan Undang-Undang yang mengatur
mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan
BUKAN SUBJEK
PAJAK

1. Badan perwakilan negara asing (Kedutaan Besar);


2. Organisasi-Organisasi Internasional yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat :
 Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;
 Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada
pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota
BUKAN SUBJEK
PAJAK

3. Unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria


 Dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
 Dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD;
 Penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran
Pemerintah Pusat atau Daerah;
 Pembukuannya diperiksa oteh aparat pengawasan fungsional
negara.
KEWAJIBAN SUBJEK
PAJAK BADAN
Tata Cara
Pengenaan PPh

Subjek Pajak Badan yang memperoleh penghasilan akan dikenakan


PPh dengan dua cara :
1.Dikenakan PPh dengan tarif umum yaitu tarif Pasal 17 UU PPh
sebesar 25 % dan Pasal 31 E sebesar 12,5 %, perhitungannya
dilakukan dalam SPT Tahunan. Tahun 2020 dan 2021 menjdi 22 %,
mulai Tahun 2022 menjadi 20%
2.Dikenakan PPh secara final.
Tarif PPh Final dikenakan atas jenis penghasilan yang bersifat final
dengan tarif tertentu.
Konsep Pengenaan
PPh Final

 Dikenakan PPh dengan tarif tertentu atas jenis penghasilan tertentu dan
dikenakan pada saat penghasilan tersebut diterima atau diperoleh.
 PPh yang dikenakan, baik yang dipotong pihak lain maupun yang disetor
sendiri, bukan merupakan pembayaran di muka atas PPh terutang tetapi
sudah langsung melunasi PPh terutang untuk penghasilan tersebut.
 Penghasilan yang dikenakan PPh Final tidak akan dihitung lagi PPh nya
di SPT Tahunan untuk dikenakan tarif umum.
 Biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh penghasilan yang bersifat final
tidak dapat diperhitungkan kembali.
 PPh Final yang sudah dipotong atau dibayar tersebut bukan merupakan
kredit pajak di SPT Tahunan.
Konsep Pengenaan
PPh Final

Contoh :
PT. Hakatex adalah sebuah Atas laba bersih fiskal dari
perusahaan Garment yang juga penjualan pakaian akan
memiliki gedung yang dikenakan tarif umum sebesar 25
disewakan kepada pihak lain. % sedangkan atas pendapatan
Penghasilan yang diperoleh sewa gedung akan dikenakan
PPh final dengan tarif 10 %.
selama tahun 2014 terdiri dari :
-Penjualan Pakaian sebesar Rp.
PPh tarif final 10 % langsung
100 Milyar dikenakan pada saat
-Pendapatan Sewa Gedung memperoleh penghasilan
sebesar Rp. 2 Milyar. tersebut dan tidak perlu lagi
diperhitungkan dalam SPT
Tahunan PPh Badan.
Berdasarkan UU PPh
penghasilan dari penjualan Biaya untuk memperoleh
pakaian tidak bersifat final dan pendapatan sewa gedung tidak
penghasilan dari sewa gedung dapat dikurangkan dalam
bersifat final. menghitung laba bersih fiskal
dari hasil penjualan pakaian.
Objek Pajak

Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan,


yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal
dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat
dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan
Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama
dan dalam bentuk apapun.
Objek Pajak

Dibagi dalam dua kelompok :


Objek Pajak Tidak Final

a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan


atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji,
upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi,
uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-undang;
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan
penghargaan;
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan
harta termasuk:
 keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan,
dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
 keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu,
atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya;
 keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama
dan dalam bentuk apa pun;
 keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan,
atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan
keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk
yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan
usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan

 keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau


seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam
pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan
pertambangan;
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah
dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan
pengembalian pajak;
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena
jaminan pengembalian utang;
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk
dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis
(pembagian SHU koperasi pada UU Cipta Kerja menjadi
bukan Objek Pajak);
h. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta;
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai
dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah;
l. keuntungan selisih kurs mata uang asing;
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. premi asuransi;
o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari
anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan
usaha atau pekerjaan bebas;
p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang
belum dikenakan pajak;
q. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
r. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata
cara perpajakan; dan
s. surplus Bank Indonesia.
OBJEK PAJAK FINAL
(PPH PASAL 4 AYAT 2)

a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya,


bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan
yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi
orang pribadi
b. penghasilan berupa hadiah undian
c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya,
transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan
transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan
modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh
perusahaan modal ventura
d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah
dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate,
dan persewaan tanah dan/atau bangunan;
e. penghasilan tertentu lainnya : revaluasi aktiva tetap, Built
Operate Transfer, Deviden diterima orang pribadi, penjualan
BBM dan Pelumas oleh Agen.
PENGHASILAN BUKAN
OBJEK PAJAK

a. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang


diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat
yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang
diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang
diakui di Indonesia, yang Diterima oleh lembaga
keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah
dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak,
yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah; dan
b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam
garis keturunan LURUS SATU DRAJAT, badan keagamaan,
badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi,
atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil,
yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di
antara pihak-pihak yang bersangkutan;
c. warisan;

d. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b
sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti
penyertaan modal;

e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan


pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam
bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau
Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib
Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau
Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan
khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15;
f. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada
orang pribadi sehubungan dengan asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi bea siswa;

g. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh


perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri,
koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha
milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha
yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia
dengan syarat:
1. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan
usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham
pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua
puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;
G. Perubahan UU Cipta Kerja :
Dividen atau penghasilan lain dengan ketentuan sebagai
berikut:
1. dividen yang berasal dari dalam negeri yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak:
a) orang pribadi dalam negeri sepanjang dividen tersebut
diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dalam jangka waktu tertentu; dan/atau
b) badan dalam negeri
2. dividen yang berasal dari luar negeri dan penghasilan
setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam negeri
atau Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, sepanjang
diinvestasikan atau digunakan untuk mendukung kegiatan
usaha lainnya di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dalam jangka waktu tertentu, dan memenuhi
persyaratan berikut:
a) dividen dan penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan
tersebut paling sedikit
sebesar 30% (tiga puluh persen) dari laba setelah pajak; atau
b) dividen yang berasal dari badan usaha di luar negeri yang
sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek diinvestasikan
di Indonesia sebelum Direktur Jenderal Pajak menerbitkan
surat ketetapan pajak atas dividen tersebut sehubungan
dengan penerapan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang ini;
Deviden dan Penghasilan Lain dari Luar Negeri yang dibebaskan
PPh :
- Dalam hal Dividen dari luar negeri diinvestasikan di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia kurang dari 30%
(tiga puluh persen) dari jumlah Laba Setelah Pajak,
Dividen yang diinvestasikan dikecualikan dari pengenaan
PPh. Ayat (1) --- Pasal 21

- Atas selisih dari 30% (tiga puluh persen) Laba Setelah


Pajak dikurangi dengan Dividen yang diinvestasikan di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dikenai PPh
berdasarkan Pasal 17 UndangUndang PPh. Ayat (2)

- Sisa Laba Setelah Pajak dikurangi dengan penghasilan


setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri
yang diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan atas selisih sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak dikenai PPh.
Deviden dan Penghasilan Lain dari Luar Negeri yang dibebaskan
PPh :
- Dalam hal penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk
usaha tetap di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 ayat (2) diinvestasikan di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia lebih dari 30% (tiga
puluh persen) dari jumlah Laba Setelah Pajak,
penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap
di luar negeri yang diinvestasikan dikecualikan dari
pengenaan PPh.

- Atas Laba Setelah Pajak dikurangi dengan penghasilan


setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri
yang diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dikenai PPh.

- Atas sisa Laba Setelah Pajak dikurangi dengan Dividen


yang diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah
dikurangi dengan selisih sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
tidak dikenai PPh.
Deviden dan Penghasilan Lain dari Luar Negeri yang dibebaskan
PPh :
- Dalam hal Dividen se bagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (1) diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia lebih dari 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Laba
Setelah Pajak, Dividen yang diinvestasikan dikecualikan dari
pengenaan PPh.

- Sisa Laba Setelah Pajak dikurangi dengan Dividen


yang diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dikenai PPh.
Deviden dan Penghasilan Lain dari Luar Negeri yang dibebaskan
PPh :
- Atas penghasilan yang telah dibayar atau terutang di
luar negeri atas Dividen yang berasal dari luar negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 atau penghasilan
lain yang berasal dari luar negen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 yang dikecualikan dari objek PPh,
berlaku ketentuan:
a. tidak dapat diperhitungkan dengan PPh yang terutang;
b. tidak dapat dibebankan sebagai biaya atau pengurang
penghasilan; dan/ atau
c. tidak dapat dimintakan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak.

- Dalam hal Dividen yang berasal dari luar negeri atau


penghasilan lain yang berasal dari luar negeri yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak tidak seluruhnya diinvestasikan di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, penghitungan
kredit pajak atas pemotongan pajak di luar negeri dilakukan
secara proporsional.
Bentuk Investasi yang diperbolehkan :
a. surat berharga Negara Republik Indonesia dan surat berharga
syariah Negara Republik Indonesia;
b. obligasi atau sukuk Badan Usaha Milik Negara yang
perdagangannya diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan;
c. obligasi atau sukuk lembaga pembiayaan yang dimiliki oleh
pemerintah yang perdagangannya diawasi oleh Otoritas Jasa
Keuangan;
d. investasi keuangan pada bank perseps1 termasuk bank
syariah;
e. obligasi atau sukuk perusahaan swasta yang perdagangannya
diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan;
f. investasi infrastruktur melalui kerja sama pemerintah dengan
badan usaha;
g. investasi sektor riil berdasarkan prioritas yang ditentukan oleh
pemerintah;
h. penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan
berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham;
i. penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan
berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham;
j. kerja sama dengan lembaga pengelola investasi;
k. penggunaan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya dalam
bentuk penyaluran pinjaman bagi usaha mikro dan kecil di
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
usaha mikro, kecil, dan menengah; dan/ atau
L. bentuk investasi lainnya yang sah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
h. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang
dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;

i. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana


pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf h, dalam bidang-
bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan;
Contoh : Bunga deposito, deviden dari penanaman modal pada perseroan
terbatas yang tercata di bursa efek.

j. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari


perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas
saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi,
termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
k. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan
modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan
usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan
di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
1. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang
menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan
2. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.

l. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang


ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan;
m. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau
lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan
dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah
terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan
kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan
pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam
jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya
sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan

n. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan


Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
Tambahan dari UU Cipta Kerja :

o. dana setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH)


dan/atau BPIH khusus, dan penghasilan dari pengembangan
keuangan haji dalam bidang atau instrumen keuangan tertentu,
diterima Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan; dan
p. sisa lebih yang diterima/diperoleh badan atau lembaga sosial
dan keagamaan yang terdaftar pada instansi yang membidanginya,
yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana
sosial dan keagamaan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat)
tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, atau ditempatkan
sebagai dana abadi, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
KLASIFIKASI
BIAYA
BIAYA YANG DAPAT
DIKURANGKAN
Pasal 6 UU PPh

a. Langsung/Tidak Langsung berkaitan dengan usaha


b. Penyusutan
c. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan
d. Rugi penjualan atau pengalihan harta
e. Rugi Selisih Kurs
Biaya 3M : f. Biaya litbang yang dilakukan di Indonesia
Mendapatkan, g. Biaya Beasiswa, magang, dan Pelatihan
menagih dan h. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
memelihara
i. Sumbangan bencana nasional yang ditetapkan
Pemerintah
j. Sumbangan dalam rangka Litbang di Indonesia
k. Biaya pembangunan infrastruktur sosial
l. Sumbangan fasilitas pendidikan
m. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga
BIAYA YANG LANGSUNG ATAU TIDAK
LANGSUNG DENGAN KEGIATAN
USAHA

Syarat: mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung dengan


usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan yang merupakan objek pajak
PRINSIP PRINSIP
PEMBEBANAN BIAYA

 Apabila terdapat penghasilan yang merupakan objek pajak


dan bukan objek pajak, perhitungan biaya yang boleh
dibebankan dilakukan secara proporsional

Contoh:
Dana Pensiun A yang pendiriannya telah mendapat pengesahan
dari Menteri Keuangan memperoleh penghasilan bruto yang terdiri
dari:
penghasilan yang bukan merupakan objek pajak sesuai dengan
Pasal 4 ayat (3) huruf h sebesar Rp. 100 juta dan penghasilan bruto
lainnya sebesar Rp300 juta. Apabila seluruh biaya adalah sebesar Rp
200 juta, maka biaya yang boleh dikurangkan untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan adalah sebesar Rp. 150 juta
(3/4 x Rp200 juta).
PRINSIP PRINSIP
PEMBEBANAN BIAYA

 Pengeluaran-pengeluaran yang tidak ada hubungannya dengan


upaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Misal : pengeluaran pribadi pemegang saham

 Pembayaran premi asuransi oleh pemberi kerja untuk kepentingan


pegawainya boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan, tetapi bagi
pegawai yang bersangkutan premi tersebut merupakan penghasilan.

 Pengeluaran dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan tidak boleh


menjadi biaya. Namun, pengeluaran dalam bentuk natura atau
kenikmatan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf e, boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pihak yang
menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan.
PRINSIP PRINSIP
PEMBEBANAN BIAYA

o Pengeluaran biaya harus dilakukan dalam batas-batas yang wajar


sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang baik. Dengan demikian,
apabila pengeluaran yang melampaui batas kewajaran tersebut
dipengaruhi oleh hubungan istimewa, jumlah yang melampaui batas
kewajaran tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto

o Pajak-pajak yang menjadi beban perusahaan dalam rangka usahanya


selain Pajak Penghasilan, misalnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB),
Bea Meterai (BM), Pajak Hotel, dan Pajak Restoran, dapat dibebankan
sebagai biaya

o Pengeluaran untuk promosi perlu dibedakan antara biaya yang benar-


benar dikeluarkan untuk promosi dan biaya yang pada hakikatnya
merupakan sumbangan. Biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk
promosi boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
Pasal 9 UU PPh

a. Biaya sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat 1 UU PPh


b. Biaya untuk 3 M penghasilan yang bukan objek pajak
c. Biaya untuk 3 M penghasilan yang pph nya bersifat final
d. Biaya yang biasa diterapkan di luar praktik akuntansi yang sehat
(kondisi tidak wajar);
e. Biaya yang tidak dapat dibuktikan pengeluarannya (antara lain
tidak menggunakan bukti, daftar nominatif, dan tanpa
dokumen);
f. Pajak Masukan yang memenuhi kriteria :
Faktur Pajak atas perolehan BKP/JKP termasuk Faktur Pajak cacat,
kecuali dapat dibuktikan bahwa atas Pajak Masukan tersebut
benar-benar telah dibayar oleh PKP;
Pasal 9 UU PPh

g.Biaya untuk 3M penghasilan yang dikenakan pajak berdasarkan


Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Norma
Penghitungan Khusus;
h. Kerugian dari harta atau utang yang dimiliki dan tidak
dipergunakan untuk 3M Objek Pajak;
i. PPh ditanggung pemberi kerja, kecuali PPh tersebut
ditambahkan dalam penghitungan dasar untuk pemotongan
pajak.
Pasal 9 UU PPh

Kriteria biaya yang tidak dapat dikurangkan :

•Tidak berkaitan langsung atau tidak langsung dengan


kegiatan usaha.
Contoh : biaya sponsorship turnamen golf.

•Merupakan pemakaian penghasilan atau pengeluaran yang


melebihi kewajaran.
Contoh : pembayaran deviden, biaya komisi
diluar kewajaran dll
Pasal 9 UU PPh

Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun


(dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil
usaha koperasi).

Penjelasan:
Dividen tidak boleh dikurangkan dari penghasilan
badan yang membagikan karena pembagian laba
tersebut merupakan bagian dari penghasilan yang
akan dikenakan pajak berdasarkan UU PPh.
Pasal 9 UU PPh

Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan


pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota.

Contoh:
Perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan, biaya premi
asuransi yang dibayar perusahaan untuk kepentingan
pribadi pemegang saham atau keluarganya.
Pasal 9 UU PPh

Pembentukan atau pemupukan dana cadangan.


Penjelasan:
UU PPh menganut prinsip realisasi, sehingga semua yang
bersifat cadangan tidak diakui, kecuali untuk jenis wajib
pajak tertentu yang sangat memerlukan mencadangkan
sesuatu karena resiko usaha yang tinggi, yaitu wajib pajak
sebagai berikut:
1. Bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa
guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan
konsumen, dan perusahaan anjak piutang, dapat
mencadangkan piutang tak tertagih;
2. Asuransi membuat cadangan usaha, dan khusus Badang
Penyelenggara Jaminan Sosial dapat membuat cadangan
bantuan sosial;
Pasal 9 UU PPh

3. Lembaga Penjamin Simapanan dapat membuat cadangan


penjaminan;
4. Usaha pertambangan dapat membuat cadangan biaya
reklamasi;
5. Usaha kehutanan membuat cadangan biaya penanaman
kembali;
6. Usaha pengolahan limbah industri membuat cadangan
biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan
limbah industri.
Pasal 9 UU PPh

Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan,


kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai
serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan
kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan
pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan

Penjelasan:
Semua natura yang diterima karyawan dari pemberi
kerja adalah bukan objek pajak bagi karyawan,
sehingga sejalan dengan itu maka natura tersebut
tidak dapat dibebankan oleh si pemberi kerja.
Pasal 9 UU PPh

Penjelasan:
Namun dengan Peraturan Menteri Keuangan, terdapat
beberapa natura yang dapat dibiayakan oleh pemberi kerja
dan bukan objek PPh bagi si karyawan yaitu sebagai
berikut:
1. Natura yang diberikan di daerah terpencil;
2. Natura dan kenikmatan karena bersifat wajib, contoh
seragam security, seragam antar jemput karyawan,
penginapan untuk awak kapal;
3. Makanan dan minuman untuk seluruh pegawai.
Pasal 9 UU PPh

Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada


pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan
istimewa sebagai imbalan.
Penjelasan:
Sangat dimungkinkan jika pemegang saham juga bekerja buat
perusahaan. Jika pembayaran kepada pegawai yang juga pemegang
saham melebihi kewajaran, maka kelebihan tersebut tidak boleh
dibebankan sebagai biaya oleh perusahaan dan akan dianggap
sebagai dividen bagi si pemegang saham.

Contoh:
Seorang tenaga ahli yang juga pemegang saham memberikan jasa
kepada perusahaan dan memperoleh imbalan sebesar Rp130 juta. Jika
pekerjaan yang sama diberikan oleh tenaga ahli lain dengan bayaran
sebesar Rp70 juta maka kelebihan pembayaran kepada tenaga ahli
pemegang saham sebesar Rp60 juta tidak dapat dibebankan sebagai
biaya dan merupakan objek pajak penghasilan-dividen bagi tenaga
ahli-pemegang saham.
Pasal 9 UU PPh

Harta yang dihibahkan, bantuan atau


sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan b kecuali sumbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i, huruf j,
huruf k, huruf l, dan huruf m serta zakat yang diterima oleh
badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk
atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan
yang sifatnya wajib
Pasal 9 UU PPh

Pajak Penghasilan

Penjelasan:
Yang dimaksud dengan pajak penghasilan adalah
pajak penghasilan yang terutang untuk wajib
pajak yang bersangkutan.
Pasal 9 UU PPh

Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan


pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya

Penjelasan:
Biaya untuk kepentingan pribadi wajib pajak dan atau
tanggungannya adalah pada hakekatnya penggunaan
penghasilan wajib pajak sehingga tidak dapat
dibiayakan
Pasal 9 UU PPh

Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma,


atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas
saham
Penjelasan:
Anggota persekutuan, firma dan perseroan
komanditer dengan modal yang tidak terbagi atas
saham diperlakukan sebagai satu kesatuan sehingga
tidak ada imbalan seperti gaji. Dengan demikian gaji
yang diterima oleh mereka bukan pembayaran yang
dapati dikurangkan dari penghasilan bruto badan
tersebut.
Pasal 9 UU PPh

Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta


sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan
perundang-undangan di bidang perpajakan.

Penjelasan:
Semua sanksi yang terkait dengan undang-undang
perpajakan, baik pajak pusat maupun pajak daerah.

Contoh:
Perusahaan membayar pajak kendaraan bermotor sebesar
Rp10 juta dan sanksi atas keterlambatan pembayaran sebesar
Rp1 juta. Maka pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai
biaya fiskal adalah pajak kendaran bermotor sebesar Rp10 juta
sedangkan sansksi keterlambatan pembayaran pajak
kendaraan bermotor tidak dapat dibebankan sebagai biaya
fiskal.
PIUTANG TIDAK TERTAGIH

Tidak berasal dari transaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan


istimewa
 Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil:
piutang debitur kecil yang jumlahnya tidak melebihi Rp100 juta, yang
merupakan gunggungan jumlah piutang dari beberapa kredit yang
diberikan oleh suatu institusi bank/lembaga pembiayaan dalam negeri
sebagai akibat adanya pemberian:
 Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra)
 Kredit Usaha Tani (KUT)
 Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS)
 Kredit Usaha Kecil (KUK)
 Kredit Usaha Rakyat (KUR)
 Kredit kecil lainnya dalam rangka kebijakan perkreditan Bank
Indonesia dalam mengembangkan usaha kecil dan koperasi

 Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil lainnya
adalah piutang debitur kecil lainnya yang jumlahnya tidak melebihi Rp 5
juta.
Apabila Piutang yang nyata-nyata tidak dapat
ditagih ternyata kemudian dibayar seluruhnya
atau dibayar sebagian oleh debitur, jumlah
piutang yang dibayar seluruhnya atau dibayar
sebagian tersebut merupakan penghasilan bagi
kreditur pada tahun pajak diterimanya
pembayaran.
PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH
BPHTB dan PBB
HUBUNGAN
ISTIMEWA

Penyebab :
a. kepemilikan atau penyertaan modal;
b. adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan
teknologi.

Format :
a. Kepemilikan dan Penyertaan Modal
WP mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung
paling rendah 25% (dua puluh lima persen)
Contoh :
PT. A memiliki 50 % saham PT. B.
PT B memiliki 50 % saham PT. C
Hubungan istmewa :
PT. A dengan PT B karena penyertaan langsung
PT. A dengan PT C karena penyertaan tidak langsung
Apabila PT. A juga memiliki saham di PT. D maka antara PT. A,B,C dan
D terdapat hubungan sitimewa
HUBUNGAN
ISTIMEWA

b. Hubungan penguasaan
WP menguasai WP lainnya, atau dua atau lebih WP berada di
bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun
tidak langsung; atau hubungan istimewa antara WP dapat
juga terjadi karena penguasaan melalui manajemen atau
penggunaan teknologi, kendatipun tidak terdapat
hubungan kepemilikan.
Contoh :
Tn. A merupakan Direktur Utama dari PT. B dan PT. C. Maka
antara PT. B dan PT C terdapat hubungan istimewa karena
dibawah penguasaan manajemen yang sama
PT X perusahaan yang memproduksi minuman dengan formula
dari PT. Y. Maka antara PT X dan Y terdapat hubungan istimewa
Mengapa Konsep Hubungan Istimewa harus
dipahami?
Pasal 18 UU PPH :
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya
penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk
menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang
mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan
kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan
istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang
independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode
lainnya.
Contoh :
PT. A memiliki 30 % saham dari PT. B dan PT B adalah salah satu pemasok bahan
baku yang digunakan PT A. Selama tahun 2014 PT B memasok bahan baku PT A
dengan harga per unit Rp. 25 juta. Barang yang sama di jual ke perusahaan lain dengan
harga Rp. 40 juta perunit.
DJP berhak berwenang untuk menentukan kembali harga transaksi PT A dengan PT B
menjadi sebesar Rp. 40 juta
PENILAIAN
AKTIVA

Permasalahan yang muncul :


Pengakuan Harga Perolehan Aktiva
Harga Pasar Wajar transaksi antar pihak yang
memiliki hubungan istimewa
Pengakuan penghasilan dari pengalihan aktiva
Pengakuan Harga Perolehan

Persediaan Barang Dagangan


Metode yang diperkenankan : FIFO dan Rata Rata (Average).

Aktiva Tetap
Harga beli ditambah biaya lain yang dikeluarkan dalam rangka
memperoleh aktiva terserbut. Misal : bea masuk,biaya angkut
dan biaya pemasangan.

Tanah
Harga beli tanah ditambah biaya pengurusan hak atas tanah
yang pertamakali harus dikapitalisasi dalam harga perolehan
tanah
Biaya Pra Operasi
Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun,
dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi.
Contoh :
Biaya studi kelayakan, biaya produksi uji coba produk, biaya untuk
mendapatkan ijin usaha dari instansi berwenang dan biaya pendirian
perusahaan dicatat sebagai Biaya Pra Operasi dan dikapitalisasikan.
Pembebanan biaya tersebut dilakukan dengan cara amortisasi.

Biaya-biaya operasional (Operational Expenditure) yang sifatnya rutin,


seperti gaji pegawai, biaya rekening listrik dan telepon, dan biaya kantor
lainnya tidak boleh dikapitalisasi tetapi dibebankan sekaligus pada
tahun pengeluaran.
Transaksi Pengalihan Aktiva

1. Jual Beli
Dalam hal transaksi dipengaruhi hubungan istimewa :
- bagi pembeli : harga perolehan harta adalah harga yang
seharusnya dibayar
- bagi penjual : harga penjualan harta adalah harga yang
seharusnya diterima

Sedangkan bila tidak dipengaruhi hubungan istimewa, maka


harga jual beli adalah :
- bagi pembeli: harga perolehan harta adalah harga yang
sesungguhnya dibayar
- bagi penjual: harga penj'ualan harta adalah harga yang
sesungguhnya diterima
Contoh

Tuan A adalah pemegang saham utama sekaligus pemasok


bahan baku produksi PT X.
PT X membeli bahan baku dari Tuan A seharga
Rp.1.500.000,00 per unit. Harga bahan baku yang sama di
pasar bebas hanya sebesar Rp.1.000.000,00. Karena
transaksi tersebut adalah transaksi yang dipengaruhi
hubungan istimewa maka PT X harus mencatat nilai
perolehan bahan baku sebesar Rp.1.000.000,00, bukan
Rp.1.500,000,00.
Adanya hubungan istimewa menyebabkan harga
perolehan menjadi lebih besar/lebih kecil dari harga pasar
wajar. Oleh karena itu diperlukan koreksi untuk
mendekatkan pada kondisi riil pasar.
2. Tukar Menukar
Harta yang diperoleh berdasarkan transaksi tukar-menukar,
nilai perolehan atau nilai penjualan-nya adalah jumlah yang
seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar.
Contoh :
Tuan A ingin menukarkan mesin yang dimilikinya dengan mobil yang
dimiliki Tuan B. Harga pasar mesin tersebut adalah Rp.5.000.000,00
dengan Nilai Sisa Buku Fiskal (NSBF) sebesar Rp.1.000.000,00. Mobil
Tuan B sendiri memiliki harga pasar Rp.6.000.000,00 dengan NSBF
sebesar Rp.3.000.000,00.

Keuntungan :
Tn A : (Rp. 6.000.000 – Rp. 1.000.000) = Rp. 5.000.000
Tn. B : (Rp. 5.000.000 – Rp. 3.000.000) = Rp. 2.000.000
3. Penarikan Harta
 Harta di jual :
o Harga Jual dibukukan sebagai penghasilan
o NSBF dari harta tersebut dibebankan sebagai kerugian di tahun
harta di jual.
 Harta terbakar,:
o penggantian asuransinya (kalau ada) dibukukan sebagai
penghasilan pada tahun diterimanya penggantian asuransi.
o Nilai sisa buku dari harta tersebut dibebankan sebagai kerugian
dalam tahun pajak yang bersangkutan.

Contoh :
Sebuah mesin tekstil milik PT. Alenatex terbakar karena terjadi konslet
pada tanggal 10 Januari 2012. Mesin tersebut dibeli seharga Rp 1 miliar.
NSBF pada saat terjadi kebakaran sebesar Rp 750 juta. Penggantian
asuransi diterima tahun 2013 sebesar Rp 600 juta.
 NSBF sebesar Rp 750 juta dibebankan sebagai kerugian tahun 2012
sedangkan penggantian asuransi sebesar Rp 600 juta dicatat sebagai
penghasilan tahun 2013.
 Apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima jumlahnya
baru dapat diketahui dengan pasti di masa kemudian, maka dengan
persetujuan Direktur Jenderal Pajak jumlah sebesar kerugian
dibukukan sebagai beban masa kemudian tersebut.

4. Pengalihan harta untuk Setoran Modal.


Harga Pasar – NSBF = Penghasilan

Contoh :
Amrin ingin menambah modalnya di PT. X dengan menyerahkan
sebuah gudang. NSBF gudang adalah Rp.500 juta, PT. X mencatat
setoran modal berupa gudang tsb sebesar harga pasarnya yaitu Rp. 1
Milyar.
Keuntungan Amrin :
Rp. 1 Milyar – Rp. 500 juta = Rp. 500 juta
5. Pengalihan harta dalam rangka likuidasi, merger,
konsolidasi, pemekaran atau pengambil-alihan
 Likuidasi : Penilaian dengan Harga Pasar
 Pengalihan harta dalam rangka merger, konsolidasi ataupun
akuisisi yang memenuhi syarat, pemekaran usaha (expansion)
dalam rangka menjual sahamnya di bursa efek maka NSBF
dari aktiva tersebut dapat dijadikan dasar penilaian aktiva
(PMK No. 43/PMK.03/2008)

Contoh :
PT. A dan PT. B berniat melakukan konsolidasi dengan membentuk
perusahaan baru yaitu PT. C. PT. A dan PT. B akan dilikuidasi setelah
konsolidasi. Pengalihan aktiva dari PT. A dan PT. B ke PT. C tersebut dapat
menggunakan nilai buku (dengan metode pooling of interest).
6. Hibah, Sumbangan dan Warisan

Pengalihan harta dengan alasan hibah, sumbangan atau warisan


yang memenuhi UU PPh Pasal 4 ayat (3) huruf a dan b,
bukan objek pajak.
Penyerahan aktiva dicatat sebesar NSBF dan tidak mengakui
laba/rugi.

Contoh:
Benny berniat menghibahkan 2 buah gedung masing-masing
kepada PT. Sinar dan kepada sebuah badan sosial yang
ditetapkan Menteri Keuangan. Atas penyerahan gedung ke
badan sosial, Benny mencatat hibah tersebut sebesar nilai sisa
buku fiskal (NSBF) dan tidak mengakui laba/rugi. Tetapi atas
hibah gedung kepada PT. Sinar, Benny harus mencatat hibah
tersebut sebesar harga pasar dan harus mengakui adanya
laba/rugi.
7. Revaluasi aktiva tetap
 Revaluasi adalah penilaian kembali harta yang tercatat sebesar
Nilai Buku Fiskal menjadi sebesar harga pasar.
 Revaluasi harus melalui persetujuan DJP
 Atas selisih antara nilai buku sebelum dan sesudah revaluasi
dikenakan PPh Final sebesar 10%.
 WP dapat menyusutkan harta dengan dasar penyusutan nilai
aktiva yang baru.

Contoh:
NSBF suatu mesin sebelum revaluasi adalah Rp 200 juta. Harga pasar
wajar tersebut adalah Rp 400 juta. Dengan persetujuan Dirjen Pajak,
NSBF mesin tersebut dapat diubah menjadi sebesar harga pasarnya (Rp
400 juta). Setelah itu WP dapat menyusutkan mesin dengan dasar
penyusutan yang baru.
Ketentuan Umum

• Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan,


perbaikan, atau perubahan harta berwujud, kecuali tanah, yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dibebankan sebagai
biaya melalui penyusutan atau amortisasi.

• UU Pajak tidak mengenal adanya nilai residu.

• Metode penyusutan yang diperbolehkan UU Pajak :


 Metode Garis Lurus
 Metode Saldo Menurun

• Khusus harta berwujud berupa bangunan metode yang dapat digunakan


hanya metode garis lurus.
SAAT MULAI PENYUSUTAN/AMORTISASI
Pasal 11 ayat (3),(4) dan (5)

PADA BULAN PENGELUARAN PADA BULAN HARTA


KECUALI : MULAI DIGUNAKAN/
HARTA YG MASIH DLM MENGHASILKAN DENGAN
PROSES PENGERJAAN, PERSETUJUAN DIRJEN PAJAK
PADA BULAN SELESAINYA
PENGERJAAN kecuali

PMK 248 & 249/PMK.03/2008


DASAR PENYUSUTAN BAGI WP YG Bidang usaha tertentu yang dapat
MELAKUKAN PENILAIAN KEMBALI AKTIVA berproduksi berkali-kali dan baru
menghasilkan setelah lebih dari 1
tahun:
NILAI SETELAH
a.bidang usaha kehutanan
DILAKUKAN PENILAIAN KEMBALI AKTIVA b.bidang usaha perkebunan tanaman
keras
c.bidang usaha peternakan
Penyusutan dimulai pada bulan
produksi komersial yaitu bulan
dimana penjualan mulai dilakukan
MASA MANFAAT DAN TARIF PENYUSUTAN/AMORTISASI
Pasal 11 dan 11A

KEL. HARTA MASA TARIF PENYUSUTAN


BERWUJUD MAN-
GARIS LURUS SALDO MENURUN
FAAT
1. BUKAN BANGUNAN
KEL. HARTA

BERWUJUD

- KELOMPOK 1 4 THN 25 % 50 %
- KELOMPOK 2 8 THN 12,5 % 25 %
TIDAK

- KELOMPOK 3 16 THN 6,25 % 12,5 %


- KELOMPOK 4 20 THN 5 % 10 %

2. BANGUNAN
PERMANEN 20 THN 5 %
TDK PERMANEN 10 THN 10 %
Pasal 11 ayat (11) PENENTUAN KELOMPOK HARTA BERWUJUD BUKAN BANGUNAN
DITETAPKAN DENGAN PMK No. 96/PMK.03/2009 NAMUN DAPAT SESUAI MASA MANFAAT
SESUNGGUHNYA DENGAN MENGAJUKAN PERMOHONAN KE DJP

BANGUNAN TIDAK PERMANEN YAITU BANGUNAN YANG BERSIFAT SEMENTARA DAN


TERBUAT DARI BAHAN YANG TIDAK TAHAN LAMA ATAU BANGUNAN YANG DAPAT
DIPINDAH PINDAHKAN, YANG MASA MANFAATNYA TIDAK LEBIH DARI 10 TAHUN. MISAL
: BARAK, ASRAMA KARYAWAN DLL
Masa manfaat dan tarif penyusutan harta Tidak Berwujud

Tarif penyusutan
Kelompok Harta Masa
Saldo
Tidak Berwujud Manfaat Garis Lurus
Menurun

Kelompok 1 4 Tahun 25% 50%


Kelompok 2 8 Tahun 12,5 % 25%
Kelompok 3 16 Tahun 6.25% 12.50%
Kelompok 4 20 Tahun 5% 10%

Pengelompokan harta berwujud berdasarkan masa manfaat. Jika masa


manfaat tidak tercantum, maka diambil masa manfaat yang terdekat.
Contoh, masa manfaat sebenarnya 6 tahun, maka dapat masuk kelompok I atau
II; masa manfaat sebenarnya 5 tahun maka masuk kelompok I.
PENYUSUTAN DAN
AMORTISASI

- Pengeluaran untuk - Metode Gari


s Lurus
pembelian, atau Saldo M
enurun
pendirian, - Taat Asas
penambahan, - Dimulai p
ada bulan
perbaikan, atau dilakukanny
a
perubahan harta pengeluaran
berwujud (kecuali - Dengan p
ersetujuan
tanah ), Dirjen, Dimu
lai saat
digunakan at
au saat
- Dimiliki dan mulai mengh
asilkan
digunakan untuk
3M

- Masa manfaat > 1


Tahun
Ketentuan Khusus

Sesuai Keputusan Dirjen Pajak Nomor


KEP-220/PJ./2002 :
a.Biaya penyusutan Handphone (HP) yang digunakan pegawai untuk
keperluan pekerjaan dibebankan melalui penyusutan, namun hanya 50
% nya yang dapat dibebankan sebagai biaya fiskal.

b.Biaya pulsa dan servis HP 50%-nya dapat menjadi biaya perusahaan.

c.Sedan dan sejenisnya, Pembelian maupun perbaikan besar (capital


expenditure) atas sedan atau sejenisnya yang dimiliki & digunakan
pegawai terlentu karena jabatannya, dibebankan sebagai biaya melalui
penyusutan sebesar 50 %.
Contoh Perhitungan Biaya Penyusutan

PT. Rajawali pada tanggal 10 Juli 2009 membeli sebuah aktiva


mesin seharga Rp.100.000.000,-. Masa manfaat ekonomis 5
tahun dengan nilai residu Rp. 10 juta.

Biaya Penyusutan :
Metode Garis Lurus :

Tahun Harga Perolehan Kelompok Tarif Biaya Penyusutan Nilai Buku

2009 100.000.000 I 25% 12.500.000 87.500.000

2010 I 25% 25.000.000 62.500.000


2011 I 25% 25.000.000 37.500.000
2012 I 25% 25.000.000 12.500.000

2013 I 25% 12.500.000 -


Metode Saldo Menurun:

Harga Kelomp Biaya


Tahun Tarif Nilai Buku
Perolehan ok Penyusutan

2009 100.000.000 I 50% 25.000.000 75.000.000

2010 I 50% 37.500.000 37.500.000

2011 I 50% 18.750.000 18.750.000

2012 I 50% 9.375.000 9.375.000

2013 I 50% 9.375.000 -


PT. Garuda pada tanggal 3 Maret 2013 melakukan impor mesin dari
china. Harga CIF USD 200.000,- Bea Masuk 10 % dari CIF. PPN 10 %
Kurs KMK tgl 3 Maret 2013 untuk 1 USD = Rp. 10.500, kurs pasar untuk
1 USD = Rp. 10.400,-. Umur ekonomis 15 tahun dan nilai residu Rp. 50
juta
Biaya Penyusutan :
Garis Lurus
Tahu Biaya
Harga Perolehan Kelompok Tarif Nilai Buku
n Penyusutan

2009 2.310.000.000 III 6,25% 120.312.500 2.189.687.500

2010 III 6,25% 144.375.000 2.045.312.500

2011 III 6,25% 144.375.000 1.900.937.500

2012 III 6,25% 144.375.000 1.756.562.500


dst
Sumbangan

Sumbangan dan/atau biaya yang dapat dikurangkan sampai


jumlah tertentu dari penghasilan bruto :
a.Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional,
yang merupakan sumbangan untuk korban bencana nasional
yang disampaikan secara langsung melalui badan
penanggulangan bencana atau disampaikan secara tidak
langsung melalui lembaga atau pihak yang telah mendapat izin
dari instansi/lembaga yang berwenang untuk pengumpulan
dana penanggulangan bencana;

b.Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan,


yang merupakan sumbangan untuk penelitian dan
pengembangan yang dilakukan di wilayah Republik Indonesia
yang disampaikan melalui lembaga penelitian dan
pengembangan;
Sumbangan

c. Sumbangan fasilitas pendidikan, yang merupakan


sumbangan berupa fasilitas pendidikan yang disampaikan
melalui lembaga pendidikan;

d. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga, yang


merupakan sumbangan untuk membina, mengembangkan
dan mengoordinasikan suatu atau gabungan organisasi
cabang/jenis olahraga prestasi yang disampaikan melalui
lembaga pembinaan olah raga; dan

e. Biaya pembangunan infrastruktur sosial merupakan biaya


yang dikeluarkan untuk keperluan membangun sarana dan
prasarana untuk kepentingan umum dan bersifat nirlaba.
Syarat

Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 1 dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dengan
syarat:
Wajib Pajak mempunyai penghasilan neto fiskal berdasarkan
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak
sebelumnya;
pemberian sumbangan dan/atau biaya tidak menyebabkan
rugi pada Tahun Pajak sumbangan diberikan;
didukung oleh bukti yang sah; dan
lembaga yang menerima sumbangan dan/atau biaya memiliki
Nomor Pokok Wajib Pajak, kecuali badan yang dikecualikan
sebagai subjek pajak sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang tentang Pajak Penghasilan.
Syarat

 Besarnya nilai sumbangan dan/atau biaya pembangunan


infrastruktur sosial yang dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto untuk 1 (satu) tahun dibatasi tidak melebihi 5% (lima
persen) dari penghasilan neto fiskal Tahun Pajak.
 Sumbangan dan/atau biaya tidak dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto bagi pihak pemberi apabila sumbangan
dan/atau biaya diberikan kepada pihak yang mempunyai
hubungan istimewa.
 Sumbangan sebagaimana huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf
d dapat diberikan dalam bentuk uang dan/atau barang.
 Biaya pembangunan infrastruktur sosial huruf e diberikan
hanya dalam bentuk sarana dan/atau prasarana.
BIAYA PROMOSI YANG DAPAT DIKURANGKAN
DARI PENGHASILAN BRUTO
Biaya Promosi

Besarnya Biaya Promosi yang dapat dikurangkan dari


penghasilan bruto merupakan akumulasi dari jumlah :
a. biaya periklanan di media elektronik, media cetak,
dan/atau media lainnya;
b. biaya pameran produk;
c. biaya pengenalan produk baru;dan/atau
d.biaya sponsorship yang berkaitan dengan promosi produk.

Tidak termasuk Biaya Promosi sebagaimana termaksud di atas adalah :


a. pemberian imbalan berupa uang dan/atau fasilitas, dengan
nama dan dalam bentuk apapun, kepada pihak lain yang tidak berkaitan
langsung dengan penyelenggaraan kegiatan promosi.
b. Biaya Promosi untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang bukan merupakan objek pajak dan yang telah dikenai
pajak bersifat final.
Biaya Promosi

Kewajiban WP sehubungan dengan Biaya Promosi adalah:


WP wajib membuat daftar nominatif atas pengeluaran Biaya Promosi
dikeluarkan kepada pihak lain.

Daftar nominatif paling sedikit harus memuat data penerima berupa


nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat, tanggal, bentuk dan jenis biaya,
besarnya biaya, nomor bukti pemotongan dan besarnya Pajak Penghasilan
yang dipotong.

Daftar dimaksud dibuat sesuai format sebagaimana ditetapkan dalam


Lampiran Peraturan Menteri Keuangan.

Daftarnominatif dilaporkan sebagai lampiran saat Wajib Pajak


menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan.

Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud tidak dipenuhi, maka Biaya


Promosi tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Rekonsiliasi Fiskal

• Laporan Keuangan wajib disusun berdasarkan Pernyataan Standar


Akuntansi Keuangan (PSAK). Produk yang dihasilkan adalah Neraca
dan Laporan Laba Rugi.
Dalam konsep perpajakan, laba rugi yang dihasilkan disebut Laba Rugi
Komersial

• Dalam ketentuan UU PPh, konsep pengakuan Penghasilan dan biaya


memiliki beberapa perbedaan dengan PSAK.
Contoh : Pemberian Natura (barang) kepada karyawan berdasarkan PSAK harus
dicatat sebagai biaya tetapi menurut UU PPh, pemberian natura tidak dapat
diperhitungkan sebagai biaya untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak.

• Untuk menghitung pajak terutang, laba rugi komersial harus


disesuaikan dengan ketentuan UU PPh. Proses tersebut dinamakan
Rekonsiliasi Fiskal.

• Rekonsiliasi Fiskal akan menghasilkan Laba Rugi Fiskal yang


selanjutnya akan digunakan sebagai dasar pengenaan tarif PPh
Rekonsiliasi Fiskal

LAPORAN LAPORAN
KEUANGAN Koreksi KEUANGAN
KOMERSIAL Fiskal FISKAL (UU
(PSAK) Positif/Ne PPH)
Laba/Rugi gatif Laba/ Rugi
Komersial Fiskal

Koreksi Fiskal dapat berupa Koreksi Beda Waktu atau Beda


Tetap
BEDA WAKTU
Perbedaan waktu pengakuan pendapatan dan beban tertentu
menurut akuntansi dan menurut ketentuan perpajakan;
Menyebabkan pergesaran biaya dan pendapatan dari satu tahun
pajak ke tahun pajak yg lain;
Contoh: perbedaan metodologi penghitungan penyusutan, persediaan,
penghapusan piutang, dll;
Perbedaan bersifat sementara.

BEDA TETAP
Perbedaan pengakuan pendapatan dan biaya
menurut akuntansi dan menurut ketentuan
perpajakan yang bersifat permanen
Contoh: pemberian natura, biaya entertainment, penghasilan
final.
Rekonsiliasi Fiskal
Terjadi karena :
a.WP memiliki penghasilan yang dikenakan PPh Final {Pasal 4
ayat (2) UU PPh}
Contoh : Pendapatan bunga deposito, jasa giro dll
Termasuk Koreksi Negatif

b.WP memiliki penghasilan yang bukan merupakan objek pajak


{Pasal 4 ayat (3) UU PPh}
Contoh : Deviden bukan objek
Termasuk koreksi Negatif

c.WP mengeluarkan biaya-biaya yang tidak boleh menjadi


pengurang penghasilan/Non Deductible Expense (Pasal 9 UU
PPh).
Contoh : Biaya Perjalanan Pribadi Direksi
Termasuk koreksi positif
Rekonsiliasi Fiskal

Koreksi Positif
Koreksi dari Penghasilan / Biaya yang
menyebabkan pajak bertambah

Koreksi Negatif
Koreksi dari Penghasilan / Biaya yang
menyebabkan pajak berkurang
Rekonsiliasi Fiskal

Contoh :

PT Abadi tahun 2014 memperoleh Laba Bersih Komersial sebesar Rp. 500 juta.
Dari data laporan laba rugi diketahui beberapa hal sbb :
Memperoleh pendapatan bunga deposito sebesar Rp. 10 juta
Membayar biaya jamuan tamu sebesar Rp. 30 juta
Memperoleh deviden yang bukan objek pajak sebesar Rp. 50 juta

Maka besarnya Laba Rugi Fiskal dihitung sbb :


Laba Rugi Komersial Rp. 500.000.000,-
Koreksi Fiskal :
Pend. Bunga Deposito (Rp. 10.000.000)
Biaya Jamuan Tamu Rp. 30.000.000
Pendapatan Deviden (Rp. 50.000.000)
Total Koreksi Fiskal (Rp. 30.000.000)
Laba Rugi Fiskal Rp. 470.000.000
Rekonsiliasi Fiskal

Contoh :
Data penghasilan sebagai berikut :
Penghasilan dari menyewakan gedung

(Objek PPh Final) Rp.100.000.000,00


Penghasilan dari penjualan barang
 dagang (Objek PPh Non Final) Rp.300.000.000.00
Jumlah penghasilan bruto Rp.400.000.000,00

Apabila seluruh biaya untuk memperoleh penghasilan tersebut


diatas adalah sebesar Rp.200.000.000,00, maka biaya yang boleh
dikurangkan menurut UU PPh adalah :
3/4 x Rp.200.000.000,00 = Rp 150.000.000,00.
Kompensasi Kerugian

PASAL 6 AYAT (2) UU PPh


Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) didapat kerugian, kerugian tersebut
dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya
berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun

PENJELASAN PASAL 6 AYAT (2) UU PPh:


Jika pengeluaran-pengeluaran yang diperkenankan
berdasarkan ketentuan pada ayat (1) setelah dikurangkan
dari penghasilan bruto didapat kerugian, kerugian tersebut
dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal
selama 5 (lima) tahun berturut-turut dimulai sejak tahun
berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian
tersebut
Contoh
PT A dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar
Rp. 1.200.000.000
Dalam 5 tahun berikutnya laba rugi fiskal PT A adalah
sebagai berikut :
2010 : laba fiskal Rp. 200.000.000
2011 : rugi fiskal (Rp. 300.000.000)
2012 : laba fiskal Rp. 400.000.000
2013 : laba fiskal Rp. 100.000.000
2014 : laba fiskal Rp. 800.000.000
Contoh
Kerugian Fiskal Tahun 2009 Rp. 1.200.000.000
Laba Fiskal Tahun 2010 Rp. 200.000.000
Kompensasi dari tahun 2009 (Rp.200.000.000)
Penghasilan Kena Pajak Rp. 0
Rugi Fiskal Tahun 2011 (Rp. 300.000.000)
Laba Fiskal Tahun 2012 Rp. 400.000.000
Kompensasi dari tahun 2009 (Rp.400.000.000)
Penghasilan Kena Pajak Rp. 0
Laba Fiskal Tahun 2013 Rp. 100.000.000
Kompensasi dari tahun 2009 (Rp.100.000.000)
Penghasilan Kena Pajak Rp. 0
Laba Fiskal Tahun 2014 Rp. 800.000.000
Kompensasi dari sisa rugi tahun 2009 (Rp.500.000.000)
Kompensasi dari rugi tahun 2011 (Rp.300.000.000)
Penghasilan Kena Pajak Rp. 0
PT A dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar Rp. 1.200.000.000
Dalam 5 tahun berikutnya laba rugi fiskal PT A adalah sebagai berikut :
2010 : laba fiskal Rp. 200.000.000
2011 : rugi fiskal (Rp. 300.000.000)
2012 : laba fiskal Rp. 400.000.000
2013 : laba fiskal Rp. 100.000.000
2014 : laba fiskal Rp. 800.000.000
Pengecualian
PASAL 31A UU PPh
1. Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang
usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas
tinggi dalam skala nasional dapat diberikan fasilitas perpajakan dalam
bentuk:
a) pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari
jumlah penanaman yang dilakukan;
b) penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;
c) kompensasi kerugian yang lebih lama, tetapi tidak lebih dari 10
(sepuluh) tahun; dan
d) pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 sebesar 10% (sepuluh persen), kecuali apabila tarif menurut
perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan lebih rendah.

2. Ketentuan lebih lanjut mengenai bidang-bidang usaha tertentu dan/atau


daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional
serta pemberian fasilitas perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Tarif Pajak
Tarif Umum

WP BADAN DAN BUT

• Tahun Pajak 2009: 28%


•Tahun Pajak 2010 dan seterusnya: 25%
Tahun Pajak 2020 dan 2021 Tarif 22 %
Tahun 2022 Tarif Menjadi 20%
CONTOH PENERAPAN TARIF
Contoh penghitungan pajak yang terutang
untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan
bentuk usaha tetap:

Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp1.000.000.000,00


Pajak Penghasilan yang terutang = 25% x Rp1.000.000.000,00 =
Rp250.000.000,00

• Untuk keperluan penerapan tarif, jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan


ke bawah dalam ribuan rupiah penuh
• Contoh: Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 5.050.900,00, untuk penerapan
tarif dibulatkan ke bawah menjadi Rp 5.050.000,00.
KETENTUAN KHUSUS TARIF
UMUM WP BADAN

Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk


perseroan terbuka yang paling sedikit 40% dari jumlah
keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di
bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan
tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5%
lebih rendah daripada tarif normal.

DIATUR DENGAN ATAU BERDASARKAN


PERATURAN PEMERINTAH
PP NOMOR 77 TAHUN 2013 jo PP 56
TAHUN 2015
SYARAT SYARAT
PENGURANGAN TARIF

 paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan


saham yang disetor dicatat untuk diperdagangkan di bursa efek di
Indonesia;
 saham sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus dimiliki oleh
paling sedikit 300 (tiga ratus) Pihak;
 masing-masing Pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf b hanya
boleh memiliki saham kurang dari 5% (lima persen) dari
keseluruhan saham yang ditempatkan dan disetor penuh; dan
 ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan
huruf c harus dipenuhi dalam waktu paling singkat 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari kalender dalam jangka waktu 1 (satu)
Tahun Pajak.
TARIF PPh BAGI WP DENGAN PEREDERAN
BRUTO
< 50 MILYAR RUPIAH

PASAL 31 E UU PPh
Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai
dengan Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat
fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen)
dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b
dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari
bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Fasilitas PASAL 31 E UU PPh
Ketentuan tambahan (SE-66/PJ2010):
1. Fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang
Pajak Penghasilan dilaksanakan dengan cara self assessment pada saat
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak
Badan. Dengan demikian, Wajib Pajak tidak perlu menyampaikan
permohonan untuk dapat memperoleh fasilitas tersebut.

2. Batasan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh


miliar rupiah) adalah sebagai batasan maksimal peredaran bruto yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam negeri untuk dapat
memperoleh fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E ayat (1)
Undang-Undang Pajak Penghasilan.

3. Peredaran bruto sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1)
Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah penghasilan yang diterima atau
diperoleh dari kegiatan usaha sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, meliputi :
 Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat/ final;
 Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan tidak bersifat final; dan
 Penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak.
4.Fasilitas
Pasal 31E ayat (1) tersebut bukan merupakan pilihan. Sepanjang
akumulasi peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada huruf c di atas tidak
melebihi Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah), tarif Pajak
Penghasilan yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak
badan dalam negeri wajib mengikuti ketentuan fasilitas pengurangan tarif
sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan
TARIF PPh BAGI WP DENGAN PEREDARAN
BRUTO < 50 MILYAR RUPIAH
Contoh 1:

• Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2010 sebesar Rp 4,5 miliar


dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 500 juta.

• Penghitungan pajak yang terutang:

Seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari peredaran bruto


tersebut dikenai tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif Pajak
Penghasilan badan yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT Y
tidak melebihi Rp50.000.000.000,00

Pajak Penghasilan yang terutang:


=(50% x 25%) x Rp500.000.000,00 = Rp. 62.500.000,00
TARIF PPh BAGI WP DENGAN PEREDARAN
BRUTO < 50 MILYAR RUPIAH
Contoh 2:

• Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2010 sebesar Rp 60 miliar


dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 500 juta.

• Penghitungan pajak yang terutang:

Seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari peredaran bruto


tersebut tidak dikenai tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif
Pajak Penghasilan badan yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT
Y melebihi Rp4.800.000.000,00

Pajak Penghasilan yang terutang:


=25% x Rp500.000.000,00 = Rp125.000.000,00
TARIF PPh BAGI WP DENGAN
PEREDARAN BRUTO < 50 MILYAR RUPIAH
Contoh 3:
 Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2010 sebesar Rp 30 miliar dengan
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 3 miliar
 Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang:
 Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang
memperoleh fasilitas:
= (Rp 4,8 miliar / Rp 30 miliar) x Rp 3 miliar = Rp 480 juta
 Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak
memperoleh fasilitas:
= Rp 3 miliar- Rp 480 juta = Rp 2,52 miliar

Pajak Penghasilan yang terutang:


- (50% x 25%) x Rp480.000.000,00 =Rp 60.000.000,00
- 25% x Rp2.520.000.000,00 =Rp 630.000.000,00(+)
----------------------------
Rp 690.000.000,00
Kredit Pajak

Kredit Pajak WP Badan :

Kredit Pajak

Dipungut/Dipotong
Dibayar sendiri
Pihak Lain

PPh
PPh PPh PPh
25
22 23 24
ANGSURAN PPh PASAL 25
Ayat 1
Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar
sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak
Penghasilan yang terutang menurut Surat pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:
a.Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22; dan
b.Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang
boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, dibagi 12 (dua
belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

Ayat 2
Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak
untuk bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan disampaikan SEBELUM batas waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan SAMA dengan besarnya
angsuran pajak untuk BULAN TERAKHIR tahun pajak yang lalu
Contoh 1:
PPh terutang berdasarkan SPT Tahunan 2011 : Rp 50.000.000,00
Dikurangi Kredit Pajak :
PPh Pasal 22 Rp 15.000.000,00
PPh Pasal 23 Rp 12.500.000,00
PPh Pasal 24 Rp 7.500.000,00(+)
------------------------
Jumlah kredit pajak Rp 35.000.000,00 -----------------------
Selisih Rp 15.000.000,00

Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri setiap bulan untuk
tahun 2012 adalah sebesar Rp 1.250.000,00 (Rp15.000.000,00 dibagi 12).
 Contoh:

Berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan


tahun pajak 2010 yang disampaikan Wajib Pajak dalam bulan Maret
2011, perhitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar
adalah sebesar Rp1.250.000,00 (satu juta dua ratus lima puluh ribu
rupiah). Dalam bulan Juni 2011 telah diterbitkan surat ketetapan
pajak tahun pajak 2010 yang menghasilkan besarnya angsuran pajak
setiap bulan sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).

Berdasarkan ketentuan dalam ayat ini, besarnya angsuran pajak


mulai bulan Juli 2011 adalah sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta
rupiah). Penetapan besarnya angsuran pajak berdasarkan surat
ketetapan pajak tersebut bisa sama, lebih besar, atau lebih kecil
dari angsuran pajak sebelumnya berdasarkan Surat Pemberitahuan
Tahunan.
AYAT 6
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan
besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal
tertentu, sebagai berikut:

a.Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;


b.Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
c.Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu
disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan;
d.Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan;
e.Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar
dari angsuran bulanan sebelum pembetulan; dan
f.terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak
Contoh 1:
Penghasilan PT X tahun 2010 Rp 120.000.000,00
Sisa kerugian tahun sebelumnya
yang masih dapat dikompensasikan Rp 150.000.000,00
Sisa kerugian yang belum
dikompensasikan tahun 2010 Rp 30.000.000,00

Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 2011 adalah:

Penghasilan yang dipakai dasar penghitungan angsuran Pajak


Penghasilan Pasal 25 = Rp120.000.000,00 - Rp30.000.000,00 = Rp90.000.000,00.

Pajak Penghasilan yang terutang: 25% x Rp90.000.000,00 = Rp25.200.000,00

Apabila pada tahun 2010 tidak ada Pajak Penghasilan yang dipotong
atau dipungut oleh pihak lain dan pajak yang dibayar atau terutang di
luar negeri sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 24, besarnya
angsuran pajak bulanan PT X tahun 2010
= 1/12 x Rp25.200.000,00= Rp2.100.000,00.
Contoh WP Baru
Pada bulan Januari 2010, PT. ABC memulai usahanya untuk
memproduksi produk tekstil, namun demikian baru melakukan
penjualan produknya pada bulan Juli 2014 sebesar Rp. 300 juta.
Dari pembukuan bulan juli diperoleh data :
Penghasilan Netto Rp. 50.000.000
Angsuran PPh mulai Juli 2014 :
Penghasilan Neto yang disetahunkan :
12 bulan x Rp. 50.000.000 = Rp. 600 juta
PPh terutang = 12,5% X Rp. 600 juta = Rp. 75 juta
PPh Pasal 25 perbulan : Rp. 75 juta / 12 = Rp. 6,25 juta
PP 46 TAHUN 2013
BERLAKU SEJAK 1 JULI 2013

PPh atas Penghasilan dari Usaha Yang


Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang
Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran
bruto tertentu

 Wajib Pajak Badan tidak termasuk Bentuk Usaha


Tetap; dan
 menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk
penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan
bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp
4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.

Dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.


DPP dan Tarif

 Dasarpengenaan pajak yang digunakan untuk


menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat final
adalah jumlah Peredaran Bruto setiap bulan.

 PajakPenghasilan Terutang :
Peredaran Bruto Setiap Bulan X 1%
Pengecualian

Tidak termasuk Wajib Pajak badan yang dikenakan PP


46 :
a.Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial;
atau

b.Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun


setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran
bruto melebihi Rp4.800.000.000, (empat miliar delapan ratus
juta rupiah).
Contoh
PT Andalan yang bergerak di bidang usaha industri pengolahan gula
didirikan pada tahun 2012 dan pada tahun yang sama mendaftarkan
diri sebagai Wajib Pajak badan di KPP Z. PT Andalan menggunakan
tahun buku Januari-Desember. Sampai dengan bulan Oktober 2013 PT
Andalan masih terus melakukan kegiatan investasi dalam bentuk
pembangunan pabrik dan instalasi mesin-mesin industri dan belum
melakukan kegiatan operasi secara komersial. Pada tanggal 1
November 2013 PT Andalan mulai melakukan kegiatan operasi secara
komersial berupa produksi gula dalam kemasan.

Sesuai ketentuan Pasal 7 Peraturan Menteri ini, maka untuk Tahun


Pajak 2012 dan 2013, PT Andalan dikenai Pajak Penghasilan
berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Mengingat bahwa 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial
melewati Tahun Pajak yang bersangkutan maka sampai dengan akhir
Tahun Pajak 2014, Wajib Pajak masih dikenai Pajak Penghasilan
berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Dalam hal peredaran bruto usaha PT Andalan sampai dengan tanggal 31


Oktober 2014 (satu tahun sejak mulai beroperasi komersial) telah
melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah),maka mulai Tahun Pajak 2015 PT Andalan dikenai Pajak
Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak
Penghasilan.

Dalam hal peredaran bruto usaha PT Andalan sampai dengan tanggal 31


Oktober 2014 tidak melebihi Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah) maka pengenaan Pajak Penghasilan untuk
Tahun Pajak 2015 memperhatikan peredaran bruto Januari sampai
dengan Desember 2014.

Anda mungkin juga menyukai