Anda di halaman 1dari 77

MAKALAH

PERPAJAKA

Dosen Pengampu :

Fajriani Aziz, S.Pd.,

M.Si.

OLEH :

NAMA : NURUL ILMI


NIM : 220902501021
KELAS :A

PRODI PENDIDIKAN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

2023
PEMBAHASAN

PAJAK PENGHASILAN UMUM

A. Pendahuluan

Undang – undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pajak Penghasilan (PPh) berlaku
sejak 1 Januari 1984. Undang – undang ini telah beberapa kali mengalami perubahan
dan terakhir kali di ubah dengan Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2008. Undang –
Undang Pajak Penghasilan (PPh) mengatur pengenaan Pajak Penghasilan terhadap
subjek pajak yang menerima atau memperoleh pengahasilan

Pajak penghasilan merupakan pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun pajak. Subjek Pajak
tersebut dikenakan pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Subjek
Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam Undang-undang Pajak
Penghasilan Indonesia disebut sebagai Wajib Pajak.

Dengan kata lain, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah
memenuhi kewajiban subjektif maupun kewajiban objektif. Wajib Pajak dikenakan
pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh selama satu tahun pajak atau
dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak, apabila
kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam bagian tahun pajak. Yang
dimaksud dengan tahun pajak dalam Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia
adalah tahun takwim. Namun, Wajib Pajak dapat menggunakan tahun buku yang tidak
sama dengan tahun takwim, sepanjang tahun buku tersebut meliputi jangka waktu 12
(dua belas) bulan.

B. Subjek Pajak dan Wajib Pajak

Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia mengatur pengenaan Pajak


Penghasilan terhadap Subjek Pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dalam suatu Tahun Pajak sehingga Subjek Pajak akan dikenakan Pajak
Penghasilan apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Subjek Pajak yang
menerima atau memperoleh penghasilan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan
Indonesia selanjutnya disebut “Wajib Pajak”.

Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan.
Termasuk di dalam pengertian Wajib Pajak adalah kewajiban pemungut pajak atau
pemotong pajak tertentu. Wajib Pajak dikenakan pajak atas Pajak Penghasilan yang
diterima atau diperolehnya selama satu Tahun Pajak atau dapat pula dikenakan pajak
untuk penghasilan dalam bagian Tahun Pajak, apabila kewajiban pajak subjektifnya
dimulai atau berakhir dalam Tahun Pajak. Yang dimaksud Tahun Pajak adalah jangka
waktu satu tahun takwim (1 Januari sampai dengan 31 Desember), kecuali apabila
Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim,
sepanjang tahun buku tersebut meliputi jangka waktu 12 (dua belas) bulan. Sedangkan
yang dimaksud dengan bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu satu
Tahun Pajak.

C. Yang Menjadi Subjek Pajak

Pengertian Subjek Pajak dalam Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia


meliputi orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, badan, dan
bentuk usaha tetap, yaitu sebagai berikut.

a. Orang Pribadi
Orang pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal atau berada di
Indonesia ataupun di luar Indonesia.
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan Subjek Pajak
pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan
yang belum terbagi sebagai Subjek Pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan
pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat
dilaksanakan.
b. Badan, terdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya,
badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam
bentuk apa pun, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, koperasi, yayasan atau
organisasi yang sejenis, lembaga, dana pensiun, perusahaan reksa dana,
organisasi massa, organisasi sosial politik, dan bentuk badan usaha lainnya.
Bentuk usaha tetap. Yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap adalah bentuk
usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga
) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia.
Bentuk usaha tetap dapat berupa:
1. Tempat kedudukan manajemen;
2. Cabang perusahaan;
3. Kantor perwakilan;
4. Gedung kantor;
5. Pabrik;
6. Bengkel;
7. Pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran yang
digunakan untuk eksplorasi pertambangan;
8. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
9. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
10. Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain,
sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan;
11. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak
bebas;
12. Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung resiko di Indonesia.

D. Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri

Dalam Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia, Subjek Pajak Penghasilan


dapat dibedakan menjadi dua, yaitu Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar
negeri. Subjek Pajak dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau
memperoleh penghasilan, sedangkan Subjek Pajak luar negeri sekaligus menjadi
Wajib Pajak, sehubungan dengan penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan
di Indonesia atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan
perkataan lain, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi
kewajiban subjektif dan objektif.

Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar
negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya, antara lain:

a. Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima
atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak
luar negeri dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber
penghasilan di Indonesia;
b. Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan neto
dengan tarif umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenakan pajak
berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan;
c. Wajib Pajak dalam negeri wajib pajak menyampaikan SPT (Surat
Pemberitahuan Tahunan) sebagai sarana pelaporan pajak yang terutang dalam
suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan karena kewajiban pajaknya
telah dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.

Yang dimaksud dengan Subjek Pajak Dalam Negeri adalah

a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang
berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang yang dalam suatu tahun pajak
berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia;
c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang
berhak.

Yang dimaksud dengan Subjek Pajak Luar Negeri adalah

a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di


Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;
b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditentukan oleh
Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan yang sebenarnya. Penentuan tempat tinggal
orang pribadi atau tempat kedudukan badan penting untuk menetapkan Kantor
Pelayanan Pajak mana yang mempunyai yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan tersebut. Pada dasarnya tempat
tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditentukan menurut keadaan yang
sebenarnya. Dengan demikian, penentuan tempat tinggal atau tempat kedudukan tidak
hanya didasarkan pada pertimbangan yang bersifat formal, tetapi lebih didasarkan
pada kenyataan.

Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam
menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan tersebut, antara
lain domisili, alamat tempat tinggal, tempat tinggal keluarga, tempat menjalankan
usaha pokok atau hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan
pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakan.

E. Pajak Subjektif

Pajak Penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya


melekat pada Subjek Pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut
dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada Subjek Pajak lainnya. Oleh karena itu,
dalam rangka memberikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan berakhirnya
kewajiban pajak subjektif menjadi penting. Saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak
subjektif tersebut ditentukan sebagai berikut.

1. Bagi orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, kewajiban pajak


subjektifnya dimulai pada saat ia dilahirkan di Indonesia, sedangkan bagi orang
pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan atau orang pribadi yang dalam suatu
tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di
Indonesia, kewajiban pajak subjektifnya dimulai sejak hari pertama orang pribadi
tersebut berada di Indonesia atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
Kewajiban pajak subjektif orang pribadi berakhir pada saat meninggal dunia atau
meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya. Pengertian meninggalkan
Indonesia untuk selama-lamanya harus dikaitkan dengan hal-hal yang nyata pada
saat orang pribadi tersebut meninggalkan Indonesia. Apabila pada saat ia
meninggalkan Indonesia terdapat buktibukti yang nyata mengenai niatnya untuk
meninggalkan Indonesia selama-lamanya maka pada saat itu ia tidak lagi menjadi
Subjek Pajak dalam negeri.
2. Bagi badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kewajiban
pajak subjektifnya dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat
kedudukan
di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat
kedudukan di Indonesia.
3. Bagi orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu
12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, kewajiban pajak subjektifnya dimulai
pada saat orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia (dimulai pada saat bentuk usaha
tetap tersebut berada di Indonesia), dan kewajiban pajak subjektifnya berakhir
pada saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia (bentuk usaha tetap tersebut tidak lagi berada di
Indonesia).
4. Bagi orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari
Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia, kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat orang
pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari
Indonesia, dan kewajiban pajak subjektifnya berakhir pada saat tidak lagi
menerima atau memperoleh penghasilan tersebut.
5. Bagi warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang
berhak, kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat timbulnya warisan yang
belum terbagi tersebut, yaitu pada saat meninggalnya pewaris sehingga sejak saat
itu pemenuhan kewajiban perpajakannya melekat pada warisan tersebut.
Kewajiban pajak subjektif warisan berakhir pada saat warisan tersebut selesai
dibagi kepada para ahli warisnya sehingga sejak saat itu pemenuhan kewajiban
perpajakannya beralih kepada para ahli warisnya.
6. Apabila kewajiban pajak subjektif orang pribadi yang bertempat tinggal atau yang
berada di Indonesia hanya meliputi sebagian dari tahun pajak maka bagian tahun
pajak tersebut menggantikan tahun pajak.

F. Tidak Termasuk Subjek Pajak

Yang tidak termasuk sebagai Subjek Pajak Pajak Penghasilan adalah:


a. Badan perwakilan negara;
Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain
dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka
yang bekerja pada mereka dan bertempat tinggal bersama-sama mereka,
dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak
menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya di Indonesia
serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
b. Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan
dengan syarat:
 Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;
 Tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain untuk
memperoleh penghasilan di Indonesia;
 Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga negara Indonesia
dan tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan atau pekerjaan
lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia

G. Objek Pajak Penghasilan

Yang menjadi Objek Pajak adalah Penghasilan. Penghasilan yang dimaksud


dalam perpajakan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,
yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.

Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia menganut prinsip pemajakan atas


penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari mana
pun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak tersebut. Pengertian penghasilan dalam Undang-undang Pajak
Penghasilan Indonesia tidak memperhatikan adanya panghasilan dari sumber tertentu,
tetapi lebih menekankan pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran
terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul
biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.
Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak,
penghasilan dapat dikelompokkan menjadi :

1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas, seperti
gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan,
pengacara dan sebagainya;
2. Penghasilan dari usaha dan kegiatan;
3. Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak seperti
bunga, dividen, royalti, sewa, keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak
dipergunakan untuk usaha, dan lain sebagainya;
4. Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, dan lain sebagainya.

Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat
pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak, karena Undang-undang Pajak
Penghasilan Indonesia menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis
penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk
mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu tahun
pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian maka kerugian tersebut
dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi horizontal), kecuali
kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan
dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari Objek Pajak
maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang
dikenakan tarif umum.

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983


tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang
Nomor 36 Tahun 2008, yang termasuk di dalam pengertian Objek Pajak Penghasilan.

a. Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan


kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik
yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat
dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak
yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk:
b. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium,
komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk
lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini;
c. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
d. Laba usaha;
e. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
f. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan,
dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
g. Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya
karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau
anggota;
h. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, atau pengambilalihan usaha;
i. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan
pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi
yang ditetapkan oleh menteri keuangan, sepanjang tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-
pihak yang bersangkutan;
j. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai
biaya;
k. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang;
l. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk dividen
dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa
hasil usaha koperasi;
m. Royalti;
n. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
o. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
p. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah;
q. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
r. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
s. Premi asuransi;
t. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang
terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
u. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak.
v. Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan
lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di
bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau
bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

H. Bukan Objek Pajak Penghasilan

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983


tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang
Nomor 36 Tahun 2008 terhadap penghasilan-penghasilan tertentu yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak tidak dikenakan Pajak Penghasilan (bukan merupakan Objek
Pajak), yaitu:

1) Bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil


zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak;
2) Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan
pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau pengusahaan antara pihak-
pihak yang bersangkutan;
3) Warisan; Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai
pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
4) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa
yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan
dari Wajib Pajak atau Pemerintah;
5) Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi
sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi
jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa;
6) Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan
terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha
Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal
pada badan
usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan
syarat:
 Dividen berasal dari cadangan yang ditahan, dan
 Bagi perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara dan Badan
Usaha Milik Daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham
pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua
puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus
mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut;
7) Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya
telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi
kerja maupun pegawai;
8) Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun
sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu
yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
9) Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham,
persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi;
10) Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana
selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau
pemberian izin usaha;
11) Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura
berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan
menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan
pasangan usaha tersebut;
12) Merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan
kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan keputusan
menteri keuangan;
13) Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia

Objek Pajak Penghasilan Bentuk Usaha Tetap

Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, dikenakan Pajak Penghasilan
di Indonesia melalui bentuk usaha tetap tersebut. Yang menjadi Objek Pajak
Penghasilan dari bentuk usaha tetap adalah:

a. Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari
harta yang dimilikinya atau dikuasai. Bentuk usaha tetap dikenakan pajak atas
penghasilan yang berasal dari usaha atau kegiatan dan dari harta yang dimiliki
atau dikuasainya dengan demikian semua penghasilan tersebut dikenakan
pajak di Indonesia;
b. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau
pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang
dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia;
c. Penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau
diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk
usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan
dimaksud.

Dalam menentukan besarnya laba suatu bentuk usaha tetap, berdasarkan


ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor
36 Tahun 2008, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan kantor pusat dari usaha atau
kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis
dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di
Indonesia, serta biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan sebagaimana
tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang
terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan
yang memberikan penghasilan dimaksud, diperbolehkan untuk dibebankan
sebagai biaya bagi bentuk usaha tetap;
b. Biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah
biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, yang
besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;
c. Pembayaran kepada kantor pusat yang tidak diperbolehkan dibebankan sebagai
biaya adalah sebagai berikut:
d. Royalti atau imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta, paten, atau
hak-hak lainnya.
e. Imbalan sehubungan dengan jasa manajeman dan jasa lainnya.
f. Bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan
I. Dasar Pengenaan Pajak dan Cara Menghitung Penghasilan Pajak
Dasar Pengenaan Pajak

Untuk dapat menghitung PPh, terlebih dahulu harus diketahui dasar pengenaan
pajaknya Untuk Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang
menjadi dasar pengenaan pajak adalah Penghasilan Kena Pajak. Sementara itu, untuk
Wajib Pajak luar negeri adalah penghasilan bruto.

Besarnya Penghasilan Kena Pajak untuk Wajib Pajak badan dihitung sebesar
penghasilan neto. Sementara itu, untuk Wajib Pajak orang pribadi dihitung sebesar
penghasilan neto dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Secara
singkat dapat dirumuskan sebagai berikut:

Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan Neto

Penghasilan Kena Pajak (WP orang Pribadi) = Penghasilan Neto - PTKP

Cara Menghitung Penghasilan Kena Pajak

Perhitungan besarnya Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk
usaha tetap dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :

 Menggunakan pembukuan
 Menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto

Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau
jasa, yang ditutup dengan menyusun Lporan Keuangan berupa neraca dan laporan
laba rugi setiap Tahun Pajak Terakhir. Wajib Pajak badan dan Wajib Pajak Orang
pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas diwajibkan
menyelenggarakan pembukuan.

Dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib melakukan


pencatatan adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas yang menurut ketentuan peraturan perundang – undangan
perpajakan.
 Diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan
Norma Perhitungan Penghasilan Neto
 Wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas

Pencatatan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan
pekerjaan bebas meliputi peredaran atau penerimaan bruto dan penerimaan
penghasilan lainnya. Sedangkan bagi mereka yang semata-mata menerima
penghasilan dari luar usaha dan pekerjaan bebas pencatatannya hanya mengenai
penghasilan bruto, pengurang, dan penghasilan neto yang merupakan objek Pajak
Penghasilan. Di samping itu pencatatan meliputi pula penghasilan yang bukan objek
pajak dan atau yang dikenakan pajak yang bersifat final.

Pembukuan atau pencatatan harus

Diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan


keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya
Diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab,
satuan mata uang Rupiah, dan
Disusun dalam Bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh
Menteri Keuangan (misalnya, bahasa Inggris)

J. Menghitung Penghasilan Kena Pajak Dengan Menggunakan Pembukuan

Untuk wajib pajak badan besarnya penghasilan kena pajak sama dengan penghasilan
bruto, yaitu penghasilan bruto dikurangi dengan biaya – biaya yang diperkenankan
oleh UU PPh. Sementara itu, untuk wajib pajak orang pribadi besarnya penghasilan
kena pajak sama dengan penghasilan neto dikurangi degan PTKP. Untuk menghitung
penghasilan kena pajak dapat dirumuskan sebagai berikut :

Penghasilan Kena Pajak (WP Orang Pribadi)

= Penghasilan Neto – PTKP

= (Penghasilan bruto – Biaya yang diperkenankan UU PPh) – PTKP

Penghasilan Kena Pajak (WP Badan)


= Penghasilan neto

= Penghasilan Bruto – Biaya yang diperkenankan UU PPh

Besarnya penghasilan kena pajak dalam negeri dan wajib pajak dan bentuk usaha
tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan termasuk :

1. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha
antara lain :
2. Biaya oembelian bahan
3. Biya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium,
bonus, gratifikasi dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang.
4. Bunga, sewa dan royality
5. Biaya perjalanan
6. Biaya Pengolahan limbah
7. Premi asuransi
8. Biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasaekan Peraturan
Menteri Keuangan
9. Biaya administrasi
10. Pajak, kecuali pajak penghasilan
11. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi
atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun.
12. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan
13. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan
dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan.
14. Kerugian selisih kurs mata uang asing
15. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia
16. Biaya beasiswa, magang dan pelatihan
17. Piutang yang nyata – nyata tidak dapat ditagih dengan syarat :
18. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial.
19. Wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat di tagih kepada
Direktorat Jendral Pajak
20. Telah diserahkan perkara penagiahannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi
pemerintah yang menangani piutang negara, atau adanya perjanjian tertulis
mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur
yang bersangkutan atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau
khusus, atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan
untuk jumlah utang tertentu.
21. Syarat sebagaimana dimaksud pada huruf c tidak berlaku untuk penghapusan
piutang tak tertagih debitur kecil.
22. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya
di atur dengan peraturan pemerintah
23. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia yang ketentuannya di atur dengan Peraturan Pemerintah
24. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan
peraturan pemerintah
25. Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan peraturan
pemerintah
26. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan
peraturan pemerintah
27. Kompensasi kerugian fiskal tahun sebelumnya (maksimal 5 tahun)

Untuk menentukan besarnya penghasilan pajak wajib pajak dalam negeri dan
bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan :

1. Pembagian laba dengan nama dan bentuk apapun seperti deviden termasuk
deviden yang dibagikan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan
pembagian sisa hasil usaha koperasi.
2. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang
saham, sekutu atau amggota.
3. Pembentukan atau penumpukan dana cadangan, kecuali :
4. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang
menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hal opsi, perusahaan pembiayaan
konsumen dan perusahaan anjak piutang
5. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk
oleh badan penyelenggara jaminan sosial
6. Cadangan penjaminan untuk lembaga pinjaman simpanan
7. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan
8. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan
9. Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembangan limbah industri,
yang ketentuan dan syarat – syaratnya diatur dengan atau berdasarkan peraturan
menteri keuangan
10. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna
dan asuransi beasiswa yang di bayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali
jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi asuransi tersebut dihitung sebagai
penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan
11. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan
minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk
natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan
pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
12. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau
kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagal imbalan sehubungan
dengan pekerjaan yang dilakukan.
13. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan, kecuali:
14. Sumbangan yang diperbolehkan dikurangkan.
15. Zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk
atau disahkan oleh pemerintah.
16. Sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di
Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan
oleh pemerintah.
17. Pajak Penghasilan.
18. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak
atau orang yang menjadi tanggungannya.
19. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham.
20. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana
berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di
bidang perpajakan.
21. Biaya-biaya (pengeluaran) untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang:
22. Dikenakan PPh yang bersifat final.
23. Bukan objek PPh.
24. Biaya-biaya (pengeluaran) untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang PPhnya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto.

K. Menghitung Penghasilan Kena Pajak Dengan Menggunakan Norma


Perhitungan Penghasilan Neto

Apabila dalam menghitung Penghasilan Kena Pajaknya Wajib Pajak Penghitungan


Penghasilan Neto, besarnya penghasilan peto adalah sama besarnya dengan
besarnya (persentase) Norma Penghitungan Penghasilan Neto dikalikan dengan
jumlah peredaran usaha atau penerimaan bruto pekerjaan bebas setahun.

Pedoman untuk menentukan penghasilan neto, dibuat dan disempurnakan terus –


menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak berdasarkan pegangan yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Wajib pajak yang boleh menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto adalah

Wajib Pajak orang pribadi yang memenuhi syarat sebagai berikut:

 Peredaran beuto kurang dari Rp4.800.000.000,00 per tahun.


 Mengajukan permohonan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama
dari tahun buku
 Menyelenggarakan pencatatan

Berikut ini adalah contoh penghitungan pajak yang terutang dengan menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

Wajib Pajak Anto kawin (istri tidak bekerja) dan mempunyai 2 orang anak, la seorang
dokter bertempat tinggal di Jakarta. Misalnya besarnya persentase norma untuk dokter
di Jakarta 50%

Penerimaan bruto dokter di rumah di Jakarta setahun Rp500.000.000,00

Penghasilan neto dihitung sebagai berikut:

Sebagai seorang dokter. 50% x Rp500.000.000,00 Rp250.000.000,00

Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/2) Rp 67.500.000,00

Penghasilan Kena Pajak Rp182.500.000,00


L. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

Besarnya PTKP setahun yang berlaku mulai 1 Januari 2016 adalah:

Rp54.000.000,00 untuk diri Wajib Pajak orang pribadi.


Rp4.500.000.00 tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin.
Rp54.000.000,00 tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung
dengan penghasilan suami, dengan syarat:
Penghasilan istri tidak semata-mata diterima atau diperoleh dari satu pemberi
kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang
PPh Pasal 21.
Pekerjaan istri tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas
suami atau anggota keluarga yang lain.
Rp4.500.000,00 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan
keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat serta anak angkat
yang menjadi tanggungan sepenuhnya (maksimal 3 orang)

Penghitungan PTKP ditentukan menurut keadaan pada awal Tahun Pajak atau
awal bagian Tahun Pajak. Penghitungan PTKP untuk pegawai lama (tahun
sebelumnya sudah bekerja di Indonesia) dilakukan dengan melihat keadaan pada awal
tahun takwim (1 Januari). Bagi pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia
dalam bagian tahun takwim, besarnya PTKP tersebut berdasarkan keadaan pada awal
bulan dari bagian tahun takwim yang bersangkutan.
PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

A. Pengertian PPh Pasal 21

PPh Pasal 21 adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan berupa gaji,
upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan
dengan pekerjaan atau jabatan atau sebagai imbalan atas jasa. Subjek Pajak PPh
Pasal 21 (Wajib Pajak PPh Pasal 21) Wajib pajak yang dipotong PPh pasal 21 adalah
orang pribadi yang merupakan:

a. Pegawai, karyawan atau karyawati tetap adalah orang pribadi yang


bekerja pada pemberi kerja dan atas jasanya itu ia memperoleh gaji
dalam jumlah tertentu secara berkala.
b. Pegawai, karyawan atau karyawati lepas adalah orang pribadi yang
berkeja untuk pemberi kerja dan hanya menerima upah jika ia bekerja.
c. Penerima honorarium adalah orang pribadi atau sekelompok orang
pribadi yang memberikan jasanya, dan atas jasanya ia memperoleh
imbalan tertentu sesuai dengan jasa yang diberikan.
d. Penerima upah adalah orang pribadi yang atas jasanya ia memperoleh
upah, seperti upah harian, upah borongan, upah satuan dll.

B. Yang tidak termasuk Wajib Pajak PPh Pasal 21 yaitu:

Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari Negara asing
dan orang– orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan
bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan
di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau
pekerjaannya tersebut, serta Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal
balik.

Pejabat perwakilan organisasi internasional dimaksud dalam pasal 3 ayat (1)


huruf Undang– Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri
Keuangan, dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan
usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia. Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21 Pemotong PPh pasal 21 adalah
setiap orang pribadi atau badan yang diwajibkan oleh UU No. 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 17 tahun 2000 dan
terakhir UU
No 36 tahun 2008 untuk memotong PPh Pasal 21. Termasuk pemotong PPh Pasal 21
dalam peraturan Menteri Keuangan No. 252/KMK.03/2008 adalah: Pemberi kerja yang
terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat maupun cabang,
perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan dan
pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan
pegawai.

Bendahara atau pemegang kas pemerintah termasuk bendahara atau


pemegang kas yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran
lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau
jabatan, jasa dan kegiatan.

C. Dasar Pengenaan dan Pemotongan PPh Pasal 21

Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 terbaru adalah sebagai berikut:

Penghasilan kena pajak yang berlaku bagi:


 Pegawai tetap.
 Penerima pensiun berkala.

Pegawai tidak tetap yang penghasilannya dibayar secara bulanan atau jumlah
kumulatif penghasilan yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi Rp
3.000.000,00 (tiga juta rupiah).

Bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, yang menerima


imbalan bersifat berkesinambungan.

Jumlah penghasilan yang melebihi Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) sehari,
yang berlaku bagi pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang menerima upah
harian, upah mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilan
kumulatif yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi Rp
3.000.000,00 (tiga juta rupiah).

50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto yang berlaku bagi bukan
pegawai sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No. PER-
32/PJ/2015 Pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang tidak bersifat
berkesinambungan.
Jumlah penghasilan bruto yang berlaku bagi penerima penghasilan selain penerima
penghasilan di atas.

Dasar Pengenaan dan Pemotongan PPh Pasal 26 adalah jumlah penghasilan bruto.

D. Pemotong PPh Pasal 21

Pemotong pajak yang memotong PPh Pasal 21 adalah:

a. Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan.


b. Bendahara pemerintah baik Pusat maupun Daerah.
c. Dana pensiun atau badan lain seperti Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(Jamsostek), PT Taspen, PT Asabri.
d. Badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain kepada jasa tenaga
ahli, orang pribadi subjek pajak luar negeri, dan peserta pendidikan, pelatihan,
dan magang.
e. Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
f. Penyelenggara kegiatan.

Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 adalah:

a. Pegawai tetap.
b. Tenaga lepas (seniman, olahragawan, penceramah, pemberi jasa, pengelola
proyek, peserta perlombaan, petugas dinas luar asuransi), distributor
MLM/direct selling dan kegiatan sejenis.
c. Penerima pensiun, mantan pegawai, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya
yang menerima Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua.
d. Penerima honorarium.
e. Penerima upah.
f. Tenaga ahli ( Pengacara, Akuntan, Arsitek, Dokter, Konsultan, Notaris, Penilai,
dan Aktuaris ).
g. Peserta Kegiatan.
E. Penerima Penghasilan yang Tidak Dipotong PPh Pasal 21

Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing,
dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan
bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat:

a. Bukan warga negara Indonesia dan


b. Di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan
atau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan
perlakuan timbal balik;

Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Keputusan


Menteri Keuangan sepanjang bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan
usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia.

F. Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21

Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai atau penerima pensiun secara
teratur berupa gaji, uang pensiun bulanan, upah, honorarium (termasuk honorarium
anggota dewan komisaris atau anggota dewan pengawas), premi bulanan, uang
lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan isteri, tunjangan
anak, tunjangan kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan khusus, tunjangan transpot,
tunjangan pajak, tunjangan iuran pensiun, tunjangan pendidikan anak, beasiswa, premi
asuransi yang dibayar pemberi kerja, dan penghasilan teratur lainnya dengan nama
apa pun.

Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai, penerima pensiun atau


mantan pegawai secara tidak teratur berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi,
tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, premi tahunan, dan
penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap.

Upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan yang diterima atau
diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, serta uang saku harian atau
mingguan yang diterima peserta pendidikan, pelatihan, atau pemagangan yang
merupakan calon pegawai.
Uang tebusan pensiun, uang Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua, uang
pesangon, dan pembayaran lain sejenis sehubungan dengan pemutusan hubungan
kerja.

Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam
bentuk apa pun, komisi, beasiswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri, terdiri atas:

Tenaga ahli (Pengacara, Akuntan, Arsitek, Dokter, Konsultan, Notaris, Penilai, dan
Aktuaris).

Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintang iklan, sutradara, crew film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama,
penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya.

Olahragawan.

Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator.

Pengarang, peneliti, dan penerjemah.

Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya,
telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial.

Agen iklan.

Pengawas, pengelola proyek, anggota dan pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan, dan
peserta sidang atau rapat.

Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan.

Peserta perlombaan.

Petugas penjaja barang dagangan.

Petugas dinas luar asuransi.

Peserta pendidikan, pelatihan, dan pemagangan bukan pegawai atau bukan sebagai
calon pegawai.

a. Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan


kegiatan sejenis lainnya.
b. Gaji, gaji kehormatan, tunjangan-tunjangan lain yang terkait dengan gaji
dan honorarium atau imbalan lain yang bersifat tidak tetap yang diterima
oleh Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil serta uang pensiun dan
tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya terkait dengan uang pensiun
yang diterima oleh pensiunan termasuk janda/duda atau anak-anaknya.

G. Yang Tidak Termasuk Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21

Pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,


asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa.

Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan dalam bentuk apa pun yang
diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali diberikan oleh bukan Wajib Pajak
selain Pemerintah, atau Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat
final dan yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus
(deemed profit).

Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan dan iuran Jaminan Hari Tua kepada badan
penyelenggara Jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja.

Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil
zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.

Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu (Pasal 3 ayat 1 UU PPh).


Ketentuannya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
246/PMK.03/2008:

Penerima harus memenuhi dua syarat, yaitu:

 Penerima adalah Warga Negara Indonesia, dan


 Pendidikan berada di Indonesia.

Ketentuan Lainnya :

Pemotong Pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 baik diminta
maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada orang pribadi bukan
sebagai pegawai tetap, penerima uang tebusan pensiun, penerima Jaminan Hari Tua,
penerima uang pesangon, dan penerima dana pensiun.

Pemotong PPh Pasal 21 wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 tahunan
(form 1721-A1 atau 1721-A2) kepada pegawai tetap, termasuk penerima pensiun
bulanan dalam waktu dua bulan setelah tahun takwim berakhir.

Apabila pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun pada bagian tahun takwim, maka
Bukti Pemotongan (form 1721-A1 atau 1721-A2) diberikan oleh pemberi kerja
selambat- lambatnya satu bulan setelah pegawai yang bersangkutan berhenti bekerja
atau pensiun.

Penerima penghasilan wajib menyerahkan surat pernyataan kepada Pemotong Pajak


PPh Pasal 21 yang menyatakan jumlah tanggungan keluarga pada permulaan tahun
takwim atau pada permulaan menjadi Subyek Pajak dalam negeri.

H. Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21

Tarif dan Penerapannya:

Pegawai tetap, penerima pensiun bulanan, pegawai tidak tetap, pemagang dan
calon pegawai, serta distributor MLM/direct selling dan kegiatan sejenis, dikenakan tarif
Pasal 17 Undang-undang PPh dikalikan dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP). PKP
dihitung berdasarkan sebagai berikut:

Pegawai Tetap: Penghasilan bruto dikurangi biaya jabatan (5% dari


penghasilan bruto, maksimum Rp 6.000.000 setahun atau Rp 500.000 sebulan);
dikurangi iuran pensiun/iuran jaminan hari tua, dikurangi Penghasilan Tidak Kena
Pajak (PTKP).

Penerima Pensiun Bulanan: Penghasilan bruto dikurangi biaya pensiun (5%


dari penghasilan bruto, maksimum Rp 2.400.000 setahun atau Rp 200.000 sebulan);
dikurangi PTKP.

Pegawai tidak tetap, pemagang, calon pegawai: Penghasilan bruto dikurangi


PTKP yang diterima atau diperoleh untuk jumlah yang disetahunkan.

Distributor MLM/direct selling dan kegiatan sejenis: penghasilan bruto tiap


bulan dikurangi PTKP per bulan.
Penerima honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan, komisi, bea
siswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan atas jasa dan kegiatan yang jumlahnya
dihitung tidak atas dasar banyaknya hari yang diperlukan untuk menyelesaikan jasa
atau kegiatan; mantan pegawai yang menerima jasa produksi, tantiem, gratifikasi,
bonus; peserta program pensiun yang menarik dananya pada dana pensiun;
dikenakan tarif berdasarkan Pasal 17 Undang-undang PPh dikalikan dengan
penghasilan bruto.

Tenaga Ahli yang melakukan pekerjaan bebas (pengacara, akuntan, arsitek,


dokter, konsultan, notaris, penilai dan aktuaris) dikenakan tarif berdasarkan Pasal 17
Undang-undang PPh x 50% dari perkiraan penghasilan bruto dikurangi PTKP perbulan.

Pegawai harian, pegawai mingguan, pemagang, dan calon pegawai, serta


pegawai tidak tetap lainnya yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan,
upah borongan dan uang saku harian yang besarnya melebihi Rp 150.000 sehari tetapi
dalam satu bulan takwim jumlahnya tidak melebihi Rp 1.320.000 atau tidak dibayarkan
secara bulanan, maka PPh Pasal 21 yang terutang dalam sehari adalah dengan
menerapkan tarif 5% dari penghasilan bruto setelah dikurangi Rp 150.000. Bila dalam
satu bulan takwim jumlahnya melebihi Rp 1.320.000, maka besarnya PTKP yang dapat
dikurangkan untuk satu hari adalah sesuai dengan jumlah PTKP sebenarnya dari
penerima penghasilan yang bersangkutan dibagi 360.

Penerima pesangon, tebusan pensiun, Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari
Tua yang dibayarkan sekaligus dikenakan tarif PPh final sebagai berikut:

5% dari penghasilan bruto di atas Rp 25.000.000 s.d. Rp 50.000.000.

10% dari penghasilan bruto di atas Rp 50.000.000 s.d. Rp 100.000.000.

15% dari penghasilan bruto di atas Rp 100.000.000 s.d. Rp 200.000.000.

25% dari penghasilan bruto di atas Rp 200.000.000.

Pejabat Negara, PNS, anggota TNI/Polri yang menerima honorarium dan


imbalan lain yang sumber dananya berasal dari Keuangan Negara atau Keuangan
Daerah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif 15% dari penghasilan bruto dan bersifat
final, kecuali yang dibayarkan kepada PNS Gol. II/d ke bawah, anggota TNI/Polri
berpangkat Peltu atau Aiptu ke bawah.

Contoh Soal
Bapak Ahmad bekerja di PT. Trans Retail dengan gaji sebulan Rp. 4.000.000,-
Perusahaan ikut program BPJS sebesar 1% yang dibayar oleh perusahaan
setiap bulannya. Bapak Ahmad membayar iuran pensiun sebesar Rp. 100.000,-
. Dalam tahun yang bersangkutan menerima THR sebesar 1 bulan gaji. Berapa
PPh Pasal 21 yang dipotong setiap bulannya dan hitunglah PPh Pasal 21 bila
menerima THR?
Jawab:
PPh Pasal 21 atas gaji dan THR

Gaji setahun (12 x 4.000.000) 48.000.000

THR 4.000.000
BPJS (1% x 4.000.000)
40.000 x 12 480.000
Penghasilan Bruto Setahun 52.480.000

Pengurangan :
Biaya Jabatan
5% x 52.480.000 2.624.000

Iuran Pensiun
12 x 100.000 1.200.000
+
3.824.000
-
Penghasilan Netto 46.656.000
Setahun

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)


Untuk WP Sendiri 36.000.000
-

Penghasilan Kena Pajak (PKP) 12.656.000

PPh Pasal 21 Terutang

5% × 12.656.000 632.800 = 52.733


= 12
PAJAK PENGHASILAN PASAL 22

A. Pengertian PPh Pasal 22

Merupakan pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan yang dipungut


oleh:

a) Bendahara pemerintah, termasuk bendahara pada Pemerintah Pusat,


Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, dan lembaga-lembaga
negara lainnya. berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang,
termasuk juga dalam pengertian bendahara adalah pemegang kas dan
pejabat lain yang menjalankan fungsi yang sama.
b) Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta, berkenaan
dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain, seperti
kegiatan usaha produksi barang tertentu antara lain otomotif dan semen.
c) Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas
penjualan barang yang tergolong sangat mewah. Pemungutan pajak oleh
Wajib Pajak badan tertentu ini akan dikenakan terhadap pembelian barang
yang memenuhi kriteria tertentu sebagai barang yang tergolong sangat
mewah baik dilihat dari jenis barangnya maupun harganya, seperti kapal
pesiar, rumah sangat mewah, apartemen dan kondominium sangat mewah,
serta kendaraan sangat mewah.
d) Kegiatan Ekspor & Impor

B. Objek dan Tarif PPh Pasal 22


Atas impor
a. Barang tertentu (lihat lampiran I PMK Nomor 34/PMK.010/2017)
dikenakan PPh pasal 22 sebesar 10% (sepuluh persen) dari nilai impor
b. Barang tertentu lainnya (lihat Lampiran II PMK Nomor
34/PMK.010/2017) dikenakan PPh Pasal 22 sebesar 7,5% (tujuh koma
lima persen) dari nilai impor
c. Kedelai, gandum, dan tepung terigu dikenakan PPh Pasal 22 sebesar
0,5% (nol ko lima persen) dari nilai impor dengan menggunakan Angka
Pengenal Impor (API)
d. Barang selain barang tertentu, barang tertentu lainnya, kedelai,
gandum, dan tepung terigu yang menggunakan Angka Pengenal Impor
(API)
dikenakan PPh Pasal 22 sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari nilai
impor.
e. Barang selain barang tertentu, barang tertentu lainnya, kedelai,
gandum, dan tepung terigu yang tidak menggunakan Angka Pengenal
Impor (APT) dikenakan PPh Pasal 22 sebesar 7,5% (tujuh koma lima
persen) dari nilai impor.
f. Barang yang tidak dikuasai, PPh Pasal 22 sebesar 7,5% (tujuh koma
lima persen) dari harga jual lelang.

Yang dimaksud dengan nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi
dasar penghitungan Bea Masuk yaitu Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah
dengan Bea Masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan
peraturan perunding undangan kepabeanan di bidang impor.

Atas ekspor komoditas tambang batu bara, mineral logam, dan mineral bukan
logam. sesuai uraian barang dan pos tarif/Harmonized System (lihat lampiran IV PMK
Nomor 34/PMK.010/2017) oleh eksportir dikenakan PPh Pasal 22 sebesar 1,5% (satu
koma lim persen) dari nilai ekspor sebagaimana tercantum dalam Pemberitahuan
Ekspor Barang Dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 adalah ekspor dilakukan
oleh Wajib Pajak yang terikat dalam perjanjian kerja sama pengusahaan
pertambangan dan Kontrak Karya Nilai ekspor sebagaimana tercantum dalam
Pemberitahuan Pabean Ekspor adalah nila Free on Board (FOB) yang tercantum pada
Pemberitahuan Pabean Ekspor, termasuk Pemberitahuan Pabean Ekspor yatig nilai
ekspornya telah dibetulkan.

C. Pemungut PPh Pasal 22

Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai

 Saat Terutang dan Saat Pelunasan

Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang, terutang dan dilunasi


bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk. Dalam hal pembayaran Bea Masuk
ditunda atau dibebaskan dan tidak termasuk dalam pengecualian dari pemungutan
Pajak Penghasilan Pasal 22, Pajak Penghasilan Pasal 22 terutang dan dilunasi pada
saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean atas impor.
Pajak Penghasilan Pasal 22 atas ekspor komoditas tambang batu bara, mineral
logam, dan mineral bukan logam, terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat
penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean atas ekspor.

 Cara Pemungutan

Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang dilaksanakan


dengan cara penyetoran oleh importir yang bersangkutan atau Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk
oleh Menteri Keuangan. Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas ekspor
komoditas tambang batu bara, mineral logam, dan mineral bukan logam dilaksanakan
dengan cara penyetoran oleh eksportir yang bersangkutan ke kas negara melalui
Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

Peruungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas ekspor komoditas tambang batu


bara, mineral logam, dan mineral bukan logam dilaksanakan dengan cara penyetoran
oleh eksportir yang bersangkutan ke kas negara melalui Pos Persepsi, Bank Devisa
Persepsi, atau Bank Persepsi yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

Penyetoran Penghasilan Pasal 22 dilakukan dengan menggunakan formulir


Surat Setoran Pajak yang berlaku sebagai bukti pemungutan pajak.

 Contoh Perhitungan

PT Endra merupakan eksportir komoditas tambang batubara. Pada Januari 2019


melakukan ekspor bubuk mika ke Negara Y dengan nilai ekspor sebesar USD 200.000
Kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan pada saat itu adalah USD1 = Rp13.570,
sedangkan kurs BI adalah USD1= Rp14.553. Hitung PPh Pasal 22 yang harus dibayar
oleh PT Endra.

Dasar Pengenaan Pajak nilai ekspor USD200.000

Nilai impor (dalam rupiah): USD200.000 x Rp13.570 Rp.2.714.000.000

Besarnya PPh Pasal 22 adalah: 1,5% x Rp2.714.000.000 Rp.40.710.000

Pembelian Barang Oleh Bendaharawan Pemerintah

D. Objek dan Tarif PPh Pasal 22 Berkenaan


Bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut
pajak dengan pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh: pada
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga Pemerintah dan
lembaga- lembaga negara lainnya.

Bendahara pengeluaran dengan mekanisme Uang Persediaan (UP), KPA atau


pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh KPA, berkenaan
pembayaran kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran
langsung (LS).

Dikenakan PPh Pasal 22 sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari harga
pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.

E. Pemungut PPh Pasal 22

Bendaharawan, KPA, dan pejabat penerbit Surat Perintah Membayar.

F. Saat Terutang dan Saat Pemungutan

Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian barang oleh bendaharawan pemerintah


terutang dan dipungut pada saat pembayaran.

G. Cara Pemungutan

Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 wajib disetor oleh pemungut pajak ke


kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang telah diisi atas nama
rekanan serta ditandatangani oleh pemungut pajak. Surat Setoran Pajak tersebut
berlaku sebagai bukti pemungutan pajak.

Contoh Perhitungan

Pada 1 April 2019, Dinas Perhubungan membeli mebel dan peralatan kantor
lainnya dari Perdana Furniture senilai Rp220.000.000 (termasuk PPN 10%).
Pembayaran dilakukan dengan uang persediaan.
PPh Pasal 22 yang dipungut oleh oleh bendaharawan dinas tersebut pada saat
pembayaran dihitung sebagai berikut.

Dasar Pengenaan Pajak (100-110) x Rp220.000.000


Rp.200.000.000
PPh Pasal 22: 1,5% x Rp200.000.000 Rp.
3.000.000
Penjualan Hasil Produksi Industri Tertentu
Objek dan Tarif PPh Pasal 22

Atas penjualan hasil produksi kepada distributor di dalam negeri oleh badan
usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja,
industri otomotif, dan industri farmasi:

Penjualan semua jenis semen sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima

persen). Penjualan kertas sebesar 0,1 % (nol koma satu persen).

Penjualan baja sebesar 0,3% (nol koma tiga persen).

Penjualan semua jenis kendaraan bermotor beroda dua atau lebih, tidak
termasuk alat berat, sebesar 0,45% (nol koma empat puluh lima persen).

Penjualan semua jenis obat sebesar 0,3% (nol koma tiga persen).

Dari dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

Pemungut PPh Pasal 22

Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri
kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi.

Saat Terutang dan Saat Pemungutan

Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi bidang usaha


industri seten industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi,
terutang dan dipungut pada saat penjualan.

Cara Pemungutan

Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 wajib disetor oleh pemungut ke kas


negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak. Pemungut pajak wajib
menerbitkan Bukti Pemunguta Pajak Penghasilan Pasal 22 dalam rangkap 3 (tiga),
yaitu:

Lembar pertama untuk Wajib Pajak yang dipungut.

Lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan


Pajak (dilampirkan pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 22).
Lembar ketiga sebagai arsip pemungut pajak yang bersangkutan.

Contoh Perhitungan

PT Semen Padang pada Mei 2019 menjual hasil produksi berupa semen hasil
produksinya kepada CV Bangunan (salah satu distributor) dengan total harga sebesar
Rp340.000.000. Harga tersebut tidak termasuk PPN.

PPh Pasal 22 atas penjualan tersebut dihitung sebagai berikut.

Nilai transaksi penjualan Rp.340.000.000

Dasar Pengenaan Pajak = nilai transaksi penjualan Rp.340.000.000

PPh Pasal 22 (0,25% x Rp340.000.000) Rp.850.000


PAJAK PENGHASILAN PASAL 23

A. PPh Pasal 23
 Pemotong PPh pasal 23
a. Badan pemerintah;
b. Subjek pajak badan dalam negeri;
c. Penyelenggara kegiatan;
d. Bentuk Usaha Tetap (BUT);
e. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya;
f. Wajib pajak orang pribadi dalam negeri tertentu yang ditunjuk Direktur
Jenderal Pajak.
 Yang dikenakan Pemotongan PPh pasal 23
a. Wajib pajak dalam negeri;
b. Bentuk Usaha Tetap (BUT)

c. Objek Pemotongan PPh pasal 23


B. Tarif PPh 23 dan Objeknya

Tarif PPh 23 dikenakan atas nilai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau jumlah
bruto dari penghasilan. Ada dua jenis tarif yang dikenakan pada penghasilan yaitu 15%
dan 2%, tergantung dari objek PPh pasal 23 tersebut. Berikut ini adalah daftar tarif dan
objek PPh Pasal 23 :

a. Tarif 15% dari jumlah bruto atas :


Dividen, kecuali pembagian dividen kepada orang pribadi dikenakan
final, bunga dan royalti;
Hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh pasal 21;
b. Tarif 2% dari jumlah bruto atas sewa dan penghasilan lain yang
berkaitan dengan penggunaan harta kecuali sewa tanah dan/atau
bangunan.
Tarif 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa teknik, jasa manajemen,
jasa konstruksi dan jasa konsultan.
c. Tarif 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa lainnya adalah yang
diuraikan dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 141/PMK.03/2015
dan efektif mulai berlaku pada tanggal 24 Agustus 2015.
d. Bagi Wajib Pajak yang tidak ber-NPWP akan dipotong 100% lebih tinggi
dari tarif PPh Pasal 23.
e. Jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan yang dibayarkan,
disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya
oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri
lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, tidak
termasuk:
f. Pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain
sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan oleh
Wajib Pajak penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja yang
melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa;
g. Pembayaran atas pengadaan/pembelian barang atau material
(dibuktikan dengan faktur pembelian);
h. Pembayaran kepada pihak kedua (sebagai perantara) untuk selanjutnya
dibayarkan kepada pihak ketiga (dibuktikan dengan faktur tagihan pihak
ketiga disertai dengan perjanjian tertulis);
i. Pembayaran penggantian biaya (reimbursement) yaitu penggantian
pembayaran sebesar jumlah yang nyata-nyata telah dibayarkan oleh
pihak kedua kepada pihak ketiga (dibuktikan dengan faktur tagihan atau
bukti pembayaran yang telah dibayarkan kepada pihak ketiga).

Jumlah bruto tersebut tidak berlaku atas:

a. Penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa katering;


b. Penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa, telah
dikenakan pajak yang bersifat final;
c. Pembayaran gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain
yang merupakan imbalan atas pekerjaan yang dilakukan wajib pajak
penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja. Hal ini harus dibuktikan
oleh kontrak kerja dengan pengguna jasa dan daftar pembayaran gaji,
tunjangan, upah, atau honorarium;
d. Pembayaran kepada penyedia jasa yang merupakan hasil pengadaan
barang atau material terkait jasa yang diberikan. Hal ini harus dibuktikan
oleh faktur pembelian atas pengadaan barang atau material;
e. Pembayaran melalui penyedia jasa kepada pihak ketiga. Hal ini
f. harus dibuktikan oleh faktur tagihan dari pihak ketiga dan disertai
dengan perjanjian tertulis;
g. Pembayaran kepada penyedia jasa yang berupa penggantian atau
reimbursement. Ini berlaku untuk biaya yang telah dibayarkan oleh
penyedia jasa kepada pihak ketiga. Hal ini harus dibuktikan oleh faktur
tagihan dan bukti pembayaran.

C. Jenis Objek PPh 23

Objek PPh Pasal 23 telah ditambahkan oleh pemerintah hingga menjadi 62 jenis
jasa lainnya seperti yang tercantum dalam PMK No. 141/PMK.03/2015. Berikut ini
adalah daftar lengkap objek PPh Pasal 23, tarif dan cara buat hitung, setor dan e-Filing
yang mudah, cepat, aman dan gratis!

Berikut ini adalah daftar objek pph 23 jasa lainnya tersebut:

1) Penilai (appraisal);
2) Aktuaris;
3) Akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
4) Hukum;
5) Arsitektur;
6) Perencanaan kota dan arsitektur landscape;
7) Perancang (design);
8) Pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas)
kecuali yang dilakukan oleh Badan Usaha Tetap (BUT);
9) Penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan gas bumi
(migas);
10) Penambangan dan jasa penunjang di bidang usaha panas bumi dan
penambangan minyak dan gas bumi (migas);
11) Penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;
12) Penebangan hutan;
13) Pengolahan limbah;
14) Penyedia tenaga kerja dan/atau tenaga ahli (outsourcing services);
15) Perantara dan/atau keagenan;
16) Bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan Bursa Efek,
Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) dan Kliring Penjaminan Efek Indonesia
(KPEI);
17) Kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI;
18) Pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara;
19) Mixing film;
20) Pembuatan sarana promosi film, iklan, poster, foto, slide, klise, banner, pamphlet,
baliho dan folder;
21) Jasa sehubungan dengan software atau hardware atau sistem komputer,
termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan.
22) Pembuatan dan/atau pengelolaan website;
23) Internet termasuk sambungannya;
24) Penyimpanan, pengolahan dan/atau penyaluran data, informasi, dan/atau
program;
25) Instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas AC dan/atau TV
Kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang
konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha
konstruksi;
26) Perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC
dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang
lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai
pengusaha konstruksi;
27) Perawatan kendaraan dan/atau alat transportasi darat.
28) Maklon;
29) Penyelidikan dan keamanan;
30) Penyelenggara kegiatan atau event organizer;
31) Penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa, media luar ruang atau
media lain untuk penyampaian informasi, dan/atau jasa periklanan;
32) Pembasmian hama;
33) Kebersihan atau cleaning service;
34) Sedot septic tank;
35) Pemeliharaan kolam;
36) Katering atau tata boga;
37) Freight forwarding;
38) Logistik;
39) Pengurusan dokumen;
40) Pengepakan;
41) Loading dan unloading;
42) Laboratorium dan/atau pengujian kecuali yang dilakukan oleh lembaga atau
institusi pendidikan dalam rangka penelitian akademis;
43) Pengelolaan parkir;
44) Penyondiran tanah;
45) Penyiapan dan/atau pengolahan lahan;
46) Pembibitan dan/atau penanaman bibit;
47) Pemeliharaan tanaman;
48) Permanenan;
49) Pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan dan/atau
perhutanan;
50) Dekorasi;
51) Pencetakan/penerbitan;
52) Penerjemahan;
53) Pengangkutan/ekspedisi kecuali yang telah diatur dalam Pasal 15 Undang-
Undang Pajak Penghasilan;
54) Pelayanan pelabuhan;
55) Pengangkutan melalui jalur pipa;
56) Pengelolaan penitipan anak;
57) Pelatihan dan/atau kursus;
58) Pengiriman dan pengisian uang ke ATM;
59) Sertifikasi;
60) Survey;
61) Tester;
62) Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada
APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) atau APBD (Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah). Pihak Pemotong PPh Pasal 23 dan Pihak
yang Dikenakan PPh Pasal 23

D. Pengecualian PPh 23

Pemotongan PPh 23 dikecualikan atas:

a. Penghasilan yang dibayar atau berulang kepada bank;


b. Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan dengan sewa guna
usaha dengan hak opsi;
c. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan
terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, BUMN/BUMD, dari
penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat
kedudukan di Indonesia dengan syarat:
d. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan;
e. Bagi perseroan terbatas, BUMN/BUMB, kepemilikan saham pada badan
yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen)
dari jumlah modal yang disetor;
f. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham- saham,
persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi termasuk pemegang unit
penyertaan kontrak investasi kolektif.
g. SHU koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
h. Penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada badan usaha
i. atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau
pembiayaan.

E. Cara menghitung PPh pasal 23 atas Jasa

PT Sejahtera memberikan jasa konsultasi kepada CV Indah pada bulan Agustus 2019
dengan imbalan sebesar Rp20.000.000 tunai. Maka, penghitungan PPh 23 untuk
pendapatan ini adalah:

2% x penghasilan bruto

2% x Rp20.000.000 = Rp400.000

Besaran PPh Pasal 23 untuk imbalan jasa konsultasi PT Sejahtera adalah sebesar
Rp400.000 dan harus dilaporkan oleh CV Indah ke kantor pajak.

F. Penghitungan PPh Pasal 23 dengan Tarif Potongan 15%

Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Sejahtera mengumumkan pembagian


dividen sebesar Rp3.000.000.000. PT Perkasa memiliki 10% saham PT Sejahtera.

PT Perkasa adalah wajib pajak badan yang atas dividen yang diterimanya tidak
berlaku ketentuan PPh pasal 4 ayat (2). Berdasarkan ketentuan

Undang-Undang (UU) PPh Nomor 36 Tahun 2008, penghasilan berupa dividen


yang diterima PT Perkasa dikenai PPh pasal 23 dengan tarif 15% dari penghasilan
bruto.

Kepemilikan PT Perkasa adalah 10%, sehingga dividen yang menjadi hak PT


Perkasa adalah Rp300.000.000 (Rp3.000.000.000×10%).
Jumlah PPh pasal 23 yang dipotong adalah Rp45.000.000 (Rp300.000.000×15%).

G. Cara menghitung PPh pasal 23 atas deviden

Di mana objek PPh 23 atas dividen dikenakan terhadap dividen yang diperoleh
dengan kepemilikan saham di bawah 25%.

Contoh:

PT X membagikan dividen yang berasal dari cadangan laba ditahan sebesar Rp 40


juta, kepada pihak-pihak yang memiliki penyertaan modal. Salah satunya yaitu PT A
yang memiliki kepemilikan saham sebesar 20%. Maka perhitungan PPh Pasal 23 yang
harus dipotong yaitu:

= 20% x Rp 40.000.000 x 15% = Rp 1.200.000.


PAJAK PENGHASILAN PASAL 24

A. Pengertian PPh Pasal 24

Pada dasarnya PPh Pasal 24 mengatur tentang besarnya kredit pajak yang dapat
diperhitungkan atas pemotongan pajak/ pajak yang dibayar/ pajak yang terutang di luar
negeri. Hal ini sesuai dengan ayat 1 dan 2 Pasal 24 UU PPh :

a. Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan
terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun pajak
yang sama.
b. Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar
pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh
melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan


dengan perubahan terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36
Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, Pasal 24 ayat (1), PPh pasal 24 adalah pajak
yang dibayarkan atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang
diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang
terutang berdasarkan Undang-Undang ini dalam tahun pajak yang sama.

Pajak penghasilan pasal 24 atau kredit pajak luar negeri, merupakan perhitungan
berapa besar jumlah pajak yang sudah dibayar atas penghasilan diluar negeri dan
pajak tersebut dapat dikreditkan atau dikurangkan dari penghasilan yang ada didalam
negeri sehingga menghindari pengenaan pajak berganda.

B. Subjek dan Objek PPh Pasal 24

Yang menjadi Subjek PPh Pasal 24 adalah: Wajib Pajak dalam negeri terutang
pajak atas seluruh penghasilan, termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh
dari luar negeri. Sedangkan, yang menjadi Objek PPh pasal 24 adalah penghasilan
yang berasal dari luar negeri.

C. Penentuan Sumber Penghasilan PPh pasal 24


Dalam menghitung batas jumlah pajak atas penghasilan yang dibayar atau
terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan, perlu diperhatikan penentuan sumber
penghasilan sebagai berikut:

Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan
saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham
atau sekuritas tersebut didirikan atau bertempat kedudukan.

Penghasilan berupa bunga, royalti dan sewa sehubungan dengan penggunaan


harta bergerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga,
royalti atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada.

Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak


adalah negara tempat harta tersebut terletak.

Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan


adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat
kedudukan atau berada.

Penghasilan bentuk usaha tetap adalah Negara tempat bentuk usaha tetap
tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.

Penghasilan dan pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda
turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan
adalah Negara tempat lokasi penambangan berada.

Keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah Negara tempat harta tetap itu
berada.

Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk
usaha tetap adalah Negara tempat bentuk usaha tetap itu berada.

Penggabungan Penghasilan yang berasal dari luar negeri

Penggabungan penghasilan dari luar negri dilakukan sebagai berikut:

Untuk penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya


penghasilan tersebut;
Untuk penghasilan lainnya, seperti penghasilan bunga, sewa, dan lainnya
dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut;
Untuk penghasilan berupa deviden untuk mengurangi kemungkinan
penghindaran pajak, maka terhadap penanaman modal diluar negri selain pada
badan usaha yang menjual sahamnya dibursa efek, Menteri Keuangan berhak
untuk menentukan saat diperolehnya deviden.

Jadi, Pajak Penghasilan dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak yang dihitung
berdasarkan seluruh penghasilan yang diterima dan diperoleh oleh Wajib Pajak, baik
penghasilan tersebut berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Dalam
menghitung Pajak Penghasilan, maka seluruh penghasilan tersebut digabungkan
dalam tahun pajak di peroleh atau diterimanya penghasilan, atau dalam tahun pajak.

Contoh Soal :

Hasil usaha di Filipina dalam Tahun Pajak 2005 sebesar Rp. 600.000.000,-
Dividen atas pemilikan saham di Chicago Ltd di USA sebesar Rp. 400.000.000,-
yaitu berasal dari keuntungan tahun 2004 yang ditetapkan dalam RUPS (Rapat
Umum Pemegang Saham) dan dibayar tahun 2005
Dividen atas penyertaan saham sebanyak 75% pada Smith Corporation di
Australia yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek sebesar Rp.
80.000.000,- yaitu berasal dari keuntungan saham 2004 yang berdasarkan
Kepmenkeu ditetapkan diperoleh tahun 2005.
Bunga kwartal IV tahun 2004 sebesar Rp. 200.000.000,- dari Malaysia yang
baru akan diterima bulan Mei Tahun 2005.

Jawaban :

Dari penghasilan yang bersumber dari luar negeri di atas, maka penghasilan yang
digabungkan dengan penghasilan dalam negeri untuk tahun 2004 adalah butir a s/d c,
sedangkan butir d digabungkan dengan penghasilan dalam negeri tahun 2005.

Besarnya Kredit Pajak Luar Negeri yang boleh dikreditkan

Jumlah kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan hanya atas pajak yang langsung
dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari luar negeri,
dan setinggi tingginya sama dengan jumlah pajak yang dibayar atau terutang di luar
negeri, tetapi tidak boleh melebihi jumlah yang dihitung menurut perbandingan antara
penghasilan dari luar negeri terhadap penghasilan Kena Pajak dikalikan dengan pajak
yang terutang atas penghasilan kena pajak, atau setinggi-tingginya sama dengan pajak
yang terutang atas penghasilan Kena Pajak dalam hal penghasilan Kena Pajak lebih
kecil dari penghasilan luar negeri.

Maksimum Kredit Pajak = Penghasilan LN x Pajak terhutang tahun berjalan

PKP

*Bandingkan antara “Maksimum Kredit Pajak dan Pajak Yang Terutang/Dibayar di luar
negeri” (pilih yang terkecil).

Contoh :

PT Lestari berkedukan di Semarang, mempunyai penghasilan kena paja dari Indonesia


sebesar Rp. 130.000.000,- dan penghasilan kena pajak dari Jepang sebesar Rp.
70.000.000,-. Hitunglah kredit pajak jika tarif yang berlaku di Jepang 10%.

PPh berdasarkan tarif Pasal 17 :

10% x Rp. 50.000.000,- = 5.000.000,-

15% x Rp. 50.000.000,- = 7.500.000,-

30% x Rp. 100.000.000,- = 30.000.000,-

PPh 42.000.000,-

PPh yang dibayar di Jepang 10% x 70.000.000,- = Rp. 7.000.000,-

Bagian penghasilan di Korea :

( Rp. 70.000.000,-/Rp. 200.000.000,- ) x Rp. 42.500.000,- = Rp. 14.875.000,-

Kredit pajaknya adalah mana yang lebih kecil antara PPh dibayar di luar negeri dengan
bagian penghasilan di negara tersebut yaitu sebesar Rp. 7.000.000,-

D. Mekanisme Pengkreditan PPh yang Dibayar di Luar Negeri

Menurut Keputusan Menteri Keuangan (164/KMK.03/2002) :

a. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di Luar Negeri dapat dikreditkan
dengan Pajak Penghasilan yang terutang di Indonesia.
b. Pengkreditan PPh yang dibayar di Luar Negeri (PPh Pasal 24) dilakukan dalam
tahun pajak digabungkannya penghasilan dari luar negeri tersebut dengan
penghasilan di Indonesia.
c. Jumlah PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan maksimum sebesar jumlah yang
lebih rendah di antara PPh yang dibayar atau terutang di Luar Negeri dan
jumlah yang dihitung menurut perbandingan antara penghasilan dari luar negeri
dan seluruh Penghasilan Kena Pajak, atau maksimum sebesar PPh yang
terutang atas seluruh Penghasilan Kena Pajak dalam hal di dalam negeri
mengalami kerugian (Penghasilan dari LN lebih besar dari jumlah Penghasilan
Kena Pajak).
d. Apabila penghasilan dari luar negeri berasal dari beberapa negara, maka
penghitungan PPh Pasal 24 dilakukan untuk masing-masing negara.
e. Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang dikenakan PPh Final (Pasal 4 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 ) dan/atau penghasilan yang dikenakan
pajak tersendiri (Pasal 8 ayat (1 dan 4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000
) tidak dapat digabungkan dengan penghasilan lainnya, baik yang diperoleh dari
Dalam Negeri maupun dari Luar Negeri.
f. Dalam hal jumlah PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri melebihi PPh
Pasal 24 yang dapat dikreditkan, kelebihan tersebut tidak dapat diperhitungkan
di tahun berikutnya, tidak boleh dibebankan sebagai biaya, dan tidak dapat
direstitusi.

Untuk melaksanakan prengkreditan PPh Luar Negeri, wajib pajak wajib


menyampaikan permohonan ke KPP bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan
PPh, dilampiri dengan ;

a. Laporan Keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri


b. Foto kopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri
c. Dokumen pembayaran PPh di luar negeri.
d. Atas permohonan wajib pajak, Kepala KPP dapat memperpanjang jangka
waktu penyampaian lampiran-lampiran di atas, karena alasan-alasan di luar
kekuasaan wajib pajak.
e. Dalam hal terjadi perubahan besarnya penghasilan yang berasal dari luar
negeri, wajib pajak harus melakukan pembetulan SPT Tahunan yang
bersangkutan dengan melampirkan dokumen-dokumen yang berkenaan
dengan perubahan tersebut.
f. Apabila karena pembetulan SPT tersebut menyebabkan PPh kurang dibayar,
maka atas kekurangan bayar tersebut tidak dikenakan sanksi bunga.
g. Apabila karena pembetulan SPT tersebut menyebabkan lebih bayar, maka atas
kelebihan tersebut dapat dikembalikan kepada wajib pajak setelah
diperhitungkan dengan utang pajak lainnya.

Pengurangan/pengembalian pajak penghasilan luar negeri

Dalam hal terjadi pengurangan atau pengembalian pajak atas penghasilan


yang dibayar di Luar Negeri, sehingga besarnya pajak yang dapat dikreditkan di
Indonesia menjadi lebih kecil daripada kredit pajak Luar Negeri semula, maka
selisihnya ditambahkan pada pajak penghasilan yang terutang atas seluruh
penghasilan Wajib pajak dalam negeri pada tahun terjadinya pengurangan atau
pengembalian tersebut.

Perubahan besarnya penghasilan luar negeri

Apabila terjadi perubahan besarnya penghasilan yang berasal dari luar negeri,
wajib pajak harus melakukan pembetulan SPT untuk tahun pajak yang bersangkutan
dengan melampirkan dikumen yang berkenaan dengan perubahan tersebut.

Jika karena perubahan tersebut, menyebabkan adanya tambahan penghasilan


yang mengakibatkan pajak yang terutang atas penghasilan luar negeri menjadi lebih
besar daripada yang dilaporkan dalam SPT tahunan, sehingga pajak yang terutang di
Luar Negeri menjadi kurang bayar, maka terdapat kemungkinan pajak penghasilan di
Indonesia juga kurang bayar. Sesuai dengan UU No. 28 tahun 2007 tentang ketentuan
Umum dan tatacara perpajakan, apabila WP membetulkan sendiri SPT yang
mengakibatkan pajak yang terutang menjadi lebih besar, maka kepadanya dikenakan
bunga sebesar 2% sebulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat
penyampaian SPT terakhir sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan
SPT tersebut.

Apabila karena pembetulan SPT tersebut, menyebabkan penghasilan dan


pajak atas penghasilan yang terutang di luar negeri menjadi lebih kecil daripada yang
dilaporkan dalam SPT tahunan, sehingga pajak di luar negeri lebih di bayar, yang akan
mengakibatkan pajak penghasilan yang terutang di Indonesia menjadi lebih kecil,
sehingga pajak penghasilan menjadi lebih dibayar. Atas kelebihan bayar pajak tersebut
dapat dikembalikan kepada wajib pajak setelah diperhitungkan dengan utang pajak
lainnya.

E. Contoh kasus PPh pasal 24


PT ABC pada tahun 2006 memperoleh penghasilan neto sebagai berikut:

Penghasilan beruba laba usaha di dalam negeri Rp300.000.000. Penghasilan berupa


laba usaha dari negara A Rp200.000.000. Penghasilan berupa laba usaha dari negara
B Rp400.000.000 dan rugi usaha dari negara C Rp250.000.000. Jika tarif pajak yang
berlaku di negara A, B dan C masing-masing 20%, 30% dan 40%. Hitung PPh pasal 24
yang dapat dikreditkan di Indonesia!

menghitung total penghasilan kena pajak:

penghasilan dari DN Rp300.000.000

penghasilan dari neg A Rp200.000.000

penghasilan dari negara B Rp400.000.000

total penghasilan kena pajak Rp900.000.000

menghitung total pajak terutang

10% x Rp50.000.000 Rp 5.000.000

15% x Rp50.000.000 Rp 7.500.000

30% x Rp800.000.000 Rp240.000.000

Total pajak terutang Rp252.500.000

menhitung maksimal kredit pajak yang diperbolehkan:

di neg A = (200.000.000 : 900.000.000) x Rp252.500.000 = Rp 56.111.106

di neg B = (400.000.000 : 900.000.000) x Rp252.500.000 = Rp112.222.212

pajak yang dibayarkan atau terutang di LN:

di Negara A 20% x Rp200.000.000 = Rp 40.000.000

di Negara B 30% x Rp400.000.000 = Rp120.000.000

dari perhitungan di atas maka kredit pajak (PPh pasal 24) adalah:

dari Neg A Rp 40.000.000


dari Neg B Rp112.222.212

total Rp 152.222.212

PT Kartika pada tahun 2006 memperoleh penghasilan neto sebagai berikut:

dari laba usaha di dalam negeri Rp500.000.000

dari negara A berupa laba usaha Rp250.000.000

dari negara B rugi (Rp400.000.000)

dari negara C berupa laba usaha Rp300.000.000

Hitung PPh pasal 24 jika tarif pajak di negara A, B dan C masng-masing 20%, 25% dan
35%

menghitung total penghasilan kena pajak

penghasilan dari dalam negeri Rp 500.000.000

penghasilan dari negara A Rp 250.000.000

penghasilan dari negara C Rp 300.000.000 (+)

total penghasilan kena pajak Rp1.050.000.00

menghitung total pajak terutang

10% x Rp50.000.000 Rp 5.000.000

15% x Rp50.000.000 Rp 7.500.000

30% x Rp950.000.000 Rp285.000.000 (+)

Total pajak terutang Rp297.500.000

menghitung maksimal pajak yang dapat dikreditkan

dari negara A = (250.000.000 : 1.050.000.000) x Rp297.500.000 = Rp70.833.332

dari negara C = (300.000.000 : 1050.000.000) x Rp297.500.000 = Rp85.000.000

menghitung pajak yang dipotong atau dibayar di luar negeri

dari neg A 20% x Rp250.000.000 = Rp50.000.000


dari negara C 35% x Rp300.000.000 = Rp105.000.000

dari perhitungan di atas dapat disimpulkan bahwa PPh pasal 24 yang dapat dikreditkan
di Indonesia adalah

dari negara A Rp 50.000.000

dari negara C Rp 85.000.000 (+)

total Rp. 135.000.000

PT Butut Nusa Gendis di Pamulang memperoleh penghasilan neto dalam Tahun


2009 sebagai berikut :
di negara X, memperoleh penghasilan (laba) Rp 1.000.000.000 dengan tarif
pajak sebesar 40% (Rp 400.000.000)
di negara Y, memperoleh penghasilan (laba) Rp 3.000.000.000 dengan tarif
pajak sebesar 25% (Rp 750.000.000)
di negara Z, menderita kerugian Rp 2.500.000.000
penghasilan usaha di dalam negeri Rp 4.000.000.000

Penghasilan luar negeri :

Laba di Negara X Rp. 1.000.000.000

Laba di Negara Y Rp. 3.000.000.000

Laba di Negara Z Rp. NIHIL

Jumlah penghasilan dalam negeri Rp. 4.000.000.000 (+)

Total Penghasilan Rp. 8.000.000.000

PPh terhutang (tarif pasal 17 yang berlaku 1 januari 2009 28% dan 2010 25%)

= 28 % x total penghasilan = Rp. 2.240.000.000

Batas maksimum untuk masing masing Negara adalah:

Untuk Negara X =

Rp. 1.000.000.000 x Rp. 2.240.000.000 = Rp. 280.000.000

RP. 8.000.000.000
Pajak yang terhutang diluar negeri sebesar Rp. 400.000.000 lebih besar dari batas
maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan, maka jumlah kredit yang dapat di
perkenankan hanya Rp. 280.000.000

Untuk Negara Y =

Rp. 3.000.000.000 x Rp. 2.240.000.000 = Rp. 840.000.000

Rp. 8.000.000.000

Pajak yang terhutang diluar negeri sebesar Rp. 750.000.000 lebih kecil dari batas
maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan, maka jumlah kredit yang dapat di
perkenankan adalah Rp. 750.000.000

Untuk Negara Z

mengalami kerugian sebesar RP. 250.000.000 (TIDAK DAPAT DIKOMPENSASIKAN)

Jumlah kredit pajak yang diperkenankan adalah: Rp. 280.000.000 + Rp. 750.000.000 =
Rp. 1.030.000.000.

PT.A di Indonesia merupakan pemegang saham tunggal dari Z Inc. di Negara


X. dalam tahun 2009 memperoleh keuntungan sebesar US$ 100,000.- pajak
penghasilan yang berlaku dinegara X addalah 48% dan pajak dividen adalah
38%. Penghitungan pajak atas dividen terrsebut adalah sebagai berikut:

Keuntungan Z Inc US$ 100,000

Pajak penghasilan (corporate income tax)

atas Z Inc (48%) US$ 48,000 (-)

US$ 52,000

Pajak atas dividen (38%) US$ 19,750 (-)

Dividen yang dikirim ke Indonesia US$ 32,420

Pajak penghasilan yang dapat dikreditkan terhadap seluruh pajak penghasilan yang
terutang atas PT.A adalah pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh diluar negeri. Dalam contoh diatas itu sebesar US$ 19,750.
Pajak penghasilan atas Z Inc, sebesar US$48,000 tidak dapat dikerditkan terhadap
pajak
penghasilan yang terutang atas PT.A, karena pajak sebesar US$ 48,000 tersebut tidak
dikenakan langsung atas penghasilan yang diterima atau diperoleh PT.A dari luar
negeri, melainkan pajak yang dikenakan atas keuntungan Z Inc, di Negara X.

PT B di Jakarta memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2001 sebagai berikut


:
di negara X, memperoleh penghasilan (laba) Rp. 100.000.000,00, dengan tarif
pajak sebesar 40% (Rp. 40.000.000,00);
di negara Y, memperoleh penghasilan (laba) Rp. 750.000.000,00, dengan tarif
pajak sebesar 10% (Rp. 75.000.000,00);
Penghasilan usaha di dalam negeri Rp. 400.000.000,00.

Penghitungan PPh Pasal 24 kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut

Penghasilan Luar negeri :

laba di negara X Rp. 100.000.000,00

laba di negara Y Rp. 750.000.000,00

Penghasilan dalam negeri Rp. 400.000.000,00

Jumlah penghasilan neto adalah : Rp. 1.250.000.000,00

PPh terutang (menurut tarif Pasal 17 dengan fasilitas ) = Rp. 156.250.000,00

Batas maksimum kredit pajak luar negeri untuk masing-masing negara adalah :

Untuk negara X =

Pajak yang terutang di negara X sebesar Rp. 40.000.000,00, namun maksimum


kredit pajak yang dapat dikreditkan adalah Rp. 12.500.000,00.

Untuk negara Y =

Pajak yang terutang di negara Y sebesar Rp. 75.000.000,00, maka maksimum kredit
pajak yang dapat dikreditkan adalah Rp.75.000.000,00.

Jumlah PPh Pasal 24 kredit pajak luar negeri yang diperkenankan adalah :
Rp. 12.500.000,00 + Rp. 75.000.000,00 = Rp. 87.500.000,00

Penghasilan Luar Negeri Berasal dari Beberapa Negara

Apabila penghasilan luar negeri berasal dari beberapa negara, maka jumlah maksimum
kredit pajak luar negeri dihitung sama dengan perhitungan tersebut di atas.

Contoh :

PT Buana berkedudukan di Semarang, mempunyai Penghasilan Kena Pajak

dari Indonesia Rp. 200.000.000,-

Brunei Darussalam Rp. 200.000.000,- ( tarif yang berlaku 10%)

Filipina Rp. 100.000.000,- ( tarif yang berlaku 20%)

Singapura Rp. 200.000.000,- ( tarif yang berlaku 30%

Diminta, carilah ...


Berapa kredit pajak masing-masing negara ?
Berapa PPh yang harus dibayar di Indonesia ?

Jumlah Penghasilan Rp. 700.000.000,-

PPh berdasarkan tarif Pasal 17 :

10% x Rp. 50.000.000,- Rp. 5.000.000,-

15% x Rp. 50.000.000,- Rp. 7.500.000,-

30% x Rp.600.000.000,- Rp. 180.000.000,-

Jumlah Rp. 192.500.000,-

Brunei darussalam :

PPh yang dibayar 10% x Rp. 200.000.000,- = 20.000.000,-

Bagian penghasilan :

( Rp. 200.000.000,- / 700.000.000,- ) x Rp. 192.500.000 = Rp. 55.000.000,-

Kredit Pajak = Rp. 20.000.000,-

Filipina :

PPh yang dibayar 20% x Rp. 100.000.000 = Rp. 20.000.000,-


Bagian penghasilan :

( Rp. 100.000.000,- / 700.000.000,- ) x Rp. 192.500.000 = Rp. 27.500.000,-

Kredit Pajak = Rp. 20.000.000

Singapura :

PPh yang dibayar 30% x Rp. 200.000.000 = Rp. 60.000.000,-

Bagian penghasilan :

( Rp. 200.000.000,- / 700.000.000,- ) x Rp. 192.500.000 = Rp. 55.000.000,-

Kredit Pajak = Rp. 55.000.000,-

Indonesia :

Rp. 192.500.000,- – Rp. 20.000.000,- – Rp. 55.000.000,- = Rp. 97.500.000,

Kompensasi Kerugian di Luar Negeri dan di Dalam Negeri

Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, kerugian yang diderita di luar negeri tidak
boleh digabungkan atau dikompensasikan dengan penghasilan yang diterima atau
diperoleh di Indonesia.

Sedangkan kerugian yang diderita di dalam negeri boleh digabungkan atau


dikompensasikan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri.

Contoh :

PT ABC mempunyai penghasilan dari :

Indonesia = Rp. 200.000.000,-

Inggris = Rp. 300.000.000,- (tarif berlaku 25%)

Belanda = Rp. 200.000.000,- rugi (tarif berlaku 10%)

Swedia = Rp. 200.000.000,- (tarif berlaku 10%)

PPh pasal 17 :

10% x Rp. 50.000.000,- = Rp. 5.000.000,

15% x Rp. 50.000.000,- = Rp. 7.500.000,-

30% x Rp. 600.000.000,- = Rp. 180.000.000,-


= Rp. 192.500.000,-

PT MA berkedudukan di Jakarta, mempunyai PKP dari :

Indonesia = Rp. 200.000.000,- Rugi

Singapura = Rp. 300.000.000,- ( Tarif yang berlaku 20%)

Malaysia = Rp. 200.000.000,- ( Tarif yang berlaku 10%)

Hongkong = Rp. 400.000.000,- ( Tarif yang berlaku 15%)

PPh Pasal 17 :

10% x Rp. 50.000.000,- = Rp. 5.000.000,-

15% x Rp. 50.000.000,- = Rp. 7.500.000,-

30% x Rp. 600.000.000,- = Rp. 180.000.000,-

= Rp. 192.500.000,-

Perhitungan Kredit pajak Luar negeri (PPh pasal 24)

PT Perdana di Semarang memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2006 sebagai


berikut:

Penghasilan Dalam Negeri Rp400.000.000

Penghasilan dari LN (tarif pajak 20%) Rp200.000.000

Penghitungan PPh pasal 24 adalah sebagai berikut:

Q 0\

menghitung total penghasilan kena pajak

penghasilan dari dalam negeri Rp400.000.000

penghasilan dari luar negeri Rp200.000.000

Penghasilan neto Rp600.000.000

menghitung total PPh terhutang


10% x Rp 50.000.000 = Rp 5.000.000

15% x Rp 50.000.000 = Rp 7.500.000

30% x Rp500.000.000 = Rp150.000.000

Pajak terhutang = Rp162.500.000

menghitung PPh maksimum yang dapat

dikreditkan

(penghasilan LN : total penghasilan) x total PPh terutang

(Rp200.000.000 : Rp600.000.000) x Rp162.500.000 = Rp54.166.666,61

menghitung PPh yang terutang atau dipotong di LN:

20% x Rp200.000.000 = Rp40.000.000

Dari perhitungan tersebut di atas kredit pajak LN yang diperbolehkan adalah sebesar
Rp40.000.000 atau sebesar PPh yang terutang atau dibayar di LN. Jumlah ini
diperoleh dengan membandingkan penghitungan PPh maksimum yang boleh
dikreditkan dengan PPh yang terutang atau dibayar di LN, kemudian dipilih jumlah
yang terendah

Penghitungan PPh pasal 24 jika terjadi kerugian usaha di dalam negeri

PT Adinda berkedudukan di Indonesia memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2006


sebagai berikut:

Di negara A memperoleh penghasilan berupa laba usaha sebesar Rp600.000.000 (tarif


pajak yang berlaku adalah 30%)

Di dalam negeri menderita kerugian sebesar Rp200.000.000

Penghitungan PPh pasal 24 adalah sebagai berikut:

menghitung total penghasilan kena pajak

penghasilan kena pajak dari negara A Rp600.000.000

kerugian usaha dalam negeri ( 200.000.000)

jumlah penghasilan neto Rp400.000.000

menghitung total PPh terutang:

10% x Rp 50.000.000 = Rp 5.000.000


15% x Rp 50.000.000 = Rp 7.500.000

30% x Rp 300.000.000 = Rp 90.000.000

Jumlah pajak terutang Rp102.500.000

menghitung PPh maksimum yang dapat dikreditkan

(Rp600.000.000 : Rp400.000.000) x Rp102.500.000 = Rp153.750.000

menghitung PPh yang dipotong/dibayar di

LN 30% x Rp600.000.000 = Rp180.000.000

Kredit pajak yang diperbolehkan (PPh pasal 24) adalah Rp102.500.000. jumlah ini
diperoleh dengan membandingkan perhitungan PPh maksimum yang dapat dikreditkan
dengan PPh yang sesungguhnya dibayarkan/terutang di LN dan total pajak yang
terutang

Perhitungan PPh pasal 24 jika terjadi kerugian usaha di LN

PT Kartika pada tahun 2006 memperoleh penghasilan neto sebagai berikut:

di negara X memperoleh penghasilan berupa laba usaha sebesar Rp300.000.000 (tarif


pajak yang berlaku 40%)

di negara Y menderita kerugian sebesar Rp500.000.000 (tarif pajak yang berlaku) 25%.

Di dalam negeri memperoleh laba usaha sebesar Rp500.000.000

Perhitungan kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan adalah sebagai berikut:

menghitung penghasilan total kena pajak

penghasilan dari negara X berupa laba usaha Rp300.000.000

penghasilan dari dalam negeri berupa laba usaha Rp500.000.000

jumlah penghasilan neto Rp800.000.000

menghitung total PPh terutang

10% x Rp50.000.000 = Rp 5.000.000

15% x Rp50.000.000 = Rp 7.500.000

30% x Rp700.000.000 = Rp210.000.000


Jumlah total PPh yang terutang Rp222.500.000

menghitung PPh maksimal yang bisa dikreditkan

(Rp300.000.000 : Rp800.000.000) x Rp222.500.000 = Rp83.437.500

menghitung PPh yang dibayar atau terutang di LN

40% x Rp300.000.000 = Rp120.000.000

Dari perhitungan di atas dapat disimpulkan bahwa PPh pasal 24 yang dapat dikreditkan
adalah Rp83.437.500.

Perhitungan PPh pasal 24 jika penghasilan LN berasal dari beberapa negara

PT Kartika berkedudukan di Jakarta pada tahun pajak 2006 memperoleh penghasilan


bersih sebagai berikut

di negara A memperoleh penghasilan berupa laba usaha sebesar Rp200.000.000 (tarif


pajak yang berlaku 25%)

di negara B memperoleh penghasilan berupa laba usaha sebesar Rp300.000.000 (tarif


pajak yang berlaku 30%)

di negara C memperoleh penghasilan berupa laba usaha sebesar Rp400.000.000 (tarif


pajak yang berlaku 40%)

di dalam negeri memperoleh laba usaha sebesar Rp100.000.000

menghitung total penghasilan kena pajak:

penghasilan dari ne Rp 200.000.000

penghasilan dari negara Rp 300.000.000

penghasilan dari negara C Rp 400.000.000

penghasilan dari dalam negeri Rp 100.000.000

total penghasilan kena pajak Rp1.000.000.000

menghitung total PPh terutang

10% x Rp50.000.000 = Rp 5.000.000

15% x Rp50.000.000 = Rp 7.500.000


30% x Rp900.000.000 = Rp270.000.000

Total pajak terutang Rp282.500.000

menghitung PPh maksimum yang dapat dikreditkan

dari negara A =(Rp200.000.000:Rp1.000.000.000) x Rp282.500.000 = Rp56.500.000

dari negara B =(Rp300.000.000:Rp1.000.000.000)xRp282.500.000 = Rp84.750.000*

dari negara C = (Rp400.000.000:Rp1.000.000.000)xRp282.500.000=

Rp113.000.000

menghitung PPh yang dibayar atau terutang di LN

PPh terutang di negara A = 20% x Rp200.000.000 = Rp 40.000.000*

PPh terutang di negara B = 30% x Rp300.000.000 = Rp 90.000.000

PPh terutang di negara C = 40% x Rp400.000.000 = Rp160.000.000

Dari perhitungan di atas kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan adalah

Dari negara A Rp 40.000.000

Dari negara B Rp 84.750.000

Dari negara C Rp113.000.000

Total kredit pajak LN Rp237.750.000


PAJAK PENGHASILAN PASAL 25

1. Pengertian

PPh 25 berisikan aturan mengenai bagaimana wajib pajak mengangsur kewajiban


pajak di muka, sehingga wajib pajak tidak memiliki beban utang pajak yang besar dan
harus dibayar saat batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan. Kewajiban angsuran pajak ini muncul ketika wajib pajak memiliki utang
pajak penghasilan yang kurang dibayarkan di Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan.

Dalam membayar pajak, tidak seluruh wajib pajak dapat membayar pajak secara
keseluruhan dan langsung. Agar tidak memberatkan, maka angsuran dan cicilan dapat
dilakukan dengan mengikuti mekanisme Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25.

Adapun, perbedaan PPh Pasal 25 dengan jenis pajak penghasilan lainnya. PPh
pasal 25 memiliki kategori dan cara penghitungannya sendiri. PPh dapat diangsur
setiap bulannya dalam waktu satu tahun dengan tujuan meringankan beban wajib
pajak, mengingat pajak terutang harus dilunasi.

Besarnya angsuran secara umum,yaitu:

a) Penghasilan neto dikalikan dengan tarif pajak, kemudian dibagi duabelas atau
banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
b) Dalam hal wajib pajak orang pribadi, penghasilan neto terlebih dahulu
dikurangkan dengan penghasilan tidak kena pajak sebelum dikalikan dengan
tarif pajak.Penghasilan Neto adalah :
 Dalam hal wajib pajak orang pribadi yang menyelenggarakan
pembukuan dan dari pembukuannya dapat dihitung besarnya
penghasilan neto setiap bulan, penghasilan neto fiskal dihitung
berdasarkan pembukuannya.
 Dalam hal wajib pajak orang pribadi hanya menyelenggarakan
pencatatan dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto atau menyelenggarakan pembukuan tetapi dari
pembukuannyatidak dapat dihitung besarnya penghasilan neto setiap
bulan, penghasilan neto fiskal dihitung berdasarkan Norma
PenghitunganPenghasilan Neto atas peredaran atau penerimaan bruto.
 Dalam hal wajib pajak badan, penghasilan neto fiskal dihitung dari hasil
perhitungan penghasilan bruto dikurangi biaya untukmendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan.Besaran angsuran PPh Pasal 25
untuk wajib pajak orang pribadi yang baruterdaftar, dan wajib pajak
badan yang baru terdaftar yang bukan merupakanhasil
merger/likuidas/perubahan bentuk badan usaha dari wajib pajak
badanyang sebelumnya sudah ada, adalah nihil.

2. Subjek & Objek Pajak

Jenis PPh 25 akan terkena dua subjek. Pertama, wajib pajak orang pribadi yang
memiliki kegiatan usaha, seperti pedagang atau penyedia jasa. Kedua, wajib pajak
badan yang melakukan kegiatan usaha, seperti pedagang atau penyedia jasa.

Adapun, Pasal jenis PPh Pasal 25 tidak ada pihak yang memungut atau
pemotong, namun wajib pajak pribadi dan wajib pajak badan yang melakukan usaha
wajib menyetor sendiri kewajiban PPh 25 tanpa diwakilkan.

3. Tarif Pajak

Besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam tahun berjalan (tahun pajak berikutnya
setelah tahun yang dilaporkan di SPT tahunan PPh) dihitung sebesar PPh yang
terutang pajak tahun lalu, yang dikurangi dengan:

a. Pajak penghasilan yang dipotong sesuai Pasal 21 (yaitu sesuai tarif pasal 17
ayat
(1) bagi pemilik NPWP dan tambahan 20% bagi yang tidak memiliki NPWP) dan
Pasal 23 (15% berdasarkan dividen, bunga, royalti, dan hadiah – serta 2%
berdasarkan sewa dan penghasilan lain serta imbalan jasa) – serta pajak
penghasilan yang dipungut sesuai pasal 22 (pungutan 100% bagi yang tidak
memiliki NPWP);
b. Pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh
dikreditkan sesuai pasal 24; lalu dibagi 12 atau total bulan dalam pajak masa
setahun.

Terdapat dua (2) jenis pembayaran angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh
Pasal 25) untuk Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP), yaitu:

a. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WP – OPPT), yaitu yang
melakukan usaha penjualan barang, baik grosir maupun eceran, serta jasa –
dengan satu atau lebih tempat usaha. PPh 25 bagi OPPT = 0.75% x omzet
bulanan tiap masing-masing tempat usaha.
b. Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (WP – OPSPT), yaitu
pekerja bebas atau karyawan, yang tidak memiliki usaha sendiri. PPh 25 bagi
OPSPT = Penghasilan Kena Pajak (PKP) x Tarif PPh 17 ayat (1) huruf a UU
PPh (12 bulan).

Tarif PPh 17 ayat (1) huruf a UU PPh adalah:

Sampai Rp 50.000.000 = 5%
Rp 50.000.000 – Rp 250.000.000 = 15%
Rp 250.000.000 – Rp 500.000.000 = 25%
Di atas Rp 500.000.000 = 30%

Pembayaran angsuran PPh 25 untuk wajib pajak badan yaitu = Penghasilan Kena
Pajak (PKP) x 25% (Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b UU PPh).

Batas Waktu, Sanksi dan Cara Pelaporan PPh pasal 25


Batas Waktu Pembayaran PPh Pasal 25

Misalnya: untuk bulan Februari 2014, angsuran PPh 25 harus dibayar paling lambat 15
Maret 2014.

Jika batas waktu penyetoran jatuh pada hari libur (termasuk Sabtu, Minggu,
hari libur nasional, dan Pemilihan Umum), maka pembayaran masih dapat dilakukan
pada hari berikutnya – sesuai Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan
No.184/PMK.03/2007, yang kemudian diubah lagi sesuai Peraturan Menteri Keuangan
No. 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak.

Sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2008 pada 21 Mei


2008, pembayaran harus dilakukan dengan membawa Surat Setoran Pajak (SSP) atau
dokumen sejenisnya.

4. Sanksi-sanksi Keterlambatan Pembayaran PPh Pasal 25

Apabila wajib pajak terlambat membayar, maka WP akan dikenai bunga sebesar
2% per bulan, dihitung dari tanggal jatuh tempo hingga tanggal pembayaran.

Misalnya: untuk bulan Februari 2014, WP terlambat dan baru membayarnya pada
16 Maret. Sesuai Pasal 9 ayat (2a) UU KUP, WP dikenai bunga 2%.
5. Pelaporan PPh Pasal 25

Untuk menghindari sanksi administrasi bunga dan denda, wajib pajak harus
melaporkan dan melunasi SPT Masa PPh Pasal 25 tepat waktu. Jatuh tempo
pelaporan ialah paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak
berakhir. Sementara untuk persyaratan wajib pembayaran angsuran PPh Pasal 25
ialah menyertakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau dokumen sejenisnya. Setelah
melakukan pembayaran, wajib pajak harus melaporkan kepada Kantor Pelayanan
Pajak (KPP). Pelaporan dilakukan dengan batas akhir tanggal 20 di bulan berikutnya.

6. Pembayaran PPh Pasal 25

Dalam pembayaran angsuran PPh Pasal 25, diperlukan kode billing terlebih
dahulu. Kode billing adalah kode identifikasi yang diterbitkan melalui sistem billing
Ditjen Pajak (DJP) untuk suatu jenis pembayaran atau penyetoran pajak.

Kode billing dapat diperoleh dengan aplikasi billing DJP di DJP online atau kode
billing yang diterbitkan oleh perusahaan application service provider (ASP) dan
perusahaan telekomunikasi.

Wajib pajak dapat mengakses DJP Online dan lakukan pengisian data berupa
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), password, dan kode keamanan. Wajib pajak dapat
memilih menu utama, pilih menu ‘Bayar’ dan klik ‘e-billing’. Kemudian, wajib pajak
mengisi surat setoran elektronik dengan data-data yang dibutuhkan. Selanjutnya, isi
masa pajak sesuai masa pajak yang ingin dibuat kode billing. Klik ‘Buat Kode Billing’,
isi kode keamanan, dan klik ‘Submit’. Selanjutnya, akan ditampilkan surat setoran
elektronik. Wajib pajak dapat memeriksa kembali dan melakukan pencetakan.

Kemudian, kode billing akan otomatis terunduh. Wajib pajak dapat melihat nomor
kode billing atau ID billing yang digunakan untuk pembayaran. Selanjutnya, wajib pajak
dapat membayar pajak menggunakan kode billing melalui ATM, bank, Internet
Banking, atau kantor pos. Perlu diingat kembali, pembayaran angsuran PPh Pasal 25
paling lambat ialah tanggal 15 di bulan berikutnya.

7. Contoh Perhitungan

PT Boga Rasa Sejahtera bergerak di bidang produksi makanan dimana penjualannya


dimasukkan ke banyak supermarket atau toko besar. Tidak hanya itu, perusahaan ini
juga melakukan ekspor di luar negeri seperti Singapura dan Jepang. Carilah angsuran
pph pasal 25 nya?
Misalnya pada data pajak, angsuran PPh 25 yang sudah dibayarkan adalah
Rp100.000.000 dan jumlah penghasilan PT Boga Rasa Sejahtera dalam setahun lebih
dari Rp 70.000.000.000 maka penghitungannya menggunakan tarif 25%. Adapun laba
rugi sebelum pajaknya adalah Rp 900.688.000.

Tarif = Rp900.688.000 x 25% = Rp225.172.000

PPh Pasal 29 = Rp225.172.000 – Rp100.000.000 (Angsuran PPh 25) = Rp125.172.000

Angsuran PPh 25 = Rp225.172.000 ÷ 12 bulan = Rp18.764.333.

Jadi, jumlah pph pasal 25 yang harus dibayar perbulannya adalah sebsar
Rp.18.764.333
PAJAK PENGHASILAN PASAL 26

1. Dasar Hukum

Undang-undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008.

2. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas


penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
(WP) luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.

3. Subjek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26

Subjek pajak PPh Pasal 26 ini adalah wajib pajak luar negeri selain BUT.
Pengertian Wajib Pajak luar negeri bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b
Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Pada ketentuan ini Subjek Pajak (juga Wajib
Pajak) luar negeri selain BUT adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan
puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Jadi, WP luar negeri seperti ini mendapat penghasilan dari Indonesia tanpa perlu
melakukan kegiatan usaha di Indonesia melalui BUT. Misalnya warga negara
Singapura yang memiliki saham PT Indosat yang menerima penghasilan berupa
deviden dari PT Indosat.

4. Pengecualian

Wajib pajak luar negeri yang dikecualikan dari Subyek Pajak PPh pasal 26 ini
adalah:
BUT dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 26 apabila Penghasilan Kena Pajak
sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari BUT ditanamkan kembali di Indonesia
dengan syarat :

a. Dilakukan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang didirikan dan
berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri, dan;
b. Dilakukan dalam tahun berjalan atau selambat-lambatnya tahun pajak
berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperoleh penghasilan tersebut;
c. Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut sekurang-
kurangnya dalam waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat penanaman
dilakukan, mulai berproduksi komersil.
d. Badan-badan Internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

5. Tarif dan Objek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26

Berdasarkan Undang-undang PPh Pasal 26 disebutkan bahwa Tarif dan Objek PPh
Pasal 26 adalah sebagai berikut :

a. 20% (final) dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak Luar Negeri berupa :
 Deviden
 Bunga, premium, diskonto, premi swap, dan imbalan sehubungan
dengan jaminan pengembalian utang;
 Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta;
 Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
 Hadiah dan penghargaan
 Pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
b. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto berupa:
 Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia;
 Premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun
melalui pialang kepada perusahaan asuransi di luar negeri.
 20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari
suatu BUT di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan
kembali di Indonesia.
 Tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B)
antara Indonesia dengan negara pihak pada persetujuan.
6. Saat Terutang, Tata Cara Pemoyongan, Penyetoran, Dan Pelaporan PPh Pasal 26

PPh Pasal 26 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir
bulan terutangnya penghasilan, tergantung yang mana terjadi lebih dahulu. Pemotong
PPh Pasal 26 wajib membuat bukti pemotongan PPh pasal 26 rangkap 3 :

 Lembar pertama untuk Wajib Pajak luar negeri;


 Lembar ke dua untuk Kantor Pelayanan Pajak;
 Lembar ke tiga untuk arsip Pemotong.

PPh Pasal 26 wajib disetorkan ke bank Persepsi atau Kantor Pos dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP), paling lambat tanggal 10 bulan takwim
berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak. SPT Masa PPh Pasal 26, dengan
dilampiri SSP lembar ke dua, bukti pemotongan lembar ke dua dan daftar bukti
pemotongan disampaikan ke KPP setempat paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak
berakhir.

Contoh :

Pemotongan PPh Pasal 26 dilakukan tanggal 24 Mei 2001, penyetoran paling lambat
tanggal 10 Juni 2001; dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak paling lambat tanggal
20 Juni 2001.

Pemotong PPh Pasal 26


Berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun
2008 (Undang-undang Pajak Penghasilan 1984), pemotong Pajak Penghasilan
(PPh) Pasal 26 ayat (1) adalah :
Badan Pemerintah
Tidak ada penjelasan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan tentang arti
Badan Pemerintah ini. Namun demikian, tidak sulit untuk mengartikan bahwa
yang dimaksud dengan Badan Pemerintah adalah Pemerintah negara Republik
Indonesia dan Pemerintah Daerah di Indonesia beserta instansi-instansi di
bawahnya.
Subjek Pajak Badan dalm negeri
Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984,
subjek pajak badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia. Istilah didirikan mengandung arti bahwa badan
tersebut didirikan berdasarkan ketentuan hukum di Indonesia. Sementara itu
istilah
bertempat kedudukan menunjukkan bahwa badan tersebut memiliki efektif
manajemen di Indonesia dimana pengambilan keputusan – keputusan penting
tentang badan tersebut dilakukan di Indonesia. Pengertian badan sendiri
berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984
adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi
perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha
milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk
apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulam,
yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya,
lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan
bentuk usaha tetap.
Penyelenggara kegiatan
Penyelenggara kegiatan bisa berbentuk badan, orang pribadi atau kepanitiaan
yang melakukan suatu event atau kegiatan. Contoh penyelenggara kegiatan
adalah orang pribadi atau badan yang mengorganisir suatu acara seperti
pertunjukan, perlombaan, seminar dan lain-lain.

Bentuk Usaha Tetap (BUT)


BUT adalah bagian dari Subjek Pajak luar negeri yang melakukan kegiatan di
Indonesia sehingga menerima atau memperoleh penghasilam yang bersumber
dari Indonesia. Walaupun termasuk Wajib Pajak luar negeri, pemenuhan hak
dan kewajiban BUT disamakan dengan pemenuhan hak dan kewajiban Wajib
Pajak dalam negeri. Pengertian BUT bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (5)
Undang- undang Pajak Penghasilan, yaitu bentuk usaha yang dipergunakan
oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat diIndonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia, yang dapat berupa tempat kedudukan manajemen, cabang
perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel dan lain-lain.
Perwakilan Perusahaan Luar Negeri Lainnya
Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT yang ada di Indonesia
juga merupakan pemotong PPh Pasal 23. Contohnya adalah Representative
office (RO) dari perusahaan-perusahaan asing.
PBB, PPnBM dan BEA MATERAI

A. Pajak Bumi dan Bangunan


 Pengertian PBB

Pengertian pajak bumi dan bangunan adalah sebuah pungutan wajib yang diambil oleh
pemerintah terhadap suatu bangunan yang digunakan sebagai tempat tinggal,
perusahaan, maupun pelaku bisnis kecil dan menengah. PBB muncul sebab adanya
keuntungan ekonomi yang didapatkan para pemilik bangunan, entah itu sebagai
tempat tinggal atau memulai sebuah usaha. Besarannya pun pasti berbeda-beda.

Lebih lanjut, PBB memiliki sifat kebendaan jadi subjek yang berada di dalamnya tidak
akan terhitung sebagai pajak. Jelasnya, PBB murni akan menghitung berdasarkan
berapa besar dan luas bangunan tersebut bukan ‘orang’ ataupun ‘benda’ penunjang
lainnya. Ada beberapa objek yang dihitung sebagai PBB, tergantung dari
keberadaanya.

 Objek Pajak Bumi dan Bangunan

Di dalam menghitung pajak jenis ini, hanya ada dua objek yang dapat dijadikan acuan,
seperti:

Bumi: Permukaan bumi yang meliputi tanah, daratan dan lautan serta tubuh
bumi yang berada di bawahnya. Beberapa contoh konkretnya adalah kebun,
sawah, tanah, ladang, pekarangan hingga tambang.
Bangunan: Konstruksi bangunan yang dibuat dan ditancapkan di dalam bumi,
semisal rumah tinggal, bangunan usaha, gedung bertingkat, pusat
perbelanjaan, perhotelan dll.
Namun, tidak semua objek yang berada di bumi dan bangunan akan terhitung
sebagai sebuah pajak. Sebab, ada beberapa aturan yang memperbolehkan
sebuah tempat tidak harus membayarkan pajak bumi dan bangunannya,
seperti: Sengaja dibangun untuk kebutuhan bersama, semisal tempat
peribadatan, rumah sakit pemerintah, tempat wisata publik, panti asuhan serta
sekolah umum. Dibangun untuk tempat peristirahatan terakhir benda ataupun
manusia, semisal kuburan dan museum antik.
Dibuat dengan fungsi sebagai hutan alam, suaka hewan untuk mencegah
kepunahan dll.
Digunakan oleh perwakilan badan organisasi internasional yang telah disetujui
sebelumnya.
 Faktor Penunjang Penghitungan PBB

Tarif penghitungan pajak bumi dan bangunan bisa dibilang flat. Sebab, sejak tahun
1985 silam hingga saat ini, tarif yang digunakan hanyalah 0,5%. Untuk melakukan
penghitungan PBB, ada beberapa faktor yang harus diketahui terlebih dahulu. Apa
saja?

Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)= NJOP merupakan sebuah harga yang
diterapkan apabila ingin menghitung PBB. Biasanya, penghitungan NJOP
didasarkan kepada harga rata-rata sebuah transaksi ataupun nilai terbaru
sesuai dengan ketentuan dari pemerintah. Lebih lanjut, harga NJOP rata-rata
akan ditetapkan setiap tiga tahun sekali oleh Menteri Keuangan.
Nilai Jual Kena Pajak (NJKP)= NJKP adalah perkiraan seberapa besar sebuah
objek bumi atau bangunan yang bisa dimasukkan ke dalam penghitungan PBB.
Dengan kata lain, NJKP merupakan sebuah bagian dari NJOP. Besaran NJKP
sendiri dibagi menjadi dua, yaitu:
Objek Pajak Perkebunan dan Pertambangan adalah 40%
Objek Pajak Perdesaaan dan Perkotaan bervariasi tergantung dengan NJOP.
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)= NJOPTKP merupakan
sebuah batasan nilai tidak dikenakan pajak. Menurut keputusan dari
Kementerian Keuangan, batas dari NJOPTKP maksimum adalah 12 juta rupiah
kepada setiap wajib pajak

B. Pajak Penjualan Barang Mewah


 Pengertian PPnBM

PPnBM adalah singkatan dari pajak penjualan atas barang mewah. Pajak ini biasanya
dikenakan pada barang-barang yang tergolong mewah dan dilaporkan dengan
menggunakan SPT Masa PPN 1111.

Berdasarkan undang-undang yang berlaku di Indonesia, Pajak Penjualan Atas Barang


Mewah (PPnBM) merupakan pajak yang dikenakan pada barang yang tergolong
mewah yang dilakukan oleh produsen (pengusaha) untuk menghasilkan atau
mengimpor barang tersebut dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
 Prinsip dan Pertimbangan Pemungutan PPnBM

Berdasarkan penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU PPN No. 42 TAHUN 2009, berikut adalah
beberapa pertimbangan mengapa pemerintah Indonesia menganggap bahwa PPnBM
sangatlah penting untuk diterapkan:

Agar tercipta keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang


berpenghasilan rendah dan konsumen yang berpenghasilan tinggi
Untuk mengendalikan pola konsumsi atas Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah
Perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional
Mengamankan penerimanaan negara

Prinsip Pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ialah hanya 1 (satu) kali saja,
yaitu pada saat:

Penyerahan oleh pabrikan atau produsen Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah
Impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah

Pemungutan pajak barang mewah ini sama sekali tidak memperhatikan siapa yang
mengimpor maupun seberapa sering produsen atau pengusaha melakukan impor
tersebut (lebih dari sekali atau hanya sekali saja).

 Jenis Barang yang Terkena PPnBm

Berdasarikan peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 35/PMK.010/2017 tentang


Jenis Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor Yang
Dikenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

Berdasarkan Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang PPN, Pajak Penjualan atas Barang


Mewah dikenakan terhadap beberapa barang berikut:

Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) tergolong mewah dilakukan oleh


pengusaha yang menghasilkan BKP tergolong mewah di dalam daerah pabean
dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
Impor barang kena pajak yang tergolong mewah.

Dengan demikian, PPnBM hanya dikenakan pada saat penyerahan BKP Mewah oleh
pabrikan (pengusaha yang menghasilkan) dan pada saat impor BKP mewah.
PPnBM tidak dikenakan lagi pada rantai penjualan setelah itu. Adapun pihak yang
memungut PPnBM tentu saja pabrikan BKP Mewah pada saat penyerahan atau
penjualan BKP Mewah. Sementara itu, PPnBM atas impor BKP Mewah dilunasi oleh
importir bersamaan dengan pembayaran PPN impor dan PPh Pasal 22 impor.

Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah lainnya adalah:

Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau


Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan
tinggi; atau
Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta
mengganggu ketertiban masyarakat.
Pengelompokan Tarif PPnBM

Seperti yang telah disebutkan, tarif PPnBM sepenuhnya diatur dalam PMK dan
ditentukan berdasarkan klasifikasi BKP mewah. Secara umum, tarif PPnBM dibagi
menjadi dua, yakni:

Tarif PPnBM kendaraan bermotor


Tarif PPnBM non kendaraan bermotor

Penentuan tarif PPnBM kendaraan bermotor diatur dalam PMK Nomor


33/PMK.010/2017, sementara tarif PPnBM untuk kelompok non kendaraan bermotor
diatur dalam PMK Nomor 35/PMK.010/2017.

Khusus untuk tarif PPnBM kendaraan bermotor, PMK Nomor 33/PMK.010/2017


utamanya mengatur mengenai jenis-jenis kendaraan bermotor yang dikenakan
PPnBM.

Namun, terkait dengan penentuan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk tarif PPnBM
kendaraan bermotor serta jenis-jenis BKP yang tidak dikenakan tarif PPnBM serta
barang yang diberi fasilitas pembebasan tarif PPnBM diatur dalam PMK Nomor
64/PMK.011/2014.
C. Bea Materai
 Pengertian Bea Materai

Bea meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen yang bersifat perdata dan
dokumen untuk digunakan di pengadilan.

Sedangkan mengutip dari laman DJP, bea meterai merupakan pajak atas dokumen
yang terutang sejak saat dokumen tersebut ditandatangani oleh pihak-pihak yang
berkepentingan, atau diserahkan kepada pihak lain jika dokumen itu hanya dibuat oleh
satu pihak.

 Fungsi Meterai

Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai, disebutkan


kalau fungsi materai adalah pajak dokumen yang dibebankan oleh negara untuk
dokumen tertentu. Jadi pada dasarnya, bea meterai adalah pajak atau objek
pemasukan kas negara yang dihimpun dari dana masyarakat yang dikenakan terhadap
dokumen tertentu.

Karena itu, dokumen berharga yang dibubuhi meterai akan dianggap sah selama
memenuhi ketentuan pasal 1320 KUHPerdata. Jika dokumen tersebut ingin digunakan
sebagai alat bukti di pengadilan, harus dilunasi bea meterai yang terutang.

Namun, bukan berarti setiap dokumen perlu dibubuhi meterai, kok. Jika tidak dibubuhi
meterai, tidak akan menjadikannya sebagai tidak sah. Tetapi, dokumen itu tidak dapat
digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.

 Subjek Bea Materai

Salah satu definisi bea meterai adalah pajak atas dokumen yang terutang sejak saat
dokumen tersebut ditandatangani oleh pihak-pihak yang berkepentingan, atau
diserahkan kepada pihak lain jika dokumen itu hanya dibuat oleh satu pihak. Lalu,
siapa yang dimaksudkan ‘pihak’ dalam definisi ini?

Pihak yang menerima atau mendapatkan manfaat dokumen, kecuali pihak yang
bersangkutan menentukan berbeda.
Jika dokumen dibuat secara sepihak, seperti kuitansi, bea meterai terutang oleh
penerima kwitansi.
Jika dokumen dibuat oleh dua pihak atau lebih, seperti surat perjanjian, masing-
masing pihak terutang bea meterai.
 Dokumen yang Dikenakan Bea Materai

Seperti yang pernah dijelaskan sebelumnya pada artikel “Apa Sih Fungsi Materai Itu?“,
bea materai sering digunakan dalam penandatanganan surat berharga. Namun, surat
berharga seperti apa yang dikenakan materai? Berdasarkan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan
Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea Meterai, berikut ini
daftar dokumen yang dikenakan materai.

Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan digunakan
sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan, atau keadaan yang
bersifat perdata.
Akta-akta notaris termasuk salinannya.
Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-
rangkapnya.
Surat yang memuat jumlah uang, di antaranya: Surat yang menyebutkan
penerimaan uang, surat yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan
uang dalam rekening di bank, surat yang berisi pemberitahuan saldo rekening
di bank, surat yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau
sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungan.
Surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep.
Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka
Pengendalian, yaitu: Surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan,
surat-surat yang semula tidak dikenakan bea meterai berdasarkan tujuannya
jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain selain dari
maksud semula.

Nilai Meterai dan Perbedaan Penggunaannya

Mungkin Anda sering melihat salah satu persyaratan dalam pembuatan dokumen
berharga adalah materai Rp6.000. Tapi tahukah kalau nilai bea materai itu ada lebih
dari 1 dengan penggunaannya pada dokumen yang berbeda-beda? Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2000, berikut tarif bea
materai dan perbedaan penggunaannya:
Nilai Meterai Rp6.000

Dokumen yang disebutkan pada poin sebelumnya (poin 1-6).


Surat yang memuat jumlah uang (poin nomor 4) dan surat berharga seperti
wesel, promes, dan aksep (poin nomor 5) yang mempunyai harga nominal lebih
dari Rp1.000.000 (satu juta rupiah).
Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga nominal
lebih dari Rp1.000.000.
Sekumpulan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tercantum
dalam surat kolektif yang mempunyai jumlah harga nominal lebih dari
Rp1.000.000.

Nilai Meterai Rp3.000

Surat yang memuat jumlah uang (poin nomor 4) dan surat berharga seperti
wesel, promes, dan aksep (poin nomor 5) yang mempunyai harga nominal lebih
dari Rp250.000 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) sampai dengan Rp1.000.000
(satu juta rupiah).
Cek dan bilyet giro tanpa batas pengenaan besarnya harga nominal.
Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga nominal
sampai dengan Rp1.000.000.
Sekumpulan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tercantum
dalam surat kolektif yang mempunyai jumlah harga nominal sampai dengan
Rp1.000.000.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Syukur. 2015. “Modul PPh-PPN-KUP-BPHTB Bea Materai berdasarkan


peraturan perpajakan terbaru s/d Mei 2015”. Semarang: Penerbit
Pendidikan dan Pelatiahan Brevet Pajak A dan B.

Dirjen Pajak, Undang-Undang No.42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan


Nilai dan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa

Mardiasmo.1995.Perpajakan.Yogyakarta:ANDI Yogyakarta

Mulyo Agung, (2007), Perpajakan Indonesia Teori dan Aplikasi, Dinamika Ilmu,
Jakarta Barat.

Rismawati sudirman dan Antong amiruddin (2009). Perpajakan. Palopo :Empat dua
media

Suprianto, Edy, 2011, PERPAJAKAN DI INDONESIA, Edisi Pertama, Graha Ilmu,


Yogyakarta.

Undang-undang Republik Indonesia No 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat


Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983Tentang Pajak Penghasilan

Untung Sukardji, (2008), Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, Edisi Pertama,


Rajawali Pers, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai