PERPAJAKA
Dosen Pengampu :
M.Si.
OLEH :
2023
PEMBAHASAN
A. Pendahuluan
Undang – undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pajak Penghasilan (PPh) berlaku
sejak 1 Januari 1984. Undang – undang ini telah beberapa kali mengalami perubahan
dan terakhir kali di ubah dengan Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2008. Undang –
Undang Pajak Penghasilan (PPh) mengatur pengenaan Pajak Penghasilan terhadap
subjek pajak yang menerima atau memperoleh pengahasilan
Pajak penghasilan merupakan pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun pajak. Subjek Pajak
tersebut dikenakan pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Subjek
Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam Undang-undang Pajak
Penghasilan Indonesia disebut sebagai Wajib Pajak.
Dengan kata lain, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah
memenuhi kewajiban subjektif maupun kewajiban objektif. Wajib Pajak dikenakan
pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh selama satu tahun pajak atau
dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak, apabila
kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam bagian tahun pajak. Yang
dimaksud dengan tahun pajak dalam Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia
adalah tahun takwim. Namun, Wajib Pajak dapat menggunakan tahun buku yang tidak
sama dengan tahun takwim, sepanjang tahun buku tersebut meliputi jangka waktu 12
(dua belas) bulan.
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan.
Termasuk di dalam pengertian Wajib Pajak adalah kewajiban pemungut pajak atau
pemotong pajak tertentu. Wajib Pajak dikenakan pajak atas Pajak Penghasilan yang
diterima atau diperolehnya selama satu Tahun Pajak atau dapat pula dikenakan pajak
untuk penghasilan dalam bagian Tahun Pajak, apabila kewajiban pajak subjektifnya
dimulai atau berakhir dalam Tahun Pajak. Yang dimaksud Tahun Pajak adalah jangka
waktu satu tahun takwim (1 Januari sampai dengan 31 Desember), kecuali apabila
Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim,
sepanjang tahun buku tersebut meliputi jangka waktu 12 (dua belas) bulan. Sedangkan
yang dimaksud dengan bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu satu
Tahun Pajak.
a. Orang Pribadi
Orang pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal atau berada di
Indonesia ataupun di luar Indonesia.
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan Subjek Pajak
pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan
yang belum terbagi sebagai Subjek Pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan
pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat
dilaksanakan.
b. Badan, terdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya,
badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam
bentuk apa pun, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, koperasi, yayasan atau
organisasi yang sejenis, lembaga, dana pensiun, perusahaan reksa dana,
organisasi massa, organisasi sosial politik, dan bentuk badan usaha lainnya.
Bentuk usaha tetap. Yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap adalah bentuk
usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga
) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia.
Bentuk usaha tetap dapat berupa:
1. Tempat kedudukan manajemen;
2. Cabang perusahaan;
3. Kantor perwakilan;
4. Gedung kantor;
5. Pabrik;
6. Bengkel;
7. Pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran yang
digunakan untuk eksplorasi pertambangan;
8. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
9. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
10. Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain,
sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan;
11. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak
bebas;
12. Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung resiko di Indonesia.
Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar
negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya, antara lain:
a. Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima
atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak
luar negeri dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber
penghasilan di Indonesia;
b. Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan neto
dengan tarif umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenakan pajak
berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan;
c. Wajib Pajak dalam negeri wajib pajak menyampaikan SPT (Surat
Pemberitahuan Tahunan) sebagai sarana pelaporan pajak yang terutang dalam
suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan karena kewajiban pajaknya
telah dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.
a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang
berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang yang dalam suatu tahun pajak
berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia;
c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang
berhak.
Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditentukan oleh
Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan yang sebenarnya. Penentuan tempat tinggal
orang pribadi atau tempat kedudukan badan penting untuk menetapkan Kantor
Pelayanan Pajak mana yang mempunyai yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan tersebut. Pada dasarnya tempat
tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditentukan menurut keadaan yang
sebenarnya. Dengan demikian, penentuan tempat tinggal atau tempat kedudukan tidak
hanya didasarkan pada pertimbangan yang bersifat formal, tetapi lebih didasarkan
pada kenyataan.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam
menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan tersebut, antara
lain domisili, alamat tempat tinggal, tempat tinggal keluarga, tempat menjalankan
usaha pokok atau hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan
pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakan.
E. Pajak Subjektif
1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas, seperti
gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan,
pengacara dan sebagainya;
2. Penghasilan dari usaha dan kegiatan;
3. Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak seperti
bunga, dividen, royalti, sewa, keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak
dipergunakan untuk usaha, dan lain sebagainya;
4. Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, dan lain sebagainya.
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat
pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak, karena Undang-undang Pajak
Penghasilan Indonesia menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis
penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk
mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu tahun
pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian maka kerugian tersebut
dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi horizontal), kecuali
kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan
dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari Objek Pajak
maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang
dikenakan tarif umum.
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, dikenakan Pajak Penghasilan
di Indonesia melalui bentuk usaha tetap tersebut. Yang menjadi Objek Pajak
Penghasilan dari bentuk usaha tetap adalah:
a. Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari
harta yang dimilikinya atau dikuasai. Bentuk usaha tetap dikenakan pajak atas
penghasilan yang berasal dari usaha atau kegiatan dan dari harta yang dimiliki
atau dikuasainya dengan demikian semua penghasilan tersebut dikenakan
pajak di Indonesia;
b. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau
pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang
dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia;
c. Penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau
diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk
usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan
dimaksud.
a. Biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan kantor pusat dari usaha atau
kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis
dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di
Indonesia, serta biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan sebagaimana
tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang
terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan
yang memberikan penghasilan dimaksud, diperbolehkan untuk dibebankan
sebagai biaya bagi bentuk usaha tetap;
b. Biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah
biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, yang
besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;
c. Pembayaran kepada kantor pusat yang tidak diperbolehkan dibebankan sebagai
biaya adalah sebagai berikut:
d. Royalti atau imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta, paten, atau
hak-hak lainnya.
e. Imbalan sehubungan dengan jasa manajeman dan jasa lainnya.
f. Bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan
I. Dasar Pengenaan Pajak dan Cara Menghitung Penghasilan Pajak
Dasar Pengenaan Pajak
Untuk dapat menghitung PPh, terlebih dahulu harus diketahui dasar pengenaan
pajaknya Untuk Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang
menjadi dasar pengenaan pajak adalah Penghasilan Kena Pajak. Sementara itu, untuk
Wajib Pajak luar negeri adalah penghasilan bruto.
Besarnya Penghasilan Kena Pajak untuk Wajib Pajak badan dihitung sebesar
penghasilan neto. Sementara itu, untuk Wajib Pajak orang pribadi dihitung sebesar
penghasilan neto dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Secara
singkat dapat dirumuskan sebagai berikut:
Perhitungan besarnya Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk
usaha tetap dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :
Menggunakan pembukuan
Menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau
jasa, yang ditutup dengan menyusun Lporan Keuangan berupa neraca dan laporan
laba rugi setiap Tahun Pajak Terakhir. Wajib Pajak badan dan Wajib Pajak Orang
pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas diwajibkan
menyelenggarakan pembukuan.
Pencatatan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan
pekerjaan bebas meliputi peredaran atau penerimaan bruto dan penerimaan
penghasilan lainnya. Sedangkan bagi mereka yang semata-mata menerima
penghasilan dari luar usaha dan pekerjaan bebas pencatatannya hanya mengenai
penghasilan bruto, pengurang, dan penghasilan neto yang merupakan objek Pajak
Penghasilan. Di samping itu pencatatan meliputi pula penghasilan yang bukan objek
pajak dan atau yang dikenakan pajak yang bersifat final.
Untuk wajib pajak badan besarnya penghasilan kena pajak sama dengan penghasilan
bruto, yaitu penghasilan bruto dikurangi dengan biaya – biaya yang diperkenankan
oleh UU PPh. Sementara itu, untuk wajib pajak orang pribadi besarnya penghasilan
kena pajak sama dengan penghasilan neto dikurangi degan PTKP. Untuk menghitung
penghasilan kena pajak dapat dirumuskan sebagai berikut :
Besarnya penghasilan kena pajak dalam negeri dan wajib pajak dan bentuk usaha
tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan termasuk :
1. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha
antara lain :
2. Biaya oembelian bahan
3. Biya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium,
bonus, gratifikasi dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang.
4. Bunga, sewa dan royality
5. Biaya perjalanan
6. Biaya Pengolahan limbah
7. Premi asuransi
8. Biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasaekan Peraturan
Menteri Keuangan
9. Biaya administrasi
10. Pajak, kecuali pajak penghasilan
11. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi
atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun.
12. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan
13. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan
dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan.
14. Kerugian selisih kurs mata uang asing
15. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia
16. Biaya beasiswa, magang dan pelatihan
17. Piutang yang nyata – nyata tidak dapat ditagih dengan syarat :
18. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial.
19. Wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat di tagih kepada
Direktorat Jendral Pajak
20. Telah diserahkan perkara penagiahannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi
pemerintah yang menangani piutang negara, atau adanya perjanjian tertulis
mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur
yang bersangkutan atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau
khusus, atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan
untuk jumlah utang tertentu.
21. Syarat sebagaimana dimaksud pada huruf c tidak berlaku untuk penghapusan
piutang tak tertagih debitur kecil.
22. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya
di atur dengan peraturan pemerintah
23. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia yang ketentuannya di atur dengan Peraturan Pemerintah
24. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan
peraturan pemerintah
25. Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan peraturan
pemerintah
26. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan
peraturan pemerintah
27. Kompensasi kerugian fiskal tahun sebelumnya (maksimal 5 tahun)
Untuk menentukan besarnya penghasilan pajak wajib pajak dalam negeri dan
bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan :
1. Pembagian laba dengan nama dan bentuk apapun seperti deviden termasuk
deviden yang dibagikan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan
pembagian sisa hasil usaha koperasi.
2. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang
saham, sekutu atau amggota.
3. Pembentukan atau penumpukan dana cadangan, kecuali :
4. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang
menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hal opsi, perusahaan pembiayaan
konsumen dan perusahaan anjak piutang
5. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk
oleh badan penyelenggara jaminan sosial
6. Cadangan penjaminan untuk lembaga pinjaman simpanan
7. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan
8. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan
9. Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembangan limbah industri,
yang ketentuan dan syarat – syaratnya diatur dengan atau berdasarkan peraturan
menteri keuangan
10. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna
dan asuransi beasiswa yang di bayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali
jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi asuransi tersebut dihitung sebagai
penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan
11. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan
minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk
natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan
pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
12. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau
kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagal imbalan sehubungan
dengan pekerjaan yang dilakukan.
13. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan, kecuali:
14. Sumbangan yang diperbolehkan dikurangkan.
15. Zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk
atau disahkan oleh pemerintah.
16. Sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di
Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan
oleh pemerintah.
17. Pajak Penghasilan.
18. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak
atau orang yang menjadi tanggungannya.
19. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham.
20. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana
berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di
bidang perpajakan.
21. Biaya-biaya (pengeluaran) untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang:
22. Dikenakan PPh yang bersifat final.
23. Bukan objek PPh.
24. Biaya-biaya (pengeluaran) untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang PPhnya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto.
Wajib pajak yang boleh menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto adalah
Berikut ini adalah contoh penghitungan pajak yang terutang dengan menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
Wajib Pajak Anto kawin (istri tidak bekerja) dan mempunyai 2 orang anak, la seorang
dokter bertempat tinggal di Jakarta. Misalnya besarnya persentase norma untuk dokter
di Jakarta 50%
Penghitungan PTKP ditentukan menurut keadaan pada awal Tahun Pajak atau
awal bagian Tahun Pajak. Penghitungan PTKP untuk pegawai lama (tahun
sebelumnya sudah bekerja di Indonesia) dilakukan dengan melihat keadaan pada awal
tahun takwim (1 Januari). Bagi pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia
dalam bagian tahun takwim, besarnya PTKP tersebut berdasarkan keadaan pada awal
bulan dari bagian tahun takwim yang bersangkutan.
PAJAK PENGHASILAN PASAL 21
PPh Pasal 21 adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan berupa gaji,
upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan
dengan pekerjaan atau jabatan atau sebagai imbalan atas jasa. Subjek Pajak PPh
Pasal 21 (Wajib Pajak PPh Pasal 21) Wajib pajak yang dipotong PPh pasal 21 adalah
orang pribadi yang merupakan:
Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari Negara asing
dan orang– orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan
bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan
di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau
pekerjaannya tersebut, serta Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal
balik.
Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 terbaru adalah sebagai berikut:
Pegawai tidak tetap yang penghasilannya dibayar secara bulanan atau jumlah
kumulatif penghasilan yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi Rp
3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Jumlah penghasilan yang melebihi Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) sehari,
yang berlaku bagi pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang menerima upah
harian, upah mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilan
kumulatif yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi Rp
3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto yang berlaku bagi bukan
pegawai sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No. PER-
32/PJ/2015 Pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang tidak bersifat
berkesinambungan.
Jumlah penghasilan bruto yang berlaku bagi penerima penghasilan selain penerima
penghasilan di atas.
Dasar Pengenaan dan Pemotongan PPh Pasal 26 adalah jumlah penghasilan bruto.
a. Pegawai tetap.
b. Tenaga lepas (seniman, olahragawan, penceramah, pemberi jasa, pengelola
proyek, peserta perlombaan, petugas dinas luar asuransi), distributor
MLM/direct selling dan kegiatan sejenis.
c. Penerima pensiun, mantan pegawai, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya
yang menerima Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua.
d. Penerima honorarium.
e. Penerima upah.
f. Tenaga ahli ( Pengacara, Akuntan, Arsitek, Dokter, Konsultan, Notaris, Penilai,
dan Aktuaris ).
g. Peserta Kegiatan.
E. Penerima Penghasilan yang Tidak Dipotong PPh Pasal 21
Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing,
dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan
bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat:
Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai atau penerima pensiun secara
teratur berupa gaji, uang pensiun bulanan, upah, honorarium (termasuk honorarium
anggota dewan komisaris atau anggota dewan pengawas), premi bulanan, uang
lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan isteri, tunjangan
anak, tunjangan kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan khusus, tunjangan transpot,
tunjangan pajak, tunjangan iuran pensiun, tunjangan pendidikan anak, beasiswa, premi
asuransi yang dibayar pemberi kerja, dan penghasilan teratur lainnya dengan nama
apa pun.
Upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan yang diterima atau
diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, serta uang saku harian atau
mingguan yang diterima peserta pendidikan, pelatihan, atau pemagangan yang
merupakan calon pegawai.
Uang tebusan pensiun, uang Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua, uang
pesangon, dan pembayaran lain sejenis sehubungan dengan pemutusan hubungan
kerja.
Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam
bentuk apa pun, komisi, beasiswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri, terdiri atas:
Tenaga ahli (Pengacara, Akuntan, Arsitek, Dokter, Konsultan, Notaris, Penilai, dan
Aktuaris).
Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintang iklan, sutradara, crew film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama,
penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya.
Olahragawan.
Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya,
telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial.
Agen iklan.
Pengawas, pengelola proyek, anggota dan pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan, dan
peserta sidang atau rapat.
Peserta perlombaan.
Peserta pendidikan, pelatihan, dan pemagangan bukan pegawai atau bukan sebagai
calon pegawai.
Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan dalam bentuk apa pun yang
diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali diberikan oleh bukan Wajib Pajak
selain Pemerintah, atau Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat
final dan yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus
(deemed profit).
Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan dan iuran Jaminan Hari Tua kepada badan
penyelenggara Jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja.
Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil
zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
Ketentuan Lainnya :
Pemotong Pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 baik diminta
maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada orang pribadi bukan
sebagai pegawai tetap, penerima uang tebusan pensiun, penerima Jaminan Hari Tua,
penerima uang pesangon, dan penerima dana pensiun.
Pemotong PPh Pasal 21 wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 tahunan
(form 1721-A1 atau 1721-A2) kepada pegawai tetap, termasuk penerima pensiun
bulanan dalam waktu dua bulan setelah tahun takwim berakhir.
Apabila pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun pada bagian tahun takwim, maka
Bukti Pemotongan (form 1721-A1 atau 1721-A2) diberikan oleh pemberi kerja
selambat- lambatnya satu bulan setelah pegawai yang bersangkutan berhenti bekerja
atau pensiun.
Pegawai tetap, penerima pensiun bulanan, pegawai tidak tetap, pemagang dan
calon pegawai, serta distributor MLM/direct selling dan kegiatan sejenis, dikenakan tarif
Pasal 17 Undang-undang PPh dikalikan dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP). PKP
dihitung berdasarkan sebagai berikut:
Penerima pesangon, tebusan pensiun, Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari
Tua yang dibayarkan sekaligus dikenakan tarif PPh final sebagai berikut:
Contoh Soal
Bapak Ahmad bekerja di PT. Trans Retail dengan gaji sebulan Rp. 4.000.000,-
Perusahaan ikut program BPJS sebesar 1% yang dibayar oleh perusahaan
setiap bulannya. Bapak Ahmad membayar iuran pensiun sebesar Rp. 100.000,-
. Dalam tahun yang bersangkutan menerima THR sebesar 1 bulan gaji. Berapa
PPh Pasal 21 yang dipotong setiap bulannya dan hitunglah PPh Pasal 21 bila
menerima THR?
Jawab:
PPh Pasal 21 atas gaji dan THR
THR 4.000.000
BPJS (1% x 4.000.000)
40.000 x 12 480.000
Penghasilan Bruto Setahun 52.480.000
Pengurangan :
Biaya Jabatan
5% x 52.480.000 2.624.000
Iuran Pensiun
12 x 100.000 1.200.000
+
3.824.000
-
Penghasilan Netto 46.656.000
Setahun
Yang dimaksud dengan nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi
dasar penghitungan Bea Masuk yaitu Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah
dengan Bea Masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan
peraturan perunding undangan kepabeanan di bidang impor.
Atas ekspor komoditas tambang batu bara, mineral logam, dan mineral bukan
logam. sesuai uraian barang dan pos tarif/Harmonized System (lihat lampiran IV PMK
Nomor 34/PMK.010/2017) oleh eksportir dikenakan PPh Pasal 22 sebesar 1,5% (satu
koma lim persen) dari nilai ekspor sebagaimana tercantum dalam Pemberitahuan
Ekspor Barang Dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 adalah ekspor dilakukan
oleh Wajib Pajak yang terikat dalam perjanjian kerja sama pengusahaan
pertambangan dan Kontrak Karya Nilai ekspor sebagaimana tercantum dalam
Pemberitahuan Pabean Ekspor adalah nila Free on Board (FOB) yang tercantum pada
Pemberitahuan Pabean Ekspor, termasuk Pemberitahuan Pabean Ekspor yatig nilai
ekspornya telah dibetulkan.
Cara Pemungutan
Contoh Perhitungan
Dikenakan PPh Pasal 22 sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari harga
pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
G. Cara Pemungutan
Contoh Perhitungan
Pada 1 April 2019, Dinas Perhubungan membeli mebel dan peralatan kantor
lainnya dari Perdana Furniture senilai Rp220.000.000 (termasuk PPN 10%).
Pembayaran dilakukan dengan uang persediaan.
PPh Pasal 22 yang dipungut oleh oleh bendaharawan dinas tersebut pada saat
pembayaran dihitung sebagai berikut.
Atas penjualan hasil produksi kepada distributor di dalam negeri oleh badan
usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja,
industri otomotif, dan industri farmasi:
Penjualan semua jenis semen sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima
Penjualan semua jenis kendaraan bermotor beroda dua atau lebih, tidak
termasuk alat berat, sebesar 0,45% (nol koma empat puluh lima persen).
Penjualan semua jenis obat sebesar 0,3% (nol koma tiga persen).
Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri
kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi.
Cara Pemungutan
Contoh Perhitungan
PT Semen Padang pada Mei 2019 menjual hasil produksi berupa semen hasil
produksinya kepada CV Bangunan (salah satu distributor) dengan total harga sebesar
Rp340.000.000. Harga tersebut tidak termasuk PPN.
A. PPh Pasal 23
Pemotong PPh pasal 23
a. Badan pemerintah;
b. Subjek pajak badan dalam negeri;
c. Penyelenggara kegiatan;
d. Bentuk Usaha Tetap (BUT);
e. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya;
f. Wajib pajak orang pribadi dalam negeri tertentu yang ditunjuk Direktur
Jenderal Pajak.
Yang dikenakan Pemotongan PPh pasal 23
a. Wajib pajak dalam negeri;
b. Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Tarif PPh 23 dikenakan atas nilai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau jumlah
bruto dari penghasilan. Ada dua jenis tarif yang dikenakan pada penghasilan yaitu 15%
dan 2%, tergantung dari objek PPh pasal 23 tersebut. Berikut ini adalah daftar tarif dan
objek PPh Pasal 23 :
Objek PPh Pasal 23 telah ditambahkan oleh pemerintah hingga menjadi 62 jenis
jasa lainnya seperti yang tercantum dalam PMK No. 141/PMK.03/2015. Berikut ini
adalah daftar lengkap objek PPh Pasal 23, tarif dan cara buat hitung, setor dan e-Filing
yang mudah, cepat, aman dan gratis!
1) Penilai (appraisal);
2) Aktuaris;
3) Akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
4) Hukum;
5) Arsitektur;
6) Perencanaan kota dan arsitektur landscape;
7) Perancang (design);
8) Pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas)
kecuali yang dilakukan oleh Badan Usaha Tetap (BUT);
9) Penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan gas bumi
(migas);
10) Penambangan dan jasa penunjang di bidang usaha panas bumi dan
penambangan minyak dan gas bumi (migas);
11) Penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;
12) Penebangan hutan;
13) Pengolahan limbah;
14) Penyedia tenaga kerja dan/atau tenaga ahli (outsourcing services);
15) Perantara dan/atau keagenan;
16) Bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan Bursa Efek,
Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) dan Kliring Penjaminan Efek Indonesia
(KPEI);
17) Kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI;
18) Pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara;
19) Mixing film;
20) Pembuatan sarana promosi film, iklan, poster, foto, slide, klise, banner, pamphlet,
baliho dan folder;
21) Jasa sehubungan dengan software atau hardware atau sistem komputer,
termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan.
22) Pembuatan dan/atau pengelolaan website;
23) Internet termasuk sambungannya;
24) Penyimpanan, pengolahan dan/atau penyaluran data, informasi, dan/atau
program;
25) Instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas AC dan/atau TV
Kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang
konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha
konstruksi;
26) Perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC
dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang
lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai
pengusaha konstruksi;
27) Perawatan kendaraan dan/atau alat transportasi darat.
28) Maklon;
29) Penyelidikan dan keamanan;
30) Penyelenggara kegiatan atau event organizer;
31) Penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa, media luar ruang atau
media lain untuk penyampaian informasi, dan/atau jasa periklanan;
32) Pembasmian hama;
33) Kebersihan atau cleaning service;
34) Sedot septic tank;
35) Pemeliharaan kolam;
36) Katering atau tata boga;
37) Freight forwarding;
38) Logistik;
39) Pengurusan dokumen;
40) Pengepakan;
41) Loading dan unloading;
42) Laboratorium dan/atau pengujian kecuali yang dilakukan oleh lembaga atau
institusi pendidikan dalam rangka penelitian akademis;
43) Pengelolaan parkir;
44) Penyondiran tanah;
45) Penyiapan dan/atau pengolahan lahan;
46) Pembibitan dan/atau penanaman bibit;
47) Pemeliharaan tanaman;
48) Permanenan;
49) Pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan dan/atau
perhutanan;
50) Dekorasi;
51) Pencetakan/penerbitan;
52) Penerjemahan;
53) Pengangkutan/ekspedisi kecuali yang telah diatur dalam Pasal 15 Undang-
Undang Pajak Penghasilan;
54) Pelayanan pelabuhan;
55) Pengangkutan melalui jalur pipa;
56) Pengelolaan penitipan anak;
57) Pelatihan dan/atau kursus;
58) Pengiriman dan pengisian uang ke ATM;
59) Sertifikasi;
60) Survey;
61) Tester;
62) Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada
APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) atau APBD (Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah). Pihak Pemotong PPh Pasal 23 dan Pihak
yang Dikenakan PPh Pasal 23
D. Pengecualian PPh 23
PT Sejahtera memberikan jasa konsultasi kepada CV Indah pada bulan Agustus 2019
dengan imbalan sebesar Rp20.000.000 tunai. Maka, penghitungan PPh 23 untuk
pendapatan ini adalah:
2% x penghasilan bruto
2% x Rp20.000.000 = Rp400.000
Besaran PPh Pasal 23 untuk imbalan jasa konsultasi PT Sejahtera adalah sebesar
Rp400.000 dan harus dilaporkan oleh CV Indah ke kantor pajak.
PT Perkasa adalah wajib pajak badan yang atas dividen yang diterimanya tidak
berlaku ketentuan PPh pasal 4 ayat (2). Berdasarkan ketentuan
Di mana objek PPh 23 atas dividen dikenakan terhadap dividen yang diperoleh
dengan kepemilikan saham di bawah 25%.
Contoh:
Pada dasarnya PPh Pasal 24 mengatur tentang besarnya kredit pajak yang dapat
diperhitungkan atas pemotongan pajak/ pajak yang dibayar/ pajak yang terutang di luar
negeri. Hal ini sesuai dengan ayat 1 dan 2 Pasal 24 UU PPh :
a. Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan
terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun pajak
yang sama.
b. Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar
pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh
melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini.
Pajak penghasilan pasal 24 atau kredit pajak luar negeri, merupakan perhitungan
berapa besar jumlah pajak yang sudah dibayar atas penghasilan diluar negeri dan
pajak tersebut dapat dikreditkan atau dikurangkan dari penghasilan yang ada didalam
negeri sehingga menghindari pengenaan pajak berganda.
Yang menjadi Subjek PPh Pasal 24 adalah: Wajib Pajak dalam negeri terutang
pajak atas seluruh penghasilan, termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh
dari luar negeri. Sedangkan, yang menjadi Objek PPh pasal 24 adalah penghasilan
yang berasal dari luar negeri.
Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan
saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham
atau sekuritas tersebut didirikan atau bertempat kedudukan.
Penghasilan bentuk usaha tetap adalah Negara tempat bentuk usaha tetap
tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
Penghasilan dan pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda
turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan
adalah Negara tempat lokasi penambangan berada.
Keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah Negara tempat harta tetap itu
berada.
Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk
usaha tetap adalah Negara tempat bentuk usaha tetap itu berada.
Jadi, Pajak Penghasilan dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak yang dihitung
berdasarkan seluruh penghasilan yang diterima dan diperoleh oleh Wajib Pajak, baik
penghasilan tersebut berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Dalam
menghitung Pajak Penghasilan, maka seluruh penghasilan tersebut digabungkan
dalam tahun pajak di peroleh atau diterimanya penghasilan, atau dalam tahun pajak.
Contoh Soal :
Hasil usaha di Filipina dalam Tahun Pajak 2005 sebesar Rp. 600.000.000,-
Dividen atas pemilikan saham di Chicago Ltd di USA sebesar Rp. 400.000.000,-
yaitu berasal dari keuntungan tahun 2004 yang ditetapkan dalam RUPS (Rapat
Umum Pemegang Saham) dan dibayar tahun 2005
Dividen atas penyertaan saham sebanyak 75% pada Smith Corporation di
Australia yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek sebesar Rp.
80.000.000,- yaitu berasal dari keuntungan saham 2004 yang berdasarkan
Kepmenkeu ditetapkan diperoleh tahun 2005.
Bunga kwartal IV tahun 2004 sebesar Rp. 200.000.000,- dari Malaysia yang
baru akan diterima bulan Mei Tahun 2005.
Jawaban :
Dari penghasilan yang bersumber dari luar negeri di atas, maka penghasilan yang
digabungkan dengan penghasilan dalam negeri untuk tahun 2004 adalah butir a s/d c,
sedangkan butir d digabungkan dengan penghasilan dalam negeri tahun 2005.
Jumlah kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan hanya atas pajak yang langsung
dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari luar negeri,
dan setinggi tingginya sama dengan jumlah pajak yang dibayar atau terutang di luar
negeri, tetapi tidak boleh melebihi jumlah yang dihitung menurut perbandingan antara
penghasilan dari luar negeri terhadap penghasilan Kena Pajak dikalikan dengan pajak
yang terutang atas penghasilan kena pajak, atau setinggi-tingginya sama dengan pajak
yang terutang atas penghasilan Kena Pajak dalam hal penghasilan Kena Pajak lebih
kecil dari penghasilan luar negeri.
PKP
*Bandingkan antara “Maksimum Kredit Pajak dan Pajak Yang Terutang/Dibayar di luar
negeri” (pilih yang terkecil).
Contoh :
PPh 42.000.000,-
Kredit pajaknya adalah mana yang lebih kecil antara PPh dibayar di luar negeri dengan
bagian penghasilan di negara tersebut yaitu sebesar Rp. 7.000.000,-
a. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di Luar Negeri dapat dikreditkan
dengan Pajak Penghasilan yang terutang di Indonesia.
b. Pengkreditan PPh yang dibayar di Luar Negeri (PPh Pasal 24) dilakukan dalam
tahun pajak digabungkannya penghasilan dari luar negeri tersebut dengan
penghasilan di Indonesia.
c. Jumlah PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan maksimum sebesar jumlah yang
lebih rendah di antara PPh yang dibayar atau terutang di Luar Negeri dan
jumlah yang dihitung menurut perbandingan antara penghasilan dari luar negeri
dan seluruh Penghasilan Kena Pajak, atau maksimum sebesar PPh yang
terutang atas seluruh Penghasilan Kena Pajak dalam hal di dalam negeri
mengalami kerugian (Penghasilan dari LN lebih besar dari jumlah Penghasilan
Kena Pajak).
d. Apabila penghasilan dari luar negeri berasal dari beberapa negara, maka
penghitungan PPh Pasal 24 dilakukan untuk masing-masing negara.
e. Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang dikenakan PPh Final (Pasal 4 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 ) dan/atau penghasilan yang dikenakan
pajak tersendiri (Pasal 8 ayat (1 dan 4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000
) tidak dapat digabungkan dengan penghasilan lainnya, baik yang diperoleh dari
Dalam Negeri maupun dari Luar Negeri.
f. Dalam hal jumlah PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri melebihi PPh
Pasal 24 yang dapat dikreditkan, kelebihan tersebut tidak dapat diperhitungkan
di tahun berikutnya, tidak boleh dibebankan sebagai biaya, dan tidak dapat
direstitusi.
Apabila terjadi perubahan besarnya penghasilan yang berasal dari luar negeri,
wajib pajak harus melakukan pembetulan SPT untuk tahun pajak yang bersangkutan
dengan melampirkan dikumen yang berkenaan dengan perubahan tersebut.
dari perhitungan di atas maka kredit pajak (PPh pasal 24) adalah:
total Rp 152.222.212
Hitung PPh pasal 24 jika tarif pajak di negara A, B dan C masng-masing 20%, 25% dan
35%
dari perhitungan di atas dapat disimpulkan bahwa PPh pasal 24 yang dapat dikreditkan
di Indonesia adalah
PPh terhutang (tarif pasal 17 yang berlaku 1 januari 2009 28% dan 2010 25%)
Untuk Negara X =
RP. 8.000.000.000
Pajak yang terhutang diluar negeri sebesar Rp. 400.000.000 lebih besar dari batas
maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan, maka jumlah kredit yang dapat di
perkenankan hanya Rp. 280.000.000
Untuk Negara Y =
Rp. 8.000.000.000
Pajak yang terhutang diluar negeri sebesar Rp. 750.000.000 lebih kecil dari batas
maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan, maka jumlah kredit yang dapat di
perkenankan adalah Rp. 750.000.000
Untuk Negara Z
Jumlah kredit pajak yang diperkenankan adalah: Rp. 280.000.000 + Rp. 750.000.000 =
Rp. 1.030.000.000.
US$ 52,000
Pajak penghasilan yang dapat dikreditkan terhadap seluruh pajak penghasilan yang
terutang atas PT.A adalah pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh diluar negeri. Dalam contoh diatas itu sebesar US$ 19,750.
Pajak penghasilan atas Z Inc, sebesar US$48,000 tidak dapat dikerditkan terhadap
pajak
penghasilan yang terutang atas PT.A, karena pajak sebesar US$ 48,000 tersebut tidak
dikenakan langsung atas penghasilan yang diterima atau diperoleh PT.A dari luar
negeri, melainkan pajak yang dikenakan atas keuntungan Z Inc, di Negara X.
Penghitungan PPh Pasal 24 kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut
Batas maksimum kredit pajak luar negeri untuk masing-masing negara adalah :
Untuk negara X =
Untuk negara Y =
Pajak yang terutang di negara Y sebesar Rp. 75.000.000,00, maka maksimum kredit
pajak yang dapat dikreditkan adalah Rp.75.000.000,00.
Jumlah PPh Pasal 24 kredit pajak luar negeri yang diperkenankan adalah :
Rp. 12.500.000,00 + Rp. 75.000.000,00 = Rp. 87.500.000,00
Apabila penghasilan luar negeri berasal dari beberapa negara, maka jumlah maksimum
kredit pajak luar negeri dihitung sama dengan perhitungan tersebut di atas.
Contoh :
Brunei darussalam :
Bagian penghasilan :
Filipina :
Singapura :
Bagian penghasilan :
Indonesia :
Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, kerugian yang diderita di luar negeri tidak
boleh digabungkan atau dikompensasikan dengan penghasilan yang diterima atau
diperoleh di Indonesia.
Contoh :
PPh pasal 17 :
PPh Pasal 17 :
= Rp. 192.500.000,-
Q 0\
dikreditkan
Dari perhitungan tersebut di atas kredit pajak LN yang diperbolehkan adalah sebesar
Rp40.000.000 atau sebesar PPh yang terutang atau dibayar di LN. Jumlah ini
diperoleh dengan membandingkan penghitungan PPh maksimum yang boleh
dikreditkan dengan PPh yang terutang atau dibayar di LN, kemudian dipilih jumlah
yang terendah
Kredit pajak yang diperbolehkan (PPh pasal 24) adalah Rp102.500.000. jumlah ini
diperoleh dengan membandingkan perhitungan PPh maksimum yang dapat dikreditkan
dengan PPh yang sesungguhnya dibayarkan/terutang di LN dan total pajak yang
terutang
di negara Y menderita kerugian sebesar Rp500.000.000 (tarif pajak yang berlaku) 25%.
Perhitungan kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan adalah sebagai berikut:
Dari perhitungan di atas dapat disimpulkan bahwa PPh pasal 24 yang dapat dikreditkan
adalah Rp83.437.500.
Rp113.000.000
Dari perhitungan di atas kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan adalah
1. Pengertian
Dalam membayar pajak, tidak seluruh wajib pajak dapat membayar pajak secara
keseluruhan dan langsung. Agar tidak memberatkan, maka angsuran dan cicilan dapat
dilakukan dengan mengikuti mekanisme Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25.
Adapun, perbedaan PPh Pasal 25 dengan jenis pajak penghasilan lainnya. PPh
pasal 25 memiliki kategori dan cara penghitungannya sendiri. PPh dapat diangsur
setiap bulannya dalam waktu satu tahun dengan tujuan meringankan beban wajib
pajak, mengingat pajak terutang harus dilunasi.
a) Penghasilan neto dikalikan dengan tarif pajak, kemudian dibagi duabelas atau
banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
b) Dalam hal wajib pajak orang pribadi, penghasilan neto terlebih dahulu
dikurangkan dengan penghasilan tidak kena pajak sebelum dikalikan dengan
tarif pajak.Penghasilan Neto adalah :
Dalam hal wajib pajak orang pribadi yang menyelenggarakan
pembukuan dan dari pembukuannya dapat dihitung besarnya
penghasilan neto setiap bulan, penghasilan neto fiskal dihitung
berdasarkan pembukuannya.
Dalam hal wajib pajak orang pribadi hanya menyelenggarakan
pencatatan dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto atau menyelenggarakan pembukuan tetapi dari
pembukuannyatidak dapat dihitung besarnya penghasilan neto setiap
bulan, penghasilan neto fiskal dihitung berdasarkan Norma
PenghitunganPenghasilan Neto atas peredaran atau penerimaan bruto.
Dalam hal wajib pajak badan, penghasilan neto fiskal dihitung dari hasil
perhitungan penghasilan bruto dikurangi biaya untukmendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan.Besaran angsuran PPh Pasal 25
untuk wajib pajak orang pribadi yang baruterdaftar, dan wajib pajak
badan yang baru terdaftar yang bukan merupakanhasil
merger/likuidas/perubahan bentuk badan usaha dari wajib pajak
badanyang sebelumnya sudah ada, adalah nihil.
Jenis PPh 25 akan terkena dua subjek. Pertama, wajib pajak orang pribadi yang
memiliki kegiatan usaha, seperti pedagang atau penyedia jasa. Kedua, wajib pajak
badan yang melakukan kegiatan usaha, seperti pedagang atau penyedia jasa.
Adapun, Pasal jenis PPh Pasal 25 tidak ada pihak yang memungut atau
pemotong, namun wajib pajak pribadi dan wajib pajak badan yang melakukan usaha
wajib menyetor sendiri kewajiban PPh 25 tanpa diwakilkan.
3. Tarif Pajak
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam tahun berjalan (tahun pajak berikutnya
setelah tahun yang dilaporkan di SPT tahunan PPh) dihitung sebesar PPh yang
terutang pajak tahun lalu, yang dikurangi dengan:
a. Pajak penghasilan yang dipotong sesuai Pasal 21 (yaitu sesuai tarif pasal 17
ayat
(1) bagi pemilik NPWP dan tambahan 20% bagi yang tidak memiliki NPWP) dan
Pasal 23 (15% berdasarkan dividen, bunga, royalti, dan hadiah – serta 2%
berdasarkan sewa dan penghasilan lain serta imbalan jasa) – serta pajak
penghasilan yang dipungut sesuai pasal 22 (pungutan 100% bagi yang tidak
memiliki NPWP);
b. Pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh
dikreditkan sesuai pasal 24; lalu dibagi 12 atau total bulan dalam pajak masa
setahun.
Terdapat dua (2) jenis pembayaran angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh
Pasal 25) untuk Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP), yaitu:
a. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WP – OPPT), yaitu yang
melakukan usaha penjualan barang, baik grosir maupun eceran, serta jasa –
dengan satu atau lebih tempat usaha. PPh 25 bagi OPPT = 0.75% x omzet
bulanan tiap masing-masing tempat usaha.
b. Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (WP – OPSPT), yaitu
pekerja bebas atau karyawan, yang tidak memiliki usaha sendiri. PPh 25 bagi
OPSPT = Penghasilan Kena Pajak (PKP) x Tarif PPh 17 ayat (1) huruf a UU
PPh (12 bulan).
Sampai Rp 50.000.000 = 5%
Rp 50.000.000 – Rp 250.000.000 = 15%
Rp 250.000.000 – Rp 500.000.000 = 25%
Di atas Rp 500.000.000 = 30%
Pembayaran angsuran PPh 25 untuk wajib pajak badan yaitu = Penghasilan Kena
Pajak (PKP) x 25% (Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b UU PPh).
Misalnya: untuk bulan Februari 2014, angsuran PPh 25 harus dibayar paling lambat 15
Maret 2014.
Jika batas waktu penyetoran jatuh pada hari libur (termasuk Sabtu, Minggu,
hari libur nasional, dan Pemilihan Umum), maka pembayaran masih dapat dilakukan
pada hari berikutnya – sesuai Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan
No.184/PMK.03/2007, yang kemudian diubah lagi sesuai Peraturan Menteri Keuangan
No. 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak.
Apabila wajib pajak terlambat membayar, maka WP akan dikenai bunga sebesar
2% per bulan, dihitung dari tanggal jatuh tempo hingga tanggal pembayaran.
Misalnya: untuk bulan Februari 2014, WP terlambat dan baru membayarnya pada
16 Maret. Sesuai Pasal 9 ayat (2a) UU KUP, WP dikenai bunga 2%.
5. Pelaporan PPh Pasal 25
Untuk menghindari sanksi administrasi bunga dan denda, wajib pajak harus
melaporkan dan melunasi SPT Masa PPh Pasal 25 tepat waktu. Jatuh tempo
pelaporan ialah paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak
berakhir. Sementara untuk persyaratan wajib pembayaran angsuran PPh Pasal 25
ialah menyertakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau dokumen sejenisnya. Setelah
melakukan pembayaran, wajib pajak harus melaporkan kepada Kantor Pelayanan
Pajak (KPP). Pelaporan dilakukan dengan batas akhir tanggal 20 di bulan berikutnya.
Dalam pembayaran angsuran PPh Pasal 25, diperlukan kode billing terlebih
dahulu. Kode billing adalah kode identifikasi yang diterbitkan melalui sistem billing
Ditjen Pajak (DJP) untuk suatu jenis pembayaran atau penyetoran pajak.
Kode billing dapat diperoleh dengan aplikasi billing DJP di DJP online atau kode
billing yang diterbitkan oleh perusahaan application service provider (ASP) dan
perusahaan telekomunikasi.
Wajib pajak dapat mengakses DJP Online dan lakukan pengisian data berupa
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), password, dan kode keamanan. Wajib pajak dapat
memilih menu utama, pilih menu ‘Bayar’ dan klik ‘e-billing’. Kemudian, wajib pajak
mengisi surat setoran elektronik dengan data-data yang dibutuhkan. Selanjutnya, isi
masa pajak sesuai masa pajak yang ingin dibuat kode billing. Klik ‘Buat Kode Billing’,
isi kode keamanan, dan klik ‘Submit’. Selanjutnya, akan ditampilkan surat setoran
elektronik. Wajib pajak dapat memeriksa kembali dan melakukan pencetakan.
Kemudian, kode billing akan otomatis terunduh. Wajib pajak dapat melihat nomor
kode billing atau ID billing yang digunakan untuk pembayaran. Selanjutnya, wajib pajak
dapat membayar pajak menggunakan kode billing melalui ATM, bank, Internet
Banking, atau kantor pos. Perlu diingat kembali, pembayaran angsuran PPh Pasal 25
paling lambat ialah tanggal 15 di bulan berikutnya.
7. Contoh Perhitungan
Jadi, jumlah pph pasal 25 yang harus dibayar perbulannya adalah sebsar
Rp.18.764.333
PAJAK PENGHASILAN PASAL 26
1. Dasar Hukum
Subjek pajak PPh Pasal 26 ini adalah wajib pajak luar negeri selain BUT.
Pengertian Wajib Pajak luar negeri bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b
Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Pada ketentuan ini Subjek Pajak (juga Wajib
Pajak) luar negeri selain BUT adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan
puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Jadi, WP luar negeri seperti ini mendapat penghasilan dari Indonesia tanpa perlu
melakukan kegiatan usaha di Indonesia melalui BUT. Misalnya warga negara
Singapura yang memiliki saham PT Indosat yang menerima penghasilan berupa
deviden dari PT Indosat.
4. Pengecualian
Wajib pajak luar negeri yang dikecualikan dari Subyek Pajak PPh pasal 26 ini
adalah:
BUT dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 26 apabila Penghasilan Kena Pajak
sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari BUT ditanamkan kembali di Indonesia
dengan syarat :
a. Dilakukan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang didirikan dan
berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri, dan;
b. Dilakukan dalam tahun berjalan atau selambat-lambatnya tahun pajak
berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperoleh penghasilan tersebut;
c. Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut sekurang-
kurangnya dalam waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat penanaman
dilakukan, mulai berproduksi komersil.
d. Badan-badan Internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Berdasarkan Undang-undang PPh Pasal 26 disebutkan bahwa Tarif dan Objek PPh
Pasal 26 adalah sebagai berikut :
a. 20% (final) dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak Luar Negeri berupa :
Deviden
Bunga, premium, diskonto, premi swap, dan imbalan sehubungan
dengan jaminan pengembalian utang;
Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta;
Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
Hadiah dan penghargaan
Pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
b. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto berupa:
Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia;
Premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun
melalui pialang kepada perusahaan asuransi di luar negeri.
20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari
suatu BUT di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan
kembali di Indonesia.
Tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B)
antara Indonesia dengan negara pihak pada persetujuan.
6. Saat Terutang, Tata Cara Pemoyongan, Penyetoran, Dan Pelaporan PPh Pasal 26
PPh Pasal 26 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir
bulan terutangnya penghasilan, tergantung yang mana terjadi lebih dahulu. Pemotong
PPh Pasal 26 wajib membuat bukti pemotongan PPh pasal 26 rangkap 3 :
PPh Pasal 26 wajib disetorkan ke bank Persepsi atau Kantor Pos dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP), paling lambat tanggal 10 bulan takwim
berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak. SPT Masa PPh Pasal 26, dengan
dilampiri SSP lembar ke dua, bukti pemotongan lembar ke dua dan daftar bukti
pemotongan disampaikan ke KPP setempat paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak
berakhir.
Contoh :
Pemotongan PPh Pasal 26 dilakukan tanggal 24 Mei 2001, penyetoran paling lambat
tanggal 10 Juni 2001; dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak paling lambat tanggal
20 Juni 2001.
Pengertian pajak bumi dan bangunan adalah sebuah pungutan wajib yang diambil oleh
pemerintah terhadap suatu bangunan yang digunakan sebagai tempat tinggal,
perusahaan, maupun pelaku bisnis kecil dan menengah. PBB muncul sebab adanya
keuntungan ekonomi yang didapatkan para pemilik bangunan, entah itu sebagai
tempat tinggal atau memulai sebuah usaha. Besarannya pun pasti berbeda-beda.
Lebih lanjut, PBB memiliki sifat kebendaan jadi subjek yang berada di dalamnya tidak
akan terhitung sebagai pajak. Jelasnya, PBB murni akan menghitung berdasarkan
berapa besar dan luas bangunan tersebut bukan ‘orang’ ataupun ‘benda’ penunjang
lainnya. Ada beberapa objek yang dihitung sebagai PBB, tergantung dari
keberadaanya.
Di dalam menghitung pajak jenis ini, hanya ada dua objek yang dapat dijadikan acuan,
seperti:
Bumi: Permukaan bumi yang meliputi tanah, daratan dan lautan serta tubuh
bumi yang berada di bawahnya. Beberapa contoh konkretnya adalah kebun,
sawah, tanah, ladang, pekarangan hingga tambang.
Bangunan: Konstruksi bangunan yang dibuat dan ditancapkan di dalam bumi,
semisal rumah tinggal, bangunan usaha, gedung bertingkat, pusat
perbelanjaan, perhotelan dll.
Namun, tidak semua objek yang berada di bumi dan bangunan akan terhitung
sebagai sebuah pajak. Sebab, ada beberapa aturan yang memperbolehkan
sebuah tempat tidak harus membayarkan pajak bumi dan bangunannya,
seperti: Sengaja dibangun untuk kebutuhan bersama, semisal tempat
peribadatan, rumah sakit pemerintah, tempat wisata publik, panti asuhan serta
sekolah umum. Dibangun untuk tempat peristirahatan terakhir benda ataupun
manusia, semisal kuburan dan museum antik.
Dibuat dengan fungsi sebagai hutan alam, suaka hewan untuk mencegah
kepunahan dll.
Digunakan oleh perwakilan badan organisasi internasional yang telah disetujui
sebelumnya.
Faktor Penunjang Penghitungan PBB
Tarif penghitungan pajak bumi dan bangunan bisa dibilang flat. Sebab, sejak tahun
1985 silam hingga saat ini, tarif yang digunakan hanyalah 0,5%. Untuk melakukan
penghitungan PBB, ada beberapa faktor yang harus diketahui terlebih dahulu. Apa
saja?
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)= NJOP merupakan sebuah harga yang
diterapkan apabila ingin menghitung PBB. Biasanya, penghitungan NJOP
didasarkan kepada harga rata-rata sebuah transaksi ataupun nilai terbaru
sesuai dengan ketentuan dari pemerintah. Lebih lanjut, harga NJOP rata-rata
akan ditetapkan setiap tiga tahun sekali oleh Menteri Keuangan.
Nilai Jual Kena Pajak (NJKP)= NJKP adalah perkiraan seberapa besar sebuah
objek bumi atau bangunan yang bisa dimasukkan ke dalam penghitungan PBB.
Dengan kata lain, NJKP merupakan sebuah bagian dari NJOP. Besaran NJKP
sendiri dibagi menjadi dua, yaitu:
Objek Pajak Perkebunan dan Pertambangan adalah 40%
Objek Pajak Perdesaaan dan Perkotaan bervariasi tergantung dengan NJOP.
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)= NJOPTKP merupakan
sebuah batasan nilai tidak dikenakan pajak. Menurut keputusan dari
Kementerian Keuangan, batas dari NJOPTKP maksimum adalah 12 juta rupiah
kepada setiap wajib pajak
PPnBM adalah singkatan dari pajak penjualan atas barang mewah. Pajak ini biasanya
dikenakan pada barang-barang yang tergolong mewah dan dilaporkan dengan
menggunakan SPT Masa PPN 1111.
Berdasarkan penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU PPN No. 42 TAHUN 2009, berikut adalah
beberapa pertimbangan mengapa pemerintah Indonesia menganggap bahwa PPnBM
sangatlah penting untuk diterapkan:
Prinsip Pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ialah hanya 1 (satu) kali saja,
yaitu pada saat:
Penyerahan oleh pabrikan atau produsen Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah
Impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
Pemungutan pajak barang mewah ini sama sekali tidak memperhatikan siapa yang
mengimpor maupun seberapa sering produsen atau pengusaha melakukan impor
tersebut (lebih dari sekali atau hanya sekali saja).
Dengan demikian, PPnBM hanya dikenakan pada saat penyerahan BKP Mewah oleh
pabrikan (pengusaha yang menghasilkan) dan pada saat impor BKP mewah.
PPnBM tidak dikenakan lagi pada rantai penjualan setelah itu. Adapun pihak yang
memungut PPnBM tentu saja pabrikan BKP Mewah pada saat penyerahan atau
penjualan BKP Mewah. Sementara itu, PPnBM atas impor BKP Mewah dilunasi oleh
importir bersamaan dengan pembayaran PPN impor dan PPh Pasal 22 impor.
Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah lainnya adalah:
Seperti yang telah disebutkan, tarif PPnBM sepenuhnya diatur dalam PMK dan
ditentukan berdasarkan klasifikasi BKP mewah. Secara umum, tarif PPnBM dibagi
menjadi dua, yakni:
Namun, terkait dengan penentuan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk tarif PPnBM
kendaraan bermotor serta jenis-jenis BKP yang tidak dikenakan tarif PPnBM serta
barang yang diberi fasilitas pembebasan tarif PPnBM diatur dalam PMK Nomor
64/PMK.011/2014.
C. Bea Materai
Pengertian Bea Materai
Bea meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen yang bersifat perdata dan
dokumen untuk digunakan di pengadilan.
Sedangkan mengutip dari laman DJP, bea meterai merupakan pajak atas dokumen
yang terutang sejak saat dokumen tersebut ditandatangani oleh pihak-pihak yang
berkepentingan, atau diserahkan kepada pihak lain jika dokumen itu hanya dibuat oleh
satu pihak.
Fungsi Meterai
Karena itu, dokumen berharga yang dibubuhi meterai akan dianggap sah selama
memenuhi ketentuan pasal 1320 KUHPerdata. Jika dokumen tersebut ingin digunakan
sebagai alat bukti di pengadilan, harus dilunasi bea meterai yang terutang.
Namun, bukan berarti setiap dokumen perlu dibubuhi meterai, kok. Jika tidak dibubuhi
meterai, tidak akan menjadikannya sebagai tidak sah. Tetapi, dokumen itu tidak dapat
digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.
Salah satu definisi bea meterai adalah pajak atas dokumen yang terutang sejak saat
dokumen tersebut ditandatangani oleh pihak-pihak yang berkepentingan, atau
diserahkan kepada pihak lain jika dokumen itu hanya dibuat oleh satu pihak. Lalu,
siapa yang dimaksudkan ‘pihak’ dalam definisi ini?
Pihak yang menerima atau mendapatkan manfaat dokumen, kecuali pihak yang
bersangkutan menentukan berbeda.
Jika dokumen dibuat secara sepihak, seperti kuitansi, bea meterai terutang oleh
penerima kwitansi.
Jika dokumen dibuat oleh dua pihak atau lebih, seperti surat perjanjian, masing-
masing pihak terutang bea meterai.
Dokumen yang Dikenakan Bea Materai
Seperti yang pernah dijelaskan sebelumnya pada artikel “Apa Sih Fungsi Materai Itu?“,
bea materai sering digunakan dalam penandatanganan surat berharga. Namun, surat
berharga seperti apa yang dikenakan materai? Berdasarkan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan
Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea Meterai, berikut ini
daftar dokumen yang dikenakan materai.
Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan digunakan
sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan, atau keadaan yang
bersifat perdata.
Akta-akta notaris termasuk salinannya.
Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-
rangkapnya.
Surat yang memuat jumlah uang, di antaranya: Surat yang menyebutkan
penerimaan uang, surat yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan
uang dalam rekening di bank, surat yang berisi pemberitahuan saldo rekening
di bank, surat yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau
sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungan.
Surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep.
Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka
Pengendalian, yaitu: Surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan,
surat-surat yang semula tidak dikenakan bea meterai berdasarkan tujuannya
jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain selain dari
maksud semula.
Mungkin Anda sering melihat salah satu persyaratan dalam pembuatan dokumen
berharga adalah materai Rp6.000. Tapi tahukah kalau nilai bea materai itu ada lebih
dari 1 dengan penggunaannya pada dokumen yang berbeda-beda? Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2000, berikut tarif bea
materai dan perbedaan penggunaannya:
Nilai Meterai Rp6.000
Surat yang memuat jumlah uang (poin nomor 4) dan surat berharga seperti
wesel, promes, dan aksep (poin nomor 5) yang mempunyai harga nominal lebih
dari Rp250.000 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) sampai dengan Rp1.000.000
(satu juta rupiah).
Cek dan bilyet giro tanpa batas pengenaan besarnya harga nominal.
Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga nominal
sampai dengan Rp1.000.000.
Sekumpulan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tercantum
dalam surat kolektif yang mempunyai jumlah harga nominal sampai dengan
Rp1.000.000.
DAFTAR PUSTAKA
Mardiasmo.1995.Perpajakan.Yogyakarta:ANDI Yogyakarta
Mulyo Agung, (2007), Perpajakan Indonesia Teori dan Aplikasi, Dinamika Ilmu,
Jakarta Barat.
Rismawati sudirman dan Antong amiruddin (2009). Perpajakan. Palopo :Empat dua
media