(PPH UMUM)
1. Definisi (Pasal 1)
Pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dalam tahun pajak
2. Dasar Hukum
UU No 36 TAHUN 2008 Tentang PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UU NOMOR 7
TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
Subjek pajak dalam negeri ditentukan berdasarkan domisili pendiriannya atau lamanya
suatu aktivitas bisnis dilakukan di Indonesia. Subjek pajak dalam negeri bisa berupa
orang perorangan, badan dan warisan yang belum dibagi. Jika orang perorangan lahir di
Indonesia atau telah tinggal selama lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan,
atau berniat untuk tinggal lama di Indonesia, dia dapat disebut sebagai subjek pajak
pribadi dalam negeri.
Begitu juga dengan badan. Suatu badan dapat disebut sebagai subjek pajak dalam negeri
ketika didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia selama lebih dari 183 hari.
Namun, unit tertentu dari badan pemerintah yang dibentuk berdasarkan peraturan
perundang-undangan atau pembiayaannya bersumber dari APBN/APBDdikecualikan
dari ketentuan ini. Badan yang dikecualikan tersebut diatur oleh ketentuan subjek pajak
khusus di bawah kebijakan pemerintah pusat atau daerah. Contoh dari badan yang
dikecualikan tersebut adalah BUMN/BUMD.
Subjek pajak luar negeri mencakup orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tapi tidak lebih dari 183 hari dalam
jangka waktu 12 bulan dan badan usaha tetap yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia namun menjalankan usaha atau melakukan kegiatan bisnis di
Indonesia.
Perbedaan yang penting antara subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri
terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:
a) Subjek pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau
diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Sedangkan subjek pajak luar
negeri dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di
Indonesia.
b) Subjek pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif
umum. Sedangkan subjek pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan
bruto dengan tarif pajak sepadan alias tarif tunggal terhadap semua objek pajak
berapa pun nilainya.
c) Subjek pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan
(SPT ) Pajak Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang
dalam suatu tahun pajak. Sedangkan subjek pajak luar negeri tidak menyampaikan
SPT Pajak Penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan
pajak yang bersifat final.
Subjek pajak dalam negeri terbagi menjadi tiga yakni orang pribadi, badan, warisan
yang belum dibagi.
1) Orang pribadi adalah perseorangan yang tinggal atau tidak tinggal di Indonesia baik
itu WNI/WNA tetapi memiliki penghasilan dari aktivitas ekonomi yang dilakukan di
Indonesia.
2) Badan adalah semua badan yang berdiri dan berkembang di Indonesia kecuali
badan-badan yang bersifat tidak komersil dan badan yang pembiayaannya berasal
dari APBN/APBD.
3) Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan adalah harta warisan dari pewaris
yang harus dibayarkan terlebih dahulu oleh ahli waris sebelum mereka membagi-
baginya. Kewajiban pajak bagi ahli waris dimulai saat timbulnya warisan yang
belum terbagi tersebut dan berakhir pada saat warisan tersebut selesai dibagi.
4) Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha pribadi dari orang yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia seperti WNA atau WNI belum lebih dari 183 hari
dalam jangka waktu 12 bulan berada di Indonesia, dan badan yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia. BUT dapat berupa tempat kedudukan manajemen,
cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung, pabrik, bengkel, gudang, dan lain-
lain.
Tempat Tinggal / Kedudukan Wajib Pajak (Pasal 2 ayat 6)
- Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditentukan oleh
Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan yang sebenarnya.
- Tujuannya menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang mempunyai
yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi
atau badan tersebut.
- Penentuan tempat tinggal atau tempat kedudukan tidak hanya didasarkan pada
pertimbangan yang bersifat formal, tetapi lebih didasarkan pada kenyataan.
- Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam
menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan tersebut,
antara lain :
a) Domisili,
b) Alamat tempat tinggal,
c) Tempat tinggal keluarga,
d) Tempat menjalankan usaha pokok atau hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan
untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakan
d) Bagi warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang
berhak
Kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat timbulnya warisan yang
belum terbagi tersebut, yaitu pada saat meninggalnya pewaris sehingga sejak
saat itu pemenuhan kewajiban perpajakannya melekat pada warisan tersebut.
Kewajiban pajak subjektif warisan berakhir pada saat warisan tersebut
selesai dibagi kepada para ahli warisnya sehingga sejak saat itu pemenuhan
kewajiban perpajakannya beralih kepada para ahli warisnya.
e) (Pasal 2A ayat 6)
- Apabila kewajiban pajak subjektif orang pribadi yang bertempat tinggal atau
yang berada di Indonesia hanya meliputi sebagian dari tahun pajak bagian
tahun pajak tersebut menggantikan tahun pajak.
Arti penghasilan sendiri adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima
atau diperoleh wajib pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia
yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang
bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Penghasilan itu berasal dari
Indonesia.
Objek pajak digunakan untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak
yang bersangkutan. Bentuknya dengan nama atau bentuk apapun, penghasilan atau
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima wajib pajak. Penghasilan itu berasal dari
Indonesia maupun luar Indonesia. Beberapa jenis penghasilan ini jika termasuk dalam
jenis golongan dan kriteria objek pajak, akan dikenakan objek pajak yang sesuai dengan
tarif dan jenis pajak yang berlaku.
Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak ukuran
terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul
biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan. Dilihat dari
mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat
dikelompokkan menjadi :
1) Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas, seperti gaji,
honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara
dan sebagainya;
2) Penghasilan dari usaha dan kegiatan;
3) Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak seperti
bunga, dividen, royalti, sewa, keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak
dipergunakan untuk usaha, dan lain sebagainya;
4) Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, dan lain sebagainya
Apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian
kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi
horizontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri.
o Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak dengan tarif
yang bersifat final atau dikecualikan dari Objek Pajak maka penghasilan tersebut
tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif umum.
o Bersifat Final tidak bisa dikreditkan dengan PPh terutang akhir tahun dari
wajib pajak, hal ini bertujuan untuk mempermudah administrasi pelaksanaan
pemajakan baik bagi wajib pajak maupun bagi Direktorat Jenderal Pajak.
Berdasarkan pasal 5 undang undang nomor 36 tahun objek pajak berbentuk usaha tetap adalah:
1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari asset yang
dimiliki atau dikuasai oleh bentuk usaha tetap. Ditinjau dari segi barang yangatau jasa
yang diberikan BUT. Dasar inilah yang sering disebut dengan force of attraction
concept dengan asumsi hukum apabila barang atau jasa dalam transaksi yang
diselenggarakan kantor pusat sama dengan transaksi yang diselenggarakan BUT.oleh
karna itu transaksi yang dilakukan langsung oleh kantor pusat BUT dianggap sebagai
penghasilan dari BUT.
2. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan,penjualan barang dan pemberian jasa
di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dijalankan atau yang
dilakukan oleh BUT di Indonesia. Penghasilan kantor pusat yang berasal dari usaha
atau kegiatan, penjualan barang dan pemberian jasa dan sejenis dengan yang dilakukan
oleh bentuk usaha tetap dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetap karena pada
hakikat nya usaha atau kegiatan tersebut termasuk dalam ruang lingkup usaha atau
kegiatan dan dapat dilakukan oleh bentuk usaha tetap.
3. Penghasilan sebagaimana tersebut dalam pasal 26 yang diterima atau diperoleh oleh
kantor pusat sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha dan asset atau
kegiatan yang memberikan penghasilan tersebut. Sebagai contoh, X inc menutup
perjanjian lisensi dengan PT.Y untuk mempergunakan merek dagang X inc atas
penggunaan hak terseebut X inc menerima imbalan berupa royalty dari PT.Y melalui
suatu bentuk usaha tetap di Indonesia. Penggunaan merek dagang oleh PT.Y
mempunyai hubungan efektif dengan BUT sehingga penghasilan X inc yang berupa
royalty tersebut diperlakukan sebagai penghasilan BUT.
Adapun penghasilan lain yang menjadi Objek Pajak BUT sesuai UU PPh Pasal 26
adalah sebagai berikut:
1. Dividen.
2. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang,
1. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
2. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan.
3. Hadiah dan penghargaan.
4. Pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
5. Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya.
6. Keuntungan karena pembebasan utang.
Dalam menentukan besarnya laba suatu BUT perlu diperhatikan hal-hal berikut:
1. Biaya yang berkenaan dengan penghasilan kantor pusat dan usaha atau
kegiatan,penjualan barang,atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang
dijalankan atau yang dilakukan oleh BUT di Indonesia.
2. Biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya
yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan BUT,yang besarnya ditetapkan oleh DJP.
3. Pembayaran kepada kantor pusat yang tidak diperbolehkan dibebankan sebagai biaya
adalah:
A. Royalty atau imbalan sehubungan dengan penggunaan asset,paten atau hak hak
lainnya.
B. Imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya
C. Bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan perbankan.
PENGHASILAN BUT YANG DITANAMKAN KEMBALI DI INDONESIA
Atas penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di Indonesia
dikenakan pajak sesuai ketentuan pasal 26 ayat (4) penghasilan dengan tariff sebesar 20%.
Apabila atas penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak penghasilan pasal 26 ayat (4)
tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, atas penghasilan tersebut tidak dipotong
pajak,dengan syarat:
1. Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah dikurangi
pajak penghasilan dalam bentuk penyertaan modal.
2. Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak atau selambat lambat nya tahun pajak
berikut nya.
3. Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut paling sedikit dalam
jangka waktu 2 tahun
Contoh penghitungan:
SUMBER
https://www.online-pajak.com/tentang-pajak/subjek-pajak
Dr. H. Heru Tjaraka, D. A. (n.d.). Modul 1 Pajak Penghasilan Umum.
Resmi, S. (2019). Perpajakan Teori dan Kasus Edisi 11 buku ke 1. Salemba Empat.