Anda di halaman 1dari 39

Kuliah ke-4 dan ke-5 Hukum Pajak

DR. Tb. Djodi R. Antawidjaja, SE.Ak., MM., M.Hum, CA, BKP


Oktober 2016
SISTEMATIKA MATERI

1 Subyek Pajak Penghasilan

2 Subyek Pajak Pertambahan Nilai

Subyek Pajak PBB, BPHTB dan Bea


3 Meterai

4 Obyek Pajak Penghasilan

5 Obyek Pajak Pertambahan Nilai

Obyek Pajak PBB, BPHTB, dan Bea


6 Meterai

7 Tarif Pajak dan Sanksi

2
Subyek Pajak Penghasilan (1)
Secara umum pengertian Subyek Pajak adalah siapa yang dikenakan pajak
Dalam UU PPh ada 3 kelompok: (Pasal 2 ayat 1 UU PPh)
WP Orang Pribadi dan Warisan yang belum
terbagi

WP Badan

• Yang terdiri atas Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer,


Perseroan lainnya, BUMN dan BUMD dgn nama dan bentuk
apapun, Persekutuan, Perkumpulan, Firma, Kongsi, Koperasi,
Yayasan atau Organisasi sejenis, Lembaga Dana Pensiun, dan
bentuk usaha lainnya

WP Bentuk Usaha Tetap

• BUT adalah bentuk usaha yg dipergunakan oleh Orang Pribadi


yg tidak bertempat tinggal di Indonesia tidak lebih dati 183 hari
dalam jangka waktu 12 bulan, atau Badan yg tidak didirikaan
dan tidak berkedudukan di Indonesia. Misalnya tempat
kedudukan manajemen, cabang perusahaan,kantor perwakilan,
pabrik, bengkel atau gedung kantor.
Subyek Pajak Penghasilan (2)
Subyek Pajak Penghasilan juga dibedakan antara Subyek Pajak Dalam Negeri
Dan Subyek Pajak Luar Negeri (Pasal 2 ayat 2 UU PPh)

•Orang Pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau yg


berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu
12 bulan atau Orang Pribadi yang dalam suatu tahun pajak
Subyek Pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat
tinggal di Indonesia
•Badan yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Dalam Negeri Indonesia
•Warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan
menggantikan yang berhak

•Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di


Indonesia atau berada di Indonesia ltidak lebih dari
183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan Badan
yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di
Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan
Subyek Pajak kegiatan melalui BUT di Indonesia.
•Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di

Luar Negeri Indonesia atau berada di Indonesia ltidak lebih dari 183
hari dalam jangka waktu 12 bulan dan Badan yang
tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia
yang dapat menerima dan memperoleh penghasilan
dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
Subyek Pajak Penghasilan (3)
Perbedaan penting antara Subyek Pajak dalam negeri dan Subyek
Pajak Luar Negeri terutama dalam pemenuhan kewajiban pajaknya,
yaitu:
• Subyek pajak dalam negeri dikenakan pajak atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh dari Indonesia, sedangkan subyek
pajak luar negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan yang
1 bersumber dari Indonesia

• Subyek pajak dalam negeri dikenakan pajak berdasarkan


penghasilan neto dengan tarif umum, sedangkan subyek pajak
luar negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto
2 dengan tarif pajak sepadan (proporsional)

• Subyek pajak dalam negeri Wajib menyampaikan SPT Tahunan


sebagai sarana menghitung pajak yang terhutang, sedangkan
subyek pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan SPT
Tahunan karena kewajiban pajaknya sudah dipenuhi melalui
3 pemotongan pajak yang bersifat final.
Subyek Pajak Penghasilan (4)
Jenis pajak subyektif pada PPh kewajiban pajaknya melekat pada subyek pajak ybs,
(artinya tidak dilimpahkan kepada subyek lainnya), penentuan saat mulai dan
berakhirnya kewajiban pajak subyektif cfm Pasal 2A UU PPh sbb:
• Untuk Orang Pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau yg berada di Indonesia
lebih dari 183 hari, dimulai saat dilahirkan dan berakhir saat meninggal dunia atau
1 meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya

• Untuk Badan yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia, dimulai saat
Badan tersebut didirikan atau berkedudukan di Indonesia dan berakhir saat
2 dibubarkan atau tidak lagi berkedudukan di Indonesia

• Untuk Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia ltidak lebih
dari 183 hari dan Badan yang tidak didirikan berkedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha
melalui BUT di Indonesia, dimulai saat OP atau Badan tersebut menjalankan usaha atau
3 melakukan kegiatan dan berakhir saat tidak lagi menjalankan usaha atau kegiatan melalui BUT

• Untuk Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia ltidak lebih
dari 183 hari dan Badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia yang dapat
menerima dan memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia, dimulai saat OP atau Badan tersebut menerima
4 atau memperoleh penghasilan di Indonesia dan berakhir saat tidak lagi menerima atau
memperoleh penghasilan tersebut

• Untuk Warisan yang belum terbagi, dimulai saat timbulnya Warisan


5 tersebut dan berakhir saat warisan tersebut selesai dibagi
Subyek Pajak Pertambahan Nilai
Subyek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP).
PKP adalah pengusaha yg melakukan penyerehan Barang Kena Pajak (BKP)
atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN , tidak
termasuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan Menteri Keuangan,
kecuali pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan menjadi PKP.
Beberapa contoh sebagai PKP (cfm. Pasal 18 UU PPN, PP 22/1985, PP 28/1988,
PP 75/1991) adalah sbb:

Pabrikan;
Importir
Indentor
Agen Utama atau Penyalur Utama
Pengusaha pemegang Hak atau menggunakan Paten atau Merk Dagang BKP
Pedagang Besar
Eksportir
Pedagang Eceran Besar
Pemborong atau Kontraktor
Pengusaha Jasa dibidang Telekomunikasi
Pengusaha Jasa angkatan udara dalam negeri
Pengusaha lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak
Subyek Pajak Bumi dan Bangunan

 Subyek Pajak Bumi dan Bangunan adalah orang atau badan yang mempunyai kewajiban untuk
melunasi PBB sesuai ketentuan UU PBB.
 Subyek PBB baru akan melunasi utang PBB apabila subyek PBB tersebut secara nyata
mempunyai suatu hak atas bumi dan bangunan dan/atau memperoleh manfaat atas bumi dan
bangunan. Hak-hak atas bumi dan bangunan dalam PBB adalah mengacu pada ketentuan
Undang-Undang Agraria, yaitu Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai, dan
Hak Pengelolaan
 Apabila suatu Obyek belum Jelas diketahui siapa Wajib Pajaknya, (Pemiliknya, Yang mempunyai
hak), tetapi atas tanah tersebut ada yng menguasai atau mendapat manfaatnya, maka Direktur
Jenderal Pajak mempunyai Wewenang untuk menetapkan siapa Wajib Pajak yang bertanggung
jawab untuk melunasi utang pajaknya, melalui peneitian ke lapangan yg selanjutnya menetapkan
Wajib Pajaknya untuk dilunasi.
 Contoh Subyek Wajib Pajak yang harus melunasi PBBnya karena obyek status kepemilikan yg
tidak jelas:
 Subyek Pajak A memanfaatkan atau menggunakan bumi dan bangunan milik B, bukan krn UU ataupun
krn perjanjian, maka A yang memanfaatkan tanah/bangunan tsb yg akan ditetapkan sebagai wajib pajak.
 Suatu Obyek pajak dalam status sengketa di Pengadilan, maka orang yg memanfaatkan dan menggunakan
(Menguasai) obyek pajak tersebut yg akan ditetapkan sebagai Wajib Pajaknya
 Subyek Pajak dalam waktu lama berada diluar wilayah letak obyek pajak, sedangkan utk merawat obyek
pajak tersebut telah dikuasakan kepada orang lain, maka orang yang diberi kuasa tersebut akan ditunjuk
sebagai Wajib Pajak.
Subyek Pajak Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan atau Bangunan
 Yang menjadi subjek pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang
memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan.
 Saat terutang Pajak BPHTB untuk :
 jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
 tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
 hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
 waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan;
 pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;
 pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tgl dibuat dan ditandatanganinya akta;
 lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemnang lelang;
 putusan hakim adalah sejak tgl putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tatap;
 hibah wasiat adalah sejak tgl ybs mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan;
 pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal
ditandatanganinya dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
 pemberian hak baru diluar pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatanganinya dan diterbitkannya
surat keputusan pemberian hak;
 penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
 peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
 pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
 hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
Subyek Bea Meterai

 Bea meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen yang bersifat perdata dan dokumen untuk
digunakan di pengadilan.
 Pengaturan masalah Bea Meterai diatur dalam UU No.13 Tahun 1985
 Bea Meterai merupakan Pajak yang dikenakan terhadap suatu dokumen
 Tidak semua dokumen, hanya yang tersebutkan di UU tsb
 Pihak yang menggunakan dokumen yang disebutkan UU tersebut adalah Subyek dari Bea Meterai,
artinya merekalah yg wajib melunasi.
 Bila suatu dokumen belum dibubuhi Bea Meterai namun bila digunakan sbg alat bukti di pengadilan
maka pihak yang akan menggunakan dokumen tersebut sebagai bukti dibebani kewajiban melunasi
Bea Meterainya lebih dahulu. Pelunasan dilakukan melalui Pejabat Pos yang disebut
pemeteraiannya kemudian.
 Nilai bea meterai yang berlaku saat ini Rp. 3.000,00 dan Rp. 6.000,00 yang disesuaikan dengan nilai
dokumen dan penggunaan dokumen.
 Bea meterai tidak diperlukan nomor identitas baik untuk wajib pajak maupun objek pajak
 Pembayaran bea meterai terjadi terlebih dahulu daripada saat terutang
 Waktu pembayaran dapat dilakukan secara isidentil dan tidak terikat waktu
Jenis Bea Materai :
 Benda meterai adalah meterai tempel dan kertas meterai yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia
 Pemeteraian kemudian adalah pelunasan bea meterai yang dilakukan pejabat pos atas dokumen
yang bea meterai belum dilunasi.
Obyek Pajak (1)

 Obyek Pajak Penghasilan


 PPh Pasal 21 - Penghasilan yg diterima berupa gaji, upah,
 PPh Pasal 22 – Penyerahan brg/Jasa kepada Pemerintah dan impor
 PPh Pasal 23 – Dividen, Bunga, Royalty, Sewa, Imbalan Jasa
teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa lainnya
 PPh Pasal 26 – Pemotongan atas penghasilan yg
bersumber dari Indonesia yang diterima WP luar negeri
dan BUT (sama dgn obyek Psl 23 tapi bersifat final)
 Obyek Pajak Pertambahan Nilai
 Penyerahan BKP didlm wilayah pabean yg dilakukan
pengusaha
 Impor BKP
Obyek Pajak (2)
 Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
1. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya;
2. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan. Termasuk
dalam pengertian bangunan adalah :
a. [jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan
emplasemennya, dan lain-lain yang merupakan satukesatuan dengan kompleks bangunan
tersebut;
b. jalan TOL;
c. kolam renang;
d. pagar mewah;
e. tempat olah raga;
f. galangan kapal, dermaga;
g. taman mewah;
h. tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak;
i. fasilitas lain yang memberikan manfaat.
 Objek pajak yang tidak dikenakan PBB
1. Objek Pajak yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial,
kesehatan,pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
2. Objek Pajak yang digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu;
3. Objek Pajak merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang
dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
4..Objek Pajak yang digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
5. Objek Pajak yang digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
Obyek Pajak (3)

 Obyek Pajak Bea Meterai:


 Pada prinsipnya dokumen yang harus dikenakan meterai
adalah dokumen menyatakan nilai nominal sampai jumlah
tertentu, dokumen yang bersifat perdata dan dokumen
yang digunakan di muka pengadilan, antara lain :
• 1) Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat
pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata.
• 2) Akta-akta notaris termasuk salinannya.
• 3) Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-rangkapnya.
• 4) Surat yang memuat jumlah uang yaitu:
– Surat yang menyebutkan penerimaan uang
– Surat yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening bank
– Surat yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank
– Surat yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagian telah dilunasi atau
diperhitungkan.
• 5) Surat berharga seperti wesel, promes, aksep dan cek.
• 6) Dokumen yang dikenakan Bea Meterai juga terhadap dokumen yang akan digunakan sebagai
alat pembuktian di muka pengadilan yaitu surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan, dan
surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk
tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, lain dan maksud semula.
Tarif dan Sanksi Pajak
 Tarif Bea Meterai.
 1) Tarif Bea Meterai Rp 6.000,00 untuk dokumen sebagai berikut:
• ü Surat Perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat
pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat pendata
• ü Akta-akta Notaris termasuk salinannya
• ü Surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep selama nominalnya lebih dan
Rp1.000.000,00.;
• ü Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan, yaitu:
 surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan.
 surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk
tujuan lain atau digunakan oleh orang lain selain dan tujuan semula
 2) Untuk dokumen yang menyatakan nominal uang dengan batasan sbb:
 ü Nominal sampai Rp250.000,- tidak dikenakan Bea Meterai
 ü Nominal diatas Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 6.000,-
 ü Nominal diatas Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 6.000,-
 3) Cek dan Bilyet Giro dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 3.000,- tanpa batas pengenaan
besarnya harga nominal.
 4) Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga nominal sampai dengan
Rp1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 3.000,- sedangkan yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp
1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 6.000,-.
 5) Sekumpulan Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tercantum dalam surat kolektif yang
mempunyai jumlah harga nominal sampai dengan Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 3.000,-,
sedangkan yang mempunyai harga nominal lebih dan Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai dengan tarif
sebesar Rp 6.000,-.
Tarif Pajak (2)

 A. Pengertian Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak


Tarif Pajak adalah dasar pengenaan pajak terhadap objek pajak yang
menjadi tanggungannya. Tarif pajak biasanya berupa persentase (%).
Dasar Pengenaan Pajak adalah Nilai berupa uang yang dijadikan dasar
untuk menghitung pajak yang terutang.
 B. Jenis-jenis Tarif Pajak
Tarif pajak yang besarnya harus dicantumkan dalam undang-undang pajak
merupakan salah satu unsur yang menentukan rasa keadilan dalam
pemungutan pajak. Penentuan besarnya suatu tarif adalah hal yang krusial
dimana kesalahan persepsi dalam penentuannya dapat merugikan berbagai
pihak termasuk Negara. Dalam pemungutan pajak, terdapat beberapa jenis
tarif pajak yang dikenal, antara lain:
1. Tarif Progresif (a progressive tax rate)
2. Tarif Proporsional (a proportional tax rate)
3. Tarif Degresif (a degressive tax rate)
4. Tarif Tetap (a fixed tax rate)
5. Tarif Advalorem
6. Tarif spesifik
7. Tarif Efektif
Tarif Pajak (3)
1. Tarif Progresif
Tarif progresif adalah tarif pemungutan pajak yang persentasenya semakin besar bila jumlah yang
dijadikan dasar pengenaan pajak juga semakin besar. Menurut kenaikan persentase tarifnya, tarif
progresif dapat dibagi menjadi 3, yaitu:

a. Tarif pajak Progresif Progresif


Tarif pajak Progresif Progresif adalah tarif pemungutan pajak dengan persentase yang naik dengan
semakin besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak, dan kenaikan presentase
untuk setiap jumlah tertentu setiap kali naik.
b. Tarif pajak Progresif Proporsional
Tarif pajak Progresif Proporsional adalah tarif pemungutan pajak dengan persentase yang naik dengan
semakin besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak, namun kenaikan
presentase untuk setiap jumlah tertentu tetap.
c. Tarif pajak Progresif Degresif
Tarif pajak Progresif Degresif adalah tarif pemungutan pajak dengan persentase yang naik dengan
semakin besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak, namun kenaikan
presentase untuk setiap jumlah tertentu setiap kali menurun.
Contoh tarif pajak progresif adalah tarif untuk Pajak Penghasilan Orang Pribadi berdasarkan Pasal 17
ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Tabel 7.1 Tarif Pajak Orang Pribadi berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a:
0 Sampai dengan Rp50.000.000,00 tarif 5 %
Di atas Rp50.000.000,00 s.d. Rp250.000.000,00 tarif 15 %
Di atas Rp250.000.000,00 s.d. Rp500.000.000,00 tarif 25 %
Di atas Rp500.000.000,00 tarif 30 %
Dengan demikian, tarif pajak menurut pasal 17 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, pajak penghasilan wajib pajak
orang pribadi dalam negeri tersebut termasuk tarif progresif degresif.
Tari Pajak (4)


2. Tarif Degresif
Tarif degresif merupakan kebalikan dari tarif progresif. Tarif degresif adalah
tarif pemungutan pajak yang persentasenya semakin kecil bila jumlah yang
dijadikan dasar pengenaan pajak semakin besar. Namun, tidak berarti jika
persentasenya semakin kecil kemudian jumlah pajak yang terutang juga
menjadi kecil. Akan tetapi malah bisa menjadi lebih besar karena jumlah yang
dijadikan dasar pengenaan pajaknya juga semakin besar.

Pajak yang terutang


Rp10.000.000,- x 15% = Rp 1.500.000
Rp25.000.000,-x 13% = Rp 3.250.000
Rp50.000.000,-x 11% = Rp 5.500.000
Rp60.000.000,-x 10% = Rp 6.000.000
Jumlah pajak terutang Rp16.250.000
Tarif Pajak (5)

 3. Tarif Proporsional
Tarif proporsional tidak lagi dipengaruhi oleh naik turunnya dasar
objek yang dikenakan pajak, karena tarifnya telah berlaku secara
sebanding. Tarif proporsional adalah tarif pemungutan pajak yang
menggunakan persentase tetap tanpa memerhatikan jumlah yang
dijadikan dasar pengenaan pajak. Semakin besar jumlah yang
dijadikan dasar pengenaan pajak, akan semakin besar pula jumlah
pajak terutang (yang harus dibayar). Tarif ini diterapkan dalam UU
No. 18 Tahun 2000 (UU PPN dan PPnBM) yang menggunakan tarif
proporsional sebesar 10%.

Pajak yang terutang


a. Rp15.000.000,- x 10% =Rp1.500.000,-
b. Rp25.000.000,-x 10% = Rp2.500.000,-
c. Rp40.000.000,-x 10% = Rp4.000.000,-
d. Rp60.000.000,- x 10% =Rp6.000.000,-
Tarif Pajak (6)

 4. Tarif Tetap
Tarif tetap adalah tarif pemungutan pajak yang besar nominalnya tetap tanpa
memerhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Tarif ini
diterapkan dalam UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (BM). Dengan
adanya PP No. 24 Tahun 2000, tarif yang digunakan adalah Bea Meterai
dengan nilai nominal sebesar Rp3.000,00 dan Rp6.000,00.

 5. Tarif Advalorem
Tarif advalorem adalah suatu tarif dengan persentase tertentu yang dikenakan/
ditetapkan pada harga atau nilai suatu barang.
Misalnya PT XZY mengimpor barang jenis „A‟ sebanyak 1500 unit dengan
harga per unit Rp100.000,00. Jika tarif Bea Masuk atas Impor Barang tersebut
20%, maka besarnya Bea Masuk yang harus dibayar adalah:
Nilai Barang Impor = 1500 x Rp100.000 = Rp150.000.000
Tarif Bea Masuk 20%, maka
Bea Masuk yang harus dibayar = 20% x Rp150.000.000 = Rp30.000.000
Tarif Pajak (7)

 6. Tarif Spesifik
Tarif spesifik adalah tarif dengan suatu jumlah tertentu
atas suatu jenis barang tertentu atau suatu satuan jenis
barang tertentu.
Misalnya PT ABC mengimpor barang jenis „Z‟ sebanyak
1500 unit dengan harga per unit Rp100.000. Jika tarif
Bea Masuk atas impor barang Rp10.000 per unit, maka
besarnya Bea Masuk yang harus dibayar adalah:
Jumlah Barang Impor = 1500 unit
Tarif Bea Masuk Rp10.000, maka
Bea Masuk yang harus dibayar = Rp10.000 x 1500
= Rp15.000.000
Tarif Pajak (8)

 7. Tarif Efektif
Tarif efektif adalah tarif dimana jumlah pajak yang
dibayarkan dibandingkan dengan jumlah penghasilan
yang diterima oleh Wajib Pajak.
Contoh: Tuan Andi mempunyai penghasilan kena pajak selama tahun 2008 sebesar
Rp750.000.000. Hitung besarnya pajak yang harus dibayar!
1. Dengan tarif progresif menurut UU No. 17 Tahun 2000
5% x Rp25.000.000 = Rp 1.250.000
10% x Rp25.000.000 = Rp 2.500.000
15% x Rp50.000.000 = Rp 7.500.000
25% x Rp100.000.000 = Rp 25.000.000
35% x Rp550.000.000 = Rp 192.500.000
Jumlah pajak terutang Rp 228.750.000
2. Dengan tarif efektif
228.750.000 x 100% = 30,5%
750.000.000
Jika tarif efektif 30,5% tersebut dikalikan penghasilan kena pajak, maka akan dihasilkan
jumlah pajak yang sama jika digunakan tarif progresif dalam perhitungannya.
Tarif Pajak dan PTKP (1)
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 25/29 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi cfm. Pasal 17 UU
No.7/1983 sttd UU No.36/2008 ttg Pajak Penghasilan
Tarif Pajak PPh Pasal 25/29 Untuk Wajib Pajak OP bersifat progresif yaitu semakin besar
penghasilan akan dikenakan tarif pajak yang lebih besar.

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak


PPh OP
sampai dengan Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta 5%
rupiah) (lima persen)

di atas Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) 15%


sampai dengan Rp250.000.000,00 (dua ratus lima (lima belas persen)
puluh juta rupiah)

di atas Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh 25%


juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (dua puluh lima persen)
(lima ratus juta rupiah)
di atas Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) 30%
(tiga puluh persen)
Tarif Pajak dan PTKP (2)
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 25/29 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi cfm.
Pasal 17 UU No.7/1983 sttd UU No.36/2008 ttg Pajak Penghasilan
Tarif Pajak PPh Pasal 25/29 Untuk Wajib Pajak OP bersifat progresif yaitu
semakin besar penghasilan akan dikenakan tarif pajak yang lebih besar.
Tarif Pajak dan PTKP (3)
Undang-Undang Pajak Penghasilnan Nomor 36 Tahun 2008 menerapkan PTKP terbaru yang mulai berlaku sejak 1
Januari 2009, dan pada tahun 2012 sudah muncul Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.011/2012.
Kemudian disusul di tahun 2015 keluar Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.010/2015.
Jadi selama 7 Tahun saja PTKP sudah diubah sebanyak tiga kali.
Catatan : Tambahan jumlah Anak / Tanggungan maksimal 3 orang

No Uraian Nilai
1 Wajib Pajak (WP) 2,880,000
2 Tambahan WP Kawin 1,440,000
3 Tambahan Anak / Tanggungan 1,440,000
4 + Penghasilan Suami Isteri Digabung 2,880,000
Tarif Pajak dan PTKP (4)
PTKP Tahun 2009 sd Tahun 2012
Dasar tarif PTKP - Undang-Undang - 36 TAHUN 2008. Efektif berlaku tarif PTKP 2009 per tanggal 1 Januari 2009
Catatan : Tambahan jumlah Anak / Tanggungan maksimal 3 orang

N
Uraian
o Nilai
1 Wajib Pajak (WP) 15,840,000
2 Tambahan WP Kawin 1,320,000
3 Tambahan Anak / Tanggungan 1,320,000
4 + Penghasilan Suami Isteri Digabung 15,840,000
Tarif Pajak dan PTKP (5)
 PTKP 2013 cfm PMK No. 162/PMK.03/2012
Dasar tarif PTKP - PMK Nomor 162/PMK.03/2012. Efektif berlaku tarif PTKP 2013 per tanggal 1 Januari 2013
Catatan : Tambahan jumlah Anak / Tanggungan maksimal 3 orang

No Uraian Nilai
1 Wajib Pajak (WP) 24,300,000

2 Tambahan WP Kawin 2,025,000

3 Tambahan Anak / Tanggungan 2,025,000

4 + Penghasilan Suami Isteri Digabung 24,300,000


Tarif Pajak dan PTKP (6)
 PTKP Tahun 2014 cfm PMK PMK Nomor 162/PMK.03/2012
Dasar tarif PTKP 2014 Tidak berubah dari PTKP 2013 per tanggal 1 Januari 2013
Catatan : Tambahan jumlah Anak / Tanggungan maksimal 3 orang

No Uraian Nilai
1 Wajib Pajak (WP) 24,300,000

2 Tambahan WP Kawin 2,025,000

3 Tambahan Anak / Tanggungan 2,025,000

4 + Penghasilan Suami Isteri Digabung 24,300,000


Tarif Pajak dan PTKP (7)
 PTKP Tahun 2015
Dasar tarif PTKP - PMK Nomor 122/PMK.010/2015. Efektif berlaku tarif PTKP 2015 per tanggal 1 Januari 2015
Catatan : Tambahan jumlah Anak / Tanggungan maksimal 3 orang

No Uraian Nilai
1 Wajib Pajak (WP) 36,000,000
2 Tambahan WP Kawin 3,000,000
3 Tambahan Anak / Tanggungan 3,000,000

4 + Penghasilan Suami Isteri Digabung 36,000,000


Tarif Pajak dan PTKP (8)
 PTKP Tahun 2016
Dasar tarif PTKP - PMK Nomor 101/PMK.010/2016
Efektif berlaku tarif PTKP 016 per tanggal 1 Januari 2016
Catatan : Tambahan jumlah Anak / Tanggungan maksimal 3 orang
No Uraian Nilai
1 Wajib Pajak (WP) 54.000.000,-
2 Tambahan WP Kawin 4.500.000,-
3 Tambahan Anak / Tanggungan 4.500.000,-
4 + Penghasilan Suami Isteri Digabung 54.000.000,-
Tarif Pajak dan PTKP (9)
• PTKP Th. 2017
Besaran tarif Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) terbaru Tahun 2017 nilainya adalah masih sama dengan
PTKP 2016 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Republik Indonesia mengenai perubahan nilai
PTKP Nomor : 101/PMK.010/2016 yang telah disahkan pada Tanggal 27 Juni 2016.

No Uraian Nilai
1 Wajib Pajak (WP) 54.000.000,-
2 Tambahan WP Kawin 4.500.000,-
3 Tambahan Anak / Tanggungan 4.500.000,-
4 + Penghasilan Suami Isteri Digabung 54.000.000,-
Sanksi (1)

 Pada hakikatnya, pengenaan sanksi perpajakan diberlakukan untuk


menciptakan kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban
perpajakannya. Dengan kata lain, sanksi perpajakan merupakan alat
pencegah (preventif) agar Wajib Pajak tidak melanggar norma. Itulah
sebabnya, penting bagi Wajib pajak memahami sanksi-sanksi perpajakan
sehingga mengetahui konsekuensi hukum dari apa yang dilakukan ataupun
tidak dilakukan.

Jenis-jenis sanksi perpajakan

Dalam ketentuan perpajakan, dikenal dua macam sanksi pajak: sanksi


administrasi dan sanksi pidana. Perbedaan dari kedua sanksi tersebut
adalah bahwa sanksi pidana berakibat pada hukuman badan seperti
penjara atau kurungan. Pengenaan sanksi pidana dikenakan terhadap
siapapun yang melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. Sedangkan
sanksi administrasi biasanya berupa denda (dalam UU Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan disebut sebagai bunga, denda atau kenaikan)
Sanksi (2)
 A. Sanksi Administrasi
a. Denda
Sanksi denda adalah jenis sanksi yang paling banyak ditemukan dalam UU Perpajakan. Terkait besarannya, denda dapat
ditetapkan sebesar jumlah tertentu, presentasi dari jumlah tertentu, atau suatu angka perkalian dari jumlah tertentu.
Pada sejumlah pelanggaran, sanksi denda ini akan ditambahkan dengan sanksi pidana. Pelanggaran yang dikenai sanksi
pidana ini adalah pelanggaran yang sifatnya alpa atau disengaja.
No Pasal Masalah Sanksi Keterangan
SPT Terlambat disampaikan :
1 7 (1) a. Masa Rp100.000 atau Rp500.000 Per SPT
b. Tahunan Rp100.000 atau Rp 1.000.000 Per SPT
Dari jumlah pajak
2 8 (3) Pembetulan sendiri dan belum disidik (PPh) 150%
yang kurang dibayar
pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai
PKP, tetapi tidak membuat faktur pajak atau
2% Dari DPP PPN
membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat
waktu; (PPN)

3 14 (4) pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai


PKP yang tidak mengisi faktur pajak secara 2% Dari DPP PPN
lengkap (PPN)

PKP melaporkan faktur pajak tidak sesuai


2% Dari DPP PPN
dengan masa penerbitan faktur pajak
Sanksi (3)
b. Bunga
Sanksi administrasi berupa bunga dikenakan atas pelanggaran yang menyebabkan utang pajak menjadi lebih
besar. Jumlah bunga dihitung berdasarkan persentase tertentu dari suatu jumlah, mulai dari saat bunga itu
menjadi hak/kewajiban sampai dengan saat diterima dibayarkan..
Besarnya bunga akan dihitung secara tetap dari pokok pajak yang tidak/kurang dibayar. Tetapi, dalam hal Waiib
Paiak hanya membayar sebagian atau tidak membayar sanksi bunga yang terdapat dalam surat ketetapan pajak
yang telah diterbitkan, maka sanksi bunga tersebut dapat ditagih kembali dengan disertai bunga lagi
No Pasal Masalah Sanksi Keterangan

Per bulan, dari jumlah pajak


1. 8 (2 dan 2a) Pembetulan SPT Masa dan Tahunan 2%
yang kurang dibayar

Per bulan, dari jumlah pajak


2. 9 (2a dan 2b) Keterlambatan pembayaran pajak masa dan tahunan 2%
terutang

Per bulan, dari jumlah kurang


3. 13 (2) Kekurangan pembayaran pajak dalam SKPKB 2%
dibayar, max 24 bulan

SKPKB diterbitkan setelah lewat waktu 5 tahun karena


Dari jumlah paak yang tidak
4. 13 (5) adanya tindak pidana perpajakan maupun tindak pidana 48%
mau atau kurang dibayar.
lainnya
Sanksi (3a)
No Pasal Masalah Sanksi Keterangan

Per bulan, dari jumlah pajak


a. PPh tahun berjalan tidak/kurang bayar 2% tidak/ kurang dibayar, max 24
bulan
14 (3)
Per bulan, dari jumlah pajak
5. b. SPT kurang bayar 2% tidak/ kurang dibayar, max 24
bulan

Per bulan, dari jumlah pajak


PKP yang gagal berproduksi dan telah diberikan
14 (5) 2% tidak/ kurang dibayar, max 24
pengembalian Pajak Masukan
bulan

SKPKBT diterbitkan setelah lewat waktu 5 tahun karena


Dari jumlah pajak yang tidak
6. 15 (4) adanya tindak pidana perpajakan maupun tindak pidana 48%
atau kurang dibayar
lainnya

SKPKB/T, SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Per bulan, atas jumlah pajak


7. 19 (1) Banding yang menyebabkan kurang bayar terlambat 2% yang tidak atau kurang
dibayar dibayar

Per bulan, bagian dari bulan


8. 19 (2) Mengangsur atau menunda 2%
dihitung penuh 1 bulan
Sanksi (4)
• c. Kenaikan
Jika melihat bentuknya, bisa jadi sanksi administrasi berupa kenaikan adalah sanksi yang paling
ditakuti oleh wajib Pajak. Hal ini karena bila dikenakan sanksi tersebut, jumlah pajak yang harus
dibayar bisa menjadi berlipat ganda. Sanksi berupa kenaikan pada dasarnya dihitung dengan
angka persentase tertentu dari jumlah pajak yang tidak kurang dibayar.

Pasal Masalah Sanksi Keterangan

Pengungkapan ketidak benaran SPT sebelum Dari pajak yang kurang


8 (5) 50%
terbitnya SKP dibayar

Apabila: SPT tidak disampaikan sebagaimana disebut


dalam surat teguran, PPN/PPnBM yang tidak
seharusnya dikompensasikan atau tidak tarif 0%, tidak
terpenuhinya Pasal 28 dan 29

Dari PPh yang tidak/


13 (3) a. PPh yang tidak atau kurang dibayar 50%
kurang dibayar

Dari PPh yang tidak/


b. tidak/kurang dipotong/ dipungut/ disetorkan 100%
kurang dipotong/ dipungut

Dari PPN/ PPnBM yang


c. PPN/PPnBM tidak atau kurang dibayar 100%
tidak atau kurang dibayar

Dari jumlah kekurangan


15 (2) Kekurangan pajak pada SKPKBT 100%
pajak tersebut
Sanksi (5)

 B. Sanksi Pidana
Menurut ketentuan dalam undang-undang perpajakan, ada 3 macam sanksi pidana, yaitu: denda
pidana, kurungan, dan penjara.

a. Denda pidana
Sanksi berupa denda pidana dikenakan kepada Wajib Pajak dan diancamkan juga kepada pejabat
pajak atau pihak ketiga yang melanggar norma. Denda pidana dikenakan kepada tindak pidana
yang bersifat pelanggaran maupun bersifat kejahatan.

b. Pidana kurungan
Pidana kurungan hanya diancamkan kepada tindak pidana yang bersifat pelanggaran. Dapat
ditujukan kepada Wajib Pajak, dan pihak ketiga. Karena pidana kurungan diancamkan kepada si
pelanggar norma itu ketentuannya sama dengan yang diancamkan dengan denda pidana, maka
masalahnya hanya ketentuan mengenai denda pidana sekian itu diganti dengan pidana kurungan
selama-lamanya sekian.

c. Pidana penjara
Pidana penjara seperti halnya pidana kurungan, merupakan hukuman perampasan kemerdekaan.
Pidana penjara diancamkan terhadap kejahatan. Ancaman pidana penjara tidak ada yang
ditujukan kepada pihak ketiga, adanya kepada pejabat dan kepada Wajib Pajak.
Sanksi (6)
 Yang dikenakan Sanksi Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yaitu :
 a. Setiap orang yang karena kealpaannya :
 tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT); atau
 menyampaikan SPT, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar,
 sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau
denda paling tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

b. Setiap orang yang dengan sengaja :


 tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan, atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak (PKP); atau
 tidak menyampaikan SPT; atau menyampaikan SPT dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; atau
 menolak untuk dilakukan pemeriksaan; atau
 memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; atau
 tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen
lainnya; atau
 tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut,
 sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, di pidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan
denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

c. Apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak
selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan, dikenakan pidana 2 (dua) kali lipat dari ancaman pidana yang diatur
sebagaimana butir b.

d. Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa
hak NPWP atau Pengukuhan PKP, atau menyampaikan SPT dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak
lengkap dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohon dan atau
kompensasi yang dilakukan oleh Wajib Pajak.
Sanksi tindak pidana berlaku juga bagi wakil, kuasa, atau pegawai dari Wajib Pajak, yang menyuruh melakukan, yang turut serta
melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Sanksi (7)
 Daluwarsa Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan
Tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat dituntut setelah lampau waktu sepuluh tahun sejak saat terutangnya
pajak, berakhirnya Masa Pajak, berakhirnya Bagian Tahun Pajak, atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.

Delik Aduan dan Sanksinya


Setiap pejabat baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan, dilarang mengungkapkan
kerahasiaan WP yang menyangkut masalah perpajakan. (Psl.34 KUP)
Pelanggaran atas larangan mengungkapkan kerahasiaan WP tersebut dapat diancam sanksi pidana sebagai berikut:

a. Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal kerahasiaan Wajib Pajak, dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah).

b. Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya
kewajiban pejabat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah).

Keterlibatan dan Sanksi bagi Pihak ketiga


- Setiap orang yang menurut ketentuan wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta tetapi dengan sengaja tidak
memberi keterangan atau bukti; atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

- Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana perpajakan, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

Ketentuan ini berlaku juga bagi yang menyuruh melakukan, yang menganjurkan atau membantu melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan.
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai