Disusun Oleh:
Nim: 220902502012
Kelas: A
PENDIDIKAN AKUNTANSI
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-
Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik,lancar,dan tepat
waktu. Makalah ini dibuat sebagai salah satu tugas akademik yang harus diselesaikan
oleh penulis dalam menyelesaikan pendidikan di tingkat yang lebih tinggi.
Selain itu, kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Fajriani Azis, S.Pd.,
M.Si,. selaku dosen mata kuliah Perpajakan 1 yang telah memberi kesempatan dan
kepercayaannya kepada kami untuk membuat dan menyelesaikan makalah ini.
Sehingga kami memperoleh banyak ilmu, informasi dan pengetahuan selama kami
membuat dan menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa kepada seluruh rekan kami yang
membantu penyelesaian makalah ini baik berupa bantuan moril maupun materil.
Setelah itu kami berharap semoga makalah ini berguna bagi pembaca
meskipun terdapat banyak kekurangsempurnaan didalamnya. Akhir kata kami meminta
maaf sebesar-besarnya kepada pihak pembaca maupun pengoreksi jika terdapat
kesalahan dalam penulisan, penyusunan maupun kesalahan lain yang tidak berkenan
dihati pembaca maupun pengoreksi, karena hingga saat ini kami masih dalam proses
belajar. Oleh karena itu kami memohon kritik dan sarannya demi kemajuaan bersama.
Makassar, 26 November 2023
A. Pendahuluan
Pajak Penghasilan adalah Pajak yang dikenakan terhadap orang pribadi atau
perseorangan dan badan, berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau
diperolehnya selama satu tahun pajak.
Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pajak Penghasilan (PPh) berlaku
sejak 1 Januari 1984. Undang-undang ini telah beberapa kali mengalami
perubahan dan terakhir kali diubah dengan Undang -Undang
Nomor 36 Tahun 2008.
Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh) mengatur pengenaan Pajak
Penghasilan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima
atau diperolehnya dalam Tahun Pajak. Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila
menerima atau memperoleh penghasilan. Subjek pajak yang menerima atau
memperoleh penghasilan dalam Undang-undang PPh disebut Wajib Pajak.
Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila
telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi
Penghasilan Tidak Kena Pajak. Subjek pajak badan dalam negeri menjadi
wajib pajak sejak saat didirikan, atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Subjek pajak luar negeri baik orang pribadi maupun badan sekaligus
menjadi wajib pajak karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan
yang bersumber dari Indonesia atau yang melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia. Dengan perkataan lain, wajib pajak adalah orang pribadi atau
badan yang yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif.
Adapun perbedaan Wajib Pajak Dalam Negeri dan Wajib Pajak Luar
Negeri, antara lain:
Sedangkan untuk wajib pajak orang pribadi dihitung dari penghasilan netto –
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
2. John (warga negara asing) bekerja di Indonesia pada tanggal 1 maret 2018
dengan kontrak kerja selama 2 tahun. John sudah menikah dan mempunyai
3 anak. PTKP John adalah:
PTKP setahun:
H. Tarif Pajak
1. Wajib pajak orang pribadi dalam negeri:
Tarif pajak yang diterapkan atas penghasilan kena pajak bagi wajib pajak
orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut:
Lapisan penghasilan kena pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp.50.000.000,00 5%
Di atas Rp 50.000.000 sampai dengan Rp
15%
250.000.000,00
Diatas 250.000.000 sampai dengan Rp. 500.000.000,00 25%
Diatas Rp. 500.000.000,00 30%
2. Wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap:
Sementara itu, tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak
bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah
sebesar 28%. Tarif pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk
usaha tetap, mulai berlaku sejak Tahun Pajak 2010, diturunkan menjadi
25%.
Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka
yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan
saham yang disetor diperdagangan dibursa efek di Indonesia dan
memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5%
(lima persen) lebih rendah dari pada tarif yang berlaku.
Wajib pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai
dengan Rp 50.000.000.000,00 mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif
sebesar 50% yang dikenakan atas penghasilan kena pajak dari bagian
peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00.
L. Contoh Kasus
Tuan Agus mengantongi omzet sebesar Rp700.000.000 per tahun. Kemudian
ternyata istrinya memiliki usaha salon dengan omzet Rp500.000.000 per tahun.
Keduanya belum memiliki anak. Maka perhitungan PPh finalnya sebagai berikut:
Jika Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) digabung:
Omzet suami Rp 700.000.000
Omzet istri Rp 500.000.000
Total omzet gabungan Rp 1.200.000.000
Pajak penghasilan suami dan istri = 0,5% x Rp 1.200.000.000= Rp
6.000.000
Kalau dihitung per bulan, maka PPh-nya= Rp 6.000.000/12= Rp 500.000
Jika NPWP terpisah atau membayar pajak Masing-masing:
Omzet suami Rp 700.000.000:
PPh-nya = 0,5% x Rp 700.000.000 = Rp3.500.000 (setahun).
Karena ada kewajiban pembayaran setiap bulan, maka beban PPh
per bulan Rp 3.500.000 : 12 = Rp 291.666,67 atau dibulatkan Rp
291.670.
Omzet istri Rp 500.000.000:
PPh-nya = 0,5% x Rp 500.000.000 = Rp 2.500.000 (setahun)
PPh per bulan Rp 1.000.000/12 = Rp 208.333,33 atau dibulatkan Rp
208.335 per bulan.
PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 (PPh 21)
A. Pengertian
PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium,
tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun
sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan
oleh pribadi. Subjek pajak dalam negeri, sebagaimana dimaksud dalam pasal 21
Undang-undang Pajak Penghasilan.
Subjek Pajak PPh Pasal 21 (Wajib Pajak PPh Pasal 21) Wajib pajak yang
dipotong PPh pasal 21 adalah orang pribadi yang merupakan:
1. Pengawai, karyawan atau karyawati tetap adalah orang pribadi yang
bekerja pada pemberi kerja dan atas jasanya itu ia memperoleh gaji dalam
jumlah tertentu secara berkala.
2. Pengawai, karyawan atau karyawati lepas adalah orang pribadi yang
berkeja untuk pemberi kerja dan hanya menerima upah jika ia bekerja.
3. Penerima honorarium adalah orang pribadi atau sekelompok orang pribadi
yang me2mberikan jasanya, dan atas jasanya ia memperoleh imbalan
tertentu sesuai dengan jasa yang diberikan.
4. Penerima upah adalah orang pribadi yang atas jasanya ia memperoleh
upah, seperti upah harian, upah borongan, upah satuan dll.
Pengurangan:
Biaya Jabatan
5% x Rp 52.480.000 Rp 2.624.000
Iuran Pensiun
12 x Rp 100.000 Rp 1.200.000
(Rp 3.824.000)
Rp 48. 656.000
No Objek Pemungut
Pembelian Barang oleh Pihak yang membayar / membeli:
Bendaharawan Pemerintah dan Bendaharawan pemerintah
1.
DJA (Direktorat Jenderal DJA
Anggaran)
Pembelian barang oleh BUMN/D
2. BUMN/BUMD yang bersumber dari
dana APBN dan atau APBD
Pembelian barang oleh badan Badan tertentu
3. tertentu yang bersumber dari dana
APBN maupun non APBN
Impor Barang : Direktorat Jenderal Bea dan
- Dilakukan oleh importer yang Cukai (DJBC)
memiliki API Bank Devisa
4.
- Dilakukan oleh importer yang
tidak memiliki API
Yang tidak dikuasai ( lelang)
Pembelian bahan untuk industri Industri tertentu yang bergerak di
5. tertentu atau eksportir dari bidang pertanian, perkebunan dan
pedagang pengumpul. perikanan.
Penjualan bahan bakar minyak, Produsen atau importer bahan bakar
6.
gas, dan pelumas. minyak, gas, dan pelumas.
Penjualan barang yang tergolong Wajib Pajak Badan yang melakukan
7.
mewah. penjualan tersebut.
Penjualan hasil industry tertentu : Industry tertentu yang menjual.
- Kertas
- Baja
8. - Otomotif
- Semen
- Rokok
G. Sifat Pemungutan
Pada dasarnya pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 bersifat tidak final
dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pajak Penghasilan dalam tahun
berjalan bagi Wajib Pajak yang dipungut. Khusus untuk pemungutan Pajak
Penghasilan Pasal 22 atas penjualan bahan bakar minyak dan bahan bakar gas
kepada penyalur/agen, bersifat final. Besarnya PPh Pasal 22 yang diterapkan
terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi
100% (seratus persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang
dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Catatan :
Yang dimaksud dengan nilai impor adalah nilai berupa uang yang
digunakan sebagai dasar perhitungan bea masuk. Nilai impor dihitung
sebesar Cost Insurance Freight (CIF) +Bea Masuk+ Pungutan pabean
lainnya.
Atas pembelian barang yang dananya dari belanja Negara atau belanja
daerah dikenakan pemungutan PPh Pasal 22 sebesar 1,5% dari harga
pembelian.
Pembayaran yang dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 adalah:
Pembayaran atas penyerahan barang (bukan merupakan jumlah yang
dipecah-pecah) yang meliputi jumlah kurang dari Rp 1.000.000,00.
Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak,listrik,gas,air
minum/PDAM, dan benda-benda pos.
Pembayaran/ pencairan dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) oleh
kantor Perbendaharaan dan Kas Negara.
Besarnya PPh Pasal 22 yang wajib dipungut oleh industri rokok pada saat
penjualan rokok di dalam negeri adalah 0,15% dari harga bandrol (pita
cukai), dan bersifat final.
5. Cara menghitung PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi industri kertas
didalam negeri
Besarnya PPh Pasal 22 yang wajib dipungut oleh industri kertas pada saat
penjualan kertas di dalam negeri adalah 0,1% dari Dasar Pengenaan Pajak
(DPP) Pajak Pertambahan Nilai.
PPh Pasal 22 = 0,1% x DPP PPN
Besarnya PPh Pasal 22 yang wajib dipungut oleh industri semen pada
saat penjualan semen di dalam negeri adalah 0,25% dari Dasar Pengenaan
Pajak (DPP) Pajak Pertambahan Nilai.
PPh Pasal 22= 0,25% x DPP PPN
7. Cara menghitung PPh pasal 22 atas penjualan hasil produksi industri baja
di dalam negeri
Besarnya PPh Pasal 22 yang wajib dipungut oleh industry baja pada
saat penjualan hasil produksinya di dalam negeri adalah 0.3% dari Dasar
Pengenaan Pajak (DPP) Pajak Pertambahan Nilai
8. Cara menghitung PPh Pasal 22 yang dipungut oleh pertamina dan Badan
Usaha selain pertamina
Besarnya PPh Pasal 22 yang wajib dipungut oleh Pertamina dan badan
usaha lainnya yang bergerak dibidang bahan bakar minyak jenis premix,
super TT dan gas atas penjualan hasil produksinya adalah sbb:
1. Atas penebusan premium, solar, premix/super TT oleh SPBU
swastanisasi adalah 0,3% dari penjualan
3. Atas penjualan minyak tanah, gas LPG, dan pelumas adalah 0,3% dari
penjualan.
I. Contoh Kasus
PT Jayadi Maju melakukan penjualan lemari arsip kepada Departemen Dalam Negri
senilai Rp 220 juta. Pembayaran dilakukan oleh Bendaharawan Depdagri. Dalam kontrak
penjualan dengan pemerintah yang didanai dari APBN/APBD, biasanya harga jual sudah
termasuk Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10%..
Diminta : Hitunglah PPh Pasal 22 PT Jayadi Maju
Jawab :
- Dasar Pengenaan PPh Pasal 22: (100/110 x Rp 220 juta)=
Rp200.000.000,00.
- PPh Pasal 22 yang dipungut Bendaharawan Pemerintah dari transaksi
pembayaran: Rp 200.000.000,00 x 1,5%= Rp 3.000.000,00
PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 (PPh 23)
A. Pengertian
Pajak Penghasilan Pasal 23 merupakan Pajak Penghasilan yang dipotong atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk
Usaha Tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan
kegiatan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21, yang dibayarkan
atau terutang oleh badan pemerintah atau subjek pajak dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha Tetap atau perwakilan perusahaan luar
negeri lainnya.
F. Tarif Pemotongan
Besarnya PPh Pasal 23 yang dipotong adalah:
1. Sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto diatas:
a. Dividen
b. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan
dengan jaminan pengembalian utang.
c. Royalty
d. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah
dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21.
Contoh 2:
Pada tanggal 10 May 2010, PT. Sukses Gagalnya, membagikan dividen masing-
masing Rp 10,000,000 kepada 20 pemegang sahamnya. Atas dividen yang
dibagikan, PT. Sukses Gagalnya wajib memungut PPh Pasal 23.
PPh pasal 23 yang harus dipotong PT. Sukses Gagalnya adalah :
=>15% x Rp10.000.000,- = Rp 150.000,-
=>20 x Rp150.000,- = Rp3.000.000,-
Saat terutang : akhir bulan dilakukan pembayaran yaitu pada tanggal 31 Mei 2010
Saat Penyetoran: paling lambat 10 Juni 2010
Saat Pelaporan : paling lambat 20 Juni 2010
PAJAK PENGHASILAN PASAL 24 (PPh 24)
A. Pendahuluan
Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
dengan perubahan terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36
Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, Pasal 24 ayat (1), PPh pasal 24 adalah
pajak yang dibayarkan atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar
negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri boleh dikreditkan
terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-Undang ini dalam tahun pajak
yang sama.
Pajak penghasilan pasal 24 atau kredit pajak luar negeri, merupakan
perhitungan berapa besar jumlah pajak yang sudah dibayar atas penghasilan diluar
negeri dan pajak tersebut dapat dikreditkan atau dikurangkan dari penghasilan
yang ada didalam negeri sehingga menghindari pengenaan pajak berganda.
C. Penggabungan Penghasilan
Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan sebagai
berikut:
1. Penggabungan penghasilan dari usaha dilakukan dalam Tahun Pajak
diperolehnya penghasilan tersebut (accrual basis).
2. Penggabungan penghasilan lainnya dilakukan dalam Tahun Pajak
diterimanya penghasilan tersebut (cash basis).
3. Penggabungan penghasilan yang berupa dividen (Pasal 18 Ayat 2 UU PPh)
dilakukan dalam tahun pajak pada saat perolehan dividen tersebut
ditetapkan sesuai dengan keputusan menteri keuangan.
Jadi, pajak penghasilan dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak yang dihitung
berdasarkan seluruh penghasilan yang diterima dan diperoleh oleh Wajib Pajak,
baik penghasilan tersebut berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Dalam menghitung Pajak Penghasilan, maka seluruh penghasilan tersebut
digabungkan dalam tahun pajak di peroleh atau diterimanya penghasilan, atau
dalam tahun pajak.
Dalam perhitungan kredit pajak atas penghasilan yang dibayar atau terhutang
diluar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terhutang menurut
undang-undang, penentuan sumber pengasilan jadi sangat penting. Selanjutnya,
ketentuan ini mengatur tentang penentuan sumber penghasilan untuk
memperhitungkan kredit pajak luar negeri tersebut. Mengingat undang-undang ini
menganut pengertian yang sangat luas, maka sesuai ketentuan penentuan sumber
dari penghasilan. Misalnya A sebagai wajib pajak dalam negeri memiliki rumah di
singapura dan dalam tahun 2008 rumah tersebut dijual. Keuntungan dari penjualan
rumah tersebut merupakan penghasila yang bersumber di singapura karena rumah
tersebut terletak di singapura.
Apabila terjadi perubahan besarnya penghasilan yang berasal dari luar negeri,
wajib pajak harus melakukan pembetulan SPT untuk tahun pajak yang bersangkutan
dengan melampirkan dikumen yang berkenaan dengan perubahan tersebut.
1. Jika karena perubahan tersebut, menyebabkan adanya tambahan penghasilan
yang mengakibatkan pajak yang terutang atas penghasilan luar negeri menjadi
lebih besar daripada yang dilaporkan dalam SPT tahunan, sehingga pajak yang
terutang di Luar Negeri menjadi kurang bayar, maka terdapat kemungkinan
pajak penghasilan di Indonesia juga kurang bayar. Sesuai dengan UU No. 28
tahun 2007 tentang ketentuan Umum dan tatacara perpajakan, apabila WP
membetulkan sendiri SPT yang mengakibatkan pajak yang terutang menjadi
lebih besar, maka kepadanya dikenakan bunga sebesar 2% sebulan atas
jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian SPT
terakhir sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan SPT tersebut.
2. Apabila karena pembetulan SPT tersebut, menyebabkan penghasilan dan
pajak atas penghasilan yang terutang di luar negeri menjadi lebih kecil daripada
yang dilaporkan dalam SPT tahunan, sehingga pajak di luar negeri lebih di
bayar, yang akan mengakibatkan pajak penghasilan yang terutang di Indonesia
menjadi lebih kecil, sehingga pajak penghasilan menjadi lebih dibayar. Atas
kelebihan bayar pajak tersebut dapat dikembalikan kepada wajib pajak setelah
diperhitungkan dengan utang pajak lainnya.
I. Contoh Kasus
PT Cemara memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2018 sebagai berikut:
1. Penghasilan dari luar negeri Rp 5.000.000.000 dengan tarif pajak sebesar
40%.
2. Penghasilan usaha di Indonesia Rp 4.000.000.000.
Maka,jumlah penghasilan neto adalah:
Rp 5.000.000.000 + Rp 4.000.000.000 = Rp 9.000.000.000.
Batas maksimum kredit pajak diambil yang terendah dari 3 unsur/perhitungan
berikut:
1. PPh terutang atau dibayar diluar negeri adalah:
40% x Rp 5.000.000.000 = Rp 2.000.000.000
2. (Rp 5.000.000.000 : Rp 9.000.000.000) x Rp 2.250.000.000 = Rp
1.250.000.000
3. PPh terutang (menurut tarif pasal 17) = Rp 9.000.000.000 x 25% = Rp
2.250.000.000
Dengan demikian kredit pajak yang diperkenankan adalah pada poin 2 sebesar Rp
1.250.000.000.
PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 (PPh 25)
A. Pendahuluan
Ketentuan Pasal 25 Undang – undang pajak penghasilan mengatur tentang
penghitungan besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri oleh wajib
pajak dalam tahun berjalan.
Pajak penghasilan pasal 25 adalah angsuran pajak penghasilan yang harus
dibayar sendiri oleh wajib pajak untuk setiap bulan dalam tahun pajak berjalan.
Angsuran pajak penghasilan 25 tersebut dapat dijadikan sebagai kredit pajak
terhadap pajak yang terutang atas seluruh penghasilan wajib pajak pada akhir
tahun pajak yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahun Pajak
Penghasilan.
2. Apabila dalam tahun berjalan, diterbitkan SKP untuk tahun pajak yang lalu
Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak
untuk tahun pajak yang lalu maka, angsuran pajak dihitung kembali
berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut dan berlaku mulai bulan
berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak.
Contohnya:
Berdasarkan surat pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun
Pajak 2018 yang disampaikan Wajib Pajak dalam bulan Maret 2019,
perhitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar adalah sebesar
Rp1.250.000,00. Dalam bulan Juli 2019, diterbitkan Surat Ketetapan Pajak
Tahun Pajak 2018 yang menghasilkan besarnya angsuran pajak setiap
bulan sebesar Rp2.000.000,00. Berdasarkan ketentuan yang berlaku,
besarnya angsuran pajak mulai bulan Agustus 2019 adalah sebesar
Rp2.000.000,00. Penetapan besarnya angsuran pajak berdasarkan Surat
Ketetapan Pajak tersebut bisa sama, lebih besar atau lebih kecil dari
angsuran pajak sebelumnya berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan.
3. Wajib pajak lainnya dan wajib pajak Masuk Bursa Selain Wajib Pajak Bank
Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat
laporan keuangan berkala yang selanjutnya disebut Wajib Pajak Lainnya
adalah Wajib Pajak yang melaksanakan kegiatan di sektor perasuransian,
dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya
sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dasar untuk penghitungan Angsuran PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak lainnya
dan Wajib Pajak masuk bursa selain bank adalah laporan keuangan yang
disampaikan setiap 3 (tiga) bulan kepada bursa dan/atau Otoritas Jasa
Keuangan yang terdiri dari laporan posisi keuangan dan laporan laba rugi
sejak awal Tahun Pajak sampai dengan periode yang dilaporkan. Angsuran
PPh Pasal 25 dihitung berdasarkan penerapan tarif Pasal 17 Undang-
Undang PPh atas penghasilan neto berdasarkan laporan keuangan
triwulanan dikurangi dengan:
a. PPh Pasal 22 dan Pasal 23 yang dipotong dan/atau dipungut sejak
awal Tahun Pajak sampai dengan Masa Pajak
periode yang dilaporkan.
b. PPh Pasal 25 yang seharusnya dibayar sejak awal Tahun Pajak
sampai dengan Masa Pajak periode yang dilaporkan.
6. Angsuran PPh Pasal 25 untuk wajib pajak dalam rangka pemekaran usaha
Jumlah Angsuran PPh Pasal 25 untuk seluruh Wajib Pajak hasil
pemekaran usaha ditetapkan sebesar Angsuran PPh Pasal 25 sebelum
pemekaran usaha. Angsuran PPh Pasal 25 untuk masing-masing Wajib
Pajak hasil pemekaran usaha dihitung berdasarkan persentase nilai harta
yang dialihkan.
F. Contoh Kasus
PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 (PPh 26)
A. Dasar Hukum
Undang-undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008.
D. Pengecualian
Wajib pajak luar negeri yang dikecualikan dari Subyek Pajak PPh pasal 26 ini
adalah:
1. BUT dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 26 apabila Penghasilan
Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari BUT ditanamkan
kembali di Indonesia dengan syarat :
a. Dilakukan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang
didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau
peserta pendiri, dan;
b. Dilakukan dalam tahun berjalan atau selambat-lambatnya tahun
pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperoleh
penghasilan tersebut.
c. Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut
sekurang-kurangnya dalam waktu 2 (dua) tahun sesudah
perusahaan tempat penanaman dilakukan, mulai berproduksi
komersil.
2. Badan-badan Internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
E. Tarif Pajak Dan Penerapannya
Besarnya tarif PPh Pasal 26 dibedakan atas kelompok objek PPh Pasal 26 seperti
berikut:
1. Atas penghasilan yang berupa:
a. Dividen
b. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan
dengan jaminan pengembalian utang.
c. Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta;
d. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e. Hadiah dan penghargaan
f. Pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
g. Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya.
h. Keuntungan karena pembebasan utang.
Dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan, disediakan
untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya dipotong pajak
sebesar 20% dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan.
PPh Pasal 26=Penghasilan bruto ×20 %
2. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto berupa:
a. Penghasilan dari penjualan harta diIndonesia.
b. Premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar
negeri.
Dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto.
PPh Pasal 26=( Penghasilan Bruto × Perkiraan penghasilan Neto ) ×20 %
Besarnya perkiraaan neto untuk penjualan harta adalah 25% dari harga
jual.
3. Atas penghasilan yang berupa penjualan atau pengalihan saham dipotong
PPh Pasal 26 sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto.
4. 20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di
Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.
F. Contoh Kasus
Mike adalah karyawan asing pada perusahaan PT Dira Consult. Mike bertempat tinggal
kurang dari 183 hari. Mike sudah beristri, dan mempunyai seorang anak. Dalam bulan April
2009, Mike memperoleh gaji US$ 5,000 sebulan. Kurs yang berlaku Rp. 10.500,00 per US$
1.
Perhitungan PPh pasal 26 :
Penghasilan bruto berupa gaji sebulan :
5,000 x Rp. 10.500,00 = Rp. 52.500.000,00
Penerapan tarif :
20% x Rp. 52.500.000,00 = Rp. 10.500.000,00
PPh pasal 26 atas gaji Mike bulan April 2009 adalah Rp. 10.500.000,00
PBB, PPnBM dan BEA MATERAI
Contoh Kasus
Wajib pajak A mempunyai sebidang tanah dan bangunan yang NJOP-nya
Rp 20.000.000 dan NJOPTKP untuk daerah tersebut Rp 12.000.000. Maka
besarnya pajak yang terutang adalah:
= 0,5% x 20% x (Rp 20.000.000 – Rp 12.000.000)
= Rp 8.000
B. Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM)
Pengertian Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah) ialah pajak yang
dibebankan kepada produsen barang mewah atas kegiatan produksi atau
impor barang tersebut. PPnBM biasanya dimasukkan ke dalam harga jual
produk dan dibayarkan oleh konsumen atas transaksi pembelian produk.
Dapat dikatakan bahwa PPnBM adalah pungutan wajib yang diserahkan
kepada pemerintah atas transaksi pertama barang mewah. Artinya,
penjualan barang bekas produk mewah tidak mengharuskan pihak terkait
melakukan pembayaran PPnBM. PPnBM yang dibayarkan oleh PKP saat
membeli barang mewah tersebut menjadi Pajak Masukan bagi pembeli.
Karakteristik dan Dasar Pengenaan PPnBM
Berbeda dengan PPN, berikut ini karakteristik yang dimiliki oleh PPnBM,
seperti:
1. PPnBM adalah pungutan tambahan yang dikenakan pada barang
mewah di samping pengenaan PPN.
2. PPnBM hanya dikenakan satu kali, yaitu pada saat
impor/penyerahan BKP yang tergolong mewah yang dilakukan
pabrikan yang menghasilkan BKP yang tergolong mewah.
3. Tidak dapat dikreditkan, untuk dapat mewujudkan tujuan pemberian
beban pajak tambahan.
4. Apabila BKP mewah diekspor, maka PPnBM yang dibayar berkaitan
dengan perolehan BKP mewah yang berhubungan langsung dengan
BKP, dapat diminta kembali.
Sebelum mengetahui cara menhitung PPnBM, dasar pengenaan
PPnBM yang meliputi:
a. Harga jual produk (termasuk biaya tambahan yang dikenakan oleh
penjual).
b. Nilai impor (cukai impor, uang dari biaya masuk serta pungutan
lainnya).
c. Nilai eskpor (semua biaya yang dibebankan oleh eksportir).
d. Biaya penggantian (termasuk biaya penyerahan, ekspor jasa kena
pajak dan barang kena pajak).
Mekanisme pengenaan PPnBM sedikit berbeda dengan PPN.
Mekanisme pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dilakukan
dengan faktur pajak sebagaimana diisyaratkan dalam pemungutan PPN.
Hanya saja, bagi PPnBM tidak dikenal istilah pajak masukan, sehingga
tidak dikenal sistem pengkreditan seperti dalam PPN.
Jenis Barang Mewah PPnBM
Sesuai UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) atau UU PPN,
barang yang termasuk contoh PPnBM meliputi barang-barang berikut:
1. Barang selain kebutuhan pokok masyarakat.
2. Barang yang dikonsumsi masyarakat kalangan atas atau
berpenghasilan tinggi.
3. Barang yang secara eksklusif dikonsumsi masyarakat tertentu.
4. Barang yang konsumsinya menunjukkan kelas social.
Tarif PPnBM
Tarif PPnBM menurut Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (PPnBM). Pengenaan tarif PPnBM paling rendah adalah 10% dan
maksimum 20%.
Adanya perbedaan pengenaan tarif PPnBM didasarkan atas klasifikasi
barang tergolong mewah yang terkena PPnBM Berdasarkan konsultasi
dengan DPR Namun guna memacu transaksi ekspor produk dalam negeri,
PPnBM bisa bernilai 0% bila produsen mengekspor barang mewah
tersebut.
Selain itu, tarif PPnBM mobil dan barang mewah lainnya diberlakukan
dengan cara mengalikan nilai dasar pengenaan pajak terhadap besaran
tarif PPnBM. Tarif yang dibebankan pada Pajak Penjualan atas Barang
Mewah tentu jauh lebih besar dibanding tarif PPN Hal ini mengingat PPnBM
memang ditujukan untuk pengendalian konsumsi barang yang tergolong
mewah. Selain itu, penerapan PPnBM juga merupakan upaya pemerintah
untuk memberikan perlindungan terhadap produsen kecil dan tradisional.
Tarif PPnBM berbeda-beda tergantung jenis barangnya alias tarif
PPnBM bersifat progresif. Besarnya persentase PPnBM yang harus
dibayarkan bahkan mengalami kenaikan yang cukup signifikan.
Dalam Pasal 8 UU No. 18 Tahun 2000, rentang tarif PPnBM adalah 10%
hingga 75%. Kemudian, pada 8 UU No. 42 Tahun 2009, tarif PPnBM paling
tinggi adalah mencapai 200%. Meski demikian, untuk kegiatan konsumsi
barang mewah di luar daerah pabean dikenai tarif 0%. Tarif 0% dikenakan
pula pada barang mewah yang diekspor. Wajib pajak bahkan dapat
meminta kembali pembayaran pajak atas barang mewah yang diekspor
atau restitusi pajak apabila PPnBM terlanjur dibayar.
Contoh kasus PPnBM
Berikut adalah contoh cara menghitung PPnBM untuk barang mewah:
Pak Dani mengimpor BKP (Barang Kena Pajak) mewah dengan nilai
impor senilai Rp7.000.000. Sedangkan tarif PPnBM yang dikenakan
misalnya 15%. Sehingga diketahui apabila dasar pengenaan PPnBM
adalah Rp7.000.000 dengan tarif PPN 10%, maka:
PPN = Tarif PPN x Dasar Pengenaan Pajak
PPN = 10% x Rp7.000.000
PPN = Rp700.000
Prof. Dr. Mardiasmo, M. A. (2019). PERPAJAKAN EDISI 2019. Yogyakarta: Penerbit ANDI.