Anda di halaman 1dari 64

MAKALAH PERPAJAKAN

Disusun Oleh:

Nama: Regina Fortuna Alce Anesal

Nim: 220902502012

Kelas: A

Dosen pengampu: Fajriani Azis, S.Pd., M.Si.

PENDIDIKAN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BINIS DIGITAL

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-
Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik,lancar,dan tepat
waktu. Makalah ini dibuat sebagai salah satu tugas akademik yang harus diselesaikan
oleh penulis dalam menyelesaikan pendidikan di tingkat yang lebih tinggi.
Selain itu, kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Fajriani Azis, S.Pd.,
M.Si,. selaku dosen mata kuliah Perpajakan 1 yang telah memberi kesempatan dan
kepercayaannya kepada kami untuk membuat dan menyelesaikan makalah ini.
Sehingga kami memperoleh banyak ilmu, informasi dan pengetahuan selama kami
membuat dan menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa kepada seluruh rekan kami yang
membantu penyelesaian makalah ini baik berupa bantuan moril maupun materil.
Setelah itu kami berharap semoga makalah ini berguna bagi pembaca
meskipun terdapat banyak kekurangsempurnaan didalamnya. Akhir kata kami meminta
maaf sebesar-besarnya kepada pihak pembaca maupun pengoreksi jika terdapat
kesalahan dalam penulisan, penyusunan maupun kesalahan lain yang tidak berkenan
dihati pembaca maupun pengoreksi, karena hingga saat ini kami masih dalam proses
belajar. Oleh karena itu kami memohon kritik dan sarannya demi kemajuaan bersama.
Makassar, 26 November 2023

Regina Fortuna Alce Anesal


Pembahasan:

PAJAK PENGHASILAN UMUM

A. Pendahuluan
Pajak Penghasilan adalah Pajak yang dikenakan terhadap orang pribadi atau
perseorangan dan badan, berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau
diperolehnya selama satu tahun pajak.
Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pajak Penghasilan (PPh) berlaku
sejak 1 Januari 1984. Undang-undang ini telah beberapa kali mengalami
perubahan dan terakhir kali diubah dengan Undang -Undang
Nomor 36 Tahun 2008.
Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh) mengatur pengenaan Pajak
Penghasilan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima
atau diperolehnya dalam Tahun Pajak. Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila
menerima atau memperoleh penghasilan. Subjek pajak yang menerima atau
memperoleh penghasilan dalam Undang-undang PPh disebut Wajib Pajak.

B. Subjek Pajak dan Wajib Pajak


Yang menjadi subjek pajak adalah:
1. Orang pribadi;
2. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang
berhak.
3. Badan, terdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan
lainnya, BUMN/BUMD dengan nama dan bentuk apa pun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi
massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan
bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif.
4. Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Perusahaan luar negeri yang bergerak dalam kegiatan ekonomi suatu
negara, dalam hal ini negara Indonesia. Subjek pajak dapat pula dibedakan
yaitu subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Selanjutnya
dapat dijelaskan bahwa subjek pajak dalam negeri adalah wajib pajak
membuat SPT sementara subjek pajak luar negeri tidak wajib membuat
SPT.
Subjek pajak dapat dibedakan menjadi:
1. Subjek pajak dalam negeri terdiri dari:
a. Subjek pajak orang pribadi, yaitu:
1) Orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di
Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
(tidak harus berturut-turut) dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan.
2) Orang pribadi yang dalam suatu Tahun Pajak berada di
Indonesia dan mempunyai niat bertempat tinggal di
Indonesia.
b. Subjek pajak badan, yaitu:
Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia,
kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
1) Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2) Pembiayaannya bersumber dan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah.
3) Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah
Pusat atau Pemerintah Daerah.
4) Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan
fungsional negara.
c. Subjek pajak warisan, yaitu:
Warisan yang belum dibagi sebagai satu kesatuan,
menggantikan yang berhak.

2. Subjek pajak luar negeri yang terdiri dari:


a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang
pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan,
dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang
pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan,
dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari
Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila
telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi
Penghasilan Tidak Kena Pajak. Subjek pajak badan dalam negeri menjadi
wajib pajak sejak saat didirikan, atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Subjek pajak luar negeri baik orang pribadi maupun badan sekaligus
menjadi wajib pajak karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan
yang bersumber dari Indonesia atau yang melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia. Dengan perkataan lain, wajib pajak adalah orang pribadi atau
badan yang yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif.

Adapun perbedaan Wajib Pajak Dalam Negeri dan Wajib Pajak Luar
Negeri, antara lain:

Wajib Pajak Dalam Negeri Wajib Pajak Luar Negeri


 Dikenakan pajak atas  Dikenakan pajak hanya atas
penghasilan baik yang diterima penghasilan yang berasal dari
atau diperoleh dari Indonesia sumber penghasilan di
dan dari luar Indonesia. Indonesia.
 Dikenakan pajak berdasarkan  Dikenakan pajak berdasarkan
penghasilan neto. penghasilan bruto.
 Tarif pajak yang digunakan  Tarif pajak yang digunakan
adalah tarif umum (Tarif UU adalah tarif sepadan (Tarif UU
PPh Pasal 17). PPh Pasal 26).
 Wajib menyampaikan SPT  Tidak wajib menyampaikan
SPT

C. Kewajiban Pajak Subjektif


Untuk lebih memperjelas pengertian, kapan mulai dan berakhirnya sebagai
subjek pajak dalam negeri maupun subjek pajak luar negeri, berikut ini diberikan
table mulai dan berakhirnya pajak subjektif.
MULAI BERAKHIR
Subjek Pajak Dalam Negeri Subjek Pajak Dalam Negeri
Orang Pribadi: Orang Pribadi:
 Saat dilahirkan  Saat meninggal
 Saat berada diIndonesia atau  Saat meninggalkan Indonesia
berniat bertempat tinggal untuk selama-lamanya.
diIndonesia.
Subjek Pajak Dalam Negeri Subjek Pajak Dalam Negeri
Badan: Badan:
 Saat didirikan atau bertempat  Saat dibubarkan atau tidak lagi
kedudukan diIndonesia. bertempat kedudukan di
Indonesia.
Subjek pajak luar negeri melalui Subjek pajak luar negeri melalui
BUT: BUT:
 Saat menjalankan usaha atau  Saat tidak lagi menjalankan
melakukan kegiatan melalui usaha atau melakukan kegiatan
BUT di indonesia. melalui BUT diIndonesia.
Subjek pajak luar negeri tidak Subjek pajak luar negeri tidak
melalui BUT: melalui BUT:
 Saat menerima atau  Saat tidak lagi menerima atau
memperoleh penghasilan dari memperoleh penghasilan dari
Indonesia. Indonesia.
Warisan belum terbagi: Warisan belum terbagi:
 Saat timbulnya warisan yang  Saat warisan telah selesai
belum terbagi. dibagikan.

D. Tidak termasuk Subjek Pajak


Yang tidak termasuk subjek pajak adalah:
1. Kantor perwakilan negara asing.
2. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsultan atau pejabat lain dari Negara
asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja
pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat:
a. Bukan warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima
atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya di Indonesia.
b. Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
3. Organisasi internasional sebagai mana dimaksud dalam keputusan menteri
keuangan no 661/KMK.04./1994 tanggal 23 Desember 1994 sebagai mana
telah diubah terkhir dengan keputusan Menteri Keuangan nomor
314/KMK.04/1998 tanggal 15 juni 1998, dengan syarat:
a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut.
b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh
pengahasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada
pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.
4. Pejabat perwakilan organisasi internasional, sebagai mana dimaksud dalam
keputusan Menteri Keuangan no 611/KMK.04/1994 tanggal 23 Desember
1994 sebagaimana telah diubah dengan keputusan Menteri Keuangan
nomor 314/KMK.04/1998 tanggal 15 juni 1998, dengan syarat:
a. Bukan warga Negara Indonesia.
b. Tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk
memperoleh penghasilan di Indonesia.

E. Objek Pajak dan yang Tidak Termasuk Objek pajak


Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal
dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapar dipakai untuk konsumsi
atau utnuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama
dan dalam bentuk apa pun, termasuk:
1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi,
bonus, grafitasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.
3. Laba usaha.
4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
a. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan,
persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau
penyertaan modal.
b. Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham,
sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya.
c. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, pegambilalihan usaha, atau reorganisasi
dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
d. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau
sumbangan, kecuali, yang diberikan kepada keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan,
badan pendidikan, badan social termasuk yayasan, koperasi, atau
orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri
Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak
yang bersangkutan.
e. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagai atau seluruh
hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau
permodalan dalam perusahaan pertambangan.
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai
biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak.
6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang.
7. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil
usaha koperasi;
8. Royalty atau imbalan atas penggunaan hak;
9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
12. Keuntungan selisih kurs mata uang asing;
13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
14. Premi asuransi;
15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang
terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak;
17. Penghasilan dari usaha berbasis syariah;
18. Imbalan bunga sebagaimana dimaksus dalam Undang-undang yang
mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
19. Surplus Bank Indonesia.
Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak,
Penghasilan tersebut dapat dikelompokkan menjadi:
1. Penghasilan dari dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan
bebas, seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktik dokter, notaries,
aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya.
2. Penghasilan dari usaha atau kegiatan.
3. Penghasilan dari modal atau penggunaan harta, seperti sewa, bunga,
dividen, royalty, keuntungan dari penjualan harta yang tidak digunakan, dan
sebagainya.
4. Penghasilan lain-lain, yaitu penghasilan yang tidak dapat diklasifikasikan ke
dalam salah satu dari tiga kelompok penghasilan di atas, seperti:
a. Keuntungan karena pembebanan utang.
b. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.
c. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
d. Hadiah undian.
Bagi Wajib Pajak Dalam Negeri, yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan
baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Sedangkan bagi
Wajib Pajak Luar Negeri, yang menjadi Objek Pajak hanya penghasilan yang
berasal dari Indonesia saja.
Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
1. Ada pun 2 lainnya yang tidak termasuk objek pajak:
a. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan
zamil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan
oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak
atau sumbanan keagamaan yang sifatnya wajib pajak bagi pemeluk
agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga
keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang
diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan,
badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang
tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikian atau
penguasaan diantara pihak-pihak yang bersangkutan.
2. Warisan
3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti
saham atau sebagai pengganti penyertaan modal.
4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari wajib
pajak atau pemerintah, kecuali yang diberikan oleh Wajib Pajak, Wajib
Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang
menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit).
5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi beasiswa.
6. Dividen atau pembagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan
terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, BUMN, atau BUMD,
dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat
kedudukan di Indonesia dengan syarat :
a. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan.
b. Bagi perseoan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen
paling rendah 25% Dari jumlah modal yang disetor dan harus
mempunyai usaha aktif diluar kepemilikan Saham tersebut.
7. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun
pegawai.
8. Penghasilan dari modal yang telah ditanamkan oleh dana pensiun
9. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan,
perkumpulan, firma, dan kongsi termasuk pemegang unit penyertaan
kontrak investasi kolektif.
10. Penghasilan yang diterima perusahaan modal ventura berupa bagian laba
dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau
kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
a. Merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah atau yang
menjalankan usaha dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
b. Sahamnya tidak diperdagangkan dibursa efek di Indonesia.
11. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu.
12. Laba lebih yang diterima atau lembaga nirlaba bidang pendidikan
13. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu.

F. Dasar Pengenaan Pajak Dan Cara Menghitung Penghasilan Kena Pajak


Untuk wajib pajak dalam negeri dan untuk usaha tetap ( BUT ) yang menjadi
dasar pengenaan pajak adalah penghasilan kena pajak. Sedangkan untuk wajib
pajak luar negeri adalah penghasilan bruto.
Yang perlu diingat besarnya penghasilan kena pajak untuk wajib pajak pada
badan dihitung sebesar penghasilan netto, dirumuskan sebagai berikut:

Penghasilan Kena Pajak (WP badan) = Penghasilan Neto

Sedangkan untuk wajib pajak orang pribadi dihitung dari penghasilan netto –
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

Penghasilan Kena Pajak (WP orang pribadi) = Penghasilan neto – PTKP

Cara Menghitung Penghasilan Kena Pajak:


Penghitungan besarnya penghasilan netto bagi wajib pajak didalam negeri dan
badan usaha tetap dapat dilakukan dengan dua cara:
1. Menggunakan pembukuan.
Untuk menghitung penghasilan kena pajak menggunakan pembukuan
dirumuskan sebagai berikut:

Penghasilan Kena Pajak (WP orang pribadi)


= Penghasilan neto – PTKP
= (Penghasilan bruto – Biaya yang diperkenankan UU PPh) – PTKP
Penghasilan Kena Pajak (WP Badan)
= Penghasilan neto
= Penghasilan bruto – Biaya yang diperkenankan UU PPh

2. Menggunakan norma penghitungan penghasilan neto.


Berikut ini adalah contoh penghitungan pajak yang terutang dengan
menggunakan norma penghitungan penghasilan neto:
Wajib pajak Anto kawin (istri tidak bekerja) dan mempunyai 2 orang
anak. Ia seorang dokter bertempat tinggal di Jakarta. Misalnya besarnya
persentase norma untuk dokter di Jakarta 50%.
Penerimaan bruto praktik dokter dirumah di Jakarta setahun Rp
500.000.000,00
Penghasilan neto dihitung sebagai berikut:

Sebagai seorang dokter:50% x Rp500.000.000 Rp 250.000.000


Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/2) Rp 67.500.000
Penghasilan Kena Pajak Rp 182.500.000

G. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)


Besarnya PTKP setahun yang berlaku mulai 1 Januari 2016 adalah:
1. Rp 54.000.000,00 untuk diri Wajib Pajak orang pribadi.
2. Rp 4.500.000,00 tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin.
3. Rp 54.000.000,00 tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya
digabung dengan penghasilan suami, dengan syarat:
a. Penghasilan istri tidak semata-mata diterima atau diperoleh dari satu
pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan
dalam Undang-undang PPh Pasal 21.
b. Pekerjaan istri tidak ada hubungannya dengan usaha atau
pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga yang lain.
4. Rp 4.500.000,00 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan
keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat serta anak
angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya (maksimal 3 orang).
Penghitungan PTKP ditentukan menurut keadaan pada awal tahun pajak atau
awal bagian tahun pajak. Penghitungan PTKP untuk pengawai lama (tahun
sebelumnya sudah bekerja di Indonesia) dilakukan dengan melihat keadaan pada
awal tahun takwim (1 januari).

Contoh penghitungan PTKP:


1. Joko sudah menikah dengan mempunyai seorang anak. PTKP Joko adalah:
PTKP setahun:

Untuk wajib pajak sendiri Rp 54.000.000,00


Tambahan WP kawin Rp 4.500.000,00
Tambahan 1 anak Rp 4.500.000,00
Jumlah Rp 63.000.000,00

2. John (warga negara asing) bekerja di Indonesia pada tanggal 1 maret 2018
dengan kontrak kerja selama 2 tahun. John sudah menikah dan mempunyai
3 anak. PTKP John adalah:

PTKP setahun:

Untuk wajib pajak sendiri Rp 54.000.000,00


Tambahan WP kawin Rp 4.500.000,00
Tambahan 3 anak Rp 13.500.000,00
Jumlah Rp 72.000.000,00

H. Tarif Pajak
1. Wajib pajak orang pribadi dalam negeri:
Tarif pajak yang diterapkan atas penghasilan kena pajak bagi wajib pajak
orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut:
Lapisan penghasilan kena pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp.50.000.000,00 5%
Di atas Rp 50.000.000 sampai dengan Rp
15%
250.000.000,00
Diatas 250.000.000 sampai dengan Rp. 500.000.000,00 25%
Diatas Rp. 500.000.000,00 30%
2. Wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap:
Sementara itu, tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak
bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah
sebesar 28%. Tarif pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk
usaha tetap, mulai berlaku sejak Tahun Pajak 2010, diturunkan menjadi
25%.
Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka
yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan
saham yang disetor diperdagangan dibursa efek di Indonesia dan
memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5%
(lima persen) lebih rendah dari pada tarif yang berlaku.
Wajib pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai
dengan Rp 50.000.000.000,00 mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif
sebesar 50% yang dikenakan atas penghasilan kena pajak dari bagian
peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00.

I. Cara Menghitung Pajak


Pajak penghasilan (Bagi Wajib Pajak Dalam Negeri Dan Bentuk Usaha Tetap)
setahun dihitung dengan cara mengalikan penghasilan kena pajak dengan tariff
pajak sebagaimana diatur UU PPh pasal 17:
Rumus menghitung wajib pajak badan:
Pajak penghasilan (wajib pajak badan)
= Penghasilan kena pajak x Tarif pasal 17
= Penghasilan neto x Tarif pasal 17
= (Penghasilan bruto – biaya yang diperkenankan UU PPh) x Tarif pasal 17

Rumus menghitung wajib pajak orang pribadi:


Pajak penghasilan (WP orang pribadi)
= Penghasilan kena pajak x Tarif pasal 17
= Pengahsilan neto – PTKP x Tarif pasal 17
= [(Penghasilan bruto – biaya yang diperkenankan UU PPh) – PTKP] x Tarif
pasal 17
Catatan:
Untuk keperluan menghitung PPh yangn terutang pada akhir tahun,
penghasilan kena pajak dibulatkan kebawah hingga ribuan penuh.

J. Pemotongan Atau Pemungutan Pajak Penghasilan Yang Bersifat Final


Pemotongan atau pemungutan PPh tetap dilaporkan dalam surat
pemberitahuan ( SPT ), hanya saja jumlahnya tidak dijumlahkan dengan
penghasilan lainnya.

K. Cara Melunasi Pajak


Pada dasarnya, wajib pajak dapat menghitung dan melunasi pajak penghasilan
melalui dua cara, yaitu:
1. Pelunasan pajak tahun berjalan,yaitu pelunasan pajak dalam masa pajak
yang meliputi:
a. Pembayaran sendiri oleh WP ( PPh pasal 25 ) untuk setiap masa
pajak.
b. Pembayaran pajak melalui pemotongan / pemungutan pihak ketiga
(orang pribadi atau badan baik swasta maupun pemerintah) berupa
kredit pajak yang dapat diperhitungkan dengan jumlah pajak yang
terutang selama tahun pajak, yaitu:
1) Pemotongan PPh atas penghasilan dari pekerjaan, jasa, atau
kegiatan (PPh pasal 21).
2) Pemungutan PPh atas penghasilan dari kegiatan di bidang
impor atau kegiatan usaha dibidang lainnya, dan
pembayaran atas penyerahan barang kepada badan
pemerintah (PPh pasal 22).
3) Pemotongan PPh atas penghasilan dari modal atau
penggunaan harta oleh orang lain, jasa, hadiah, dan
penghargaan (PPh pasal 23).
4) Pelunasan PPh di luar negeri atas penghasilan di luar negeri
( PPh pasal 24).
5) Pemotongan PPh atas penghasilan yang terutang atas Wajib
Pajak luar negeri (PPh pasal 26).
6) Pemotongan atas penghasilan berupa bunga deposito dan
tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi
saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari
pengalihan harta berupa tanah atau bangunan serta
penghasilan tertentu lainnya(PPh pasal 4 ayat (2) untuk PPh
4 ayat (2)tidak dapat dikreditkan.

2. Pelunasan pajak sesudah akhir tahun:


pelunasan pajak sesudah tahun pajak berakhir dilakukan dengan cara:
a. Membayar pajak yang kurang disetor yaitu dengan menghitung
sendiri jumlah pajak penghasilan terutang untuk suatu tahun pajak
dikurangi dengan jumlah kredit pajak tahun yang bersangkutan.
b. Membayar pajak yang kurang disetor berdasarkan surat ketetapan
pajak atau surat tagihan pajak yang ditetapkan oleh direktur jenderal
pajak, apabila terdapat bukti bahwa jumlah pajak penghasilan
terutang tidak benar.

L. Contoh Kasus
Tuan Agus mengantongi omzet sebesar Rp700.000.000 per tahun. Kemudian
ternyata istrinya memiliki usaha salon dengan omzet Rp500.000.000 per tahun.
Keduanya belum memiliki anak. Maka perhitungan PPh finalnya sebagai berikut:
Jika Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) digabung:
 Omzet suami Rp 700.000.000
 Omzet istri Rp 500.000.000
 Total omzet gabungan Rp 1.200.000.000
 Pajak penghasilan suami dan istri = 0,5% x Rp 1.200.000.000= Rp
6.000.000
Kalau dihitung per bulan, maka PPh-nya= Rp 6.000.000/12= Rp 500.000
Jika NPWP terpisah atau membayar pajak Masing-masing:
 Omzet suami Rp 700.000.000:
 PPh-nya = 0,5% x Rp 700.000.000 = Rp3.500.000 (setahun).
 Karena ada kewajiban pembayaran setiap bulan, maka beban PPh
per bulan Rp 3.500.000 : 12 = Rp 291.666,67 atau dibulatkan Rp
291.670.
 Omzet istri Rp 500.000.000:
 PPh-nya = 0,5% x Rp 500.000.000 = Rp 2.500.000 (setahun)
 PPh per bulan Rp 1.000.000/12 = Rp 208.333,33 atau dibulatkan Rp
208.335 per bulan.
PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 (PPh 21)

A. Pengertian
PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium,
tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun
sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan
oleh pribadi. Subjek pajak dalam negeri, sebagaimana dimaksud dalam pasal 21
Undang-undang Pajak Penghasilan.
Subjek Pajak PPh Pasal 21 (Wajib Pajak PPh Pasal 21) Wajib pajak yang
dipotong PPh pasal 21 adalah orang pribadi yang merupakan:
1. Pengawai, karyawan atau karyawati tetap adalah orang pribadi yang
bekerja pada pemberi kerja dan atas jasanya itu ia memperoleh gaji dalam
jumlah tertentu secara berkala.
2. Pengawai, karyawan atau karyawati lepas adalah orang pribadi yang
berkeja untuk pemberi kerja dan hanya menerima upah jika ia bekerja.
3. Penerima honorarium adalah orang pribadi atau sekelompok orang pribadi
yang me2mberikan jasanya, dan atas jasanya ia memperoleh imbalan
tertentu sesuai dengan jasa yang diberikan.
4. Penerima upah adalah orang pribadi yang atas jasanya ia memperoleh
upah, seperti upah harian, upah borongan, upah satuan dll.

Yang tidak termasuk wajib pajak PPh pasal 21 yaitu:


1. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari Negara
asing dan orang - orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja
pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga
Negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh
penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta Negara
yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
2. Pejabat perwakilan organisasi internasional dimaksud dalam pasal 3 ayat
(1) huruf c Undang - undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh
Menteri Keuangan, dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan tidak
menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia. Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21
Pemotong PPh pasal 21 adalah setiap orang pribadi atau badan yang
diwajibkan oleh UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 17 tahun 2000 dan terakhir UU
No 36 tahun 2008 untuk memotong PPh Pasal 21. Termasuk pemotong
PPh Pasal 21 dalam peraturan Menteri Keuangan No. 252/KMK.03/2008
adalah: Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik
merupakan pusat maupun cabang, perwakilan atau unit yang membayar
gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan
dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau
jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai.
3. Bendahara atau pemegang kas pemerintah termasuk bendahara atau
pemegang kas yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan dan
pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan
dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan.

B. Pemotong Pajak PPh Pasal 21


Yang termasuk pemotong pajak PPh pasal 21 adalah:
1. Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan
pusat maupun cabang, perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam
bentuk apa pun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa
yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai.
2. Bendahara atau pemenang kas pemerintah, termasuk bendahara atau
pemegang kas pada pemerintah pusat termasuk institusi TNI/POLRI,
Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, Lembaga-lembaga
negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia diluar negeri, yang
membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain
dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan
atau jabatan, jasa, dan kegiatan.
3. Dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan
Badan – badan lain yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua
atau jaminan hari tua.
4. Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta
badan yang membayar:
a. Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan
dengan jasa dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi
dengan status Subjek Pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli
yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas
namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya.
b. Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan
dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan
status Subjek Pajak luar negeri.
c. Honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan,
dan magang.
5. Penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang
bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta
lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar
honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apa pun kepada wajib
pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan.

C. Penghasilan yang Dikecualikan Dari Pengenaan PPh Pasal 21


Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah:
1. Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi
sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi
jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa.
2. Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apa
pun diberikan oleh Wajib pajak atau pemerintah, yang diberikan wajib pajak
yang dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final dan yang dikenakan
pajak penghasilan berdasarkan norma perhitungan khusus.
3. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dan pensiun yang pendiriannya
telah disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran
jaminan hari tua kepada badan penyelenggara tunjangan hari tua atau
badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang dibayar oleh
pemberi kerja.
4. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau
lembaga amal zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang
diakui di Indonesia yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari
lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.
5. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu.
D. Biaya Jabatan dan Biaya Pensiun
Besarnya biaya jabatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk
penghitungan pemotongan pajak penghasilan bagi pegawai tetap, ditetapkan
sebesar 5% dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp 6.000.000,00 setahun
atau Rp 500.000,00 per bulan.
Besarnya biaya pensiun yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk
penghitungan pemotongan pajak penghasilan bagi pensiunan, ditetapkan sebesar
5% dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp 2.400.000,00 setahun atau
Rp200.000,00 per bulan.

E. Tarif Pajak dan Penerapannya


Tarif pajak yang berlaku beserta penerapannya menurut ketentuan dalam Pasal
21 Undang – undang pajak penghasilan adalah sebagai berikut:
Tarif berdasarkan pasal 17 UU PPh , diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak dari:
1. Pegawai tetap.
2. Penerima pensiun berkala yang dibayarkan secara bulanan.
3. Pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang dibayarkan secara
bulanan.
4. Bukan pegawai yang menerima imbalan yang bersifat berkesinambungan.

F. Tarif Pemotongan PPh Pasal 21 Bagi Penerima Penghasilan yang Tidak


Mempunyai NPWP
Bagi penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 yang tidak memilik
NPWP, dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20% dari
pada tarif yang diterapkan terhadap wajib pajak yang memiliki NPWP. Artinya
jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar 120% dari jumlah PPh
pasal 21 yang seharusnya dipotong dalam hal yang bersangkutan memiliki NPWP.
Pemotongan PPh Pasal 21 seperti ini hanya berlaku untuk pemotongan PPh Pasal
21 yang bersifat tidak final.

G. Contoh Kasus Penghitungan PPh Pasal 21


Bapak Ahmad bekerja di PT. Trans Retail dengan gaji sebulan Rp. 4.000.000,-
Perusahaan ikut program BPJS sebesar 1% yang dibayar oleh perusahaan setiap
bulannya. Bapak Ahmad membayar iuran pensiun sebesar Rp. 100.000,-. Dalam
tahun yang bersangkutan menerima THR sebesar 1 bulan gaji. Berapa PPh Pasal
21 yang dipotong setiap bulannya dan hitunglah PPh Pasal 21 bila menerima THR?
Jawab:
PPh Pasal 21 atas gaji dan THR

Gaji setahun (12 x Rp 4.000.000) Rp 48.000.000


THR Rp 4.000.000
BPJS (1% x Rp 4.000.000)
Rp 40.000 x 12 Rp 480.000
Penghasilan Brutto setahun Rp 52.480.000

Pengurangan:

Biaya Jabatan
5% x Rp 52.480.000 Rp 2.624.000
Iuran Pensiun
12 x Rp 100.000 Rp 1.200.000
(Rp 3.824.000)
Rp 48. 656.000

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

Untuk WP sendiri (Rp 36.000.000)


Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp 12.656.000

PPh Pasal 21 Terhutang


Rp 632.800
5 % × Rp 12.656 .000= =Rp 52.733
12
PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 (PPh 22)

A. Pengertian PPh Pasal 22


PPh Pasal 22 adalah pemungutan pajak yang dilakukan atas pembelian barang,
impor barang dan pembelian / penjualan barang di bidang usaha tertentu. Oleh
karena itu yang dikenakan pemungutan PPh pasal 22 adalah pemasok barang
kepada pemerintah, importer, dan pemasok / pembeli barang dari badan – badan
tertentu.
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 adalah PPh yang dipungut oleh:
1. Bendahara Pemerintah Pusat/Daerah, instansi atau lembaga pemerintah
dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas
penyerahan barang;
2. Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan
dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
3. Wajib Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong
sangat mewah.
B. Objek dan Pemungut PPh Pasal 22
Berikut objek dan pemungut PPh Pasal 22, antara lain:

No Objek Pemungut
Pembelian Barang oleh Pihak yang membayar / membeli:
Bendaharawan Pemerintah dan  Bendaharawan pemerintah
1.
DJA (Direktorat Jenderal  DJA
Anggaran)
Pembelian barang oleh BUMN/D
2. BUMN/BUMD yang bersumber dari
dana APBN dan atau APBD
Pembelian barang oleh badan Badan tertentu
3. tertentu yang bersumber dari dana
APBN maupun non APBN
Impor Barang :  Direktorat Jenderal Bea dan
- Dilakukan oleh importer yang Cukai (DJBC)
memiliki API  Bank Devisa
4.
- Dilakukan oleh importer yang
tidak memiliki API
Yang tidak dikuasai ( lelang)
Pembelian bahan untuk industri Industri tertentu yang bergerak di
5. tertentu atau eksportir dari bidang pertanian, perkebunan dan
pedagang pengumpul. perikanan.
Penjualan bahan bakar minyak, Produsen atau importer bahan bakar
6.
gas, dan pelumas. minyak, gas, dan pelumas.
Penjualan barang yang tergolong Wajib Pajak Badan yang melakukan
7.
mewah. penjualan tersebut.
Penjualan hasil industry tertentu : Industry tertentu yang menjual.
- Kertas
- Baja
8. - Otomotif
- Semen
- Rokok

C. Tarif PPh Pasal 22


Berikut merupakan tarif PPh Pasal 22, antara lain:

No. Objek Tarif


Pembelian barang yang dilakukan oleh DPJB, Bendahara
1 1,5%
Pemerintah, BUMN/D, dan badan tertentu
Impor Barang:
- Yang menggunakan API 2,5%
2
- Yang tidak menggunakan API 7,5%
- Yang tidak dikuasai ( Lelang ) 7,5%
Pembelian bahan – bahan untuk keperluan industry / ekspor dari
3 2,5%
pedagang pengumpul
Penjualan oleh pertamina :
4 - Premium, Solar, Premix, Super TT 0,25%
- Minyak Tanah, LPG, Pelumas 0,3%
Penjualan oleh Selain Pertamina:
- Premium, Solar, Premix, Super TT 0,3%
5
- Minyak tanah, LPG, Pelumas
0,3%
6 Penjualan hasil industry tertentu :
- Kertas 0,1%
- Baja 0,3%
- Otomotif 0,45%
- Semen 0,25%
- Rokok 0,15%

Selain tarif diatas, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008 tanggal


31 Desember 2008 juga mengatur tentang wajib pajak badan tertentu sebagai
pemungut PPh pasal 22 atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah yaitu
wajib pajak badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat
mewah, diantaranya :
1. Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp20.000.000.000,00
(Dua Puluh Miliar Rupiah).
2. Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari
Rp10.000.000.000,00 (Sepuluh Miliar Rupiah)
3. Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya
lebih dari Rp10.000.000.000,00 (Sepuluh Miliar Rupiah) dan luas bangunan
lebih dari 500 m2
4. Apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau
pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000,00 (Sepuluh Miliar Rupiah)
dan/atau bangunan lebih dari 400 m2
5. Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang
berupa sedan. Jeep, sport utility vehicle (SUV), multi purpose vehicle
(MPV), minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari
Rp5.000.000.000,00 (Lima Miliar Rupiah) dan dengan kapasitas silinder
lebih dari 3.000 cc. Sebesar 5% dari harga jual tidak termasuk PPN dan
PPnBM.
Selain tarif pajak yang tercantum diatas, terdapat tarif sebagai berikut:
 Impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importer yang menggunakan
API sebesar 0,5%.
 Untuk wajib pajak yang tidak memiliki NPWP maka pajak dipungut 100%
lebih tinggi dari tarif PPh pasal 22.

D. Pengecualian Pemungutan PPh Pasal 22


Berikut merupakan bukan objek PPh Pasal 22, antara lain:
1. Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan tidak terutang PPh, dinyatakan dengan
Surat Keterangan Bebas (SKB).
2. Impor barang yang dibebaskan dari Bea Masuk dan atau Pajak
Pertambahan Nilai; dilaksanakan oleh DJBC.

3. Impor sementara jika waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk


diekspor kembali, dan dilaksanakan oleh Dirjen BC.
4. Pembayaran atas pembelian barang oleh pemerintah atau yang lainnya
yang jumlahnya paling banyak Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) dan tidak
merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.
5. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air
minum/PDAM, benda-benda pos.
6. Emas batangan yang akan di proses untuk menghasilkan barang perhiasan
dari emas untuk tujuan ekspor, dinyatakan dengan SKB.
7. Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial oleh Kantor
Perbendaharaan dan Kas Negara.
8. Impor kembali (re-impor) dalam kualitas yang sama atau barang-barang
yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian
yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai.
9. Pembayaran untuk pembelian gabah dan atau beras oleh Bulog.

E. Saat Terutang dan Pelunasan/Pemungutan PPh Pasal 22


1. Atas impor barang terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat
pembayaran Bea Masuk. Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau
dibebaskan, maka PPh Pasal 22 terutang dan dilunasi pada saat
penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB);
2. Atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 2,3,
dan 4 ) terutang dan dipungut pada saat pembayaran;
3. Atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22
butir 5) terutang dan dipungut pada saat penjualan;
4. Atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22
butir 6) dipungut pada saat penerbitan Surat Perintah Pengeluaran Barang
(Delivery Order);
5. Atas pembelian bahan-bahan (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22
butir 7) terutang dan dipungut pada saat pembelian.

F. Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 22


1. PPh Pasal 22 atas impor barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22
butir 1) disetor oleh importir dengan menggunakan formulir Surat Setoran
Pajak, Cukai dan Pabean (SSPCP). PPh Pasal 22 atas impor barang yang
dipungut oleh DJBC harus disetor ke bank devisa, atau bank persepsi, atau
bendahara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dalam jangka waktu 1 (satu)
hari setelah pemungutan pajak dan dilaporkan ke KPP secara mingguan
paling lambat 7 (tujuh) hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir.
2. PPh Pasal 22 atas impor harus dilunasi bersamaan dengan saat
pembayaran Bea Masuk dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau
dibebaskan, PPh Pasal 22 atas impor harus dilunasi saat penyelesaian
dokumen pemberitahuan pabean impor. Dilaporkan ke KPP paling lambat
tanggal 20 setelah masa pajak berakhir.
3. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh
Pasal 22 butir 2) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak
rekanan ke bank persepsi atau Kantor Pos pada hari yang sama dengan
pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang. Pemungut menerbitkan
bukti pungutan rangkap tiga, yaitu :
a. Lembar pertama untuk pembeli;
b. Lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan ke kantor
pelayanan pajak;
c. Lembar ketiga untuk arsip pemungut pajak yang bersangkutan, dan
dilaporkan ke KPP paling lambat 14 (empat belas) hari setelah masa
pajak berakhir.
4. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh
Pasal 22 butir 3) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak
penjual ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lama tanggal 10 sepuluh)
bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Dilaporkan ke KPP paling
lambat tanggal 20 setelah masa pajak berakhir.
5. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh
Pasal 22 butir 4 ) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak
penjual ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lambat tanggal 10
(sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan menggunakan formulir SSP dan
menyampaikan SPT Masa ke KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah
masa pajak berakhir.
6. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek
PPh Pasal 22 butir 5, dan 7 ) dan hasil penjualan barang sangat mewah
(Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 8) disetor oleh pemungut
atas nama wajib pajak ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lambat
tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan menggunakan
formulir SSP. Pemungut menyampaikan SPT Masa ke KPP paling lambat
20 (dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir.
7. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek
PPh Pasal 22 butir 6) disetor oleh pemungut ke bank persepsi atau Kantor
Pos paling lama tanggal 10(sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir. Pemungut wajib menerbitkan bukti pemungutan PPh Ps. 22
rangkap 3 yaitu:
a. Lembar pertama untuk pembeli;
b. Lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada kantor
pelayanan pajak;
c. Lembar ketiga untuk arsip pemungut pajak yang bersangkutan.
Pelaporan dilakukan dengan cara menyampaikan SPT Masa ke KPP setempat
paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 22
bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional,
penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

G. Sifat Pemungutan
Pada dasarnya pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 bersifat tidak final
dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pajak Penghasilan dalam tahun
berjalan bagi Wajib Pajak yang dipungut. Khusus untuk pemungutan Pajak
Penghasilan Pasal 22 atas penjualan bahan bakar minyak dan bahan bakar gas
kepada penyalur/agen, bersifat final. Besarnya PPh Pasal 22 yang diterapkan
terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi
100% (seratus persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang
dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak.

H. Cara menghitung PPh Pasal 22


1. Cara menghitung PPh Pasal 22 atas kegiatan Impor Barang

Besarnya PPh pasal 22 atas impor:


Yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API), tarif pemungutannya
sebesar 2,5% dari nilai impor.

PPh Pasal 22 = 2,5% x Nilai Importir

Yang tidak menggunakan Angka Pengenal Imortir (API), tarif


pemungutannya sebesar 7,5% dari nilai impor

PPh Pasal 22 = 7,5% x Nilai Importir

Yang tidak dikuasai,tarif pemungutannya sebesar 7,5% dari harga jual


lelang.

PPh Pasal 22 = 7,5% x Harga Jual Lelang

Catatan :
Yang dimaksud dengan nilai impor adalah nilai berupa uang yang
digunakan sebagai dasar perhitungan bea masuk. Nilai impor dihitung
sebesar Cost Insurance Freight (CIF) +Bea Masuk+ Pungutan pabean
lainnya.

2. Cara menghitung PPh Pasal 22 Atas Pembelian Barang yang Dibiayai


dengan APBN/ APBD

PPh Pasal 22 = 1,5% x Harga Perolehan

Atas pembelian barang yang dananya dari belanja Negara atau belanja
daerah dikenakan pemungutan PPh Pasal 22 sebesar 1,5% dari harga
pembelian.
Pembayaran yang dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 adalah:
Pembayaran atas penyerahan barang (bukan merupakan jumlah yang
dipecah-pecah) yang meliputi jumlah kurang dari Rp 1.000.000,00.
Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak,listrik,gas,air
minum/PDAM, dan benda-benda pos.
Pembayaran/ pencairan dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) oleh
kantor Perbendaharaan dan Kas Negara.

3. Cara menghitung PPh Pasal 22 Atas Penjualan Hasil Produksi Industri


Otomotif didalam Negeri.
Besarnya PPh Pasal 22 atas penjualan semua jenis kendaraan
bermotor beroda dua atau lebih di dalam negeri adalah 0,45% dari dasar
pengenaan pajak (DPP) Pajak Pertambahan Nilai.

PPh Pasal 22 = 0,45% x DPP PPN

Penjualan kendaraan bermotor yg dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal


22 atas industry otomotif ini adalah penjualan kendaraan bermotor kepada:
 Instansi pemerintah
 Korps diplomatic
Bukan subjek pajak.

4. Cara menghitung PPh Pasal 22 Atas Penjualan Hasil Produksi Industri


Rokok didalam Negeri.

Besarnya PPh Pasal 22 yang wajib dipungut oleh industri rokok pada saat
penjualan rokok di dalam negeri adalah 0,15% dari harga bandrol (pita
cukai), dan bersifat final.

PPh Pasal 22 (Final)= 0,15% x Harga Bandrol

5. Cara menghitung PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi industri kertas
didalam negeri

Besarnya PPh Pasal 22 yang wajib dipungut oleh industri kertas pada saat
penjualan kertas di dalam negeri adalah 0,1% dari Dasar Pengenaan Pajak
(DPP) Pajak Pertambahan Nilai.
PPh Pasal 22 = 0,1% x DPP PPN

6. Cara menghitung PPh pasal 22 atas penjualan hasil produksi industri


semen didalam negeri

Besarnya PPh Pasal 22 yang wajib dipungut oleh industri semen pada
saat penjualan semen di dalam negeri adalah 0,25% dari Dasar Pengenaan
Pajak (DPP) Pajak Pertambahan Nilai.
PPh Pasal 22= 0,25% x DPP PPN

Yang dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 adalah penjualan


semen dalam negeri oleh PT Indocemen, PT Semen Cibinong dan PT
Semen Nusantara kepada Distributor utama / tunggalnya.

7. Cara menghitung PPh pasal 22 atas penjualan hasil produksi industri baja
di dalam negeri
Besarnya PPh Pasal 22 yang wajib dipungut oleh industry baja pada
saat penjualan hasil produksinya di dalam negeri adalah 0.3% dari Dasar
Pengenaan Pajak (DPP) Pajak Pertambahan Nilai

PPh Pasal 22 = 0,3% x DPP PPN

8. Cara menghitung PPh Pasal 22 yang dipungut oleh pertamina dan Badan
Usaha selain pertamina

Besarnya PPh Pasal 22 yang wajib dipungut oleh Pertamina dan badan
usaha lainnya yang bergerak dibidang bahan bakar minyak jenis premix,
super TT dan gas atas penjualan hasil produksinya adalah sbb:
1. Atas penebusan premium, solar, premix/super TT oleh SPBU
swastanisasi adalah 0,3% dari penjualan

PPh Pasal 22 = 0,3% x Penjualan

2. Atas penebusan premium, solar, premix/super TT oleh SPBU Pertamina


adalah 0,25% dari penjualan
PPh Pasal 22 = 0,25% x Penjualan

3. Atas penjualan minyak tanah, gas LPG, dan pelumas adalah 0,3% dari
penjualan.

PPh Pasal 22 = 0,3% x Penjualan

I. Contoh Kasus
PT Jayadi Maju melakukan penjualan lemari arsip kepada Departemen Dalam Negri
senilai Rp 220 juta. Pembayaran dilakukan oleh Bendaharawan Depdagri. Dalam kontrak
penjualan dengan pemerintah yang didanai dari APBN/APBD, biasanya harga jual sudah
termasuk Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10%..
Diminta : Hitunglah PPh Pasal 22 PT Jayadi Maju

Jawab :
- Dasar Pengenaan PPh Pasal 22: (100/110 x Rp 220 juta)=
Rp200.000.000,00.
- PPh Pasal 22 yang dipungut Bendaharawan Pemerintah dari transaksi
pembayaran: Rp 200.000.000,00 x 1,5%= Rp 3.000.000,00
PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 (PPh 23)

A. Pengertian
Pajak Penghasilan Pasal 23 merupakan Pajak Penghasilan yang dipotong atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk
Usaha Tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan
kegiatan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21, yang dibayarkan
atau terutang oleh badan pemerintah atau subjek pajak dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha Tetap atau perwakilan perusahaan luar
negeri lainnya.

B. Pemotong PPh Pasal 23


Pemotong PPh Pasal 23 adalah pihak-pihak yang membayarkan penghasilan,
yang terdiri atas:
1. Badan pemerintah.
2. Subjek pajak badan dalam negeri.
3. Penyelenggara kegiatan.
4. Bentuk usaha tetap.
5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
6. Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang telah mendapat
penunjukan dari Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak PPh Pasal
23.

C. Yang Dikenakan Pemotongan PPh Pasal 23


Yang dikenakan pemotong PPh Pasal 23 adalah wajib pajak dalam negeri atau
Bentuk Usaha Tetap yang menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal
dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah
dipotong pajak penghasilan pasal 21.

D. Objek Pemotongan PPh Pasal 23


Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23 adalah:
1. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemenang polis, dan pembagian sisa hasil
usaha koperasi.
2. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utangnya.
3. Royalti.
4. Hadiah,penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21.
5. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali
sewa tanah dan/atau bangunan.
6. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi,
jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21.

E. Pengecualian Objek Pemotongan PPh Pasal 23


Penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 adalah:
1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada Bank.
2. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna
usaha dengan hak opsi.
3. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara,
atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha
yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
4. Dividen yang diterima oleh orang pribadi.
5. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas Saham-saham, persekutuan,
perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan
kontrak investasi kolektif.
6. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggotanya.
7. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa
keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan
yang diatur dengan peraturan menteri keuangan.

F. Tarif Pemotongan
Besarnya PPh Pasal 23 yang dipotong adalah:
1. Sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto diatas:
a. Dividen
b. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan
dengan jaminan pengembalian utang.
c. Royalty
d. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah
dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21.

2. Sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak


Pertambahan Nilai, atas:
a. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta,
kecuali sewa tanah dan/atau bangunan.
b. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa managemen, jasa
konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah
dipotong PPh pasal 21:
1) Jasa penilai (appraisal)
2) Jasa aktuaris
3) Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan
4) Jasa perancang
5) Jasa pengeboran dibidang penambangan minyak dan migas,
kecuali yang dilakukan oleh BUT
6) Jasa penunjang dibidang pembangunan migas dan panas
bumi
7) Jasa penambangan dan jasa penunjang dibidang
penambangan selain migas
8) Jasa penunjang dibidang penerbangan dan Bandar udara
9) Jasa penebangan hutan
10) Jasa ppengolaan limbah
11) Jasa penyedia tenaga kerja
12) Jasa perantara dan keagenan
13) Jasa dibidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali
yang dilakukan oleh bursa efek, KSEI dan KPEI
14) Jasa custodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang
dilakukan oleh KSEI
15) Jasa pengisian suara/ sulih suara
16) Jasa mixing film
17) Jasa sehubungan dengan software computer, termasuk
perawatan, pemelihraan dan perbaikan
18) Jasa instalasi/pemasangan mesin, pealatan, listrik, telepon,
air, gas, AC atau televisi kabel, selain yang dilakukan oleh
wajib pajak yang ruang lingkupnya dibidang konstruksi dan
mempunyai izin atau sertifikat sebagai pengusaha kontribusi
19) Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan,
listrik, telepon, air, gas, AC atau televisi kabel, alat
transportasi/kendaraan atau bangunan, selain yang
dilakukan oleh wajib pajak yang ruang lingkupnya dibidang
konstruksi dan mempunyai izin atau sertifikat sebagai
pengusaha kontribusi
20) jasa maklon
21) jasa penyelidikan dan keamanan
22) jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer
23) jasa pengepakan
24) jasa penyelidikan tempat dan waktu dalam media masa,
media luar ruang atau media lain untuk pem]nyimpanan
informasi
25) jasa pembasmian hama
26) jasa kebersihan atau cleaning service
27) jasa catering atau tata boga

G. Contoh kasus PPh Pasal 23


Contoh 1:
CV selera makan membayar royalti kepada Ny. Sulastri atas pemakaian merek
ayam goreng “Bu Lastri” sebesar Rp 30.000.000,00.
PPh Pasal 23 yang dipotong CV selera makan adalah:
15% x Rp 30.000.000,00 = Rp 4.500.000,00
Apabila Ny. Sulastri belum memiliki NPWP maka PPh Pasal 23 yang dipotong CV
Selera Makan adalah:
30% x Rp 30.000.000,00 = Rp 9.000.000,00.

Contoh 2:
Pada tanggal 10 May 2010, PT. Sukses Gagalnya, membagikan dividen masing-
masing Rp 10,000,000 kepada 20 pemegang sahamnya. Atas dividen yang
dibagikan, PT. Sukses Gagalnya wajib memungut PPh Pasal 23.
PPh pasal 23 yang harus dipotong PT. Sukses Gagalnya adalah :
=>15% x Rp10.000.000,- = Rp 150.000,-
=>20 x Rp150.000,- = Rp3.000.000,-

Saat terutang : akhir bulan dilakukan pembayaran yaitu pada tanggal 31 Mei 2010
Saat Penyetoran: paling lambat 10 Juni 2010
Saat Pelaporan : paling lambat 20 Juni 2010
PAJAK PENGHASILAN PASAL 24 (PPh 24)

A. Pendahuluan
Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
dengan perubahan terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36
Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, Pasal 24 ayat (1), PPh pasal 24 adalah
pajak yang dibayarkan atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar
negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri boleh dikreditkan
terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-Undang ini dalam tahun pajak
yang sama.
Pajak penghasilan pasal 24 atau kredit pajak luar negeri, merupakan
perhitungan berapa besar jumlah pajak yang sudah dibayar atas penghasilan diluar
negeri dan pajak tersebut dapat dikreditkan atau dikurangkan dari penghasilan
yang ada didalam negeri sehingga menghindari pengenaan pajak berganda.

B. Subjek PPh Pasal 24


Yang menjadi subjek PPh pasal 24 adalah:
Wajib pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh penghasilan, termasuk
penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri. Objek PPh pasal 24
adalah penghasilan yang berasal dari luar negeri.

C. Penggabungan Penghasilan
Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan sebagai
berikut:
1. Penggabungan penghasilan dari usaha dilakukan dalam Tahun Pajak
diperolehnya penghasilan tersebut (accrual basis).
2. Penggabungan penghasilan lainnya dilakukan dalam Tahun Pajak
diterimanya penghasilan tersebut (cash basis).
3. Penggabungan penghasilan yang berupa dividen (Pasal 18 Ayat 2 UU PPh)
dilakukan dalam tahun pajak pada saat perolehan dividen tersebut
ditetapkan sesuai dengan keputusan menteri keuangan.

Jadi, pajak penghasilan dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak yang dihitung
berdasarkan seluruh penghasilan yang diterima dan diperoleh oleh Wajib Pajak,
baik penghasilan tersebut berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Dalam menghitung Pajak Penghasilan, maka seluruh penghasilan tersebut
digabungkan dalam tahun pajak di peroleh atau diterimanya penghasilan, atau
dalam tahun pajak.

D. Batas Maksimum Kredit Pajak


Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan, sumber
penghasilan ditentukan sebagai berikut:
1. Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari
pengalihan saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang
menerbitkan saham atau sekuritas tersebut didirikan atau bertempat
kedudukan.
2. Penghasilan berupa bunga, royalti dan sewa sehubungan dengan
penggunaan harta bergerak adalah negara tempat pihak yang membayar
atau dibebani bunga, royalti atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau
berada.
3. Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak
gerak adalah negara tempat harta tersebut terletak.
4. Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan
kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani
imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada.
5. Penghasilan bentuk usaha tetap adalah Negara tempat bentuk usah tetap
tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
6. Penghasilan dan pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau
tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan
pertambangan adalah Negara tempat lokasi penambangan berada.
7. Keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah Negara tempat harta
tetap itu berada.
8. Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu
bentuk usaha tetap adalah Negara tempat bentuk usaha tetap itu berada.

Dalam perhitungan kredit pajak atas penghasilan yang dibayar atau terhutang
diluar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terhutang menurut
undang-undang, penentuan sumber pengasilan jadi sangat penting. Selanjutnya,
ketentuan ini mengatur tentang penentuan sumber penghasilan untuk
memperhitungkan kredit pajak luar negeri tersebut. Mengingat undang-undang ini
menganut pengertian yang sangat luas, maka sesuai ketentuan penentuan sumber
dari penghasilan. Misalnya A sebagai wajib pajak dalam negeri memiliki rumah di
singapura dan dalam tahun 2008 rumah tersebut dijual. Keuntungan dari penjualan
rumah tersebut merupakan penghasila yang bersumber di singapura karena rumah
tersebut terletak di singapura.

E. Besarnya Kredit Pajak Luar Negeri yang boleh dikreditkan


Jumlah kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan hanya atas pajak yang
langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
dari luar negeri, dan setinggi tingginya sama dengan jumlah pajak yang dibayar
atau terutang di luar negeri, tetapi tidak boleh melebihi jumlah yang dihitung
menurut perbandingan antara penghasilan dari luar negeri terhadap penghasilan
Kena Pajak dikalikan dengan pajak yang terutang atas penghasilan kena pajak,
atau setinggi-tingginya sama dengan pajak yang terutang atas penghasilan Kena
Pajak dalam hal penghasilan Kena Pajak lebih kecil dari penghasilan luar negeri.
Penghasilan × Pajak terhutang tahun berjalan
Maksimum Kredit Pajak=
PKP

F. Mekanisme Pengkreditan PPh yang Dibayar Diluar Negeri


Menurut keputusan Menteri Keuangan (164/KMK.03/2002):
1. Pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di Luar Negeri dapat
dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang di Indonesia.
2. Pengkreditan PPh yang dibayar di Luar Negeri (PPh Pasal 24) dilakukan
dalam tahun pajak digabungkannya penghasilan dari luar negeri tersebut
dengan penghasilan di Indonesia.
3. Jumlah PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan maksimum sebesar jumlah
yang lebih rendah di antara PPh yang dibayar atau terutang di Luar Negeri
dan jumlah yang dihitung menurut perbandingan antara penghasilan dari
luar negeri dan seluruh Penghasilan Kena Pajak, atau maksimum sebesar
PPh yang terutang atas seluruh Penghasilan Kena Pajak dalam hal di
dalam negeri mengalami kerugian (Penghasilan dari LN lebih besar dari
jumlah Penghasilan Kena Pajak).
4. Apabila penghasilan dari luar negeri berasal dari beberapa negara, maka
penghitungan PPh Pasal 24 dilakukan untuk masing-masing negara.
5. Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang dikenakan PPh Final (Pasal 4 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 ) dan/atau penghasilan yang
dikenakan pajak tersendiri (Pasal 8 ayat (1 dan 4) Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2000 ) tidak dapat digabungkan dengan penghasilan lainnya, baik
yang diperoleh dari Dalam Negeri maupun dari Luar Negeri.
6. Dalam hal jumlah PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri melebihi
PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan, kelebihan tersebut tidak dapat
diperhitungkan di tahun berikutnya, tidak boleh dibebankan sebagai biaya,
dan tidak dapat direstitusi.
7. Untuk melaksanakan prengkreditan PPh Luar Negeri, wajib pajak wajib
menyampaikan permohonan ke KPP bersamaan dengan penyampaian SPT
Tahunan PPh, dilampiri dengan ;
a. Laporan keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri.
b. Foto Copy surat pemberitahuan pajak yang disampaikan diluar
negeri.
c. Dokumen pembayaran PPh diluar negeri.
8. Atas permohonan wajib pajak, Kepala KPP dapat memperpanjang jangka
waktu penyampaian lampiran-lampiran di atas, karena alasan-alasan di luar
kekuasaan wajib pajak.
9. Dalam hal terjadi perubahan besarnya penghasilan yang berasal dari luar
negeri, wajib pajak harus melakukan pembetulan SPT Tahunan yang
bersangkutan dengan melampirkan dokumen-dokumen yang berkenaan
dengan perubahan tersebut.
10. Apabila karena pembetulan SPT tersebut menyebabkan PPh kurang
dibayar, maka atas kekurangan bayar tersebut tidak dikenakan sanksi
bunga.
11. Apabila karena pembetulan SPT tersebut menyebabkan lebih bayar, maka
atas kelebihan tersebut dapat dikembalikan kepada wajib pajak setelah
diperhitungkan dengan utang pajak lainnya.

G. Pengurangan/pengembalian pajak penghasilan luar negeri


Dalam hal terjadi pengurangan atau pengembalian pajak atas penghasilan
yang dibayar diluar negeri, sehingga besarnya pajak yang dapat dikreditkan di
Indonesia menjadi lebih kecil daripada kredit pajak Luar Negeri semula, maka
selisihnya ditambahkan pada pajak penghasilan yang terutang atas seluruh
penghasilan Wajib pajak dalam negeri pada tahun terjadinya pengurangan atau
pengembalian tersebut.
H. Perubahan Besarnya Penghasilan Diluar Negeri

Apabila terjadi perubahan besarnya penghasilan yang berasal dari luar negeri,
wajib pajak harus melakukan pembetulan SPT untuk tahun pajak yang bersangkutan
dengan melampirkan dikumen yang berkenaan dengan perubahan tersebut.
1. Jika karena perubahan tersebut, menyebabkan adanya tambahan penghasilan
yang mengakibatkan pajak yang terutang atas penghasilan luar negeri menjadi
lebih besar daripada yang dilaporkan dalam SPT tahunan, sehingga pajak yang
terutang di Luar Negeri menjadi kurang bayar, maka terdapat kemungkinan
pajak penghasilan di Indonesia juga kurang bayar. Sesuai dengan UU No. 28
tahun 2007 tentang ketentuan Umum dan tatacara perpajakan, apabila WP
membetulkan sendiri SPT yang mengakibatkan pajak yang terutang menjadi
lebih besar, maka kepadanya dikenakan bunga sebesar 2% sebulan atas
jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian SPT
terakhir sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan SPT tersebut.
2. Apabila karena pembetulan SPT tersebut, menyebabkan penghasilan dan
pajak atas penghasilan yang terutang di luar negeri menjadi lebih kecil daripada
yang dilaporkan dalam SPT tahunan, sehingga pajak di luar negeri lebih di
bayar, yang akan mengakibatkan pajak penghasilan yang terutang di Indonesia
menjadi lebih kecil, sehingga pajak penghasilan menjadi lebih dibayar. Atas
kelebihan bayar pajak tersebut dapat dikembalikan kepada wajib pajak setelah
diperhitungkan dengan utang pajak lainnya.

I. Contoh Kasus
PT Cemara memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2018 sebagai berikut:
1. Penghasilan dari luar negeri Rp 5.000.000.000 dengan tarif pajak sebesar
40%.
2. Penghasilan usaha di Indonesia Rp 4.000.000.000.
Maka,jumlah penghasilan neto adalah:
Rp 5.000.000.000 + Rp 4.000.000.000 = Rp 9.000.000.000.
Batas maksimum kredit pajak diambil yang terendah dari 3 unsur/perhitungan
berikut:
1. PPh terutang atau dibayar diluar negeri adalah:
40% x Rp 5.000.000.000 = Rp 2.000.000.000
2. (Rp 5.000.000.000 : Rp 9.000.000.000) x Rp 2.250.000.000 = Rp
1.250.000.000
3. PPh terutang (menurut tarif pasal 17) = Rp 9.000.000.000 x 25% = Rp
2.250.000.000
Dengan demikian kredit pajak yang diperkenankan adalah pada poin 2 sebesar Rp
1.250.000.000.
PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 (PPh 25)

A. Pendahuluan
Ketentuan Pasal 25 Undang – undang pajak penghasilan mengatur tentang
penghitungan besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri oleh wajib
pajak dalam tahun berjalan.
Pajak penghasilan pasal 25 adalah angsuran pajak penghasilan yang harus
dibayar sendiri oleh wajib pajak untuk setiap bulan dalam tahun pajak berjalan.
Angsuran pajak penghasilan 25 tersebut dapat dijadikan sebagai kredit pajak
terhadap pajak yang terutang atas seluruh penghasilan wajib pajak pada akhir
tahun pajak yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahun Pajak
Penghasilan.

Pembayaran pajak dalam tahun berjalan dapat dilakukan dengan:


1. Wajib pajak membayar sendiri (PPh Pasal 25)
2. Melalui potongan atau pemungutan oleh pihak ketiga (PPh Pasal 21, 22, 23,
dan 24).

B. Cara Menghitung Besarnya PPh Pasal 25


Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh
wajib pajak untuk setiap bulan adalah sebasar Pajak Panghasilan yang terutang
menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Panghasilan Tahun Pajak yang lalu
dikurangi dengan:
1. Pajak penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam pasal 21
dan pasal 23 UU PPh, serta pajak penghasilan yang dipungut sebagaimana
dimaksud pasal 22 UU PPh.
2. Pajak penghasilan yang dibayar atau terutang diluar negeri yang boleh
dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 UU PPh. Dibagi 12 (dua
belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

C. Beberapa Masalah/Kasus Untuk Menghitung Besarnya PPh Pasal 25


1. Angsuran bulanan untuk bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT
Tahunan PPh
Besarnya angsuran bulanan untuk bulan sebelum batas waktu
penyampaian SPT tahunan PPh adalah sebesar angsuran pajak untuk
bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu.
Contohnya:
Tuan Dias menyampaikan SPT tahunan PPh 2018 pada bulan maret
2019. Angsuran PPh Pasal 25 pada bulan desember 2018 adalah RP
1.000.000. Maka, besarnya angsuran PPh pasal 25 untuk masa januari dan
februari 2019 Masing-masing adalah Rp 1.000.000.

2. Apabila dalam tahun berjalan, diterbitkan SKP untuk tahun pajak yang lalu
Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak
untuk tahun pajak yang lalu maka, angsuran pajak dihitung kembali
berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut dan berlaku mulai bulan
berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak.
Contohnya:
Berdasarkan surat pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun
Pajak 2018 yang disampaikan Wajib Pajak dalam bulan Maret 2019,
perhitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar adalah sebesar
Rp1.250.000,00. Dalam bulan Juli 2019, diterbitkan Surat Ketetapan Pajak
Tahun Pajak 2018 yang menghasilkan besarnya angsuran pajak setiap
bulan sebesar Rp2.000.000,00. Berdasarkan ketentuan yang berlaku,
besarnya angsuran pajak mulai bulan Agustus 2019 adalah sebesar
Rp2.000.000,00. Penetapan besarnya angsuran pajak berdasarkan Surat
Ketetapan Pajak tersebut bisa sama, lebih besar atau lebih kecil dari
angsuran pajak sebelumnya berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan.

D. Hal – hal Tertentu Untuk Penghitungan Besarnya Angsuran PPh Pasal 25


Direktur Jenderal pajak diberi wewenang untuk menyesuaikan besarnya
angsuran pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan, apabila:
1. Wajib pajak berhak atas kompensasi kerugian.
2. Wajib pajak memperoleh penghasilan tidak teratur.
3. SPT tahunan PPh tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu
yang ditentukan.
4. Wajib pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT
tahunan PPh.
5. Wajib pajak membetulkan sendiri SPT tahunan PPh yang mengakibatkan
angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan.
6. Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan wajib pajak.

E. Angsuran PPh Pasal 25 Bagi WP Baru, Bank, BUMN, BUMD, WP Masuk


Bursa, WP Lainnya, dan WP Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
Sesuai pasal 25 ayat 7 UU PPh, perhitungan PPh pasal 25 bagi Wajib Pajak Baru,
BUMN, BUMD dan Wajib Pajak tertentu lainnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
1. Angsuran PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak Baru:
- Wajib pajak Baru adalah Wajib Pajak orang pribadi dan badan yang
baru pertama kali memperoleh penghasilan dari usaha atau
pekerjaan bebas dalam tahun pajak berjalan, sesuai Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008 tanggal 31 Desember
2008 yang diberlakukan sejak 1 Januari 2009.
- Besarnya angsuran PPh pasal 25 setiap bulan untuk WP Baru
dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas penghasilan netto
sebulan yang disetahunkan, dibagi dua belas.
- Dalam hal WP Baru menyelenggarakan pembukuan dan dari
pembukuannya dapat dihitung besarnya penghasilan netto tiap
bulan, penghasilan netto fiskal dihitung berdasarkan pembukuannya.
- Dalam hal WP Baru hanya menyelenggarakan pencatatan dengan
menggunakan Norma Penghitungan Netto atau menyelenggarakan
pembukuan tetapi dari pembukuannya tidak dapat dihitung besarnya
penghasilan netto setiap bulan, penghasilan netto fiskal dihitung
berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Netto atas
peredaran atau penerimaan bruto.
- Untuk Wajib Pajak orang pribadi Baru, jumlah penghasilan neto
fiskal yang disetahunkan dikurangi terlebih dahulu dengan PTKP.

2. PPh Pasal 25 Wajib Pajak Bank


Dasar untuk penghitungan Angsuran PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak
bank adalah laporan keuangan yang disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan yang terdiri dari laporan posisi keuangan dan laporan laba rugi
sejak awal Tahun Pajak sampai dengan Masa Pajak yang dilaporkan.
Angsuran PPh Pasal 25 dihitung berdasarkan penerapan tarif Pasal 17
Undang-Undang PPh atas penghasilan neto berdasarkan laporan keuangan
tersebut dikurangi dengan:
a. PPh Pasal 22 yang dipotong dan/atau dipungut sejak awal tahun
pajak sampai dengan masa pajak yang dilaporkan.
b. PPh Pasal 25 yang seharusnya dibayar sejak awal tahun pajak
sampai dengan masa pajak sebelum masa pajak yang dilaporkan.
Penghasilan neto untuk menghitung PPh Pasal 25 tidak termasuk:
a. Penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh wajib
pajak.
b. Penghasilan dan biaya sebagai pengurang penghasilan neto yang
dikenai pajak penghasilan yang bersifat final dan/atau bukan objek
pajak penghasilan.
Dalam hal Wajib Pajak memiliki kerugian yang dapat dikompensasikan,
kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan neto.

3. Wajib pajak lainnya dan wajib pajak Masuk Bursa Selain Wajib Pajak Bank
Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat
laporan keuangan berkala yang selanjutnya disebut Wajib Pajak Lainnya
adalah Wajib Pajak yang melaksanakan kegiatan di sektor perasuransian,
dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya
sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dasar untuk penghitungan Angsuran PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak lainnya
dan Wajib Pajak masuk bursa selain bank adalah laporan keuangan yang
disampaikan setiap 3 (tiga) bulan kepada bursa dan/atau Otoritas Jasa
Keuangan yang terdiri dari laporan posisi keuangan dan laporan laba rugi
sejak awal Tahun Pajak sampai dengan periode yang dilaporkan. Angsuran
PPh Pasal 25 dihitung berdasarkan penerapan tarif Pasal 17 Undang-
Undang PPh atas penghasilan neto berdasarkan laporan keuangan
triwulanan dikurangi dengan:
a. PPh Pasal 22 dan Pasal 23 yang dipotong dan/atau dipungut sejak
awal Tahun Pajak sampai dengan Masa Pajak
periode yang dilaporkan.
b. PPh Pasal 25 yang seharusnya dibayar sejak awal Tahun Pajak
sampai dengan Masa Pajak periode yang dilaporkan.

4. Wajib Pajak BUMN dan BUMD


Angsuran PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak BUMN dan BUMD (selain
WP bank, WP masuk bursa, dan/atau WP Lainnya). Dengan nama dan
dalam bentuk apa pun dihitung berdasarkan penerapan tarif Pasal 17
Undang-Undang PPh atas penghasilan neto berdasarkan Rencana Kerja
dan Anggaran Pendapatan (RKAP) Tahun Pajak yang bersangkutan yang
telah disahkan Rapat Umum Pemegang Saham dikurangi dengan
pemotongan dan/atau pemungutan PPh Pasal 22 dan Pasal 23 serta PPh
Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri Tahun Pajak yang lalu,
dibagi 12 (dua belas).
RKAP harus disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak melalui
Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dan harus
disampaikan tidak lewat dari batas waktu pembayaran PPh Pasal 25 Masa
Pajak pertama Tahun Pajak berjalan.

5. WP Orang Pribadi Pengusaha Tertentu


Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah Wajib Pajak
orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan atau jasa, tidak
termasuk jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, pada 1 (satu) atau
lebih tempat kegiatan usaha yang berbeda dengan tempat tinggal Wajib
Pajak. Besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk WP OP Pengusaha
Tertentu, ditetapkan sebesar 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen) dari
jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat usaha
yang berbeda dengan tempat tinggal Wajib Pajak. Pembayaran Angsuran
PPh Pasal 25 dari masing- masing tempat usaha merupakan kredit pajak
atas Pajak Penghasilan yang terutang untuk Tahun Pajak yang
bersangkutan.

6. Angsuran PPh Pasal 25 untuk wajib pajak dalam rangka pemekaran usaha
Jumlah Angsuran PPh Pasal 25 untuk seluruh Wajib Pajak hasil
pemekaran usaha ditetapkan sebesar Angsuran PPh Pasal 25 sebelum
pemekaran usaha. Angsuran PPh Pasal 25 untuk masing-masing Wajib
Pajak hasil pemekaran usaha dihitung berdasarkan persentase nilai harta
yang dialihkan.

F. Contoh Kasus
PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 (PPh 26)

A. Dasar Hukum
Undang-undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008.

B. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26


Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas
penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak (WP) luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.

C. Subjek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26


Subjek pajak PPh Pasal 26 ini adalah wajib pajak luar negeri selain BUT.
Pengertian Wajib Pajak luar negeri bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (4) huruf
b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Pada ketentuan ini Subjek Pajak (juga
Wajib Pajak) luar negeri selain BUT adalah orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang
dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.
Jadi, WP luar negeri seperti ini mendapat penghasilan dari Indonesia tanpa
perlu melakukan kegiatan usaha di Indonesia melalui BUT. Misalnya warga negara
Singapura yang memiliki saham PT Indosat yang menerima penghasilan berupa
deviden dari PT Indosat.

D. Pengecualian
Wajib pajak luar negeri yang dikecualikan dari Subyek Pajak PPh pasal 26 ini
adalah:
1. BUT dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 26 apabila Penghasilan
Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari BUT ditanamkan
kembali di Indonesia dengan syarat :
a. Dilakukan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang
didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau
peserta pendiri, dan;
b. Dilakukan dalam tahun berjalan atau selambat-lambatnya tahun
pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperoleh
penghasilan tersebut.
c. Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut
sekurang-kurangnya dalam waktu 2 (dua) tahun sesudah
perusahaan tempat penanaman dilakukan, mulai berproduksi
komersil.
2. Badan-badan Internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
E. Tarif Pajak Dan Penerapannya
Besarnya tarif PPh Pasal 26 dibedakan atas kelompok objek PPh Pasal 26 seperti
berikut:
1. Atas penghasilan yang berupa:
a. Dividen
b. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan
dengan jaminan pengembalian utang.
c. Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta;
d. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e. Hadiah dan penghargaan
f. Pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
g. Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya.
h. Keuntungan karena pembebasan utang.
Dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan, disediakan
untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya dipotong pajak
sebesar 20% dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan.
PPh Pasal 26=Penghasilan bruto ×20 %
2. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto berupa:
a. Penghasilan dari penjualan harta diIndonesia.
b. Premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar
negeri.
Dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto.
PPh Pasal 26=( Penghasilan Bruto × Perkiraan penghasilan Neto ) ×20 %
Besarnya perkiraaan neto untuk penjualan harta adalah 25% dari harga
jual.
3. Atas penghasilan yang berupa penjualan atau pengalihan saham dipotong
PPh Pasal 26 sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto.
4. 20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di
Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.

F. Contoh Kasus
Mike adalah karyawan asing pada perusahaan PT Dira Consult. Mike bertempat tinggal
kurang dari 183 hari. Mike sudah beristri, dan mempunyai seorang anak. Dalam bulan April
2009, Mike memperoleh gaji US$ 5,000 sebulan. Kurs yang berlaku Rp. 10.500,00 per US$
1.
Perhitungan PPh pasal 26 :
Penghasilan bruto berupa gaji sebulan :
5,000 x Rp. 10.500,00 = Rp. 52.500.000,00
Penerapan tarif :
20% x Rp. 52.500.000,00 = Rp. 10.500.000,00
PPh pasal 26 atas gaji Mike bulan April 2009 adalah Rp. 10.500.000,00
PBB, PPnBM dan BEA MATERAI

A. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)


 Dasar Hukum
Dasar hukum Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Undang-undang
No 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No
12 Tahun 1994.
 Pengertian PBB
PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak
terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau
bangunan. Keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan
besarnya pajak.
Surat Premberitahuan Objek Pajak (SPOP)badalah surat yang
digunakan Wajib Pajak untuk melaporkan data objek menurut ketentuan
Undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan.
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) adalah surat yang
digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya
pajak terutang kepada Wajib Pajak.
 Asas Pajak Bumi dan Bangunan
1. Memberikan kemudahan dan kesederhanaan.
2. Adanya kepastian hukum.
3. Mudah dimengerti dan adil.
4. Menghindari pajak berganda.
 Nilai Jual Objek Pajak
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah harga rata-rata yang diperoleh
dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, atau ditentukan melalui
perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan
baru, atau Nilai Jual Objek pajak pengganti.
Besarnya NJOP ditentukan berdasarkan klasifikasi:
1. Objek pajak sektor pedesaan dan perkotaan
2. Objek Pajak sektor Perkebunan
3. Objek pajak sektor Kehutanan atas Hak Pengusahaan Hutan, Hak
Pengusahaan Hasil Hutan, Izin Pemanfaatan Kayu serta izin Sah
lainnya selain Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri.
4. Objek Pajak Sektor Kehutanan atas Hak Pengusahaan Hutan
Tanaman Industri.
5. Objek Pajak Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi.
6. Objek Pajak Sektor Pertambangan Energi Panas Bumi.
7. Objek Pajak Sektor Pertambangan Non Migas selain Pertambangan
Energi Panas Bumi dan Galian C.
8. Objek Pajak Sektor Pertambangan Non Migas Galian C.
9. Objek pajak Sektor Pertambangan yang dikelola berdasarkan
kontrak Karya atau Kontrak Kerjasama.
10. Objek pajak usaha bidang perikanan laut.
11. Objek Pajak usaha bidang perikanan darat.
12. Objek Pajak yang bersifat Khusus
 Objek Pajak
1. Yang menjadi objek pajak adalah bumi dan atau bangunan.
2. Yang dimaksud klasifikasi bumi dan bangunan adalah
pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan
digunakan sebagai pedoman, serta untuk memudahkan
penghitungan pajak yang terutang.
3. Pengecualian objek pajak.
Objek pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah
pajak yang:
a) Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum
dan tidak untuk keuntungan.
b) Digunakan ntuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang
sejinis dengan itu.
c) Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata,
taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh
desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak.
d) Digunakan olek perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan
asas perlakuan timbal balik.
e) Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi
internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
4. Objek pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan
pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
5. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)
ditetapkan untuk Masing-masing Kabupaten/Kota dengan besar
setinggi-tingginya Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) untuk
setiap Wajib Pajak. Apabila seorang Wajib Pajak mempunyai
beberapa Objek pajak, yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu
Objek Pajak yang nilainya terbesar, sedangkan Objek pajak lainnya
tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi NJOPTKP.
Contoh:
Seorang Wajib Pajak mempunyai Objek Pajak berupa bumi
dengan nilai Rp 4.000.000,00 dan besarnya NJOPTKP untuk Objek
pajak wilayah tersebut adalah Rp 6.000.000,00.Karena NJOP
berada di bawah batas NJOPTKP (Rp 6.000.000,00), maka Objek
Pajak tersebut tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan.
 Tarif Pajak dan Dasar Pengenaan Pajak
Besarnya tarif PBB adalah 0,5%.
Dasar penghitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP). Besarnya
persentase NJKP adalah sebagai berikut :
a) Objek pajak perkebunan adalah 40%
b) Objek pajak kehutanan adalah 40%.
c) Objek pajak pertambangan adalah 40%.
d) Objek pajak lainnya (pedesaan dan perkotaan)
e) Apabila NJOP-nya≥ Rp1.000.000.000,00adalah 40%.
f) Apabila NJOP-nya < Rp1.000.000.000,00 adalah 20%
 Cara Menghitung Pajak
Besarnya pajak terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak
dengan NJKP:

Pajak Bumi dan Bangunan = Tarif pajak x NJKP


= 0,5% x [Persentase NJKP x (NJOP - NJOPTKP)

 Contoh Kasus
Wajib pajak A mempunyai sebidang tanah dan bangunan yang NJOP-nya
Rp 20.000.000 dan NJOPTKP untuk daerah tersebut Rp 12.000.000. Maka
besarnya pajak yang terutang adalah:
= 0,5% x 20% x (Rp 20.000.000 – Rp 12.000.000)
= Rp 8.000
B. Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM)
 Pengertian Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah) ialah pajak yang
dibebankan kepada produsen barang mewah atas kegiatan produksi atau
impor barang tersebut. PPnBM biasanya dimasukkan ke dalam harga jual
produk dan dibayarkan oleh konsumen atas transaksi pembelian produk.
Dapat dikatakan bahwa PPnBM adalah pungutan wajib yang diserahkan
kepada pemerintah atas transaksi pertama barang mewah. Artinya,
penjualan barang bekas produk mewah tidak mengharuskan pihak terkait
melakukan pembayaran PPnBM. PPnBM yang dibayarkan oleh PKP saat
membeli barang mewah tersebut menjadi Pajak Masukan bagi pembeli.
 Karakteristik dan Dasar Pengenaan PPnBM
Berbeda dengan PPN, berikut ini karakteristik yang dimiliki oleh PPnBM,
seperti:
1. PPnBM adalah pungutan tambahan yang dikenakan pada barang
mewah di samping pengenaan PPN.
2. PPnBM hanya dikenakan satu kali, yaitu pada saat
impor/penyerahan BKP yang tergolong mewah yang dilakukan
pabrikan yang menghasilkan BKP yang tergolong mewah.
3. Tidak dapat dikreditkan, untuk dapat mewujudkan tujuan pemberian
beban pajak tambahan.
4. Apabila BKP mewah diekspor, maka PPnBM yang dibayar berkaitan
dengan perolehan BKP mewah yang berhubungan langsung dengan
BKP, dapat diminta kembali.
Sebelum mengetahui cara menhitung PPnBM, dasar pengenaan
PPnBM yang meliputi:
a. Harga jual produk (termasuk biaya tambahan yang dikenakan oleh
penjual).
b. Nilai impor (cukai impor, uang dari biaya masuk serta pungutan
lainnya).
c. Nilai eskpor (semua biaya yang dibebankan oleh eksportir).
d. Biaya penggantian (termasuk biaya penyerahan, ekspor jasa kena
pajak dan barang kena pajak).
Mekanisme pengenaan PPnBM sedikit berbeda dengan PPN.
Mekanisme pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dilakukan
dengan faktur pajak sebagaimana diisyaratkan dalam pemungutan PPN.
Hanya saja, bagi PPnBM tidak dikenal istilah pajak masukan, sehingga
tidak dikenal sistem pengkreditan seperti dalam PPN.
 Jenis Barang Mewah PPnBM
Sesuai UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) atau UU PPN,
barang yang termasuk contoh PPnBM meliputi barang-barang berikut:
1. Barang selain kebutuhan pokok masyarakat.
2. Barang yang dikonsumsi masyarakat kalangan atas atau
berpenghasilan tinggi.
3. Barang yang secara eksklusif dikonsumsi masyarakat tertentu.
4. Barang yang konsumsinya menunjukkan kelas social.
 Tarif PPnBM
Tarif PPnBM menurut Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (PPnBM). Pengenaan tarif PPnBM paling rendah adalah 10% dan
maksimum 20%.
Adanya perbedaan pengenaan tarif PPnBM didasarkan atas klasifikasi
barang tergolong mewah yang terkena PPnBM Berdasarkan konsultasi
dengan DPR Namun guna memacu transaksi ekspor produk dalam negeri,
PPnBM bisa bernilai 0% bila produsen mengekspor barang mewah
tersebut.
Selain itu, tarif PPnBM mobil dan barang mewah lainnya diberlakukan
dengan cara mengalikan nilai dasar pengenaan pajak terhadap besaran
tarif PPnBM. Tarif yang dibebankan pada Pajak Penjualan atas Barang
Mewah tentu jauh lebih besar dibanding tarif PPN Hal ini mengingat PPnBM
memang ditujukan untuk pengendalian konsumsi barang yang tergolong
mewah. Selain itu, penerapan PPnBM juga merupakan upaya pemerintah
untuk memberikan perlindungan terhadap produsen kecil dan tradisional.
Tarif PPnBM berbeda-beda tergantung jenis barangnya alias tarif
PPnBM bersifat progresif. Besarnya persentase PPnBM yang harus
dibayarkan bahkan mengalami kenaikan yang cukup signifikan.
Dalam Pasal 8 UU No. 18 Tahun 2000, rentang tarif PPnBM adalah 10%
hingga 75%. Kemudian, pada 8 UU No. 42 Tahun 2009, tarif PPnBM paling
tinggi adalah mencapai 200%. Meski demikian, untuk kegiatan konsumsi
barang mewah di luar daerah pabean dikenai tarif 0%. Tarif 0% dikenakan
pula pada barang mewah yang diekspor. Wajib pajak bahkan dapat
meminta kembali pembayaran pajak atas barang mewah yang diekspor
atau restitusi pajak apabila PPnBM terlanjur dibayar.
 Contoh kasus PPnBM
Berikut adalah contoh cara menghitung PPnBM untuk barang mewah:
Pak Dani mengimpor BKP (Barang Kena Pajak) mewah dengan nilai
impor senilai Rp7.000.000. Sedangkan tarif PPnBM yang dikenakan
misalnya 15%. Sehingga diketahui apabila dasar pengenaan PPnBM
adalah Rp7.000.000 dengan tarif PPN 10%, maka:
PPN = Tarif PPN x Dasar Pengenaan Pajak
PPN = 10% x Rp7.000.000
PPN = Rp700.000

Sedangkan cara menghitung PPnBM adalah:


PPnBM = Tarif PPnBM x Dasar Pengenaan Pajak
PPnBM = 15% x Rp7.000.000
PPnBM = Rp1.050.000
C. Bea Materai
 Pengertian Bea Materai
Bea materai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen berupa
kertas yang menurut Undang-undang Bea Materai menjadi objek Bea
Materai.
Dasar hukum pengenaan Bea Materai adalah Undang-undang
Nomor 13 Tahun 1985 atau disebut juga Undang-undang Bea
Materai. Undang-undang ini berlaku sejak tanggal 1 Januari 1986.
Selain itu, untuk mengatur pelaksanaannya, telah dikeluarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1995 sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perubahan Tarif Bea Materai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga
Nominal yang dikenakan Bea Materai.
 Prinsip Umum Pemungutan / Pengenaan Bea Materai
1. Bea materai dikenakan atas dokumen (merupakan pajak atas
dokumen).
2. Satu dokumen hanya terutang satu bea materai.
3. Rangkap/tindasan (yang ikut ditanda tangani) terutang Bea Materai
sama dengan aslinya.
 Objek Bea Materai
Objek pemungutan bea materai diatur berdasarkan Aturan Bea Materai
1921 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang
nomor 13 tahun 1985 adalah dokumen.
Dokumen yang menjadi objek pemungutan adalah dokumen yang ditulis
di atas kertas. Dokumen yang tidak di tulis di atas kertas tidak termasuk ke
dalam objek dari pemungutan bea materai.
Pada prinsipnya dokumen yang harus dikenakan meterai adalah
dokumen menyatakan nilai nominal sampai jumlah tertentu, dokumen
yang bersifat perdata dan dokumen yang digunakan di muka
pengadilan, antara lain:
a. Alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan
yang bersifat perdata.
b. Akta-akta notaris termasuk salinannya.

c. Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah

termasuk rangkap-rangkapnya. Surat perjanjian dan surat-surat

lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai.

d. Surat yang memuat jumlah uang yaitu:

- Yang menyebutkan penerimaan uang;

- Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang

dalam rekening bank;

- yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank

- yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau

sebagian telah dilunasi atau diperhitungkan.

e. Surat berharga seperti wesel, promes, aksep dan cek.

f. Dokumen yang dikenakan Bea Meterai juga terhadap dokumen yang

akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan yaitu

surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan, dan surat-

surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan


tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh

orang lain, lain dan maksud semula.


 Dokumen yang Dikenakan Bea Materai (Tarif Bea Materai)
Berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Taun 1985 atau disebut juga
Undang-undang Bea Materai dan PP Nomor 7 Tahun 1995 sebagaimana
telah diubah dengan PP Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea
Materai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang dikenakan Bea
Materai, menyatakan bahwa dokumen-dokumen yang dikenakan tarif Bea
Materai antara lain:
a. Tarif Bea Materai Rp 6.000 untuk dokumen sebagai berikut:
- Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat
dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat
pembuktianmengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan
yang bersifat pendata.
- Akta-akta Notaris termasuk salinannya: Rp 6.000.
- Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
termasuk rangkap-rangkapnya Rp 6.000.
- Surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep Rp 6.000
- Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian
di muka Pengadilan Rp 6.000, yaitu:
1) Surat-surat biasa dan surat-surat kerumah tanggaan.
2) surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea
Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan
untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain
selain dan tujuan semula.
b. Untuk dokumen yang menyatakan jumlah uang, seperti kuintas,
billing statement, dll dengan batasan sebagai berikut:
- Nominal sampai Rp250.000,- tidak dikenakan Bea Meterai
- Diatas antara Rp250.000,- sampai Rp1.000.000,-
dikenakan Bea Meterai Rp3.000,-
- Diatas Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 6.000,-
c. Cek dan Bilyet Giro dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp
3.000,- tanpa batas pengenaan besarnya harga nominal.
d. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai
harga nominal sampai dengan Rp1.000.000,- dikenakan Bea
Meterai Rp 3.000,- sedangkan yang mempunyai harga nominal lebih
dari Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 6.000,-.
 Tidak Dikenakan Bea Materai
Secara umum dokumen yang tidak dikenakan bea meterai adalah
dokumen yang berhubungan dengan transaksi intern perusahaan,
berkaitan dengan pembayaran pajak dan dokumen Negara. Terdapat
beberapa pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada surat tanda tanpa
bea materai, namun berdasarkan Pasal 4 undang-undang Nomor 13 Tahun
1985 disebutkan bahwa terdapat dokumen-dokumen tertentu tidak
dikenakan bea materai adalah:
a. Dokumen yang berupa:
1. Surat penyimpanan barang
2. Konosemen
3. Surat angkutan penumpang dan barang;
4. Bukti pengiriman dan penerimaan barang
5. Bukti untuk pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan
pengirim;
6. Surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan
pengirim;
7. Surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-
surat di atas.
b. Segala bentuk ijazah
c. Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan dan
pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan
kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan
pembayaran itu.
d. Tanda bukti penerimaan uang negara dan kas negara, kas
pemerintah daerah dan bank.
e. Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya
yang dapat disamakan dengan itu ke kas negara, kas pemerintah
daerah dan bank.
f. Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern
organisasi.
g. Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang
tabungan kepada penabung oleh bank, koperasi, dan badan-badan
lainnya yang bergerak di bidang tersebut.
h. Surat gadai yang diberikan oleh Perum Pegadaian.
i. Tanda pembagian keuntungan atau bunga dan Efek, dengan nama
dan bentuk apapun.
 Saat Terhutang Bea Materai
a. Dokumen yang dibuat oleh satu pihak, adalah pada saat dokumen
itu diserahka dan diterima oleh pihak untuk siapa dokumen
itu dibuat,jadi bukan pada saa ditandatangani, misalnya:
kuitansi tanda terima uang terutang bea materai pada saat kuitansi
tersebut diserahkan.
b. Dokumen yang dibuat lebih dari salah satu pihak, adalah pada saat
selesai dibuat yang ditutup dengan pembubuhan tanda tangan dari
yang bersangkutan. Contoh: dokumen perjanjian hutang piutang,
terutang bea materai setelah dokumen hutang piutang tersebut
ditandatangani oleh kedua belah pihak.
c. Dokumen yang dibuat diluar negeri adalah pada saat digunakan di
Indonesia. Bea materai yang terutang dilunasi dengan cara
pemateraian. Contoh: dokumen perjanjian antara Departemen
Energi dan Sumber Daya Mineral dengan Perusahaan Kontraktor di
Perancis dalam rangka pembuatan system pengeboran minya lepas
pantai. Perjanjian di buat di Paris maka atas dokumen perjanjian
tersebut terutang bea materai pada saat dimulainya pelaksanaan
perjanjian tersebut di Indonesia.
 Tata Cara Pelunasan Bea Materai
1. Dengan menggunakan benda materai, yaitu:
1) Materai tempel.
2) Kertas materai.
2. Dengan cara lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan
Untuk lebih jelasnya, cara pelunasan Bea Materai tersebut dapat
digambarkan dengan bagan berikut ini:
 Kedaluwarsa
Kewajiban pemenuhan bea meterai dan denda administrasi yang
terutang mempunyai kadaluwarsa setelah melampaui waktu 5 tahun
sejak tanggal dokumen dibuat. Hal ini berlaku untuk seluruh dokumen
termasuk kwitansi.
DAFTAR PUSTAKA
Fahriyah, M. (2023, Desember 3). Diambil kembali dari Academia.edu:
https://www.academia.edu/29953870/MKALAH_PAJAK_PPH_PASAL_21?shem=ssc

Prof. Dr. Mardiasmo, M. A. (2019). PERPAJAKAN EDISI 2019. Yogyakarta: Penerbit ANDI.

Yuliani, E. (2023, Desember 1). Diambil kembali dari Academia.edu:


https://www.academia.edu/35244832/Makalah_pph_pasal_25?shem=ssc

Yuliatiningsih, R. (2023, Desember 1). Diambil kembali dari Academia.edu:


https://www.academia.edu/8697787/Makalah_PPh_Pasal_22?shem=ssc

Anda mungkin juga menyukai