DASAR HUKUM
1.UU No.7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan S.t.d.t.d UU No.36 Tahun 2008.
2.PP No.94 Tahun 2010 Tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan
Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan.
3.Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER – 17/PJ/2015 Tentang Norma Penghitungan
Penghasilan Neto.
4.PP No.34 Tahun 2016 Tentang PPh. Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah
Dan/Atau Bangunan , Dan PPJB Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Beserta Perubahannya.
5.Peraturan Menteri Keuangan No.261/PMK.03/2016 Tentang Tata Caraa Penyetoran,
Pelaporan, Dan Pengecualian Pengenaan PPh. Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak
Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, Dan PPJB Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Beserta
Perubahannya.
6.Peraturan Direktur Jenderal Pajak No.PER – 18/PJ/2017 Tentang Tata Cara Penelitian Bukti
Pemenuhan Kewajiban Penyetoran PPh. Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah
Dan/Atau Bangunan , Dan PPJB Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Beserta Perubahannya.
7.Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER – 26/PJ/2018 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Direktur Jenderal Pajak No. PER – 26/PJ/2017.
8.PP No.40 Tahun 2016 Tentang PPh.Atas Penghasilan Dari Pengalihan Real Estat Dalam Skema
Kontrak Investasi Kolektif Tertentu.
9.Peraturan Menteri Keuangan No. 37/PMK.03/2017 Tentang Tata Cara Pembayaran
Dan Pelaporan PPh. Atas Penghasilan Dari Pengalihan Real Estat Dalam Skema Kontrak
Investasi Kolektif Tertentu.
REFERENSI
Pasal 1
Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subyek Pajak atas Penghasilan yang diterima atau diperolehnya
dalam tahun pajak.
Sifat PPh. : Pajak Langsung – direct tax, dikenakan terhadap Subyek Pajak yang menerima atau
memperoleh Penghasilan.
.
Saat Terhutang : Saat Pengasilan diterima atau diperoleh.
Sistem Pemajakan : Self Assessment system
Subyek Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan, dalam UU ini disebut : WAJIB PAJAK.
Tahun Pajak adalah Tahun Kalender.
Wajib Pajak dapat menggunakan Tahun Buku yang tidak sama dengan Tahun Kalender, sepanjang
Tahun
2. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;
b. Badan ; dan
Penjelasan :
Pada dasarnya Subyek Pajak Penghasilan terbagi atas Subyek Pajak Orang Pribadi dan Subyek Pajak
Badan.
Berdasarkan Status (Tax Status) nya, kedua jenis Subyek Pajak tersebut masing-masing dibagi menjadi
Subyek Pajak Dalam Negeri (Resident Taxpayer) dan Subyek Pajak Luar Negeri (Non-Resident
Taxpayer). – Pasal 2 ayat(2).
Kriteria penentuan Status untuk Subyek Pajak Orang Pribadi didasarkan pada Prinsip Tempat Tinggal
atau Domisili, dan untuk Subyek Pajak Badan didasarkan pada Prinsip Tempat Pendirian
atau Tempat Kedudukan (Incorporated;Established,/Residency).
Orang Pribadi : Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, Orang pribadi yang berada di
Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan, atau Orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai
niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
nit tertentu dari Badan
Badan : Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali u
pemerintah yang memenuhi kriteria :
Orang Pribadi :
a.Orang pribadi yang tidak bertepat tinggal di Indonesia, Orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, yang menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, dan
b.Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, Orang pribadi yang berada
di Indonesiatidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, yang dapat menerima
atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
Badan :
a.Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, dan
b.Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat
menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
Bentuk Usaha Tetap : merupakan Subyek Pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan
Subyek Pajak Badan; dan bestatus sebagai Subyek Pajak Luar Negeri.
Bentuk Usaha Tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh Orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia, Orang pribadi yang berada di Indonesia tdak lebih dari 183 hari dalam
jangka waktu 12 bulan, dan Badan yang tidak didirikan dan tidak betempat kedudukan di
Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa
:
adanya assets (harta tetap); atau pemberian jasa; atau adanya jasa keagenan; atau adanya
penyelenggaraan transaksi elektronik melalui internet. Lihat pasal 2 ayat(5).
Pembedaan subyek pajak berdasarkan statusnya tersebut berguna dalam menentukan luasnya
pemajakan (scope of taxation) dan system pemajakannya.
Status Notaris
Berdasarkan penggolongan , status, dan kriteria diatas, seorang Notaris sebagai orang pribadi yang
betempat tinggal di Indonesia, mempunyai status sebagai Subyek Pajak Orang Pribadi Dalam
Negeri. Dalam hal Notaris tersebut menerima atau memperoleh penghassilan maka disebut
sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri.
Dengan demikian bagi Subyek Pajak Badan, satu Badan Hukum merupakan basis sebagai satu unit
fiscal. Sedangkan bagi Subyek Pajak Orang Pribadi, satu keluarga merupakan basis satu unit
fiscal.
Contoh :
PT Bank Mandiri mendirikan anak perusahaan di New York dengan nama Mandiri
America Inc. Disamping itu bank tsb.telah memiliki kantor cabang diseluruh kota besar
di Indonesia
dan kantor cabang New York, Singapura dan Paris.
Tentukan tax status dari anak perusahaan dan cabang – cabangnya.
PT Bank Mandiri dan seluruh cabang di Indonesia ------ Subyek Pajak Badan Dalam
Negeri.
Kantor cabang Mandiri New York, Singapura, Paris ---- Subyek Pajak Badan Dalam
Negeri.
Anak Perusahaan, Mandiri America Inc. ---------- bukan subyek pajak Indonesia.
Bank of America Inc. New York, memiliki cabang BOA di Jakarta, dan memiliki anak
perusahaan di Jakarta PT Bank Amerika Security.
Tentukan tax status Cabang dan anak perusahaan tersebut.
Kantor cabang BOA Jakarta ------------- Subyek Pajak Badan Luar Negeri.
Anak perusahaan PT Bank Amerika Security ----------- Subyek Pajak Badan Dalam Negeri.
3.Kewajiban pajak subyektif orang pribadi atau badan subyek pajak luar negeri yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT, dimulai pada saat orang
pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT,
dan berakhir tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT. -----
Pasal 2 ayat (4) huruf a dan Pasal 2 ayat (5).
4.Kewajiban pajak subyektif orang pribadi atau badan subyek pajak luar negeri yang
dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak melalui BUT,
dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia dan berakhir pada saat tidak lagi menerima atau
memeperoleh penghsilan tersebut. ------ Pasal 2 ayat (4) huruf b.
Keuntungan dari penjualan atau pengalihan harta ( aktiva ) merupakan selisih lebih atara harga
jual ( harga pasar wajar ) harta pada saat dijual/dialihkan dengan nilai perolehan atau nilai fiscal
( nilai sisa buku bedasarkan penyusutan fiscal ) atas harta yang disusutkan.
5.Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat
menghitung Penghasilan Kena Pajak dan pembayaran tambahan pengembalian pajak.
6.Bunga termasuk premium , diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
7.Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi
kepada pemegang polis , dan pembagian sisa hasil usaha koperasi ;
8.Royalty atau imbalan atas penggunaan hak ;
9.Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta ;
10.Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala ;
11.Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai jumlah tertentu yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah;
12.Keuntungan selisih kurs mata uang asing ;
13.Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva ;
14.Premi asuransi ;
15.Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib
Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaaaan bebas ;
16.Tambahan kekayaan neto yangberasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak ;
17.Penghasilan dari usaha yang berbasis Syariah ;
18.Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam UU KUP ;
19.Surplus Bank Indonesia.
Pasal 4 ayat (2).
Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final :
a.- Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang
negara , dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang
pribadi ;
b.- Penghasilan berupa hadiah undian ;
c.- Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivative yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal
padaperusahaan pasangannya yang siterima oleh perusahaan modal ventura ;
d.- Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa
konstrusi, usaha real estate , dan persewaan tanah dan/atau bangunan ; dan
e.- Penghasilan tertentu lainnya,
yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Adapun Penghasilan yang dikenai PPh bersifat Final diatur dengan Peraturan Pemerintah
sebagai berikut :
1.-PPh Final atas Bunga Deposito/Tabungan, dan Diskonto SBI
PP Nomor 131 Tahun 2000 jo. KMK – 51/KMK.04/2001.
2.-PPh Final atas Penghasilan dari Transaksi Saham di Bursa Efek
PP Nomor 41 Tahun 1994 stdtd PP Nomor 14 Tahun 1997 jo. KMK Nomor 242/KMK.04/1997
jo. SE – 06/PJ.4/1997 dan SE – 15/PJ.42/1997.
3.-PPh Final atas Penghasilan Hadiah Undian
PP Nomor 132 Tahun 2000 jo. KEP – 395/PJ/2001 jo. SE – 19/PJ.43/2001.
4.-PPh Final atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan /atau Bangunan, dan
Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/ atau Bangunan Beserta Perubahannya
PP Nomor 34 Tahun 2016 jo. PMK Nomor 261/PMK.03/2016 jo.Per.Dirjen Pajak Nomor PER
– 18 /PJ/2017 jo. Per.Dirjen Pajak Nomor PER – 26/PJ/2018.
5.-PPh Final atas Penghasilan dari Pengalihan Real Estat dalam Skema Kontrak Investasi
Kolektif Tertentu
PP Nomor 40 Tahun 2016 jo. PMK Nomor 37/PMK .03 /2017.
PP Nomor 29 Tahun 1996 stdtd PP Nomor 5 Tahun 2002 jo. KMK – Nomor
394/KMK.04/1996 stdtd KMK Nomor 120 /KMK.03/2002 jo. Kep. Dirjen Pajak Nomor KEP-
227/PJ./2002.
7.-PPh Final atas Bunga /Diskonto Obligasi yang Diperdagangkan di Bursa Efek
PP Nomor 16 Tahun 2009.
8.-PPh Final atas jasa Konstruksi
PP Nomor 51 Tahun 2008 stdtd PP Nomor 40 Tahun 2009 jo. PMK Nomor
187/PMK.03/2008 jo. PMK Nomor 153 /PMK.03/2009 jo. SE – 05/PJ.03/2008.
9.-PPh Final atas Penghasilan Perusahaan Modal Ventura dar Transaksi Penjualan Saham atau
Pengalihan Penyertaan Modal Pada Perusahaan Pasangan Usaha
PP Nomor 4 Tahun 1995 jo. KMK – Nomor 250 /KMK.04/1995 jo. SE – 33/PJ.4/1995.
10.-PPh Final atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara
PP Nomor 27 Tahun 2008 jo. PMK Nomor PMK – 63/PMK.03/2008 jo. Per Dirjen Pajak Nomor
PER – 18/PJ./2008. ---- PP ini tidak didasarkan atas kuasa Pasal 4ayat(2), tetapi berdasar kuasa
Pasal 17 ayat ( 2c ).
11.-PPh Final atas Penghasilan dari Usaha Yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Yang
Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
PP Nomor 46 Tahun 2013 jo. PP Nomor 23 Tahun 2018.
Simpulan
Dengan demikian dapat disimpulkan konstruksi Pasal 4 sebagai berikut :
Pasal 4 ayat {1) menyiratkan pengaturan pajak komprehensif s ecara Global / Unitary system,
yang artinya semua jenis dan kelompok penghasilan tanpa melihat sumber asalnya, untuk
pemajannya digunggungkan /dijumlahkan ( plus/minus dikurangi kompensasi horizontal )
menjadi satu kesatuan Penghasilan Kena Pajak ( Unitary taxable income ) d an dikenakan PPh
berdasarkan Basis Neto dengan tarif umum , progresif untuk WP Orang Pribadi dan flat untuk
WP Badan.
Selanjutnya Pasal 4 ayat (2) menyiratkan system pemajakan skedular (Schedular – tax system )
– tiap jenis penghasilan mempunyai skedul dan tarip pajak tersendiri. Dengan alasan
kemudahan administrasi , kesederhanaan dan kepastian hukum serta penerimaan negara.
Dalam system seperti ini , kebanyakan diberlakukan pemajakan berdasar Basis bruto dengan
tarif final.
Terahkir , Pasal 4 ayat ( 3 ) merumuskan beberapa kenaikan kemampuan ekonomis yang
dianggap bukan merupakan Penghsilan Kena Pajak.
Obyek Pajak yang dikenakan pajak tersendiri / final berdsarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2 ) UU
PPh, untuk materi kuliah ini hanya akan dibahas PPh yang menyangkut pengalihan hak atas
tanah dan /atau bangunan , dan pengalihan PPJB.
b. Harta hibah yang diterima keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat,
badan keagamaan, badan Pendidikan, badan sosial termasuk Yayasan, koperasi, atau
orang pribadi pengusaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan PMK, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan,
atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
PMK Nomor 245/PMK.03/2008 antara lain mengatur :
-Keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah orang tua dan anak
kandung. Hibah orang tua kepada anak kandung, atau hibah anak kepada orang tua
bukan obyek pajak.
-Ketentuan pengecualian ini berlaku apabila pihak pemberi hibah , bantuan, atau
sumbangan tidak mempunyai hubungan usaha , pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan
dengan penerima hibah, bantuan atau sumbangan.
-Harta hibah, bantuan, atau sumbangan dibukukan oleh pihak penerima sesuai dengan
nilai buku harta hibah , bantuan, atausumbangan dari pihak pemberi.
PP Nomor 94 Tahun 2010, pada Pasal 8 menyebutkan bahwa (a) hubungan usaha antara
pihak-pihak yang bersangkutan terjadi jika terdapat transaksi rutin antara kedua pihak
berupa pembelian, penjualan atau pemberian imbalan lain dengan nama dan dalam betuk
apapun ; (b) hubungan pekerjaan terjadi jika antara kedua pihak terdapat hubungan
kerja, pemberian jasa atau pelaksanaan kegiatan langsung atau tidak langsung. (c)
kepemilikan adalah penyertaan modal sebagaimana dimaksud Pasal 18 ayat (4) huruf a
UU PPh , yaitu Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung
paling rendah 25 % (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain ; atau hubungan antara
Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua
Wajib Pajak atau lebih ; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut
terakhir . Sedangkan penguasaan adalah sebagaimana dimaksud Pasal 18 ayat (4) huruf b
UU PPh, yaitu Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya, atau dua atau lebih Wajib Pajak
berada dibawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung.
Atas hibah , bantuan atau sumbangan yang tidak memenuhi syarat tersebut diatas
agi penerimanya; pemajakannya diatur dalam Pasal
menjadi obyek pajak ( taxable gifts ) b
4 ayat (1) huruf (d) angka4 UU PPh untuk Pemberi dan Pasal 4 ayat (3) huruf (a) angka 1
dan 2 UU PPh. Misalnya Sdr A menghibahkan hartanya dengan nilai buku Rp 30 juta dan
harga pasar Rp 40 juta kepada teman karibnya Sdr B . menurut Pasal 4 ayat (1) huruf (d)
angka 4, atas keuntungan Rp 10 juta (selisih lebih harga pasar di atas nilai buku ) dari
harta yang dihibahkan kepada Sdr B, Sdr A terkena PPh 5 % ( dengan tidak memperhatikan
penghasilan lainnya ) sbesar Rp 500 ribu. Sementara itu, atas penerimaan harta hibah
seharga pasar Rp 40 juta , karena tidak memenuhi syarat bukan obyek pajak, Sdr B harus
membayar PPh 5 % atau sebesar Rp 2 juta. Akibatnya , atas hibah tersebut harus dibayar
total PPh sebesar Rp 2,5 juta. Jika transaksi tersebut terkena tarif pajak marginal tertinggi
30% , maka PPh yang harus dibayar adalah sebesar Rp 30 juta.
2 Warisan ;
3 Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau
penyertaan modal. Jika dalam penyetoran modal berupa harta terdapat selisih antara
nilai buku dengan nilai pasar harta , menurut Pasal 4 ayat (1) hurf (d) angka 1, selisih ini
merupakan keuntungan bagi penyetor modal. Karena itu badan penerima setoran harta
sebagai pengganti modal tersebut harus membukukan sebesar nilai / harga pasar harta.
4 Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan ( labor fringe benefits ) dari Wajib
Pajak ( WP) atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan WP , WP yang dikenai
PPh Final, atau WP yang menggunakan Norma Penghitungan Khusus ( Deemed Profit )
sebagaimana dimaksud Pasal 15 UU PPh, misal PPh Perusahaan Pelayaran atau
Penerbangan Dalam Negeri dan Luar Negeri; Drilling Company; atau Perusahaan Dagang
Asing. Dilain pihak, sesuai dengan prinsip taxability – deductibility, atau reversal rule
imbalan tersebut bagi pembayarnya berdasar Pasal 9 ayat (1) huruf e, bukan merupakan
pengurang penghasilan kena pajak (Biaya). Dengan demikian secara efektif atas imbalan
atau kenikmatan tersebut PPh nya telah dikenakan pada Pembayarnya.
5 Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada Orang Pribadi sehubungan dengan asuransi
keshatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa.
Dipihak lain, dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d, sesuai reversal rule , pembayaran premi atas
asuransi-asuransi tersebut bukan pengurang penghasilan kena pajak. Artinya bahwa
santunan yang dibayar oleh perusahaan asuransi dimaksud,PPh nya telah dibayar pada
saat pembayaran premi. Jika premi tersebut dibayar oleh perusahaan, premi tesebut
merupakan biaya,pengurang penghasilan kena pajak bagi perusahaan, dan bagi
karyawan yang ditanggung premi nya, merupakan penghasilan penghasilan kena pajak.
6 Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan tebatas sebaga WP
Dalam Negeri, koperasi, BUMN atau BUMD dari penyertaan modal pada badan usaha
yang didirikan dan bertempat kedudukan di aindonesia dengan syarat :
- Dividen berasal daricadangan laba ditahan ; dan
- Bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen, kepemilikan
saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari modal disetor.
Ayat ini menunjukkan bahwa Sistem Pemajakan Penghasilan atas Perseroan ( Company/
Corporate Income Tax System ) dalam UU PPh menganut Sistem Klasik atau Sistem
Terpisah( Classical System or Separate System ) ; yaitu PPh dikenakan baik terhadap
Perseroan, atas laba nya, maupun terhadap Pemegang Saham (Shareholders) nya atas
dividen yang diterima atau diperolehnya. Berbeda dengan Sistem Integrasi ( Integrated
System ) dimana PPh hanya dikenakan terhadap Pemegang Saham. Sehingga untuk
memitigasi akibat Pajak Berganda Ekonomis dalam sitem klasik , dimana sumber
pembagian dividen secara ekonomis telah dikenakan PPh Badan, maka dividen antar
badandianggap bukan obyek PPh. Namun untuk mendorong akumulasi modal saham,
pengecualian itu hanya berlaku untuk kepemilikan 25% atau lebih, sehingga dividen atas
kepemilikan dibawah 25% menjadi obyek PPh. Tetapi kalua penerimanya WP Orang
Pribadi, sesuai Pasal 17 ayat (2c) dikenakan PPh sebesar 10% Final
7 Iuran yang diterima atau diperoleh Dana Pensiun yang pendiriannya telah disyahkan oleh
Menteri keuangan baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
8 Penghasilan dari modal yang ditanamkan Dana Pensiun tersebut pada angka 7 diatas,
dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan
(KMK). Diatur KMK No. 651/KMK.04/1994 jo. PMK No. 234/PMK.03/2009 ,bidang
penanaman modal tertentu yang memberikan penghasilan kepada dana pensiun yang
tidak termasuk obyek PPh.
9 Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham, persekutuan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang
unit penyertaan Kontrak Investasi Kolektif (KIK). Ayat ini menujukkan Sistem Pemajakan
Atas Penghasilan Persekutuan (Partnership Income Tax System ) yang dianut UU PPh ,
yang menggunakan pendekatan non-transparan (Nontransparancy approach) , dimana
untuk memudahkan administrasi pemungutan pajak Badan yang bukan merupakan badan
hukum perdata dianggap sebagai Subyek Pajak Badan dan dikenakan PPh pada
penghasilan badan tersebut. Untuk mengurangi pajak beganda maka atas bagian laba
yang telah dikenai PPh Badan yang dibagikan kepada anggota dikecualikan dari obyek
pajak. Sebagai konsekuensi dari penggunaan pendekatan ini, maka gaji yang dibayarkan
kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak
terbagi atas sahamtidak boleh dikurangkan sebagai biaya dalam menghitung Penghasilan
Kena Pajak bagi persekutuan,firma atau pesekutuan komanditer tersebut ( lihat Pasal 9
ayat(1) huruf j. Kemudahan administrasi yang demikian juga diterapkan pada KIK yang
sebetulnya hanya kontrak bukan badan (hukum).
Sedangkan pendekatan transparan ( Transparancy Approach ) a dalah dimana pemajakan
langsung dikenakan pada para anggota secara prorata dari penghasilan, karena firma,
persekutuan dsb bukan badan hukum perdata maka dalam UU Perpajakan juga tidak
menjadi Subyek Pajak. Pendekatan transparan ini pernah diaplikasikan dalam system
perpajjakan Indonesia sebelum tahun 60 an.
10 Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan Modal Ventura berupa bagian laba
badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia,
dengan syarat badan pasngan usaha tersebut :
a.merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan
dalam sector-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan; dan
b.Sahamnya tidak diperdagangkan di Bursa Efek di Indonesia.
Berdasarkan KMK Nomor 250 /KMK.04/1995, perusahaan kecil dan menengah pasangan
perusahaan Modal Ventura tersebut merupakanperusahaan yang penjualan bersihnya
se tahun tidak melebihi Rp 5 milyar. Penyertaan modal perusahaan modal ventura pada
setiap perusahaan pasangan usaha dilakukan selama perusahaan pasangan usaha
tersebut belum menjual saham di bursa efek dan untuk jangka waktu tidak melebihi 10
(sepuluh) tahun.
11 Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut de
dengan atau berdasarkan PMK. Diatur dengan PMK Nomor 246/PMK.03/2008.
12 Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau Lembaga yang bergerak dalam
bidang Pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar
pada instansi yang membidanginya , yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana
dan prasa rana kegiatan pendidikan dan/ataupenelitian dan pengembangan , dalam jangka
waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan PMK No 80/PMK.03/2009; dan Per DJP
No.PER-44/PJ/2009.
13 Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh BPJS kepada WP tertentu, yang ketentuan
nya lebih lanjut diatur dengan atau berdasarkan PMK.
Pasal 1
(1). Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang
peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun sebesar Rp 4.800.000.000,00 ( empat miliar delapan
ratus juta rupiah ) atau lebih wajib menyelenggarakan pembukuan.
(2). Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan beebas yang
peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp 4.800.000.000,00 ( empat miliar
delapan ratus juta rupiah ) wajib menyelenggarakan pencatatan , kecuali Wajib Pajak yang
bersangkutan memilih menyelenggarakan pembukuan.
(3). Wajib Pajak Orang Pribadi yang wajib menyelenggarakan pencatatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan menerima atau memperoleh penghasilan yang tidak dikenai Pajak
Penghasilan bersifat final, menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto.
Pasal 2
(1). Wajib Pajak Orang Pribadiyang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (3) wajib memberitahukan mengenai penggunaan Norma
Penghitungan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 3 (tiga ) bulan sejak awal Tahun Pajak
yang bersangkutan.
(2). Pemberitahuan penggunaan Norma Penhitungan Penghasilan Neto yang disampaikan
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap disetujui kecuali
berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan untuk
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
(3). Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap memilih
menyelenggarakan pembukuan.
Pasal 3
(1). Dalam hal terhadap Wajib Pajak Badan atau Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan
kegiatn usaha atau pekerjaan bebas dilakukan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan ternyata Wajib Pajak
Orang Pribadi atau Badan tersebut tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan
atau tidak bersedia mem[erlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti
pendukungnya , penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto.
(2). Penghitungan penghasilan neto Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dilakukan atas penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3). Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Pasal 4
(1). Daftar Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto dikelompokkan menurut wilayah
sebagai berikut :
a. 10 (sepuluh) ibukota propinsi yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang,
Surabaya, Denpasar, Manado, Makasar, dan Pontianak;
b. Ibukota propinsi lainnya;
c. Daerah lainnya.
(2). Daftar Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk Wajib Pajak Orang Pribadi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) tercantum dalam Lampiran I Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini.
(3). Daftar Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk Wajib Pajak Orang Pribadi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) tercantum dalam Lampiran II Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini.
(4). Daftar Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk Wajib Pajak Badan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) tercantum dalam Lampiran III Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini.
Pasal 5
(1). Penghitungan Penghasilan Neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha
atau pekerjaan bebas , dilakukan terhadap masing-masing jenis usaha atau pekerjaan bebas
dengan memperhatikan pengelompokan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
(2). Penghasilan Neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha atau pekerjaan
bebas adalah penjumlahan penghasilan neto masing-masing jenis usaha atau pekerjaan bebas
yang dihitung sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 6
(1). Penghasilan Neto bagi tiap jenis usaha dihitung dengan cara mengalikan angka persentase
Norma Penghasilan Neto dengan peredaran bruto atau penghasilan bruto dari kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas dalam 1 (satu) TahunPajak.
(2). Dallam menghitung besarnya Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak Orang
Pribadi, sebelum dilakukan penerpan tarif umum Pajak Penghasilan, terlebih dahulu dihitung
Penghasilan Kena Pajak dengan mengurangkan Penghasilan Tidak Kena Pajak dari Penghasilan
Neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 7
Petunjuk penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto adalah sebagaimana tercantum
dalam Lampiran IV Peratyran Direktur Jenderal Pajak ini.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak Tahun Pajak 2016.
Kasus II
Jika dalam kasus I diatas , Isteri memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban pajaknya
sendiri, dengan mempunyai NPWP sendiri terpisah dari Suami.
Pertanyaan : Hitung PPh terutang masing-masing Budi dan isterinya Rini untuk tahun 2019.
Dalam hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (3) jo Pasal 8 ayat (2) huruf c, suami –
isteri dikenai pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami-isteri dan besarnya
pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing suami-isteri dihitung sesuai pebandingan
penghasilan neto mereka.
Kasus III
Sama dengan kasus I , tetapi Isteri disamping memperoleh penghasilan dari PT Jayaraya, ia
juga memperoleh penghasilan dari usaha salon dengan penghasilan bruto Rp
100.000.000,-dan Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk salon adalah 40%. Isteri
tetap mengikuti NPWP suami. Hitung PPh terutang Budi tahun 2019.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PPh, atas penghasilan istri yang berasal dari
lebih dari satu sumber penghasilan yang berbeda, untuk pengenaan pajaknya digabung
dengan penghasilan suami sebagai satu kesatuan ekonomis.
Kasus IV
Jika dalam kasus III tersebut diatas Isteri , Rini, memilih untuk menjalankan hak dan
kewajiban pepajakannya sendiri, dengan memiliki NPWP sendiri, maka sesuai ketentuan
Pasal 8 ayat (3) UU PPh, PPh yang terutang untuk masing-masing suami-isteri, Budi dan Rini,
dihitung berdasarkan jumlah PPh Terutang dalam kasus III sebesar Rp 466.550.000,- dibagi
untuk keduanya berdasarkan prorata perbandingan Penghasilan Neto yang diperoleh
masing-masing :
Penghasilan Neto Budi -- Suami : Rp 1.020.000.000,-
Penghasilan Neto Rini -- Isteri : 840.000.000,-
Jumlah Penghasilan Neto Budi dan Rini : 1.860.000.000,-
PPh Terutang Budi : 102/186 X Rp 466.550.000,- = Rp 255.853.000,-
_________________
Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau
Bangunan beserta Perubahannya.
Dasar Hukum : Pasal 4 ayat (2) UU PPh jo PP Nomor 34 Tahun 2016 :
Pasal 1
(1) – Wajib Pajak : Orang Pribadi dan Badan
- Obyek Pajak :
a. Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pengalihan hak atas tanah dan/atau
Bangunan ; atau
b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pejanjian pengikatan jual beli atas
tanah dan/ atau bangunan beserta perubahannya.
- Terutang PPh : bersifat Final,
(2) – Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan / atau bangunan adalah penghasilan
yang diterima atau diperoleh pihak yang mengalihkan melalui penjualan, tukar-menukar
pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati
antara para pihak.
(3) – Penghasilan dari perjanjian pengikatan jual beli atas tanah / dan atau bangunan
beserta perubahannya adalah penghasilan dari :
a. Pihak penjual yang Namanya tercantum dalam pejanjian pengikatan jual beli pada
saat pertama kali ditanda tangani, atau
b. Pihak pembeli yang Namanya tercantum dalam perjanjian jual beli, atas terjadinya
perubahan pihak pembeli dalam perjanjian pengikatan jual beli tersebut.
Pasal 2
(1) Tarip Pajak
Besarnya PPh dari pengalihan hak atas tanah dan / atau bangunan adalah sebesar :
a. 2,5% (dua koma lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan /
atau bangunan , selain pengalihan hak atas tanah dan/ bangunan berupa Rumah
Sederhana atau Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang
usaha pokoknya melakukan pengalihan ha katas tanah dan atau / bangunan.
b. 1 % (satu persen) dari jumlah bruto pengalihan ha katas tanah dan /atau bangunan
berupa Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib
Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan ha katas tanah dan/ atau
bangunan; atau
c. 0 % (nol persen) atas pengalihan ha katas tanah dan / atau bangunan kepada
pemerintah , badan usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus dari
pemerintah, atau badan usaha milik daerah yang mendapat penugasan khusus dari
kepala daerah, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
(2) Nilai Pengalihan.
Nilai pengalihan hak atas tanah dan / atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah :
a. Nilai berdasarkan keputusan pejabat yang berwenang, dalam hal pengalihan kepada
pemerintah;
b. Nilai menurut risalah lelang , dalam hal pengalihan hak sesuai dengan peraturan
lelang (Vendu Reglement Staatsblad Tahun 1908 Nomor 189 beserta perubahannya)
c. Nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh , dalam hal engalihan ha katas tanah
dan / atau bangunan dilakukan melalui jual beli yang dipengaruhi hubungan
istimewa, selain pengalihan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b;
d. Nilai yang sesungguhnya diterima atau diperoleh , dalam hal pengalihan hak atas
tanah dan / atau bangunan melalui jual beli yang tidak dipengaruhi hubungan
istimewa , selain pengalihan sebagaimana dimaksud pada a dan huruf b ; atau
e. Nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh berdasarkan harga pasar, dalam hal
pengalihan ha katas tanah dan / atau bangunan dilakukan melalui tukar-menukar,
pelepasan hak, penyerahan hak, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati antara
para pihak.
(3) Besarnya pajak penghasilan atas penghasilan dari perjanjian pengikatan jual beli atas
tanah dan / atau bangunan beserta perubahannya berdasarkan tarif pada ayat (1) dari
jumlah bruto , yaitu :
a. Nilai yang sesungguhnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan tanah dan /
atau bangunan dilakukan melalui pengalihan yang tidak dipengaruhi hubungan
istimewa; atau
b. Nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh , dalam hal pengalihan tanah dan/
atau bangunan dilakukan melalui pengalihan yang dipengaruhi hubungan istimewa.
(4) Kriteria Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana , sesuai dengan kriteria
Rumaaaaah sederhana dan Rumah Susun sederhana yang mendapat fasilitas
dibebaskan dari pengenaan PPN sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
dibidang perpajakan.
Pasal 3
Pajak Penghasilan Terutang dan Pelunasannya serta Kewajiban Pejabat :
(1) Orang Pribadi atau Badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan , wajib menyetor sendiri PPh yang
terutang ke Bank /Pos persepsi sebelum Akta, Keputusan, Kesepakatan, atau Risalah
Lelang atas penglihan ha katas tanah dan / atau bangunan ditandatangani oleh Pejabat
yang berwenang.
(2) Bagi Orang Pribadi atau Badan yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas
tanah dan / atau bangunan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan / atau bangunan, PPh nya terutang pada saat
diterimanya sebagian atau seluruh pembayaran atas pengalihan hak atas tanah dan/
atau bangunan.
(3) PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan jumlah setiap
pembayaran termasuk uang muka, bunga, pungutan , dan pembayaran tambahan
lainnya yang dipenuhi oleh pembeli, sehubungan dengan pengalhan ha katas tanah da/
atau bangunan tersebut.
(4) PPh yang terutang tersebut pada ayat (2) wajib dibayar oleh Orang Pribadi atau Badan
yang besangkutan ke Bank/ Pos persepsi paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan
berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran.
(5) Pejabat yang berwenang hanya menandatangani Akta, Keputusan, Kesepakatan, atau
Risalah Lelang atas pengalihan ha katas tanah dan / atau bangunan apabila kepadanya
dibuktikan oleh Orang Pribadi atau Badan dimaksud bahwa kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi dengan menyerahkan fotokopi Surat Setoran
Pajak atau hasil cetakan sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran
Pajak yang berangkutan yang telah dilakukan penelitian oleh Kantor Pelayanan Pajak.
(6) Pejabat yang berwenang menandatangani Akta, Keputusan, Kesepakatan, atau Risalah
Lelang wajib menyampaikan laporan bulanan mengenai penerbitan Akta, Keputusan,
Kesepakatan, atau Risalah Lelang atas pengalihan hak atas tanah dan / atau bangunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Direktur Jenderal Pajak.
(7) Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) meliputi
Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pejabat lelang, atau pejabat lain yang diberi wewenang
sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan.
Pasal 4
Transaksi dengan Pemerintah :
(1) Orang Pribadi atau Badan yang menerima atau memperoleh penghasian dari pengalihan
hak atas tanah dan / atau bangunan melalui jual beli atau tukar-menukar kepada
Pemerintah, dipungut PPh oleh Bendaharawan Pemerintah atau Pejabat yang
melakukan pembayaran atau Pejabat yang menyetujui tukar-menukar.
(2) Bendaharawan pemerintah atau pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menyetor PPh yang telah dipungut ke Bank /Pos persepsisebelum melakukan
melakukan pembayaran kepada Orang Pribadi atau Badan yang berhak menerimanya
atau sebelum tukar-menukar dilaksanakan.
(3) Penyetoran pajak tersebut ayat (2) dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak
atau sarana administrasi lainyang disamakan dengan Surat Setoran Pajak atas nama
Orang Pribadi atau Badan yang menerima pembayaran atau yang melakukan
tukar-menukar.
(4) Bendaharawan pemerintah atau Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menyampaikan laporan mengenai pengalihan hak atas tanah dan / atau bangunan
tersebut pada ayat (1) kepada Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 5
Pajak Penghasilan terutang atas penghasilan dari perubahan PPJB :
(1) Pelunasan PPh yang terutang atas penghasilan dari perubahan Perjanjian Pengikatan
Jual Beli atas tanah dan /atau bangunan dilakukan melalui penyetoran sendiri oleh
Orang Pribadi atau Badan yang merupakan Pihak Pembeli dan Namanya tercantum
dalam PPJB sebelum terjadinyaa perubahan atau addendum atas PPJB tersebut.
(2) Pihak Penjual hanya menanadatangani perubahan atau addendum PPJB apabila
kepadanya dibuktikan bahwa kewajiban tersebut pada ayat (1) telah dipenuhi dengan
menyrahkan fotokopi Surat Setoran Pajak atau hasil cetakan sarana administrasi lain
yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak yang bersangkutan, yang telah dilakukan
penelitian oleh Kantor Pelayanan Pajak.
(3) Pihak Penjual tersebut ayat (2) harys menyampaikan laporan mengenai perubahan atau
addendum PPJB atas pengalihan harta berupa tanah dan / atau bangunan kepada
Direktur Jenderal Pajak,
Pasal 6
Transaksi yang dikecualikan dari kewajiban PPh. :
Dikecualikan dari kewjiban pembayaran atau pemungutan PPh sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (3) adalah :
a. Orang Pribadi yang mempunyai penghasilan dibawah Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP) yang melakukan pengalihan ha katas tanah dan / atau bangunan dengan jumlah
bruto pengalihannya kurang dari Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan
merupakan jumlah yang dipecah-pecah;
b. Orang Pribadi yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan / atau bangunan
dengan cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat,
badan keagamaan, badan Pendidikan, badan sosiak termasuk Yayasan, koperasi atau
orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan
usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
c. Badan yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan / atau bangunan dengan
cara hibah kepada badan keagamaan, badan Pendidikan, badan sosial temasuk Yayasan,
koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil , yyang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak
ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara
pihak-pihak yang bersangkutan;
d. Pengalihan harta berupa tanah dan /atau bangunan karena waris;
e. Badan yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan /atau bangunan dalam
rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha yang telah ditetapkan Menteri
Keuangan untuk menggunakan nilai buku;
f. Orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan bangunan dalam rangka
melaksanakan pejanjian bangun guna serah , bangun serah guna, atau pemanfaatan
barang milik negara berupa tanah dan / atau bangunan ; atau
g. Orang pribadi atau badan yang tidak termasuk subyek pajak yang melakukan pengalihan
harta berupa tanah dan / atau bangunan.
Pasal 7
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional hanya mengeluarkan
surat keputusan pemberian hak , pengakuan hak, dan peralihan ha katas tanah , apabila
permohonannya dilengkapi dengan Surat Setoran Pajak atau hasil cetak sarana administrasi
lain yang disamakan dengan Syrat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(5) dan Pasal4 ayat (3), kecuali permohonan sehubungan dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c, dan Pasal 6.
Pasal 8
Ketentuan Sanksi :
(1) Pejabat yang berwenang menandatangani Akta, Keputusan, Kesepakatan, atau Risalah
Lelang yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5)
dan Pasal 3 ayat (6) dikenei sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Pihak Penjual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3), dikenai sanksi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 9
Ketentuan lebih lanjut mengenai :
a. Tata cara penyetoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 5;
b. Pengecualian dari penggenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ;
c. Pelaporan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah
dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6), Pasal 4 ayat (4), dan
Pasal 5 ayat(3),
diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Sebagai aturan pelaksanaan untuk menjalankan ketentuan PP Nomor 34 Tahun 2016
tersebut, telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 261 /PMK.03 /2016
tentang Tata Cara Penyetoran, Pelaporan, Dan Pengecualian Pengenaan Pajak
Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan / atau Bangunan , Dan
Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah Dan / atau Bangunan Beserta Perubahannya.
Disamping Peraturan Menteri tersebut, telah diterbitkan pula Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER – 18 /PJ / 2017 tentang Tata Cara Penelitian Bukti Pemenuhan
Kewajiban Penyetoran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas
Tanah Dan /Atau Bangunan, Dan Pejanjian Pengikatan Jual Beli Atas Atas Tanah Dan /
Atau Bangunan Beserta Perubahannya. Yang kemudian Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini dilakukan perubahan dengan menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER – 26 /PJ / 2018.
Pemahaman atas aturan-aturan pelaksanaan yang terperinci dalam Peraturan Menteri dan
Peraturan Dirjen Pajak tersebut sangat diperlukan dalam memenuhi kewajiban pembayaran
PPh yang berkaitan dengan transaksi pengalihan ha katas Tanah dan /atau Bangunan, dan
transaksi pengalihan PPJB.
Berkenaan dengan transaksi yang bekaitan dengan pengalihan hak atas tanah dan /atau
bangunan, Pemerintah berdasarkan pertimbangan untuk mendukung pendalaman pasar
bagi sektor keuangan serta mendorong pertumbuhan investasi di bidang real estat, telah
memberikan pengaturan khusus terhadap pengenaan Pajak Penghasilan dari pengalihan
real estat dalam skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 4
(1) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib dibayar sendiri
oleh Wajib Pajak, sebelum Akta, Keputusan, Pejanjian, atau Kesepakatan atas
pengalihan Real Estat kepada SPC atau KIK dalam skema KIK tertentu ditandataaangani
oleh pejabat yang berwenang.
(2) Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pejabat yang
diberi wewenang untuk menandatangani Akta, Keputusan, Perjanjian, atau kesepakatan
atas pengalihan ha katas tanah dan /atau bangunan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dibidang pertanahan.
(3) Wajib Pajak yang melakukan pengalihan Real Estat dan dikenai Pajak Penghasilan
dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat(1) wajib :
a. Menyampaikan surat pemberitahuan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat
Wajib Pajak bersangkutan terdaftar mengenai adanya pengalihan Real Estat kepada
SPC atau KIK dalam skema KIK tertentuyang dilengkapi dokumen :
1. Fotokopi syrat pemberitahuan efektifnya pernyataan pendaftaran DIRE
bebentuk KIK yang diterbitkan dan telah dilegalisasi oleh Otoritas Jasa Keuangan;
2. Keterangan dari Otoritas Jasa Keuangan bahwa Wajib Pajak yang mengalihkan
Real Estat bertransaksi dengan SPC atau KIK dalam skema KIK tertentu;
3. Surat pernyataan bermeterai yang menyatakan bahwa Wajib Pajak melakukan
pengalihan Real Estat kepada SPC atau KIK dalam skema KIK tertentu; dan
4. Fotokopi Surat Setoran Pajak atas penghasilan dari pengaluhan Real Estat
kepada SPC atau KIK dalam skema KIK tertentu; dan
b. Mendapatkan surat keterangan fiskal dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat
Wajib Pajak bersangkutan terdaftar.
(4) Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat
menandatangani Akta, Keputusan, Perjanjian, atau Kesepakatan atas pengalihan Real
Estat apabila kepadanya telah dibuktikan bahwa :
a. Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dibayar dengan
menyerahkan fotokopi Surat Setoran Pajak yang bersangkutan dengan menunjukkan
aslinya; dan
b. Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah dipenuhi, dengan
menyerahkan fotokopi surat dan/atau dokumen bersangkutan serta fotokopi tanda
bukti penerimaan surat dari Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak
bersangkutan.
(5) Pejabat yang berwenang menandatangani Akta, Keputusan, Perjanjian, atau
Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan laporan
mengenai penerbitan Akta, Keputusan, Perjanjian, atau Kesepakatan atas pengalihan
hak atas tanah dan /atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.
Pasal 5
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), penyampaian surat pemberitahuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), dan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam
2000
Adapun peraturan pelaksanaan yang dimaksud pada Pasal 5 dar PP NOMOR 40 TAHUN
2006, adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37 /PER.03 /2017 tentang Tata Cara
Pembayaran Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Real
Estat Dalam Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu.
BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
UU NOMOR 21 TAHUN 1997 stdtd UU NOMOR 20 TAHUN 2000
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini, yang dimaksud dengan :
1. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Pajak yang dikenakan atas
perolehan hak atas tanah dan bangunan, yang selanjynya disebut Pajak.
2. Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum
yang mengakibtkan diperolehnya Hak atas Tanah dan atau Bangunan oleh Orang
Pribadi atau Badan.
3. Ha katas Tanah dan atau Bangunan adalah Hak atas Tanah, termasuk Hak Pengelolaan,
beserta Bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria , Undang-undang Nomor 16
Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan perundang-undangan lainnya.
4. Dan seterusnya . . . . . . .
Pasal 3
(1) OByek Pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah
Obyek Pajak yang diperoleh :
a. Perwkilan Diplomatik, Konsulat,berdasarkan azas perlakuan timbal balik;
b. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan
pembangunan guna kepentingan umum;
c. Badan atau Perwkilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar
fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
d. Orang Pribadi atau Badan karena Konversi Haka tau karena perbuatan hukum lain
dengan tidak adanya perubahan nama;
e. Orang Pribadi atau Badan karena wakaf
f. Orang Pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
(2) Obyek Pajak yang diperoleh karena waris, hibah wasiat, dan pemberian hak
pengelolaan, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pengenaan BPHTB atas Tanah dan Bangunan karena Waris dan Hibah Wasiat
Peraturan Pemerintah Nomor 111 Tahun 2000, ttg 1 Desember 2000.
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan :
1. Perolehan hak karena waris adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan oleh
ahli waris dari pewaris yang berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
2. Perolehan hak karena hibah wasiat adalah perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan oleh orang pribadi atau badan dari pemberi hibah wasiat, yang berlaku
setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.
Pasal 2
Bea Perolehan Ha katas Tanah dan Bangunan yang terutang atas perolehan hak karena
waris dan hibah wasiat adalah sebesar 50% (lima puluh persen ) dari Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan yang seharysnya terutang.
Pasal 3
Saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan karena waris dan hibah
wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor
Pertanahan Kabupaten / Kota.
Pasal 4
(1) Nilai Perolehan Obyek Pajak karena waris dan hibah wasiat adalah pasar pada saat
didaftarkannya perolehan hak tersebut ke Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota.
(2) Dalam hal nilai pasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah daripada Nilai
Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan, Nilai Perolehan Obyek Pajak yang digunakan
sebagai dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai
Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
Pasal 5
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota hanya dapat melakukan pendaftaran
perolehan hak karena waris dan hibah wasiat pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti
pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Pasal 6
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini diatur
oleh Menteri Keuangan.
Pasal 7
Pada saat Peraturn Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun
1997 tetang Pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena Hibah Wasiat
(Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3707),
dinyatakan tidak berlaku.
Contoh 1
Seorang anak memperoleh warisan dari ayhahnya sebidang tanah dan bangunan diatasnya
dengan nilai pasar sebesar Rp 200.000.000,00. Terhadap tanah dan bangunan tsb telah
diterbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun
yang bersangkutan mendaftar ke Kantor Pertanahan setempatdengan Nilai Jual Obyek
Pajak sebesar Rp 250.000.000,00. Apabila di Kabupaten/ Kota letak tanah dan bangunan
tsb Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat menetapkan Nilai
Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak dalam hal waris sebesar Rp 300.000.000,00, maka
besarnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terutang adalah sbb :
- Nilai perolehan Obyek Pajak Rp 250.000.000,00
- Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak 300.000.000,00
- Nilai Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak NIhIl
- BPHTB terutang NIhIl
Contoh 2
S eorang anak memperoleh warisan dari ayahnya sebidang tanah dan bangunan diatasnya
dengan nilai pasar sebesar Rp 500.000.000,-. Terhadap tanah dan bangunan tesebut telah
diterbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun yang
bersangkutan mendaftar ke Kantor Pertanahan setempat dengan Nilai Jual Obyek Pajak sebesar
Rp 800.000.000,00. Apabila di Kabupaten /Kota letak tanah dan bangunan tersebut, Kepala
Kantor Wilayah DJP setempat menetapkan Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak dalam
hal waris sebesar Rp 300.000.000,00 ,maka besarnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan terutang adalah sebagai berikut :
- Nilai Perolehan Obyek Pajak Rp 800.000.000,00
- Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak 300.000.000,00
- Nilai Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak 500.000.000,00
- BPHTB yg seharusnya terutang 5%X 500.000.000,00 = Rp 25.000.000,00
- BPHTB terutang: 50% X Rp 25.000.000,00 = Rp 12.500.000,00
Contoh 3
S eorang anak memperoleh hibah wasiat dari ayah kandungnya sebidang tanah dan
bangunan diatasnya dengan nilai pasar sebesar Rp 500.000.000,00. Terhadap tanah dan
bangunan tersebut telah diterbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan
Bangunan pada tahun yang bersangkutan mendaftar ke Kantor Pertanahan setempat dengan
Nilai Jual Obyek Pajak sebesar Rp 450.000.000,00. Apabila di Kabupaten /Kota letak tanah dan
bangunan tersebut, Kepala Kantor Wilayah DJP setempat menetapkan Nilai Perolehan Obyek
Pajak Tidak Kena Pajak dalam hal hibah wasiat yang ditarima orang pribadi yang masihdalam
hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat
ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/isteri, sebesar Rp 300.000.000,00 ,
maka besarnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terutang adalah sebagai berikut :
- Nilai Peolehan Obyek Pajak Rp 500.000.000,00
- Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak 300.000.000,00
- Nilai Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak 200.000.000,00
- BPHTB yg seharusnya terutang 5%X200.000.000,00 =Rp 10.000.000,00
- BPHTB yg terutang : 50% X 10.000.000,00 =RP 5.000.000,00
Contoh 4
S uatu Yayasan Panti Asuhan Anak Yatim Piatu memperoleh hibah wasiat dari seseoarang
sebidang tanah dan bangunan diatasnya dengan nilai pasar sebesar Rp 1.000.000.000,00 .
Terhadap tanah dan bangunan tersebut telah diterbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang
Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun yang bersangkutan mendaftar ke Kantor Pertanahan
setempat dengan Nilai Jual Obyek Pajak sebesar Rp 900.000.000,-. Apabila di Kabupaten/Kota
letak tanah dan bangunan tersebut , Kepala Kantor Wilayah DJP setempat menetapkan Nilai
Obyek Pajak Tidak Kena Pajak dalam hal selain waris dan hibah wasiat yang diterima orang
pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat
ke atas dan satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/isteri,
sebesar Rp 60.000.000,00 , maka besarnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
terutang adalah sebagai berikut :
- Nilai Perolehan Obyek Pajak Rp 1.000.000.000,00
- Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak 60.000.000,00
- Nilai Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak Rp 940.000.000,00
- BPHTB yg seharusnya terutang 5%X940.000.000,00 =Rp 47.000.000,00
- BPHTB yg terutang : 50% X 47.000.000,00 = Rp 23.500.000,00
----------------------------