Anda di halaman 1dari 47

​PAJAK PENGHASILAN

DASAR HUKUM
1.UU No.7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan S.t.d.t.d UU No.36 Tahun 2008.
2.PP No.94 Tahun 2010 Tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan
Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan.
3.Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER – 17/PJ/2015 Tentang Norma Penghitungan
Penghasilan Neto.
4.PP No.34 Tahun 2016 Tentang PPh. Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah
Dan/Atau Bangunan , Dan PPJB Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Beserta Perubahannya.
5.Peraturan Menteri Keuangan No.261/PMK.03/2016 Tentang Tata Caraa Penyetoran,
Pelaporan, Dan Pengecualian Pengenaan PPh. Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak
Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, Dan PPJB Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Beserta
Perubahannya.
6.Peraturan Direktur Jenderal Pajak No.PER – 18/PJ/2017 Tentang Tata Cara Penelitian Bukti
Pemenuhan Kewajiban Penyetoran PPh. Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah
Dan/Atau Bangunan , Dan PPJB Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Beserta Perubahannya.
7.Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER – 26/PJ/2018 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Direktur Jenderal Pajak No. PER – 26/PJ/2017.
8.PP No.40 Tahun 2016 Tentang PPh.Atas Penghasilan Dari Pengalihan Real Estat Dalam Skema
Kontrak Investasi Kolektif Tertentu.
9.Peraturan Menteri Keuangan No. 37/PMK.03/2017 Tentang Tata Cara Pembayaran
Dan Pelaporan PPh. Atas Penghasilan Dari Pengalihan Real Estat Dalam Skema Kontrak
Investasi Kolektif Tertentu.

REFERENSI

1.Gunadi,MSc.,Ak.,Ph.D.,Prof. – Panduan Komprehensif Pajak Penghasilan,


Penerbit Bee Media Indonesia, Enail : ​bee ​media@yahoo.com

PEMBAHASAN UU PAJAK PENGHASILAN – KENOTARIATAN


BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Pajak Penghasilan ​dikenakan ​terhadap ​Subyek Pajak ​atas ​Penghasilan yang diterima atau diperolehnya
dalam ​tahun pajak.

Sifat PPh. : Pajak Langsung – ​direct tax​, dikenakan terhadap Subyek Pajak yang menerima atau
memperoleh Penghasilan.
.
Saat Terhutang : Saat Pengasilan ​diterima ​atau ​diperoleh.
Sistem Pemajakan : ​Self Assessment system
Subyek Pajak ​yang menerima atau memperoleh penghasilan, dalam UU ini disebut : ​WAJIB PAJAK.
Tahun Pajak adalah Tahun Kalender.
Wajib Pajak dapat menggunakan Tahun Buku yang tidak sama dengan Tahun Kalender, sepanjang
Tahun

Bab II SUBYEK ​PAJAK


Pasal 2
Yang menjadi Subyek Pajak adalah :
a.1. Orang Pribadi ;

2. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;

b. Badan ; dan

c. Bentuk Usaha Tetap

Penjelasan :

Pada dasarnya Subyek Pajak Penghasilan terbagi atas ​Subyek Pajak Orang Pribadi ​dan ​Subyek Pajak
Badan.
Berdasarkan Status (​Tax Status) nya, kedua jenis Subyek Pajak tersebut masing-masing dibagi menjadi
Subyek Pajak Dalam Negeri ​(​Resident Taxpayer) dan ​Subyek Pajak Luar Negeri ​(​Non-Resident
Taxpayer​). – Pasal 2 ayat(2).
Kriteria ​penentuan Status untuk Subyek Pajak Orang Pribadi didasarkan pada ​Prinsip Tempat Tinggal
atau ​Domisili, ​dan untuk Subyek Pajak Badan didasarkan pada ​Prinsip Tempat Pendirian
atau ​Tempat Kedudukan ​(​Incorporated;Established,/Residency​).

Subyek Pajak Dalam Negeri : ​--Pasal 2 ayat (3).

Orang Pribadi : ​Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, Orang pribadi yang berada di
Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan, atau Orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai
niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

Warisan yang belum terbagi ​sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
​ nit tertentu dari Badan
Badan ​: Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali u
pemerintah yang memenuhi kriteria :

1.Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;


2.Pembiayaannya bersumber dari APBN atau APBD;
3.Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
4.Pembukuannya diperiksa oleh apparat pengawasan fungsional negara.

Subyek Pajak Luar Negeri : -- ​Pasal 2 ayat (4) .

Orang Pribadi :
a.Orang pribadi yang tidak bertepat tinggal di Indonesia, Orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, yang menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, dan

b.Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, Orang pribadi yang berada
di Indonesiatidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, yang dapat menerima
atau memperoleh penghasilan dari Indonesia ​tidak dari ​menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.

Badan :
a.Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, dan

b.Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat
menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia ​tidak dari ​menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.

Bentuk Usaha Tetap ​: merupakan Subyek Pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan
Subyek Pajak Badan; dan bestatus sebagai Subyek Pajak Luar Negeri.
Bentuk Usaha Tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh Orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia, Orang pribadi yang berada di Indonesia tdak lebih dari 183 hari dalam
jangka waktu 12 bulan, dan Badan yang tidak didirikan dan tidak betempat kedudukan di
Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa
:
adanya assets (harta tetap); atau pemberian jasa; atau adanya jasa keagenan; atau adanya
penyelenggaraan transaksi elektronik melalui internet. Lihat pasal 2 ayat(5).

Pembedaan subyek pajak berdasarkan statusnya tersebut berguna dalam menentukan luasnya
pemajakan (​scope of taxation​) dan system pemajakannya.
Status Notaris
Berdasarkan penggolongan , status, dan kriteria diatas, seorang Notaris sebagai orang pribadi yang
betempat tinggal di Indonesia, mempunyai status sebagai Subyek Pajak Orang Pribadi Dalam
Negeri. Dalam hal Notaris tersebut menerima atau memperoleh penghassilan maka disebut
sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri.

Status Anak Perusahaan dan Cabang


Berdasarkan hukum,hubungan antara Perusahaan Induk ( ​Mother Company)​ dan Anak Perusahaan
(​Subsidiary Company ​) adalah merupakan dua badan hukum terpisah ( ​two separate legal entity
), masing – masing berdiri sendiri – sendiri sebagai satu unit fiscal ( ​Fiscal Unit ).
Dalam statusnya sebagai Subyek Pajak Badan Dalam Negeri, dalam melaksanakan kewajiban
perpajakannya masing – masing wajib memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak ( NPWP ).

​ ya adalah merupakan satu kesatuan sebagai


Adapun Perusahaan Induk dan Cabang-cabang (​branch) n
satu unit fiscal. Dan penghasilan Cabang secara fiscal dikonsolidasikan dengan penghasilan
Perusahaan Induk. Dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya hanya diperlukan satu NPWP
pada Perusahaan Induk.

Dengan demikian bagi Subyek Pajak Badan, satu Badan Hukum merupakan basis sebagai satu unit
fiscal. Sedangkan bagi Subyek Pajak Orang Pribadi, satu keluarga merupakan basis satu unit
fiscal.
Contoh :
PT Bank Mandiri mendirikan anak perusahaan di New York dengan nama Mandiri
America Inc. Disamping itu bank tsb.telah memiliki kantor cabang diseluruh kota besar
di Indonesia
dan kantor cabang New York, Singapura dan Paris.
Tentukan tax status dari anak perusahaan dan cabang – cabangnya.

PT Bank Mandiri dan seluruh cabang di Indonesia ------ Subyek Pajak Badan Dalam
Negeri.
Kantor cabang Mandiri New York, Singapura, Paris ---- Subyek Pajak Badan Dalam
Negeri.
Anak Perusahaan, Mandiri America Inc. ---------- bukan subyek pajak Indonesia.

Bank of America Inc. New York, memiliki cabang BOA di Jakarta, dan memiliki anak
perusahaan di Jakarta PT Bank Amerika Security.
Tentukan tax status Cabang dan anak perusahaan tersebut.

Kantor cabang BOA Jakarta ------------- Subyek Pajak Badan Luar Negeri.
Anak perusahaan PT Bank Amerika Security ----------- Subyek Pajak Badan Dalam Negeri.

Kewajiban Pajak Subyektif


Pasal 2A
Mengatur penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subyektif :
Penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subyektif mengacu pada kriteria status subyek
pajak pada Pasal 2 :
1.Kewajiban Pajak Subyektif orang pribadi subyek pajak dalam negeri :
Dimulai ​pada saat orang pribadi tersebut dlahirkan, berada, atau berniat untuk
bertempat tinggal di Indonesia, dan ​berakhir ​pada saat meninggal dunia, atau
meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya . ----- Pasal 2 ayat(3) huruf a.

2.Kewajiban pajak subyektif badan subyek pajak dalam negeri :


Dimulai ​pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia,
dan ​berakhir ​pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia.

3.Kewajiban pajak subyektif orang pribadi atau badan subyek pajak luar negeri yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT, ​dimulai ​pada saat orang
pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT,
dan ​berakhir ​tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT. -----
Pasal 2 ayat (4) huruf a dan Pasal 2 ayat (5).

4.Kewajiban pajak subyektif orang pribadi atau badan subyek pajak luar negeri yang
dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak melalui BUT,
​dimulai ​pada saat orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia dan ​berakhir ​pada saat tidak lagi menerima atau
memeperoleh penghsilan tersebut. ------ Pasal 2 ayat (4) huruf b.

Tidak Termasuk Subyek Pajak


Pasal 3
Mengatur Badan dan Orang Pribadi yang tidak termasuk sebagai subyek pajak, yang merupakan
pembebasan pajak subyektif.
Sesuai dengan kelaziman diplomatic berdasar Konvensi Wina dan praktik internasional ditentukan
tidak termasuk subyek pajak :
1.Kantor Perwakilan Negara Asing
2.Pejabat-pejabat perwkilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara
asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka,yang bekerja pada dan bertempat
tinggal bersama mereka dengan syarat : bukan WNI dan di Indonesia tidak menerima atau
memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta negara yang
bersangkutan memberi perlakuan timbal-balik.
3.Qrganisasi-organisasi Internasional, dengan syarat :
a.Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut, dan
b.Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia
selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para
anggota;
4.Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional pada angka 3 , dengan syarat bukan WNI
dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia.
Organisasi Internasional yang tidak termasuk subyek pajak pada angka 3, ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan.

BAB III OBYEK PAJAK


Pasal 4 :
Dalam sejarah pemajakan atas penghasilan terdapat bebagai teori mengenai ​rumusan
pengertian penghasilan yang dapat dipakai sebagai rujukan dalam pemajakan penghasilan.
Salah satunya merujuk pada pendapat ​G von Schanz, RM Haigh, dan Henry Simon (SHS) ​yang
merumuskan penghasilan sebagai ​nilai pasar dari konsumsi ditambah perubahan nilai awal dan
akhir periode. Rumusan ini dikenal sebagai SHS ​income concept, accretion concept, a​ tau
comprehensive income concept, ​dan banyak diikuti dalam Undang – Undang Pajak Penghasilan
berbagai negara, termasuk Indonesia sejak Reformasi Perpajakan Nasional tahun 1984.
Setiap hukum termasuk Undang-Undang Pajak bertujuan menciptakan keadilan. Dalam Public
Finance in Theory and Practice, M​ usgrave ​menyatakan bahwa sesuai dengan prinsip keadilan,
pajak penghasilan personal harus dikenakan berdasar prinsip manfaat ( ​benefit principle ) y​ ang
diperoleh masyarakat dari pengeluaran pemerintah, dan beban pajak didistribusikan berdasar
​ embayar. Indikator kemampuan membayar mencakup :
kemampuan bayar (​ability to pay ) p
(1)penghasilan, (2) pengeluaran, (3) kekayaan, dan (4) transfer kekayaan.
Pasal 4 ayat (1) UU PPh menyatakan bahwa yang menjadi Obyek Pajak adalah Penghasilan;
disini penghasilan dimanfaatkan sebagai indikatorkemampuan membayar dari Wajib Pajak
(WP), oleh karena itu dalam UU PPh dijadikan sebagai basis pemajakan (obyek pajak – ​income
base taxation).

Perumusan Definisi Penghasilan


Undang-Undang Pajak Penghasilan ( UU PPh ) merumuskan ​definisi ​Penghasilan secara :
(1). Konseptual yang luas, komprehensif berdasarkan konsep pertambahan ​accretion concept ​,
dan sekaligus menunjuk pada beberapa prinsip/unsur penghasilan, yaitu (a) konsep, (b)
pengakuan, (c) sumber, (d) pemanfaatan, dan (e) substansi, dan
(2). Ilustratif operasional ( Ilustrasi beberapa contoh konkrit tanpa membatasi bentuk atau
kategori penghasilan yang dapat lebih banyak dari yang disebut, mulai dengan huruf ​a ​sampai
dengan huruf ​s​, agar lebih mudah dalam pelaksanaan administrasi pengenaan dan pemungutan
pajak nya ).
Definisi ​menyatakan bahwa Penghasilan adalah ​setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,
yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak, dengan nama dan
dalam bentuk apapun.
Frasa tambahan kemampuan ekonomis m ​ enunjukkan ​konsep ​penghasilan UU PPh. Dilihat
dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat
dikelompokkan menjadi :
I penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas, seperti gaji,
honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan
sebagainya;
II penghasilan dari usaha dan kegiatan;
III penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak atau harta tak gerak , seperti bunga,
deviden, royalty, sewa, dan keuntungan penjualan hata atau hak ( ​Capital gain ) yang tidak
dipergunakan untuk usaha; dan
IV penghasilan lain-lain seperti pembebasan utang dan hadiah.
Frasa ​diterima atau diperoleh m ​ erujuk pada pengakuan penghasilan ( ​income recoqnition)
untuk pemajakan. ​Diterima m​ enunjuk pada Basis Tunai (​Cash Basis), y​ aitu sistem pengakuan
penghasilan atau biaya jika penghasilan atau biaya tersebut telah dibayar secara tunai.
Sedangkan ​diperoleh menunjuk pada Basis Piutang ( ​Accrual Basi​ s), yaitu system pengakuan
penghasilan atau biaya yang dihubungkan dengan saat timbulnya hak dan kewajiban atas
penghasilan atau biaya tersebut.
Frasa ​baik berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia menunjuk pada sumber
penghasilan ( ​source of income ) ​dan cakupan geografis pemajakan ( scope of taxation )
pemajakan Indonesia, yaitu ​World wide basis, World wide income principle, Asas Universal.
Pajak dikenakan atas penghasilan dari seluruh dunia.
Frasa ​dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan merujuk pada
pemanfaatan penghasilan dan konsep penhasilaN SHS ( konsumsi dan tambahan kekayaan),
dan menunjuk pada dasar pemajakan Neto (​ Net income tax base ).
Frasa ​dengan nama dan dalam bentuk apapun ​mempertegas substansi penghasilan tanpa
memperhatikan bentuk formalnya (​Substance over form principle ,atau Princip Riel a​ tau ​Azas
matriel ).
Ilustrasi kategori Penghasilan ​yang disebut dalam Pasal 4 ayat(1) huruf ​a ​sampai dengan huruf
s dimaksud sebagai contoh untuk memperjelas ​pengertian tentang penghasilan yang luas, dan
tidak terbaatas pada contoh-contoh tersebut. Berikut contoh dimaksud , dan artinya dapat
dibaca pada Penjelasan yang terdapat dalam UU PPh.
1.Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekejaan atau jasa , kecuali ditentukan lain
dalam UU PPh. Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imalan dalam bentuk
natura dan/atau kenikmatan ( ​labor fringe benefits )​ yang diberikan oleh non-subyek pajak PPh,
WP subyek pajak final dan WP yang dikenakan Norma Khusus Penghasilan Neto ;
2.Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan ;
3.Laba usaha ;
4.Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta ( ​capital gains )​ , termasuk :
- Keuntungan karena pengalihan harta kepada ​perseroan , persekutuan , dan badan lainnya
​ ngan nilai buku 1.000 dihitung sebagai setoran modal sebesar 1.500, maka penyetor
dari d
modal dianggap memperoleh keuntungan 500.
- Keuntungan karena pengalihan harta kepada ​pemegang saham, sekutu, atau anggota yang
diperoleh perseroan , persekutuan , dan badan lainnya. J​ ika PT A mengalihkan asset senilai
buku 4.000 dengan harga 5.500 kepada pemegang saham, maka PT A tesebut dianggap
memperoleh keuntungan 1.500. Selanjutnya , jika harga pasar asset adalah 6.000 , maka
Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf d​, menyatakan bahwa PT A memperoleh keuntungan 2.000 ,
dan pemegang saham memperoleh penghasilan 500. Dalam Akuntansi, terdapat postulat tidak
ada penghasilan dari transaksi pembelian yang terjadi dalah penghematan. ​Penghasilan
direalisasi dari penjualan barang atau jasa, nanti pada saat pemgang saham pembeli asset
menjualnya lagi. Jika kemudian asset dijual dengan harga 6.250, secara akuntansi akan dihitung
laba 750, sedangkan UU PPh menghitung keuntungan 250 , karena yang 500 telah diakui dan
kena PPh pada saat pembelian. Antara Akuntansi dan Pajak terdapat beda waktu (​timing
difference )pengakuan penghasilan ( PPh lebih cepat memajaki -- ​Accrual taxation of capital
gains ​).
-Keuntungan karena ​likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apapun.
-Keuntungan karena ​pengalihan harta berupa hibah , bantuan , atau sumbangan, kecuali
yang diberikan kepada kelurga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat , dan badan
keagamaan, badan Pendidikan, badan sosial termasuk Yayasan, koperasi, atau orang pribadi
yang menjalankan usaha mikro dan kecil, sepanjang tidak ada hubungan usaha , pekerjaan ,
kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak Pemberi dan Penerima ; yang ketentuannya
diatur lebh lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan ( PMK ). Yaitu PMK Nomor
245/PMK.03/2008.
-Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan,
tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalam dalam perusahaan pertambangan.

Keuntungan dari penjualan atau pengalihan harta ( aktiva ) merupakan selisih lebih atara harga
jual ( harga pasar wajar ) harta pada saat dijual/dialihkan dengan nilai perolehan atau nilai fiscal
( nilai sisa buku bedasarkan penyusutan fiscal ) atas harta yang disusutkan.

5.Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat
menghitung Penghasilan Kena Pajak dan pembayaran tambahan pengembalian pajak.
6.Bunga termasuk premium , diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
7.Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi
kepada pemegang polis , dan pembagian sisa hasil usaha koperasi ;
8.Royalty atau imbalan atas penggunaan hak ;
9.Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta ;
10.Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala ;
11.Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai jumlah tertentu yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah;
12.Keuntungan selisih kurs mata uang asing ;
13.Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva ;
14.Premi asuransi ;
15.Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib
Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaaaan bebas ;
16.Tambahan kekayaan neto yangberasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak ;
17.Penghasilan dari usaha yang berbasis Syariah ;
18.Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam UU KUP ;
19.Surplus Bank Indonesia.
Pasal 4 ayat (2).
Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final :
a.- Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang
negara , dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang
pribadi ;
b.- Penghasilan berupa hadiah undian ;
c.- Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivative yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal
padaperusahaan pasangannya yang siterima oleh perusahaan modal ventura ;
d.- Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa
konstrusi, usaha ​ real estate , ​dan persewaan tanah dan/atau bangunan ; dan
e.- Penghasilan tertentu lainnya,
yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Adapun Penghasilan yang dikenai ​PPh bersifat Final diatur dengan ​Peraturan Pemerintah
sebagai berikut :
1.-​PPh Final atas Bunga Deposito/Tabungan, dan Diskonto SBI
PP Nomor 131 Tahun 2000 jo. KMK – 51/KMK.04/2001.
2.-​PPh Final atas Penghasilan dari Transaksi Saham di Bursa Efek
PP Nomor 41 Tahun 1994 stdtd PP Nomor 14 Tahun 1997 jo. KMK Nomor 242/KMK.04/1997
jo. SE – 06/PJ.4/1997 dan SE – 15/PJ.42/1997.
3.-​PPh Final atas Penghasilan Hadiah Undian
PP Nomor 132 Tahun 2000 jo. KEP – 395/PJ/2001 jo. SE – 19/PJ.43/2001.
4.-​PPh Final atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan /atau Bangunan, dan
Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/ atau Bangunan Beserta Perubahannya
PP Nomor 34 Tahun 2016 jo. PMK Nomor 261/PMK.03/2016 jo.Per.Dirjen Pajak Nomor PER
– 18 /PJ/2017 jo. Per.Dirjen Pajak Nomor PER – 26/PJ/2018.
5.-PPh Final atas Penghasilan dari Pengalihan Real Estat dalam Skema Kontrak Investasi
Kolektif Tertentu
PP Nomor 40 Tahun 2016 jo. PMK Nomor 37/PMK .03 /2017.

PP Nomor 29 Tahun 1996 stdtd PP Nomor 5 Tahun 2002 jo. KMK – Nomor
394/KMK.04/1996 stdtd KMK Nomor 120 /KMK.03/2002 jo. Kep. Dirjen Pajak Nomor KEP-
227/PJ./2002.
7.-PPh Final atas Bunga /Diskonto Obligasi yang Diperdagangkan di Bursa Efek
PP Nomor 16 Tahun 2009.
8.-PPh Final atas jasa Konstruksi
PP Nomor 51 Tahun 2008 stdtd PP Nomor 40 Tahun 2009 jo. PMK Nomor
187/PMK.03/2008 jo. PMK Nomor 153 /PMK.03/2009 jo. SE – 05/PJ.03/2008.
9.-PPh Final atas Penghasilan Perusahaan Modal Ventura dar Transaksi Penjualan Saham atau
Pengalihan Penyertaan Modal Pada Perusahaan Pasangan Usaha
PP Nomor 4 Tahun 1995 jo. KMK – Nomor 250 /KMK.04/1995 jo. SE – 33/PJ.4/1995.
10.-PPh Final atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara
PP Nomor 27 Tahun 2008 jo. PMK Nomor PMK – 63/PMK.03/2008 jo. Per Dirjen Pajak Nomor
PER – 18/PJ./2008. ---- PP ini tidak didasarkan atas kuasa Pasal 4ayat(2), tetapi berdasar kuasa
Pasal 17 ayat ( 2c ).
11.-PPh Final atas Penghasilan dari Usaha Yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Yang
Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
PP Nomor 46 Tahun 2013 jo. PP Nomor 23 Tahun 2018.

Simpulan
Dengan demikian dapat disimpulkan konstruksi Pasal 4 sebagai berikut :
Pasal 4 ayat {1) ​menyiratkan pengaturan pajak ​komprehensif s​ ecara Global / Unitary system,
yang artinya semua jenis dan kelompok penghasilan tanpa melihat sumber asalnya, untuk
pemajannya digunggungkan /dijumlahkan ( plus/minus dikurangi ​kompensasi horizontal )
menjadi satu kesatuan Penghasilan Kena Pajak ( ​Unitary taxable income ) d ​ an dikenakan PPh
berdasarkan ​Basis Neto ​dengan tarif umum , ​progresif ​untuk WP Orang Pribadi dan ​flat ​untuk
WP Badan.
Selanjutnya Pasal 4 ayat (2) ​menyiratkan system pemajakan skedular (​Schedular – tax system )
– ​tiap jenis penghasilan mempunyai skedul dan tarip pajak tersendiri. Dengan alasan
kemudahan administrasi , kesederhanaan dan kepastian hukum serta penerimaan negara.
Dalam system seperti ini , kebanyakan diberlakukan pemajakan berdasar ​Basis bruto ​dengan
tarif final.
Terahkir , Pasal 4 ayat ( 3 ) ​merumuskan beberapa kenaikan kemampuan ekonomis yang
dianggap bukan merupakan Penghsilan Kena Pajak.
Obyek Pajak yang dikenakan pajak tersendiri / final berdsarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2 ) UU
PPh, untuk materi kuliah ini hanya akan dibahas PPh yang menyangkut pengalihan hak atas
tanah dan /atau bangunan , dan pengalihan PPJB.

Dikecualikan Sebagai Obyek Pajak Penghasilan


Sesuai dengan kelaziman internasional dan untuk menampung kepentingan sosial , hukum,
politik, agama dan budaya tidak semua kenaikan kemampuan ekonomis merupakan obyek (
yang dikenakan) pajak.
Pasal 4 ayat (3) UU PPh ​menyatakan beberapa pengecualian obyek pajak sebagai berikut ,
namun untuk materi kuliah ini akan dibahas lebih rinci hanya hal – hal yang relevan atau
berkaitan dengan profesi notaris :
1 a. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amal zakat atau
Lembaga amil zakat dst. . . .yang ketentuannya akan diatur dengan atau berdasarkan
PP,sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan , atau
penguasaan pihak-pihak yang bersangkutan.

b. Harta hibah yang diterima keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat,
badan keagamaan, badan Pendidikan, badan sosial termasuk Yayasan, koperasi, atau
orang pribadi pengusaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan PMK, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan,
atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
PMK Nomor 245/PMK.03/2008 antara lain mengatur :
-Keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah orang tua dan anak
kandung. Hibah orang tua kepada anak kandung, atau hibah anak kepada orang tua
bukan obyek pajak.
-Ketentuan pengecualian ini berlaku apabila pihak pemberi hibah , bantuan, atau
sumbangan tidak mempunyai hubungan usaha , pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan
dengan penerima hibah, bantuan atau sumbangan.
-Harta hibah, bantuan, atau sumbangan dibukukan oleh pihak penerima sesuai dengan
nilai buku harta hibah , bantuan, atausumbangan dari pihak pemberi.
PP Nomor 94 Tahun 2010, pada Pasal 8 menyebutkan bahwa (a) hubungan usaha antara
pihak-pihak yang bersangkutan terjadi jika terdapat transaksi rutin antara kedua pihak
berupa pembelian, penjualan atau pemberian imbalan lain dengan nama dan dalam betuk
apapun ; (b) hubungan pekerjaan terjadi jika antara kedua pihak terdapat hubungan
kerja, pemberian jasa atau pelaksanaan kegiatan langsung atau tidak langsung. (c)
kepemilikan adalah penyertaan modal sebagaimana dimaksud Pasal 18 ayat (4) huruf a
UU PPh , yaitu Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung
paling rendah 25 % (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain ; atau hubungan antara
Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua
Wajib Pajak atau lebih ; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut
terakhir . Sedangkan penguasaan adalah sebagaimana dimaksud Pasal 18 ayat (4) huruf b
UU PPh, yaitu Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya, atau dua atau lebih Wajib Pajak
berada dibawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung.
Atas hibah , bantuan atau sumbangan yang tidak memenuhi syarat tersebut diatas
​ agi penerimanya; pemajakannya diatur dalam Pasal
menjadi obyek pajak ​( taxable gifts ) b
4 ayat (1) huruf (d) angka4 UU PPh untuk Pemberi dan Pasal 4 ayat (3) huruf (a) angka 1
dan 2 UU PPh. Misalnya Sdr A menghibahkan hartanya dengan nilai buku Rp 30 juta dan
harga pasar Rp 40 juta kepada teman karibnya Sdr B . menurut Pasal 4 ayat (1) huruf (d)
angka 4, atas keuntungan Rp 10 juta (selisih lebih harga pasar di atas nilai buku ) dari
harta yang dihibahkan kepada Sdr B, Sdr A terkena PPh 5 % ( dengan tidak memperhatikan
penghasilan lainnya ) sbesar Rp 500 ribu. Sementara itu, atas penerimaan harta hibah
seharga pasar Rp 40 juta , karena tidak memenuhi syarat bukan obyek pajak, Sdr B harus
membayar PPh 5 % atau sebesar Rp 2 juta. Akibatnya , atas hibah tersebut harus dibayar
total PPh sebesar Rp 2,5 juta. Jika transaksi tersebut terkena tarif pajak marginal tertinggi
30% , maka PPh yang harus dibayar adalah sebesar Rp 30 juta.

2 Warisan ;
3 Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau
penyertaan modal. Jika dalam penyetoran modal berupa harta terdapat selisih antara
nilai buku dengan nilai pasar harta , menurut Pasal 4 ayat (1) hurf (d) angka 1, selisih ini
merupakan keuntungan bagi penyetor modal. Karena itu badan penerima setoran harta
sebagai pengganti modal tersebut harus membukukan sebesar nilai / harga pasar harta.
4 Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh ​dalam bentuk natura dan/atau ​kenikmatan ( labor fringe benefits ) ​dari Wajib
Pajak ( WP) atau Pemerintah, ​kecuali yang diberikan oleh bukan WP , WP yang dikenai
PPh Final, atau WP yang menggunakan Norma Penghitungan Khusus ( ​Deemed Profit ​)
sebagaimana dimaksud Pasal 15 UU PPh, misal PPh Perusahaan Pelayaran atau
Penerbangan Dalam Negeri dan Luar Negeri; Drilling Company; atau Perusahaan Dagang
Asing. Dilain pihak, sesuai dengan prinsip ​taxability – deductibility, ​atau ​reversal rule
imbalan tersebut bagi pembayarnya berdasar Pasal 9 ayat (1) huruf e, bukan merupakan
pengurang penghasilan kena pajak (Biaya). Dengan demikian secara efektif atas imbalan
atau kenikmatan tersebut PPh nya telah dikenakan pada Pembayarnya.
5 Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada Orang Pribadi sehubungan dengan asuransi
keshatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa.
Dipihak lain, dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d, sesuai ​reversal rule , ​pembayaran premi atas
asuransi-asuransi tersebut bukan pengurang penghasilan kena pajak. Artinya bahwa
santunan yang dibayar oleh perusahaan asuransi dimaksud,PPh nya telah dibayar pada
saat pembayaran premi. Jika premi tersebut dibayar oleh perusahaan, premi tesebut
merupakan biaya,pengurang penghasilan kena pajak bagi perusahaan, dan bagi
karyawan yang ditanggung premi nya, merupakan penghasilan penghasilan kena pajak.
6 Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan tebatas sebaga WP
Dalam Negeri, koperasi, BUMN atau BUMD dari penyertaan modal pada badan usaha
yang didirikan dan bertempat kedudukan di aindonesia dengan syarat :
- Dividen berasal daricadangan laba ditahan ; dan
- Bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen, kepemilikan
saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari modal disetor.
Ayat ini menunjukkan bahwa Sistem Pemajakan Penghasilan atas Perseroan ( Company/
Corporate Income Tax System ) dalam UU PPh menganut Sistem Klasik atau Sistem
Terpisah( ​Classical System ​or ​Separate System )​ ; yaitu PPh dikenakan baik terhadap
Perseroan, atas laba nya, maupun terhadap Pemegang Saham (​Shareholders)​ nya atas
dividen yang diterima atau diperolehnya. Berbeda dengan Sistem Integrasi ( Integrated
System ​) dimana PPh hanya dikenakan terhadap Pemegang Saham. Sehingga untuk
memitigasi akibat Pajak Berganda Ekonomis dalam sitem klasik , dimana sumber
pembagian dividen secara ekonomis telah dikenakan PPh Badan, maka dividen antar
badandianggap bukan obyek PPh. Namun untuk mendorong akumulasi modal saham,
pengecualian itu hanya berlaku untuk kepemilikan 25% atau lebih, sehingga dividen atas
kepemilikan dibawah 25% menjadi obyek PPh. Tetapi kalua penerimanya WP Orang
Pribadi, sesuai Pasal 17 ayat (2c) dikenakan PPh sebesar 10% Final
7 Iuran yang diterima atau diperoleh Dana Pensiun yang pendiriannya telah disyahkan oleh
Menteri keuangan baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
8 Penghasilan dari modal yang ditanamkan Dana Pensiun tersebut pada angka 7 diatas,
dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan
(KMK). Diatur KMK No. 651/KMK.04/1994 jo. PMK No. 234/PMK.03/2009 ,bidang
penanaman modal tertentu yang memberikan penghasilan kepada dana pensiun yang
tidak termasuk obyek PPh.
9 Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham, persekutuan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang
unit penyertaan Kontrak Investasi Kolektif (KIK). Ayat ini menujukkan Sistem Pemajakan
Atas Penghasilan Persekutuan (Partnership Income Tax System ) yang dianut UU PPh ,
yang menggunakan pendekatan non-transparan (Nontransparancy approach​) , dimana
untuk memudahkan administrasi pemungutan pajak Badan yang bukan merupakan badan
hukum perdata dianggap sebagai Subyek Pajak Badan dan dikenakan PPh pada
penghasilan badan tersebut. Untuk mengurangi pajak beganda maka atas bagian laba
yang telah dikenai PPh Badan yang dibagikan kepada anggota dikecualikan dari obyek
pajak. Sebagai konsekuensi dari penggunaan pendekatan ini, maka gaji yang dibayarkan
kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak
terbagi atas sahamtidak boleh dikurangkan sebagai biaya dalam menghitung Penghasilan
Kena Pajak bagi persekutuan,firma atau pesekutuan komanditer tersebut ( lihat Pasal 9
ayat(1) huruf j. Kemudahan administrasi yang demikian juga diterapkan pada KIK yang
sebetulnya hanya kontrak bukan badan (hukum).
Sedangkan pendekatan transparan ​( Transparancy Approach ) a​ dalah dimana pemajakan
langsung dikenakan pada para anggota secara prorata dari penghasilan, karena firma,
persekutuan dsb bukan badan hukum perdata maka dalam UU Perpajakan juga tidak
menjadi Subyek Pajak. Pendekatan transparan ini pernah diaplikasikan dalam system
perpajjakan Indonesia sebelum tahun 60 an.
10 Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan ​Modal Ventura ​berupa bagian laba
badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia,
dengan syarat badan pasngan usaha tersebut :
a.merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan
dalam sector-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan; dan
b.Sahamnya tidak diperdagangkan di Bursa Efek di Indonesia.
Berdasarkan KMK Nomor 250 /KMK.04/1995, perusahaan kecil dan menengah pasangan
perusahaan Modal Ventura tersebut merupakanperusahaan yang penjualan bersihnya
se tahun tidak melebihi Rp 5 milyar. Penyertaan modal perusahaan modal ventura pada
setiap perusahaan pasangan usaha dilakukan selama perusahaan pasangan usaha
tersebut belum menjual saham di bursa efek dan untuk jangka waktu tidak melebihi 10
(sepuluh) tahun.
11 Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut de
dengan atau berdasarkan PMK. Diatur dengan PMK Nomor 246/PMK.03/2008.
12 Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau Lembaga yang bergerak dalam
bidang Pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar
pada instansi yang membidanginya , yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana
dan prasa rana kegiatan pendidikan dan/ataupenelitian dan pengembangan , dalam jangka
waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan PMK No 80/PMK.03/2009; dan Per DJP
No.PER-44/PJ/2009.
13 Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh BPJS kepada WP tertentu, yang ketentuan
nya lebih lanjut diatur dengan atau berdasarkan PMK.

Pengurang Penghasilan Bruto


Penghasilan Kena Pajak
Sebagai konsekuensi penerapan prinsip Kemampuan Bayar (​Ability to pay ​; ​Capacite
contrbutive​) bagi Pajak Penghasilan, terdapat 3 konsekuensi diperbolehkannya pengurang
beban dalam penghitungan penghasilan kena pajak ( PKP ) yaitu (1) Penghasilan Bersih ( ​Net
income effect )​ . (2) Penggunggungan Penghasilan, yaitu penjumlahan penghasilan positif/
negative dan kompensasi horizontal ( ​Netting effect )​ , dan (3) Kompensasi vertical atas
kerugian ( ​Loss carry-over effect ​). Dalam menentukan PKP yang menjadi dasar penghitungan
PPh terutang, Penghasilan Bruto dikurangi dengan yang menurut UU PPh dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto. Selanjutnya, jika dari satu kelompok atau sumber terdapat penghasilan
negative (rugi) harus dapat diperhitungkan dengan penghasilan dari sumber lain dalam tahun
yang sama (​kompensasi horizontal )​ . Terakhir, jika dalam satu tahun pajak diperoleh kerugian,
harus dapat diperhitungkan dengan penghasilan tahun-tahun berikutnya ( ​carry-forward losses
– ​kompensasi kerugian vertical ke depan ) dan/atau dengan penghasilan tahun-tahun
sebelumnya ( ​carry-backward losses ​– kompensasi kerugian vertical kebelakang ). Kompensasi
yang terakhir ini tidak termasuk dalam UU PPh yang berlaku.

Biaya-Biaya yang Dapat Dikurangkan


Beban yang dapat kikurangkan dari penghasilan bruto terdiri dari (1) Beban/Biaya mempunyai
masa manfaat tidak lebi dari satu tahun ( ​revenue expenditure )​ seperti gaji /upah, biaya
administrasi, biaya pengolahan limbah dibebankan pada tahun yang bersangkutan, dan (2)
Beban/Biaya dengan masa manfaat lebih dari satu tahun (​ Capital expenditure ​) seperti Aktiva
Tetap dibebankan melalui penyusutan/amortisasi/alokasi. Jika dalam suatu tahun pajak
didapat kerugian misalnya dari usaha, pelepasan aktiva, atau selisih kurs dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto ( kompensasi horizontal ).
Sesuai dengan ​Pasal 6 ayat (1) UU PPh, ​besarnya Penghasilan Kena Pajak (PKP) WPDN dan BUT
ditentukan berdasarkan ​Penghasilan Bruto ​dikurangi dengan ​biaya-biaya ​untuk ​mendapatkan,
menagih, ​dan ​memelihara penghasilan,​ termasuk :
1.Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha.
2.Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih
dari satu tahun, sebagaimana dimaksud Pasal 11 dan Pasal 11A.
3.Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
4.Kerugian karena penjualan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang
dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
5.Kerugian selisih kurs mata uang asing.
6.Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia.
7.Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan.
8.Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat: 1) telah dibebankan secara
komersial; 2) WP harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada DJP; 3)
telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah
yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan
piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah
dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur
bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu; 4) syarat pada angka 3 tidak
berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud Pasal 4
ayat(1) huruf k, yang pelaksanaannya diatur PMK.
9.Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
10.Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan PP.
11.Sumbangan fasilitas Pendidikan yang ketentuannya diatur dengan PP.
12.Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan PP.
Pasal 6 ayat (2) , ​Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan dimaksud ayat (1) didapat
kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya
berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.
Pasal 6 ayat (3) , ​Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan
pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 7.

Penghasilan Tidak Kena Pajak ( PTKP )


Untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak (PKP) dari Wajib Pajak Orang Pribadi
Dalam Negeri, Penghasilan Neto nya dikurangi dengan jumlah PTKP . Di samping untuk dirinya,
kepada Wajib Pajak yang sudah kawin diberikan tambahan PTKP.
Pasal 7 ayat (1) yang telah disesuaikan dengan PMK Nomor 101/PMK.03/2016 berdasar ​Pasal
7 ayat (3) ​ adalah :
Ayat (1) Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan paling sedikit sebesar :
a.Rp 54.000.000,00 untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
b.Rp 4.500.000,00 tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
c.Rp 54.000.000,00 tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan
penghasilan suami , sebagaimana dimaksud dalam​ Pasal 8 ayat (1) ​; dan
d.Rp 4.500.000,00 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda
dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling
banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
Ayat (2) Penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh keadaan
pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak.
Ayat (3) Penyesuaian besarnya PTKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) setelah dikonsultasikan dengan DPR.

Penghasilan Wanita Yang Telah Kawin


Pasal 8
Sistem pengenaan pajak berdasarkan UU PPh inii menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan
ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga digabungkan
sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak, danpemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh
kepala keluarga. Namun, dalam hal-hal tertentu pemenuhan kewajiban pajak tersebut
dilakukan terpisah.
Ayat (1) ​Seluruh penghasilan atau kerugian bagi Wanita Yang Telah Kawin pada awal tahun
pajak atau pada awal bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal dari
tahun-tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (2)
dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penhasilan tersebut
semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak
berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha
atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
Ayat (2) ​Penhasilan suami-isteri dikenai pajak terpisah apabila :
a.Suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim;
b.Dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan
penghasilan ; atau
c.Dikehedaki oleh isteri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya
sendiri.
Ayat (3) ​Penghasilan neto suami-isteri sebagaimana dimaksud pada ​ayat (2) huruf b ​dan ​huruf
c ​dikenai pajak berdasarkan ​penggabungan penghasilan neto ​suami-isteri dan besarnya pajak
yang harus dilunasi masing-masing suami-isteri dihitung sesuai dengan perbandingan
penghasilan neto mereka.
Ayat (4 ) ​Penghasilan anak yang belum dewasa digabung dengan penghasilan orang tuanya.

Biaya-Biaya Yang Tidak Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto.


Dalam rangka menghindari tumpang- tindih (​Overlapping ) ​pengaturan beban, biaya,
pengeluaran untuk mendapatkan besaran Penghasilan Kena Pajak ( PKP ), berbagai negara
dalam ketentuan perpajakannya dapat menerapkan : (1) ​Pendekatan positif ​( Positive approach
) dengan merumuskan aturan rinci jenis biaya apa saja yang ​dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto, dan selebihnya, diluar itu, tidak dapat dikurangkan, atau (2) ​Pendekatan
negatif ​( ​Negative approach ​) dengan merumuskan biaya apa saja yang ​tidak boleh dikurangkan
dari penhasilan bruto, dan selain biaya tersebut dapat dikurangkan. Berbeda dengan
pengaturan yang memilih salah satu pendekatan dimaksud, UU PPh merumuskan keduanya
secara rinci baik biaya yang dapat dikurangkan ( dalam Pasal 6 ayat(1) ) maupun yang tidak
boleh dikurangkan ( dalam Pasal 9 ayat (1) ).
Berdasarkan Pasal 9 UU PPh ​, biaya -biaya yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
yaitu :
Pasal 9 ayat ( 1 ) :
a.Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen
yang dibayarkan perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi ;
b.Biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham , skutu, atau anggota.
c.Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali :
1.Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan
kredit , sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsuman, dan perusahaan
anjak piutang;
2.Cadangan untuk usah asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh BPJS;
3.Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjaminan Simpanan;
4.Cadangan reklamasi untuk usaha pertambangan;
5.Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan;
6.Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk
usaha limbah industri ;
d.Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi
beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak Orang Pribadi, kecuali yang dibayar oleh pemberi kerja
dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
e.Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam
bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh
pegawai serta daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
f.Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada
pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan
yang dilakukan;
g.Harta yang dihibahkan, bantuan , atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf I sampai dengan huruf m, serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat
yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah , atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib
bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh Lembaga keagamaan yang
dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah , yang ketentuannya diatur dengan atau brdasarkan
Peraturan Pemerintah;
h.Pajak Penghasilan;
i.Biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi
tanggungannya;
j.Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham;
k.Sanksi administrasi berupa bunga,denda, dan kenaikan, serta sanksi pidana berupa denda
yang berkenaan denggan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Pasal 9 ayat (2)
Pengeluaran untuk mendapatkan , menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan
dibebenkan melalui penyusutan atau amortisasi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau
Pasal 11A.

Ketentuan Penilaian Dalam Transaksi


Pasal 10 ​mengatur ketentuan tentang cara penilaian harta, termasuk persediaan , dalam
rangka menhitung penghasilan sehubungan dengan penggunaan harta dalam perusahaan,
menghitung keuntungan atau kerugian apabila terjadi penjualan atau pengalihan harta , daan
penghiitungan penghasilan dari penjualan barang dagangan.
Pasal 10 ayat (1) Harga perolehan atau harga penjualan dalam hal yerjaadi jual beli harta yang
tidak dipengaruhi hubungan istimewa, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4), adalah
jumlah sesungguhnya dikeluarkan atau diterima , sedangkan apabila terdapat hubungan
istimewa adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima.
Pasal 10 ayat (2) ​Nilai perolehan atau nilai penjualan dalam hal terjadi tukar- menukar harta
adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar.
Pasal 10 ayat (3) Nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi,
penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambialihan usaha adalah jumlah yang
seharusnya dikeluarkan atau diterima berdsar harga pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri
Keuangan.
Pasal 10 ayat (4) ​Apabila terjadi pengalihan harta :
a. yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3 ) huruf a dan huruf
b, maka dasar penilaian bagi yang menerima pengalihan sama dengan ​nilai sisa buku dari
pihak yang melakukan pengalihan atau nilai yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;
b. Yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (3 ) huruf a, maka dasar
penilaian bagi yang menerima pengalihan sama dengan nilai pasar dari harta tersebut.
Pasal 10 ayat (5) ​Apabila terjadi pengalihan harta sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (3)
huruf c, maka dasar penilaian harta bagi badan yang menerima pengalihan sama dengan nilai
pasar harta tersebut.
Pasal 10 ayat (6) ​Persediaan dan pemakaian persediaan untuk penghiyungan harga pokok
dinilai berdasarkan harga perolehan yang dilakukansecara rata-rata atau dengan cara
mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama.
Norma Penghitungan Penghasilan Neto​, maka dari tidak semua Wajib Pajak mampu
menyelenggarakan pembukuan. Semua Wajib Pajak Badan dan Bentuk Usaha Tetap diwajibkan
menyelenggarakan pembukuan. Wajib Pajak Orang Pribadi yang Menjalankan Usaha atau
Melakukan Pekerjaan Bebas dengan jumlah peredaran tertentu, tidak diwajibkan untuk
menyelenggarakan pembukuan. Selanjutnya ​Pasal 28 ayat (2) UU KUP ​mengaatur bahwa Wajib
Pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud
ayat (1), tetapi ​wajib melakukan Pencatatan​, adalah Wajib Pajak Orangg Pribadi yang
Melakukan Kegiatan Usaha atau Pekerjaan Bebas yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung Penghasilan Neto dengan
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dan Wajib Pajak Orang Pribadi yang
tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
Pasal 14 UU PPh memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya Penghasilan Neto bagi
Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran
bruto tertentu dengan menggunakan ​Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
Pasal 14 ayat (1) ​mengatur bahwa Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk menentukan
penghasilan neto dibuat dan disempurnakan terus menerus serta diterbitkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.
Pasal 14 ayat (2) ​mengatur bahwa Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegatan usaha
atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp
4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh menghitung penghasilan neto
dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud pada
ayat(1), dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (
tiga ) bulan pertama dari tahun pajak bersangkutan.
Pasal 14 ayat (3) ​mengatur bahwa Wajib Pajak sebagaimana dimaksud ayat (2) yang
menghitung penghaslan netonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
wajib menyelenggarakan pencatatan sebagaimana dimaksud dalam UU KUP.
Pasal 14 ayat (4) ​mengatur bahwa Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang
tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan neto
dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dianggap memilih
menyelenggarakan pembukuan.
Pasal 14 ayat (5) ​mengatur bahwa Wajib Pajak yang menyelenggarakan pembukuan dan
pencatatan , termasuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), yang
ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan, atau
tidak memperlihatkan pencatatanatau bukti-bukti pendukungnya maka penghasillan netonya
dihiyung berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan peredaran brutonya dihitung
dengan cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 14 ayat (7) ​mengatur bahwa besarnya peredaran bruto sebagamana dimaksud dalam
ayat (2) dapat diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan.

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG NORMA PENGHITUNGAN PENGHASILAN


NETO -- NOMER PER - 17/PJ/2015 Tanggal 10 April 2015.
Peratuan ini mengatur pelaksanaan Penghitungan Penghasilan Neto dengan menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto ( NPPN ) sebagai berikut :

Pasal 1
(1). ​Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang
peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun sebesar Rp 4.800.000.000,00 ( empat miliar delapan
ratus juta rupiah ) atau lebih wajib menyelenggarakan pembukuan.
(2). ​Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan beebas yang
peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp 4.800.000.000,00 ( empat miliar
delapan ratus juta rupiah ) wajib menyelenggarakan pencatatan , kecuali Wajib Pajak yang
bersangkutan memilih menyelenggarakan pembukuan.
(3). ​Wajib Pajak Orang Pribadi yang wajib menyelenggarakan pencatatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan menerima atau memperoleh penghasilan yang tidak dikenai Pajak
Penghasilan bersifat final, menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto.

Pasal 2
(1). ​Wajib Pajak Orang Pribadiyang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (3) wajib memberitahukan mengenai penggunaan Norma
Penghitungan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 3 (tiga ) bulan sejak awal Tahun Pajak
yang bersangkutan.
(2). ​Pemberitahuan penggunaan Norma Penhitungan Penghasilan Neto yang disampaikan
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap disetujui kecuali
berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan untuk
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
(3). Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap memilih
menyelenggarakan pembukuan.

Pasal 3
(1). ​Dalam hal terhadap Wajib Pajak Badan atau Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan
kegiatn usaha atau pekerjaan bebas dilakukan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan ternyata Wajib Pajak
Orang Pribadi atau Badan tersebut tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan
atau tidak bersedia mem[erlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti
pendukungnya , penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto.
(2). ​Penghitungan penghasilan neto Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dilakukan atas penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3). ​Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Pasal 4
(1). Daftar Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto dikelompokkan menurut wilayah
sebagai berikut :
a. 10 (sepuluh) ibukota propinsi yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang,
Surabaya, Denpasar, Manado, Makasar, dan Pontianak;
b. Ibukota propinsi lainnya;
c. Daerah lainnya.
(2). ​Daftar Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk Wajib Pajak Orang Pribadi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) tercantum dalam Lampiran I Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini.
(3). ​Daftar Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk Wajib Pajak Orang Pribadi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) tercantum dalam Lampiran II Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini.
(4). ​Daftar Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk Wajib Pajak Badan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) tercantum dalam Lampiran III Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini.
Pasal 5
(1). ​Penghitungan Penghasilan Neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha
atau pekerjaan bebas , dilakukan terhadap masing-masing jenis usaha atau pekerjaan bebas
dengan memperhatikan pengelompokan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
(2). ​Penghasilan Neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha atau pekerjaan
bebas adalah penjumlahan penghasilan neto masing-masing jenis usaha atau pekerjaan bebas
yang dihitung sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 6

(1). ​Penghasilan Neto bagi tiap jenis usaha dihitung dengan cara mengalikan angka persentase
Norma Penghasilan Neto dengan peredaran bruto atau penghasilan bruto dari kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas dalam 1 (satu) TahunPajak.
(2). ​Dallam menghitung besarnya Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak Orang
Pribadi, sebelum dilakukan penerpan tarif umum Pajak Penghasilan, terlebih dahulu dihitung
Penghasilan Kena Pajak dengan mengurangkan Penghasilan Tidak Kena Pajak dari Penghasilan
Neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 7
Petunjuk penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto adalah sebagaimana tercantum
dalam Lampiran IV Peratyran Direktur Jenderal Pajak ini.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak Tahun Pajak 2016.

Lampiran I – PER- 17 /PJ/2015


Daftar Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto Untuk Wajib Pajak Pajak Orang
Pribadi Yang Menghitung Penghasilan Neto Dengan Menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto :
Daftar tersebut mencatat secara berurutan ​ NO , KLU , URAIAN KLU , NPPN (dalam persen)
NO ​= Nomor Urut , ​KLU ​= Kelompok Usaha , ​URAIAN KLU ​= Uraian Kelompok Usaha , ​NPPN ​=
Norma Penghitungan Penghasilan Neto , terbagi dalam 3 (tiga) wilayah.
Pada ​NO : 1214 , KLU : 69100 , URAIAN KLU : JASA HUKUM , NPPN : 51 – 50 – 50
Pada URAIAN KLU : JASA HUKUM diuraikan sebagai berikut :
Kelompok ini mencakup usaha jasa pengacara / penasihat hukum, notaris, Lembaga bantuan
hukum serta jasa hukum lainnya, dalam hal bantuan nasihat dan perwakilan dalam kasus sipil,
kasus kriminal, kasus perselisihan tenaga kerja, persiapan dokumen hukum, dokumen badan
hukum, perjanjian kerjasama atau dokumen yang serupa dalam kaitan dengan pembentukan
perusahaan, hak paten dan hak cita, penyiapan akta notaris, surat wasiat, trust dan sebagainya
dan kegiatan lainnya notaris umum, notaris hukum sipil, juru sita, arbiter, pemeriksa dan liperi.
Badan Pelaksana Peradilan dimasukkan dalam kelompok 84233.
Dengan demikian dalam menghitung Penghasilan Neto bagi NOTARIS sebagai Wajib Pajak
Orang Pribadi yang melakukan pekerjaan bebas, Norma Penghitungan Penghasilan Neto nya
adalah 51% , 50% dan 50% masing-masing sesuai dengan wilayahnya.

BAB IV : CARA MENGHITUNG PAJAK


Pasal 16
(1). ​Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif bagi Wajib Pajak Dalam Negeri
dalam suatu Tahun Pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) dan ayat (2) , Pasal 7 ayat (1), serta Pasal 9 ayt (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g.
(2). ​Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 dan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena
Pajak sebagaimana dimaksud Pasal 7 ayat (1).
(3). ​Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui suatu Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dalam suatu tahun
pajakdihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat
(1) dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 6 ayat(1) dan ayat (2),serta
Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g.
(4). ​Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri​ ​yang terutang
pajakdalam suatu bagian tahun pajaksebagaimana dimaksud Pasal 2A ayat (6) dihitung
berdasarkan penghasilan neto yang diterima atau diperoleh dalam bagiantahun pajak yang
disetahunkan.
TARIF PAJAK
Pasal 17
(1). ​Tarif pajak yang diterapkan atas ​Penghasilan Kena Pajak ​bagi :
​a. Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri ​sebagai berikut :
​Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000,00 5%
Diatas Rp 50.000.000,00 s/d Rp 250.000.000,00 15%
Diatas Rp 250.000.000,00 s/d Rp 500.000.000,00 25%
Diatas Rp 500.000.000,00 30%

Contoh Penghitungan Pajak


A. Wajib Pajak Orang Pribadi yang menyelenggarakan pembukuan :
Peredaran Bruto Rp 6.000.000.000,-
Biaya mendapatkan, menaggih dan memelihara penghasilan ​5.400.000.000,-
Laba Usaha ( Penghasilan neto usaha ) 600.000.000,-
Penghasilan neto lainnya ​20.000.000,-
Jumlah seluruh penghasilan neto Rp 620.000.000,-
Kompensasi kerugian tahun lalu ​Rp 10.000.000,-
Penghasilan neto Rp 610.000.000,-
Penghasilan Tidak kena Pajak (PTKP) – (isteri + 2 anak ) ​Rp 67.500.000,-
Penghasilan Kena Pajak Rp 552.500.000,-
Pajak Penghasilan Terutang :
Rp 50.000.000,- x 5% = Rp. 2.500.000,-
Rp 200.000.000,- x 15% = 30.000.000,-
Rp 250.000.000,- x 25% = 62.500.000,-
Rp 52.500.000.- x 30% = 15.750.000,- Rp 110.750.000,-
Kredit Pajak :
Pajak Penghasilan Pasal 21 Rp 15.000.000,-
Pajak Penghasilan yang harus dibayar Rp 95.750.000,-

B. Wajib Pajak Orang Pribadi yang menyelenggarakan pencatatan dengan


menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
Contoh :
Kasus I
Budi seoarang Notaris tinggal di Jakarta selama tahun 2019 memperoleh penghasilan bruto
sebesar Rp 2.000.000.000,- . Istrinya Rini bekerja sebagai manager keuangan PT Jayaraya
dengan memperoleh gaji bersih sebelum pajak selama tahun 2019 sebesar Rp 800.000.000,-
Mereka mempunyai tanggungan 2 orang anak. Istri mengikuti NPWP suami. Norma
Penghitungan Penghasilan Neto untuk Notaris di Jakarta adalah 51%. Rini di tempat
kerjanya telah dipotong PPh Pasal 21 sebesar Rp 168.800.000,-
Pertanyaan ; Hitung PPh terutang Budi tahun 2019.

Penghasilan Neto Budi : 51% X Rp 2.000.000.000,- : Rp 1.020.000.000,-


PTKP status K/2 :
Wajib Pajak sendiri : Rp 54.000.000,-
Status Kawin : 4.500.000,-
Tanggungan 2 anak : 9.000.000,- Rp 67.500.000,-
Penghasilan Kena Pajak : Rp 962.500.000,-
PPh terutang :
5% X Rp 50.000.000,- = Rp 2.500.000,-
15% X 200.000.000,- = 30.000.000,-
25% X 250.000.000,- = 62.500.000,-
30% X 452.500.000,- = 135.750.000,- : Rp 230.750.000,-
Sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PPh , PPh Pasal 21 Isteri yang telah dipotong
oleh pemberi kerja bersifat final , dan Penghasilan Isteri tidak digabung dengan penghasilan
suami.

Kasus II
Jika dalam kasus I diatas , Isteri memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban pajaknya
sendiri, dengan mempunyai NPWP sendiri terpisah dari Suami.
Pertanyaan : Hitung PPh terutang masing-masing Budi dan isterinya Rini untuk tahun 2019.

Dalam hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (3) jo Pasal 8 ayat (2) huruf c, suami –
isteri dikenai pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami-isteri dan besarnya
pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing suami-isteri dihitung sesuai pebandingan
penghasilan neto mereka.

Penghasilan Neto Budi : 51% X Rp 2.000.000.000,- = Rp 1.020.000.000,-


Penghasilan Neto Rini = 800.000.000,-
Jumlah Penghasilan Neto Budi dan Rini = 1.820.000.000,-
PTKP - K/2 :
Wajib Pajak sendiri : Rp 54.000.000,-
Status kawin : 4.500.000,-
Isteri bekerja : 54.000.000,-
Tanggungan 2 anak : 9.000.000,- =Rp 121.500.000,-
Penghasilan Kena Pajak = Rp 1.698.500.000,-
PPh Terutang :
5 % X Rp 50.000.000,- = Rp 2.500.000,-
15% X 200.000.000,- = 30.000.000,-
25% X 250.000.000,- = 62.500.000,-
30% X 1.198.500.000,- = 358.550.000,- =Rp 453.550.000,-
PPh terutang Budi : 1.020 / 1.820 X 453.550.000 =Rp 254.187.000,-
PPh terutang Rini : 800/ 1.820 X 453.550.000,- =Rp 199.363.000,-
PPh Pasal 21 Rini = 168.800.000,-
PPh Rini yang masih harus dibayar (kurang bayar) =Rp 30.563.000,-

Kasus III
Sama dengan kasus I , tetapi Isteri disamping memperoleh penghasilan dari PT Jayaraya, ia
juga memperoleh penghasilan dari usaha salon dengan penghasilan bruto Rp
100.000.000,-dan Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk salon adalah 40%. Isteri
tetap mengikuti NPWP suami. Hitung PPh terutang Budi tahun 2019.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PPh, atas penghasilan istri yang berasal dari
lebih dari satu sumber penghasilan yang berbeda, untuk pengenaan pajaknya digabung
dengan penghasilan suami sebagai satu kesatuan ekonomis.

Penghitungan PPh Terutang Budi Tahun 2019 :


Penghasilan Neto Budi : 51 % X Rp 2.000.000.000,- = Rp 1.020.000.000,-
Penghasilan Neto Rini /Isteri :
Dari Usaha Salon : 40 % X 100.000.000,- = 40.000.000,-
Dari Kerja pada PT Jayaraya = 800.000.000,-
Jumlah Penghasilan Neto Budi dan Rini = Rp 1.860.000.000,-
PTKP – K/2 :
Wajib Pajak Sendiri : Rp 54.000.000,-
Isteri yang bekerja : 54.000.000,-
Status kawin : 4.500.000,-
Tanggungan 2 anak : 9.000.000,- = Rp 121.500.000,-
Penghasilan Kena Pajak = Rp 1.738.500.000,-
PPh Terutang :
5 % X Rp 50.000.000,- : Rp 2.500.000,-
15 % X 200.000.000,- : 30.000.000,-
25 % X 250.000.000,- : 62.500.000,- =
30 % X 1.238.500.000,- : 371.550.000,- = Rp 466.550.000,-
Kredit Pajak :
PPh Pasal 21 – Isteri = Rp 168.800.000,-
PPh Terutang yang masih harus dibayar Budi = Rp 297.750.000,-

Kasus IV
Jika dalam kasus III tersebut diatas Isteri , Rini, memilih untuk menjalankan hak dan
kewajiban pepajakannya sendiri, dengan memiliki NPWP sendiri, maka sesuai ketentuan
Pasal 8 ayat (3) UU PPh, PPh yang terutang untuk masing-masing suami-isteri, Budi dan Rini,
dihitung berdasarkan jumlah PPh Terutang dalam kasus III sebesar Rp 466.550.000,- dibagi
untuk keduanya berdasarkan prorata perbandingan Penghasilan Neto yang diperoleh
masing-masing :
Penghasilan Neto Budi -- Suami : Rp 1.020.000.000,-
Penghasilan Neto Rini -- Isteri : 840.000.000,-
Jumlah Penghasilan Neto Budi dan Rini : 1.860.000.000,-
PPh Terutang Budi : 102/186 X Rp 466.550.000,- = Rp 255.853.000,-

PPh Terutang Rini : 84/ 186 X Rp 466.550.000,- = Rp 210.697.000,-


Kredit Pajak – PPh Pasal 21 – Rini = 168.800.000,-
PPh Terutang yang masih harus dibayar Rini = Rp 41.897.000,-

_________________

Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau
Bangunan beserta Perubahannya.
Dasar Hukum : Pasal 4 ayat (2) UU PPh jo PP Nomor 34 Tahun 2016 :
Pasal 1
(1) – Wajib Pajak : Orang Pribadi dan Badan
- Obyek Pajak :
a. Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pengalihan hak atas tanah dan/atau
Bangunan ; atau
b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pejanjian pengikatan jual beli atas
tanah dan/ atau bangunan beserta perubahannya.
- Terutang PPh : bersifat Final,
(2) – Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan / atau bangunan adalah penghasilan
yang diterima atau diperoleh pihak yang mengalihkan melalui penjualan, tukar-menukar
pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati
antara para pihak.
(3) – Penghasilan dari perjanjian pengikatan jual beli atas tanah / dan atau bangunan
beserta perubahannya adalah penghasilan dari :
a. Pihak penjual yang Namanya tercantum dalam pejanjian pengikatan jual beli pada
saat pertama kali ditanda tangani, atau
b. Pihak pembeli yang Namanya tercantum dalam perjanjian jual beli, atas terjadinya
perubahan pihak pembeli dalam perjanjian pengikatan jual beli tersebut.
Pasal 2
(1) ​Tarip Pajak
Besarnya PPh dari pengalihan hak atas tanah dan / atau bangunan adalah sebesar :
a. 2,5% (dua koma lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan /
atau bangunan , selain pengalihan hak atas tanah dan/ bangunan berupa Rumah
Sederhana atau Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang
usaha pokoknya melakukan pengalihan ha katas tanah dan atau / bangunan.
b. 1 % (satu persen) dari jumlah bruto pengalihan ha katas tanah dan /atau bangunan
berupa Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib
Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan ha katas tanah dan/ atau
bangunan; atau
c. 0 % (nol persen) atas pengalihan ha katas tanah dan / atau bangunan kepada
pemerintah , badan usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus dari
pemerintah, atau badan usaha milik daerah yang mendapat penugasan khusus dari
kepala daerah, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
(2) ​Nilai Pengalihan.
Nilai pengalihan hak atas tanah dan / atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah :
a. Nilai berdasarkan keputusan pejabat yang berwenang, dalam hal pengalihan kepada
pemerintah;
b. Nilai menurut risalah lelang , dalam hal pengalihan hak sesuai dengan peraturan
lelang (Vendu Reglement Staatsblad Tahun 1908 Nomor 189 beserta perubahannya)
c. Nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh , dalam hal engalihan ha katas tanah
dan / atau bangunan dilakukan melalui jual beli yang dipengaruhi hubungan
istimewa, selain pengalihan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b;
d. Nilai yang sesungguhnya diterima atau diperoleh , dalam hal pengalihan hak atas
tanah dan / atau bangunan melalui jual beli yang tidak dipengaruhi hubungan
istimewa , selain pengalihan sebagaimana dimaksud pada a dan huruf b ; atau
e. Nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh berdasarkan harga pasar, dalam hal
pengalihan ha katas tanah dan / atau bangunan dilakukan melalui tukar-menukar,
pelepasan hak, penyerahan hak, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati antara
para pihak.

(3) Besarnya pajak penghasilan atas penghasilan dari perjanjian pengikatan jual beli atas
tanah dan / atau bangunan beserta perubahannya berdasarkan tarif pada ayat (1) dari
jumlah bruto , yaitu :
a. Nilai yang sesungguhnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan tanah dan /
atau bangunan dilakukan melalui pengalihan yang tidak dipengaruhi hubungan
istimewa; atau
b. Nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh , dalam hal pengalihan tanah dan/
atau bangunan dilakukan melalui pengalihan yang dipengaruhi hubungan istimewa.
(4) Kriteria Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana , sesuai dengan kriteria
Rumaaaaah sederhana dan Rumah Susun sederhana yang mendapat fasilitas
dibebaskan dari pengenaan PPN sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
dibidang perpajakan.

Pasal 3
​Pajak Penghasilan Terutang dan Pelunasannya serta Kewajiban Pejabat :
(1) Orang Pribadi atau Badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan , wajib menyetor sendiri PPh yang
terutang ke Bank /Pos persepsi sebelum Akta, Keputusan, Kesepakatan, atau Risalah
Lelang atas penglihan ha katas tanah dan / atau bangunan ditandatangani oleh Pejabat
yang berwenang.
(2) Bagi Orang Pribadi atau Badan yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas
tanah dan / atau bangunan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan / atau bangunan, PPh nya terutang pada saat
diterimanya sebagian atau seluruh pembayaran atas pengalihan hak atas tanah dan/
atau bangunan.
(3) PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan jumlah setiap
pembayaran termasuk uang muka, bunga, pungutan , dan pembayaran tambahan
lainnya yang dipenuhi oleh pembeli, sehubungan dengan pengalhan ha katas tanah da/
atau bangunan tersebut.
(4) PPh yang terutang tersebut pada ayat (2) wajib dibayar oleh Orang Pribadi atau Badan
yang besangkutan ke Bank/ Pos persepsi paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan
berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran.
(5) Pejabat yang berwenang hanya menandatangani Akta, Keputusan, Kesepakatan, atau
Risalah Lelang atas pengalihan ha katas tanah dan / atau bangunan apabila kepadanya
dibuktikan oleh Orang Pribadi atau Badan dimaksud bahwa kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi dengan menyerahkan fotokopi Surat Setoran
Pajak atau hasil cetakan sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran
Pajak yang berangkutan yang telah dilakukan penelitian oleh Kantor Pelayanan Pajak.
(6) Pejabat yang berwenang menandatangani Akta, Keputusan, Kesepakatan, atau Risalah
Lelang wajib menyampaikan laporan bulanan mengenai penerbitan Akta, Keputusan,
Kesepakatan, atau Risalah Lelang atas pengalihan hak atas tanah dan / atau bangunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Direktur Jenderal Pajak.
(7) Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) meliputi
Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pejabat lelang, atau pejabat lain yang diberi wewenang
sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan.

Pasal 4
​Transaksi dengan Pemerintah :
(1) Orang Pribadi atau Badan yang menerima atau memperoleh penghasian dari pengalihan
hak atas tanah dan / atau bangunan melalui jual beli atau tukar-menukar kepada
Pemerintah, dipungut PPh oleh Bendaharawan Pemerintah atau Pejabat yang
melakukan pembayaran atau Pejabat yang menyetujui tukar-menukar.
(2) Bendaharawan pemerintah atau pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menyetor PPh yang telah dipungut ke Bank /Pos persepsisebelum melakukan
melakukan pembayaran kepada Orang Pribadi atau Badan yang berhak menerimanya
atau sebelum tukar-menukar dilaksanakan.
(3) Penyetoran pajak tersebut ayat (2) dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak
atau sarana administrasi lainyang disamakan dengan Surat Setoran Pajak atas nama
Orang Pribadi atau Badan yang menerima pembayaran atau yang melakukan
tukar-menukar.
(4) Bendaharawan pemerintah atau Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menyampaikan laporan mengenai pengalihan hak atas tanah dan / atau bangunan
tersebut pada ayat (1) kepada Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 5
​Pajak Penghasilan terutang atas penghasilan dari perubahan PPJB :
(1) Pelunasan PPh yang terutang atas penghasilan dari perubahan Perjanjian Pengikatan
Jual Beli atas tanah dan /atau bangunan dilakukan melalui penyetoran sendiri oleh
Orang Pribadi atau Badan yang merupakan Pihak Pembeli dan Namanya tercantum
dalam PPJB sebelum terjadinyaa perubahan atau addendum atas PPJB tersebut.
(2) Pihak Penjual hanya menanadatangani perubahan atau addendum PPJB apabila
kepadanya dibuktikan bahwa kewajiban tersebut pada ayat (1) telah dipenuhi dengan
menyrahkan fotokopi Surat Setoran Pajak atau hasil cetakan sarana administrasi lain
yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak yang bersangkutan, yang telah dilakukan
penelitian oleh Kantor Pelayanan Pajak.
(3) Pihak Penjual tersebut ayat (2) harys menyampaikan laporan mengenai perubahan atau
addendum PPJB atas pengalihan harta berupa tanah dan / atau bangunan kepada
Direktur Jenderal Pajak,

​Pasal 6
​ Transaksi yang dikecualikan dari kewajiban PPh. :
Dikecualikan dari kewjiban pembayaran atau pemungutan PPh sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (3) adalah :
a. Orang Pribadi yang mempunyai penghasilan dibawah Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP) yang melakukan pengalihan ha katas tanah dan / atau bangunan dengan jumlah
bruto pengalihannya kurang dari Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan
merupakan jumlah yang dipecah-pecah;
b. Orang Pribadi yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan / atau bangunan
dengan cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat,
badan keagamaan, badan Pendidikan, badan sosiak termasuk Yayasan, koperasi atau
orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan
usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
c. Badan yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan / atau bangunan dengan
cara hibah kepada badan keagamaan, badan Pendidikan, badan sosial temasuk Yayasan,
koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil , yyang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak
ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara
pihak-pihak yang bersangkutan;
d. Pengalihan harta berupa tanah dan /atau bangunan karena waris;
e. Badan yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan /atau bangunan dalam
rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha yang telah ditetapkan Menteri
Keuangan untuk menggunakan nilai buku;
f. Orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan bangunan dalam rangka
melaksanakan pejanjian bangun guna serah , bangun serah guna, atau pemanfaatan
barang milik negara berupa tanah dan / atau bangunan ; atau
g. Orang pribadi atau badan yang tidak termasuk subyek pajak yang melakukan pengalihan
harta berupa tanah dan / atau bangunan.

Pasal 7
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional hanya mengeluarkan
surat keputusan pemberian hak , pengakuan hak, dan peralihan ha katas tanah , apabila
permohonannya dilengkapi dengan Surat Setoran Pajak atau hasil cetak sarana administrasi
lain yang disamakan dengan Syrat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(5) dan Pasal4 ayat (3), kecuali permohonan sehubungan dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c, dan Pasal 6.

Pasal 8
Ketentuan Sanksi :
(1) Pejabat yang berwenang menandatangani Akta, Keputusan, Kesepakatan, atau Risalah
Lelang yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5)
dan Pasal 3 ayat (6) dikenei sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Pihak Penjual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3), dikenai sanksi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 9
Ketentuan lebih lanjut mengenai :
a. Tata cara penyetoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 5;
b. Pengecualian dari penggenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ;
c. Pelaporan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah
dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6), Pasal 4 ayat (4), dan
Pasal 5 ayat(3),
diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Sebagai aturan pelaksanaan untuk menjalankan ketentuan PP Nomor 34 Tahun 2016
tersebut, telah diterbitkan ​ Peraturan Menteri Keuangan Nomor 261 /PMK.03 /2016
tentang Tata Cara Penyetoran, Pelaporan, Dan Pengecualian Pengenaan Pajak
Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan / atau Bangunan , Dan
Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah Dan / atau Bangunan Beserta Perubahannya.
Disamping Peraturan Menteri tersebut, telah diterbitkan pula ​Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER – 18 /PJ / 2017 tentang Tata Cara Penelitian Bukti Pemenuhan
Kewajiban Penyetoran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas
Tanah Dan /Atau Bangunan, Dan Pejanjian Pengikatan Jual Beli Atas Atas Tanah Dan /
Atau Bangunan Beserta Perubahannya. ​Yang kemudian Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini dilakukan perubahan dengan menerbitkan ​ Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER – 26 /PJ / 2018.
Pemahaman atas aturan-aturan pelaksanaan yang terperinci dalam Peraturan Menteri dan
Peraturan Dirjen Pajak tersebut sangat diperlukan dalam memenuhi kewajiban pembayaran
PPh yang berkaitan dengan transaksi pengalihan ha katas Tanah dan /atau Bangunan, dan
transaksi pengalihan PPJB.

Berkenaan dengan transaksi yang bekaitan dengan pengalihan hak atas tanah dan /atau
bangunan, Pemerintah berdasarkan pertimbangan untuk mendukung pendalaman pasar
bagi sektor keuangan serta mendorong pertumbuhan investasi di bidang real estat, telah
memberikan pengaturan khusus terhadap pengenaan Pajak Penghasilan dari pengalihan
real estat dalam skema ​Kontrak Investasi Kolektif Tertentu ​dengan Peraturan Pemerintah.

Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2016 Tentang Pajak Penghasilan atas


Penghasilan dari Pengalihan Real Estat dalam Skema Kontrak Investasi
Kolektif Tertentu.
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan :
1. Kontrak Investasi Kolektif yang selanjutnya disingkat KIK adalah Kontrak Investasi
Koelektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Pasar
Modal.
2. Real Estat adalah tanah secara fisik dan bangunan yang ada diatasnya.
3. Dana Investasi Real Estat yang selanjutnya disebut dengan DIRE adalah wadah yang
dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya
diinvetasikan pada asset Real Estat, asset yang berkaitan dengan Real Estat, dan /atau
Kas dan setara Kas.
4. Special Purpose Company yang selanjutnya diseput SPC adalah Perseroan Terbatas yang
sahamnya dimiliki oleh DIRE berbentuk KIK paling kurang 99,9% (sembilan puluh
sembilan koma sembilan persen) dari modal disetor yang dibentuk semata-mata untuk
kepentingan DIRE berbentuk KIK.
Pasal 2
(1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari pengalihan Real Estat
kepada SPC atau KIK dalam skema KIK tertentu, terutang Pajak Penghasilan yang
bersifat final.
(2) Skema KIK tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan suatu skema
investasi dalam bentuk KIK dengan wadah DIRE dengan atau tanpa menggunakan SPC.
Pasal 3
(1) Tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat(1) sebesar 0,5 % (nol
koma lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan Real Estat.
(2) Jumlah bruto nilai pengalihan sebaga atau KIK
imana dimaksud paada ayat (1) meliputi :
a. Seluruh jumlah yang sesungguhnya diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari SPC
atau KIK atas pengalihan Real Estat dalam skema KIK terentu , dalam hal Wajib Pajak
tidak memiliki hubungan istimewa dengan SPC atau KIK; atau
b. Seluruh jumlah yang seharusnya diterma stau diperoleh Wajib Pajak dari SPC atau
KIK atas pengalihan Real Estat dalam skema KIK tertentu dalam hal Wajib Pajak
memiliki hubungan istimewa dengan SPC atau KIK.

​Pasal 4
(1) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib dibayar sendiri
oleh Wajib Pajak, sebelum Akta, Keputusan, Pejanjian, atau Kesepakatan atas
pengalihan Real Estat kepada SPC atau KIK dalam skema KIK tertentu ditandataaangani
oleh pejabat yang berwenang.
(2) Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pejabat yang
diberi wewenang untuk menandatangani Akta, Keputusan, Perjanjian, atau kesepakatan
atas pengalihan ha katas tanah dan /atau bangunan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dibidang pertanahan.
(3) Wajib Pajak yang melakukan pengalihan Real Estat dan dikenai Pajak Penghasilan
dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat(1) wajib :
a. Menyampaikan surat pemberitahuan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat
Wajib Pajak bersangkutan terdaftar mengenai adanya pengalihan Real Estat kepada
SPC atau KIK dalam skema KIK tertentuyang dilengkapi dokumen :
1. Fotokopi syrat pemberitahuan efektifnya pernyataan pendaftaran DIRE
bebentuk KIK yang diterbitkan dan telah dilegalisasi oleh Otoritas Jasa Keuangan;
2. Keterangan dari Otoritas Jasa Keuangan bahwa Wajib Pajak yang mengalihkan
Real Estat bertransaksi dengan SPC atau KIK dalam skema KIK tertentu;
3. Surat pernyataan bermeterai yang menyatakan bahwa Wajib Pajak melakukan
pengalihan Real Estat kepada SPC atau KIK dalam skema KIK tertentu; dan
4. Fotokopi Surat Setoran Pajak atas penghasilan dari pengaluhan Real Estat
kepada SPC atau KIK dalam skema KIK tertentu; dan
b. Mendapatkan surat keterangan fiskal dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat
Wajib Pajak bersangkutan terdaftar.
(4) Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat
menandatangani Akta, Keputusan, Perjanjian, atau Kesepakatan atas pengalihan Real
Estat apabila kepadanya telah dibuktikan bahwa :
a. Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dibayar dengan
menyerahkan fotokopi Surat Setoran Pajak yang bersangkutan dengan menunjukkan
aslinya; dan
b. Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah dipenuhi, dengan
menyerahkan fotokopi surat dan/atau dokumen bersangkutan serta fotokopi tanda
bukti penerimaan surat dari Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak
bersangkutan.
(5) Pejabat yang berwenang menandatangani Akta, Keputusan, Perjanjian, atau
Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan laporan
mengenai penerbitan Akta, Keputusan, Perjanjian, atau Kesepakatan atas pengalihan
hak atas tanah dan /atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.
Pasal 5
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), penyampaian surat pemberitahuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), dan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam
2000

Adapun peraturan pelaksanaan yang dimaksud pada Pasal 5 dar PP NOMOR 40 TAHUN
2006, adalah ​Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37 /PER.03 /2017 tentang Tata Cara
Pembayaran Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Real
Estat Dalam Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu.
BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
UU NOMOR 21 TAHUN 1997 stdtd UU NOMOR 20 TAHUN 2000
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini, yang dimaksud dengan :
1. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah ​Pajak yang dikenakan atas
perolehan hak atas tanah dan bangunan, yang selanjynya disebut Pajak.
2. Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan adalah ​perbuatan atau peristiwa hukum
yang mengakibtkan diperolehnya Hak atas Tanah dan atau Bangunan oleh Orang
Pribadi atau Badan.
3. Ha katas Tanah dan atau Bangunan adalah ​Hak atas Tanah, termasuk Hak Pengelolaan,
beserta Bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria , Undang-undang Nomor 16
Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan perundang-undangan lainnya.
4. Dan seterusnya . . . . . . .

BAB II OBYEK PAJAK


Pasal 2
(1) Yang menjadi Obyek Pajak adalah ​Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan.
(2) Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
meliputi :
a. Pemindahan Hak karena :
1. Jual beli;
2. Tukar-menukar
3. Hibah
4. Hibah wasiat
5. Waris
6. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya
7. Pemisahan Hak yang mengakibatkan peralihan
8. Penunjukan pembeli dalam lelang
9. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap
10. Penggabungan usaha
11. Peleburan usaha
12. Pemekaran usaha
13. Hadiah
b. Pemberian Hak baru karena :
1. Kelanjutan pelepasan Hak
2. Di luar pelepasan
(3) Hak atas Tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
a. Hak Milik
b. Hak Guna Usaha
c. Hak Guna Bangunan
d. Hak Pakai
e.
f. Hak Pengelolaan.

Pasal 3
(1) OByek Pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah
Obyek Pajak yang diperoleh :
a. Perwkilan Diplomatik, Konsulat,berdasarkan azas perlakuan timbal balik;
b. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan
pembangunan guna kepentingan umum;
c. Badan atau Perwkilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar
fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
d. Orang Pribadi atau Badan karena Konversi Haka tau karena perbuatan hukum lain
dengan tidak adanya perubahan nama;
e. Orang Pribadi atau Badan karena wakaf
f. Orang Pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
(2) Obyek Pajak yang diperoleh karena waris, hibah wasiat, dan pemberian hak
pengelolaan, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

​BAB III SUBYEK PAJAK


Pasal 4
(1) Yang menjadi Subyek Pajak adalah ​Orang Pribadi atau Badan yang memperoleh Ha
katas Tanah dan atau Bangunan.
(2) Subyek Pajak sebagaimana dmaksud pada ayat (1) yang dikenakan kewjiban membayar
pajak menjadi Wajib Pajak menurut Undang-undang ini.

​BAB IV TARIF PAJAK


​Pasal 5
​Tarif Pajak ditetapkan sebesar 5 % (lima persen )

BAB V DASAR PENGENAAN DAN CARA PENGHITUNGAN PAJAK


Hi
(1) Dasar pengenaan pajak adalah ​Nilai Perolehan Obyek Pajak.
(2) Nilai Perolehan Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dalam hal :
a. Jual beli adalah harga transaksi
b. Tukar-menukar adlah nilai pasar;
c. Hibah adalah nilai pasar yang mengakibatkan peralihan
d. Hibah wasiat adalah nilai pasar
e. Waris adalah nilai pasar;
f. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
g. Pemisahan Hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar’
h. Perolehan Hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan
hukum tetap adalah nilai pasar;
i. Pemberian Hak baru atas Tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan Hak adalah nilai
pasar;
j. Pemberian Hak baru atas tanah diluar pelepasan hak adalah nilai pasar;
k. Penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l. Peleburan usaha adalah nilai pasar;
m. Pemekaran usaha adlah nilai pasar;
n. Hadiah adalah nilai pasar;
o. Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam
Risalah Lelang.
(3) Apabila Nilai Perolehan Obyek Pajak (NPOP) sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf a
sampai dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah dari Nilai Jual Obyek Pajak
(NJOP) yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumu dan Bangunan pada tahun
terjadinya perolehan, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Pajak Bumi
dan Bangunan.
(4) Apabila Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) belum ditetakan, besarnya Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan ditetapkan
oleh Menteri.
Pasal 7
(1) Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak ( NPOPTKP ) ditetapkan secara regional
paling banyak Rp 60.000.000,00 ( enam puluh juta rupiah ), kecuali dlam hal perolehan
hak karena waris, atu hibah wasiat yang diterima Orang Pribadi yang masih dalam
hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu
derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat termasuk suami/isteri, NPOPTKP
ditetapkan secara regional paling banyak Rp 300.000.000,00 ( tiga ratus juta rupiah ).
(2) Ketentuan Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 8
(1) Nilai Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak ( ​NPOPKP ) adalah Nilai Perolehan Obyek Pajak
( ​NPOP ) ​dikurangi dengan Nilai Perolehan Obyek Pajak TIdak Kena Pajak (​NPOPTKP).
(2) Besarnya Pajak ​yang terutang dihitung dengan cara ​mengalikan tarif pajak dengan Nilai
Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak (NPOPKP).

Pengenaan BPHTB atas Tanah dan Bangunan karena Waris dan Hibah Wasiat
Peraturan Pemerintah Nomor 111 Tahun 2000, ttg 1 Desember 2000.
​Pasal 1
​Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan :
1. Perolehan hak karena waris adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan oleh
ahli waris dari pewaris yang berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
2. Perolehan hak karena hibah wasiat adalah perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan oleh orang pribadi atau badan dari pemberi hibah wasiat, yang berlaku
setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.
Pasal 2
Bea Perolehan Ha katas Tanah dan Bangunan yang terutang atas perolehan hak karena
waris dan hibah wasiat adalah sebesar 50% (lima puluh persen ) dari Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan yang seharysnya terutang.
Pasal 3
Saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan karena waris dan hibah
wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor
Pertanahan Kabupaten / Kota.
Pasal 4
(1) Nilai Perolehan Obyek Pajak karena waris dan hibah wasiat adalah pasar pada saat
didaftarkannya perolehan hak tersebut ke Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota.
(2) Dalam hal nilai pasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah daripada Nilai
Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan, Nilai Perolehan Obyek Pajak yang digunakan
sebagai dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai
Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
Pasal 5
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota hanya dapat melakukan pendaftaran
perolehan hak karena waris dan hibah wasiat pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti
pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Pasal 6
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini diatur
oleh Menteri Keuangan.
Pasal 7
Pada saat Peraturn Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun
1997 tetang Pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena Hibah Wasiat
(Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3707),
dinyatakan tidak berlaku.

Contoh 1
Seorang anak memperoleh warisan dari ayhahnya sebidang tanah dan bangunan diatasnya
dengan nilai pasar sebesar Rp 200.000.000,00. Terhadap tanah dan bangunan tsb telah
diterbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun
yang bersangkutan mendaftar ke Kantor Pertanahan setempatdengan Nilai Jual Obyek
Pajak sebesar Rp 250.000.000,00. Apabila di Kabupaten/ Kota letak tanah dan bangunan
tsb Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat menetapkan Nilai
Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak dalam hal waris sebesar Rp 300.000.000,00, maka
besarnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terutang adalah sbb :
- Nilai perolehan Obyek Pajak Rp 250.000.000,00
- Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak 300.000.000,00
- Nilai Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak NIhIl
- BPHTB terutang NIhIl
​Contoh 2
S​ eorang anak memperoleh warisan dari ayahnya sebidang tanah dan bangunan diatasnya
dengan nilai pasar sebesar Rp 500.000.000,-. Terhadap tanah dan bangunan tesebut telah
diterbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun yang
bersangkutan mendaftar ke Kantor Pertanahan setempat dengan Nilai Jual Obyek Pajak sebesar
Rp 800.000.000,00. Apabila di Kabupaten /Kota letak tanah dan bangunan tersebut, Kepala
Kantor Wilayah DJP setempat menetapkan Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak dalam
hal waris sebesar Rp 300.000.000,00 ,maka besarnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan terutang adalah sebagai berikut :
- Nilai Perolehan Obyek Pajak Rp 800.000.000,00
- Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak 300.000.000,00
- Nilai Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak 500.000.000,00
- BPHTB yg seharusnya terutang 5%X 500.000.000,00 = Rp 25.000.000,00
- BPHTB terutang: 50% X Rp 25.000.000,00 = Rp 12.500.000,00
​ Contoh 3
S​ eorang anak memperoleh hibah wasiat dari ayah kandungnya sebidang tanah dan
bangunan diatasnya dengan nilai pasar sebesar Rp 500.000.000,00. Terhadap tanah dan
bangunan tersebut telah diterbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan
Bangunan pada tahun yang bersangkutan mendaftar ke Kantor Pertanahan setempat dengan
Nilai Jual Obyek Pajak sebesar Rp 450.000.000,00. Apabila di Kabupaten /Kota letak tanah dan
bangunan tersebut, Kepala Kantor Wilayah DJP setempat menetapkan Nilai Perolehan Obyek
Pajak Tidak Kena Pajak dalam hal hibah wasiat yang ditarima orang pribadi yang masihdalam
hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat
ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/isteri, sebesar Rp 300.000.000,00 ,
maka besarnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terutang adalah sebagai berikut :
- Nilai Peolehan Obyek Pajak Rp 500.000.000,00
- Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak 300.000.000,00
- Nilai Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak 200.000.000,00
- BPHTB yg seharusnya terutang 5%X200.000.000,00 =Rp 10.000.000,00
- BPHTB yg terutang : 50% X 10.000.000,00 =RP 5.000.000,00
​Contoh 4
S​ uatu Yayasan Panti Asuhan Anak Yatim Piatu memperoleh hibah wasiat dari seseoarang
sebidang tanah dan bangunan diatasnya dengan nilai pasar sebesar Rp 1.000.000.000,00 .
Terhadap tanah dan bangunan tersebut telah diterbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang
Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun yang bersangkutan mendaftar ke Kantor Pertanahan
setempat dengan Nilai Jual Obyek Pajak sebesar Rp 900.000.000,-. Apabila di Kabupaten/Kota
letak tanah dan bangunan tersebut , Kepala Kantor Wilayah DJP setempat menetapkan Nilai
Obyek Pajak Tidak Kena Pajak dalam hal selain waris dan hibah wasiat yang diterima orang
pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat
ke atas dan satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/isteri,
sebesar Rp 60.000.000,00 , maka besarnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
terutang adalah sebagai berikut :
- Nilai Perolehan Obyek Pajak Rp 1.000.000.000,00
- Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak 60.000.000,00
- Nilai Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak Rp 940.000.000,00
- BPHTB yg seharusnya terutang 5%X940.000.000,00 =Rp 47.000.000,00
- BPHTB yg terutang : 50% X 47.000.000,00 = Rp 23.500.000,00

----------------------------

Anda mungkin juga menyukai