Anda di halaman 1dari 21

BAB III

KONSEP PAJAK PENGHASILAN BADAN USAHA

A. Capaian Pembelajaran
Setelah mempelajari bab 3 mengenai Konsep Pajak
Penghasilan Badan Usaha, mahasiswa memahami konsep
pengenaan Pajak Penghasilan Badan Usaha di Indonesia.
B. Materi
Setiap Badan Usaha yang menerima penghasilan
berkewajiban untuk membayar pajak, baik bulanan maupun
tahunan kepada pemerintah. Menurut UU Nomor 28 Tahun 2007
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Badan
adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan
kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak
melakukan usaha, yang meliputi perseroan terbatas, perseroan
komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, atau
badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk
apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial
politik, organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya,
termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
Pajak penghasilan badan dikenakan atas penghasilan kena
pajak yang diterima oleh Wajib Pajak Badan setelah dilakukan
koreksi fiskal.
1. Subjek Pajak Badan
Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, yang
menurut UU Perpajakan, mempunyai hak dan kewajiban
perpajakan. Wajib pajak adalah subjek pajak yang menerima
atau memperoleh penghasilan, sehingga wajib melaporkan dan
membayar pajak penghasilan. Adapun yang termasuk badan
menurut UU Ketentuan Umum dan tata Cara Perpajakan (UU
KUP) adalah sebagai berikut.
a. Firma
b. Kongsi
c. Koperasi
d. Perseroan Terbatas (PT)
e. Perseroan Lainnya
f. Dan Pensiun
g. Perkumpulan
h. Persekutuan
i. Yayasan
j. Bentuk Usaha Tetap (BUT)
k. Kontrak Investasi Kolektif (KIK)
l. Organisasi Masyarakat
m. Organisasi Sosial Politik
n. Organisasi lainnya

Subjek pajak badan dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu:


a. Subjek Pajak Badan Dalam Negeri
Subjek Pajak Badan Dalam Negeri adalah badan yang
didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. Kewajiban
pajak subjektifnya dimulai saat badan tersebut didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat
badan tersebut dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan
di Indonesia. Badan ini didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang
memenuhi kriteria:
1) pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
2) pembiayaannya bersumber dari anggaran pendapatan dan
belanja negara atau anggara pendapatan dan belanja
daerah;
3) penerimaannya dimasukkan dalam anggaran pemerintah
pusat atau pemerintah daerah; dan
4) pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan
fungsional negara.
Contohnya: Perseroan Terbatas (PT), Perseroan
Komanditer (CV), perseroan lainnya, BUMN, BUMD (dengan
nama dan bentuk apapun), Firma, Kongsi, Koperasi, Dana
Pensiun, Persekutuan, Perkumpulan, Yayasan, Organisasi
Massa, Organisasi Sosial Politik atau organisasi yang sejenis,
dan lembaga lainnya.

b. Subjek Pajak Badan Luar Negeri


Subjek Pajak Badan Luar Negeri merupakan badan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia,
tetapi memperoleh atau menerima penghasilan di Indonesia,
baik melalui BUT maupun tidak melalui BUT. Kewajiban pajak
subjektifnya dimulai saat menjalankan usaha melalui BUT, atau
saat menerima dan memperoleh penghasilan. Sedangkan
berakhirnya saat tidak lagi menjalankan usaha di Indonesia
dengan melalui BUT atau tidak lagi menerima atau memperoleh
penghasilan di Indonesia. Subjek pajak luar negeri, baik orang
pribadi maupun badan sekaligus, menjadi wajib pajak karena
menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari
Indonesia melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan
perkataan lain, wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang
telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif.
Menurut UU PPh, BUT adalah bentuk usaha yang
digunakan oleh:
1) Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;
2) Orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan; dan
3) Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan
di Indonesia;
untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia
yang dapat berupa (pasal 2 ayat 5 UU PPh UU No. 36 Tahun
2008):
1) tempat kedudukan manajemen;
2) cabang perusahaan;
3) kantor perwakilan;
4) gedung kantor;
5) pabrik;
6) bengkel;
7) gudang;
8) ruang untuk promosi dan penjualan;
9) pertambangan dan penggalian sumber alam;
10) wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
11) perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau
kehutanan;
12) proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
13) pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau
orang lain sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam
jangka waktu 12 bulan;
14) orang atau badan yang bertindak selaku agen yang
kedudukannya tidak bebas;
15) agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang
menerima premi asuransi atau menanggung risiko di
Indonesia; serta
16) komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang
dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara
transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha
melalui internet.
Walaupun BUT adalah Subjek Pajak Luar Negeri, tetapi
pengenaan pajaknya disamakan dengan Wajib Pajak Badan
Dalam Negeri ditambah dengan kewajiban pembayaran PPh
pasal 26 ayat (4) berupa branch profit tax (BPT).
Perbedaan wajib pajak dalam negeri dan wajib pajak luar
negeri antara lain tercantum pada tabel berikut ini:
Tabel 3.1
Perbedaan Wajib Pajak Dalam Negeri dan Wajib Pajak Luar
Negeri
Wajib Pajak Dalam Negeri Wajib Pajak Luar Negeri
 Dikenakan pajak atas  Dikenakan pajak hanya
penghasilan, baik yang atas penghasilan yang
diterima maupun berasal dari sumber
diperoleh dari Indonesia penghasilan di
dan dari luar Indonesia. Indonesia.
 Dikenakan pajak  Dikenakan pajak
berdasarkan berdasarkan
penghasilan neto. penghasilan bruto.
 Tarif pajak yang  Tarif pajak yang
digunakan adalah tarif digunakan adalah tarif
umum (Tarif UU PPh sepadan (tarif UU PPh
Pasal 17). Pasal 26).
 Wajib menyampaikan  Tidak wajib
SPT. menyampaikan SPT.

Untuk lebih memperjelas pengertian, kapan mulai, dan


berakhirnya sebagai subjek pajak dalam negeri ataupun
subjek pajak luar negeri, khususnya untuk subjek pajak
badan dan BUT, berikut ini diberikan tabel mulai dan
berakhirnya kewajiban pajak subjektif:
Tabel 3.2
Kewajiban Pajak Subjektif Dimulai dan Berakhir
Kewajiban Pajak Kewajiban Pajak
Subjektif Dimulai Subjektif
Berakhir
Dalam Negeri – Saat didirikan atau Saat dibubarkan
Badan bertempat atau tidak lagi
kedudukan di bertempat
Indonesia. kedudukan di
Indonesia.
Luar Negeri Saat menjalankan Saat tidak lagi
melalui BUT usaha atau menjalankan
melakukan usaha atau
kegiatan melalui melakukan
BUT di Indonesia. kegiatan melalui
BUT di Indonesia.
Luar Negeri Saat menerima Saat tidak lagi
Tidak Melalui atau memperoleh menerima atau
BUT penghasilan dari memperoleh
Indonesia. penghasilan dari
Indonesia.
Warisan Belum Saat timbulnya Saat warisan
Terbagi warisan yang selesai dibagikan.
belum terbagi.

Apabila kewajiban pajak subjektif orang pribadi yang


bertempat tinggal atau yang berada di Indonesia hanya
meliputi sebagian dari tahun pajak, bagian tahun pajak
tersebut menggantikan tahun pajak.

2. Bukan Subjek Pajak Badan


Beberapa badan yang dikelompokkan sebagai Bukan
Subjek PPh yaitu
a. Kantor perwakilan negara asing;
b. Organisasi-organisasi internasional dengan syarat:
1) Negara Indonesia merupakan anggota organisasi
internasional tersebut;
2) Organisasi ini tidak menjalankan usaha atau kegiatan
lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia
selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang
dananya berasal dari iuran para anggota.
c. Unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
1) Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
2) Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah;
3) Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
4) Pembukuannya diperiksa oleh apparat pengawasan
fungsional negara.
Dikecualikan sebagai Subjek Pajak yang dikenakan PPh
Badan. Namun, unit dari badan pemerintah tersebut tetap
berkedudukan sebagai Pemotong-Pemungut PPh dan juga tetap
sebagai Pemungut PPN dalam beberapa transaksi tertentu.

3. Objek Pajak Badan


Pada prinsipnya, objek pajak badan adalah penghasilan,
yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang terima oleh
Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan
nama dan dalam bentuk apapun, termasuk:
a. Laba usaha;
b. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta
termasuk:
1) Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan,
persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti
saham atau penyertaan modal;
2) keuntungan karena pengalihan harta kepada
pemegang saham, sekutu, atau anggota yang
diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
3) keuntungan karena likuidasi, penggabungan,
peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan
usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam
bentuk apa pun;
4) keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah,
bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan
kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat dan badan keagamaan, badan
pendidikan, badan sosial, termasuk yayasan,
koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha
mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan peraturan menteri keuangan, sepanjang tidak
ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan,
atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan; dan
5) keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian
atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta
dalam pembiayaan, atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan;
c. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah
dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan
pengembalian pajak;
d. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena
jaminan pengembalian utang;
e. dividen dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk
dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis,
serta pembagian sisa hasil usaha koperasi;
f. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
g. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta;
h. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
i. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai
dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan peraturan
pemerintah;
j. keuntungan selisih kurs mata uang asing;
k. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
l. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan
yang belum dikenakan pajak;
m. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
n. imbalan bunga;
o. surplus Bank Indonesia;
p. hadiah dari undian dan penghargaan.
Objek PPh bagi Wajib Pajak Badan dapat dibedakan
menjadi 2 (dua), yaitu:
a. Penghasilan Badan Dalam Negeri
Objek Penghasilan Badan Dalam Negeri adalah semua
penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh badan tersebut,
bersumber dari dalam maupun dari luar negeri.

b. Penghasilan Badan Luar Negeri (BUT maupun WP LN


Bukan BUT)
Penghasilan WP Badan Luar Negeri ada 2 (dua) macam,
yaitu:
1) Penghasilan WP Badan Luar Negeri BUT
Dalam pasal 5 UU PPh diatur tentang Objek Pajak BUT,
yaitu:
a) Penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT dan dari
harta yang dimiliki atau dikuasai;
b) Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan,
penjualan barang atau pemberian jasa di Indonesia
yang sejenis dengan yang dilakukan atau dijalankan
oleh BUT di Indonesia;
c) Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 26
UU PPh, yang diterima atau diperoleh kantor pusat,
sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT
dengan harta atau kegiatan yang memberikan
penghasilan tersebut.
2) Penghasilan WP Badan Luar Negeri Bukan BUT
Penghasilan WP Badan Luar Negeri Bukan BUT adalah
penghasilan-penghasilan yang diterima atau diperoleh Badan
Luar Negeri yang bukan berasal dari usaha atau kegiatan di
Indonesia, tetapi berupa penghasilan modal (passive income).
Contohnya: penghasilan dividen, bunga, royalty, sewa, hadiah,
maupun capital gain.

4. Kelompok Objek Pajak Badan


Secara garis besar, PPh dikenakan kepada Subjek Pajak
Badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh selama 1
(satu) tahun pajak. Penghasilan yang diterima Wajib pajak
menurut UU PPh dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu:
a. Jenis penghasilan yang merupakan objek pajak dan
dikenakan PPh bersifat tidak Final (pasal 4 ayat (1)).
b. Penghasilan yang merupakan objek pajak dan dikenakan
PPh bersifat Final (pasal 4 ayat (2)).
c. Penghasilan yang bukan objek pajak sehingga berapa pun
nilainya tidak dikenakan PPh (pasal 4 ayat (3)).
Secara umum, UU PPh mengatur pengertian penghasilan
secara luas, tetapi untuk memudahkan, kita hanya perlu
memahami jenis penghasilan yang dikenakan PPh bersifat Final
dan penghasilan yang masuk kelompok bukan objek pajak.
Selain itu, seluruh penghasilan yang tidak dicantumkan pada
kedua kelompok tersebut wajib dikenakan PPh bersifat tidak
final. Sangat penting memahami jenis penghasilan untuk dapat
melakukan penghitungan PPh secara tepat.
a. Penghasilan yang Bukan Objek Pajak (pasal 4 ayat (3))
Berikut penghasilan bukan objek pajak, yang dapat
diterima oleh Subjek Pajak Badan:
1) Bantuan, sumbangan, zakat dan hibah:
a) Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang
diterima badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang
diterima oleh penerima zakat yang berhak atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi
pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima
oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan
oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima
sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan
b) Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus derajat, badan keagamaan,
badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,
koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha
mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang
tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak
yang bersangkutan;
2) Harta, termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan
sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti
penyertaan modal;
3) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan
atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natur
dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah. Jika
natur dan/atau kenikmatan diberikan oleh:
a) Bukan Wajib Pajak;
b) Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final; atau
c) Wajib Pajak yang menggunakan norma perhitungan
khusus (deemed profit), natura dan/atau kenikmatan
tersebut berubah menjadi objek pajak;
4) Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh PT
sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, BUMN, atau
BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang
didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan
syarat:
a) Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan;
b) Dan bagi PT, BUMN dan BUMD yang menerima
dividen, kepemilikan saham pada badan yang
memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima
persen) dari jumlah modal yang disetor;
5) Iuran yang diterima atau diperoleh dana pension, yang
pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang
dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
6) Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana
pension, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan;
7) Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari
perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas
saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi, termasuk pemegang, unit penyertaan kontrak
investasi kolektif;
8) Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan
modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan
usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan
di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha
tersebut merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah,
atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha
yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan dan sahamnya tidak diperdagangkan di Bursa
Efek di Indonesia;
9) Sisa lebih dari yang diterima atau diperoleh badan atau
lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan
dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah
terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang
ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana
kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat)
tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan;
10) Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak
tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

b. Penghasilan yang merupakan Objek Pajak PPh Bersifat


Final (pasal 4 ayat (2))
Penghasilan dibawah ini dapat dikenai pajak bersifat final,
yaitu:
1) Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya,
bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan
yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi
orang pribadi;
2) Penghasilan berupa hadiah undian;
3) Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya,
transaksi derivative yang diperdagangkan di bursa, dan
transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan
modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh
perusahaan modal ventura;
4) Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah
atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate,
dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
5) Penghasilan tertentu lainnya yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah.
c. Penghasilan yang merupakan Objek Pajak PPh yang
dikenakan PPh Bersifat Tidak Final (pasal 4 ayat (1))

5. Tarif
Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 Tahun 2020
tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak
Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbatas, tarif PPh
badan diturunkan. Beleid ini dikeluarkan untuk melaksanakan
Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang No. 2/2020 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undan (Perpu) No.
1/2020 tentang: Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas
Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19
dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang
Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas
Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang.
Melalui beleid baru ini, tarif Pajak Penghasilan Badan turun
secara bertahap yakni:
- 22% berlaku pada 2020 dan 2021
- 20% mulai berlaku pada 2022
Sedangkan khusus untuk WP Badan berbentuk Perseroan
Terbuka (Tbk), akan mendapatkan tarif PPh Badan 2023 terbaru
3% lebih rendah dari penurunan PPh Badan secara umum
tersebut. Lebih rendah 3% untuk Perusahaan Terbuka (Tbk)
tersebut, maka tarif pajak penghasilan badan perseroan Tbk
menjadi:
- 19% pada 2020 dan 2022
- 17% mulai pada 2023
Tapi penurunan tarif PPh Badan 2023 lebih rendah 3%
bagi Perusahaan Tbk ini ada syaratnya, yaitu:
a. Saham dikuasai setidaknya 300 pihak.
b. Setiap pihak di dalam Perseroan Terbuka (PT) hanya
diizinkan menguasai saham di bawah 5% dari keseluruhan
saham yang diperdagangkan dan disetor penuh.
c. Saham yang diperdagangkan dan disetor pada bursa efek
wajib dipenuhi dalam kurun waktu paling sedikit 183 hari
kalender selama jangka waktu 1 tahun pajak.
d. Membuat laporan kepada Direktorat Jenderal Pajak.
Tarif Pajak Penghasilan Badan dalam dalam Undang-
Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
Seperti diketahui, ketentuan tarif pajak badan kembali
direvisi kembali melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021
tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Melalui
UU HPP ini, tarif PPh Badan berubah menjadi 22% mulai Tahun
Pajak 2022. Artinya, tarif PPh Badan terbaru ini lebih tinggi 2%
dibanding tarif PPh Badan versi peraturan sebelumnya pada UU
No. 2/2020 tersebut yang sebesar 20%.
Jadi, pemerintah membatalkan penurunan tarif PPh Badan
dari rencana semula hanya sebesar 20% pada 2022. Atau
dengan kata lain, pengenaan PPh 22% yang sudah diberlakukan
sejak 2020 dan 2021 itu diperpanjang lagi mulai 2022.
Selain itu, sesuai Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun
2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan terjadi
perubahan tentang PPh, di antaranya:
a. Pajak atas Natura: Objek pajak natura adalah seluruh natura
dan/atau kenikmatan yang disediakan perusahaan atau
pemberi kerja, meliputi makanan dan minuman, natura
untuk daerah tertentu, natura karena keharusan pekerjaan
(seragam, alat keselamatan kerja, dan lainnya), natura yang
bersumber dari APBN/APBD, dan natura dengan jenis dan
batasan tertentu. Kriteria objek pajak natura yang dikenakan
pajak, adalah:
1) Memiliki batasan nilai tertentu
2) Disediakan di luar daerah tertentu atau lokasi usaha
pemberi kerja mendapat penetapan daerah tertentu dari
DJP.
3) Mempertimbangkan jenis dan/atau nilai penggantian
atau imbalan.
4) Mempertimbangkan kriteria penerima atau imbalan.
b. PPh Pengusaha Perorangan (UMKM): Perubahan tarif pajak
final dari 0,5% (PP No. 23 Tahun 2018) menjadi 0% atau
tidak dikenai pajak untuk peredaran bruto setahun sampai
dengan Rp500juta.
c. PPh Badan: Perubahan tarif tahun 2022 dari 20% kembali
menjadi 22%.
d. PPh Orang Pribadi: Perubahan lapisan tarif pajak Pasal 17
ayat (1) huruf a UU Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008.

C. Latihan
1. Siapa saja subjek pajak badan?
2. Sebutkan yang tidak termasuk subjek pajak badan?
3. Apa saja objek pajak badan?
4. Sebutkan yang tidak termasuk objek pajak badan?
5. Berapa tariff pajak badan?

D. Referensi
Hutagaol, J. (2007). Perpajakan isu-isu kontemporer. Jakarta:
Graha Ilmu, 1(1), 8.
Indonesia, R. (2016). Peraturan Dirjen Pajak Nomor Per-
16/PJ/2016 tentang Pedoman Teknis Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran Dan Pelaporan Pajak
Penghasilan Pasal 21 dan atau Pajak Penghasilan Pasal
26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan
Orang Pribadi. Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
Mustaqiem, D. (2014). Perpajakan dalam konteks teori dan
hukum pajak di Indonesia. Yogyakarta: Buku Litera
Yogyakarta.
Mardiasmo, M. (2018). Perpajakan Edisi Terbaru 2018. Penerbit
Andi. Yogyakarta.
Muljono, D. (2010). Panduan Brevet Pajak: Pajak Penghasilan.
Penerbit Andi.
Mulyono, D. (2016). Panduan Brevet Pajak: Akuntansi Pajak dan
Ketentuan Umum Perpajakan.
Nomor, U. U. (10). Tahun 2020 tentang Bea Meterai. Jakarta, 1,
2010.
Pemerintah, P. (2013). Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun
2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang
memiliki peredaran bruto tertentu.
Pohan, C. A. (2016). Manajemen Perpajakan Strategi
Perpajakan dan Bisnis Edisi Revisi. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Resmi, S. (2017). Perpajakan teori & kasus. Salemba Empat.
Jakarta.
Suandy, Erly. (2014). Hukum Pajak Edisi 6. Salemba Empat.
Jakarta.
Suhartono, R., & Ilyas, W. B. (2010). Ensiklopedia Perpajakan
Indonesia. Penerbit Salemba Empat.
Undang-Undang, R. I. (2021). Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Waluyo, (2018). Perpajakan Indonesia. Jakarta. Salemba
Empat.
Yustinus, P. (2011). Panduan lengkap pajak. Jakarta: Raih Asa
Sukses.

Anda mungkin juga menyukai