PENGANTAR
Dasar hukum dari modul PPh Badan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008, yang selanjutnya disingkat dengan nama Undang-Undang Pajak
Penghasilan (UU PPh).
Modul PPh Badan, pada dasarnya merupakan kelanjutan dari modul PPh Orang Pribadi,
dengan jenis objek pajak dan pengurang penghasilan bruto yang lebih beragam serta
permasalahan yang lebih kompleks dibandingkan dengan PPh Orang Pribadi.
Pembaca modul ini diharapkan telah mempelajari modul PPh Orang Pribadi untuk
mempermudah pemahaman PPh secara umum.
SUBJEK PAJAK
Subjek pajak PPh Badan bukan hanya perusahaan.Sesuai dengan UU PPh, yang
termasuk sebagai subjek pajak badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang
merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha
yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan
usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa
pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan
bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
BUT sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (5) UU PPh adalah bentuk usaha yang
dipergunakan oleh badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat
berupa:
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. gudang;
h. ruang untuk promosi dan penjualan;
i. pertambangan dan penggalian sumber alam;
j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
l. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
m. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang
dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
n. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
o. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di
Indonesia; dan
p. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan
usaha melalui internet.
Pengenaan pajaknya disamakan dengan Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dengan
modifikasi dalam metode penentuan laba serta penambahan tarif sesuai UU PPh Pasal
26 ayat (4).
Pasal 18 ayat (4) UU PPh telah mendefinisikan Wajib Pajak yang memiliki hubungan
istimewa satu sama lain. Hubungan istimewa diantara Wajib Pajak dapat terjadi karena
ketergantungan atau keterikatan satu sama lain yang disebabkan karena:
- kepemilikan atau penyertaan modal
- adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi
- terdapat hubungan keluarga.
Status hubungan istimewa diatas akan berpengaruh pada hal-hal antara lain yaitu:
1. Keuntungan atas jual beli aktiva tetap. (Pasal 10 ayat 1)
2. Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya
penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk
menghitung besarnya penghasilan kena pajak sesuai dengan kewajaran yang
tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa. (Pasal 18 ayat 3)
3. Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanian dengan Wajib Pajak
dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak Negara lain untuk menentukan
harga transaksi antar pihak yang mempunyai hubungan istimewa. (Pasal 18 ayat
3a)
4. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham
atau kepada pihak lain yang memiliki hubungan istimewa sebagai imbalan tidak
boleh menjadi biaya. (Pasal 9 ayat 1 huruf f)
OBJEK PAJAK
Pada prinsipnya adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh oleh wajib pajak. Dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
Secara umum yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk
apa pun.
Pasal 4 ayat 1 UU PPh pada dasarnya menyatakan bahwa objek pajak badan adalah
tambahan kemampuan ekonomis tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga)
macam yaitu:
Laba usaha, presmi asuransi (yang siterima perusahaan asuransi), iuran yang
diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya, hadiah dari pekerjaan atau
kegiatan, dan penghargaan (yang diterima badan).
l. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
m. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak
dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah
terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam
bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak
diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan
n. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Badan–badan dan OP yang menjalankan usaha mikro dan kecil yang menerima harta
hibah, bantuan, atau sumbangan yang tidak termasuk sebagai objek PPh (PMK
245/PMK.03/2008):
1. Harta hibah, bantuan, sumbangan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, pendidikan, sosial termasuk
yayasan dan koperasi, OP yang menjalankan usaha mikro dan kecil, dikecualikan
sebagai objek PPh.
2. Berlaku apabila pihak pemberi tidak mempunyai hubungan usaha, pekerjaan,
kepemilikan atau penguasaan dengan penerima
Penetapan saat diperolehnya dividen oleh WPDN atas penyertaan modal pada badan
usaha di LN selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek (PMK
256/PMK.03/2008)
Dibawah ini adalah daftar Objek Pajak Badan yang dikenakan PPh Final,antara lain:
Penghitungan PPh terutang dapat dilihat dalam pasal 16 UU PPh. PKP bagi WP dalam
suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan penghasilan dengan biaya yang
berkaitan dengan mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang
merupakan objek pajak. Pengurangan tersebut akan menghasilkan penghasilan neto.
Untuk mencari PPh terutang, penghasilan neto yang merupakan PKP dikalikan tariff
pasal 17 UU PPh.
Contoh:
PPh TERUTANG :
10% X Rp 50.000.000 = Rp 5.000.000
15% X Rp 50.000.000 = Rp 7.500.000
30% X Rp 100.000.000 = Rp 30.000.000
Rp 42.500.000
Contoh:
2009
PPh TERUTANG :
28% X Rp 200.000.000 = Rp56.000.000,00
2010
PPh TERUTANG :
25% X Rp 200.000.000 = Rp50.000.000.00
Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit
40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya
dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif umum (PP
No. 81 Tahun 2007 jo PMK No. 238/PMK.03/2008 ).
Contoh 1:
Dari keseluruhan saham PT Y Tbk. yang disetor, saham yang dimiliki publik sebesar
60%.Saham yang dimiliki publik tersebut dimiliki oleh 400 pihak. Oiantara 400 pihak,
terdapat 1 pihak yang persentase kepemilikannya sebesar 7%, sisanya 399 pihak hanya
memiliki persentase kepemilikan kurang dari 5%. Kondisi tersebut terjadi selama 234
(dua ratus tiga puluh empat) hari dalam 1 (satu) tahun pajak. PT Y Tbk. tetap memenuhi
ketentuan persentase kepemilikan kurang dari 5% sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (3), sehingga tetap memperoleh fasilitas penurunan tarif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1).
Contoh 2:
Dari keseluruhan saham PT Z Tbk. yang disetor, saham yang dimiliki publik sebesar
45%.Saham yang dimiliki publik tersebut dimiliki oleh 399 pihak. Persentase
kepemilikan para pihak paling tinggi sebesar 4,99%. Kondisi tersebut terjadi selama 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam 1 (satu) tahun pajak.Dengan demikian PT Z Tbk.
memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (4) sehingga memperoleh fasilitas penurunan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal2 ayat (1).
dalam Pasal2 ayat (2), sehingga tidak dapat memperoleh fasilitas penurunan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal2 ayat (1)
Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp
50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan
tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
UU PPh yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto
sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Contoh 1:
Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp4.500.000.000,00 (empat
miliar lima ratus juta rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Penghitungan pajak yang terutang:
Seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari peredaran bruto tersebut dikenai
tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif Pajak Penghasilan badan yang berlaku
karena jumlah peredaran bruto PT Y tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah).
Pajak Penghasilan yang terutang:
(50% x 28%) x Rp500.000.000,00 = Rp70.000.000,00
Contoh 2:
Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp30.000.000.000,00 (tiga
puluh miliar rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah).
1. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh
fasilitas (Rp 4.800.000.000,00 : Rp 30.000.000.000,00) x Rp 3.000.000.000,00 = Rp
480.000.000
2. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh
fasilitas : Rp 3.000.000.000,00 – Rp 480.000.000,00 = Rp 2.520.000.000,00
Rekonsiliasi fiskal dilakukan baik untuk pos-pos pendapatan maupun pos-pos biaya.
Secara ringkas dilakukan rekonsiliasi fiskal dalam hal:
a. WP memiliki penghasilan yang dikenakan PPh Final (Psl 4 ayat 2)
Apabila WP memiliki penghasilan yang dikenakan PPh Final maka penghasilan
tersebut harus direkonsiliasi (dikeluarkan dari perhitungan PPh terutang pada akhir
tahun) karena atas penghasilan tersebut telah dikenakan PPh Final sehingga
kewajiban perpajakannya sudah selesai.
KOMPENSASI KERUGIAN
Jika Wajib Pajak yang menggunakan pembukuan mengalami kerugian dalam tahun-
tahun sebelumnya maka kerugian fiskal dapat dikompensasi selama 5 tahun sejak
dialaminya kerugian (Pasal 6 ayat 2 UU PPh)
Contoh:
Rugi fiskal tahun 2009 sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) yang masih
tersisa pada akhir tahun 2014 tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun
2015, sedangkan rugi fiskal tahun 2011 sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah) hanya boleh dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2015 dan tahun 2016,
karena jangka waktu lima tahun yang dimulai sejak tahun 2012 berakhir pada akhir
tahun 2016.
5. Biaya bea siswa, magang dan pelatihan (Pasal 6 ayat 1 huruf g UU Pajak
Penghasilan)
Syarat: untuk peningkatan SDM dan memperhatikan kewajaran dan kepentingan
perusahaan
6. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih (Pasal 6 ayat 1 huruf h UU Pajak
Penghasilan)
Syarat: memenuhi syarat kumulatif yaitu:
1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih
kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
3. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau
instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian
tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur
dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan
umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya
telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
4. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk
penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k.
2. Penyediaan Makanan dan Minuman Oleh Pemberi Kerja Bagi Sebagian Pegawai
di Tempat Kerja Tetap Deductible
Berdasarkan SE-14/PJ.31/2003 ketentuan penyediaan makanan dan minuman
bagi para pegawai perusahaan di tempat kerja tidak mutlak seluruh pegawai
perusahaan termasuk dewan direksi dan dewan komisaris. Apabila terdapat
sejumlah pegawai yang tidak memanfaatkan fasilitas tersebut tidak
membatalkan pemenuhan persyaratan sesuai prinsip diatas, sepanjang pegawai
tersebut sesuai dengan pekerjaannya tidak dapat menerima makanan dan
minuman di tempat kerja (contoh: petugas lapangan).
5. Kenikmatan dan Fasilitas Yang diberikan Untuk Pegawai Dapat Dibiayakan 50%
Berdasarkan KEP-220/PJ./2002 tentang perlakukan Pajak Penghasilan atas
biaya pemakaian Ponsel dan kendaraaan perusahaan jo SE-09/PJ.42/2002
diatur hal-hal sebagai berikut:
a. Pembelian HP bagi pegawai untuk keperluan pekerjaan sebesar 50% nya
dicatat sebagai pembelian aktiva tetap kelompok I dan dibiayakan melalui
penyusutan.
b. Biaya pulsa dan servis HP 50% nya dapat dibiayakan
c. Pembelian maupun perbaikan besar (Capital Expenditure) atas bus atau
minibus yang dimiliki dan digunakan untuk antar jemput pegawai dicatat
seluruhnya sebagai pembelian aktiva tetap golongan II dan dapat dibebankan
sebagai biaya melalui penyusutan.
d. Biaya servis rutin atas bus dan minibus tsb dapat dibebankan seluruhnya
sebagai biaya
e. Pembelian maupun perbaikan besar atas sedan atau sejenisnya yang dimiliki
dan digunakan pegawai tertentu karena jabatannya dicatat 50% nya sebagai
pembelian aktiva tetap gol II dan dapat dibebankan sebagai biaya melalui
penyusutan
f. Biaya servis rutin kendaraan tsb diatas dicatat 50%-nya sebagai biaya.
g. Fasilitas bagi pegawai berupa HP dan antar jemput bukan penghasilan
pegawai.
h. Termasuk kategori ponsel adalah pager
i. Termasuk kategori sedan adalah minibus (kijang dan sejenisnya)
j. Termasuk kategori biaya pemeliharaan adalah biaya bahan bakar.
PENGANTAR
Salah satu objek Pajak Penghasilan adalah keuntungan atas pengalihan harta yaiu
selisih harga pasar wajar harta tersebut dengan nilai bukunya. Tetapi kadang harga
pasar wajar suatu harta susah ditentukan karena jual beli dilakukan dengan pihak yang
memiliki hubungan istimewa. Akibatnya timbul masalah dalam penentuan berapa laba
atau rugi pengalihan harta.
Disamping itu imbul juga masalah pada harga berapa seharusnya pembeli mencatat
harga perolehan harta tersebut.Agar tidak terjadi perdebatan antara fiskus dengan
Wajib Pajak tentang hal ini maka ditetapkan ketentuan tentang penilaian harta.
PENILAIAN HARTA
Penilaian harta ditentukan oleh harga perolehan suatu aktiva. Dibawah ini dijelaskan
penilaian harta menurut ketenuan pajak.
1. Persediaan Barang Dagangan.
Untuk menilai persediaan barang dagangan metode yang diperkenankan adalah
FIFO dan rata-rata dengan berdasarkan pada nilai historical cost persediaan tsb.
2. Akiva Tetap
Yang termasuk harga perolehan aktiva tetap adalah harga beli dan biaya yang
dikeluarkan dalam rangka memperoleh harta tersebut seperti bea masuk, biaya
angkut, dan biaya pemasangan.
3. Tanah
Pengeluaran untuk memperoleh tanah termasuk pengurusan hak-hak atas tanah
dari instansi berwenang untuk pertama kalinya dikapitalisasi dalam harga tanah.
2. Tukar Menukar
Harta yang diperoleh berdasarkan transaksi tukar menukar dengan harta lain, nilai
perolehan atau nila penjualan adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau
diterima berdasarkan harga pasar wajar.
3. Penarikan Harta
Apabila suatu harta dijual maka penerimaan dibukukan sebagai penghasilan
pada tahun terjadinya penjualan dan NSBF dari harta tersebut dibebankan sebagai
kerugian dalam tahun pajak tersebut.Keuntungan atau kerugian karena pengalihan
harta dikenakan pajak dalam tahun dilakukannya pengalihan tersebut.
Apabila suatu harta terbakar, maka asuransinya dibukukan sebagai penghasilan
pada tahun diterimanya pengganian asuransi, dan NSBF dibebankan sebagai
kerugia pada tahun yang bersangkutan.
Hal-hal yang menentukan besarnya biaya penyusutan adalah nilai perolehan, umur
ekonomis, metode penyusutan serta nilai sisa harta.
A. Umur Ekonomis
Menurut ketentuan pajak, umur ekonomis/masa manfaat suatu aktiva ditentukan
berdasarkan kelompok sebagai berikut:
I. Bukan Bangunan
Kelompok 1 4 tahun
Kelompok 2 8 tahun
Kelompok 3 16 tahun
Kelompok 4 20 tahun
II. Bangunan
Permanen 20 tahun
Tidak Permanen 10 tahun
B. Metode Penyusutan
Metode penyusutan yang diperbolehkan secara fiskal adalah:
a. Metode Garis Lurus, yaitu penyusutan dalam bagian-bagian yang sama besar
selama masa manfaat yang ditetapkan bagi harta tersebut.
b. Metode Saldo Menurun, yaitu penyusutan dalam bagian-bagian yang menurun
dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku. Jika Wajib Pajak
memilih menggunakan meode ini, nilai sisa buku pada akhir masa manfaat harus
disusutkan sekaligus.
C. Nilai Sisa
Menurut ketentuan pajak, nilai sisa suatu aktiva setelah berakhirnya masa manfaat
adalah nihil.Jadi, pajak tidak mengenal nilai sisa / nilai residu sehingga semua nilai
perolehan harta harus habis disusutkan.
D. Tarif Penyusutan
Tarif penyusutan ditentukan berdasarkan metode serta umur ekonomis harta. Bila
suatu harta ditentukan masuk kelompok I maka umur ekonomisnya dianggap 4
tahun.
Tarif Penyusutan
Kelompok Harta Masa
Berwujud manfaat Garis Lurus Saldo Menurun
I. Bukan Bangunan
Kelompok 1
Kelompok 2 4 tahun 25 % 50 %
Kelompok 3 8 tahun 12.5 % 25 %
Kelompok 4 16 tahun 6.25 % 12.5%
20 tahun 5% 10 %
II. Bangunan
Permanen 20 tahun 5%
Tidak Permanen 10 tahun 10 %
Harta berwujud:
Kehutanan meliputi tanaman kehutanan, kayu.
Perkebunan tanaman keras meliputi tanaman keras.
Peternakan meliputi ternak termasuk ternak sapi pejantan.
AMORTISASI
Sebagaimana dengan aktiva tetap berwujud, aktiva tidak berwujud juga disusutkan
(diamortisasikan) dengan memperhatikan 5 hal, yaitu nilai perolehan, masa manfaat,
nilai sisa, metode amortisasi serta tarif.Namun sebagaimana engan namanya jenis
aktiva ini biasanya berupa hak atas kekayaan intelektual tertentu, atau atas biaya-biaya
pendirian perusahaan, yaitu biaya yang dikeluarkan pada saat perusahaan belum
beroperasi seperti biaya riset pemasaran, studi kelayakan dan lain-lain. Ketentuan pajak
atas amortisasi aktiva tidak berwujud hampir sama dengan ketentuan penyusutan.
Untuk menghiung amortisasi, masa manfaat dan tarif ditetapkan sebagai berikut:
Tarif Amortisasi
Kelompok Harta Masa
Berwujud manfaat Garis Lurus Saldo Menurun
Kelompok 1 4 tahun 25 % 50 %
Kelompok 2 8 tahun 12.5 % 25 %
Kelompok 3 16 tahun 6.25 % 12.5%
Kelompok 4 20 tahun 5% 10 %
Untuk harta tidak berwujud yang masa manfaatnya tidak tercantum pada kelompok
masa manfaat yang ada, maka Wajib Pajak menggunakan masa manfaat
terdekat.Misalnya masa manfaat sebenarnya 6 tahun dapat menggunakan kelompok
masa manfaat 4 tahun atau 8 tahun.Dalam hal masa manfaatnya 5 tahu, maka harta
tersebut menggunakan kelompok masa manfaat 4 tahun.
Atas penghasilan berupa bunga deposito, tabungan, serta diskonto SBI yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak dipotong Pajak Penghasilan Final (PP No 131 tahun
2000 tanggal 15 Desember 2000).
Selanjutnya diatur bahwa atas biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih
dan memelihara penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final tidak dapat
dikurangkan dari penghasilan Wajib Pajak untuk penghitungan Penghasilan Kena
Pajak.(PP 138 tahun 2000 tanggal 21 Desember 2000). Dapat terjadi bahwa dana yang
ditempatkan dalam bentuk deposito berjangka atau tabungan lainnya berasal dari
pinjaman atau dana dari pihak ketiga yang dibebani biaya bunga.
Apabila hal tersebut terjadi, Wajib Pajak dapat memperkecil penghasilan kena
pajaknya secara tidak wajar karena bunga yang terutang atau dibayar atas pinjaman
tersebut dikurangkan sebagai biaya.Sedangkan bunga yang diterima yang berasal dari
deposio atau tabungan lainnya tidak ditambahkan dalam menghiung penghasilan kena
pajak karena telah dikenakan Pajak Penghasilan final 20%.
Sehubungan dengan hal tersebut diterbitkan Surat Edaran Direkur Jenderal Pajak
No. SE-46/PJ.4/1995 tanggal 5 Oktober 1995 yang memberikan penegasan sebagai
berikut:
1. apabila jumlah rata-rata pinjaman sama besarnya dengan atau lebih kecil dari jumlah
rata-rata dana yang ditempatkan sebagai deposito berjangka atau tabungan lainnya,
maka biaya bunga yang dibayar atau terutang atas pinjaman tersebut seluruhnya
tidak dapat dibebankan sebagai biaya.
2. apabila jumlah rata-rata pinjaman lebih besar dari jumlah rata-rata dana yang
ditempatkan di dalam bentuk deposito atau tabungan lainnya, maka biaya bunga
atas pinjaman yang boleh dibebankan adalah bunga yang dibayar atau terutang atas
rata-rata pinjaman yang melebihi rata-rata dana yang ditempatkan sebagai deposito
atau tabungan lainnya. (selisih rata-raa pinjaman dengan rata-rata deposito)
Walaupun begitu tidak semuanya biaya bunga yang telah dibebankan oleh
perusahaan pasti dikoreksi secara fiskal. Ada beberapa pengecualian, yaitu:
a. dana pinjaman tersebut disimpan dalam bentuk rekening giro yang atas jasanya
dikenakan Pajak Penghasilan final.
b. Adanya keharusan bagi Wajib Pajak untuk menempatkan dana dalam jumlah
tertentu pada suatu bank dalam bentuk deposito berdasarkan ketentuan
perundangan yang berlaku.
c. Dapat dibuktikan bahwa penempatan deposito atau tabungan tersebut dananya
berasal dari tambahan modal dan sisa laba setelah pajak.
MACAM-MACAM KURS
Terdapat berbagai jenis kurs valuta asing yang sering digunakan. Kurs-kurs valuta asing
meliputi:
1. Kurs Menteri Keuangan
Kurs Menteri Keuangan adalah kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.Mulai
1 Oktober 1997 kurs Menteri Keuangan ditetapkan tiap minggu.
2. Kurs Realisasi
Kurs realisasi yaitu kurs yang sebenarnya terjadi pada waktu perusahaan
merupiahkan valas atau pada waktu perusahaan membeli valas
3. Kurs Bank Indonesia
Kurs BI digunakan untuk menncatat hutang piutang serta transaksi dalam valuta
asing.Kurs BI terdiri dari kurs beli bank dan kurs jual bank. Kurs BI yang digunakan
sebagai dasar pembukuan yaitu kurs tengahnya yang merupakan rata-rata antara
kurs jual dan kurs beli BI.
PENGGUNAAN KURS
A. Kurs Menteri Keuangan RI
Pajak-pajak yang terutang dalam valuta asing harus terlebih dahulu dinilai ke dalam
mata uang rupiah.Untuk kepentingan tersebut perlu ditetapkan keputusan tentang
nilai kurs sebagai dasar pelunasan. Oleh karena itu kurs Menteri Keuangan
digunakan untuk:
1. Perhitungan pelunasan Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak Pertambahan
Nilai-Impor, Pajak Penghasilan Pasal 22 sesuai dengan tanggal PIUD.
2. Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai dan PPnBM sesuai tanggal faktur pajak,
apabila pembayaran, harga jual atau nilai pengganian dilakukan dengan mata
uang asing. (Pasal 31 PP No. 143/2000)
3. Perhitungan Pajak Penghasilan pasal 21 atau pasal 26 apabila penghasilan
diterima dalam mata uang asing.
4. Perhitungan pajak ekspor.
5. Perhitungan pajak-pajak final yang dibayarkan dalam valuta asing.
B. Kurs Tengah BI
Kurs tengah BI digunakan oleh perusahaan yang pembukuannya dengan rupiah
untuk membukukan transaksi-transaksi yang nilainya dalam valuta asing.Perbedaan
selisih kurs BI yang terjadi pada membukukan hutang piutang valas dengan kurs BI
pada saat realisasi menimbulkan laba atau rugi selisih kurs.
Contoh:
Pada tanggal 15 November 2001 PT KLM mendapat pinjaman USD 1.000.000 dalam
jangka waktu 2 tahun atau jatuh tempo 14 November 2003.
Kurs tengah BI 15-11-2001 Rp 12.000
31-12-2001 Rp 11.000
31-12-2002 Rp 13.000
31-12-2003 Rp 12.000
Penyelesaian:
Pembukuan berdasarkan kurs tetap
Pembebanan selisih kurs dilakukan pada saat terjadinya pembayaran hutang valas,
tiap-tiap akhir tahun 31 Desember tidak diakui adanya selisih kurs.
15-11-2001 Pembukuan utang valas Rp. 12.000.000
14-11-2003 Pembayaran Rp. 12.000.000
Mulai tahun pajak 2009, keuntungan dan kerugian selisih kurs valuta asing diakui
berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas
sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
Pajak yang diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun pajak, dilunasi oleh Wajib
Pajak dalam tahun pajak berjalan melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh
pihak lain, serta pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri. Pelunasan pajak dilakukan
untuk setiap bulan atau masa lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Pelunasan pajak tersebut merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap
Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali untuk
penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final.
Agar pelunasan pajak dalam tahun pajak berjalan mendekati jumlah pajak yang akan
terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, maka pelaksanaannya dilakukan
melalui:
a. pemotongan pajak oleh pihak lain dalam hal diperoleh penghasilan oleh Wajib Pajak
dari pekerjaan, jasa atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21,
pemungutan pajak atas penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22, dan pemotongan pajak atas penghasilan dari modal, jasa dan kegiatan
tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.
b. pembayaran oleh Wajib Pajak sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.
Pada dasarnya pelunasan pajak dalam tahun berjalan dilakukan untuk setiap bulan,
namun Menteri Keuangan dapat menentukan masa lain, seperti saat dilakukannya
transaksi atau saat diterima atau diperolehnya penghasilan, sehingga pelunasan pajak
dalam tahun berjalan dapat dilaksanakan dengan baik.
Pelunasan pajak dalam tahun pajak berjalan merupakan angsuran pembayaran pajak
yang nantinya boleh diperhitungkan dengan cara mengkreditkan terhadap Pajak
Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan. Dengan
pertimbangan kemudahan, kesederhanaan, kepastian, pengenaan pajak yang tepat
waktu, dan pertimbangan lainnya, maka dapat diatur pelunasan pajak dalam tahun
berjalan yang bersifat final atas jenis‐ jenis penghasilan tertentu seperti dimaksud
dalam Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23. Pajak Penghasilan yang bersifat final tersebut
tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang.
Dimungkinkan WNI mempunyai usaha dan penghasilan dari luar negeri (Investasi,
Bunga, istri bekerja di luar negeri dsb). Penghasilan luar negeri tersebut dilaporkan
dengan cara:
1. Melaporkan rincian penghasilan yang diterima atau diperoleh I luar negeri dan
penghitungan kredit pajak luar negeri dari Wajib Pajak sendiri, istri dan anak/anak
angkat yang belum dewasa dalam tahun pajak yang bersangkutan, kecuali
penghasilan:
Penghasilan yang telah dipotong Pajak Penghasilan di luar negeri tersebut dapat
dikreditkan (dikurangkan dari Pajak Penghasilan terutang) melalui mekanisme
pengkreditan Pajak Penghasilan Pasal 24.
Jika ada kompensasi kerugian yang masih dapat dikurangkan maka perhitungan
penghasilan neto adalah setelah kompensasi kerugian tersebut. Dalam hal
penghasilan dalam negeri lebih kecil dari penghasilan luar negeri maka maksimal
kredit pajak luar negeri yang dapat dikredikan adalah sebesar pajak atas
penghasilan kena pajak.
Dalam hal penghasilan yang diterima / diperoleh di luar negeri berasal dari beberapa
negara, maka penghitungan kredit pajak berdasarkan formula tersebut dilakukan
untuk masing-masing negara ( ordinary credit per country basis ).
Contoh:
Penghasilan dalam negeri menyatakan rugi Rp. 400 juta sedangkan penghasilan
luar negeri menyatakan untung Rp. 500 juta.Pajak yang telah dibayar di luar negeri
sebesar Rp. 150 juta. Perhitungan pasal 24 yang dapat dikreditkan:
Jawab:
Penghitungan Pajak Penghasilan terutang:
Penghasilan dalam negeri (rugi) (400.000.000)
Penghasilan luar negeri 500.000.000
Penghasilan kena pajak 100.000.000
Pajak Penghasilan terutang =
10% x 50.000.000 = 5.000.000
15% X 50.000.000 = 7.500.000 12.500.000
Secara umum besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar
sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang
terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang
lalu dikurangi dengan:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan
Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22; dan
b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24,
dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
Contoh 1:
Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun 2009 Rp 50.000.000,00 dikurangi:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong pemberi Kerja (Pasal 21) Rp 15.000.000,00
b. Pajak Penghasilan yang dipungut oleh pihak lain (Pasal 22) Rp 10.000.000,00
c. Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak lain (Pasal 23) Rp 2.500.000,00
d. Kredit Pajak Penghasilan luar negeri (Pasal 24) Rp 7.500.000,00 (+)
Jumlah kredit pajak Rp 35.000.000,00 (-)
Selisih Rp 15.000.000,00
Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri setiap bulan untuk tahun 2010
adalah sebesar Rp 1.250.000,00 (Rp 15.000.000,00 dibagi 12).
Contoh 2:
Apabila Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam contoh di atas berkenaan
dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh untuk bagian tahun pajak yang
meliputi masa 6 (enam) bulan dalam tahun 2009, besarnya angsuran bulanan yang
harus dibayar sendiri setiap bulan dalam tahun 2010 adalah sebesar Rp 2.500.000,00
(Rp 5.000.000,00 dibagi 6).
STIMULUS PPh PASAL 25 DALAM TAHUN 2009 BAGI WAJIB PAJAK YANG
MENGALAMI PERUBAHAN KEADAAN USAHA ATAU KEGIATAN USAHA
Dasar Hukum:
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-10/PJ/2009
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-33/Pj/2009
2) BUMN/BUMD;
3) Wajib Pajak masuk bursa;
4) Wajib Pajak lainnya,
yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan harus membuat
laporan keuangan berkala.
c. Pengurangan PPh Pasal 25 sampai dengan 25% (dua puluh lima persen) untuk
masa pajak Januari sampai dengan Juni 2009 adalah sebagai berikut:
1) Pengurangan PPh Pasal 25 dihitung dari:
a) besarnya PPh Pasal 25 bulan Desember tahun 2008; atau
b) besarnya PPh Pasal 25 berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan (SPT Tahunan PPh) tahun pajak 2008 dalam hal Wajib Pajak
telah menyampaikan SPT Tahunan PPh tahun pajak 2008.
2) PPh Pasal 25 bulan Desember tahun 2008 adalah PPh Pasal 25 yang
seharusnya dibayar oleh Wajib Pajak untuk masa pajak Desember 2008,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
3) Dalam hal Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh tahun pajak 2008
setelah pemberitahuan tertulis disampaikan maka pengurangan PPh Pasal 25
dihitung kembali berdasarkan SPT Tahunan PPh tahun pajak 2008 tersebut.
4) Apabila besarnya PPh Pasal 25 untuk masa pajak sebelum pemberitahuan
tertulis disampaikan lebih besar dari besarnya PPh Pasal 25 dengan
pengurangan, atas kelebihan pembayaran PPh Pasal 25 dapat dipindahbukukan
ke PPh Pasal 25 masa pajak berikutnya setelah pemberitahuan tertulis
disampaikan.
5) Apabila besarnya PPh Pasal 25 untuk masa pajak sebelum pemberitahuan
tertulis disampaikan lebih kecil dari besarnya PPh Pasal 25 dengan
pengurangan, atas kekurangan pembayaran PPh Pasal 25 diterbitkan Surat
Tagihan Pajak sesuai ketentuan yang berlaku umum.
6) Wajib Pajak dapat menyampaikan surat pemberitahuan pengurangan PPh Pasal
25 untuk untuk masa pajak Januari s.d. Juni 2009 secara tertulis yang
ditandatangani oleh Pengurus atau Direksi paling lama 30 April 2009 kepada
Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar, dengan format tertentu dengan
melampirkan:
penghitungan PPh yang terutang berdasarkan SPT Tahunan PPh tahun pajak
2008 atau penghitungan sementara PPh terutang tahun pajak 2008; dan
perkiraan penghitungan PPh yang akan terutang tahun pajak 2009.
d. Pengurangan besarnya PPh Pasal 25 untuk masa pajak Juli sampai dengan
Desember 2009 adalah sebagai berikut:
1) Permohonan pengurangan besarnya PPh Pasal 25 dapat diajukan dalam hal
Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa besarnya PPh yang akan terutang untuk
tahun 2009 kurang dari 75% (tujuh puluh lima persen) dari PPh yang terutang
yang menjadi dasar perhitungan besarnya PPh Pasal 25 masa pajak Januari
sampai dengan Juni 2009.
2) PPh yang terutang yang menjadi dasar perhitungan besarnya PPh Pasal 25
masa pajak Januari sampai dengan Juni 2009 adalah sebagai berikut :
a) Dalam hal Wajib Pajak menyampaikan pemberitahuan pengurangan
besarnya PPh Pasal 25 sampai dengan 25% untuk masa pajak Januari
sampai dengan Juni 2009, PPh terutang adalah PPh terutang yang menjadi
dasar perhitungan PPh Pasal 25 dengan pengurangan.
Pada tanggal 08 Juni 2018, pemerintah menerbitkan satu Peraturan Pemerintah yang
mengatur tentang perpajakan bagi UMKM yang terbaru yaitu Peraturan Pemerintah
Nomor 23 Tahun 2018 sebagai pengganti Peraturan Pemerintah nomor 46 tahun 2013
yang mengatur tentang berapa PPh dari usaha yang diterma atau diperoleh Wajib Pajak
yang memiliki peredaran usaha tertentu.
0,5% x Omset
Yang Mendapatkan Penghasilan dari usaha (omset) dengan peredaran bruto tidak
melebihi 4,8 Milyar Dalam Setahun
Wajib Pajak yang Tidak Boleh menggunakan tarif PPh Final 0,5%
1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,
akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, PPAT, penilai, dan aktuaris;
2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang
sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model,
peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
3. olahragawan;
4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6. agen iklan;
7. pengawas atau pengelola proyek;
8. perantara;
9. petugas penjaja barang dagangan;
10. agen asuransi;
11. distributor perusahaan pemasaran berjenjang atau penjualan langsung dan
kegiatan sejenis lainnya.
1 Juli 2018
Ketentuan Peralihan
2.
bunga pinjaman;
diskonto dan premium yang terkait dengan pinjaman;
biaya tambahan yang terjadi yang terkait dengan perolehan pinjaman
(arrangement of borrowings);
beban keuangan dalam sewa pembiayaan;
biaya imbalan karena jaminan pengembalian utang; dan
selisih kurs yang berasal dari pinjaman dalam mata uang asing
sepanjang selisih kurs tersebut sebagai penyesuaian terhadap biaya
bunga dan biaya sebagaimana dimaksud pada huruf b, huruf c, huruf
d,dan huruf e;
8. Dalam hal Wajib Pajak mempunyai saldo ekuitas nol atau kurang dari nol,
maka seluruh biaya pinjaman W ajib Pajak bersangkutan tidak dapat
diperhitungkan dalam penghitungan penghasilan kena pajak;
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya
terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana
di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar
Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
2. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang mempunyai hak dan
kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang perpajakan.
3. Harta adalah akumulasi tambahan kemampuan ekonomis berupa seluruh
kekayaan, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun
tidak bergerak, baik yang digunakan untuk usaha maupun bukan untuk
usaha, yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
4. Utang adalah jumlah pokok utang yang belum dibayar yang berkaitan
langsung dengan perolehan Harta.
5. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender, kecuali jika
Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun
kalender.
6. Tunggakan Pajak adalah jumlah pokok pajak yang belum dilunasi
berdasarkan Surat Tagihan Pajak yang di dalamnya terdapat pokok pajak
yang terutang, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, dan Putusan Peninjauan
Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar
bertambah termasuk pajak yang seharusnya tidak dikembalikan,
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan.
7. Uang Tebusan adalah sejumlah uang yang dibayarkan ke kas negara untuk
mendapatkan Pengampunan Pajak.
8. Tindak Pidana di Bidang Perpajakan adalah tindak pidana sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.
9. Surat Pernyataan Harta untuk Pengampunan Pajak yang selanjutnya
disebut Surat Pernyataan adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak
untuk mengungkapkan Harta, Utang, nilai Harta bersih, serta penghitungan
dan pembayaran Uang Tebusan.
10. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang keuangan negara.
11. Surat Keterangan Pengampunan Pajak yang selanjutnya disebut Surat
Keterangan adalah surat yang diterbitkan oleh Menteri sebagai bukti
pemberian Pengampunan Pajak.
12. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Terakhir yang
selanjutnya disebut SPT PPh Terakhir adalah:
a. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak
2015 bagi Wajib Pajak yang akhir tahun bukunya berakhir pada
periode 1 Juli 2015 sampai dengan 31 Desember 2015; atau
b. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak
2014 bagi Wajib Pajak yang akhir tahun bukunya berakhir pada
periode 1 Januari 2015 sampai dengan 30 Juni 2015.
13. Manajemen Data dan Informasi adalah sistem administrasi data dan
informasi Wajib Pajak yang berkaitan dengan Pengampunan Pajak yang
dikelola oleh Menteri.
14. Bank Persepsi adalah bank umum yang ditunjuk oleh Menteri untuk
menerima setoran penerimaan negara dan berdasarkan Undang-Undang
ini ditunjuk untuk menerima setoran Uang Tebusan dan/atau dana yang
dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam
rangka pelaksanaan Pengampunan Pajak.
15. Tahun Pajak Terakhir adalah Tahun Pajak yang berakhir pada jangka waktu
1 Januari 2015 sampai dengan 31 Desember 2015.
Pasal 3
(1) Setiap Wajib Pajak berhak mendapatkan Pengampunan Pajak.
(2) Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
kepada Wajib Pajak melalui pengungkapan Harta yang dimilikinya dalam
Surat Pernyataan.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu
Wajib Pajak yang sedang:
a. dilakukan penyidikan dan berkas penyidikannya telah dinyatakan
lengkap oleh Kejaksaan;
b. dalam proses peradilan; atau
c. menjalani hukuman pidana, atas Tindak Pidana di Bidang
Perpajakan.
(4) Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
Pasal 4
(1) Tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada di dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia atau Harta yang berada di luar wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dialihkan ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan diinvestasikan di dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu paling singkat 3
(tiga) tahun terhitung sejak dialihkan, adalah sebesar:
a. 2% (dua persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada
bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak
Undang-Undang ini mulai berlaku;
b. 3% (tiga persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada
bulan keempat terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku
sampai dengan tanggal 31 Desember 2016; dan
c. 5% (lima persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan
terhitung sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan tanggal 31
Maret 2017.
(2) Tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada di luar wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan tidak dialihkan ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah sebesar:
a. 4% (empat persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan
pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak
Undang- Undang ini mulai berlaku;
b. 6% (enam persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan
pada bulan keempat terhitung sejak Undang-Undang ini mulai
berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2016; dan
c. 10% (sepuluh persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan
terhitung sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan tanggal 31
Maret 2017.
(3) Tarif Uang Tebusan bagi Wajib Pajak yang peredaran usahanya sampai
dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada
Tahun Pajak Terakhir adalah sebesar:
a. 0,5% (nol koma lima persen) bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan
nilai Harta sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
Pasal 5
(1) Besarnya Uang Tebusan dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dengan dasar pengenaan Uang
Tebusan.
(2) Dasar pengenaan Uang Tebusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dihitung berdasarkan nilai Harta bersih yang belum atau belum seluruhnya
dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir.
(3) Nilai Harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan selisih
antara nilai Harta dikurangi nilai Utang.
Pasal 6
(1) Nilai Harta yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan meliputi:
a. nilai Harta yang telah dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir; dan
b. nilai Harta tambahan yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan
dalam SPT PPh Terakhir.
(2) Nilai Harta yang telah dilaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan nilai yang
dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir.
(3) Dalam hal Wajib Pajak diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan menggunakan satuan mata uang selain
Rupiah, nilai Harta yang telah dilaporkan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan kurs
yang ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan penghitungan pajak pada
tanggal akhir tahun buku sesuai dengan SPT PPh Terakhir.
(4) Nilai Harta tambahan yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditentukan dalam mata uang
Rupiah berdasarkan nilai nominal untuk Harta berupa kas atau nilai wajar
untuk Harta selain kas pada akhir Tahun Pajak Terakhir.
(5) Dalam hal nilai Harta tambahan menggunakan satuan mata uang selain
Rupiah, nilai Harta tambahan ditentukan dalam mata uang Rupiah
berdasarkan:
a. nilai nominal untuk Harta berupa kas; atau
b. nilai wajar pada akhir Tahun Pajak Terakhir untuk Harta selain kas,
dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan
penghitungan pajak pada akhir Tahun Pajak Terakhir.
Pasal 7
Pasal 8
(1) Untuk memperoleh Pengampunan Pajak, Wajib Pajak harus
menyampaikan Surat Pernyataan kepada Menteri.
(2) Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani
oleh:
a. Wajib Pajak orang pribadi;
b. pemimpin tertinggi berdasarkan akta pendirian badan atau dokumen
lain yang dipersamakan, bagi Wajib Pajak badan; atau
c. penerima kuasa, dalam hal pemimpin tertinggi sebagaimana
dimaksud pada huruf b berhalangan.
(3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
Pasal 9
(1) Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) memuat
paling sedikit informasi mengenai identitas Wajib Pajak, Harta, Utang, nilai
Harta bersih, dan penghitungan Uang Tebusan.
(2) Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri
dengan:
a. bukti pembayaran Uang Tebusan;
b. bukti pelunasan Tunggakan Pajak bagi Wajib Pajak yang memiliki
Tunggakan Pajak;
c. daftar rincian Harta beserta informasi kepemilikan Harta yang
dilaporkan;
d. daftar Utang serta dokumen pendukung;
e. bukti pelunasan pajak yang tidak atau kurang dibayar atau pajak yang
seharusnya tidak dikembalikan bagi Wajib Pajak yang sedang
dilakukan pemeriksaan bukti permulaan atau penyidikan;
f. fotokopi SPT PPh Terakhir; dan
g. surat pernyataan mencabut permohonan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (3) huruf f.
(3) Dalam hal Wajib Pajak bermaksud mengalihkan Harta ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 ayat (6), selain melampirkan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Wajib Pajak harus melampirkan surat pernyataan mengalihkan dan
menginvestasikan Harta ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia paling singkat selama jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak
dialihkan.
(4) Dalam hal Wajib Pajak mengungkapkan Harta yang berada dan/atau
ditempatkan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (7), selain melampirkan
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak harus
melampirkan surat pernyataan tidak mengalihkan Harta ke luar wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia paling singkat selama jangka waktu
3 (tiga) tahun terhitung sejak diterbitkannya Surat Keterangan.
(5) Bagi Wajib Pajak yang peredaran usahanya sampai dengan
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada Tahun
Pajak Terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), selain
melampirkan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4),
Wajib Pajak dimaksud harus melampirkan surat pernyataan mengenai
besaran peredaran usaha.
Pasal 10
(1) Surat Pernyataan disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat
Wajib Pajak terdaftar atau tempat lain yang ditentukan oleh Menteri.
(2) Sebelum menyampaikan Surat Pernyataan dan lampirannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9, Wajib Pajak meminta penjelasan mengenai
pengisian dan pemenuhan kelengkapan dokumen yang harus dilampirkan
dalam Surat Pernyataan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak atau tempat
lain yang ditentukan oleh Menteri.
(3) Berdasarkan penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib
Pajak membayar Uang Tebusan dan menyampaikan Surat Pernyataan
beserta lampirannya.
(4) Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas nama Menteri menerbitkan Surat
Keterangan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal diterima Surat Pernyataan beserta lampirannya dan
mengirimkan Surat Keterangan kepada Wajib Pajak.
(5) Dalam hal jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas nama Menteri belum
menerbitkan Surat Keterangan, Surat Pernyataan dianggap diterima
sebagai Surat Keterangan.
(6) Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas nama Menteri dapat menerbitkan
surat pembetulan atas Surat Keterangan dalam hal terdapat:
a. kesalahan tulis dalam Surat Keterangan; dan/atau
b. kesalahan hitung dalam Surat Keterangan.
(7) Wajib Pajak dapat menyampaikan Surat Pernyataan paling banyak 3 (tiga)
kali dalam jangka waktu terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku
sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.
(8) Wajib Pajak dapat menyampaikan Surat Pernyataan kedua atau ketiga
sebelum atau setelah Surat Keterangan atas Surat Pernyataan yang
pertama atau kedua diterbitkan.
(9) Dalam hal Wajib Pajak menyampaikan Surat Pernyataan yang kedua atau
ketiga, penghitungan dasar pengenaan Uang Tebusan dalam Surat
Pernyataan dimaksud memperhitungkan dasar pengenaan Uang Tebusan
yang telah dicantumkan dalam Surat Keterangan atas Surat Pernyataan
sebelumnya.
(10) Dalam hal terdapat kelebihan pembayaran Uang Tebusan yang
disebabkan oleh:
a. diterbitkannya surat pembetulan karena kesalahan hitung
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b; atau
b. disampaikannya Surat Pernyataan kedua atau ketiga sebagaimana
dimaksud pada ayat (8),
atas kelebihan pembayaran dimaksud harus dikembalikan dan/atau
diperhitungkan dengan kewajiban perpajakan lainnya dalam jangka waktu
paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterbitkannya surat pembetulan
atau disampaikannya Surat Pernyataan kedua atau ketiga dimaksud.
Pasal 11
(1) Wajib Pajak yang telah menyampaikan Surat Pernyataan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan lampirannya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9, diberi tanda terima sebagai bukti penerimaan Surat
Pernyataan.
(2) Wajib Pajak yang telah memperoleh tanda terima sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak dilakukan:
a. pemeriksaan;
b. pemeriksaan bukti permulaan; dan/atau
c. penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan,
untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan
akhir Tahun Pajak Terakhir.
(3) Dalam hal Wajib Pajak yang telah memperoleh tanda terima sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sedang dilakukan:
a. pemeriksaan;
b. pemeriksaan bukti permulaan; dan/atau
c. penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan,
untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan
akhir Tahun Pajak Terakhir, terhadap pemeriksaan, pemeriksaan bukti
permulaan, dan/atau penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan
dimaksud ditangguhkan sampai dengan diterbitkannya Surat Keterangan.
(4) Pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, dan/atau penyidikan Tindak
Pidana di Bidang Perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dihentikan dalam hal Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas nama Menteri
menerbitkan Surat Keterangan.
(5) Wajib Pajak yang telah diterbitkan Surat Keterangan, memperoleh fasilitas
Pengampunan Pajak berupa:
a. penghapusan pajak terutang yang belum diterbitkan ketetapan pajak,
tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan, dan tidak dikenai sanksi
pidana di bidang perpajakan, untuk kewajiban perpajakan dalam
masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak, sampai dengan
akhir Tahun Pajak Terakhir;
b. penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga, atau
denda, untuk kewajiban perpajakan dalam masa pajak, bagian Tahun
Pajak, dan Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir;
c. tidak dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan,
dan penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, atas kewajiban
perpajakan dalam masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak,
sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir; dan
d. penghentian pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan
penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, dalam hal Wajib
Pajak sedang dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti
BAB VIII
PERLAKUAN ATAS HARTA YANG BELUM ATAU KURANG DIUNGKAP
Pasal 18
(1) Dalam hal Wajib Pajak telah memperoleh Surat Keterangan kemudian
ditemukan adanya data dan/atau informasi mengenai Harta yang belum
atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan, atas Harta dimaksud
dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai
Harta dimaksud.
(2) Dalam hal:
a. Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pernyataan sampai dengan
periode Pengampunan Pajak berakhir; dan
b. Direktur Jenderal Pajak menemukan data dan/atau informasi
mengenai Harta Wajib Pajak yang diperoleh sejak tanggal 1 Januari
1985 sampai dengan 31 Desember 2015 dan belum dilaporkan dalam
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan,
atas Harta dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau
informasi mengenai Harta dimaksud, paling lama 3 (tiga) tahun terhitung
sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.
(3) Atas tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai
Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang Pajak Penghasilan dan ditambah dengan sanksi
administrasi perpajakan berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus
persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar.
(4) Atas tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai
pajak dan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang perpajakan.