Anda di halaman 1dari 51

MODUL PPH BADAN

BAB I Subjek PPh Badan

PENGANTAR

Dasar hukum dari modul PPh Badan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008, yang selanjutnya disingkat dengan nama Undang-Undang Pajak
Penghasilan (UU PPh).
Modul PPh Badan, pada dasarnya merupakan kelanjutan dari modul PPh Orang Pribadi,
dengan jenis objek pajak dan pengurang penghasilan bruto yang lebih beragam serta
permasalahan yang lebih kompleks dibandingkan dengan PPh Orang Pribadi.
Pembaca modul ini diharapkan telah mempelajari modul PPh Orang Pribadi untuk
mempermudah pemahaman PPh secara umum.

SUBJEK PAJAK

Subjek pajak PPh Badan bukan hanya perusahaan.Sesuai dengan UU PPh, yang
termasuk sebagai subjek pajak badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang
merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha
yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan
usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa
pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan
bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

Subjek pajak Badan dibedakan menjadi dua, yaitu:


1. Subjek Pajak Badan Dalam Negeri
Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu
dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah; dan
4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.
Kewajiban pajak subjektif badan dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak
lagi bertempat kedudukan di Indonesia.

2. Subjek Pajak Badan Luar Negeri


a. badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.
Kewajiban pajak subjektif dimulai pada saat badan tersebut menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap dan berakhir pada saat
tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha
tetap; dan
b. badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang
dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 1|Page


MODUL PPH BADAN

menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di


Indonesia.
Kewajiban pajak subjektif dimulai pada saat badan tersebut menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia dan berakhir pada saat tidak lagi
menerima atau memperoleh penghasilan tersebut.

A. Subjek Pajak BUT

BUT sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (5) UU PPh adalah bentuk usaha yang
dipergunakan oleh badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat
berupa:
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. gudang;
h. ruang untuk promosi dan penjualan;
i. pertambangan dan penggalian sumber alam;
j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
l. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
m. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang
dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
n. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
o. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di
Indonesia; dan
p. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan
usaha melalui internet.
Pengenaan pajaknya disamakan dengan Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dengan
modifikasi dalam metode penentuan laba serta penambahan tarif sesuai UU PPh Pasal
26 ayat (4).

B. Pengecualian Subjek Pajak Badan

Beberapa Badan yang dikecualikan sebagai subjek PPh adalah:


1. Badan Perwakilan Negara Asing (Kedutaan Besar)
2. Organisasi Internasional, dengan syarat:
- Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut
- Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal
dari iuran anggota
(Diatur dalam PMK No. 215/PMK.03/2008)

3. Unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:


1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 2|Page


MODUL PPH BADAN

2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau


Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah; dan
4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional Negara.

C. Hubungan Istimewa Subjek Pajak

Pasal 18 ayat (4) UU PPh telah mendefinisikan Wajib Pajak yang memiliki hubungan
istimewa satu sama lain. Hubungan istimewa diantara Wajib Pajak dapat terjadi karena
ketergantungan atau keterikatan satu sama lain yang disebabkan karena:
- kepemilikan atau penyertaan modal
- adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi
- terdapat hubungan keluarga.

Hubungan tersebut dilengkapi dalam format sebagai berikut:


1. Hubungan Modal
Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling
rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara
Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen)
pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau
lebih yang disebut terakhir.
2. Hubungan Penguasaan
Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak
berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung.
3. Hubungan Keluarga
terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis
keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.

Status hubungan istimewa diatas akan berpengaruh pada hal-hal antara lain yaitu:
1. Keuntungan atas jual beli aktiva tetap. (Pasal 10 ayat 1)
2. Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya
penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk
menghitung besarnya penghasilan kena pajak sesuai dengan kewajaran yang
tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa. (Pasal 18 ayat 3)
3. Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanian dengan Wajib Pajak
dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak Negara lain untuk menentukan
harga transaksi antar pihak yang mempunyai hubungan istimewa. (Pasal 18 ayat
3a)
4. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham
atau kepada pihak lain yang memiliki hubungan istimewa sebagai imbalan tidak
boleh menjadi biaya. (Pasal 9 ayat 1 huruf f)

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 3|Page


MODUL PPH BADAN

BAB II Objek PPh Badan

OBJEK PAJAK

Pada prinsipnya adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh oleh wajib pajak. Dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Penghasilan Badan Dalam Negeri


Semua penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh badan tersebut dengan
prinsip WWI (World Wide Income).Pasal 4 ayat 1.

2. Penghasilan Badan Luar Negeri (BUT maupun WPLN non-BUT)


Penghasilan Wajib Pajak Luar Negeri ada dua macam, yaitu:

a. Penghasilan WP Luar Negeri BUT


1) Penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT dan dari harta yang dimiliki atau
dikuasai.
2) Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang atau
pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dilakukan atau
dijalankan oleh BUT di Indonesia.
3) Penghasilan yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat
hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan
penghasilan tersebut.

b. Penghasilan WP Luar Negeri Non-BUT


Adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh badan luar negeri yang bukan
berasal dari usaha atau kegiatan di Indonesia tetapi berupa penghasilan modal
(Passive Income).

A. Klasifikasi Objek Pajak Badan

Secara umum yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk
apa pun.

Penghasilan di Indonesia dapat digolongkan menjadi:


1. Penghasilan yang merupakan objek pajak PPh dengan tarif umum (psl 4 ayat 1)
2. Penghasilan yang merupakan objek PPh yang dipotong PPh Final (psl 4 ayat 2)
3. Penghasilan yang bukan merupakan objek pajak (Pasal 4 ayat 3)

Pasal 4 ayat 1 UU PPh pada dasarnya menyatakan bahwa objek pajak badan adalah
tambahan kemampuan ekonomis tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga)
macam yaitu:

1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 4|Page


MODUL PPH BADAN

Laba usaha, presmi asuransi (yang siterima perusahaan asuransi), iuran yang
diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya, hadiah dari pekerjaan atau
kegiatan, dan penghargaan (yang diterima badan).

2. Penghasilan dari Modal (investasi)


Modal yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti bunga, dividen,
royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan
untuk usaha.

3. Penghasilan dari Lain-lain.


seperti pembebasan utang dan hadiah.

B. Klasifikasi Penghasilan Bukan Objek Pajak (Pasal 4 ayat 3)

Yang dikecualikan dari objek pajak berdasarkan UU PPh adalah:


a. Bantuan atau Sumbangan Termasuk Zakat Yg Diterima Badan Amil Zakat/Lembaga
Amil Zakat Yang Dibentuk/Disahkan Pemerintah Dan Penerima Zakat Yg Berhak,
Sumbangan Keagamaan Yg Sifatnya Wajib Yg Diterima Oleh Lembaga Keagamaan
Yg Sah Dan Penerima Sumbangan Yg Berhak, sepanjang tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak‐ pihak
yang bersangkutan;
b. warisan;
c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham
atau sebagai pengganti penyertaan modal;
d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau
Pemerintah,
f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai
Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha
milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan
bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
1. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik
daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang
memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah
modal yang disetor;
g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pension yang pendiriannya telah disahkan
Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun, dalam bidang-bidang
tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
k. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian
laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau
kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
1. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan
kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan; dan
2. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 5|Page


MODUL PPH BADAN

l. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
m. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak
dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah
terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam
bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak
diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan
n. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Badan–badan dan OP yang menjalankan usaha mikro dan kecil yang menerima harta
hibah, bantuan, atau sumbangan yang tidak termasuk sebagai objek PPh (PMK
245/PMK.03/2008):

1. Harta hibah, bantuan, sumbangan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, pendidikan, sosial termasuk
yayasan dan koperasi, OP yang menjalankan usaha mikro dan kecil, dikecualikan
sebagai objek PPh.
2. Berlaku apabila pihak pemberi tidak mempunyai hubungan usaha, pekerjaan,
kepemilikan atau penguasaan dengan penerima

Penetapan saat diperolehnya dividen oleh WPDN atas penyertaan modal pada badan
usaha di LN selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek (PMK
256/PMK.03/2008)

1. Saat diperolehnya dividen:


a. Pada bulan ke-4 setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian SPT
Tahunan PPh badan usaha LN; atau
b. Pada bulan ke-7 setelah tahun pajak berakhir apabila badan usaha LN tidak
memiliki kewajiban penyampaian SPT Tahunan PPh atau tidak ada batas waktu
penyampaian.
2. WPDN:
a. memiliki penyertaan modal paling rendah 50% dari jumlah saham disetor.
b. secara bersama-sama dengan WPDN lainnya memiliki penyertaan modal paling
rendah 50% dari jumlah saham disetor.

C. Objek Pajak Yang Dikenakan PPh Final

Dibawah ini adalah daftar Objek Pajak Badan yang dikenakan PPh Final,antara lain:

No Objek Pajak Tarif Dasar Hukum


1 Penghasilan yang diterima/diperoleh PP No. 41/1994 jo.
Badan dari transaksi penjualan saham di PP No. 14/1997 jo.
bursa efek: PP No. 59/1999
- untuk semua transaksi semua saham 0,1% x Ph Bruto 282/KMK.04/1997

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 6|Page


MODUL PPH BADAN

- untuk transaksi penjualan saham (0,1% x Ph Bruto + SE-06/PJ.04/1997


pendiri 0,5% x nilai saham
pada saat IPO)
Penghasilan dari transaksi derivatif 2,5% x margin awal PP No. 17 / 2009
berupa kontrak berjangka yang
diperdagangkan di bursa
2 Penghasilan berupa hadiah undian 25% x Ph Bruto PP 132/2000

3 Penghasilan bunga deposito yg diterima PP 131/2000


Badan, termasuk simpanan pada bank 20% x Ph Bruto KMK:51/KMK04/
DN yg memiliki cabang di LN 2001
4 Penghasilan bunga tabungan, jasa giro, 20% x Ph Bruto PP 131/2000
dan diskonto SBI KMK:51/KMK04/
2001

5 Penghasilan perusahaan ventura dari


transaksi penjualan saham atau
pengalihan penyertaan modal pada 0,1% x Ph Bruto PP No. 4/1995
perusahaan pasangan usaha
(syaratnya: merupakan pengusaha kecil
dan sahamnya tidak diperdagangkan di
bursa efek di Indonesia)
6 Penghasilan sewa tanah dan atau 10% x Ph Bruto PP 5/2002
bangunan
7 Penghasilan yang diterima WP 1,2% x Ph Bruto KMK416/KMK04/1
perusahaan pelayaran DN 996 jo. SE-
29/PJ.04/1996
8 Penghasilan yang diterima WP 2,64% x Ph Bruto KMK417/KMK.04/
perusahaan pelayaran dan/atau 1996
penerbangan LN
9 Penghasilan yang diterima/diperoleh
WP Badan berupa bunga atau diskonto
obligasi
- diterima WP DN 15% x Ph Bruto PP No. 16/2009
- diterima WP LN 20% x Ph Bruto
Diterima Reksadana: 0% untuk tahun 2009
– 2010
5% untuk tahun 2011
– 2013
15% untuk tahun
2014 - dst
10 Penghasilan selisih lebih karena 10% x selisih dari PMK.79/PMK03/
revaluasi aktiva tetap nilai appraisal dan 2008
NSBF (tanpa
memperhitungkan
kompensasi rugi)

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 7|Page


MODUL PPH BADAN

11 Pungutan PPh atas penyerahan KMK No


premium, solar, premix kepada 254/KMK.03/2001
- SPBU Pertamina 0,25% x penjualan stdtd
- SPBU swastanisasi 210/PMK.03/2008
0,30% x penjualan
jo
KEP-417/PJ./2001
12 Pungutan PPh oleh Pertamina dan KMK No
badan usaha selain Pertamina atas 0,30% x penjualan 254/KMK.03/2001
minyak tanah, gas LPG dan pelumas stdtd
210/PMK.03/2008
jo
KEP-417/PJ./2001
13 Penghasilan dari penjualan harta di
Indonesia yang diterima WP LN selain 20% x perkiraan Ph Pasal 26 UU PPh
BUT dan premi asuransi yg dibayarkan Bruto
kepada perusahaan asuransi di LN
14 Penghasilan Kena Pajak sesudah
dikurangi pajak dari suatu BUT di 20% (PKP – Pajak) Pasal 26 ayat (4)
Indonesia (kecuali penghasilan tsb UU PPh
ditanamkan kembali di Indonesia PMK No.
257/PMK.03/2008
15 Penghasilan yg siterima/diperoleh WP
LN atas penghasilan yg bersumber dari
Indonesia berupa:
- Dividen
- Bunga, termasuk premium, diskonto,
dan imbalan sehubungan dengan
20% x Ph Bruto Pasal 26 UU PPh
jaminan pengembalian utang
- Royalti, sewan dan penghasilan lain
sehubungan dengan penggunaan
harta
- Hadiah dan penghargaan
- Pensiun dan pembayaran berkala
lainnya
16 Penghasilan dari Pengalihan Hak atas 2,5% x jumlah bruto PP No. 34 Tahun
Tanah dan/atau Bangunan 1% x jumlah bruto 2016
(untuk RS dan RSS) (merupakan
Perubahan atas
PP No 48 Tahun
1994)

17 Penghasilan dari Jasa Konstruksi PP No. 51 Tahun


a. Pelaksanaan Konstruksi 2008 jo PMK No.
 dilakukan Penyedia Jasa dengan 2%, 187/PMK.03/2008
kualifikasi usaha kecil

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 8|Page


MODUL PPH BADAN

 dilakukan oleh Penyedia Jasa 4%,


yang tidak memiliki kualifikasi
usaha
 dilakukan oleh Penyedia Jasa 3%
dengan kualifikasi usaha
menengah dan besar
b. Perencanaan Konstruksi atau
Pengawasan Konstruksi
 dilakukan oleh Penyedia Jasa
yang memiliki kualifikasi usaha 4%
 dilakukan oleh Penyedia Jasa
yang tidak memiliki kualifikasi 6%
usaha

Cara Menghitung PPh Terutang

Penghitungan PPh terutang dapat dilihat dalam pasal 16 UU PPh. PKP bagi WP dalam
suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan penghasilan dengan biaya yang
berkaitan dengan mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang
merupakan objek pajak. Pengurangan tersebut akan menghasilkan penghasilan neto.
Untuk mencari PPh terutang, penghasilan neto yang merupakan PKP dikalikan tariff
pasal 17 UU PPh.

I. Tarif Pajak untuk WP Badan Umum

Sampai dengan Tahun 2008


Wajib Pajak Badan dikenakan pajak penghasilan dengan tarif progresif sebagai berikut:

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak


Sampai dengan Rp 50.000.000 10 %
Di atas Rp 50.000.000 s.d. Rp 100.000.000 15%
Di atas Rp 100.000.000 30%

Contoh:

JUMLAH PKP Rp 200.000.000,00

PPh TERUTANG :
10% X Rp 50.000.000 = Rp 5.000.000
15% X Rp 50.000.000 = Rp 7.500.000
30% X Rp 100.000.000 = Rp 30.000.000
Rp 42.500.000

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 9|Page


MODUL PPH BADAN

Mulai Tahun 2009


Wajib Pajak Badan dikenakan pajak penghasilan dengan tarif single rate sebesar 28%
dan untuk tahun 2010 diturunkan menjadi 25%

Contoh:

2009
PPh TERUTANG :
28% X Rp 200.000.000 = Rp56.000.000,00

2010
PPh TERUTANG :
25% X Rp 200.000.000 = Rp50.000.000.00

II Tarif PPh bagi Perusahaan Go Public

Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit
40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya
dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif umum (PP
No. 81 Tahun 2007 jo PMK No. 238/PMK.03/2008 ).

Contoh kondisi yang memenuhi kriteria:

Contoh 1:
Dari keseluruhan saham PT Y Tbk. yang disetor, saham yang dimiliki publik sebesar
60%.Saham yang dimiliki publik tersebut dimiliki oleh 400 pihak. Oiantara 400 pihak,
terdapat 1 pihak yang persentase kepemilikannya sebesar 7%, sisanya 399 pihak hanya
memiliki persentase kepemilikan kurang dari 5%. Kondisi tersebut terjadi selama 234
(dua ratus tiga puluh empat) hari dalam 1 (satu) tahun pajak. PT Y Tbk. tetap memenuhi
ketentuan persentase kepemilikan kurang dari 5% sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (3), sehingga tetap memperoleh fasilitas penurunan tarif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1).

Contoh 2:
Dari keseluruhan saham PT Z Tbk. yang disetor, saham yang dimiliki publik sebesar
45%.Saham yang dimiliki publik tersebut dimiliki oleh 399 pihak. Persentase
kepemilikan para pihak paling tinggi sebesar 4,99%. Kondisi tersebut terjadi selama 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam 1 (satu) tahun pajak.Dengan demikian PT Z Tbk.
memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (4) sehingga memperoleh fasilitas penurunan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal2 ayat (1).

3. Contoh kondisi yang tidak memenuhi kriteria:


Dari keseluruhan saham PT XYZ Tbk. yang disetor, saham yang dimiliki publik sebesar
45%.Saham yang dimiliki publik tersebut dimiliki oleh 325 pihak. Diantara 325 pihak,
terdapat 1 pihak yang persentase kepemilikannya sebesar 7%, sisanya 324 pihak hanya
memiliki persentase kepemilikan kurang dari 5%. Kondisi terse but terjadi selama 200
(dua ratus) hari kalender dalam 1 (satu) tahun pajak. PT XYZ Tbk. tidak memenuhi
ketentuan jumlah kepemilikan saham publik 40% (hanya 38%) sebagaimana dimaksud

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 10 | P a g e


MODUL PPH BADAN

dalam Pasal2 ayat (2), sehingga tidak dapat memperoleh fasilitas penurunan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal2 ayat (1)

III Tarif PPh bagi UMKM

Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp
50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan
tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
UU PPh yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto
sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Contoh 1:
Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp4.500.000.000,00 (empat
miliar lima ratus juta rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Penghitungan pajak yang terutang:
Seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari peredaran bruto tersebut dikenai
tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif Pajak Penghasilan badan yang berlaku
karena jumlah peredaran bruto PT Y tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah).
Pajak Penghasilan yang terutang:
(50% x 28%) x Rp500.000.000,00 = Rp70.000.000,00

Contoh 2:
Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp30.000.000.000,00 (tiga
puluh miliar rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah).

Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang:

1. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh
fasilitas (Rp 4.800.000.000,00 : Rp 30.000.000.000,00) x Rp 3.000.000.000,00 = Rp
480.000.000

2. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh
fasilitas : Rp 3.000.000.000,00 – Rp 480.000.000,00 = Rp 2.520.000.000,00

Pajak Penghasilan yang terutang:


‐ (50% x 28%) x Rp 480.000.000,00 = Rp 67.200.000,00
‐ 28% x Rp 2.520.000.000,00 = Rp 705.600.000,00(+)
Jumlah Pajak Penghasilan yang terutang Rp 772.800.000,00

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 11 | P a g e


MODUL PPH BADAN

BAB III Rekonsiliasi Fiskal

Rekonsiliasi fiskal dilakukan baik untuk pos-pos pendapatan maupun pos-pos biaya.
Secara ringkas dilakukan rekonsiliasi fiskal dalam hal:
a. WP memiliki penghasilan yang dikenakan PPh Final (Psl 4 ayat 2)
Apabila WP memiliki penghasilan yang dikenakan PPh Final maka penghasilan
tersebut harus direkonsiliasi (dikeluarkan dari perhitungan PPh terutang pada akhir
tahun) karena atas penghasilan tersebut telah dikenakan PPh Final sehingga
kewajiban perpajakannya sudah selesai.

b. WP memiliki penghasilan yang bukan nerupakan objek pajak (Psl 4 ayat 2)


Apabila WP memiliki penghasilan yang bukan merupakan objek pajak maka
penghasilan tersebut juga harus dikeluarkan dari Penghasilan Kena Pajak karena
tidak ada PPh yang terutang dari penghasilan tersebut.

c. WP mengeluarkan biaya-biaya yang tidak boleh menjadi pengurang penghasilan-


NDE (Psl 9)
Apabila WP mengeluarkan biaya yang tidak boleh menjadi pengurang penghasilan
maka biaya tersebut tidak bias diperhitungkan sebagai pengurang dalam
menghitung penghasilan kena pajak dan PPh terutang pada akhir tahun.

d. WP mengeluarkan biaya yang boleh menjadi pengurang tetapi metode pengakuan


biaya tersebut diatur tersendiri oleh ketentuan fiskal
Apabila WP mengeluarkan biaya yang metode pengakuannya diatur tersendiri oleh
pajak maka besarnya biaya yang boleh menjadi pengurang juga harus disesuaikan.

e. WP mengeluarkan biaya-biaya yang dikeluarkan bersama-sama untuk


mendapattkan penghasilan yg telah dikenakan final atau penghasilan yg bukan
objek pajak serta penghasilan yang dikenakan PPh non Final
Apabila WP mengeluarkan biaya yang semata-mata digunakan untuk mendapatkan
penghasilan yang telah dikenakan PPh final atau yang bukan objek PPh, maka biaya
tersebut harus direkonsiliasi seluruhnya.Tetapi apabila biaya dikeluarkan untuk
memperoleh semua jenis penghasilan, maka yang boleh menjadi pengurang
dihitung secara proporsional.

KOMPENSASI KERUGIAN

Jika Wajib Pajak yang menggunakan pembukuan mengalami kerugian dalam tahun-
tahun sebelumnya maka kerugian fiskal dapat dikompensasi selama 5 tahun sejak
dialaminya kerugian (Pasal 6 ayat 2 UU PPh)

Kompensasi kerugian hanya diperbolehkan diisi oleh WP yang menyelenggarakan


pembukuan.Kompensasi yang boleh diisikan adalah jumlah kerugian fiskal yang telah
terjadi untuk tahun pajak selama 5 tahun.

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 12 | P a g e


MODUL PPH BADAN

Jika pengeluaran-pengeluaran yang diperbolehkan secara fiskal terdapat kerugian fiskal


maka kerugian fiskal tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan netto atau
laba fiskal selama 5 tahun berturut-turut.

Contoh:

PT A dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar Rp 1.200.000.000,00 (satu


miliar dua ratus juta rupiah). Dalam 5 (lima) tahun berikutnya laba rugi fiskal PT A
sebagai berikut :
2010 : laba fiskal Rp 200.000.000,00
2011 : rugi fiskal (Rp 300.000.000,00)
2012 : laba fiskal Rp N I H I L
2013 : laba fiskal Rp 100.000.000,00
2014 : laba fiskal Rp 800.000.000,00

Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut :

Rugi fiskal tahun 2009 (Rp 1.200.000.000,00)


Laba fiskal tahun 2010 Rp 200.000.000,00 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp 1.000.000.000,00)
Rugi fiskal tahun 2011 (Rp 300.000.000,00)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp 1.000.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2012 Rp N I H I L (+)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp 1.000.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2013 Rp 100.000.000,00 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp 900.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2014 Rp 800.000.000,00 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp 100.000.000,00)

Rugi fiskal tahun 2009 sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) yang masih
tersisa pada akhir tahun 2014 tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun
2015, sedangkan rugi fiskal tahun 2011 sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah) hanya boleh dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2015 dan tahun 2016,
karena jangka waktu lima tahun yang dimulai sejak tahun 2012 berakhir pada akhir
tahun 2016.

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 13 | P a g e


MODUL PPH BADAN

BAB IV BIAYA FISKAL

PENGGOLONGAN BIAYA FISKAL


Secara umum yang dimaksud dengan biaya yang dapat dibebankan sebagai pengurang
penghasilan bruto (biaya fiskal) adalah pengeluaran-pengeluaran yang mempunyai
hubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha atau kegiatan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara (3M) penghasilan yang merupakan objek
pajak. Dengan demikian, pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak tidak boleh dibebankan
sebagai biaya.

Biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh perusahaan untuk menjalankan usaha/kegiatan


tidak seluruhnya diakui oleh pajak sebagai pengurang penghasilan. Pada prinsipnya
biaya tersebut dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu:
A. Biaya yang merupakan pengurang penghasilan tanpa syarat apapun, yaitu:
1. Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang memilki
masa manfaat tidak lebih dari satu tahun (Pasal 6 ayat 1 huruf a UU Pajak
Penghasilan)
2. Kerugian karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem
pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar
Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia. (Pasal 6 ayat 1 huruf e UU Pajak
Penghasilan)

B. Biaya yang merupakan pengurang penghasilan dengan syarat-syarat tertentu, yaitu


1. Beban penyusutan atau pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan
amortisasi untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai manfaat
lebih dari 1 tahun (Pasal 6 ayat (1) huruf b)
Syaratnya: apabila harta tersebut adalah harta yang dmiliki dan digunakan untuk
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang merupakan objek
pajak (Pasal 11 ayat 1 dan 1A UU Pajak Penghasilan).

2. Iuran kepada dana pensiun (Pasal 6 ayat 1 huruf c UU Pajak Penghasilan)


Syaratnya: Dana pensiun tersebut pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan.

3. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta (Pasal 6 ayat 1 huruf d UU


Pajak Penghasilan)
Syaratnya: harta yang dialihkan dimiliki dan digunakan untk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan.

4. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan (Pasal 6 ayat 1 huruf f UU


Pajak Penghasilan)
Syaratnya: dilakukan di Indonesia

5. Biaya bea siswa, magang dan pelatihan (Pasal 6 ayat 1 huruf g UU Pajak
Penghasilan)
Syarat: untuk peningkatan SDM dan memperhatikan kewajaran dan kepentingan
perusahaan

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 14 | P a g e


MODUL PPH BADAN

6. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih (Pasal 6 ayat 1 huruf h UU Pajak
Penghasilan)
Syarat: memenuhi syarat kumulatif yaitu:
1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih
kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
3. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau
instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian
tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur
dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan
umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya
telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
4. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk
penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k.

7. Sumbangan (Pasal 6 ayat (1) huruf I s.d. m UU PPh)


Syarat: merupakan:
 sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional;
 sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia;
 biaya pembangunan infrastruktur sosial;
 sumbangan fasilitas pendidikan; dan
 sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga,
yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

C. Biaya-biaya yang tidak dapat dijadikan pengurang (Pasal 9 UU Pajak Penghasilan)


Jenis biaya yang tidak bisa dikurangkan berdasarkan Pasal 9 UU Pajak Penghasilan
dapa dikelompokkan menjadi:

1. Alasan pengalihan titik pemajakan, yaitu:


a) Biaya yang dibebankan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu
atau anggota. (Pasal 9 ayat 1 huruf b)
b) Biaya yang dibebankan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau
tanggungannya. (Pasal 9 ayat 1 huruf i)
c) Harta yang dihibahkan, bantuan, sumbangan dan warisan, kecuali zakat atas
penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak pemeluk agama
Islam atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama
yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah (Pasal 9 ayat 1 huruf g)
d) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan. (Pasal 9 ayat 1 huruf e)

2. Alasan pengalihan saat pemajakan


Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi,
kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai
penghasilan bagi Wajib Pajak tersebut.

3. Alasan Insentif Investasi dan Prinsip Realisasi

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 15 | P a g e


MODUL PPH BADAN

Pembentukan dan pemupukan dana cadangan, kecuali:


1. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang
menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan
pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang;
2. cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang
dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
3. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
4. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
5. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
6. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah
industri untuk usaha pengolahan limbah industri,
yang ketentuan dan syaratnya ditentukan oleh menteri Keuangan. (Pasal 9 ayat
1 huruf c).

4. Alasan Membina Kepatuhan Wajib Pajak


Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana
berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundangan di bidang
perpajakan. (Pasal 9 ayat 1 huruf k)

5. Menghindari Perhitungan Berganda (Multiple Counting)


Pajak Penghasilan tidak boleh mengurangi penghasilan bruto untuk menghitung
penghasilan kena pajak. (Pasal 9 ayat 1 huruf h)

6. Penegasan Standar Akuntansi


Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham. (Pasal 9 ayat 1 huruf j)

D. Perlakuan Khusus Biaya-Biaya Fiskal


1. Pembentukan dana cadangan
Cadangan yang diperbolehkan adalah berdasarkan KMK. 80/KMK.04/1995 jo.
KMK.235/KMK.01/1998 dan KMK.204/KMK.04/2000 serta PMK Nomor
83/PMK.03/2006.ketentuannya yaitu:
a. Cadangan penghapusan piutang tak tertagih
a.1. usaha bank sesuai dengan pembukuan
a.2. usaha SGU dengan hak opsi sesuai dengan pembukuan, maksimum
2,5% dari rata-rata saldo awal dan saldo akhir piutang
b. Cadangan premi
b.1. usaha asuransi jiwa, besarnya cadangan premi berdasarkan perhitungan
aktuaria dan mendapat pengesahan dari Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
di bidang perasuransian.
b.2. usaha asuransi kerugian, besarnya cadangan premi sebesar 40% dari
jumlah premi tanggungan sendiri yang diterima/diperoleh dalam tahun
pajak yang bersangkutan.

c. Cadangan biaya reklamasi


Usaha pertambangan, besarnya cadangan biaya reklamasi dihitung dengan
menggunakan satuan prouksi yang didasarkan pada jumlah taksiran biaya
reklamasi.

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 16 | P a g e


MODUL PPH BADAN

2. Penyediaan Makanan dan Minuman Oleh Pemberi Kerja Bagi Sebagian Pegawai
di Tempat Kerja Tetap Deductible
Berdasarkan SE-14/PJ.31/2003 ketentuan penyediaan makanan dan minuman
bagi para pegawai perusahaan di tempat kerja tidak mutlak seluruh pegawai
perusahaan termasuk dewan direksi dan dewan komisaris. Apabila terdapat
sejumlah pegawai yang tidak memanfaatkan fasilitas tersebut tidak
membatalkan pemenuhan persyaratan sesuai prinsip diatas, sepanjang pegawai
tersebut sesuai dengan pekerjaannya tidak dapat menerima makanan dan
minuman di tempat kerja (contoh: petugas lapangan).

3. Perlakuan zakat atas penghasilan dalam penghitungan PKP


Berdasarkan Kep-163/PJ./2003 Wajib Pajak yang melakukan pengurangan
zakat atas penghasilan, wajib melampirkan lembar ke 1 Surat Setoran Zakat atau
fotokopi yang telah dilegilir oleh Badan Amil penerima.

4. Pembayaran Pajak dan Retribusi Daerah Menjadi Biaya


Berdasarkan SE-02/PJ.42/2002 tentang perlakuan Pajak Penghasilan unuk
PDRD semua pengeluaran unuk PDRD harus langsung dibiayakan pada tahun
berjalan kecuali sanksi bunga, denda, atau kenaikan.

5. Kenikmatan dan Fasilitas Yang diberikan Untuk Pegawai Dapat Dibiayakan 50%
Berdasarkan KEP-220/PJ./2002 tentang perlakukan Pajak Penghasilan atas
biaya pemakaian Ponsel dan kendaraaan perusahaan jo SE-09/PJ.42/2002
diatur hal-hal sebagai berikut:
a. Pembelian HP bagi pegawai untuk keperluan pekerjaan sebesar 50% nya
dicatat sebagai pembelian aktiva tetap kelompok I dan dibiayakan melalui
penyusutan.
b. Biaya pulsa dan servis HP 50% nya dapat dibiayakan
c. Pembelian maupun perbaikan besar (Capital Expenditure) atas bus atau
minibus yang dimiliki dan digunakan untuk antar jemput pegawai dicatat
seluruhnya sebagai pembelian aktiva tetap golongan II dan dapat dibebankan
sebagai biaya melalui penyusutan.
d. Biaya servis rutin atas bus dan minibus tsb dapat dibebankan seluruhnya
sebagai biaya
e. Pembelian maupun perbaikan besar atas sedan atau sejenisnya yang dimiliki
dan digunakan pegawai tertentu karena jabatannya dicatat 50% nya sebagai
pembelian aktiva tetap gol II dan dapat dibebankan sebagai biaya melalui
penyusutan
f. Biaya servis rutin kendaraan tsb diatas dicatat 50%-nya sebagai biaya.
g. Fasilitas bagi pegawai berupa HP dan antar jemput bukan penghasilan
pegawai.
h. Termasuk kategori ponsel adalah pager
i. Termasuk kategori sedan adalah minibus (kijang dan sejenisnya)
j. Termasuk kategori biaya pemeliharaan adalah biaya bahan bakar.

6. Pembelian Software Umum Dapat Dibiayakan, Software Khusus Melalui


Amortisasi
Berdasarkan KEP-316/PJ./2002 tentang perlakuan Pajak Penghasilan atas
biaya perolehan dan upgrade software, maka diatur hal:
a. Perlakuan Pajak Penghasilan atas software umum
- Software umum adalah software yg digunakan oleh user umum

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 17 | P a g e


MODUL PPH BADAN

- Biaya perolehan dan upgrade merupakan revenue expenditure dan diakui


pada saat pengeluaran.
- Bila software umum dibeli bersama dengan hardware maka biaya
perolehannya dikapitalisasi bersama nilai hardware dan masuk aktiva
berwujud kelompok I.

b. Perlakuan Pajak Penghasilan atas software khusus


- Software khusus adalah program yang dirancang untuk keperluan
otomatisasi kegiatan tertentu
- Biaya perolehannya dikapitalisasi sebagai intangible assets kelompok 1
dan diamortisasi selama 4 tahun.
Bila software khusus di upgrade maka pengeluarannya ditambahkan pada
NSBF software yang bersangkutan dan diamortisasi dengan masa manfaat
baru/penuh mulai bulan yang bersangkutan.

7. Pembayaran PBB Menjadi Biaya, BPHTB melalui Amortisasi


Berdasarkan SE-01/PJ.42/2002 tentang perlakukan Pajak Penghasilan untuk
PBB dan BPHTB, maka:
a. Biaya PBB harus langsung dibiayakan pada tahun berjalan
b. Biaya BPHTB untuk pembelian tanah dicatat sebagai aktiva tidak berwujud
dan diamortisasi sesuai pasal 11A sesuai masa hak atas tanah.
c. Biaya BPHTB untuk pembelian bangunan dicatat dikapitalisasi ke nilai
bangunan dan didepresiasi sesuai pasal 11.

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 18 | P a g e


MODUL PPH BADAN

BAB V Penilaian Harta Perusahaan

PENGANTAR

Salah satu objek Pajak Penghasilan adalah keuntungan atas pengalihan harta yaiu
selisih harga pasar wajar harta tersebut dengan nilai bukunya. Tetapi kadang harga
pasar wajar suatu harta susah ditentukan karena jual beli dilakukan dengan pihak yang
memiliki hubungan istimewa. Akibatnya timbul masalah dalam penentuan berapa laba
atau rugi pengalihan harta.
Disamping itu imbul juga masalah pada harga berapa seharusnya pembeli mencatat
harga perolehan harta tersebut.Agar tidak terjadi perdebatan antara fiskus dengan
Wajib Pajak tentang hal ini maka ditetapkan ketentuan tentang penilaian harta.

PENILAIAN HARTA
Penilaian harta ditentukan oleh harga perolehan suatu aktiva. Dibawah ini dijelaskan
penilaian harta menurut ketenuan pajak.
1. Persediaan Barang Dagangan.
Untuk menilai persediaan barang dagangan metode yang diperkenankan adalah
FIFO dan rata-rata dengan berdasarkan pada nilai historical cost persediaan tsb.

2. Akiva Tetap
Yang termasuk harga perolehan aktiva tetap adalah harga beli dan biaya yang
dikeluarkan dalam rangka memperoleh harta tersebut seperti bea masuk, biaya
angkut, dan biaya pemasangan.

3. Tanah
Pengeluaran untuk memperoleh tanah termasuk pengurusan hak-hak atas tanah
dari instansi berwenang untuk pertama kalinya dikapitalisasi dalam harga tanah.

4. Biaya Pra Operasi


Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 tahun, dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi.

TRANSAKSI YANG BERKAITAN DENGAN PENILAIAN HARTA


Beberapa transaski akan mempengaruhi harga perolehan suatu aktiva, diantaranya:
1. Jual Beli
Suatu transaksi jual beli mungkin dipengaruhi oleh hubungan istimewa dan mungkin
juga tidak.Dalam hal jual beli dipengaruhi hubungan istimewa maka penentuan
harga perolehan adalah harga yang seharusnya dibayar (bagi pembeli) atau
diterima (bagi penjual).
Sedangkan bila tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka harga jual beli
adalah harga yang sesungguhnya dibayar (bagi pembeli, atau diterima (bagi
penjual).

2. Tukar Menukar

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 19 | P a g e


MODUL PPH BADAN

Harta yang diperoleh berdasarkan transaksi tukar menukar dengan harta lain, nilai
perolehan atau nila penjualan adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau
diterima berdasarkan harga pasar wajar.

3. Penarikan Harta
Apabila suatu harta dijual maka penerimaan dibukukan sebagai penghasilan
pada tahun terjadinya penjualan dan NSBF dari harta tersebut dibebankan sebagai
kerugian dalam tahun pajak tersebut.Keuntungan atau kerugian karena pengalihan
harta dikenakan pajak dalam tahun dilakukannya pengalihan tersebut.
Apabila suatu harta terbakar, maka asuransinya dibukukan sebagai penghasilan
pada tahun diterimanya pengganian asuransi, dan NSBF dibebankan sebagai
kerugia pada tahun yang bersangkutan.

4. Pengalihan harta untuk setoran modal


Pada prinsipnya pengalihan harta dalam bentuk apapun (jual beli, setoran modal,
tukar menukar, dll.), penilaian hartanya didasarkan pada harga pasar.

5. Pengalihan harta dalam rangka likuidasi, merger, konsolidasi, pemekaran atau


pengambilalihan
Pada dasarnya nilai pengalihan harta dalam rangka likuidasi, merger, konsolidasi,
pemekaran atau pengambilalihan adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau
diterima berdasarkan harga pasar.Metode yang seharusnya digunakan adalah
metode Purchase dan perusahaan yang mengalihkan aktiva harus mengakui capital
gain/loss.Tetapi berdasarkan PMK No. 43/PMK.03/2008, bagi Wajib Pajak yang
melakukan pengalihan harta dalam rangka penggabungan usaha (merger) atau
peleburan usaha (konsolidasi) yang memenuhi syarat, serta pemekaran usaha
(expansion) dalam rangka menjual sahamnya di bursa efek.Jika hal tersebut diatas
memenuhi syarat yang ditentukan maka NSBF dari aktiva tersebut dapat dijadikan
sebagai dasar penilaian aktiva.Perusahaan yang dimerger serta perusahaan yang
menerima aktiva sama-sama mencatat penyerahan dan penerimaan harta sebesar
nilai buku dan tidak mengakui adanya laba atau rugi atas pengalihan harta (pooling
of interest).

6. Hibah, Sumbangan dan Warisan


Pengalihan harta dengan alasan hibah, sumbangan atau warisan yang memenuhi
pasal 4 ayat 3 huruf a dan b (yang menyerahkan adala OP dan yang menerima
adalah anggota keluarga sedarah lurus satu derajat atau badan sosial) dicatat
sebesar nilai buku harta yang dihibahkan pada catatan si penerima.Sedangkan
pemberi tidak boleh mencatat kerugian atas penyerahan tersebut.

7. Revaluasi Aktiva Tetap (PMK.79/PMK03/2008)


Revaluasi adalah penilaian kembali harta yang tercatat sebesar NSBF menjadi
sebesar harga pasar.Nilai harta setelah dilakukan revaluasi adalah sebesar nilai
yang disetujui oleh Ditjen Pajak.Untuk dapat diseujui oleh Ditjen Pajak, atas selisih
antara nilai buku sebelum revaluasi dan nilai buku setelah revaluasi Wajib Pajak
dikenakan Pajak Penghasilan Final 10%.Setelah disetujui Wajib Pajak dapat
menyusutkan harta dengan dasar penyusutan yang baru (sebesar nilai harta yang
disetujui Ditjen Pajak).

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 20 | P a g e


MODUL PPH BADAN

BAB VI Penyusutan dan Amortisasi


PENYUSUTAN

Hal-hal yang menentukan besarnya biaya penyusutan adalah nilai perolehan, umur
ekonomis, metode penyusutan serta nilai sisa harta.

A. Umur Ekonomis
Menurut ketentuan pajak, umur ekonomis/masa manfaat suatu aktiva ditentukan
berdasarkan kelompok sebagai berikut:

Kelompok Harta Berwujud Masa manfaat

I. Bukan Bangunan
Kelompok 1 4 tahun
Kelompok 2 8 tahun
Kelompok 3 16 tahun
Kelompok 4 20 tahun

II. Bangunan
Permanen 20 tahun
Tidak Permanen 10 tahun

Dalam rangka memberikan keseragaman kepada Wajib Pajak, Menteri Keuangan


telah menetapkan jenis-jenis harta yang termasuk ke dalam setiap kelompok masa
manfaat yang harus diikuti oleh Wajib Pajak. PMK No. 138/PMK.03/2002 tanggal 8
April 2002.

B. Metode Penyusutan
Metode penyusutan yang diperbolehkan secara fiskal adalah:
a. Metode Garis Lurus, yaitu penyusutan dalam bagian-bagian yang sama besar
selama masa manfaat yang ditetapkan bagi harta tersebut.
b. Metode Saldo Menurun, yaitu penyusutan dalam bagian-bagian yang menurun
dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku. Jika Wajib Pajak
memilih menggunakan meode ini, nilai sisa buku pada akhir masa manfaat harus
disusutkan sekaligus.

C. Nilai Sisa
Menurut ketentuan pajak, nilai sisa suatu aktiva setelah berakhirnya masa manfaat
adalah nihil.Jadi, pajak tidak mengenal nilai sisa / nilai residu sehingga semua nilai
perolehan harta harus habis disusutkan.

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 21 | P a g e


MODUL PPH BADAN

D. Tarif Penyusutan
Tarif penyusutan ditentukan berdasarkan metode serta umur ekonomis harta. Bila
suatu harta ditentukan masuk kelompok I maka umur ekonomisnya dianggap 4
tahun.

Dibawah ini tercantum daftar selengkapnya dari tarif penyusutan .

Tarif Penyusutan
Kelompok Harta Masa
Berwujud manfaat Garis Lurus Saldo Menurun
I. Bukan Bangunan
Kelompok 1
Kelompok 2 4 tahun 25 % 50 %
Kelompok 3 8 tahun 12.5 % 25 %
Kelompok 4 16 tahun 6.25 % 12.5%
20 tahun 5% 10 %
II. Bangunan
Permanen 20 tahun 5%
Tidak Permanen 10 tahun 10 %

Bangunan tidak permanen didefinisikan sebagai bangunan yang bersifat sementara


dan terbuat dari bahan yang tidak tahan lama atau bangunan yang dapat dipindah-
pindahkan, yang masa manfaatnya tidak lebih dari 10 tahun.Misalnya barak, atau
asrama yang dibuat dari kayu untuk karyawan.
Harta berwujud berupa bangunan hanya dapat disusutkan dengan meode garis
lurus. Sesuai dengan pembukuan Wajib Pajak alat-alat kecil yang sama atau sejenis
dapat disusutkan dalam satu kelompok.

E. Saat dimulainya penyusutan


Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran.Dengan persetujuan
Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai
bulan hartatersebut digunakan untuk kegiatan 3M atau pada bulan harta tersebut
mulai menghasilkan.

F. Penyusutan atas tanah


Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh tanah hak milik, termasuk tanah
berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali
tidak boleh disusutkan (dikapitalisasikan dalam harga tanah).
Biaya perpanjangan Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, dan Hak Pakai
diamorisasikan selama jangka waktu hak-hak tersebut.

G. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang


dimiliki dan digunakan dalam bidang usaha tertentu (PMK
249/PMK.03/2008)
Penyusutan dalam bagian yang sama besar selama masa manfaat.

Bidang usaha tertentu:


a. Kehutanan (hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan, berproduksi berkali-kali,
menghasilkan setelah ditanam > 1 tahun).

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 22 | P a g e


MODUL PPH BADAN

b. Perkebunan tanaman keras (berproduksi berkali-kali, menghasilkan setelah


ditanam > 1 tahun).
c. Peternakan (berproduksi berkali-kali, dapat dijual setelah dipelihara
sekurang-kurangnya 1 tahun).

Harta berwujud:
 Kehutanan meliputi tanaman kehutanan, kayu.
 Perkebunan tanaman keras meliputi tanaman keras.
 Peternakan meliputi ternak termasuk ternak sapi pejantan.

Penyusutan dimulai pada bulan produksi komersial (penjualan). Pengeluaran


termasuk biaya pembelian bibit, biaya untuk membesarkan dan memelihara bibit
(tidak termasuk biaya yang berhubungan dengan tenaga kerja).

AMORTISASI
Sebagaimana dengan aktiva tetap berwujud, aktiva tidak berwujud juga disusutkan
(diamortisasikan) dengan memperhatikan 5 hal, yaitu nilai perolehan, masa manfaat,
nilai sisa, metode amortisasi serta tarif.Namun sebagaimana engan namanya jenis
aktiva ini biasanya berupa hak atas kekayaan intelektual tertentu, atau atas biaya-biaya
pendirian perusahaan, yaitu biaya yang dikeluarkan pada saat perusahaan belum
beroperasi seperti biaya riset pemasaran, studi kelayakan dan lain-lain. Ketentuan pajak
atas amortisasi aktiva tidak berwujud hampir sama dengan ketentuan penyusutan.

Untuk menghiung amortisasi, masa manfaat dan tarif ditetapkan sebagai berikut:

Tarif Amortisasi
Kelompok Harta Masa
Berwujud manfaat Garis Lurus Saldo Menurun

Kelompok 1 4 tahun 25 % 50 %
Kelompok 2 8 tahun 12.5 % 25 %
Kelompok 3 16 tahun 6.25 % 12.5%
Kelompok 4 20 tahun 5% 10 %

Untuk harta tidak berwujud yang masa manfaatnya tidak tercantum pada kelompok
masa manfaat yang ada, maka Wajib Pajak menggunakan masa manfaat
terdekat.Misalnya masa manfaat sebenarnya 6 tahun dapat menggunakan kelompok
masa manfaat 4 tahun atau 8 tahun.Dalam hal masa manfaatnya 5 tahu, maka harta
tersebut menggunakan kelompok masa manfaat 4 tahun.

A. Amortisasi hak penambangan Migas


Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak di bidang penambangan
migas dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi.
Meode satuan produksi adalah perbandingan antara realisasi penambangan
migas pada tahun yang bersangkutan dengan taksiran jumlah seluruh kandungan
migas di lokasi tersebut yang dapat diproduksi.
Apabila jumlah produksi sebenarnya lebih kecil dari yang diperkirakan, sehingga
terdapat sisa pengeluaran unuk memperoleh hak atau pengeluaran lain, maka atas
sisa tersebut boleh dibebankan sekaligus dalam tahun pajak yang bersangkutan.

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 23 | P a g e


MODUL PPH BADAN

B. Amortisasi selain hak penambangan migas


Pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi,
hak pengusahaan hutan, atau hasil alam lainnya seperti hak pengusahaan hasil laut
diamortisasi berdasarkan metode satuan produksi dengan jumlah seinggi-ingginya
20% setahun.
C. Pengalihan harta tidak berwujud
Apabila terjadi pengalihan harta tidak berwujud, maka nilai sisa buku harta atau
hak-hak tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah yang diterima sebagai
penggantian merupakan penghasilan pada tahun terjadinya pengalihan tersebut.

D. Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan


pengeluaran lainnya untuk bidang usaha tertentu (PMK 248/PMK.03/2008)
Amortisasi untuk bidang usaha tertentu dimulai pada bulan dilakukannya
pengeluaran atau pada bulan produksi komersial.
Bidang usaha tertentu:
a. Kehutanan (hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan, berproduksi berkali-kali,
menghasilkan setelah ditanam > 1 tahun).
b. Perkebunan tanaman keras (berproduksi berkali-kali, menghasilkan setelah
ditanam > 1 tahun).
c. Peternakan (berproduksi berkali-kali, dapat dijual setelah dipelihara sekurang-
kurangnya 1 tahun).

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 24 | P a g e


MODUL PPH BADAN

BAB VII Bunga Pinjaman


Bunga pinjaman adalah bunga yang menjadi beban sehubungan dengan peminjaman
uang sepanjang pinjaman tersebut digunakan untuk usaha.tetapi tidak semua biaya
bunga boleh dibebankan sebagai biaya, yang tidak dapat dibebankan sebagai biaya
adalah:
a. bunga pinjaman sehubungan dengan penghasilan yang telah dikenakan pajak
bersifat final dan/atau yang tidak termasuk objek pajak.
b. Bunga pinjaman yang dikapitalisasi atau merupakan unsur harga pokok, seperti:
- bunga atas pinjaman yang digunakan untuk membeli saham yang sudah
beredar.
- Bunga atas pinjaman yang digunakan untuk membeli tanah bagi perusahaan real
estate.
- Bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk pembangunan selama masa
konstruksi.

Atas penghasilan berupa bunga deposito, tabungan, serta diskonto SBI yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak dipotong Pajak Penghasilan Final (PP No 131 tahun
2000 tanggal 15 Desember 2000).
Selanjutnya diatur bahwa atas biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih
dan memelihara penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final tidak dapat
dikurangkan dari penghasilan Wajib Pajak untuk penghitungan Penghasilan Kena
Pajak.(PP 138 tahun 2000 tanggal 21 Desember 2000). Dapat terjadi bahwa dana yang
ditempatkan dalam bentuk deposito berjangka atau tabungan lainnya berasal dari
pinjaman atau dana dari pihak ketiga yang dibebani biaya bunga.
Apabila hal tersebut terjadi, Wajib Pajak dapat memperkecil penghasilan kena
pajaknya secara tidak wajar karena bunga yang terutang atau dibayar atas pinjaman
tersebut dikurangkan sebagai biaya.Sedangkan bunga yang diterima yang berasal dari
deposio atau tabungan lainnya tidak ditambahkan dalam menghiung penghasilan kena
pajak karena telah dikenakan Pajak Penghasilan final 20%.
Sehubungan dengan hal tersebut diterbitkan Surat Edaran Direkur Jenderal Pajak
No. SE-46/PJ.4/1995 tanggal 5 Oktober 1995 yang memberikan penegasan sebagai
berikut:
1. apabila jumlah rata-rata pinjaman sama besarnya dengan atau lebih kecil dari jumlah
rata-rata dana yang ditempatkan sebagai deposito berjangka atau tabungan lainnya,
maka biaya bunga yang dibayar atau terutang atas pinjaman tersebut seluruhnya
tidak dapat dibebankan sebagai biaya.
2. apabila jumlah rata-rata pinjaman lebih besar dari jumlah rata-rata dana yang
ditempatkan di dalam bentuk deposito atau tabungan lainnya, maka biaya bunga
atas pinjaman yang boleh dibebankan adalah bunga yang dibayar atau terutang atas
rata-rata pinjaman yang melebihi rata-rata dana yang ditempatkan sebagai deposito
atau tabungan lainnya. (selisih rata-raa pinjaman dengan rata-rata deposito)

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 25 | P a g e


MODUL PPH BADAN

Walaupun begitu tidak semuanya biaya bunga yang telah dibebankan oleh
perusahaan pasti dikoreksi secara fiskal. Ada beberapa pengecualian, yaitu:
a. dana pinjaman tersebut disimpan dalam bentuk rekening giro yang atas jasanya
dikenakan Pajak Penghasilan final.
b. Adanya keharusan bagi Wajib Pajak untuk menempatkan dana dalam jumlah
tertentu pada suatu bank dalam bentuk deposito berdasarkan ketentuan
perundangan yang berlaku.
c. Dapat dibuktikan bahwa penempatan deposito atau tabungan tersebut dananya
berasal dari tambahan modal dan sisa laba setelah pajak.

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 26 | P a g e


MODUL PPH BADAN

BAB VIII Selisih Kurs Valuta Asing

MACAM-MACAM KURS
Terdapat berbagai jenis kurs valuta asing yang sering digunakan. Kurs-kurs valuta asing
meliputi:
1. Kurs Menteri Keuangan
Kurs Menteri Keuangan adalah kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.Mulai
1 Oktober 1997 kurs Menteri Keuangan ditetapkan tiap minggu.
2. Kurs Realisasi
Kurs realisasi yaitu kurs yang sebenarnya terjadi pada waktu perusahaan
merupiahkan valas atau pada waktu perusahaan membeli valas
3. Kurs Bank Indonesia
Kurs BI digunakan untuk menncatat hutang piutang serta transaksi dalam valuta
asing.Kurs BI terdiri dari kurs beli bank dan kurs jual bank. Kurs BI yang digunakan
sebagai dasar pembukuan yaitu kurs tengahnya yang merupakan rata-rata antara
kurs jual dan kurs beli BI.

PENGGUNAAN KURS
A. Kurs Menteri Keuangan RI
Pajak-pajak yang terutang dalam valuta asing harus terlebih dahulu dinilai ke dalam
mata uang rupiah.Untuk kepentingan tersebut perlu ditetapkan keputusan tentang
nilai kurs sebagai dasar pelunasan. Oleh karena itu kurs Menteri Keuangan
digunakan untuk:
1. Perhitungan pelunasan Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak Pertambahan
Nilai-Impor, Pajak Penghasilan Pasal 22 sesuai dengan tanggal PIUD.
2. Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai dan PPnBM sesuai tanggal faktur pajak,
apabila pembayaran, harga jual atau nilai pengganian dilakukan dengan mata
uang asing. (Pasal 31 PP No. 143/2000)
3. Perhitungan Pajak Penghasilan pasal 21 atau pasal 26 apabila penghasilan
diterima dalam mata uang asing.
4. Perhitungan pajak ekspor.
5. Perhitungan pajak-pajak final yang dibayarkan dalam valuta asing.

B. Kurs Tengah BI
Kurs tengah BI digunakan oleh perusahaan yang pembukuannya dengan rupiah
untuk membukukan transaksi-transaksi yang nilainya dalam valuta asing.Perbedaan
selisih kurs BI yang terjadi pada membukukan hutang piutang valas dengan kurs BI
pada saat realisasi menimbulkan laba atau rugi selisih kurs.

SELISIH KURS AKHIR TAHUN


PSAK mensyaratkan hutang piutang dalam valuta asing pada akhir tahun harus
dinyatakan dalam kurs per tangal 31 Desember.Pajak memberikan pilihan bagi Wajib
Pajak baik untuk menyesuaikan nilai hutang piutang valas pada akhir tahun berdasarkan
kurs Bank Indonesia maupun tidak, asalkan dilaksanakan secara taat

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 27 | P a g e


MODUL PPH BADAN

asas/konsisten.Apabila Wajib Pajak tidak menyesuaikan nilai hutang piutang valas


sesuai kurs pada akhir tahun berari Wajib Pajak menggunakan sistem kurs tetap.

Contoh:
Pada tanggal 15 November 2001 PT KLM mendapat pinjaman USD 1.000.000 dalam
jangka waktu 2 tahun atau jatuh tempo 14 November 2003.
Kurs tengah BI 15-11-2001 Rp 12.000
31-12-2001 Rp 11.000
31-12-2002 Rp 13.000
31-12-2003 Rp 12.000
Penyelesaian:
Pembukuan berdasarkan kurs tetap
Pembebanan selisih kurs dilakukan pada saat terjadinya pembayaran hutang valas,
tiap-tiap akhir tahun 31 Desember tidak diakui adanya selisih kurs.
15-11-2001 Pembukuan utang valas Rp. 12.000.000
14-11-2003 Pembayaran Rp. 12.000.000

Pembukuan berdasarkan Kurs Tengah BI


Pada tiap-tipa akhir tahun dapat mengakui rugi laba selisih kurs.
15-11-2001 Pembukuan utang valas Rp. 12.000.000
31-12-2001 Utang valas menjadi Rp. 11.000.000
Laba selisih kurs Rp. 1.000.000
31-12-2002 utang valas menjadi Rp. 13.000.000
Rugi selisih kurs Rp. 2.000.000
14-11-2003 Utang valas menjadi Rp. 12.000.000
Laba selisih kurs Rp. 1.000.000

Mulai tahun pajak 2009, keuntungan dan kerugian selisih kurs valuta asing diakui
berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas
sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 28 | P a g e


MODUL PPH BADAN

BAB IX Kredit Pajak Wajib Pajak Badan


KREDIT PAJAK DALAM NEGERI

Pajak yang diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun pajak, dilunasi oleh Wajib
Pajak dalam tahun pajak berjalan melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh
pihak lain, serta pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri. Pelunasan pajak dilakukan
untuk setiap bulan atau masa lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Pelunasan pajak tersebut merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap
Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali untuk
penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final.

Agar pelunasan pajak dalam tahun pajak berjalan mendekati jumlah pajak yang akan
terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, maka pelaksanaannya dilakukan
melalui:
a. pemotongan pajak oleh pihak lain dalam hal diperoleh penghasilan oleh Wajib Pajak
dari pekerjaan, jasa atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21,
pemungutan pajak atas penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22, dan pemotongan pajak atas penghasilan dari modal, jasa dan kegiatan
tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.
b. pembayaran oleh Wajib Pajak sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.

Pada dasarnya pelunasan pajak dalam tahun berjalan dilakukan untuk setiap bulan,
namun Menteri Keuangan dapat menentukan masa lain, seperti saat dilakukannya
transaksi atau saat diterima atau diperolehnya penghasilan, sehingga pelunasan pajak
dalam tahun berjalan dapat dilaksanakan dengan baik.

Pelunasan pajak dalam tahun pajak berjalan merupakan angsuran pembayaran pajak
yang nantinya boleh diperhitungkan dengan cara mengkreditkan terhadap Pajak
Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan. Dengan
pertimbangan kemudahan, kesederhanaan, kepastian, pengenaan pajak yang tepat
waktu, dan pertimbangan lainnya, maka dapat diatur pelunasan pajak dalam tahun
berjalan yang bersifat final atas jenis‐ jenis penghasilan tertentu seperti dimaksud
dalam Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23. Pajak Penghasilan yang bersifat final tersebut
tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang.

PENGHASILAN NETTO DAN PAJAK ATAS PENGHASILAN YANG DIBAYAR /


DIPOTONG / TERUTANG DI LUAR NEGERI (KREDIT PAJAK LUAR NEGERI)

Dimungkinkan WNI mempunyai usaha dan penghasilan dari luar negeri (Investasi,
Bunga, istri bekerja di luar negeri dsb). Penghasilan luar negeri tersebut dilaporkan
dengan cara:
1. Melaporkan rincian penghasilan yang diterima atau diperoleh I luar negeri dan
penghitungan kredit pajak luar negeri dari Wajib Pajak sendiri, istri dan anak/anak
angkat yang belum dewasa dalam tahun pajak yang bersangkutan, kecuali
penghasilan:

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 29 | P a g e


MODUL PPH BADAN

a. Istri yang telah hidup berpisah


b. Istri yang mengadakan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan.
2. Mengajukan permohonan Kredit pajak luar negeri
(Pasal 24 UU Pajak Penghasilan Jo. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 164 /
KMK.03 / 2002) permohonan kredit pajak luar negeri harus dilampiri dengan :
a. Laporan keuangan dari penghasilan yang berasal dari usaha di luar negeri.
b. Fotokopi surat pemberitahuan pajak yang disampaikan di luar negeri.
c. Fotokopi dokumen pembayaran pajak di luar negeri.

Penghasilan yang telah dipotong Pajak Penghasilan di luar negeri tersebut dapat
dikreditkan (dikurangkan dari Pajak Penghasilan terutang) melalui mekanisme
pengkreditan Pajak Penghasilan Pasal 24.

Jika ada kompensasi kerugian yang masih dapat dikurangkan maka perhitungan
penghasilan neto adalah setelah kompensasi kerugian tersebut. Dalam hal
penghasilan dalam negeri lebih kecil dari penghasilan luar negeri maka maksimal
kredit pajak luar negeri yang dapat dikredikan adalah sebesar pajak atas
penghasilan kena pajak.

Pengkreditan Pajak Penghasilan yang terutang / dibayar di luar negeri terhadap


Pajak Penghasilan yang terutang di Indonesia tidak boleh melebihi jumlah tertentu
yang dihitung berdasarkan formula sebagai berikut :

Jumlah Penghasilan Dari LN


--------------------------------------- X Total PPh Terutang
Penghasilan Kena Pajak
atau sama dengan total PPh terutang, mana yang lebih
kecil

Dalam hal penghasilan yang diterima / diperoleh di luar negeri berasal dari beberapa
negara, maka penghitungan kredit pajak berdasarkan formula tersebut dilakukan
untuk masing-masing negara ( ordinary credit per country basis ).

Contoh:
Penghasilan dalam negeri menyatakan rugi Rp. 400 juta sedangkan penghasilan
luar negeri menyatakan untung Rp. 500 juta.Pajak yang telah dibayar di luar negeri
sebesar Rp. 150 juta. Perhitungan pasal 24 yang dapat dikreditkan:
Jawab:
Penghitungan Pajak Penghasilan terutang:
Penghasilan dalam negeri (rugi) (400.000.000)
Penghasilan luar negeri 500.000.000
Penghasilan kena pajak 100.000.000
Pajak Penghasilan terutang =
10% x 50.000.000 = 5.000.000
15% X 50.000.000 = 7.500.000 12.500.000

Kredit pajak luar negeri Pajak Penghasilan pasal 24:


= Penghasilan LN X Pajak Penghasilan Terutang
WWI

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 30 | P a g e


MODUL PPH BADAN

= 500.000.000 X 12.500.000 = 62.500.000


100.000.000
tetapi karena penghasilan luar negeri lebih besar dari penghasilan dalam negeri,
maka maksimal Pajak Penghasilan pasal 24 yang dapat dikreditkan adalah sebesar
Pajak Penghasilan atas Penghasilan Kena Pajak, yaitu Rp 12.500.000 (sedangkan
Pajak Penghasilan yang dipotong sebenarnya di luar negeri sebesar Rp
150.000.000.

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 31 | P a g e


MODUL PPH BADAN

BABX Angsuran PPh Pasal 25 Bagi WP Tertentu

Secara umum besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar
sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang
terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang
lalu dikurangi dengan:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan
Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22; dan
b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24,
dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

Contoh 1:
Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun 2009 Rp 50.000.000,00 dikurangi:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong pemberi Kerja (Pasal 21) Rp 15.000.000,00
b. Pajak Penghasilan yang dipungut oleh pihak lain (Pasal 22) Rp 10.000.000,00
c. Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak lain (Pasal 23) Rp 2.500.000,00
d. Kredit Pajak Penghasilan luar negeri (Pasal 24) Rp 7.500.000,00 (+)
Jumlah kredit pajak Rp 35.000.000,00 (-)
Selisih Rp 15.000.000,00
Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri setiap bulan untuk tahun 2010
adalah sebesar Rp 1.250.000,00 (Rp 15.000.000,00 dibagi 12).

Contoh 2:
Apabila Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam contoh di atas berkenaan
dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh untuk bagian tahun pajak yang
meliputi masa 6 (enam) bulan dalam tahun 2009, besarnya angsuran bulanan yang
harus dibayar sendiri setiap bulan dalam tahun 2010 adalah sebesar Rp 2.500.000,00
(Rp 5.000.000,00 dibagi 6).

STIMULUS PPh PASAL 25 DALAM TAHUN 2009 BAGI WAJIB PAJAK YANG
MENGALAMI PERUBAHAN KEADAAN USAHA ATAU KEGIATAN USAHA

Dasar Hukum:
 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-10/PJ/2009
 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-33/Pj/2009

Hal-hal yang harus diperhatikan :


a. Yang dimaksud dengan perubahan keadaan usaha atau kegiatan usaha adalah
perubahan keadaan usaha atau kegiatan usaha yang terjadi karena penurunan
usaha di tahun 2009.
b. Pengurangan PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Direktur
Jenderal Pajak tersebut tidak berlaku bagi:
1) Wajib Pajak Bank;

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 32 | P a g e


MODUL PPH BADAN

2) BUMN/BUMD;
3) Wajib Pajak masuk bursa;
4) Wajib Pajak lainnya,
yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan harus membuat
laporan keuangan berkala.
c. Pengurangan PPh Pasal 25 sampai dengan 25% (dua puluh lima persen) untuk
masa pajak Januari sampai dengan Juni 2009 adalah sebagai berikut:
1) Pengurangan PPh Pasal 25 dihitung dari:
a) besarnya PPh Pasal 25 bulan Desember tahun 2008; atau
b) besarnya PPh Pasal 25 berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan (SPT Tahunan PPh) tahun pajak 2008 dalam hal Wajib Pajak
telah menyampaikan SPT Tahunan PPh tahun pajak 2008.
2) PPh Pasal 25 bulan Desember tahun 2008 adalah PPh Pasal 25 yang
seharusnya dibayar oleh Wajib Pajak untuk masa pajak Desember 2008,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
3) Dalam hal Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh tahun pajak 2008
setelah pemberitahuan tertulis disampaikan maka pengurangan PPh Pasal 25
dihitung kembali berdasarkan SPT Tahunan PPh tahun pajak 2008 tersebut.
4) Apabila besarnya PPh Pasal 25 untuk masa pajak sebelum pemberitahuan
tertulis disampaikan lebih besar dari besarnya PPh Pasal 25 dengan
pengurangan, atas kelebihan pembayaran PPh Pasal 25 dapat dipindahbukukan
ke PPh Pasal 25 masa pajak berikutnya setelah pemberitahuan tertulis
disampaikan.
5) Apabila besarnya PPh Pasal 25 untuk masa pajak sebelum pemberitahuan
tertulis disampaikan lebih kecil dari besarnya PPh Pasal 25 dengan
pengurangan, atas kekurangan pembayaran PPh Pasal 25 diterbitkan Surat
Tagihan Pajak sesuai ketentuan yang berlaku umum.
6) Wajib Pajak dapat menyampaikan surat pemberitahuan pengurangan PPh Pasal
25 untuk untuk masa pajak Januari s.d. Juni 2009 secara tertulis yang
ditandatangani oleh Pengurus atau Direksi paling lama 30 April 2009 kepada
Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar, dengan format tertentu dengan
melampirkan:
 penghitungan PPh yang terutang berdasarkan SPT Tahunan PPh tahun pajak
2008 atau penghitungan sementara PPh terutang tahun pajak 2008; dan
 perkiraan penghitungan PPh yang akan terutang tahun pajak 2009.

d. Pengurangan besarnya PPh Pasal 25 untuk masa pajak Juli sampai dengan
Desember 2009 adalah sebagai berikut:
1) Permohonan pengurangan besarnya PPh Pasal 25 dapat diajukan dalam hal
Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa besarnya PPh yang akan terutang untuk
tahun 2009 kurang dari 75% (tujuh puluh lima persen) dari PPh yang terutang
yang menjadi dasar perhitungan besarnya PPh Pasal 25 masa pajak Januari
sampai dengan Juni 2009.
2) PPh yang terutang yang menjadi dasar perhitungan besarnya PPh Pasal 25
masa pajak Januari sampai dengan Juni 2009 adalah sebagai berikut :
a) Dalam hal Wajib Pajak menyampaikan pemberitahuan pengurangan
besarnya PPh Pasal 25 sampai dengan 25% untuk masa pajak Januari
sampai dengan Juni 2009, PPh terutang adalah PPh terutang yang menjadi
dasar perhitungan PPh Pasal 25 dengan pengurangan.

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 33 | P a g e


MODUL PPH BADAN

b) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan pemberitahuan pengurangan


besarnya PPh Pasal 25, PPh terutang adalah PPh terutang yang menjadi
dasar perhitungan PPh Pasal 25 masa pajak terakhir sebelum permohonan
pengurangan besarnya PPh Pasal 25 diajukan.
3) Permohonan pengurangan besarnya PPh Pasal 25 diajukan paling lama tanggal
30 Juni 2009 kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak
terdaftar.

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 34 | P a g e


MODUL PPH BADAN

BABXI PPh Final / PPh Pasal 4(2) Untuk UMKM

Pada tanggal 08 Juni 2018, pemerintah menerbitkan satu Peraturan Pemerintah yang
mengatur tentang perpajakan bagi UMKM yang terbaru yaitu Peraturan Pemerintah
Nomor 23 Tahun 2018 sebagai pengganti Peraturan Pemerintah nomor 46 tahun 2013
yang mengatur tentang berapa PPh dari usaha yang diterma atau diperoleh Wajib Pajak
yang memiliki peredaran usaha tertentu.

Siapa Pengguna Tarif ini?

 Orang Pribadi Untuk Jangka Waktu 7 Tahun


 Badan (CV, Firma dan Koperasi) Untuk Jangka Waktu 4 Tahun
 Badan (PT) Untuk Jangka Waktu 3 Tahun

Bagaimana Cara Menghitung pajaknya?

 0,5% x Omset

Yang Mendapatkan Penghasilan dari usaha (omset) dengan peredaran bruto tidak
melebihi 4,8 Milyar Dalam Setahun

Wajib Pajak yang Tidak Boleh menggunakan tarif PPh Final 0,5%

 WP yang memilih untuk dikenai PPh Pasal 17


 CV atau Firma yang dibentuk oleh beberapa WP OP yang memiliki keahlian
khusus dan menyerahkan jasa sejenis dengan jasa sehubungan Pekerjaan
Bebas.
 WP Badan yang memperoleh Fasilitas PPh Pasal 31A UU PPh
 BUT

Penghasilan yang Dikecualikan dari tarif PPh Final 0,5%

 Penghasilan dari Luar Negeri


 Penghasilan yang bukan objek pajak
 Penghasilan dari usaha dagang dan jasa yang di kenai PPh Final
 Penghasilan dari jasa sehubungan Pekerjaan Bebas

Apa saja Pekerjaan Bebas ?

1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,
akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, PPAT, penilai, dan aktuaris;
2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang
sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model,
peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
3. olahragawan;
4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 35 | P a g e


MODUL PPH BADAN

6. agen iklan;
7. pengawas atau pengelola proyek;
8. perantara;
9. petugas penjaja barang dagangan;
10. agen asuransi;
11. distributor perusahaan pemasaran berjenjang atau penjualan langsung dan
kegiatan sejenis lainnya.

Bagaimana Cara Pelunasan pajaknya?

 disetor sendiri oleh Wajib Pajak


 dipotong atau dipungut oleh Pemotong atau Pemungut Pajak dalam hal
Wajib Pajak bersangkutan melakukan transaksi dengan pihak yang ditunjuk
sebagai Pemotong atau Pemungut Pajak

Kapan Mulai berlaku?

 1 Juli 2018

Ketentuan Peralihan

 WP yang selama ini menggunakan PP 46 dan memenuhi syarat PP 23


mulai bulan Juli 2018 menggunakan tarif PP 23
 WP yang selama ini menggunakan PP 46 dan tidak memenuhi syarat PP
23, untuk bulan Juli – Desember 2018 menggunakan tarif PP 23 tetapi
tahun selanjutnya menggunakan Tarif PPh Pasal 17

2.

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 36 | P a g e


MODUL PPH BADAN

BABXII DEBT TO EQUITY RATIO

Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang-undang


Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 36 Tahun 2008, baru saat
ini Pemerintah berani menetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
169/PMK.010/2015 tanggal 9 September 2015 tentang Penentuan Besarnya
Perbandingan antara Utang dan Modal Perusahaan untuk Keperluan
Penghitungan Pajak Penghasilan.

Hal-hal penting yang diatur dalam PMK-169/PMK.010/2015 tersebut antara


lain:

1. Besarnya perbandingan antara utang dan modal ditetapkan paling tinggi


sebesar empat dibanding satu (4: 1);
2. Dikecualikan dari ketentuan perbandingan antara utang dan Modal ini
adalah :

 Wajib Pajak Bank,


 Wajib Pajak Lembaga Pembiayaan,
 Wajib Pajak Asuransi dan Reasuransi,
 Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak
dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya yang
terikat kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama
pengusahaan pertambangan, dan dalam kontrak atau perjanjian
dimaksud mengatur atau mencantumkan ketentuan mengenai batasan
perbandingan antara utang dan modal,
 Wajib Pajak yang atas seluruh penghasilannya dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final berdasarkan peraturan perundang-
undangan tersendiri,
 Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang infrastruktur;

3. Saldo utang dimaksud adalah meliputi saldo utang jangka panjang


maupun saldo utang jangka pendek termasuk saldo utang dagang yang
dibebani bunga;
4. Saldo modal adalah meliputi ekuitas sebagaimana dimaksud dalam
standar akuntansi keuangan yang berlaku dan pinjaman tanpa bunga dari
pihak yang memiliki hubungan istimewa;
5. Dalam hal besarnya perbandingan antara utang dan modal Wajib Pajak
melebihi besarnya perbandingan sebagaimana diatur, biaya pinjaman
yang dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak
adalah sebesar biaya pinjaman sesuai dengan perbandingan utang dan
modal;

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 37 | P a g e


MODUL PPH BADAN

6. Biaya pinjaman sebagaimana dimaksud poin 3 adalah biaya yang


ditanggung Wajib Pajak sehubungan dengan peminjaman dana yang
meliputi:

 bunga pinjaman;
 diskonto dan premium yang terkait dengan pinjaman;
 biaya tambahan yang terjadi yang terkait dengan perolehan pinjaman
(arrangement of borrowings);
 beban keuangan dalam sewa pembiayaan;
 biaya imbalan karena jaminan pengembalian utang; dan
 selisih kurs yang berasal dari pinjaman dalam mata uang asing
sepanjang selisih kurs tersebut sebagai penyesuaian terhadap biaya
bunga dan biaya sebagaimana dimaksud pada huruf b, huruf c, huruf
d,dan huruf e;

7. Dalam hal Wajib Pajak mempunyai utang kepada pihak-pihak yang


mempunyai hubungan istimewa, disamping harus memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud di atas, biaya pinjaman atas utang kepada pihak-
pihak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut harus pula memenuhi
prinsip kewajaran dan kelaziman usaha sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Pasal 18 ayat (3) UU PPh;

8. Dalam hal Wajib Pajak mempunyai saldo ekuitas nol atau kurang dari nol,
maka seluruh biaya pinjaman W ajib Pajak bersangkutan tidak dapat
diperhitungkan dalam penghitungan penghasilan kena pajak;

9. Wajib Pajak yang mempunyai utang swasta luar negeri, wajib


menyampaikan laporan besarnya utang swasta luar negeri tersebut
kepada Direktur Jenderal Pajak. Dalam hal Wajib Pajak tidak
menyampaikan laporan, atas biaya pinjaman yang terutang dari utang swasta
luar negeri tersebut tidak dapat dikurangkan untuk menghitung penghasilan
kena pajak.

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 38 | P a g e


MODUL PPH BADAN

BABXIII PENGAMPUNAN PAJAK

Pemerintah bersama DPR menerbitkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2016


tentang Pengampunan Pajak atau yang dikenal dengan istilah Tax Amnesty
yang mulai berlaku sejak tanggal 01 Juli 2016 sampai dengan 31 Maret 2017
dengan pokok-pokok pembahasan sebagai berikut :

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya
terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana
di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar
Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
2. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang mempunyai hak dan
kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang perpajakan.
3. Harta adalah akumulasi tambahan kemampuan ekonomis berupa seluruh
kekayaan, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun
tidak bergerak, baik yang digunakan untuk usaha maupun bukan untuk
usaha, yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
4. Utang adalah jumlah pokok utang yang belum dibayar yang berkaitan
langsung dengan perolehan Harta.
5. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender, kecuali jika
Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun
kalender.
6. Tunggakan Pajak adalah jumlah pokok pajak yang belum dilunasi
berdasarkan Surat Tagihan Pajak yang di dalamnya terdapat pokok pajak
yang terutang, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, dan Putusan Peninjauan
Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar
bertambah termasuk pajak yang seharusnya tidak dikembalikan,
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan.
7. Uang Tebusan adalah sejumlah uang yang dibayarkan ke kas negara untuk
mendapatkan Pengampunan Pajak.
8. Tindak Pidana di Bidang Perpajakan adalah tindak pidana sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 39 | P a g e


MODUL PPH BADAN

Perpajakan.
9. Surat Pernyataan Harta untuk Pengampunan Pajak yang selanjutnya
disebut Surat Pernyataan adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak
untuk mengungkapkan Harta, Utang, nilai Harta bersih, serta penghitungan
dan pembayaran Uang Tebusan.
10. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang keuangan negara.
11. Surat Keterangan Pengampunan Pajak yang selanjutnya disebut Surat
Keterangan adalah surat yang diterbitkan oleh Menteri sebagai bukti
pemberian Pengampunan Pajak.
12. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Terakhir yang
selanjutnya disebut SPT PPh Terakhir adalah:
a. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak
2015 bagi Wajib Pajak yang akhir tahun bukunya berakhir pada
periode 1 Juli 2015 sampai dengan 31 Desember 2015; atau
b. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak
2014 bagi Wajib Pajak yang akhir tahun bukunya berakhir pada
periode 1 Januari 2015 sampai dengan 30 Juni 2015.
13. Manajemen Data dan Informasi adalah sistem administrasi data dan
informasi Wajib Pajak yang berkaitan dengan Pengampunan Pajak yang
dikelola oleh Menteri.
14. Bank Persepsi adalah bank umum yang ditunjuk oleh Menteri untuk
menerima setoran penerimaan negara dan berdasarkan Undang-Undang
ini ditunjuk untuk menerima setoran Uang Tebusan dan/atau dana yang
dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam
rangka pelaksanaan Pengampunan Pajak.
15. Tahun Pajak Terakhir adalah Tahun Pajak yang berakhir pada jangka waktu
1 Januari 2015 sampai dengan 31 Desember 2015.

SUBJEK DAN OBJEK PENGAMPUNAN PAJAK

Pasal 3
(1) Setiap Wajib Pajak berhak mendapatkan Pengampunan Pajak.
(2) Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
kepada Wajib Pajak melalui pengungkapan Harta yang dimilikinya dalam
Surat Pernyataan.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu
Wajib Pajak yang sedang:
a. dilakukan penyidikan dan berkas penyidikannya telah dinyatakan
lengkap oleh Kejaksaan;
b. dalam proses peradilan; atau
c. menjalani hukuman pidana, atas Tindak Pidana di Bidang
Perpajakan.
(4) Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 40 | P a g e


MODUL PPH BADAN

pengampunan atas kewajiban perpajakan sampai dengan akhir Tahun


Pajak Terakhir, yang belum atau belum sepenuhnya diselesaikan oleh
Wajib Pajak.
(5) Kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas
kewajiban:
a. Pajak Penghasilan; dan
b. Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah.

TARIF DAN CARA MENGHITUNG UANG TEBUSAN

Pasal 4
(1) Tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada di dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia atau Harta yang berada di luar wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dialihkan ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan diinvestasikan di dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu paling singkat 3
(tiga) tahun terhitung sejak dialihkan, adalah sebesar:
a. 2% (dua persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada
bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak
Undang-Undang ini mulai berlaku;
b. 3% (tiga persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada
bulan keempat terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku
sampai dengan tanggal 31 Desember 2016; dan
c. 5% (lima persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan
terhitung sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan tanggal 31
Maret 2017.
(2) Tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada di luar wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan tidak dialihkan ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah sebesar:
a. 4% (empat persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan
pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak
Undang- Undang ini mulai berlaku;
b. 6% (enam persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan
pada bulan keempat terhitung sejak Undang-Undang ini mulai
berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2016; dan
c. 10% (sepuluh persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan
terhitung sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan tanggal 31
Maret 2017.
(3) Tarif Uang Tebusan bagi Wajib Pajak yang peredaran usahanya sampai
dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada
Tahun Pajak Terakhir adalah sebesar:
a. 0,5% (nol koma lima persen) bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan
nilai Harta sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 41 | P a g e


MODUL PPH BADAN

rupiah) dalam Surat Pernyataan; atau


b. 2% (dua persen) bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai Harta
lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam Surat
Pernyataan,
untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sejak
Undang-Undang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.

Pasal 5
(1) Besarnya Uang Tebusan dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dengan dasar pengenaan Uang
Tebusan.
(2) Dasar pengenaan Uang Tebusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dihitung berdasarkan nilai Harta bersih yang belum atau belum seluruhnya
dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir.
(3) Nilai Harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan selisih
antara nilai Harta dikurangi nilai Utang.

Pasal 6
(1) Nilai Harta yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan meliputi:
a. nilai Harta yang telah dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir; dan
b. nilai Harta tambahan yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan
dalam SPT PPh Terakhir.
(2) Nilai Harta yang telah dilaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan nilai yang
dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir.
(3) Dalam hal Wajib Pajak diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan menggunakan satuan mata uang selain
Rupiah, nilai Harta yang telah dilaporkan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan kurs
yang ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan penghitungan pajak pada
tanggal akhir tahun buku sesuai dengan SPT PPh Terakhir.
(4) Nilai Harta tambahan yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditentukan dalam mata uang
Rupiah berdasarkan nilai nominal untuk Harta berupa kas atau nilai wajar
untuk Harta selain kas pada akhir Tahun Pajak Terakhir.
(5) Dalam hal nilai Harta tambahan menggunakan satuan mata uang selain
Rupiah, nilai Harta tambahan ditentukan dalam mata uang Rupiah
berdasarkan:
a. nilai nominal untuk Harta berupa kas; atau
b. nilai wajar pada akhir Tahun Pajak Terakhir untuk Harta selain kas,
dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan
penghitungan pajak pada akhir Tahun Pajak Terakhir.

Pasal 7

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 42 | P a g e


MODUL PPH BADAN

(1) Nilai Utang yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan meliputi:


a. nilai Utang yang telah dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir; dan
b. nilai Utang yang berkaitan dengan Harta tambahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b.
(2) Untuk penghitungan dasar pengenaan Uang Tebusan, besarnya nilai
Utang yang berkaitan secara langsung dengan perolehan Harta tambahan
yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang nilai Harta bagi:
a. Wajib Pajak badan paling banyak sebesar 75% (tujuh puluh lima
persen) dari nilai Harta tambahan; atau
b. Wajib Pajak orang pribadi paling banyak sebesar 50% (lima puluh
persen) dari nilai Harta tambahan.
(3) Nilai Utang yang telah dilaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan nilai yang
dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir.
(4) Dalam hal Wajib Pajak diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan menggunakan satuan mata uang selain
Rupiah, nilai Utang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan
dalam mata uang Rupiah berdasarkan kurs yang ditetapkan oleh Menteri
untuk keperluan penghitungan pajak pada tanggal akhir tahun buku sesuai
dengan SPT PPh Terakhir.
(5) Nilai Utang yang berkaitan dengan Harta tambahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b ditentukan dalam mata uang Rupiah
berdasarkan nilai yang dilaporkan dalam daftar Utang pada akhir Tahun
Pajak Terakhir.
(6) Dalam hal nilai Utang yang berkaitan dengan Harta tambahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditentukan dalam mata uang
selain Rupiah, nilai Utang ditentukan dalam mata uang Rupiah
berdasarkan kurs yang ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan
penghitungan pajak pada akhir Tahun Pajak Terakhir.

TATA CARA PENYAMPAIAN SURAT PERNYATAAN, PENERBITAN SURAT


KETERANGAN, DAN PENGAMPUNAN ATAS KEWAJIBAN PERPAJAKAN

Pasal 8
(1) Untuk memperoleh Pengampunan Pajak, Wajib Pajak harus
menyampaikan Surat Pernyataan kepada Menteri.
(2) Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani
oleh:
a. Wajib Pajak orang pribadi;
b. pemimpin tertinggi berdasarkan akta pendirian badan atau dokumen
lain yang dipersamakan, bagi Wajib Pajak badan; atau
c. penerima kuasa, dalam hal pemimpin tertinggi sebagaimana
dimaksud pada huruf b berhalangan.
(3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 43 | P a g e


MODUL PPH BADAN

persyaratan sebagai berikut:


a. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
b. membayar Uang Tebusan;
c. melunasi seluruh Tunggakan Pajak;
d. melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayar atau melunasi pajak
yang seharusnya tidak dikembalikan bagi Wajib Pajak yang sedang
dilakukan pemeriksaan bukti permulaan dan/atau penyidikan;
e. menyampaikan SPT PPh Terakhir bagi Wajib Pajak yang telah
memiliki kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan; dan
f. mencabut permohonan:
1. pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
2. pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi
perpajakan dalam Surat Ketetapan Pajak dan/atau Surat
Tagihan Pajak yang di dalamnya terdapat pokok pajak yang
terutang;
3. pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak
benar;
4. keberatan;
5. pembetulan atas surat ketetapan pajak dan surat keputusan;
6. banding;
7. gugatan; dan/atau
8. peninjauan kembali,
dalam hal Wajib Pajak sedang mengajukan permohonan dan belum
diterbitkan surat keputusan atau putusan.
(4) Uang Tebusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b harus dibayar
lunas ke kas negara melalui Bank Persepsi.
(5) Pembayaran Uang Tebusan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
menggunakan surat setoran pajak yang berfungsi sebagai bukti
pembayaran Uang Tebusan setelah mendapatkan validasi.
(6) Dalam hal Wajib Pajak bermaksud mengalihkan Harta ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia, selain memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wajib Pajak harus mengalihkan
Harta ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
menginvestasikan Harta dimaksud di dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia paling singkat selama jangka waktu 3 (tiga) tahun:
a. sebelum 31 Desember 2016 bagi Wajib Pajak yang memilih
menggunakan tarif Uang Tebusan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf a dan huruf b; dan/atau
b. sebelum 31 Maret 2017 bagi Wajib Pajak yang memilih
menggunakan tarif Uang Tebusan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf c.
(7) Dalam hal Wajib Pajak mengungkapkan Harta yang berada dan/atau
ditempatkan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, selain

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 44 | P a g e


MODUL PPH BADAN

memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wajib Pajak


tidak dapat mengalihkan Harta ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia paling singkat selama jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak
diterbitkannya Surat Keterangan.

Pasal 9
(1) Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) memuat
paling sedikit informasi mengenai identitas Wajib Pajak, Harta, Utang, nilai
Harta bersih, dan penghitungan Uang Tebusan.
(2) Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri
dengan:
a. bukti pembayaran Uang Tebusan;
b. bukti pelunasan Tunggakan Pajak bagi Wajib Pajak yang memiliki
Tunggakan Pajak;
c. daftar rincian Harta beserta informasi kepemilikan Harta yang
dilaporkan;
d. daftar Utang serta dokumen pendukung;
e. bukti pelunasan pajak yang tidak atau kurang dibayar atau pajak yang
seharusnya tidak dikembalikan bagi Wajib Pajak yang sedang
dilakukan pemeriksaan bukti permulaan atau penyidikan;
f. fotokopi SPT PPh Terakhir; dan
g. surat pernyataan mencabut permohonan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (3) huruf f.
(3) Dalam hal Wajib Pajak bermaksud mengalihkan Harta ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 ayat (6), selain melampirkan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Wajib Pajak harus melampirkan surat pernyataan mengalihkan dan
menginvestasikan Harta ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia paling singkat selama jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak
dialihkan.
(4) Dalam hal Wajib Pajak mengungkapkan Harta yang berada dan/atau
ditempatkan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (7), selain melampirkan
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak harus
melampirkan surat pernyataan tidak mengalihkan Harta ke luar wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia paling singkat selama jangka waktu
3 (tiga) tahun terhitung sejak diterbitkannya Surat Keterangan.
(5) Bagi Wajib Pajak yang peredaran usahanya sampai dengan
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada Tahun
Pajak Terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), selain
melampirkan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4),
Wajib Pajak dimaksud harus melampirkan surat pernyataan mengenai
besaran peredaran usaha.

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 45 | P a g e


MODUL PPH BADAN

Pasal 10
(1) Surat Pernyataan disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat
Wajib Pajak terdaftar atau tempat lain yang ditentukan oleh Menteri.
(2) Sebelum menyampaikan Surat Pernyataan dan lampirannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9, Wajib Pajak meminta penjelasan mengenai
pengisian dan pemenuhan kelengkapan dokumen yang harus dilampirkan
dalam Surat Pernyataan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak atau tempat
lain yang ditentukan oleh Menteri.
(3) Berdasarkan penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib
Pajak membayar Uang Tebusan dan menyampaikan Surat Pernyataan
beserta lampirannya.
(4) Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas nama Menteri menerbitkan Surat
Keterangan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal diterima Surat Pernyataan beserta lampirannya dan
mengirimkan Surat Keterangan kepada Wajib Pajak.
(5) Dalam hal jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas nama Menteri belum
menerbitkan Surat Keterangan, Surat Pernyataan dianggap diterima
sebagai Surat Keterangan.
(6) Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas nama Menteri dapat menerbitkan
surat pembetulan atas Surat Keterangan dalam hal terdapat:
a. kesalahan tulis dalam Surat Keterangan; dan/atau
b. kesalahan hitung dalam Surat Keterangan.
(7) Wajib Pajak dapat menyampaikan Surat Pernyataan paling banyak 3 (tiga)
kali dalam jangka waktu terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku
sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.
(8) Wajib Pajak dapat menyampaikan Surat Pernyataan kedua atau ketiga
sebelum atau setelah Surat Keterangan atas Surat Pernyataan yang
pertama atau kedua diterbitkan.
(9) Dalam hal Wajib Pajak menyampaikan Surat Pernyataan yang kedua atau
ketiga, penghitungan dasar pengenaan Uang Tebusan dalam Surat
Pernyataan dimaksud memperhitungkan dasar pengenaan Uang Tebusan
yang telah dicantumkan dalam Surat Keterangan atas Surat Pernyataan
sebelumnya.
(10) Dalam hal terdapat kelebihan pembayaran Uang Tebusan yang
disebabkan oleh:
a. diterbitkannya surat pembetulan karena kesalahan hitung
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b; atau
b. disampaikannya Surat Pernyataan kedua atau ketiga sebagaimana
dimaksud pada ayat (8),
atas kelebihan pembayaran dimaksud harus dikembalikan dan/atau
diperhitungkan dengan kewajiban perpajakan lainnya dalam jangka waktu
paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterbitkannya surat pembetulan
atau disampaikannya Surat Pernyataan kedua atau ketiga dimaksud.

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 46 | P a g e


MODUL PPH BADAN

Pasal 11
(1) Wajib Pajak yang telah menyampaikan Surat Pernyataan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan lampirannya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9, diberi tanda terima sebagai bukti penerimaan Surat
Pernyataan.
(2) Wajib Pajak yang telah memperoleh tanda terima sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak dilakukan:
a. pemeriksaan;
b. pemeriksaan bukti permulaan; dan/atau
c. penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan,
untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan
akhir Tahun Pajak Terakhir.
(3) Dalam hal Wajib Pajak yang telah memperoleh tanda terima sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sedang dilakukan:
a. pemeriksaan;
b. pemeriksaan bukti permulaan; dan/atau
c. penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan,
untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan
akhir Tahun Pajak Terakhir, terhadap pemeriksaan, pemeriksaan bukti
permulaan, dan/atau penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan
dimaksud ditangguhkan sampai dengan diterbitkannya Surat Keterangan.
(4) Pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, dan/atau penyidikan Tindak
Pidana di Bidang Perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dihentikan dalam hal Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas nama Menteri
menerbitkan Surat Keterangan.
(5) Wajib Pajak yang telah diterbitkan Surat Keterangan, memperoleh fasilitas
Pengampunan Pajak berupa:
a. penghapusan pajak terutang yang belum diterbitkan ketetapan pajak,
tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan, dan tidak dikenai sanksi
pidana di bidang perpajakan, untuk kewajiban perpajakan dalam
masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak, sampai dengan
akhir Tahun Pajak Terakhir;
b. penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga, atau
denda, untuk kewajiban perpajakan dalam masa pajak, bagian Tahun
Pajak, dan Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir;
c. tidak dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan,
dan penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, atas kewajiban
perpajakan dalam masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak,
sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir; dan
d. penghentian pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan
penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, dalam hal Wajib
Pajak sedang dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 47 | P a g e


MODUL PPH BADAN

permulaan, dan penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan atas


kewajiban perpajakan, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir,
yang sebelumnya telah ditangguhkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (3),
yang berkaitan dengan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (5).
(6) Penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf d
dilakukan oleh pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang
melaksanakan tugas dan fungsi penyidikan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

BAB VIII
PERLAKUAN ATAS HARTA YANG BELUM ATAU KURANG DIUNGKAP

Pasal 18
(1) Dalam hal Wajib Pajak telah memperoleh Surat Keterangan kemudian
ditemukan adanya data dan/atau informasi mengenai Harta yang belum
atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan, atas Harta dimaksud
dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai
Harta dimaksud.
(2) Dalam hal:
a. Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pernyataan sampai dengan
periode Pengampunan Pajak berakhir; dan
b. Direktur Jenderal Pajak menemukan data dan/atau informasi
mengenai Harta Wajib Pajak yang diperoleh sejak tanggal 1 Januari
1985 sampai dengan 31 Desember 2015 dan belum dilaporkan dalam
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan,
atas Harta dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau
informasi mengenai Harta dimaksud, paling lama 3 (tiga) tahun terhitung
sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.
(3) Atas tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai
Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang Pajak Penghasilan dan ditambah dengan sanksi
administrasi perpajakan berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus
persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar.
(4) Atas tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai
pajak dan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang perpajakan.

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 48 | P a g e


MODUL PPH BADAN

BABXIV SPT TAHUNAN ELEKTRONIK

SPT Tahunan Elektronik wajib disampaikan oleh Wajib Pajak yang:


a. diwajibkan menyampaikan SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dalam
bentuk dokumen elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan dan memiliki kewajiban untuk
melaporkan SPT Tahunan Pajak Penghasilan; 

b. diwajibkan menyampaikan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai dalam
bentuk dokumen elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan dan memiliki kewajiban untuk
melaporkan SPT Tahunan Pajak Penghasilan; 

c. sudah pernah menyampaikan SPT Tahunan Elektronik;
d. terdaftar di KPP Madya, KPP di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal 
 Pajak Jakarta Khusus, dan KPP di lingkungan Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal 
 Pajak Wajib Pajak Besar; 

e. menggunakan jasa konsultan pajak dalam pemenuhan kewajiban
pengisian SPT 
 Tahunan Pajak Penghasilan; dan/atau 

f. laporan keuangannya diaudit oleh akuntan publik. 


SPT Masa Elektronik wajib disampaikan oleh Wajib Pajak yang:


a. terdaftar di KPP Madya, KPP di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak Jakarta Khusus, dan KPP di lingkungan Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar; dan/atau 

b. sudah pernah menyampaikan SPT Masa Elektronik. 


Wajib Pajak dapat menyampaikan SPT Elektronik ke KPP dengan cara:


a. langsung; 

b. dikirim melalui pos dengan bukti pengiriman surat; 

c. dikirim melalui perusahaan jasa ekspedisi/kurir dengan bukti
pengiriman surat; atau 

d. melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak
sesuai dengan perkembangan teknologi informasi.

Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 49 | P a g e


MODUL PPH BADAN

Saluran tertentu sebagaimana dimaksud diatas meliputi:


a. laman Direktorat Jenderal Pajak; 

b. laman Penyalur SPT Elektronik; 

c. saluran suara digital yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk
Wajib Pajak tertentu; 

d. jaringan komunikasi data yang terhubung khusus antara Direktorat
Jenderal Pajak 
 dengan Wajib Pajak; dan 

e. saluran lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. 


Modul Brevet A & B PPIA FEB UMJ 50 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai