Anda di halaman 1dari 192

PELATIHAN PERPAJAKAN IAPI

BREVET A&B
TERPADU ONLINE VIA ZOOM

Oleh :
SEMPURNA BAHRI
Akuntan Publik, Konsultan Pajak, Kuasa Hukum Pengadilan Pajak,
Komite Perpajakan Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), dan
CEO PT. Sempurna Strategic Consulting (SSC)

1
BAB I
PENDAHULUAN
BAB I
PENDAHULUAN
Apa Itu Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ?
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah Undang – Undang yang mengatur mengenai prosedur
(tata cara) pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan untuk mengatur ketentuan formal bagi jenis – jenis
Undang - Undang perpajakan lain seperti :
1. Pajak Penghasilan, Undang - Undang No.7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang - Undang No.36 tahun 2008
2. PPN dan PPnBM, Undang - Undang No.8 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang -
Undang No.42 tahun 2009
3. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Undang - Undang No.12 tahun 1994
4. Bea Perolehan Hak katas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Undang - Undang No. 21 tahun 2007
sebagaimana diatur terakhir dengan Undang - Undang Nomor 20 tahun 2000
5. Penagihan Pajak dengan Surat Pajak (PPSP), Undang - Undang 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang - Undang Nomor 19 tahun 2000
6. Pajak pajak lainnya yang mengaku kepada Undang - Undang ini (Undang – Undang No.28 tahun 2007)
Definisi Pajak
menurut Undang – Undang KUP Pasal 1 :
Apa Itu Pajak ?
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan Udang – Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan negara dan sebesar besarnya untuk kemakmuran
rakyat.

Dari pengertian pajak tersebut dapat diambil kesimpulan :


- Pajak merupakan kontribusi wajib pajak berupa uang
- Pajak terutang oleh orang atau badan
- Pajak bersifat memaksa
- Pajak diatur oleh Undang – Undang
- Pembayaran Pajak tidak ada balas jasa secara langsung
- Pajak digunakan untuk keperluan negara
- Pajak digunakan untuk kemakmuran rakyat
Macam-macam Sistem Pemungutan Pajak di
Indonesia
Untuk pemungutan pajak di Indonesia terbagi menjadi tiga sistem yang biasa digunakan oleh
negara kepada wajib pajak. Berikut adalah tiga sistem pemungutan pajak di Indonesia beserta
dengan penjelasan yang lebih rinci :

1. Self Assessment System

Self Assessment System adalah sistem penentuan pajak yang membebankan penentuan
besaran pajak yang perlu dibayarkan oleh wajib pajak yang bersangkutan secara mandiri.
Bisa dikatakan, wajib pajak adalah pihak yang berperan aktif dalam menghitung, membayar,
dan melaporkan besaran pajaknya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau melalui sistem
administrasi online yang sudah dibuat oleh pemerintah.

Peran pemerintah dalam sistem pemungutan pajak ini adalah sebagai pengawas dari para
wajib pajak. Self assessment system biasanya diterapkan pada jenis pajak pusat. Misalnya
adalah jjenis pajak PPN dan PPh. Sistem pemungutan pajak yang satu ini mulai diberlakukan
di Indonesia setelah masa reformasi pajak pada 1983 dan masih berlaku hingga saat ini.
Sistem pemungutan pajak ini memiliki kekuarangan, yaitu karena wajib pajak
memiliki wewenang menghitung sendiri besaran pajak terutang yang perlu
dibayarkan, maka wajib pajak biasanya akan berusaha untuk menyetorkan pajak
sekecil mungkin dengan membuat laporan palsu atas pelaporan kekayaan.

Ciri-ciri sistem pemungutan pajak Self Assessment:

• Penentuan besaran pajak terutang dilakukan oleh wajib pajak itu secara mandiri.
• Wajib pajak berperan aktif dalam menuntaskan kewajiban pajaknya mulai dari
menghitung, membayar, hingga melaporkan pajak.
• Pemerintah tidak perlu mengeluarkan surat ketetapan pajak, kecuali jika wajib
pajak telat lapor, telat bayar pajak, atau terdapat pajak yang seharusnya wajib
pajak bayarkan namun tidak dibayarkan.
2. Official Assessment System

Official Assessment System adalah sistem pemungutan pajak yang membebankan


wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang pada fiskus atau aparat perpajakan
sebagai pemungut pajak kepada seorang wajib pajak.

Dalam sistem ini, wajib pajak bersifat pasif dan nilai pajak terutang akan diketahui
setelah dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh aparat perpajakan. Sistem pengmabilan
pajak ini biasanya diterapkan dalam pelunasan pajak daerah seperti Pajak Bumi Bangunan
(PBB).

Dalam pembayaran PBB, kantor pajak merupakan pihak yang mengeluarkan surat ketetapan
pajak berisi besaran PBB terutang setiap tahunnya. Wajib pajak tidak perlu lagi
menghitung pajak terutang melainkan cukup membayar PBB berdasarkan Surat
Pembayaran Pajak Terutang (SPPT) yang dikeluarkan oleh KPP tempat objek pajak
terdaftar.
Ciri-ciri sistem perpajakan Official Assessment:

• Besarnya pajak yang dikenakan dihitung oleh petugas pajak.


• Wajib pajak sifatnya pasif dalam perhitungan pajak mereka.
• Besaran pajak terutang akan dketahui setelah petugas pajak menghitung pajak
yang terutang dan menerbitkan surat ketetapan pajak.
• Pemerintah memiliki hak penuh dalam menentukan besarnya pajak yang wajib
dibayarkan.
3. Withholding System

Pada siistem pemungutan pajak withholding system, besarnya pajak biasanya dihitung oleh
pihak ketiga. Bukan mereka wajib pajak dan bukan juga aparat pajak/fiskus. Contoh
Witholding System adalah pemotongan penghasilan karyawan yang dilakukan oleh
bendahara instansi atau perusahaan terkait. Jadi, karyawan tidak perlu lagi pergi ke
kantor pajak untuk membayarkan pajak tersebut.

Jenis pajak yang biasanya menggunakan withholding system di Indonesia adalah PPh Pasal
21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Final Pasal 4 ayat (2) dan PPN. Bukti potong atau bukti
pungut biasanya digunakan sebagai bukti atas pelunasan pajak dengan menggunakan sistem
ini.

Untuk beberapa kasus tertentu, bisa juga menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). Bukti
potongan tersebut nantinya akan dilampirkan bersama SPT Tahunan PPh/SPT Masa PPN
dari wajib pajak yang bersangkutan.
Fungsi Pajak
Pajak memiliki dua fungsi, yaitu :

1. Fungsi penerimaan ( budgetair )

Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukan bagi pembiayaan pengeluaran
pemerintah baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan.

2. Fungsi mengatur ( regular )

Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan kebijakan
dibidang social dan ekonomi. Sebagai contoh dikenakannya pajak yang tinggi terhadap
minuman keras, sehingga konsumsi minuman keras dapat ditekan. Demikian juga terhadap
barang mewah dan rokok.
Jenis-jenis Pajak

Secara umum pajak yang diberlakukan di indonesia dapat dibedakan dengan klasifikasi sebagai
berikut:

a. Menurut sifatnya

1. pajak langsung adalah pajak yang pembebananya tidak dapat dilimpahkan oleh pihak
lain dan menjadi beban langsung wajib pajak yang bersangkutan. Contoh : pajak
penghasilan

2. pajak tidak langsung adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepada
pihak lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai.
b. Menurut sasaran / objeknya
Pembagian pajak menurut sasaran atau objeknya dimaksudkan pembedaan berdasarkan ciri-
ciri prinsip :

1. Pajak subjektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan kepada subjeknya
yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan diri
wajib pajak .
Contoh pajak penghasilan

2. Pajak objektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasar pada objeknya tanpa
memperhatikan keadaan diri wajib pajak.
Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
c. Menurut pemungutannya

1. Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah dan digunakan untuk
membiayai rumah tangga negara.
Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak atas penjualan Barang
Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Materai.

2. Pajak daerah adalah pajak yang dipungutoleh pemerintah daerah dan digunakan untuk
membiayai rumah tangga daerah.
Contoh : Pajak Reklame, pajak hiburan, dan pajak lain-lain.
Jenis-jenis Pungutan Lain Selain Pajak

a. Retribusi
Retribusi pada umumnya mempunyai hubungan langsung dengan kembalinya prestasi (ada
kontra prestasi secara langsung) karena pembayaran tersebut ditujukan semata- mata
untuk mendapatkan sesuatu prestasi tertentu dari pemerintah, misalnya karcis masuk
teminal, karcis masuk tol dan lain-lain.
Pungutan retribusi di Indosesia didasarkan pada Undang-Undang No 28 tahun 2009
tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Retribusi daerah adalah pungutan daerah
sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan atau
diberikan pleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.

b. Sumbangan
Pengertian sumbangan disini tidak boleh dicampuradukkan dengan retribusi. Dalam
retribusi dapat ditunjuk seseorang yang menikmati kontaprestasi secara langsung yaitu
membayar retribusi, sedangkan pada sumbangan, yang merasakan imbalan/manfaatnya
langsung adalah penerima sumbangan. Contoh : sumbangan bencana alam
Tarif Pajak

Pemungutan pajak tidak terlepas dari keadilan sebab keadilan dapat menciptakan
keseimbangan sosial yang sangat penting untuk kesejahteraan masyarakat.dalam pentapan
tarif pun harus mendasarkan pada keadilan. Dalam penghitungan pajak yang terutang
digunakan tarif pajak. Tarif pajak yang dimaksud adalah tarif untuk menghitung besarnya
pajak terutang (pajak yang harus dibayar). Besarnya tarif pajak dapat dinyatakan dalam
persentase. Dalam pajak penghasilan persentase tarifnya dibedakan :

1. Tarif marginal
Persentase tarif ini berlaku untuk suau kenaikan dasar pengenaan pajak. Sebagai contoh
tarif PPh 1994 ( perhatikan contoh tarif progresif ) bahwa tarif marginal untuk setiap
tambahan penghasilan kena pajak yang melebihi 0 sampai dengan Rp 25.000.000,00
sebesar 10% yang diikuti pula untuk setiap tambahan penghasilan kena pajak diatas Rp
25.000.000,00 sampai dengan Rp 50.000.000,00 dengan tarif marginal 15% dan
seterusnya.
2. Tarif efektif
Persentase tarif pajak yang efektif berlaku atau harus ditetapkan atas dasar pengenaan
pajak tertentu.

Sebagai contoh apabila penghasilan kena pajak sebesar Rp 30.000.000,00 pph terutang di
hitung :
10% X Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% X Rp 5.000.000,00 = Rp 750.000.00 +
Total = Rp 3.250.000,00

Tarif efektifnya = Rp 3.250.000,00 x 100% = 10,833%


Rp 30.000.000,00
Struktur tarif yang behubungan dengan pola pesentase tarif pajak dikenal 4 (empat) macam
tarif, yaitu :

a. Tarif Proporsional/Sebanding
Tarif pajak proporsional yaitu tarif pajak berupa persentase terhadap jumlah berapapun
yang menjadi dasar pengenaan pajak. Sering juga disebut tarif tunggal karena hanya
menggunakan satu tarif dengan persentase tetap. Contoh: Tarif Pajak Pertambahan Nilai
10 %, PBB 0.5 % dan BPHTB 5 %
b. Tarif Progresif
Tarif pajak progresif adalah tarif pajak yang persentasenya menjadi lebih besar apabila
jumlah yang menjadi dasar penggenaannya semakin besar. Misalnya tarif pajak yang berlaku
dilndonesia, yaitu:
Untuk Wajib pajak orang pribadi: tarif menurut UU PPh No 36 tahun 2008:
o Sampai dengan Rp 50.000.000,00 tarifnya 5%
o Diatas Rp 50.000.000,00 sampai dengan Rp 250.000.000,00 tarifnya 15%
o Diatas Rp 250.000.000,00 sampai dengan Rp 500.000.000,00 tarifnya 25%
o Diatas Rp 500.000.000,00 tarifnya 30%

Untuk wajib pajak badan dan BUT: Perubahan tarif untuk wajib pajak badan UU PPh No 36
tahun 2008 menjadi tarif tunggal yaitu 28 % (2009) dan 25% (2010 dan seterusnya).

Dengan memperhatikan kenaikan persentase tarifnya, tarif progresif dapat dibagi menjadi :
a. Tarif progresif progresif. Dalam hal ini kenakan persentase pajaknya semakin besar
b. Tarif progresif tetap. Kenaikan persentasenya tetap.
c. Tarif progresif degresif. Kenaikan persentasenya semakin kecil
c. Tarif degresif
Tarif pajak degresif adalah psentase tarif pajak yang semakin menurun apabila jumlah
yang menjadi dasar pengenaan pajak semakin besar.

d. Tarif tetap
Tarif tetap adalah tarif berupa jumlah yang tetap (sama besarnya) terhadap berapapun
jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak. Oleh karena itu besarnya pajak yang terutang
tetap. Bea materai merupakan struktur tarif ini Rp 3.000 dan Rp 6.000.

e. Tarif pajak advalorem


Tarif pajak advalorem merupakan tarif dengan persentase tertentu atas harga barang
atau nilai suatu barang, misal tarif bea masuk sebesar 10 % dari Nilai Impor.

f. Tarif pajak spesifik


Merupakan tarif dengan jumlah tertentu atau suatu jenis atau satuan jenis barang
tertentu. Misal tarif bea masuk yang besar rupiahnya ditetapkan atas suatu barang yang
diimpor.
Perlawanan Terhadap Pajak

Mengingat batapa pentingnya peran masyarakat untuk membayar pajak dalam peran sertanya
menanggung pembayaran negara, maka dituntut kesadaran warga negara untuk memenuhi
kewajban kenegaraan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pada sebagian masyarakat
terdapat keengganan memenuhi kewajiban perpajakan. Dalam hal demikian timbul perlawanan
terhadap pajak. Perlawanan terhadap pajak dapat dibedakan menjadi perlawanan pasif dan
perlawanan aktif.

• Perlawanan pasif
Perlawanan pasif berupa hambatan yang mempersulit pemungutan pajak dan mempunyai
hubungan erat dengan struktur ekonomi suatu negara, dengan perkembangan intelektual
dan moral penduduk, dan dengan teknik pemungutan pajak itu sendiri.

• Perlawanan aktif
Perlawanan aktif secara nyata terlihat pada semua usaha dan perbuatan yang secara
lanngsung ditujukan kepada pemerintah (fiskus) dengan tujuan untuk menghindari pajak.
Perlawanan aktif diantaranya dapat dibedakan cara-cara sebagai berikut:

a. Penghindaran diri dari pajak (Tax avoidance)


Dilakukan dengan tidak melakukan perbuatan yang memberi alasan untuk di kenakan pajak.
Penghindaran yang dilakukan wajib pajak masih dalam kerangka peraturan perpajakan.
Misal : rokok putih diganti dengan rokok tingwe supaya tidak kena pajak rokok.

b. Pengelakan diri dari pajak ( tax evasion )


Dilakukan dengan cara-cara yang melanggar undang-undang dengan maksud melepaskan diri
dari pajak atau mengurangi dasar pengenaannya.
Misalnya : wajib pajak melakukan manipulasi pajak dengan melakukan pembukuan ganda.

c. Melalaikan pajak
Dilakukan dengan cara menolak membayar pajak yang telah ditetapkan dan menolak
memenuhi formalitas yang harus dipenuhi.
Misalnya : Menghalangi penyitaan dengan menyembunyikan barang-barang yang akan disita.
Asas dan Dasar Pemungutan Pajak

Untuk mencapai tujuan pemungutan pajak, dalam memilih alternatif pemungutannya perlu
berdasar pada asas-asas pemungkutan pajak sehingga terdapat keserasian antara pemungutan
pajak dengan tujuan dan asasnya. Adam Smith dalam bukunya An Iquiry into the Nature and
Causes of the Wealth of Nation menyatakan pungutan pajak hendaknya didasarkan pada
asas :

a. Equality
Pemungutan pajak harus bersifat final, adil, dan merata, yaitu dikenakan kepada orang
pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak (Ability to pay) dan
sesuai dengan manfaat yang diterima.

Adil dimaksudkan bahwa setiap wajib pajak menyumbangkan uang untuk pengeluaran
pemerintah sebanding denngan kepentingannya dan manfaat yang diminta. Asas keadilan
dalam prinsip perundang - undangan perpajakan maupun dalam hal pelaksanaannya harus
dipegang teguh walaupun keadilan itu sangat relatif.
b. Certainty
Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang. Oleh karena itu wajib pajak harus
mengetahui secara jelas dan pasti pajak yang terutang, kapan harus dibayar, serta batas
waktu pembayaran.

c. Convenience
Kapan wajib pajak itu harus membayar sebaiknya sesuai dengan saat-saat yang tidak
menyulitkan Wajib pajak sebagai contoh pada saat Wajib pajak memperolah penghasilan.
Sistem pemungutan ini disebut Pay as You Earn.

d. Economy
Secara ekonomi bahwa biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi wajib
pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang dipikul wajib pajak.
DASAR TEORI PEMUNGUTAN PAJAK

Meski dijelaskan berbagai teori tentang dasar pemungutan pajak, pembayaran pajak umumnya
tetap dianggap sebagai sebuah beban, ketimbang sebagai sebuah kewajiban apalagi sebuah
kesadaran bahwa pemungutan pajak memang perlu didukung. Hal ini antara lain sebabkan
karena tidak adanya kontraprestasi yang langsung dapat dirasakan oleh pembayar pajak. Teori
ini menjadi dasar bagi negara untuk memungut pajak antara lain :

a. Teori asuransi
Dalam perjanjian asuransi diperlukan pembayaran premi. Premi tersebut dimaksudkan
sebagai pembayaran atas usaha melindungi orang dari segala kepentingannya misal
keselamatan atau keamanan harta bendanya. Masyarakat seakan mempertangungkan
keselamatan dan keamanan jiwanya kepada negara sehingga masyarakat harus membayar
"premi" kepada negara. Teori asuransi ini menyamakan pembayaran premi dengan
pembayaran pajak. Pada kenyataannya menyamakan pajak dengan premi tidaklah tepat,
karena jika masyarakat mengalami kerugian. Negara tidak dapat memberikan penggantian
layaknya perusahaan asuransi.
b. Teori kepentingan
Teori kepentingan diartikan bahwa negara yang melindungi kepentingan harta dan jiwa
warga negara dengan memperhatikan pembagian beban yang harus dipungut dari
masyarakat. Pembebanan ini di dasarkan pada kepentingan setiap orang termasuk
perlindungan jiwa dan hartanya. Oleh karena itu, pengeluaran negara untuk melindunginya
dibebankan kepada masyarakat. Warga negara yang memiliki harta lebih banyak akan
membayar pajak yang lebih besar, dan sebaliknya yang ,memiliki harta lebih sedikit
membayar pajak lebih kecil untuk melindungi kepentingannya.

c. Teori gaya pikul


Teori ini berpangkal dari azas keadilan yaitu bahwa setiap orang dikenakan pajak dengan
bobot sama. Pajak yang dibayar adalah menurut gaya pikul dengan ukuran besarnya
penghasilan dan pengeluaran seseorang. Kekuatan (gaya pikul) untuk membayar pajak baru
ada setelah terpenuhinya kebutahan primer seseorang. Dalam pajak penghasilan kita kenal
konsep Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Bila seseorang berpenghasilan dibawah PTKP
berarti gaya pikulnya tidak ada sehingga ia tidak harus membayar pajak. Teori ini lebih
menekankan unsur kemampuan seseorang dan rasa keadilan.
d. Teori bakti
Teori ini disebut juga teori kewajiban pajak mutlak. Teori ini mendasarkan bahwa negara
mempunyai hak mutlak ntuk memungut pajak. Dilain pihak, masyarakat menyadari bahwa
membayar pajak sebagai suatu kewajiban untuk membuktikan tanda baktinya terhadap
negara karena negaralah yang bertugas menyelenggarakan kepentingan masyarakatnya.
Dengan demikian dasar hukum pajak terletak pada hubungan masyarakat dengan negara.

e. Teori gaya beli


Pembayaran pajak dimaksudkan untuk memelihara masyarakatnya. Pembayaran pajak yang
dilakukan kepada negara lebih ditekankan peda fungsi mengatur dari pajak agar
masyarakat tetap eksis. Teori ini mendasarkan pada penyelenggaraan kepentingan
masyarakat yang dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak, bukan kepentinngan
individu atau negara, sehingga pajak lebih menitik beratkan pada fungsi mengatur. Dalam
teori ini kemaslahatan masyarakat akan tetap terjamin dengan pembayaran pajak.
Pembagian Hukum Pajak

Hukum pajak mengatur hubungan antara pmerintah (fiskus) selaku pemungut pajak dengan
wajib pajak. Hukum pajak dibedakan menjadi :

a. Hukum pajak materiil


Hukum pajak meteriil memuat norma-norma yang menerangkan keadaan, perbuatan,
peristiwa hukum yang dikenakan (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek pajak),
berapa besar pajak yang dikenakan, segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya pajak, dan
hubungan hukum antara pemerintahan dan wajib pajak. Hukum materiil meliputi:
1. UU pajak penghasilan
2. UU pajak Pertambahan Nilai
3. UU pajak Bumi dan Bangunan
4. UU Bea Perolehan atas Tanah dan atau Bangunan
5. UU Bea Materai
b. Hukum Pajak Formal
Hukum pajak formal, memuat bentuk / tata cara untuk mewujudkan hukum materiil menjadi
kenyataan.
Hukum pajak formal ini memuat, antara lain :
1. Tata cara penetapan utang pajak.
2. Hak-hak fiskus untuk mengawasi wajib pajak mengenai keadaan, perbuatan,dan
peristiwa yang dapat menimbulkan utang pajak.
3. Kewajiban wajib pajak, misalnya penyelenggaraan pembukuan / pencatatan, dan hak-
hak wajib pajak mengajukan keberatan dan banding.

Hukum pajak formal meliputi :


1. UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
2. UU Penagihan Pajak dengan surat paksa.
3. UU Pengadilan pajak.
Yuridiksi Pemungutan Pajak
Terdapat tiga hal yang digunakan sebagai dasar untuk memungut pajak :
1. Tempat tinggal
Negara mempunyai hak untuk memungut pajak atau seluruh penghasilan wajib pajak
berdasarkan tempat tinggal wajib pajak tanpa memperhatikan apakah ia sebagai warga
negaranya atau sebagai warga negara asing. Wajib pajak yang bertempat tinggal
diindonesia dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh berasal dari
indonesia atau berasal dari luar negeri (pasal 4 undang-undang pajak penghasilan).
2. Kebangsaan
Pengenaan pajaknya dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. Suatu negara memungut
pajak atas orang yang mempunyai kebangsaan negara tersebut tanpa memperhatikan
dimana ia tinggal.
3. Sumber
Negara memounyai hak untuk memungut pajak atas penghasilan yang bersumber dari suatu
negara. Dengan demikian orang atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan
dari indonesia dikenakan pajak diindonesia tanpa memperhatikan tempat tinggal wajib
pajak.
Utang Pajak

Dalam ajaran hukum formal, Apabila melihat timbulnya utang pajak, bahwa utang pajak timbul
karena surat ketetapan pajak (ajaran formal), ajaran ini diterapkan pada official assessment
system. Perbedaan dengan ajaran hukum materiil bahwa utang pajak timbul karena undang-
undang. Ajaran ini diterapkan pada self assessment system.
Hapusnya Utang Pajak

Hapusnya utang pajak disebabkan :

a. Pembayaran
Utang pajak yang melekat pada wajib pajak akan hapus karena pembayaran yang dilakukan
ke kas negara.

b. Kompensasi
Keputusan yang ditujukan kepada kompensasi utang pajak dengan tagihan seseorang diluar
pajak tidak diperkenankan. Oleh karena itu kompensasi terjadi apabila wajib pajak
mempunyai tagihan berupa kelebihan pembayaran pajak. Jumlah kelebihan pembayaran
pajak yang diterima wajib pajak sebelumnya harus dikompensasikan dengan pajak-pajak
lainnya yang terutang.
c. Daluwarsa
Daluwarsa diartikan sebagai daluwarsa penagihan. Hak untuk melakukan penagihan pajak,
daluwarsa setelah lampau waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak
atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak yang bersangkutan. Hal
ini untuk memberikan kepastian hukum kapan utang pajak tidak dapat ditagih lagi. Namun
daluwarsa penagiah pajak tertangguh, antara lain, apabila diterbitkan Surat Teguran dan
Surat Paksa.

d. Pembebasan
Utang pajak tidak berakhir dalam arti yang semestinya tetapi karena ditiadakan.
Pembebasan umumnya tidak diberikan terhadap pokok pajaknya, tetapi terhadap sanksi
administrasi.

e. Penghapusan
Penghapusan utang pajak ini sama sifatnya dengan pembebasan, tetapi diberikannya karena
keadaan keuangan Wajib Pajak.
BAB II
PENDAFTARAN NPWP
PENGERTIAN
Ibarat KTP, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pada dasarnya merupakan identitas atau tanda
pengenal bagi Wajib Pajak (WP). NPWP merupakan sarana dalam administrasi perpajakan yang
digunakan oleh WP dalam melaksanakan hak dan kewajibannya. Sejak 1 April 2001 NPWP
terdiri dari 15 Digit. NPWP ini berfungsi sebagai sarana dalam pelaksanaan hak dan kewajiban
perpajakan (baca: administrasi pajak). Oleh karena itu kepada setiap WP hanya diberikan satu
NPWP. Selain itu, NPWP juga dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran
pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan. Dalam hal berhubungan dengan dokumen
perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan mencantumkan NPWP yang dimilikinya. Terhadap Wajib
Pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP dikenakan sanksi sesuai
peraturan perundang-undangan perpajakan.

Kewajiban untuk memiliki NPWP merupakan kewajiban bagi setiap WP. Ini tidak bisa ditolak
karena sudah ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang- undang No. 16 tahun 2009 tentang
Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan (UU KUP), yang menyatakan:
"Setiap Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan
kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak."
SUBJEK WAJIB NPWP
Dalam praktiknya memang tidak semua WP diwajibkan untuk ber-NPWP. Hal tersebut merupakan fasilitas
yang diberikan oleh peraturan perpajakan. WP yang tidak wajib untuk ber-NPWP adalah WP orang pribadi
yang memiliki penghasilan tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dalam satu Tahun Pajak.

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat menyesuaikan besaran PTKP setelah
mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga kebutuhan pokok
setiap tahunnya. Sesuai dengan Pasal 7 UU Pajak Penghasilan (UU PPh) Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh
yang paling baru), besaran PTKP terakhir sesuai PMK 010/2016 berlaku 22 juni 2016 yang bisa didapatkan
oleh WP adalah sebagai berikut:

a. Rp 54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
b. Rp. 4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
c. Rp 54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya
digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan
d. Rp. 4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga
sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi
tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
Subjek yang wajib untuk mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP adalah WP orang pribadi
dan WP badan. Jangka waktu pendaftaran NPWP berbeda untuk setiap subjek. Khusus untuk
WP orang pribadi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu orang yang menjalankan usaha atau
pekerjaan bebas dengan orang yang tidak menjalankan usaha.

Bagi WP orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan WP badan, wajib
mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP paling lama satu bulan setelah saat usaha mulai
dijalankan. Yang dimaksud dengan saat ifeaha mulai dijalankan adalah saat yang terjadi lebih
dulu antara saat pendirian dan saat usaha nyata-nyata mulai dilakukan.
TEMPAT PENDAFTARAN
Pada prinsipnya WP orang pribadi atau badan wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh
NPWP ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau
tempat kedudukan WP, dengan ketentuan sebagai berikut:
✓ WP orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha di beberapa tempat, juga wajib
mendaftarkan diri ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat-tempat kegiatan usaha
WP.
✓ Dalam hal tempat tinggal atau tempat kedudukan WP berada dalam dua atau lebih wilayah
kerja KPP, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan KPP tempat WP terdaftar.
CARA PENDAFTARAN

WP OP yang dengan kemauan sendiri dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP
dengan cara mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP ke KPP domisili tempat tinggal orang
pribadi atau tempat kedudukan WP badan. Tatacara pendaftaran NPWP adalah seperti telah
dikemukakan dalam bagian sebelumnya. Bagi karyawan pendaftaran NPWP dapat dilakukan
sendiri maupun melalui pemberi kerja.

Dalam praktiknya NPWP dapat diperoleh dengan tiga cara yaitu:


a. Mendaftar dengan kesadaran diri untuk memperoleh NPWP.
b. Pendaftaran NPWP melalui pemberi kerja; dan
c. Diberikan secara jabatan.
Penghapusan NPWP

Tidak semua WP dapat menghapus NPWP. Berdasarkan PMK-20/PMK.03/2008 Penghapusan


NPWP hanya dapat dilakukan dalam hal:

a. diajukan permohonan penghapusan NPWP oleh:


1. Wajib Pajak dan/atau ahli warisnya karena Wajib Pajak sudah tidak memenuhi
persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan;
2. Wajib Pajak badan dalam rangka likuidasi atau pembubaran karena penghentian atau
penggabungan usaha;
3. Wanita yang sebelumnya telah memiliki NPWP dan menikah tanpa membuat perjanjian
pemisahan harta dan penghasilan
4. Wajib Pajak bentuk usaha tetap yang menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia
Penghapusan NPWP bagi Wanita Kawin
Penghapusan NPWP bagi WP wanita kawin, tidak dengan perjanjian pemisahan harta dan
penghasilan dapat dilakukan dengan ketentuan bahwa suami telah terdaftar sebagai WP dan
berlaku sejak awal tahun berikutnya setelah tahun perkawinan dilaksanakan.

Berkas WP wanita kawin yang NPWP-nya telah dihapus tersebut:


a. Diserahkan atau dikirimkan oleh KPP tempat wanita tersebut terdaftar ke KPP tempat
suami terdaftar sebagai WP dengan disertai uraian singkat mengenai history pelaksanaan
kewajiban perpajakannya, untuk digabung dengan berkas WP suami.
b. Digabungkan dengan berkas WP suami, dalam hal WP wanita kawin terdaftar pada KPP yang
sama dengan tempat suami terdaftar.
BAB III
PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA
PAJAK
PENGERTIAN
Kewajiban untuk mengukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) hanya dilakukan oleh
pengusaha, baik orang pribadi maupun badan yang melakukan:
a. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dalam daerah pabean;
b. Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) dalam daerah pabean; dan
c. Ekspor BKP.

Pelaporan untuk dikukuhkan menjadi PKP wajib dilakukan sebelum pengusaha yang
bersangkutan melakukan penyerahan BKP dan atau JKP. Bagi pengusaha yang tidak melakukan
kewajiban tersebut dapat dikukuhkan menjadi PKP secara jabatan oleh Dirjen Pajak.

Identitas sebagai PKP ini ditandai dengan diberikannya Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak (NPPKP), yaitu nomor yang diberikan kepada PKP untuk memenuhi kewajiban Pajak
Pertambahan Nilai (PPN). Sejak tahun 2002, jumlah digit NPPKP sama dengan jumlah digit
NPWP yang terdiri dari 15 (lima belas digit). 9 (sembilan) digit pertama merupakan Kode WP
dan 6 (enam) digit berikutnya merupakan Kode Administrasi Perpajakan.
FUNGSI NPPKP

NPPKP berfungsi sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai
tanda pengenal diri atau identitas PKP dalam melaksanakan hak dan kewajiban PPN-nya. Pada
dasarnya NPPKP yang dimiliki oleh PKP hanya 1 (satu). Namun jika PKP mempunyai lebih dari 1
(satu) tempat usaha, dan PKP yang bersangkutan tidak mendapatkan izin untuk melakukan
pemusatan PPN terutang, maka masing-masing tempat usaha tersebut harus dikukuhkan
sebagai PKP. Dalam hal ini, NPPKP tersebut pada dasarnya hanyalah satu. Yang membedakan
NPPKP yang satu dengan yang lainnya hanyalah perbedaan kode KPP dan kode cabang.
WAJIB NPPKP

NPPKP wajib bagi pengusaha yang omzet penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa
Kena Pajak (JKP) selama satu tahun bukunya lebih dari Rp. 4.800.000.000,- (empat milyar
delapan ratus juta rupiah). Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
197/PMK.03/2013 Tanggal 20 Desember 2013 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak
Pertambahan Nilai. Dalam hal ini, pendaftaran diri untuk dikukuhkan sebagai PKP wajib
dilakukan paling lambat akhir masa pajak berikutnya.

Pengusaha kecil (omzet setahunnya tidak lebih dari Rp 4.800.000.000,-) bisa memilih untuk
mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai PKP atau tetap sebagai pengusaha yang tidak
melakukan kewajiban PPN. Namun apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku, jumlah
peredaran bruto dan atau penerimaan brutonya telah melebihi Rp 4.800.000.000,-, maka
pengusaha kecil wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP paling lambat pada
akhir bulan berikutnya.
Jika tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan, maka saat
pengukuhan adalah awal bulan berikutnya setelah bulan batas waktu tersebut. Kewajiban
untuk memungut, menyetorkan, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM) yang terutang dimulai sejak saat dikukuhkan sebagai
PKP.
CARA PENDAFTARAN

Pelaporan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP ditujukan ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi
tempat kegiatan usaha WP. WP atau orang yang diberi kuasa khusus untuk melaporkan
kegiatan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP wajib mengisi, menandatangani, dan
menyampaikan formulir pendaftaran ke KPP. Formulir tersebut tersedia di KPP dan formatnya
sesuai yang tertera di lampiran II PER-44/PJ./2008 stdd PER-41/PJ./2009.

Berdasarkan formulir pendaftaran, KPP akan menerbitkan Surat Pengukuhan PKP dalam waktu
paling lama 3 (tiga) hari kerja berikutnya setelah pelaporan beserta persyaratannya diterima
secara lengkap. Jika WP melakukan pendaftaran sekaligus melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai PKP, maka Kartu NPWP, Surat Keterangan Terdaftar, dan Surat
Pengukuhan PKP diterbitkan secara bersamaan paling lama 3 (tiga) hari kerja berikutnya
setelah permohonan pendaftaran dan pelaporan beserta persyaratannya diterima secara
lengkap.
PENCABUTAN NPPKP
Seperti halnya NPWP, NPPKP juga tidak berlaku seumur hidup. Ada masanya di mana NPPKP
dapat dicabut. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 20/PMK.03/2008 menyatakan bahwa
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat melakukan
Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak tersebut dapat dilakukan dalam hal:
1. Pengusaha Kena Pajak pindah alamat ke wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak lain; atau
2. sudah tidak merfienuhi persyaratan sebagai Pengusaha Kena Pajak termasuk Pengusaha
Kena Pajak yang jumlah peredaran dan/atau penerimaan bruto untuk suatu tahun buku
tidak melebihi batas jumlah peredaran dan/atau penerimaan bruto untuk Pengusaha Kecil.

Untuk mencabut NPPKP, PKP harus terlebih dahulu mengajukan permohonan pencabutan
pengukuhan sebagai PKP. Selanjutnya Dirjen Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus
memberikan keputusan paling lama 6 (enam) bulan sejak permohonan pencabutan NPPKP diterima
secara lengkap. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat, Dirjen Pajak tidak memberi suatu
keputusan, maka permohonan pencabutan pengukuhan sebagai PKP dianggap dikabulkan dan Surat
Pencabutan Pengukuhan PKP harus diterbitkan dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah
jangka waktu tersebut berakhir.
KEWAJIBAN PAJAK

Adanya NPPKP akan menimbulkan kewajiban perpajakan yaitu menghitung, menyetor dan
melaporkan Pajak Pertambahan Nilai, yaitu memungut PPN, menerbitkan Faktur Pajak dan
menyampaikan PPN dan PPn BM.
MEMUNGUT PPN DAN MENERBITKAN FAKTUR
PAJAK

Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP mempunyai kewajiban memungut PPN atas setiap
penyerahan BKP dan atau JKP yang dilakukannya, kecuali apabila penyerahan BKP dan atau JKP
dilakukan kepada pihak yang ditunjuk menjadi Pemungut PPN (WAPU PPN). Pemungut PPN
dalam hal ini wajib memungut PPN atas pembelian atau perolehan BKP dan atau JKP yang
mereka lakukan.

Pengenaan PPN di Indonesia dilakukan berdasarkan sistem faktur sehingga setiap penyerahan
BKP dan atau JKP yang dilakukan PKP harus dibuatkan Faktur Pajak. Faktur Pajak adalah bukti
pungutan PPN dan PPn BM yang harus dibuat oleh PKP setiap melakukan penyerahan BKP dan
atau JKP. Faktur Pajak juga merupakan bukti pungutan PPN dan PPn BM karena impor BKP yang
digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
MENYAMPAIKAN SPT MASA PPN/PPn BM

Kewajiban terakhir yang harus dilakukan oleh PKP sehubungan dengan PPN dan PPn BM adalah
menyampaikan SPT Masa PPN. Khusus bagi PKP yang menghasilkan BKP yang tergolong mewah,
dalam Formulir SPT Masa PPN disediakan satu kolom khusus yang wajib diisi untuk
menggambarkan jumlah penyerahan BKP mewah yang mereka serahkan. Sedangkan hak paling
utama PKP adalah hak untuk mengkreditkan PPN Masukan sesuai dengan ketentuan Pasal 9 UU
PPN.
BAB IV
Surat Pemberitahuan (SPT)
PENGERTIAN

Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan
penghitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak dan atau
harta dan kewajiban, menurut ketentuan perundangan-undangan perpajakan.

SPT berfungsi sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan


jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan atau untuk melaporkan tentang:
▪ Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan atau melalui
pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) tahun pajak atau bagian tahun pajak;
▪ Penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau bukan objek pajak;
▪ Harta dan kewajiban; Pembayaran dan pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau
pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) masa pajak, yang ditentukan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagi Pengusaha Kena Pajak, SPT berfungsi sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah PPN dan PPn BM yang sebenarnya terutang
dan untuk melaporkan tentang:
• Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;
• Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena
Pajak dan atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, yang ditentukan oleh ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
• Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana
untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan
disetorkannya.
WAJIB SPT

Setiap pihak yang telah terdaftar di KPP pada dasarnya wajib mengisi SPT dalam bahasa
Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan
menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Ditjen Pajak tempat WP terdaftar atau
dikukuhkan. Namun, ada pihak yang dikecualikan dari kewajiban penyampaian SPT yaitu:
▪ WP orang pribadi yang penghasilan netonya tidak melebihi jumlah PTKP. WP ini dikecualikan
dari penyampaian SPT Tahunan maupun Masa;
▪ WP orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas. WP ini
hanya dikecualikan dari kewajiban penyampaian SPT Masa.
JENIS SPT

SPT banyak ragamnya. Jika dibedakan dalam jenis kewajiban pajaknya, maka hampir semua
jenis pajak mewajibkan adanya penyampaian SPT. Dan jika dibedakan dalam periodisasi
penyampaian kewajiban SPT, maka hal itu bisa dibedakan menjadi dua jenis, yaitu SPT
Tahunan dan SPT Masa.

SPT Masa adalah SPT untuk suatu masa pajak. Adapun yang dimaksud dengan masa pajak
adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu) bulan takwim atau jangka waktu lain
yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan takwim.
SPT Tahunan adalah SPT untuk suatu tahun pajak atau bagian tahun pajak. Adapun yang
dimaksud dengan tahun pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun takwim, kecuali bila WP
menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim. Sedangkan pengertian dari
bagian tahun pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) tahun pajak.

SPT Tahunan hanya dikhususkan untuk kewajiban Pajak Penghasilan, yaitu SPT Tahunan PPh
Orang Pribadi dan Badan. Sementara SPT Masa bisa dibedakan sebagai berikut:
a. SPT Masa PPh Pasal 21/26;
b. SPT Masa PPh Pasal 22;
c. SPT Masa PPh Pasal 23/26;
d. SPT Masa PPh Pasal 25;
e. SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2);
f. SPT Masa PPh Pasal 15;
g. SPT Masa PPN dan PPnBM bagi PKP Non Pemungut maupun Pemungut;
MEDIA PENYAMPAIAN

Dilihat dari media penyampaiannya, SPT dapat terbagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu:
1. SPT Hardcopy: SPT dalam tampilan kertas yang sudah sejak lama dikenal;
2. E-SPT: SPT dalam dalam bentuk aplikasi (software) yang dibuat oleh Ditjen Pajak untuk
digunakan oleh WP demi kemudahan dalam menyampaikan SPT. Istilahnya, e-SPT adalah
bentuk mutakhirnya SPT hardcopy yang telah sekian lama digunakan.
CARA MEMPEROLEH SPT

Untuk bisa memperoleh SPT bisa dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. diambil secara langsung oleh Wajib Pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor
Pelayanan^Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP), Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak, Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Pojok Pajak, Mobil Pajak.
2. Download dari situs internet atau homepage Ditjen Pajak, yaitu http://www.paiak.qo.id.
3. Dicetak/digandakan/difotokopi dengan bentuk, ukuran dan isi yang sama dengan aslinya.
BATAS WAKTU PENYAMPAIAN SPT

SPT tidak dapat disampaikan sesuka hati. Ada waktu-waktu yang telah ditetapkan sebagai
batas waktu penyampaian SPT, yaitu:
1. Untuk SPT Masa, paling lambat 20 (dua) puluh hari setelah akhir masa pajak;
2. Untuk SPT Tahunan PPh WPOP, paling lambat 3 (tiga) bulan setelah akhir tahun pajak.
3. Untuk SPT Tahunan PPh Badan, paling lambat 4 (empat) bulan setelah akhir tahun pajak.
Syarat permohonan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh adalah:
1. Permohonan diajukan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh berakhir
dengan menyebutkan alasan-alasannya;
2. Laporan Keuangan Sementara untuk Tahun Pajak yang bersangkutan dari Wajib Pajak
itu sendiri (bukan Laporan Keuangan Sementara dari konsolidasi grup);
3. Surat Setoran Pajak Penghasilan Pasal 29 sebagai bukti pelunasan kekurangan
pembayaran pajak yang terutang kecuali ada ijin untuk mengangsur atau menunda
pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29; dan
4. Surat Pernyataan dari Akuntan Publik yang menyatakan audit Laporan Keuangan belum
selesai dalam hal Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik.
CARA PENYAMPAIAN SPT

a. Secara langsung
b. Melalui pos dengan bukti pengiriman surat
c. Melalui cara lain:
1. Melalui jasa ekspedisi/kurir
2. e-Filing
WP juga dapat menyampaikan SPT secara e-Filing, yaitu secara on¬line dan real time.
Penyampaian SPT secara online dan real time ini dapat dilakukan karena digunakannya
internet dan juga bantuan perusahaan penyedia jasa aplikasi (Aplication Service
Provider/ASP). Jadi dalam menyampaikan SPT secara e-Filing, WP tidak bekerja
sendiri melainkan dibantu perusahaan ASP.
PEMBETULAN SPT

Dengan berbagai macam alasan, WP dengan kemauan sendiri dapat membetulkan SPT yang
telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis dengan syarat Dirjen Pajak
belum melakukan pemeriksaan. Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan menyatakan rugi
atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan paling lama 2 (dua)
tahun sebelum daluwarsa penetapan.

Jika pembetulan SPT mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, maka terhadap WP
dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas jumlah pajak
yang kurang dibayar. Untuk SPT Tahunan sanksi ini dihitung sejak saat penyampaian SPT
Tahunan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan SPT itu. Sedangkan
untuk SPT Masa sanksi dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal
pembayaran karena pembetulan SPT itu.
Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan
mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 UU KUP, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan
dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan
ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran
jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar
150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.

Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur
Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran
sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian
Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya, yang dapat
mengakibatkan:
a. pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil;
b. rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih besar;
c. jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil; atau
d. jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil
Dalam hal ini proses pemeriksaan tetap dilanjutkan. Pajak yang kurang dibayar yang timbul
sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan tersebut
beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang
kurang dibayar, harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri dimaksud
disampaikan.
SANKSI-SANKSI TERKAIT SPT

Apabila SPT tidak disampaikan sesuai batas waktu yang telah ditentukan di atas, atau batas
waktu perpanjangan penyampaian SPT Tahunan, terhadap WP akan diterbitkan Surat Teguran.
Di samping itu, jika tidak menyampaikan SPT dalam jangka waktu yang telah ditentukan, maka
WP akan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar:

✓ Rp 100.000,- untuk SPT Masa selain PPN;


✓ Rp 500.000 untuk SPT Masa PPN;
✓ Rp 1.000.000 untuk SPT Tahunan PPh Badan;
✓ Rp 100.000 untuk SPT Tahunan PPh Orang Pribadi.
Pengenaan sanksi administrasi berupa denda tersebut tidak dikenakan terhadap WP Non
Efektif, yaitu:
a. WP orang pribadi yang telah meninggal dunia yang belum diterima pemberitahuan
tertulis secara resmi dari ahli warisnya, sehingga masih terdaftar dalam administrasi
Direktorat Jenderal Pajak;
b. WP badan yang tidak lagi melakukan kegiatan usaha tetapi belum dibubarkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku;
c. WP yang tidak diketahui lagi alamatnya.
BAB V
PEMBAYARAN/PENYETORAN PAJAK
PENGERTIAN

Setiap pajak yang terutang wajib dibayar atau disetor oleh WP. Namun dalam hal ini WP perlu
membedakan antara penyetoran dengan pembayaran pajak. Dalam praktik, istilah pembayaran
dan penyetoran sering dicampuradukkan dan sering dianggap mempunyai pengertian yang sama.
Penyetoran pajak diartikan sebagai pembayaran pajak dan begitu pula sebaliknya pembayaran
pajak kadang-kadang diartikan juga sebagai penyetoran pajak.

Pembayaran pajak ialah pembayaran pajak yang wajib dilakukan sendiri oleh yang wajib
membayar pajak. Misalnya pembayaran angsuran Pajak Penghasilan yang dilakukan seorang
pengusaha untuk pajak atas penghasilan yang diterimanya sendiri, dan dia sendiri pula yang
berkewajiban membayarkannya ke kas negara.

Penyetoran pajak ialah pembayaran pajak yang wajib dilakukan oleh pihak ketiga, bukan oleh
yang wajib membayar pajak. Misalnya penyetoran Pajak Penghasilan karyawan yang dipotong
oleh pemberi kerja (majikan). Dalam hal ini karyawan adalah pembayar pajak, dan pemberi
kerja berkewajiban menyetor pajak yang dipotongnya ke kas negara. Pemberi kerja dalam hal
ini sebagai penyetor pajak.
TEMPAT PENYETORAN DAN PEMBAYARAN

Pembayaran atau penyetoran pajak tidak ditujukan ke KPP/Ditjen Pajak, melainkan ke kas
negara melalui kantor pos/bank badan usaha milik negara/bank badan usaha milik daerah
(disebut bank persepsi/bank devisa bank persepsi). Selain itu, pembayaran atau penyetoran
pajak juga dapat ditujukan ke tempat pembayaran lain yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan. Ditjen Pajak tidak diperbolehkan menerima setoran pajak dari WP.
JATUH TEMPO PEMBAYARAN DAN PENYETORAN
PAJAK
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 80/PMK.03/2010, jatuh tempo
penyetoran/pembayaran pajak adalah sebagai berikut:
1. PPh Pasal 21 harus disetor paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya setelah
Masa Pajak berakhir.
2. PPh Pasal 23 dan Pasal 26 harus disetor paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim
berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak.
3. PPh Pasal 25 harus dibayar paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan takwim berikutnya
setelah masa pajak berakhir.
4. PPh Pasal 22, PPN dan PPn BM Barang Mewah atas impor, harus dilunasi sendiri oleh WP
bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk, dan apabila pembayaran Bea Masuk ditunda
atau dibebaskan, PPh Pasal 22, PPN dan PPn BM atas impor, harus dilunasi pada saat
penyelesaian dokumen impor.
5. PPh Pasal 22, PPN dan PPn BM atas impor yang pemungutannya dilakukan oleh Dirjen Bea dan
Cukai, harus disetor dalam jangka waktu sehari setelah pemungutan pajak dilakukan.
6. PPh Pasal 22 yang pemungutannya dilakukan oleh Bendaharawan Pemerintah haru^ disetor pada
hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang yang dibiayai dari
belanja Negara atau belanja Daerah, dengan menggunakan SSP yang telah diisi dan atas nama
rekanan serta ditandatangani oleh Bendaharawan Pemerintah.
7. PPh Pasal 22 dari penyerahan oleh Pertamina atas hasil produksinya dan dari penyerahan bahan
bakar minyak dan gas oleh badan usaha lain, harus dilunasi sendiri oleh WP sebelum Surat Perintah
Pengeluaran Barang {Delivery Order) ditebus.
8. PPh Pasal 22 yang pemungutannya dilakukan oleh badan tertentu sebagai Pemungut Pajak selain
badan tersebut pada poin 7, harus disetor paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim
berikutnya.
9. PPN dan PPn BM yang terutang dalam satu Masa Pajak, harus disetor paling lama akhir bulan
berikutnya setelah masa pajak berakhir dan sebelum surat pemberitahuan masa PPN disampaikan.
10. PPN dan PPn BM yang pemungutannya dilakukan oleh Bendaharawan Pemerintah atau instansi
Pemerintah yang ditunjuk, harus disetor paling lambat tanggal 7 (tujuh) bulan takwim berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir.
11. PPN dan PPn BM yang pemungutannya dilakukan oleh Pemungut PPN selain Bendaharawan Pemerintah
atau instansi Pemerintah yang ditunjuk, harus disetor paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan
takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

Jika tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran bertepatan dengan hari libur, termasuk hari
Sabtu*), maka pembayaran atau penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.Termasuk hari
libur tersebut adalah hari libur nasional atau hari-hari cuti bersama yang ditetapkan oleh Pemerintah.
*) Ketentuan mengenai libur termasuk hari Sabtu ini berlaku sejak 1 Januari 2008.
MENUNDA DAN MENGANGSUR PEMBAYARAN PAJAK

Jika mengalami kesulitan likuidas, sehingga tidak dapat membayar atau menyetor pajak pada
waktunya, WP dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak
untuk mengangsur atau menunda pembayaran atas;
a. pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan
Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang terutang bertambah,
b. Pajak Penghasilan Pasal 29.

Untuk dapat menunda atau mengangsur pembayaran pajak, WP harus mengajukan permohonan
secara tertulis terlebih dahulu. Permohonan tersebut diajukan paling lambat 15 (lima belas)
hari sebelum saat jatuh tempo pembayaran utang pajak berakhir. Dalam hal WP mengalami
keadaan di luar kekuasaannya, permohonan dapat diajukan setelah batas waktu tersebut
dengan disertai alasan dan jumlah pembayaran pajak yang dimohon diangsur atau ditunda dan
dilampiri dengan bukti-bukti untuk menguatkan alasan permohonannya.
Syarat untuk mengajukan permohonan penundaan atau pengangsuran pembayaran pajak adalah
sebagai berikut:
a. WP bersedia memberikan jaminan yang besarnya ditetapkan oleh Kepala KPP, kecuali
bila Kepala KPP menganggap tidak perlu. Jaminan dapat berupa bank garansi, perhiasan,
kendaraan bermotor dan lain-lain.
b. Bebas dari tunggakan pajak yang telah jatuh tempo.
PEMINDAHBUKUAN

Pemindahbukuan adalah pembayaran utang pajak, termasuk bunga, denda administrasi dan
kenaikan yang dilakukan melalui perhitungan dengan kelebihan pembayaran pajak atau bunga
yang diterima atau melalui perhitungan dengan setoran pajak yang lain atas nama Wajib Pajak
yang sama atau Wajib Pajak lain. Pemindahbukuan dapat dilakukan antar jenis pajak yang sama
atau berlainan, dari masa atau tahun pajak yang sama atau berlainan, untuk wajib pajak yang
sama atau berlainan, dalam Kantor Pelayanan Pajak yang sama atau berlainan.
Pemindahbukuan meliputi :
1. Pemindah bukuan karena adanya kelebihan pembayaran pajak atau telah dilakukan pembayaran
pajak yang seharusnya tidak terutang berdasarkan Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran
Pajak atau surat keputusan lainnya yang menyebabkan timbulnya kelebihan pembayaran p|jak.
2. Pemindah bukuan karena adanya pemberian bunga kepada Wajib Pajak akibat kelambatan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
3. Pemindah bukuan karena diperolehnya kejelasan Surat Setoran Pajak (SSP) yang semula di
administrasikan dalam Bermacam-macam Penerimaan Pajak (BPP).
4. Pemindah bukuan karena salah mengisi Surat Setoran Pajak (SSP) baik menyangkut Wajib
Pajak sendiri maupun Wajib Pajak lain.
5. Pemindah bukuan karena adanya pemecahan setoran pajak yang berasal dari Surat Setoran
Pajak.
6. Pemindah bukuan karena adanya pelimpahan Pajak Penghasilan Pasal 22 dalam rangka impor
atas dasar inden sebelum berlakunya Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 539/KMK.04/1990
tentang Pajak Penghasilan Pasal 22, Pajak Pertambahan Nilai dan atau Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah untuk kegiatan usaha di bidang impor atas dasar inden.
KETENTUAN PEMINDAHBUKUAN

Pemindahbukuan dilaksanakan dengan ketentuan sbb:


1. Wajib Pajak mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak up. Kepala
Kantor Pelayanan Pajak setempat, kecuali pemindah bukuan terkait pengembalian kelebihan
pembayaran pajak. Permohonan diajukan oleh Wajib Pajak pemegang asli SSP dengan
dilampiri :
i. asli SSP yang dimohonkan untuk dipindahbukukan;
ii. asli PIUD (dalam hal pemindahbukuan dilakukan untuk pembayaran PPh Pasal 22 atau
PPN Impor);
iii. daftar nominatif wajib pajak yang menerima pemindahbukuan untuk pemecahan SSP
oleh Bendaharawan/Pemotong/Pemungut.
2. Pemindahbukuan karena adanya kelebihan pembayaran pajak atau adanya pemberian bunga
kepada Wajib Pajak dilaksanakan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak tanpa permohonan dari Wajib Pajak yang bersangkutan, dan tanpa
memerlukan persetujuan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau Direktur
Jenderal Pajak.
3. Pemindahbukuan karena salah atau kurang jelas mengisi Surat Setoran Pajak atau untuk pemecahan setoran
pajak atau untuk tujuan lain dilaksanakan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang berwenang melaksanakan
Tata Usaha Surat Setoran Pajak, tanpa memerlukan persetujuan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Pajak atau Direktur Jenderal Pajak, dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Harus ada permohonan untuk dilakukan pemindahbukuan dari Wajib Pajak pemegang asli Surat Setoran
Pajak (SSP) kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak di mana Wajib Pajak terdaftar;
b. Permohonan pemindahbukuan karena kesalahan mengisi nama dan NPWP pada SSP, harus dilampiri
dengan surat pernyataan dari Wajib Pajak yang nama dan/atau Nomor Pokok Wajib Pajaknya (NPWP)
tercantum dalam SSP, yang menyatakan bahwa SSP tersebut bukan miliknya dan Wajib Pajak tidak
keberatan untuk memindahbukukan hal-hal yang tercantum dalam SSP yang bukan miliknya tersebut
kepada Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pemindahbukuan;
c. permohonan pemindahbukuan karena kesalahan dalam mengisi SSP yang dilakukan oleh
Bendaharawan/Pemungut Pajak dan atau dalam rangka pemecahan SSP, diajukan oleh
Bendaharawan/Pemungut Pajak dimaksud;
d. SSP yang dimohonkan untuk dipindahbukukan belum diperhitungkan dengan pajak yang terhutang dalam
Surat Pemberitahuan Pajak (SPT), Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak (SKP), Surat
Ketetapan Pajak Tambahan (SKPT), Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak (SKKPP), Surat
Pemberitaan (SPb), atau dalam Pemberitahuan Impor untuk Dipakai (PIUD) dari Wajib Pajak pemohon
atau Wajib Pajak yang karena kekeliruan tercantum dalam SSP tersebut.
4. Sebagai bukti telah dilakukan pemindahbukuan, Kepala Kantor Pelayanan Pajak
menerbitkan Bukti Pemindahbukuan (Bukti Pbk).
5. SSP dan Bukti Pemindahbukuan yang telah dipindahbukukan harus dibubuhi cap dan
ditandatangani oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan yang menunjukan
bahwa atas SSP dan Bukti Pemindahbukuan tersebut telah dilakukan pemindahbukuan.
Saat berlakunya Bukti Pemindahbukuan karena adanya kelebihan pembayaran pajak atau
pemberian bunga kepada Wajib Pajak adalah sebagai berikut:

1. Dalam hal dilakukan perhitungan dengan hutang pajak yang belum dilunasi, yaitu tanggal
yang lebih akhir diantara tanggal timbulnya hak Wajib Pajak atas kelebihan pembayaran
pajak atau atas pemberian bunga dan tanggal saat terhutangnya hutang pajak dimaksud;

2. Dalam hal dilakukan perhitungan dengan hutang pajak yang akan datang, yaitu tanggal yang
lebih akhir diantara tanggal timbulnya hak Wajib Pajak atas kelebihan pembayaran pajak
atau atas pemberian bunga dan tanggal permohonan Wajib Pajak;
Saat berlakunya Bukti Pemindahbukuan karena hal-hal yang lainnya adalah tanggal penyetoran
pajak yang dipindahbukukan. Yang dimaksud dengan tanggal timbulnya hak Wajib Pajak adalah :
1. Tanggal Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak untuk kelebihan pembayaran pajak
yang diputuskan dengan SKKPP atau tanggal Surat Keputusan Pemberian Bunga atas
Kelambatan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak (SKPB) untuk pemberian bunga
kepada Wajib Pajak;

2. Tanggal yang lebih akhir diantara tanggal keputusan keberatan/banding/peninjauan


kembali dan tanggal-tanggal setoran pajak yang melebihi pajak terhutang, untuk kelebihan
pembayaran pajak yang timbul karena adanya keputusan keberatan/banding/peninjauan
kembali.
BAB VI
PENETAPAN DAN KETETAPAN PAJAK
SURAT KETETAPAN PAJAK

PENGERTIAN
Berdasarkan metode self-assessment, WP telah diberikan kepercayaan untuk menghitung,
memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. Pada saat-saat
tertentu, Dirjen Pajak melalui para aparatnya akan mengevaluasi penghitungan, perhitungan,
pembayaran, dan pelaporan pajak yang telah dilakukan WP dengan melakukan pemeriksaan.

Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau berdasarkan keterangan lain didapatkan bukti
bahwa jumlah pajak yang terutang yang dihitung dan dilaporkan dalam SPT tidak benar,
misalnya pembebanan biaya ternyata melebihi yang sebenarnya, maka Dirjen Pajak akan
menetapkan jumlah pajak terutang yang semestinya menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan. Penetapan pajak itu akan dituangkan dalam Surat Ketetapan Pajak
(SKP).
Surat Ketetapan Pajak (SKP) ini meliputi:
1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak,
besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar; atau
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), yaitu surat ketetapan pajak yang
menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan; atau
3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang
terutang atau tidak seharusnya terutang; atau
4. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN), yaitu surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok
pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit
pajak.
Jatuh tempo pembayaran jumlah pajak terutang yang tercantum dalam SKPKB dan SKPKBT sesuai
ketentuan Pasal 9 ayat (3) UU KUP adalah 1 (satu) bulan sejak diterbitkan. Jadi bila setelah jangka
waktu satu bulan sejak penerbitan ketetapan pajak di atas WP tidak juga membayar utang pajaknya,
otoritas pajak akan memulai tindak penagihan dengan menerbitkan surat teguran. Sementara untuk
SKPLB bisa dimintai pengembaliannya dengan mengajukan restitusi.
SURAT TAGIHAN PAJAK

Sesuai namanya, Surat Tagihan Pajak (STP) merupakan surat yang digunakan
aparat pajak untuk melakukan penagihan pajak dan atau sanksi administrasi
berupa bunga dan atau denda. STP mempunyai kekuatan hukum yang sama
dengan SKP, sehingga penagihannya pun bisa dilakukan melalui Surat Paksa.
ALASAN PENERBITAN

STP dapat diterbitkan oleh Dirjen Pajak apabila:


a. PPh dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b. Dari hasil penelitian SPT terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis
dan atau salah hitung;
c. WP dikenai sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga;
d. Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN dan perubahannya tidak melaporkan
kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
e. Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai PKP tetapi membuat Faktur Pajak;
f. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP tidak membuat atau membuat Faktur Pajak
tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya Faktur Pajak.
PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI (PK) KE DIREKTUR
JENDERAL PAJAK (DJP)

PK yang dimaksud di bagian ini adalah sebuah istilah yang biasa dipergunakan WP dalam
menyebut proses penyelesaian perselisihan pajak yang diatur dalam Pasal 16 dan Pasal 36 UU
KUP. Padahal istilah resmi yang dipergunakan dalam kedua pasal UU KUP tersebut bukanlah
istilah PK melainkan:

Pasal 16 UU KUP, adalah permohonan dan proses pembetulan surat ketetapan pajak, STP,
Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi
Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian
Imbalan Bunga, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung dan atau
kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP, adalah permohonan dan proses pengurangan atau
penghapusan sanksi administrasi bunga, denda dan kenaikan yang dikenakan kepada WP karena
kekhilafan WP atau bukan karena kesalahannya.

Pasal 36 ayat (1) huruf b UU KUP, adalah permohonan dan proses pengurangan atau
pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar.

Pasal 36 ayat (lj huruf c UU KUP, adalah permohonan dan proses pengurangan atau
pembatalan STP sebagaimana dimaksud Pasal 14 UU KUP, yang tidak benar.

Pasal 36 ayat (lj huruf d UU KUP, adalah permohonan dan proses pembatalan hasil
pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa: (i)
penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau (ii) pembahasan akhir hasil
pemeriksaan dengan WP.
1. Permohonan Pembetulan Pasal 16 UU KUP

Pembetulan menurut Pasal 16 UU KUP dan PMK Nomor 19/PMK.03/2008 tentang Tata Cara
Pembetulan Kesalahan Tulis, Kesalahan Hitung, Dan/Atau Kekeliruan Penerapan Ketentuan
Tertentu Dalam Peraturan Perundang- Undangan Perpajakan, adalah pembetulan atas
kesalahan atau kekeliruan dalam SKP, STP, Surat Keputusan Pemberulan, Surat Keputusan
Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Penghapusan Sanksi
Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan
Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat
Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, yang bersifat manusiawi serta tidak mengandung
persengketaan antara fiskus dan WP.
Dengan demikian, ruang lingkup pembetulan yang diatur pada pasal ini hanya terbatas pada
kesalahan atau kekeliruan sebagai akibat dari:
a. Kesalahan tulis, antara lain kesalahan pencantuman nama dan identitas WP, nomor surat
ketetapan pajak, jenis pajak, masa atau tahun pajak dan tanggal jatuh tempo.
b. Kesalahan hitung, antara lain kesalahan dalam penjumlahan, pengurangan, perkalian atau
pembagian suatu bilangan; atau
c. Kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dari peraturan perundang-undangan
perpajakan, misalnya kekeliruan penerapan tarif, kekeliruan penerapan persentase Norma
Penghitungan Penghasilan Neto, kekeliruan penerapan sanksi administrasi, kekeliruan
Penghasilan Kena Pajak, kekeliruan penghitungan PPh dalam tahun berjalan, dn kekeliruan
dalam pengkreditan pajak.
Pembetulan terhadap kesalahan atau kekeliruan tersebut dapat dilakukan secara jabatan (atas
inisiatif DJP sendiri) atau karena adanya permohonan dari WP. Dalam hal ini, pembetulan
dapat berupa menambah, mengurangkan, atau menghapuskan, tergantung pada sifat kesalahan
dan kekeliruan yang terjadi. Selain itu, pembetulan kesalahan atau kekeliruan Pasal 16 UU KUP
ini dapat dilakukan berkali-kali. Jadi WP dapat mengajukan permohonan pembetulan (PK) ini
lagi dan lagi dan lagi, sepanjang masih terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung atau
kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dari peraturan perpajakan.

Apabila WP mengajukan permohonan pembetulan a la Pasal 16 UU KUP ini, Dirjen Pajak (c.q.
Kepala KPP) wajib memberikan keputusan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak
permohonan WP diterima. Jika setelah 6 bulan tersebut terlampaui, DJP tidak memberikan
keputusan, maka permohonan WP dianggap dikabulkan dan Kepala KPP harus menerbitkan
Surat Keputusan Pembetulan sesuai dengan permohonan WP.
Permohonan PK Pasal 36 UU KUP

Hal utama yang diatur dalam Pasal 36 UU KUP ini adalah masalah pengurangan, penghapusan
sanksi administrasi yang mana sanksi tersebut sebelumnya dikenakan karena kekhilafan WP
atau bukan karena kesalahannya. Misalnya karena ketidaktelitian petugas pajak sehingga
mengakibatkan membebani WP yang tidak bersalah atau tidak memahami peraturan
perpajakan.

Selain itu, dalam rangka memberikan keadilan dan melindungi hak WP, Dirjen Pajak, secara
jabatan atau atas permohonan WP dapat pula membatalkan hasil pemeriksaan pajak dan
produk-produknya (SKP, STP) apabila diketahui dilaksanakan tanpa penyampaian surat
pemberitahuan hasil pemeriksaan atau tanpa melakukan pembahasan akhir hasil
pemeriksaan dengan WP.

Akan tetapi jika ketidakhadiran WP dalam proses pembahasan akhir hasil pemeriksaan
terjadi karena WP terlambat merespon surat undangan dari fiskus, maka permohonan WP
tidak dapat dipertimbangkan.
Syarat dan Tata Cara Pengajuan PK Pasal 36 UU KUP

Juklak lebih lanjut dari Pasal 36 UU KUP adalah PMK Nomor 21/PMK.03/2008 tentang Tata
Cara Pengurangan Atau Penghapusan Sanksi Administrasi, Pengurangan Atau Pembatalan Surat
Ketetapan Pajak Atau Surat Tagihan Pajak Yang Tidak Benar, Dan Pembatalan Hasil
Pemeriksaan. Ketentuan yrang diatur dalam PMK tersebut adalah sebagai berikut:

Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi.


Sanksi administrasi yang dapat dikurangkan atau dihapuskan, adalah sanksi administrasi
yang tercantum dalam STP, SKPKB maupun SKPKBT, yang meliputi sanksi administrasi
berupa bunga, denda, maupun kenaikan yang dikenakan karena kekhilafan WP atau bukan
karena kesalahan WP. Khusus untuk sanksi administrasi yang tercantum dalam SKPKB atau
SKPKBT, pengurangan atau penghapusannya hanya dapat dilakukan apabila SKP tersebut:
a. tidak sedang diajukan keberatan;
b. pernah diajukan keberatan, tetapi telah dicabut oleh WP; atau
c. telah diajukan keberatan, tetapi tidak dipertimbangkan karena tidak memenuhi syarat
Pasal 25 UU KUP.
Syarat permohonan PK:
1. Satu permohonan PK untuk satu STP, SKPKB atau SKPKBT;
2. Harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan memberikan alasan yang
mendukung permohonannya;
3. Permohonan diajukan kepada KPP tempat WP terdaftar;
4. WP telah melunasi pajak yang terutang; dan
5. Surat permohonan ditandatangani oleh WP (atau wakilnya untuk WP Badan), dan apabila
surat permohonan ditandatangani oleh bukan WP, harus dilampiri dengan surat kuasa
khusus.
6. Permohonan PK hanya dapat diajukan sebanyak 2 (dua) kali. Dan untuk permohonan yang
kedua, permohonan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak
tanggal keputusan Kepala KPP atas permohonan yang pertama.
Pengurangan atau Pembatalan SKP atau STP yang Tidak Benar dan atau Pembatalan hasil
pemeriksaan atau SKP hasil pemeriksaan yang penerbitannya tanpa penyampaian surat
pemberitahuan hasil pemeriksaan atau tanpa dilakukan pembahasan akhir hasil
pemeriksaan dengan WP.

Surat ketetapan pajak, STP dan hasil pemeriksaan yang dapat dikurangkan atau dibatalkan
oleh Dirjen Pajak, baik secara jabatan atau atas dasar permohonan WP, meliputi:

a. Pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar. Permohonan PK
untuk ini hanya dapat diajukan WP sebanyak 2 (dua) kali. Untuk permohonan yang kedua,
surat permohonan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak
tanggal keputusan Kepala KPP atas permohonan yang pertama;
b. Pengurangan atau pembatalan STP yang tidak benar. Permohonan PK untuk ini hanya dapat
diajukan WP sebanyak 2 (dua) kali. Untuk permohonan yang kedua, surat permohonan harus
diajukan d^lam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal keputusan Kepala KPP
atas permohonan yang pertama; atau
Syarat permohonan PK:

1. Satu permohonan untuk satu STP atau surat ketetapan pajak, termasuk surat ketetapan
pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa penyampaian surat pemberitahuan
hasil pemeriksaan atau tanpa pembahasan akhir hasil pemeriksaaan;
2. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan mencantumkan jumlah pajak yang
seharusnya terutang menurut perhitungan WP disertai dengan alasan yang mendukung
permohonannya;
3. Diajukan kepada KPP tempat WP terdaftar;
4. Apabila surat permohonan ditandatangani oleh bukan WP (atau wakilnya untuk WP
Badan), maka harus dilampiri dengan surat kuasa khusus.
Imbalan Bungan Terkait PK ke DJP

Seperti disebutkan dalam Pasal 27A ayat (la) UU KUP, apabila permohonan PK WP dikabulkan
dan menyebabkan terjadinya LB, maka atas LB tersebut pemerintah akan memberikan imbalan
bunga sebesar 2% sebulan (maksimal 24 bulan) dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Untuk permohonan PK terhadap SKPKB atau SKPKBT, imbalan bunga dihitung sejak tanggal
pembayaran SKPKB dan SKPKBT yang menyebabkan terjadinya LB, sampai dengan
diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan
Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak.
b. Untuk permohonan PK terhadap SKPN dan SKPLB, imbalan bunga dihitung sejak penerbitan
SKP sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak.
c. Untuk permohonan PK terhadap STP, imbalan bunga dihitung sejak tanggal pembayaran
STP yang menyebabkan terjadinya LB, sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan
Pembatalan Ketetapan Pajak.
WP yang Dilarang Mengajukan Keberatan dan PK ke DJP

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak
Dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang
Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah
Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, ada WP yang secara prinsip tidak
diperkenalkan untuk mengajukan keberatan dan PK ke kantor pajak, yaitu WP yang disebut
dalam Pasal 13A UU KUP.

Menurut Pasal 19 PP tersebut, WP yang karena kealpaannya: (i) tidak menyampaikan SPT; atau
(ii) menyampaikan SPT tetapi isi tidak benar atau tidak lengkap; atau (iii) dalam SPT-nya
melampirkan keterangan yang isinya tidak benar; sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi
negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut baru pertama kali dilakukan oleh
WP. Akan tetapi WP wajib melunasi kekurangan pembayaran pajak yang terutang beserta
sanksi administrasi kenaikan sebesar 200% dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang
ditetapkan melalui SKPKB. Terhadap SKPKB tersebut, WP tidak boleh mengajukan: (i)
keberatan Pasal 25 UU KUP, (ii) pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi Pasal 16
UU KUP, dan (iii) pengurangan atau pembatalan SKP yang tidak benar Pasal 36 UU KUP.
BAB VII
RESTITUSI
PENGERTIAN

Restitusi merupakan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Adanya kelebihan pembayaran


pajak terjadi jika telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang atau
jumlah pajak yang telah dibayar lebih besar dari kredit pajak yang ada.

Pajak yang dapat dimintakan kembali adalah pajak yang lebih bayar berdasarkan:
• SKPLB (Pasal 17 dan 17B UU KUP);
• Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak atau SKPPKP (Pasal 17C UU
KUP);
• Keputusan Keberatan atau Putusan Banding (Pasal 26 dan Pasal 27 UU KUP);
• SK Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi (Pasal 36 ayat (1) a UU KUP)
sebagai akibat diterbitkan Surat Keputusan Keberatan atau Putusan Banding yang
menerima sebagian atau seluruh permohonan WP.
Khusus untuk restitusi PPN dan PPn BM, pasca maraknya penerbitan Faktur Pajak Fiktif di
tahun lalu, pemerintah melalui Menteri Keuangan memperketat prosedur restitusi. Hal ini
ditandai dengan semakin kompleksnya dokumen/bukti yang harus dilampirkan WP dalam
permohonan restitusi. Selengkapnya mengenai hal ini diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak
Nomor PER-48/PJ./2008.
WAJIB PAJAK SELAIN WAJIB PAJAK KRITERIA TERTENTU DAN
WAJIB PAJAK YANG MEMENUHI PERSYARATAN TERTENTU.
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak, selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
dari Wajib Pajak Kriteria Tertentu dan Wajib Pajak yang memenuhi syarat tertentu, harus
menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan
diterima secara lengkap. Apabila setelah melampaui jangka waktu tersebut Direktur Jenderal
Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
dianggap dikabulkan dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar harus diterbitkan paling lama 1
(satu) bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir. Apabila Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar terlambat diterbitkan , kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua
persen) per bulan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu tersebut sampai dengan saat
diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.

Ketentuan ini tidak berlaku terhadap Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti
permulaan tindak pidana di bidang perpajakan. Dalam hal ini penerbitan surat ketetapan pajak
tertangguh sejak Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan disampaikan kepada
Wajib Pajak, wakil kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
Surat ketetapan pajak atas permohonan pengembalian kelebihan pembakaran pajak terhadap Wajib
Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan di bidang perpajakan diterbitkan dalam hal :
1. Pemeriksaan Bukti Permulaan tidak dilanjutkan dengan penyidikan;
2. Pemeriksaan Bukti Permulaan dilanjutkan dengan penyidikan, tetapi tidak dilanjutkan dengan
penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44A Undang-
Undang KUP; atau
3. Pemeriksaan Bukti permulaan dilanjutkan dengan penyidikan dan penuntutan tindak pidana di
bidang perpajakan, tetapi diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Surat ketetapan pajak ini diterbitkan berdasarkan hasil pemeriksaan yang semula tertangguh
karena dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan. Jika kepada Wajib Pajak diterbitkan Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar, kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua
persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak berakhirnya jangka
waktu 12 (dua belas) bulan tersebut di atas sampai dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak
Lebih Bayar, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.harus dilampirkan WP dalam
permohonan restitusi. Selengkapnya mengenai hal ini diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor
PER-48/PJ./2008.
RESTITUSI WAJIB PAJAK PATUH DAN WAJIB PAJAK YANG
MEMENUHI KRITERIA TERTENTU

Dalam benak kebanyakan wajib pajak kata "restitusi" selalu dikaitkan dengan kata
"pemeriksaan". Meminta restitusi berarti harus bersiap-siap menghadapi pemeriksa pajak.
Dengan "mindset" seperti itu tak jarang wajib pajak mengurungkan niat untuk meminta
pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang menjadi haknya. Benarkah demikian?

Barangkali benar -bahwa sebagian besar proses restitusi diselesaikan dengan melalui proses
pemeriksaan tetapi peraturan perpajakan memungkinkan adanya pengembalian pajak tanpa
melalui proses pemeriksaan. Tulisan ini akan membahas topik mengenai, kemudahan restitusi
yang diberikan kepada wajib pajak patuh dan wajib pajak yang memenuhi persyaratan
tertentu, salah satu contoh restitusi yang diproses tanpa melalui proses pemeriksaan
Kemudahan restitusi bagi wajib pajak patuh dan wajib pajak yang memenuhi persyaratan
tertentu diatur dalam Pasal 17C dan 17D Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan stdtd Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009 (UU
KUP). Sebagai tindak lanjut atas kedua pasal tersebut telah dikeluarkan beberapa peraturan
pelaksanaannya yang terdiri dari:
1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penetapan
Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu Dalam Rangka Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pembayaran Pajak
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/Pmk.03/2007 tentang Batasan Jumlah Peredaran
Usaha, Jumlah Penyerahan, Dan Jumlah Lebih Bayar Bagi Wajib Pajak Yang Memenuhi
Persyaratan Tertentu Yang Dapat Diberikan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak
3. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor Se-2/Pj/2008 tentang Tata Cara Penetapan
Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu
Wajib Pajak Patuh
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak menetapkan
Wajib Pajak Patuh paling lambat tanggal 20 Januari berdasarkan hasil penelitian terhadap pemenuhan
persyaratan yang diperlukan sebagai wajib pajak patuh. Penetapan tersebut berlaku untuk jangka
waktu 2 (dua) tahun kalender. Penetapan Wajib Pajak Patuh dari Kepala Kanwil Ditjen Pajak, akan
diumumkan dengan cara menempatkannya pada papan pengumuman di Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Di
samping itu Kepala KPP akan menyampaikan surat pemberitahuan penetapan Wajib Pajak Patuh kepada
Wajib Pajak yang bersangkutan.
Wajib pajak patuh atau wajib pajak dengan kriteria tertentu adalah wajib pajak yang memenuhi
persyaratan berikut:
1. Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan, yang meliputi:
a. Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan tepat waktu dalam 3 (tiga) tahun terakhir;
b. Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat dalam tahun terakhir untuk Masa
Pajak Januari sampai November tidak lebih dari 3 (tiga) Masa Pajak untuk setiap jenis pajak
dan tidak berturut-turut; dan
c. Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat tersebut telah disampaikan tidak lewat dari batas
waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Masa Pajak berikutnya.
2. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang
telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak. Keadaan pada
tanggal 31 Desember tahun sebelum penetapan sebagai Wajib Pajak Patuh dan tidak
termasuk utang pajak yang belum melewati batas akhir pelunasan.

3. Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan
pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-
turut. Laporan Keuangan harus disusun dalam bentuk panjang (long form report) dan
menyajikan rekonsiliasi laba rugi komersial dan fiskal bagi Wajib Pajak yang wajib
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan. Pendapat Akuntan atas Laporan Keuangan
yang diaudit oleh Akuntan Publik ditandatangani oleh Akuntan Publik yang tidak sedang
dalam pembinaan lembaga pemerintah pengawas Akuntan Publik.
4. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka wektu 5 (lima)
tahun terakhir.

Wajib Pajak dengan kriteria tertentu tidak dapat diberikan pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak apabila dalam masa berlakunya jangka waktu sebagai wajib pajak
patuh:
a) Terhadap Wajib Pajak tersebut dilakukan tindakan penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan;
b) Terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak tertentu 2 (dua)
Masa Pajak berturut-turut;
c) Terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak tertentu 3 (tiga)
Masa Pajak dalam 1 (satu) tahun kalender.
d) Wajib Pajak terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa tidak lebih 3 (tiga) Masa
Pajak secara berturut-turut dan terdapat penyampaian Surat Pemberitahuan Masa yang lewat
dari batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Masa Pajak berikutnya.
e) Terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.
Wajib Pajak Yang Memenuhi Persyaratan Tertentu

Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu adalah wajib pajak yang memenuhi salah
satu dari empat persyaratan berikut:
1. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
2. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang
menyelenggarakan pembukuan dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sbb:
a. Jumlah peredaran usaha yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan paling banyak sama dengan batasan peredaran usaha Wajib Pajak orang
pribadi yang diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma
penghitungan penghasilan neto yaitu peredaran bruto kurang dari Rp 4.800.000.000,00
(Pasal 14 ayat (2) UU PPh).
b. Jumlah lebih bayar menurut Surat Pemberitahuan Tahunan PajakPenghasilan kurang
dari Rp 1.000.000,00; atau
c. Jumlah lebih bayar menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan paling
banyak 0,5% dari jumlah peredaran usaha sebagaimana dimaksud pada huruf a.
3. Wajib Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sbb:
a. Jumlah peredaran usaha yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan paling banyak Rp 5.000.000.000,00; dan
b. Jumlah lebih bayar menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan kurang
dari Rp 10.000.000,00.

4. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan
Nilai yang telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan dengan:
a. Jumlah penyerahan menurut Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai untuk
suatu Masa Pajak paling banyak Rp400.000.000,00; dan
b. Jumlah lebih bayar menurut Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai paling
banyak Rp28.000.000,00.
Proses Restitusi

Seperti terlihat pada gambar di bawah proses restitusi diawali dengan penyampaian surat
permohonan dari wajib pajak ke KPP. Permohonan dapat disampaikan dengan cara mengisi
kolom dalam surat pemberitahuan atau dengan surat tersendiri. Atas permohonan tersebut
KPP melakukan penelitian dan menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak (SKPPKP) atau pemberitahuan tertulis bahwa SKPPKP tidak dapat diterbitkan.
Penerbitan SKPPKP atau pemberitahuan tertulis tersebut dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan
sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu)
bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai. Penerbitan
SKPPKP akan ditindaklanjuti dengan penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan
Pembayaran Pajak (SKPKPP) dan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pembayaran Pajak
(SPMKPP).
Penelitian atas Permohonan WP Patuh
Terhadap permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak Patuh
dilakukan penelitian atas:
a. kelengkapan Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya;
b. kebenaran penulisan dan penghitungan pajak;
c. kebenaran Kredit Pajak atau Pajak Masukan berdasarkan hasil konfirmasi dalam sistem
aplikasi Direktorat Jenderal Pajak atau konfirmasi dengan menggunakan surat;
d. kebenaran pembayaran pajak yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak; dan
e. kebenaran alamat yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan tersebut atau dalam
surat pemberitahuan perubahan alamat.

SKPKPP tidak diterbitkan apabila hasil penelitian menyatakan:


1. tidak lebih bayar,
2. lampiran Surat Pemberitahuan tidak lengkap,
3. pembayaran pajak tidak benar, atau
4. alamat tidak sesuai dengan yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan atau dengan
pemberitahuan perubahan alamat.
Sanksi

Meskipun restitusi diberikan hanya dengan melalui proses penelitian namun Direktur Jenderal
Pajak masih memliki wewenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap wajib pajak patuh dan
wajib pajak yang memenuhi persyaratan tertentu dan menerbitkan surat ketetapan pajak
(SKP). Jika berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut Direktur Jenderal Pajak menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), maka jumlah pajak yang kurang dibayar akan
ditagih dengan disertai sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100%.
RESTITUSI KELEBIHAN PEMBAYARAN PPN DAN
PPNBM

Sejalan dengan diberlakukannya perubahan UU PPN terbaru (UU no.42/2009) per 1 April
2010 lalu, banyak perubahan yang harus dicermati oleh wajib pajak termasuk di antaranya
perubahan mengenai tatacara restitusi PPN. Tepat sehari sebelum diberlakukannya UU nomor
42/2009 diterbitkan dua peraturan terkait dengan restitusi PPN yaitu Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 71/PMK.03/2010 tentang Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah Yang
Diberikan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
72/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pajak Pertambahan Nilai Atau
Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Kedua peraturan ini berlaku
efektif sejak tanggal 1 April 2010.
Klasifikasi Pengusaha Kena Pajak (PKP)

Dalam kaitannya dengan restitusi PPN PKP diklasifikasikan menjadi empat jenis PKP yaitu:
a. PKP kriteria tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 17C UU KUP;
b. PKP yang memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 17D UU KUP;
c. PKP berisiko rendah sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (4c) UU PPN.
d. PKP lainnya yang tidak termasuk dalam ketiga kategori di atas.
Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 71/PMK.03/2010 adalah Pengusaha Kena Pajak yang memenuhi kriteria sebagai
berikut:

a. Pengusaha Kena Pajak merupakan Perusahaan Terbuka yang paling sedikit 40% (empat
puluh persen) dari keseluruhan saham disetornya diperdagangkan di bursa efek di
Indonesia;
b. Pengusaha Kena Pajak merupakan perusahaan yang saham mayoritasnya dimiliki secara
langsung oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah; atau
c. produsen selain Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b,
yang memenuhi persyaratan tertentu, yang tidak pernah dilakukan pemeriksaan bukti
permulaan dan/atau penyidikan dalam jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan terakhir.
Permohonan Restitusi

Restitusi adalah pengembalian kelebihan pembayaran pajak kepada Wajib Pajak. Dalam
kaitannya dengafi PPN, restitusi terjadi apabila jumlah Pajak Masukan lebih besar dari jumlah
Pajak Keluaran. Berdasarkan UU PPN No. 42/2009 (UU PPN terbaru) jo PMK-
72/PMK.03/2010, secara umum restitusi hanya boleh dilakukan pada akhir tahun buku, kecuali
untuk PKP tertentu dibolehkan untuk melakukan restitusi pada tiap masa pajak, yaitu:

a. PKP yang melakukan ekspor BKP Berwujud;


b. PKP yang melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP kepada Pemungut PPN;
c. PKP yang melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP yang PPN-nya tidak
dipungut;
d. PKP yang melakukan ekspor BKP Tidak Berwujud;
e. PKP yang melakukan ekspor JKP; dan/ atau
f. PKP dalam tahap belum berproduksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2a)
Undang-Undang PPN.
Penelitian
Seperti telah dikemukakan di atas Permohonan restitusi yang diajukan oleh PKP yang memenuhi kriteria
Pasal 9 ayat 4c UU PPN, Pasal 17C UU KUP atau Pasal 17D UU KUP, akan diproses hanya dengan melalui
penelitian.

Penelitian dilaksanakan dengan ketentuan sbb:


a. Dalam hal permohonan retitusi disampaikan oleh PKP kriteria tertentu penelitian dilakukan
berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 17C UU KUP;
b. Dalam hal permohonan pengembalian kelebihan Pajak disampaikan oleh PKP yang memenuhi
persyaratan tertentu, penelitian dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal
17D UU KUP;
c. Dalam hal permohonan retitusi disampaikan oleh PKP berisiko rendah sebagaimana dimaksud dengan
Pasal 9 ayat (4c) UU PPN jo PMK- 71/PMK.03/2010, penelitian dilakukan terhadap:
1. kebenaran pemenuhan ketentuan Pasal 9 ayat (4b) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e
Undang-Undang PPN;
2. kelengkapan Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya;
3. kebenaran penulisan dan penghitungan pajak; dan
4. kebenaran pembayaran pajak yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak.
Pemeriksaan

Untuk PKP lainnya atau yang tidak memenuhi syarat tersebut penyelesaiannya dilakukan
melalui proses pemeriksaan.
▪ Dirjen Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan restitusi harus menerbitkan
Surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak permohonan restitusi
diterima.
▪ Jangka waktu 12 (dua belas) bulan tersebut tidak berlaku dalam hal terhadap PKP sedang
dilakukan pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan.
Pemeriksaan setelah Pengembalian Pendahuluan

Dirjen Pajak setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan Pajak dapat melakukan
pemeriksaan kepada PKP berisiko rendah (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4c) UU PPN jo
PMK-71/PMK.03/2010, PKP kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C Undang-
Undang KUP, atau Pengusaha Kena Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17D Undang-Undang KUP).
Apabila hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) maka
akan diberlakukan sanksi sbb:
▪ Untuk PKP berisiko rendah, sebagaimana dimaksud dengan Pasal 9 ayat (4c) UU PPN, wajib membayar
jumlah kekurangan Pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen)
per bulan, paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dari jumlah kekurangan pembayaran Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) Undang- Undang KUP.

▪ Untuk PKP kriteria tertentu atau PKP yang memenuhi persyaratan tertentu wajib membayar jumlah
kekurangan Pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus
persen) dari jumlah kekurangan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (5)
atau Pasal 17D ayat (5) Undang-Undang KUP.
PENGEMBALIAN ATAS KEPUTUSAN KEBERATAN DAN
PUTUSAN BANDING

Pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak bisa juga terjadi karena dikabulkannya
pengajuan keberatan atau banding Wajib Pajak, baik diterima sebagian maupun seluruhnya.
Pengembalian ini dilakukan sepanjang utang pajak yang dimaksud dalam SKPKB dan atau
SKPKBT telah dibayar yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak. Bila demikian maka
kelebihan pembayaran dikembalikan tanpa perlu mengajukan permohonan terlebih dahulu.
Permohonan restitusi dalam konteks ini dianggap telah tercermin dalam surat pengajuan
keberatan atau permohonan banding pada saat pertama kali disampaikan WP.

Dalam hal ini selain mendapatkan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, WP juga akan
mendapatkan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan, dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran
pajak sampai dengan diterbitkannya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding.
PENGEMBALIAN PAJAK YANG SEHARUSNYA TIDAK
TERUTANG

Jika ditanya apa yang harus dilakukan apabila kita mengalami salah potong atau salah pungut
yang dilakukan oleh pihak lain, mungkin sebagian besar akan menjawab "ajukan keberatan".
Jawaban itu tidak salah memang karena sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sttd
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 (UU KUP), wajib pajak dapat mengajukan keberatan
atas pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga. Adakah solusi lain menghadapi
kasus salah potong atau salah pungut selain dengan mengajukan keberatan? Bagaimana pula
jika kita terlanjur membayar pajak yang ternyata bukan objek pajak? Dalam tulisan ini akan
dikupas solusi alternatif menghadapi kasus salah potong atau salah pungut dan solusi untuk
kasus salah bayar.
PMK nomor 190/PMK.03/2007 memberikan definisi bahwa yang dimaksud pajak yang
seharusnya tidak terutang adalah:
a. Pajak yang telah dibayar oleh Wajib Pajak yang bukan merupakan objek pajak yang
terutang, atau
b. Kesalahan pemotongan atau pemungutan yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau
dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut,atau
c. Pemotongan atau pemungutan atas penghasilan yang bukan merupakan objek pajak.
Wajib Pajak yang Dapat Mengajukan Permohonan
Pengembalian
Wajib Pajak yang dapat meminta kembali pajak yang seharusnya tidak terutang meliputi Wajib Pajak
badan dan Wajib Pajak orang pribadi termasuk orang pribadi yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP).

Jika terjadi kesalahan pembayaran pajak oleh Wajib Pajak atas pajak yang seharusnya tidak terutang,
pembayaran tersebut dapat diminta kembali oleh Wajib Pajak yang bersangkutan dengan surat
permohonan. Sedangkan dalam hal terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak dan pajak yang
salah dipotong atau dipungut tersebut telah disetorkan dan dilaporkan, maka:

1. Atas kesalahan pemotongan atau pemungutan terhadap Pajak Penghasilan, pajak yang salah dipotong
atau dipungut tersebut i^apat diminta kembali oleh Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut melalui
pemotong/pemungut dengan surat permohonan, sepanjang belum dikreditkan.

2. Atas kesalahan pemungutan terhadap Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang
Mewah, kesalahan pemungutan tersebut dapat diminta kembali oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang
dipungut dengan surat permohonan, sepanjang belum dikreditkan atau belum dibebankan sebagai
biaya.
Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan atau PKP yang melakukan
pemungutan tidak dapat meminta kembali pajak yang salah dipotong atau dipungut tersebut.

Pada kasus tertentu pengembalian pajak akibat salah potong atau salah pungut dapat dilakukan
melalui pemotong/pemungut atau PKP yang melakukan pemungutan, yaitu dalam hal:
1. pihak yang dipotong atau dipungut orang pribadi yang tidak memiliki NPWP;
2. pihak yang dipotong atau dipungut subjek pajak luar negeri yang tidak menjalankan
kegiatan atau usaha melalui bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia; atau
3. terdapat kesalahan penerapan ketentuan oleh pemotong atau pemungut,
Proses Pengembalian

Seperti terlihat pada gambar di bawah, proses pengembalian pajak yang seharusnya tidak
terutang dimulai dari permohonan wajib pajak yang disampaikan kepada Kantor Pelayanan
Pajak (KPP). Selanjutnya KPP akan melakukan penelitian. KPP harus menyelesaikan penelitian
dalam waktu paling lama tiga bulan. Jika dari hasil penelitian memang benar terdapat
kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang maka KPP akan menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) yang ditindaklanjuti dengan penerbitan Surat"
Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak (SKPKPP) dan Surat Perintah Membayar
Kelebihan Pembayaran Pajak (SPMKPP). Jika hasil penelitian menunjukan bahwa tidak terdapat
kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang maka KPP wajib memberikan
pemberitahuan secara tertulis kepada pemohon.r
Tempat Pengajuan Permohonan

Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang


diajukan oleh Wajib Pajak disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib
Pajak yang mengajukan permohonan terdaftar atau berdomisili.

Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang karena
salah bayar harus dilampiri dengan, antara lain:
1. asli bukti pembayaran pajak;
2. perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang; dan
3. alasan permohonan pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak karena salah potong atau salah pungut
yang diajukan oleh wajib pajak yang dipotong/dipungut harus dilampiri dengan, antara lain:

1. asli bukti pemotongan/pemungutan pajak;


2. perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang; dan
3. alasan permohonan pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya tidak

Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak karena salah potong atau salah pungut
yang diajukan oleh pemotong/pemungut pajak atau PKP yang melakukan pemungutan harus
dilampiri dengan, antara lain:
1. asli bukti pemotongan/pemungutan pajak;
2. perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;
3. surat permohonan dan surat kuasa dari pihak yang dipotong/dipungut kepada
pemotong/pemungut pajak atau PKP yang melakukan pemungutan; dan
4. alasan permohonan pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
BAB VIII
PEMERIKSAAN
KPP berwenang melakukan pemeriksaan untuk :
• menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan
• untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.

Petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat
Perintah Pemeriksaan serta memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa.
Wajib Pajak yang diperiksa wajib:
a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi
dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan
usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan
member bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau c. memberikan keterangan lain
yang diperlukan.

Buku, catatan, dan dokumen, serta data, informasi, dan keterangan lain wajib dipenuhi oleh
Wajib Pajak paling lama 1 (satu) bulan sejak permintaan disampaikan. Jika Wajib Pajak orang
pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas tidak memenuhi ketentuan
sehingga tidak dapat dihitung besarnya penghasilan kena pajak, penghasilan kena pajak
tersebut dapat dihitung secara jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan. Jika dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta
keterangan yang diminta. Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakannya,
maka kewajiban untuk Merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan
pemeriksaan.
Ketentuan baru dalam UU KUP diatur dalam Pasal 29 A yang berbunyi terhadap Wajib Pajak
badan yang pernyataan pendaftaran emisi sahamnya telah dinyatakan efektif oleh badan
pengawas pasar modal dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan dilampiri Laporan
Keuangan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian
yang:

1. Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak menyatakan lebih bayar (Pasal 17B UU KUP)
2. Terpilih untuk diperiksa berdasarkan analisis risiko dapat dilakukan pemeriksaan melalui
Pemeriksaan Kantor.
TUJUAN PEMERIKSAAN
KPP berwenang melakukan Pemeriksaan dengan tujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
perpajakan oleh KPP, dan Auditor dan/ atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tujuan untuk pengukuhan PKP agar Faktur Pajak
tidak efektif. Dan seseorang yang wajib diperiksa yaitu pada penjelasan Pasal 29. Selain itu
pemeriksaan juga dapat dilakukan untuk tujuan lain, diantaranya:
1. Pemberian NPWP secara jabatan
2. Penghapusan NPWP
3. Pengukuhan atau pencabutan pengukuhan pengusaha kena pajak
4. Wajib pajak mengajukan keberatan
5. Pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Kena Pajak
6. Pencocokan data dan/atau alat keterangan
7. Penentuan Wajib pajak berlokasi di daerah terpencil
8. Penentuan satu atau lebih tempat terutang pajak pertambahan nilai
9. Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak
10. Penentuan saat mulai berproduksi sehubungan dengan fasilitas perpajakan
11. Pemenuhan permintaan informasi dari negara mitra perjanjian penghindaran pajak berganda.
Ruang lingkup Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat
meliputi satu, beberapa, atau seluruh jenis pajak, baik untuk satu atau beberapa Masa Pajak,
Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak dalam tahun-tahun lalu maupun tahun berjalan.

Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak harus
dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP.
Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dapat
dilakukan dalam hal Wajib Pajak:
a. menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar, termasuk yang telah
diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak,-
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan rugi
c. tidak menyampaikan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi melampaui jangka
waktu yang telah ditetapkan dalam Surat Teguran
d. melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi, pembubaran, atau akan
meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya; atau
e. menyampaikan Surat Pemberitahuan yang memenuhi kriteria seleksi berdasarkan hasil
analisis risiko (risk based selection) mengindikasikan adanya kewajiban perpajakan
perundang- undangan perpajakan.
Jika pemeriksa untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilaksanakan dengan
jenis Pemeriksaan Lapangan, Pemeriksaan Pajak wajib:
a. menyampaikan pemberitahuan secara tertulis tentang akan dilakukan Pemeriksaan kepada Wajib Pajak;
b. memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan Surat Perintah Permeriksaan kepada Wajib Pajak
pada waktu melakukan Pemeriksaan;
c. menjelaskan alasan dan tujuan Pemeriksaan kepada Wajib Pajak;
d. memperlihatkan Surat Tugas kepada Wajib Pajak apabila susunan tim Pemeriksa Pajak mengalami
perubahan;
e. menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan kepada Wajib Pajak;
f. memberikan hak hadir kepada Wajib Pajak dalam rangka Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dalam
batas waktu yang telah ditentukan;
g. melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
h. mengembalikan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen
lainnya yang dipinjam dari Wajib Pajak paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal Laporan Hasil
Pemeriksaan; dan
i. merahasiakan kepada pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu yang diketahui atau diberikan
kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka Pemeriksaan.
Jika Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilaksanakan
dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Pemeriksa Pajak wajib:
a. memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan Surat Perintah Pemeriksaan kepada Wajib
Pajak pada waktu Pemeriksaan;
b. menjelaskan alasan dan tujuan Pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang akan diperiksa;
c. memperlihatkan Surat Tugas kepada Wajib Pajak apabila susunan tim Pemeriksa Pajak mengalami
perubahan;
d. memberikan secara tertulis hasil Pemeriksaan kepada Wajib Pajak;
e. melakukan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan apabila Wajib Pajak hadir dalam batas waktu yang
telah ditentukan
f. memberikan petunjuk kepada Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya agar
pemenuhan kewajiban perpajakan dalam tahun-tahun selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
g. mengembalikan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan
dokumen lainnya yang dipinjam dari Wajib Pajak paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal Laporan
Hasil Pemeriksaan; dan
h. merahasiakan kepada pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu yang diketahui atau diberikan
kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka Pemeriksaan.
Jika Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan permenuhan kewajiban perpajakan dilaksanakan
dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Pemeriksaan Pajak berwenang:
1) melihat dan/ atau meminjam buku cacatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau
pencatatan dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh,
kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak atau objek yang terutang pajak;
2) mengakses dan/ atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik
3) memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak digunakan untuk
menyimpan buku atau cacatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan,
dokumen lain, uang dan/ atau barang yang dapat memberikan petunjuk tentang
penghasilan uang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak atau objek yang
terutang pajak;
4) diminta kepada Wajib Pajak untuk memberikan bantuan guna kelancaran Pemeriksaan,
antara lain berupa:
a) menyediakan tenaga dan/ atau peralatan atas biaya Wajib Pajak apabila dalam
mengakses data yang dikelola secara elektronik memerlukan peralatan dan/ atau
keahlian khusus;
b) memberikan kesempatan kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka barang bergerak
dan/ atau tidak bergerak dan/ atau;
c) menyediakan ruangan khusus tempat dilakukannya Pemeriksaan Lapangan dalam hal
jumlah buku, cacatan dan dokumen sangat banyak sehingga sulit untuk dibawa ke
kantor Direktorat Jenderal Pajak
d) melakukan penyegelan tempat atau ruang tertentu serta barang bergerak dan/ atau
tidak bergerak
e) meminta keterangan lisan dan/ atau tertulis dari Wajib Pajak; dan
f) meminta keterangan dan/ atau bukti yang diperlukan dari pihak ketiga yang
mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa melalui kepala unit
pelaksana Pemeriksaan.
Jika Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban pepajakan dilaksanakan
dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Pemeriksa Pajak berwenang:
a. memanggil Wajib Pajak untuk datang ke kantor Direktorat Jenderal Pajak dengan
menggunakan surat penggilan
b. melihat dan/ atau meminjam buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan
atau pencatatan dan dokumen lain termasuk data yang dikelola secara eleketronik, yang
berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan babas Wajib
Pajak, atau objek yang terutang pajak;
c. meminta kepada Wajib Pajak untuk memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan;
d. meminta keterangan lisan dan/ atau tertulis dari Wajib Pajak
e. meminta kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh Akuntan Publik melalui Wajib Pajak;
dan
f. meminta keterangan dan/ atau bukti yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai
hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa melalui kepala unit pelaksana Pemeriksaan.
Hak dan Kewajiban Wajib Pajak

Dalam melaksanakan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan


dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak berhak :
a. meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan Surat
Perintah Pemeriksaan;
b. meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan pemberitahuan secara tertulis sehubungan dengan
pelaksanaan Pemeriksa Lapangan
c. meminta kepada Pemeriksa untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan Pemeriksaan
d. meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Surat Tugas apabila susunan Tim Pemeriksa
Pajak mengalami perubahan
e. menerima Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan;
f. menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dalam jangka waktu yang telah ditentukan;
g. mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan oleh Tim Pembahas, dalam hal terdapat perbedaan
antara Wajib Pajak dengan Pemeriksa Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan; dan
h. memberikan pendapat atau penilaian atas pelaksanaan Pemeriksaan oleh Pemeriksa Pajak melakui
pengisian formulis Kuesioner Pemeriksaan.
Peminjaman Dokumen
Dalam hal Pemeriksaan dilaksanakan dengan Pemeriksaan Kantor:
a. Buku, catatan, dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan
lain yang diperluka oleh Pemeriksaan Pajak, harus dicantumkan pada surat penggilan
b. Buku, catatan, dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan
lain sebagaimana dimaksud pada huruf a, wajib dipinjamkan pada saat Wajib Pajak
memenuhi panggilan dan Pemeriksaan Pajak membuat surat permintaan peminjaman.
c. Dalam hal buku, catatan, dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta
keterangan lain yang diperlukan belum dipinjamkan pada saat Wajib Pajak memenuhi
panggilan sebagaimana dimaksud pada huruf b, Pemeriksa Pajak membuat surat
permintaan peminjaman.
d. Buku, catatan, dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan
lain sebagaimana dimaksud pada huruf c, wajib dipinjamkann pada saat Wajib Pajak paling
lama 1 (satu) bulan sejak surat penggilan sebagaimana dimaksudkan pada huruf a yang
memuat permintaan peminjaman diterima oleh Wajib Pajak.
Dalam hal buku, catatan, dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta
keterangan lain dari Wajib Pajak, Pemeriksa Pajak harus membuat bukti peminjaman.

(1) Hasil Pemeriksaan atau surat ketetapan pajak dari hasil Pemeriksaan yang dilaksanakan
tanpa:
a. penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan; atau
b. pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan,
dapat dibatalkan secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak oleh Direktur
Jendral Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang KUP.

(2) Dalam hal dilakukan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), proses Pemeriksaan
harus dilanjutkan dengan melaksanakan prosedur penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil
Pemeriksaan dan/ atau Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.
Pasal 31

1. Pemeriksaan untuk tujuan lain dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dapat
dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor atau Pemeriksaan Lapangan.
2. jangka waktu Pemeriksaan Kantor terkait dengan pemeriksaan untuk tujuan lain adalah
paling lama 7 (tujuh) hari dan dapat diperpanjang menjadi 14 (empat belas) hari yang
dihitung sejak tanggal Wajib Pajak datang memenuhi surat penggilan dalam rangka
Pemeriksaan Kantor sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan.
3. Jangka waktu Pemeriksaan Lapangan terkait dengan Pemeriksaan untuk tujuan lain adalah
paling lama 2 (dua) bulan dan dapat untuk tujuan lain paling lama 2 (dua) bulan dan dapat
diperpanjang menjadi paling lama 4 (empat) bulan yang dihitung sejak tanggal Surat
Perintah Pemeriksaan sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan.
4. Dalam hal Pemeriksa untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2)
huruf b dilakukan berdasarkan permohonan Wajib Pajak, jangka waktu pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (3) harus memperhatikan jangka waktu
penyelesaian permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (7) Undang-Undang KUP.
5. Dalam hal Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2)
huruf c dilakukan berdasarkan permohonan Pengusaha Kena Pajak, jangka waktu
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (3) harus memperhatikan
jangk a waktu penyelesaian permohonan pencabutan pengukuhan Pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (9) Undang-Undang KUP
Dalam hal Pemeriksaan untuk tujuan lain dilaksanakannya Pemeriksaan Kantor, Pemeriksa Pajak
wajib:
a. menyampaikan surat penggilan tentang dilakukannya Pemeriksaan untuk tujuan lain kepada
Wajib Pajak;
b. memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan Surat Perintah Pemeriksaan kepada
Wajib Pajak pada waktu Pemeriksaan;
c. menjelaskan alasan dan tujuan Pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang akan diperiksa;
d. memperlihatkan Surat Tugas kepada Wajib Pajak apabila terdapat perubahan susunan
Tim Pemeriksa Pajak;
e. membuat Kertas Kerja Pemeriksaan sebagai dasar penyusunan Laporan Hasil Pemeriksaan;
f. mengembalikan buku, catatan, dan dokumen pendukung lainnya yang dipinjam dari Wajib
Pajak paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan; dan/ atau
g. merahasiakan kepada pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu yang diketahui atau
diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka Pemeriksaan
Pasal 38

(1) Dalam hal Pemeriksaan untuk tujuan lain dilaksanakan dengan jenis Pemeriksaan lapangan,
Pemeriksa Pajak berwenang:
a. meminjam dan memeriksa buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain, yang berhubungan dengan tujuan
Pemeriksaan;
b. mengakses dan/ atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik;
c. memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/ atau tidak
bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau
catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain dan/
atau barang yang berkaitan dengan tujuan pemeriksaan;
d. meminta keterangan lisan dan/ atau tertulis dari Wajib Pajak;dan/ atau
e. meminta ketangan dan/ atau data yang dipergunakan dari pihak ketiga yang
mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa melalui unit pelaksana
Pemeriksa;
(2) Dalam hal Pemeriksaan untuk tujuan lain dilaksanakan dengan jenis Pemeriksaan Kantor,
Pemeriksa Pajak berwenang
a. meminjam dan memeriksa buku atau catatan, dokumen lain termasuk data yang
dikelola secara elektronik yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh,
kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak atau objek yang terutang pajak;
b. meminta keterangan lisan dan/ atau tertulis dari Wajib Pajak yang diperiksa melalui
unit pelaksana Pemeriksaan;
Tata Cara Penyegelan Dalam Rangka Pemeriksaan di Bidang Perpajakan (Nomor
198/PMK.03/2007)

Penyegelan adalah tindakan menempelkan kertas segel dalam rangka Pemeriksaan pada tempat
atau ruang tertentu serta barang bergerak dan/ atau tidak bergerak yang digunakan atau
patut diduga digunakan sebagai tempat atau menyimpan buku dan benda-benda lain, yang
dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak yang
diperiksa.

Pemeriksa Pajak berwenang melakukan penyegelan untuk memperoleh atau mengamankan buku,
cacatan, dokumen termasuk data yang dikelola secara elektronik dan benda-benda lain yang
dapat memberikan petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak yang
diperiksa agar tidak dipindahkan, dihilangkan, dimusnahkan, diubah, dirusak atau dipalsukan.
Penyegelan dilakukan apabila pada saat dilakukan Pemeriksaan Lapangan :

a. Wajib Pajak atau kuasanya tidak memberi kesempatan kepada Pemeriksa Pajak untuk memasuki
tempat atau ruang serta barang bergerak dan/ atau tidak bergerak, yang diduga atau patut
diduga digunakan untuk menyimpan buku atau cacatan, dokumen termasuk hasil pengolahan data
dcri pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line yang dapat
memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak
b. Wajib Pajak atau Kuasanya tidak menolak memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksa yang
antara lain berupa tidak memberi kesempatan kepada Pemeriksa Pajak untuk mengakses data
yang dikelola-jecara elektonik atau membuka barang bergerak "3an/ atau tidak bergerak;
c. Wajib Pajak atau kuasanya tidak berada di tempat dan tidak ada pihak yang mempunyai
kewenangan untuk bertindak selaku yang mewakili Wajib Pajak, sehingga diperlukan upaya
pengamanan Pemeriksaan sebelum Pemeriksaan ditunda, atau

Wajib Pajak atau kuasanya tidak berada di tempat dan Pegawai Wajib Pajak yang mempunyai
kewenangan untuk bertindak selaku yang mewakili Wajib Pajak menolak memberikan bantuan
guna kelancaran Pemeriksaan,
Syarat/Prinsip Pembukuan

1. Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan


iktikad baik;
2. Mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya;
3. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan
huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia
atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan yaitu bahasa asing;
4. Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau
stelsel kas. Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat
persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak;
5. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya
pajak yang terutang.
HASIL PEMERIKSAAN

Sanksi akibat pemeriksaan pajak diatur dalam Pasal 1 3 ayat (1) UU KUP. Daluwarsa berubah
menjadi 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian
Tahun Pajak, atau Tahun Pajak.
Sanksi Perpajakan :

No Kondisi Sanksi
A apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga
keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang sebesar 2% per bulan paling lama 24 Bulan, dihitung
dibayar sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa
Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai
dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar.
B apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam 50% dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang
jangka waktu (Pasal 3 ayat (3)) dan setelah ditegur dibayar dalam satu Tahun Pajak;
secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya
sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
No Kondisi Sanksi
C apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau 100% dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang
keterangan lain mengenai Pajak Pertambahan Nilai dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau
dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata kurang disetor, dan dipotong atau dipungut tetapi
tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak tidak atau
atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen); kurang disetor; atau
D apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100% dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
28 atau Pasal 29 tidak dipenuhi sehingga tidak dapat dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang tidak
diketahui besarnya pajak yang terutang; atau atau kurang dibayar.
E apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga
Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha sebesar 2% per bulan paling lama 24 Bulan, dihitung
Kena Pajak secara jabatan (Pasal 2 ayat (4a)). sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa
Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai
dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar.
Besarnya pajak yang terutang yang diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan
menjadi pasti sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan apabila dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian
Tahun Pajak, atau Tahun Pajak tidak diterbitkan surat ketetapan pajak. Walaupun jangka waktu 5
tahun telah lewat, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 48% dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, apabila
Wajib Pajak setelah jangka waktu tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Ketentuan baru adalah Pasal 1 3A UU KUP berbunyi Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak
menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak
benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan
tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak dan Wajib Pajak tersebut wajib melunasi
kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan
sebesar 200% dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan SKPKB.
Pasal 1 3 ayat (6), Pasal 1 5 ayat (5), dan Pasal 1 7A ayat (2) UU KUP, Pasal 1 3
PP 80/2007

No Periode Produk
1 Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat Surat Ketetapan Pajak Kurang
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bayar;Surat Ketetapan Pajak
Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Kurang Bayar Tambahan;Surat
Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan Ketetapan Pajak Nihil; Surat
pajak yang meliputi Ketetapan Pajak Lebih Bayar.

2 Direktur Jenderal Pajak tetap dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang
setelah jangka waktu 5 tahun terlampaui, dalam hal Bayar atau Surat Ketetapan
Direktur Jenderal Pajak menerima Putusan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap terhadap Wajib Pajak yang dipidana karena
melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau
tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan negara
No Produk Prosedur
1. Surat ketetapan pajak harus diterbitkan berdasarkan nota penghitungan
Penerbitan surat ketetapan pajak harus dilakukan paling lambat 3
(tiga) hari sejak tanggal pembuatan nota penghitungan.
Nota penghitungan dibuat berdasarkan laporan atas hasil
Penelitian, Pemeriksaan, Pemeriksaan Ulang, atau Pemeriksaan
Bukti Permulaan.
Dalam hal Pemeriksaan, Pemeriksaan Ulang, atau Pemeriksaan
Bukti Permulaan dilakukan oleh Unit Pelaksana Pemeriksaan selain
Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, surat
ketetapan pajak harus diterbitkan paling lambat 3 (tiga) hari
kerja sejak tanggal diterimanya nota penghitungan beserta
laporan atas hasil Pemeriksaan, Pemeriksaan Ulang, atau
Pemeriksaan Bukti Permulaan
2 Surat ketetapan pajak Penyampaian surat ketetapan pajak, dapat dilakukan secara
harus disampaikan kepada langsung;melalui pos dengan bukti pengiriman surat; ataumelalui
Wajib Pajak. perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti
pengiriman surat.
SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG BAYAR TAMBAHAN
Wajib pajak yang sudah diterbitkan SKPKB tidak menutup kemungkinan diterbitkan SKPKBT jika
ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah
dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah
kekurangan Pajak tersebut.

Pasal 15 ayat (3) mengatur kenaikan tidak dikenakan apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan itu diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari Wajib Pajak atas
kehendak sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan
pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.

Apabila jangka waktu 5 (lima) tahun telah lewat, SKPKBT tetap dapat diterbitkan ditambah
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% dari jumlah Pajak yang tidak atau kurang
dibayar, jika setelah jangka waktu 5 tahun dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
PROSES PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK
Pembetulan Ps 16 UU KUP
Proses dapat dilakukan dengan 2 cara
• Atas permohonan Wajib Pajak atau
• karena jabatannya,

Yang dapat dibetulkan :


• Surat ketetapan pajak,
• Surat Tagihan Pajak,
• Surat Keputusan Pembetulan,
• Surat Keputusan Keberatan,
• Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi,
• Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi,
• Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak,
• Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak,
• Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau
• Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga,

yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan.

Jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan pembetulan diterima, harus memberi keputusan atas permohonan
pembetulan yang diajukan Wajib Pajak. Apabila jangka waktu telah lewat, tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan,
permohonan pembetulan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan. Apabila diminta oleh Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak wajib
memberikan keterangan secara tertulis mengenai hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian permohonan Wajib
Pajak .
PROSEDUR PENGAJUAN PAJAK DAN PENYELESAIAN
PERMOHONANA PEMBETULAN KETETAPAN PAJAK

• Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat
membetulkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Keberatan,
Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak yang Tidak Benar, atau
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, yang dalam penerbitannya
terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan
tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.

• Pembetulan ketetapan pajak di atas dilaksanakan dalam rangka menjalankan tugas


pemerintahan yang baik, sehingga apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan yang
sifatnya manusiawi dalam suatu ketetapan pajak perlu dibetulkan sebagaimana mestinya.

• Sifat kesalahan atau kekeliruan tersebut tidak mengandung persengketaan antara


fiskus dengan Wajib Pajak
PROSEDUR PENGAJUAN PAJAK DAN PENYELESAIAN
PERMOHONANA PEMBETULAN KETETAPAN PAJAK

Ruang lingkup pembetulan ketetapan pajak terbatas pada kesalahan atau kekeliruan sebagai akibat dari :
• Kesalahan tulis, yaitu antara lain kesalahan yang dapat berupa nama, alamat, Nomor Pokok Wajib
Pajak, nomor surat ketetapan pajak, Jenis Pajak, Masa atau Tahun Pajak, dan tanggal jatuh tempo;
• Kesalahan hitung, yaitu kesalahan yang berasal dari penjumlahan dan atau pengurangan dan atau
perkalian dan atau pembagian suatu bilangan;
• Kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan,yaitu kekeliruan dalam penerapan tarif, kekeliruan penerapan persentase Norma
Penghitungan Penghasilan Neto, kekeliruan penerapan sanksi administrasi, kekeliruan Penghasilan
Tidak Kena Pajak, kekeliruan penghitungan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan, dan kekeliruan
dalam pengkreditan.

Tata Cara Pembetulan Kesalahan Tulis, Kesalahan Hitung, Dan/Atau Kekeliruan Penerapan Ketentuan
Tertentu Dalam Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 19/PMK.03/2008.

Pasal 22 ayat (4). Pp 80/2007


Pasal 22 ayat (4) PP 80/2007

No Produk Keterangan
1. Surat ketetapan pajak yang meliputi Surat Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau
Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan atas permohonan Wajib Pajak dapat
Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan membetulkan yang dalam penerbitannya terdapat
Pajak Nihil, dan Surat Ketepan Pajak Lebih kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau
Bayar;Surat Tagihan Pajak;Surat Keputusan kekeliruan penerepan ketentuan tertentu dalam
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan peraturan perundang- undangan perpajakan.
Pajak;Surat Keputusan Pemberian Imbalan
BungajSurat Keputusan Pembetulan;Surat
Keputusan Keberatan;Surat Keputusan
Pengurangan Sanksi Administrasi,-Surat
Keputusan Penghapusan Sanksi
Administrosi;Surat Keputusan Pengurangan
Ketetapan Pajak; atauSurat Keputusan
Pembatalan Ketetapan Pajak,
No Produk Keterangan
Pembetulan termasuk pembetulan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang
(SPPT), Surat Ketetapan Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Tagihan Pajak
Bumi dan Bangunan, Surat Keputusan Pemberian Pengurangan Pajak Bumi
dan Bangunan, Surat Keputusan Pengurangan Denda Pajak Bumi dan
Bangunan, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak
Atas dan Bangunan Nihil, Surat Tagihan Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan, serta Surat Keputusan Pemberian Pengurangan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Pembetulan dilakukan dalam hal terdapat kesalahan atau kekeliruan yang
bersifat manusiawi yang tidak mengandung persengketaan antara fiskus
dan Wajib Pajak
No Produk Keterangan
1 Permohonan pembetulan oleh Wajib Pajak 1 (satu) permohonan diajukan untuk 1 (satu)
harus disampaikan ke kantor Direktorat surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak,
Jenderal Pajak yang menerbitkan surat atau surat Keputusan lain yang terkait dengan
ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, atau bidang perpajakan sebagaimana dimaksud
surat keputusan lain yang terkait dengan dalam Pasal 1 ayat(l);
bidang perpajakan yang diajukan
pembetulan, dengan ketentuan sebagai
berikut
permohonan harus diajukan secara tertulis
dalam bahasa Indonesia disertai dengan
alasan yang mendukung permohonannya; dan
surat permohonan ditandatangani oleh Wajib
Pajak, dan dalam hal surat permohonan
ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, surat
permohonan tersebut harus dilampiri dengan
surat kuasa khusus.
KEBERATAN

Hal-hal yang dapat diajukan keberatan :

a) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;


b) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
c) Surat Ketetapan Pajak Nihil;
d) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
e) pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan
ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan.
PROSEDUR KEBERATAN

• diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia


• dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang
dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib
Pajak dengan
• disertai alasan yang menjadi dasar penghitungan.
• harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim
surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan
Pajak kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu
tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
• melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang
telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan,
sebelum surat keberatan disampaikan.
TATA CARA PENGAJUAN DAN PENYELESAIAN
KEBERATAN

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 194 / PMK . 03 / 2007 Pasal 25 ayat (5) dan Pasal 26A
ayat (1)UU KUP : Tata Cara Pengajuan Dan Penyelesaian Keberatan.
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepeda Direktur Jenderal Pajak atas suatu:

• Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;


• Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
• Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
• Surat Ketetapan Pajak Nihil; atau
• pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
PROSEDUR KEBERATAN

Kebertan diajukan oleh Wajib Pajak dengan menyampaikan surat keberatan. Surat keberatan
disampaikan oleh wajib Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dan/atau
tempat PKP dikukuhkan melalui penyampaian secara langsung;pos dengan bukti pengiriman surat;
ataucara lain. termasuk dalam pengertian penyampaian surat keberatan secara langsung adalah
penyampaian surat keberatan melalui Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Profesi Perpajakan
atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan dalam wilayah kerja Kantor
Pelayanan Pajak terdaftar dan/atau tempat PKP dikukuhkan.

Pengajuan kebertan yang dituangkan dalam bentuk surat keberatan harus memenuhi syarat
sebagai berikut:

• diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;


• mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut
atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan- alasan yang
menjadi dasar perhitungan;
PROSEDUR KEBERATAN

• 1 (satu) surat keberatan diajukan hanya untuk 1 (satu) surat ketetapan pajak, untuk 1 (satu)
pemotongan pajak, atau untuk 1 (satu) pemungutan pajak;
• wajib Pajak telah melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah
disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan;
• diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau
sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga kecuali wajib Pajak dapat
menunjukan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar
kekuasaan Wajib Pajak (force marjeur); dan
• surat keberatan ditandatangani oleh wajib Pajak, dan dalam hal surat kebertan
ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, surat keberatan tersebut harus dilampiri dengan
surat kuasa khusus.
• dalam hal surat keberatan yang disampaikan oleh Wajib Pajak belum memenuhi persyaratan
Wajib Pajak dapat menyampaikan perbaikan surat keberatan dengan melengkapi persyaratan
yang belum dipenuhi sebelum jangka waktu 3 (tiga) bulan terlampaui.
• dalam hal Wajib Pajak menyampaikan perbaiakan surat keberatan tanggal penyampaian
perbaikan surat keberatan merupakan tanggal surat keberatan diterima.
LAIN-LAIN

Untuk keperluan pengajuan keberatan, Wajib Pajak dapat meminta kepada Direktur Jenderal Pajak
untuk memberi keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak atau
penghitungan rugi.

• Direktur Jenderal Pajak Wajib memberi keterangan yang diminta oleh Wajib Pajak dalam jangka
waktu paling lama 20 hari kerja sejak surat permintaan Wajib Pajak diterima.
• Jangka waktu pemberi keterangan oleh Direktur Jenderal Pajak atas permintaan Wajib Pajak
tidak menunda jangka waktu pengajuan keberatan.
• Surat keberatan yang tidak memenuhi persyaratan bukan merupakan surat keberatan sehingga
tidak dipertimbangkan dan tidak diterbitkan Surat Keputusan Keberatan.
• Pengajuan keberatan yang tidak memenuhi persyaratan dan tidak diterbitkan Surat Keputusan
Keberatan diberitahhukan secara tertulis kepada Wajib Pajak
• Wajib pajak dapat mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur
Jenderal Pajak sepanjang Surat pemberitahuan Untuk Hadir belum disampaikan kepada wajib
Pajak, dalam hal Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan Wajib Pajak tidak dapat mengajukan
permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagimana
dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1 ) huruf b UU KUP
PENYELESAIAN KEBERATAN

Sebelum Direktur Jenderal Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan Untuk Hadir, hal-hal yang dapat dilakukan
dalam proses penyelesaian keberatan adalah sebagai berikut:

• Direktur Jenderal Pajak meminta keterangan, data, dan/atau informasi tambahan dariWajib Pajak;
• Wajib Pajak menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis untuk melengkapi dan/atau memperjelas
surat keberatan yang telah disampaikan baik atas kehendak Wajib Pajak yang bersangkutan maupun dalam
rangka memenuhi permintaan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a;
• Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangnka keberatan untuk
mendapatkan data dan/atau informasi yang objektif yang dapat dijadikan dasar dalam mempertimbangkan
keputusan kebcrtan.
• Sebelum menerbitkan Surat Keputusan Keberatan, Direktur Jenderal Pajak harus menyampaikan Surat
Pemberitahuan Untuk Hadir kepada Wajib Pajak guna memberi keterangan atau memperoleh penjelasan
mengenai keberatannya.
• Dalam hal Wajib Pajak tidak hadir pada waktu yang ditentukan dalam Surat Pemberitahuan Untuk Hadir
proses keberatan tetap diselesaikan tanpa menunggu kehadiran Wajib Pajak.
• Pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan tidak
dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatan,kecualil pembukuan, catatan, data, informasi,atau keterangan
iain tersebut berada dipihak ketiga belum diperoleh Wajib Pajak pada saat pemeriksaan
PENYELESAIAN KEBERATAN

1. Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua


belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi
keputusan atas keberatan yang diajukan.

2. Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa


mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah
besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar.
TATA CARA PENGAJUAN DAN PENYELESAIAN KEBERATAN
(NOMOR 194/PMK.03/2007)

Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepeda Direktur Jenderal Pajak atas suatu:

a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;


b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
d. Surat Ketetapan Pajak Nihil; atau
e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.

Kebertan diajukan oleh Wajib Pajak dengan menyampaikan surat keberatan

Surat keberatan disampaikan oleh wajib Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak
terdaftar dan/atau tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan melalui :

a. penyampaian secara langsung;


b. pos dengan bukti pengiriman surat; atau
c. cara lain.
TATA CARA PENGAJUAN DAN PENYELESAIAN KEBERATAN
(NOMOR 194/PMK.03/2007)
Pengajuan keberatan yang dituangkan dalam bentuk surat keberatan harus memenuhi syarat sebagai
berikut:

a. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;


b. mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau
jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang menjadi dasar
perhitungan;
c. 1 (satu) surat keberatan diajukan hanya untuk 1 (satu) surat ketetapan pajak, untuk 1 (satu)
pemotongan pajak, atau untuk 1 (satu) pemungutan pajak;
d. wajib Pajak telah melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah
disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan.
e. diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak
tanggal pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga kecuali wajib Pajak dapat menunjukan
bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaan Wajib Pajak
(force marjeur); dansurat keberatan ditandatangani oleh wajib Pajak, dan dalam hal surat kebertan
ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, surat keberatan tersebut harus dilampiri dengan surat
kuasa khusus.
TATA CARA PENGAJUAN DAN PENYELESAIAN KEBERATAN
(NOMOR 194/PMK.03/2007)

Pembuktian Ketidakbenaran Keteapan Pajak Secara Jabatan, surat


keberatan atas SKP secara jabatan karena :

1. WP tidak menyampaikan SPT Tahunan setelah ditegor secara tertulis;


2. Tidak memenuhi kewajiban pembukuan ;
3. Tidak memberi kesempatan pemeriksa memasuki tempat tertentu yang
dianggap perlu.
PENGURANGAN DAN PEMBATALAN
Hal-hal yang dapat diproses
No Hal Kuantitas Pengajuan
mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, hanya dapat diajukan oleh
denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan Wajib Pajak paling banyak 2
A perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan (dua) kali.
karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak hanya dapat diajukan oleh
B benar; misalnya WP menyampaikan keberatan, dan tidak memenuhi Wajib Pajak paling banyak 2
ketentuan apakah bisa mengajukan pembatalan? (dua) kali.
Jawab: Tidak bisa
mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana hanya dapat diajukan oleh
C dimaksud dalam Pasal 1-4 yang tidak benar; atau SPT yang dikenakan Wajib Pajak paling banyak 2
PPN (dua) kali.
membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hanya dapat diajukan oleh
D hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:penyampaian surat Wajib Pajak 1 (satu) kali.
pemberitahuan hasil pemeriksaan; ataupembahasan akhir hasil
pemeriksaan dengan Wajib Pajak.
PROSEDUR PENGAJUAN DAN PENYELESAIAN PERMOHONAN PENGURANGAN ATAU
PENGHAPUSAN SANKSI ADMINISTRASI

Kantor Wilayah karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan atau
menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang dikenakan karena adanya
kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahan Wajib Pajak.

Surat permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:

• Hanya boleh diajukan oleh Wajib Pajak yang tidak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajaknya;
• Diajukan atas suatu Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, atau Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan;
• Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
• Disertai dengan alasan-alasan yang jelas;
• Diajukan paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat ketetapan pajak kecuali karena keadaan diluar
kekuasaan Wajib Pajak (force majeur) yang harus disertai bukti pendukung adanya keadaan luar biasa
tersebut;
• Dilampiri dengan surat kuasa khusus dalam hal surat permohonan ditandatangani bukan oleh Wajib Pajak
sebagaimana diatur dalam Pasal 32 Undang-Undang KUP.
PROSEDUR PENGAJUAN DAN PENYELESAIAN PERMOHONAN PENGURANGAN ATAU
PEMBATALAN KETETAPAN PAJAK YANG TIDAK BENAR

Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak dapat
mengurangkan ataumembatalkan ketetapan pajak yang tidak benar.

Surat permohonan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut :

• Diajukan untuk suatu surat ketetapan pajak;


• Mengemukakan jumlah pajak menurut penghitungan Wajib Pajak seharusnya terutang;
• Dilampiri dengan surat kuasa khusus dalam hal surat permohonan pengurangan atau
pembatalan ketetapan Pajak yang tidak benar ditandatangani bukan oleh Wajib Pajak
sebagaimana diatur dalam Pasal 32 Undang-Undang KUP.
Tata Cara Pengurangan Atau Penghapusan Sanksi Administrasi, Pengurangan Atau
Pembatalan Surat Ketetapan Pajak Atau Surat Tagihan Pajak Yang Tidak Benar,
Dan Pembatalan Hasil Pemeriksaan Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 21/PMK.03/2008
Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib
Pajak dapat :

1. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi;


2. mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak atau Surat
Tagihan Pajak yang tidak benar; dan/atau
3. membatalkan hasil pemeriksaan atau surat ketetapan pajak hasil
pemeriksaan yang penerbitannya tanpa penyampaian surat
pemberitahuan hasil pemeriksaan atau tanpa dilakukan pembahasan
akhir hasil pemeriksaan' dengan Wajib Pajak.
Tata Cara Pengurangan Atau Penghapusan Sanksi Administrasi, Pengurangan Atau
Pembatalan Surat Ketetapan Pajak Atau Surat Tagihan Pajak Yang Tidak Benar, Dan
Pembatalan Hasil Pemeriksaan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 21/PMK.03/2008
Permohonan untuk memperoleh pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga,
denda, dan kenaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut :

1. 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
2. permohonan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan memberikan alasan
yang mendukung permohonannya;
3. permohonan harus disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar;
4. Wajib Pajak telah melunasi pajak yang terutang; dan
5. Surat permohonan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal surat permohonan
ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, surat permohonan tersebut harus dilampiri dengan surat
kuasa khusus.
6. Permohonan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dapat
dipertimbangkan.
PENAGIHAN PAJAK

Dasar penagihan pajak:

1. Surat Tagihan Pajak,


2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta
3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan
4. Surat Keputusan Pembetulan,
5. Surat Keputusan Keberatan,
6. Putusan Banding, serta
7. Putusan Peninjauan Kembali,

yang menyebabkan jumlah Pajak yang masih harus dibayar bertambah, merupakan dasar
penagihan pajak.
ANGSURAN UTANG PAJAK

Jika :

1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau


2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, serta
3. Surat Keputusan Pembetulan,
4. Surat Keputusan Keberatan,
5. Putusan Banding atau
6. Putusan Peninjauan Kembali,
ANGSURAN UTANG PAJAK

• Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan secara tertulis untuk mengangsur atau menunda
pembayaran pajak yang masih harus dibayar dalam STP, SKPKB,SKPKBT, dan SK
Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang
menyebabkan jumlah pajak yang terutang bertambah, serta Pajak Penghasilan Pasal 29,
kepada Kantor Pelayanan Pajak
• Permohonan harus diajukan paling lam 9 (sembilan) hari kerja sebelum saat jatuh tempo
pembayaran utang pajak berakhir disertai alasan dan jumlah pembayaran pajak yang
dimohon diangsur atau ditunda.
• Apabila batas waktu 9 (sembilan) hari kerja tidak dapat dipenuhi oleh wajib Pajak karena
keadaan diluar kekuasaannya, permohonan Wajib Pajak masih dapat dipertimbangkan oleh
Kantor Pelayanan Pajak sepanjang Wajib Pajak dapat membuktikan kebenaran keadaan
diluar kekuasaannya tersebut
• Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan surat keputusan atas permohonan berupa menerima
seluruhnya, menerima sebagian, atau menolak, paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah
tanggal diterimanya permohonan.
SURAT PAKSA

Atas jumlah pajak yang masih harus dibayar (Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan,
Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali) yang menyebabkan
jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai
dengan jangka waktu dilaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan. Dikecualikan dari ketentuan penagihan seketika dan
sekaligus dilakukan apabila:

• Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
• Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam
• rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukannya di
Indonesia;
SURAT PAKSA

• terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usaha atau
menggabungkan atau memekarkan usaha, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki
atau yang dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya;
• badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau
• terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-
tanda kepailitan.
• Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan perpajakan.
TATA CARA PELAKSANAAN PENAGIHAN DENGAN SURAT PAKSA DAN
PELAKSANAAN PENAGIHAN SEKETIKA DAN SEKALIGUS PERATURAN
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 24/PMK.03/2008 PASAL 10
AYAT (9),PASAL 10 A DAN PASAL 20 AYAT (1) UU PPSP DAN PASAL 27
AYAT (10) PP 80/2007
1. Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya
penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan Penagihan Seketika dan Sekaligus,
memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan
penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita.
2. Pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang selanjutnya disebut Pejabat adalah pejabat yang berwenang
mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak, serta menerbitkan Surat Perintah Penagihan Seketika
dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Surat Pencabutan Sita, Pengumuman
Lelang, Surat Penentuan Harga Limit, Pembatalan Lelang, Surat Perintah Penyanderaan, dan surat lain
yang d perlukan untuk Penagihan Pajak, sehubungan dengan Penanggung Pajak tidak melunasi sebagian atau
seluruh utang pajak menurut ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan.
3. Surat Teguran, Surat Peringatan, atau surat lain yang sejenis adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat
untuk menegur atau memperingatkan Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya.
4. Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan Penagihan Pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak
kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang
pajak dari semua jenis pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak.
5. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya Penagihan Pajak.
6. Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan Penagihan Pajak yang meliputi Penagihan Seketika dan Sekaligus,
Pemberitahuan Surat Paksa, Penyitaan, dan Penyanderaan.
DALAM RANGKA PELAKSANAAN PENAGIHAN PAJAK, MENTERI
KEUANGAN MENUNJUK :

1. Kepala Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Madya,
dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Pajak Jakarta Khusus sebagai Pejabat untuk Penagihan Pajak yang meliputi Pajak
Penghasilan serta Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang mewah;
2. Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama sebagai Pejabat untuk Penagihan Pajak yang
meliputi Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan;
3. Kepala Kantor Pelayanan Pajak selain Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan huruf b sebagai Pejabat untuk Penagihan Pajak yang meliputi
Pajak Penghasilan serta Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah;
4. Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan sebagai Pejabat untuk Penagihan Pajak
yang meliputi Pajak Bumi dan Bangunan serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.
DALAM RANGKA PELAKSANAAN PENAGIHAN PAJAK, MENTERI
KEUANGAN MENUNJUK :
Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus sekurang-kurangnya memuat nama Wajib Pajak, atau nama Wajib
Pajak dan Penanggung Pajak;besarnya utang pajak;perintah untuk membayar; dan saat pelunasan pajak. :

No Penagihan aktif Keterangan


1. Penerbitan Surat Perintah Penagihan diterbitkan sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran
Seketika dan Sekaligus oleh Pejabat
diterbitkan tanpa didahului Surat Teguran;
diterbitkan sebelum jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari
sejak Surat Teguran diterbitkan; atau
diterbitkan sebelum penerbitan Surat Paksa
terhadap Penanggung Pajak telah dilaksanakan Penagihan
Seketika dan Sekaligus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
3; atau
Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau
penundaan pembayaran pajak
Surat Paksa yang diterbitkan karena kondisi diberitahukan oleh jurusita Pajak dengan pernyataan dan penyerahan
Salinan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak.
DALAM RANGKA PELAKSANAAN PENAGIHAN PAJAK, MENTERI
KEUANGAN MENUNJUK :
Pejabat yang diminta bantuan wajib membantu dan memberitahukan tindakan yang telah dilaksankannya
kepada Pejabat yang meminta bantuan.

No Dokumen Keterangan
1 Surat Teguran Apabila jumlah utang pajak tidak dilunasi oleh Penanggung Pajak setelah
lewat waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak tanggal disampaikan Surat
Teguran, Surat Paksa diterbitkan oleh Pejabat dan diberitahukan secara
langsung oleh jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak.
2 Surat Sita Apabila setelah lewat waktu 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam sejak
Surat Paksa diberitahukan kepada Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 2 dan utang pajak tidak dilunasi oleh Penanggung Pajak,
Pejabat menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.
3 Pengumuman Lelang Apabila setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal
pelaksanaan penyitaan Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan
biaya Penagihan Pajak, Pejabat melakukan pengumuman lelang
4 Pelalangan Apabila setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak Pengumuman
Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, Penanggung Pajak tidak
melunasi utang pajak dan biaya Penagihan Pajak, Pejabat melakukan
penjualan barang sitaan Penanggung Pajak melalui kantor lelang negara
HAK NEGARA TERHADAP AKTIVA WAJIB PAJAK

Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang Pajak atas barang-barang milik
Penanggung Pajak meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda,
kenaikan, dan biaya penagihan pajak. Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala
hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:

•biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu
barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak;
•biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan/atau
•biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
CURRICULUM VITAE

• IDENTITAS

Nama : Sempurna Bahri


Telephone : 021 – 3910580
Fax : 021 – 3910583
Handphone : 08129086283/0811 9207780

• PENDIDIKAN

- Sarjana Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Andalas Padang


- Brevet A,B dan C Pajak Widhya Bhakti
PENGALAMAN PROFESI

1990 – 1994 Koperasi Jasa Audit (KJA) Sumatra Barat Senior Auditor

1995 – 1997 PT. Pratama Abadi Industri (Nike Footwear) Chief Accountant

1999 – 2007 Univ. Tarumanegara, Univ. Mpu Tantular, YAI, UKRIDA


untuk mata kuliah Akuntansi,Auditing dan Perpajakan Dosen Tidak Tetap

1999 – 2007 Kantor Akuntan Publik Drs. Sukrisno Agoes, MM dan Rekan Manager

2007 – Sekarang Pengadilan Pajak Kuasa Hukum

2005 – Sekarang Kantor Konsultan Pajak Drs. Sempurna Bahri, Ak Pimpinan

Feb 2009 – Sekarang Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Ardi, Sukimto & Rekan
(Auditrust International) Partner

Feb 2017 – Sekarang PT. Sempurna Strategic Consulting CEO


PENGALAMAN ORGANISASI

• Anggota Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI)


• Ketua Tim Adhoc IAPI dalam Penyusunan Standar Audit Dana Kampanye Pileg, Pilpres Indonesia
• Wakil Ketua Komite Perpajakan IAPI
• Anggota Tim Penyusunan AD/ART IAPI 2016
• Anggota Komite Nominasi dan Pemilihan Pengurus IAPI
• Anggota Forum Akuntan Pasar Modal (FAPM)
• Anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)
• Pengurus IKPI Jaksel Bagian Pendidikan
• Anggota Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)
• Ketua Alumni SMA 2 Padang di Jabodetabek
• Bendahara Umum IKA – UNAND Jabodetabek
• Wakil Ketua Forum Komunikasi Keluarga Besar Akuntan UNAND
• Komite Organisasi dan Hubungan Kelembagaan IAPI 2012-2017
PENUTUP

Thank You
Semoga Bermanfaat Bagi Kita Semua

Anda mungkin juga menyukai