Anda di halaman 1dari 815

EDISI

PPh Badan
S/D MARET 2017
Karena KECEPATAN , KEMUDAHAN
dan AKURASI adalah PRIORITAS
Software PPh 21 yang sangat eksibel dengan perubahan
dan berbagai kondisi,
dapat diandalkan ketika Kantor Pajak melakukan
konrmasi atau pemeriksaan
Mengakomodir penghitungan Gross up dan Mixed

AMAZING FEATURES
Kustom Komponen Penghasilan 01 08 Kertas Kerja Penghitungan
Ragam Kondisi Subjektif 02 09 Rekapitulasi Pembetulan
Metode Pemotongan Gross Up/Gross/ 03 10 Ekualisasi PPh 21
Net/Mixed
11 Multi NPWP
Manajemen Lebih Bayar 04 12 Group Account dan User Account
Manjemen Penghasilan Kumulatif 05 13 Fleksibilitas Mengatur Tarif sesuai
Export ke CSV (eSPT) 06 Masa Berlakunya
Export ke Ms Excel 07 14 Online Update

MASIH RAGU ?? 100% MONEY BACK GUARANTEE


Free Training PPh 21 Free Training Free Konsultasi PPh 21
Penggunaan Aplikasi dan Aplikasi

WHY CHOOSE US ?
Design By Experiences Store All Data Into Database

100% Legal And Secure 30 Day Money-back Guarantee

Hubungi kami : Observation & Research of Taxation (Ortax) Scan kode


berikut untuk
Phone : (021) 4786 5713 | WA : +62823 1144 1010 | Fax : (021) 4788 1350 permintaan
Email : sales@ortax.org | Website : www.pph21.id demo aplikasi
DAFTAR ISI

Objek PPh Badan 5


Objek PPh Badan Final 114
Bukan Objek PPh Badan 275
Biaya Amortisasi 301
Biaya Bunga Pinjaman 308
Biaya Dana Cadangan 333
Biaya Entertainment 348
Biaya Industri Minyak Dan Gas Bumi 351
Biaya Natura, Makan dan Minum 378
Biaya Pemakaian Telepon Seluler Dan Kendaraan Perusahaan 386
Biaya Penyusutan 391
Biaya Perbaikan 426
Biaya Piutang Tak Tertagih 432
Biaya Promosi 445
Biaya Sumbangan 451
Biaya Selisih Kurs dan Joint Cost 476
Kompensasi Kerugian Fiskal 495
Tarif PPh 500
Tarif PPh Wajib Pajak Dalam Negeri Perseroan Terbuka 524
Tarif PPh Wajib Pajak Peredaran Bruto Tertentu 542
Bukti Potong 573
Kredit Pajak Luar Negeri 577
Angsuran PPh Pasal 25 582
Dokumentasi Transfer Pricing 608
Fasilitas PPh Badan 673
PPh Ditanggung Pemerintah 764
Klasikasi Lapangan Usaha 787
Formulir SPT Tahunan PPh Badan 793
IMPORT DATA e-FAKTUR
LEBIH MUDAH, LEBIH CEPAT

Dilengkapi dengan Fasilitas


Rekapitulasi Faktur Pajak
Keluaran & Masukan

Hemat Waktu dan Tenaga Anda dengan eFaktur CSV Creator


TERUJI dapat melakukan Import Data hingga ribuan faktur secara mudah dan cepat
Mampu Melakukan Scan QR Code Faktur Pajak Masukan dengan sangat cepat

Scan QR Code PDF e-faktur

Scan QR Code PDF/JPG hasil cetak

Scan QR Code dengan Barcode Scanner

Scan - Cek Validitas


Get - Data Siap Import dalam satu proses

DEMO
Phone: (021) 47865713 | WA : +62823 1144 1010
Email: sales@ortax.org | Website : http://efakturcsv.ortax.org
OBJEK
PPh Badan
6 Edisi PPh Badan | Maret 2017

No Nomor Dokumen Tanggal Ditetapkan Perihal


1. PP No. 130 Tahun 2000 15 Desember 2000 Pengecualian Sebagai Objek Pajak Atas Keuntungan Karena Pembebasan
Utang Debitur Kecil
2. PP No. 25 Tahun 2009 03 Maret 2009 Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah
3. PP No 79 Tahun 2010 20 Desember 2010 Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan Dan Perlakuan Pajak Penghasilan
Di Bidang Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi
4. PP No. 94 Tahun 2010 30 Desember 2010 Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Dan Pelunasan Pajak Penghasilan
Dalam Tahun Berjalan
5. PP No. 73 Tahun 2016 30 Desember 2016 Pajak Penghasilan Atas Program Jaminan Sosial Yang Diselenggarakan
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
6. 43/PMK.03/2008 13 Maret 2008 Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan Harta Dalam Rangka
Penggabungan, Peleburan, Atau Pemekaran Usaha
7. 100/PMK.03/2011 11 Juli 2011 Tata Cara Penghitungan Dan Pembayaran Pajak Penghasilan Atas
Surplus Bank Indonesia
8. 136/PMK.03/2011 19 Agustus 2011 Pengenaan Pajak Penghasilan Untuk Kegiatan Usaha Perbankan Syariah
9. 137/PMK.03/2011 19 Agustus 2011 Pengenaan Pajak Penghasilan Untuk Kegiatan Usaha Pembiayaan
Syariah
10. 86/PMK.010/2015 27 April 2015 Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.03/2011
Tentang Tata Cara Penghitungan Dan Pembayaran Pajak Penghasilan
Atas Surplus Bank Indonesia
11. 1169/KMK.01/1991 27 November 1991 Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing)
12. PER - 28/PJ./2008 19 Juni 2008 Persyaratan Dan Tata Cara Pemberian Izin Penggunaan Nilai Buku
Atas Pengalihan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Atau
Pemekaran Usaha
13. PER - 33/PJ/2009 04 Juni 2009 Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Berupa Royalti Dari Hasil
Karya Sinematografi
14. PER - 11/PJ/2015 03 Maret 2015 Pengenaan Pajak Penghasilan Atas Hadiah Dan Penghargaan
15. KEP - 395/PJ./2001 13 Juni 2001 Pengenaan Pajak Penghasilan Atas Hadiah Dan Penghargaan
16. KEP - 563/PJ./2001 08 Agustus 2001 Saat Pengakuan Penghasilan Berupa Keuntungan Karena Pembebasan
Utang Yang Diperoleh Debitur Tertentu Dari Perjanjian Restrukturisasi
Utang Usaha
17. KEP - 184/PJ./2002 11 April 2002 Pengakuan Penghasilan Atas Penghasilan Bank Berupa Bunga Kredit
Non Performing
18. SE - 06/PJ.313/1994 10 Oktober 1994 Perlakuan PPh Atas WP Pengusaha Lapangan Golf
19. SE - 34/PJ.4/1995 04 Juli 1995 Perlakuan Pajak Penghasilan Bagi Yayasan Atau Organisasi Yang Sejenis
(Seri PPh Umum Nomor 15)
20. SE - 34/PJ.42/1996 09 September 1996 Perlakuan PPh Atas Uang Jaminan Keanggotaan Club Membership (Seri
PPh Umum Nomor 39)
21. SE - 03/PJ.42/2000 17 Februari 2000 Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Premi Asuransi Yang Berjangka Waktu
Lebih Dari 1 (Satu) Tahun
22. SE - 01/PJ.33/2005 19 Januari 2005 Pemberian Imbalan Bunga Kepada Wajib Pajak
23. SE - 29/PJ/2015 13 April 2015 Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
43/PMK.03/2008 Tentang Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan Harta
Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Atau Pemekaran Usaha

www.ortax.org
Peraturan Pemerintah RI :
PP No. 130 Tahun 2000 Edisi PPh Badan | Maret 2017 7

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 130 TAHUN 2000

TENTANG

PENGECUALIAN SEBAGAI OBJEK PAJAK ATAS KEUNTUNGAN


KARENA PEMBEBASAN UTANG DEBITUR KECIL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf k Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun
2000, dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengecualian sebagai Objek Pajak atas
Keuntungan karena Pembebasan Utang Debitur Kecil;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua
Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGECUALIAN SEBAGAI OBJEK PAJAK ATAS KEUNTUNGAN KARENA
PEMBEBASAN UTANG DEBITUR KECIL.

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan Utang Debitur Kecil adalah utang usaha yang
jumlahnya tidak lebih dari Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah), termasuk :
a. Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), yaitu kredit lunak untuk usaha ekonomi produktif yang
diberikan kepada Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I (alasan ekonomi hasil pendataan
KS) yang telah menjadi peserta Takesra dan tergabung dalam kegiatan kelompok Prokesra-OPPKS;
b. Kredit Usaha Tani (KUT), yaitu kredit modal kerja yang diberikan oleh bank kepada koperasi primer
baik sebagai pelaksana (executing) maupun penyalur (channeling) atau kepada Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) sebagai pelaksana pemberian kredit, untuk keperluan petani yang tergabung dalam
kelompok tani guna membiayai usaha taninya dalam rangka intensifikasi padi, palawija dan hortikultura;
c. Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS), yaitu kredit yang diberikan oleh bank kepada
masyarakat untuk pemilikan rumah sangat sederhana (RSS);
d. Kredit Usaha Kecil (KUK), yaitu kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil; dan
e. Kredit kecil lainnya dalam rangka kebijakan perkreditan Bank Indonesia dalam mengembangkan usaha
kecil dan koperasi.

Pasal 2

(1) Kredit yang diberikan oleh lebih dari satu bank kepada satu debitur yang jumlah seluruhnya tidak
melebihi Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) dapat dihitung sebagai Utang Debitur
Kecil dari masing-masing bank, sepanjang memenuhi kriteria Utang Debitur Kecil.

(2) Dalam hal pemberian Utang Debitur Kecil dilakukan oleh lebih dari satu bank kepada satu debitur yang
mengakibatkan jumlah plafon kreditnya melampaui batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1, maka keuntungan karena pembebasan utang yang dikecualikan sebagai Objek Pajak adalah
jumlah sisa kredit yang diperoleh pada bank pertama ditambah dengan jumlah sisa kredit yang
diperoleh pada bank-bank berikutnya sampai mencapai jumlah plafon kredit keseluruhan sebesar
Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah).

(3) Apabila masih terdapat sisa kredit pada bank tersebut dan atau bank-bank lain setelah dikurangi
dengan jumlah plafon kredit keseluruhan sebesar Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah)
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka keuntungan karena pembebasan utang atas sisa kredit

www.ortax.org
8 Edisi PPh Badan | Maret 2017

tersebut merupakan Objek Pajak.

Pasal 3

(1) Atas penghasilan yang diperoleh debitur berupa keuntungan karena pembebasan utang yang
merupakan Utang Debitur Kecil dari bank atau lembaga pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1, dikecualikan sebagai Objek Pajak.

(2) Pengecualian sebagai Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dinikmati yang
bersangkutan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun pajak.

Pasal 4

Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan.

Pasal 5

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 15 Desember 2000
A.n. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
WAKIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 15 Desember 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DJOHAN EFFENDI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 235

PENJELASAN
ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 130 TAHUN 2000

TENTANG

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 9

PENGECUALIAN SEBAGAI OBJEK PAJAK ATAS KEUNTUNGAN


KARENA PEMBEBASAN UTANG DEBITUR KECIL

UMUM

Dalam rangka pemberdayaan ekonomi rakyat dan pencapaian sasaran pemerataan diperlukan program
penyediaan kredit bagi usaha kecil yang produktif yang didukung dan dilaksanakan secara luas oleh semua
bank dan lembaga pembiayaan. Sejalan dengan perkembangan yang telah terjadi di bidang sosial dan
ekonomi, maka untuk membantu meringankan beban pajak pengusaha kecil yang mengalami kesulitan
keuangan dalam penyelesaian kredit yang diperoleh dari bank atau lembaga pembiayaan, Pemerintah
menetapkan bahwa atas keuntungan karena pembebasan Utang Debitur Kecil serta kredit kecil lainnya sampai
dengan jumlah tertentu dikecualikan sebagai Objek Pajak.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas

Pasal 2

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Contoh :
Ali masih mempunyai sisa Kredit UsahaKecil yang diperoleh pertama dari Bank A sebesar
Rp 200.000.000,00 dan sisa kredit yang diperoleh berikutnya dari Bank B sebesar
Rp 250.000.000,00, sehingga jumlah keseluruhan sisa Kredit Usaha Kecil adalah sebesar
Rp 450.000.000,00. Oleh karena jumlah sisa keseluruhan kredit tersebut melampaui batas
maksimum Kredit Usaha Kecil, yaitu sebesar Rp 350.000.000,00, maka yang dapat diakui
sebagai keuntungan karena pembebasan utang yang dikecualikan sebagai Objek Pajak adalah
sisa kredit dari Bank A sebesar Rp 200.000.000,00 dan dari Bank B hanya sebesar
Rp 150.000.000,00. Sedangkan sisa kredit dari Bank B sebesar Rp 100.000.000,00 merupakan
penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan.

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 3

Keuntungan karena pembebasan utang merupakan Objek Pajak. Dengan Peraturan Pemerintah ini,
atas keuntungan karena pembebasan utang tersebut yang diperoleh Debitur Usaha Kecil dikecualikan
sebagai Objek Pajak hingga sebatas jumlah maksimum plafon Kredit Usaha Kecil yang diberikan
sesuai dengan jenis kreditnya. Pengecualian ini hanya dapat dinikmati oleh debitur yang bersangkutan
satu kali untuk satu tahun pajak.

Pasal 4

Cukup jelas

Pasal 5

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4038

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=34

www.ortax.org
Peraturan Pemerintah RI :
10 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PP No. 25 Tahun 2009

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 25 TAHUN 2009

TENTANG

PAJAK PENGHASILAN KEGIATAN USAHA BERBASIS SYARIAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 31D Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983
Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263), sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PAJAK PENGHASILAN KEGIATAN USAHA BERBASIS SYARIAH.

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :


1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan.
2. Usaha Berbasis Syariah adalah setiap jenis usaha yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah yang meliputi perbankan syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, jasa keuangan
syariah dan kegiatan usaha berbasis syariah lainnya.

Pasal 2

(1) Perlakuan Pajak Penghasilan dari kegiatan Usaha Berbasis Syariah meliputi :
a. penghasilan;
b. biaya; dan
c. pemotongan pajak atau pemungutan pajak.
(2) Biaya dari Kegiatan Usaha Berbasis Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b termasuk :
a. hak pihak ketiga atas bagi hasil;
b. margin; dan
c. kerugian dari transaksi bagi hasil.
(3) Pemotongan pajak atau pemungutan pajak dari kegiatan Usaha Berbasis Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan juga terhadap :
a. hak pihak ketiga atas bagi hasil;
b. bonus;
c. margin; dan
d. hasil berbasis syariah lainnya yang sejenis.

Pasal 3

Ketentuan mengenai penghasilan, biaya, dan pemotongan pajak atau pemungutan pajak dari kegiatan Usaha
Berbasis Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berlaku mutatis mutandis ketentuan dalam
Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 4

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 11

Ketentuan mengenai tata cara pengenaan Pajak Penghasilan untuk Usaha Berbasis Syariah diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 5

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 Maret 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 3 Maret 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA

ttd.

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 48

PENJELASAN
ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 25 TAHUN 2009

TENTANG

PAJAK PENGHASILAN KEGIATAN USAHA BERBASIS SYARIAH

I. UMUM

Transaksi kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah semakin mengalami perkembangan yang antara
lain meliputi kegiatan perbankan syariah, asuransi syariah, obligasi atau surat utang syariah (sukuk),
instrumen pasar modal syariah, reksadana syariah, serta kegiatan transaksi lain yang pelaksanaannya
berdasarkan prinsip syariah. Prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perekonomian
berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa
di bidang syariah.

Dibandingkan dengan transaksi berdasarkan sistem konvensional yang telah dikenal, terdapat
perbedaan antara transaksi berdasarkan prinsip syariah dengan transaksi yang dilakukan berdasarkan
sistem konvensional tersebut. Perbedaan tersebut disebabkan oleh adanya prinsip tertentu yang harus
diperhatikan oleh Usaha Berbasis Syariah dalam melaksanakan kegiatan usahanya, yaitu : kehalalan
produk, kemaslahatan bersama, menghindari spekulasi, dan riba. Terkait dengan prinsip menghindari
riba, kegiatan pemberian pinjaman yang dilakukan oleh jasa keuangan dengan mengenakan tingkat
bunga tertentu tidak dapat dilakukan oleh usaha berbasis syariah. Kegiatan tersebut, dalam Usaha
Berbasis Syariah dilakukan melalui beberapa pendekatan antara lain:
a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
b. transaksi jual beli dalam bentuk murabahah, salam, dan istisna;
c. transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik; dan
d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk qardh;

Berdasarkan kesepakatan antara pihak yang bertransaksi, dana akan dikembalikan setelah jangka
waktu tertentu dengan memberikan imbalan, tanpa imbalan, atau bagi hasil.

www.ortax.org
12 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Perbedaan antara transaksi berdasarkan prinsip syariah dengan transaksi berdasarkan sistem
konvensional tersebut akan mengakibatkan beberapa implikasi. Perbedaan tersebut menyebabkan
perlakuan perpajakan yang berbeda dalam suatu industri yang sama, yaitu untuk kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah dan kegiatan usaha berdasarkan sistem konvensional. Dengan perlakuan
yang berbeda tersebut, maka perlakuan perpajakan menjadi tidak netral bagi para pihak yang terlibat
untuk menentukan pilihan apakah menggunakan transaksi berdasarkan prinsip syariah atau
berdasarkan sistem konvensional. Implikasi berikutnya terkait dengan kesulitan-kesulitan dalam
pelaksanaan bagi kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah tertentu, apabila ketentuan Pajak
Penghasilan yang berlaku umum diterapkan atas transaksi syariah yang mendasari kegiatan usaha
tersebut.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan


Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dalam Pasal 31D
memerintahkan untuk membentuk Peraturan Pemerintah yang mengatur perlakuan Pajak Penghasilan
atas transaksi kegiatan Usaha Berbasis Syariah dipersamakan dengan atau sebagaimana yang berlaku
atas transaksi sepadan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam industri yang sama yang berdasarkan
sistem konvensional. Dengan demikian, perlakuan Pajak Penghasilan tidak bersifat distortif serta akan
memberikan perlakuan yang sama (level playing field) bagi Wajib Pajak dalam suatu industri yang
sama.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Hak pihak ketiga atas bagi hasil yang dibayarkan merupakan biaya yang
dapat dikurangkan. Bagi hasil ini berbeda dengan dividen yang dibagikan,
terkait dengan status dana yang digunakan. Dividen diberikan atas modal
yang ditanamkan pada usaha yang menunjukkan kepemilikan usaha.
Sedangkan bagi hasil dibayarkan atas dana pihak ketiga yang digunakan
untuk jangka waktu tertentu yang tidak menunjukkan kepemilikan usaha.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Kerugian yang timbul dari transaksi bagi hasil merupakan biaya yang dapat
dikurangkan. Kerugian yang timbul harus diteliti lebih lanjut, apabila kerugian
tersebut timbul akibat kelalaian atau kesalahan pengelola dana, maka
kerugian tersebut merupakan tanggung jawab pengelola dana.
Sedangkan apabila setelah diteliti diketahui bahwa kerugian tersebut timbul
dan terjadi bukan karena kelalaian atau kesalahan pengelola dana, maka
kerugian tersebut dibebankan kepada pemilik modal sesuai dengan akad/
perjanjian.

Ayat (3)

Hak pihak ketiga atas bagi hasil, bonus, margin, dan hasil berbasis syariah lainnya
yang sejenis merupakan penghasilan yang dibayarkan berkenaan dengan penggunaan
dana pihak ketiga yang terkait dengan kepemilikan usaha, contoh :
a. deposito mudharabah menggunakan akad mudharabah. Terhadap para
deposan diberikan bagi hasil atas pemanfaatan dana yang disimpan pada bank
syariah;
b. giro pada bank syariah menggunakan akad wadiah (titipan), karena dana yang
disimpan dapat ditarik setiap saat. Terhadap pemegang giro, bank syariah
tidak menjanjikan hasil yang diberikan, tetapi dapat memberikan bonus yang
tidak ditentukan besarnya; dan
c. pembiayaan murabahah menggunakan prinsip jual beli sehingga
memunculkan margin yang merupakan selisih antara dana yang diberikan

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 13

dengan total dana yang harus dikembalikan oleh penerima dana. Karena
terkait dengan pembiayaan, bukan semata-mata transaksi jual beli, maka
terhadap margin tersebut diperlakukan sebagai penghasilan yang merupakan
objek pemotongan Pajak Penghasilan.

Pasal 3

Pemberlakuan secara mutatis mutandis dimaksudkan bahwa ketentuan perpajakan yang


berlaku umum berlaku pula untuk kegiatan Usaha Berbasis Syariah.
Contoh, perlakuan perpajakan mengenai bunga berlaku pula untuk imbalan atas penggunaan
dana pihak ketiga yang tidak termasuk dalam kategori modal perusahaan. Imbalan tersebut
dapat berupa hak pihak ketiga atas bagi hasil, margin, atau bonus, sesuai dengan pendekatan
transaksi syariah yang digunakan.
Pada ketentuan perpajakan secara umum, bunga merupakan penghasilan bagi pihak penerima
dan merupakan pengurang penghasilan bagi pihak pembayar.
Berkenaan dengan kewajiban pemotongan Pajak Penghasilan, pihak pembayar wajib
memotong Pajak Penghasilan atas bunga yang dibayarkan. Pemotongan tersebut dapat
dilakukan sesuai dengan Pasal 4 ayat (2), Pasal 23, dan/atau Pasal 26 Undang-Undang Pajak
Penghasilan sesuai dengan transaksi dan lembaga yang bertransaksi.
Perlakuan perpajakan tersebut juga berlaku terhadap hak pihak ketiga atas bagi hasil, margin,
atau bonus yang timbul dari penggunaan dana pihak ketiga yang tidak termasuk dalam
kategori modal perusahaan, sesuai dengan transaksi dan lembaga yang bertransaksi.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4988

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13704

www.ortax.org
Peraturan Pemerintah RI :
14 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PP No. 79 Tahun 2010

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 79 TAHUN 2010

TENTANG

BIAYA OPERASI YANG DAPAT DIKEMBALIKAN DAN


PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN DI BIDANG USAHA HULU
MINYAK DAN GAS BUMI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi, kegiatan usaha hulu dilaksanakan dan dikendalikan melalui kontrak kerja sama;
b. bahwa dalam pelaksanaan kontrak kerja sama sebagaimana dimaksud pada huruf a, modal yang
ditanggung oleh badan usaha atau bentuk usaha tetap merupakan biaya operasi yang dapat
dikembalikan oleh Pemerintah Republik Indonesia pada saat kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi
menghasilkan produksi komersial;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b serta untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 31 D Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang
Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu
menetapkan peraturan pemerintah tentang biaya operasi yang dapat dikembalikan dan perlakuan pajak
penghasilan di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG BIAYA OPERASI YANG DAPAT DIKEMBALIKAN DAN PERLAKUAN PAJAK
PENGHASILAN DI BIDANG USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:


1. Minyak bumi, gas bumi, minyak dan gas bumi, eksplorasi, eksploitasi, kontrak kerja sama, Badan
Pelaksana, wilayah kerja, wilayah hukum pertambangan Indonesia, dan kegiatan usaha hulu adalah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
2. Kontraktor adalah badan usaha atau bentuk usaha tetap yang ditetapkan untuk melakukan eksplorasi
dan eksploitasi pada suatu wilayah kerja berdasarkan kontrak kerja sama dengan Badan Pelaksana.
3. Operator adalah kontraktor atau dalam hal kontraktor terdiri atas beberapa pemegang participating
interest, salah satu pemegang participating interest yang ditunjuk sebagai wakil oleh pemegang
participating interest lainnya sesuai dengan kontrak kerja sama.
4. Operasi perminyakan adalah kegiatan yang meliputi eksplorasi, eksploitasi, pengangkutan, penutupan
dan peninggalan sumur (plug and abandonment) serta pemulihan bekas penambangan (site restoration)
minyak dan gas bumi.
5. Lifting adalah sejumlah minyak mentah dan/atau gas bumi yang dijual atau dibagi di titik penyerahan
(custody transfer point).
6. First Tranche Petroleum yang selanjutnya disingkat FTP adalah sejumlah tertentu minyak mentah dan/
atau gas bumi yang diproduksi dari suatu wilayah kerja dalam satu tahun kalender, yang dapat diambil
dan diterima oleh Badan Pelaksana dan/atau kontraktor dalam tiap tahun kalender, sebelum dikurangi
pengembalian biaya operasi dan penanganan produksi (own use).
7. Investment Credit yang selanjutnya disebut insentif investasi adalah tambahan pengembalian biaya
modal dalam jumlah tertentu, yang berkaitan langsung dengan fasilitas produksi, yang diberikan

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 15

sebagai insentif untuk pengembangan lapangan minyak dan/atau gas bumi tertentu.
8. Equity to be Split adalah hasil produksi yang tersedia untuk dibagi (lifting) antara Badan Pelaksana dan
kontraktor setelah dikurangi FTP, insentif investasi (jika ada) , dan pengembalian biaya operasi.
9. Biaya bukan modal (non capital cost) adalah biaya yang dikeluarkan pada kegiatan operasi tahun
berjalan yang mempunyai masa manfaat kurang dari 1 (satu) tahun, termasuk survei dan intangible
drilling cost.
10. Biaya modal (capital cost) adalah pengeluaran yang dilakukan untuk peralatan atau barang yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang pembebanannya pada tahun berjalan melalui
penyusutan.
11. Rencana kerja dan anggaran adalah suatu perencanaan kegiatan dan pengeluaran anggaran tahunan
oleh kontraktor untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi pada suatu wilayah kerja.
12. Kontrak bagi hasil adalah suatu bentuk kontrak kerja sama dalam kegiatan usaha hulu berdasarkan
prinsip pembagian hasil produksi.
13. Kontrak jasa adalah suatu bentuk kontrak kerja sama untuk pelaksanaan eksploitasi minyak dan gas
bumi berdasarkan prinsip pemberian imbalan jasa atas produksi yang dihasilkan.
14. Participating Interest adalah hak dan kewajiban sebagai kontraktor kontrak kerja sama, baik secara
langsung maupun tidak langsung pada suatu wilayah kerja.
15. Uplift adalah imbalan yang diterima oleh kontraktor sehubungan dengan penyediaan dana talangan
untuk pembiayaan operasi kontrak bagi hasil yang seharusnya merupakan kewajiban partisipasi
kontraktor lain, yang ada dalam satu kontrak kerja sama, dalam pembiayaan.
16. Domestic Market Obligation yang selanjutnya disingkat DMO adalah kewajiban penyerahan bagian
kontraktor berupa minyak dan/atau gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
17. Imbalan DMO adalah imbalan yang dibayarkan oleh Pemerintah kepada kontraktor atas penyerahan
minyak dan/atau gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan menggunakan harga yang
ditetapkan oleh Menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi kegiatan usaha minyak dan
gas bumi.
18. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
19. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kegiatan usaha minyak
dan gas bumi.

Pasal 2

Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini berlaku untuk kontrak bagi hasil dan kontrak jasa
di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi.

Pasal 3

(1) Kontraktor wajib membawa modal dan teknologi serta menanggung risiko operasi dalam rangka
pelaksanaan operasi perminyakan berdasarkan kontrak kerja sama pada suatu wilayah kerja.
(2) Pelaksanaan operasi perminyakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan berdasarkan
prinsip efektif dan efisien, prinsip kewajaran, serta kaidah praktek bisnis dan keteknikan yang baik.

Pasal 4

(1) Seluruh barang dan peralatan yang dibeli oleh kontraktor dalam rangka operasi perminyakan menjadi
barang milik negara yang pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah dan dikelola oleh Badan Pelaksana.
(2) Atas barang dan peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rangka pengembalian biaya
operasi tidak dapat dilakukan penilaian kembali.

Pasal 5

(1) Dalam melaksanakan operasi perminyakan, kontraktor wajib menyusun rencana kerja dan anggaran
sesuai dengan kaidah praktek bisnis dan keteknikan yang baik serta prinsip kewajaran.
(2) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. pengeluaran rutin; dan
b. pengeluaran proyek.
(3) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mendapat persetujuan Kepala
Badan Pelaksana.
(4) Persetujuan Kepala Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan dasar bagi
kontraktor untuk melaksanakan operasi perminyakan.

Pasal 6

Terhadap pengeluaran proyek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b, sebelum dilaksanakan
wajib mendapatkan persetujuan atorisasi pembelanjaan finansial dari Kepala Badan Pelaksana.

Pasal 7

www.ortax.org
16 Edisi PPh Badan | Maret 2017

(1) Kontraktor mendapatkan kembali biaya operasi sesuai dengan rencana kerja dan anggaran yang telah
disetujui oleh Kepala Badan Pelaksana, setelah wilayah kerja menghasilkan produksi komersial.
(2) Produksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) statusnya ditetapkan melalui Persetujuan
Menteri atas rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan.
(3) Dalam hal wilayah kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghasilkan produksi komersial,
terhadap seluruh biaya operasi yang telah dikeluarkan menjadi risiko dan beban kontraktor sepenuhnya.

Pasal 8

(1) Menteri menetapkan besaran minimum bagian negara dari suatu wilayah kerja yang dikaitkan dengan
lifting dalam persetujuan rencana pengembangan lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(2).
(2) Penetapan besaran minimum bagian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.

BAB II
PENGHASILAN BRUTO
DAN PENGURANG PENGHASILAN KONTRAKTOR

Bagian Kesatu
Penghasilan Bruto Kontraktor

Pasal 9

(1) Penghasilan bruto kontraktor terdiri atas:


a. penghasilan dalam rangka kontrak bagi hasil; atau
b. penghasilan dalam rangka kontrak jasa; dan
c. penghasilan lain di luar kontrak kerja sama.
(2) Penghitungan pajak penghasilan atas penghasilan dalam rangka kontrak bagi hasil sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dihitung berdasarkan nilai realisasi minyak dan/atau gas bumi bagian
kontraktor dari equity share dan FTP share ditambah minyak dan/atau gas bumi yang berasal dari
pengembalian biaya operasi ditambah minyak dan/atau gas bumi tambahan yang berasal dari
pemberian insentif atau karena hal lain dikurangi nilai realisasi penyerahan DMO minyak dan/atau gas
bumi ditambah Imbalan DMO ditambah varian harga atas lifling.
(3) Penghitungan pajak penghasilan atas penghasilan dalam rangka kontrak jasa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan imbalan yang diterima dari Pemerintah ditambah nilai
realisasi penjualan atas minyak dan/atau gas bumi yang berasal dari pengembalian biaya operasi.
(4) Penghasilan lain di luar kontrak kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas:
a. uplift atau imbalan lain yang sejenis; dan/atau
b. penghasilan yang berasal dari pengalihan participating interest.

Pasal 10

(1) Untuk menjamin adanya penerimaan negara, Menteri menetapkan besaran dan pembagian FTP.
(2) Untuk mendorong pengembangan wilayah kerja, Menteri dapat menetapkan bentuk dan besaran
insentif investasi.

Bagian Kedua
Biaya Operasi

Pasal 11

(1) Biaya operasi terdiri atas:


a. biaya eksplorasi;
b. biaya eksploitasi; dan
c. biaya lain.
(2) Biaya eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. biaya pengeboran terdiri atas:
1. biaya pengeboran eksplorasi; dan
2. biaya pengeboran pengembangan;
b. biaya geologis dan geofisika terdiri atas:
1. biaya penelitian geologis; dan
2. biaya penelitian geofisika;
c. biaya umum dan administrasi pada kegiatan eksplorasi;dan
d. biaya penyusutan.
(3) Biaya eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. biaya langsung produksi untuk:
1. minyak bumi; dan

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 17

2. gas bumi.
b. biaya pemrosesan gas bumi;
c. biaya utility terdiri atas:
1. biaya perangkat produksi dan pemeliharaan peralatan; dan
2. biaya uap, air, dan listrik;
d. biaya umum dan administrasi pada kegiatan eksploitasi; dan
e. biaya penyusutan.
(4) Biaya umum dan administrasi untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf c dan ayat (3) huruf d terdiri atas:
a. biaya administrasi dan keuangan;
b. biaya pegawai;
c. biaya jasa material;
d. biaya transportasi;
e. biaya umum kantor; dan
f. pajak tidak langsung, pajak daerah, dan retribusi daerah.
(5) Biaya lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas:
a. biaya untuk memindahkan gas dari titik produksi ke titik penyerahan; dan
b. biaya kegiatan pasca operasi kegiatan usaha hulu.

Pasal 12

(1) Biaya operasi yang dapat dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil dan pajak penghasilan harus
memenuhi persyaratan:
a. dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan dab terkait langsung dengan kegiatan operasi
perminyakan di wilayah kerja kontraktor yang bersangkutan di Indonesia;
b. menggunakan harga wajar yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan;
c. pelaksanaan operasi perminyakan sesuai dengan kaidah praktek bisnis dan keteknikan yang
baik;
d. kegiatan operasi perminyakan sesuai dengan rencana kerja dan anggaran yang telah
mendapatkan persetujuan Kepala Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan
Pasal 6.
(2) Biaya yang dikeluarkan yang terkait langsung dengan operasi perminyakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a wajib memenuhi syarat:
a. untuk biaya penyusutan hanya atas barang dan peralatan yang digunakan untuk operasi
perminyakan yang menjadi milik negara;
b. untuk biaya langsung kantor pusat yang dibebankan ke proyek di Indonesia yang berasal dari
luar negeri hanya untuk kegiatan yang:
1. tidak dapat dikerjakan oleh institusi/lembaga di dalam negeri;
2. tidak dapat dikerjakan oleh tenaga kerja Indonesia; dan
3. tidak rutin;
c. untuk pemberian imbalan sehubungan dengan pekerjaan kepada karyawan/pekerja dalam
bentuk natural kenikmatan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang perpajakan;
d. untuk pemberian sumbangan bencana alam atas nama Pemerintah dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
e. untuk pengeluaran biaya pengembangan masyarakat dan lingkungan yang dikeluarkan hanya
pada masa eksplorasi;
f. untuk pengeluaran alokasi biaya tidak langsung kantor pusat dengan syarat:
1. digunakan untuk menunjang usaha atau kegiatan di Indonesia;
2. kontraktor menyerahkan laporan keuangan konsolidasi kantor pusat yang telah
diaudit dan dasar pengalokasiannya; dan
3. besarannya tidak melampaui batasan yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri
Keuangan setelah mendapat pertimbangan Menteri.
(3) Batasan maksimum biaya yang berkaitan dengan remunerasi tenaga kerja asing ditetapkan dengan
Peraturan Menteri Keuangan setelah mendapatkan pertimbangan dari Menteri.

Pasal 13

Jenis biaya operasi yang tidak dapat dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil dan pajak penghasilan
meliputi:
a. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi dan/atau keluarga dari pekerja,
pengurus, pemegang participating interest, dan pemegang saham;
b. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali biaya penutupan dan pemulihan tambang yang
disimpan pada rekening bersama Badan Pelaksana dan kontraktor dalam rekening bank umum
Pemerintah Indonesia yang berada di Indonesia;
c. harta yang dihibahkan;
d. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang
berkaitan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan serta tagihan atau
denda yang timbul akibat kesalahan kontraktor karena kesengajaan atau kealpaan;

www.ortax.org
18 Edisi PPh Badan | Maret 2017

e. biaya penyusutan atas barang dan peralatan yang digunakan yang bukan milik negara;
f. insentif, pembayaran iuran pensiun, dan premi asuransi untuk kepentingan pribadi dan/atau keluarga
dari tenaga kerja asing, pengurus, dan pemegang saham;
g. biaya tenaga kerja asing yang tidak memenuhi prosedur rencana penggunaan tenaga kerja asing
(RPTKA) atau tidak memiliki izin kerja tenaga asing (IKTA);
h. biaya konsultan hukum yang tidak terkait langsung dengan operasi perminyakan dalam rangka kontrak
kerja sama;
i. biaya konsultan pajak;
j. biaya pemasaran minyak dan/atau gas bumi bagian kontraktor, kecuali biaya pemasaran gas bumi yang
telah disetujui Kepala Badan Pelaksana;
k. biaya representasi, termasuk biaya jamuan dengan nama dan dalam bentuk apapun, kecuali disertai
dengan daftar nominatif penerima manfaat dan nomor pokok wajib pajak (NPWP) penerima manfaat;
l. biaya pengembangan lingkungan dan masyarakat setempat pada masa eksploitasi;
m. biaya pelatihan teknis untuk tenaga kerja asing;
n. biaya terkait merger, akuisisi, atau biaya pengalihan participating interest;
o. biaya bunga atas pinjaman;
p. pajak penghasilan karyawan yang ditanggung kontraktor maupun dibayarkan sebagai tunjangan pajak
dan pajak penghasilan yang wajib dipotong atau dipungut atas penghasilan pihak ketiga yang
ditanggung kontraktor atau di-gross up;
q. pengadaan barang dan jasa serta kegiatan lainnya yang tidak sesuai dengan prinsip kewajaran dan
kaidah keteknikan yang baik, atau yang melampaui nilai persetujuan otorisasi pengeluaran di atas 10%
(sepuluh persen) dari nilai otorisasi pengeluaran;
r. surplus material yang berlebihan akibat kesalahan perencanaan dan pembelian;
s. nilai buku dan biaya pengoperasian aset yang telah digunakan yang tidak dapat beroperasi lagi akibat
kelalaian kontraktor;
t. transaksi yang:
1. merugikan negara;
2. tidak melalui proses tender sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali dalam hal
tertentu; atau
3. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
u. bonus yang dibayarkan kepada Pemerintah;
v. biaya yang terjadi sebelum penandatanganan kontrak;
w. insentif interest recovery; dan
x. biaya audit komersial.

Pasal 14

Dalam hal terdapat penghasilan tambahan yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan operasi perminyakan
dalam bentuk hasil penjualan produk sampingan atau bentuk lainnya diperlakukan sebagai pengurang biaya
operasi.

Pasal 15

(1) Barang yang memiliki masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun dibebankan sebagai biaya operasi
pada saat barang digunakan.
(2) Pembebanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara rata-rata atau dengan cara
mendahulukan barang yang diperoleh pertama.

Pasal 16

(1) Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun
dilakukan dalam bagian yang menurun selama masa manfaat yang dihitung dengan cara menerapkan
tarif penyusutan atas nilai sisa buku dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus.
(2) Penyusutan dimulai pada bulan harta tersebut digunakan (placed into service).
(3) Penghitungan penyusutan dilakukan sesuai kelompok, tarif, dan masa manfaat sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(4) Dalam hal harta berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat digunakan lagi akibat
kerusakan karena faktor alamiah atau keadaan kahar, jumlah nilai sisa buku harta berwujud tetap
disusutkan sesuai dengan sisa masa manfaatnya.

Pasal 17

(1) Besarnya cadangan biaya penutupan dan pemulihan tambang yang dibebankan untuk 1 (satu) tahun
pajak, dihitung berdasarkan estimasi biaya penutupan dan pemulihan tambang berdasarkan masa
manfaat ekonomis.
(2) Cadangan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disimpan dalam rekening bersama antara
Badan Pelaksana dan kontraktor di bank umum Pemerintah Indonesia di Indonesia.
(3) Dalam hal total realisasi biaya penutupan dan pemulihan tambang lebih kecil atau lebih besar dari
jumlah yang dicadangkan, selisihnya menjadi pengurang atau penambah biaya operasi yang dapat

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 19

dikembalikan dari masing-masing wilayah kerja atau lapangan yang bersangkutan, setelah mendapat
persetujuan Kepala Badan Pelaksana.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penggunaan dana cadangan biaya penutupan dan pemulihan tambang
diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 18

(1) Kontraktor dapat membebankan iuran pesangon bagi pegawai tetap yang dibayarkan kepada
pengelola dana pesangon tenaga kerja yang ditetapkan Menteri Keuangan.
(2) Tata cara pengelolaan iuran pesangon dan besarnya pesangon diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan.

Pasal 19

(1) Seluruh biaya kerja, pembebanannya ditangguhkan sampai dengan adanya lapangan yang berproduksi
secara komersial di wilayah kerja sebagaimana dimaksud dalamPasal 7 ayat (1).
(2) Untuk pengamanan penerimaan negara, selain penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Menteri dapat mengambil kebijakan terkait pengembangan lapangan.

Pasal 20

(1) Biaya operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 yang dapat dikembalikan dalam 1 (satu) tahun
kalender terdiri atas:
a. biaya bukan modal tahun berjalan;
b. penyusutan biaya modal tahun berjalan; dan
c. biaya operasi yang belum dapat dikembalikan pada tahun-tahun sebelumnya.
(2) Jumlah maksimum biaya operasi yang dapat dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
kontrak jasa ditentukan sebesar imbalan yang diberikan olehPemerintah.
(3) Biaya operasi yang dapat dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang belum dapat
diperhitungkan dalam 1 (satu) tahun kalender dapat diperhitungkan pada tahun berikutnya.
(4) Biaya langsung minyak bumi dibebankan pada produksi minyak bumi dan biaya langsung gas bumi
dibebankan pada produksi gas bumi.
(5) Dalam hal terdapat biaya bersama minyak dan gas bumi, biaya bersama dialokasikan sesuai proporsi
nilai relatif hasil produksi.
(6) Dalam hal suatu lapangan atau wilayah kerja telah menghasilkan satu jenis hasil produksi minyak bumi
atau gas bumi, sementara jenis produksi yang lainnya belum menghasilkan, biaya bersama
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dialokasikan secara adil berdasarkan kesepakatan antara Badan
Pelaksana dan kontraktor.
(7) Pengembalian biaya operasi untuk minyak bumi dilakukan hanya terhadap lifting minyak bumi,
sedangkan pengembalian biaya operasi untuk gas bumi dilakukanhanya terhadap nilai penjualan gas
bumi.
(8) Dalam hal pengembalian biaya operasi minyak bumi atau gas bumi tidak mencukupi dari hasil
produksinya atau nilai penjualannya, ditentukan:
a. biaya operasi gas bumi yang melebihi nilai produksinya, selisihnya dibebankan pada hasil
produksi minyak bumi;
b. biaya operasi minyak bumi yang melebihi nilai produksinya, selisihnya dibebankan pada nilai
penjualan gas bumi.

BAB III
PENGAKUAN DAN PENGUKURAN PENGHASILAN

Pasal 21

Penghasilan kontraktor untuk kontrak bagi hasil diakui pada titik penyerahan.

Pasal 22

(1) Penghasilan dari kontrak kerja sama dalam bentuk penjualan minyak bumi dinilai dengan menggunakan
harga
minyak mentah Indonesia.
(2) Metodologi dan formula dari harga minyak mentah Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan bersama oleh Menteri dan Menteri Keuangan.
(3) Ketentuan mengenai tata cara penetapan metodologi dan formula harga minyak mentah Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 23

www.ortax.org
20 Edisi PPh Badan | Maret 2017

(1) Penghasilan dari kontrak kerja sama dalam bentuk kontrak penjualan gas bumi dihitung berdasarkan
harga yang disepakati dalam kontrak penjualan gas bumi.
(2) Dalam hal penjualan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah gas bumi
diperoleh melalui proses lebih lanjut yang disetujui Menteri, penghasilan yang diakui dihitung
berdasarkan hasil penjualan yang diterimadikurangi komponen biaya penjualan.

BAB IV
PENGHITUNGAN BAGI HASIL

Pasal 24

(1) Dalam hal tidak terdapat FTP dan insentif investasi, equity to be split dihitung berdasarkan lifting
dikurangi biaya operasi yang dapat dikembalikan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 20.
(2) Dalam hal terdapat FTP tetapi tidak terdapat insentif investasi, equity to be split dihitung berdasarkan
lifting dikurangi FTP dikurangi biaya operasi yang dapatdikembalikan.
(3) Dalam hal terdapat FTP dan insentif investasi, equity to be split dihitung berdasarkan lifting dikurangi
FTP dikurangi insentif investasi dikurangi biaya operasi yang dapat dikembalikan.
(4) Dalam hal tidak terdapat FTP tetapi terdapat insentif investasi,equity to be split dihitung berdasarkan
lifting dikurangi insentif investasi dikurangi biaya operasi yangdapat dikembalikan.
(5) Insentif investasi dan biaya operasi yang dapat dikembalikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan,dikonversi menjadi:
a. minyak bumi, dengan harga rata-rata harga minyak mentah Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22;atau
b. gas bumi, dengan harga yang disepakati dalam kontrak penjualan gas bumi.
(6) Bagian kontraktor untuk kontrak kerja sama, dihitung berdasarkan persentase bagian kontraktor
sebelum pajak penghasilan yang dinyatakan dalam kontrak kerja sama dikalikan dengan equity to be
split.
(7) Bagian Pemerintah untuk kontrak kerja sama dihitung berdasarkan persentase bagian Pemerintah yang
dinyatakan dalam kontrak kerja sama dikalikafi dengan equity to be split yang didalamnya belum
termasuk pajak penghasilan yang terutang oleh kontraktor.
(8) Kontraktor wajib memenuhi kewajiban DMO dengan menyerahkan 25% (dua puluh lima persen)
bagiannya dari produksi minyak bumi dan/atau gas bumi yang dihasilkannya untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri.
(9) Kontraktor mendapat imbalan DMO atas penyerahan minyak bumi dan/atau gas bumi sebagaimana
dimaksud pada ayat (8) dengan harga yang ditetapkan oleh Menteri.

BAB V
PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN

Pasal 25

(1) Penghasilan kena pajak untuk 1 (satu) tahun pajak bagi kontraktor untuk kontrak bagi hasil, dihitung
berdasarkan penghasilan dalam rangka kontrak bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(2) dikurangi biaya bukan modal tahun berjalan dikurangi penyusutan biaya modal tahun berjalan
dikurangi biaya operasi yang belum dapatdikembalikan pada tahun-tahun sebelumnya.
(2) Dalam hal jumlah pengurang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih besar dari penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), sisa kurangnya diperhitungkan pada tahun pajak
berikutnya sampaidengan berakhirnya kontrak.
(3) Besarnya pajak penghasilan yang terutang bagi kontraktor,dihitung berdasarkan penghasilan kena
pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikalikan dengan tarif pajak yang ditentukan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangandi bidang pajak penghasilan.
(4) Besarnya pajak penghasilan yang terutang bagi kontraktor yang kontraknya ditandatangani sebelum
berlakunya peraturan Pemerintah ini, dihitung berdasarkan tarif pajak perseroan atau pajak
penghasilan pada saat kontrak ditandatangani.
(5) Atas penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah dikurangi pajak penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), terutang pajak penghasilan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(6) Dalam hal kontraktor berbentuk badan hukum Indonesia, penghasilan kena pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) setelah dikurangi pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diperlakukan sebagai deviden yang disediakan untuk dibayarkan dan terutang pajak penghasilan sesuai
dengan ketentuan peraturanperundang-undangan.
(7) Atas pemenuhan kewajiban pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4),ayat (5),
dan ayat (6) diterbitkan surat ketetapan pembayaran pajak penghasilan minyak bumi dan gas bumi
setelah dilakukan pemeriksaan pajak.
(8) Sebelum surat ketetapan pembayaran pajak penghasilan minyak bumi dan gas bumi diterbitkan, dapat
diterbitkan surat keterangan pembayaran pajak penghasilan minyakbumi dan gas bumi sementara.
(9) Ketentuan mengenai penerbitan surat ketetapan pembayaran pajak penghasilan minyak bumi dan gas
bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan surat keterangan pembayaran pajak penghasilan
minyak bumi dan gas bumi sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dengan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak.
(10) Kontraktor dibebaskan dari pemungutan bea masuk dan pajak dalam rangka impor atas barang yang

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 21

digunakan dalam operasi perminyakan pada kegiatan eksplorasi dankegiatan eksploitasi.


(11) Ketentuan mengenai tata cara pembebasan bea masuk dan pemungutan pajak dalam rangka impor
sebagaimana dimaksud pada ayat (10) diatur sesuai ketentuan peraturanperundang-undangan.

Pasal 26

(1) Penghasilan kena pajak untuk 1 (satu) tahun pajak bagi kontraktor dalam rangka kontrak jasa,
berdasarkan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) dikurangi biaya bukan modal
tahun berjalan dikurangi penyusutan biaya modal tahun berjalan dikurangi seluruh biaya operasi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 yangbelum dikembalikan.
(2) Ketentuan mengenai jumlah maksimum pengurang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah
imbalan yang diberikan oleh Pemerintah kepada kontraktor diaturdengan Peraturan Menteri.
(3) Dalam hal jumlah pengurang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih besar dari penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), sisa kurangnya diperhitungkan pada tahun pajak
berikutnya sampaidengan berakhirnya kontrak.
(4) Besarnya pajak penghasilan yang terutang bagi kontraktor berdasarkan penghasilan kena pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikalikan dengan tarif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dibidang pajak penghasilan.
(5) Atas penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah dikurangi pajak penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperlakukan sebagai deviden yang disediakan untuk dibayarkan
dan terutang pajakpenghasilan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.

BAB VI
PENGHASILAN DI LUAR KONTRAK KERJA SAMA

Pasal 27

(1) Atas penghasilan lain kontraktor berupa uplift atau imbalan lain yang sejenis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (4) huruf a dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final dengan tarif 20% (dua
puluh persen) dari jumlah bruto.
(2) Atas penghasilan kontraktor dari pengalihan participating interest sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (4) huruf b dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final dengan tarif:
a. 5% (lima persen) dari jumlah bruto, untuk pengalihan participating interest selama masa
eksplorasi;atau
b. 7% (tujuh persen) dari jumlah bruto, untuk pengalihan participating interest selama masa
eksploitasi.
(3) Pengenaan pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dikecualikan sepanjang
untuk melakukan kewajiban pengalihan participating interest sesuai kontrakkerja sama kepada
perusahaan nasional sebagaimana tertuang dalam kontrak kerja sama.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pemotongan dan pembayaran atas pajak penghasilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (I), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 28

Dalam rangka membagi risiko dalam masa eksplorasi, pengalihan participating interest tidak termasuk
penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) huruf b apabila memenuhi kriteria:
a. tidak mengalihkan seluruh participating interest yang dimilikinya;
b. participating interest telah dimiliki lebih dari 3 (tiga) tahun;
c. di wilayah kerja telah dilakukan eksplorasi (telah ada pengeluaran investasi);dan
d. pengalihan participating interest tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan.

BAB VII
PEMBUKUAN KONTRAKTOR

Pasal 29

(1) Pembukuan atau pencatatan hams diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan
mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
(2) Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin,
angka arab, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau bahasa asingsetelah mendapat persetujuan dari
Menteri Keuangan.
(3) Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas, sesuai dengan pernyataan standar akuntansi
keuangan, dan sesuai prinsip kontrak bagi hasil.
(4) Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan
dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitungbesarnya pajak yang terutang.
(5) Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain
termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program
aplikasi online wajib disediakan di Indonesia selama biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 belum
dikembalikan.

www.ortax.org
22 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Pasal 30

(1) Untuk perhitungan pajak, Direktorat Jenderal Pajak menetapkan besarnya biaya pada tahapan
eksplorasi setiap tahunnya di bidang usaha hulu minyak bumi dan gas bumisetelah mendapat
rekomendasi dari Badan Pelaksana,
(2) Sebelum menetapkan besarnya biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (I),auditor Pemerintah atas
nama Direktorat Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan.
(3) Dalam hal besaran biaya yang direkomendasikan Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berbeda dengan besaran biaya hasil pemeriksaan auditor Pemerintah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2),auditor Pemerintah dan Badan Eelaksana wajib menyelesaikanperbedaan tersebut.

BAB VIII
KEWAJIBAN KONTRAKTOR DAN/ATAU OPERATOR

Pasal 31

(1) Setiap kontraktor pada suatu wilayah kerja wajib:


a. mendaftarkan diri untuk memperoleh nomor pokok wajib pajak;
b. melaksanakan pembukuan;
c. menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan (SPT Tahunan PPh);
d. membayar angsuran pajak dalam tahun berjalan untuk setiap bulan paling lambat pada tanggal
15 (lima belas) bulan berikutnya,dan dihitung atas penghasilan kena pajak dari lifting yang
sebenarnya terjadi dalam suatu bulan takwim;
e. memenuhi ketentuan lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan.
(2) Dalam hal terjadi pengalihan participating interest atau pengalihan saham, kontraktor wajib melaporkan
nilainya kepada Direktur Jenderal Pajak.
(3) Dalam hal pengalihan participating interest, hak dan kewajiban perpajakan beralih kepada kontraktor
yang baru.
(4) Bentuk dan isi SPT Tahunan PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diatur dengan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 32

(1) Setiap operator pada suatu wilayah kerja wajib:


a. mendaftarkan kontrak kerja sama untuk memperoleh nomor pokok wajib pajak yang berbeda
dengan nomor pokok wajib pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a;
b. melakukan pemenuhan kewajiban pemotongan dan/ atau pemungutan pajak;
c. menyelenggarakan pembukuan untuk kegiatan operasi perminyakan untuk wilayah kerja yang
bersangkutan.
(2) Dalam hal terjadi pergantian operator, kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beralih kepada
operator yang baru.

Pasal 33

(1) Minyak bumi dan/atau gas bumi bagian pemerintah dari kontrak bagi hasil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 dihitung berdasarkan volume minyak bumi dan/atau gasbumi.
(2) Dalam hal Pemerintah membutuhkan minyak bumi dan/atau gas bumi untuk keperluan pemenuhan
kebutuhan dalam negeri, pajak penghasilan kontraktor dari kontrak bagi hasil, dapat berupa volume
minyak bumidan/atau gas bumi dari bagian kontraktor.
(3) Ketentuan mengenai perhitungan dan tata cara penyerahan bagian Pemerintah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
(4) Ketentuan mengenai perhitungan dan tata cara pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

BAB IX
KEWAJIBAN BADAN PELAKSANA

Pasal 34

(1) Badan Pelaksana wajib menerbitkan standar atau norma, jenis, kategori,dan besaran biaya yang
digunakan pada kegiatan operasi perminyakan bersamaan denganberlakunya Peraturan Pemerintah ini.
(2) Badan Pelaksana wajib menyampaikan laporan pembukuan mengenai pelaksanaan pengembalian biaya
operasi kepada Direktur Jenderal Pajak dan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi secara periodik
setiap tahun dan sewaktu-waktuapabila diperlukan.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 23

BAB X
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 35

(1) Kontraktor harus melakukan transaksinya di Indonesia dan menyelesaikan pembayarannya melalui
sistem perbankan di Indonesia.
(2) Transaksi dan penyelesaian pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan
di luar Indonesia setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.

Pasal 36

(1) Menteri Keuangan dalam keadaan tertentu dapat menunjuk pihak ketiga yang independen untuk
melakukan verifikasi finansial dan teknis setelah berkoordinasi dengan Menteri.
(2) Penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan barang dan jasa.

Pasal 37

Dalam hal terjadi perubahan bentuk hukum dan/atau perubahan status domisili dan/atau pengalihan
participating interest atau kepemilikan saham dan/atau hal lain dari kontraktor yang mengakibatkan perubahan
perhitungan pajak penghasilan, besaran bagian penerimaan negara harus tetap.

BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 38

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:


a. Kontrak kerja sama yang telah ditandatangani sebelum Peraturan Pemerintah ini diundangkan,
dinyatakan tetap berlaku sampai dengan tanggal berakhirnya kontrak yang bersangkutan.
b. Hal-hal yang belum diatur atau belum cukup diatur secara tegas dalam kontrak kerja sama
sebagaimana dimaksud pada huruf a untuk ketentuan mengenai:
1. besaran bagian penerimahn negara;
2. persyaratan biaya operasi yang dapat dikembalikan dan norma pembebanan biaya operasi;
3. biaya operasi yang tidak dapat dikembalikan;
4. penunjukan pihak ketiga yang independen untuk melakukan verifikasi finansial dan teknis;
5. penerbitan surat ketetapan pajak penghasilan;
6. pembebasan bea masuk dan pajak dalam rangka impor atas barang pada kegiatan eksplorasi
dan kegiatan eksploitasi;
7. pajak penghasilan kontraktor berupa volume minyak bumi dan/atau gas bumi dari bagian
kontraktor;dan
8. penghasilan di luar kontrak kerja sama berupa uplift dan/ atau pengalihan participating
interest,
dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan wajib menyesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini.

BAB XII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 39

Kontrak kerja sama dalam kegiatan usaha hulu minyak bumi dan gas bumi yang dibuat atau diperpanjang
setelah berlakunya Peraturan Pemerintah ini wajib mematuhi ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 40

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

www.ortax.org
24 Edisi PPh Badan | Maret 2017

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA

ttd.

PATRIALIS AKBAR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 139

PENJELASAN
ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 79 TAHUN 2010

TENTANG

BIAYA OPERASI YANG DAPAT DIKEMBALIKAN DAN


PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN DI BIDANG USAHA HULU
MINYAK DAN GAS BUMI

I. UMUM

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) menegaskan bahwa cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara
termasuk minyak dan gas bumi yang merupakan sumber daya alam strategis yang tak dapat
diperbaharui.

Mengingat minyak dan gas bumi merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang penting, maka
pengelolaannya perlu dilakukan secara efisien dan seoptimal mungkin agar dapat dimanfaatkan bagi
sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Pengelolaan minyak dan gas bumi sampai saat ini dilakukan melalui sistem kontrak bagi hasil yang juga
dianut oleh kebanyakan negara produsen minyak.

Peraturan Pemerintah ini lebih menjamin penerimaan negara yang berasal dari penghasilan kontrak
bagi hasil atau penghasilan lainnya menjadi lebih optimal, antara lain melalui:
a. biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto akan sama dengan biaya yang dapat
dikembalikan oleh Pemerintah;
b. jenis, syarat, metode alokksi, dan batasan jumlah dari biaya tersebut akan diatur secara
seksama agar penerimaan negara lebih optimal dan agar tercipta kepastian hukum;
c. pajak-pajak tidak langsung seperti pajak pertambahan nilai (PPN), bea masuk, pajak bumi dan
bangunan (PBB), pajak daerah dan retribusi daerah yang selama ini menjadi beban Pemerintah
diubah sehingga menjadi beban bersama Pemerintah dan kontraktor dengan cara membukukan
pembayaran pajak tidak langsung tersebut sebagai komponen biaya;
d. kontraktor diwajibkan membayar sendiri pajak penghasilan yang terutang atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh di luar skema kontrak kerja sama.

Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya


penyalahgunaan penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

Dalam rangka optimalisasi penerimaan negara dari kontrak-kontrak yang sudah ada, Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2008 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009
mengamanatkan Pemerintah untuk menerbitkan peraturan yang mengatur mengenai Pengembalian
Biaya Operasi yang telah dikeluarkan kontraktor dalam rangka kontrak kerja sama. Untuk itu,
ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini juga berlaku terhadap kontrak kerja sama yang
telah ditandatangani sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dengan beberapa ketentuan
peralihan.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 25

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Ayat (1)

Dalam hal kontrak kerja sama di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi, Pemerintah
menyediakan sumber daya alamnya sedangkan kontraktor wajib membawa modal dan
teknologi. Konsekuensinya bahwa kontraktor tidak diperkenankan membebankan
biaya bunga maupun biaya royalti dan sejenisnya ke dalam biaya operasi yang dapat
dikembalikan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 4

Ayat (1)

Pada dasarnya seluruh pengeluaran atas barang dan peralatan yang dibeli oleh kontraktor
merupakan milik negara, sehingga pengeluaran tersebut merupakan biaya operasi
yang dapat dikembalikan oleh Pemerintah kepada kontraktor berdasarkan harga
perolehan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 5

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan kaidah praktek bisnis yang baik meliputi kaidah praktek bisnis
yang umum berlaku dan wajar sesuai dengan etika bisnis, sedangkan kaidah
keteknikan yang baik meliputi:
a. memenuhi ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja serta perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup;
b. memproduksikan minyak dan gas bumi sesuai dengan kaidah pengelolaan
reservoar yang baik;
c. memproduksikan sumur minyak dan gas bumi dengan cara yang tepat;
d. menggunakan teknologi perolehan minyak tingkat lanjut yang tepat;
e. meningkatkan usaha peningkatan kemampuan reservoar untuk mengalirkan
fluida dengan teknik yang tepat; dan
f. memenuhi ketentuan standar peralatan yang dipersyaratkan.

Ayat (2)

Huruf a

Pengeluaran rutin antara lain pembayaran gaji, biaya pemeliharaan, dan biaya
pasca operasi pertambangan.

Huruf b

Pengeluaran proyek antara lain pembangunan fasilitas produksi dan kegiatan


survei seismik.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

www.ortax.org
26 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Cukup jelas.

Pasal 6

Otorisasi pembelanjaan finansial adalah authorization for expenditure (AFE) .

Pasal 7

Cukup jelas.

Pasal 8

Cukup jelas.

Pasal 9

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan varian harga atas lifting adalah selisih harga yang terjadi
karena perbedaan harga minyak mentah Indonesia bulanan dengan harga minyak
mentah Indonesia rata-rata tertimbang.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 10

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Pengembangan wilayah kerja dalam ketentuan ini meliputi ekstensifikasi dan


intensifikasi.

Pasal 11

Biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan adalah sama dengan biaya yang akan
dikembalikan oleh Pemerintah kepada kontraktor dalam rangka kontrak kerja sama, demikian
pula sebaliknya. Prinsip ini biasa dikenal dengan nama uniformity principle.

Biaya operasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan biaya yang menjadi
dasar dalam penghitungan bagi hasil dan penghitungan Penghasilan Kena Pajak.

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 27

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Yang termasuk biaya penyusutan antara lain berupa:


1. fasilitas produksi;
2. gedung kantor, gudang, perumahan;
3. mesin dan peralatan.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Huruf a

Termasuk dalam biaya pemindahan gas dari titik produksi ke titik penyerahan
adalah biaya untuk pemasaran.

Huruf b

Cukup jelas.
Pasal 12

ayat (1)

Huruf a

Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan disebut


biaya sehari-hari yang boleh dibebankan pada tahun pengeluaran. Untuk dapat
dibebankan sebagai biaya, pengeluaran tersebut hams mempunyai hubungan
baik langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha atau kegiatan
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dengan kegiatan
operasi perminyakan di lapangan yang berproduksi secara komersial
di wilayah kerja yang bersangkutan di Indonesia.

Dengan demikian, pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara


penghasilan yang bukan objek pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pajak penghasilan dan/atau untuk penghasilan
yang dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final, tidak boleh dibebankan
sebagai biaya yang dapat dikembalikan.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Yang dimaksud dengan "biaya langsung kantor pusat yang dibebankan


ke proyek" adalah biaya yang terkait langsung dengan kegiatan operasi
perminyakan di Indonesia dengan syarat:
1. tidak dapat dikerjakan oleh institusillembaga di dalam negeri;
2. tidak dapat dikerjakan oleh tenaga kerja Indonesia; dan

www.ortax.org
28 Edisi PPh Badan | Maret 2017

3. tidak rutin.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Ayat (3)

Peraturan Menteri Keuangan paling sedikit mengatur mengenai waktu pemberlakuan


remunerasi.

Pasal 13

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Harta yang dihibahkan tidak boleh dibebankan sebagai biaya karena harta tersebut
merupakan milik negara.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Cukup jelas.

Huruf i

Cukup jelas.

Huruf j

Cukup jelas.

Huruf k

Cukup jelas.

Huruf l

Cukup jelas.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 29

Huruf m

Cukup jelas.

Huruf n

Biaya yang terkait dengan merger dan akuisisi antara lain:


1. biaya personal dan konsultan yang berkaitan dengan due diligence;
2. biaya eksternal untuk press release, promosi, dan penggantian logo
perusahaan;
3. biaya yang terkait dengan separation program dan retention program, biaya
yang berkaitan dengan teknologi sistem informasi (sepanjang sistem yang
lama belum sepenuhnya didepresiasikan), biaya yang terkait dengan
perpindahan kantor, dan biaya yang timbul karena perubahan kebijakan
tentang proyek yang sedang berjalan.

Huruf o

Yang dimaksud dengan "bunga atas pinjaman" adalah bunga atas pinjaman untuk
membiayai operasi perminyakan.

Huruf p

Cukup jelas.

Huruf q

Cukup jelas.

Huruf r

Yang dimaksud dengan "kesalahan perencanaan" adalah perbuatan kontraktor dalam


menyusun rencana yang dapat dikategorikan sebagai kelalaian berat atau perbuatan
salah yang disengaja.

Pengertian kelalaian berat atau perbuatan salah yang disengaja adalah setiap tindakan
yang disengaja atau kecerobohan yang dilakukan oleh manajemen atau pejabat senior
dari kontraktor yang:

a. konsekuensi diketahui atau patut diketahui dapat mengakibatkan terjadinya


kerugian orang atau terancamnya keamanan atau kepemilikan orang atau
badan lain; atau
b. secara fatal melanggar standar kehati-hatian yang dalam pengabaiannya atau
ketidakpeduliannya yang fatal mengakibatkan konsekuensi yang merugikan.

Huruf s

Yang dimaksud dengan "kelalaian kontraktor" adalah kelalaian berat (gross


negligance) atau perbuatan salah yang disengaja (willful misconduct).

Sebagian biaya konstruksi fasilitas produksi /peralatan yang tidak dapat dibebankan
menjadi biaya operasi yang tidak dapat dikembalikan dalam hal:
a. tidak dapat membuktikan bahwa kapasitas fasilitas produksi memenuhi target
yang disepakati sehingga pembebanan hanya dapat dibebankan proporsional
terhadap kapasitas terbukti;
b. tidak dapat membuktikan bahwa unjuk kerja fasilitas produksi memenuhi
kriteria yang ditetapkan sehingga pembebanan hanya dapat dilakukan
proporsional terhadap unjuk kerja terbukti.
c. pada masa konstruksi terjadi perbaikan atau pembuatan ulang/penggantian
seluruh dan/atau sebagian fasilitas produksi yang termasuk dalam
pertanggungan asuransi construction all risk;
d. pada masa garansi terjadi kerusakan akibat kesalahan fabrikasil
manufacturing, maka biaya perbaikan ataupun penggantian menjadi tanggung
jawab kontraktor penyedia barang/jasa.

Huruf t

Angka 1

Yang dimaksud dengan "transaksi yang merugikan negara" adalah transaksi


yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
sehingga menimbulkan kerugian bagi negara seperti pengadaan barang dan

www.ortax.org
30 Edisi PPh Badan | Maret 2017

jasa yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan dan lain-lain.

Angka 2

Yang dimaksud dengan tidak melalui proses tender dalam ketentuan ini adalah
seluruh pengadaan barang dan jasa wajib melalui proses tender sesuai
kebutuhan yang berlaku, namun untuk pengadaan barang dan jasa untuk
keperluan darurat dapat tidak melalui proses tender.

Angka 3

Cukup jelas.

Huruf u

Cukup jelas.

Huruf v

Cukup jelas.

Huruf w

Cukup jelas.

Huruf x

Dalam ha adanya kepentingan nasional yang mendesak, antara lain kelangsungan


produksi, percepatan peningkatan produksi minyak dan/atau gas bumi yang
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara, dapat dilakukan
pengecualian terhadap ketentuan ini.

Pasal 14

Yang dimaksud dengan penghasilan tambahan yang berasal dari hasil penjualan produk
sampingan antara lain penjualan belerang dan penjualan kapasitas lebih dari tenaga listrik.

Pasal 15

Cukup jelas.

Pasal 16

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "placed into service" adalah saat dimulainya suatu harta
berwujud digunakan dan telah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh Badan
Pelaksana.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 17

Yang dimaksud dengan "tahun pajak" adalah tahun kalender.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 31

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "kebijakan" adalah antara lain dalam rangka pengembalian
biaya yang didasarkan atas keekonomian lapangan atau beberapa lapangan dalam
usulan satu rencana pengembangan lapangan (POD basis) atau pengembangan
lapangan yang didasarkan atas keekonomian dalam satu lapangan veld basis) atau
pengembangan lapangan yang didasarkan atas keekonomian satu sumur atau
beberapa sumur dengan tidak membangun fasilitas produksi sendiri (put on production).

Pasal 20

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Yang dimaksud dengan "biaya operasi yang belum dapat dikembalikan pada
tahun-tahun sebelumnya" adalah bagian dari saldo biaya operasi yang belum
dapat dikembalikan pada awal tahun, sehingga dapat dikembalikan pada tahun
berjalan sesuai dengan pola bagi hasil.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Ayat (8)

Cukup jelas.

Pasal 21

Yang dimaksud dengan "titik penyerahan" adalah titik terjadinya pengalihan hak kepemilikan

www.ortax.org
32 Edisi PPh Badan | Maret 2017

(transfer of title) minyak bumi dan/atau gas bumi dari Pemerintah kepada kontraktor.

Pasal 22

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "harga minyak mentah Indonesia" adalah harga minyak
mentah yang ditetapkan oleh Menteri secara periodik.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 23

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "komponen biaya penjualan" adalah biaya yang berkaitan
dengan kegiatan pemrosesan lebih lanjut gas sampai dengan penjualannya antara lain
biaya pinjaman pembangunan kilang, biaya operasi kilang, transportasi, dan biaya
pemasaran.

Pasal 24

Cukup jelas.

Pasal 25

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan "tarif pajak" sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan


di bidang Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini adalah pemberlakuan tarif pajak
sesuai besaran tarif pajak yang dipilih oleh kantraktor yaitu tarif pajak yang berlaku
pada saat kontrak kerja sama ditandatangani atau tarif pajak sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku dan dapat
berubah setiap saat.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Yang dimaksud dengan "surat ketetapan pembayaran pajak penghasilan minyak bumi
dan gas bumi" adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal
Pajak setelah dilakukan pemeriksaan.

Ayat (8)

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 33

Yang dimaksud dengan "surat ketetapan pembayaran pajak penghasilan minyak bumi
dan gas bumi sementara" adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan oleh Direktur
Jenderal Pajak sebelum dilakukan pemeriksaan yang kegunaannya antara lain untuk
kepentingan internal manajemen kantor pusat.

Ayat (9)

Cukup jelas.

Ayat (10)

Cukup jelas.

Ayat (11)

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

Pasal 27

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Participating interest dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29

Cukup jelas.

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Jika interest pada suatu wilayah kerja dimiliki oleh kontraktor A, kontraktor B, dan
kontraktor C kemudian interest kontraktor A dialihkan kepada kontraktor D, maka
kewajiban perpajakan atas interest tersebut menjadi kewajiban kontraktor D sejak
pengalihan interest tersebut berlaku efektif.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 32

www.ortax.org
34 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Ayat (1)

Huruf a

Jika kontraktor A telah menandatangani kontrak kerja sama minyak dan gas
bumi dengan Pemerintah pada wilayah kerja X, maka kontraktor A yang juga
bertindak selaku operator wajib mendaftarkan wilayah kerja tersebut untuk
memperoleh NPWP yang berbeda dengan NPWP kontraktor itu sendiri.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Ayat (2)

Jika kontraktor B menjadi operator menggantikan kontraktor A, maka kewajiban


beralih kepada kontraktor B sejak pengalihan operator tersebut berlaku efektif.

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "standar atau norma, jenis, kategori, dan besaran biaya"
adalah suatu ukuran baik kualitatif dan/atau kuantitatif yang merupakan suatu rentang
nilai yang mewakili kondisi keteknikan dan kewajaran unsur biaya barang dan jasa
yang digunakan sebagai pembanding dalam proses persetujuan rencana kerja dan
anggaran serta otorisasi pembelanjaan finansial.

Pembebanan biaya operasi didasarkan pada realisasi biaya yang dikeluarkan


berdasarkan proses pengadaan barang dan jasa sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Standar atau norma, jenis, kategori, dan besaran biaya
tersebut akan dievaluasi sesuai dengan keperluan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 35

Cukup jelas.

Pasal 36

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" adalah musibah karena alam yang
menimbulkan potensi kerugian negara berupa penurunan penerimaan dan/atau
kerugian pada aset negara pada kegiatan eksplorasi danlatau eksploitasi minyak bumi
dan/atau gas bumi.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 37

Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjaga besaran penerimaan negara (jumlah pajak dan
penerimaan negara bukan pajak) tidak mengalami perubahan sesuai dengan besaran
penerimaan negara sebagaimana tercantum dalam kontrak kerja sama.

Pasal 38

huruf a

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 35

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Pasal 39

Cukup jelas.

Pasal 40

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5173

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=14547

www.ortax.org
Peraturan Pemerintah RI :
36 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PP No. 94 Tahun 2010

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 94 TAHUN 2010

TENTANG

PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN


PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa dengan dilakukannya perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan,
perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pelunasan
Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan;
B. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan
dalam Tahun Berjalan;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik lndonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN
PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:


1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang--Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
2. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
3. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

BAB II
OBJEK PAJAK

Pasal 2

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 37

Objek pajak berupa dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-Undang Pajak
Penghasilan tidak termasuk pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran yang berasal dari:
a. kapitalisasi agio saham kepada pemegang saham yang telah menyetor modal atau membeli saham
di atas harga nominal, sepanjang jumlah nilai nominal saham yang dimilikinya setelah pembagian
saham bonus tidak melebihi jumlah setoran modal; dan
b. kapitalisasi selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)
Undang--Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 3

Dalam hal terjadi pengalihan harta perusahaan kepada pegawainya, maka keuntungan berupa selisih antara
harga pasar harta tersebut dengan nilai sisa buku merupakan penghasilan bagi perusahaan.

Pasal 4

(1) Agio saham yang timbul dari selisih lebih antara nilai pasar saham dan nilai nominal saham, tidak
termasuk objek pajak.
(2) Disagio saham yang timbul dari selisih lebih antara nilai nominal saham dan nilai pasar saham, bukan
merupakan pengurang dari penghasilan bruto.

Pasal 5

(1) Bagian laba yang diterima atau diperoleh oleh pemegang unit penyertaan Kontrak Investasi Kolektif
termasuk keuntungan atas pelunasan kembali unit penyertaannya, tidak termasuk sebagai objek pajak.
(2) Ketentuan terhadap bagian laba termasuk keuntungan atas pelunasan kembali unit penyertaannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi pemegang unit penyertaan yang merupakan
Subjek Pajak luar negeri.

Pasal 6

Pembagian laba secara langsung dan/atau tidak langsung yang berasal dari saldo laba termasuk saldo laba
berdasarkan proyeksi laba tahun berjalan merupakan objek pajak, kecuali bagian laba sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 7

(1) Surplus Bank Indonesia yang merupakan objek Pajak Penghasilan adalah surplus Bank Indonesia
menurut laporan keuangan audit setelah dilakukan penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan
Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan memperhatikan karakteristik Bank Indonesia.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan atas surplus Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 8

(1) Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3)
huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu
dengan yang lain secara langsung atau tidak langsung berkenaan dengan:
a. usaha;
b. pekerjaan; atau
c. kepemilikan atau penguasaan.
(2) Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima, dapat terjadi apabila
terdapat transaksi yang bersifat rutin antara kedua belah pihak.
(3) Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan pekerjaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima terjadi
apabila terdapat hubungan yang berupa pekerjaan, pemberian jasa, atau pelaksanaan kegiatan secara
langsung atau tidak langsung antara kedua pihak tersebut.
(4) Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan kepemilikan atau penguasaan
antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima sebagaimana dimaksud pada ayat (I) huruf c
terjadi apabila terdapat:
a. penyertaan modal secara langsung atau tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18

www.ortax.org
38 Edisi PPh Badan | Maret 2017

ayat (4) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan; atau


b. hubungan penguasaan secara langsung atau tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (4) huruf b Undang-Undang Pajak Penghasilan.

BAB III
PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK

Pasal 9

(1) Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing diakui sebagai penghasilan atau biaya
berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar
Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
(2) Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
berkaitan langsung dengan usaha Wajib Pajak yang:
a. dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
b. tidak termasuk objek pajak,
tidak diakui sebagai penghasilan atau biaya.
(3) Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
tidak berkaitan langsung dengan usaha Wajib Pajak yang:
a. dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
b. tidak termasuk objek pajak,
diakui sebagai penghasilan atau biaya sepanjang biaya tersebut dipergunakan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan.

Pasal 10

(1) Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8)
Undang--Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sepanjang dapat dibuktikan Pajak Masukan tersebut:
a. benar-benar telah dibayar; dan
b. berkenaan dengan pengeluaran yang berhubungan dengan kegiatan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan.
(2) Pajak Masukan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sehubungan dengan pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud
serta biaya lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 dan Pasal 11A Undang-Undang Pajak Penghasilan, harus dikapitalisasi dengan
pengeluaran atau biaya tersebut dan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi.

Pasal 11

(1) Biaya pengembangan tanaman industri yang berumur lebih dari 1 (satu) tahun dan hanya 1 (satu) kali
memberikan hasil, dikapitalisasi selama periode pengembangan dan merupakan bagian dari harga
pokok penjualan pada saat hasil tanaman industri dijual.
(2) Biaya pemeliharaan ternak yang berumur lebih dari 1 (satu) tahun dan hanya 1 (satu) kali memberikan
hasil, dikapitalisasi selama periode pemeliharaan dan merupakan bagian dari harga pokok penjualan
pada saat ternak dijual.

Pasal 12

(1) Pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk perseroan
terbatas diperkenankan apabila:
a. pinjaman tersebut berasal dari dana milik pemegang saham itu sendiri dan bukan berasal dari
pihak lain;
b. modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjaman telah disetor
seluruhnya;
c. pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan merugi; dan
d. perseroan terbatas penerima pinjaman sedang mengalami kesulitan keuangan untuk
kelangsungan usahanya.
(2) Apabila pinjaman yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk perseroan terbatas dari pemegang
sahamnya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas pinjaman tersebut
terutang bunga dengan tingkat suku bunga wajar.

Pasal 13

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 39

Pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi
Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, termasuk:
a. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang:
1) bukan merupakan objek pajak;
2) pengenaan pajaknya bersifat final; dan/atau
3) dikenakan pajak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Norma Penghitungan Khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
b. Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan.

BAB IV
PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN
OLEH WAJIB PAJAK SENDIRI

Pasal 14

Orang pribadi dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP) sehubungan dengan pekerjaan dari badan-badan yang tidak wajib melakukan pemotongan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, wajib:
a. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
b. melaksanakan sendiri penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun
berjalan; dan
c. melaporkan penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun berjalan
dalam Surat Pemberitahuan Tahunan.

BAB V
PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN
MELALUI PIHAK LAIN

Pasal 15

(1) Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1)
Undang-Undang Pajak Penghasilan dilakukan pada akhir bulan:
a. terjadinya pembayaran; atau
b. terutangnya penghasilan yang bersangkutan,
tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
(2) Pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1)
Undang-Undang Pajak Penghasilan, dilakukan pada saat:
a. pembayaran; atau
b. tertentu lainnya yang diatur oleh Menteri Keuangan.
(3) Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3)
Undang--Undang Pajak Penghasilan, dilakukan pada akhir bulan:
a. dibayarkannya penghasilan;
b. disediakan untuk dibayarkannya penghasilan; atau
c. jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan,
tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
(4) Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)
Undang-Undang Pajak Penghasilan, dilakukan pada akhir bulan:
a. dibayarkannya penghasilan;
b. disediakan untuk dibayarkannya penghasilan; atau
c. jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan,
tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.

Pasal 16

Dalam hal pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang--Undang Pajak Penghasilan atau Pasal 26
Undang-Undang Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilakukan
pada tahun pajak yang berbeda dengan tahun pajak pengakuan penghasilan, maka atas Pajak Penghasilan yang
telah dipotong tersebut dapat dikreditkan pada tahun pajak dilakukan pemotongan.

Pasal 17

Dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak, dapat ditetapkan saat pengakuan penghasilan dan biaya dalam

www.ortax.org
40 Edisi PPh Badan | Maret 2017

hal-hal tertentu sesuai dengan kebijakan Pemerintah.

Pasal 18

(1) Pajak Penghasilan atas pembayaran royalti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a
angka 3 Undang-Undang Pajak Penghasilan yang dilakukan dengan cara bagi hasil dipotong oleh pihak
yang wajib membayarkan.
(2) Ketentuan mengenai dasar pemotongan Pajak Penghasilan atas pembayaran royalti sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 19

Dalam hal penghasilan tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan Peraturan Pemerintah
tersendiri, atas penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 20

Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut berdasarkan tarif pemotongan atau pemungutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5a), Pasal 22 ayat (3), dan Pasal 23 ayat (1a) Undang-Undang Pajak
Penghasilan, dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan
setelah Wajib Pajak tersebut memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.

Pasal 21

(1) Wajib Pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang Pajak
Penghasilan karena:
a. mengalami kerugian fiskal;
b. berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal; atau
c. Pajak Penghasilan yang telah dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan terutang,
dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan
oleh pihak lain kepada Direktur Jenderal Pajak.
(2) Wajib Pajak yang atas penghasilannya hanya dikenakan pajak bersifat final, dapat mengajukan
permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang dapat
dikreditkan kepada Direktur Jenderal Pajak.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/
atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 22

Dalam menghitung Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Pajak
Penghasilan, terhadap bentuk usaha tetap yang terutang Pajak Penghasilan pada suatu tahun pajak, kerugian
fiskal tidak dapat dikompensasikan lagi dengan Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi dengan Pajak
Penghasilan.

Pasal 23

(1) Pajak Penghasilan yang terutang dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu
bentuk usaha tetap di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Pajak
Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak bentuk usaha tetap memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pajak Penghasilan
yang terutang berdasarkan penghitungan sementara harus dibayar lunas sebelum penyampaian
pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan.

BAB VI
PENERAPAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
MENGENAI PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
DAN PERTUKARAN INFORMASI

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 41

Pasal 24

(1) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda hanya berlaku bagi orang pribadi atau badan yang
merupakan Subjek Pajak:
a. dalam negeri dari Indonesia; dan/atau
b. dari negara mitra persetujuan penghindaran pajak berganda,
yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Domisili.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 25

(1) Direktur Jenderal Pajak dapat melaksanakan kesepakatan dengan negara mitra dalam rangka
pertukaran informasi, prosedur persetujuan bersama, dan bantuan penagihan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian pertukaran informasi, pelaksanaan prosedur persetujuan
bersama, dan pelaksanaan bantuan penagihan diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 26

(1) Dalam hal terdapat ketentuan perpajakan yang diatur dalam perjanjian internasional yang berbeda
dengan ketentuan perpajakan yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, perlakuan
perpajakannya didasarkan pada ketentuan dalam perjanjian tersebut sampai dengan berakhirnya
perjanjian dimaksud, dengan syarat perjanjian tersebut telah sesuai dengan Undang-Undang tentang
Perjanjian Internasional.
(2) Pelaksanaan perlakuan perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat
persetujuan Menteri Keuangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan perlakuan perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

BAB VII
PEMBUKUAN TERPISAH DAN PERUBAHAN TAHUN BUKU

Pasal 27

(1) Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan secara terpisah dalam hal:
a. memiliki usaha yang penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan tidak
final;
b. menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek pajak dan bukan objek pajak; atau
c. mendapatkan dan tidak mendapatkan fasilitas perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 31A
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(2) Biaya bersama bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak dapat dipisahkan
dalam rangka penghitungan besarnya Penghasilan Kena Pajak, pembebanannya dialokasikan secara
proporsional.

Pasal 28

(1) Wajib Pajak yang melakukan perubahan tahun buku dan telah mendapat persetujuan dari Direktur
Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (6) Undang--Undang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, harus melaporkan penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun
buku yang tidak termasuk dalam tahun buku yang baru dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tersendiri untuk Bagian Tahun Pajak yang bersangkutan.
(2) Sisa rugi fiskal yang masih dapat dikompensasikan yang berasal dari tahun-tahun pajak sebelum
perubahan tahun buku dapat dikompensasikan dengan penghasilan untuk Bagian Tahun Pajak dan
Tahun Pajak berikutnya.

BAB VIII
FASILITAS PEMBEBASAN ATAU PENGURANGAN
PAJAK PENGHASILAN BADAN DALAM RANGKA PENANAMAN MODAL

Pasal 29

(1) Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal baru yang merupakan industri pionir, yang

www.ortax.org
42 Edisi PPh Badan | Maret 2017

tidak mendapatkan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan
dapat diberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
(2) Industri pionir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah industri yang memiliki keterkaitan yang
luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta
memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.

Pasal 30

Ketentuan mengenai pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 31

Penghitungan pajak bagi Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir sebelum tanggal 1 Juli 2009 dilakukan
berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

Pasal 32

Penghitungan pajak dalam tahun berjalan sampai dengan Desember 2008, untuk tahun pajak 2009, bagi Wajib
Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni 2009, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

Pasal 33

Fasilitas perpajakan dengan jangka waktu yang terbatas yang diperoleh Wajib Pajak sebelum tanggal
1 Januari 2009 tetap berlaku sampai dengan berakhirnya jangka waktu fasilitas perpajakan tersebut.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 34

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 tentang
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 253, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4055), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 35

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 43

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

PATRIALIS AKBAR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 161

PENJELASAN
ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 94 TAHUN 2010

TENTANG

PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN


PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN

I. UMUM

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat


Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan terdapat perubahan materi yang
terkait dengan penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun
berjalan. Oleh karena itu perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan penghitungan Penghasilan
Kena Pajak dan pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan.

Peraturan Pemerintah ini, sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 tentang
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan,
mengatur ketentuan--ketentuan yang berkenaan dengan Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan
Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan

Dalam Peraturan Pemerintah ini, diatur juga ketentuan peralihan dalam rangka pelaksanaan
Undang-Undang Pajak Penghasilan yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Pemberian saham bonus kepada pemegang saham yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk
dalam pengertian pembagian laba atau dividen. Demikian pula dengan pemberian saham bonus
yang berasal dari kapitalisasi agio saham. Agio saham berasal dari setoran modal pemegang
saham di atas nilai nominal saham yang diperolehnya.

Oleh karena itu apabila saham bonus dimaksud diberikan kepada pemegang saham yang
menjadikan jumlah nilai nominal seluruh saham termasuk saham bonus yang diperolehnya
lebih besar dari jumlah setoran modalnya, pemberian saham bonus yang berasal dari
kapitalisasi agio saham tersebut termasuk dalam pengertian pembagian laba atau dividen.
Namun demikian apabila saham bonus dimaksud diberikan kepada pemegang saham sehingga
pemberian tersebut tidak menjadikan jumlah nilai seluruh saham (termasuk saham bonus)
yang diperoleh atau dimilikinya lebih besar dari jumlah setoran modalnya, pemberian saham

www.ortax.org
44 Edisi PPh Badan | Maret 2017

bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham tersebut tidak termasuk dalam pengertian
pembagian laba atau dividen.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Ayat (1)

Contoh:

PT A (belum Go Public) yang mempunyai modal dasar sebesar Rp4.500.000.000,00


(terdiri dari 4.500.000 lembar saham) dan telah disetor penuh melakukan ekspansi
yang sumber pendanaannya diperoleh dengan jalan meningkatkan modal saham
dengan menjual saham baru sejumlah 500.000 lembar (nilai nominal Rp 1000,00/
lembar) dengan nilai jual Rp 750.000.000,00 (500.000 lembar saham x Rp1.500,00)
sehingga terdapat selisih di atas nilai nominal sebesar Rp 250.000.000,00 (500.000
lembar saham x Rp500,00) yang dibukukan sebagai agio saham oleh PT A.

Atas agio saham tersebut bukan merupakan objek Pajak Penghasilan bagi PT A.

Ayat (2)

Contoh:

Seperti pada ayat (1), namun nilai penjualan 500.000 lembar saham baru tersebut
sebesar Rp400.000.000,00. Atas selisih lebih antara nilai nominal dan nilai pasar saham
sebesar Rp 100.000.000,00 (500.000 lembar saham x (-Rp200,00)) tersebut dibukukan
sebagai disagio saham oleh PT A.

Atas disagio saham tersebut bukan merupakan pengurang dari penghasilan bagi PT A.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7

Ayat (1)

Karakteristik Bank Indonesia terkait surplus Bank Indonesia antara lain selisih kurs,
penyisihan aktiva, dan penyusutan aktiva tetap.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 8

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "pihak-pihak yang bersangkutan" adalah Wajib Pajak pemberi
dan Wajib Pajak penerima bantuan atau, sumbangan, termasuk zakat atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, dan
atau harta hibahan.

Ayat (2)

Transaksi yang bersifat rutin antara kedua belah pihak adalah berupa pembelian,
penjualan, atau pemberian imbalan lain dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Ayat (3)

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 45

Contoh hubungan berkenaan dengan pekerjaan:

1. Tuan B merupakan direktur PT X dan Tuan C merupakan pegawai PT X. Dalam


hal ini, antara PT X dengan Tuan B dan/atau Tuan C terdapat hubungan
pekerjaan langsung. Jika Tuan B dan/atau Tuan C menerima bantuan atau
sumbangan dari PT X atau sebaliknya, maka bantuan atau sumbangan
tersebut merupakan objek Pajak Penghasilan bagi yang menerima karena
antara PT X dengan Tuan B dan/atau Tuan C mempunyai hubungan pekerjaan
langsung.
2. Tuan A bekerja sebagai petugas dinas luar asuransi dari perusahaan asuransi
PT X. Meskipun Tuan A tidak berstatus sebagai pegawai PT X, namun antara
PT X dan Tuan A dianggap mempunyai hubungan pekerjaan tidak langsung.
Jika Tuan A menerima bantuan atau sumbangan dari PT X atau sebaliknya,
maka bantuan atau sumbangan tersebut merupakan objek Pajak Penghasilan
bagi pihak yang menerima karena antara PT X dan Tuan A mempunyai
hubungan pekerjaan tidak langsung.

Ayat (4)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Contoh:

1. Penguasaan manajemen secara langsung:

Tuan A dan Tuan B, adalah direktur PT X, sedangkan Tuan C adalah


komisaris X. Selain itu, Tuan C juga menjadi direktur di PT Y, dan
Tuan B sebagai komisaris di PT Y.

Tuan B Junior adalah direktur PT AA, sedangkan Tuan E sebagai


komisaris PT AA. Tuan B Junior adalah anak dari Tuan B yang menjadi
direktur PT X dan komisaris PT Y.

Dalam contoh di atas, antara PT X dan PT Y mempunyai hubungan


penguasaan manajemen secara langsung, karena Tuan B selain
bekerja sebagai direktur di PT X juga bekerja sebagai komisaris
PT Y. Di samping itu, Tuan C selain bekerja sebagai komisaris di PT X
juga bekerja sebagai direktur di PT Y. Jika PT X menerima bantuan
atau sumbangan dari PT Y (atau sebaliknya) maka bantuan atau
sumbangan tersebut merupakan objek pajak bagi pihak yang
menerima.

Demikian pula antara PT Y dan PT AA mempunyai hubungan


penguasaan manajemen secara langsung, karena terdapat hubungan
keluarga antara Tuan B (ayah) yang bekerja sebagai komisaris
di PT Y dengan Tuan B Junior (anak) yang bekerja sebagai direktur
di PT AA.

Jika PT AA menerima bantuan atau sumbangan dari PT Y (atau


sebaliknya) maka bantuan atau sumbangan tersebut merupakan objek
pajak bagi pihak yang menerima.

Jika Tuan B.Jr (anak) menerima bantuan atau sumbangan atau harta
hibahan dari Tuan B (ayah) maka bantuan atau sumbangan atau harta
hibahan tersebut dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a Undang-Undang
Pajak Penghasilan, karena yang mempunyai hubungan penguasaan
manajemen adalah antara PT Y dengan PT AA, bukan antara Tuan B
(ayah) dan Tuan B Junior (anak).

Dengan demikian, hubungan penguasaan manajemen hanya terjadi


antara entitas yang pengurusnya sama atau memiliki hubungan
keluarga. Sedangkan antara pengurus dalam entitas tersebut tidak

www.ortax.org
46 Edisi PPh Badan | Maret 2017

memilki hubungan penguasaan.

2. Penguasaan manajemen secara tidak langsung:

Tuan O adalah direktur PT AB, dan Tuan P sebagai komisaris PT AB.


Tuan O dan Tuan P nyata-nyata mempunyai wewenang dalam
menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam
rangka menjalankan kegiatan PT X, misalnya berwenang
menandatangani kontrak dengan pihak ketiga, menandatangani cek,
dan sebagainya walaupun Tuan O dan/atau Tuan tidak tercantum
namanya dalam susunan pengurus yang tertera dalam akte pendirian
maupun akte perubahan PT X.

Dalam contoh di atas, antara PT AB dan PT X mempunyai hubungan


penguasaan manajemen secara tidak langsung. Jika PT X menerima
bantuan atau sumbangan dari PT AB atau sebaliknya maka bantuan
atau sumbangan tersebut merupakan objek pajak bagi pihak yang
menerima.

Pasal 9

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Contoh:

PT A bergerak di bidang penyewaan apartemen. Sesuai dengan kontrak, sewa


apartemen tiap bulan adalah sebesar US$1,000 dan diterbitkan invoice setiap tanggal 1.

Pada tanggal 1 September 2010 PT A menerbitkan invoice sebesar US$ 1,000 kepada
penyewa. Pada tanggal tersebut, kurs yang berlaku adalah Rp9.000,00 per 1 US$.
Pada tanggal 1 September 2010 tersebut PT A mengakui penghasilan atas sewa
apartemen sebesar Rp9.000.000,00 (US$ 1,000 x Rp9.000,00).

Pada tanggal 15 September 2010 penyewa membayar sewa apartemen. Pada tanggal
tersebut, kurs yang berlaku adalah Rp8.700,00 per 1 US$, sehingga nilai sewa yang
dibayar adalah sebesar Rp8.700.000,00 (US$ 1,000 x Rp8.700,00).

Atas perbedaan waktu antara tanggal penerbitan invoice dan tanggal pembayaran
timbul kerugian selisih kurs bagi PT A sebesar
Rp300.000,00 ((Rp9.000,00 - Rp8.700,00) x US$ 1,000)).

Atas kerugian selisih kurs tersebut tidak diakui sebagai biaya bagi PT A karena berasal
dari penyewaan apartemen yang telah dikenai Pajak Penghasilan bersifat final.

Ayat (3)

Contoh:

PT A yang bergerak di bidang penyewaan apartemen, pada bulan September 2010


mendapatkan pinjaman sebesar US$ 10,000,000 yang digunakan masing-masing
sebesar US$ 9,000,000 untuk membangun apartemen, dan sebesar US$ 1,000,000
untuk membeli alat transportasi yang akan dipergunakan untuk usaha jasa angkutan.

Atas keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing yang berasal dari
pinjaman sebesar US$ 1,000,000 tersebut dapat diakui sebagai penghasilan atau biaya
karena:
a. tidak berkaitan langsung dengan usaha PT A di bidang penyewaan apartemen
yang atas penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final; dan
b. merupakan pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan lainnya berupa usaha jasa angkutan yang atas penghasilannya
dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 10

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 47

Cukup jelas.

Pasal 11

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "biaya pengembangan" adalah seluruh pengeluaran yang


terkait dengan tanaman industri termasuk pembelian bibit, pemeliharaan, dan
pembesaran tanaman sampai dijual.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "biaya pemeliharaan" adalah seluruh pengeluaran yang terkait
dengan ternak termasuk pembelian bibit, pemeliharaan, dan pembesaran ternak
sampai dijual.

Pasal 12

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "tingkat suku bunga wajar" adalah tingkat suku bunga yang
berlaku yang ditetapkan sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman
(best practice) jika transaksi dilakukan di antara pihak yang tidak mempunyai
hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang
Pajak Penghasilan.

Pasal 13

Huruf a

Biaya yang berkenaan dengan penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri, baik
penghasilan yang dikenakan pemotongan, pemungutan, atau pembayaran Pajak
Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) maupun
penghasilan yang dikenai pajak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Norma
Penghitungan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-Undang Pajak
Penghasilan, telah diperhitungkan dalam tarif pajak ataupun norma penghitungan yang
berlaku untuk penghasilan tersebut. Oleh karena itu, biaya-biaya tersebut tidak boleh
lagi dikurangkan dari penghasilan bruto lainnya yang pengenaan pajaknya dilakukan
berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak
Penghasilan.

Huruf b

Cukup jelas.

Pasal 14

Kantor perwakilan negara asing dan organisasi internasional tertentu sebagai bukan Subjek
Pajak tidak berkewajiban melakukan pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan. Oleh karena itu, orang pribadi
dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan, berupa gaji dan imbalan lain
sehubungan dengan pekerjaan pada badan-badan tersebut, yang jumlahnya melebihi batas
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berkewajiban menghitung, membayar, dan melaporkan
sendiri Pajak Penghasilan yang terutang.

Pasal 15

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

www.ortax.org
48 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Cukup jelas.

Ayat (3)

Saat terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan


adalah pada saat pembayaran, saat disediakan untuk dibayarkan (seperti: dividen)
dan jatuh tempo (seperti: bunga dan sewa), saat yang ditentukan dalam kontrak atau
perjanjian atau faktur (seperti: royalti, imbalan jasa teknik atau jasa manajemen atau
jasa lainnya).

Yang dimaksud dengan "saat disediakan untuk dibayarkan":


a. untuk perusahaan yang tidak go public, adalah saat dibukukan sebagai utang
dividen yang akan dibayarkan, yaitu pada saat pembagian dividen diumumkan
atau ditentukan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan.
Demikian pula apabila perusahaan yang bersangkutan dalam tahun berjalan
membagikan dividen sementara (dividen interim), maka Pajak Penghasilan
Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan terutang pada saat diumumkan
atau ditentukan dalam Rapat Direksi atau pemegang saham sesuai dengan
Anggaran Dasar perseroan yang bersangkutan.
b. untuk perusahaan yang go public, adalah pada tanggal penentuan kepemilikan
pemegang saham yang berhak atas dividen (recording date). Dengan
perkataan lain pemotongan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana
diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan baru dapat dilakukan
setelah para pemegang saham yang berhak "menerima atau memperoleh"
dividen tersebut diketahui, meskipun dividen tersebut belum diterima secara
tunai.

Yang dimaksud dengan "saat jatuh tempo pembayaran" adalah saat kewajiban untuk
melakukan pembayaran yang didasarkan atas kesepakatan, baik yang tertulis maupun
tidak tertulis dalam kontrak atau perjanjian atau faktur.

Ayat (4)

Saat terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah


pada saat pembayaran, saat disediakan untuk dibayarkan (seperti: dividen) dan jatuh
tempo (seperti: bunga dan sewa), saat yang ditentukan dalam kontrak atau perjanjian
atau faktur (seperti: royalti, imbalan jasa teknik atau jasa manajemen atau jasa
lainnya).

Yang dimaksud dengan "saat disediakan untuk dibayarkan":


a. untuk perusahaan yang tidak go public, adalah saat dibukukan sebagai utang
dividen yang akan dibayarkan, yaitu pada saat pembagian dividen diumumkan
atau ditentukan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan.
Demikian pula apabila perusahaan yang bersangkutan dalam tahun berjalan
membagikan dividen sementara (dividen interim), maka Pajak Penghasilan
Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan terutang pada saat diumumkan
atau ditentukan dalam Rapat Direksi atau pemegang saham sesuai dengan
Anggaran Dasar perseroan yang bersangkutan
b. untuk perusahaan yang go public, adalah pada tanggal penentuan kepemilikan
pemegang saham yang berhak atas dividen (recording date). Dengan
perkataan lain pemotongan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana
diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan baru dapat dilakukan
setelah para pemegang saham yang berhak "menerima atau memperoleh"
dividen tersebut diketahui, meskipun dividen tersebut belum diterima secara
tunai.

Yang dimaksud dengan "saat jatuh tempo pembayaran" adalah saat kewajiban untuk
melakukan pembayaran yang didasarkan atas kesepakatan, baik yang tertulis maupun
tidak tertulis dalam kontrak atau perjanjian atau faktur.

Pasal 16

Contoh:

Pada bulan Oktober 2009 PT A memberikan pinjaman kepada PT B sebesar


Rp1.000.000.000,00 dengan tingkat bunga sebesar 10% (sepuluh persen) per tahun. Jatuh
tempo pembayaran bunga setiap tanggal 1 April dan 1 Oktober.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 49

Pada 1 April 2010, PT B membayar bunga sebesar Rp50.000.000,00 kepada PT A. Atas bunga
pinjaman ini, PT A telah mengakui sebagai penghasilan di tahun 2009 sebesar Rp25.000.000,00
(bunga selama Oktober s.d Desember 2009). Sesuai ketentuan, PT B melakukan pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan pada saat jatuh tempo
pembayaran pada tanggal l April 2010 sebesar Rp7.500.000,00 (15% x Rp50.000.000,00) dan
kepada PT A diberikan bukti pemotongannya.

Atas pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan tersebut,


dapat dikreditkan oleh PT A pada tahun 2010.

Pasal 17

Pada dasarnya saat pengakuan biaya dan penghasilan dilakukan secara taat asas berdasarkan
prinsip akuntansi tentang pengaitan biaya dengan penghasilan (matching of costs againts
revenues). Namun, dalam hal-hal tertentu karena kebijakan Pemerintah, Direktur Jenderal
Pajak dapat mengatur saat pengakuan penghasilan dan biaya yang berbeda.

Yang dimaksud dengan "dalam hal-hal tertentu" antara lain:


a. saat pengakuan penghasilan bank berupa bunga kredit non performing loan dalam
rangka menunjang percepatan proses restrukturisasi perbankan sesuai dengan
kebijakan Pemerintah; atau
b. saat pengakuan penghasilan dan biaya bagi Wajib Pajak karena adanya perubahan
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan.

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak misalnya yang bergerak di bidang
usaha jasa konstruksi dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan Peraturan
Pemerintah tersendiri. Dalam hal tidak diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri yang
menyatakan bahwa atas penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final,
penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 20

Contoh:

Tuan A, subjek pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif namun belum
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), memperoleh penghasilan sebesar Rp20.000.000,00
sehubungan dengan jasa konsultasi yang dilakukannya pada tahun 2009. Oleh karena Tuan A
belum memiliki NPWP, atas penghasilan tersebut dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan
Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan oleh pemberi penghasilan dengan tarif lebih tinggi
20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat
menunjukkan NPWP, sehingga Pajak Penghasilan Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan
yang dipotong adalah sebesar Rp 1.200.000,00 (5% x 120% x Rp20.000.000,00).

Pada tahun 2011, Tuan A mendaftarkan dirinya untuk mendapatkan NPWP dan melaporkan
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi Tahun Pajak 2009
dan 2010. Atas kredit pajak sebesar Rp1.200.000,00 yang dipotong pada tahun 2009 tersebut,
Tuan A hanya dapat mengkreditkannya dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
Wajib Pajak orang pribadi Tahun Pajak 2009.

Pasal 21

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Contoh:
Perusahaan Jasa Konstruksi yang atas penghasilannya semata--mata dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final melakukan impor barang yang digunakan untuk

www.ortax.org
50 Edisi PPh Badan | Maret 2017

kegiatan jasa konstruksi. Atas impor barang tersebut, perusahaan jasa konstruksi
dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan
Pajak Penghasilan Pasal 22 Undang--Undang Pajak Penghasilan.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 22

Contoh:

Penghasilan neto komersial bentuk usaha tetap di Indonesia dalam tahun 2009 sebesar
Rp16.000.000.000,00 dan penyesuaian fiskal positif sebesar Rp1.500.000.000,00. Sisa kerugian
tahun sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan dalam tahun 2009 sebesar
Rp7.500.000.000,00.

Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 17 dan Pasal 26 ayat (4) sebagai berikut:
------------------------------------------------------------------------------------------------
Uraian PPh Pasal 17 PPh Pasal 26 (4)
------------------------------------------------------------------------------------------------
Penghasilan Neto Komersial 16.000.000.000,00
Penyesuaian Fiskal Positif 1.500.000.000,00
Penghasilan Neto Fiskal 17.500.000.000,00
Kompensasi Kerugian 7.500.000.000,00
Penghasilan Kena Pajak 10.000.000.000,00
PPh Badan Terutang 28% 2.800.000.000,00
PKP setelah dikurangi pajak 7.200.000.000,00
PPh Pasal 26 (4) = 20% 1.440.000.000,00
-------------------------------------------------------------------------------------------------

Dalam menghitung PPh Pasal 26 ayat (4), kompensasi kerugian sebesar Rp7.500.000.000,00
tersebut tidak boleh diperhitungkan sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak setelah
dikurangi pajak (Rp7.200.000.000,00).

Pasal 23

Ayat (1)

Sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan, batas akhir penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan bagi Wajib Pajak badan adalah paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir
Tahun Pajak. Dengan demikian pelunasan Pajak Penghasilan yang terhutang harus
dilakukan sebelum batas akhir penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 24

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "Surat Keterangan Domisili" atau yang disebut dengan
certificate of resident adalah surat keterangan yang diterbitkan dan/atau disahkan oleh
pejabat yang berwenang di bidang perpajakan (Competent Authority) atau pejabat
yang ditunjuk berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 25

Ayat (1)

Pertukaran informasi (exchange of information), prosedur persetujuan bersama


(mutual agreement procedures), dan bantuan penagihan (assistance in collection of

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 51

taxes) merupakan bagian dari kesepakatan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak


Berganda.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

Pasal 27

Ayat (1)

Pembukuan secara terpisah merupakan proses pencatatan yang dilakukan secara


teratur dengan melakukan pemisahan pencatatan untuk setiap transaksi, penghasilan
dan biaya-biaya antara kegiatan usaha yang dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan
kegiatan usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final maupun atas
penerimaan penghasilan bruto yang merupakan objek pajak dan yang bukan
merupakan objek pajak, serta penghasilan dan biaya-biaya dari usaha yang tidak
mendapatkan fasilitas perpajakan dan yang mendapatkan fasilitas perpajakan
sebagaimana diatur dalam Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Contoh huruf c:

PT A bergerak di bidang industri pengalengan ikan yang berkedudukan di Jakarta


mempunyai aset berupa gudang dan mesin pengolahan di Papua dalam rangka
pengembangan kegiatan dan produksi perusahaan.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak
Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau
di Daerah-Daerah Tertentu sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 62 Tahun 2008, atas industri pengalengan ikan dan biota perairan lainnya
di daerah Papua dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan.

Salah satu bentuk fasilitas Pajak Penghasilan yang dimaksud adalah penyusutan dan
amortisasi yang dipercepat.

Dalam hal ini, pencatatan secara terpisah harus dilakukan untuk biaya penyusutan atas
aset dalam rangka usaha yang mendapatkan fasilitas perpajakan (di Papua) dan yang
tidak mendapatkan fasilitas perpajakan (di Jakarta).

Ayat (2)

Biaya bersama adalah pengeluaran atau biaya yang berhubungan langsung dengan
kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara suatu penghasilan dan
sekaligus berhubungan langsung dengan kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan lainnya.

Biaya-biaya bersama yang menjadi dasar alokasi pembebanan dalam rangka


menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak adalah biaya bersama setelah dilakukan
penyesuaian/koreksi fiskal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2008 dan peraturan pelaksanaannya.

Contoh:
PT A bergerak dalam bidang usaha yang penghasilannya dikenakan Pajak Penghasilan
yang bersifat final. Dalam suatu tahun pajak, PT A memperoleh penghasilan bruto yang
terdiri dari:
a. penghasilan dari usaha yang telah
dikenakan Pajak Penghasilan yang
bersifat final ................................... Rp 300.000.000,00
b. penghasilan bruto lainnya yang
dikenakan Pajak Penghasilan yang
bersifat tidak final ........................... Rp 200.000.000,00
----------------------

www.ortax.org
52 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Jumlah penghasilan bruto Rp 500.000.000,00

Apabila biaya-biaya bersama yang tidak dapat dipisahkan setelah dilakukan


penyesuaian fiskal adalah sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh
juta rupiah), maka biaya yang boleh dikurangkan untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan adalah sebesar:
2/5 x Rp250.000.000,00 = Rp 100.000.000,00

Pasal 28

Ayat (1)

Contoh:

Wajib Pajak dengan tahun buku dari 1 Juli 2009 sampai dengan 30 Juni 2010 (tahun
buku 2009) melakukan perubahan tahun bukunya yang telah disetujui Direktur
Jenderal Pajak menjadi 1 Oktober 2009 sampai dengan 30 September 2010 (tahun
buku 2010). Dalam hal ini, penghasilan yang diterima atau diperoleh sejak 1 Juli 2010
sampai dengan 30 September 2010 harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2010 tersendiri.

Ayat (2)

Sisa rugi fiskal dalam bagian tahun buku yang tidak termasuk dalam tahun buku yang
baru, dapat dikompensasikan dengan penghasilan mulai Tahun Pajak berikutnya
berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.

Contoh:

Tahun buku PT X adalah Oktober sampai dengan September. PT X berencana


mengubah tahun buku menjadi Januari sampai dengan Desember mulai Tahun Pajak
2010. PT X memiliki rugi fiskal yang berasal dari Tahun Pajak 2007.
Untuk sisa rugi fiskal Tahun Pajak 2007 (Oktober 2006 sampai dengan September
2007) dapat dikompensasikan dengan penghasilan mulai Tahun Pajak berikutnya
berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun, yaitu mulai Tahun Pajak 2008 sampai
dengan 2011 sebagai berikut:
Tahun Pajak I : 2008 (Oktober 2007 sampai dengan September 2008)
Tahun Pajak II : 2009 (Oktober 2008 sampai dengan September 2009)
Tahun Pajak III : Bagian Tahun Pajak 2009 (Oktober 2009 sampai dengan dengan
Desember 2009)
Tahun Pajak IV : 2010 (Januari 2010 sampai dengan Desember 2010)
Tahun Pajak V : 2011 (Januari 2011 sampai dengan Desember 2011).

Pasal 29

Cukup jelas.

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31

Contoh :

PT A mempergunakan tahun buku dari 1 Juli 2008 sampai dengan 30 Juni 2009 untuk Tahun
Pajak 2008. Dalam rangka menghitung kewajiban pajaknya pada akhir tahun ( tahun buku),
PT A wajib menghitungnya berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.

Pasal 32

PT A mempergunakan tahun buku dari 1 Agustus 2008 sampai dengan 31 Juli 2009 untuk Tahun
Pajak 2009. Dalam rangka menghitung kewajiban pajak dalam tahun berjalan melalui
pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain (Pajak Penghasilan Pasal 22, Pasal 23,
Pasal 24 dan Pasal 26 ayat (5) Undang-Undang Pajak Penghasilan serta pembayaran pajak oleh
Wajib Pajak sendiri (Pajak Penghasilan Pasal 25) sampai dengan Desember 2008, PT A wajib

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 53

menghitungnya berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang


Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang--Undang Nomor 17 Tahun
2000.

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5183

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=14538

www.ortax.org
Peraturan Pemerintah RI :
54 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PP No. 73 Tahun 2016

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 73 TAHUN 2016

TENTANG

PAJAK PENGHASILAN ATAS PROGRAM JAMINAN SOSIAL YANG


DISELENGGARAKAN BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial, telah dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang bertujuan untuk mewujudkan
terselenggaranya pemberian jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap
peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan/atau anggota keluarganya berdasarkan prinsip
kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat
wajib, dana amanat, serta hasil pengelolaan dana jaminan sosial seluruhnya untuk pengembangan
program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta;
b. bahwa proses bisnis dan prinsip penyelenggaraan program jaminan sosial berbeda dengan kegiatan
usaha pada umumnya, sehingga perlu diatur ketentuan khusus mengenai perlakuan Pajak Penghasilan
atas program jaminan sosial yang diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial tersebut;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b serta untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pajak Penghasilan atas Program Jaminan Sosial yang
Diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PROGRAM JAMINAN SOSIAL YANG
DISELENGGARAKAN BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:


1. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS adalah badan hukum yang
dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial.
2. BPJS Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program Jaminan
Kesehatan.
3. BPJS Ketenagakerjaan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan
kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian.
4. Dana Jaminan Sosial adalah dana amanat milik seluruh peserta yang merupakan himpunan Iuran
beserta hasil pengembangannya yang dikelola oleh BPJS untuk pembayaran manfaat kepada peserta
dan pembiayaan operasional penyelenggaraan program jaminan sosial.
5. Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan
di Indonesia, yang telah membayar iuran.
6. Iuran Jaminan Sosial yang selanjutnya disebut Iuran adalah sejumlah uang yang dibayar secara teratur
oleh Peserta, pemberi kerja, dan/atau Pemerintah dalam rangka program jaminan sosial.
7. Bantuan Iuran adalah Iuran yang dibayar oleh Pemerintah bagi fakir miskin dan orang tidak mampu
sebagai Peserta program jaminan sosial.
8. Manfaat adalah faedah jaminan sosial yang menjadi hak peserta dan/atau anggota keluarganya.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 55

Pasal 2

(1) BPJS mengelola:


a. aset BPJS; dan
b. aset Dana Jaminan Sosial.
(2) Aset BPJS dan aset Dana Jaminan Sosial merupakan satu kesatuan entitas tetapi pengelolaan,
pencatatan, dan pelaporannya dilakukan secara terpisah.

Pasal 3

(1) BPJS Kesehatan mengelola aset jaminan sosial kesehatan yang terdiri atas:
a. aset BPJS Kesehatan; dan
b. aset Dana Jaminan Sosial Kesehatan.
(2) BPJS Ketenagakerjaan mengelola aset jaminan sosial ketenagakerjaan yang terdiri atas:
a. aset BPJS Ketenagakerjaan; dan
b. aset Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.
(3) Aset Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri atas
aset dana:
a. jaminan kecelakaan kerja;
b. jaminan kematian;
c. jaminan hari tua; dan
d. jaminan pensiun.

BAB II
PAJAK PENGHASILAN BAGI BPJS

Pasal 4

BPJS merupakan Subjek Pajak Badan Dalam Negeri.

Pasal 5

(1) Objek Pajak Penghasilan bagi BPJS adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh BPJS, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang
dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan BPJS yang bersangkutan, dengan nama
dan dalam bentuk apa pun, termasuk:
a. dana operasional yang diambil dari Dana Jaminan Sosial, yang disediakan untuk membiayai
operasional penyelenggaraan program jaminan sosial;
b. hasil investasi atau pengembangan dana dari aset BPJS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) huruf a dan Pasal 3 ayat (2) huruf a; dan
c. sumber lain dari aset BPJS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan Pasal 3
ayat (2) huruf a sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
penyelenggaraan program jaminan sosial.
(2) Tidak termasuk sebagai objek pajak penghasilan bagi BPJS meliputi:
a. Iuran, termasuk Bantuan Iuran, yang diterima BPJS dan merupakan aset Dana Jaminan Sosial
kecuali bagian dari Iuran tersebut yang dialokasikan sebagai dana operasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a;
b. hasil investasi atau pengembangan dana dari aset Dana Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b dan Pasal 3 ayat (2) huruf b;
c. pengalihan aset Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan program jaminan sosial;
d. pengalihan aset program jaminan sosial yang menjadi hak Peserta dari Badan Usaha Milik
Negara yang menyelenggarakan program jaminan sosial;
e. modal awal serta penambahan modal dari Pemerintah yang merupakan kekayaan negara yang
dipisahkan dan tidak terbagi atas saham; dan
f. sumber lain yang sah dari aset Dana Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) huruf b dan Pasal 3 ayat (2) huruf b, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang penyelenggaraan program jaminan sosial.
(3) Hasil Investasi atau pengembangan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b tidak dilakukan
pemotongan pajak penghasilan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengecualian pemotongan pajak penghasilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 6

(1) Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi BPJS, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk:
a. biaya operasional penyelenggaraan program jaminan sosial;
b. biaya pengadaan barang dan jasa yang digunakan untuk mendukung operasional
penyelenggaraan jaminan sosial; dan

www.ortax.org
56 Edisi PPh Badan | Maret 2017

c. biaya untuk meningkatkan kapasitas pelayanan jaminan sosial.


(2) Biaya untuk memperoleh harta berwujud dan/atau harta tak berwujud yang mempunyai masa Manfaat
lebih dari 1 (satu) tahun, dibebankan melalui penyusutan dan/atau amortisasi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang pajak penghasilan.
(3) Harta berwujud dan harta tak berwujud yang merupakan aset BPJS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf a dan Pasal 3 ayat (2) huruf a yang bersumber dari pengalihan aset Badan Usaha
Milik Negara yang menyelenggarakan program jaminan sosial, disusutkan atau diamortisasi
menggunakan dasar penyusutan fiskal dan sisa Manfaat fiskal pada saat dialihkan.
(4) Pembayaran Manfaat oleh BPJS tidak dapat diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan bruto bagi
BPJS.
(5) Termasuk pembayaran Manfaat yang tidak dapat diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan bruto
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dalam hal sumber pembayaran Manfaat berasal dari dana
talangan dari aset BPJS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan Pasal 3 ayat (2)
huruf a.

BAB III
KEWAJIBAN PEMOTONGAN DAN/ATAU PEMUNGUTAN
PAJAK PENGHASILAN BPJS

Pasal 7

BPJS wajib melakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang Perpajakan.

BAB IV
PAJAK PENGHASILAN ATAS IURAN DAN MANFAAT
BAGI PESERTA

Pasal 8

(1) Bantuan Iuran bagi Peserta yang berhak menerima dikecualikan dari objek pajak penghasilan.
(2) Iuran yang dibayarkan Peserta kepada:
a. BPJS Kesehatan untuk program jaminan kesehatan; dan/atau
b. BPJS Ketenagakerjaan untuk program jaminan kecelakaan dan/atau program jaminan kematian,
tidak dapat dibiayakan oleh Peserta dalam menghitung Pajak Penghasilan terutangnya.
(3) Iuran yang dibayarkan Peserta kepada BPJS Ketenagakerjaan untuk program jaminan hari tua dan
program jaminan pensiun dapat dibiayakan oleh Peserta dalam menghitung pajak penghasilan
terutangnya.

Pasal 9

(1) Manfaat yang diterima Peserta program jaminan kesehatan, program jaminan kecelakaan, dan/atau
program jaminan kematian, dikecualikan dari objek pajak penghasilan bagi Peserta yang menerimanya.
(2) Manfaat yang diterima Peserta program jaminan hari tua dan/atau program jaminan pensiun merupakan
objek pajak penghasilan bagi Peserta yang menerima.
(3) Pembayaran atau penggantian dari BPJS kepada penyedia layanan program jaminan kesehatan, program
jaminan kecelakaan kerja, dan/atau program jaminan kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan objek pajak penghasilan bagi penyedia layanan yang menerima.
(4) Dalam hal penyedia layanan kesehatan dikecualikan sebagai subjek pajak, ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku.

BAB V
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 10

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, terhadap kewajiban pajak penghasilan atas program jaminan
sosial yang belum dilunasi oleh BPJS melalui pemotongan dan/atau pemungutan oleh pihak ketiga serta dibayar
sendiri, dibebaskan dari tagihan pembayaran.

BAB VI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 11

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 57

penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2016
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 326

PENJELASAN
ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 73 TAHUN 2016

TENTANG

PAJAK PENGHASILAN ATAS PROGRAM JAMINAN SOSIAL YANG


DISELENGGARAKAN BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL

I. UMUM

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial membentuk
2 (dua) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan untuk
melaksanakan program jaminan sosial nasional. BPJS Kesehatan melaksanakan program jaminan
kesehatan sedangkan BPJS Ketenagakerjaan melaksanakan program jaminan kecelakaan kerja,
jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan pensiun bagi pemberi kerja dan pekerja penerima
upah.

BPJS dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial berdasarkan prinsip kegotongroyongan,
nirlaba, keterbukaan, kehati- hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana
amanat, serta hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial seluruhnya untuk pengembangan program dan
untuk sebesar-besar kepentingan Peserta.

Memperhatikan tugas, fungsi, dan keunikan dari penyelenggaraan program jaminan sosial tersebut,
serta mengingat belum cukup diaturnya ketentuan Pajak Penghasilan atas program jaminan sosial
tersebut dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu dibentuk
Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang perlakuan Pajak Penghasilan atas program jaminan sosial
yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial tersebut.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

www.ortax.org
58 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Hasil investasi atau pengembangan dana dari aset Dana Jaminan Sosial yang
tidak termasuk sebagai objek Pajak Penghasilan adalah hasil dari
pengembangan dana atau investasi Dana Jaminan Sosial yang diperbolehkan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
penyelenggaraan program jaminan sosial.

Huruf c

Pengalihan aset Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan program


jaminan sosial adalah hasil pengalihan aset lembaga antara lain dari PT Askes
(Persero) yang merupakan sumber aset BPJS Kesehatan dan PT Jamsostek
(Persero) yang merupakan sumber aset BPJS Ketenagakerjaan.

Huruf d

Pengalihan aset program jaminan sosial yang menjadi hak Peserta dari Badan
Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan program jaminan sosial antara
lain pengalihan:
a. aset PT Askes (Persero) dan aset program Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan PT Jamsostek (Persero) yang menjadi hak Peserta baik
berupa uang tunai, surat berharga, piutang iuran, dan uang muka
pelayanan, yang merupakan sumber aset Dana Jaminan Sosial
Kesehatan; dan
b. aset program jaminan sosial ketenagakerjaan yang menjadi hak
Peserta PT. Jamsostek (Persero), yang terdiri atas:
1. aset program jaminan kecelakaan kerja yang dialihkan
menjadi aset Dana Jaminan Sosial kecelakaan kerja;
2. aset program jaminan hari tua yang dialihkan menjadi aset
Dana Jaminan Sosial hari tua; dan
3. aset program jaminan kematian yang dialihkan menjadi aset
Dana Jaminan Sosial kematian.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan "Hasil Investasi atau pengembangan dana" adalah termasuk
Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan nilai transaksi investasi.

Ayat (4)

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 59

Cukup jelas.

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7

BPJS mempunyai kewajiban melakukan pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan


sesuai ketentuan umum perundang-undangan di bidang perpajakan. Termasuk objek
pemotongan Pajak Penghasilan yang dilakukan pemotongan oleh BPJS adalah pembayaran
BPJS Kesehatan kepada dokter atas kapitasi dan Pembayaran BPJS Ketenagakerjaan kepada
Peserta atas manfaat program jaminan hari tua dan jaminan pensiun.

Pasal 8

Cukup jelas

Pasal 9

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan "Pembayaran atau penggantian dari BPJS kepada penyedia
layanan program jaminan kesehatan, program jaminan kecelakaan, dan/atau program
jaminan kematian" adalah penggantian dari BPJS Kesehatan atau BPJS Ketenagakerjaan
antara lain kepada dokter, rumah sakit, dan/atau penyedia layanan lainnya yang
memberikan layanan kepada Peserta dan mendapatkan pembayaran dari BPJS.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 10

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6007

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=16215

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
60 Edisi PPh Badan | Maret 2017 43/PMK.03/2008

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 43/PMK.03/2008

TENTANG

PENGGUNAAN NILAI BUKU ATAS PENGALIHAN HARTA DALAM RANGKA PENGGABUNGAN,


PELEBURAN, ATAU PEMEKARAN USAHA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa dalam rangka menyelaraskan kebijakan perpajakan dengan kebijakan di bidang sosial, ekonomi,
investasi, moneter dan kebijakan lainnya, berdasarkan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan nilai lain
selain harga pasar, yaitu atas dasar nilai sisa buku ("pooling of interest");
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Keuangan tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta Dalam Rangka Penggabungan,
Peleburan, atau Pemekaran Usaha;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4740);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3985);
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGGUNAAN NILAI BUKU ATAS PENGALIHAN HARTA DALAM
RANGKA PENGGABUNGAN, PELEBURAN, ATAU PEMEKARAN USAHA.

Pasal 1

(1) Wajib Pajak yang melakukan merger dapat menggunakan nilai buku.
(2) Merger sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penggabungan usaha atau peleburan usaha.
(3) Penggabungan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah penggabungan dari dua atau lebih
Wajib Pajak Badan yang modalnya terbagi atas saham dengan cara tetap mempertahankan berdirinya
salah satu badan usaha yang tidak mempunyai sisa kerugian atau mempunyai sisa kerugian yang lebih
kecil.
(4) Peleburan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah penggabungan dari dua atau lebih Wajib
Pajak Badan yang modalnya terbagi atas saham dengan cara mendirikan badan usaha baru.
(5) Wajib Pajak yang melakukan pemekaran usaha yang dapat menggunakan nilai buku adalah:
a. Wajib Pajak yang belum Go Public yang akan melakukan penawaran umum perdana (Initial
Public Offering); atau
b. Wajib Pajak yang telah Go Public sepanjang seluruh badan usaha hasil pemekaran melakukan
penawaran umum perdana (Initial Public Offering).
(6) Pemekaran usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) adalah pemisahan satu Wajib Pajak Badan
yang modalnya terbagi atas saham menjadi dua Wajib Pajak Badan atau lebih dengan cara mendirikan
badan usaha baru dan mengalihkan sebagian harta dan kewajiban kepada badan usaha baru tersebut
yang dilakukan tanpa melakukan likuidasi badan usaha yang lama.

Pasal 2

Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 61

a. mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan melampirkan alasan dan tujuan
melakukan merger dan pemekaran usaha;
b. melunasi seluruh utang pajak dari tiap badan usaha yang terkait; dan
c. memenuhi persyaratan tujuan bisnis (business purpose test).

Pasal 3

Wajib Pajak yang melakukan Merger dengan menggunakan nilai buku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
ayat (1) tidak boleh mengkompensasikan kerugian/sisa kerugian dari Wajib Pajak yang menggabungkan diri/
Wajib Pajak yang dilebur.

Pasal 4

(1) Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mencatat nilai
perolehan harta tersebut sesuai dengan nilai sisa buku sebagaimana tercantum dalam pembukuan
pihak atau pihak-pihak yang mengalihkan.
(2) Penyusutan atas harta yang diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan
masa manfaat yang tersisa sebagaimana tercantum dalam pembukuan pihak atau pihak-pihak yang
mengalihkan.

Pasal 5

(1) Apabila Merger atau pemekaran usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan dalam tahun
pajak berjalan, maka jumlah angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 dari pihak atau pihak-pihak yang
menerima pengalihan tidak boleh lebih kecil dari jumlah angsuran yang wajib dibayar oleh pihak atau
pihak-pihak yang mengalihkan.
(2) Pembayaran, pemungutan, dan pemotongan Pajak Penghasilan yang telah dilakukan oleh pihak atau
pihak-pihak yang mengalihkan sebelum dilakukannya Merger atau pemekaran usaha dapat
dipindahbukukan menjadi pembayaran, pemungutan, atau pemotongan Pajak Penghasilan dari Wajib
Pajak yang menerima pengalihan.

Pasal 6

(1) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (5) yang akan menjual sahamnya di bursa efek,
selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah memperoleh persetujuan dari Direktur
Jenderal Pajak untuk melakukan pemekaran usaha dengan menggunakan nilai buku, harus telah
mengajukan pernyataan pendaftaran kepada Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan dalam
rangka penawaran umum perdana (Initial Public Offering) dan pernyataan pendaftaran tersebut telah
menjadi efektif.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang karena keadaan diluar
kekuasaan Wajib Pajak dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak.
(3) Apabila Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
maka nilai pengalihan harta atas pemekaran usaha yang dilakukan berdasarkan nilai buku dihitung
kembali berdasarkan nilai pasar.

Pasal 7

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diatur
dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 8

Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.04/1998
tentang Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, atau
Pemekaran Usaha sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
75/PMK.03/2005, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 9

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

www.ortax.org
62 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Maret 2008
MENTERI KEUANGAN

ttd

SRI MULYANI INDRAWATI

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13164

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
100/PMK.03/2011 Edisi PPh Badan | Maret 2017 63

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 100/PMK.03/2011

TENTANG

TATA CARA PENGHITUNGAN DAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN


ATAS SURPLUS BANK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Penghitungan dan Pembayaran Pajak Penghasilan
atas Surplus Bank Indonesia;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan
Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5183);
4. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN DAN PEMBAYARAN PAJAK
PENGHASILAN ATAS SURPLUS BANK INDONESIA.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:


1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut Undang-Undang
KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
2. Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.

Pasal 2

(1) Surplus Bank Indonesia merupakan objek Pajak Penghasilan.


(2) Surplus Bank Indonesia yang merupakan objek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah surplus Bank Indonesia menurut laporan keuangan audit setelah dilakukan penyesuaian atau
koreksi fiskal sesuai dengan Undang-Undang PPh dengan memperhatikan karakteristik Bank Indonesia.
(3) Laporan keuangan audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan hasil audit yang dilakukan
oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
(4) Penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan Undang-Undang PPh dengan memperhatikan
karakteristik Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan atas:
a. pengakuan keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing;
b. penyisihan aktiva; dan
c. penyusutan aktiva tetap.

www.ortax.org
64 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Pasal 3

(1) Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4)
huruf a, diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai
dengan Pedoman Akuntansi Keuangan Bank Indonesia.
(2) Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
diakui sebagai penghasilan atau yang dibebankan sebagai biaya dalam menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak adalah keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing yang telah
direalisasi, yang diperoleh dari selisih antara kurs jual mata uang asing pada tanggal transaksi dengan
harga perolehan rata-rata.

Pasal 4

(1) Penyisihan aktiva sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b, dapat dibebankan sebagai
biaya dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak.
(2) Penyisihan aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan terhadap piutang tak tertagih
berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sebagaimana diatur dalam
Pedoman Akuntansi Keuangan Bank Indonesia.
(3) Kerugian yang berasal dari piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada perkiraan
cadangan piutang tak tertagih.
(4) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup
kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), jumlah kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan
sebagai penghasilan.
(5) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan
sebagai kerugian.

Pasal 5

Penyusutan aktiva tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf c atas pengeluaran untuk
memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dilakukan sesuai dengan
ketentuan dalam Undang-Undang PPh beserta peraturan pelaksanaannya.

Pasal 6

(1) Atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu)
tahun yang diperoleh sebelum Tahun Pajak 2009, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. dasar penyusutan sejak Tahun Pajak 2009 menggunakan nilai sisa buku per tanggal
31 Desember 2008 sesuai dengan Pedoman Akuntansi Keuangan Bank Indonesia; dan
b. nilai sisa buku per tanggal 31 Desember 2008 dianggap sebagai harga perolehan Tahun Pajak
2009 dengan menggunakan kelompok harta berwujud sesuai masa manfaat sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang PPh.
(2) Atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu)
tahun yang dibiayakan sekaligus dan perolehan harta berwujud dimaksud sebelum Tahun Pajak 2009,
diperlakukan sebagai biaya pada tahun pengeluaran.
(3) Atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu)
tahun yang dibiayakan sekaligus dan perolehan harta berwujud dimaksud sejak Tahun Pajak 2009,
pembebanan harta berwujud dimaksud dilakukan melalui penyusutan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang PPh beserta peraturan pelaksanaannya.

Pasal 7

Penyesuaian atau koreksi fiskal yang terkait dengan surplus Bank Indonesia yang tidak diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan ini, mengikuti peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan yang berlaku
secara umum.

Pasal 8

(1) Besarnya angsuran pajak dalam Tahun Pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Bank Indonesia
untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum
atas surplus Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) menurut Anggaran

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 65

Tahunan Bank Indonesia (ATBI) Tahun Pajak yang bersangkutan yang telah disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dikurangi dengan :
a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-Undang PPh
serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-Undang
PPh;dan
b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Undang-Undang PPh,
dibagi 12 (dua belas).
(2) Jika dalam Tahun Pajak berjalan terdapat perubahan atas Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI)
yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, besarnya angsuran pajak dalam Tahun Pajak
berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Bank Indonesia dihitung kembali berdasarkan perubahan atas
Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI) tersebut dan berlaku mulai Masa Pajak berikutnya setelah
bulan disetujuinya perubahan atas Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI).

Pasal 9

Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan, paling lambat pada
batas akhir penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-Undang KUP beserta peraturan pelaksanaannya.

Pasal 10

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 Juli 2011
MENTERI KEUANGAN,

ttd.

AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 11 Juli 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,

ttd.

PATRIALIS AKBAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 396

Status :

Peraturan Menteri Keuangan - 100/PMK.03/2011 Telah mengalami perubahan atau


penyempurnaan oleh Peraturan Menteri Keuangan - 86/PMK.010/2015, Tanggal 27 Apr 2015

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=14747

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
66 Edisi PPh Badan | Maret 2017 136/PMK.03/2011

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 136/PMK.03/2011

TENTANG

PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN


UNTUK KEGIATAN USAHA PERBANKAN SYARIAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah disebutkan Usaha Berbasis Syariah adalah setiap
jenis usaha yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang meliputi antar lain
perbankan syariah;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan dalam rangka
melaksanakan ketentuan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pajak
Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang
Pengenaan Pajak Penghasilan untuk Kegiatan Usaha Perbankan Syariah;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4988);
3. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN UNTUK KEGIATAN USAHA
PERBANKAN SYARIAH.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:


1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008.
2. Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha
Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan
kegiatan usahanya.
3. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh nasabah kepada Bank Syariah dan/atau unit usaha
syariah berdasarkan akad wadiah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip Syariah
dalam bentuk giro, tabungan, deposito atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
4. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang
dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
5. Nasabah Investor adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank syariah dan/atau unit usaha
syariah dalam bentuk investasi berdasarkan akad antara bank syariah atau unit usaha syariah dan
nasabah yang bersangkutan.
6. Nasabah Penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank syariah dan/atau unit usaha
syariah dalam bentuk Simpanan berdasarkan akad antara bank syariah atau unit usaha syariah dan
nasabah yang bersangkutan.
7. Nasabah Penerima Fasilitas adalah nasabah yang memperoleh fasilitas dana atau yang dipersamakan
dengan itu, berdasarkan prinsip syariah.

Pasal 2

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 67

Ketentuan mengenai penghasilan, biaya, dan pemotongan pajak atau pemungutan pajak dari kegiatan usaha
Perbankan Syariah berlaku mutatis mutandis ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 3

(1) Penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang
diterima atau diperoleh Perbankan Syariah, termasuk bonus, bagi hasil, margin keuntungan, dan
imbalan lainnya merupakan objek Pajak Penghasilan.
(2) Bonus, bagi hasil, dan margin keuntungan yang diterima atau diperoleh Perbankan Syariah dari
kegiatan/transaksi Nasabah Penerima Fasilitas merupakan objek Pajak Penghasilan yang dikenai Pajak
Penghasilan sesuai ketentuan pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga.
(3) Penghasilan yang diterima atau diperoleh Perbankan Syariah selain dari penghasilan yang diterima atau
diperoleh dari Nasabah Penerima Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai Pajak
Penghasilan sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai transaksi antara Perbankan Syariah
dengan Nasabah Penerima Fasilitas.

Pasal 4

(1) Penghasilan yang diterima atau diperoleh Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor dari Perbankan
Syariah dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk bonus, bagi hasil, dan penghasilan lainnya
atas:
a. dana yang dipercayakan atau ditempatkan; dan
b. dana yang ditempatkan di luar negeri melalui Bank Syariah atau unit usaha syariah yang
didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang Bank Syariah luar negeri yang
berkedudukan di Indonesia, dikenai Pajak Penghasilan sesuai ketentuan pengenaan Pajak
Penghasilan atas bunga.
(2) Penghasilan yang diterima atau diperoleh Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor dari Perbankan
Syariah dengan nama dan dalam bentuk apapun selain penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dikenai pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang Undang
Pajak Penghasilan.

Pasal 5

(1) Perbankan Syariah dapat membebankan biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dengan syarat
sesuai dengan:
a. ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Pajak Penghasilan, termasuk bonus, bagi
hasil, dan imbalan lainnya yang dibayarkan atau terutang oleh Perbankan Syariah kepada
Nasabah Penyimpan dan Nasabah Investor kecuali biaya penyusutan dalam rangka
pembiayaan dengan akad Ijarah Muntahiyah Bittamlik; dan
b. jumlah yang diperjanjikan dalam akad berdasarkan Prinsip Syariah.
(2) Pembebanan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memperhatikan Pasal 9
Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 6

Dalam hal terdapat transaksi pengalihan harta atau sewa harta yang wajib dilakukan untuk memenuhi Prinsip
Syariah yang mendasari kegiatan pembiayaan oleh Perbankan Syariah berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Transaksi pengalihan harta dari pihak ketiga yang dilakukan semata-mata untuk memenuhi Prinsip
Syariah tidak termasuk dalam pengertian pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
b. Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagaimana dimaksud pada huruf a maka pengalihan harta
tersebut dianggap pengalihan harta langsung dari pihak ketiga kepada Nasabah Penerima Fasilitas, yang
dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.

Pasal 7

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

www.ortax.org
68 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Agustus 2011
MENTERI KEUANGAN,

ttd.

AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Agustus 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,

ttd.

PATRIALIS AKBAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 509

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=14803

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
137/PMK.03/2011 Edisi PPh Badan | Maret 2017 69

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 137/PMK.03/2011

TENTANG

PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN


UNTUK KEGIATAN USAHA PEMBIAYAAN SYARIAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah disebutkan Usaha Berbasis Syariah adalah setiap
jenis usaha yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang meliputi antara lain
jasa keuangan syariah, dan kegiatan usaha berbasis syariah lainnya;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan dalam rangka
melaksanakan ketentuan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pajak
Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang
Pengenaan Pajak Penghasilan untuk Kegiatan Usaha Jasa Keuangan Syariah;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4988);
3. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN UNTUK KEGIATAN USAHA
PEMBIAYAAN SYARIAH.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:


1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008.
2. Perusahaan Syariah yang selanjutnya disebut Perusahaan adalah lembaga keuangan di luar Bank yang
melakukan kegiatan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah.
3. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan dari usaha Perusahaan berdasarkan fatwa
yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
4. Ijarah adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam
waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), antara Perusahaan sebagai pemberi sewa (muajjir)
dengan penyewa (mustajir) tanpa diikuti pengalihan kepemilikan barang itu sendiri.
5. Ijarah Muntahiyah Bittamlik adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas
suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), antara Perusahaan sebagai
pemberi sewa (muajjir) dengan penyewa (mustajir) disertai opsi pemindahan hak milik atas barang
yang disewa kepada penyewa setelah selesia masa sewa.
6. Wakalah bil Ujrah adalah pelimpahan kuasa oleh satu pihak (al muwakkil) kepada pihak lain (al wakil)
dalam hal-hal yang boleh diwakilkan dengan pemberian keuntungan (ujrah).
7. Murabahah adalah akad pembiayaan untuk pengadaan suatu barang dengan menegaskan harga
belinya (harga perolehan) kepada pembeli dan pembeli membayarnya secara angsuran dengan harga
lebih sebagai laba.
8. Salam adalah akad pembiayaan untuk pengadaan suatu barang dengan cara pemesanan dan
pembayaran harga lebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu yang disepakati para pihak.
9. Istishna adalah akad pembiayaan untuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan

www.ortax.org
70 Edisi PPh Badan | Maret 2017

persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustahni) dan penjual (pembuat,
shani) dengan harga yang disepakati bersama oleh para pihak.
10. Mudharabah adalah kegiatan pendanaan yang dilakukan melalui akad kerja sama antara Perusahaan
dan pihak lain yang bertindak sebagai penyandang dana (shahibul maal), dimana penyandang dana
(shahibul maal) membiayai 100% (seratus persen) modal kegiatan pembiayaan untuk proyek yang
tidak ditentukan oleh Perusahaan (Mudharabah Mutlaqah) atau untuk proyek yang ditentukan
Perusahaan (Mudharabah Muqayyadah), dan keuntungan usaha dibagi sesuai dengan kesepakatan yang
dituangkan dalam akad.
11. Mudharabah Musytarakah adalah kegiatan pendanaan yang dilakukan melalui akad kerja sama antara
Perusahaan dan pihak lain yang bertindak sebagai penyandang dana (shahibul maal), dimana
penyandang dana (shahibul maal) dan Perusahaan selaku pengelola dana (mudharib) turut
menyertakan modalnya dalam kerja sama investasi dan keuntungan usaha dibagi sesuai kesepakatan
yang dituangkan dalam akad.
12. Musyarakah adalah kegiatan pendanaan yang dilakukan melalui akad kerja sama antara Perusahaan
dan pihak lain untuk suaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan
ketentuan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan yang
dituangkan dalam akad.

Pasal 2

(1) Ketentuan usaha pembiayaan yang dilakukan oleh Perusahaan meliputi:


a. Sewa Guna Usaha, yang dilakukan berdasarkan Ijarah atau Ijarah Muntahiyah Bittamlik.
b. Anjak Piutang, yang dilakukan berdasarkan akad Wakalah bil Ujrah.
c. Pembiayaan Konsumen, yang dilakukan berdasarkan Murabahah, Salam, atau Istishna.
d. Usaha Kartu Kredit yang dilakukan sesuai dengan Prinsip Syariah.
e. Kegiatan pembiayaan lainnya yang dilakukan sesuai dengan Prinsip Syariah.
(2) Kegiatan sewa guna usaha yang dilakukan berdasarkan prinsip Ijarah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diperlakukan sama dengan kegiatan sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease).
(3) Kegiatan sewa guna usaha yang dilakukan berdasarkan prinsip Ijarah Muntahiyah Bittamlik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlakukan sama dengan kegiatan sewa guna usaha dengan
hak opsi (financial lease).

Pasal 3

Ketentuan mengenai penghasilan, biaya dan pemotongan atau pemungutan pajak dari kegiatan usaha
pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dilakukan Perusahaan berlaku mutatis mutandis
ketentuan dalam Undang Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 4

(1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Perusahaan dari:


a. Sewa Guna Usaha yang dilakukan berdasarkan Ijarah, dikenai Pajak Penghasilan sesuai
ketentuan pengenaan Pajak Penghasilan atas sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating
lease); dan
b. Sewa Guna Usaha yang dilakukan berdasarkan Ijarah Muntahiyah Bittamlik dikenai Pajak
Penghasilan atas sewa guna usaha dengan hak opsi (financial lease).
(2) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Perusahaan dari:
a. kegiatan usaha anjak piutang yang dilakukan berdasarkan akad Wakalah bil Ujrah berupa
keuntungan atau imbalan; dan
b. kegiatan pembiayaan konsumen yang dilakukan berdasarkan akad Murahabah, Salam, atau
Istishna berupa margin keuntungan atau laba, dikenai Pajak Penghasilan sesuai ketentuan
pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga.
(3) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Perusahaan dari kegiatan usaha kartu kredit yang
dilakukan sesuai dengan Prinsip Syariah berupa fee atau imbalan dengan nama dan dalam bentuk
apapun dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Pajak Penghasilan.
(4) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Perusahaan dari kegiatan usaha pembiayaan lainnya
yang dilakukan sesuai dengan Prinsip Syariah berupa fee atau imbalan dengan nama dan dalam bentuk
apapun dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Pajak Penghasilan.

Pasal 5

Pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh penyandang dana (shohibul maal) dari kegiatan

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 71

pendanaan pada Perusahaan dengan akad Mudharabah, Mudharabah Musytarakah, atau Musyarakah berupa
keuntungan dan/atau bagi hasil, dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan pengenaan Pajak
Penghasilan berupa bunga.

Pasal 6

Perusahaan dapat membebankan biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 sesuai dengan:
a. Ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 9 Undang-Undang Pajak Penghasilan, termasuk
keuntungan dan/atau bagi hasil yang dibayarkan atau terutang oleh Perusahaan kepada penyandang
dana (shohibul maal); dan
b. Jumlah yang diperjanjikan dalam akad berdasarkan Prinsip Syariah.

Pasal 7

Dalam hal terdapat transaksi pengalihan harta atau sewa harta yang wajib dilakukan untuk memenuhi Prinsip
Syariah yang mendasari kegiatan pembiayaan oleh Perusahaan berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Transaksi pengalihan harta dari pihak ketiga yang dilakukan semata-mata untuk memenuhi Prinsip
Syariah dalam rangka kegiatan pembiayaan oleh Perusahaan tidak termasuk dalam pengertian
pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
b. Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagaimana dimaksud pada huruf a maka pengalihan harta
tersebut dianggap pengalihan harta langsung dari pihak ketiga kepada Nasabah Perusahaan, yang
dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pasal 8

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Agustus 2011
MENTERI KEUANGAN,

ttd.

AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Agustus 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,

ttd.

PATRIALIS AKBAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 510

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=14804

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
72 Edisi PPh Badan | Maret 2017 86/PMK.010/2015

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 86/PMK.010/2015

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 100/PMK.03/2011


TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN DAN PEMBAYARAN
PAJAK PENGHASILAN ATAS SURPLUS BANK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa ketentuan mengenai tata cara penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan atas surplus
Bank Indonesia telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.03/2011 tentang Tata
Cara Penghitungan dan Pembayaran Pajak Penghasilan atas Surplus Bank Indonesia;
b. bahwa dalam rangka lebih memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak sehubungan dengan
penerapan Kebijakan Akuntansi Keuangan Bank Indonesia dengan memperhatikan karakteristik Bank
Indonesia, perlu melakukan perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.03/2011
tentang Tata Cara Penghitungan dan Pembayaran Pajak Penghasilan atas Surplus Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
100/PMK.03/2011 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pembayaran Pajak Penghasilan atas Surplus
Bank Indonesia;

Mengingat :

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.03/2011 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pembayaran Pajak
Penghasilan atas Surplus Bank Indonesia;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
100/PMK.03/2011 TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN DAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS
SURPLUS BANK INDONESIA.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.03/2011 tentang Tata Cara
Penghitungan dan Pembayaran Pajak Penghasilan atas Surplus Bank Indonesia, diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan ayat (4) Pasal 2 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2

(1) Surplus Bank Indonesia merupakan objek Pajak Penghasilan.


(2) Surplus Bank Indonesia yang merupakan objek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah surplus Bank Indonesia menurut laporan keuangan audit setelah dilakukan
penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan Undang-Undang PPh dengan memperhatikan
karakteristik Bank Indonesia.
(3) Laporan keuangan audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan hasil audit yang
dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
(4) Karakteristik Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah karakteristik Bank
Indonesia dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter serta mengatur
dan menjaga kelancaran sistem pembayaran dan stabilitas sistem keuangan, terkait:
a. pengakuan keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing;
b. pengakuan biaya penyisihan aktiva;
c. pengakuan biaya penurunan nilai aktiva secara langsung; dan
d. penyusutan aktiva tetap.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 73

2. Ketentuan Pasal 3 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3

Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4)
huruf a diakui sebagai penghasilan atau biaya dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak
berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Kebijakan
Akuntansi Keuangan Bank Indonesia.

3. Ketentuan Pasal 4 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :

Pasal 4

(1) Biaya penyisihan aktiva sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b dapat
dibebankan sebagai biaya dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak.
(2) Penyisihan aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap aset keuangan yang
diukur pada biaya perolehan diamortisasi berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan
dilakukan secara taat asas sesuai dengan Kebijakan Akuntansi Keuangan Bank Indonesia,
dengan cara membentuk cadangan penyisihan aktiva.
(3) Kerugian yang berasal dari penghapusan aktiva yang nyata-nyata tidak tertagih dibebankan
pada perkiraan cadangan penyisihan aktiva yang telah dibentuk.
(4) Biaya penyisihan aktiva yang diakui pada Tahun Pajak berjalan adalah sebesar cadangan
penyisihan aktiva akhir tahun yang harus dibentuk dikurangi dengan saldo cadangan penyisihan
aktiva awal tahun dan kerugian penghapusan aktiva yang dibebankan pada cadangan
penyisihan aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Dalam hal cadangan penyisihan aktiva akhir tahun yang harus dibentuk lebih kecil dibandingkan
saldo cadangan penyisihan aktiva awal tahun setelah dikurangi kerugian penghapusan aktiva
yang dibebankan pada cadangan penyisihan aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
selisihnya merupakan unsur penghasilan pada Tahun Pajak bersangkutan.
(6) Dalam hal jumlah cadangan penyisihan aktiva dipakai untuk menutup kerugian sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut
diperhitungkan sebagai kerugian penghapusan aktiva pada Tahun Pajak bersangkutan.

4. Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) Pasal, yakni Pasal 4A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4A

(1) Biaya penurunan nilai aktiva secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4)
huruf c dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak.
(2) Penurunan nilai aktiva secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
terhadap aset keuangan yang diukur pada nilai wajar melalui selisih revaluasi berdasarkan
sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Kebijakan
Akuntansi Keuangan Bank Indonesia.
(3) Dalam hal terjadi pemulihan nilai atas aktiva yang telah diakui biaya penurunan nilai aktivanya,
selisih lebih pemulihan nilai aktiva terhadap nilai bukunya diperhitungkan sebagai penghasilan
pada Tahun Pajak terjadinya pemulihan nilai aktiva tersebut.

5. Ketentuan Pasal 6 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6

(1) Atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari
1 (satu) tahun yang diperoleh sebelum Tahun Pajak 2009, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. terhadap harta berwujud yang telah disusutkan sesuai dengan kelompok harta, masa
manfaat, dan tarif penyusutan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan, disusutkan sampai dengan berakhirnya masa manfaat harta
berwujud bersangkutan;
b. terhadap harta berwujud yang telah disusutkan dengan kelompok harta, masa manfaat,
dan tarif penyusutan yang berbeda dengan kelompok harta, masa manfaat, dan tarif
penyusutan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan, berlaku:
1) dasar penyusutan sejak Tahun Pajak 2009 menggunakan nilai sisa buku

www.ortax.org
74 Edisi PPh Badan | Maret 2017

per tanggal 31 Desember 2008 sesuai dengan Pedoman Akuntansi Keuangan


Bank Indonesia; dan
2) nilai sisa buku per tanggal 31 Desember 2008 tersebut dianggap sebagai harga
perolehan di Tahun Pajak 2009 yang disusutkan dengan menggunakan
kelompok harta, masa manfaat, dan tarif penyusutan sesuai dengan ketentuan
dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
(2) Atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari
1 (satu) tahun yang dibiayakan sekaligus dan perolehan harta berwujud dimaksud sebelum
Tahun Pajak 2009, diperlakukan sebagai biaya pada tahun pengeluaran.
(3) Atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari
1 (satu) tahun yang dibiayakan sekaligus dan perolehan harta berwujud dimaksud sejak Tahun
Pajak 2009, pembebanan harta berwujud dimaksud dilakukan melalui penyusutan sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang PPh beserta peraturan pelaksanaannya.

6. Ketentuan Pasal 8 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8

(1) Besarnya angsuran pajak dalam Tahun Pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Bank
Indonesia untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan
penerapan tarif umum atas surplus Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) menurut Anggaran Tahunan Bank Indonesia Tahun Pajak yang bersangkutan dikurangi
dengan:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-
Undang PPh serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 Undang-Undang PPh; dan
b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Undang-Undang PPh,
dibagi 12 (dua belas).
(2) Jika dalam Tahun Pajak berjalan terdapat perubahan atas Anggaran Tahunan Bank Indonesia,
besarnya angsuran pajak dalam Tahun Pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Bank
Indonesia dihitung kembali berdasarkan perubahan atas Anggaran Tahunan Bank Indonesia
tersebut dan berlaku mulai Masa Pajak berikutnya setelah bulan ditetapkannya perubahan atas
Anggaran Tahunan Bank Indonesia tersebut.

7. Di antara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 1 (satu) Pasal, yakni Pasal 8A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8A

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 4A Peraturan Menteri ini
berlaku sejak Tahun Pajak 2014.

Pasal II

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 April 2015
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

BAMBANG P. S. BRODJONEGORO

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 28 April 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 75

ttd.

YASONNA H. LAOLY

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 644

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15762

www.ortax.org
Keputusan Menteri Keuangan RI :
76 Edisi PPh Badan | Maret 2017 1169/KMK.01/1991

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 1169/KMK.01/1991

TENTANG

KEGIATAN SEWA GUNA USAHA (LEASING)

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa dalam rangka untuk lebih memberikan kepastian hukum terutama mengenai perlakuan perpajakan
kegiatan sewa-guna-usaha, dipandang perlu mengatur kembali ketentuan tentang kegiatan sewa guna usaha
dalam suatu Keputusan Menteri Keuangan.

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Tahun 1983 Nomor 49; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983
Nomor 50; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 51; Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3264);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan;
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 64M Tahun 1988;
6. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 1251/KMK.013/1988 tanggal 20 Desember
1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan sebagaimana diubah
dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1256/KMK.00/1989 tanggal 18 Nopember 1989;
7. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 634/KMK.013/1990 tanggal 5 Juni 1990
tentang Pengadaan Barang Modal Berfasilitas Melalui Perusahaan Sewa Guna Usaha (Perusahaan
Leasing).

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEGIATAN SEWA-GUNA-USAHA (LEASING).

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Yang dimaksud dalam Keputusan ini dengan :

a. Sewa-guna-usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik
secara sewa-guna-usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi
(operating lease) untuk digunakan oleh Lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan
pembayaran secara berkala;

b. Barang modal adalah setiap aktiva tetap berwujud, termasuk tanah sepanjang di atas tanah tersebut
melekat aktiva tetap berupa bangunan (plant), dan tanah serta aktiva dimaksud merupakan satu
kesatuan kepemilikan, yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dan digunakan secara
langsung untuk menghasilkan atau meningkatkan, atau memperlancar produksi dan distribusi barang
atau jasa oleh Lessee;

c. Lessor adalah perusahaan pembiayaan atau perusahaan sewa-guna-usaha yang telah memperoleh izin
usaha dari Menteri Keuangan dan melakukan kegiatan sewa-guna-usaha;

d. Lessee adalah perusahaan atau perorangan yang menggunakan barang modal dengan pembiayaan
dari Lessor;

e. Pembayaran Sewa-guna-usaha (Lease Payment) adalah jumlah uang yang harus dibayar secara
berkala oleh Lessee kepada Lessor selama jangka waktu yang telah disetujui bersama sebagai
imbalan penggunaan barang modal berdasarkan perjanjian sewa-guna-usaha;

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 77

f. Piutang sewa-guna-usaha (Lease Receivable) adalah jumlah seluruh pembayaran sewa-guna-usaha


selama masa sewa-guna-usaha;

g. Harga Perolehan (Acquisition Cost) adalah harga beli barang modal yang dilease ditambah dengan
biaya langsung;

h. Nilai pembiayaan adalah jumlah pembiayaan untuk pengadaan barang modal yang secara riil
dikeluarkan oleh Lessor;

i. Angsuran Pokok Pembiayaan adalah bagian dari pembayaran sewa-guna-usaha yang diperhitungkan
sebagai pelunasan atas nilai pembiayaan;

j. Imbalan Jasa Sewa-guna-usaha adalah bagian dari pembayaran sewa-guna-usaha yang


diperhitungkan sebagai pendapatan sewa-guna-usaha bagi Lessor;

k. Nilai Sisa (Residual Value) adalah nilai barang modal pada akhir masa sewa-guna-usaha yang telah
disepakati oleh Lessor dengan Lessee pada awal masa sewa-guna-usaha;

l. Simpanan Jaminan (Security Deposit) adalah jumlah uang yang diterima Lessor dari Lessee pada
permulaan masa lease sebagai jaminan untuk kelancaran pembayaran lease;

m. Masa Sewa-guna-usaha (Lease Term) adalah jangka waktu sewa-guna-usaha yang dimulai sejak
diterimanya barang modal yang disewa-guna-usaha oleh Lessee sampai dengan perjanjian sewa-guna
-usaha berakhir;

n. Masa Sewa-guna-usaha Pertama adalah jangka waktu sewa-guna-usaha barang modal untuk transaksi
sewa-guna-usaha yang pertama kalinya;

o. Opsi adalah hak Lessee untuk membeli barang modal yang disewa-guna-usaha atau memperpanjang
jangka waktu perjanjian sewa-guna-usaha.

BAB II
KEGIATAN USAHA

Pasal 2

(1) Kegiatan sewa-guna-usaha dapat dilakukan secara :


a. sewa-guna-usaha dengan hak opsi (finance lease);
b. sewa-guna-usaha tanpa hak opsi (operating lease).

(2) Kegiatan sewa-guna-usaha dengan hak opsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a Pasal ini
ditetapkan sebagai kegiatan lembaga keuangan lainnya.

Pasal 3

Kegiatan sewa-guna-usaha digolongkan sebagai sewa-guna-usaha dengan hak opsi apabila memenuhi semua
kriteria berikut :
a. jumlah pembayaran sewa-guna-usaha selama masa sewa-guna-usaha pertama ditambah dengan nilai
sisa barang modal, harus dapat menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan lessor;
b. masa sewa-guna-usaha ditetapkan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun untuk barang modal Golongan
I, 3 (tiga) tahun untuk barang modal Golongan II dan III, dan 7 (tujuh) tahun untuk Golongan
bangunan;
c. perjanjian sewa-guna-usaha memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.

Pasal 4

Kegiatan sewa-guna-usaha digolongkan sebagai sewa-guna-usaha tanpa hak opsi apabila memenuhi semua
kriteria berikut :
a. jumlah pembayaran sewa-guna-usaha selama masa sewa-guna-usaha pertama tidak dapat menutupi
harga perolehan barang modal yang disewa-guna-usahakan ditambah keuntungan yang
diperhitungkan oleh lessor;
b. perjanjian sewa-guna-usaha tidak memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.

Pasal 5

www.ortax.org
78 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Penggolongan jenis barang modal yang disewa-guna-usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b
Keputusan ini, ditetapkan berdasarkan ketentuan Pasal 11 Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan.

Pasal 6

(1) Lessor hanya diperkenankan memberikan pembiayaan barang modal kepada lessee yang telah
memiliki NPWP, mempunyai kegiatan usaha dan atau pekerjaan bebas.

(2) Lessee dilarang menyewa-guna-usahakan kembali barang modal yang disewa-guna-usaha kepada
pihak lain.

Pasal 7

(1) Lessor wajib menempelkan plakat atau etiket pada barang modal yang disewa-guna-usahakan dengan
mencantumkan nama dan alamat lessor serta pernyataan bahwa barang modal dimaksud terikat
dalam perjanjian sewa-guna-usaha.

(2) Plakat atau etiket sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pasal ini harus ditempatkan sedemikian
rupa sehingga dengan mudah barang modal tersebut dapat dibedakan dari barang modal lainnya yang
pengadaannya tidak dilakukan secara sewa-guna-usaha.

(3) Selama masa sewa-guna-usaha, lessee bertanggung jawab untuk memelihara agar plakat atau etiket
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini tetap melekat pada barang modal yang disewa-guna-
usaha.

Pasal 8

(1) Perusahaan sewa-guna-usaha atau perusahaan pembiayaan yang melakukan kegiatan sewa-guna-
usaha, dapat membuka kantor cabang/kantor perwakilan dan menggunakan tenaga asing setelah
memperoleh izin/persetujuan dan rekomendasi dari Menteri Keuangan.

(2) Tata cara pemberian izin/persetujuan, dan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
oleh Direktur Jenderal Moneter.

BAB III
PERJANJIAN SEWA-GUNA-USAHA

Pasal 9

(1) Setiap transaksi sewa-guna-usaha wajib diikat dalam suatu perjanjian sewa-guna-usaha (lease
agreement).

(2) Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini sekurang-kurangnya memuat hal-hal
sebagai berikut :
a. jenis transaksi sewa-guna-usaha;
b. nama dan alamat masing-masing pihak;
c. nama, jenis, type dan lokasi penggunaan barang modal;
d. harga perolehan, nilai pembiayaan, pembayaran sewa-guna-usaha, angsuran pokok
pembiayaan, imbalan jasa sewa-guna-usaha, nilai sisa, simpanan jaminan, dan ketentuan
asuransi atas barang modal yang disewa-guna-usahakan;
e. masa sewa-guna-usaha;
f. ketentuan mengenai pengakhiran transaksi sewa-guna-usaha yang dipercepat, dan penetapan
kerugian yang harus ditanggung lessee dalam hal barang modal yang disewa-guna-usaha
dengan hak opsi hilang, rusak atau tidak berfungsi karena sebab apapun;
g. opsi bagi penyewa-guna-usaha dalam hal transaksi sewa-guna-usaha dengan hak opsi;
h. tanggung jawab para pihak atas barang modal yang disewa-guna-usaha.

(3) Perjanjian sewa-guna-usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini wajib dibuat dalam
bahasa Indonesia, dan apabila dipandang perlu dapat diterjemahkan kedalam bahasa asing.

BAB IV

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 79

PELAKSANAAN HAK OPSI

Pasal 10

Pada saat berakhirnya masa sewa-guna-usaha dari transaksi sewa-guna-usaha dengan hak opsi, lessee dapat m
elaksanakan opsi yang telah disetujui bersama pada permulaan masa sewa-guna-usaha.

Pasal 11

(1) Opsi untuk membeli dilakukan dengan melunasi pembayaran nilai sisa barang modal yang disewa-
guna-usaha.

(2) Dalam hal lessee memilih untuk memperpanjang jangka waktu perjanjian sewa-guna-usaha, maka
nilai sisa barang modal yang disewa-guna-usahakan digunakan sebagai dasar dalam menetapkan
piutang sewa-guna-usaha.

Pasal 12

Dalam hal lessee menggunakan opsi membeli maka dasar penyusutannya adalah nilai sisa barang modal.

BAB V
PERLAKUAN AKUNTANSI

Pasal 13

Akuntansi transaksi sewa-guna-usaha dilaksanakan sesuai dengan standar akuntansi di bidang sewa-guna-
usaha di Indonesia.

BAB VI
PERLAKUAN PERPAJAKAN

Bagian Pertama
Sewa-guna-usaha Dengan Hak Opsi

Pasal 14

Perlakuan Pajak Penghasilan bagi lessor adalah sebagai berikut :

a. penghasilan lessor yang dikenakan Pajak Penghasilan adalah sebagian dari pembayaran sewa guna
usaha dengan hak opsi yang berupa imbalan jasa sewa guna usaha;

b. lessor tidak boleh menyusutkan atas barang modal yang disewa-guna-usahakan dengan hak opsi;

c. dalam hal masa sewa-guna-usaha lebih pendek dari masa yang ditentukan dalam Pasal 3 Keputusan
ini, Direktur Jenderal Pajak melakukan koreksi atas pengakuan penghasilan pihak lessor;

d. lessor dapat membentuk cadangan penghapusan piutang ragu-ragu yang dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto, setinggi-tingginya sejumlah 2,5% (dua setengah persen) dari rata-rata saldo awal
dan saldo akhir piutang sewa-guna-usaha dengan hak opsi.

e. kerugian yang diderita karena piutang sewa-guna-usaha yang nyata-nyata tidak dapat ditagih lagi
dibebankan pada cadangan penghapusan piutang ragu-ragu yang telah dibentuk pada awal tahun
pajak yang bersangkutan;

f. dalam hal cadangan penghapusan piutang ragu-ragu tersebut tidak atau tidak sepenuhnya dibebani
untuk menutup kerugian dimaksud maka sisanya dihitung sebagai penghasilan, sedangkan apabila
cadangan tersebut tidak mencukupi maka kekurangannya dapat dibebankan sebagai biaya yang
dikurangkan dari penghasilan bruto.

Pasal 15

Atas penyerahan jasa dalam transaksi sewa-guna-usaha dengan hak opsi dari lessor kepada lessee,
dikecualikan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

www.ortax.org
80 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Pasal 16

(1) Perlakuan Pajak Penghasilan bagi lessee adalah sebagai berikut :

a. selama masa sewa-guna-usaha, lessee tidak boleh melakukan penyusutan atas barang modal
yang disewa-guna-usaha, sampai saat lessee menggunakan hak opsi untuk membeli;

b. setelah lessee menggunakan hak opsi untuk membeli barang modal tersebut, lessee
melakukan penyusutan dan dasar penyusutannya adalah nilai sisa (residual value) barang
modal yang bersangkutan;

c. pembayaran sewa-guna-usaha yang dibayar atau terutang oleh lessee kecuali pembebanan
atas tanah, merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto lessee
sepanjang transaksi sewa-guna-usaha tersebut memenuhi ketentuan dalam Pasal 3 Keputusan
ini;

d. dalam hal masa sewa-guna-usaha lebih pendek dari masa yang ditentukan dalam Pasal 3
Keputusan ini, Direktur Jenderal Pajak melakukan koreksi atas pembebanan biaya sewa-guna-
usaha.

(2) Lessee tidak memotong Pajak Penghasilan Pasal 23 atas pembayaran sewa-guna-usaha yang dibayar
atau terutang berdasarkan perjanjian sewa-guna-usaha dengan hak opsi.

Bagian Kedua
Sewa-guna-usaha Tanpa Hak Opsi

Pasal 17

(1) Perlakuan Pajak Penghasilan bagi lessor adalah sebagai berikut :


a. seluruh pembayaran sewa-guna-usaha tanpa hak opsi yang diterima atau diperoleh lessor
merupakan obyek Pajak Penghasilan.
b. lessor membebankan biaya penyusutan atas barang modal yang disewa-guna-usahakan tanpa
hak opsi, sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 beserta
peraturan pelaksanaannya.

(2) Perlakuan Pajak Penghasilan bagi lessee adalah sebagai berikut :


a. pembayaran sewa-guna-usaha tanpa hak opsi yang dibayar atau terutang oleh lessee adalah
biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
b. lessee wajib memotong Pajak Penghasilan Pasal 23 atas pembayaran sewa-guna-usaha tanpa
hak opsi yang dibayarkan atau terutang kepada lessor.

Pasal 18

Atas penyerahan jasa dalam transaksi sewa-guna-usaha tanpa hak opsi dari lessor kepada lessee, terhutang
Pajak Pertambahan Nilai.

Bagian Ketiga
Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25

Pasal 19

Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk setiap bulan yang terutang oleh lessor adalah jumlah
Pajak Penghasilan sebagai hasil penerapan tarif Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan Tahun 1984
terhadap Penghasilan Kena Pajak berdasarkan laporan keuangan triwulanan terakhir sesuai dengan ketentuan
dalam Pasal 20 Keputusan ini disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).

BAB IX
PELAPORAN

Pasal 20

(1) Lessor wajib menyampaikan laporan keuangan triwulanan kepada Direktorat Jenderal Pajak dan

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 81

Direktorat Jenderal Moneter.

(2) Laporan keuangan triwulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus sudah disampaikan paling
lambat 15 (lima belas) hari setelah triwulan yang bersangkutan berakhir.

Pasal 21

(1) Lessor wajib menyampaikan laporan operasional secara semesteran berdasarkan tahun takwim
kepada Direktorat Jenderal Moneter.

(2) Bentuk laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini dan tata cara penyampaiannya
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Moneter.

Pasal 22

Setiap perubahan anggaran dasar, pemegang saham, pengurus, tenaga ahli, dan alamat kantor wajib
dilaporkan kepada Menteri Keuangan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari kerja setelah perubahan
dilaksanakan.

Pasal 23

Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud Pasal 20, Pasal 21 dan Pasal 22 atau berdasarkan informasi lain
ditemukan adanya penyimpangan, Menteri Keuangan atau Pejabat yang ditunjuknya dapat melakukan
pemeriksaan.

BAB X
SANKSI

Pasal 24

Pelanggaran terhadap ketentuan Keputusan ini, dapat dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Perundang-undangan Perpajakan dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988
jo. Nomor 1256/KMK.00/ 1989.

BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 25

(1) Perlakuan akuntansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 Keputusan ini mulai berlaku untuk tahun
pajak 1991.

(2) Perlakuan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 16 Keputusan ini mulai
berlaku terhadap sewa-guna-usaha dengan hak opsi yang kontraknya ditandatangani setelah
berlakunya Keputusan ini.

(3) Perlakuan perpajakan yang selama ini diterapkan terhadap sewa-guna-usaha dengan hak opsi yang
kontraknya telah ditandatangani sebelum berlakunya Keputusan ini, tetap berlaku.

BAB XII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 26

Pelaksanaan teknis Keputusan ini diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Moneter dan Direktur Jenderal Pajak
baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing.

Pasal 27

Dengan ditetapkannya Keputusan ini, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 48/KMK.013/1991 tentang Kegiatan
Sewa-guna-usaha, dinyatakan tidak berlaku.

www.ortax.org
82 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Pasal 28

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut terhitung sejak tanggal
19 Januari 1991.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 27 November 1991
MENTERI KEUANGAN,

ttd

J.B. SUMARLIN

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=501

www.ortax.org
Peraturan Direktur Jenderal Pajak :
PER - 28/PJ./2008 Edisi PPh Badan | Maret 2017 83

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 28/PJ./2008

TENTANG

PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMBERIAN IZIN PENGGUNAAN NILAI BUKU ATAS
PENGALIHAN HARTA DALAM RANGKA PENGGABUNGAN, PELEBURAN, ATAU PEMEKARAN USAHA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2008 tentang
Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam rangka Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha
perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Izin
Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam rangka Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985);
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2008 tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan
Harta dalam rangka Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMBERIAN IZIN
PENGGUNAAN NILAI BUKU ATAS PENGALIHAN HARTA DALAM RANGKA PENGGABUNGAN, PELEBURAN, ATAU
PEMEKARAN USAHA.

Pasal 1

(1) Wajib Pajak yang melakukan merger dapat menggunakan nilai buku.
(2) Merger sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penggabungan usaha atau peleburan usaha
(3) Penggabungan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah penggabungan dari dua atau lebih
Wajib Pajak Badan yang modalnya terbagi atas saham dengan cara tetap mempertahankan berdirinya
salah satu badan usaha yang tidak mempunyai sisa kerugian atau mempunyai sisa kerugian yang lebih
kecil.
(4) Sisa kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah sisa kerugian fiskal dan komersial.
(5) Peleburan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah penggabungan dari dua atau lebih Wajib
Pajak Badan yang modalnya terbagi atas saham dengan cara mendirikan badan usaha baru.
(6) Wajib Pajak yang melakukan pemekaran usaha yang dapat menggunakan nilai buku adalah :
a. Wajib Pajak yang belum Go Public yang akan melakukan penawaran umum perdana (Initial
Public Offering); atau
b. Wajib Pajak yang telah Go Public sepanjang seluruh badan usaha hasil pemekaran melakukan
penawaran umum perdana (Initial Public Offering).
(7) Pemekaran usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (6) adalah pemisahan satu Wajib Pajak Badan
yang modalnya terbagi atas saham menjadi dua Wajib Pajak Badan atau lebih dengan cara mendirikan
badan usaha baru dan mengalihkan sebagian harta dan kewajiban kepada badan usaha baru tersebut
yang dilakukan tanpa melakukan likuidasi badan usaha yang lama.

Pasal 2

Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan melampirkan alasan dan tujuan
melakukan merger dan pemekaran usaha;
b. melunasi seluruh utang pajak dari tiap badan usaha yang terkait; dan
c. memenuhi persyaratan tujuan bisnis (business purpose test).

Pasal 3

www.ortax.org
84 Edisi PPh Badan | Maret 2017

(1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a diajukan oleh :


a. Wajib Pajak yang menerima harta, dalam hal dilakukan merger; atau
b. Wajib Pajak yang mengalihkan harta, dalam hal dilakukan pemekaran usaha.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak yang membawahi Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak pemohon
terdaftar paling lama 6 (enam) bulan setelah tanggal efektif merger atau pemekaran usaha dilakukan.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a diajukan dengan ketentuan sebagai berikut :
a. menggunakan surat permohonan sesuai dengan format sebagaimana ditetapkan dalam
Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
b. melampirkan surat pernyataan yang mengemukakan alasan dan tujuan melakukan merger
atau pemekaran usaha dengan disertai bukti pendukung sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
c. melampirkan daftar isian dan surat pernyataan dalam rangka business purpose test sesuai
dengan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini.
(4) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat
keputusan paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya permohonan dari Wajib Pajak secara lengkap
dengan menggunakan bentuk formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IV Peraturan Direktu
Jenderal Pajak ini.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah lewat dan Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan keputusan,
permohonan Wajib Pajak dianggap diterima dan kepadanya diterbitkan surat keputusan persetujuan.

Pasal 4

Pelunasan seluruh utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak
yang mengalihkan harta dan Wajib Pajak yang menerima harta, termasuk utang pajak dari cabang atau
perwakilan yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak lokasi.

Pasal 5

Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 memenuhi persyaratan business purpose test sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf c apabila :
a. tujuan utama dari merger dan pemekaran usaha adalah menciptakan sinergi usaha yang kuat dan
memperkuat struktur permodalan serta tidak dilakukan untuk penghindaran pajak;
b. kegiatan usaha Wajib Pajak yang mengalihkan harta masih berlangsung sampai dengan tanggal efektif
merger;
c. kegiatan usaha Wajib Pajak yang mengalihkan harta sebelum merger terjadi wajib dilanjutkan oleh
Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta paling singkat 5 (lima) tahun setelah tanggal efektif
merger;
d. kegiatan usaha Wajib Pajak yang menerima harta dalam rangka merger tetap berlangsung paling
singkat 5 (lima) tahun setelah tanggal efektif merger;
e. kegiatan usaha Wajib Pajak yang menerima harta dalam rangka pemekaran usaha wajib berlangsung
paling singkat 5 (lima) tahun setelah tanggal efektif pemekaran usaha; dan
f. harta yang dimiliki oleh Wajib Pajak yang menerima harta setelah terjadinya merger atau pemekaran
usaha tidak dipindahtangankan oleh Wajib Pajak yang menerima harta paling singkat 2 (dua) tahun
setelah tanggal efektif merger atau pemekaran usaha.

Pasal 6

(1) Apabila Wajib Pajak yang menerima harta melakukan penjualan harta yang sebelumnya dimiliki Wajib
Pajak yang mengalihkan harta sebelum melewati jangka waktu 2 (dua) tahun setelah tanggal efektif
merger atau pemekaran usaha, Wajib Pajak tersebut wajib menyampaikan pernyataan tertulis bahwa
harta tersebut layak dijual demi meningkatkan efeisiensi perusahaan dan disertai dengan bukti
pendukung.
(2) Pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak yang menerima harta terdaftar paling lama 1 (satu) bulan
setelah terjadinya penjualan harta dengan menggunakan bentuk formulir sebagaimana ditetapkan
dalam Lampiran V Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 7

(1) Paling lama 1 (satu) Tahun setelah memperoleh persetujuan Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 85

pengalihan harta dengan menggunakan nilai buku, Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
ayat (6) yang akan menjual sahamnya di bursa efek harus sudah mengajukan pernyataan pendaftaran
kepada Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) dalam rangka penawaran
umum perdana (initial public offering) dan pernyataan pendaftaran tersebut telah menjadi efektif;
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 2 (dua) tahun,
dalam hal keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak, dengan persetujuan Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang;
(3) Apabila setelah lewat jangka waktu 3 (tiga) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
Wajib Pajak belum dapat melaksanakan penawaran umum perdana (initial public offering), jangka
waktu tersebut dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) tahun setelah mendapat persetujuan dari
Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 8

(1) Apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun Direktur Jenderal Pajak melalui penelitian atau pemeriksaan
menemukan bukti bahwa merger atau pemekaran usaha tidak memenuhi persyaratan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan/atau Pasal 6, nilai pengalihan harta dalam rangka merger
atau pemekaran usaha berdasarkan nilai buku dihitung kembali berdasarkan nilai pasar.
(2) Apabila Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, nilai pengalihan
harta atas pemekaran usaha yang dilakukan berdasarkan nilai buku dihitung kembali berdasarkan nilai
pasar.
(3) Kepada Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keputusan pencabutan
atas surat keputusan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) dan ayat (5) dengan
menggunakan bentuk formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VI Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini.
(4) Berdasarkan hasil pemeriksaan dan surat keputusan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak.

Pasal 9

Lampiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 6, dan Pasal 8 merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 10

Permohonan Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam rangka Penggabungan, Peleburan, atau
pemekaran Usaha yang diajukan sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, dilaksanakan dan
diproses sesuai dengan tata cara berdasarkan ketentuan yang berlaku sebelum berlakunya Peraturan Direktur
Jenderal ini.

Pasal 11

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 19 Juni 2008
DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd.

DARMIN NASUTION

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13277

www.ortax.org
Peraturan Direktur Jenderal Pajak :
86 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PER - 33/PJ/2009

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 33/PJ/2009

TENTANG

PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN


BERUPA ROYALTI DARI HASIL KARYA SINEMATOGRAFI

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

dalam rangka memberikan kepastian hukum atas perlakuan Pajak Penghasilan atas penghasilan berupa royalti
dari hasil karya sinematografi, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang perlakuan Pajak
Penghasilan atas penghasilan berupa royalti dari hasil Karya Sinematografi;

Mengingat :

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik lndonesia
Tahun 2008 Nomor 133,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN
BERUPA ROYALTI DARI HASIL KARYA SINEMATOGRAFI.

Pasal 1

(1) Pemanfaatan hasil Karya Sinematografi dapat dilakukan melalui suatu perjanjian penggunaan hasil
Karya Sinematografi:
a. dengan pemindahan seluruh hak cipta tanpa persyaratan tertentu, termasuk tanpa ada
kewajiban pembayaran kompensasi di kemudian hari;
b. dengan memberikan hak menggunakan hak cipta hasil Karya Sinematografi kepada pihak lain
untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya,dengan
persyaratan tertentu seperti penggunaan Karya Sinematografi untuk jangka waktu atau
wilayah tertentu;
c. dengan memberikan hak menggunakan hak cipta hasil Karya Sinematografi kepada pihak lain
untuk mengumumkan ciptaannya dengan menggunakan pola bagi hasil antara pemegang hak
cipta dan pengusaha bioskop; atau
d. dengan memberikan hak menggunakan hak cipta hasil Karya Sinematografi kepada pihak lain
tanpa hak untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak
terkaitnya.
(2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perjanjian yang dilakukan baik secara tertulis
maupun tidak tertulis.

Pasal 2

(1) Penghasilan yang diterima atau diperoleh pemegang hak cipta dari penggunaan hasil Karya
Sinematografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a dan huruf d, tidak termasuk
dalam pengertian royalti.
(2) Penghasilan yang diterima atau diperoleh pemegang hak cipta dari pemberian hak menggunakan hak
cipta kepada pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b dan huruf c, termasuk
dalam pengertian royalti.

Pasal 3

Jumlah royalti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang menjadi dasar pengenaan Pajak
Penghasilan adalah:
a. sebesar seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh pemegang hak cipta dalam hal pemanfaatan
dilakukan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b: dan

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 87

b. sebesar 10% dari bagi hasil dalam hal pemanfaatan dilakukan dengan cara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c.

Pasal 4

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
tanggal 04 Juni 2009
DIREKTUR JENDERAL

ttd.

DARMIN NASUTION
NIP 130605098

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13810

www.ortax.org
Peraturan Direktur Jenderal Pajak :
88 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PER - 11/PJ/2015

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 11/PJ/2015

TENTANG

PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN ATAS HADIAH DAN PENGHARGAAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang:

a. bahwa ketentuan mengenai pengenaan Pajak Penghasilan atas hadiah dan penghargaan telah diatur
dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-395/PJ./2001 tentang Pengenaan Pajak
Penghasilan atas Hadiah dan Penghargaan;
b. bahwa dalam rangka memberikan kepastian hukum dan untuk kelancaran pelaksanaan pengenaan Pajak
Penghasilan atas hadiah dan penghargaan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Pengenaan Pajak Penghasilan atas Hadiah dan Penghargaan;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4893);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 132 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Hadiah Undian (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 237, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4040);
3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan
Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekeijaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN ATAS HADIAH DAN
PENGHARGAAN.

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan:


1. Hadiah undian adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan melalui undian;
2. Hadiah atau penghargaan perlombaan adalah hadiah atau penghargaan yang diberikan melalui suatu
perlombaan atau adu ketangkasan;
3. Hadiah sehubungan dengan kegiatan adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
diberikan sehubungan dengan kegiatan yang dilakukan oleh penerima hadiah;
4. Penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan prestasi dalam kegiatan tertentu.

Pasal 2

Penghasilan berupa hadiah dari undian, perlombaan, serta kegiatan dan penghargaan merupakan objek Pajak
Penghasilan.

Pasal 3

(1) Atas hadiah undian dipotong Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008 sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah penghasilan bruto dan bersifat
final oleh penyelenggara undian.
(2) Atas hadiah atau penghargaan perlombaan, hadiah sehubungan kegiatan, dan penghargaan dikenakan
Pajak penghasilan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. dalam hal penerima penghasilan adalah orang pribadi Wajib Pajak dalam negeri, dikenakan

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 89

pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar tarif Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7


Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 dari jumlah penghasilan bruto;
b. dalam hal penerima penghasilan adalah Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap,
dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto
dengan memperhatikan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang
berlaku;
c. dalam hal penerima penghasilan adalah Wajib Pajak badan termasuk Bentuk Usaha Tetap,
dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf a angka 4)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, sebesar 15% (lima belas
persen) dari jumlah penghasilan bruto.

Pasal 4

(1) Pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 tidak berlaku untuk hadiah
langsung dalam penjualan barang atau jasa sepanjang diberikan kepada semua pembeli atau konsumen
akhir tanpa diundi dan hadiah tersebut diterima langsung oleh konsumen akhir pada saat pembelian
barang atau jasa.
(2) Hadiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan objek Pajak Penghasilan yang wajib dilaporkan
dalam Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan Wajib Pajak yang bersangkutan.

Pasal 5

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-395/PJ./2001 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan atas Hadiah dan Penghargaan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 6

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 2015.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 Maret 2015
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

SIGIT PRIADI PRAMUDITO

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15730

www.ortax.org
Keputusan Direktur Jenderal Pajak :
90 Edisi PPh Badan | Maret 2017 KEP - 395/PJ/2001

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR KEP - 395/PJ./2001

TENTANG

PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN ATAS HADIAH DAN PENGHARGAAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

a. Bahwa hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan merupakan Objek Pajak
Penghasilan;
b. bahwa untuk kelancaran pelaksanaan pengenaan Pajak Penghasilan atas hadiah dari undian atau
pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan tersebut, perlu menetapkan Keputusan Direktur Jenderal
Pajak tentang Pengenaan Pajak Penghasilan Atas Hadiah Dan Penghargaan;

Mengingat :

1. Undang-undang. Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3985);
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 132 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan Atas
Hadiah Undian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 237, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4040);
3. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-545/PJ/2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pasal 26 Sehubungan
Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN ATAS HADIAH DAN
PENGHARGAAN.

Pasal 1

Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan :


a. Hadiah undian adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan melalui undian;
b. Hadiah atau penghargaan perlombaan adalah hadiah atau penghargaan yang diberikan melalui suatu
perlombaan atau adu ketangkasan;
c. Hadiah sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan lainnya adalah hadiah dengan nama dan
dalam bentuk apapun yang diberikan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan yang
dilakukan oleh penerima hadiah;
d. penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan prestasi dalam kegiatan tertentu.

Pasal 2

(1) Atas hadiah undian dikenakan Pajak Penghasilan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah
penghasilan bruto dan bersifat final.

(2) Atas hadiah atau penghargaan perlombaan, penghargaan, dan hadiah sehubungan dengan pekerjaan,
jasa, dan kegiatan lainnya dikenakan Pajak Penghasilan dengan ketentuan sebagai berikut
a. Dalam hal penerima penghasilan adalah orang pribadi Wajib Pajak dalam negeri, dikenakan
Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar tarif Pasal 17 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor
17 Tahun 2000 dari jumlah penghasilan bruto;
b. Dalam hal penerima penghasilan adalah Wajib Pajak luar negeri selain BUT, dikenakan Pajak
Penghasilan Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto dengan
memperhatikan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku;
c. Dalam hal penerima penghasilan adalah Wajib Pajak badan termasuk BUT, dikenakan
Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf a angka 4) Undang-undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 91

undang Nomor 17 Tahun 2000, sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah penghasilan
bruto.

Pasal 3

Tidak termasuk dalam pengertian hadiah dan penghargaan yang dikenakan Pajak Penghasilan adalah hadiah
langsung dalam penjualan barang atau jasa sepanjang diberikan kepada semua pembeli atau konsurnen akhir
tanpa diundi dan hadiah tersebut diterima langsung oleh konsumen akhir pada saat pembelian barang atau
jasa.

Pasal 4

Pada saat Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor
SE-02/PJ.33/1998 tanggal 16 Maret 1998 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan Atas Hadiah Dan Penghargaan
dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 5

Keputusan ini berlaku mulai tanggal I Januari 2001.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Juni 2001
DIREKTUR JENDERAL,

ttd,

HADI POERNOMO

Status :

Keputusan Dirjen Pajak - KEP - 395/PJ./2001 Sudah tidak berlaku lagi karena diganti atau
dicabut oleh Peraturan Dirjen Pajak - PER - 11/PJ/2015, Tanggal 3 Mar 2015

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=1238

www.ortax.org
Keputusan Direktur Jenderal Pajak :
92 Edisi PPh Badan | Maret 2017 KEP - 563/PJ./2001

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR KEP - 563/PJ./2001

TENTANG

SAAT PENGAKUAN PENGHASILAN BERUPA KEUNTUNGAN KARENA PEMBEBASAN UTANG YANG DIPEROLEH
DEBITUR TERTENTU DARI PERJANJIAN RESTRUKTURISASI UTANG USAHA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000, Direktur Jenderal Pajak
berwenang untuk menetapkan saat pengakuan penghasilan dan biaya dalam hal-hal tertentu dan
atau bagi Wajib Pajak tertentu sesuai dengan Kebijaksanaan Pemerintah;
b. bahwa dengan sehubungan dengan hal tersebut, perlu untuk menetapkan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak tentang saat pegakuan penghasilan berupa keuntungan karena pembebasan utang
yang diperoleh debitur tertentu dari perjanjian restrukturisasi utang usaha;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan
Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 253, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4055);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG SAAT PENGAKUAN PENGHASILAN BERUPA KEUNTUNGAN
KARENA PEMBEBASAN UTANG YANG DIPEROLEH DEBITUR TERTENTU DARI PERJANJIAN RESTRUKTURISASI
UTANG USAHA.

Pasal 1

Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan debitur tertentu adalah debitur Wajib
Pajak dalam negeri yang melakukan perjanjian restrukturisasi utang usaha dengan Badan Penyehatan
Perbankan Nasional (BPPN) sesuai dengan Kebijaksanaan Pemerintah.

Pasal 2

Saat pengakuan penghasilan atas keuntungan karena pembebasan utang yang diperoleh debitur tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dapat dialokasikan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun,
yaitu dalam jumlah bagian yang sama besarnya setiap tahun dan dimulai dari tahun pajak saat diperolehnya
pembebasan utang.

Pasal 3

(1) Untuk dapat memperoleh persetujuan alokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, debitur harus
mengajukan permohonan tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat debitur terdaftar
sebagai Wajib Pajak, dengan menggunakan formulir seperti tersebut pada Lampiran 1 Keputusan ini.

(2) Permohonan harus diajukan paling lambat sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan tahun
pajak diperolehnya penghasilan tersebut, dengan dilampiri fotokopi perjanjian restrukturisasi utang
usaha yang dilegalisir oleh BPPN.

(3) Kepala Kantor Pelayanan Pajak berwenang menetapkan jangka waktu alokasi yang dapat diberikan
dengan mempertimbangkan besarnya Pajak Penghasilan yang terutang dan kondisi objektif Wajib
Pajak, dengan menggunakan formulir seperti tersebut pada Lampiran II Keputusan ini.

(4) Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus sudah diterbitkan dalam jangka waktu 30

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 93

(tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya permohonan.

Pasal 4

Pada saat berlakunya Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini, Keputusan Direktur Jenderal pajak Nomor
KEP-237/PJ./2001 tanggal 28 Maret 2001 dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 5

Keputusan Direktur Jenderal pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 8 Agustus 2001
DIREKTUR JENDERAL,

ttd

HADI POERNOMO

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=1264

www.ortax.org
Keputusan Direktur Jenderal Pajak :
94 Edisi PPh Badan | Maret 2017 KEP - 184/PJ./2002

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR KEP - 184/PJ./2002

TENTANG

PENGAKUAN PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BANK BERUPA BUNGA KREDIT NON PERFORMING

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000, Direktur Jenderal Pajak
berwenang menetapkan saat pengakuan penghasilan dan biaya dalam hal-hal tertentu dan atau bagi
Wajib Pajak tertentu sesuai dengan kebijaksanaan Pemerintah;
b. bahwa perlakuan pajak atas penghasilan bank berupa bunga kredit non performing perlu diatur khusus
untuk menunjang percepatan proses restrukturisasi perbankan sesuai dengan kebijaksanaan
Pemerintah;
c. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas dan dengan adanya perubahan Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan/PSAK nomor 31 tentang Akuntansi Perbankan (revisi tahun 2000), perlu
menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Pengakuan Penghasilan Atas Penghasilan
Bank Berupa Bunga Kredit Non Performing;

Menimbang :

1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 126,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984);
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983
Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3985);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Dan
Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 253,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4055);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PENGAKUAN PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BANK
BERUPA BUNGA KREDIT NON-PERFORMING

Pasal 1

Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan kredit non-performing adalah kredit yang
diberikan oleh bank yang digolongkan sebagai kredit kurang lancar, diragukan, dan macet.

Pasal 2

(1) Penghasilan bank berupa bunga kredit non-performing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 diakui
pada saat penghasilan bunga tersebut diterima oleh bank (cash basis).

(2) Dalam hal bank membukukan penerimaan bunga kredit non-performing sebagai pengurang pokok
kredit, saat pengakuan penghasilan ditunda hingga saat diterimanya penghasilan bunga setelah
pelunasan pokok kredit.

Pasal 3

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berlaku sepanjang debitur yang terkait melakukan
Penyesuaian saat pengakuan biaya bunga kredit non-performing dengan cara yang sama.

Pasal 4

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 95

(1) Bank wajib menyerahkan daftar debitur yang kreditnya digolongkan kurang lancar, diragukan, dan
macet kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat bank terdaftar sebagai Wajib Pajak sebagai lampiran
dari SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang bersangkutan.

(2) Daftar debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat nomor urut, nama debitur, alamat,
NPWP, jumlah kredit non-performing yang digolongkan kurang lancar, diragukan, dan macet, serta
jumlah bunga yang terutang (accrual basis) yang belum diakui sebagai penghasilan pada tanggal
laporan keuangan dengan menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I, Lampiran
II dan Lampiran III Keputusan ini.

Pasal 5

Pada saat Keputusan Direktur Jenderal ini mulai berlaku, Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-273/PJ./1998 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-44/PJ.42/1998 tanggal 30 Desember
1998, dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 6

Keputusan ini mulai berlaku pada tahun pajak 2001.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini
dengan menempatkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 April 2002
DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd

HADI POERNOMO

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=1292

www.ortax.org
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak :
96 Edisi PPh Badan | Maret 2017 SE - 06/PJ.313/1994

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
10 Oktober 1994

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 06/PJ.313/1994

TENTANG

PERLAKUAN PPh ATAS WP PENGUSAHA LAPANGAN GOLF

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Bersama ini disampaikan kepada Saudara Petunjuk tentang perlakuan PPh terhadap Wajib Pajak yang
bergerak di bidang usaha lapangan golf, sebagai berikut :

1. Semua pengusaha lapangan golf dan atau lapangan practice golf baik yang berbentuk Perseroan
Terbatas, Yayasan, Perkumpulan atau bentuk usaha lainnya serta usaha perseorangan, sesuai dengan
Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 merupakan Subyek Pajak dan harus memiliki
NPWP.

2. Sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 bahwa semua penghasilan
yang merupakan tambahan kemampuan ekonomis Wajib Pajak dan dapat digunakan untuk konsumsi
maupun menambah kekayaan merupakan obyek Pajak Penghasilan. Dengan demikian penghasilan
pengusaha lapangan golf yang berupa iuran, jaminan, uang pangkal serta penghasilan lainnya yang
berkaitan dengan usaha tersebut merupakan obyek PPh. Pengusaha lapangan golf dan atau lapangan
practice golf tersebut ada pula yang mempunyai penghasilan dari usaha tambahan seperti fitness
center, kolam renang, restoran, penginapan dan sebagainya.

3. Sistem keanggotaan pada suatu lapangan golf dapat dikelompokkan :


3.1. Anggota yang sekaligus pemegang saham perusahaan.
Keanggotaan lapangan golf ini dikaitkan dengan kepemilikan saham Perseroan Terbatas usaha
lapangan golf tersebut. Keanggotaan ini dapat dipindahtangankan (transferable) sesuai
dengan sifat saham yang dapat dipindahtangankan.

3.2. Anggota yang statusnya bukan merupakan pemilik atau pemegang saham.
Kelompok anggota lapangan golf yang bukan sebagai pemegang saham, menjadi anggota
dengan cara membayar uang pangkal atau uang jaminan (deposit).
Keanggotaan ini ada yang dapat dipindahtangankan (transferable) dan ada yang tidak dapat
dipindahtangankan (non transferable), sedangkan uang jaminan (deposit) tersebut ada yang
dapat diminta kembali dalam jangka waktu tertentu (refundable) dan ada yang tidak boleh
diminta kembali (non refundable).

4. Perlakuan fiskal atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pengusaha lapangan golf adalah
sebagai berikut :
4.1. Untuk sistem yang mengkaitkan anggota dengan kepemilikan perusahaan (anggota sekaligus
sebagai pemegang saham), pengusaha menerima dari para anggota berupa penyetoran
modal sebagai pembayaran atas saham. Penerimaan dari penyetoran modal ini bukan
merupakan obyek PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-undang Pajak
Penghasilan 1984.

4.2. Untuk sistem keanggotaan yang tidak mengkaitkan dengan kepemilikan perusahaan,
penghasilan yang utama dari pengusaha lapangan golf yang diterima dari para anggota adalah
berupa uang jaminan atau deposit dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang biasanya
akan dikembalikan setelah jangka waktu tertentu. Penghasilan berupa deposit ini merupakan
penghasilan yang menjadi obyek PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-
undang Pajak Penghasilan 1984. Perlakuan PPh atas uang jaminan atau deposit anggota ini
tidak memperhatikan apakah setelah pengembalian deposit tersebut, anggota yang
bersangkutan masih tetap sebagai anggota atau tidak lagi menjadi anggota.

4.3. Untuk kedua sistem keanggotaan baik yang mengkaitkan dengan kepemilikan ataupun yang
tidak, penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan pengusaha lapangan golf
dan atau lapangan practice golf, antara lain :
a. Uang pangkal, adalah suatu jumlah pembayaran tertentu yang harus dipenuhi oleh
calon anggota dan jumlah tersebut tidak dapat dipindahtangankan atau diminta
kembali.
b. Uang jaminan atau deposit dengan nama apapun.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 97

c. Imbalan sehubungan dengan pemindahan keanggotaan (transfer fee) atau penyewaan


kartu anggota.
d. Entrance fee/green fee atas pemakaian lapangan golf baik yang sehari-hari
dibebankan kepada anggota maupun non anggota.
e. Iuran anggota bulanan atau tahunan.
f. Imbalan atas penggunaan lapangan practice golf dan fasilitas lainnya.

5. Perlakuan Pajak Penghasilan terhadap uang jaminan atau deposit anggota.


5.1. Uang jaminan atau deposit anggota yang dapat dikembalikan dalam jangka waktu tertentu
(refundable), yang selama ini dibukukan sebagai uang jaminan atau utang, yang diterima
atau diperoleh mulai 1 Januari 1994 atau mulai awal tahun buku 1994 wajib dibukukan
sebagai penghasilan tahun pajak 1994.

Dengan demikian mulai tahun pajak 1994 tidak ada lagi penambahan jumlah Rekening Uang
Jaminan anggota atau Rekening Utang kepada anggota pada sisi kredit neraca perusahaan.

5.2. Mulai tahun pajak 1994 apabila anggota meminta kembali depositnya, maka pengembalian
tersebut dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan dalam tahun pajak pengembalian
deposit tersebut dilakukan, sepanjang uang deposit itu telah dibukukan sebagai penghasilan
perusahaan, yaitu untuk pengembalian deposit yang diterima mulai tahun pajak 1994. Dalam
hal pengembalian uang deposit anggota merupakan pengembalian terhadap deposit yang
disetor sebelum tahun pajak 1994 yang dibukukan sebagai utang atau jaminan, maka
pengembalian tersebut bukan merupakan biaya perusahaan, tetapi merupakan pembayaran
utang karena pada waktu diterima bukan merupakan penghasilan pengusaha lapangan golf.

6. Dalam hal Wajib Pajak pengusaha lapangan golf memperoleh atau menerima penghasilan lain,
misalnya: penghasilan restoran, sewa ruangan, fitness centre, kolam renang, penginapan dan
sebagainya, maka penghasilan tersebut harus digabung dengan penghasilan sebagaimana tersebut
pada butir 4 di atas dan harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak penghasilan.

7. Para Kepala KPP agar menembuskan Surat Edaran ini kepada para Wajib Pajak yang mengusahakan
lapangan golf dan atau lapangan practice golf dan mengawasi pemenuhan kewajiban pajaknya.

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

FUAD BAWAZIER

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=2454

www.ortax.org
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak :
98 Edisi PPh Badan | Maret 2017 SE - 34/PJ.4/1995

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
4 Juli 1995

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 34/PJ.4/1995

TENTANG

PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN BAGI YAYASAN ATAU ORGANISASI YANG SEJENIS


(SERI PPh UMUM NOMOR 15)

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, tentang Perubahan Undang-undang Nomor
7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991, dengan ini diberikan
penegasan tentang perlakuan Pajak Penghasilan bagi yayasan atau organisasi yang sejenis mulai tahun pajak
1995 sebagai berikut :

1. Umum
Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, yayasan atau organisasi yang sejenis
adalah Subjek Pajak Pajak Penghasilan.

2. Penghasilan yayasan atau organisasi yang sejenis yang bukan merupakan Objek Pajak.
Penerimaan yayasan atau organisasi yang sejenis dapat dibedakan antara penerimaan yang bukan
Objek Pajak dan penerimaan yang merupakan Objek Pajak.

Penerimaan atau penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak berdasarkan Pasal 4 ayat (3)
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 antara lain :
a. 1) bantuan atau sumbangan;
2) harta hibahan yang diterima oleh yayasan atau organisasi yang sejenis sebagai badan
keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial sebagaimana dimaksud dalam
Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 604/KMK.04/1994 tanggal 21 Desember 1994;

sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan
antara pihak yang memberi dengan pihak yang menerima. Apabila bantuan, sumbangan atau
hibah tersebut berupa harta yang dapat disusutkan atau diamortisasi, harta tersebut harus
dibukukan oleh pihak yang menerima sesuai dengan nilai sisa buku pihak yang memberikan.

b. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh yayasan atau organisasi yang sejenis
dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan
di Indonesia.

c. bantuan atau sumbangan dari Pemerintah.

3. Penghasilan yayasan atau organisasi yang sejenis yang merupakan Objek Pajak Penghasilan.
3.1. Penghasilan yang merupakan Objek Pajak adalah semua penghasilan yang diterima atau
diperoleh yayasan atau organisasi yang sejenis sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4 ayat
(1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
undang Nomor 10 Tahun 1994 antara lain adalah :
a. penghasilan yang diterima atau diperoleh dari usaha, pekerjaan, kegiatan, atau jasa;
b. bunga deposito, bunga obligasi, diskonto SBI dan bunga lainnya;
c. sewa dan imbalan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
d. keuntungan dari pengalihan harta, termasuk keuntungan pengalihan harta yang
semula berasal dari bantuan, sumbangan atau hibah;
e. pembagian keuntungan dari kerja sama usaha.

3.2. Bagi yayasan atau organisasi yang sejenis yang bergerak di bidang pendidikan, termasuk
penghasilan pada butir 3.1. huruf a adalah :
a. uang pendaftaran dan uang pangkal;
b. uang seleksi penerimaan siswa/mahasiswa/peserta pendidikan;
c. uang pembangunan gedung/pengadaan prasarana atau pembayaran lainnya
dengan nama apapun yang berkaitan dengan keberadaan siswa/ mahasiswa/peserta
pendidikan;
d. uang SPP, uang SKS, uang ujian, uang kursus, uang seminar/lokakarya, dan
sebagainya;

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 99

e. penghasilan dari kontrak kerja dalam bidang penelitian dan sebagainya;


f. penghasilan lainnya yang dikaitkan dengan jasa penyelenggaraan pengajaran/
pendidikan/pelatihan dengan nama dan dalam bentuk apapun.

3.3. Bagi yayasan atau organisasi yang sejenis yang bergerak di bidang pelayanan kesehatan,
termasuk penghasilan pada butir 3.1. huruf a adalah :
a. uang pendaftaran untuk pelayanan kesehatan;
b. sewa kamar/ruangan di rumah sakit, poliklinik, pusat pelayanan kesehatan;
c. penghasilan dari perawatan kesehatan seperti uang pemeriksaan dokter, operasi,
rontgent, scaning, pemeriksaan laboratorium, dan sebagainya;
d. uang pemeriksaan kesehatan termasuk "general check up";
e. penghasilan dari penyewaan alat-alat kesehatan, mobil ambulance dan
sebagainya;
f. penghasilan dari penjualan obat;
g. penghasilan lainnya sehubungan dengan penyelenggaraan pelayanan kesehatan
dengan nama dan dalam bentuk apapun.

4. Pengurangan penghasilan bruto.


Untuk memperoleh penghasilan neto, yayasan atau organisasi yang sejenis diperkenankan
mengurangkan :
a. biaya-biaya yang berhubungan langsung dengan usaha, pekerjaan, kegiatan atau pemberian
jasa untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau biaya yang
berhubungan langsung dengan operasional penyelenggaraan yayasan atau organisasi yang
sejenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan dengan memperhatikan Pasal 9
ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994;

b. penyusutan atau amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta yang mempunyai masa
manfaat lebih dari satu tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1994.

c. subsidi/bea siswa yang diberikan kepada siswa yang kurang mampu ataupun biaya pendidikan
siswa yang kurang mampu yang dipikul oleh yayasan atau organisasi yang sejenis yang tidak
bergerak di bidang pendidikan, biaya pelayanan kesehatan pasien yang kurang mampu yang
dipikul oleh yayasan atau organisasi yang sejenis yang tidak bergerak di bidang pelayanan
kesehatan.

5. Subsidi atau pembebanan biaya bagi pasien/siswa yang kurang mampu.


Dalam hal pasien/siswa yang kurang mampu diberikan pembebasan sebagian atau seluruh biaya
pelayanan kesehatan/pendidikan oleh yayasan atau organisasi yang sejenis yang bergerak di bidang
pelayanan kesehatan/pendidikan, maka subsidi tersebut dibukukan sebagai berikut :
a. sejumlah bagian yang benar-benar di bayar oleh pasien/siswa merupakan penghasilan, dan
biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya-biaya sebagaimana
dimaksud dalam butir 4 huruf a dan b di atas; atau
b. sejumlah yang seharusnya diterima atau diperoleh yayasan atau organisasi yang sejenis
merupakan penghasilan, dan sejumlah subsidi (selisih antara yang seharusnya diterima
yayasan atau organisasi yang sejenis dengan yang benar-benar dibayar oleh pasien/siswa)
merupakan tambahan biaya.

Apabila yayasan atau organisasi yang sejenis memberikan subsidi sebagian atau seluruh biaya
pelayanan kesehatan/pendidikan kepada pasien/siswa yang kurang mampu yang dirawat/bersekolah
di rumah sakit/sekolah yang bernaung di bawah yayasan lain, maka pengeluaran subsidi dimaksud
dapat ditambahkan sebagai biaya oleh yayasan atau organisasi yang sejenis yang memberikan
subsidi tersebut.

6. Penghasilan Kena Pajak.


6.1. Penghasilan Kena Pajak yayasan atau organisasi yang sejenis yang dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan adalah gunggungan penghasilan pada butir 3, kecuali penghasilan
yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final, dikurangi dengan butir 4 dan dengan
memperhatikan butir 5. Atas selisih lebih dikenakan pajak penghasilan berdasarkan tarif
Pasal 17 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, dan apabila menunjukkan selisih negatif tidak
terutang pajak penghasilan.

6.2. Dalam menghitung gunggungan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada butir
6.1. tidak termasuk penghasilan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan secara final,
misalnya pajak penghasilan atau bunga deposito, penjualan saham di bursa efek.

www.ortax.org
100 Edisi PPh Badan | Maret 2017

7. Kewajiban pembukuan dan penyampaian SPT.


7.1. Yayasan atau organisasi yang sejenis diwajibkan menyelenggarakan pembukuan sesuai
dengan ketentuan Pasal 28 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 beserta peraturan pelaksanaannya.

7.2. Yayasan atau organisasi yang sejenis wajib menyampaikan SPT Tahunan dan SPT masa PPh
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Demikian untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, dan disebar-luaskan kepada yayasan atau organisasi
yang sejenis di wilayah kerja Saudara.

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

FUAD BAWAZIER

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=2603

www.ortax.org
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak :
SE - 34/PJ.42/1996 Edisi PPh Badan | Maret 2017 101

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
9 September 1996

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 34/PJ.42/1996

TENTANG

PERLAKUAN PPh ATAS UANG JAMINAN KEANGGOTAAN CLUB MEMBERSHIP. (SERI PPh UMUM NOMOR 39)

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan perihal tersebut diatas, dengan ini disampaikan kepada Saudara
penegasan tentang perlakuan PPh terhadap Wajib Pajak yang bergerak dibidang Club Membership, sebagai
berikut :

1. Semua pengusaha Club membership seperti Sport Center, Fitness Center, Health Center, dan resort
yang berbentuk Perseroan Terbatas, Perkumpulan atau bentuk usaha lainnya serta usaha
perseorangan, sesuai Pasal 2 ayat (1) UU PPh 1984 merupakan subjek pajak dan harus memiliki
NPWP.

2. Pada dasarnya sistem keanggotaan pada suatu club membership adalah sama dengan sistim
keanggotaan pada club golf sebagaimana ditegaskan dalam SE-06/PJ313/1994 tanggal 10 Oktober
1994, dapat dikelompokkan:
2.1. Anggota yang sekaligus pemegang saham perusahaan club membership ini dikaitkan dengan
kepemilikan saham Perseroan Terbatas tersebut. Keanggotaan ini dapat dipindahtangankan
(transferable), sesuai dengan sifat saham yang dapat dipindahtangankan.

2.2. Anggotan yang statusnya bukan merupakan pemilik atau pemegang saham. Kelompok
anggota club membership yang bukan sebagai pemegang saham, menjadi anggota dengan
cara membayar uang pangkal atau uang jaminan (deposit).

Keanggotaan ini ada yang dapat dipindahtangankan (transferable) dan ada yang tidak dapat
dipindahtangankan (non-transferable), sedangkan uang jaminan (deposit) tersebut ada yang
dapat diminta kembali dalam jangka waktu tertentu (refundable) dan ada yang tidak boleh
diminta kembali (non-refundable).

3. Oleh karena itu perlakuan fiskal atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pengusaha club
membership, termasuk perlakuan PPh terhadap Uang Jaminan (deposit) anggota, juga mengacu
kepada SE-06/PJ.313/1994 tersebut diatas.

4. Para Kepala KPP agar menembuskan SE ini kepada para Wajib Pajak yang mengusahakan club
membership dan mengawasi pemenuhan kewajiban pajaknya.

Demikian untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

FUAD BAWAZIER

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=2785

www.ortax.org
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak :
102 Edisi PPh Badan | Maret 2017 SE - 03/PJ.42/2000

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
17 Pebruari 2000

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 03/PJ.42/2000

TENTANG

PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN


ATAS PREMI ASURANSI YANG BERJANGKA WAKTU LEBIH DARI 1 (SATU) TAHUN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan adanya pertanyaan mengenai Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor :
SE-20/PJ.4/1995 tanggal 6 Pebruari 1995 tentang Besarnya Cadangan Yang Boleh Dibebankan Sebagai Biaya,
dipandang perlu untuk memberikan penegasan lebih lanjut sebagai berikut :

1. Berdasarkan ketentuan dan penjelasan Pasal 28 ayat (7) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
9 Tahun 1994, Pembukuan diselenggarakan berdasarkan prinsip taat azas dan dengan stelsel akrual
atau stelsel kas. Stelsel akrual adalah suatu metoda penghitungan penghasilan dan biaya dalam arti
penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada waktu terutang. Jadi tidak tergantung
kapan penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu dibayar tunai. Stelsel kas, yang untuk tujuan
perpajakan juga disebut stelsel campuran, adalah suatu metode yang penghitungannya didasarkan
atas penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayarkan secara tunai dengan memperhatikan
antara lain bahwa penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh
penjualan, baik yang tunai maupun yang bukan.

2. Berdasarkan Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 80/KMK.04/1995 tanggal 6 Pebruari 1995,
perusahaan asuransi kerugian dapat membentuk dana cadangan premi tanggungan sendiri yang
merupakan premi yang sudah diterima atau diperoleh akan tetapi belum merupakan penghasilan pada
tahun pajak yang bersangkutan. Besarnya cadangan premi adalah 40% dari jumlah premi tanggungan
sendiri yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak yang bersangkutan. Cadangan premi tersebut
merupakan penghasilan pada tahun pajak berikutnya.

3. Pada butir 4 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-20/PJ.4/1995 tanggal 26 April 1995,
ditegaskan bahwa cadangan premi untuk perusahaan asuransi kerugian pada prinsipnya merupakan
jumlah premi yang diterima lebih dahulu (unearned premium). Oleh karena itu penghasilan yang
diterima lebih dahulu tersebut baru akan merupakan Objek Pajak Penghasilan pada tahun pajak
berikutnya. Dengan demikian untuk perusahaan asuransi kerugian, seluruh premi asuransi tanggungan
sendiri yang diterima atau diperoleh dalam satu tahun pajak dimasukkan ke dalam Penghasilan Kena
Pajak pada tahun pajak yang bersangkutan, dan kemudian sebesar 40% (empat puluh persen) dari
jumlah premi tersebut merupakan cadangan premi yang dibebankan sebagai biaya pada tahun pajak
yang sama. Yang dimaksud dengan premi asuransi tanggungan sendiri adalah premi bruto dikurangi
dengan premi reasuransi.

4. Pengertian diterima atau diperoleh-nya premi asuransi sebagai Penghasilan Kena Pajak tahun pajak
yang bersangkutan adalah didasarkan pada metode pembukuan yang dianut Wajib Pajak secara taat
asas, yaitu stelsel akrual atau stelsel kas.

Yang dimaksud dengan Premi asuransi yang sudah diterima atau diperoleh akan tetapi belum
merupakan penghasilan pada tahun pajak yang bersangkutan adalah cadangan premi yang dibentuk
pada tahun tersebut yang baru merupakan penghasilan pada tahun berikut.

5. Premi asuransi yang dibayar sekaligus oleh pemegang polis berkenaan dengan periode pertanggungan
yang lebih dari 1 tahun pengakuan penghasilannya dikaitkan dengan metode pembukuan yang dianut
Wajib Pajak:
a. apabila metode pembukuan yang digunakan Wajib Pajak adalah stelsel akrual, maka
pengakuan penghasilan atas premi asuransi tersebut dialokasikan secara proposional ke tahun-
tahun yang meliputi periode pertanggungan tersebut.
b. apabila metode pembukuan yang digunakan Wajib Pajak adalah stelsel kas/stelsel campuran
maka pengakuan penghasilannya adalah :
- Dalam hal premi asuransi tersebut diterima dimuka, maka diakui pada saat premi
tersebut diterima.
- Dalam hal premi asuransi diterima setelah masa pertanggungan maka premi tersebut
dialokasikan selama masa pertanggungan.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 103

Dasar penghitungan cadangan premi adalah penghasilan premi asuransi tanggungan sendiri dari masing-
masing tahun.

Demikian untuk dilaksanakan sebaik-baiknya.

DIREKTUR JENDERAL

ttd

MACHFUD SIDIK

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=1621

www.ortax.org
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak :
104 Edisi PPh Badan | Maret 2017 SE - 01/PJ.33/2005

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
19 Januari 2005

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 01/PJ.33/2005

TENTANG

PEMBERIAN IMBALAN BUNGA KEPADA WAJIB PAJAK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan mengenai pemotongan PPh Pasal 23 atas pemberian imbalan
bunga berkenaan dengan pengembalian kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Surat Keputusan
Keberatan, atau Putusan Banding, atau Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi
sebagai akibat adanya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding, dengan ini diberikan penjelasan sebagai
berikut :

1. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 tahun 2000, yang menjadi Objek
Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam
bentuk apapun.

2. Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 tahun 2000, atas penghasilan
tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh
badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap,
atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha
tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% (lima belas persen) dari
jumlah bruto atas :
a. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g;
b. bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f;
c. royalti;
d. hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e;

3. Berdasarkan butir 5 a Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.42/2002 tanggal 02 April
2002 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Pemberian Imbalan Bunga kepada Wajib Pajak,
imbalan bunga yang diterima oleh Wajib Pajak berkenaan dengan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak berdasarkan Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, atau Surat
Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat adanya Keputusan
Keberatan atau Putusan Banding, adalah merupakan Objek Pajak Penghasilan.

4. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa pemberian imbalan
bunga kepada Wajib Pajak berkenaan dengan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
berdasarkan Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, atau Surat Keputusan Pengurangan atau
Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat adanya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding
adalah merupakan Objek Pajak Penghasilan, tetapi bukan merupakan Objek Pemotongan PPh Pasal
23.
Dengan demikian, imbalan bunga tersebut merupakan penghasilan yang harus dilaporkan dalam SPT
Tahunan.

5. Selanjutnya Kepala KPP yang menerbitkan Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga kepada Wajib
Pajak, agar membuat Alat Keterangan (KP Data) pembayaran imbalan bunga untuk memastikan
bahwa imbalan bunga tersebut dilaporkan Wajib Pajak dalam SPT Tahunan untuk tahun pajak
diterimanya imbalan bunga.

Demikian untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Direktur Jenderal

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 105

ttd.

Hadi Poernomo
NIP 060027375

Tembusan Yth :
1. Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan;
2. Inspektur Jenderal Departemen Keuangan;
3. Kepala Biro Hukum Departemen Keuangan;
4. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak;
5. Para Direktur dan para Tenaga Pengkaji di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak;

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=9330

www.ortax.org
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak :
106 Edisi PPh Badan | Maret 2017 SE - 29/PJ/2015

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
____________________________________________________________________________________________
13 April 2015

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 29/PJ/2015

TENTANG

PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN


NOMOR 43/PMK.03/2008 TENTANG PENGGUNAAN NILAI BUKU ATAS
PENGALIHAN HARTA DALAM RANGKA PENGGABUNGAN, PELEBURAN,
ATAU PEMEKARAN USAHA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. Umum

Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan mengenai pelaksanaan dan penatausahaan permohonan


penggunaan nilai buku atas pengalihan harta dalam rangka merger atau pemekaran usaha, dengan ini
dipandang perlu untuk menetapkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak sebagai pengganti Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-45/PJ/2008.

B. Maksud dan Tujuan

1. Penerbitan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini dimaksudkan untuk memberikan acuan
dalam rangka pelaksanaan dan penatausahaan permohonan penggunaan nilai buku atas
pengalihan harta dalam rangka merger atau pemekaran usaha sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2008 tentang Penggunaan Nilai Buku atas
Pengalihan Harta dalam rangka Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha.

2. Penerbitan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini bertujuan agar pelaksanaan dan
penatausahaan permohonan penggunaan nilai buku atas pengalihan harta dalam rangka
merger atau pemekaran usaha dapat berjalan dengan baik dan terdapat keseragaman dalam
pelaksanaannya.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini meliputi Wajib Pajak badan dalam negeri yang
melakukan pengalihan harta dalam rangka merger atau pemekaran usaha dengan menggunakan nilai
buku.

D. Dasar

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2008 tentang Penggunaan Nilai Buku atas
Pengalihan Harta dalam rangka Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha.
3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ./2008 tentang Persyaratan Dan Tata Cara
Pemberian Izin Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan Harta Dalam Rangka Penggabungan,
Peleburan, atau Pemekaran Usaha.

E. Materi

1. Wajib Pajak yang dapat menggunakan nilai buku atas pengalihan harta berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2008 adalah:
a. Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dalam rangka merger, yang meliputi
penggabungan usaha atau peleburan usaha;

b. Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dalam rangka pemekaran usaha, yaitu:
1) Wajib Pajak yang belum go public yang akan melakukan penawaran umum
perdana (Initial Public Offering); atau
2) Wajib pajak yang telah go public sepanjang seluruh badan usaha hasil

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 107

pemekaran melakukan penawaran umum perdana (Initial Public Offering).

2. Dalam hal Wajib Pajak melakukan penggabungan usaha, Wajib Pajak yang menerima
pengalihan harta merupakan Wajib Pajak yang tidak mempunyai sisa kerugian atau mempunyai
sisa kerugian yang lebih kecil dibandingkan dengan Wajib Pajak yang mengalihkan harta
berdasarkan sisa kerugian fiskal dan komersial.

3. Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dalam rangka merger atau pemekaran usaha
wajib memenuhi seluruh persyaratan sebagai berikut:
a. mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan melampirkan alasan
dan tujuan melakukan merger dan pemekaran usaha;
b. melunasi seluruh utang pajak dari tiap badan usaha yang terkait; dan
c. memenuhi persyaratan tujuan bisnis (business purpose test).

4. Laporan Keuangan dari Wajib Pajak yang mengalihkan harta dan Laporan Keuangan dari Wajib
Pajak yang menerima harta khususnya untuk tahun pajak dilakukannya pengalihan harta harus
diaudit oleh akuntan publik.

5. Penanganan permohonan izin penggunaan nilai buku atas pengalihan harta dalam rangka
merger atau pemekaran usaha
a. Permohonan izin penggunaan nilai buku atas pengalihan harta dalam rangka merger
atau pemekaran usaha diajukan Wajib Pajak kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak yang membawahi Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak pemohon
terdaftar, paling lama 6 (enam) bulan setelah tanggal efektif merger atau pemekaran
usaha dilakukan.

b. Permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a di atas dapat diajukan oleh:


1) Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta, dalam hal dilakukan merger;
atau
2) Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta, dalam hal dilakukan pemekaran
usaha.

c. Penanganan permohonan pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak


1) Penelitian kelengkapan permohonan Wajib Pajak
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak melakukan penelitian atas
permohonan Wajib Pajak beserta lampiran dan dokumen pendukungnya
mengenai pemenuhan persyaratan sebagai berikut:
a) Surat pernyataan mengenai alasan dan tujuan merger sesuai dengan
merger plan;
b) Pelunasan seluruh utang pajak oleh Wajib Pajak yang mengalihkan
harta dan Wajib Pajak yang menerima harta termasuk utang pajak
dari cabang atau perwakilan yang terdaftar di Kantor Pelayanan
Pajak - Kantor Pelayanan Pajak lokasi;
c) Business purpose test
i. Business purpose test wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak yang
melakukan merger atau pemekaran usaha baik dalam bidang
usaha yang sama maupun dalam bidang usaha yang tidak
sama.
ii. Daftar isian dalam rangka business purpose test
memperlihatkan bahwa:
1. merger atau pemekaran usaha bertujuan menciptakan
sinergi usaha yang kuat, memperkuat struktur
permodalan, dan tidak dilakukan untuk penghindaran
pajak.
2. khusus untuk penggabungan usaha, apabila Wajib
Pajak yang menerima pengalihan harta (surviving
Company) mempunyai kerugian/sisa kerugian, maka
kerugian tersebut harus lebih kecil dari kerugian/sisa
kerugian Wajib Pajak yang mengalihkan harta
(transferor Company) berdasarkan sisa kerugian
fiskal dan komersial.
iii. Wajib Pajak wajib melampirkan surat pernyataan yang
menerangkan bahwa:
1. kegiatan usaha Wajib Pajak yang mengalihkan harta
masih berlangsung sampai dengan tanggal efektif
merger;
2. kegiatan usaha Wajib Pajak yang mengalihkan harta
sebelum merger terjadi tetap dilanjutkan oleh Wajib

www.ortax.org
108 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Pajak yang menerima pengalihan harta paling singkat


5 (lima) tahun setelah tanggal efektif merger;
3. kegiatan usaha Wajib Pajak yang menerima harta
dalam rangka merger tetap berlangsung paling
singkat 5 (lima) tahun setelah tanggal efektif merger;
4. Kegiatan usaha Wajib Pajak yang menerima harta
dalam rangka pemekaran usaha berlangsung paling
singkat 5 (lima) tahun setelah tanggal efektif
pemekaran usaha; dan
5. harta yang dimiliki oleh Wajib Pajak yang menerima
harta setelah terjadinya merger atau pemekaran
usaha tidak dipindahtangankan oleh Wajib Pajak yang
menerima harta paling singkat 2 (dua) tahun setelah
tanggal efektif merger atau pemekaran usaha.

2) Permintaan kelengkapan permohonan Wajib Pajak


a) Dalam hal berdasarkan penelitian kelengkapan permohonan Wajib
Pajak terdapat dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud pada
huruf E butir 5 huruf c angka 1) yang belum disampaikan oleh Wajib
Pajak, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan
surat permintaan kelengkapan kepada Wajib Pajak paling lama
15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya permohonan.
b) Permintaan kelengkapan sebagaimana dimaksud pada huruf a) wajib
dipenuhi oleh Wajib Pajak yang bersangkutan dengan jangka waktu
paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya surat
permintaan kelengkapan dari Kepala Kantor Wilayah.

3) Konfirmasi Utang Pajak


a) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak menyampaikan
permintaan konfirmasi utang pajak kepada Kepala Kantor Pelayanan
Pajak mengenai pelunasan seluruh utang pajak dari tiap badan usaha
yang terkait paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak permohonan
diterima.
b) Apabila Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak memberikan jawaban
atas permintaan konfirmasi yang dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak sampai dengan jangka waktu paling lama
10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak disampaikannya permintaan
konfirmasi, proses pemberian izin penggunaan nilai buku atas
pengalihan harta dalam rangka merger atau pemekaran usaha tetap
dilakukan dengan memberikan catatan pada kertas kerjanya.
c) Apabila dikemudian hari diperoleh data bahwa Wajib Pajak yang telah
diberikan izin penggunaan nilai buku sebagaimana dimaksud pada
huruf b) di atas belum melunasi seluruh utang pajak dari tiap badan
usaha yang terkait sampai dengan diterbitkannya surat keputusan
persetujuan penggunaan nilai buku atas pengalihan harta dalam
rangka merger atau pemekaran usaha, nilai pengalihan harta dalam
rangka merger atau pemekaran usaha berdasarkan nilai buku dihitung
kembali berdasarkan nilai pasar.
d) Berdasarkan data yang diperoleh sebagaimana dimaksud dalam
huruf c), Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama
Direktur Jenderal Pajak segera menerbitkan surat keputusan
pencabutan atas surat keputusan yang telah diterbitkan paling lama
7 (tujuh) hari kerja setelah data diperoleh.

4) Koordinasi dengan Kantor Wilayah terkait


a) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang menerima
permohonan dapat melakukan koordinasi dengan Kepala Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak lainnya dalam hal Wajib Pajak yang
melakukan merger atau pemekaran usaha terdaftar pada wilayah
kerja beberapa Kantor Wilayah.
b) Koordinasi sebagaimana tersebut pada huruf a) dilakukan oleh Kepala
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang menerima permohonan
Wajib Pajak yang melakukan merger atau pemekaran usaha dengan
mengirimkan surat permintaan rekomendasi atas pemenuhan
kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang akan bergabung yang
terdaftar pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak lainnya dalam
jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak permohonan diterima.
c) Surat jawaban atas permintaan rekomendasi sebagaimana dimaksud

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 109

pada butir b) diterima oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal


Pajak yang menerima permohonan Wajib Pajak yang melakukan
merger atau pemekaran usaha paling lama 10 (sepuluh) hari sejak
surat permintaan rekomendasi dikirimkan.

5) Penerbitan surat keputusan persetujuan atau penolakan


a) Berdasarkan hasil penelitian dan evaluasi atas permohonan Wajib
Pajak, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keputusan persetujuan atau
penolakan paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya permohonan
secara lengkap.
b) Tembusan surat keputusan persetujuan atau penolakan sebagaimana
dimaksud pada huruf a) di atas disampaikan kepada Direktur Jenderal
Pajak dan Kepala Kantor Wilayah serta Kepala Kantor Pelayanan Pajak
tempat Wajib Pajak yang menerima harta dan yang mengalihkan harta
terdaftar.

d. Penanganan permohonan pada Kantor Pelayanan Pajak terkait dengan permintaan


konfirmasi Utang Pajak
1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus memberikan jawaban konfirmasi
mengenai pelunasan seluruh utang pajak dari tiap badan usaha yang terkait
berdasarkan permintaan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang
memproses permohonan penggunaan nilai buku atas pengalihan harta dalam
rangka merger atau pemekaran usaha di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Pajak yang bersangkutan.
2) Jawaban konfirmasi sebagaimana dimaksud pada butir 1) di atas disampaikan
dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak
diterimanya permintaan konfirmasi.

6. Pengawasan pelaksanaan pemenuhan Business Purpose Test


a. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak mengawasi pelaksanaan pemenuhan
business purpose test dalam rangka merger dan pemekaran usaha serta kewajiban
untuk melakukan penawaran umum perdana (Initial Public Offering) dalam rangka
pemekaran usaha.

b. Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan pemantauan dan penelitian wajib


melaporkan Wajib Pajak yang terbukti tidak memenuhi persyaratan ketentuan business
purpose test dalam rangka merger dan pemekaran usaha serta kewajiban untuk
melakukan penawaran umum perdana (Initial Public Offering) dalam rangka pemekaran
usaha kepada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang bersangkutan.

7. Pengawasan pengalihan harta sebelum 2 (dua) tahun setelah tanggal efektif merger atau
pemekaran usaha
a. Apabila harta yang sebelumnya dimiliki oleh Wajib Pajak yang mengalihkan harta dijual
sebelum 2 (dua) tahun, Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta wajib
menyampaikan pernyataan bahwa harta tersebut memang layak dijual untuk
meningkatkan efisiensi perusahaan dan disertai dengan bukti pendukung.

b. Pernyataan sebagaimana dimaksud pada huruf a di atas disampaikan kepada Kepala


Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak yang menerima
pengalihan harta terdaftar, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak meneliti
kebenaran surat pernyataan Wajib Pajak tersebut.

8. Pemeriksaan pajak terhadap Wajib Pajak yang melakukan merger atau pemekaran usaha
a. Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang melakukan merger atau pemekaran usaha
dilakukan untuk tahun pajak berjalan melalui Pemeriksaan Lapangan.

b. Untuk tujuan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)/Pencabutan Pengusaha


Kena Pajak (PKP), terhadap Wajib Pajak yang melakukan penggabungan atau
peleburan usaha dilakukan pemeriksaan rutin.

9. Penanganan permohonan perpanjangan jangka waktu pertama pelaksanaan penawaran umum


perdana (Initial Public Offering/IPO)
a. Wajib Pajak yang belum dapat melaksanakan penawaran umum perdana (Initial Public
Offering) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah memperoleh persetujuan Direktur
Jenderal Pajak untuk melakukan pengalihan harta dengan menggunakan nilai buku
dalam rangka pemekaran usaha karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak, dapat
mengajukan permohonan izin perpanjangan jangka waktu pelaksanaan penawaran

www.ortax.org
110 Edisi PPh Badan | Maret 2017

umum perdana (Initial Public Offering) kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak yang membawahi Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak
pemohon terdaftar paling lambat 1 (satu) bulan sebelum jangka waktu 1 (satu) tahun
tersebut berakhir.

b. Penanganan permohonan pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak:


1) Penelitian kelengkapan atas permohonan Wajib Pajak:
a) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak menerima
permohonan perpanjangan jangka waktu dari Wajib Pajak yang belum
dapat melaksanakan penawaran umum perdana (Initial Public Offering)
dengan lampiran sebagai berikut:
i. Surat penjelasan penundaan penawaran umum perdana
(initial Public Offering) disertai dengan alasan yang lengkap
dan terperinci disertai dengan dokumen pendukung; dan
ii. Penjelasan tertulis mengenai aktiva tetap yang dimiliki
perusahaan hasil pemekaran usaha sejak tanggal efektif
dilakukannya pemekaran usaha sampai dengan bulan terakhir
sebelum pengajuan permohonan perpanjangan jangka waktu
dari Wajib Pajak.
b) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak meneliti kelengkapan
dan kebenaran permohonan beserta lampiran-lampirannya
sebagaimana dimaksud pada huruf a) di atas.

2) Permintaan kelengkapan permohonan Wajib Pajak


a) Dalam hal berdasarkan penelitian kelengkapan permohonan Wajib
Pajak terdapat dokumen persyaratan yang belum disampaikan oleh
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada butir 1) di atas, Kepala
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan surat
permintaan kelengkapan paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak
diterimanya permohonan yang belum lengkap.
b) Permintaan kelengkapan sebagaimana dimaksud pada huruf a) wajib
dipenuhi oleh Wajib Pajak yang bersangkutan dengan jangka waktu
paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya surat permintaan
kelengkapan dari Kepala Kantor Wilayah.

3) Penerbitan surat keputusan persetujuan atau penolakan


a) Berdasarkan hasil penelitian dan evaluasi atas permohonan Wajib
Pajak, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keputusan persetujuan
atau penolakan perpanjangan jangka waktu pelaksanaan penawaran
umum perdana (Initial Public Offering) bagi Wajib Pajak yang belum
dapat melaksanakan penawaran umum perdana (Initial Public
Offering), dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung
sejak diterimanya permohonan secara lengkap.
b) Persetujuan perpanjangan jangka waktu pertama penawaran umum
perdana (Initial Public Offering) sebagaimana dimaksud pada huruf a)
dapat diberikan paling lama 2 (dua) tahun.

10. Penanganan permohonan perpanjangan jangka waktu kedua pelaksanaan penawaran umum
perdana (Initial Public Offering/IPO)
a. Wajib Pajak yang belum dapat melaksanakan penawaran umum perdana (Initial Public
Offering) dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam surat persetujuan
perpanjangan jangka waktu pelaksanaan penawaran umum perdana (Initial Public
Offering) pada huruf E butir 9 huruf b angka 3), dapat mengajukan permohonan izin
perpanjangan jangka waktu pelaksanaan penawaran umum perdana (Initial Public
Offering) kedua kepada Direktur Peraturan Perpajakan II paling lambat 1 (satu) bulan
sebelum jangka waktu tersebut berakhir.

b. Penanganan permohonan pada Direktorat Peraturan Perpajakan II:


1) Penelitian kelengkapan atas permohonan Wajib Pajak:
a) Direktur Peraturan Perpajakan II atas nama Direktur Jenderal Pajak
menerima permohonan perpanjangan jangka waktu kedua dari Wajib
Pajak yang belum dapat melaksanakan penawaran umum perdana
(Initial Public Offering) dengan lampiran sebagai berikut:
i. Surat penjelasan penundaan penawaran umum perdana
(Initial Public Offering) disertai dengan alasan yang lengkap
dan terperinci disertai dengan dokumen pendukung;
ii. Fotokopi Surat Keputusan Persetujuan Penggunaan Nilai Buku

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 111

atas Pengalihan Harta Dalam Rangka Penggabungan Usaha


dari Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak;
iii. Fotokopi Surat Keputusan Persetujuan Perpanjangan Batas
Waktu penawaran umum perdana (Initial Public Offering) dari
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak; dan
iv. Penjelasan tertulis mengenai aktiva tetap yang dimiliki
perusahaan hasil pemekaran usaha sejak tanggal efektif
dilakukannya pemekaran usaha sampai dengan bulan terakhir
sebelum pengajuan permohonan perpanjangan jangka waktu
dari Wajib Pajak.
b) Direktur Peraturan Perpajakan II meneliti kelengkapan dan kebenaran
permohonan beserta lampiran-lampirannya sebagaimana dimaksud
pada huruf a) di atas,

2) Permintaan kelengkapan permohonan Wajib Pajak;


a) Dalam hal berdasarkan penelitian kelengkapan permohonan Wajib
Pajak terdapat dokumen persyaratan yang belum disampaikan oleh
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada butir 1), Direktur Peraturan
Perpajakan II menerbitkan surat permintaan kelengkapan paling lama
15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya permohonan yang belum
lengkap.
b) Permintaan kelengkapan sebagaimana dimaksud pada huruf a) wajib
dipenuhi oleh Wajib Pajak yang bersangkutan dengan jangka waktu
paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya surat permintaan
kelengkapan dari Direktur Peraturan Perpajakan II.

3) Penerbitan surat keputusan persetujuan atau penolakan:


a) Berdasarkan hasil penelitian dan evaluasi atas permohonan Wajib
Pajak, Direktur Peraturan Perpajakan II atas nama Direktur Jenderal
Pajak menerbitkan surat keputusan persetujuan atau penolakan
perpanjangan jangka waktu kedua pelaksanaan penawaran umum
perdana (Initial Public Offering) bagi Wajib Pajak yang belum dapat
melaksanakan penawaran umum perdana (Initial Public Offering),
dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak diterimanya
permohonan secara lengkap.
b) Persetujuan perpanjangan jangka waktu kedua penawaran umum
perdana (Initial Public Offering) sebagaimana dimaksud pada huruf a)
dapat diberikan paling lama 1 (satu) tahun.

11. Pencatatan harta yang dialihkan


a. Dalam hal pengalihan harta dengan menggunakan nilai buku tidak mendapat
persetujuan Direktur Jenderal Pajak, pengalihan seluruh harta tersebut harus dinilai
dengan harga pasar dan atas keuntungan yang diperoleh dikenakan Pajak Penghasilan
sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.

b. Dalam hal pengalihan harta dengan menggunakan nilai buku telah mendapat
persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta
tersebut harus mencatat nilai perolehannya sesuai dengan nilai buku sebagaimana
tercantum dalam pembukuan Wajib Pajak yang mengalihkan harta.

c. Dalam hal Wajib Pajak sebelum merger atau pemekaran usaha telah melakukan
penilaian kembali aktiva tetap, nilai buku yang dicatat adalah nilai buku setelah
dilakukan penilaian kembali aktiva tetap.

12. Penyusutan dan amortisasi harta yang dialihkan


a. Penyusutan dan amortisasi atas harta yang dialihkan untuk tahun buku terjadinya
pengalihan harta dilakukan secara prorata (perhitungan bulanan) berdasarkan masa
manfaat yang tersisa sebagaimana tercantum dalam pembukuan Wajib Pajak yang
mengalihkan harta.

b. Bagi Wajib Pajak yang mengalihkan harta, penyusutan dan amortisasi atas harta yang
dialihkan dihitung secara prorata sampai dengan bulan dilakukannya pengalihan harta.

c. Bagi Wajib Pajak yang menerima harta, penyusutan dan amortisasi atas harta yang
diterima dihitung secara prorata sebanyak sisa bulan sesudah bulan pengalihan harta.

d. Penyusutan dan amortisasi sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c di atas
menggunakan metode penyusutan dan amortisasi yang dianut Wajib Pajak yang

www.ortax.org
112 Edisi PPh Badan | Maret 2017

bersangkutan.

13. Kompensasi timbal-baiik (offset) utang piutang dalam hal terjadi kompensasi timbal-balik
(offset) utang piutang di antara para Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dalam
rangka merger, maka:
a. penghapusan utang bagi pihak debitur bukan merupakan penghasilan;
b. penghapusan piutang bagi pihak kreditur bukan merupakan biaya.

14. Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25


a. Apabila merger dilakukan dalam tahun pajak berjalan, jumlah angsuran Pajak
Penghasilan Pasal 25 Wajib Pajak yang menerima harta setelah merger tidak boleh
lebih kecil dari penjumlahan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 dari seluruh Wajib
Pajak yang terkait sebelum merger.

b. Apabila pemekaran usaha dilakukan dalam tahun pajak berjalan, jumlah angsuran Pajak
Penghasilan Pasal 25 dari seluruh Wajib Pajak setelah pemekaran usaha tidak boleh
lebih kecil dari angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 dari Wajib Pajak yang terkait
sebelum pemekaran usaha.

c. Dalam hal setelah merger atau pemekaran usaha Wajib Pajak mengalami penurunan
usaha, Wajib Pajak yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan pengurangan
angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku, yang
dapat dilakukan oleh:
1) Wajib Pajak yang menerima harta dalam rangka merger; atau
2) Wajib Pajak yang menerima maupun mengalihkan harta dalam rangka
pemekaran usaha.

15. Penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Masa/Tahunan Pajak Penghasilan dalam hal merger
atau pemekaran usaha dilakukan dalam tahun berjalan
a. kewajiban formal penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Masa/Tahunan Pajak
Penghasilan bagi Wajib Pajak yang mengalihkan harta berakhir sampai dengan masa
pajak/bagian tahun pajak dilakukannya merger.

b. kewajiban formal penyampaian SPT Masa/Tahunan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak
baru yang menerima harta dalam rangka peleburan dan pemekaran usaha, dimulai
sejak Wajib Pajak terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak segera setelah pendirian badan
usaha baru.

16. Pemeriksaan pajak menyangkut tahun-tahun pajak sebelum tahun terjadinya merger
Apabila setelah merger dilakukan pemeriksaan pajak terhadap Wajib Pajak yang mengalihkan
harta menyangkut tahun-tahun pajak sebelum tahun terjadinya merger, surat ketetapan pajak
hasil pemeriksaan pajak tersebut serta tindakan penagihan dan/atau restitusinya diterbitkan
atas nama dan NPWP Wajib Pajak yang mengalihkan harta q.q nama dan NPWP Wajib Pajak
yang menerima harta.

17. Ketentuan terhadap pemegang saham


Apabila pemegang saham dari Wajib Pajak yang mengalihkan harta tidak setuju dengan rencana
pengalihan harta dan pemegang saham tersebut memilih menjual sahamnya:
a. atas selisih lebih antara harga perolehan dengan harga jual merupakan penghasilan
pemegang saham tersebut dan terutang Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan
perpajakan yang berlaku.

b. atas selisih kurang antara harga perolehan dengan harga jual yang diterima pemegang
saham tersebut dapat dibebankan sebagai biaya, dengan syarat sepanjang pemegang
saham tersebut menyelenggarakan pembukuan.

18. Pengenaan Saksi


a. Apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun Direktur Jenderal Pajak melalui penelitian
atau pemeriksaan menemukan bukti bahwa:
1) merger atau pemekaran usaha tidak memenuhi persyaratan business purpose
test, dan/atau
2) dalam hal harta yang dimiliki oleh Wajib Pajak yang menerima harta setelah
terjadinya merger atau pemekaran usaha dipindahtangankan sebelum 2 (dua)
tahun setelah tanggal efektif merger atau pemekaran usaha namun Wajib Pajak
yang menerima pengalihan harta:
a) tidak menyampaikan pernyataan tertulis bahwa harta tersebut layak
dijual; atau
b) menyampaikan pernyataan tertulis bahwa harta tersebut layak dijual

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 113

tetapi pernyataan tersebut tidak sesuai dengan keadaan yang


sebenarnya,
maka nilai pengalihan harta dalam rangka merger atau pemekaran usaha berdasarkan
nilai buku dihitung kembali berdasarkan nilai pasar.

b. Apabila Wajib Pajak yang telah memperoleh persetujuan Direktur Jenderal Pajak untuk
melakukan pengalihan harta dengan menggunakan nilai buku dalam rangka pemekaran
usaha, namun:
1) belum dapat melaksanakan penawaran umum perdana (Initial Public Offering);
atau
2) telah memperoleh persetujuan perpanjangan jangka waktu pelaksanaan
penawaran umum perdana (Initial Public Offering) tetapi sampai dengan jangka
waktu perpanjangan yang diberikan belum dapat melaksanakan penawaran
umum perdana (Initial Public Offering),
nilai pengalihan harta atas pemekaran usaha yang dilakukan berdasarkan nilai buku
dihitung kembali berdasarkan nilai pasar.

c. Kepada Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b Kepala Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan
surat keputusan pencabutan atas surat keputusan persetujuan.

d. Berdasarkan hasil pemeriksaan dan surat keputusan pencabutan tersebut Direktur


Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak.

19. Penutup:
a. Terhadap permohonan penggunaan nilai buku atas pengalihan harta dalam rangka
penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha yang telah disampaikan sebelum
berlakunya Surat Edaran ini namun permohonan tersebut masih dalam proses penelitian
dan evaluasi, diproses lebih lanjut berdasarkan SE-45/PJ/2008.

b. Sejak ditetapkannya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini, maka Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-45/PJ/2008 tanggal 28 Agustus 2008 tentang
Penyampaian dan Pemonitoran Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
43/PMK.03/2008 tentang Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan Harta Dalam Rangka
Penggabungan, Peleburan, Atau Pemekaran Usaha Beserta Peraturan Pelaksanaannya
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

c. Para Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, Kepala Kantor Pelayanan Pajak
dan Kepala Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan agar melakukan
koordinasi dengan pihak-pihak terkait atas pelaksanaan Surat Edaran Direkur Jenderal
Pajak ini serta melakukan sosialisasi dan pengawasan pelaksanaannya.

Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 April 2015
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

SIGIT PRIADI PRAMUDITO


NIP 195909171987091001

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15763

www.ortax.org
OBJEK
PPh Badan Final
Edisi PPh Badan | Maret 2017 115

No Nomor Dokumen Tanggal Ditetapkan Perihal


1. PP No. 4 Tahun 1995 08 Februari 1995 Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Perusahaan Modal Ventura Dari
Transaksi Penjualan Saham Atau Pengalihan Penyertaan Modal Pada
Perusahaan Pasangan Usahanya
2. PP No. 29 Tahun 1996 18 April 1996 Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Persewaan Tanah
Dan/Atau Bangunan
3. PP No. 14 Tahun 1997 29 Mei 1997 Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 Tentang
Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Transaksi Penjualan Saham Di
Bursa Efek
4. PP No. 131 Tahun 2000 15 Desember 2000 Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito Dan Tabungan Serta Diskonto
Sertifikat Bank Indonesia
5. PP No. 132 Tahun 2000 15 Desember 2000 Pajak Penghasilan Atas Hadiah Undian
6. PP No. 5 Tahun 2002 23 Maret 2002 Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 Tentang
Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Persewaan Tanah
Dan/Atau Bangunan
7. PP No. 27 Tahun 2008 04 April 2008 Pajak Penghasilan Atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara
8. PP No. 16 Tahun 2009 09 Februari 2009 Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Berupa Bunga Obligasi
9. PP No. 40 Tahun 2009 04 Juni 2009 Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 Tentang
Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi
10. PP No. 80 Tahun 2010 20 Desember 2010 Tarif Pemotongan Dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas
Penghasilan Yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan Dan Belanja
Negara Atau Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah
11. PP No. 31 Tahun 2011 06 Juni 2011 Pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2009 Tentang Pajak
Penghasilan Atas Penghasilan Dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak
Berjangka Yang Diperdagangkan Di Bursa
12. PP No. 100 Tahun 2013 31 Desember 2013 Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2009 Tentang
Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Berupa Bunga Obligasi
13. PP No. 123 Tahun 2015 28 Desember 2015 Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 Tentang
Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito Dan Tabungan Serta Diskonto
Sertifikat Bank Indonesia
14. PP No. 34 Tahun 2016 08 Agustus 2016 Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah
Dan/Atau Bangunan, Dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah
Dan/Atau Bangunan Beserta Perubahannya
15. PP No. 40 Tahun 2016 17 Oktober 2016 Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Real Estat Dalam
Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu
16. 63/PMK.03/2008 28 April 2008 Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Atas Diskonto Surat
Perbendaharaan Negara
17. 79/PMK.03/2008 23 Mei 2008 Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan
18. 243/PMK.03/2008 31 Desember 2008 Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor
635/KMK.04/1994 Tentang Pelaksanaan Pembayaran Pajak Penghasilan
Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan
19. 153/PMK.03/2009 29 September 2009 Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2008
Tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, Pelaporan, Dan
Penatausahaan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa
Konstruksi
20. 85/PMK.03/2011 23 Mei 2011 Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Penghasilan
Atas Bunga Obligasi
21. 257/PMK.011/2011 28 Desember 2011 Tata Cara Pemotongan Dan Pembayaran Pajak Penghasilan Atas
Penghasilan Lain Kontraktor Berupa Uplift Atau Imbalan Lain Yang
Sejenis Dan/Atau Penghasilan Kontraktor Dari Pengalihan Participating
Interest
22. 07/PMK.011/2012 13 Januari 2012 Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2011
Tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak
Penghasilan Atas Bunga Obligasi

www.ortax.org
116 Edisi PPh Badan | Maret 2017

23. 200/PMK.03/2015 10 November 2015 Perlakuan Perpajakan Bagi Wajib Pajak Dan Pengusaha Kena Pajak Yang
Menggunakan Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu Dalam Rangka
Pendalaman Sektor Keuangan
24. 26/PMK.010/2016 19 Februari 2016 Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 51/KMK.04/2001
Tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito Dan
Tabungan Serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia
25. 261/PMK.03/2016 30 Desember 2016 Tata Cara Penyetoran, Pelaporan, Dan Pengecualian Pengenaan Pajak
Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau
Bangunan, Dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah Dan/Atau
Bangunan Beserta Perubahannya
26. 37/PMK.03/2017 3 Maret 2017 Tata Cara Pembayaran Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Atas
Penghasilan Dari Pengalihan Real Estat Dalam Skema Kontrak Investasi
Kolektif Tertentu
27. 634/KMK.04/1994 29 Desember 1994 Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Luar
Negeri Yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang Di Indonesia
28. 248/KMK.04/1995 02 Juni 1995 Perlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Pihak - Pihak Yang Melakukan
Kerjasama Dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah (Built Operate
And Transfer)
29. 417/KMK.04/1996 14 Juni 1996 Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak
Perusahaan Pelayaran Dan/ Atau Penerbangan Luar Negeri
30. 282/KMK.04/1997 20 Juni 1997 Pelaksanaan Pemungutan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari
Transaksi Penjualan Saham Di Bursa Efek
31. 51/KMK.04/2001 01 Februari 2001 Pemotongan Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito Dan Tabungan
Serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia
32. 120/KMK.03/2002 02 April 2002 Perubahan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394/KMK.04/1996
Tentang Pelaksanaan Pembayaran Dan Pemotongan Pajak Penghasilan
Atas Penghasilan Dari Persewaan Tanah Dan Atau Bangunan
33. PER - 18/PJ/2008 02 Mei 2008 Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Penghasilan
Atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara
34. PER - 12/PJ/2009 23 Februari 2009 Tata Cara Pengajuan Permohonan Dan Pengadministrasian Penilaian
Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan
35. PER - 30/PJ/2009 27 April 2009 Tata Cara Pemberian Pengecualian Dari Kewajiban Pembayaran Atau
Pemungutan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak
Atas Tanah Dan/Atau Bangunan
36. PER - 01/PJ/2013 14 Januari 2013 Tata Cara Penerbitan Surat Keterangan Bebas Pemotongan Pajak
Penghasilan Atas Bunga Deposito Dan Tabungan Serta Diskonto
Sertifikat Bank Indonesia Yang Diterima Atau Diperoleh Dana Pensiun
Yang Pendiriannya Telah Disahkan Oleh Menteri Keuangan
37. KEP - 141/PJ./1999 21 Juni 1999 Pengakuan Penghasilan Dari Pengalihan Harta/ Agunan Berupa Tanah
Dan/Atau Bangunan Bagi Wajib Pajak Tertentu
38. KEP - 667/PJ./2001 29 Oktober 2001 Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Luar
Negeri Yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang Di Indonesia
39. SE - 38/PJ.4/1995 14 Juli 1995 Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Sehubungan Dengan
Perjanjian Bangun Guna Serah (Seri PPh Umum Nomor 17)
40. SE - 03/PJ.43/1998 09 Februari 1998 Perlakuan Perpajakan Penghasilan Bunga (Bunga Deposito) Terhadap
Premi Swap Dan Forward
41. SE - 50/PJ./2009 25 Mei 2009 Tata Cara Penerbitan Surat Keterangan Bebas Pembayaran Pajak
Penghasilan Yang Bersifat Final Bagi Wajib Pajak Badan, Termasuk
Koperasi, Yang Usaha Pokoknya Melakukan Transaksi Pengalihan Hak
Atas Tanah Dan/Atau Bangunan

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 117

42. SE - 30/PJ/2013 03 Juli 2013 Pelaksanaan Pajak Penghasilan Yang Bersifat Final Atas Penghasilan Dari
Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Yang Diterima Atau
Diperoleh Wajib Pajak Yang Usaha Pokoknya Melakukan Pengalihan
Hak Atas Tanah Dan/ Atau Bangunan Dan Penentuan Jumlah Bruto Nilai
Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Oleh Wajib Pajak Yang
Melakukan Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan
43. SE - 30/PJ/2014 14 Agustus 2014 Pengawasan Atas Transaksi Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau
Bangunan Melalui Jual Beli

www.ortax.org
Peraturan Pemerintah RI :
118 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PP No. 4 Tahun 1995

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 4 TAHUN 1995

TENTANG

PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN PERUSAHAAN MODAL VENTURA DARI TRANSAKSI PENJUALAN
SAHAM ATAU PENGALIHAN PENYERTAAN MODAL PADA PERUSAHAAN PASANGAN USAHANYA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, penghasilan berupa
keuntungan karena penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal merupakan Objek Pajak
Penghasilan;
b. bahwa perusahaan modal ventura merupakan wahana pembiayaan yang dapat dimanfaatkan sebagai
sarana pemerataan kesempatan berusaha bagi para pemodal kecil dan menengah termasuk koperasi,
yang pada akhirnya akan membantu perkembangan perekonomian nasional;
c. bahwa untuk mendorong pertumbuhan perusahaan modal ventura dan berdasarkan Pasal 4 ayat (2)
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1994, dipandang perlu untuk mengatur pengenaan Pajak Penghasilan atas
penghasilan perusahaan modal ventura berupa keuntungan karena penjualan saham atau pengalihan
penyertaan modal pada perusahaan pasangan usahanya dengan Peraturan Pemerintah;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang Undang Dasar 1945;


2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262), sebagaiamana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3566);
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983
Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263), sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN


PERUSAHAAN MODAL VENTURA DARI TRANSAKSI PENJUALAN SAHAM ATAU PENGALIHAN PENYERTAAN MODAL
PADA PERUSAHAAN PASANGAN USAHANYA

Pasal 1

(1) Atas penghasilan perusahaan modal ventura dari transaksi penjualan saham atau pengalihan
penyertaan modal pada perusahaan pasangan usahanya dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat
final.

(2) Perusahaan pasangan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah perusahaan yang
memenuhi syarat sebagai berikut :
a. merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang melakukan kegiatan dalam sektor-sektor
usaha yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; dan
b. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.

(3) Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah 0,1% (satu perseribu) dari
jumlah bruto nilai transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal.

(4) Dalam hal transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal tersebut dilakukan melalui
bursa efek, maka pengenaan Pajak Penghasilannya dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang Pajak Penghasilan atas penghasilan dari
transaksi penjualan saham di bursa efek.

Pasal 2

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 119

(1) Atas penghasilan perusahaan modal ventura dari transaksi penjualan saham atau pengalihan
penyertaan modal pada perusahaan pasangan usaha yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) dikenakan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1994.

(2) Perusahaan modal ventura wajib membukukan secara terpisah penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 dari penghasilan lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 3

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyetoran dan pelaporan pajak serta pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini
ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Pasal 4

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 8 Februari 1995
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

SOEHARTO

PENJELASAN
ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 4 TAHUN 1995

TENTANG

PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN PERUSAHAAN MODAL VENTURA DARI TRANSAKSI PENJUALAN
SAHAM ATAU PENGALIHAN PENYERTAAN MODAL PADA PERUSAHAAN PASANGAN USAHANYA

UMUM

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, keuntungan dari penjualan atau pengalihan harta yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan Objek Pajak Penghasilan. Perusahaan modal ventura
merupakan sarana dalam rangka mendorong pemerataan pembangunan dan untuk lebih meningkatkan peran
serta dari seluruh lapisan masyarakat, yaitu dengan melakukan penyertaan modalnya pada perusahaan
pasangan usaha khususnya yang merupakan pengusaha kecil dan menengah atau perusahaan yang bergerak
dalam sektor-sektor usaha tertentu yang mengingat keadaan perekonomiannya perlu memperoleh prioritas
untuk dikembangkan.

Dalam rangka mendorong perkembangan perusahaan modal ventura dan sesuai dengan ketentuan dalam
Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
undang Nomor 10 Tahun 1994, maka dipandang perlu untuk mengatur ketentuan tersendiri tentang Pajak
Penghasilan atas penghasilan perusahaan modal ventura yang berupa keuntungan karena transaksi penjualan
saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangan usahanya. Mengingat ketentuan tentang

www.ortax.org
120 Edisi PPh Badan | Maret 2017
Pajak Penghasilan atas keuntungan karena transaksi penjualan saham yang diperdagangkan di bursa efek
telah diatur tersendiri, maka pengenaan Pajak Penghasilan atas keuntungan dari penjualan saham yang
dilakukan oleh perusahaan modal ventura melalui bursa efek tetap mengacu kepada ketentuan dimaksud.
Pajak Penghasilan atas keuntungan karena transaksi penjualan saham yang diperdagangkan di bursa efek
telah diatur tersendiri, maka pengenaan Pajak Penghasilan atas keuntungan dari penjualan saham yang
PASAL DEMI
dilakukan PASAL
oleh perusahaan modal ventura melalui bursa efek tetap mengacu kepada ketentuan dimaksud.
Pasal 1
PASAL DEMI PASAL
Ayat (1)
Pasal 1
Atas penghasilan perusahaan modal ventura yang diterima atau diperoleh dari transaksi
Ayat (1) penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal perusahaan pasangan usahanya
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Atas penghasilan perusahaan modal ventura yang diterima atau diperoleh dari transaksi
Ayat (2)
penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal perusahaan pasangan usahanya
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Ketentuan dalam ayat (1) hanya berlaku dalam hal perusahaan pasangan usaha dari
Ayat (2) perusahaan modal ventura memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang melakukan kegiatan dalam
sektor-sektor
Ketentuan dalam ayat usaha yangberlaku
(1) hanya ditetapkan oleh
dalam halMenteri Keuangan;
perusahaan dan usaha dari
pasangan
b. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
perusahaan modal ventura memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang melakukan kegiatan dalam
Ayat (3) sektor-sektor usaha yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; dan
b. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
Penentuan besarnya Pajak Penghasilan sebesar 0,1% (satu perseribu) dari nilai penjualan
Ayat (3) saham atau pengalihan penyertaan modal tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan
kesederhanaan kemudahan dan pengenaannya yang bersifat final serta dengan berpegang
pada prinsipbesarnya
Penentuan untuk mengembangkan perusahaan
Pajak Penghasilan modal
sebesar 0,1% ventura.
(satu perseribu) dari nilai penjualan
saham atau pengalihan penyertaan modal tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan
Ayat (4)
kesederhanaan kemudahan dan pengenaannya yang bersifat final serta dengan berpegang
pada prinsip untuk mengembangkan perusahaan modal ventura.
Apabila transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan
Ayat (4) pasangan usaha dilakukan di bursa efek, maka pengenaan Pajak Penghasilan atas transaksi
penjualan atau pengalihan tersebut didasarkan atas peraturan perundang-undangan tentang
pengenaan Pajak penjualan
Apabila transaksi Penghasilan atas transaksi
saham penjualan
atau pengalihan saham dimodal
penyertaan bursa pada
efek yang pada saat
perusahaan
ini diatur dalam
pasangan usaha Peraturan
dilakukan Pemerintah Nomor
di bursa efek, maka41pengenaan
Tahun 1994.
Pajak Penghasilan atas transaksi
penjualan atau pengalihan tersebut didasarkan atas peraturan perundang-undangan tentang
Pasal 2 pengenaan Pajak Penghasilan atas transaksi penjualan saham di bursa efek yang pada saat
ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994.
Ayat (1)
Pasal 2
Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 hanya berlaku atas
penghasilan modal ventura dari penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal di
Ayat (1)
perusahaan pasangan usaha yang memenuhi syarat-syarat tercantum dalam Pasal tersebut.
Sedangkan atas penghasilan modal ventura selain dari yang tersebut dalam Pasal 1,
Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 hanya berlaku atas
dikenakan Pajak
penghasilan Penghasilan
modal sesuai
ventura dari dengan
penjualan ketentuan
saham dalam Undang-undang
atau pengalihan penyertaan Nomor
modal di7 Tahun
1983 sebagaimana
perusahaan telah
pasangan diubah
usaha terakhir
yang dengan
memenuhi Undang-undang
syarat-syarat Nomor
tercantum 10 Tahun
dalam Pasal 1994.
tersebut.
Sedangkan atas penghasilan modal ventura selain dari yang tersebut dalam Pasal 1,
Ayat (2) dikenakan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun
1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994.
Mengingat perlakuan Pajak Penghasilan atas penghasilan dalam Peraturan Pemerintah ini
Ayat (2) berbeda dengan perlakuan atas penghasilan lainnya, maka kepada perusahaan modal ventura
diwajibkan untuk melakukan pembukuan yang terpisah atas penghasilan maupun biaya yang
berkaitan
Mengingatdengan penghasilan
perlakuan sebagaimana
Pajak Penghasilan atasdimaksud dalam
penghasilan Pasal
dalam 1.
Peraturan Pemerintah ini
berbeda dengan perlakuan atas penghasilan lainnya, maka kepada perusahaan modal ventura
Pasal 3
diwajibkan untuk melakukan pembukuan yang terpisah atas penghasilan maupun biaya yang
berkaitan dengan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1.
Cukup jelas
Pasal 3
Pasal 4
Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 4

Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3585

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3585

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=116

www.ortax.org
Peraturan Pemerintah :
PP Nomor 29 Tahun 1996 Edisi PPh Badan | Maret 2017 121

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 29 TAHUN 1996

TENTANG

PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PERSEWAAN TANAH DAN/ATAU BANGUNAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf i Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994,
penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan merupakan Objek Pajak Penghasilan;
b. bahwa orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari persewaan tanah
dan/atau bangunan wajib melunasi Pajak Penghasilan atas penghasilan tersebut;
c. bahwa untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban Pajak Penghasilan
atas penghasilan tersebut dan sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1994, dipandang perlu mengatur pembayaran pajak penghasilan atas penghasilan dari
persewaan tanah dan/atau bangunan dengan peraturan pemerintah;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945;


2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263), sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3566);
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983
Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263);sebagaimana telah beberapa kali diubah,
terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI


PERSEWAAN TANAH DAN/ATAU BANGUNAN.

Pasal 1

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari persewaan tanah dan/atau
bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, rumah kantor,
toko, rumah toko, gudang dan industri, wajib dibayar Pajak Penghasilan.

Pasal 2

Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari persewaan tanah dan/atau
bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 wajib membayar sendiri Pajak Penghasilan yang terutang
atau dipotong oleh penyewa yang bertindak sebagai Pemotong Pajak.

Pasal 3

(1) Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1, adalah sebesar 6% (enam persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanah
dan/atau bangunan dan bersifat final.
(2) Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, adalah sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai
persewaan tanah dan/atau bangunan dan bersifat final.

Pasal 4

www.ortax.org
122 Edisi PPh Badan | Maret 2017

(1) Dalam hal atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan yang diterima atau diperoleh
mulai 1 Januari 1996 sampai dengan Peraturan Pemerintah ini berlaku telah dipotong Pajak
Penghasilan berdasarkan Pasal 23 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 yang jumlahnya
sama atau lebih besar dari jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, maka pemotongan Pajak
Penghasilan tersebut bersifat final.

(2) Dalam hal atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan yang diterima atau diperoleh
mulai 1 Januari 1996 sampai dengan Peraturan Pemerintah ini berlaku telah dipotong Pajak
Penghasilan yang jumlahnya lebih kecil dari jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 atau belum
dipotong Pajak Penghasilan, maka Wajib Pajak yang menerima penghasilan dari persewaan tanah
dan/atau bangunan wajib membayar sendiri Pajak Penghasilan yang kurang atau belum dipotong
sejumlah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dan pembayaran Pajak
Penghasilan tersebut bersifat final.

(3) Apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dipenuhi, maka penghasilan dari
persewaan tanah dan/atau bangunan tersebut dikenakan pajak berdasarkan tarif umum sesuai dengan
Pasal 17 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, dan berlaku sanksi-sanksinya sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.

Pasal 5

Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini ditetapkan
oleh Menteri Keuangan.

Pasal 6

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 April 1996
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 18 April 1996
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

ttd

MOERDIONO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1996 NOMOR 46

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 123

PENJELASAN
ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 29 TAHUN 1996

TENTANG

PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PERSEWAAN TANAH DAN/ATAU BANGUNAN

UMUM

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf i Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, penghasilan
yang diterima atau diperoleh dari persewaan tanah dan/atau bangunan merupakan Objek Pajak Penghasilan.
Dengan demikian orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari persewaan
tanah dan/atau bangunan, maka penghasilan tersebut termasuk dalam pengertian penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf i Undang-undang tersebut.

Dalam rangka meningkatkan kepatuhan orang pribadi atau badan dalam memenuhi kewajiban perpajakannya,
dan sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, maka perlu diatur cara
pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan dengan Peraturan
Pemerintah.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas

Pasal 2

Apabila yang membayar sewa tanah dan/atau bangunan tersebut bukan Pemotong Pajak Penghasilan,
maka Pajak Penghasilan yang terutang wajib dibayar sendiri oleh yang menyewakan sebagai berikut :
a. Sebesar 6% (enam persen) dari jumlah nilai persewaan tanah dan/atau bangunan dan
bersifat final dalam hal yang menyewakan adalah Wajib Pajak badan;
b. Sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah nilai persewaan tanah dan/atau bangunan bersifat
final dalam hal yang menyewakan adalah orang pribadi.

Apabila yang membayar sewa tanah dan/atau bangunan tersebut adalah Pemotong Pajak Penghasilan,
maka Pajak Penghasilan yang terutang dipotong oleh penyewa atau yang membayarkan sebagai
berikut :
a. Sebesar 6% (enam persen) dari jumlah nilai persewaan tanah dan/atau bangunan dan
bersifat final dalam hal yang menyewakan adalah Wajib Pajak badan;
b. Sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah nilai persewaan tanah dan/atau bangunan dan
bersifat final dalam hal yang menyewakan adalah orang pribadi.

Pasal 3a

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 4

Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3)

Atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan yang diterima atau diperoleh
mulai 1 Januari 1996 sampai dengan Peraturan Pemerintah ini berlaku, pengenaan Pajak

www.ortax.org
124 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Penghasilannya adalah :
a. Apabila penghasilan tersebut telah dipotong Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 23
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 sebesar 6% (enam
persen) untuk Wajib Pajak badan atau sebesar 12% (dua belas persen) untuk Wajib
Pajak orang pribadi, dan atas pemotongan Pajak Penghasilan tersebut ditetapkan
sebagai pemotongan pajak yang bersifat final.
b. Apabila atas penghasilan tersebut belum dipotong Pajak Penghasilan atau telah
dipotong Pajak Penghasilan yang jumlahnya kurang dari 6% (enam persen) untuk
Wajib Pajak badan atau kurang dari 10% (sepuluh persen) untuk Wajib Pajak orang
pribadi, maka atas kekurangan Pajak Penghasilan yang terutang tersebut wajib
dibayar sendiri oleh yang menyewakan, dan atas pembayaran Pajak Penghasilan
tersebut ditetapkan sebagai pemotongan pajak yang bersifat final.
c. Apabila atas kekurangan Pajak Penghasilan yang terutang tersebut tidak dibayar
sendiri oleh Wajib Pajak, maka atas penghasilan tersebut akan dikenakan Pajak
Penghasilan berdasarkan tarif umum sesuai dengan Pasal 17 Undang-undang Nomor
7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994.

Pasal 5

Cukup jelas

Pasal 6

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3636

Status :
Peraturan Pemerintah - 29 TAHUN 1996 Telah mengalami perubahan atau penyempurnaan oleh
Peraturan Pemerintah - 5 TAHUN 2002, Tanggal 23 Mar 2002

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=121

www.ortax.org
Peraturan Pemerintah RI :
PP Nomor 14 Tahun 1997 Edisi PPh Badan | Maret 2017 125

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 14 TAHUN 1997

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 41 TAHUN 1994


TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI TRANSAKSI PENJUALAN SAHAM DI BURSA EFEK

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa dengan semakin meningkatnya kegiatan perdagangan saham di bursa efek serta akan
dilaksanakannya perdagangan saham tanpa warkat, pengenaan Pajak Penghasilan atas saham yang
diperdagangkan di bursa efek, khususnya atas saham pendiri, perlu lebih ditingkatkan agar dapat
berlangsung secara lebih efektif;
b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dipandang perlu untuk menyempurnakan Peraturan
Pemerintah tentang pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari transaksi penjualan saham
pendiri di bursa efek dengan Peraturan Pemerintah;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945;


2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 9 tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3566);
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983
Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263), sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan atas Penjualan Saham di
Bursa Efek (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3574);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 41 TAHUN 1994
TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI TRANSAKSI PENJUALAN SAHAM DI BURSA EFEK.

Pasal I

Mengubah beberapa ketentuan dan menambah ketentuan baru dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun
1994, sebagai berikut :

1. Ketentuan Pasal 1 ayat (2) diubah seluruhnya, sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 1

(2) Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah 0,1% (satu per
seribu) dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan."

2. Menambah ketentuan baru di antara Pasal 1 dan Pasal 2 yang dijadikan Pasal 1A, yang berbunyi
sebagai berikut :

"Pasal 1A

(1) Pemilik saham pendiri dikenakan tambahan Pajak Penghasilan sebesar 0,5% (setengah
persen) dari nilai saham perusahaan pada saat penutupan bursa diakhir tahun 1996.
(2) Dalam hal saham perusahaan diperdagangkan di bursa efek setelah 1 Januari 1997, maka
nilai saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar harga saham pada saat
penawaran umum perdana."

3. Menambah ketentuan baru di antara Pasal 2 dan Pasal 3 yang dijadikan Pasal 2A, yang berbunyi

www.ortax.org
126 Edisi PPh Badan | Maret 2017

sebagai berikut :

"Pasal 2A

Penyetoran tambahan Pajak Penghasilan atas saham pendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1A
dilakukan oleh pemilik saham pendiri:
a. selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, apabila
saham perusahaan telah diperdagangkan di bursa efek sebelum Peraturan Pemerintah ini
ditetapkan;
b. selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah saham tersebut diperdagangkan di bursa, apabila
saham perusahaan baru diperdagangkan di bursa efek pada saat atau setelah Peraturan
Pemerintah ini ditetapkan."

4. Menambah ketentuan baru di antara Pasal 3 dan Pasal 4 yang dijadikan Pasal 3A, yang berbunyi
sebagai berikut :

"Pasal 3A

Wajib Pajak yang memilih untuk memenuhi kewajiban Pajak Penghasilannya tidak berdasarkan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A, atas penghasilan dari transaksi penjualan saham
pendiri dikenakan Pajak Penghasilan sesuai dengan tarif umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994."

Pasal II

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Mei 1997
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Mei 1997
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

ttd

MOERDIONO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1997 NOMOR 45

PENJELASAN
ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 127

NOMOR 14 TAHUN 1997

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 41 TAHUN 1994


TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI TRANSAKSI PENJUALAN SAHAM DI BURSA EFEK

I. UMUM

Perkembangan perdagangan saham di bursa efek dari tahun ke tahun terus meningkat. Untuk
mengantisipasi perkembangan tersebut penyelenggara bursa efek merencanakan meningkatkan
efisiensi dalam pelaksanaan perdagangan saham dengan cara perdagangan tanpa warkat (scriptless
trading). Apabila perdagangan tanpa warkat tersebut dilaksanakan, penyelenggara bursa efek akan
sulit membedakan perdagangan saham biasa dan saham pendiri. Hal ini berakibat ketentuan pajak
penghasilan atas penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa yang tarifnya berbeda untuk
saham biasa dan saham pendiri akan menjadi semakin sulit untuk diawasi. Sehingga dipandang perlu
untuk menyempurnakan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 dengan Peraturan Pemerintah.

Pokok-pokok perubahan atau penyempurnaan tersebut adalah :


a. Setiap transaksi penjualan saham di bursa efek akan dikenakan Pajak Penghasilan sebesar
0,1% (satu per seribu) baik untuk saham biasa maupun saham pendiri.
b. Tambahan Pajak Penghasilan untuk transaksi penjualan saham pendiri yang sebelumnya
dikenakan sebesar 5% (lima persen) pada saat penjualan saham dilakukan, diubah menjadi
dikenakan sebesar 0,5% (setengah persen) dari nilai jual saham.
c. Bagi perusahaan yang telah menjual sahamnya di bursa sebelum 1 Januari 1997, nilai jual
saham pendiri ditetapkan sebesar nilai saham pada saat perdagangan saham di bursa ditutup
pada akhir tahun 1996 (tanggal 30 Desember 1996). Sedangkan bagi perusahaan yang
menjual sahamnya di bursa setelah 1 Januari 1997, nilai jual saham pendiri ditetapkan
sebesar nilai jual saham perusahaan pada saat penawaran umum perdana.
d. Pemilik saham pendiri diberikan kemudahan untuk memenuhi kewajiban pajaknya
berdasarkan perhitungan sendiri sesuai dengan ketentuan di atas. Dalam hal ini, pemilik
saham pendiri untuk kepentingan perpajakan dapat menghitung final atas dasar anggapannya
sendiri bahwa sudah ada penghasilan. Namun apabila pemilik saham pendiri tidak
memanfaatkan kemudahan tersebut, maka penghitungan Pajak Penghasilannya dilakukan
berdasarkan tarif Pajak Penghasilan yang berlaku umum sesuai dengan Pasal 17 Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994.

II. PASAL DEMI PASAL

PASAL I

Angka 1

Pasal 1

Ayat (2)

Cukup jelas.

Angka 2

Pasal 1A

Ayat (1) dan ayat (2)

Yang dimaksud dengan "pendiri" adalah orang pribadi atau badan


yang namanya tercatat dalam Daftar Pemegang Saham Perseroan
Terbatas atau tercantum dalam Anggaran Dasar Perseroan Terbatas
sebelum Pernyataan Pendaftaran yang diajukan kepada Badan
Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dalam rangka penawaran umum
perdana ("initial public offering") menjadi efektif.

Termasuk dalam pengertian "pendiri" adalah orang pribadi atau


badan yang menerima pengalihan saham dari pendiri karena :
a. warisan;

www.ortax.org
128 Edisi PPh Badan | Maret 2017

b. hibah yang memenuhi syarat Pasal 4 ayat (3) huruf a angka


2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994;
c. cara lain yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan pada saat
pengalihan tersebut.

Yang dimaksud dengan "saham pendiri" adalah saham yang dimiliki


oleh mereka yang termasuk kategori "pendiri" sebagaimana
dimaksud di atas.

Termasuk dalam pengertian "saham pendiri" adalah:


a. saham yang diperoleh pendiri yang berasal dari kapitalisasi
agio yang dikeluarkan setelah penawaran umum perdana
("initial public offering");
b. saham yang yang berasal dari pemecahan saham pendiri.

Tidak Termasuk dalam pengertian "saham pendiri" adalah :


a. saham yang diperoleh pendiri yang berasal dari pembagian
dividen dalam bentuk saham;
b. saham yang diperoleh pendiri setelah penawaran umum
perdana ("initial public offering") yang berasal dari
pelaksanaan hak pemesanan efek terlebih dahulu (right
issue), waran, obligasi konversi dan efek konversi lainnya;
c. saham yang diperoleh pendiri perusahaan Reksa Dana.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah ini, atas saham pendiri yang


dimiliki pemilik saham pendiri dan belum dialihkan sampai dengan
ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini dikenakan tambahan Pajak
Penghasilan sebesar 0,5% (setengah persen) dari nilai saham. Yang
dimaksud dengan nilai saham adalah nilai saham pada saat
penutupan bursa di akhir tahun 1996 atau tanggal 30 Desember
1996.

Dalam hal pada saat penutupan bursa per 30 Desember 1996, saham
perusahaan tersebut belum diperdagangkan di bursa efek maka nilai
saham sebagai dasar pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah harga saham pada saat penawaran
umum perdana.

Angka 3

Pasal 2A

Kepada pemilik saham pendiri diberikan kemudahan untuk memilih tarif dan
tata cara penyetoran tambahan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1A berdasarkan perhitungannya sendiri sebagai berikut :
a. Bagi pemilik saham pendiri dari perusahaan yang sahamnya telah
diperdagangkan di bursa efek sebelum Peraturan Pemerintah ini
ditetapkan, Pajak Penghasilan harus sudah disetor dalam jangka
waktu selambat-lambatnya dari 6 (enam) bulan setelah
ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini.
b. Dalam hal saham perusahaan tersebut belum diperdagangkan di
bursa efek pada saat Peraturan Pemerintah ini ditetapkan, pemilik
saham pendiri tersebut harus menyetor tambahan Pajak Penghasilan
selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah saham perusahaan
tersebut pertama kali diperdagangkan di bursa efek.
c. Dalam hal pemilik saham pendiri memilih untuk tidak menggunakan
kemudahan dalam penyetoran kewajiban Pajak Penghasilannya
sebagaimana dimaksud dalam huruf a atau huruf b, maka
terhadapnya dikenakan Pajak Penghasilan sesuai dengan tarif umum
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994.

Angka 4

Pasal 3A

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 129

Cukup jelas.

Pasal II

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3689

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=132

www.ortax.org
Peraturan Pemerintah RI :
130 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PP Nomor 131 Tahun 2000

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 131 TAHUN 2000

TENTANG

PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DEPOSITO DAN TABUNGAN


SERTA DISKONTO SERTIFIKAT BANK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000,
perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta
Diskonto Sertifikat Bank Indonesia;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua
Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262),
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3984);
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263), sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985);
4. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);
5. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3844);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DEPOSITO DAN TABUNGAN SERTA
DISKONTO SERTIFIKAT BANK INDONESIA.

Pasal 1

(1) Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia
dipotong Pajak Penghasilan yang bersifat final.

(2) Termasuk bunga yang harus dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
adalah bunga yang diterima atau diperoleh dari deposito dan tabungan yang ditempatkan di luar
negeri melalui bank yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar
negeri di Indonesia.

(3) Dengan memperhatikan perkembangan moneter, Menteri Keuangan dapat menetapkan pengenaan
Pajak Penghasilan atas diskonto Sertifikat Bank Indonesia selain sebagaimana ditentukan dalam ayat
(1).

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku terhadap orang pribadi Subjek Pajak
dalam negeri yang seluruh penghasilannya dalam 1 (satu) tahun Pajak termasuk bunga dan diskonto
tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak.

(5) Orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat mengajukan permohonan restitusi atas
pajak yang telah dipotong sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai permohonan restitusi diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal
Pajak.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 131

Pasal 2

Pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga dari deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank lndonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah sebagai berikut :
a. dikenakan pajak final sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto, terhadap Wajib Pajak dalam
negeri dan bentuk usaha tetap.
b. dikenakan pajak final sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto atau dengan tarif
berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku, terhadap Wajib Pajak luar negeri.

Pasal 3

(1) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tidak dilakukan terhadap :
a. bunga dari deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia sepanjang jumlah
deposito dan tabungan serta Sertifikat Bank lndonesia tersebut tidak melebihi Rp 7.500.000,00
(tujuh juta lima ratus ribu rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah;
b. bunga data diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di Indonesia atau
cabang bank luar negeri di Indonesia;
c. bunga deposito dan tabungan serta diskonto sertifikat Bank Indonesia yang diterima atau
diperoleh Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sepanjang
dananya diperoleh dari sumber pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-
undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun;
d. bunga tabungan pada bank yang ditunjuk Pemerintah dalam rangka pemilikan rumah
sederhana dan sangat sederhana, kaveling siap bangun untuk rumah sederhana dan sangat
sederhana, atau rumah susun sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk dihuni
sendiri.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri
Keuangan, Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah dan atau Gubernur Bank Indonesia, baik
secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing.

Pasal 4

(1) Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) dan Bank Indonesia wajib memotong Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.

(2) Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan dan bank yang menjual kembali
Sertifikat Bank Indonesia kepada pihak lain yang bukan Dana Pensiun yang pendiriannya belum
disahkan oleh Menteri Keuangan dan bukan bank wajib memotong Pajak Penghasilan atas diskonto
Sertifikat Bank Indonesia tersebut.

Pasal 5

Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini diatur dengan Keputusan
Menteri Keuangan.

Pasal 6

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1994 tentang Pajak
Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia (Lembaran Negara
Republik lndonesia Tahun 1994 Nomor 80, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3582) dinyatakan tidak
berlaku.

Pasal 7

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

www.ortax.org
132 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 15 Desember 2000
A.n. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
WAKIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 Desember 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DJOHAN EFFENDI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 236

PENJELASAN
ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 131 TAHUN 2000

TENTANG

PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DEPOSITO DAN TABUNGAN


SERTA DISKONTO SERTIFIKAT BANK INDONESIA

UMUM

Dalam rangka pembiayaan Negara guna pelaksanaan pembangunan yang semakin meningkat, peran serta
seluruh lapisan masyarakat dalam ikut memikul pembiayaan pembangunan perlu terus ditingkatkan melalui
pelaksanaan Undang-undang perpajakan yang makin mantap. Disamping itu, dengan meningkatnya
pendapatan masyarakat, dana yang dihimpun oleh bank melalui piranti pengerahan dana dalam bentuk
deposito, tabungan dan Sertifikat Bank Indonesia telah semakin berkembang, sehingga pengenaan pajak atas
bunga dan diskonto perlu diamankan dan disesuaikan. Walaupun demikian terhadap deposito dan tabungan
kecil tetap perlu dikecualikan pengenaannya guna melindungi para penabung kecil yang pada umumnya masih
berpenghasilan rendah.

Sejalan dengan pemikiran di atas, berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun
2000, perlu mengatur kembali ketentuan tentang pengenaan pajak atas bunga deposito dan tabungan serta
diskonto Sertifikat Bank Indonesia.

Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi, badan, lembaga, atau organisasi berupa bunga yang
berasal dari deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank lndonesia dikenakan pemotongan pajak
Penghasilan sebagai berikut :
a. Dibebaskan dari pemotongan Pajak Penghasilan sepanjang jumlah deposito dan tabungan serta
Sertifikat Bank Indonesia tersebut tidak melebihi Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah)
dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah;
b. Dikenakan Pajak Penghasilan final sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto, dalam hal
jumlah deposito dan tabungan serta Sertifikat Bank Indonesia tersebut lebih dari Rp 7.500.000,00
(tujuh juta lima ratus ribu rupiah).

Atas penghasilan bunga yang diterima atau diperoleh dari deposito dan tabungan yang ditempatkan di luar

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 133

negeri melalui bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia wajib dipotong
Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen).

Perlu ditegaskan bahwa setoran pelunasan Ongkos Naik Haji adalah bukan merupakan deposito atau tabungan.

Untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang seluruh penghasilannya ditambah dengan bunga dan atau
diskonto tersebut tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak, atas pajak yang telah dipotong dapat diajukan
permohonan pengembalian (restitusi).

Walaupun bank dan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan pada saat membeli
Sertifikat Bank Indonesia dari Bank Indonesia atau dari bank yang ditunjuk dikecualikan dari pemotongan
Pajak Penghasilan, namun apabila bank atau dana pensiun tersebut menjual kembali Sertifikat Bank Indonesia
kepada pihak lain, atas diskonto yang berupa selisih nominal dengan harga jualnya harus dipotong Pajak
Penghasilan oleh bank atau dana pensiun tersebut.

Dalam hal yang menerima atau memperoleh penghasilan berupa bunga atau diskonto tersebut adalah Wajib
Pajak luar negeri, diberlakukan pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 20% (dua puluh
persen) atau tarif lain sesuai dengan ketentuan dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Yang dimaksud dengan deposito adalah deposito dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk
deposito berjangka, sertifikat deposito dan deposit on call baik dalam rupiah maupun dalam valuta
asing yang ditempatkan pada atau diterbitkan oleh bank.

Sedangkan yang dimaksud dengan tabungan adalah simpanan pada bank dengan nama apapun,
termasuk giro, yang penarikannya dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh
masing-masing bank.

Termasuk dalam pengertian deposito dan tabungan seperti tersebut di atas adalah deposito dan
tabungan dalam rupiah maupun valuta asing yang ditempatkan di luar negeri melalui bank yang
didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia.

Ayat (1) dan Ayat (2)

Pemotongan Pajak Penghasilan yang diatur dalam ayat (1) dan ayat (2) bersifat final. Oleh
karena itu, apabila Wajib Pajak menerima atau memperoleh penghasilan berupa bunga yang
berasal dari deposito dan tabungan termasuk jasa giro serta diskonto Sertifikat Bank
Indonesia, penghasilan tersebut tidak perlu digabung dengan penghasilan lainnya dalam
penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang dalam pengisian Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan. Demikian pula Pajak Penghasilan yang telah dipotong tersebut
tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

Ayat (3)

Sertifikat Bank Indonesia dapat digunakan sebagai alat kebijaksanaan moneter, oleh karena
itu selaras dengan perkembangan moneter, pengenaan pajak atas diskonto Sertifikat Bank
Indonesia dapat ditetapkan lain dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Ayat (4), Ayat (5) dan Ayat (6)

Dalam hal seluruh penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri termasuk bunga dan
diskonto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak,
Pajak Penghasilan yang telah dipotong dapat diminta kembali dengan mengajukan
permohonan pengembalian (restitusi).

Pengembalian pajak yang telah dipotong tersebut dilakukan melalui prosedur restitusi
sederhana yang ketentuannya ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 2

Atas penghasilan berupa bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan
dalam negeri serta bentuk usaha tetap dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan final sebesar 20%
(dua persen) dari jumlah bruto, dalam hal jumlah deposito dan tabungan serta Sertifikat Bank

www.ortax.org
134 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Indonesia tersebut lebih dari Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah), dan bukan
merupakan jumlah yang dipecah-pecah.

Pada prinsipnya, Wajib Pajak luar negeri dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan atas penghasilan
berupa bunga atau diskonto yang diterima atau diperoleh di Indonesia sebesar 20% (dua puluh persen)
atau sesuai dengan ketentuan dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku dan
bersifat final. Wajib Pajak luar negeri yang melakukan usaha atau kegiatan melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia, atas penghasilannya dipotong Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan dalam
huruf a Pasal ini dan bersifat final.

Pasal 3

Ayat (1)

Walaupun penghasilan berupa bunga atau diskonto yang diterima atau diperoleh bank di
Indonesia dan cabang bank luar negeri di Indonesia tidak dipotong Pajak Penghasilan
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini, tetapi penghasilan tersebut wajib dilaporkan dalam
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sesuai dengan tarif Pasal 17 Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000.

Untuk melindungi para deposan dan penabung kecil, atas bunga tabungan yang diterima atau
diperoleh para penabung kecil tersebut tidak dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan,
sepanjang jumlah deposito dan tabungan serta Sertifikat Bank Indonesia tersebut tidak
melebihi Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) dan bukan merupakan jumlah
yang dipecah-pecah.

Demikian pula atas bunga atau diskonto yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan serta bunga tabungan pada bank yang
ditunjuk pemerintah dalam rangka pemilikan rumah sederhana dan sangat sederhana,
kaveling siap bangun untuk rumah sederhana dan sangat sederhana, atau rumah susun
sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku, tidak dilakukan pemotongan Pajak
Penghasilan.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 4

Ayat (1)

Dengan ketentuan ini, bank termasuk Bank Indonesia wajib memotong Pajak Penghasilan atas
bunga dan diskonto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1. Selain wajib memotong Pajak
Penghasilan atas bunga dan diskonto yang dibayarkan atau terutang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (1), bank-bank tersebut juga wajib memotong Pajak Penghasilan atas
bunga dari deposito dan tabungan yang ditempatkan di luar negeri melalui bank yang didirikan
di Indonesia atau cabang bank luar negeri yang beroperasi di Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2).

Ayat (2)

Dalam hal bank atau dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan
menjual kembali Sertifikat Bank Indonesia kepada pihak lainyang bukan bank atau kepada
dana pensiun yang pendiriannya belum disahkan oleh Menteri Keuangan, atas diskonto
Sertifikat Bank Indonesia dimaksud, yaitu berupa selisih antara nilai nominal Sertifikat Bank
Indonesia dengan harga jualnya, wajib dipotong Pajak Penghasilan oleh bank atau dana
pensiun penjual.

Sedangkan pihak lain tersebut apabila kemudian menjual kembali Sertifikat Bank Indonesia,
maka selisih antara nilai nominal dengan harga jualnya merupakan keuntungan karena
pengalihan harta yang tidak perlu dipotong Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan
Pemerintah ini, namun demikian keuntungan tersebut wajib dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan dari Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh
keuntungan tersebut.

Pasal 5

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 135

Cukup jelas

Pasal 6

Cukup jelas

Pasal 7

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4039

Status :
Peraturan Pemerintah - 131 TAHUN 2000 Telah mengalami perubahan atau penyempurnaan
oleh Peraturan Pemerintah - 123 TAHUN 2015, Tanggal 28 Des 2015

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=35

www.ortax.org
Peraturan Pemerintah RI :
136 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PP Nomor 132 Tahun 2000

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 132 TAHUN 2000

TENTANG

PAJAK PENGHASILAN ATAS HADIAH UNDIAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17
Tahun 2000 dan dalam rangka meningkatkan penerimaan Negara dari sektor pajak khususnya pajak atas
hadiah undian, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pajak Penghasilan atas Hadiah Undian;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua
Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 127), Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS HADIAH UNDIAN.

Pasal 1

Atas penghasilan berupa hadiah undian dengan nama dan dalam bentuk apapun dipotong atau dipungut Pajak
Penghasilan yang bersifat final.

Pasal 2

Besarnya Pajak Penghasilan yang wajib dipotong atau dipungut atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 adalah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah bruto hadiah undian.

Pasal 3

Penyelenggara undian wajib memotong atau memungut Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 dan Pasal 2.

Pasal 4

Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini ditetapkan oleh Menteri
Keuangan dengan memperhatikan rekomendasi dari instansi yang terkait.

Pasal 5

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1994 tentang Pajak
Penghasilan atas Hadiah Undian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 71, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3575) dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 6

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 137

penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 15 Desember 2000
A.n. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
WAKIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 15 Desember 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DJOHAN EFFENDI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 237

PENJELASAN
ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 132 TAHUN 2000

TENTANG

PAJAK PENGHASILAN ATAS HADIAH UNDIAN

UMUM

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, penghasilan
yang diterima atau diperoleh dari hadiah undian dengan nama dan dalam bentuk apapun merupakan Objek
Pajak Penghasilan. Dengan demikian apabila orang pribadi atau badan menerima atau memperoleh
penghasilan dari hadiah undian, penghasilan tersebut termasuk dalam pengertian penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000.

Untuk memberikan kemudahan dan kepastian hukum serta meningkatkan kepatuhan orang pribadi atau badan
dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, dan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, pengenaan Pajak Penghasilan atas hadiah undian tersebut
perlu diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.

Mengingat bahwa penghasilan berupa hadiah undian bukan merupakan suatu imbalan langsung atas pekerjaan
atau jasa yang dilakukan oleh Wajib Pajak, dan cara memperolehnya juga tidak memerlukan biaya dan tenaga
sebagaimana yang terjadi dalam imbalan atas pekerjaan, oleh karena itu penghasilan berupa hadiah undian
dengan nama dan dalam bentuk apapun, dipotong Pajak Penghasilan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dan
bersifat final. Pemotongan Pajak Penghasilan tersebut wajib dilakukan oleh semua penyelenggara undian.

www.ortax.org
138 Edisi PPh Badan | Maret 2017

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Atas hadiah undian yang dibayarkan atau diserahkan kepada orang pribadi atau badan dikenakan
Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Yang dimaksud dengan hadiah undian adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
diberikan melalui undian.

Pasal 2

Dalam rangka meningkatkan penerimaan Negara dari sektor pajak, penghasilan berupa hadiah undian
dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh orang pribadi dan badan baik
dalam negeri maupun luar negeri dikenakan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan sebesar
25% (dua puluh lima persen) dari jumlah bruto nilai hadiah.

Pengertian nilai hadiah adalah nilai uang atau nilai pasar apabila hadiah tersebut diserahkan dalam
bentuk natura misalnya mobil.

Pasal 3

Penyelenggara undian adalah orang pribadi, badan, kepanitiaan, organisasi (termasuk organisasi
internasional) atau penyelenggara lainnya termasuk pengusaha yang menjual barang atau jasa yang
memberikan hadiah dengan cara diundi.

Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan Pasal 2 wajib dipotong atau dipungut
oleh penyelenggara undian tersebut.

Pasal 4

Cukup jelas

Pasal 5

Cukup jelas

Pasal 6

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4040

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=36

www.ortax.org
Peraturan Pemerintah RI :
PP Nomor 5 Tahun 2002 Edisi PPh Badan | Maret 2017 139

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 5 TAHUN 2002

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 29 TAHUN 1996


TENTANG PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN
DARI PERSEWAAN TANAH DAN/ATAU BANGUNAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa dalam rangka memberikan kepastian hukum dan perlakuan yang sama kepada penerima penghasilan
dari persewaan tanah dan/atau bangunan baik badan maupun orang pribadi, perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 tentang Pembayaran Pajak
penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Ketiga
Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3984);

3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan
dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor
46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3636);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 29 TAHUN 1996
TENTANG PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PERSEWAAN TANAH DAN/ATAU
BANGUNAN.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 tentang Pembayaran Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan, diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 2 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 2

(1) Atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yang diterima atau diperoleh dari
penyewa yang bertindak atau ditunjuk sebagai Pemotong Pajak, wajib dipotong Pajak
Penghasilan oleh penyewa.

(2) Dalam hal penyewa bukan sebagai Pemotong Pajak maka Pajak Penghasilan yang terutang
wajib dibayar sendiri oleh orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh
penghasilan."

2. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga keseluruhan Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 3

www.ortax.org
140 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Besarnya Pajak Penghasilan yang wajib dipotong atau dibayar sendiri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 adalah sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau
bangunan dan bersifat final."

Pasal II

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 2002.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Maret 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

MEGAWATI SOEKARNO PUTRI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 Maret 2002
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA

ttd

BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 10

PENJELASAN
ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 5 TAHUN 2002

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 29 TAHUN 1996


TENTANG PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN
DARI PERSEWAAN TANAH DAN/ATAU BANGUNAN

UMUM

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan, telah ditetapkan tarif Pajak Penghasilan atas
penghasilan yang diterima badan dari persewaan tanah dan/atau bangunan sebesar 6% (enam persen) dan
atas penghasilan yang diterima orang pribadi dari persewaan tanah dan/atau bangunan sebesar 10% (sepuluh
persen). Dalam rangka memberikan kepastian hukum dan perlakuan yang sama kepada penerima penghasilan
dari persewaan tanah dan/atau bangunan tersebut, dipandang perlu untuk menetapkan tarif yang sama yaitu
sebesar 10% (sepuluh persen) baik atas penghasilan yang diterima badan maupun orang pribadi.

PASAL DEMI PASAL

Pasal I

Angka 1

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 141

Pasal 2

Cukup jelas

Angka 2

Pasal 3

Cukup jelas

Pasal II

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4174

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=77

www.ortax.org
Peraturan Pemerintah RI :
142 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PP Nomor 27 Tahun 2008

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 27 TAHUN 2008

TENTANG

PAJAK PENGHASILAN ATAS DISKONTO SURAT PERBENDAHARAAN NEGARA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa dalam rangka lebih mendorong pertumbuhan pasar Surat Perbendaharaan Negara, perlu
mengatur kembali ketentuan pengenaan pajak atas transaksi Surat Perbendaharaan Negara
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pajak Penghasilan atas
Diskonto Surat Perbendaharaan Negara;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan dalam rangka
melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2000, tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan,
perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pajak Penghasilan Atas Diskonto Surat Perbendaharaan
Negara;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan
Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3985);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS DISKONTO SURAT PERBENDAHARAAN NEGARA.

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :


1. Surat Utang Negara adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang baik dalam mata uang
rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik
Indonesia sesuai dengan masa berlakunya, yang terdiri atas Surat Perbendaharaan Negara dan
Obligasi Negara
2. Surat Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disebut SPN adalah Surat Utang Negara yang berjangka
waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto.
3. Pasar Perdana adalah kegiatan penawaran dan penjualan Surat Utang Negara untuk pertama kali.
4. Pasar Sekunder adalah kegiatan perdagangan Surat Utang Negara yang telah dijual di Pasar Perdana.
5. Diskonto SPN adalah selisih lebih antara :
a. nilai nominal pada saat jatuh tempo dengan harga perolehan di Pasar Perdana atau di Pasar
Sekunder; atau
b. harga jual di Pasar Sekunder dengan harga perolehan di Pasar Perdana atau di Pasar
Sekunder,
tidak termasuk Pajak Penghasilan yang dipotong.

Pasal 2

(1) Atas penghasilan tertentu dari Wajib Pajak berupa Diskonto SPN dikenakan pemotongan Pajak
Penghasilan yang bersifat final.
(2) Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
a. 20% (dua puluh persen), bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT); dan
b. 20% (dua puluh persen) atau tarif sesuai ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
(P3B) yang berlaku bagi Wajib Pajak penduduk/berkedudukan di luar negeri.
dari Diskonto SPN.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 143

Pasal 3

Pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan oleh :


a. Penerbit SPN (emiten) atau kustodian yang ditunjuk selaku agen pembayar, atas Diskonto SPN yang
diterima pemegang SPN saat jatuh tempo; atau
b. Perusahaan efek (broker) atau bank selaku pedagang perantara maupun selaku pembeli, atas
Diskonto SPN yang diterima di Pasar Sekunder.

Pasal 4

Pemotongan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak dilakukan atas Diskonto SPN yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak :
a. Bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia;
b. Dana Pensiun yang pendirian/pembentukannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
c. Reksadana yang terdaftar pada Badan pengawas Pasar Modal dan Lembaga, selama 5 (lima) tahun
pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha.

Pasal 5

Ketentuan mengenai tata cara pemotongan Pajak penghasilan atas Diskonto SPN diatur dengan Peraturan
Menteri Keuangan.

Pasal 6

SPN yang diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dan pemungutan PPh sudah dilakukan
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pajak Penghasilan atas Diskonto Surat
Perbendaharaan Negara, tidak dipungut lagi berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 7

Pada saat Peraturan pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pajak
Penghasilan atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 8

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 April 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 4 April 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

ANDI MATTALATTA

www.ortax.org
144 Edisi PPh Badan | Maret 2017

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 52

PENJELASAN
ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 27 TAHUN 2008

TENTANG

PAJAK PENGHASILAN ATAS DISKONTO SURAT PERBENDAHARAAN NEGARA

I. UMUM

Perlakuan Pajak Penghasilan atas penghasilan tertentu berupa Diskonto Surat Perbendaharaan Negara
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2006, dipandang masih belum efektif
dan efisien pengenaan Pajak Penghasilannya dan kurang mendukung kebijakan fiskal Pemerintah.
Oleh karena itu, guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengenaan Pajak Penghasilan atas
Diskonto SPN serta untuk memberikan kemudahan dan kejelasan bagi masyarakat dalam rangka
memahami ketentuan perpajakan atas SPN, maka dipandang perlu mengatur kembali pengenaan Pajak
Penghasilan atas Diskonto SPN sehingga lebih memberikan kepastian hukum, keadilan, dan kemudahan
dalam pelaksaannya sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Yang dimaksud dengan "SPN yang diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini"
adalah SPN dengan Nomor Seri SPN 2008052801.

Pasal 7

Cukup jelas.

Pasal 8

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 145

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4837

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13192

www.ortax.org
Peraturan Pemerintah RI :
146 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PP Nomor 16 Tahun 2009

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 16 TAHUN 2009

TENTANG

PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BERUPA BUNGA OBLIGASI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa dengan dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan, perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan Pajak Penghasilan atas penghasilan
berupa bunga obligasi;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf a dan Pasal 17 ayat (7) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Bunga Obligasi;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BERUPA BUNGA OBLIGASI.

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:


1. Obligasi adalah surat utang dan surat utang negara, yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas)
bulan.
2. Bunga Obligasi adalah imbalan yang diterima dan/atau diperoleh pemegang Obligasi dalam bentuk
bunga dan/atau diskonto.

Pasal 2

(1) Atas penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh Wajib Pajak berupa Bunga Obligasi dikenai
pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila penerima penghasilan berupa
Bunga Obligasi adalah:
a. Wajib Pajak dana pensiun yang pendirian atau pembentukannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan dan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf h
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan; dan
b. Wajib Pajak bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia.

Pasal 3

Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah:
a. bunga dari Obligasi dengan kupon sebesar:
1) 15% (lima belas persen) bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap; dan
2) 20% (dua puluh persen) atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran pajak
berganda bagi Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap,
dari jumlah bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan Obligasi;
b. diskonto dari Obligasi dengan kupon sebesar:

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 147

1) 15% (lima belas persen) bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap; dan
2) 20% (dua puluh persen) atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran
pajak berganda bagi Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap,
dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi, tidak termasuk bunga
berjalan;
c. diskonto dari Obligasi tanpa bunga sebesar:
1) 15% (lima belas persen) bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap; dan
2) 20% (dua puluh persen) atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran pajak
berganda bagi wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap,
dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi; dan
d. bunga dan/atau diskonto dari Obligasi yang diterima dan/atau diperoleh Wajib Pajak reksadana yang
terdaftar pada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan sebesar:
1) 0% (nol persen) untuk tahun 2009 sampai dengan tahun 2010;
2) 5% (lima persen) untuk tahun 2011 sampai dengan tahun 2013; dan
3) 15% (lima belas persen) untuk tahun 2014 dan seterusnya.

Pasal 4

Pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan oleh:


a. penerbit Obligasi atau kustodian selaku agen pembayaran yang ditunjuk, atas bunga dan/atau diskonto
yang diterima pemegang Obligasi dengan kupon pada saat jatuh tempo Bunga Obligasi, dan diskonto
yang diterima pemegang Obligasi tanpa bunga pada saat jatuh tempo Obligasi; dan/atau
b. perusahaan efek, dealer, atau bank, selaku pedagang perantara dan/atau pembeli, atas bunga dan
diskonto yang diterima penjual Obligasi pada saat transaksi.

Pasal 5

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemotongan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan atas
Bunga Obligasi diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 6

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2002 tentang Pajak
Penghasilan atas Bunga dan Diskonto Obligasi yang Diperdagangkan dan/atau Dilaporkan Perdagangannya di
Bursa Efek (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4175), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 7

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 Februari 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 9 Februari 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 33

www.ortax.org
148 Edisi PPh Badan | Maret 2017

PENJELASAN
ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 16 TAHUN 2009

TENTANG

PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BERUPA BUNGA OBLIGASI

I. UMUM

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan terdapat perubahan materi sehingga
perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai Pajak Penghasilan atas penghasilan berupa
Bunga Obligasi yanq sebelumnya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2002 tentang
Pajak Penghasilan atas Bunga dan Diskonto Obligasi yang Diperdagangkan dan/atau Dilaporkan
Perdagangannya di Bursa Efek.

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, terhadap
penghasilan berupa Bunga Obligasi dapat dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final yang diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Ketentuan Pasal 17 ayat (7) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa dengan Peraturan
Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan berupa Bunga Obligasi.

Materi pokok yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini mengenai pengenaan Pajak Penghasilan yang
bersifat final dan penetapan besaran tarif pajak terhadap penghasilan berupa Bunga Obligasi.

Tujuan pengaturan ini adalah untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak, meningkatkan
efektivitas dan efisiensi pengenaan pajak, serta untuk mendorong berkembangnya perdagangan
Obligasi di Indonesia.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Huruf a

Yang dimaksud dengan "Obligasi dengan kupon" dikenal dengan istilah interest bearing
debt securities.

Yang dimaksud dengan "masa kepemilikan" dikenal dengan istilah holding period.

Huruf b

Yang dimaksud dengan "bunga berjalan" dikenal dengan istilah accrued interest.

Huruf c

Yang dimaksud dengan "Obligasi tanpa bunga" dikenal dengan istilah non-interest
bearing debt securities.

Huruf d

Cukup Jelas.
Pasal 4

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 149

Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4982

Status :
Peraturan Pemerintah - 16 TAHUN 2009 Telah mengalami perubahan atau penyempurnaan
oleh Peraturan Pemerintah - 100 TAHUN 2013, Tanggal 31 Des 2013

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13614

www.ortax.org
Peraturan Pemerintah RI :
150 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PP Nomor 40 Tahun 2009

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 40 TAHUN 2009

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 51 TAHUN 2008


TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN
DARI USAHA JASA KONSTRUKSI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa dalam rangka memberikan kemudahan dalam pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan
dari usaha jasa konstruksi dan untuk menjaga iklim usaha sektor jasa konstruksi agar tetap kondusif,
perlu melakukan penyesuaian terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha
Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 109, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4881);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 51 TAHUN 2008
TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA JASA KONSTRUKSI.

Pasal I

Ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan
dari Usaha Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 109, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4881) diubah dan di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 3 (tiga) pasal
baru yakni Pasal 10A, Pasal 10B, dan Pasal 10C yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 10

Terhadap kontrak yang ditandatangani sebelum tanggal 1 Agustus 2008, untuk pembayaran kontrak atau
bagian dari kontrak yang dilakukan sampai dengan tanggal 31 Desember 2008, pengenaan Pajak Penghasilan
adalah sebagai berikut:
a. atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dari
usaha di bidang jasa konstruksi ditentukan sebagai berikut:
1) dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan;
2) dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final bagi Wajib Pajak yang memenuhi kualifikasi
sebagai usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang,
serta yang mempunyai nilai pengadaan sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 151

b. atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a
angka 1) ditentukan sebagai berikut:
1) dikenakan pemotongan pajak berdasarkan ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan oleh pengguna jasa dalam hal pengguna jasa adalah badan Pemerintah, Subjek
Pajak badan dalam negeri, bentuk usaha tetap, atau orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam
negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal
23 tersebut pada saat pembayaran uang muka dan termin;
2) dikenakan pajak berdasarkan ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000
tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan dalam hal pemberi penghasilan adalah pengguna jasa lainnya selain sebagaimana
dimaksud dalam angka 1).
c. atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a
angka 2) ditentukan sebagai berikut:
1) dikenakan pemotongan pajak yang bersifat final sesuai dengan ketentuan dalam huruf d oleh
pengguna jasa, dalam hal pengguna jasa adalah badan Pemerintah, Subjek Pajak badan dalam
negeri, bentuk usaha tetap, atau orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang ditunjuk
oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan pada saat pembayaran uang muka dan termin;
2) dikenakan pajak yang bersifat final sesuai ketentuan dalam huruf d, dengan cara menyetor
sendiri Pajak Penghasilan yang terutang pada saat menerima pembayaran uang muka dan
termin, dalam hal pemberi penghasilan adalah pengguna jasa lainnya selain yang dimaksud
dalam angka 1).
d. Besarnya Pajak Penghasilan yang terutang dan harus dipotong oleh pengguna jasa atau disetor sendiri
oleh Wajib Pajak penyedia jasa yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam huruf c ditetapkan
sebagai berikut:
1) 4% (empat persen) dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa perencanaan
konstruksi;
2) 2% (dua persen) dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa pelaksanaan
konstruksi; atau
3) 4% (empat persen) dari jumlah bruto, yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa pengawasan
konstruksi.

Pasal 10A

Terhadap kontrak yang ditandatangani sebelum tanggal 1 Agustus 2008, untuk pembayaran kontrak atau
bagian dari kontrak dilakukan setelah tanggal 31 Desember 2008 berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. dalam hal berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan ditandatangani oleh Penyedia Jasa dan
Pengguna Jasa sampai dengan tanggal 31 Desember 2008, pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan
berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10;
b. dalam hal berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan ditandatangani oleh Penyedia Jasa dan
Pengguna Jasa sejak tanggal 1 Januari 2009 atau penyelesaian pekerjaan tidak menggunakan berita
acara serah terima penyelesaian pekerjaan, pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan berdasarkan
ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan
dari Usaha Jasa Konstruksi.

Pasal 10B

Terhadap kontrak yang ditandatangani sejak tanggal 1 Agustus 2008, pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan
berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi.

Pasal 10C

Kerugian dari usaha Jasa Konstruksi yang masih tersisa sampai dengan Tahun Pajak 2008 hanya dapat
dikompensasikan sampai dengan Tahun Pajak 2008.

Pasal II

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Agustus 2008.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

www.ortax.org
152 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 Juni 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 4 Juni 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 83

PENJELASAN
ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 40 TAHUN 2009

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 51 TAHUN 2008


TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN
DARI USAHA JASA KONSTRUKSI

I. UMUM

Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha
Jasa Konstruksi telah mengatur mengenai pengenaan besaran Pajak Penghasilan dari usaha jasa
konstruksi. Agar pelaksanaan pengenaan Pajak Penghasilan dari usaha jasa konstruksi tersebut dapat
menjaga iklim usaha sektor jasa konstruksi tetap kondusif dengan meningkatnya harga bahan material,
maka perlu melakukan penyesuaian terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa
Konstruksi.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal I

Pasal 10

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Dalam ketentuan ini masih diberlakukan ketentuan Undang-Undang Nomor 17

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 153

Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun


1983 tentang Pajak Penghasilan, mengingat pemberlakukan Peraturan
Pemerintah ini terhitung sejak tanggal 1 Agustus 2008, sedangkan perubahan
Pasal 23 dan Pasal 25 yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan, baru berlaku pada tanggal 1 Januari 2009. Dengan
demikian, pada tanggal 1 Agustus 2008 sampai dengan tanggal 31 Desember
2008 masih berlaku ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.

Huruf c

Lihat penjelasan huruf b.

Huruf d

Lihat penjelasan huruf b.

Pasal 10A

Lihat Penjelasan Pasal 10 huruf b

Contoh pengenaan Pajak Penghasilan, untuk kontrak yang ditandatangani tanggal 1


Januari 2008 untuk pekerjaan senilai Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah):
- Apabila berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan tahap I
ditandatangani tanggal 15 Mei 2008 dan pembayaran kontrak sebesar
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tanggal 20 Juni 2008, maka
pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 10;
- Apabila berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan tahap II
ditandatangani tanggal 15 Nopember 2008 dan pembayaran kontrak sebesar
Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah) tanggal 10 Januari 2009, maka
pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 10;
- Apabila berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan tahap III
ditandatangani tanggal 15 April 2009 dan pembayaran kontrak sebesar
Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) tanggal 20 Mei 2009, maka
pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan berdasarkan ketentuan Peraturan
Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan
dari Usaha Jasa Konstruksi.

Berita acara serah terima penyerahan pekerjaan tersebut merupakan dokumen yang
ditandatangani oleh Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa yang memuat tingkat
persentase penyelesaian pekerjaan yang sudah dicapai oleh Penyedia Jasa serta nilai
penyelesaian pekerjaan.

Pasal 10B

Cukup jelas.

Pasal 10C

Cukup jelas.

Pasal II

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5014

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13819

www.ortax.org
Peraturan Pemerintah RI :
154 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PP Nomor 80 Tahun 2010

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 80 TAHUN 2010

TENTANG

TARIF PEMOTONGAN DAN PENGENAAN


PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN
YANG MENJADI BEBAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
ATAU ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang pajak Penghasilan, perlu mengatur kembali tarif
pemotongan dan pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil,
Anggota Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pensiunannya
atas penghasilan yang menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
1994 tentang Pajak Penghasilan bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia, dan Para Pensiunan atas Penghasilan yang Dibebankan kepada
Keuangan Negara atau Keuangan Daerah;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan sesuai dengan ketentuan
Pasal 21 ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang pajak Penghasilan, perlu menetapkan
Peraturan pemerintah tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas
Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TARIF PEMOTONGAN DAN PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21
ATAS PENGHASILAN YANG MENJADI BEBAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA ATAU ANGGARAN
PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH.

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:


1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
2. Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau
kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
3. Pejabat Negara adalah Pejabat Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok-Pokok
Kepegawaian,
4. Pegawai Negeri Sipil, yang selanjutnya disingkat PNS, adalah PNS sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Pokok-Pokok Kepegawaian.
5. Anggota Tentara Nasional Indonesia, yang selanjutnya disebut Anggota TNI adalah anggota TNI
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Kepegawaian.
6. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut anggota POLRI adalah anggota

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 155

POLRI sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Kepegawaian.


7. Pensiunan adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh imbalan atas pekerjaan yang
dilakukan di masa lalu sebagai Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI atau Anggota POLRI, termasuk janda
atau duda dan/atau anak-anaknya.
8. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan
tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
9. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan
tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 2

(1) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi
beban APBN atau APBD ditanggung oleh pemerintah atas beban APBN atau APBD.
(2) Penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi penghasilan tetap dan teratur bagi:
a. Pejabat Negara, untuk:
1) gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan; atau
2) imbalan tetap sejenisnya
yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. PNS, Anggota TNI, dan Anggota POLRI, untuk gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan
teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
dan
c. Pensiunan, untuk uang pensiun dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan
yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
(3) Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan
menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang pajak Penghasilan atas jumlah penghasilan
bruto setelah dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak
Kena Pajak.

Pasal 3

(1) Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya tidak memiliki Nomor
Pokok Wajib Pajak, atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang dibebankan pada APBN atau
APBD dikenai tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 lebih tinggi sebesar 20% (dua puluh persen) daripada
tarif yang diterapkan terhadap Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya
yang memiliki Nomor Pokok wajib Pajak.
(2) Tambahan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar 20% (dua puluh persen) sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dipotong dari penghasilan yang diterima Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI,
dan Pensiunannya.
(3) Pemotongan atas tambahan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
pada saat penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dibayarkan.

Pasal 4

(1) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun yang menjadi beban
APBN atau APBD, dipotong oleh bendahara pemerintah yang membayarkan honorarium atau imbalan
lain tersebut,
(2) Pajak Penghasilan pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat final dengan tarif:
a. sebesar 0% (nol persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi PNS Golongan
I dan Golongan II, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Tamtama dan Bintara,
dan Pensiunannya;
b. sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi PNS Golongan
III, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Pertama, dan pensiunannya;
c. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi pejabat
Negara, PNS Golongan IV, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat perwira
Menengah dan perwira Tinggi, dan Pensiunannya.

Pasal 5

Dalam hal PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya diangkat sebagai pimpinan dan/atau anggota
pada lernbaga yang tidak termasuk sebagai pejabat Negara, atas penghasilan yang menjadi beban APBN atau
APBD terkait dengan kedudukannya sebagai pimpinan dan/atau anggota pada lembaga tersebut dikenai
pemotongan pajak penghasilan Pasal 21 sesuai dengan Undang-Undang pajak penghasilan dan tidak ditanggung

www.ortax.org
156 Edisi PPh Badan | Maret 2017

oleh Pemerintah.

Pasal 6

(1) Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI Anggota POLRI, dan Pensiunannya, menerima atau
memperoleh penghasilan lain yang tidak dikenai Pajak penghasilan bersifat final di luar penghasilan
tetap dan teratur yang menjadi beban APBN atau APBD, penghasilan lain tersebut digunggungkan
dengan penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilar Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan.
(2) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang ditanggung oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 2
ayat (1) dan tambahan Pajak penghasilan pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasiian yang terutang atas seluruh penghasilan yang telah
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib pajak orang pribadi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 7

Ketentuan mengenai tata cara pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI,
Anggota POLRI, dan Pensiunannya atas penghasilan yang menjadi beban APBN atau APBD diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 8

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1994 tentang Pajak
Penghasilan bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan
Para Pensiunan atas Penghasilan yang Dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3577), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 9

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2011.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan pernerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia,

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 2010
PRESIDEN REPUBUK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

PATRIALIS AKBAR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 140

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 157

PENJELASAN
ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 80 TAHUN 2010

TENTANG

TARIF PEMOTONGAN DAN PENGENAAN


PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN
YANG MENJADI BEBAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
ATAU ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH

I. UMUM

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahaa Keempat atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan terdapat perubahan materi sehingga
perlu dilakukan penyesuaian ketentuan mengenai tarif pemotongan dan pengenaan pajak penghasilan
Pasal 21 bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia, Anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pensiunannya atas penghasilan yang menjadi beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang
sebelumnya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan bagi
Pejabat Negara, pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan Para
Pensiunan atas Penghasilan yang Dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah.

Berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (5) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, tarif pemotongan atas
penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa
pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, dengan Peraturan Pemerintah
dapat ditetapkan lain yang berbeda dengan tarif pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1)
huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Terhadap penghasilan berupa gaji dan tunjangan lain atau uang pensiun dan tunjangan lain yang
bersifat tetap dan teratur setiap bulan yang dibebankan dalam APBN atau APBD yang besarnya
ditetapkan oleh ketentuan peraturan perudang-undangan, yang diterima oleh Pejabat Negara, PNS,
Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya, Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang ditanggung
oleh pemerintah.

Sedangkan atas penghasilan selain gaji dan tunjangan lain atau uang pensiun dan tunjangan lain yang
bersifat tetap dan teratur setiap bulan atau imbalan tetap sejenisnya berupa honorarium atau imbalan
lain dengan nama apapun yang menjadi beban APBN atau APBD, dikenai pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final.

Pengenaan tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final kepada golongan kepangkatan tertentu
bagi PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI dan Pensiunannya merupakan insentif.

Pengenaan pajak yang bersifat final dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kesederhanaan
administrasi bagi fiskus, bendahara pemerintah sebagai pemotong pajak dan Wajib Pajak orang pribadi
yang dipotong pajak.

Dalam rangka melaksanakan kewajiban untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak maka bagi Pejabat
Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dart Pensiunannya yang tidak memiliki NPWP, atas
penghasilan berupa gaji dan tunjangan lain atau uang pensiun dan tunjangan lain yang bersifat tetap
dan teratur setiap bulan atau imbalan tetap sejenisnya dikenai pemotongan PPh Pasal 21 dengan taif
20% lebih tinggi yang dipotong dari penghasilan yang diterima setiap bulan.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Ayat (1)

www.ortax.org
158 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Penghasilan yang diberikan dalam mata uang asing yang ditetapkan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk dalam pengertian penghasilan
tetap dan teratur setiap bulan.

Apabila PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan pensiunannya merangkap juga sebagai
pejabat Negara, maka penghasilan yang diterima baik berupa gaji atau uang pensiun
dan tunjangan lain sebagai PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan pensiunannya,
maupun penghasilan berupa gaji kehormatan dan tunjangan lainnya atau imbalan tetap
sejenisnya selaku pejabat Negara, pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang juga
ditanggung oleh pemerintah selaku pemberi kerja.

Ayat (2)

Huruf a

Termasuk dalam pengertian "gaji dan tunjangan lain" adalah gaji dan
tunjangan ke-13.

Huruf b

Lihat penjelasan huruf a.

Huruf c

Termasuk dalam pengertian "uang pensiun dan tunjangan lain" adalah uang
pensiun dan tunjangan ke-13.

Ayat (3)

Cukup jeias.

Pasal 3

Ayat (1)

Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak dibuktikan oleh Pejabat Negara, PNS, Anggota
TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya antara lain dengan menunjukkan kartu Nomor
Pokok Wajib Pajak.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 4

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "bendahara pemerintah" adalah bendahara pengeluaran pada


kementerian/lembaga, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Penghasilan Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya yang
menerima penghasilan lain yang tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final (misalnya
penghasilan berupa laba usaha, royalti, atau keuntungan penjualan aktiva) digabung dengan

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 159

penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dalam perhitungan Pajak Penghasilan yang terutang
yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib pajak orang pribadi yang
bersangkutan.

Pasal 7

Cukup jelas.

Pasal 8

Cukup jelas.

Pasal 9

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5174

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=14533

www.ortax.org
Peraturan Pemerintah RI :
160 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PP Nomor 31 Tahun 2011

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 31 TAHUN 2011

TENTANG

PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 17 TAHUN 2009


TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI
TRANSAKSI DERIVATIF BERUPA KONTRAK BERJANGKA YANG
DIPERDAGANGKAN DI BURSA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa Pasal 2, Pasal 3 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), serta Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 17
Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak
Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung dinyatakan
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi in casu Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) huruf c
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan karenanya tidak sah dan tidak berlaku umum;
b. bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa tidak dapat dilaksanakan
dengan tidak berlakunya Pasal 2, Pasal 3 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), serta Pasal 5; dan
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan
di Bursa;

Mengingat :

Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 17 TAHUN 2009 TENTANG
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI TRANSAKSI DERIVATIF BERUPA KONTRAK BERJANGKA YANG
DIPERDAGANGKAN DI BURSA.

Pasal 1

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi
Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4983) dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.

Pasal 2

Terhadap Pajak Penghasilan yang bersifat final atas penghasilan dari transaksi derivatif berupa kontrak
berjangka yang diperdagangkan di bursa yang telah dipungut berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17
Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang
Diperdagangkan Di Bursa, dikembalikan dan pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan mekanisme pengembalian
kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.

Pasal 3

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 161

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 6 Juni 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Juni 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

PATRIALIS AKBAR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 60

PENJELASAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 31 TAHUN 2011

TENTANG

PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 17 TAHUN 2009


TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI
TRANSAKSI DERIVATIF BERUPA KONTRAK BERJANGKA YANG
DIPERDAGANGKAN DI BURSA

I. UMUM

Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Register Perkara Nomor 22P/HUM/2009 terkait dengan
permohonan hak uji materiil terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pajak
Penghasilan Atas Penghasilan Dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka Yang Diperdagangkan
Di Bursa, Pasal 2, Pasal 3 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), serta Pasal 5 Peraturan Pemerintah
Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa
Kontrak Berjangka Yang Diperdagangkan Di Bursa bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi
in casu Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan oleh karena itu tidak sah
dan tidak berlaku umum.

Berdasarkan hal tersebut perlu dibentuk Peraturan Pemerintah tentang Pencabutan Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif
Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa.

Terhadap Pajak Penghasilan yang bersifat final atas penghasilan dari transaksi derivatif berupa kontrak
berjangka yang diperdagangkan di bursa yang telah dipungut berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa
Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan Di Bursa, dikembalikan dan pelaksanaannya dilakukan sesuai
dengan mekanisme pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

www.ortax.org
162 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5220

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=14739

www.ortax.org
Peraturan Pemerintah RI :
PP Nomor 100 Tahun 2013 Edisi PPh Badan | Maret 2017 163

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 100 TAHUN 2013

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 16 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK


PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BERUPA BUNGA OBLIGASI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

a. bahwa untuk lebih mendorong pengembangan reksadana di Indonesia, serta meningkatkan peran
reksadana untuk menyerap obligasi dan meningkatkan likuiditas pasar obligasi di Indonesia, perlu
dilakukan perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan Atas
Penghasilan Berupa Bunga Obligasi;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pajak
Penghasilan Atas Penghasilan Berupa Bunga Obligasi.

Mengingat:

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Berupa Bunga
Obligasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4982).

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 16 TAHUN 2009
TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BERUPA BUNGA OBLIGASI.

Pasal 1

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan Atas
Penghasilan Berupa Bunga Obligasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 33, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4982) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 2 ayat (2) diubah dan menambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (3), sehingga Pasal 2
berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2

(1) Atas penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh Wajib Pajak berupa Bunga Obligasi dikenai
pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal penerima penghasilan
berupa Bunga Obligasi adalah:
a. Wajib Pajak dana pensiun yang pendirian atau pembentukannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan dan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat
(3) huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan; dan
b. Wajib Pajak bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri
di Indonesia.
(3) Penghasilan berupa Bunga Obligasi yang diterima dan/atau diperoleh Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b, dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum sesuai
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan."

www.ortax.org
164 Edisi PPh Badan | Maret 2017

2. Ketentuan Pasal 3 huruf d angka 1) dihapus, angka 2) dan angka 3) diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 3

Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah:
a. bunga dari Obligasi dengan kupon sebesar:
1) 15% (lima belas persen) bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap; dan
2) 20% (dua puluh persen) atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan
penghindaran pajak berganda bagi Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap,
dari jumlah bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan Obligasi;
b. diskonto dari Obligasi dengan kupon sebesar:
1) 15% (lima belas persen) bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap; dan
2) 20% (dua puluh persen) atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan
penghindaran pajak berganda bagi Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap,
dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi, tidak termasuk
bunga berjalan;
c. diskonto dari Obligasi tanpa bunga sebesar:
1) 15% (lima belas persen) bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap; dan
2) 20% (dua puluh persen) atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan
penghindaran pajak berganda bagi Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap,
dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi; dan
d. bunga dan/atau diskonto dari obligasi yang diterima dan/atau diperoleh Wajib Pajak reksadana
yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan sebesar:
1) Dihapus;
2) 5% (lima persen) untuk tahun 2014 sampai dengan tahun 2020; dan
3) 10% (sepuluh persen) untuk tahun 2021 dan seterusnya."

Pasal II

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 31 Desember 2013
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 31 Desember 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI
MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

Ttd.

AMIR SYAMSUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 259

PENJELASAN

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 165

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 100 TAHUN 2013

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 16 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK


PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BERUPA BUNGA OBLIGASI

I. UMUM

Untuk lebih mendorong pengembangan reksadana di Indonesia, serta meningkatkan peran reksadana
untuk menyerap obligasi dan meningkatkan likuiditas pasar obligasi di Indonesia, perlu untuk dilakukan
perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan Berupa Bunga Obligasi.

Pokok-pokok perubahan atau penyempurnaan tersebut adalah melakukan penyesuaian tarif dan jangka
waktu pengenaan Pajak Penghasilan atas Bunga Obligasi yang diterima dan/atau diperoleh Wajib Pajak
reksadana yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal I

Pasal 2

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun


dikecualikan dari objek pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Huruf b

Cukup jelas.

Ayat (3)

Walaupun penghasilan berupa Bunga Obligasi yang diterima atau diperoleh


Wajib Pajak bank di Indonesia dan cabang bank luar negeri di Indonesia tidak
dipotong Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini, tetapi
penghasilan tersebut wajib dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif sesuai
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun
2008.

Pasal 3

Huruf a

Yang dimaksud dengan "Obligasi dengan kupon" adalah yang dikenal dengan
istilah interest bearing debt securities.

Yang dimaksud dengan "masa kepemilikan" adalah yang dikenal dengan istilah
holding period.

Huruf b

Yang dimaksud dengan "bunga berjalan" adalah yang dikenal dengan istilah
accrued interest.

www.ortax.org
166 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Huruf c

Yang dimaksud dengan "obligasi tanpa bunga" adalah yang dikenal dengan
istilah non-interest bearing debt securities.

Huruf d

Cukup jelas.

Pasal II

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 5488

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15429

www.ortax.org
Peraturan Pemerintah RI :
PP Nomor 123 Tahun 2015 Edisi PPh Badan | Maret 2017 167

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 123 TAHUN 2015

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 131 TAHUN 2000


TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DEPOSITO DAN TABUNGAN
SERTA DISKONTO SERTIFIKAT BANK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa dalam rangka menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap mata uang dolar Amerika Serikat
dan mendukung penguatan perekonomian nasional, perlu mengatur kembali tarif Pajak Penghasilan atas
bunga deposito sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 tentang
Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia, khusus
deposito yang dananya bersumber dari Devisa Hasil Ekspor dalam mata uang dolar Amerika Serikat dan
rupiah yang ditempatkan di perbankan di Indonesia;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun
2000 tentang Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank
Indonesia;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan
Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 236, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4039);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 131 TAHUN 2000
TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DEPOSITO DAN TABUNGAN SERTA DISKONTO SERTIFIKAT BANK
INDONESIA.

Pasal I

Ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito
dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 236, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4039) diubah, sehingga Pasal 2 berbunyi
sebagai berikut:

Pasal 2

Pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga dari deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah sebagai berikut:
a. Atas bunga dari deposito dalam mata uang dolar Amerika Serikat yang dananya bersumber dari Devisa
Hasil Ekspor dan ditempatkan di dalam negeri pada bank yang didirikan atau bertempat kedudukan
di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
dengan tarif sebagai berikut:
1. Tarif 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu 1 (satu)
bulan;

www.ortax.org
168 Edisi PPh Badan | Maret 2017

2. Tarif 7,5% (tujuh koma lima persen) dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu
3 (tiga) bulan;
3. Tarif 2,5% (dua koma lima persen) dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu
6 (enam) bulan; dan
4. Tarif 0% (nol persen) dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu lebih dari
6 (enam) bulan.
b. Atas bunga dari deposito dalam mata uang rupiah yang dananya bersumber dari Devisa Hasil Ekspor
dan ditempatkan di dalam negeri pada bank yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau
cabang bank luar negeri di Indonesia dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebagai
berikut:
1. Tarif 7,5% (tujuh koma lima persen) dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu
1 (satu) bulan;
2. Tarif 5% (lima persen) dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan;
dan
3. Tarif 0% (nol persen) dari jumlah bruto, untuk deposito dengan jangka waktu 6 (enam) bulan
atau lebih dari 6 (enam) bulan.
c. Atas bunga dari tabungan dan diskonto Sertifikat Bank Indonesia, serta bunga dari deposito selain dari
deposito sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat
final dengan tarif sebagai berikut:
1. Tarif 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto, terhadap Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk
usaha tetap; dan
2. Tarif 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto atau dengan tarif berdasarkan Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku, terhadap Wajib Pajak luar negeri.

Pasal II

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2015
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 346

PENJELASAN
ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 123 TAHUN 2015

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 169

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 131 TAHUN 2000


TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DEPOSITO DAN TABUNGAN
SERTA DISKONTO SERTIFIKAT BANK INDONESIA

I. UMUM

Untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap mata uang dolar Amerika Serikat, serta mendukung
penguatan perekonomian nasional, dipandang perlu untuk melakukan perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta
Diskonto Sertifikat Bank Indonesia.

Pokok-pokok perubahan atau penyempurnaan tersebut adalah melakukan penyesuaian tarif Pajak
Penghasilan atas bunga dari deposito, baik deposito dalam mata uang dolar Amerika Serikat maupun
deposito dalam mata uang rupiah, yang dananya bersumber dari Devisa Hasil Ekspor dan ditempatkan
di dalam negeri pada bank yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar
negeri di Indonesia.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal I

Pasal 2

Huruf a

Pengertian Devisa Hasil Ekspor merujuk pada pengertian Devisa Hasil Ekspor
sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia mengenai penerimaan
Devisa Hasil Ekspor.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Wajib Pajak luar negeri dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan atas


penghasilan berupa bunga atau diskonto yang diterima atau diperoleh
di Indonesia sebesar 20% (dua puluh persen) atau sesuai dengan ketentuan
dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku dan bersifat final.
Wajib Pajak luar negeri yang melakukan usaha atau kegiatan melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia, atas penghasilannya dipotong Pajak Penghasilan
sebesar 20% (dua puluh persen) dan bersifat final.

Pasal II

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5803

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15965

www.ortax.org
Peraturan Pemerintah RI :
170 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PP Nomor 34 Tahun 2016

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 34 TAHUN 2016

TENTANG

PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS


TANAH DAN/ATAU BANGUNAN, DAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI
ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN BESERTA PERUBAHANNYA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa dalam rangka percepatan pelaksanaan program pembangunan pemerintah untuk kepentingan
umum, pemberian kemudahan dalam berusaha, serta pemberian perlindungan kepada masyarakat
berpenghasilan rendah, perlu mengatur kembali kebijakan atas Pajak Penghasilan atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan, dan perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya;
b. bahwa dalam rangka pengaturan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu mengganti
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan
dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan
Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari
Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah dan/atau
Bangunan Beserta Perubahannya;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS
TANAH DAN/ATAU BANGUNAN, DAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN
BESERTA PERUBAHANNYA.

Pasal 1

(1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari:
a. pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;atau
b. perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya,
terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final.
(2) Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh pihak yang mengalihkan hak atas tanah
dan/atau bangunan melalui penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah,
waris, atau cara lain yang disepakati antara para pihak.
(3) Penghasilan dari perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah penghasilan dari:
a. pihak penjual yang namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli pada saat
pertama kali ditandatangani; atau
b. pihak pembeli yang namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli sebelum

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 171

terjadinya perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli, atas terjadinya perubahan
pihak pembeli dalam perjanjian pengikatan jual beli tersebut.

Pasal 2

(1) Besarnya Pajak Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a adalah sebesar:
a. 2,5% (dua koma lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan selain pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa Rumah Sederhana atau
Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;
b. 1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa
Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha
pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;atau
c. 0% (nol persen) atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah, badan
usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus dari Pemerintah, atau badan usaha milik
daerah yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah, sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang yang mengatur mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum.
(2) Nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. nilai berdasarkan keputusan pejabat yang berwenang, dalam hal pengalihan hak kepada
pemerintah;
b. nilai menurut risalah lelang, dalam hal pengalihan hak sesuai dengan peraturan lelang (Vendu
Reglement Staatsblad Tahun 1908 Nomor 189 beserta perubahannya);
c. nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan dilakukan melalui jual beli yang dipengaruhi hubungan istimewa, selain pengalihan
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b;
d. nilai yang sesungguhnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan dilakukan melalui jual beli yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa, selain
pengalihan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b;atau
e. nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh berdasarkan harga pasar, dalam hal pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui tukar-menukar, pelepasan hak,
penyerahan hak, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati antara para pihak.
(3) Besarnya Pajak Penghasilan atas penghasilan dari perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau
bangunan beserta perubahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b berdasarkan
tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari jumlah bruto, yaitu:
a. nilai yang sesungguhnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan tanah dan/atau
bangunan dilakukan melalui pengalihan yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa;atau
b. nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan tanah dan/atau bangunan
dilakukan melalui pengalihan yang dipengaruhi hubungan istimewa.
(4) Kriteria Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dan huruf b, sesuai dengan kriteria Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang mendapat
fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pasal 3

(1) Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a, wajib menyetor sendiri
Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a dan huruf b
ke bank/pos persepsi sebelum akta, keputusan, kesepakatan, atau risalah lelang atas pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.
(2) Bagi orang pribadi atau badan yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a, Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terutang pada saat diterimanya sebagian atau seluruh pembayaran atas
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
(3) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan jumlah setiap
pembayaran termasuk uang muka, bunga, pungutan, dan pembayaran tambahan lainnya yang dipenuhi
oleh pembeli, sehubungan dengan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut.
(4) Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dibayar oleh orang pribadi
atau badan yang bersangkutan ke bank/pos persepsi paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan
berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran.
(5) Pejabat yang berwenang hanya menandatangani akta, keputusan, kesepakatan, atau risalah lelang atas
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan apabila kepadanya dibuktikan oleh orang pribadi atau
badan dimaksud bahwa kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi dengan

www.ortax.org
172 Edisi PPh Badan | Maret 2017

menyerahkan fotokopi Surat Setoran Pajak atau hasil cetakan sarana administrasi lain yang disamakan
dengan Surat Setoran Pajak yang bersangkutan yang telah dilakukan penelitian oleh Kantor Pelayanan
Pajak.
(6) Pejabat yang berwenang menandatangani akta, keputusan, kesepakatan, atau risalah lelang wajib
menyampaikan laporan bulanan mengenai penerbitan akta, keputusan, kesepakatan, atau risalah lelang
atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada
Direktur Jenderal Pajak.
(7) Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) meliputi pejabat pembuat
akta tanah, pejabat lelang, atau pejabat lain yang diberi wewenang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 4

(1) Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan melalui jual beli atau tukar-menukar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1)
huruf a kepada pemerintah, dipungut Pajak Penghasilan oleh bendahara pemerintah atau pejabat yang
melakukan pembayaran atau pejabat yang menyetujui tukar menukar.
(2) Bendahara pemerintah atau pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyetor Pajak
Penghasilan yang telah dipungut ke bank/pos persepsi sebelum melakukan pembayaran kepada orang
pribadi atau badan yang berhak menerimanya atau sebelum tukar menukar dilaksanakan.
(3) Penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak atas nama orang
pribadi atau badan yang menerima pembayaran atau yang melakukan tukar-menukar.
(4) Bendahara pemerintah atau pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan laporan
mengenai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 5

(1) Pelunasan Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan dari perubahan perjanjian pengikatan jual
beli atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b dilakukan
melalui penyetoran sendiri oleh orang pribadi atau badan yang merupakan pihak pembeli dan namanya
tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli sebelum terjadinya perubahan atau adendum atas
perjanjian pengikatan jual beli tersebut.
(2) Pihak penjual hanya menandatangani perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli apabila
kepadanya dibuktikan bahwa kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi dengan
menyerahkan fotokopi Surat Setoran Pajak atau hasil cetakan sarana administrasi lain yang disamakan
dengan Surat Setoran Pajak yang bersangkutan, yang telah dilakukan penelitian oleh Kantor Pelayanan
Pajak.
(3) Pihak penjual sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus menyampaikan laporan mengenai perubahan
atau adendum perjanjian pengikatan jual beli atas pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan
kepada Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 6

Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (3) adalah:
a. orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak yang melakukan
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihannya kurang dari
Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah;
b. orang pribadi yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah
kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan
pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha
mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang
hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara
pihak-pihak yang bersangkutan;
c. badan yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada
badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri
Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
d. pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan karena waris;
e. badan yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan dalam rangka
penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha yang telah ditetapkan Menteri Keuangan untuk
menggunakan nilai buku;

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 173

f. orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan harta berupa bangunan dalam rangka
melaksanakan perjanjian bangun guna serah, bangun serah guna, atau pemanfaatan barang milik
negara berupa tanah dan/atau bangunan; atau
g. orang pribadi atau badan yang tidak termasuk subjek pajak yang melakukan pengalihan harta berupa
tanah dan/atau bangunan.

Pasal 7

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional hanya mengeluarkan surat keputusan
pemberian hak, pengakuan hak, dan peralihan hak atas tanah, apabila permohonannya dilengkapi dengan Surat
Setoran Pajak atau hasil cetak sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) dan Pasal 4 ayat (3), kecuali permohonan sehubungan dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c dan Pasal 6.

Pasal 8

(1) Pejabat yang berwenang menandatangani akta, keputusan, kesepakatan atau risalah lelang yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) dan/atau Pasal 3 ayat (6) dikenai
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pihak penjual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan/atau Pasal 5 ayat (3), dikenai sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 9

Ketentuan lebih lanjut mengenai:


a. tata cara penyetoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 5;
b. pengecualian dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; dan
c. pelaporan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6), Pasal 4 ayat (4), dan Pasal 5 ayat (3),
diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 10

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan
pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1994 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3580) sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 164,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4914), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 11

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang
Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3580) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun
2008 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 164, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4914), dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 12

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

www.ortax.org
174 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 Agustus 2016
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 Agustus 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 168

PENJELASAN
ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 34 TAHUN 2016

TENTANG

PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS


TANAH DAN/ATAU BANGUNAN, DAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI
ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN BESERTA PERUBAHANNYA

I. UMUM

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Undang-Undang
Pajak Penghasilan), penghasilan yang diterima atau diperoleh dari penjualan atau pengalihan harta
merupakan objek Pajak Penghasilan. Dalam hal orang pribadi atau badan menerima atau memperoleh
penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, maka penghasilan tersebut
termasuk dalam pengertian penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d
Undang-Undang tersebut. Namun, ketentuan yang bersifat lebih khusus atas jenis penghasilan dimaksud
diatur berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi diperlukan percepatan pembangunan infrastruktur


oleh pemerintah untuk kepentingan umum, sehingga dalam Peraturan Pemerintah ini diatur mengenai
kebijakan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan
dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

Untuk lebih memberikan kemudahan dan kesederhanaan dalam menghitung Pajak Penghasilan atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan perjanjian pengikatan jual beli dan
perubahannya, pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan dimaksud yang semula bersifat tidak
final menjadi bersifat final bagi orang pribadi atau badan sebagai pihak pembeli yang namanya
tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli sebelum terjadinya perubahan atau adendum perjanjian
pengikatan jual beli.

Dalam rangka memberikan kepastian hukum dan memberikan kenyamanan dalam pembayaran Pajak
Penghasilan, orang pribadi atau badan yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan tanah dan/atau

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 175

bangunan, Pajak Penghasilan terutang pada saat atas diterimanya sebagian atau seluruh pembayaran
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Ayat (1)

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan, serta penghasilan yang timbul dari perjanjian
pengikatan jual beli beserta perubahannya, baik dalam kegiatan usahanya maupun
di luar usahanya, wajib dibayar atau dipungut Pajak Penghasilannya pada saat
terjadinya transaksi dan pengenaan Pajak Penghasilan tersebut bersifat final.

Ayat (2)

Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan kepada Pemerintah atau
kepada pihak lain selain Pemerintah.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 2

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Pada umumnya dalam penjualan harta berupa tanah dan/atau bangunan, nilai
penjualan bagi pihak penjual adalah nilai yang sesungguhnya diterima atau
nilai berdasarkan transaksi yang sebenarnya.

Dalam hal penjualan harta berupa tanah dan/atau bangunan dipengaruhi oleh
hubungan istimewa, nilai penjualan bagi pihak penjual adalah nilai yang
seharusnya diterima berdasarkan harga pasar yang wajar atau berdasarkan
penilaian oleh penilai independen. Adanya hubungan istimewa antara pembeli
dan penjual dapat menyebabkan harga penjualan menjadi lebih besar atau
lebih kecil dibandingkan dengan jika penjualan tersebut tidak dipengaruhi oleh
hubungan istimewa.

Oleh karena itu dalam ketentuan ini diatur bahwa nilai penjualan harta berupa
tanah dan/atau bangunan bagi penjual adalah jumlah yang seharusnya
diterima.

Yang dimaksud dengan hubungan istimewa adalah sebagaimana dimaksud


dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Pajak Penghasilan.

Huruf e

Cukup jelas.

www.ortax.org
176 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Ayat (3)

Nilai yang diterima atau diperoleh pihak pembeli yang namanya tercantum dalam
perjanjian pengikatan jual beli atau perjanjian sejenis lainnya sebelum terjadinya
perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli atau perjanjian sejenis lainnya
adalah nilai yang sesungguhnya berdasarkan transaksi yang sebenarnya.

Dalam hal dipengaruhi oleh hubungan istimewa, nilai pengalihan adalah nilai yang
seharusnya diterima berdasarkan harga pasar yang wajar atau berdasarkan penilaian
oleh penilai independen. Adanya hubungan istimewa antara para pihak yang
bertransaksi dapat menyebabkan harga menjadi lebih besar atau lebih kecil
dibandingkan jika transaksi tersebut tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Oleh
karena itu dalam ketentuan ini diatur bahwa nilai yang diterima atau diperoleh pihak
pembeli yang namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli atau perjanjian
sejenis lainnya sebelum terjadinya perubahan atau adendum perjanjian pengikatan
jual beli atau perjanjian sejenis lainnya adalah jumlah yang seharusnya diterima.

Yang dimaksud dengan hubungan istimewa adalah sebagaimana dimaksud dalam


Undang-Undang yang mengatur mengenai Pajak Penghasilan.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 3

Ayat (1)

Pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang
pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan
kepada pihak lain selain pemerintah, wajib dilakukan sendiri oleh orang pribadi atau
badan yang bersangkutan sebelum akta, keputusan, kesepakatan ditandatangani oleh
pejabat yang berwenang. Sedangkan dalam hal penjualan lelang, Pajak Penghasilan
yang terutang disetorkan oleh Pejabat Lelang atas nama orang pribadi atau badan yang
hartanya dilelang.

Ayat (2)

Sebagai ilustrasi, PT Bangun Property menjual 1 (satu) unit apartemen seharga


Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Tuan Adi membayar uang muka sebesar
Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) pada tanggal 25 Februari 2017 dan sisanya
diangsur selama 24 (dua puluh empat) bulan. Meskipun belum dilakukan
penandatanganan akta jual beli antara PT Bangun Poperty dengan Tuan Adi, atas
transaksi tersebut telah terutang Pajak Penghasilan yaitu pada saat diterimanya uang
muka sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan saat diterimanya
angsuran sebesar Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) setiap bulannya.

Ayat (3)

Dengan menggunakan ilustrasi pada ayat (2), dalam hal PT Bangun Property
mengenakan tambahan biaya sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) sebagai
kompensasi pembayaran melalui angsuran selain pokok angsuran setiap bulan yang
sebesar Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) tersebut, maka dasar pengenaan
Pajak Penghasilan setiap bulannya adalah sebesar Rp26.000.000,00 (dua puluh enam
juta rupiah).

Ayat (4)

Dengan menggunakan ilustrasi pada ayat (2), maka PT Bangun Property wajib
membayarkan Pajak Penghasilan yang terutang atas pembayaran uang muka, yaitu
sebesar 2,5% dari Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) atau sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan
Maret 2017.

Ayat (5)

Yang dimaksud dengan Kantor Pelayanan Pajak adalah Kantor Pelayanan Pajak yang

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 177

melakukan penelitian atas fotokopi Surat Setoran Pajak atau hasil cetakan sarana
administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak dimana tanah dan/atau
bangunan yang dialihkan tersebut berada.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Pasal 4

Ayat (1)

Pemenuhan kewajiban Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
yang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada
pemerintah, dilakukan melalui pemungutan Pajak Penghasilan oleh bendahara
pemerintah atau pejabat yang melakukan pembayaran atau yang menyetujui tukar
menukar.

Pemenuhan kewajiban Pajak Penghasilan tersebut dilakukan dengan memperhatikan


ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Penyetoran Pajak Penghasilan yang dipungut dilakukan dengan menggunakan Surat


Setoran Pajak atas nama orang pribadi atau badan yang menerima pembayaran atau
yang melakukan tukar menukar, bukan atas nama bendahara pemerintah atau pejabat
pemungut. Penyetoran Pajak Penghasilan melalui bank/pos persepsi dilakukan sebelum
pembayaran kepada orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh
penghasilan dilaksanakan.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 5

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Untuk memberikan kepastian hukum kapan perubahan atau adendum perjanjian


pengikatan jual beli atau perjanjian sejenis lainnya ditandatangani oleh pihak penjual,
maka diatur mengenai ketentuan bahwa perubahan atau adendum perjanjian
pengikatan jual beli atau perjanjian sejenis lainnya hanya ditandatangani apabila Pajak
Penghasilan yang terutang telah disetor ke kas Negara.

Yang dimaksud dengan pihak penjual adalah pihak yang namanya tercantum sebagai
penjual dalam perjanjian pengikatan jual beli atau perjanjian sejenis lainnya.

Yang dimaksud dengan Kantor Pelayanan Pajak adalah Kantor Pelayanan Pajak yang
melakukan penelitian atas fotokopi Surat Setoran Pajak atau hasil cetakan sarana
administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak dimana tanah dan/atau
bangunan yang dialihkan tersebut berada.

Ayat (3)

Cukup jelas.

www.ortax.org
178 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Pasal 6

Mengingat Pengenaan Pajak Penghasilan dalam Peraturan Pemerintah ini dihitung berdasarkan
nilai bruto pengalihan tanah dan/atau bangunan, maka untuk memberikan kepastian hukum,
perlu diatur pengecualian dari kewajiban membayar Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan
Pemerintah ini atas transaksi pengalihan tanah dan/atau bangunan yang penghasilannya
dikecualikan dari objek pajak atau tidak terdapat kewajiban Pajak Penghasilan berdasarkan
Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Apabila orang pribadi melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan
dengan cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat,
dan kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,
koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak
ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara
pihak-pihak yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d
angka 4 Undang-Undang Pajak Penghasilan, maka keuntungan karena pengalihan
tersebut bukan merupakan objek pajak dan tidak terutang Pajak Penghasilan.
Termasuk dalam pengertian hibah adalah wakaf.

Huruf c

Apabila badan melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan dengan
cara hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk
yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak
ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara
pihak-pihak yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d
angka 4 Undang-Undang Pajak Penghasilan, maka keuntungan karena pengalihan
tersebut bukan merupakan objek pajak dan tidak terutang Pajak Penghasilan.
Termasuk dalam pengertian hibah adalah wakaf.

Huruf d

Pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan karena warisan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf b Undang-Undang Pajak Penghasilan, bukan
merupakan objek pajak.

Pada prinsipnya yang dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan Peraturan Pemerintah
ini adalah pihak yang melakukan pengalihan. Dalam hal waris, pihak yang melakukan
pengalihan (pewaris) sudah meninggal dunia, sehingga dikecualikan dari pengenaan
Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. Pengecualian tersebut
diberikan karena kewajiban subjektif dari pewaris sudah berakhir sejak pewaris
meninggal dunia.

Huruf e

Pada dasarnya nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka
penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha adalah jumlah yang seharusnya
dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar, kecuali ditetapkan lain oleh
Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang
Pajak Penghasilan yaitu atas dasar nilai sisa buku (pooling of interest).

Apabila badan melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan dalam
rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha, sepanjang telah ditetapkan
Menteri Keuangan untuk menggunakan nilai buku, maka pengalihan tersebut
dikecualikan dari kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan.

Huruf f

Perjanjian bangun guna serah, bangun serah guna, atau pemanfaatan barang milik
negara berupa tanah dan/atau bangunan adalah merupakan perjanjian pemanfaatan

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 179

tanah, yaitu bentuk perjanjian yang menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah
memberikan hak kepada investor untuk mendirikan bangunan selama masa perjanjian
dan investor akan mengalihkan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah
setelah masa pemanfaatan berakhir.

Perjanjian kerja sama dimaksud dapat dilakukan antara swasta dengan swasta atau
swasta dengan Pemerintah. Termasuk swasta adalah badan usaha milik negara dan
badan usaha milik daerah.

Huruf g

Orang pribadi atau badan yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan dan unit tertentu dari badan
Pemerintah yang dikecualikan dari subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (3) huruf b Undang-Undang Pajak Penghasilan yang melakukan pengalihan harta
berupa tanah dan/atau bangunan, dikecualikan dari kewajiban pembayaran Pajak
Penghasilan.

Pasal 7

Terhadap pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dikecualikan dari pengenaan
Pajak Penghasilan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional tidak perlu
meminta kelengkapan berupa Surat Setoran Pajak atau hasil cetak sarana administrasi lain
yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak. Namun demikian, untuk pengecualian atas
pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Kementerian Agraria dan
Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional harus dibuktikan dengan adanya Surat Keterangan
Bebas yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pajak.

Pasal 8

Cukup jelas.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5916

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=16100

www.ortax.org
Peraturan Pemerintah RI :
180 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PP Nomor 40 Tahun 2016

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 40 TAHUN 2016

TENTANG

PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN REAL ESTAT


DALAM SKEMA KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF TERTENTU

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa untuk mendukung pendalaman pasar bagi sektor keuangan serta mendorong pertumbuhan
investasi di bidang real estat, perlu memberikan pengaturan khusus terhadap pengenaan Pajak
Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan real estat dalam skema Kontrak Investasi Kolektif tertentu
dengan Peraturan Pemerintah;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a serta untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf d dan Pasal 17 ayat (7) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Pengalihan Real Estat Dalam Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan:

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN REAL ESTAT
DALAM SKEMA KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF TERTENTU.

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:


1. Kontrak Investasi Kolektif yang selanjutnya disingkat KIK adalah Kontrak Investasi Kolektif sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Pasar Modal.
2. Real Estat adalah tanah secara fisik dan bangunan yang ada di atasnya.
3. Dana Investasi Real Estat yang selanjutnya disebut dengan DIRE adalah wadah yang dipergunakan
untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan pada aset Real
Estat, aset yang berkaitan dengan Real Estat, dan/atau kas dan setara kas.
4. Special Purpose Company yang selanjutnya disebut dengan SPC adalah Perseroan Terbatas yang
sahamnya dimiliki oleh DIRE berbentuk KIK paling kurang 99,9% (sembilan puluh sembilan koma
sembilan persen) dari modal disetor yang dibentuk semata-mata untuk kepentingan DIRE berbentuk
KIK.

Pasal 2

(1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari pengalihan Real Estat kepada SPC atau
KIK dalam skema KIK tertentu, terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final.
(2) Skema KIK tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan suatu skema investasi dalam
bentuk KIK dengan wadah DIRE dengan atau tanpa menggunakan SPC.

Pasal 3

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 181

(1) Tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) sebesar 0,5% (nol koma lima
persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan Real Estat.
(2) Jumlah bruto nilai pengalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. seluruh jumlah yang sesungguhnya diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari SPC atau KIK atas
pengalihan Real Estat dalam skema KIK tertentu, dalam hal Wajib Pajak tidak memiliki
hubungan istimewa dengan SPC atau KIK; atau
b. seluruh jumlah yang seharusnya diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari SPC atau KIK atas
pengalihan Real Estat dalam skema KIK tertentu dalam hal Wajib Pajak memiliki hubungan
istimewa dengan SPC atau KIK.

Pasal 4

(1) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib dibayar sendiri oleh Wajib
Pajak, sebelum akta, keputusan, perjanjian, atau kesepakatan atas pengalihan Real Estat kepada SPC
atau KIK dalam skema KIK tertentu ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.
(2) Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pejabat yang diberi
wewenang untuk menandatangani akta, keputusan, perjanjian, atau kesepakatan atas pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.
(3) Wajib Pajak yang melakukan pengalihan Real Estat dan dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib:
a. menyampaikan surat pemberitahuan kepada kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak
bersangkutan terdaftar mengenai adanya pengalihan Real Estat kepada SPC atau KIK dalam
skema KIK tertentu yang dilengkapi dengan dokumen:
1. fotokopi surat pemberitahuan efektifnya pernyataan pendaftaran DIRE berbentuk KIK
yang diterbitkan dan telah dilegalisasi oleh Otoritas Jasa Keuangan;
2. keterangan dari Otoritas Jasa Keuangan bahwa Wajib Pajak yang mengalihkan Real
Estat bertransaksi dengan SPC atau KIK dalam skema KIK tertentu;
3. surat pernyataan bermeterai yang menyatakan bahwa Wajib Pajak melakukan
pengalihan Real Estat kepada SPC atau KIK dalam skema KIK tertentu; dan
4. fotokopi Surat Setoran Pajak atas penghasilan dari pengalihan Real Estat kepada SPC
atau KIK dalam skema KIK tertentu; dan
b. mendapatkan surat keterangan fiskal dari kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak
bersangkutan terdaftar.
(4) Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat menandatangani akta,
keputusan, perjanjian, atau kesepakatan atas pengalihan Real Estat apabila kepadanya telah dibuktikan
bahwa:
a. Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dibayar dengan menyerahkan
fotokopi Surat Setoran Pajak yang bersangkutan dengan menunjukkan aslinya; dan
b. kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah dipenuhi, dengan menyerahkan fotokopi
surat dan/atau dokumen bersangkutan serta fotokopi tanda bukti penerimaan surat dari kantor
pelayanan pajak tempat Wajib Pajak bersangkutan.
(5) Pejabat yang berwenang menandatangani akta, keputusan, perjanjian, atau kesepakatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan laporan mengenai penerbitan akta, keputusan,
perjanjian, atau kesepakatan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) kepada Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.

Pasal 5

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1), penyampaian surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), dan penyampaian
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 6

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Oktober 2016
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

www.ortax.org
182 Edisi PPh Badan | Maret 2017

ttd.

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 Oktober 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 200

PENJELASAN
ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 40 TAHUN 2016

TENTANG

PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN REAL ESTAT


DALAM SKEMA KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF TERTENTU

I. UMUM

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, penghasilan
yang diterima atau diperoleh dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan
merupakan objek Pajak Penghasilan yang dapat dikenai pajak bersifat final yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Dalam rangka mendukung pendalaman pasar bagi sektor keuangan serta mendorong pertumbuhan
investasi di bidang Real Estat, Pemerintah perlu memberikan dukungan berupa perlakuan Pajak
Penghasilan khusus atas penghasilan dari pengalihan hak atas Real Estat dalam skema Kontrak
Investasi Kolektif tertentu dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur bahwa atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang
pribadi atau badan dari pengalihan hak atas Real Estat kepada Special Purpose Company (SPC) atau
Kontrak Investasi Kolektif (KIK) dalam skema KIK tertentu dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat
final dengan tarif yang lebih rendah dibandingkan tarif Pajak Penghasilan atas penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang berlaku umum sebagaimana diatur dengan
Peraturan Pemerintah tersendiri.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Ayat (1)

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi atau badan
dari pengalihan Real Estat kepada SPC atau KIK dalam skema KIK tertentu, baik dalam

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 183

kegiatan usahanya maupun luar usahanya, wajib dibayar Pajak Penghasilan pada saat
terjadinya transaksi tersebut. Pengalihan yang dimaksud pada ayat ini adalah semua
pengalihan hak atas Real Estat dalam skema KIK tertentu yang dapat dilakukan dengan
cara penjualan, tukar-menukar termasuk ruislag, perjanjian pemindahan hak,
pelepasan hak, penyerahan hak, hibah atau cara lain yang disepakati oleh kedua belah
pihak.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 3

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Dalam hal pengalihan Real Estat dari Wajib Pajak kepada KIK atau SPC dipengaruhi
oleh hubungan istimewa, jumlah bruto nilai pengalihan adalah seluruh jumlah yang
seharusnya diterima berdasarkan harga pasar yang wajar atau berdasarkan penilaian
oleh penilai independen. Adanya hubungan istimewa antara Wajib Pajak dan KIK atau
SPC dapat menyebabkan harga pengalihan menjadi lebih besar atau lebih kecil
dibandingkan dengan jika pengalihan tersebut tidak dipengaruhi oleh hubungan
istimewa. Oleh karena itu dalam ketentuan ini diatur bahwa nilai pengalihan Real Estat
adalah jumlah yang seharusnya diterima. Sedangkan dalam hal Wajib Pajak tidak
memiliki hubungan istimewa dengan KIK atau SPC, nilai pengalihan adalah seluruh
jumlah yang sesungguhnya diterima atau diperoleh Wajib Pajak.

Yang dimaksud dengan hubungan istimewa adalah sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan

Pasal 4

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Termasuk pejabat yang berwenang menandatangani akta, keputusan, perjanjian, atau


kesepakatan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah Notaris, Pejabat
Pembuat Akta Tanah, Camat, atau pejabat lain yang diberi wewenang untuk
menandatangani akta, keputusan, perjanjian, atau kesepakatan atas pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang
pertanahan.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Dalam rangka pengawasan terhadap pelaksanaan hak dan kewajiban Wajib Pajak
sehubungan dengan pengalihan real estat kepada SPC atau KIK dalam skema KIK
Tertentu, Pejabat yang berwenang menandatangani akta, keputusan, perjanjian, atau
kesepakatan wajib menyampaikan laporan kepada Direktur Jenderal Pajak Kementerian
Keuangan setiap menerbitkan akta, keputusan, perjanjian, atau kesepakatan atas
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
kepada Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.

Pasal 5

www.ortax.org
184 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Cukup jelas.

Pasal 6

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5936

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=16155

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
63/PMK.03/2008 Edisi PPh Badan | Maret 2017 185

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 63/PMK.03/2008

TENTANG

TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN ATAS DISKONTO


SURAT PERBENDAHARAAN NEGARA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2008 tentang
Pajak Penghasilan atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan
tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan
Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3985);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Atas Diskonto Surat
Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 52, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4837);
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN ATAS DISKONTO
SURAT PERBENDAHARAAN NEGARA.

Pasal 1

(1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak berupa Diskonto SPN, dikenakan
pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
(2) SPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Surat Perbendaharaan Negara yang merupakan
Surat Utang Negara yang berjangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga
secara diskonto.

Pasal 2

(1) Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah:


a. 20% (dua puluh persen), bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT): dan
b. 20% (dua puluh persen) atau tarif sesuai ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
(P3B) yang berlaku, bagi Wajib Pajak penduduk/berkedudukan di luar negeri,
dari Diskonto SPN.
(2) Tata cara penghitungan dan pemotongan besarya Pajak Penghasilan dari diskonto SPN sesuai dengan
contoh sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini.

Pasal 3

(1) Pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh:
a. Penerbit SPN (emiten) atau kustodian yang ditunjuk selaku agen pembayar, atas Diskonto yang
diterima pemegang SPN saat jatuh tempo;
b. Perusahaan efek (broker) atau bank selaku pedagang perantara (dealer), atas Diskonto yang
diterima atau diperoleh penjual SPN pada saat transaksi di Pasar Sekunder;
c. Perusahaan efek (broker), bank, dana pensiun, dan reksadana selaku pembeli SPN tanpa
melalui pedagang perantara, atas Diskonto yang diterima atau diperoleh penjual SPN pada saat
transaksi di Pasar Sekunder.

www.ortax.org
186 Edisi PPh Badan | Maret 2017

(2) Pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada tanggal transaksi
saat penjualan SPN di Pasar Sekunder atau pada tanggal saat jatuh tempo SPN.

Pasal 4

Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tidak dilakukan atas Diskonto SPN yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak:
a. Bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia;
b. Dana Pensiun yang pendirian/pembentukannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
c. Reksadana yang terdaftar pada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, selama 5 (lima)
tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha.

Pasal 5

(1) Penjual SPN berkewajiban memberitahukan kepada pemotong pajak mengenai harga perolehan SPN
yang sebenarnya, untuk keperluan penghitungan Diskonto yang menjadi dasar pemotongan Pajak
Penghasilan.
(2) Apabila penjual SPN tidak memberitahukan data/informasi yang sebenarnya kepada pemotong pajak,
maka atas penghasilan berupa Diskonto SPN yang tidak atau kurang diberitahukan, dikenakan Pajak
Penghasilan sebagaimana mestinya dalam tahun diketahuinya ketidakbenaran dimaksud ditambah
dengan sanksi administrasi berupa bunga.

Pasal 6

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyetoran, pelaporan, dan ketentuan/prosedur administratif diatur
dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 7

Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 46/PMK.03/2007
tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Penghasilan Atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 8

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut terhitung
sejak tanggal 4 April 2008.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 28 April 2008
MENTERI KEUANGAN

ttd

SRI MULYANI INDRAWATI

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13226

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
79/PMK.03/2008 Edisi PPh Badan | Maret 2017 187

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 79/PMK.03/2008

TENTANG

PENILAIAN KEMBALI AKTIVA TETAP PERUSAHAAN UNTUK TUJUAN PERPAJAKAN

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2000, Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva tetap
apabila terjadi ketidaksesuaian antara unsur biaya dengan penghasilan karena perkembangan harga;
b. bahwa ketentuan sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.03/2002
tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan untuk Tujuan Perpajakan dipandang sudah tidak
memadai sehingga perlu dilakukan penyesuaian/penyempurnaan terhadap kebijakan di bidang
perpajakan mengenai penilaian kembali aktiva tetap perusahaan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk
Tujuan Perpajakan;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4740);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1993 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah bebarapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3985);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan
Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 253, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4055);
4. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENILAIAN KEMBALI AKTIVA TETAP PERUSAHAAN UNTUK TUJUAN
PERPAJAKAN.

Pasal 1

(1) Perusahaan dapat melakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan,
dengan syarat telah memenuhi semua kewajiban pajaknya sampai dengan masa pajak terakhir
sebelum masa pajak dilakukannya penilaian kembali.
(2) Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk
usaha tetap (BUT), tidak termasuk perusahaan yang memperoleh izin menyelenggarakan pembukuan
dalam bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat.

Pasal 2

(1) Untuk melakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan, perusahaan mengajukan permohonan
kepada Direktur Jenderal Pajak.
(2) Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk menerbitkan surat keputusan penilaian kembali aktiva
tetap perusahaan atas permohonan yang diajukan oleh perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).

www.ortax.org
188 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Pasal 3

(1) Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan dilakukan terhadap:


a. seluruh aktiva tetap berwujud, termasuk tanah yang berstatus hak milik atau hak guna
bangunan; atau
b. seluruh aktiva tetap berwujud tidak termasuk tanah, yang terletak atau berada di Indonesia,
dimiliki, dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
merupakan Objek Pajak.
(2) Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilakukan
kembali sebelum lewat jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penilaian kembali aktiva tetap
perusahaan terakhir yang dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini.

Pasal 4

(1) Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan harus dilakukan berdasarkan nilai pasar atau nilai wajar
aktiva tetap tersebut yang berlaku pada saat penilaian kembali aktiva tetap yang ditetapkan oleh
perusahaan jasa penilai atau ahli penilai, yang memperoleh izin dari Pemerintah.
(2) Dalam hal nilai pasar atau nilai wajar yang ditetapkan oleh perusahaan jasa penilai atau ahli penilai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ternyata tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya,
Direktur Jenderal Pajak menetapkan kembali nilai pasar atau nilai wajar aktiva yang bersangkutan.
(3) Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun
sejak tanggal laporan perusahaan jasa penilai atau ahli penilai.

Pasal 5

Atas selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku fiskal semula dikenakan Pajak
Penghasilan yang bersifat final sebesar 10% (sepuluh persen).

Pasal 6

Perusahaan yang karena kondisi keuangannya tidak memungkinkan untuk melunasi sekaligus Pajak Penghasilan
yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dapat mengajukan permohonan pembayaran secara
angsuran paling lama 12 (dua belas) bulan sesuai ketentuan Pasal 9 ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.

Pasal 7

(1) Sejak bulan dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan berlaku ketentuan sebagai berikut :
a. Dasar penyusutan fiskal aktiva tetap yang telah memperoleh persetujuan penilaian kembali
adalah nilai pada saat penilaian kembali.
b. Masa manfaat fiskal aktiva tetap yang telah dilakukan penilaian kembali aktiva tetap
perusahaan disesuaikan kembali menjadi masa manfaat penuh untuk kelompok aktiva tetap
tersebut.
c. Perhitungan penyusutan dimulai sejak bulan dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap
perusahaan.
(2) Untuk bagian tahun pajak sampai dengan bulan sebelum bulan dilakukannya penilaian kembali aktiva
tetap perusahaan berlaku ketentuan sebagai berikut :
a. Dasar penyusutan fiskal aktiva tetap adalah dasar penyusutan fiskal pada awal tahun pajak
yang bersangkutan.
b. Sisa masa manfaat fiskal aktiva tetap adalah sisa manfaat fiskal pada awal tahun pajak yang
bersangkutan.
c. Perhitungan penyusutannya dihitung secara prorata sesuai dengan banyaknya bulan dalam
bagian tahun pajak tersebut.
(3) Penyusutan fiskal aktiva tetap yang tidak memperoleh persetujuan penilaian kembali aktiva tetap
perusahaan, tetap menggunakan dasar penyusutan fiskal dan sisa manfaat fiskal semula sebelum
dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan.

Pasal 8

(1) Dalam hal Perusahaan melakukan pengalihan aktiva tetap berupa:


a. Aktiva tetap kelompok 1 (satu) dan kelompok 2 (dua) yang telah memperoleh persetujuan
penilaian kembali sebelum berakhirnya masa manfaat yang baru sebagaimana dimaksud dalam

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 189

Pasal 7 ayat (1) huruf b; atau


b. Aktiva tetap kelompok 3 (tiga), kelompok 4 (empat), bangunan, dan tanah yang telah
memperoleh persetujuan penilaian kembali sebelum lewat jangka waktu 10 (sepuluh) tahun,
maka atas selisih lebih penilaian kembali diatas nilai sisa buku fiskal semula, dikenakan tambahan
Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar tarif tertinggi Pajak Penghasilan Wajib Pajak
badan dalam negeri yang berlaku pada saat penilaian kembali dikurangi 10% (sepuluh persen).
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi:
a. Pengalihan aktiva tetap perusahaan yang bersifat force majeur berdasarkan keputusan atau
kebijakan Pemerintah atau keputusan Pengadilan;
b. Pengalihan aktiva tetap perusahaan dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran
usaha yang mendapat persetujuan; atau
c. Penarikan aktiva tetap perusahaan dari penggunaan karena mengalami kerusakan berat yang
tidak dapat diperbaiki lagi.
(3) Selisih antara nilai pengalihan aktiva tetap perusahaan dengan nilai sisa buku fiskal pada saat
pengalihan merupakan keuntungan atau kerugian berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.

Pasal 9

(1) Selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku komersial semula setelah
dikurangi dengan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus dibukukan dalam
neraca komersial pada perkiraan modal dengan nama "Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap
Perusahaan Tanggal ........................".
(2) Pemberian saham bonus atau pencatatan tambahan nilai nominal saham tanpa penyetoran yang
berasal dari kapitalisasi selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan, sampai dengan sebesar
selisih lebih penilaian kembali secara fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, bukan merupakan
Objek Pajak berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2000 jo. Pasal 1 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 tentang Penghitungan
Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan.
(3) Dalam hal selisih lebih penilaian kembali secara fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) lebih besar
daripada selisih lebih penilaian kembali secara komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pemberian saham bonus atau pencatatan tambahan nilai nominal saham tanpa penyetoran yang bukan
merupakan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), hanya sampai dengan sebesar selisih
penilaian kembali secara komersial.

Pasal 10

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan dan pengadministrasian penilaian kembali
aktiva tetap perusahaan diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 11

Terhadap perusahaan yang telah mengajukan permohonan izin penilaian kembali aktiva tetap perusahaan
sebelum berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini dan atas permohonan tersebut belum diterbitkan surat
keputusannya, diproses berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.03/2002 tentang Penilaian
Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan.

Pasal 12

Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.03/2002
tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.

Pasal 13

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

www.ortax.org
190 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Mei 2008
MENTERI KEUANGAN,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13253

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
243/PMK.03/2008 Edisi PPh Badan | Maret 2017 191

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 243/PMK.03/2008

TENTANG

PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN


NOMOR 635/KMK.04/1994 TENTANG PELAKSANAAN PEMBAYARAN
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN
HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa sehubungan dengan telah ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang
Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, perlu melakukan
penyesuaian terhadap ketentuan pelaksanaan mengenai pembayaran Pajak Penghasilan atas
penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan dalam rangka
melaksanakan ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran
Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 635/KMK.04/1994 tentang Pelaksanaan Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan;

Mengingat :

1. Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4740);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4893);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan
dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994
Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3580) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 164, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4914) ;
4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 635/KMK.04/1994 tentang Pelaksanaan Pembayaran Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana telah
diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 392/KMK.04/1996;
5. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 635/KMK.04/1994 TENTANG PELAKSANAAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN
DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 635/KMK.04/1994 tentang Pelaksanaan
Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 392/KMK.04/1996 diubah sebagai
berikut :

1. Diantara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 2 Pasal yakni Pasal 2A dan Pasal 2B sehingga berbunyi sebagai
berikut :

Pasal 2A

(1) Besarnya Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) dan
Pasal 2 ayat (1) adalah sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan, kecuali atas pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah

www.ortax.org
192 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenai Pajak Penghasilan sebesar 1% (satu
persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan.
(2) Dalam hal pembayaran atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan
cara angsuran, maka Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
berdasarkan jumlah setiap pembayaran angsuran termasuk uang muka, bunga, pungutan dan
pembayaran tambahan lainnya yang dipenuhi oleh pembeli, sehubungan dengan pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut.
(3) Pembayaran Pajak Penghasilan dengan cara angsuran sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib dibayar oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan ke kas negara melalui Kantor
Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan paling lama tanggal 15 bulan berikutnya
setelah bulan diterimanya pembayaran.
(4) Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak yang melakukan pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan sebagai barang dagangan, termasuk pengembang kawasan
perumahan, pertokoan, pergudangan, industri, kondominium, apartemen, rumah susun, dan
gedung perkantoran.

Pasal 2B

(1) Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (1) adalah :
a. orang pribadi yang mempunyai penghasilan dibawah Penghasilan Tidak Kena Pajak
yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto
pengalihannya kurang dari Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan
merupakan jumlah yang dipecah-pecah;
b. orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada Pemerintah guna pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus;
c. orang pribadi yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara
hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan
keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang
pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang
bersangkutan;
d. badan yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah
kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan
koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan,sepanjang hibah
tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan
antara pihak-pihak yang bersangkutan; atau
e. pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan.
(2) Termasuk yang dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan yang tidak termasuk subjek pajak.
(3) Tata cara pemberian pengecualian dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak.

2. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4

(1) Orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran sendiri Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan
Masa paling lama tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan dilakukan pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan atau diterimanya pembayaran.
(2) Bendaharawan atau pejabat yang melakukan pembayaran atau pejabat yang menyetujui
tukar-menukar, yang melakukan pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa paling lama tanggal
20 bulan berikutnya setelah bulan dilakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
atau diterimanya pembayaran.

3. Ketentuan Pasal 5A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5A

Terhadap Wajib Pajak badan, termasuk koperasi, yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 193

atas tanah dan/atau bangunan berlaku ketentuan sebagai berikut:


a. atas kerugian dari usaha pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang masih tersisa
sampai dengan Tahun Pajak 2008 hanya dapat dikompensasikan sampai dengan Tahun Pajak
2008;
b. sejak Masa Januari 2009 tidak diwajibkan melakukan pembayaran angsuran Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008, terkait dengan penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan.

4. Pasal 5B dihapus.

5. Pasal 5C dihapus.

Pasal II

1. Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor
566/KMK.04/1999 tentang Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan yang Usaha Pokoknya Melakukan
Transaksi Penjualan atau Pengalihan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
2. Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 2008
MENTERI KEUANGAN

ttd,

SRI MULYANI INDRAWATI

Status :
Peraturan Menteri Keuangan - 243/PMK.03/2008 Sudah tidak berlaku lagi karena diganti atau
dicabut oleh Peraturan Menteri Keuangan - 261/PMK.03/2016, Tanggal 30 Des 2016

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13578

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
194 Edisi PPh Badan | Maret 2017 153/PMK.03/2009

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 153/PMK.03/2009

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 187/PMK.03/2008


TENTANG TATACARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, PELAPORAN,
DAN PENATAUSAHAAN PAJAK PENGHASILAN ATAS
PENGHASILAN DARI USAHA JASA KONSTRUKSI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa sehubungan dengan telah ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009 tentang Perubahan
atas Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Usaha Jasa
Konstruksi, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 187/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, Pelaporan, dan Penatausahaan Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Usaha
Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 109, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4481) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 40 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 83, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5014);
4. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran,
Pelaporan, dan Penatausahaan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
187/PMK.03/2008 TENTANG TATACARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, PELAPORAN, DAN PENATAUSAHAAN
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA JASA KONSTRUKSI.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2008 tentang Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran, Pelaporan, dan Penatausahaan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Usaha Jasa
Konstruksi diubah sebagai berikut :

1. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :

Pasal 8

(1) Terhadap kontrak yang ditandatangani sebelum tanggal 1 Agustus 2008 berlaku ketentuan
sebagai berikut :
a. Untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak yang dilakukan sampai dengan
tanggal 31 Desember 2008, apabila :

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 195

1) Penyedia jasa telah dikenakan pemotongan pajak berdasarkan ketentuan


Pasal 23 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan oleh
Pengguna Jasa;dan
2) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada angaka 1) telah
dipindahbukukan menjadi Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2008 tentang Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran, Pelaporan, dan Penatausahaan Pajak Penghasilan
atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi,
atas bukti pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud
pada angka 2) diubah menjadi bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 yang
dilakukan melalui perubahan bukti pemotongan.
b. Untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak yang dilakukan sampai dengan
tanggal 31 Desember 2008 yang telah dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan yang
bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi, atas bukti pemotongan Pajak
Penghasilan yang bersifat final tersebut diubah menjadi bukti pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 23 yang dilakukan melalui perubahan bukti pemotongan sebesar
tarif berdasarkan ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang
Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
c. Untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak yang dilakukan setelah tanggal
31 Desember 2008 dengan berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan yang
ditandatangani oleh Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa sampai dengan tanggal 31
Desember 2008 dan telah dipotong Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi, atas bukti pemotongan Pajak Penghasilan yang
bersifat final tersebut diubah menjadi bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23
yang dilakukan melalui perubahan bukti pemotongan sebesar tarif berdasarkan
ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
(2) Dalam hal terdapat kelebihan pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final setelah
perubahan bukti pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kelebihan pemotongan
Pajak Penghasilan yang bersifat final tersebut dikembalikan dengan tata cara pengembalian
kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang melalui permohonan secara
tertulis yang disampaikan oleh Penyedia Jasa kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat
Penyedia Jasa terdaftar.
(3) Pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final yang dilakukan melalui mekanisme
penyetoran sendiri oleh Penyedia Jasa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun
2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi, dapat
dipindahbukukan.

2. Diantara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 8A, Pasal 8B dan Pasal 8C yang
berbunyi sebagai berikut :

Pasal 8A

(1) Untuk melakukan perubahan bukti pemotongan dari Pajak Penghasilan yang bersifat final
menjadi Pajak Penghasilan Pasal 23 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), Penyedia
Jasa mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat
Penyedia Jasa terdaftar dengan menggunakan format sesuai Lampiran I Peraturan Menteri
Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan
ini.
(2) Permohonan untuk melakukan perubahan bukti pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus dilampiri dengan :
a. asli dan 2 (dua) lembar fotokopi bukti pemotongan pajak Penghasilan yang bersifat
final; dan
b. data atau keterangan pendukung yang diperlukan untuk menunjukkan bahwa atas
bukti pemotongan yang akan diubah berkaitan dengan penghasilan yang seharusnya
dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23, berupa :
1) fotokopi kontrak dan dokumen pembayaran;atau
2) fotokopi kontrak, dokumen pembayaran, dan berita acara serah terima
penyelesaian pekerjaan.
(3) Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Penyedia Jasa terdaftar menyelesaikan permohonan
perubahan bukti pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam jangka waktu paling
lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima
lengkap.
(4) Dalam hal permohonan perubahan bukti pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

www.ortax.org
196 Edisi PPh Badan | Maret 2017

disetujui atas seluruh atau sebagian bukti pemotongan, setiap lembar bukti pemotongan yang
disetujui tersebut harus dibubuhi tulisan atau cap "DIUBAH MENJADI BUKTI PEMOTONGAN
PASAL 23 DENGAN TARIF SEBESAR .....% SEJUMLAH Rp ............... BERDASARKAN PERATURAN
MENTERI KEUANGAN NOMOR ......./PMK.03/2009" dan divalidasi oleh Kantor Pelayanan Pajak.
(5) Atas bukti pemotongan yang telah dibubuhi tulisan atau cap sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), Kantor Pelayanan Pajak tempat Penyedia Jasa terdaftar melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. memberikan asli lembar ke-1 pemotongan kepada Penyedia Jasa;
b. menyatukan 1 (satu) lembar fotokopi bukti pemotongan dengan berkas SPT Tahunan
Penyedia Jasa yang bersangkutan; dan
c. mengirimkan 1 (satu) lembar fotokopi bukti pemotongan kepada Kantor Pelayanan
Pajak tempat pengguna Jasa (pemotong pajak) terdaftar untuk kemudian disatukan
dengan berkas SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) Pengguna Jasa.
(6) Atas permohonan perubahan bukti pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
tidak disetujui, Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Penyedia Jasa terdaftar harus
menyampaikan pemberitahuan penolakan perubahan bukti pemotongan kepada Wajib Pajak
dengan format sesuai Lampiran II Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
(7) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terlewati dan Kepala Kantor
Pelayanan Pajak tempat Penyedia Jasa terdaftar belum menyelesaikan permohonan perubahan
bukti pemotongan, permohonan perubahan bukti pemotongan tersebut dianggap disetujui dan
Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Penyedia Jasa terdaftar harus menyelesaikan
permohonan perubahan bukti pemotongan dimaksud paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung
sejak jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir.

Pasal 8B

Bagi Pengguna Jasa yang telah melakukan pemotongan Pajak Penghasilan atas pembayaran kontrak
atau bagian dari kontrak untuk kontrak yang ditandatangani sebelum tanggal 1 Agustus 2008 sesuai
dengan ketentuan perpajakan yang berlaku pada saat ditandatanganinya kontrak tersebut dan telah
menerbitkan bukti pemotongan serta telah melaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa, atas bukti
pemotongan tersebut tidak perlu dilakukan perubahan bukti pemotongan dan dianggap sudah benar.

Pasal 8C

Bagi Wajib Pajak yang hanya memperoleh penghasilan dari usaha jasa konstruksi, sejak Tahun Pajak
2009 tidak diwajibkan melakukan pembayaran angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sesuai peraturan
perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan.

Pasal II

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 September 2009
MENTERI KEUANGAN,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 September 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,

ttd.

ANDI MATTALATTA

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 197

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 316

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13952

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
198 Edisi PPh Badan | Maret 2017 85/PMK.03/2011

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 85/PMK.03/2011

TENTANG

TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN


PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA OBLIGASI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pajak
Penghasilan atas Penghasilan Berupa Bunga Obligasi, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang
Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Bunga Obligasi;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
beberapa kali telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa
Bunga Obligasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 33, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4982);
4. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK
PENGHASILAN ATAS BUNGA OBLIGASI.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:


1. Bunga Obligasi adalah imbalan yang diterima atau diperoleh pemegang Obligasi dalam bentuk bunga
dan/atau diskonto.
2. Obligasi adalah surat utang dan surat utang negara, yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas)
bulan.

Pasal 2

(1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak berupa Bunga Obligasi dikenai pemotongan
Pajak Penghasilan yang bersifat final.
(2) Pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
apabila penerima Bunga Obligasi adalah:
a. Wajib Pajak dana pensiun yang pendirian/pembentukannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan dan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf h
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana beberapa kali
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008; dan
b. Wajib Pajak bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia.

Pasal 3

Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1):

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 199

a. atas bunga Obligasi dengan kupon (interest bearing debt securities) sebesar:
1) 15% (lima belas persen), bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap;
2) 20% (dua puluh persen) atau sesuai dengan tarif berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda bagi Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap,
dari jumlah bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan (holding period) Obligasi;
b. atas diskonto Obligasi dengan kupon (interest bearing debt securities) sebesar:
1) 15% (lima belas persen), bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap;
2) 20% (dua puluh persen) atau sesuai dengan tarif berdasarkan Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda bagi Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap,
dari selisih lebih harga jual pada saat transaksi atau nilai nominal pada saat jatuh tempo Obligasi di atas
harga perolehan Obligasi, tidak termasuk bunga berjalan (accrued interest);
c. atas diskonto Obligasi tanpa bunga (non-interest bearing debt securities) sebesar:
1) 15% (lima belas persen), bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap;
2) 20% (dua puluh persen) atau sesuai dengan tarif berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda bagi Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap,
dari selisih lebih harga jual pada saat transaksi atau nilai nominal pada saat jatuh tempo Obligasi di atas
harga perolehan Obligasi;
d. atas bunga dan/atau diskonto Obligasi yang diterima dan/atau diperoleh Wajib Pajak Reksadana yang
terdaftar pada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan sebesar:
1) 0% (nol persen) untuk tahun 2009 sampai dengan tahun 2010;
2) 5% (lima persen) untuk tahun 2011 sampai dengan tahun 2013;
3) 15% (lima belas persen) untuk tahun 2014 dan seterusnya.

Pasal 4

(1) Pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan oleh:
a. penerbit Obligasi (emiten) atau kustodian selaku agen pembayaran yang ditunjuk, atas:
1) bunga dan/atau diskonto yang diterima atau diperoleh pemegang Obligasi dengan
kupon pada saat jatuh tempo Bunga Obligasi; dan
2) diskonto yang diterima atau diperoleh pemegang Obligasi tanpa bunga pada saat jatuh
tempo Obligasi;
b. perusahaan efek, dealer, atau bank, selaku perantara, atas bunga dan/atau diskonto Obligasi
yang diterima atau diperoleh penjual Obligasi pada saat transaksi; dan/atau
c. perusahaan efek, dealer, bank, dana pensiun, dan reksadana, selaku pembeli Obligasi langsung
tanpa melalui perantara, atas bunga dan/atau diskonto Obligasi yang diterima atau diperoleh
penjual Obligasi pada saat transaksi.
(2) Dalam hal penjualan Obligasi dilakukan secara langsung tanpa melalui perantara kepada pihak-pihak
lain selain pemotong pajak tersebut pada ayat (1) huruf c, kustodian atau sub-registry selaku
pihak-pihak yang melakukan pencatatan mutasi hak kepemilikan Obligasi, wajib melakukan
pemotongan dengan cara memungut Pajak Penghasilan yang bersifat final yang terutang dari penjual
Obligasi sebelum mutasi hak kepemilikan dilakukan.
(3) Dalam hal penjualan Obligasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memerlukan pencatatan
mutasi hak kepemilikan Obligasi melainkan hanya atas unjuk, pemotongan Pajak Penghasilan yang
bersifat final dilakukan oleh penerbit Obligasi (emiten) atau kustodian yang ditunjuk selaku agen
pembayaran, dari pembeli/pemegang Obligasi pada saat:
a. jatuh tempo bunga, untuk penghasilan bunga yang dihitung berdasarkan masa kepemilikan
penuh sejak tanggal jatuh tempo bunga terakhir;
b. jatuh tempo Obligasi, untuk penghasilan diskonto yang dihitung berdasarkan masa kepemilikan
penuh sejak tanggal penerbitan perdana Obligasi.
(4) Dalam hal dapat dibuktikan bahwa penjual Obligasi atas unjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
adalah pihak yang tidak diberlakukan pemotongan Pajak Penghasilan atau pihak lain yang telah
dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan, pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final atas
bunga pada saat jatuh tempo bunga atau diskonto pada saat jatuh tempo Obligasi, dihitung berdasarkan
masa kepemilikan penuh dikurangi dengan masa kepemilikan penjual Obligasi tersebut.

Pasal 5

(1) Penjual Obligasi wajib memberitahukan kepada pemotong pajak mengenai harga perolehan dan
tanggal perolehan Obligasi yang sebenarnya, untuk keperluan penghitungan bunga dan/atau diskonto
yang menjadi dasar pemotongan Pajak Penghasilan.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyerahkan Bukti
Pemotongan Pajak Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2) dari pembelian Obligasi tersebut sebelumnya.
(3) Harga perolehan dan tanggal perolehan Obligasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan
dengan cara mendahulukan harga perolehan dan tanggal perolehan Obligasi sejenis yang diperoleh
pertama (metode First In First Out).
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi penjual Obligasi yang tidak

www.ortax.org
200 Edisi PPh Badan | Maret 2017

diberlakukan pemotongan Pajak Penghasilan.


(5) Dalam hal penjual Obligasi tidak memberitahukan harga perolehan dan tanggal perolehan Obligasi yang
sebenarnya kepada pemotong pajak, maka atas penghasilan bunga dan/atau diskonto yang tidak atau
kurang diberitahukan, dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana mestinya dalam tahun diketahuinya
ketidakbenaran dimaksud ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga.

Pasal 6

Pemotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib memberikan Bukti Pemotongan Pajak
Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2) kepada orang pribadi atau badan yang memperoleh penghasilan berupa
Bunga Obligasi.

Pasal 7

(1) Pemotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib menyetor Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) ke Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan, paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah bulan dilakukan pemotongan
pajak.
(2) Apabila tanggal jatuh tempo penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertepatan dengan hari
libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya.
(3) Penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak.

Pasal 8

(1) Pemotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib menyampaikan laporan
tentang pemotongan dan penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
dan Pasal 7 paling lama 20 (dua puluh) hari setelah bulan dilakukan pemotongan pajak.
(2) Apabila batas akhir pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertepatan dengan hari libur
termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
(3) Pelaporan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2).

Pasal 9

Tata cara penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan atas Bunga Obligasi adalah sesuai contoh sebagaimana
tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri Keuangan ini.

Pasal 10

Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 121/KMK.03/2002
tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemotongan Pajak Penghasilan atas Bunga dan Diskonto Obligasi yang
Diperdagangkan dan atau Dilaporkan Perdagangannya di Bursa Efek, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 11

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta,
pada tanggal 23 Mei 2011
MENTERI KEUANGAN,

ttd.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 201

AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Diundangkan di Jakarta,
pada tanggal 23 Mei 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,

ttd.

PATRIALIS AKBAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 307

Status :

Peraturan Menteri Keuangan - 85/PMK.03/2011 Telah mengalami perubahan atau penyempurnaan


oleh Peraturan Menteri Keuangan - 07/PMK.011/2012, Tanggal 13 Jan 2012

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=14710

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
202 Edisi PPh Badan | Maret 2017 257/PMK.011/2011

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 257/PMK.011/2011

TENTANG

TATA CARA PEMOTONGAN DAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN


ATAS PENGHASILAN LAIN KONTRAKTOR BERUPA UPLIFT ATAU IMBALAN
LAIN YANG SEJENIS DAN/ATAU PENGHASILAN KONTRAKTOR
DARI PENGALIHAN PARTICIPATING INTEREST

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang
Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas
Bumi, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pemotongan dan Pembayaran Pajak
Penghasilan atas Penghasilan Lain Kontraktor Berupa Uplift atau Imbalan Lain yang Sejenis dan/atau
Penghasilan Kontraktor dari Pengalihan Participating Interest;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan
Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5173);
4. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN DAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN
ATAS PENGHASILAN LAIN KONTRAKTOR BERUPA UPLIFT ATAU IMBALAN LAIN YANG SEJENIS DAN/ATAU
PENGHASILAN KONTRAKTOR DARI PENGALIHAN PARTICIPATING INTEREST.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:


1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008.
2. Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi yang untuk selanjutnya disebut Kontraktor adalah
badan usaha atau bentuk usaha tetap yang ditetapkan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi pada
suatu wilayah kerja berdasarkan kontrak kerja sama dengan Badan Pelaksana.
3. Uplift adalah imbalan yang diterima oleh Kontraktor sehubungan dengan penyediaan dana talangan
untuk pembiayaan operasi kontrak bagi hasil yang seharusnya merupakan kewajiban partisipasi
kontraktor lain, yang ada dalam satu kontrak kerja sama, dalam pembiayaan.
4. Participating Interest adalah hak dan kewajiban sebagai Kontraktor kontrak kerja sama, baik secara
langsung maupun tidak langsung, pada suatu wilayah kerja.
5. Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk
menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas bumi di wilayah kerja yang
ditentukan.
6. Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan minyak dan gas bumi dari
wilayah kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan
sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian minyak dan gas
bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya.

Pasal 2

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 203

(1) Atas penghasilan lain Kontraktor di luar kontrak kerja sama berupa Uplift atau imbalan lain yang sejenis
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) dari
jumlah bruto.
(2) Atas penghasilan lain Kontraktor di luar kontrak kerja sama berupa pengalihan Participating Interest
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar:
a. 5% (lima persen) dari jumlah bruto, untuk pengalihan Participating Interest selama masa
Eksplorasi; atau
b. 7% (tujuh persen) dari jumlah bruto, untuk pengalihan Participating Interest selama masa
Eksploitasi.
(3) Masa Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terhitung sejak tanggal efektif kontrak
kerja sama sampai dengan tanggal persetujuan rencana pengembangan lapangan pertama pada suatu
wilayah kerja Kontraktor.
(4) Masa Eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terhitung dari berakhirnya masa
Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan tanggal berakhirnya kontrak kerja
sama.

Pasal 3

(1) Dalam rangka membagi risiko dalam masa Eksplorasi, pengalihan Participating Interest dikecualikan
dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a, dalam hal
memenuhi kriteria:
a. tidak mengalihkan seluruh Participating Interest yang dimilikinya;
b. Participating Interest telah dimiliki lebih dari 3 (tiga) tahun;
c. di wilayah kerja telah dilakukan Eksplorasi dan Kontraktor telah mengeluarkan investasi untuk
melaksanakan Eksplorasi dimaksud; dan
d. pengalihan Participating Interest oleh Kontraktor tidak dimaksudkan untuk memperoleh
keuntungan.
(2) Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b, dikecualikan
sepanjang untuk melakukan kewajiban pengalihan Participating Interest sesuai kontrak kerja sama
kepada perusahaan nasional sebagaimana tertuang dalam kontrak kerja sama.

Pasal 4

Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan atas pengalihan Participating Interest sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (2) adalah:
a. jumlah yang sesungguhnya diterima atau diperoleh Kontraktor; atau
b. jumlah yang seharusnya diterima atau diperoleh Kontraktor, dalam hal terdapat hubungan istimewa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan antara pihak-pihak
yang melakukan pengalihan Participating Interest.

Pasal 5

(1) Dalam hal terjadi pengalihan Participating Interest, Kontraktor wajib melaporkan nilai pengalihan
Participating Interest dimaksud kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat Kontraktor terdaftar disertai
dengan dokumen tertulis berupa perjanjian pengalihan Participating Interest dan Financial Quarterly
Report (FQR) triwulan terakhir sebelum terjadinya pengalihan Participating Interest.
(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipenuhi oleh Kontraktor, Direktur
Jenderal Pajak dapat menetapkan secara jabatan besarnya nilai pengalihan Participating Interest.
(3) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
a. Kontraktor yang menerima pengalihan Participating Interest dalam hal penerima pengalihan
Participating Interest sudah terdaftar sebagai Wajib Pajak; atau
b. Kontraktor yang mengalihkan Participating Interest dalam hal penerima pengalihan Participating
Interest belum terdaftar sebagai Wajib Pajak,
dengan menggunakan format formulir laporan pengalihan Participating Interest sebagaimana tercantum
dalam Lampiran I, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(4) Kontraktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus melaporkan nilai pengalihan Participating
Interest sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak
perjanjian pengalihan Participating Interest ditandatangani.

Pasal 6

(1) Saat terutangnya Pajak Penghasilan atas penghasilan berupa Uplift atau imbalan lain yang sejenis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah pada saat penghasilan berupa Uplift atau imbalan
lain yang sejenis dibayar atau diakui sebagai biaya, tergantung peristiwa mana yang lebih dahulu
terjadi.
(2) Atas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib dipotong oleh Kontraktor
yang melakukan pembayaran Uplift atau imbalan lain yang sejenis dengan menggunakan format
formulir bukti potong sebagaimana tercantum dalam Lampiran II, yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

www.ortax.org
204 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Pasal 7

(1) Saat terutangnya Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan Participating Interest
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) adalah pada saat pembayaran, pada saat pengalihan
Participating Interest, atau pada saat diberikannya persetujuan pengalihan Participating Interest oleh
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, tergantung peristiwa mana yang lebih dahulu terjadi.
(2) Atas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) wajib dipotong oleh Kontraktor
yang menerima pengalihan Participating Interest dengan menggunakan format formulir bukti potong
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
(3) Dalam hal Kontraktor yang menerima pengalihan Participating Interest sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) belum terdaftar sebagai Wajib Pajak pada saat terutangnya Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pajak Penghasilan yang terutang wajib disetor sendiri oleh Kontraktor yang
menerima pengalihan Participating Interest dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atas nama
Kontraktor yang mengalihkan Participating Interest.
(4) Dalam hal Pajak Penghasilan yang terutang tidak disetorkan oleh Kontraktor yang menerima pengalihan
Participating Interest sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pajak Penghasilan yang terutang dimaksud
wajib dipotong, disetorkan, dan dilaporkan oleh Kontraktor yang menerima pengalihan Participating
Interest pada saat setelah terdaftar sebagai Wajib Pajak sesuai perundang-undangan di bidang
perpajakan.
(5) Dalam hal pengalihan Participating Interest dilakukan secara tidak langsung dan tidak mengubah Nomor
Pokok Wajib Pajak, Kontraktor yang mengalihkan Participating Interest wajib menyetor sendiri Pajak
Penghasilan yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak.

Pasal 8

Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan/atau Pasal 7 ayat (2), ayat (3), ayat (4),
dan ayat (5), wajib disetorkan ke kas negara, sesuai dengan jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam
Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai penentuan tanggal jatuh tempo pembayaran, penyetoran,
pemotongan, pemungutan, dan/atau pelaporan pajak.

Pasal 9

(1) Pajak Penghasilan yang telah disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 wajib dilaporkan kepada:
a. Kantor Pelayanan Pajak tempat Kontraktor yang melakukan pembayaran Uplift atau imbalan
lain yang sejenis terdaftar atas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2);
b. Kantor Pelayanan Pajak tempat Kontraktor yang menerima pengalihan Participating Interest
terdaftar atas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dan ayat (4);
dan/atau
c. Kantor Pelayanan Pajak tempat Kontraktor yang mengalihkan Participating Interest terdaftar
atas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dan ayat (5).
(2) Pelaporan Pajak Penghasilan yang disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai jangka
waktu sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai
penentuan tanggal jatuh tempo pembayaran, penyetoran dan pelaporan pemungutan pajak dengan
menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan final Pasal 4 ayat (2) pada bagian
penghasilan tertentu lainnya.

Pasal 10

(1) Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan yang bersifat final yang berasal dari
Uplift atau imbalan lain yang sejenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan/atau
penghasilan Kontraktor dari pengalihan Participating Interest sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2), terutang Pajak Penghasilan sesuai peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan.
(2) Perlakuan Pajak Penghasilan terhadap penghasilan lain Kontraktor yang tidak diatur secara khusus
dalam Peraturan Menteri ini, berlaku peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan yang
berlaku secara umum.

Pasal 11

Penghitungan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 10 ayat (1) dilakukan
sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran III, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.

Pasal 12

(1) Ketentuan mengenai saat terutangnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 205

(1) dan Pasal 7 ayat (1) tidak berlaku terhadap penghasilan berupa Uplift atau imbalan lain yang sejenis
dan penghasilan dari pengalihan Participating Interest, yang terjadi sejak tanggal 20 Desember 2010
sampai dengan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini.
(2) Saat terutangnya Pajak Penghasilan atas penghasilan berupa Uplift atau imbalan lain yang sejenis dan
penghasilan dari pengalihan Participating Interest sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pada
tanggal berlakunya Peraturan Menteri ini.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) diberlakukan terhadap Penghasilan Kena
Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan yang bersifat final, atas penghasilan berupa Uplift atau
imbalan lain yang sejenis dan/atau penghasilan dari pengalihan Participating Interest yang diterima atau
diperoleh setelah berlakunya Peraturan Menteri ini.

Pasal 13

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2012.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2011
MENTERI KEUANGAN,

ttd.

AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDIN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 946

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=14910

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
206 Edisi PPh Badan | Maret 2017 07/PMK.011/2012

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 07/PMK.011/2012

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 85/PMK.03/2011


TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN
PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA OBLIGASI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa dalam rangka lebih memberikan rasa keadilan, serta kemudahan administrasi bagi para pelaku
transaksi obligasi di Indonesia, perlu melakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai tata cara
pemotongan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan atas bunga dan/atau diskonto obligasi
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2011 tentang Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Bunga Obligasi;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan Berupa Bunga Obligasi, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan
atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2011 tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran,
dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Bunga Obligasi;

Mengingat :

1. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;


2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2011 tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan
Pelaporan Pajak Penghasilan atas Bunga Obligasi;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
85/PMK.03/2011 TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN
ATAS BUNGA OBLIGASI

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2011 Tentang Tata Cara Pemotongan,
Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Bunga Obligasi diubah sebagai berikut :

1. Diantara Pasal 3 dan Pasal 4 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 3A sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 3A

Dalam hal terdapat diskonto negatif atau rugi pada saat penjualan Obligasi, diskonto negatif atau rugi
tersebut dapat diperhitungkan dengan penghasilan bunga berjalan.

2. Ketentuan Pasal 5 ayat (2), ayat (3) dan ayat (5) diubah, sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 5

(1) Penjual Obligasi wajib memberitahukan kepada pemotong pajak mengenai harga perolehan
dan tanggal perolehan Obligasi yang sebenarnya, untuk keperluan penghitungan bunga dan/atau
diskonto yang menjadi dasar pemotongan Pajak Penghasilan.
(2) Dalam hal Obligasi yang dijual tidak dapat ditentukan harga perolehan dan tanggal perolehan
yang sebenarnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harga perolehan dan tanggal perolehan
yang wajib diberitahukan oleh penjual Obligasi kepada pemotong pajak ditentukan dengan cara
mendahulukan harga perolehan dan tanggal perolehan Obligasi sejenis yang diperoleh pertama
(metode First In First Out).
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 207

menyerahkan formulir Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2) dari
pembelian Obligasi tersebut sebelumnya.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi penjual Obligasi yang tidak
diberlakukan pemotongan Pajak Penghasilan.
(5) Dalam hal penjual Obligasi tidak memberitahukan harga perolehan dan tanggal perolehan
Obligasi sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), atas penghasilan
bunga dan/atau diskonto yang tidak atau kurang diberitahukan, dikenai Pajak Penghasilan
sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
85/PMK.03/2011 tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan
atas Bunga Obligasi beserta perubahannya dalam tahun diketahuinya ketidakbenaran dimaksud
dan dikenai sanksi administrasi berupa bunga.

3. Diantara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 10A sehingga berbunyi sebagai
berikut :

Pasal 10A

Terhadap pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final atas Bunga Obligasi sejak tanggal 23 Mei
2011 sampai dengan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, berlaku ketentuan sebagai berikut :
1. Dalam hal tanggal perolehan dan harga perolehan Obligasi dapat diketahui, penghitungan bunga
dan/atau diskonto Obligasi pada saat penjualan ditentukan sesuai dengan tanggal perolehan
dan harga perolehan yang sebenarnya, atau dengan cara mendahulukan harga perolehan dan
tanggal perolehan Obligasi sejenis yang diperoleh pertama (metode First In First Out);
2. Dalam hal tanggal perolehan dan harga perolehan Obligasi tidak dapat diketahui, penghitungan
bunga dan/atau diskonto Obligasi pada saat penjualan ditentukan dengan cara mendahulukan
harga perolehan dan tanggal perolehan Obligasi sejenis yang diperoleh pertama (metode First
In First Out);
3. Perolehan diskonto negatif atau rugi dalam penjualan Obligasi dapat diperhitungkan dengan
penghasilan bunga berjalan.

4. Mengubah Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2011 tentang Tata Cara Pemotongan,
Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Bunga Obligasi sehingga menjadi sebagaimana
tercantum dalam Lampiran, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal II

Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkannya
Peraturan Menteri ini.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Januari 2012
MENTERI KEUANGAN,

ttd.

AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 13 Januari 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

ttd.

AMIR SYAMSUDDIN

www.ortax.org
208 Edisi PPh Badan | Maret 2017

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 67

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=14924

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
200/PMK.03/2015 Edisi PPh Badan | Maret 2017 209

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 200/PMK.03/2015

TENTANG

PERLAKUAN PERPAJAKAN BAGI WAJIB PAJAK DAN PENGUSAHA KENA


PAJAK YANG MENGGUNAKAN SKEMA KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF
TERTENTU DALAM RANGKA PENDALAMAN SEKTOR KEUANGAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa untuk lebih memberikan kepastian hukum dan mendukung pendalaman pasar bagi sektor
keuangan serta mendorong pertumbuhan investasi di bidang real estat, perlu pengaturan mengenai
perlakuan perpajakan yang diberikan kepada Wajib Pajak dan Pengusaha Kena Pajak yang
menggunakan skema Kontrak Investasi Kolektif tertentu;
b. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang
Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008,
Menteri Keuangan diberikan kewenangan untuk mengatur pelaksanaan lebih lanjut ketentuan mengenai
pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;
c. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (4d) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 dinyatakan bahwa Menteri
Keuangan diberikan kewenangan untuk mengatur ketentuan mengenai pengembalian pendahuluan
kelebihan pajak kepada Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c serta
untuk melaksanakan ketentuan Pasal 23 ayat (4) huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 serta Pasal 9 ayat (4d) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan
tentang Perlakuan Perpajakan bagi Wajib Pajak dan Pengusaha Kena Pajak yang Menggunakan Skema
Kontrak Investasi Kolektif Tertentu Dalam Rangka Pendalaman Sektor Keuangan;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan
dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994
Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3580) sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 164, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4914);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERLAKUAN PERPAJAKAN BAGI WAJIB PAJAK DAN PENGUSAHA
KENA PAJAK YANG MENGGUNAKAN SKEMA KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF TERTENTU DALAM RANGKA
PENDALAMAN SEKTOR KEUANGAN.

www.ortax.org
210 Edisi PPh Badan | Maret 2017

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:


1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan dan perubahannya.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 yang selanjutnya disebut dengan PP 48 Tahun 1994 adalah
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan
dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dan perubahannya.
3. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan
pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
4. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan
usaha maupun yang tidak melakukan usaha meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,
perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam
bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi
massa, organisasi sosial politik atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk
kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
5. Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai
Tahun 1984 dan perubahannya.
6. Kontrak Investasi Kolektif yang selanjutnya disebut dengan KIK adalah Kontrak Investasi Kolektif sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Pasar Modal.
7. Real Estat adalah tanah secara fisik dan bangunan yang ada di atasnya.
8. Perusahaan Real Estat adalah perusahaan yang kegiatan usaha utamanya di bidang Real Estat.
9. Aset yang Berkaitan dengan Real Estat adalah Efek Perusahaan Real Estat yang tercatat di Bursa Efek
dan/atau diterbitkan oleh Perusahan Real Estat.
10. Dana Investasi Real Estat yang selanjutnya disebut dengan DIRE adalah wadah yang dipergunakan
untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan pada aset Real
Estat, aset yang berkaitan dengan Real Estat, dan/atau kas dan setara kas.
11. Special Purpose Company yang selanjutnya disebut dengan SPC adalah Perseroan Terbatas yang
sahamnya dimiliki oleh DIRE berbentuk KIK paling kurang 99,9% (sembilan puluh sembilan koma
sembilan per seratus) dari modal disetor yang dibentuk semata-mata untuk kepentingan DIRE berbentuk
KIK.
12. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak adalah surat keputusan yang menentukan
jumlah pengembalian pendahuluan kelebihan pajak untuk Wajib Pajak tertentu.

BAB II
PAJAK PENGHASILAN

Pasal 2

(1) Untuk kepentingan perlakuan Pajak Penghasilan, SPC dalam skema KIK tertentu merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan dengan KIK.
(2) Skema KIK tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan suatu skema investasi dalam
bentuk KIK dengan wadah DIRE dengan atau tanpa menggunakan SPC.
(3) Dividen yang diterima oleh KIK dari SPC dalam skema KIK tertentu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), tidak diperhitungkan dalam penghitungan penghasilan kena pajak KIK.
(4) Dividen dari SPC kepada KIK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dilakukan pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 3

(1) Untuk mendapatkan perlakuan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), pada
saat penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan, KIK harus melampirkan dokumen sebagai berikut:
a. fotokopi surat pemberitahuan efektifnya pernyataan pendaftaran DIRE berbentuk KIK yang
diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan;
b. keterangan dari Otoritas Jasa Keuangan bahwa Wajib Pajak merupakan SPC dalam skema KIK
tertentu; dan
c. surat pernyataan bermeterai yang menyatakan bahwa SPC dibentuk semata-mata untuk
kepentingan DIRE berbentuk KIK.
(2) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilampirkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 211

pada tahun pajak diperolehnya dividen oleh KIK dari SPC dalam skema KIK tertentu.

Pasal 4

(1) Pengalihan Real Estat dari pihak yang mengalihkan Real Estat kepada SPC atau KIK dalam skema KIK
tertentu tidak termasuk dalam cakupan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) PP 48 Tahun 1994 yang dikenai Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2)
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(2) Penghasilan yang berasal dari pengalihan Real Estat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
objek Pajak Penghasilan berupa keuntungan atas pengalihan harta bagi pihak yang mengalihkan Real
Estat.
(3) Perlakuan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan tanpa Surat Keterangan
Bebas (SKB).
(4) Wajib Pajak yang melakukan pengalihan Real Estat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
menyampaikan secara tertulis pemberitahuan mengenai adanya pengalihan Real Estat kepada SPC atau
KIK dalam skema KIK tertentu kepada kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak terdaftar
dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 5

(1) Pejabat yang berwenang hanya menandatangani akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan, atau risalah
lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sehubungan dengan pengalihan Real Estat
dari pihak yang mengalihkan Real Estat kepada SPC atau KIK dalam skema KIK tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) apabila kepadanya telah diserahkan kelengkapan dokumen sebagai
berikut:
a. fotokopi surat pemberitahuan efektifnya pernyataan pendaftaran DIRE berbentuk KIK yang
diterbitkan dan telah dilegalisasi oleh Otoritas Jasa Keuangan;
b. keterangan dari Otoritas Jasa Keuangan bahwa Wajib Pajak yang mengalihkan Real Estat
bertransaksi dengan SPC atau KIK dalam skema KIK tertentu;
c. surat pernyataan bermeterai yang menyatakan bahwa Wajib Pajak mengalihkan Real Estat
kepada SPC atau KIK dalam skema KIK tertentu; dan
d. fotokopi pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) yang
dilampiri dengan fotokopi bukti penerimaan surat dari kantor pelayanan pajak atas
pemberitahuan secara tertulis dimaksud.
(2) Yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah notaris,
pejabat pembuat akta tanah, camat, pejabat lelang, atau pejabat lain yang diberi wewenang sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku bebas.

BAB III
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

Pasal 6

(1) SPC atau KIK dalam skema KIK tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal (2) ayat (2) merupakan
Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah.
(2) SPC atau KIK dalam skema KIK tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak atas Pajak Pertambahan Nilai.

Pasal 7

(1) Untuk ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1), Pengusaha Kena Pajak harus menyampaikan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan kelengkapan dokumen
sebagai berikut:
a. fotokopi surat pemberitahuan efektifnya pernyataan pendaftaran DIRE berbentuk KIK yang
diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan;
b. keterangan dari Otoritas Jasa Keuangan bahwa Wajib Pajak merupakan SPC dalam skema KIK
tertentu; dan
c. surat pernyataan bermeterai yang menyatakan bahwa SPC atau KIK dibentuk semata-mata
untuk kepentingan DIRE berbentuk KIK.
(3) Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu
15 (lima belas) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap menerbitkan:
a. keputusan penetapan sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah; atau

www.ortax.org
212 Edisi PPh Badan | Maret 2017

b. surat pemberitahuan bahwa permohonan tidak dapat diproses karena tidak melampirkan
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Apabila sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir, Direktur Jenderal
Pajak tidak menerbitkan surat keputusan atau surat pemberitahuan bahwa permohonan tidak dapat
diproses berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap dikabulkan; dan
b. Direktur Jenderal Pajak harus menerbitkan surat keputusan penetapan sebagai Pengusaha
Kena Pajak berisiko rendah paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah berakhirnya jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Surat keputusan penetapan atau surat pemberitahuan bahwa permohonan tidak dapat diproses
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan setelah dilakukan penelitian terhadap permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(6) Keputusan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a berlaku untuk 12 (dua belas) masa
pajak sejak masa pajak Pengusaha Kena Pajak ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko
rendah.

Pasal 8

(1) Apabila jangka waktu penetapan sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah berakhir, Pengusaha
Kena Pajak dapat menyampaikan permohonan kembali untuk ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
berisiko rendah.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Pengusaha Kena Pajak sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2).

Pasal 9

(1) Keputusan penetapan sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah dinyatakan tidak berlaku dalam
hal:
a. Pengusaha Kena Pajak dilakukan pemeriksaan bukti permulaan atau penyidikan; atau
b. Pengusaha Kena Pajak dilakukan pemeriksaan dan ternyata dari hasil pemeriksaan diketahui
bahwa Pengusaha Kena Pajak tidak menjalankan skema KIK tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2).
(2) Penetapan Pengusaha Kena Pajak sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah dinyatakan tidak
berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sejak:
a. diterbitkannya Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan, dalam hal dilakukan pemeriksaan
bukti permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; atau
b. ditandatanganinya berita acara hasil pemeriksaan, dalam hal terhadap Wajib Pajak dilakukan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
(3) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat pemberitahuan pencabutan penetapan Pengusaha
Kena Pajak sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah.

Pasal 10

(1) Untuk diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak atas Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), SPC atau KIK dalam skema KIK tertentu mengajukan permohonan
pengembalian kelebihan pajak atas Pajak Pertambahan Nilai kepada Direktur Jenderal Pajak sepanjang
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. telah ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah dari Direktur Jenderal Pajak;
dan
b. terdapat pengkreditan pajak masukan berupa Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan Real
Estat.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu)
masa pajak dengan menggunakan:
a. surat pemberitahuan masa Pajak Pertambahan Nilai; atau
b. surat permohonan tersendiri.
(3) Setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak
melakukan penelitian terhadap:
a. kebenaran bahwa Pengusaha Kena Pajak merupakan SPC atau KIK dalam skema KIK tertentu
yang telah mendapatkan penetapan sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah;
b. adanya pengkreditan pajak masukan berupa Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan Real
Estat;
c. kelengkapan surat pemberitahuan Pajak Pertambahan Nilai dan lampiran-lampirannya;
d. kebenaran penulisan dan penghitungan Pajak Pertambahan Nilai; dan
e. kebenaran pembayaran Pajak Pertambahan Nilai yang telah dilakukan oleh Pengusaha Kena
Pajak.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 213

(4) Setelah melakukan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal Pajak
menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak dalam jangka waktu paling
lama 1 (satu) bulan sejak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima secara lengkap.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak
tidak menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, permohonan
pengembalian kelebihan pajak atas Pajak Pertambahan Nilai yang diajukan dianggap dikabulkan dan
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak harus diterbitkan paling lama 7 (tujuh)
hari setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir.
(6) Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
tidak diterbitkan apabila berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa:
a. Pengusaha Kena Pajak bukan merupakan SPC atau KIK dalam skema KIK tertentu yang telah
mendapatkan penetapan sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah;
b. tidak adanya pengkreditan pajak masukan berupa Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan
Real Estat;
c. Lampiran dalam surat pemberitahuan Pajak Pertambahan Nilai tidak lengkap;
d. tidak terdapat kelebihan Pajak Pertambahan Nilai; dan/atau
e. pembayaran Pajak Pertambahan Nilai yang telah dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak tidak
benar.
(7) Dalam hal Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak tidak diterbitkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (6), berlaku ketentuan bahwa:
a. kepada Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah diberikan pemberitahuan secara tertulis dengan
contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini; dan
b. permohonan pengembalian kelebihan pajak atas Pajak Pertambahan Nilai diproses berdasarkan
ketentuan Pasal 17B Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2009.

BAB IV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 11

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 November 2015
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

BAMBANG P.S. BRODJONEGORO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 November 2015
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 1692

www.ortax.org
214 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Status :
Peraturan Menteri Keuangan - 200/PMK.03/2015 Telah mengalami perubahan atau penyempurnaan
oleh Peraturan Menteri Keuangan - 37/PMK.03/2017, Tanggal 3 Mar 2017

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15918

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
26/PMK.010/2016 Edisi PPh Badan | Maret 2017 215

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 26/PMK.010/2016

TENTANG

PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR


51/KMK.04/2001 TENTANG PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN
ATAS BUNGA DEPOSITO DAN TABUNGAN SERTA
DISKONTO SERTIFIKAT BANK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa dalam rangka menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap mata uang dolar Amerika Serikat
dan untuk mendukung penguatan perekonomian nasional, serta sehubungan dengan telah diterbitkannya
Peraturan Pemerintah Nomor 123 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 131
Tahun 2000, perlu menyesuaikan ketentuan mengenai pemotongan Pajak Penghasilan atas bunga
deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 51/KMK.04/2001;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan Atas Bunga
Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 123 Tahun 2015, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang
Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 51/KMK.04/2001 tentang Pemotongan Pajak
Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia;

Mengingat :

1. Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Bunga
Obligasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 236, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4039) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 123
Tahun 2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 346, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5803);
2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 51/KMK.04/2001 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan atas
Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
51/KMK.04/2001 TENTANG PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DEPOSITO DAN TABUNGAN SERTA
DISKONTO SERTIFIKAT BANK INDONESIA.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 51/KMK.04/2001 tentang Pemotongan Pajak
Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia diubah sebagai
berikut:

1. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3

(1) Pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga dari Deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah sebagai berikut:
a. Atas bunga dari Deposito dalam mata uang dolar Amerika Serikat yang dananya
bersumber dari Devisa Hasil Ekspor dan ditempatkan di dalam negeri pada bank yang
didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri
di Indonesia dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebagai berikut:
1. tarif 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto, untuk Deposito dengan jangka
waktu 1 (satu) bulan;
2. tarif 7,5% (tujuh koma lima persen) dari jumlah bruto, untuk Deposito dengan
jangka waktu 3 (tiga) bulan;

www.ortax.org
216 Edisi PPh Badan | Maret 2017

3. tarif 2,5% (dua koma lima persen) dari jumlah bruto, untuk Deposito dengan
jangka waktu 6 (enam) bulan; dan
4. tarif 0% (nol persen) dari jumlah bruto, untuk Deposito dengan jangka waktu
lebih dari 6 (enam) bulan.
b. Atas bunga dari Deposito dalam mata uang rupiah yang dananya bersumber dari Devisa
Hasil Ekspor dan ditempatkan di dalam negeri pada bank yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebagai berikut:
1. tarif 7,5% (tujuh koma lima persen) dari jumlah bruto, untuk Deposito dengan
jangka waktu 1 (satu) bulan;
2. tarif 5% (lima persen) dari jumlah bruto, untuk Deposito dengan jangka waktu
3 (tiga) bulan; dan
3. tarif 0% (nol persen) dari jumlah bruto, untuk Deposito dengan jangka waktu
6 (enam) bulan atau lebih dari 6 (enam) bulan.
c. Atas bunga dari tabungan dan diskonto Sertifikat Bank Indonesia, serta bunga dari
Deposito selain dari Deposito sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b dikenai
Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebagai berikut:
1. tarif 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto, terhadap Wajib Pajak dalam
negeri dan bentuk usaha tetap; dan
2. tarif 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto atau dengan tarif berdasarkan
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku, terhadap Wajib Pajak
luar negeri.
(2) Ketentuan mengenai pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga dari Deposito sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b tidak berlaku dalam hal Devisa Hasil Ekspor yang
atas bunga Depositonya telah dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditempatkan kembali sebagai Deposito, termasuk melalui
mekanisme perpanjangan Deposito.
(3) Terhadap Deposito yang ditempatkan kembali sebagai Deposito termasuk melalui mekanisme
perpanjangan Deposito sebagaimana dimaksud pada ayat (2), atas bunga dari Deposito
dimaksud dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
angka 1.
(4) Bunga Deposito yang dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dan huruf b harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. sumber dana Deposito merupakan dana Devisa Hasil Ekspor yang diperoleh setelah
berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 123 Tahun 2015 yang dibuktikan dengan
dokumen berupa laporan penerimaan Devisa Hasil Ekspor melalui bank devisa sesuai
ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerimaan
Devisa Hasil Ekspor;
b. sumber dana Deposito berasal dari pemindahbukuan dana Devisa Hasil Ekspor yang
ditempatkan pada rekening milik eksportir pada bank tempat diterimanya Devisa Hasil
Ekspor dari luar negeri dan rekening milik eksportir dimaksud hanya digunakan untuk
menampung dana Devisa Hasil Ekspor;
c. Deposito ditempatkan pada bank yang sama dengan bank tempat diterimanya Devisa
Hasil Ekspor dari luar negeri; dan
d. harus dilampiri surat pernyataan dari eksportir yang paling sedikit memuat:
1. identitas eksportir antara lain nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, dan
nomor rekening penempatan dana Devisa Hasil Ekspor;
2. data dana Devisa Hasil Ekspor antara lain nilai ekspor, saat diperolehnya dana
Devisa Hasil Ekspor, nomor dan tanggal Pemberitahuan Ekspor Barang, dan
jenis valuta;
3. pernyataan bahwa sumber dana rekening sebagaimana dimaksud pada huruf b
berasal dari Devisa Hasil Ekspor; dan
4. pernyataan bahwa sumber dana Deposito bukan berasal dari penempatan
kembali Deposito termasuk melalui mekanisme perpanjangan Deposito.

2. Di antara Pasal 3 dan Pasal 4 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 3A dan Pasal 3B, yang berbunyi
sebagai berikut:

Pasal 3A

(1) Dalam hal Deposito yang dananya bersumber dari Devisa Hasil Ekspor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan huruf b dicairkan sebelum jangka waktu Deposito
bersangkutan, atas bunga Deposito tersebut dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c angka 1.
(2) Selisih antara Pajak Penghasilan terutang berdasarkan ayat (1) dengan Pajak Penghasilan yang
telah dipotong pada bulan-bulan sebelum dicairkan Deposito dengan tarif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a atau huruf b dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 217

pada saat Deposito dicairkan.

Pasal 3B

(1) Dalam hal sumber dana Deposito sebagian atau seluruhnya bukan berasal dari dana Devisa
Hasil Ekspor, atas bunga Deposito bersangkutan seluruhnya dikenai Pajak Penghasilan dengan
tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c angka 1.
(2) Selisih antara Pajak Penghasilan terutang berdasarkan ayat (1) dengan Pajak Penghasilan yang
telah dipotong pada bulan-bulan sebelumnya dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) huruf a atau huruf b dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan pada saat:
a. terutang atau dibayarkannya bunga Deposito bulan berikutnya; atau
b. Deposito dicairkan dalam hal seluruh bunga Deposito telah dipotong Pajak Penghasilan
dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a atau huruf b.

3. Ketentuan ayat (1) Pasal 6 diubah dan diantara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 6 disisipkan 1 (satu) ayat,
yakni ayat (1a), sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6

(1) Bank yang membayarkan bunga tabungan dan/atau Deposito serta Bank Indonesia yang
menerbitkan Sertifikat Bank Indonesia wajib memotong Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3.
(1a) Dalam hal bank melakukan pemotongan Pajak Penghasilan atas bunga Deposito sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan/atau huruf b, bank bersangkutan wajib
melampirkan fotokopi dokumen berupa laporan penerimaan Devisa Hasil Ekspor melalui bank
devisa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf a, pada saat penyampaian laporan
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2).
(2) Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan dan bank yang menjual
kembali Sertifikat Bank Indonesia kepada pihak lain yang bukan bank atau kepada Dana
Pensiun yang pendiriannya belum disahkan oleh Menteri Keuangan, wajib memotong Pajak
Penghasilan atas diskonto Sertifikat Bank Indonesia tersebut.

4. Di antara Pasal 6 dan Pasal 7 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 6A, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6A

Ketentuan Pasal 3, Pasal 3A, Pasal 3B, dan Pasal 6 mulai berlaku pada saat diundangkannya Peraturan
Pemerintah Nomor 123 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun
2000 tentang Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank
Indonesia.

Pasal II

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Februari 2016
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

BAMBANG P. S. BRODJONEGORO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Februari 2016
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

www.ortax.org
218 Edisi PPh Badan | Maret 2017

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 269

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15995

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
261/PMK.03/2016 Edisi PPh Badan | Maret 2017 219

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 261/PMK.03/2016

TENTANG

TATA CARA PENYETORAN, PELAPORAN, DAN PENGECUALIAN


PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI
PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN, DAN PERJANJIAN
PENGIKATAN JUAL BELI ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN
BESERTA PERUBAHANNYA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan
Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan
tentang Tata Cara Penyetoran, Pelaporan, dan Pengecualian Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan
dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau
Bangunan Beserta Perubahannya;

Mengingat :

Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak
atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta
Perubahannya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5916);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENYETORAN, PELAPORAN, DAN PENGECUALIAN
PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU
BANGUNAN, DAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN BESERTA
PERUBAHANNYA.

Pasal 1

(1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari:
a. pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan; atau
b. perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya,
terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final.
(2) Hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah semua hak
atas tanah dan/atau bangunan antara lain dapat berupa:
a. hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai, sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang mengenai peraturan dasar pokok-pokok agraria;
b. hak milik atas satuan rumah susun dan kepemilikan bangunan gedung satuan rumah susun
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai rumah susun.
(3) Perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b merupakan kesepakatan jual beli antara para pihak yang dapat berupa surat perjanjian
pengikatan jual beli, surat pemesanan unit, kuitansi pembayaran uang muka, atau bentuk kesepakatan
lainnya antara pihak yang menjual atau bermaksud menjual tanah dan/atau bangunan dan pihak yang
membeli atau bermaksud membeli tanah dan/atau bangunan.
(4) Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh pihak yang mengalihkan hak atas tanah
dan/atau bangunan melalui penjualan, tukar menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah,
waris, atau cara lain yang disepakati antara para pihak.
(5) Penghasilan dari perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh:
a. pihak penjual yang namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli pada saat
perjanjian dimaksud pertama kali ditandatangani; atau
b. pihak pembeli yang namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli sebelum
terjadinya perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli, dalam hal terjadi perubahan

www.ortax.org
220 Edisi PPh Badan | Maret 2017

pihak pembeli dalam perjanjian pengikatan jual beli tersebut.

Pasal 2

(1) Besarnya Pajak Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a adalah sebesar:
a. 0% (nol persen) atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah, badan
usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus dari Pemerintah, atau badan usaha milik
daerah yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah, sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang yang mengatur mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum;
b. 1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa
Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha
pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan; atau
c. 2,5% (dua koma lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan, selain pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada
huruf a dan huruf b.
(2) Nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. nilai berdasarkan keputusan pejabat yang berwenang, dalam hal pengalihan hak kepada
pemerintah;
b. nilai menurut risalah lelang, dalam hal pengalihan hak sesuai dengan peraturan lelang (Vendu
Reglement Staatsblad Tahun 1908 Nomor 189 beserta perubahannya);
c. nilai yang sesungguhnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan dilakukan melalui jual beli yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa, selain
pengalihan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b;
d. nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan dilakukan melalui jual beli yang dipengaruhi hubungan istimewa, selain pengalihan
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b; atau
e. nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh berdasarkan harga pasar, dalam hal pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui tukar menukar, pelepasan hak,
penyerahan hak, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati antara para pihak.
(3) Besarnya Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau
bangunan beserta perubahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b dihitung
berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari jumlah bruto, yaitu:
a. nilai yang sesungguhnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan tanah dan/atau
bangunan dilakukan melalui pengalihan yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa; atau
b. nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan tanah dan/atau bangunan
dilakukan melalui pengalihan yang dipengaruhi hubungan istimewa.
(4) Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sesuai
dengan kriteria Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang mendapat fasilitas dibebaskan
dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan
yang mengatur mengenai batasan Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang mendapat
fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
(5) Termasuk sebagai Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah Wajib Pajak yang dalam kegiatan
usahanya mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagai barang dagangan.

Pasal 3

(1) Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a, wajib menyetor sendiri Pajak
Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b dan huruf c ke Kas
Negara, sebelum akta, keputusan, kesepakatan, atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.
(2) Dalam hal penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada badan usaha milik
negara atau badan usaha milik daerah dikenai tarif 0% (nol persen) sebagaimana diatur dalam Pasal 2
ayat (1) huruf a, orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a
tidak perlu mengisi Surat Setoran Pajak.
(3) Bagi orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a, Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terutang pada saat diterimanya sebagian atau seluruh
pembayaran atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
(4) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung berdasarkan jumlah setiap
pembayaran termasuk uang muka, bunga, pungutan, dan pembayaran tambahan lainnya yang dipenuhi
oleh pembeli, sehubungan dengan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 221

(5) Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib dibayar oleh orang pribadi
atau badan yang bersangkutan ke Kas Negara paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya
setelah bulan diterimanya pembayaran.
(6) Pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilakukan untuk
setiap pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
(7) Pejabat yang berwenang hanya menandatangani akta, keputusan, kesepakatan, atau risalah lelang atas
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan apabila kepadanya dibuktikan oleh orang pribadi atau
badan dimaksud bahwa kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi dengan
menyerahkan fotokopi Surat Setoran Pajak atau hasil cetakan sarana administrasi lain yang disamakan
dengan Surat Setoran Pajak yang bersangkutan yang telah dilakukan penelitian oleh Kantor Pelayanan
Pajak.
(8) Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (7) meliputi pejabat pembuat akta tanah,
pejabat lelang, atau pejabat lain yang diberi wewenang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 4

(1) Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a kepada pemerintah,
dipungut Pajak Penghasilan oleh bendahara pemerintah atau pejabat yang melakukan pembayaran atau
pejabat yang menyetujui tukar menukar.
(2) Bendahara pemerintah atau pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyetor Pajak
Penghasilan yang telah dipungut ke Kas Negara, sebelum melakukan pembayaran kepada orang pribadi
atau badan yang berhak menerimanya atau sebelum tukar menukar dilaksanakan.
(3) Penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak atas
nama orang pribadi atau badan yang menerima pembayaran atau yang melakukan tukar menukar.
(4) Dalam hal penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah dikenai
tarif 0% (nol persen) sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a, bendahara pemerintah atau
pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak perlu mengisi Surat Setoran Pajak.

Pasal 5

(1) Pelunasan Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan dari perjanjian pengikatan jual beli atas
tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b
wajib dilakukan melalui penyetoran sendiri ke Kas Negara oleh orang pribadi atau badan yang
merupakan:
a. pihak penjual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (5) huruf a; atau
b. pihak pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (5) huruf b.
(2) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terutang pada saat diterimanya sebagian atau
seluruh pembayaran.
(3) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan jumlah setiap
pembayaran termasuk uang muka, bunga, pungutan, dan pembayaran tambahan lainnya yang dipenuhi
oleh pembeli, sehubungan dengan perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan
tersebut.
(4) Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dibayar oleh orang pribadi
atau badan yang bersangkutan ke Kas Negara paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya
setelah bulan diterimanya pembayaran.
(5) Pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk setiap perjanjian
pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan.
(6) Dalam hal penjual telah melakukan pembayaran Pajak Penghasilan yang terutang dari perjanjian
pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), pembayaran dimaksud diperhitungkan dalam pelunasan Pajak Penghasilan terutang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b dan huruf c sepanjang perjanjian pengikatan
jual beli atas tanah dan/atau bangunan dimaksud diakhiri dengan pembuatan akta pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan.
(7) Pihak penjual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (5) huruf a hanya menandatangani perubahan
atau adendum perjanjian pengikatan jual beli apabila kepadanya dibuktikan bahwa kewajiban pembeli
yang namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli sebelum terjadinya perubahan atau
adendum atas perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (5) huruf b
telah dipenuhi dengan menyerahkan fotokopi Surat Setoran Pajak atau hasil cetakan sarana
administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak yang bersangkutan yang telah dilakukan
penelitian oleh Kantor Pelayanan Pajak.

Pasal 6

www.ortax.org
222 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Penyetoran Pajak Penghasilan ke Kas Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (5),
Pasal 4 ayat (2), serta Pasal 5 ayat (4) dilakukan melalui:
a. layanan pada loket/teller (over the counter); dan/atau
b. layanan dengan menggunakan sistem elektronik lainnya,
pada bank/pos persepsi.

Pasal 7

(1) Bagi Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan,
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (3) terutang di lokasi tanah
dan/atau bangunan berada.
(2) Bagi orang pribadi atau badan selain Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (3) terutang di tempat tinggal
orang pribadi yang bersangkutan atau tempat kedudukan badan dimana Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan yang bersangkutan diadministrasikan.

Pasal 8

Dalam pemenuhan hak dan kewajiban sehubungan dengan Pajak Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan, dan perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya,
orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a dan huruf b wajib memiliki
Nomor Pokok Wajib Pajak, kecuali orang pribadi yang penghasilannya di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak
dan subjek pajak luar negeri tidak termasuk bentuk usaha tetap.

Pasal 9

(1) Orang pribadi atau badan yang wajib menyetor sendiri Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib melaporkan penghasilan yang diterima atau diperoleh dan Pajak
Penghasilan yang telah dibayar dalam suatu Masa Pajak melalui Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2), paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir ke:
a. Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi lokasi tanah dan/atau bangunan yang
bersangkutan, bagi Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan; atau
b. Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal orang pribadi atau
tempat kedudukan badan dimana Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak
badan yang bersangkutan diadministrasikan, bagi orang pribadi atau badan selain Wajib Pajak
yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan,
kecuali untuk Subjek Pajak Luar Negeri, penyampaian Surat Pemberitahuan Masa dianggap telah
dilakukan apabila Wajib Pajak telah melakukan penyetoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) dan tanggal penyampaian Surat Pemberitahuan Masa sesuai tanggal validasi Nomor Transaksi
Penerimaan Negara yang tercantum pada Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang
disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
(2) Bendahara pemerintah atau pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib membuat dan
menyampaikan laporan mengenai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan paling lama 20 (dua
puluh) hari setelah bulan dilakukannya pengalihan hak dimaksud ke Kantor Pelayanan Pajak tempat
bendahara pemerintah unit yang bersangkutan terdaftar.
(3) Badan usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus dari pemerintah atau badan usaha milik
daerah yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf a harus:
a. membuat daftar pihak yang mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan dan tanah dan/atau
bangunan yang akan dialihkan dimaksud disertai dengan fotokopi surat penugasan dimaksud
dan menyampaikan kepada pejabat yang berwenang menandatangani akta pengalihan hak
sebagai pengganti Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (7); dan
b. membuat dan menyampaikan laporan mengenai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
dalam rangka penugasan dimaksud paling lama 20 (dua puluh) hari setelah bulan dilakukannya
pengalihan hak dimaksud ke Kantor Pelayanan Pajak tempat badan usaha milik negara atau
badan usaha milik daerah yang bersangkutan terdaftar.
(4) Orang pribadi atau badan yang wajib menyetor sendiri Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) wajib menyampaikan laporan atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh dan Pajak Penghasilan yang telah dibayar dalam suatu Masa Pajak melalui Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2), paling lama 20 (dua puluh) hari setelah
Masa Pajak berakhir kepada:
a. Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi lokasi tanah dan/atau bangunan yang
bersangkutan, bagi Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 223

dan/atau bangunan; atau


b. Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal orang pribadi atau
tempat kedudukan badan dimana Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak
badan yang bersangkutan diadministrasikan, bagi orang pribadi atau badan selain Wajib Pajak
yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan,
kecuali untuk Subjek Pajak Luar Negeri, penyampaian Surat Pemberitahuan Masa dianggap telah
dilakukan apabila Wajib Pajak telah melakukan penyetoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1), tanggal penyampaian Surat Pemberitahuan Masa sesuai tanggal validasi Nomor Transaksi
Penerimaan Negara yang tercantum pada Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang
disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
(5) Pejabat yang berwenang menandatangani akta, keputusan, kesepakatan, atau risalah lelang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (7) wajib menyampaikan laporan bulanan mengenai
penerbitan akta, keputusan, kesepakatan, atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling lama 20 (dua puluh) hari setelah bulan
dilakukannya pengalihan hak dimaksud ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pejabat yang bersangkutan
terdaftar.
(6) Penjual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (5) huruf a harus menyampaikan laporan mengenai
perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli atas pengalihan harta berupa tanah dan/atau
bangunan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah bulan dilakukannya perubahan atau adendum
perjanjian pengikatan jual beli dimaksud ke:
a. Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi lokasi tanah dan/atau bangunan yang
bersangkutan, bagi penjual yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan; atau
b. Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal orang pribadi atau
tempat kedudukan badan dimana Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak
badan yang bersangkutan diadministrasikan, bagi penjual selain yang usaha pokoknya
melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan,
(7) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (5), dan ayat (6) dan daftar sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) adalah sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(8) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) merupakan bukti pemenuhan kewajiban
Pajak Penghasilan bagi pihak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang
penghasilannya dikenai tarif 0% (nol persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a.

Pasal 10

(1) Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (3) adalah:
a. orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak yang
melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihannya
kurang dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang
dipecah-pecah;
b. orang pribadi yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan dengan cara
hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan,
badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikian, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
c. badan yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah
kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau
orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan
usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
d. pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan karena waris;
e. badan yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan dalam rangka
penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan
untuk menggunakan nilai buku;
f. orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan harta berupa bangunan dalam rangka
melaksanakan perjanjian bangun guna serah, bangun serah guna, atau pemanfaatan barang
milik negara berupa tanah dan/atau bangunan; atau
g. orang pribadi atau badan yang tidak termasuk subjek pajak yang melakukan pengalihan harta
berupa tanah dan/atau bangunan.
(2) Pengecualian dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberikan dengan penerbitan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan
dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau perjanjian pengikatan jual beli atas tanah
dan/atau bangunan beserta perubahannya.

www.ortax.org
224 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Pasal 11

(1) Dalam hal terdapat pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui perjanjian atau kerja sama
antara pemilik tanah dan/atau bangunan dan orang pribadi atau badan lain yang secara substansi
merupakan pembeli hak atas tanah dan/atau bangunan, serta selanjutnya orang pribadi atau badan lain
dimaksud mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut kepada pihak ketiga, perjanjian
atau kerja sama tersebut merupakan perjanjian pengikatan jual beli yang dikenai Pajak Penghasilan.
(2) Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan yang memiliki tanah dan/atau
bangunan dari orang pribadi atau badan lain yang secara substansi merupakan pembeli tanah dan/atau
bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (5) huruf a.
(3) Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan lain yang secara substansi
merupakan pembeli hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari pihak
ketiga merupakan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (5) huruf b.
(4) Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan/atau ayat (3).

Pasal 12

Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan dan/atau penghasilan dari perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau
bangunan beserta perubahannya berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
ayat (1) huruf a dan penghasilan dari pihak penjual yang namanya tercantum dalam perjanjian
pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (5) huruf a yang:
1. bagian atau keseluruhan pembayaran atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
tersebut diterima sebelum tanggal 7 September 2016, atas bagian atau keseluruhan
pembayaran tersebut dikenai Pajak Penghasilan final berdasarkan tarif Pasal 4 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1994 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3580)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71
Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang
Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 164, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4914);
2. bagian atau keseluruhan pembayaran atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
tersebut diterima pada tanggal 7 September 2016 dan/atau setelahnya, atas bagian atau
keseluruhan pembayaran tersebut dikenai Pajak Penghasilan final berdasarkan tarif Pasal 2
ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan
Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5916).
b. penghasilan dari pihak pembeli yang namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli sebelum
terjadinya perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (5) huruf b yang:
1. perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli dilakukan sebelum tanggal
7 September 2016, dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1), ayat (2),
ayat (2), atau Pasal 26 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
2. perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli dilakukan pada tanggal
7 September 2016 dan/atau setelahnya, dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif Pasal 2
ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan
Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5916).

Pasal 13

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 225

Cara penghitungan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan serta
perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya adalah sesuai contoh
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 14

Pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan serta
perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya, sejak tanggal
7 September 2016 sampai dengan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, berlaku ketentuan sebagaimana
diatur dalam Peraturan Menteri ini.

Pasal 15

(1) Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan Dari
Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, Dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah
Dan/Atau Bangunan Beserta Perubahannya, terhadap Wajib Pajak badan, termasuk koperasi, yang
usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, apabila:
a. melakukan penjualan atas tanah dan/atau bangunan sebelum tanggal 1 Januari 2009 dan atas
penjualan tersebut belum dibuatkan akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan, atau risalah
lelang oleh pejabat yang berwenang dalam pengalihannya; dan
b. penghasilan atas penjualan sebagaimana dimaksud pada huruf a telah dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang bersangkutan dan Pajak
Penghasilan atas penghasilan tersebut telah dilunasi,
pengenaan pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan umum Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
(2) Penghasilan atas penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikecualikan dari pembayaran
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

Pasal 16

Ketentuan lebih lanjut mengenai:


a. tata cara penelitian pemenuhan kewajiban penyetoran Pajak Penghasilan oleh Kantor Pelayanan Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (7) dan Pasal 5 ayat (7);
b. tata cara pengecualian pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan atau perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta
perubahannya; dan
c. tata cara pengecualian pembayaran Pajak Penghasilan atas penjualan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 ayat (1) huruf a,
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 17

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 635/KMK.04/1994 tentang
Pelaksanaan Pembayaran dan Pemungutan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan/Peraturan Menteri
Keuangan:
a. Nomor 392/KMK.04/1996 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 635/KMK.04/1994
tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pemungutan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan; dan
b. Nomor 243/PMK.03/2008 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor
635/KMK.04/1994 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pemungutan Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 18

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

www.ortax.org
226 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2016
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 04 Januari 2017
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 29

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=16208

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
37/PMK.03/2017 Edisi PPh Badan | Maret 2017 227

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 37/PMK.03/2017

TENTANG

TATA CARA PEMBAYARAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN ATAS


PENGHASILAN DARI PENGALIHAN REAL ESTAT DALAM SKEMA
KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF TERTENTU

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2016 tentang Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Real Estat dalam Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pembayaran dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Pengalihan Real Estat dalam Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu;

Mengingat :

Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Real
Estat dalam Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016
Nomor 200, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5936);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN
ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN REAL ESTAT DALAM SKEMA KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF TERTENTU.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:


1. Kontrak Investasi Kolektif yang selanjutnya disingkat KIK adalah Kontrak Investasi Kolektif sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Pasar Modal.
2. Real Estat adalah tanah secara fisik dan bangunan yang ada di atasnya.
3. Dana Investasi Real Estat yang selanjutnya disebut dengan DIRE adalah wadah yang dipergunakan
untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan pada aset Real
Estat, aset yang berkaitan dengan Real Estat, dan/atau kas dan setara kas.
4. Special Purpose Company yang selanjutnya disebut dengan SPC adalah Perseroan Terbatas yang
sahamnya dimiliki oleh DIRE berbentuk KIK paling kurang 99,9% (sembilan puluh sembilan koma
sembilan persen) dari modal disetor yang dibentuk semata-mata untuk kepentingan DIRE berbentuk
KIK.

Pasal 2

(1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari pengalihan Real Estat kepada SPC atau
KIK dalam skema KIK tertentu, terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final.
(2) Skema KIK tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan suatu skema investasi dalam
bentuk KIK dengan wadah DIRE dengan atau tanpa menggunakan SPC.

Pasal 3

(1) Besarnya Pajak Penghasilan dari pengalihan Real Estat kepada SPC atau KIK dalam skema KIK tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari jumlah
bruto nilai pengalihan Real Estat.
(2) Jumlah bruto nilai pengalihan Real Estat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. seluruh jumlah yang sesungguhnya diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari SPC atau KIK atas
pengalihan Real Estat dalam skema KIK tertentu, dalam hal Wajib Pajak tidak memiliki
hubungan istimewa dengan SPC atau KIK; atau
b. seluruh jumlah yang seharusnya diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari SPC atau KIK atas
pengalihan Real Estat dalam skema KIK tertentu dalam hal Wajib Pajak memiliki hubungan
istimewa dengan SPC atau KIK.

Pasal 4

www.ortax.org
228 Edisi PPh Badan | Maret 2017

(1) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib dibayar sendiri oleh Wajib Pajak
yang mengalihkan Real Estat ke Kas Negara sebelum akta, keputusan, perjanjian, atau kesepakatan
atas pengalihan Real Estat kepada SPC atau KIK dalam skema KIK tertentu ditandatangani oleh pejabat
yang berwenang.
(2) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terutang pada saat diterimanya sebagian atau
seluruh pembayaran atas pengalihan Real Estat kepada SPC atau KIK dalam skema KIK tertentu.
(3) Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan jumlah
setiap pembayaran termasuk uang muka, bunga, pungutan, dan pembayaran tambahan lainnya,
sehubungan dengan pengalihan Real Estat tersebut.
(4) Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dibayar oleh Wajib Pajak
yang bersangkutan ke bank/pos persepsi paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah
bulan diterimanya pembayaran.
(5) Pembayaran Pajak Penghasilan ke Kas Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan melalui:
a. layanan pada loket/teller (over the counter); dan/atau
b. layanan dengan menggunakan sistem elektronik lainnya,
pada bank/pos persepsi.

Pasal 5

Wajib Pajak yang melakukan pengalihan Real Estat dan dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib:
a. menyampaikan surat pemberitahuan kepada kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak
terdaftar mengenai adanya pengalihan Real Estat kepada SPC atau KIK dalam skema KIK tertentu
sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini, yang dilengkapi dengan dokumen:
1. fotokopi surat pemberitahuan efektifnya pernyataan pendaftaran DIRE berbentuk KIK yang
diterbitkan dan telah dilegalisasi oleh Otoritas Jasa Keuangan;
2. keterangan dari Otoritas Jasa Keuangan bahwa Wajib Pajak yang mengalihkan Real Estat
bertransaksi dengan SPC atau KIK dalam skema KIK tertentu;
3. surat pernyataan bermeterai yang menyatakan bahwa Wajib Pajak melakukan pengalihan Real
Estat kepada SPC atau KIK dalam skema KIK tertentu; dan
4. fotokopi Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administasi lain yang dipersamakan dengan
SSP atas penghasilan dari pengalihan Real Estat kepada SPC atau KIK dalam skema KIK
tertentu; dan
b. mendapatkan surat keterangan fiskal sesuai dengan ketentuan perpajakan yang mengatur tentang
pemberian surat keterangan fiskal dari kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak bersangkutan
terdaftar.

Pasal 6

Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, kecuali
orang pribadi yang penghasilannya di bawah batasan Penghasilan Tidak Kena Pajak atau subjek pajak luar
negeri tidak termasuk bentuk usaha tetap.

Pasal 7

(1) Bagi Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan Real Estat, Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), terutang di lokasi Real Estat berada.
(2) Bagi Wajib Pajak selain Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) terutang di tempat terdaftar Wajib Pajak, dimana Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang bersangkutan diadministrasikan.

Pasal 8

(1) Wajib Pajak yang wajib membayar sendiri Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1), wajib melaporkan penghasilan yang diterima atau diperoleh dan Pajak
Penghasilan yang telah dibayar dalam suatu Masa Pajak ke:
a. Kantor pelayanan pajak yang wilayah kerjanya meliputi lokasi Real Estat yang bersangkutan,
bagi Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan Real Estat; atau
b. Kantor pelayanan pajak yang mengadministrasikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak, bagi Wajib Pajak selain Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan
pengalihan Real Estat,
(2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2); dan
b. surat pemberitahuan mengenai adanya pengalihan Real Estat kepada SPC atau KIK dalam
skema KIK tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a,
paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(3) Bagi orang pribadi yang penghasilannya di bawah batasan Penghasilan Tidak Kena Pajak atau Subjek
Pajak Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 229

(1) dianggap telah dilakukan apabila telah melakukan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) dan telah dilakukan penelitian.

Pasal 9

(1) Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (1) merupakan pejabat yang diberi
wewenang untuk menandatangani akta, keputusan, perjanjian, atau kesepakatan atas pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.
(2) Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat menandatangani akta,
keputusan, perjanjian, atau kesepakatan atas pengalihan Real Estat apabila kepadanya telah dibuktikan
bahwa:
a. Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 ayat (1) telah dibayar dengan
menyerahkan fotokopi Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan
dengan Surat Setoran Pajak bersangkutan yang telah dilakukan penelitian oleh kantor
pelayanan pajak, dengan menunjukkan aslinya; dan
b. kewajiban sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 telah dipenuhi, dengan menyerahkan fotokopi
surat dan/atau dokumen bersangkutan serta fotokopi tanda bukti penerimaan surat dari kantor
pelayanan pajak tempat Wajib Pajak bersangkutan.
(3) Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan laporan bulanan
mengenai penerbitan akta, keputusan, kesepakatan, atau risalah lelang atas pengalihan Real Estat,
paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah bulan dilakukannya penerbitan akta, keputusan, kesepakatan,
atau risalah lelang atas pengalihan Real Estat dimaksud ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pejabat
yang bersangkutan terdaftar.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah sesuai format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 10

Tata cara penelitian Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan Surat Setoran
Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan Real Estat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3)
dan Pasal 9 ayat (2) huruf a, sesuai dengan ketentuan di bidang perpajakan yang mengatur tentang tata cara
penelitian Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan Surat Setoran Pajak
Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dan perjanjian pengikatan jual
beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya.

Pasal 11

(1) Pada saat berlakunya Peraturan Menteri ini, terhadap Wajib Pajak yang melakukan pengalihan Real
Estat kepada SPC atau KIK dalam skema KIK tertentu, apabila:
a. melakukan pengalihan Real Estat dari tanggal 10 November 2015 sampai dengan tanggal
16 Oktober 2016 dan atas pengalihan Real Estat tersebut belum dibuatkan akta, keputusan,
perjanjian atau kesepakatan oleh pejabat yang berwenang; dan
b. penghasilan atas pengalihan Real Estat sebagaimana dimaksud pada huruf a telah dilaporkan
dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang bersangkutan dan
Pajak Penghasilan atas penghasilan tersebut telah dilunasi,
pengenaan pajaknya dihitung berdasarkan tarif umum sesuai ketentuan Pasal 17 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
(2) Atas penghasilan dari pengalihan Real Estat yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), tidak dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 40
Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Real Estat dalam Skema
Kontrak Investasi Kolektif Tertentu yang dibuktikan dengan surat keterangan bebas pembayaran Pajak
Penghasilan yang bersifat final.
(3) Tata cara pemberian surat keterangan bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan
ketentuan di bidang perpajakan yang mengatur mengenai pemberian surat keterangan bebas dari Pajak
Penghasilan bersifat final atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

Pasal 12

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 200/PMK.03/2015 tentang Perlakuan Perpajakan bagi Wajib Pajak dan Pengusaha
Kena Pajak yang Menggunakan Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu dalam Rangka Pendalaman Sektor
Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1692), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 13

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

www.ortax.org
230 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 Maret 2017
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Maret 2017
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 374

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=16243

www.ortax.org
Keputusan Menteri Keuangan :
634/KMK.04/1994 Edisi PPh Badan | Maret 2017 231

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 634/KMK.04/1994

TENTANG

NORMA PENGHITUNGAN KHUSUS PENGHASILAN NETO BAGI WAJIB PAJAK LUAR NEGERI
YANG MEMPUNYAI KANTOR PERWAKILAN DAGANG DI INDONESIA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa sesuai dengan Pasal 15 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena
Pajak bagi Wajib Pajak tertentu perlu ditetapkan Norma Penghitungan Khusus tentang Penghasilan
neto;
b. bahwa oleh karena itu dipandang perlu untuk menetapkan Norma Penghitungan Khusus bagi Wajib
Pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia dengan Keputusan Menteri
Keuangan;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263), sebagaimana telah diubah Undang-undang Nomor 7
Tahun 1991 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
(Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459) dan dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991
(Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);
2. Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG NORMA PENGHITUNGAN KHUSUS


PENGHASILAN NETO BAGI WAJIB PAJAK LUAR NEGERI YANG MEMPUNYAI KANTOR PERWAKILAN DAGANG
DI INDONESIA.

Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan nilai ekspor bruto adalah semua nilai pengganti atau imbalan yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia dari
penyerahan barang kepada orang pribadi atau badan yang berada atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Pasal 2

(1). Penghasilan neto dari Wajib Pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia
ditetapkan sebesar 1% (satu persen) dari nilai ekspor bruto.

(2). Pelunasan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar
0,44% (empat puluh empat per seribu) dari nilai ekspor bruto dan bersifat final.

Pasal 3

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Keputusan ini ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 4

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.

www.ortax.org
232 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 1994
MENTERI KEUANGAN,

ttd

MAR'IE MUHAMMAD

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=581

www.ortax.org
Keputusan Menteri Keuangan :
248/KMK.04/1995 Edisi PPh Badan | Maret 2017 233

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 248/KMK.04/1995

TENTANG

PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN TERHADAP PIHAK-PIHAK YANG MELAKUKAN KERJASAMA


DALAM BENTUK PERJANJIAN BANGUN GUNA SERAH ("BUILT OPERATE AND TRANSFER")

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa sesuai dengan Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, Menteri Keuangan berwenang
menetapkan peraturan tentang norma penghitungan khusus untuk menghitung penghasilan neto dari
Wajib Pajak tertentu;
b. bahwa untuk keperluan pemungutan Pajak Penghasilan terhadap pihak-pihak yang melakukan
perjanjian kerjasama dalam bentuk bangun guna serah (built operate and transfer) dipandang perlu
diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983
Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263), sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3459) dan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3567);
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 1994 tentang Penghitungan Penghasilan
Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Tahun 1994
Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3579);
3. Undang-undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Tahun
1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3312), sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 12 tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2171);
4. Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN


TERHADAP PIHAK-PIHAK YANG MELAKUKAN KERJASAMA DALAM BENTUK PERJANJIAN BANGUN GUNA SERAH
("BUILT OPERATE AND TRANSFER")

Pasal 1

Bangun Guna Serah ("Built Operate and Transfer") adalah bentuk perjanjian kerjasama yang dilakukan antara
pemegang hak atas tanah dengan investor, yang menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah memberikan
hak kepada investor untuk mendirikan bangunan selama masa perjanjian bangun guna serah (BOT), dan
mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah masa guna serah
berakhir.

Pasal 2

(1) Biaya mendirikan bangunan diatas tanah yang dikeluarkan oleh investor merupakan nilai perolehan
investor untuk mendapatkan hak menggunakan atau hak mengusahakan bangunan tersebut, dan
jumlah biaya yang dikeluarkan tersebut oleh investor diamortisasi dalam jumlah yang sama besar
setiap tahun selama masa perjanjian bangun guna serah.

(2) Amortisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai pada tahun bangunan tersebut mulai
digunakan atau diusahakan oleh investor.

(3) Apabila masa perjanjian bangun guna serah menjadi lebih pendek dari masa yang telah ditentukan
dalam perjanjian maka sisa biaya pembangunan yang belum diamortisasi, diamortisasi sekaligus

www.ortax.org
234 Edisi PPh Badan | Maret 2017

oleh investor pada tahun berakhirnya masa bangun guna serah yang lebih pendek tersebut.

(4) Apabila dalam pelaksanaan bangun guna serah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan
penggantian atau imbalan kepada investor, maka penggantian atau imbalan tersebut adalah
penghasilan bagi investor dalam tahun diterimanya hak penggantian atau imbalan tersebut.

(5) Apabila masa perjanjian bangun guna serah menjadi lebih panjang dari masa yang telah ditentukan
dalam perjanjian karena adanya penambahan bangunan, maka biaya penambahan bangunan tersebut
ditambahkan terhadap sisa biaya yang belum diamortisasi dan diamortisasi oleh investor hingga
berakhirnya masa bangun guna serah yang lebih panjang tersebut.

Pasal 3

(1) Bangun yang diserahkan oleh investor kepada pemegang hak atas tanah setelah masa perjanjian
bangun guna serah berakhir adalah merupakan penghasilan bagi pemegang hak atas tanah
berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994.

(2) Atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terutang Pajak Penghasilan sebesar 5% (lima
persen) dari jumlah bruto nilai yang tertinggi antara nilai pasar dengan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP)
bangunan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 1985
tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 tahun
1994 dan harus dilunasi selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa guna serah
berakhir.

(3) Pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bagi orang pribadi bersifat final
dan bagi Wajib Pajak badan adalah merupakan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25 yang dapat
diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan.

(4) Nilai perolehan atas bangunan yang diterima dari investor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah sebesar nilai atau NJOP yang merupakan dasar pengenaan Pajak Penghasilan.

Pasal 4

Penghasilan lain yang diterima atau diperoleh oleh pemegang hak atas tanah selama masa bangun guna serah
merupakan obyek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10
tahun 1994.

Pasal 5

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan keputusan ini ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 6

Keputusan ini berlaku atas perjanjian bangun guna serah yang berakhir setelah tahun pajak 1994.

Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Juni 1995
MENTERI KEUANGAN,

ttd.

MAR'IE MUHAMMAD

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=616

www.ortax.org
Keputusan Menteri Keuangan :
417/KMK.04/1996 Edisi PPh Badan | Maret 2017 235

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 417/KMK.04/1996

TENTANG

NORMA PENGHITUNGAN KHUSUS PENGHASILAN NETO BAGI WAJIB PAJAK PERUSAHAAN PELAYARAN
DAN/ATAU PENERBANGAN LUAR NEGERI

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa sesuai dengan Pasal 15 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagai telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, untuk menghitung besarnya penghasilan kena Pajak
bagi Wajib Pajak tertentu, perlu ditetapkan norma penghitungan khusus tentang penghasilan neto;
b. bahwa dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri keuangan nomor : 416/KMK.04/1996 tanggal 14
Juni 1996 tentang Norma Penghitungan khusus Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak perusahaan
pelayaran Dalam Negeri, perlu dilakukan penyempurnaan terhadap ketentuan sebagaimana diatur
dalam Keputusan Menteri Keuangan nomor : 181/KMK.04/1995 tanggal 1 Mei 1995 tentang Norma
Penghitungan Khusus penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak yang Bergerak di Bidang usaha pelayaran
dan/atau penerbangan;
c. Bahwa untuk kepastian hukum, masih perlu ditetapkan norma penghitungan khusus penghasilan neto
bagi Wajib Pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri;
d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan mengenai
Norma penghitungan khusus penghasilan neto bagi Wajib pajak perusahaan pelayaran dan/atau
penerbangan luar negeri, dengan Keputusan Menteri keuangan.

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
7 Tahun 1991 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
(Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 93, Tambahan lembaran Negara Nomor 3459) dan dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan, Sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 1991
(Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);
2. Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1993 tentang pembentukan Kabinet Pembangunan VI;
3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 416/KMK.04/1996 tentang Norma penghitungan Khusus
Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak perusahaan pelayaran Dalam Negeri;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG NORMA PENGHITUNG-AN KHUSUS


PENGHASILAN NETO BAGI WAJIB PAJAK PERUSAHAAN PELAYARAN DAN/ ATAU PENERBANGAN LUAR NEGERI.

Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan peredaran bruto adalah semua imbalan atau nilai pengganti
berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau
Penerbangan luar negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke
pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar negeri.

Pasal 2

(1) Penghasilan neto bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri
ditetapkan sebesar 6% (enam persen) dari peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1.

(2) Besarnya Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan luar
negeri adalah sebesar 2,64% (dua koma enam puluh empat persen) dari peredaran bruto
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1.

(3) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat final.

www.ortax.org
236 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Pasal 3

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan keputusan ini ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 4

Dengan berlakunya keputusan ini maka keputusan Menteri keuangan Nomor 181/KMK.04/1995 tanggal 1 Mei
1995 dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 5

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman keputusan ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 14 Juni 1996
MENTERI KEUANGAN,

ttd

MAR'IE MUHAMMAD

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=655

www.ortax.org
Keputusan Menteri Keuangan :
282/KMK.04/1997 Edisi PPh Badan | Maret 2017 237

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 282/KMK.04/1997

TENTANG

PELAKSANAAN PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN


DARI TRANSAKSI PENJUALAN SAHAM DI BURSA EFEK

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1997 telah diatur kembali ketentuan mengenai
pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek;
b. bahwa untuk kelancaran pelaksanaan pemungutan Pajak Penghasilan tersebut, khususnya yang
berkenaan dengan transaksi penjualan saham pendiri, dipandang perlu untuk mengatur kembali tata
cara pelaksanaan pemungutan, penyetoran, dan pelaporannya dengan Keputusan Menteri Keuangan;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262), sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566);
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983
Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263), sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3459) dan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3567);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 70, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3574), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14
Tahun 1997 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 tentang Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek (Lembaran Negara Tahun
1997 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3689);
4. Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI,
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Keputusan Presiden Nomor 388/M Tahun 1995 dan
Keputusan Presiden Nomor 150/M tahun 1997.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PELAKSANAAN PEMUNGUTAN PAJAK


PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI TRANSAKSI PENJUALAN SAHAM DI BURSA EFEK.

Pasal 1

(1) Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan pendiri adalah orang pribadi atau badan yang namanya
tercatat dalam Daftar Pemegang Saham Perseroan Terbatas atau tercantum dalam Anggaran Dasar
Perseroan Terbatas sebelum Pernyataan Pendaftaran yang diajukan kepada Badan Pengawas Pasar
Modal (Bapepam) dalam rangka penawaran umum perdana ("intial public offering") menjadi efektif.

(2) Termasuk dalam pengertian pendiri adalah orang pribadi atau badan yang menerima pengalihan
saham dari pendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) karena :
a. warisan;
b. hibah yang memenuhi syarat Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1994;
c. cara lain yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan pada saat pengalihan tersebut.

(3) Termasuk dalam pengertian saham pendiri adalah :


a. saham yang diperoleh pendiri yang berasal dari kapitalisasi agio yang dikeluarkan setelah

www.ortax.org
238 Edisi PPh Badan | Maret 2017

penawaran umum perdana ("intial public offering);


b. saham yang berasal dari pemecahan saham pendiri.

(4) Tidak termasuk dalam pengertian saham pendiri adalah :


a. saham yang diperoleh pendiri yang berasal dari pembagian dividen dalam bentuk saham;
b. saham yang diperoleh pendiri setelah penawaran umum perdana (intial public offering") yang
berasal dari pelaksanaan hak pemesanan efek terlebih dahulu (right issue), waran, obligasi
konversi dan efek konversi lainnya;
c. saham yang diperoleh pendir perusahaan Reksa Dana

Pasal 2

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari transaksi penjualan saham di
bursa efek dikenakan Pajak Penghasilan sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 41
Tahun 1994 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1997, yaitu sebesar
0,1 % (nol koma satu persen) dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan saham.

Pasal 3

(1) Pemilik saham pendiri dikenakan tambahan Pajak Penghasilan dan bersifat final sebesar 0,5% (nol
koma lima persen) dari nilai saham.

(2) Besarnya nilai saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. nilai saham pada saat penutupan bursa di akhir tahun 1996 atau pada tanggal 30 Desember
1996, apabila saham tersebut telah diperdagangkan di bursa efek dalam tahun 1996 atau
sebelumnya;
b. nilai saham perusahaan pada saat penawaran umum perdana ("initial public offering"),
apabila saham perusahaan diperdagangkan di bursa efek pada atau setelah 1 Januari 1997.

Pasal 4

(1) Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan dengan cara
pemotongan oleh penyelenggaraan bursa efek melalui perantara pedagang efek pada saat pelunasan
transaksi penjualan saham.

(2) Penyelenggara bursa efek wajib menyetor Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) kepada bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya tanggal 20 (dua puluh)
setiap bulan atas transaksi penjualan saham yang dilakukan dalam bulan sebelumnya.

(3) Penyelenggara bursa efek wajib menyampaikan laporan tentang pemotongan dan penyetoran Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada Kepala Kantor Pelayanan
Pajak setempat selambat-lambatnya tanggal 25 (dua puluh lima) pada bulan yang sama dengan bulan
penyetoran.

Pasal 5

(1) Tambahan Pajak Penghasilan sebesar 0,5% sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dikenakan terhadap
pemilik saham pendiri.

(2) Penyetoran tambahan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh emiten
atas nama pemilik saham pendiri ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya :
a. 6 (enam) bulan setelah tanggal 29 Mei 1997, apabila saham perusahaan telah diperdagangkan
di bursa efek sebelum tanggal tersebut;
b. 1 (satu) bulan setelah saham tersebut diperdagangkan di bursa efek, apabila saham
perusahaan baru diperdagangkan di bursa efek pada atau setelah tanggal 29 Mei 1997.

(3) Tambahan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh diperhitungkan
sebagai biaya bagi emiten.

(4) Emiten wajib menyampaikan laporan tentang penyetoran tambahan Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat ia terdaftar sebagai Wajib
Pajak selambat-lambatnya tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya setelah bulan penyetoran.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 239

Pasal 6

Wajib Pajak pemilik saham pendiri yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3,
atas penghasilan dari transaksi penjualan saham pendiri dikenakan Pajak Penghasilan sesuai dengan tarif
umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994.

Pasal 7

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Keputusan ini ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 8

Dengan berlakunya Keputusan ini maka Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 81/KMK.04/1995 dinyatakan
tidak berlaku lagi.

Pasal 9

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 29 Mei 1997.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 20 Juni 1997
MENTERI KEUANGAN

ttd

MAR'IE MUHAMMAD

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=680

www.ortax.org
Keputusan Menteri Keuangan :
240 Edisi PPh Badan | Maret 2017 51/KMK.04/2001

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 51/KMK.04/2001

TENTANG

PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DEPOSITO DAN TABUNGAN SERTA


DISKONTO SERTIFIKAT BANK INDONESIA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa sebagai pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas
Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia, perlu menetapkan Keputusan Menteri
Keuangan tentang Pemotongan Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat
Bank Indonesia;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262), sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3984);

2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263), sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985);

3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);

4. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan
Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 236, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4039);

6. Keputusan Presiden Nomor 234/M Tahun 2000;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN ATAS
BUNGA DEPOSITO DAN TABUNGAN SERTA DISKONTO SERTIFIKAT BANK INDONESIA.

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan :

(1) Deposito adalah deposito dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deposito berjangka,
sertifikat deposito dan "deposit on call" baik dalam mata uang rupiah maupun dalam mata uang asing
(valuta asing) yang ditempatkan pada atau diterbitkan oleh bank.

(2) Tabungan adalah simpanan pada bank dengan nama apapun, termasuk giro, yang penarikannya
dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh masing-masing bank.

Pasal 2

(1) Atas penghasilan berupa bunga dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh
dari deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia dipotong Pajak Penghasilan yang

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 241

bersifat final.

(2) Termasuk bunga yang harus dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
adalah bunga yang diterima atau diperoleh dari deposito dan tabungan yang ditempatkan di luar
negeri melalui bank yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar
negeri di Indonesia.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku terhadap orang pribadi subjek pajak
dalam negeri yang seluruh penghasilannya dalam 1 (satu) tahun pajak, termasuk bunga dan diskonto,
tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

(4) Orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat mengajukan permohonan restitusi atas
pajak yang telah dipotong sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 3

Pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah sebagai berikut :

a. dikenakan PPh final sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto, terhadap Wajib Pajak dalam
negeri dan bentuk usaha tetap;

b. dikenakan PPh final sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto atau dengan tarif berdasarkan
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku, terhadap Wajib Pajak luar negeri.

Pasal 4

Pemotongan PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak dilakukan terhadap :

a. bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia, sepanjang jumlah deposito dan
tabungan serta Sertifikat Bank Indonesia tersebut tidak melebihi Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus
ribu rupiah);

b. bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank
luar negeri di Indonesia;

c. bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia yang diterima atau diperoleh
Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sepanjang dananya diperoleh
dari sumber pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992
tentang Dana Pensiun;

d. bunga tabungan pada bank yang ditunjuk Pemerintah dalam rangka pemilikan rumah sederhana dan
sangat sederhana, kaveling siap bangun untuk rumah sederhana dan sangat sederhana, atau rumah
susun sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk dihuni sendiri.

Pasal 5

(1) Pengecualian dari pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud Pasal 4 huruf c dapat
diberikan berdasarkan Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan Pajak Penghasilan atas bunga
deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia, yang diterbitkan oleh Kantor
Pelayanan Pajak tempat Dana Pensiun yang bersangkutan terdaftar.

(2) Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diberikan terhadap :
a. tabungan;
b. deposito dan Sertifikat Bank Indonesia yang penempatan dan atau perpanjangannya (rollover)
dilakukan pada tanggal 1 Januari 2001 dan sesudahnya.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan Surat Keterangan Bebas (SKB) sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 6

(1) Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan Bank Indonesia wajib memotong Pajak

www.ortax.org
242 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

(2) Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan dan bank yang menjual kembali
Sertifikat Bank Indonesia kepada pihak lain yang bukan bank atau kepada Dana Pensiun yang
pendiriannya belum disahkan oleh Menteri Keuangan, wajib memotong Pajak Penghasilan atas
diskonto Sertifikat Bank Indonesia tersebut.

Pasal 7

(1) Terhadap deposito dan tabungan serta Sertifikat Bank Indonesia yang ditempatkan/diperpanjang
sebelum tanggal 1 Januari 2001 yang jatuh tempo pembayaran bunga/diskontonya paling lambat 31
Januari 2001, dikenakan tarif 15% (lima belas persen).

(2) Terhadap deposito dan tabungan serta Sertifikat Bank Indonesia yang ditempatkan/diperpanjang
sebelum tanggal 1 Januari 2001 yang jatuh tempo pembayaran bunga/diskontonya setelah 31 Januari
2001, dikenakan tarif 20% (dua puluh persen).

(3) Terhadap deposito dan tabungan serta Sertifikat Bank Indonesia yang ditempatkan/diperpanjang
setelah 31 Desember 2000, dikenakan tarif 20% (dua puluh persen).

Pasal 8

Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan ini diatur dengan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 9

Dengan berlakunya Keputusan Menteri Keuangan ini maka Keputusan Menteri Keuangan Nomor :
652/KMK.04/1994 dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 10

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Keputusan ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Februari 2001
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

ttd

PRIJADI PRAPTOSUHARDJO

Status :
Keputusan Menteri Keuangan - 51/KMK.04/2001 Telah mengalami perubahan atau penyempurnaan
oleh Peraturan Menteri Keuangan - 26/PMK.010/2016, Tanggal 19 Feb 2016

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=334

www.ortax.org
Keputusan Menteri Keuangan :
120/KMK.03/2002 Edisi PPh Badan | Maret 2017 243

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 120/KMK.03/2002

TENTANG

PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 394/KMK.04/1996


TENTANG PELAKSANAAN PEMBAYARAN DAN PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN
DARI PERSEWAAN TANAH DAN ATAU BANGUNAN

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Persewaan Tanah dan atau Bangunan telah dilakukan perubahan dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 5 Tahun 2002;
b. bahwa sesuai dengan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2002, pelaksanaan pembayaran Pajak Penghasilan atas
penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Keuangan;
c. bahwa oleh karena itu perlu untuk menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Perubahan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394/KMK.04/1996 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan
Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan atau Bangunan;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3984);
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 127; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 29 Tahun 1996 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari
Persewaan Tanah dan/atau Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 10,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4174);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M Tahun 2001;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR


394/KMK.04/1996 TENTANG PELAKSANAAN PEMBAYARAN DAN PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN ATAS
PENGHASILAN DARI PERSEWAAN TANAH DAN ATAU BANGUNAN.

Pasal I

Mengubah ketentuan Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394/KMK.04/1996, sehingga seluruhnya
menjadi sebagai berikut :

"Pasal 2

(1) Besarnya Pajak Penghasilan yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi maupun Wajib
Pajak badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari persewaan tanah dan atau
bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah
bruto nilai persewaan tanah dan atau bangunan dan bersifat final.

(2) Yang dimaksud dengan jumlah bruto nilai persewaan adalah semua jumlah yang dibayarkan
atau terutang oleh penyewa dengan nama dan dalam bentuk apapun juga yang berkaitan
dengan tanah dan/atau bangunan yang disewa termasuk biaya perawatan, biaya
pemeliharaan, biaya keamanan, biaya fasilitas lainnya dan "service charge" baik yang
perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan."

www.ortax.org
244 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Pasal II

Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 2002.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 April 2002
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

BOEDIONO

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=342

www.ortax.org
Peraturan Direktur Jenderal Pajak :
PER - 18/PJ/2008 Edisi PPh Badan | Maret 2017 245

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 18/PJ/2008

TENTANG

TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK


PENGHASILAN ATAS DISKONTO SURAT PERBENDAHARAAN NEGARA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 63/PMK.03/2008 tentang
Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara perlu menetapkan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak
Penghasilan Atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara;

Mengingat :

1. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Atas Diskonto Surat
Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 52, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4837);
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 63/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan
Atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN
PAJAK PENGHASILAN ATAS DISKONTO SURAT PERBENDAHARAAN NEGARA.

Pasal 1

(1) Pemotongan Pajak Penghasilan atas Diskonto SPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 63/PMK.03/2008 dilakukan oleh :
a. Penerbit SPN (emiten) atau kustodian yang ditunjuk selaku agen pembayaran, atas diskonto
yang diterima pemegang SPN saat jatuh tempo;
b. Perusahaan efek (broker) atau bank selaku pedagang perantara (dealer), atas diskonto yang
diterima atau diperoleh penjual SPN pada saat transaksi di Pasar Sekunder;
c. Perusahaan efek (broker), bank, dana pensiun, dan reksadana selaku pembeli SPN tanpa
melalui pedagang perantara, atas diskonto yang diterima atau diperoleh penjual SPN pada saat
transaksi di Pasar Sekunder.
(2) Dalam hal penjualan SPN secara langsung tanpa melalui pedagang perantara dan dilakukan kepada
pihak selain pemotong pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, pihak yang melakukan
pencatatan perubahan hak kepemilikan SPN (sub registry) wajib memotong Pajak Penghasilan Final
yang terutang sebelum mutasi hak kepemilikan dapat dilakukan.
(3) Pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada tanggal transaksi
saat penjualan SPN di Pasar Sekunder atau pada tanggal saat jatuh tempo SPN.

Pasal 2

(1) Kewajiban penjual SPN untuk memberitahukan kepada pemotong pajak mengenai harga perolehan SPN
dan tanggal perolehan yang sebenarnya untuk keperluan penghitungan diskonto yang menjadi dasar
pemotongan Pajak Penghasilan, dilakukan dengan menyerahkan lembar ke-4 Bukti Pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 4 ayat (2) dari pembelian SPN sebelumnya atau menyerahkan fotokopi bukti
pembelian di pasar perdana yang sah dalam hal SPN diperoleh di pasar perdana.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi penjual SPN yang dikecualikan dari
pemotongan Pajak Penghasilan.

Pasal 3

Pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 wajib :


a. memberikan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) kepada Wajib Pajak yang menerima

www.ortax.org
246 Edisi PPh Badan | Maret 2017

atau memperoleh penghasilan berupa Diskonto SPN;


b. menyetor Pajak Penghasilan yang terutang ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro paling lama
tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah bulan pemotongan;
c. melaporkan pemotongan dan penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b
ke Kantor Pelayanan Pajak paling lama tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya setelah bulan
pemotongan.

Pasal 4

(1) Bukti Pemotongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dilakukan dengan menggunakan Bukti
Pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara kode formulir
F.1.1.33.17a yang tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini.
(2) Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT)
Masa Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) kode formulir F.1.1.32.04 dengan mengisi angka 3 Bunga/
Diskonto Obligasi sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-108/PJ.1/1996 tentang Bentuk Formulir Pemotongan/Pemungutan Pajak Penghasilan beserta
perubahannya.

Pasal 5

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 2 Mei 2008
DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd.

DARMIN NASUTION

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13236

www.ortax.org
Peraturan Direktur Jenderal Pajak :
PER - 12/PJ/2009 Edisi PPh Badan | Maret 2017 247

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 12/PJ/2009

TENTANG

TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN DAN PENGADMINISTRASIAN PENILAIAN


KEMBALI AKTIVA TETAP PERUSAHAAN UNTUK TUJUAN PERPAJAKAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2008 tentang
Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan perlu menetapkan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan dan Pengadministrasian Penilaian Kembali Aktiva
Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan.

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4740);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1993 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan
Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 253, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4055);
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2008 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap
Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN DAN
PENGADMINISTRASIAN PENILAIAN KEMBALI AKTIVA TETAP PERUSAHAAN UNTUK TUJUAN PERPAJAKAN.

Pasal 1

(1) Perusahaan dapat melakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan,
dengan syarat telah memenuhi semua kewajiban pajaknya sampai dengan masa pajak terakhir sebelum
masa pajak dilakukannya penilaian kembali.
(2) Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk
usaha tetap (BUT), tidak termasuk perusahaan yang memperoleh izin menyelenggarakan pembukuan
dalam bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat.

Pasal 2

(1) Perusahaan yang melakukan penilaian kembali aktiva tetap untuk tujuan perpajakan harus
mendapatkan persetujuan Direktur Jenderal Pajak.
(2) Persetujuan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dengan
mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah DJP yang membawahi Kantor Pelayanan Pajak
tempat Perusahaan terdaftar (KPP Domisili), dengan menggunakan formulir sebagaimana dimaksud
dalam lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri dengan :
a. Fotokopi surat ijin usaha perusahaan jasa penilai atau ahli penilai, yang memperoleh ijin dari
Pemerintah, yang dilegalisir oleh instansi Pemerintah yang berwenang menerbitkan surat ijin
usaha tersebut;
b. Laporan penilaian Perusahaan oleh perusahaan jasa penilai atau ahli penilai, yang memperoleh
ijin dari Pemerintah;

www.ortax.org
248 Edisi PPh Badan | Maret 2017

c. Daftar Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan sebagaimana
dimaksud dalam lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini; dan
d. Laporan Keuangan tahun buku terakhir sebelum penilaian kembali aktiva tetap perusahaan
yang telah diaudit akuntan publik.

Pasal 3

(1) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian, permohonan Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) telah memenuhi persyaratan formal dan material, Kepala Kantor Wilayah DJP atas nama
Direktur Jenderal Pajak wajib menerbitkan keputusan persetujuan dengan menggunakan formulir
sebagaimana dimaksud dalam lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian, permohonan Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) tidak memenuhi persyaratan formal dan/atau material, Kepala Kantor Wilayah DJP atas nama
Direktur Jenderal Pajak wajib menerbitkan keputusan penolakan dengan menggunakan formulir
sebagaimana dimaksud dalam lampiran IV Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(3) Keputusan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau keputusan penolakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib diterbitkan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal diterimanya
permohonan Perusahaan.
(4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak
belum menerbitkan keputusan persetujuan atau keputusan penolakan, permohonan Perusahaan
dianggap diterima dan Kepala Kantor Wilayah DJP atas nama Direktur Jenderal Pajak wajib menerbitkan
keputusan persetujuan.
(5) Keputusan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib diterbitkan paling lama 3 (tiga) hari
kerja setelah tanggal berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(6) Keputusan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berlaku terhitung mulai tanggal akhir
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Pasal 4

(1) Perusahaan yang karena kondisi keuangannya tidak memungkinkan untuk melunasi sekaligus
pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final yang terutang dalam rangka penilaian kembali aktiva
tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan dapat mengajukan permohonan pembayaran secara
angsuran paling lama untuk 12 (dua belas) bulan kepada Kepala Kantor Wilayah DJP dengan
menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam lampiran V Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
bersamaan dengan pengajuan permohonan persetujuan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan
untuk tujuan perpajakan.
(2) Atas permohonan pembayaran secara angsuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Kantor
Wilayah DJP atas nama Direktur Jenderal Pajak wajib menerbitkan keputusan persetujuan (seluruhnya
atau sebagian) atau keputusan penolakan pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final atas selisih
lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan secara angsuran dengan
menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam lampiran VI Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
bersamaan dengan penerbitan keputusan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
atau ayat (4).
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak
belum menerbitkan keputusan persetujuan atau keputusan penolakan pembayaran Pajak Penghasilan
yang bersifat final atas selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan
secara angsuran, permohonan Perusahaan dianggap diterima dan Kepala Kantor Wilayah DJP atas
nama Direktur Jenderal Pajak wajib menerbitkan keputusan persetujuan.
(4) Keputusan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib diterbitkan paling lama 3 (tiga) hari
kerja setelah tanggal berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(5) Keputusan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku terhitung mulai tanggal akhir
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 5

(1) Pajak Penghasilan yang bersifat final yang terutang atas selisih lebih penilaian kembali ativa tetap
perusahaan untuk tujuan perpajakan wajib dibayar lunas ke Kas Negara dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak (SSP) paling lama 15 (lima belas) hari setelah tanggal diterbitkannya keputusan
persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) atau ayat (4) atau paling lama pada tanggal
jatuh tempo setiap angsuran pembayaran dalam hal Perusahaan memperoleh keputusan persetujuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) atau ayat (3).
(2) Keterlambatan pelunasan Pajak Penghasilan yang bersifat final yang terutang dan keterlambatan
pelunasan Pajak Penghasilan yang bersifat final yang terutang secara angsuran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dikenai sanksi administrasi berupa bunga sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 249

terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 dan peraturan pelaksanaannya.

Pasal 6

(1) Dalam hal Perusahaan dikenai tambahan Pajak Penghasilan yang bersifat final, dengan tarif sebesar
tarif tertinggi Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri yang berlaku pada saat penilaian
kembali dikurangi 10% (sepuluh persen), karena melakukan pengalihan aktiva tetap perusahaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2008
tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan, tambahan Pajak
Penghasilan yang bersifat final tersebut wajib dibayar lunas ke Kas Negara paling lama 15 (lima belas)
hari setelah akhir bulan terjadinya pengalihan aktiva tetap tersebut.
(2) Keterlambatan pelunasan tambahan Pajak Penghasilan yang bersifat final yang terutang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dikenai sanksi administrasi berupa bunga sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 dan peraturan pelaksanaannya.

Pasal 7

Lampiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4 merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 8

Permohonan persetujuan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan yang diajukan
sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dilaksankan dan diproses sesuai dengan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-519/PJ/2002 tentang Tata Cara dan Prosedur Pelaksanaan Penilaian
Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan.

Pasal 9

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-519/PJ./2002 tentang Tata Cara dan Prosedur Pelaksanaan Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan
Untuk Tujuan Perpajakan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 10

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Februari 2009
DIREKTUR JENDERAL,

ttd.

DARMIN NASUTION
NIP 130605098

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13663

www.ortax.org
Peraturan Direktur Jenderal Pajak :
250 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PER - 30/PJ/2009

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR 30/PJ/2009

TENTANG

TATA CARA PEMBERIAN PENGECUALIAN DARI KEWAJIBAN PEMBAYARAN ATAU


PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK
ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 2B ayat (3) Keputusan Menteri Keuangan Nomor
635/KMK.04/1994 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pemungutan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 243/PMK.03/2008, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara
Pemberian Pengecualian dari Kewajiban Pembayaran atau Pemungutan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan
dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994
Nomor 77 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3580) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 164, Tambahan Lembaran Negara nomor 4914);
3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 635/KMK.04/1994 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan
Pemungutan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
243/PMK.03/2008.

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PEMBERIAN PENGECUALIAN DARI KEWAJIBAN
PEMBAYARAN ATAU PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS
TANAH DAN/ATAU BANGUNAN.

Pasal 1

(1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan wajib dibayar Pajak Penghasilan.
(2) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibayar sendiri oleh orang pribadi atau
badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan, atau dipungut oleh bendaharawan atau pejabat yang melakukan pembayaran atau pejabat
yang menyetujui tukar menukar dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan
kepada Pemerintah.
(3) Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah sebesar 5% (lima persen)
dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, kecuali atas pengalihan hak atas
Rumah Sedehana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya
melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenai Pajak Penghasilan sebesar 1%
(satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan.

Pasal 2

(1) Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan hak
atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) adalah:
a. orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak yang

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 251

melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihan
kurang dari Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang
dipecah-pecah;
b. orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan kepada Pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus;
c. orang pribadi yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan
pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan
usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri
Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
d. badan yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada badan
keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi
yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; atau
e. pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan.
(2) Termasuk yang dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan atas
penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan
yang tidak termasuk subjek pajak.

Pasal 3

(1) Pengecualian dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a,
huruf c, huruf d, dan huruf e, diberikan dengan penerbitan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan
atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
(2) Pengecualian dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b
dan Pasal 2 ayat (2), diberikan secara langsung tanpa penerbitan Surat Keterangan Bebas Pajak
Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

Pasal 4

(1) Permohonan untuk memperoleh Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) diajukan
secara tertulis oleh orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat orang pribadi atau badan yang bersangkutan
terdaftar atau bertempat tinggal dengan format sesuai dengan Lampiran I yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan, permohonan untuk
memperoleh Surat keterangan Bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh ahli waris.
(3) Dalam hal permohonan untuk memperoleh Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan
dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh:
a. orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a, permohonan harus
dilampiri dengan:
1) Surat Pernyataan Berpenghasilan di Bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak dan Jumlah
Bruto Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan kurang dari Rp 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah) dengan format sesuai dengan Lampiran II yang tidak terpisahkan
dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
2) fotokopi Kartu Keluarga; dan
3) fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan tahun yang
bersangkutan.
b. orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c dan huruf d,
permohonan harus dilampiri Surat Pernyataan Hibah dengan format sesuai Lampiran III yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
c. ahli waris sebagaimana dimaksud pada ayat (2), permohonan harus dilampiri dengan Surat
Pernyataan Pembagian Waris dengan format sesuai dengan lampiran IV yang tidak terpisahkan
dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 5

www.ortax.org
252 Edisi PPh Badan | Maret 2017

(1) Atas permohonan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus
memberikan keputusan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal surat
permohonan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan diterima secara lengkap;
(2) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak
memberikan keputusan, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap dikabulkan dan
Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus menerbitkan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan atas
penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung
sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir.
(3) Dalam hal permohonan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 diterima, Kepala Kantor
Pelayanan Pajak harus menerbitkan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan format sesuai dengan Lampiran V yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
(4) Dalam hal permohonan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ditolak, Kepala Kantor
Pelayanan Pajak harus menyampaikan pemberitahuan penolakan kepada Wajib Pajak dengan format
sesuai dengan Lampiran VI yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 6

Dengan berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, maka ketentuan-ketentuan lain yang telah diterbitkan
sebelumnya dinyatakan tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini.

Pasal 7

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 April 2009
DIREKTUR JENDERAL

ttd.

DARMIN NASUTION
NIP 130605098

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13773

www.ortax.org
Peraturan Direktur Jenderal Pajak
PER - 01/PJ/2013 Edisi PPh Badan | Maret 2017 253

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 01/PJ/2013

TENTANG

TATA CARA PENERBITAN SURAT KETERANGAN BEBAS PEMOTONGAN


PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DEPOSITO DAN TABUNGAN SERTA
DISKONTO SERTIFIKAT BANK INDONESIA YANG DITERIMA ATAU
DIPEROLEH DANA PENSIUN YANG PENDIRIANNYA TELAH DISAHKAN OLEH
MENTERI KEUANGAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa untuk memberikan pelayanan kepada Wajib Pajak berupa kesederhanaan dan kemudahan administrasi
perpajakan serta untuk memberikan kepastian hukum, dipandang perlu untuk menetapkan kembali Peraturan
Direktur Jenderal Pajak tentang tata cara penerbitan Surat Keterangan Bebas Pemotongan Pajak Penghasilan
atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia yang diterima atau diperoleh dana
pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477);
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan
Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 236, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4039);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4988);
8. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 51/KMK.04/2001 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan atas Bunga
Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia;
9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 234/PMK.03/2009 tentang Bidang Penanaman Modal Tertentu yang
Memberikan Penghasilan kepada Dana Pensiun yang Dikecualikan sebagai Objek Pajak;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PENERBITAN SURAT KETERANGAN BEBAS
PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DEPOSITO DAN TABUNGAN SERTA DISKONTO SERTIFIKAT
BANK INDONESIA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH DANA PENSIUN YANG PENDIRIANNYA TELAH DISAHKAN
OLEH MENTERI KEUANGAN.

Pasal 1

www.ortax.org
254 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan:


1. Deposito adalah deposito dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deposito berjangka,
sertifikat deposito dan deposit on call baik dalam mata uang rupiah maupun dalam mata uang asing
(valuta asing) yang ditempatkan pada atau diterbitkan oleh bank di Indonesia yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah.
2. Tabungan adalah simpanan pada bank di Indonesia yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk
giro, yang penarikannya dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh masing-masing
bank.

Pasal 2

(1) Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan,
tidak dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan, sepanjang dananya diperoleh dari sumber pendapatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun
dan perubahannya.
(2) Dipersamakan dengan penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan adalah penghasilan berupa
imbalan atau penghasilan sejenis lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun dari deposito dan
tabungan.
(3) Dipersamakan dengan penghasilan berupa diskonto SBI adalah penghasilan berupa imbalan atau
penghasilan sejenis lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun dari SBI dan Sertifikat Bank
Indonesia Syariah (SBIS).
(4) Pengecualian pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
berdasarkan Surat Keterangan Bebas Pemotongan Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan
serta Diskonto SBI (SKB) yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat dana pensiun terdaftar
sebagai Wajib Pajak.
(5) Atas bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diterima atau diperoleh dana pensiun harus
dimasukkan ke dalam rekening dana pensiun yang bersangkutan.

Pasal 3

(1) Permohonan SKB diajukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat dana pensiun
terdaftar sebagai Wajib Pajak dan harus ditandatangani oleh pengurus yang berkompeten dari dana
pensiun yang bersangkutan dengan menggunakan Formulir Permohonan SKB sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran I, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini, dengan dilampiri:
a. fotokopi Keputusan Menteri Keuangan tentang Pengesahan Pendirian Dana Pensiun;
b. fotokopi Neraca;
c. fotokopi Laporan Sisa Hasil Usaha (Laporan Laba Rugi);
d. fotokopi Laporan Arus Kas dan Bank;
e. fotokopi Laporan Investasi; dan
f. daftar sertifikat/bilyet/buku deposito, tabungan, dan SBI.
(2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh selain pengurus yang
berkompeten dari dana pensiun yang bersangkutan, maka harus dilengkapi dengan Surat Kuasa Khusus
yang dibubuhi meterai cukup.
(3) Pengurus yang berkompeten dari dana pensiun adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
(4) Daftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f meliputi semua sertifikat/bilyet/buku deposito,
tabungan, dan SBI yang akan diajukan permohonan SKB tanpa perlu melampirkan fotokopi dokumen
dimaksud. Daftar dimaksud memuat:
a. Nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) kantor cabang bank;
b. jenis penanaman modal (contoh: deposito, tabungan, SBI, dll);
c. nomor sertifikat/bilyet/buku deposito, tabungan, dan SBI;
d. jumlah untuk masing-masing jenis penanaman modal, yaitu nilai atau jumlah saldo penanaman
modal pada saat akan diajukan permohonan SKB; dan
e. tanggal penempatan.
(5) Daftar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat sesuai format sebagaimana ditetapkan dalam
Lampiran II, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 4

(1) SKB diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat dana pensiun terdaftar sebagai Wajib Pajak
atas permohonan yang diajukan oleh dana pensiun kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang
bersangkutan untuk setiap kantor cabang bank tempat dana pensiun melakukan investasi.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 255

(2) SKB berlaku untuk seluruh bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI yang ditempatkan pada atau
diterbitkan oleh suatu kantor cabang bank tempat dana pensiun yang bersangkutan melakukan investasi.
(3) Kantor cabang bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) adalah setiap kantor cabang bank
yang mempunyai NPWP.
(4) SKB berlaku untuk masa 1 Januari sampai dengan 31 Desember.
(5) Dalam hal dana pensiun mengajukan permohonan SKB dan telah diterima lengkap oleh Kepala Kantor
Pelayanan Pajak:
a. paling lambat 1 Januari, SKB berlaku sejak tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember;
b. setelah 1 Januari, SKB berlaku sejak tanggal permohonan SKB telah diterima lengkap oleh
Kepala Kantor Pelayanan Pajak sampai dengan 31 Desember.

Pasal 5

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak melakukan pengkajian atas semua data/informasi yang diberikan oleh
dana pensiun sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 ayat (1), untuk meyakinkan bahwa semua investasi
yang dilakukan dana pensiun dananya bersumber dari pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
29 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun dan perubahannya.
(2) Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah permohonan sebagaimana dimaksud pada Pasal 3
ayat (1) diterima secara lengkap, Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus memberikan jawaban.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Kepala Kantor Pelayanan Pajak belum
memberikan jawaban, maka permohonan dianggap dikabulkan dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak
harus segera menerbitkan SKB, selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja berikutnya.
(4) Dalam hal permohonan tidak dapat dikabulkan, maka Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus memberikan
jawaban yang memuat penolakan serta alasan penolakan dengan menggunakan formulir sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran III, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini.

Pasal 6

(1) Bentuk formulir SKB menggunakan bentuk sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV, yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) SKB diterbitkan dalam rangkap 3 (tiga), yaitu:
a. Lembar ke-1 : untuk Wajib Pajak;
b. Lembar ke-2 : untuk Bank/Pemotong Pajak;
c. Lembar ke-3 : untuk Arsip Kantor Pelayanan Pajak.
(3) Dana pensiun wajib memberikan lembar ke-2 SKB kepada Bank/Pemotong Pajak.

Pasal 7

(1) Dana pensiun yang telah memperoleh SKB wajib menyampaikan Laporan Investasi setiap semester
kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat dana pensiun terdaftar sebagai Wajib Pajak.
(2) Laporan Investasi semester pertama dilampiri dengan:
a. Neraca tahun sebelumnya;
b. Laporan Sisa Hasil Usaha atau Laporan Laba Rugi tahun sebelumnya;
c. Laporan Arus Kas tahun sebelumnya;
d. Daftar Deposito, Tabungan dan SBI serta mutasi yang diterima dana pensiun dari bank periode
semester pertama; dan
e. Daftar Deposito, Tabungan dan SBI yang dibuat oleh dana pensiun yang bersangkutan periode
semester pertama.
(3) Laporan Investasi semester kedua dilampiri dengan:
a. Daftar Deposito, Tabungan dan SBI serta mutasi yang diterima dana pensiun dari bank periode
semester kedua; dan
b. Daftar Deposito, Tabungan dan SBI yang dibuat oleh dana pensiun yang bersangkutan periode
semester kedua.
(4) Laporan Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan selambat-lambatnya pada
tanggal 31 (tiga puluh satu) bulan Juli untuk Laporan Investasi semester pertama dan tanggal 31 (tiga
puluh satu) bulan Januari untuk Laporan Investasi semester kedua.
(5) Bentuk Formulir Daftar Deposito, Tabungan dan SBI serta Mutasi per bank sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf e dan ayat (3) huruf b adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran V A, V B, dan V C,
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 8

(1) Bank/Pemotong Pajak wajib melakukan pemotongan Pajak Penghasilan, apabila dana pensiun yang

www.ortax.org
256 Edisi PPh Badan | Maret 2017

melakukan investasi pada bank yang bersangkutan tidak dapat memberikan lembar ke-2 SKB.
(2) Bank/Pemotong Pajak wajib menyampaikan Daftar Deposito, Tabungan dan SBI serta Mutasi per dana
pensiun per semester, kepada dana pensiun yang melakukan investasi pada bank yang bersangkutan
selambat-lambatnya pada tanggal 20 (dua puluh) bulan Juli untuk semester pertama dan tanggal 20
(dua puluh) bulan Januari untuk semester kedua, dengan menggunakan formulir sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran VI A, VI B, dan VI C, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 9

(1) SKB dinyatakan tidak berlaku dan dana pensiun yang bersangkutan wajib membayar pajak yang
terutang berikut sanksi sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku, dalam hal:
a. Di kemudian hari terbukti bahwa dana yang diinvestasikan tersebut bukan berasal dari sumber
pendapatan sebagaimana tersebut dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992
tentang Dana Pensiun dan perubahannya;
b. Dana pensiun yang telah memperoleh SKB Pemotongan Pajak Penghasilan tidak menyampaikan
Laporan Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan telah ditegur oleh Kepala Kantor
Pelayanan Pajak tempat dana pensiun terdaftar sebagai Wajib Pajak;
c. Bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) tidak dimasukkan ke dalam rekening dana
pensiun yang bersangkutan.
(2) SKB dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menggunakan formulir
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran VII, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 10

(1) SKB masa 1 September 2012 sampai dengan 28 Februari 2013 yang telah diterbitkan oleh Kantor
Pelayanan Pajak berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-160/PJ/2005 tentang Tata
Cara Penerbitan Surat Keterangan Bebas Pemotongan Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan
Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia yang Diterima atau Diperoleh Dana Pensiun yang
Pendiriannya Telah Disahkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-39/PJ/2010 tetap berlaku sampai dengan 28 Februari 2013.
(2) Dana pensiun yang telah memperoleh SKB masa 1 September 2012 sampai dengan 28 Februari 2013
harus mengajukan permohonan SKB paling lambat 1 Maret 2013 untuk mendapatkan SKB yang berlaku
untuk masa 1 Maret 2013 sampai dengan 31 Desember 2013.
(3) Untuk Tahun Pajak 2013, dalam hal dana pensiun mengajukan permohonan SKB dan telah diterima
lengkap oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak:
a. paling lambat 1 Maret 2013, SKB berlaku sejak 1 Maret 2013 sampai dengan 31 Desember 2013;
b. setelah 1 Maret 2013, SKB berlaku sejak tanggal permohonan SKB telah diterima lengkap oleh
Kepala Kantor Pelayanan Pajak sampai dengan 31 Desember 2013.
(4) Dalam hal dana pensiun melakukan penanaman modal baru, memindahkan penanaman modalnya ke
bank lain, atau mengkonversi jenis penanaman modalnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-160/PJ/2005 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-39/PJ/2010 sebelum 1 Maret 2013, tata cara penerbitan SKB atas
penanaman modal baru, pemindahan penanaman modal ke bank lain, atau konversi jenis penanaman
modal tersebut dilaksanakan berdasarkan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-160/PJ/2005 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-39/PJ/2010.

Pasal 11

Dengan berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, maka Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER- 160/PJ/2005 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Keterangan Bebas Pemotongan Pajak Penghasilan atas
Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia yang Diterima atau Diperoleh Dana
Pensiun yang Pendiriannya Telah Disahkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-39/PJ/2010, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 12

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 257

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 14 Januari 2013
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15199

www.ortax.org
Keputusan Direktur Jenderal Pajak :
258 Edisi PPh Badan | Maret 2017 KEP - 141/PJ/1999

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR KEP - 141/PJ/1999

TENTANG

PENGAKUAN PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HARTA/AGUNAN


BERUPA TANAH DAN/ATAU BANGUNAN BAGI WAJIB PAJAK TERTENTU

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang
dilakukan oleh orang pribadi, yayasan atau organisasi yang sejenis dan Wajib Pajak badan terutang
Pajak Penghasilan;
b. bahwa dalam rangka menunjang kelancaran proses restrukturisasi perusahaan maupun penyelesaian
kredit perbankan perlu diberikan kemudahan perlakuan Pajak Penghasilan;
c. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1994 tentang
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 1998, Direktur Jenderal
Pajak berwenang untuk menentukan saat pengakuan penghasilan dan biaya sebagai dasar
penghitungan penghasilan bruto bagi bidang usaha tertentu dan Wajib Pajak tertentu yang mengikuti
program restrukturisasi perusahaan berdasarkan kebijaksanaan Pemerintah;
d. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, dipandang perlu untuk mengatur pengakuan
penghasilan dari pengalihan harta/agunan berupa tanah dan/atau bangunan yang diperoleh Wajib
Pajak tertentu dalam rangka proses restrukturisasi perusahaan maupun penyelesaian kredit
perbankan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3567);
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor
182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1994 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan
Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1994 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3579) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 196, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3798);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3814);
5. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/150/KEP/DIR tanggal 12 Nopember 1998 tentang
Restrukturisasi Kredit;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PENGAKUAN PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HARTA/
AGUNAN BERUPA TANAH DAN/ATAU BANGUNAN BAGI WAJIB PAJAK TERTENTU.

Pasal 1

(1) Yang dimaksud dengan Wajib Pajak Tertentu dalam keputusan ini adalah :
a) Bank Dalam Penyehatan;
b) Perusahaan Terafiliasi Bank Dalam Penyehatan;
c) Debitur yang langsung atau tidak langsung mempunyai kewajiban pembayaran kepada Bank
Dalam Penyehatan, BPPN, dan atau Perusahaan Terafiliasi Bank Dalam Penyehatan atau
BPPN, termasuk Bank yang mempunyai kewajiban kepada Bank Indonesia dalam kaitan
dengan Fasilitas Bank Indonesia;
d) Pemegang Saham, Direktur atau Komisaris Bank Dalam Penyehatan;
e) Debitur/Pemilik Agunan pada Bank Umum;
yang diambilalih harta/agunannya dalam rangka melaksanakan restrukturisasi perusahaan sesuai
dengan program Pemerintah;

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 259

(2) Wajib Pajak Tertentu pada ayat (1) huruf a, b, c, dan d sebagaimana diatur/ditetapkan dalam Pasal 1
butir 2 dan 6 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan
Nasional.

(3) Wajib Pajak Tertentu tersebut pada ayat (1) huruf e, sebagaimana diatur/ditetapkan dalam Pasal 12 A
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 10 Tahun 1998.

Pasal 2

(1) Saat pengakuan penghasilan atas pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan milik Wajib Pajak
tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a sampai dengan huruf d yang dilakukan oleh
Badan Penyehatan Perbankan Nasional ditunda sampai dengan pihak Badan Penyehatan Perbankan
Nasional mengalihkan harta tersebut kepada pembeli yang sebenarnya.

(2) Saat pengakuan penghasilan atas pengalihan agunan berupa tanah dan atau bangunan milik Wajib
Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e yang dilakukan oleh Bank Umum yang
melaksanakan restrukturisasi sesuai program Pemerintah ditunda sampai dengan pihak Bank Umum
mengalihkan agunan tersebut kepada pembeli yang sebenarnya.

Pasal 3

(1) Penundaan saat pengakuan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tersebut di atas berlaku
paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal Surat Pernyataan Pembelian Sementara oleh Badan
Penyehatan Perbankan Nasional atau saat pengambilalihan agunan debitur oleh Bank Umum.

(2) Apabila setelah lewat batas waktu tersebut pada ayat (1) belum terjadi pengalihan hak atas tanah dan/
atau bangunan kepada pembeli yang sebenarnya, maka atas pengalihan yang dilakukan oleh Badan
Penyehatan Perbankan Nasional dan Bank Umum tersebut harus dikenakan Pajak Penghasilan sesuai
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996.

Pasal 4

Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Juni 1999
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

A. ANSHARI RITONGA

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=1545

www.ortax.org
Keputusan Direktur Jenderal Pajak :
260 Edisi PPh Badan | Maret 2017 KEP - 667/PJ/2001

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR KEP - 667/PJ./2001

TENTANG

NORMA PENGHITUNGAN KHUSUS PENGHASILAN NETO BAGI WAJIB PAJAK LUAR NEGERI
YANG MEMPUNYAI KANTOR PERWAKILAN DAGANG DI INDONESIA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 634/KMK.04/1994 tentang Norma
Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Luar Negeri Yang Mempunyai Kantor Perwakilan
Dagang Di Indonesia, perlu menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Norma Penghitungan
Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Luar Negeri Yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang Di
Indonesia;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 3985);
2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 634/KMK.04/1994 tentang Norma Penghitungan Khusus
Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Luar Negeri Yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang Di
Indonesia;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL TENTANG NORMA PENGHASILAN NETO BAGI WAJIB PAJAK LUAR NEGERI
YANG MEMPUNYAI KANTOR PERWAKILAN DAGANG DI INDONESIA.

Pasal 1

Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan nilai ekspor bruto adalah semua nilai
pengganti atau imbalan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang mempunyai kantor
perwakilan dagang di Indonesia dari penyerahan barang kepada orang pribadi atau badan yang berada atau
bertempat kedudukan di Indonesia.

Pasal 2

(1) Penghasilan neto dari Wajib Pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia
ditetapkan sebesar 1% (satu persen) dari nilai ekspor bruto.

(2) Pelunasan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar
0,44% (empat puluh empat per seribu) dari nilai ekspor bruto dan bersifat final.

Pasal 3

Pembayaran dan pelaporan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud Pasal 2 oleh Wajib Pajak Luar Negeri
yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia dan pengadministrasiannya di Kantor Pelayanan
Pajak dilakukan sebagai berikut:
a. Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia wajib membayar
Pajak Penghasilan yang terutang dalam suatu masa Pajak ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro
selambat-lambatnya tanggal 15 (lima belas) bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya
penghasilan, dengan menggunakan satu Surat Setoran Pajak (SSP) Final;
b. Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia wajib melaporkan
pembayaran Pajak Penghasilan yang dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak selambat-lambatnya
tanggal 20 (duapuluh) bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya penghasilan, dengan
menggunakan bentuk sebagaimana pada lampiran I dan dilampiri dengan lembar ke-3 SSP Final.
c. Lembar ke-3 SSP sebagaimana dimaksud pada butir b di atas pada Kantor Pelayanan Pajak
diadministrasikan pada seksi PPh Badan.

Pasal 4

Atas penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud Pasal 2 yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 261

Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia dikenakan Pajak Penghasilan
berdasarkan ketentuan yang berlaku.

Pasal 6

Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2001
DIREKTUR JENDERAL

ttd

HADI POERNOMO

Status :
Keputusan Dirjen Pajak - KEP - 667/PJ./2001 Diralat oleh Keputusan Dirjen Pajak -
KEP - 667/PJ./2001, Tanggal 28 Feb 2002

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=1275

www.ortax.org
Surat Edaran DIrektur Jenderal Pajak :
262 Edisi PPh Badan | Maret 2017 SE-38/PJ.4/1995

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
14 Juli 1995

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 38/PJ.4/1995

TENTANG

PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN


SEHUBUNGAN DENGAN PERJANJIAN BANGUN GUNA SERAH (SERI PPh UMUM NOMOR 17)

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan telah diterbitkannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 248/KMK.04/1995


tanggal 2 Juni 1995 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan terhadap Pihak-pihak yang melakukan Kerja sama
dalam bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah.("Built Operate and Transfer"), dengan ini diberikan penegasan
sebagai berikut :

I. Umum

1. Sesuai dengan Pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 248/KMK.04/1995 tanggal 2 Juni
1995 yang dimaksud dengan bangun guna serah adalah bentuk perjanjian kerja sama yang
dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor yang menyatakan bahwa
pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk mendirikan bangunan
selama masa perjanjian bangun guna serah, dan mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut
kepada pemegang hak atas tanah setelah masa bangun guna serah berakhir.

2. Bangunan yang didirikan oleh investor dapat berupa gedung perkantoran, apartemen, pusat
perbelanjaan, rumah toko (ruko), hotel, dan/atau bangunan lainnya.

3. Pihak-pihak yang melakukan perjanjian bangun guna serah adalah investor yang diberikan
hak untuk mendirikan bangunan dan menggunakan atau mengusahakan bangunan tersebut
selama masa perjanjian bangun guna serah, dan pemegang hak atas tanah yang memberikan
hak kepada investor.

II. Penghasilan dan biaya bagi investor

1. Penghasilan
Penghasilan investor sehubungan dengan perjanjian bangun guna serah adalah penghasilan
yang diterima atau diperoleh investor dari pengusahaan bangunan yang didirikan antara lain :
a. sewa dan penghasilan sehubungan dengan penggunaan harta;
b. Penghasilan sehubungan dengan hak pengusahaan bangunan seperti
penghasilan dari pengusahaan hotel, pusat fasilitas olah raga ("Sport center"), tempat
hiburan, dan sebagainya;
c. penggantian atau imbalan yang diterima atau diperoleh dari pemegang hak atas
tanah apabila masa perjanjian bangun guna serah diperpendek dari masa yang telah
ditentukan.

2. Biaya
2.1. Biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto bagi investor adalah biaya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan dengan memperhatikan pasal 9
ayat (1) Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 berkenaan dengan pengusahaan
bangunan yang didirikan berdasarkan perjanjian bangun guna serah tersebut.

2.2. Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh investor untuk mendirikan bangunan merupakan
nilai perolehan investor untuk mendapatkan hak menggunakan atau hak
mengusahakan bangunan tersebut, dan nilai perolehan tersebut oleh investor
diamortisasi dalam jumlah yang sama besar setiap tahun selama masa perjanjian
bangun guna serah

Contoh 1 :
Investor PT ABC mendirikan bangunan gedung perkantoran 12 lantai atas tanah milik
PT PG berdasarkan perjanjian bangun guna serah dengan biaya Rp 30.000.000.000,00
untuk masa selama 15 tahun. Amortisasi yang dilakukan oleh PT ABC setiap tahun
adalah sebesar Rp. 2.000.000.000,00 (Rp.30.000.000.000,00 : 15)

2.3. Apabila masa perjanjian bangun serah guna menjadi lebih pendek dari masa yang
telah ditentukan dalam perjanjian maka sisa biaya pembangunan yang belum
diamortisasi, amortisasi sekaligus oleh investor pada tahun berakhirnya masa bangun
guna serah yang lebih pendek tersebut.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 263

Contoh 2 :
Berdasarkan contoh 1,PT ABC pada akhir tahun ke dua belas menyerahkan bangunan
kepada PT PG .dengan diperpendeknya masa perjanjian tersebut kepada PT ABC
diberikan imbalan oleh PT PG sebesar Rp 5.000.000.000,00 pada akhir tahun ke dua
belas (tahun berakhirnya masa perjanjian bangun guna serah) PT ABC memperoleh
tambahan penghasilan sebesar Rp 5.000.000.000,00 (Rp 30.000.000.000,00 -
(12x Rp 2.000.000.000,00).

2.4. Apabila masa perjanjian bangun guna serah menjadi lebih panjang dari masa yang
telah ditentukan dalam perjanjian karena adanya penambahan bangunan, maka biaya
penambahan tersebut ditambahkan dengan sisa biaya yang belum diamortisasi dan
oleh investor jumlah tersebut diamortisasi hingga berakhirnya masa bangun guna
serah yang lebih panjang tersebut.

Contoh 3 :
Berdasarkan Contoh 1, PT ABC pada tahun ke sebelas menambah bangunan dengan
biaya Rp 20.000.000.000,00 dan masa bangun guna serah diperpanjang 5 tahun
sehingga menjadi 20 tahun. Penghitungan amortisasi PT ABC mulai tahun ke sebelas
sebagai berikut :
- sisa yang belum diamortisasi pada awal tahun ke sebelas Rp.10.000.000.000,-
- Nilai perolehan hak atas penambahan bangunan pada tahun ke sebelas
Rp.20.000.000.000.00
- dasar amortisasi yang baru Rp.30.000.000.000,00
- masa amortisasi adalah 10 tahun (20 tahun - 10 tahun)
- Amortisasi setiap tahun mulai tahun ke sebelas (Rp.30.000.000.000,00 : 10)
= Rp.3.000.000.000,00

2.5. Amortisasi biaya mendirikan bangunan dimulai pada tahun bangunan tersebut
digunakan atau diusahakan. Apabila pembangunan tersebut meliputi masa lebih dari
satu tahun sebelum dapat digunakan atau diusahakan, maka biaya yang telah
dikeluarkan harus dikapitalisasi.

III. Penghasilan dan biaya bagi pemegang hak atas tanah

1. Penghasilan
1.1. Penghasilan yang terima atau diperoleh pemegang hak atas tanah sehubungan
dengan perjanjian bangun guna serah dapat berupa :
a. pembayaran berkala yang dilakukan oleh investor kepada pemegang hak
atas tanah dalam atau selama masa bangun guna serah;
b. bagian dari uang sewa bangunan ;
c. bagian keuntungan dari pengusahaan bangunan dengan nama dan dalam
bentuk apapun yang telah diberikan oleh investor;
d. Penghasilan lainnya sehubungan dengan perjanjian bangun guna serah yang
terima atau diperoleh pemegang hak atas tanah.

1.2. Dalam hal bangunan yang didirikan investor tidak seluruhnya menjadi hak investor
tetapi sebagian diserahkan kepada pemegang hak atas tanah,maka bagian bangunan
yang diserahkan merupakan penghasilan bagi pemegang atas tanah dalam tahun
pajak yang bersangkutan. Atas penyerahan tersebut terutang pajak Penghasilan
sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai yang tertinggi antara lain pasar
dengan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) bagian bangunan yang diserahkan, dan harus
dilunasi selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya setelah penyerahan.

1.3. Bangunan yang diserahkan oleh investor kepada pemegang hak atas tanah setelah
masa Perjanjian bangunan serah berakhir merupakan penghasilan baik pemegang
hak atas tanah, dan terutang Pajak penghasilan sebesar 5% (lima persen) dari jumlah
bruto nilai yang tertinggi antara nilai pasar dengan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP)
bangunan yang telah diserahkan, dan harus dilunasi oleh pemegang hak atas tanah
selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa bangun guna serah
berakhir.

1.4. Nilai bangunan yang diterima oleh pemegang hak atas tanah sebagaimana dimaksud
pada butir 1.2 dan 1.3 merupakan nilai perolehan bangunan apabila bangunan
tersebut dialihkan kepada pihak lain.

2. Biaya
Biaya yang dapat dikurangkan oleh pemegang hak atas tanah selama masa bangun guna
serah adalah biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan dengan memperhatikan
Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994.

IV. Lain-lain

www.ortax.org
264 Edisi PPh Badan | Maret 2017

1. Pembayaran Pajak Penghasilan sebesar 5% (lima persen) yang dilakukan oleh pemegang hak
atas tanah atas penyerahan bangunan yang dilakukan oleh investor sebagaimana dimaksud
dalam butir III.1.2 dan 1.3 bagi orang pribadi bersifat final dan bagi Wajib Pajak badan
adalah merupakan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25 yang dapat diperhitungkan
dengan Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan.

2. Dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan sebesar 5% (lima persen) tersebut di atas
apabila pemegang hak atas tanah adalah badan pemerintah.

3. Surat Edaran ini mulai berlaku atas perjanjian bangun guna serah yang berakhir setelah
tahun pajak 1994.

Demikianlah untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

FUAD BAWAZIER

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=2607

www.ortax.org
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak :
SE-03/PJ.43/1998 Edisi PPh Badan | Maret 2017 265

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
9 Februari 1998

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 03/PJ.43/1998

TENTANG

PERLAKUAN PERPAJAKAN PENGHASILAN BUNGA (BUNGA DEPOSITO) TERHADAP PREMI SWAP DAN FORWARD

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan masih banyaknya pertanyaan tentang perlakuan Pajak Penghasilan atas bunga deposito
yang menggunakan fasilitas SWAP/FORWARD, dengan ini diberikan penegasan sbb :

1. Mekanisme deposito yang menggunakan fasilitas SWAP/FORWARD pada umumnya adalah :


a. Nasabah memasukkan dana deposito dalam bentuk Rupiah.
b. Bank melakukan valuta asing dengan menggunakan dana Rupiah tsb dan menempatkannya
dalam deposito berjangka valuta asing dengan tingkat bunga yang relatif rendah.
c. Bersamaan dengan ini, pihak Bank melakukan perjanjian SWAP/FORWARD antara dana
Rupiah tsb dengan valuta asing dalam jangka waktu yang sama dengan jangka waktu
penempatan deposito nasabah ybs.
d. Pada waktu jatuh tempo deposito, Bank membayar bunga deposito valuta asing yang relatif
rendah tsb, ditambah dengan suatu jumlah pembayaran yang biasanya disebut premium.
e. Selama ini Bank memungut Pajak Penghasilan hanya atas bunga deposito saja, dan tidak
termasuk premium yang diterima oleh nasabah.

2. Definisi SWAP dan FORWARD sesuai dengan ketentuan Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
30/89/KEP/DIR tgl. 16 Oktober 1997 :
a. SWAP adalah transaksi pertukaran dua valuta melalui pembelian tunai dengan penjualan
kembali secara berjangka, dan penjualan tunai dengan pembelian kembali secara berjangka.
b. FORWARD adalah transaksi pembelian atau penjualan devisa yang penyerahannya dilakukan
dalam jangka waktu lebih dari dua hari kerja setelah tanggal transaksi.

3. Dalam pengertian bunga yang dikenakan Pajak Penghasilan atas bunga sesuai dengan Peraturan
Pemerintah No. 51 Tahun 1994 adalah segala jenis premi sehubungan dengan perjanjian SWAP atau
FORWARD termasuk premi atas perjanjian SWAP/FORWARD dalam bentuk deposito yang semula
ditempatkan dalam mata uang Rupiah kemudian dikonversikan ke dalam mata uang asing.

Contoh :
Seorang nasabah menempatkan deposito dalam mata uang Rupiah yang segera oleh bank
dikonversikan ke deposito dalam mata uang asing. Pada akhir masa deposito, mata uang asing tsb
oleh bank dikonversikan kembali ke dalam mata uang Rupiah. Nasabah akan menerima dalam mata
uang Rupiah selain pokok depositonya juga bunga dan premi. Premi yang diterima oleh nasabah tsb
termasuk dalam pengertian bunga deposito yang harus dipotong PPh Final 15% atas penghasilan dari
bunga deposito.

4. Dalam pengertian bunga di atas tidak termasuk :


a. Premi SWAP yang dibayarkan sehubungan dengan pinjaman dalam valuta asing yang telah
dilaporkan dan dikonfirmasikan oleh Bank Indonesia. Premi SWAP yang dibayarkan
sehubungan dengan pinjaman valuta asing yang tidak/belum dilaporkan dan dikonfirmasi oleh
Bank Indonesia dianggap sebagai penghasilan bunga dan merupakan objek pemotongan PPh
Pasal 23 atau Pasal 26.
b. Premi SWAP yang ditetapkan oleh Direksi Bank Indonesia melalui Keputusan Direksi Bank
Indonesia No. 30/89/KEP/DIR tgl. 16 Oktober 1997.

5. Disamping itu perlu juga diberikan penegasan bahwa Premi SWAP yang terkait dengan utang valuta
asing dapat dibiayakan sepanjang telah dilaporkan dan dikonfirmasi oleh Bank Indonesia.

Demikian untuk diketahui dan dijadikan pedoman.

DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd.

FUAD BAWAZIER

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=3050

www.ortax.org
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak :
266 Edisi PPh Badan | Maret 2017 SE - 50/PJ./2009

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
25 Mei 2009

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 50/PJ./2009

TENTANG

TATA CARA PENERBITAN SURAT KETERANGAN BEBAS PEMBAYARAN


PAJAK PENGHASILAN YANG BERSIFAT FINAL BAGI WAJIB PAJAK BADAN,
TERMASUK KOPERASI, YANG USAHA POKOKNYA MELAKUKAN TRANSAKSI
PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 28/PJ/2009 tentang
Pelaksanaan Ketentuan Peralihan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :
1. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
tersebut adalah sebagai berikut :
a. Wajib Pajak Badan, termasuk koperasi, yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan:
1) melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebelum tanggal 1 Januari
2009 dan atas pengalihan hak tersebut belum dibuatkan akta, keputusan, perjanjian,
kesepakatan, atau risalah lelang oleh pejabat yang berwenang; dan
2) penghasilan atas pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada huruf a telah dilaporkan
dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang
bersangkutan dan Pajak Penghasilan atas penghasilan tersebut telah dilunasi,
pengenaan pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun
1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 79 Tahun 1999.
b. Atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan
ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang dibuktikan dengan Surat
Keterangan Bebas Pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final.
c. untuk memperoleh Surat Keterangan Bebas Pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final
sebagaimana dimaksud huruf a, Wajib Pajak harus mengajukan surat permohonan ke Kantor
Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak yang bersangkutan terdaftar yang dilampiri dengan
daftar tanah dan/atau bangunan yang penghasilan atas pengalihannya telah dilaporkan dalam
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
2. Atas permohonan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana
dimaksud dalam butir 1 huruf c, Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus:
a. memberikan keputusan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal
surat permohonan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan yang bersifat final diterima
secara lengkap.
b. menerbitkan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan yang bersifat final paling lama 3 (tiga)
hari kerja terhitung sejak berakhirnya jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sebagaimana
dimaksud pada huruf a telah dilampaui dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak memberikan
keputusan.
c. menerbitkan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan yang bersifat Final, apabila
permohonan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan yang bersifat Final tersebut diterima;
d. menyampaikan pemberitahuan penolakan kepada Wajib Pajak, apabila permohonan Surat
Keterangan Bebas Pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final atas penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut ditolak.
3. Kepala Kantor Pelayanan Pajak agar memperhatikan tata cara penerbitan Surat Keterangan Bebas
Pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final bagi Wajib Pajak Badan, termasuk Koperasi, yang
usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sesuai Lampiran
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.

Demikian untuk menjadi perhatian dan dilaksanakan sebaik-baiknya.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 267

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Mei 2009
DIREKTUR JENDERAL,

ttd.

DARMIN NASUTION
NIP 130605098

Tembusan :
1. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak;
2. Para Direktur dan Tenaga Pengkaji di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak;

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13828

www.ortax.org
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak :
268 Edisi PPh Badan | Maret 2017 SE-30/PJ/2013

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
____________________________________________________________________________________________
3 Juli 2013

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 30/PJ/2013

TENTANG

PELAKSANAAN PAJAK PENGHASILAN YANG BERSIFAT FINAL


ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN
YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG USAHA POKOKNYA
MELAKUKAN PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN DAN
PENENTUAN JUMLAH BRUTO NILAI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU
BANGUNAN OLEH WAJIB PAJAK YANG MELAKUKAN PENGALIHAN HAK ATAS TANAH
DAN/ATAU BANGUNAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. Umum

Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan mengenai tempat terutang kewajiban Pajak Penghasilan
yang bersifat final (PPh Final) atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang
dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan (WP real estat) dan penentuan jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan oleh Wajib Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dipandang
perlu untuk menetapkan pedoman pengenaan Pajak Penghasilan terkait hal tersebut.

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud
Penetapan Surat Edaran ini dimaksudkan untuk memberikan acuan dalam rangka pelaksanaan
pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final (PPh Final) atas penghasilan dari pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya
melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (WP real estat) dan penentuan jumlah
bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan oleh Wajib Pajak yang melakukan
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

2. Tujuan
Surat Edaran ini bertujuan untuk memberikan pedoman dan penjelasan beberapa hal sebagai
berikut:
a. pelaksanaan tempat terutang kewajiban Pajak Penghasilan yang bersifat final (PPh
Final) atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang
dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan (WP real estat); dan
b. penentuan jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan oleh Wajib
Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Surat Edaran ini meliputi tempat terutang kewajiban Pajak Penghasilan yang bersifat final
(PPh Final) atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh
Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (WP real
estat) dan penentuan jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan oleh Wajib Pajak
yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

D. Dasar

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah
beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana telah diubah
beberapa kali terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008;
3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 635/KMK.04/1994 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 269

Pemungutan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 243/PMK.03/2008;
4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2009 tentang Pelaksanaan Ketentuan
Peralihan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

E. Materi

1. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final (PPh
Final) atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh
Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
(WP real estat) dan penentuan jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
oleh Wajib Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah
sebagai berikut:
a. Pembayaran PPh Final atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan oleh WP real
estat dilakukan:
1) paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran,
baik dengan cara tunai maupun angsuran, atas pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan; dan
2) sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ditandatangani oleh pejabat
yang berwenang, dalam hal jumlah seluruh pembayaran sebagaimana
dimaksud pada huruf a kurang dari jumlah bruto nilai pengalihan hak.

b. Nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan oleh Wajib Pajak yang melakukan
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah nilai yang tertinggi antara nilai
berdasarkan Akta Pengalihan Hak atas tanah dan/atau bangunan dengan Nilai Jual
Objek Pajak tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan pada saat ditandatangani
akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan oleh pejabat yang berwenang.
Jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang tertuang dalam
Akta Pengalihan Hak adalah jumlah bruto nilai pengalihan yang sebenarnya sesuai
dengan kejadian, status dan data yang benar serta didukung dengan dokumen sesuai
peraturan perundang-undangan.
Dalam hal diketahui berdasarkan data atau kejadian sebenarnya, jumlah bruto nilai
pengalihan menurut akta pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan maupun Nilai
Jual Objek Pajak tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan lebih rendah dari jumlah
bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang sebenarnya, maka
besarnya Pajak Penghasilan dihitung dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan yang sebenarnya.

c. Dalam hal pembayaran atau angsuran atas pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan dilakukan sebelum 1 Januari 2009 dan penjualan atas pengalihan tersebut
belum diakui sebagai penghasilan Wajib Pajak yang melakukan pengalihan tersebut
sampai dengan 31 Desember 2008 maka PPh Final atas pembayaran atau angsuran
tersebut harus dibayar sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah
lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ditandatangani oleh pejabat
yang berwenang.

d. Dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan di cabang maka
pembayaran PPh dan penyampaian SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan
dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut dilakukan oleh cabang.
Namun seluruh pembayaran PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan yang dilakukan di cabang harus dikonsolidasi oleh pusat dan
dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh.

e. Dalam hal terdapat dua atau lebih Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan bekerja sama membentuk Kerja Sama
Operasi (KSO)/Joint Operation (JO) melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan maka PPh Final atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dibayar
oleh masing-masing anggota KSO sesuai dengan bagian penghasilan yang diterima
masing-masing anggota KSO.

f. Dalam hal PPh Final sebagaimana dimaksud pada huruf e telah dibayar dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atas nama KSO atau salah satu anggota KSO

www.ortax.org
270 Edisi PPh Badan | Maret 2017

maka SSP tersebut dipindahbukukan ke masing-masing anggota KSO sesuai dengan


bagian penghasilan yang diterima masing-masing anggota KSO.

g. Atas pelaksanaan aturan peralihan Pasal II Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008
sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2009
tentang Pelaksanaan Ketentuan Peralihan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008
tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang
Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan ditegaskan hal-hal sebagai berikut:
1) Surat Keterangan Bebas (SKB) pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat
final dapat diterbitkan kepada Wajib Pajak badan yang usaha pokoknya
melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (WP badan
real estat) apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a) pengalihan hak (penjualan) atas tanah dan/atau bangunan dilakukan
sebelum tanggal 1 Januari 2009;
b) penghasilan atas pengalihan hak tersebut telah dilaporkan dalam
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak yang
bersangkutan dan Pajak Penghasilan atas penghasilan tersebut telah
dilunasi;
c) permohonan diajukan oleh WP badan real estat yang melakukan
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan disertai lampiran berupa
daftar tanah dan/atau bangunan sesuai format yang ditetapkan yang
diisi dengan lengkap meliputi nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP) pembeli tanah dan/atau bangunan.
2) Sehubungan dengan nama dan NPWP pembeli yang tercantum dalam SKB
sebagaimana dimaksud pada angka 1), ditegaskan bahwa:
a) NPWP pembeli wajib dicantumkan dalam permohonan SKB, kecuali
berdasarkan ketentuan perpajakan pembeli tersebut tidak wajib
memiliki NPWP;
b) nama pembeli yang tercantum dalam permohonan SKB adalah
pembeli yang tercantum dalam Perjanjian Perikatan Jual Beli (PPJB);
c) dalam hal terjadi perubahan PPJB sehingga WP Badan real estat
menerima atau memperoleh penghasilan dari perubahan PPJB
tersebut, maka SKB hanya dapat diterbitkan apabila WP badan real
estat dapat membuktikan bahwa penghasilan dari perubahan PPJB
tersebut telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun pajak yang bersangkutan dan Pajak Penghasilan
atas penghasian tersebut telah dilunasi.

2. Pada saat Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, maka Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak Nomor SE-80/PJ./2009 tentang Pelaksanaan Pajak Penghasilan yang Bersifat
Final atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang Diterima atau
Diperoleh Wajib Pajak yang Usaha Pokoknya Melakukan Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

3. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

F. Penutup.

Sehubungan dengan pedoman pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final (PPh Final) atas
penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang
usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (WP real estat) dan
penentuan jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan oleh Wajib Pajak yang
melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud di atas, dengan ini
diminta kepada:
1. Para Kepala Kantor Wilayah DJP untuk melakukan sosialisasi dan pengawasan atas pelaksanaan
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini;
2. Para Kepala Kantor Pelayanan Pajak dan Kepala Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi
Perpajakan untuk melaksanakan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini dan melakukan
sosialisasi kepada Wajib Pajak.

Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di Jakarta

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 271

pada tanggal 3 Juli 2013


DIREKTUR JENDERAL,

ttd

A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001

Tembusan:
1. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak
2. Para Direktur di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
3. Para Tenaga Pengkaji di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
4. Kepala Pusat Pengolahan Data dan Dokumentasi Perpajakan

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15304

www.ortax.org
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak :
272 Edisi PPh Badan | Maret 2017 SE - 30/PJ/2014

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
____________________________________________________________________________________________
14 Agustus 2014

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 30/PJ/2014

TENTANG

PENGAWASAN ATAS TRANSAKSI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN


MELALUI JUAL BELI

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. Umum

Sehubungan dengan banyaknya transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui jual
beli yang dilakukan oleh Wajib Pajak pemegang hak atas tanah yang belum dilakukan penandatanganan
Akta Jual Beli, perlu untuk diberikan penegasan terhadap pengawasan pemenuhan kewajiban Pajak
Penghasilan atas transaksi tersebut.

B. Maksud dan Tujuan

1. Penetapan surat edaran ini dimaksudkan untuk memberikan acuan dalam rangka pengawasan
atas transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui jual beli yang dilakukan
oleh Wajib Pajak pemegang hak atas tanah yang belum dilakukan penandatanganan Akta Jual
Beli.

2. Penetapan surat edaran ini bertujuan agar pengawasan atas transaksi pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan melalui jual beli yang dilakukan oieh Wajib Pajak pemegang hak atas
tanah yang belum dilakukan penandatanganan Akta Jual Beli dapat berjalan dengan baik dan
terdapat keseragaman dalam pelaksanaannya.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini meliputi Wajib Pajak yang melakukan pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan melalui jual beli yang belum dilakukan penandatanganan Akta Jual
Beli

D. Dasar

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008;
3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 635/KMK.04/1994 tentang Pelaksanaan Pembayaran Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
243/PMK.03/2008;
4. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-30/PJ/2013 tentang Pelaksanaan Pajak
Penghasilan yang Bersifat Final atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Usaha Pokoknya Melakukan
Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dan Penentuan Jumlah Bruto Nilai Pengalihan
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan oleh Wajib Pajak yang Melakukan Pengalihan Hak atas
Tanah dan/atau Bangunan.

E. Materi

Hal-hal yang perlu diperhatikan:


1. Berdasarkan kondisi yang terjadi di lapangan terdapat transaksi-transaksi pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan yang pengikatan jual belinya masih berupa Perjanjian Pengikatan
Jual Beli dan belum dilakukan penandatanganan Akta Jual Beli.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 273

2. Atas transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui jual beli yang dilakukan
oleh Wajib Pajak pemegang hak atas tanah dan/atau bangunan, baik yang langsung dilakukan
melalui penandatanganan Akta Jual Beli maupun melalui Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanah
dan/atau bangunan antara penjual dengan pembeli sebagaimana dimaksud pada angka 1, wajib
dibayar Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008.

3. Jumlah bruto nilai pengalihan yang menjadi dasar pengenaan Pajak Penghasilan atas
penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada
angka 2 adalah nilai tertinggi antara nilai pengalihan berdasarkan Akta Jual Beli dengan Nilai
Jual Objek Pajak tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan.

4. Pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan melalui jual beli sebagaimana dimaksud pada angka 2 yang dilakukan oleh:
a. Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan dilakukan:
1) paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran,
baik dengan cara tunai maupun angsuran, atas pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan; dan
2) sebelum Akta Jual Beli ditandatangani oleh pejabat yang berwenang, dalam hal
jumlah seluruh pembayaran sebagaimana dimaksud pada angka 1) kurang
dari jumlah bruto nilai pengalihan hak,
b. selain Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/
atau bangunan dilakukan sebelum Akta Jual Beli ditandatangani oleh pejabat yang
berwenang.

5. Dalam hal sebelum dilakukan penandatanganan Akta Jual Beli antara penjual dengan pembeli
terjadi perubahan nama pembeli yang tercantum dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli, maka
atas penghasilan dari perubahan Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak pembeli yang semula namanya tercantum dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli,
merupakan penghasilan berupa keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d Undang- Undang Pajak Penghasilan yang
dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan
dan wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak
pembeli yang semula namanya tercantum dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli.

Contoh:
Odik Wijaya membeli 1 unit rumah dari developer PT Bali Griya Persada seharga
Rp500.000.000,00 secara tunai. Antara PT Bali Griya Persada dengan Odik Wijaya belum
dilakukan penandatanganan Akta Jual Beli (AJB), karena sertifikat rumah tersebut masih dalam
proses pemecahan sehingga dilakukan terlebih dahulu dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli
(PPJB) antara PT Bali Griya Persada sebagai penjual dan Odik Wijaya sebagai pembeli.
Sertifikat rumah tersebut masih atas nama PT Bali Griya Persada. Sebelum dilakukan AJB
antara PT Bali Griya Persada dengan Odik Wijaya, rumah tersebut oleh Odik Wijaya dijual
kepada Indra Adi, sehingga akibat transaksi tersebut nama penjual dan pembeli yang tercantum
dalam PPJB rumah tersebut menjadi PT Bali Griya Persada sebagai penjual dan Indra Adi
sebagai pembeli.

Penghasilan yang diterima atau diperoleh Odik Wijaya dari penjualan rumah tersebut merupakan
penghasilan berupa keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d Undang-Undang PPh yang dikenai PPh berdasarkan
ketentuan Pasal 17 Undang-Undang PPh dan wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan PPh.

F. Penutup

Agar pelaksanaan Surat Edaran ini dapat berjalan dengan baik, dengan ini para:
1. Kepala Kantor Wilayah diminta untuk melakukan pengawasan, sosialisasi, dan koordinasi dengan
instansi terkait atas pelaksanaan Surat Edaran ini di lingkungan wilayah kerja masing-masing,
2. Kepala Kantor Pelayanan Pajak dan Kepala Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi
Perpajakan diminta untuk melakukan pengawasan terhadap transaksi pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan yang dilakukan oleh Wajib Pajak di lingkungan wilayah kerja masing-masing.

Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.

www.ortax.org
274 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 14 Agustus 2014
DIREKTUR JENDERAL PAJAK

tttd

A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001

Tembusan :
1. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak
2. Para Direktur di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
3. Para Tenaga Pengkaji di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
4. Kepala Pusat Pengolahan Data dan Dokumentasi Perpajakan

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15585

www.ortax.org
BUKAN
Objek PPh Badan
276 Edisi PPh Badan | Maret 2017

No Nomor Dokumen Tanggal Ditetapkan Perihal


1. 245/PMK.03/2008 31 Desember 2008 Badan-Badan Dan Orang Pribadi Yang Menjalankan Usaha Mikro Dan
Kecil Yang Menerima Harta Hibah, Bantuan, Atau Sumbangan Yang
Tidak Termasuk Sebagai Objek Pajak Penghasilan
2. 246/PMK.03/2008 31 Desember 2008 Beasiswa Yang Dikecualikan Dari Objek Pajak Penghasilan
3. 247/PMK.03/2008 31 Desember 2008 Bantuan Atau Santunan Yang Dibayarkan Oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial Kepada Wajib Pajak Tertentu Yang Dikecualikan Dari
Objek Pajak Penghasilan
4. 80/PMK.03/2009 22 April 2009 Sisa Lebih Yang Diterima Atau Diperoleh Badan Atau Lembaga Nirlaba
Yang Bergerak Dalam Bidang Pendidikan Dan/Atau Bidang Penelitian
Dan Pengembangan, Yang Dikecualikan Dari Objek Pajak Penghasilan
5. 154/PMK.03/2009 30 September 2009 Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 246/PMK.03/2008
Tentang Beasiswa Yang Dikecualikan Dari Objek Pajak Penghasilan
6. 234/PMK.03/2009 29 Desember 2009 Bidang Penanaman Modal Tertentu Yang Memberikan Penghasilan
Kepada Dana Pensiun Yang Dikecualikan Sebagai Objek Pajak Penghasilan
7. 604/KMK.04/1994 21 Desember 1994 Badan-Badan Dan Pengusaha Kecil Yang Menerima Harta Hibahan Yang
Tidak Termasuk Sebagai Objek Pajak Penghasilan
8. 250/KMK.04/1995 02 Juni 1995 Perusahaan Kecil Dan Menengah Pasangan Usaha Dari Perusahaan
Modal Ventura Dan Perlakuan Perpajakan Atas Penyertaan Modal
Perusahaan Modal Ventura
9. PER - 44/PJ./2009 24 Juli 2009 Pelaksanaan Pengakuan Sisa Lebih Yang Diterima Atau Diperoleh Badan
Atau Lembaga Nirlaba Yang Bergerak Dalam Bidang Pendidikan Dan/
Atau Bidang Penelitian Dan Pengembangan Yang Dikecualikan Dari
Objek Pajak Penghasilan
10. KEP - 11/PJ./1995 01 Februari 1995 Penetapan Dasar Penilaian Bagi Yang Menerima Pengalihan Harta
Yang Diperoleh Dari Bantuan, Sumbangan, Hibahan Dan Warisan Yang
Memenuhi Syarat Sebagai Bukan Objek Pajak Penghasilan Dari Wajib
Pajak Yang Tidak Menyelenggarakan Pembukuan
11. KEP - 390/PJ/2002 22 Agustus 2002 Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Dana Jaminan Penyelesaian Transaksi
Bursa
12. SE - 33/PJ.4/1995 21 Juni 1995 Perusahaan Kecil Dan Menengah Pasangan Usaha Modal Ventura
Dan Perlakuan Perpajakan Atas Penyertaan Modal Perusahaan Modal
Ventura (Seri PPh Umum No. 14)
13. SE - 05/PJ.4/1995 08 Februari 1995 Badan-Badan Dan Pengusaha Kecil Yang Menerima Harta Hibahan Yang
Tidak Termasuk Sebagai Objek Pajak Penghasilan (Seri PPh Umum No.
1)

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
245/PMK.03/2008 Edisi PPh Badan | Maret 2017 277

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 245/PMK.03/2008

TENTANG

BADAN-BADAN DAN ORANG PRIBADI YANG MENJALANKAN USAHA MIKRO DAN KECIL
YANG MENERIMA HARTA HIBAH, BANTUAN, ATAU SUMBANGAN
YANG TIDAK TERMASUK SEBAGAI OBJEK PAJAK PENGHASILAN

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf d angka 4 dan Pasal 4 ayat (3) huruf a
angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan
tentang Badan-Badan dan Orang Pribadi yang Menjalankan Usaha Mikro dan Kecil yang Menerima Harta Hibah,
Bantuan, atau Sumbangan yang Tidak Termasuk Sebagai Objek Pajak Penghasilan.

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4740);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG BADAN-BADAN DAN ORANG PRIBADI YANG MENJALANKAN USAHA
MIKRO DAN KECIL YANG MENERIMA HARTA HIBAH, BANTUAN, ATAU SUMBANGAN YANG TIDAK TERMASUK
SEBAGAI OBJEK PAJAK PENGHASILAN.

Pasal 1

Harta hibah, bantuan, atau sumbangan yang diterima oleh :


a. keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat;
b. badan keagamaan;
c. badan pendidikan;
d. badan sosial termasuk yayasan dan koperasi; atau
e. orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil,
dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan.

Pasal 2

(1) Keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
huruf a adalah orang tua dan anak kandung.
(2) Badan keagamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b adalah badan keagamaan yang
kegiatannya semata-mata mengurus tempat-tempat ibadah dan/atau menyelenggarakan kegiatan di
bidang keagamaan, yang tidak mencari keuntungan.
(3) Badan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf c adalah badan pendidikan yang
kegiatannya semata-mata menyelenggarakan pendidikan yang tidak mencari keuntungan.
(4) Badan sosial termasuk yayasan dan koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf d adalah
badan sosial yang kegiatannya semata-mata menyelenggarakan :
a. pemeliharaan kesehatan;
b. pemeliharaan orang lanjut usia (panti jompo);
c. pemeliharaan anak yatim-piatu, anak atau orang terlantar, dan anak atau orang cacat;

www.ortax.org
278 Edisi PPh Badan | Maret 2017

d. santunan dan/atau pertolongan kepada korban bencana alam, kecelakaan, dan sejenisnya;
e. pemberian beasiswa;
f. pelestarian lingkungan hidup; dan/atau
g. kegiatan sosial lainnya.
yang tidak mencari keuntungan.
(5) Orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
huruf e adalah orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan usaha kecil yang memiliki dan
menjalankan usaha produktif yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua miyar lima ratus
juta rupiah).

Pasal 3

(1) Ketentuan pengecualian harta hibah, bantuan, atau sumbangan dari objek Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 berlaku apabila pihak pemberi hibah, bantuan, atau sumbangan
tidak mempunyai hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan dengan penerima hibah,
bantuan, atau sumbangan.
(2) Harta hibah, bantuan, atau sumbangan dibukukan oleh pihak penerima sesuai dengan nilai buku harta
hibah, bantuan, atau sumbangan dari pihak pemberi.

Pasal 4

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 31 Desember 2008
MENTERI KEUANGAN,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13580

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
246/PMK.03/2008 Edisi PPh Badan | Maret 2017 279

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 246/PMK.03/2008

TENTANG

BEASISWA YANG DIKECUALIKAN DARI OBJEK PAJAK PENGHASILAN

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf I Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Beasiswa yang Dikecualikan dari Objek
Pajak Penghasilan.

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4740);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG BEASISWA YANG DIKECUALIKAN DARI OBJEK PAJAK PENGHASILAN.

Pasal 1

(1) Penghasilan berupa beasiswa yang diterima atau diperoleh Warga Negara Indonesia dari Wajib Pajak
pemberi beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan di dalam negeri pada tingkat pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila penerima beasiswa mempunyai
hubungan istimewa dengan :
a. Pemilik;
b. Komisaris;
c. Direksi; atau
d. Pengurus,
dari Wajib Pajak pemberi beasiswa.

Pasal 2

Komponen beasiswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 terdiri dari biaya pendidikan yang dibayarkan ke
sekolah (tuition fee), biaya ujian, biaya penelitian yang berkaitan dengan bidang studi yang diambil, biaya
untuk pembelian buku, dan/atau biaya hidup yang wajar sesuai dengan daerah lokasi tempat belajar.

Pasal 3

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

www.ortax.org
280 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 31 Desember 2008
MENTERI KEUANGAN,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI

Status :
Peraturan Menteri Keuangan - 246/PMK.03/2008 Telah mengalami perubahan atau
penyempurnaan oleh Peraturan Menteri Keuangan - 154/PMK.03/2009, Tanggal 30 Sept 2009

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13575

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
247/PMK.03/2008 Edisi PPh Badan | Maret 2017 281

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 247/PMK.03/2008

TENTANG

BANTUAN ATAU SANTUNAN YANG DIBAYARKAN OLEH BADAN PENYELENGGARA


JAMINAN SOSIAL KEPADA WAJIB PAJAK TERTENTU YANG DIKECUALIKAN
DARI OBJEK PAJAK PENGHASILAN

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf n Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Bantuan dan Santunan yang Dibayarkan
oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak Tertentu yang Dikecualikan dari Objek Pajak
Penghasilan.

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4740);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG BANTUAN ATAU SANTUNAN YANG DIBAYARKAN OLEH BADAN
PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KEPADA WAJIB PAJAK TERTENTU YANG DIKECUALIKAN DARI OBJEK
PAJAK PENGHASILAN.

Pasal 1

Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak
tertentu dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan.

Pasal 2

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 meliputi :


a. Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK);
b. Perusahaan Perseroan (Persero) Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN);
c. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI);
d. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES); dan/atau
e. badan hukum lainnya yang dibentuk untuk menyelenggarakan Program Jaminan Sosial.

Pasal 3

Wajib Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah :


a. Wajib Pajak atau anggota masyarakat yang tidak mampu;
b. Wajib Pajak atau anggota masyarakat yang sedang mengalami bencana alam; dan/atau
c. Wajib Pajak atau anggota masyarakat yang tertimpa masalah.

Pasal 4

www.ortax.org
282 Edisi PPh Badan | Maret 2017

(1) Wajib Pajak atau masyarakat yang tidak mampu sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 huruf a adalah
Wajib Pajak dan/atau masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan sesuai dengan kriteria dan
data yang ditetapkan oleh Biro Pusat Statistik.
(2) Wajib Pajak atau masyarakat yang sedang mengalami bencana alam sebagaimana dimaksud pada
Pasal 3 huruf b adalah Wajib Pajak dan/atau masyarakat yang sedang tertimpa bencana yang
diakibatkan peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung
meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor.
(3) Wajib Pajak atau masyarakat yang tertimpa musibah sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 huruf c
adalah Wajib Pajak dan/atau masyarakat yang tertimpa kecelakaan yang tidak dapat diperkirakan
sebelumnya dan membahayakan atau mengancam keselamatan jiwa.

Pasal 5

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 31 Desember 2008
MENTERI KEUANGAN,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13577

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
80/PMK.03/2009 Edisi PPh Badan | Maret 2017 283

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 80/PMK.03/2009

TENTANG

SISA LEBIH YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH BADAN ATAU LEMBAGA NIRLABA YANG
BERGERAK DALAM BIDANG PENDIDIKAN DAN/ATAU BIDANG PENELITIAN DAN
PENGEMBANGAN, YANG DIKECUALIKAN DARI OBJEK PAJAK PENGHASILAN

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf m Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Sisa Lebih yang Diterima atau Diperoleh
Badan Lembaga atau Nirlaba yang Bergerak dalam Bidang Pendidikan dan/atau Bidang Penelitian dan
Pengembangan yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4740);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG SISA LEBIH YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH BADAN ATAU
LEMBAGA NIRLABA YANG BERGERAK DALAM BIDANG PENDIDIKAN DAN/ATAU BIDANG PENELITIAN DAN
PENGEMBANGAN, YANG DIKECUALIKAN DARI OBJEK PAJAK PENGHASILAN.

Pasal 1

(1) Sisa lebih yang diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana
dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan
bersifat terbuka kepada pihak manapun, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak
diperolehnya sisa lebih tersebut dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan.
(2) Sisa lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah selisih dari seluruh penerimaan yang
merupakan objek Pajak Penghasilan selain penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan tersendiri,
dikurangi dengan pengeluaran untuk biaya operasional sehari-hari badan atau lembaga nirlaba.
(3) Badan atau lembaga nirlaba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah badan atau lembaga nirlaba
yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah
terdaftar pada instansi yang membidanginya.
(4) Sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Pembelian atau pembangunan gedung dan prasarana pendidikan, penelitian dan pengembangan
termasuk pembelian tanah sebagai lokasi pembangunan gedung dan prasarana tersebut;
b. pengadaan sarana dan prasarana kantor, laboratorium dan perpustakaan;
c. pembelian/pembangunan asrama mahasiswa, rumah dinas guru, dosen atau karyawan, dan
sarana prasarana olahraga, sepanjang berada di lingkungan/lokasi lembaga pendidikan formal.

Pasal 2

(1) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) terdapat sisa lebih yang
tidak digunakan untuk pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan

www.ortax.org
284 Edisi PPh Badan | Maret 2017

pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4), sisa lebih tersebut diakui sebagai
penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan pada tahun pajak berikutnya, setelah jangka waktu 4
(empat) tahun tersebut ditambah dengan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) terdapat sisa lebih yang
digunakan selain untuk pengadaan sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat
(4), sisa lebih tersebut diakui sebagai penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan ditambah dengan
sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.

Pasal 3

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengadaan sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau
lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan yang
dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan, diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 4

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut terhitung
sejak tanggal 1 Januari 2009.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 April 2009
MENTERI KEUANGAN

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13775

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
154/PMK.03/2009 Edisi PPh Badan | Maret 2017 285

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 154/PMK.03/2009

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 246/PMK.03/2008


TENTANG BEASISWA YANG DIKECUALIKAN DARI OBJEK PAJAK PENGHASILAN

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa dalam rangka mengoptimalkan penggunaan dana beasiswa untuk melaksanakan pendidikan formal dan/
atau pendidikan nonformal di dalam negeri dan/atau di luar negeri dengan tujuan meningkatkan kualitas Warga
Negara Indonesia perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 246/PMK.03/2008 tentang Beasiswa yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan.

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 246/PMK.03/2008 tentang Beasiswa yang Dikecualikan dari Objek
Pajak Penghasilan.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
246/PMK.03/2008 TENTANG BEASISWA YANG DIKECUALIKAN DARI OBJEK PAJAK PENGHASILAN.

Pasal I

Ketentuan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 246/PMK.03/2008 tentang Beasiswa yang
Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan diubah dan diantara Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 1 ayat (2) disisipkan
2 (dua) ayat yaitu ayat (1a) dan ayat (1b), sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 1

(1) Atas penghasilan berupa beasiswa yang diterima atau diperoleh Warga Negara Indonesia dari Wajib
Pajak pemberi beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan formal dan/atau pendididikan nonformal
yang dilaksanakan di dalam negeri dan/atau di luar negeri dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan.
(1a) Pendidikan formal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan
berjenjang yang terdiri atas tingkat pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
(1b) Pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jalur pendidikan di luar pendidikan
formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila penerima beasiswa mempunyai
hubungan istimewa dengan :
a. Pemilik;
b. Komisaris;
c. Direksi; atau
d. Pengurus,
dari Wajib Pajak pemberi beasiswa.

Pasal II

www.ortax.org
286 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 September 2009
MENTERI KEUANGAN,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 September 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,

ttd.

ANDI MATTALATTA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 336

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13956

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
234/PMK.03/2009 Edisi PPh Badan | Maret 2017 287

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 234/PMK.03/2009

TENTANG

BIDANG PENANAMAN MODAL TERTENTU YANG MEMBERIKAN PENGHASILAN


KEPADA DANA PENSIUN YANG DIKECUALIKAN SEBAGAI OBJEK PAJAK
PENGHASILAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa dalam rangka memberikan kepastian hukum mengenai penghasilan dari modal yang ditanamkan
oleh dana pensiun pada bidang-bidang tertentu yang dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan,
perlu mengatur kembali mengenai bidang-bidang penanaman modal tertentu yang memberikan
penghasilan kepada dana pensiun yang dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan dalam rangka
melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Bidang Penanaman Modal Tertentu yang
Memberikan Penghasilan Kepada Dana Pensiun yang Dikecualikan Sebagai Objek Pajak Penghasilan;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG BIDANG PENANAMAN MODAL TERTENTU YANG MEMBERIKAN
PENGHASILAN KEPADA DANA PENSIUN YANG DIKECUALIKAN SEBAGAI OBJEK PAJAK PENGHASILAN.

Pasal 1

Penghasilan yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan
dari penanaman modal berupa:
a. bunga, diskonto, dan imbalan dari deposito, sertifikat deposito, dan tabungan, pada bank di Indonesia
yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah, serta
Sertifikat Bank Indonesia;
b. bunga, diskonto, dan imbalan dari obligasi, obligasi syariah (sukuk), Surat Berharga Syariah Negara,
dan Surat Perbendaharaan Negara, yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan perdagangannya pada
bursa efek di Indonesia; atau
c. dividen dari saham pada perseroan terbatas yang tercatat pada bursa efek di Indonesia,
dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan.

Pasal 2

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengecualian objek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 3

www.ortax.org
288 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 651/KMK.04/1994
tentang Bidang Penanaman Modal Tertentu yang Memberikan Penghasilan Kepada Dana Pensiun yang Tidak
Termasuk Sebagai Objek Pajak Penghasilan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 4

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2009
MENTERI KEUANGAN

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,

ttd.

PATRIALIS AKBAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 529

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=14081

www.ortax.org
Keputusan Menteri Keuangan :
604/KMK.04/1994 Edisi PPh Badan | Maret 2017 289

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 604/KMK.04/1994

TENTANG

BADAN-BADAN DAN PENGUSAHA KECIL YANG MENERIMA HARTA HIBAHAN


YANG TIDAK TERMASUK SEBAGAI OBJEK PAJAK PENGHASILAN

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf d angka 4) jo. Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 2) Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1994, harta hibahan yang diterima oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan
sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi, yang ditetapkan Menteri Keuangan, tidak termasuk
sebagai objek Pajak Penghasilan;
b. bahwa harta hibahan tersebut perlu bagi badan-badan tersebut untuk dapat mengembangkan
kegiatannya;
c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut dipandang perlu untuk menetapkan badan-badan dan
pengusaha kecil termasuk koperasi yang menerima harta hibahan yang tidak termasuk sebagai objek
Pajak Penghasilan, dengan Keputusan Menteri Keuangan;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983
Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263), sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3459) dan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3567);
2. Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG BADAN-BADAN DAN PENGUSAHA KECIL
YANG MENERIMA HARTA HIBAHAN YANG TIDAK TERMASUK SEBAGAI OBYEK PAJAK PENGHASILAN.

Pasal 1

Yang dimaksud dengan :

a. Badan keagamaan adalah badan termasuk yayasan yang kegiatannya semata-mata mengurus
tempat-tempat ibadah dan/atau menyelenggarakan kegiatan di bidang keagamaan, yang tidak
mencari keuntungan;

b. Badan pendidikan adalah badan termasuk yayasan yang kegiatannya semata-mata menyelenggarakan
pendidikan formal tingkat taman kanak-kanak dan/atau tingkat dasar dan/atau tingkat menengah
dan/atau perguruan tinggi, yang tidak mencari keuntungan;

c. Badan sosial adalah badan termasuk yayasan yang kegiatannya semata-mata menyelenggarakan :
1. pemeliharaan kesehatan; dan/atau
2. pemeliharaan orang lanjut usia (panti jompo); dan/atau
3. pemeliharaan anak yatim-piatu, anak atau orang terlantar, dan anak atau orang cacat;
dan/atau
4. santunan dan/atau pertolongan kepada korban bencana alam, kecelakaan, dan sejenisnya;
dan/atau
5. pemberian bea siswa; dan/atau
6. pelestarian lingkungan hidup; dan/atau
7. kegiatan sosial lainnya;
sepanjang badan sosial tersebut tidak mencari keuntungan;

d. Pengusaha kecil termasuk koperasi adalah pengusaha yang pada saat akan menerima hibah jumlah

www.ortax.org
290 Edisi PPh Badan | Maret 2017

nilai aktivanya tidak termasuk tanah dan/atau bangunan tidak melebihi Rp.600.000.000,00 (enam ratus
juta rupiah).

Pasal 2

(1) Harta hibahan yang diterima oleh badan-badan dan pengusaha kecil termasuk koperasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 tidak termasuk sebagai Obyek Pajak Penghasilan sepanjang antara pemberi
hibah dengan penerima hibah tersebut tidak ada hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan.

(2) Harta hibahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibukukan oleh penerima hibah sesuai dengan
nilai sisa buku harta hibahan.

Pasal 3

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Keputusan ini ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 4

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995.

Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Desember 1994
MENTERI KEUANGAN,

ttd

MAR'IE MUHAMMAD

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=570

www.ortax.org
Keputusan Menteri Keuangan RI :
250/KMK.04/1995 Edisi PPh Badan | Maret 2017 291

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 250/KMK.04/1995

TENTANG

PERUSAHAAN KECIL DAN MENENGAH PASANGAN USAHA DARI PERUSAHAAN MODAL VENTURA
DAN PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS PENYERTAAN MODAL PERUSAHAAN MODAL VENTURA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf j Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, penghasilan berupa
bagian laba yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura dari penyertaan modal dalam
perusahaan kecil dan menengah yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia,
tidak termasuk sebagai Objek Pajak;
b. bahwa atas penghasilan dari pengalihan saham perusahaan modal ventura pada pasangan usahanya
yang memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (93) huruf j Undang-undang Nomor 7
Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994,
dikenakan Pajak Penghasilan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1995, sedangkan
apabila pengalihan tersebut dilakukan di bursa efek dikenakan Pajak Penghasilan sesuai dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994;
c. bahwa oleh karena itu dipandang perlu untuk menetapkan perusahaan kecil dan menengah pasangan
usaha dari perusahaan modal ventura dan perlakuan perpajakan atas penghasilan berupa bagian laba
yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura dari penyertaan modalnya, dengan Keputusan
Menteri Keuangan ;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262), sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566);
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983
Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomro 3263) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3459) dan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Transaksi Penjualan saham di Bursa Efek (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 70, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3574);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1995 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Perusahaan
Modal Ventura dari Transaksi Penjualan Saham atau Pengalihan Penyertaan Modal pada Perusahaan
Pasangan Usahanya (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3585);
5. Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan (Lembaran Negara Tahun
1988 Nomor 5);
6. Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;
7. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 tentang ketentuan dan tata cara pelaksanaan
Lembaga Pembiayaan sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor :
1256/KMK.00/1989 tanggal 18 Nopember 1989;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUSAHAAN KECIL DAN MENENGAH
PASANGAN USAHA DARI PERUSAHAAN MODAL VENTURA DAN PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS PENYERTAAN
MODAL PERUSAHAAN MODAL VENTURA

Pasal 1

Perusahaan kecil dan menengah pasangan usaha perusahaan modal ventura sebagaimana dimaksud dalam

www.ortax.org
292 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Pasal 4 ayat (3) huruf j angka (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 adalah perusahaan yang penjualan bersihnya setahun tidak
melebihi Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Pasal 2

(1) Penyertaan modal perusahan modal ventura pada setiap perusahaan pasangan usaha dilakukan
selama perusahaan pasangan usaha tersebut belum menjual saham di bursa efek dan untuk jangka
waktu tidak melebihi 10 (sepuluh) tahun.

(2) Penghasilan berupa bagian laba yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura dan
penyertaan modal pada perusahaan pasangan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yang
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bukan merupakan Obyek Pajak
Penghasilan.

(3) Apabila perusahaan pasangan usaha menjual sahamnya di bursa efek, perusahaan modal ventura
harus menjual sahamnya pada perusahaan pasangan usaha selambat-lambatnya 36 (tiga puluh enam)
bulan sejak perusahaan pasangan usaha tersebut diizinkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal menjual
sahamnya di bursa efek.

(4) Penghasilan berupa bagian laba yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura dari
penyertaan modal pada perusahaan pasangan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 setelah
lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (3), merupakan Obyek Pajak
Penghasilan kecuali apabila bagian laba tersebut memenuhi ketentuan Pasal 4 angka (3) huruf f
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1994.

Pasal 3

Perusahaan modal ventura wajib membukukan secara terpisah penghasilan yang merupakan Obyek Pajak
penghasilan, dan penghasilan yang bukan merupakan Obyek Pajak Penghasilan.

Pasal 4

Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 227/KMK.01/1994 tanggal 9
Juni 1994 tentang sektor-sektor Usaha Perusahaan Pasangan Usaha dari Perusahaan Modal Ventura dan
Perlakuan Perpajakan atas Penyertaan Modal dan/atau Pengalihan Penyertaan Modal Perusahaan Modal
Ventura dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 5

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan keputusan ini ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 6

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Juni 1995
MENTERI KEUANGAN,

ttd.

MAR'IE MUHAMMAD

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=618

www.ortax.org
Peraturan Direktur Jenderal Pajak :
PER - 44/PJ./2009 Edisi PPh Badan | Maret 2017 293

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 44/PJ./2009

TENTANG

PELAKSANAAN PENGAKUAN SISA LEBIH YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH BADAN


ATAU LEMBAGA NIRLABA YANG BERGERAK DALAM BIDANG PENDIDIKAN DAN/ATAU
BIDANG PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN YANG DIKECUALIKAN DARI OBJEK
PAJAK PENGHASILAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2009 tentang
Sisa Lebih yang Diterima atau Diperoleh Badan atau Lembaga Nirlaba yang Bergerak dalam Bidang Pendidikan
dan/atau Bidang Penelitian dan Pengembangan yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan, perlu
menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Pelaksanaan Pengakuan Sisa Lebih yang Diterima atau
Diperoleh Badan atau Lembaga Nirlaba yang Bergerak dalam Bidang Pendidikan dan/atau Bidang Penelitian dan
Pengembangan yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2009 tanggal 22 April 2009 tentang Sisa Lebih yang
Diterima atau Diperoleh Badan atau Lembaga Nirlaba yang Bergerak dalam Bidang Pendidikan
dan/atau Bidang Penelitian dan Pengembangan yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PELAKSANAAN PENGAKUAN SISA LEBIH YANG DITERIMA
ATAU DIPEROLEH BADAN ATAU LEMBAGA NIRLABA YANG BERGERAK DALAM BIDANG PENDIDIKAN DAN/ATAU
BIDANG PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN YANG DIKECUALIKAN DARI OBJEK PAJAK PENGHASILAN.

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan :


1. Sisa lebih adalah selisih dari seluruh penerimaan yang merupakan objek Pajak Penghasilan selain
penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan tersendiri, dikurangi dengan pengeluaran untuk biaya
operasional sehari-hari badan atau lembaga nirlaba.
2. Biaya operasional sehari-hari badan atau lembaga nirlaba adalah biaya yang mempunyai hubungan
langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan yang merupakan objek Pajak Penghasilan selain penghasilan yang
dikenakan Pajak Penghasilan tersendiri.
3. Badan atau lembaga nirlaba adalah badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang
pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang
membidanginya.
4. Pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana adalah pembelian, pengadaan dan/atau
pembangunan fisik sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan
yang meliputi :
a. pembelian atau pembangunan gedung dan prasarana kegiatan pendidikan, penelitian dan
pengembangan termasuk pembelian tanah sebagai lokasi pembangunan gedung dan prasarana
tersebut;
b. pengadaan sarana dan prasarana kantor, laboratorium dan perpustakaan; atau

www.ortax.org
294 Edisi PPh Badan | Maret 2017

c. pembelian atau pembangunan asrama mahasiswa, rumah dinas, guru, dosen atau karyawan,
dan sarana prasarana olahraga, sepanjang berada dilingkungan atau lokasi lembaga
pendidikan formal.

Pasal 2

(1) Sisa lebih yang diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang ditanamkan kembali dalam bentuk
pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan yang diselenggarakan bersifat terbuka kepada pihak manapun dan telah mendapat
pengesahan dari instansi yang membidanginya, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak
diperolehnya sisa lebih tersebut dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan.
(2) Badan atau lembaga nirlaba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan
pemberitahuan mengenai rencana fisik sederhana dan rencana biaya pembangunan dan pengadaan
sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan kepada Kepala
Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dengan tindasan kepada instansi yang
membidanginya.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan bersamaan dengan penyampaian
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak diperolehnya sisa lebih tersebut atau
paling lama sebelum pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan/atau penelitian dan pengembangan dimulai, dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak
diperolehnya sisa lebih tersebut.

Pasal 3

Pelaksanaan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan sebagai berikut :
a. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba setiap tahun yang akan digunakan
untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan dialihkan ke akun dana pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan
pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan;
b. pembukuan atas penggunaan dana pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan
pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan pada tahun berjalan dilakukan dengan mendebet
akun aktiva dan akun dana pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan/atau penelitian dan pengembangan serta mengkredit akun kas atau utang dan akun modal badan
atau lembaga nirlaba.

Pasal 4

(1) Atas pengeluaran untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan/atau penelitian dan pengembangan yang berasal dari sisa lebih sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 tidak boleh dilakukan penyusutan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008.
(2) Apabila pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian
dan pengembangan dibiayai dengan dana pinjaman, biaya bunga atas dana pinjaman tersebut
diperlakukan sebagai bagian dari harga perolehan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau
penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Biaya bunga atas dana pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang terutang atau dibayarkan
setelah selesainya proses pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan/atau penelitian dan pengembangan dapat dibebankan sebagai biaya badan atau lembaga nirlaba.
(4) Dalam hal dana pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima atau diperoleh sebelum
diperolehnya sisa lebih dan dipergunakan untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), biaya bunga atas dana pinjaman tersebut diperlakukan
sebagai bagian dari harga perolehan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian
dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 5

Badan atau lembaga nirlaba yang menggunakan sisa lebih untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan
prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) wajib membuat :
a. pernyataan bahwa:
1. sisa lebih akan digunakan untuk pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dan/atau
penelitian dan pengembangan paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih
tersebut, dan

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 295

2. sisa lebih yang tidak digunakan pada tahun diperolehnya tersebut akan digunakan untuk
pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan paling
lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut.
yang merupakan lampiran dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk tahun pajak
diperolehnya sisa lebih;
b. pencatatan tersendiri atas sisa lebih yang diterima dan yang digunakan setiap tahun; dan
c. laporan mengenai penyediaan dan penggunaan sisa lebih dan menyampaikannya kepada Kepala
Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dalam lampiran Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan.

Pasal 6

(1) Apabila setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) badan atau lembaga
nirlaba tidak menggunakan atau terdapat sisa lebih yang tidak digunakan untuk pembangunan dan
pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan
dimaksud, maka sisa lebih tersebut diakui sebagai penghasilan dan dikenakan Pajak Penghasilan pada
tahun pajak berikutnya setelah lewat jangka waktu 4 (empat) tahun tersebut.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) terdapat sisa lebih yang
digunakan selain untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan/atau penelitian dan pengembangan, sisa lebih tersebut diakui sebagai penghasilan dan dikenai
Pajak Penghasilan sejak tahun pajak diperoleh sisa lebih tersebut.
(3) Apabila Badan atau lembaga nirlaba menggunakan sisa lebih untuk pembangunan dan pengadaan
sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan namun tidak
menyampaikan pemberitahuan rencana fisik sederhana dan rencana biaya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) dan tidak membuat pernyataan, pencatatan dan laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5, sisa lebih tersebut diakui sebagai penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan sejak
tahun pajak diperoleh sisa lebih tersebut.
(4) Pengenaan Pajak Penghasilan atas sisa lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) ditambah dengan sanksi sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.

Pasal 7

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, Keputusan Direktur Jenderal Nomor
KEP-87/PJ./1995 tentang Pengakuan Penghasilan dan Biaya atas Dana Pembangunan Gedung dan Prasarana
Pendidikan Bagi Yayasan atau Organisasi yang Sejenis yang Bergerak di Bidang Pendidikan, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 8

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 Juli 2009
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

DARMIN NASUTION
NIP 130605098

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13862

www.ortax.org
Keputusan Direktur Jenderal Pajak :
296 Edisi PPh Badan | Maret 2017 KEP - 11/PJ./1995
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR KEP - 11/PJ./1995
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
TENTANG
NOMOR KEP - 11/PJ./1995
PENETAPAN DASAR PENILAIAN BAGI YANG MENERIMA PENGALIHAN HARTA
TENTANG
YANG DIPEROLEH DARI BANTUAN,SUMBANGAN, HIBAHAN DAN WARISAN YANG MEMENUHI SYARAT SEBAGAI
BUKAN OBJEK PAJAK PENGHASILAN DARI WAJIB PAJAK YANG TIDAK MENYELENGGARAKAN PEMBUKUAN
PENETAPAN DASAR PENILAIAN BAGI YANG MENERIMA PENGALIHAN HARTA
YANG DIPEROLEH DARI BANTUAN,SUMBANGAN, HIBAHAN DAN WARISAN YANG MEMENUHI SYARAT SEBAGAI
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
BUKAN OBJEK PAJAK PENGHASILAN DARI WAJIB PAJAK YANG TIDAK MENYELENGGARAKAN PEMBUKUAN
Menimbang : dst
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Mengingat : dst
Menimbang : dst
MEMUTUSKAN :
Mengingat : dst
Menetapkan :
MEMUTUSKAN :
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PENETAPAN DASAR PENILAIAN BAGI YANG MENERIMA
Menetapkan :
PENGALIHAN HARTA YANG DIPEROLEH DARI BANTUAN, SUMBANGAN, HIBAHAN DAN WARISAN YANG
MEMENUHI SYARAT SEBAGAI BUKAN OBJEK PAJAK PENGHASILAN DARI WAJIB PAJAK YANG TIDAK
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PENETAPAN DASAR PENILAIAN BAGI YANG MENERIMA
MENYELENGGARAKAN PEMBUKUAN
PENGALIHAN HARTA YANG DIPEROLEH DARI BANTUAN, SUMBANGAN, HIBAHAN DAN WARISAN YANG
MEMENUHI SYARAT SEBAGAI BUKAN OBJEK PAJAK PENGHASILAN DARI WAJIB PAJAK YANG TIDAK
MENYELENGGARAKAN PEMBUKUAN
Pasal 1

(1) Apabila nilai atau harga perolehan harta bagi yang mengalihkan harta tersebut diketahui, maka nilai
Pasal 1
perolehan bagi yang menerima pengalihan tersebut adalah sama dengan nilai atau harga perolehan
harta tersebut bagi yang mengalihkan;
(1) Apabila nilai atau harga perolehan harta bagi yang mengalihkan harta tersebut diketahui, maka nilai
perolehan bagi yang menerima pengalihan tersebut adalah sama dengan nilai atau harga perolehan
(2) Apabila nilai atau harga perolehan bagi yang mengalihkan harta berupa tanah dan/atau bangunan
harta tersebut bagi yang mengalihkan;
tidak diketahui namun tahun perolehannya diketahui, maka nilai perolehan bagi yang menerima
pengalihan harta tersebut adalah :
(2) Apabila nilai atau harga perolehan bagi yang mengalihkan harta berupa tanah dan/atau bangunan
a. apabila tanah dan/atau bangunan tersebut diperoleh oleh yang mengalihkan dalam tahun
tidak diketahui namun tahun perolehannya diketahui, maka nilai perolehan bagi yang menerima
1986 atau sebelumnya, sama besarnya dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang tercantum
pengalihan harta tersebut adalah :
dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tahun
a. apabila tanah dan/atau bangunan tersebut diperoleh oleh yang mengalihkan dalam tahun
pajak 1986, atau
1986 atau sebelumnya, sama besarnya dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang tercantum
b. apabila tanah dan/atau bangunan tersebut diperoleh oleh yang mengalihkan sesudah tahun
dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tahun
1986, sama besarnya dengan NJOP yang tercantum dalam SPPT PBB tahun pajak
pajak 1986, atau
diperolehnya harta tersebut bagi yang mengalihkan, atau
b. apabila tanah dan/atau bangunan tersebut diperoleh oleh yang mengalihkan sesudah tahun
c. jika SPPT PBB tidak ada, berdasarkan surat keterangan dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak
1986, sama besarnya dengan NJOP yang tercantum dalam SPPT PBB tahun pajak
Bumi dan Bangunan;
diperolehnya harta tersebut bagi yang mengalihkan, atau
c. jika SPPT PBB tidak ada, berdasarkan surat keterangan dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak
(3) Apabila nilai atau harga perolehan dan tahun perolehan bagi yang mengalihkan harta berupa tanah
Bumi dan Bangunan;
dan/atau bangunan tidak diketahui, maka nilai perolehan bagi yang menerima harta tersebut adalah
sama besarnya dengan NJOP yang tercantum dalam SPPT PBB tahun pajak yang paling awal yang
(3) Apabila nilai atau harga perolehan dan tahun perolehan bagi yang mengalihkan harta berupa tanah
tersedia atas nama yang mengalihkan harta tersebut, atau jika SPPT PBB tidak ada, berdasarkan
dan/atau bangunan tidak diketahui, maka nilai perolehan bagi yang menerima harta tersebut adalah
surat keterangan dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan;
sama besarnya dengan NJOP yang tercantum dalam SPPT PBB tahun pajak yang paling awal yang
tersedia atas nama yang mengalihkan harta tersebut, atau jika SPPT PBB tidak ada, berdasarkan
(4) Untuk harta selain tanah dan/atau bangunan, apabila nilai atau harga perolehan bagi yang
surat keterangan dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan;
mengalihkan harta tersebut tidak diketahui, maka nilai perolehan bagi yang menerima pengalihan
harta tersebut adalah sama besarnya dengan 60% (enam puluh persen) dari harga pasar wajar harta
(4) Untuk harta selain tanah dan/atau bangunan, apabila nilai atau harga perolehan bagi yang
tersebut pada saat terjadinya pengalihan.
mengalihkan harta tersebut tidak diketahui, maka nilai perolehan bagi yang menerima pengalihan
harta tersebut adalah sama besarnya dengan 60% (enam puluh persen) dari harga pasar wajar harta
tersebut pada saat terjadinya pengalihan.
Pasal 2

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995.


Pasal 2

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 1 Februari 1995
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 1 Februari 1995
ttd
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
FUAD BAWAZIER
ttd

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=1432

www.ortax.org
Keputusan Direktur Jenderal Pajak :
KEP - 390/PJ/2002 Edisi PPh Badan | Maret 2017 297

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR KEP - 390/PJ/2002

TENTANG

PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS DANA JAMINAN PENYELESAIAN TRANSAKSI BURSA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa untuk memberikan kepastian hukum sehubungan dana jaminan penyelesaian transaksi bursa dan untuk
mendorong berkembangnya pasar modal di Indonesia, perlu menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak
tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Dana Jaminan Penyelesaian Transaksi Bursa;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 127; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985);
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1995 Nomor 64; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan
Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 253, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4055);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS DANA JAMINAN
PENYELESAIAN TRANSAKSI BURSA.

Pasal 1

Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan:

1. Dana Jaminan Penyelesaian Transaksi Bursa adalah Dana Jaminan yang berasal dari iuran wajib
Pemodal yang melakukan transaksi bursa melalui Anggota Kliring, dihitung sebesar persentase
tertentu dari nilai transaksi bursa dan dibayarkan kepada Lembaga Kliring dan Penjaminan, untuk
tujuan penjaminan penyelesaian transaksi bursa;

2. Anggota Kliring adalah Anggota Bursa Efek yang melakukan transaksi bursa untuk kepentingan dirinya
atau nasabahnya selaku Pemodal, sesuai dengan ketentuan dan persyaratan Lembaga Kliring dan
Penjaminan, untuk mendapatkan layanan jasa kliring dan penjaminan penyelesaian transaksi bursa;

3. Pemodal adalah Anggota Kliring atau nasabahnya yang melakukan pesanan jual-beli surat berharga/
sekuritas dalam suatu transaksi bursa;

4. Lembaga Kliring dan Penjaminan adalah PT. Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) yang
menyelenggarakan jasa kliring dan penjaminan penyelesaian transaksi bursa serta menjadi pengelola
Dana Jaminan Penyelesaian Transaksi Bursa, berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995
tentang Pasar Modal;

5. Gagal bayar adalah tidak dipenuhinya kewajiban pembayaran Anggota Kliring kepada KPEI, dalam
rangka penyelesaian transaksi bursa.

Pasal 2

Pembayaran Dana Jaminan Penyelesaian Transaksi Bursa oleh Pemodal tidak dapat dikurangkan sebagai biaya
atau ditambahkan pada harga perolehan surat berharga/sekuritas atau dikurangkan dari harga jual surat
berharga/sekuritas bagi Pemodal yang bersangkutan.

Pasal 3

www.ortax.org
298 Edisi PPh Badan | Maret 2017

(1) Penerimaan Dana Jaminan Penyelesaian Transaksi Bursa oleh KPEI bukan merupakan penghasilan
sepanjang tidak dipergunakan untuk menambah kemampuan ekonomis perusahaan yang
bersangkutan.

(2) Penggunaan Dana Jaminan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk penyelesaian gagal bayar
bukan merupakan biaya atau kerugian bagi KPEI, dan bukan merupakan penghasilan bagi Pemodal
yang bersangkutan.

Pasal 4

Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Agustus 2002
DIREKTUR JENDERAL,

ttd

HADI POERNOMO

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=1330

www.ortax.org
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak :
SE - 33/PJ.4/1995 Edisi PPh Badan | Maret 2017 299

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
21 Juni 1995

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 33/PJ.4/1995

TENTANG

PERUSAHAAN KECIL DAN MENENGAH PASANGAN USAHA MODAL VENTURA DAN PERLAKUAN PERPAJAKAN
ATAS PENYERTAAN MODAL PERUSAHAAN MODAL VENTURA
(SERI PPh UMUM No. 14)

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan telah ditetapkannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 250/KMK.04/1995


tanggal 2 Juni 1995 tentang Perusahaan Kecil dan Menengah Pasangan Usaha dari Perusahaan Modal Ventura
dan Perlakuan Perpajakan atas Penyertaan Modal Perusahaan Modal Ventura, dengan ini diberikan penegasan
sebagai berikut :

1. Perusahaan kecil dan menengah pasangan usaha perusahaan modal ventura sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf j angka 1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 adalah perusahaan yang pada saat
perusahaan modal ventura melakukan penyertaan modalnya penjualan bersih pada tahun pajak
sebelumnya tidak melebihi Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) setahun. Dalam hal perusahaan
kecil dan menengah pasangan usaha perusahaan modal ventura tersebut melakukan usaha jasa,
maka yang dimaksud dengan penjualan bersih adalah penerimaan bruto.

2. Penghasilan berupa bagian laba yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura dari
penyertaan modal pada perusahaan pasangan usaha sebagaimana dimaksud pada butir 1, bukan
merupakan Objek Pajak Penghasilan apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. penyertaan modal perusahaan modal ventura pada setiap perusahaan pasangan usaha
dilaksanakan selama perusahaan pasangan usaha belum menjual saham di bursa efek; dan
b. penyertaan modal perusahaan modal ventura tersebut untuk jangka waktu tidak melebihi
10 (sepuluh) tahun.

3. Apabila perusahaan pasangan usaha menjual sahamnya di bursa efek, saham perusahaan pasangan
usaha yang dimiliki perusahaan modal ventura harus dijual selambat-lambatnya 36 (tiga puluh enam)
bulan sejak perusahaan pasangan usaha tersebut diizinkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal
menjual sahamnya di bursa efek. Izin Badan Pengawas Pasar Modal dimaksud adalah saat pernyataan
pendaftaran dalam rangka penawaran umum perdana ("initial public offering") telah menjadi efektif.

4. Setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud pada butir 2 huruf b atau butir 3, penghasilan
berupa bagian laba yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura dari penyertaan modal
pada perusahaan pasangan usaha sebagaimana dimaksud pada butir 1, merupakan Objek Pajak
Penghasilan. Namun apabila bagian laba tersebut memenuhi ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf f
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang .
Nomor 10 Tahun 1994, maka bagian laba tersebut tidak termasuk sebagai Objek Pajak Penghasilan.

5. Perusahaan modal ventura wajib membukukan secara terpisah penghasilan yang bukan merupakan
Objek Pajak Penghasilan, dan penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak Penghasilan.

Demikian untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd

FUAD BAWAZIER

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=2602

www.ortax.org
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak:
300 Edisi PPh Badan | Maret 2017 SE - 05/PJ.4/1995

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
8 Februari 1995

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 05/PJ.4/1995

TENTANG

BADAN-BADAN DAN PENGUSAHA KECIL YANG MENERIMA HARTA HIBAHAN YANG TIDAK TERMASUK SEBAGAI
OBJEK PAJAK PENGHASILAN (SERI PPh UMUM NO. 1)

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan telah diterbitkannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 604/KMK.04/1994 tanggal 21
Desember 1994 tentang Badan-badan dan Pengusaha Kecil yang menerima Harta Hibahan yang tidak
termasuk sebagai objek Pajak Penghasilan (rekaman terlampir), dengan ini diberikan beberapa penegasan
sebagai berikut :

1. Sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat (4) huruf a Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, badan maupun
yayasan dan pengusaha kecil termasuk koperasi sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri
Keuangan tersebut yang menerima harta hibahan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud
Pasal 4 ayat (3) huruf a.2) wajib membukukan harta hibahan yang diterimanya berdasarkan nilai
buku pihak pemberi hibah atau nilai lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;

2. Dalam hubungan ini hendaknya diperhatikan persyaratan pokok menyangkut hibah yang memenuhi
syarat sebagai bukan objek pajak, yaitu bahwa antara pemberi hibah dengan penerima hibah tidak
ada hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan;

3. Apabila penerima hibah adalah badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial, atau yayasan,
selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada butir 2, harus pula memenuhi syarat
bahwa kegiatan dari badan atau yayasan tersebut dalam kenyataannya tidak mencari keuntungan.

4. Apabila penerima hibah adalah pengusaha kecil atau koperasi, selain harus memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud pada butir 2, harus pula memenuhi syarat bahwa nilai aktiva, tidak termasuk
tanah dan bangunan, dari penerima hibah tersebut pada saat akan menerima hibah, tidak lebih dari
Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Yang dimaksud dengan nilai aktiva adalah nilai
kekayaan perusahaan atau koperasi tersebut sebelum dikurangi dengan utang.

Demikian untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya.

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

FUAD BAWAZIER

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=2586

www.ortax.org
BIAYA
Amortisasi
302 Edisi PPh Badan | Maret 2017

No Nomor Dokumen Tanggal Ditetapkan Perihal


1. 248/PMK.03/2008 31 Desember 2008 Amortisasi Atas Pengeluaran Untuk Memperoleh Harta Tak Berwujud
Dan Pengeluaran Lainnya Untuk Bidang Usaha Tertentu
2. KEP - 316/PJ./2002 17 Juni 2002 Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Pengeluaran/Biaya Perolehan
Perangkat Lunak (Software) Komputer
3. SE - 01/PJ.42/2002 18 Februari 2002 Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Pengeluaran Untuk Bea Perolehan
Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) Dan Pajak Bumi Dan Bangunan
(PBB) Sebagai Biaya/Pengurang Penghasilan Bruto

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
248/PMK.03/2008 Edisi PPh Badan | Maret 2017
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
303
NOMOR 248/PMK.03/2008

TENTANG REPUBLIK INDONESIA


PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 248/PMK.03/2008
AMORTISASI ATAS PENGELUARAN UNTUK MEMPEROLEH
HARTA TAK BERWUJUD DAN PENGELUARAN LAINNYA
TENTANG
UNTUK BIDANG USAHA TERTENTU
AMORTISASI ATAS PENGELUARAN UNTUK MEMPEROLEH
MENTERI
HARTA KEUANGAN
TAK BERWUJUD DANREPUBLIK INDONESIA,
PENGELUARAN LAINNYA
UNTUK BIDANG USAHA TERTENTU
Menimbang :
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 11A ayat (1a) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak
Menimbang : Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Amortisasi atas Pengeluaran untuk
Memperoleh
bahwa dalamHarta Tak
rangka Berwujud danketentuan
melaksanakan Pengeluaran Lainnya
Pasal untuk
11A ayat Bidang
(1a) Usaha Tertentu;
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Mengingat :
Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Amortisasi atas Pengeluaran untuk
Memperoleh Harta Tak Berwujud dan Pengeluaran Lainnya untuk Bidang Usaha Tertentu;
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun
Mengingat : 1983 Nomor 50; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
1. Republik Indonesia
Undang-Undang Tahun
Nomor 2008 Nomor
7 Tahun 133, Tambahan
1983 tentang Lembaran(Lembaran
Pajak Penghasilan Negara Republik
NegaraIndonesia
Republik Nomor
Indonesia
4893)
Tahun 1983 Nomor 50; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
2. Keputusan Presiden
telah beberapa Nomor terakhir
kali diubah 20/P Tahun 2005;
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893)
2. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun MEMUTUSKAN
2005; :

Menetapkan :
MEMUTUSKAN :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG AMORTISASI ATAS PENGELUARAN UNTUK MEMPEROLEH HARTA
TAK BERWUJUD
Menetapkan : DAN PENGELUARAN LAINNYA UNTUK BIDANG USAHA TERTENTU.

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG AMORTISASI ATAS PENGELUARAN UNTUK MEMPEROLEH HARTA
Pasal
TAK BERWUJUD DAN PENGELUARAN LAINNYA UNTUK 1
BIDANG USAHA TERTENTU.
(1) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya untuk
bidang usaha tertentu dimulai pada bulan dilakukannya
Pasal 1 pengeluaran atau pada bulan produksi
komersial.
(2)
(1) Bulan produksi
Amortisasi atas komersial sebagaimana
pengeluaran dimaksudharta
untuk memperoleh padatak
ayat (1) adalah
berwujud danbulan dimana penjualan
pengeluaran mulai
lainnya untuk
dilakukan.
bidang usaha tertentu dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran atau pada bulan produksi
komersial.
(2) Bulan produksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah bulan dimana penjualan mulai
dilakukan. Pasal 2

Bidang usaha tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) meliputi :
a. bidang usaha kehutanan, yaitu bidang usaha hutan,
Pasal 2 kawasan hutan, dan hasil hutan yang tanamannya
dapat berproduksi berkali-kali dan baru menghasilkan setelah ditanam lebih dari 1 (satu) tahun.
b. bidang
Bidang usaha usaha perkebunan
tertentu sebagaimanatanaman
dimaksud keras,
dalamyaitu bidang
Pasal usaha
1 ayat perkebunan
(1) meliputi : yang tanamannya dapat
a. berproduksi
bidang usahaberkali-kali
kehutanan, dan baru
yaitu menghasilkan
bidang setelah
usaha hutan, ditanam
kawasan lebihdan
hutan, darihasil
1 (satu)
hutantahun.
yang tanamannya
c. bidang usaha peternakan,
dapat berproduksi yaitu
berkali-kali bidang
dan baru usaha peternakan
menghasilkan dimana
setelah ternak
ditanam dapat
lebih dariberproduksi berkali-kali
1 (satu) tahun.
b. dan baru dapat dijual setelah dipelihara sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun.
bidang usaha perkebunan tanaman keras, yaitu bidang usaha perkebunan yang tanamannya dapat
berproduksi berkali-kali dan baru menghasilkan setelah ditanam lebih dari 1 (satu) tahun.
c. bidang usaha peternakan, yaitu bidang usaha peternakan dimana ternak dapat berproduksi berkali-kali
Pasal 3
dan baru dapat dijual setelah dipelihara sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun.
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Pasal 3
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 31 Desember 2008
MENTERI KEUANGAN,
Ditetapkan di Jakarta
ttd.
Pada tanggal 31 Desember 2008
MENTERI KEUANGAN,
SRI MULYANI INDRAWATI
ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI


Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13582

www.ortax.org
Keputusan Direktur Jenderal Pajak :
304 Edisi PPh Badan | Maret 2017 KEP - 316/PJ./2002

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR KEP - 316/PJ./2002

TENTANG

PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGELUARAN/BIAYA PEROLEHAN


PERANGKAT LUNAK (SOFTWARE) KOMPUTER

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa untuk memberikan kemudahan dan kepastian hukum dalam pembebanan atas pengeluaran/biaya
perolehan perangkat lunak (software) komputer, perlu menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang
Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Pengeluaran/Biaya Perolehan Perangkat Lunak (Software) Komputer;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan
Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 253, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4055);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGELUARAN/
BIAYA PEROLEHAN PERANGKAT LUNAK (SOFTWARE) KOMPUTER.

Pasal 1

Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan:


1. Perangkat lunak (software) komputer adalah semua program yang dapat digunakan pada sistem
operasi komputer.
2. Program aplikasi umum adalah program yang dapat dipergunakan oleh pengguna (users) umum untuk
memproses berbagai pekerjaan dengan komputer.
3. Program aplikasi khusus adalah program yang dirancang khusus untuk keperluan otomatisasi sistem
administrasi, pekerjaan atau kegiatan usaha tertentu, seperti dibidang perbankan, pasar modal,
perhotelan, rumah sakit atau penerbangan.

Pasal 2

(1) Perangkat lunak komputer kecuali dalam hal tersebut pada ayat (2), merupakan harta tak berwujud
(intangible asset) yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun dan termasuk dalam kelompok-
1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan.

(2) Perangkat lunak komputer berupa program aplikasi umum diperlakukan sebagai pengeluaran atau
biaya operasional rutin.

Pasal 3

(1) Atas pengeluaran/biaya perolehan dan upgrade perangkat lunak komputer berupa program aplikasi
umum yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang
dikenakan pajak berdasarkan ketentuan umum Undang-undang Pajak Penghasilan, pembebanannya
dilakukan sekaligus dalam bulan pengeluaran.

(2) Dalam hal program aplikasi umum tersebut pada ayat (1) diperoleh sebagai bagian dari harga
pembelian perangkat keras komputer, maka pembebanannya sudah termasuk dalam penyusutan
perangkat keras komputer tersebut (Kelompok-1);

(3) Atas pengeluaran/biaya perolehan dan upgrade perangkat lunak komputer berupa program aplikasi
khusus yang dimiliki dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan
yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan umum Undang-undang Pajak Penghasilan,
pembebanannya dilakukan melalui amortisasi harta tak berwujud (Kelompok-1).

(4) Dalam hal pengeluaran/biaya upgrade program aplikasi khusus tersebut pada ayat (3), pengeluaran/

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 305

biaya tersebut terlebih dahulu ditambahkan pada nilai sisa buku fiskal yang masih ada dan
amortisasinya dilakukan dengan masa manfaat baru/penuh terhitung mulai bulan dilakukan upgrade.

Pasal 4

Atas pengeluaran/biaya perolehan dan upgrade perangkat lunak komputer berupa program aplikasi khusus
yang diperoleh sebelum berlakunya Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini, sepanjang belum dibebankan atau
baru dibebankan sebagian melalui amortisasi, dapat diamortisasi mulai tahun pajak 2002 berdasarkan sisa
masa manfaat untuk Kelompok-1.

Pasal 5

Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tahun pajak 2002.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Juni 2002
DIREKTUR JENDERAL,

ttd

HADI POERNOMO

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=1311

www.ortax.org
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak :
306 Edisi PPh Badan | Maret 2017 SE - 01/PJ.42/2002

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
18 Februari 2002

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 01/PJ.42/2002

TENTANG

PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGELUARAN


UNTUK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB)
DAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB) SEBAGAI BIAYA/PENGURANG PENGHASILAN BRUTO

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan adanya pertanyaan mengenai perlakuan Pajak Penghasilan atas pengeluaran untuk Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), maka untuk
memberikan kepastian dalam pelaksanaan ketentuan Pajak Penghasilan, dengan ini perlu disampaikan hal-hal
sebagai berikut :

1. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah
Dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000, yang
dimaksud dengan:

Angka 1 :
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas
tanah dan atau bangunan.

Angka 3 :
Hak atas tanah adalah hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

2. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994, yang menjadi
subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau
memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas
bangunan.

3. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Undang-Undang
Pajak Penghasilan), besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk
usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi antara lain biaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk antara lain pajak kecuali Pajak
Penghasilan.

4. Berdasarkan Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan, pengeluaran untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak
dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11A.

5. Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, harga perolehan atau harga
penjualan dalam hal terjadi jual beli harta yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) adalah jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan atau diterima,
sedangkan apabila terdapat hubungan istimewa adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau
diterima.

6. Berdasarkan Pasal 11 Undang-undang Pajak Penghasilan antara lain diatur bahwa :

Ayat (1) :
Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan
harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak
pakai, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar
selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.

Ayat (2) :
Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selain bangunan,
dapat juga dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan
cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku
disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 307

7. Berdasarkan Pasal 11A ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, amortisasi atas pengeluaran untuk
memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna
bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun
yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, dilakukan dalam
bagian-bagian yang sama besar atau dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang
dihitung dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas pengeluaran tersebut atau atas nilai sisa buku
dan pada akhir masa manfaat diamortisasi sekaligus dengan syarat dilakukan secara taat asas.

8. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa :


a. BPHTB adalah pajak yang dibayar dalam rangka dan merupakan bagian dari biaya
pengeluaran untuk memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan;
b. PBB adalah pajak yang dibayar sehubungan dengan pemilikan hak atau perolehan manfaat
atas tanah dan atau pemilikan, penguasaan, atau perolehan manfaat atas bangunan, yang
merupakan biaya/pengeluaran rutin setiap tahun;
c. BPHTB atas hak atas tanah yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan, atau dimiliki
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, dapat dikurangkan sebagai biaya
dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak melalui amortisasi hak atas tanah sepanjang hak
atas tanah tersebut dapat diamortisasi sesuai ketentuan Pasal 11A Undang-undang Pajak
Penghasilan;
d. BPHTB atas hak atas bangunan yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan, atau
dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan
sebagai biaya dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak melalui penyusutan bangunan
tersebut sesuai ketentuan Pasal 11 Undang-undang Pajak Penghasilan;
e. PBB atas tanah dan bangunan yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan, atau dimiliki
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, dapat dikurangkan sekaligus
sebagai biaya dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak;
f. Penegasan dimaksud pada huruf-huruf c, d, dan e di atas, berlaku atas penghasilan yang tidak
berkaitan dengan penerimaan/perolehan penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan yang
bersifat final dan atau dikenakan berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto/Norma
Penghitungan Khusus.

Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

DIREKTUR JENDERAL,

ttd

HADI POERNOMO

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=1912

www.ortax.org
BIAYA
Bunga Pinjaman
Edisi PPh Badan | Maret 2017 309

No Nomor Dokumen Tanggal Ditetapkan Perihal


1. PP No. 94 Tahun 2010 30 Desember 2010 Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Dan Pelunasan Pajak Penghasilan
Dalam Tahun Berjalan
2. 169/PMK.010/2015 09 September 2015 Penentuan Besarnya Perbandingan antara Utang Dan Modal Perusahaan
Untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan
3. SE - 46/PJ.4/1995 05 Oktober 1995 Perlakuan Biaya Bunga Yang Dibayar Atau Terutang Dalam Hal Wajib
Pajak Menerima Atau Memperoleh Penghasilan Berupa Bunga Deposito
Atau Tabungan Lainnya (Seri PPh Umum No. 20)

www.ortax.org
Peraturan Pemerintah RI :
310 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PP No. 94 Tahun 2010

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 94 TAHUN 2010

TENTANG

PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN


PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa dengan dilakukannya perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan,
perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pelunasan
Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan;
B. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan
dalam Tahun Berjalan;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik lndonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN
PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:


1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang--Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
2. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
3. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

BAB II
OBJEK PAJAK

Pasal 2

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 311

Objek pajak berupa dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-Undang Pajak
Penghasilan tidak termasuk pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran yang berasal dari:
a. kapitalisasi agio saham kepada pemegang saham yang telah menyetor modal atau membeli saham
di atas harga nominal, sepanjang jumlah nilai nominal saham yang dimilikinya setelah pembagian
saham bonus tidak melebihi jumlah setoran modal; dan
b. kapitalisasi selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)
Undang--Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 3

Dalam hal terjadi pengalihan harta perusahaan kepada pegawainya, maka keuntungan berupa selisih antara
harga pasar harta tersebut dengan nilai sisa buku merupakan penghasilan bagi perusahaan.

Pasal 4

(1) Agio saham yang timbul dari selisih lebih antara nilai pasar saham dan nilai nominal saham, tidak
termasuk objek pajak.
(2) Disagio saham yang timbul dari selisih lebih antara nilai nominal saham dan nilai pasar saham, bukan
merupakan pengurang dari penghasilan bruto.

Pasal 5

(1) Bagian laba yang diterima atau diperoleh oleh pemegang unit penyertaan Kontrak Investasi Kolektif
termasuk keuntungan atas pelunasan kembali unit penyertaannya, tidak termasuk sebagai objek pajak.
(2) Ketentuan terhadap bagian laba termasuk keuntungan atas pelunasan kembali unit penyertaannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi pemegang unit penyertaan yang merupakan
Subjek Pajak luar negeri.

Pasal 6

Pembagian laba secara langsung dan/atau tidak langsung yang berasal dari saldo laba termasuk saldo laba
berdasarkan proyeksi laba tahun berjalan merupakan objek pajak, kecuali bagian laba sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 7

(1) Surplus Bank Indonesia yang merupakan objek Pajak Penghasilan adalah surplus Bank Indonesia
menurut laporan keuangan audit setelah dilakukan penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan
Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan memperhatikan karakteristik Bank Indonesia.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan atas surplus Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 8

(1) Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3)
huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu
dengan yang lain secara langsung atau tidak langsung berkenaan dengan:
a. usaha;
b. pekerjaan; atau
c. kepemilikan atau penguasaan.
(2) Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima, dapat terjadi apabila
terdapat transaksi yang bersifat rutin antara kedua belah pihak.
(3) Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan pekerjaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima terjadi
apabila terdapat hubungan yang berupa pekerjaan, pemberian jasa, atau pelaksanaan kegiatan secara
langsung atau tidak langsung antara kedua pihak tersebut.
(4) Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan kepemilikan atau penguasaan
antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima sebagaimana dimaksud pada ayat (I) huruf c
terjadi apabila terdapat:
a. penyertaan modal secara langsung atau tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18

www.ortax.org
312 Edisi PPh Badan | Maret 2017

ayat (4) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan; atau


b. hubungan penguasaan secara langsung atau tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (4) huruf b Undang-Undang Pajak Penghasilan.

BAB III
PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK

Pasal 9

(1) Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing diakui sebagai penghasilan atau biaya
berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar
Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
(2) Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
berkaitan langsung dengan usaha Wajib Pajak yang:
a. dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
b. tidak termasuk objek pajak,
tidak diakui sebagai penghasilan atau biaya.
(3) Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
tidak berkaitan langsung dengan usaha Wajib Pajak yang:
a. dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
b. tidak termasuk objek pajak,
diakui sebagai penghasilan atau biaya sepanjang biaya tersebut dipergunakan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan.

Pasal 10

(1) Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8)
Undang--Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sepanjang dapat dibuktikan Pajak Masukan tersebut:
a. benar-benar telah dibayar; dan
b. berkenaan dengan pengeluaran yang berhubungan dengan kegiatan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan.
(2) Pajak Masukan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sehubungan dengan pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud
serta biaya lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 dan Pasal 11A Undang-Undang Pajak Penghasilan, harus dikapitalisasi dengan
pengeluaran atau biaya tersebut dan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi.

Pasal 11

(1) Biaya pengembangan tanaman industri yang berumur lebih dari 1 (satu) tahun dan hanya 1 (satu) kali
memberikan hasil, dikapitalisasi selama periode pengembangan dan merupakan bagian dari harga
pokok penjualan pada saat hasil tanaman industri dijual.
(2) Biaya pemeliharaan ternak yang berumur lebih dari 1 (satu) tahun dan hanya 1 (satu) kali memberikan
hasil, dikapitalisasi selama periode pemeliharaan dan merupakan bagian dari harga pokok penjualan
pada saat ternak dijual.

Pasal 12

(1) Pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk perseroan
terbatas diperkenankan apabila:
a. pinjaman tersebut berasal dari dana milik pemegang saham itu sendiri dan bukan berasal dari
pihak lain;
b. modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjaman telah disetor
seluruhnya;
c. pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan merugi; dan
d. perseroan terbatas penerima pinjaman sedang mengalami kesulitan keuangan untuk
kelangsungan usahanya.
(2) Apabila pinjaman yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk perseroan terbatas dari pemegang
sahamnya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas pinjaman tersebut
terutang bunga dengan tingkat suku bunga wajar.

Pasal 13

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 313

Pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi
Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, termasuk:
a. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang:
1) bukan merupakan objek pajak;
2) pengenaan pajaknya bersifat final; dan/atau
3) dikenakan pajak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Norma Penghitungan Khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
b. Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan.

BAB IV
PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN
OLEH WAJIB PAJAK SENDIRI

Pasal 14

Orang pribadi dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP) sehubungan dengan pekerjaan dari badan-badan yang tidak wajib melakukan pemotongan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, wajib:
a. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
b. melaksanakan sendiri penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun
berjalan; dan
c. melaporkan penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun berjalan
dalam Surat Pemberitahuan Tahunan.

BAB V
PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN
MELALUI PIHAK LAIN

Pasal 15

(1) Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1)
Undang-Undang Pajak Penghasilan dilakukan pada akhir bulan:
a. terjadinya pembayaran; atau
b. terutangnya penghasilan yang bersangkutan,
tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
(2) Pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1)
Undang-Undang Pajak Penghasilan, dilakukan pada saat:
a. pembayaran; atau
b. tertentu lainnya yang diatur oleh Menteri Keuangan.
(3) Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3)
Undang--Undang Pajak Penghasilan, dilakukan pada akhir bulan:
a. dibayarkannya penghasilan;
b. disediakan untuk dibayarkannya penghasilan; atau
c. jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan,
tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
(4) Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)
Undang-Undang Pajak Penghasilan, dilakukan pada akhir bulan:
a. dibayarkannya penghasilan;
b. disediakan untuk dibayarkannya penghasilan; atau
c. jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan,
tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.

Pasal 16

Dalam hal pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang--Undang Pajak Penghasilan atau Pasal 26
Undang-Undang Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilakukan
pada tahun pajak yang berbeda dengan tahun pajak pengakuan penghasilan, maka atas Pajak Penghasilan yang
telah dipotong tersebut dapat dikreditkan pada tahun pajak dilakukan pemotongan.

Pasal 17

Dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak, dapat ditetapkan saat pengakuan penghasilan dan biaya dalam

www.ortax.org
314 Edisi PPh Badan | Maret 2017

hal-hal tertentu sesuai dengan kebijakan Pemerintah.

Pasal 18

(1) Pajak Penghasilan atas pembayaran royalti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a
angka 3 Undang-Undang Pajak Penghasilan yang dilakukan dengan cara bagi hasil dipotong oleh pihak
yang wajib membayarkan.
(2) Ketentuan mengenai dasar pemotongan Pajak Penghasilan atas pembayaran royalti sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 19

Dalam hal penghasilan tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan Peraturan Pemerintah
tersendiri, atas penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 20

Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut berdasarkan tarif pemotongan atau pemungutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5a), Pasal 22 ayat (3), dan Pasal 23 ayat (1a) Undang-Undang Pajak
Penghasilan, dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan
setelah Wajib Pajak tersebut memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.

Pasal 21

(1) Wajib Pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang Pajak
Penghasilan karena:
a. mengalami kerugian fiskal;
b. berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal; atau
c. Pajak Penghasilan yang telah dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan terutang,
dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan
oleh pihak lain kepada Direktur Jenderal Pajak.
(2) Wajib Pajak yang atas penghasilannya hanya dikenakan pajak bersifat final, dapat mengajukan
permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang dapat
dikreditkan kepada Direktur Jenderal Pajak.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/
atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 22

Dalam menghitung Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Pajak
Penghasilan, terhadap bentuk usaha tetap yang terutang Pajak Penghasilan pada suatu tahun pajak, kerugian
fiskal tidak dapat dikompensasikan lagi dengan Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi dengan Pajak
Penghasilan.

Pasal 23

(1) Pajak Penghasilan yang terutang dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu
bentuk usaha tetap di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Pajak
Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak bentuk usaha tetap memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pajak Penghasilan
yang terutang berdasarkan penghitungan sementara harus dibayar lunas sebelum penyampaian
pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan.

BAB VI
PENERAPAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
MENGENAI PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
DAN PERTUKARAN INFORMASI

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 315

Pasal 24

(1) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda hanya berlaku bagi orang pribadi atau badan yang
merupakan Subjek Pajak:
a. dalam negeri dari Indonesia; dan/atau
b. dari negara mitra persetujuan penghindaran pajak berganda,
yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Domisili.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 25

(1) Direktur Jenderal Pajak dapat melaksanakan kesepakatan dengan negara mitra dalam rangka
pertukaran informasi, prosedur persetujuan bersama, dan bantuan penagihan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian pertukaran informasi, pelaksanaan prosedur persetujuan
bersama, dan pelaksanaan bantuan penagihan diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 26

(1) Dalam hal terdapat ketentuan perpajakan yang diatur dalam perjanjian internasional yang berbeda
dengan ketentuan perpajakan yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, perlakuan
perpajakannya didasarkan pada ketentuan dalam perjanjian tersebut sampai dengan berakhirnya
perjanjian dimaksud, dengan syarat perjanjian tersebut telah sesuai dengan Undang-Undang tentang
Perjanjian Internasional.
(2) Pelaksanaan perlakuan perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat
persetujuan Menteri Keuangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan perlakuan perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

BAB VII
PEMBUKUAN TERPISAH DAN PERUBAHAN TAHUN BUKU

Pasal 27

(1) Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan secara terpisah dalam hal:
a. memiliki usaha yang penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan tidak
final;
b. menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek pajak dan bukan objek pajak; atau
c. mendapatkan dan tidak mendapatkan fasilitas perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 31A
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(2) Biaya bersama bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak dapat dipisahkan
dalam rangka penghitungan besarnya Penghasilan Kena Pajak, pembebanannya dialokasikan secara
proporsional.

Pasal 28

(1) Wajib Pajak yang melakukan perubahan tahun buku dan telah mendapat persetujuan dari Direktur
Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (6) Undang--Undang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, harus melaporkan penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun
buku yang tidak termasuk dalam tahun buku yang baru dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tersendiri untuk Bagian Tahun Pajak yang bersangkutan.
(2) Sisa rugi fiskal yang masih dapat dikompensasikan yang berasal dari tahun-tahun pajak sebelum
perubahan tahun buku dapat dikompensasikan dengan penghasilan untuk Bagian Tahun Pajak dan
Tahun Pajak berikutnya.

BAB VIII
FASILITAS PEMBEBASAN ATAU PENGURANGAN
PAJAK PENGHASILAN BADAN DALAM RANGKA PENANAMAN MODAL

Pasal 29

(1) Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal baru yang merupakan industri pionir, yang

www.ortax.org
316 Edisi PPh Badan | Maret 2017

tidak mendapatkan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan
dapat diberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
(2) Industri pionir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah industri yang memiliki keterkaitan yang
luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta
memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.

Pasal 30

Ketentuan mengenai pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 31

Penghitungan pajak bagi Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir sebelum tanggal 1 Juli 2009 dilakukan
berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

Pasal 32

Penghitungan pajak dalam tahun berjalan sampai dengan Desember 2008, untuk tahun pajak 2009, bagi Wajib
Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni 2009, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

Pasal 33

Fasilitas perpajakan dengan jangka waktu yang terbatas yang diperoleh Wajib Pajak sebelum tanggal
1 Januari 2009 tetap berlaku sampai dengan berakhirnya jangka waktu fasilitas perpajakan tersebut.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 34

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 tentang
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 253, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4055), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 35

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 317

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

PATRIALIS AKBAR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 161

PENJELASAN
ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 94 TAHUN 2010

TENTANG

PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN


PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN

I. UMUM

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat


Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan terdapat perubahan materi yang
terkait dengan penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun
berjalan. Oleh karena itu perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan penghitungan Penghasilan
Kena Pajak dan pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan.

Peraturan Pemerintah ini, sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 tentang
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan,
mengatur ketentuan--ketentuan yang berkenaan dengan Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan
Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan

Dalam Peraturan Pemerintah ini, diatur juga ketentuan peralihan dalam rangka pelaksanaan
Undang-Undang Pajak Penghasilan yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Pemberian saham bonus kepada pemegang saham yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk
dalam pengertian pembagian laba atau dividen. Demikian pula dengan pemberian saham bonus
yang berasal dari kapitalisasi agio saham. Agio saham berasal dari setoran modal pemegang
saham di atas nilai nominal saham yang diperolehnya.

Oleh karena itu apabila saham bonus dimaksud diberikan kepada pemegang saham yang
menjadikan jumlah nilai nominal seluruh saham termasuk saham bonus yang diperolehnya
lebih besar dari jumlah setoran modalnya, pemberian saham bonus yang berasal dari
kapitalisasi agio saham tersebut termasuk dalam pengertian pembagian laba atau dividen.
Namun demikian apabila saham bonus dimaksud diberikan kepada pemegang saham sehingga
pemberian tersebut tidak menjadikan jumlah nilai seluruh saham (termasuk saham bonus)
yang diperoleh atau dimilikinya lebih besar dari jumlah setoran modalnya, pemberian saham

www.ortax.org
318 Edisi PPh Badan | Maret 2017

bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham tersebut tidak termasuk dalam pengertian
pembagian laba atau dividen.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Ayat (1)

Contoh:

PT A (belum Go Public) yang mempunyai modal dasar sebesar Rp4.500.000.000,00


(terdiri dari 4.500.000 lembar saham) dan telah disetor penuh melakukan ekspansi
yang sumber pendanaannya diperoleh dengan jalan meningkatkan modal saham
dengan menjual saham baru sejumlah 500.000 lembar (nilai nominal Rp 1000,00/
lembar) dengan nilai jual Rp 750.000.000,00 (500.000 lembar saham x Rp1.500,00)
sehingga terdapat selisih di atas nilai nominal sebesar Rp 250.000.000,00 (500.000
lembar saham x Rp500,00) yang dibukukan sebagai agio saham oleh PT A.

Atas agio saham tersebut bukan merupakan objek Pajak Penghasilan bagi PT A.

Ayat (2)

Contoh:

Seperti pada ayat (1), namun nilai penjualan 500.000 lembar saham baru tersebut
sebesar Rp400.000.000,00. Atas selisih lebih antara nilai nominal dan nilai pasar saham
sebesar Rp 100.000.000,00 (500.000 lembar saham x (-Rp200,00)) tersebut dibukukan
sebagai disagio saham oleh PT A.

Atas disagio saham tersebut bukan merupakan pengurang dari penghasilan bagi PT A.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7

Ayat (1)

Karakteristik Bank Indonesia terkait surplus Bank Indonesia antara lain selisih kurs,
penyisihan aktiva, dan penyusutan aktiva tetap.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 8

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "pihak-pihak yang bersangkutan" adalah Wajib Pajak pemberi
dan Wajib Pajak penerima bantuan atau, sumbangan, termasuk zakat atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, dan
atau harta hibahan.

Ayat (2)

Transaksi yang bersifat rutin antara kedua belah pihak adalah berupa pembelian,
penjualan, atau pemberian imbalan lain dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Ayat (3)

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 319

Contoh hubungan berkenaan dengan pekerjaan:

1. Tuan B merupakan direktur PT X dan Tuan C merupakan pegawai PT X. Dalam


hal ini, antara PT X dengan Tuan B dan/atau Tuan C terdapat hubungan
pekerjaan langsung. Jika Tuan B dan/atau Tuan C menerima bantuan atau
sumbangan dari PT X atau sebaliknya, maka bantuan atau sumbangan
tersebut merupakan objek Pajak Penghasilan bagi yang menerima karena
antara PT X dengan Tuan B dan/atau Tuan C mempunyai hubungan pekerjaan
langsung.
2. Tuan A bekerja sebagai petugas dinas luar asuransi dari perusahaan asuransi
PT X. Meskipun Tuan A tidak berstatus sebagai pegawai PT X, namun antara
PT X dan Tuan A dianggap mempunyai hubungan pekerjaan tidak langsung.
Jika Tuan A menerima bantuan atau sumbangan dari PT X atau sebaliknya,
maka bantuan atau sumbangan tersebut merupakan objek Pajak Penghasilan
bagi pihak yang menerima karena antara PT X dan Tuan A mempunyai
hubungan pekerjaan tidak langsung.

Ayat (4)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Contoh:

1. Penguasaan manajemen secara langsung:

Tuan A dan Tuan B, adalah direktur PT X, sedangkan Tuan C adalah


komisaris X. Selain itu, Tuan C juga menjadi direktur di PT Y, dan
Tuan B sebagai komisaris di PT Y.

Tuan B Junior adalah direktur PT AA, sedangkan Tuan E sebagai


komisaris PT AA. Tuan B Junior adalah anak dari Tuan B yang menjadi
direktur PT X dan komisaris PT Y.

Dalam contoh di atas, antara PT X dan PT Y mempunyai hubungan


penguasaan manajemen secara langsung, karena Tuan B selain
bekerja sebagai direktur di PT X juga bekerja sebagai komisaris
PT Y. Di samping itu, Tuan C selain bekerja sebagai komisaris di PT X
juga bekerja sebagai direktur di PT Y. Jika PT X menerima bantuan
atau sumbangan dari PT Y (atau sebaliknya) maka bantuan atau
sumbangan tersebut merupakan objek pajak bagi pihak yang
menerima.

Demikian pula antara PT Y dan PT AA mempunyai hubungan


penguasaan manajemen secara langsung, karena terdapat hubungan
keluarga antara Tuan B (ayah) yang bekerja sebagai komisaris
di PT Y dengan Tuan B Junior (anak) yang bekerja sebagai direktur
di PT AA.

Jika PT AA menerima bantuan atau sumbangan dari PT Y (atau


sebaliknya) maka bantuan atau sumbangan tersebut merupakan objek
pajak bagi pihak yang menerima.

Jika Tuan B.Jr (anak) menerima bantuan atau sumbangan atau harta
hibahan dari Tuan B (ayah) maka bantuan atau sumbangan atau harta
hibahan tersebut dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a Undang-Undang
Pajak Penghasilan, karena yang mempunyai hubungan penguasaan
manajemen adalah antara PT Y dengan PT AA, bukan antara Tuan B
(ayah) dan Tuan B Junior (anak).

Dengan demikian, hubungan penguasaan manajemen hanya terjadi


antara entitas yang pengurusnya sama atau memiliki hubungan
keluarga. Sedangkan antara pengurus dalam entitas tersebut tidak

www.ortax.org
320 Edisi PPh Badan | Maret 2017

memilki hubungan penguasaan.

2. Penguasaan manajemen secara tidak langsung:

Tuan O adalah direktur PT AB, dan Tuan P sebagai komisaris PT AB.


Tuan O dan Tuan P nyata-nyata mempunyai wewenang dalam
menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam
rangka menjalankan kegiatan PT X, misalnya berwenang
menandatangani kontrak dengan pihak ketiga, menandatangani cek,
dan sebagainya walaupun Tuan O dan/atau Tuan tidak tercantum
namanya dalam susunan pengurus yang tertera dalam akte pendirian
maupun akte perubahan PT X.

Dalam contoh di atas, antara PT AB dan PT X mempunyai hubungan


penguasaan manajemen secara tidak langsung. Jika PT X menerima
bantuan atau sumbangan dari PT AB atau sebaliknya maka bantuan
atau sumbangan tersebut merupakan objek pajak bagi pihak yang
menerima.

Pasal 9

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Contoh:

PT A bergerak di bidang penyewaan apartemen. Sesuai dengan kontrak, sewa


apartemen tiap bulan adalah sebesar US$1,000 dan diterbitkan invoice setiap tanggal 1.

Pada tanggal 1 September 2010 PT A menerbitkan invoice sebesar US$ 1,000 kepada
penyewa. Pada tanggal tersebut, kurs yang berlaku adalah Rp9.000,00 per 1 US$.
Pada tanggal 1 September 2010 tersebut PT A mengakui penghasilan atas sewa
apartemen sebesar Rp9.000.000,00 (US$ 1,000 x Rp9.000,00).

Pada tanggal 15 September 2010 penyewa membayar sewa apartemen. Pada tanggal
tersebut, kurs yang berlaku adalah Rp8.700,00 per 1 US$, sehingga nilai sewa yang
dibayar adalah sebesar Rp8.700.000,00 (US$ 1,000 x Rp8.700,00).

Atas perbedaan waktu antara tanggal penerbitan invoice dan tanggal pembayaran
timbul kerugian selisih kurs bagi PT A sebesar
Rp300.000,00 ((Rp9.000,00 - Rp8.700,00) x US$ 1,000)).

Atas kerugian selisih kurs tersebut tidak diakui sebagai biaya bagi PT A karena berasal
dari penyewaan apartemen yang telah dikenai Pajak Penghasilan bersifat final.

Ayat (3)

Contoh:

PT A yang bergerak di bidang penyewaan apartemen, pada bulan September 2010


mendapatkan pinjaman sebesar US$ 10,000,000 yang digunakan masing-masing
sebesar US$ 9,000,000 untuk membangun apartemen, dan sebesar US$ 1,000,000
untuk membeli alat transportasi yang akan dipergunakan untuk usaha jasa angkutan.

Atas keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing yang berasal dari
pinjaman sebesar US$ 1,000,000 tersebut dapat diakui sebagai penghasilan atau biaya
karena:
a. tidak berkaitan langsung dengan usaha PT A di bidang penyewaan apartemen
yang atas penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final; dan
b. merupakan pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan lainnya berupa usaha jasa angkutan yang atas penghasilannya
dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 10

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 321

Cukup jelas.

Pasal 11

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "biaya pengembangan" adalah seluruh pengeluaran yang


terkait dengan tanaman industri termasuk pembelian bibit, pemeliharaan, dan
pembesaran tanaman sampai dijual.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "biaya pemeliharaan" adalah seluruh pengeluaran yang terkait
dengan ternak termasuk pembelian bibit, pemeliharaan, dan pembesaran ternak
sampai dijual.

Pasal 12

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "tingkat suku bunga wajar" adalah tingkat suku bunga yang
berlaku yang ditetapkan sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman
(best practice) jika transaksi dilakukan di antara pihak yang tidak mempunyai
hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang
Pajak Penghasilan.

Pasal 13

Huruf a

Biaya yang berkenaan dengan penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri, baik
penghasilan yang dikenakan pemotongan, pemungutan, atau pembayaran Pajak
Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) maupun
penghasilan yang dikenai pajak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Norma
Penghitungan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-Undang Pajak
Penghasilan, telah diperhitungkan dalam tarif pajak ataupun norma penghitungan yang
berlaku untuk penghasilan tersebut. Oleh karena itu, biaya-biaya tersebut tidak boleh
lagi dikurangkan dari penghasilan bruto lainnya yang pengenaan pajaknya dilakukan
berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak
Penghasilan.

Huruf b

Cukup jelas.

Pasal 14

Kantor perwakilan negara asing dan organisasi internasional tertentu sebagai bukan Subjek
Pajak tidak berkewajiban melakukan pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan. Oleh karena itu, orang pribadi
dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan, berupa gaji dan imbalan lain
sehubungan dengan pekerjaan pada badan-badan tersebut, yang jumlahnya melebihi batas
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berkewajiban menghitung, membayar, dan melaporkan
sendiri Pajak Penghasilan yang terutang.

Pasal 15

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

www.ortax.org
322 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Cukup jelas.

Ayat (3)

Saat terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan


Pasal 11

Pasal 12

Pasal 13

Pasal 14
Cukup jelas.

Ayat (1)

Ayat (2)

Ayat (1)

Ayat (2)

Huruf a

Huruf b
Yang dimaksud dengan "biaya pengembangan" adalah seluruh pengeluaran yang
terkait dengan tanaman industri termasuk pembelian bibit, pemeliharaan, dan
pembesaran tanaman sampai dijual.

Yang dimaksud dengan "biaya pemeliharaan" adalah seluruh pengeluaran yang terkait
dengan ternak termasuk pembelian bibit, pemeliharaan, dan pembesaran ternak
sampai dijual.

Cukup jelas.

Yang dimaksud dengan "tingkat suku bunga wajar" adalah tingkat suku bunga yang
berlaku yang ditetapkan sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman
(best practice) jika transaksi dilakukan di antara pihak yang tidak mempunyai
hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang
Pajak Penghasilan.

Biaya yang berkenaan dengan penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri, baik
penghasilan yang dikenakan pemotongan, pemungutan, atau pembayaran Pajak
Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) maupun
penghasilan yang dikenai pajak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Norma
Penghitungan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-Undang Pajak
Penghasilan, telah diperhitungkan dalam tarif pajak ataupun norma penghitungan yang
berlaku untuk penghasilan tersebut. Oleh karena itu, biaya-biaya tersebut tidak boleh
lagi dikurangkan dari penghasilan bruto lainnya yang pengenaan pajaknya dilakukan
berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak
Penghasilan.

Cukup jelas.

Kantor perwakilan negara asing dan organisasi internasional tertentu sebagai bukan Subjek
Pajak tidak berkewajiban melakukan pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud

adalah pada saat pembayaran, saat disediakan untuk dibayarkan (seperti: dividen)
dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan. Oleh karena itu, orang pribadi
dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan, berupa gaji dan imbalan lain
sehubungan dengan pekerjaan pada badan-badan tersebut, yang jumlahnya melebihi batas
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berkewajiban menghitung, membayar, dan melaporkan
sendiri Pajak Penghasilan yang terutang.

Pasal 15

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

dan jatuh tempo (seperti: bunga dan sewa), saat yang ditentukan dalam kontrak atau
perjanjian atau faktur (seperti: royalti, imbalan jasa teknik atau jasa manajemen atau
jasa lainnya).

Yang dimaksud dengan "saat disediakan untuk dibayarkan":


a. untuk perusahaan yang tidak go public, adalah saat dibukukan sebagai utang
dividen yang akan dibayarkan, yaitu pada saat pembagian dividen diumumkan
atau ditentukan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan.
Demikian pula apabila perusahaan yang bersangkutan dalam tahun berjalan
membagikan dividen sementara (dividen interim), maka Pajak Penghasilan
Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan terutang pada saat diumumkan
atau ditentukan dalam Rapat Direksi atau pemegang saham sesuai dengan
Anggaran Dasar perseroan yang bersangkutan.
b. untuk perusahaan yang go public, adalah pada tanggal penentuan kepemilikan
pemegang saham yang berhak atas dividen (recording date). Dengan
perkataan lain pemotongan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana
diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan baru dapat dilakukan
setelah para pemegang saham yang berhak "menerima atau memperoleh"
dividen tersebut diketahui, meskipun dividen tersebut belum diterima secara
tunai.

Yang dimaksud dengan "saat jatuh tempo pembayaran" adalah saat kewajiban untuk
melakukan pembayaran yang didasarkan atas kesepakatan, baik yang tertulis maupun
tidak tertulis dalam kontrak atau perjanjian atau faktur.

Ayat (4)

Saat terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah


pada saat pembayaran, saat disediakan untuk dibayarkan (seperti: dividen) dan jatuh
tempo (seperti: bunga dan sewa), saat yang ditentukan dalam kontrak atau perjanjian
atau faktur (seperti: royalti, imbalan jasa teknik atau jasa manajemen atau jasa
lainnya).

Yang dimaksud dengan "saat disediakan untuk dibayarkan":


a. untuk perusahaan yang tidak go public, adalah saat dibukukan sebagai utang
dividen yang akan dibayarkan, yaitu pada saat pembagian dividen diumumkan
atau ditentukan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan.
Demikian pula apabila perusahaan yang bersangkutan dalam tahun berjalan
membagikan dividen sementara (dividen interim), maka Pajak Penghasilan
Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan terutang pada saat diumumkan
atau ditentukan dalam Rapat Direksi atau pemegang saham sesuai dengan
Anggaran Dasar perseroan yang bersangkutan
b. untuk perusahaan yang go public, adalah pada tanggal penentuan kepemilikan
pemegang saham yang berhak atas dividen (recording date). Dengan
perkataan lain pemotongan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana
diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan baru dapat dilakukan
setelah para pemegang saham yang berhak "menerima atau memperoleh"
dividen tersebut diketahui, meskipun dividen tersebut belum diterima secara
tunai.

Yang dimaksud dengan "saat jatuh tempo pembayaran" adalah saat kewajiban untuk
melakukan pembayaran yang didasarkan atas kesepakatan, baik yang tertulis maupun
tidak tertulis dalam kontrak atau perjanjian atau faktur.

Pasal 16

Contoh:

Pada bulan Oktober 2009 PT A memberikan pinjaman kepada PT B sebesar


Rp1.000.000.000,00 dengan tingkat bunga sebesar 10% (sepuluh persen) per tahun. Jatuh
tempo pembayaran bunga setiap tanggal 1 April dan 1 Oktober.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 323

Pada 1 April 2010, PT B membayar bunga sebesar Rp50.000.000,00 kepada PT A. Atas bunga
pinjaman ini, PT A telah mengakui sebagai penghasilan di tahun 2009 sebesar Rp25.000.000,00
(bunga selama Oktober s.d Desember 2009). Sesuai ketentuan, PT B melakukan pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan pada saat jatuh tempo
pembayaran pada tanggal l April 2010 sebesar Rp7.500.000,00 (15% x Rp50.000.000,00) dan
kepada PT A diberikan bukti pemotongannya.

Atas pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan tersebut,


dapat dikreditkan oleh PT A pada tahun 2010.

Pasal 17

Pada dasarnya saat pengakuan biaya dan penghasilan dilakukan secara taat asas berdasarkan
prinsip akuntansi tentang pengaitan biaya dengan penghasilan (matching of costs againts
revenues). Namun, dalam hal-hal tertentu karena kebijakan Pemerintah, Direktur Jenderal
Pajak dapat mengatur saat pengakuan penghasilan dan biaya yang berbeda.

Yang dimaksud dengan "dalam hal-hal tertentu" antara lain:


a. saat pengakuan penghasilan bank berupa bunga kredit non performing loan dalam
rangka menunjang percepatan proses restrukturisasi perbankan sesuai dengan
kebijakan Pemerintah; atau
b. saat pengakuan penghasilan dan biaya bagi Wajib Pajak karena adanya perubahan
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan.

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak misalnya yang bergerak di bidang
usaha jasa konstruksi dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan Peraturan
Pemerintah tersendiri. Dalam hal tidak diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri yang
menyatakan bahwa atas penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final,
penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 20

Contoh:

Tuan A, subjek pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif namun belum
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), memperoleh penghasilan sebesar Rp20.000.000,00
sehubungan dengan jasa konsultasi yang dilakukannya pada tahun 2009. Oleh karena Tuan A
belum memiliki NPWP, atas penghasilan tersebut dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan
Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan oleh pemberi penghasilan dengan tarif lebih tinggi
20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat
menunjukkan NPWP, sehingga Pajak Penghasilan Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan
yang dipotong adalah sebesar Rp 1.200.000,00 (5% x 120% x Rp20.000.000,00).

Pada tahun 2011, Tuan A mendaftarkan dirinya untuk mendapatkan NPWP dan melaporkan
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi Tahun Pajak 2009
dan 2010. Atas kredit pajak sebesar Rp1.200.000,00 yang dipotong pada tahun 2009 tersebut,
Tuan A hanya dapat mengkreditkannya dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
Wajib Pajak orang pribadi Tahun Pajak 2009.

Pasal 21

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Contoh:
Perusahaan Jasa Konstruksi yang atas penghasilannya semata--mata dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final melakukan impor barang yang digunakan untuk

www.ortax.org
324 Edisi PPh Badan | Maret 2017

kegiatan jasa konstruksi. Atas impor barang tersebut, perusahaan jasa konstruksi
dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan
Pajak Penghasilan Pasal 22 Undang--Undang Pajak Penghasilan.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 22

Contoh:

Penghasilan neto komersial bentuk usaha tetap di Indonesia dalam tahun 2009 sebesar
Rp16.000.000.000,00 dan penyesuaian fiskal positif sebesar Rp1.500.000.000,00. Sisa kerugian
tahun sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan dalam tahun 2009 sebesar
Rp7.500.000.000,00.

Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 17 dan Pasal 26 ayat (4) sebagai berikut:
------------------------------------------------------------------------------------------------
Uraian PPh Pasal 17 PPh Pasal 26 (4)
------------------------------------------------------------------------------------------------
Penghasilan Neto Komersial 16.000.000.000,00
Penyesuaian Fiskal Positif 1.500.000.000,00
Penghasilan Neto Fiskal 17.500.000.000,00
Kompensasi Kerugian 7.500.000.000,00
Penghasilan Kena Pajak 10.000.000.000,00
PPh Badan Terutang 28% 2.800.000.000,00
PKP setelah dikurangi pajak 7.200.000.000,00
PPh Pasal 26 (4) = 20% 1.440.000.000,00
-------------------------------------------------------------------------------------------------

Dalam menghitung PPh Pasal 26 ayat (4), kompensasi kerugian sebesar Rp7.500.000.000,00
tersebut tidak boleh diperhitungkan sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak setelah
dikurangi pajak (Rp7.200.000.000,00).

Pasal 23

Ayat (1)

Sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan, batas akhir penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan bagi Wajib Pajak badan adalah paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir
Tahun Pajak. Dengan demikian pelunasan Pajak Penghasilan yang terhutang harus
dilakukan sebelum batas akhir penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 24

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "Surat Keterangan Domisili" atau yang disebut dengan
certificate of resident adalah surat keterangan yang diterbitkan dan/atau disahkan oleh
pejabat yang berwenang di bidang perpajakan (Competent Authority) atau pejabat
yang ditunjuk berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 25

Ayat (1)

Pertukaran informasi (exchange of information), prosedur persetujuan bersama


(mutual agreement procedures), dan bantuan penagihan (assistance in collection of

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 325

taxes) merupakan bagian dari kesepakatan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak


Berganda.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

Pasal 27

Ayat (1)

Pembukuan secara terpisah merupakan proses pencatatan yang dilakukan secara


teratur dengan melakukan pemisahan pencatatan untuk setiap transaksi, penghasilan
dan biaya-biaya antara kegiatan usaha yang dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan
kegiatan usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final maupun atas
penerimaan penghasilan bruto yang merupakan objek pajak dan yang bukan
merupakan objek pajak, serta penghasilan dan biaya-biaya dari usaha yang tidak
mendapatkan fasilitas perpajakan dan yang mendapatkan fasilitas perpajakan
sebagaimana diatur dalam Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Contoh huruf c:

PT A bergerak di bidang industri pengalengan ikan yang berkedudukan di Jakarta


mempunyai aset berupa gudang dan mesin pengolahan di Papua dalam rangka
pengembangan kegiatan dan produksi perusahaan.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak
Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau
di Daerah-Daerah Tertentu sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 62 Tahun 2008, atas industri pengalengan ikan dan biota perairan lainnya
di daerah Papua dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan.

Salah satu bentuk fasilitas Pajak Penghasilan yang dimaksud adalah penyusutan dan
amortisasi yang dipercepat.

Dalam hal ini, pencatatan secara terpisah harus dilakukan untuk biaya penyusutan atas
aset dalam rangka usaha yang mendapatkan fasilitas perpajakan (di Papua) dan yang
tidak mendapatkan fasilitas perpajakan (di Jakarta).

Ayat (2)

Biaya bersama adalah pengeluaran atau biaya yang berhubungan langsung dengan
kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara suatu penghasilan dan
sekaligus berhubungan langsung dengan kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan lainnya.

Biaya-biaya bersama yang menjadi dasar alokasi pembebanan dalam rangka


menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak adalah biaya bersama setelah dilakukan
penyesuaian/koreksi fiskal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2008 dan peraturan pelaksanaannya.

Contoh:
PT A bergerak dalam bidang usaha yang penghasilannya dikenakan Pajak Penghasilan
yang bersifat final. Dalam suatu tahun pajak, PT A memperoleh penghasilan bruto yang
terdiri dari:
a. penghasilan dari usaha yang telah
dikenakan Pajak Penghasilan yang
bersifat final ................................... Rp 300.000.000,00
b. penghasilan bruto lainnya yang
dikenakan Pajak Penghasilan yang
bersifat tidak final ........................... Rp 200.000.000,00
----------------------

www.ortax.org
326 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Jumlah penghasilan bruto Rp 500.000.000,00

Apabila biaya-biaya bersama yang tidak dapat dipisahkan setelah dilakukan


penyesuaian fiskal adalah sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh
juta rupiah), maka biaya yang boleh dikurangkan untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan adalah sebesar:
2/5 x Rp250.000.000,00 = Rp 100.000.000,00

Pasal 28

Ayat (1)

Contoh:

Wajib Pajak dengan tahun buku dari 1 Juli 2009 sampai dengan 30 Juni 2010 (tahun
buku 2009) melakukan perubahan tahun bukunya yang telah disetujui Direktur
Jenderal Pajak menjadi 1 Oktober 2009 sampai dengan 30 September 2010 (tahun
buku 2010). Dalam hal ini, penghasilan yang diterima atau diperoleh sejak 1 Juli 2010
sampai dengan 30 September 2010 harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2010 tersendiri.

Ayat (2)

Sisa rugi fiskal dalam bagian tahun buku yang tidak termasuk dalam tahun buku yang
baru, dapat dikompensasikan dengan penghasilan mulai Tahun Pajak berikutnya
berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.

Contoh:

Tahun buku PT X adalah Oktober sampai dengan September. PT X berencana


mengubah tahun buku menjadi Januari sampai dengan Desember mulai Tahun Pajak
2010. PT X memiliki rugi fiskal yang berasal dari Tahun Pajak 2007.
Untuk sisa rugi fiskal Tahun Pajak 2007 (Oktober 2006 sampai dengan September
2007) dapat dikompensasikan dengan penghasilan mulai Tahun Pajak berikutnya
berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun, yaitu mulai Tahun Pajak 2008 sampai
dengan 2011 sebagai berikut:
Tahun Pajak I : 2008 (Oktober 2007 sampai dengan September 2008)
Tahun Pajak II : 2009 (Oktober 2008 sampai dengan September 2009)
Tahun Pajak III : Bagian Tahun Pajak 2009 (Oktober 2009 sampai dengan dengan
Desember 2009)
Tahun Pajak IV : 2010 (Januari 2010 sampai dengan Desember 2010)
Tahun Pajak V : 2011 (Januari 2011 sampai dengan Desember 2011).

Pasal 29

Cukup jelas.

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31

Contoh :

PT A mempergunakan tahun buku dari 1 Juli 2008 sampai dengan 30 Juni 2009 untuk Tahun
Pajak 2008. Dalam rangka menghitung kewajiban pajaknya pada akhir tahun ( tahun buku),
PT A wajib menghitungnya berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.

Pasal 32

PT A mempergunakan tahun buku dari 1 Agustus 2008 sampai dengan 31 Juli 2009 untuk Tahun
Pajak 2009. Dalam rangka menghitung kewajiban pajak dalam tahun berjalan melalui
pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain (Pajak Penghasilan Pasal 22, Pasal 23,
Pasal 24 dan Pasal 26 ayat (5) Undang-Undang Pajak Penghasilan serta pembayaran pajak oleh
Wajib Pajak sendiri (Pajak Penghasilan Pasal 25) sampai dengan Desember 2008, PT A wajib

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 327

menghitungnya berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang


Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang--Undang Nomor 17 Tahun
2000.

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5183

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=14538

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
328 Edisi PPh Badan | Maret 2017 169/PMK.010/2015

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 169/PMK.010/2015

TENTANG

PENENTUAN BESARNYA PERBANDINGAN ANTARA UTANG DAN MODAL


PERUSAHAAN UNTUK KEPERLUAN PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008,
perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penentuan Besarnya Perbandingan antara Utang dan
Modal Perusahaan untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENENTUAN BESARNYA PERBANDINGAN ANTARA UTANG DAN
MODAL PERUSAHAAN UNTUK KEPERLUAN PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN.

Pasal 1

(1) Untuk keperluan penghitungan Pajak Penghasilan ditetapkan besarnya perbandingan antara utang dan
modal bagi Wajib Pajak badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia yang modalnya
terbagi atas saham-saham.
(2) Utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah saldo rata-rata utang pada satu tahun pajak atau
bagian tahun pajak, yang dihitung berdasarkan:
a. rata-rata saldo utang tiap akhir bulan pada tahun pajak yang bersangkutan; atau
b. rata-rata saldo utang tiap akhir bulan pada bagian tahun pajak yang bersangkutan.
(3) Saldo utang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi saldo utang jangka panjang maupun saldo
utang jangka pendek termasuk saldo utang dagang yang dibebani bunga.
(4) Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah saldo rata-rata modal pada satu tahun pajak atau
bagian tahun pajak, yang dihitung berdasarkan:
a. rata-rata saldo modal tiap akhir bulan pada tahun pajak yang bersangkutan; atau
b. rata-rata saldo modal tiap akhir bulan pada bagian tahun pajak yang bersangkutan.
(5) Saldo modal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi ekuitas sebagaimana dimaksud dalam
standar akuntansi keuangan yang berlaku dan pinjaman tanpa bunga dari pihak yang memiliki hubungan
istimewa.

Pasal 2

(1) Besarnya perbandingan antara utang dan modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1)
ditetapkan paling tinggi sebesar empat dibanding satu (4:1).
(2) Dikecualikan dari ketentuan perbandingan antara utang dan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah:
a. Wajib Pajak bank;
b. Wajib Pajak lembaga pembiayaan;
c. Wajib Pajak asuransi dan reasuransi;
d. Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi,
pertambangan umum, dan pertambangan lainnya yang terikat kontrak bagi hasil, kontrak
karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan, dan dalam kontrak atau
perjanjian dimaksud mengatur atau mencantumkan ketentuan mengenai batasan perbandingan

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 329

antara utang dan modal; dan


e. Wajib Pajak yang atas seluruh penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
berdasarkan peraturan perundang-undangan tersendiri; dan
f. Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang infrastruktur.
(3) Wajib Pajak bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a adalah bank sebagaimana dimaksud
dalam peraturan perundang-undangan di bidang perbankan, dan Bank Indonesia.
(4) Wajib Pajak lembaga pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b adalah badan usaha
yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai lembaga pembiayaan.
(5) Wajib Pajak asuransi dan reasuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c adalah perusahaan
asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah
yang menjalankan usaha asuransi dan/atau reasuransi sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan mengenai perasuransian.

Pasal 3

(1) Dalam hal besarnya perbandingan antara utang dan modal Wajib Pajak melebihi besarnya perbandingan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan dalam
menghitung penghasilan kena pajak adalah sebesar biaya pinjaman sesuai dengan perbandingan utang
dan modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
(2) Biaya pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah biaya yang ditanggung Wajib Pajak
sehubungan dengan peminjaman dana yang meliputi:
a. bunga pinjaman;
b. diskonto dan premium yang terkait dengan pinjaman;
c. biaya tambahan yang terjadi yang terkait dengan perolehan pinjaman (arrangement
of borrowings);
d. beban keuangan dalam sewa pembiayaan;
e. biaya imbalan karena jaminan pengembalian utang; dan
f. selisih kurs yang berasal dari pinjaman dalam mata uang asing sepanjang selisih kurs tersebut
sebagai penyesuaian terhadap biaya bunga dan biaya sebagaimana dimaksud pada huruf b,
huruf c, huruf d, dan huruf e.
(3) Besarnya biaya pinjaman sesuai dengan perbandingan utang dan modal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) yang dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak juga wajib
memperhatikan ketentuan Pasal 6 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008.
(4) Dalam hal Wajib Pajak mempunyai utang kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa,
disamping harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), biaya
pinjaman atas utang kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut harus pula
memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 18
ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
(5) Dalam hal Wajib Pajak mempunyai saldo ekuitas nol atau kurang dari nol, maka seluruh biaya pinjaman
Wajib Pajak bersangkutan tidak dapat diperhitungkan dalam penghitungan penghasilan kena pajak.
(6) Penghitungan perbandingan utang dan modal serta biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan dalam
menghitung penghasilan kena pajak sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 4

(1) Bagi Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan
umum, dan pertambangan lainnya, yang:
a. terikat kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan
pertambangan; dan
b. dalam kontrak atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada huruf a mengatur atau
mencantumkan ketentuan mengenai batasan perbandingan antara utang dan modal,
ketentuan mengenai perbandingan utang dan modal dimaksud berlaku sampai dengan berakhirnya
kontrak atau perjanjian tersebut.
(2) Dalam hal Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi,
pertambangan umum, dan pertambangan lainnya, yang:
a. terikat kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan
pertambangan; dan
b. dalam kontrak atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak mengatur atau tidak
mencantumkan ketentuan mengenai perbandingan utang dan modal,
besarnya perbandingan utang dan modal bagi Wajib Pajak tersebut adalah sebagaimana diatur dalam
Pasal 2 ayat (1).

Pasal 5

(1) Wajib Pajak yang mempunyai utang swasta luar negeri, wajib menyampaikan laporan besarnya utang

www.ortax.org
330 Edisi PPh Badan | Maret 2017

swasta luar negeri tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak.


(2) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas biaya
pinjaman yang terutang dari utang swasta luar negeri tersebut tidak dapat dikurangkan untuk
menghitung penghasilan kena pajak.
(3) Tata cara pelaporan utang swasta luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 6

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:


1. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1002/KMK.04/1984 tentang Penentuan Perbandingan antara Utang
dan Modal Sendiri Untuk Keperluan Pengenaan Pajak Penghasilan; dan
2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.01/1985 tentang Penundaan Pelaksanaan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 1002/KMK.04/1984 tentang Penentuan Perbandingan antara Utang dan Modal
Sendiri Untuk Keperluan Pengenaan Pajak Penghasilan,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 7

Ketentuan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal untuk keperluan penghitungan Pajak
Penghasilan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini mulai berlaku sejak Tahun Pajak 2016.

Pasal 8

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penentuan besarnya perbandingan antara utang dan modal untuk
keperluan penghitungan pajak penghasilan, diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 9

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 September 2015
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

BAMBANG P. S. BRODJONEGORO

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 9 September 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

YASONNA H. LAOLY

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 1351

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15863

www.ortax.org
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak :
SE - 46/PJ.4/1995 Edisi PPh Badan | Maret 2017 331

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
5 Oktober 1995

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 46/PJ.4/1995

TENTANG

PERLAKUAN BIAYA BUNGA YANG DIBAYAR ATAU TERUTANG DALAM HAL WAJIB PAJAK MENERIMA
ATAU MEMPEROLEH PENGHASILAN BERUPA BUNGA DEPOSITO ATAU TABUNGAN LAINNYA.
(SERI PPh UMUM NO. 20)

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

1. Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1994, maka atas bunga deposito,
tabungan, serta diskonto SBI yang diterima atau diperoleh baik oleh Wajib Pajak badan maupun oleh
Wajib Pajak orang pribadi dipotong Pajak Penghasilan yang bersifat final.

2. Berdasarkan Pasal 2 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1994, untuk menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha tetap (BUT), biaya untuk
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final yang
diatur tersendiri berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, tidak boleh dikurangkan dari
penghasilan bruto.

3. Dapat terjadi bahwa dana yang ditempatkan dalam bentuk deposito berjangka atau tabungan lainnya
langsung atau tidak langsung berasal dari pinjaman atau dana yang berasal dari pihak ketiga yang
dibebani biaya bunga. Apabila hal tersebut terjadi Wajib Pajak dapat memperkecil Penghasilan Kena
Pajak secara tidak wajar, karena bunga yang terutang atau dibayar atas pinjaman tersebut
dikurangkan sebagai biaya, sedangkan bunga yang diterima atau diperoleh yang berasal dari
penempatan dana dalam bentuk deposito berjangka atau tabungan lainnya tidak ditambahkan dalam
penghitungan Penghasilan Kena Pajak karena telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final
sebesar 15%.

4. Sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas, dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut :
a. Apabila jumlah rata-rata pinjaman sama besarnya dengan atau lebih kecil dari jumlah rata-
rata dana yang ditempatkan sebagai deposito berjangka atau tabungan lainnya, maka bunga
yang dibayar atau terutang atas pinjaman tersebut seluruhnya tidak dapat dibebankan
sebagai biaya.
b. Apabila jumlah rata-rata pinjaman lebih besar dari jumlah rata-rata dana yang ditempatkan
dalam bentuk deposito atau tabungan lainnya, maka bunga atas pinjaman yang boleh
dibebankan sebagai biaya adalah bunga yang dibayar atau terutang atas rata-rata pinjaman
yang melebihi jumlah rata-rata dana yang ditempatkan sebagai deposito berjangka atau
tabungan lainnya.

Contoh :
Pada tahun 1995 PT A mendapat pinjaman dari pihak ketiga dengan batas maksimum sebesar
Rp 200.000.000,00 dan tingkat bunga pinjaman 20%. Dari jumlah tersebut telah diambil pada
bulan Pebruari sebesar Rp 125.000.000,00, pada bulan Juni diambil lagi sebesar
Rp 25.000.000,00 dan sisanya (Rp 50.000.000,00) diambil pada bulan Agustus. Disamping itu
Wajib Pajak mempunyai dana yang ditempatkan dalam bentuk deposito dengan perincian
sebagai berikut:

bulan Pebruari s/d Maret sebesar Rp. 25.000.000,00


bulan April s/d Agustus sebesar Rp. 46.000.000,00
bulan September s/d Desember sebesar Rp. 50.000.000,00

Dengan demikian bunga yang dapat dibebankan sebagai biaya adalah sebagai berikut:

Rata-rata pinjaman Pinjaman Jangka Waktu

Bulan Januari Rp 0 1 bulan = Rp 0


bulan Pebruari s/d Maret Rp 125.000.000,00 4 bulan = Rp 500.000.000,00
bulan Juni s/d Juli Rp 150.000.000,00 2 bulan = Rp 300.000.000,00
bulan Agustus s/d Desember Rp 200.000.000,00 5 bulan = Rp 1.000.000.000,00
------------------------
Jumlah Rp 1.800.000.000,00

Rata-rata pinjaman perbulan Rp 1.800.000.000,00 : 12 = Rp 150.000.000,00

Rata-Rata Dana Berupa Deposito Pinjaman Jangka Waktu

www.ortax.org
332 Edisi PPh Badan | Maret 2017

bulan Januari Rp 0 1 bulan = Rp 0


bulan Pebruari s/d Maret Rp 25.000.000,00 2 bulan = Rp 50.000.000,00
bulan April s/d Agustus Rp 46.000.000,00 5 bulan = Rp 230.000.000,00
bulan September s/d Desember Rp 50.000.000,00 4 bulan = Rp 200.000.000,00
----------------------
Jumlah Rp 480.000.000,00

Rata-rata deposito perbulan = Rp 480.000.000,00 : 12 = Rp 40.000.000,00

- Bunga yang dapat dibebankan sebagai biaya =


20% x (Rp 150.000.000,00 - Rp 40.000.000,00) = Rp 22.000.000,00

5. Menyimpang dari ketentuan tersebut pada butir 4, bunga yang dibayarkan atau terutang atas pinjaman
Wajib Pajak dari pihak ketiga dapat dibebankan sebagai biaya sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 10
Tahun 1994, dalam hal :
a. dana pinjaman tersebut disimpan/ditempatkan dalam bentuk rekening giro yang atas jasanya
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final,
b. adanya keharusan bagi Wajib Pajak untuk menempatkan dana dalam jumlah tertentu pada
suatu bank dalam bentuk deposito berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku,
sepanjang jumlah deposito dan tabungan tersebut semata-mata untuk memenuhi keharusan
tersebut : misalnya cadangan biaya reklamasi yang harus ditempatkan dalam bentuk deposito
atau tabungan di Bank Pemerintah,
c. dapat dibuktikan bahwa penempatan deposito atau tabungan tersebut dananya berasal dari
tambahan modal dan sisa laba setelah kena pajak.

Demikian untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd

FUAD BAWAZIER

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=2612

www.ortax.org
BIAYA
Dana Cadangan
334 Edisi PPh Badan | Maret 2017

No Nomor Dokumen Tanggal Ditetapkan Perihal


1. 81/PMK.03/2009 22 April 2009 Pembentukan Atau Pemupukan Dana Cadangan Yang Boleh Dikurangkan
Sebagai Biaya
2. 219/PMK.011/2012 21 Desember 2012 Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.03/2009
Tentang Pembentukan Atau Pemupukan Dana Cadangan Yang Boleh
Dikurangkan Sebagai Biaya
3. SE - 97/PJ/2011 28 Desember 2011 Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Pembentukan Atau Pemupukan
Dana Cadangan Premi Bagi Wajib Pajak Yang Bergerak Di Bidang Usaha
Asuransi Jiwa Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
81/PMK.03/2009 Edisi PPh Badan | Maret 2017 335

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 81/PMK.03/2009

TENTANG

PEMBENTUKAN ATAU PEMUPUKAN DANA CADANGAN YANG


BOLEH DIKURANGKAN SEBAGAI BIAYA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pembentukan atau Pemupukan Dana
Cadangan yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4740);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263), sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMBENTUKAN ATAU PEMUPUKAN DANA CADANGAN YANG BOLEH
DIKURANGKAN SEBAGAI BIAYA.

Pasal 1

Pembentukan atau pemupukan dana cadangan yang boleh dikurangkan sebagai biaya yaitu :
a. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa
guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang, yang
meliputi :
1. cadangan piutang tak tertagih untuk:
a) bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional;
b) bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;
c) bank perkreditan rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional;
d) bank perkreditan rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah;
2. cadangan khusus penyisihan pembiayaan untuk badan usaha lain yang menyalurkan kredit,
yaitu cadangan khusus penyisihan pembiayaan untuk badan usaha selain bank umum dan bank
perkreditan rakyat yang menyalurkan kredit kepada masyarakat, yang meliputi :
a) Koperasi simpan pinjam; dan
b) PT Permodalan Nasional Madani (Persero);
3. cadangan piutang tak tertagih untuk sewa guna usaha dengan hak opsi yaitu cadangan piutang
tak tertagih untuk kegiatan pembiayaan dengan menyediakan barang modal untuk digunakan
oleh penyewa guna usaha selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara
angsuran dengan hak opsi (Finance Lease);
4. cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan pembiayaan konsumen yaitu cadangan piutang
tak tertagih untuk perusahaan yang melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang
berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran;
5. cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan anjak piutang yaitu cadangan piutang tak
tertagih untuk perusahaan yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian
piutang dagang jangka pendek suatu perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut;
b. cadangan untuk usaha asuransi, yang meliputi :
1. cadangan premi tanggungan sendiri dan klaim tanggungan sendiri untuk perusahaan asuransi
kerugian;
2. cadangan premi untuk perusahaan asuransi jiwa;
c. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan, yaitu cadangan penjaminan untuk lembaga
yang berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas

www.ortax.org
336 Edisi PPh Badan | Maret 2017

sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya;


d. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yaitu cadangan biaya untuk kegiatan yang
bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha
pertambangan agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya;
e. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan, yaitu cadangan biaya penanaman
kembali bagi perusahaan yang diwajibkan melakukan penanaman kembali atas hutan yang telah
dieksploitasi untuk usaha yang terkait dengan sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan,
kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu; dan
f. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha
pengolahan limbah industri, yaitu cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan bagi perusahaan yang
mengolah limbah industri yang mencakup kegiatan penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan,
pemanfaatan, pengolahan limbah industri dan penimbunan hasil pengolahan limbah industri.

Pasal 2

(1) Besarnya cadangan piutang tak tertagih untuk bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 1 butir a) ditetapkan sebagai
berikut :
a. 1% (satu persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan lancar, tidak termasuk
Sertifikat Bank Indonesia dan Surat Utang Negara;
b. 5% (lima persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan dalam perhatian khusus
setelah dikurangi nilai agunan;
c. 15% (lima belas persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan kurang lancar setelah
dikurangi dengan nilai agunan;
d. 50% (lima puluh persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan diragukan setelah
dikurangi dengan nilai agunan; dan
e. 100% (seratus persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan macet setelah dikurangi
dengan nilai agunan.
(2) Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada cadangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling tinggi adalah :
a. 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan
b. 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang ditetapkan
perusahaan penilai.
(3) Jumlah piutang yang digunakan sebagai dasar untuk membentuk dana cadangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah pokok pinjaman yang diberikan oleh bank umum yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional.
(4) Kerugian yang berasal dari piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada perkiraan
cadangan piutang tak tertagih.
(5) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk
menutup kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), jumlah kelebihan cadangan tersebut
diperhitungkan sebagai penghasilan.
(6) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan
sebagai kerugian.

Pasal 3

(1) Besarnya cadangan piutang tak tertagih untuk bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 1 butir b) ditetapkan
sebagai berikut :
a. 1% (satu persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan lancar, tidak termasuk
Sertifikat Wadiah Bank Indonesia dan surat berharga yang diterbitkan Pemerintah berdasarkan
prinsip syariah;
b. 5 % (lima persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan dalam perhatian khusus
setelah dikurangi nilai agunan;
c. 15% (lima belas persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan kurang lancar setelah
dikurangi dengan nilai agunan;
d. 50% (lima puluh persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan diragukan setelah
dikurangi dengan nilai agunan; dan
e. 100% (seratus persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan macet setelah dikurangi
dengan nilai agunan.
(2) Besamya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada cadangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling tinggi adalah :
a. 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan
b. 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang ditetapkan
perusahaan penilai.
(3) Jumlah piutang yang digunakan sebagai dasar untuk membentuk dana cadangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah pokok pinjaman yang diberikan oleh bank umum yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
(4) Kerugian yang berasal dari piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada perkiraan
cadangan piutang tak tertagih.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 337

(5) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup
kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), jumlah kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan
sebagai penghasilan.
(6) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan
sebagai kerugian.

Pasal 4

(1) Besarnya cadangan piutang tak tertagih untuk bank perkreditan rakyat yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 1 butir c) ditetapkan
sebagai berikut :
a. 0,5% (setengah persen) dari piutang dengan kualitas lancar tidak termasuk Sertifikat Bank
Indonesia;
b. 10% (sepuluh persen) dari piutang dengan kualitas kurang lancar setelah dikurangi dengan
nilai agunan;
c. 50% (lima puluh persen) dari piutang dengan kualitas diragukan setelah dikurangi dengan nilai
agunan; dan
d. 100% (seratus persen) dari piutang dengan kualitas macet setelah dikurangi dengan nilai
agunan.
(2) Besamya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada cadangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling tinggi adalah :
a. 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan
b. 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang ditetapkan
perusahaan penilai.
(3) Jumlah piutang yang digunakan sebagai dasar untuk membentuk dana cadangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah pokok pinjaman yang diberikan oleh bank perkreditan rakyat yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional.
(4) Kerugian yang berasal dari piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada perkiraan
cadangan piutang tak tertagih.
(5) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup
kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), jumlah kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan
sebagai penghasilan.
(6) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan
sebagai kerugian.

Pasal 5

(1) Besarnya cadangan piutang tak tertagih untuk bank perkreditan rakyat yang melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 1 butir d)
ditetapkan sebagai berikut :
a. 0,5% (setengah persen) dari piutang dengan kualitas lancar tidak termasuk Sertifikat Wadiah
Bank Indonesia;
b. 10% (sepuluh persen) dari piutang dengan kualitas kurang lancar setelah dikurangi dengan
nilai agunan;
c. 50% (lima puluh persen) dari piutang dengan kualitas diragukan setelah dikurangi dengan nilai
agunan; dan
d. 100% (seratus persen) dari piutang dengan kualitas macet setelah dikurangi dengan nilai
agunan.
(2) Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada cadangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling tinggi adalah :
a. 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan
b. 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang ditetapkan
perusahaan penilai.
(3) Jumlah piutang yang digunakan sebagai dasar untuk membentuk dana cadangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah pokok pinjaman yang diberikan oleh bank perkreditan rakyat yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
(4) Kerugian yang berasal dari piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada perkiraan
cadangan piutang tak tertagih.
(5) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup
kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), jumlah kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan
sebagai penghasilan.
(6) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan
sebagai kerugian.

Pasal 6

(1) Besarnya cadangan piutang tak tertagih koperasi simpan pinjam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1

www.ortax.org
338 Edisi PPh Badan | Maret 2017

huruf a angka 2 butir a) ditetapkan sebagai berikut :


a. 0,5% (setengah persen) dari piutang dengan kualitas lancar;
b. 10% (sepuluh persen) dari piutang dengan kualitas kurang lancar setelah dikurangi dengan
nilai agunan;
c. 50% (lima puluh persen) dari piutang dengan kualitas diragukan setelah dikurangi dengan nilai
agunan; dan
d. 100% (seratus persen) dari piutang dengan kualitas macet setelah dikurangi dengan nilai
agunan.
(2) Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada cadangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling tinggi adalah :
a. 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan
b. 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang ditetapkan
perusahaan penilai.
(3) Jumlah piutang yang digunakan sebagai dasar untuk membentuk dana cadangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah pokok pinjaman yang diberikan oleh koperasi simpan pinjam.
(4) Kerugian yang berasal dari piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada perkiraan
cadangan piutang tak tertagih.
(5) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup
kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), jumlah kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan
sebagai penghasilan.
(6) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan
sebagai kerugian.

Pasal 7

(1) Besarnya cadangan khusus penyisihan pembiayaan PT Permodalan Nasional Madani (Persero)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 2 butir b) ditetapkan sebagai berikut :
a. 2,5% (dua setengah persen) dari baki debet yang digolongkan dalam perhatian khusus setelah
dikurangi nilai agunan;
b. 5% (lima persen) dari baki debet yang digolongkan kurang lancar setelah dikurangi dengan
nilai agunan;
c. 50% (lima puluh persen) dari baki debet yang digolongkan diragukan setelah dikurangi dengan
nilai agunan; dan
d. 100% (seratus persen) dari baki debet yang digolongkan macet setelah dikurangi dengan nilai
agunan.
(2) Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada cadangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling tinggi adalah :
a. 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan
b. 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang ditetapkan
perusahaan penilai.
(3) Jumlah baki debet yang digunakan sebagai dasar untuk membentuk dana cadangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah pokok baki debet yang diberikan oleh PT Permodalan Nasional Madani
(Persero).
(4) Kerugian yang berasal dari pembiayaan yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada
perkiraan cadangan khusus penyisihan pembiayaan.
(5) Dalam hal jumlah cadangan khusus penyisihan pembiayaan seluruhnya atau sebagian tidak dipakai
untuk menutup kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), jumlah kelebihan cadangan tersebut
diperhitungkan sebagai penghasilan.
(6) Dalam hal jumlah cadangan khusus penyisihan pembiayaan dipakai untuk menutup kerugian
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut
diperhitungkan sebagai kerugian.

Pasal 8

(1) Besarnya cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan sewa guna usaha dengan hak opsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 3 ditetapkan paling tinggi sebesar 2,5% (dua
setengah persen) dari rata-rata saldo awal dan saldo akhir piutang.
(2) Kerugian sebenarnya yang disebabkan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dibebankan pada
perkiraan cadangan piutang tak tertagih.
(3) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup
kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), jumlah kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan
sebagai penghasilan.
(4) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan
sebagai kerugian.

Pasal 9

(1) Besarnya cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan pembiayaan konsumen sebagaimana

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 339

dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 4 ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen) dari
rata-rata saldo awal dan saldo akhir piutang.
(2) Kerugian sebenarnya yang disebabkan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada
perkiraan cadangan piutang tak tertagih.
(3) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup
kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), jumlah kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan
sebagai penghasilan.
(4) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan
sebagai kerugian.

Pasal 10

(1) Besarnya cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan anjak piutang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 huruf a angka 5 ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen) dari rata-rata saldo awal dan
saldo akhir piutang.
(2) Kerugian sebenarnya yang disebabkan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada
perkiraan cadangan piutang tak tertagih.
(3) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup
kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), jumlah kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan
sebagai penghasilan.
(4) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut diperhitungkan
sebagai kerugian.

Pasal 11

Dalam hal Wajib Pajak secara bersamaan melakukan kegiatan usaha sewa guna usaha dengan hak opsi,
pembiayaan konsumen, dan/atau anjak piutang, besarnya cadangan piutang tak tertagih yang dapat dibiayakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, dan/atau Pasal 10 dihitung berdasarkan besarnya piutang untuk
masing-masing usaha.

Pasal 12

(1) Besarnya cadangan premi tanggungan sendiri untuk perusahaan asuransi kerugian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 huruf b angka 1 adalah sebesar 40% (empat puluh persen) dari jumlah premi
tanggungan sendiri yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak yang bersangkutan.
(2) Cadangan premi tanggungan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan premi yang
sudah diterima atau diperoleh akan tetapi belum merupakan penghasilan pada tahun pajak yang
bersangkutan.
(3) Cadangan premi tanggungan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penghasilan
pada tahun pajak berikutnya.

Pasal 13

(1) Besarnya cadangan klaim tanggungan sendiri untuk perusahaan asuransi kerugian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 huruf b angka 1 adalah sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah klaim yang
sudah disepakati tetapi belum dibayar dan klaim yang sudah dilaporkan dan sedang dalam proses,
tetapi tidak termasuk klaim yang belum dilaporkan.
(2) Cadangan klaim tanggungan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk pada akhir tahun
pajak.
(3) Jumlah klaim yang sebenarnya dibayar oleh perusahaan asuransi kerugian dibebankan kepada
perkiraan cadangan klaim tanggungan sendiri.
(4) Dalam hal jumlah cadangan klaim tanggungan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) seluruhnya
atau sebagian tidak dipakai untuk menutup kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), jumlah
kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan.
(5) Dalam hal jumlah klaim tanggungan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipakai untuk
menutup kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan
cadangan tersebut boleh dibebankan sebagai biaya.

Pasal 14

(1) Besarnya cadangan premi untuk perusahaan asuransi jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf
b angka 2 ditentukan sesuai dengan penghitungan aktuaria yang telah mendapat pengesahan dari
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
(2) Kenaikan jumlah saldo akhir dibanding dengan saldo awal tahun dari cadangan premi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan biaya dalam tahun yang bersangkutan.
(3) Apabila terjadi pembayaran klaim kepada tertanggung jumlah tersebut dibebankan kepada perkiraan

www.ortax.org
340 Edisi PPh Badan | Maret 2017

cadangan premi.

Pasal 15

Besarnya cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
huruf c adalah 80% (delapan puluh persen) dari surplus yang diperoleh Lembaga Penjamin Simpanan dari
kegiatan operasional selama 1 (satu) tahun yang diakumulasikan sesuai peraturan perundang-undangan
mengenai Lembaga Penjamin Simpanan.

Pasal 16

(1) Besarnya cadangan biaya reklamasi untuk perusahaan yang melakukan usaha pertambangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf d adalah yang sebenamya dibebankan pada perkiraan
cadangan biaya reklamasi.
(2) Cadangan biaya reklamasi untuk perusahaan yang melakukan usaha pertambangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dihitung sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan
energi dan sumber daya mineral.
(3) Apabila setelah berakhirnya masa kontrak atau selesainya penambangan terdapat selisih antara jumlah
cadangan biaya reklamasi dengan jumlah biaya reklamasi yang sebenarnya dikeluarkan, selisih
tersebut merupakan penghasilan atau kerugian pada tahun yang bersangkutan.

Pasal 17

(1) Besarnya cadangan biaya penanaman kembali untuk perusahaan yang melakukan usaha kehutanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e adalah yang sebenarnya dibebankan pada perkiraan
cadangan biaya penanaman kembali.
(2) Cadangan biaya penanaman kembali untuk perusahaan yang melakukan usaha kehutanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang
kehutanan.
(3) Apabila setelah berakhirnya masa kontrak terdapat selisih antara jumlah cadangan biaya penanaman
kembali dengan jumlah biaya penanaman kembali yang sebenamya dikeluarkan, selisih tersebut
merupakan penghasilan atau kerugian pada tahun yang bersangkutan.

Pasal 18

(1) Besarnya cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk
usaha pengolahan limbah industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf f adalah yang
sebenamya dibebankan pada perkiraan cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat
pembuangan limbah.
(2) Besarnya cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dihitung sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan
hidup.
(3) Apabila setelah berakhirnya masa kontrak terdapat selisih antara jumlah cadangan biaya penutupan dan
pemeliharaan tempat pembuangan limbah dengan jumlah biaya penutupan dan pemeliharaan tempat
pembuangan limbah yang sebenarnya dikeluarkan, selisih tersebut merupakan penghasilan atau
kerugian pada tahun yang bersangkutan.

Pasal 19

Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 80/KMK.04/1995
tentang Besarnya Dana Cadangan yang Boleh Dikurangkan sebagai Biaya sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.03/2006, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.

Pasal 20

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut terhitung
sejak tanggal 1 Januari 2009.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 22 April 2009

www.ortax.org
sejak tanggal 1 Januari 2009.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Edisi PPh Badan | Maret 2017 341

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 22 April 2009

MENTERI KEUANGAN,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI

Status :
Peraturan Menteri Keuangan - 81/PMK.03/2009 Telah mengalami perubahan atau
penyempurnaan oleh Peraturan Menteri Keuangan - 219/PMK.011/2012, Tanggal 21 Des 2012

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13776

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
342 Edisi PPh Badan | Maret 2017 219/PMK.011/2012

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 219/PMK.011/2012

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 81/PMK.03/2009


TENTANG PEMBENTUKAN ATAU PEMUPUKAN DANA CADANGAN
YANG BOLEH DIKURANGKAN SEBAGAI BIAYA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa dalam rangka lebih memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak yang dapat melakukan
pembentukan atau pemupukan dana cadangan yang boleh dikurangkan dalam menentukan besarnya
penghasilan kena pajak, perlu melakukan penyesuaian terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.03/2009 tentang Pembentukan atau Pemupukan Dana
Cadangan yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
81/PMK.03/2009 tentang Pembentukan atau Pemupukan Dana Cadangan yang Boleh Dikurangkan
Sebagai Biaya;

Mengingat :

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.03/2009 tentang Pembentukan atau Pemupukan Dana Cadangan
yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
81/PMK.03/2009 TENTANG PEMBENTUKAN ATAU PEMUPUKAN DANA CADANGAN YANG BOLEH DIKURANGKAN
SEBAGAI BIAYA.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.03/2009 tentang Pembentukan atau
Pemupukan Dana Cadangan yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 huruf a angka 2 diubah, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1

Pembentukan atau pemupukan dana cadangan yang boleh dikurangkan sebagai biaya yaitu:
a. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan
kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan
anjak piutang, yang meliputi:
1. cadangan piutang tak tertagih untuk:
a) bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional;
b) bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;
c) bank perkreditan rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional; dan
d) bank perkreditan rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah;
2. cadangan piutang tak tertagih untuk badan usaha lain yang menyalurkan kredit, yaitu
badan usaha selain bank umum dan bank perkreditan rakyat yang menyalurkan kredit
kepada masyarakat, yang meliputi:
a) koperasi simpan pinjam;
b) PT Permodalan Nasional Madani (Persero);
c) Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia;
d) perusahaan pembiayaan infrastruktur yang melakukan pembiayaan dalam
bentuk penyediaan dana pada proyek infrastruktur; dan
e) PT Perusahaan Pengelola Aset.
3. cadangan piutang tak tertagih untuk sewa guna usaha dengan hak opsi yaitu cadangan
piutang tak tertagih untuk kegiatan pembiayaan dengan menyediakan barang modal
untuk digunakan oleh penyewa guna usaha selama jangka waktu tertentu berdasarkan

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 343

pembayaran secara angsuran dengan hak opsi (Finance Lease);


4. cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan pembiayaan konsumen yaitu
cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan yang melakukan kegiatan pembiayaan
untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran
secara angsuran;
5. cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan anjak piutang yaitu cadangan piutang
tak tertagih untuk perusahaan yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk
pembelian piutang dagang jangka pendek suatu perusahaan berikut pengurusan
atas piutang tersebut;
b. cadangan untuk usaha asuransi, yang meliputi:
1. cadangan premi tanggungan sendiri dan klaim tanggungan sendiri untuk perusahaan
asuransi kerugian;
2. cadangan premi untuk perusahaan asuransi jiwa;
c. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan, yaitu cadangan penjaminan untuk
lembaga yang berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam
memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya;
d. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yaitu cadangan biaya untuk kegiatan
yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat
kegiatan usaha pertambangan agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya;
e. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan, yaitu cadangan biaya penanaman
kembali bagi perusahaan yang diwajibkan melakukan penanaman kembali atas hutan yang
telah dieksploitasi untuk usaha yang terkait dengan sistem pengurusan yang bersangkut paut
dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu; dan
f. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha
pengolahan limbah industri, yaitu cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan bagi
perusahaan yang mengolah limbah industri yang mencakup kegiatan penyimpanan,
pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan limbah industri dan penimbunan hasil
pengolahan limbah industri.

2. Ketentuan Pasal 7 ayat (1), ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) diubah sehingga Pasal 7 berbunyi
sebagai berikut:

Pasal 7

(1) Besarnya cadangan piutang tak tertagih PT Permodalan Nasional Madani (Persero) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 2 butir b) ditetapkan sebagai berikut:
a. 2,5% (dua setengah persen) dari piutang yang digolongkan dalam perhatian khusus
setelah dikurangi nilai agunan;
b. 5% (lima persen) dari piutang yang digolongkan kurang lancar setelah dikurangi
dengan nilai agunan;
c. 50% (lima puluh persen) dari piutang yang digolongkan diragukan setelah dikurangi
dengan nilai agunan; dan
d. 100% (seratus persen) dari piutang yang digolongkan macet setelah dikurangi dengan
nilai agunan.
(2) Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada cadangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi adalah:
a. 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan
b. 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang
ditetapkan perusahaan penilai.
(3) Jumlah piutang yang digunakan sebagai dasar untuk membentuk dana cadangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah pokok pinjaman yang diberikan oleh PT Permodalan Nasional
Madani (Persero).
(4) Kerugian yang berasal dari piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada
perkiraan cadangan piutang tak tertagih.
(5) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk
menutup kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), jumlah kelebihan cadangan tersebut
diperhitungkan sebagai penghasilan.
(6) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut
diperhitungkan sebagai kerugian.

3. Di antara Pasal 7 dan Pasal 8 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 7A, Pasal 7B, dan Pasal 7C yang
berbunyi sebagai berikut:

Pasal 7A

(1) Besarnya cadangan piutang tak tertagih Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 2 butir c) ditetapkan sebagai berikut:
a. 1% (satu persen) dari piutang dengan kualitas lancar;
b. 5% (lima persen) dari piutang dengan kualitas dalam perhatian khusus setelah
dikurangi nilai agunan;

www.ortax.org
344 Edisi PPh Badan | Maret 2017

c. 15% (lima belas persen) dari piutang dengan kualitas kurang lancar setelah dikurangi
nilai agunan;
d. 50% (lima puluh persen) dari piutang dengan kualitas diragukan setelah dikurangi nilai
agunan; dan
e. 100% (seratus persen) dari piutang dengan kualitas macet setelah dikurangi nilai
agunan.
(2) Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada cadangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi adalah:
a. 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan
b. 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang
ditetapkan perusahaan penilai.
(3) Jumlah piutang yang digunakan sebagai dasar untuk membentuk dana cadangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah pokok pinjaman yang diberikan oleh Lembaga Pembiayaan
Ekspor Indonesia.
(4) Kerugian yang berasal dari piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada
perkiraan cadangan piutang tak tertagih.
(5) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk
menutup kerugian sebagaimanadimaksud pada ayat (4), jumlah kelebihan cadangan tersebut
diperhitungkan sebagai penghasilan.
(6) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut
diperhitungkan sebagai kerugian.

Pasal 7B

(1) Besarnya cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan pembiayaan infrastruktur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 2 butir d) ditetapkan sebagai berikut:
a. 1% (satu persen) dari piutang dengan kualitas lancar;
b. 5% (lima persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan dalam perhatian
khusus setelah dikurangi nilai agunan;
c. 15% (lima belas persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan kurang lancar
setelah dikurangi dengan nilai agunan;
d. 50% (lima puluh persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan diragukan
setelah dikurangi dengan nilai agunan; dan
e. 100%(seratus persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan macet setelah
dikurangi dengan nilai agunan.
(2) Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada cadangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi adalah:
a. 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan
b. 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang
ditetapkan perusahaan penilai.
(3) Jumlah piutangyang digunakan sebagai dasar untuk membentuk dana cadangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah pokok pinjaman yang diberikan oleh perusahaan pembiayaan
infrastruktur.
(4) Kerugian yang disebabkan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dibebankan pada
perkiraan cadangan piutang tak tertagih.
(5) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk
menutup kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), jumlah kelebihan cadangan tersebut
diperhitungkan sebagai penghasilan.
(6) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut
diperhitungkan sebagai kerugian.

Pasal 7C

(1) Besarnya cadangan piutang tak tertagih untuk PT Perusahaan Pengelola Aset sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 2 butir e) ditetapkan sebagai berikut:
a. 15% (lima belas persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan kurang lancar
setelah dikurangi dengan nilai agunan;
b. 50% (lima puluh persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan diragukan
setelah dikurangi dengan nilai agunan; dan
c. 100% (seratus persen) dari piutang dengan kualitas yang digolongkan macet setelah
dikurangi dengan nilai agunan.
(2) Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada cadangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi adalah:
a. 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid; dan
b. 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya atau sebesar nilai yang
ditetapkan perusahaan penilai.
(3) Jumlah piutangyang digunakan sebagai dasar untuk membentuk dana cadangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah pokok pinjaman yang diberikan PT Perusahaan Pengelola Aset.
(4) Kerugian yang disebabkan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dibebankan pada
perkiraan cadangan piutang tak tertagih.
(5) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 345

menutup kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), jumlah kelebihan cadangan tersebut
diperhitungkan sebagai penghasilan.
(6) Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan cadangan tersebut
diperhitungkan sebagai kerugian.

Pasal II

1. Ketentuan Pasal 1 huruf a angka 2 butir c), butir d), dan butir e), Pasal 7A, Pasal 7B, serta Pasal 7C
mulai berlaku sejak Tahun Pajak 2012.
2. Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Desember 2012
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 21 Desember 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDIN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 1307

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15183

www.ortax.org
Surat Edaran Direktu Jenderal Pajak :
346 Edisi PPh Badan | Maret 2017 SE - 97/PJ/2011

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
____________________________________________________________________________________________
28 Desember 2011

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 97/PJ/2011

TENTANG

PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PEMBENTUKAN ATAU PEMUPUKAN


DANA CADANGAN PREMI BAGI WAJIB PAJAK YANG BERGERAK DI BIDANG USAHA
ASURANSI JIWA YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan mengenai penentuan besarnya biaya cadangan premi asuransi Unit
Link yang dapat dikurangkan dalam menentukan penghasilan kena pajak, serta perlunya penegasan terhadap
hal terkait, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :

1. Berdasarkan Pasal 9 Ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008, untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk
usaha tetap tidak boleh dikurangkan pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali antara lain
cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial.

2. Pasal 13 huruf a angka 1) dan 2) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan
Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan, mengatur bahwa
pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena
Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, termasuk antara lain biaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak dan/atau
pengenaan pajaknya bersifat final.

Prinsip yang sama juga diatur dalam ketentuan Pasal 4 huruf a dan b Peraturan Pemerintah Nomor 138
Tahun 2000 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam
Tahun Berjalan.

3. Pasal 14 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.03/2009 tentang Pembentukan atau Pemupukan
Dana Cadangan yang boleh Dikurangkan sebagai Biaya, mengatur bahwa :
a. ayat (1), besarnya cadangan premi untuk perusahaan asuransi jiwa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 huruf b angka 2 ditentukan sesuai dengan penghitungan aktuaria yang telah
mendapat pengesahan dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan;
b. ayat (2), kenaikan jumlah saldo akhir dibanding dengan saldo awal tahun dari cadangan premi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan biaya dalam tahun yang bersangkutan.

Prinsip yang sama juga diatur dalam ketentuan Pasal 4 Keputusan Menteri Keuangan Nomor
80/KMK.04/1995 tentang Besarnya Dana Cadangan yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.03/2006.

4. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-104/BL/2006 tentang
Produk Unit Link, diatur bahwa Produk Unit Link adalah produk asuransi jiwa yang memenuhi kriteria
sebagai berikut :
a. nilai manfaat yang dijanjikan ditentukan oleh kinerja subdana investasi yang dibentuk untuk
Unit Link tersebut;
b. nilai manfaat yang diperoleh dari subdana investasi dinyatakan dalam unit; dan
c. mengandung pertanggungan risiko kematian alami.

5. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini ditegaskan hal-hal sebagai berikut :
a. Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak yang dikenai tarif umum Pasal 17 UU PPh, tidak
boleh digabungkan dengan penghasilan yang telah dikenai pajak dengan tarif yang bersifat final.
Biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan yang dikenakan pemotongan, pemungutan,
atau pembayaran PPh yang bersifat final tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto yang
pengenaan pajaknya dilakukan berdasarkan tarif umum.
b. Meskipun dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.03/2006 dan Pasal 14
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.03/2009 mengatur bahwa besarnya cadangan
premi untuk perusahaan asuransi jiwa ditentukan sesuai dengan penghitungan aktuaria yang
telah mendapatkan pengesahan dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan,
namun secara fiskal dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak yang akan dikenai tarif umum
berdasarkan Pasal 17 UU PPh, tetap mengacu pada ketentuan lain yang terkait.
c. Dengan demikian cadangan premi asuransi jiwa yang dibentuk berdasarkan penghasilan yang
pengenaan pajaknya bersifat final dan/atau yang bukan merupakan objek pajak, tidak dapat
dikurangkan dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak yang pajaknya dikenakan

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 347

dengan menggunakan tarif umum.

Demikian untuk menjadi perhatian dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2011
DIREKTUR JENDERAL,

ttd.

A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001

Tembusan :
1. Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan
2. Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan
3. Kepala Biro Hukum Kementerian Keuangan
4. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak
5. Para Direktur, Kepala Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan, dan Tenaga Pengkaji
di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=14901

www.ortax.org
BIAYA
Entertainment
Edisi PPh Badan | Maret 2017 349

No Nomor Dokumen Tanggal Ditetapkan Perihal


1. SE - 27/PJ.22/1986 14 Juni 1986 Biaya Entertainment Dan Sejenisnya (Seri PPh Umum 18)

www.ortax.org
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak :
350 Edisi PPh Badan | Maret 2017 SE - 27/PJ.22/1986

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
14 Juni 1986

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 27/PJ.22/1986

TENTANG

BIAYA "ENTERTAINMENT" DAN SEJENISNYA (SERI PPh UMUM 18)

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Berkenaan dengan banyaknya pertanyaan mengenai biaya "entertainment", representasi, jamuan tamu dan
sejenisnya yang dapat dikurangkan dari penghasilan, dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut :

1. Biaya "entertainment", representasi, jamuan dan sejenisnya untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan pada dasarnya dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.

2. Wajib Pajak harus dapat membuktikan, bahwa biaya-biaya tersebut telah benar-benar dikeluarkan
(formal) dan benar ada hubungannya dengan kegiatan perusahaan untuk mendapatkan, menagih
dan memelihara penghasilan perusahaan (materiil).

3. Oleh karena itu, Wajib Pajak yang mengurangkan biaya-biaya tersebut dari penghasilan brutonya,
sejak tahun pajak 1986 agar melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan daftar nominatif
seperti terlampir yang berisi :
a. Nomor urut.
b. Tanggal "entertainment" dan sejenisnya yang telah diberikan.
c. - Nama tempat "entertainment" dan sejenisnya yang telah diberikan.
- Alamat "entertainment" dan sejenisnya yang telah diberikan.
- Jenis "entertainment" dan sejenisnya yang telah diberikan.
- Jumlah (Rp) "entertainment" dan sejenisnya yang telah diberikan.
d. Relasi usaha yang diberikan "entertainment" dan sejenisnya sesuai dengan nomor urut
tersebut di atas berisi :
- Nama
- Posisi
- Nama perusahaan
- Jenis usaha.

4. Apabila petugas pajak yang melakukan penelitian atau pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan
Tahunan tahun 1984 dan 1985 menemukan pos biaya "entertainment" dan sejenisnya, maka kepada
Wajib Pajak seyogyanya dimintakan daftar nominatif seperti tersebut di atas untuk membuktikan,
bahwa biaya-biaya tersebut benar-benar telah dikeluarkan dan benar ada hubungannya dengan
kegiatan perusahaan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan perusahaan.

Demikianlah untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya.

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

Drs. SALAMUN A.T.

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=2073

www.ortax.org
BIAYA
Industri Minyak
Dan Gas Bumi
352 Edisi PPh Badan | Maret 2017

No Nomor Dokumen Tanggal Ditetapkan Perihal


1. PP No. 79 Tahun 2010 20 Desember 2010 Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan Dan Perlakuan Pajak Penghasilan
Di Bidang Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi
2. 256/PMK.011/2011 28 Desember 2011 Batasan Pengeluaran Alokasi Biaya Tidak Langsung Kantor Pusat
Yang Dapat Dikembalikan Dalam Penghitungan Bagi Hasil Dan Pajak
Penghasilan Bagi Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak Dan Gas Bumi

www.ortax.org
Peraturan Pemerintah RI :
PP No. 79 Tahun 2010 Edisi PPh Badan | Maret 2017 353

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 79 TAHUN 2010

TENTANG

BIAYA OPERASI YANG DAPAT DIKEMBALIKAN DAN


PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN DI BIDANG USAHA HULU
MINYAK DAN GAS BUMI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi, kegiatan usaha hulu dilaksanakan dan dikendalikan melalui kontrak kerja sama;
b. bahwa dalam pelaksanaan kontrak kerja sama sebagaimana dimaksud pada huruf a, modal yang
ditanggung oleh badan usaha atau bentuk usaha tetap merupakan biaya operasi yang dapat
dikembalikan oleh Pemerintah Republik Indonesia pada saat kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi
menghasilkan produksi komersial;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b serta untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 31 D Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang
Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu
menetapkan peraturan pemerintah tentang biaya operasi yang dapat dikembalikan dan perlakuan pajak
penghasilan di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG BIAYA OPERASI YANG DAPAT DIKEMBALIKAN DAN PERLAKUAN PAJAK
PENGHASILAN DI BIDANG USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:


1. Minyak bumi, gas bumi, minyak dan gas bumi, eksplorasi, eksploitasi, kontrak kerja sama, Badan
Pelaksana, wilayah kerja, wilayah hukum pertambangan Indonesia, dan kegiatan usaha hulu adalah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
2. Kontraktor adalah badan usaha atau bentuk usaha tetap yang ditetapkan untuk melakukan eksplorasi
dan eksploitasi pada suatu wilayah kerja berdasarkan kontrak kerja sama dengan Badan Pelaksana.
3. Operator adalah kontraktor atau dalam hal kontraktor terdiri atas beberapa pemegang participating
interest, salah satu pemegang participating interest yang ditunjuk sebagai wakil oleh pemegang
participating interest lainnya sesuai dengan kontrak kerja sama.
4. Operasi perminyakan adalah kegiatan yang meliputi eksplorasi, eksploitasi, pengangkutan, penutupan
dan peninggalan sumur (plug and abandonment) serta pemulihan bekas penambangan (site restoration)
minyak dan gas bumi.
5. Lifting adalah sejumlah minyak mentah dan/atau gas bumi yang dijual atau dibagi di titik penyerahan
(custody transfer point).
6. First Tranche Petroleum yang selanjutnya disingkat FTP adalah sejumlah tertentu minyak mentah dan/
atau gas bumi yang diproduksi dari suatu wilayah kerja dalam satu tahun kalender, yang dapat diambil
dan diterima oleh Badan Pelaksana dan/atau kontraktor dalam tiap tahun kalender, sebelum dikurangi
pengembalian biaya operasi dan penanganan produksi (own use).
7. Investment Credit yang selanjutnya disebut insentif investasi adalah tambahan pengembalian biaya
modal dalam jumlah tertentu, yang berkaitan langsung dengan fasilitas produksi, yang diberikan

www.ortax.org
354 Edisi PPh Badan | Maret 2017

sebagai insentif untuk pengembangan lapangan minyak dan/atau gas bumi tertentu.
8. Equity to be Split adalah hasil produksi yang tersedia untuk dibagi (lifting) antara Badan Pelaksana dan
kontraktor setelah dikurangi FTP, insentif investasi (jika ada) , dan pengembalian biaya operasi.
9. Biaya bukan modal (non capital cost) adalah biaya yang dikeluarkan pada kegiatan operasi tahun
berjalan yang mempunyai masa manfaat kurang dari 1 (satu) tahun, termasuk survei dan intangible
drilling cost.
10. Biaya modal (capital cost) adalah pengeluaran yang dilakukan untuk peralatan atau barang yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang pembebanannya pada tahun berjalan melalui
penyusutan.
11. Rencana kerja dan anggaran adalah suatu perencanaan kegiatan dan pengeluaran anggaran tahunan
oleh kontraktor untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi pada suatu wilayah kerja.
12. Kontrak bagi hasil adalah suatu bentuk kontrak kerja sama dalam kegiatan usaha hulu berdasarkan
prinsip pembagian hasil produksi.
13. Kontrak jasa adalah suatu bentuk kontrak kerja sama untuk pelaksanaan eksploitasi minyak dan gas
bumi berdasarkan prinsip pemberian imbalan jasa atas produksi yang dihasilkan.
14. Participating Interest adalah hak dan kewajiban sebagai kontraktor kontrak kerja sama, baik secara
langsung maupun tidak langsung pada suatu wilayah kerja.
15. Uplift adalah imbalan yang diterima oleh kontraktor sehubungan dengan penyediaan dana talangan
untuk pembiayaan operasi kontrak bagi hasil yang seharusnya merupakan kewajiban partisipasi
kontraktor lain, yang ada dalam satu kontrak kerja sama, dalam pembiayaan.
16. Domestic Market Obligation yang selanjutnya disingkat DMO adalah kewajiban penyerahan bagian
kontraktor berupa minyak dan/atau gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
17. Imbalan DMO adalah imbalan yang dibayarkan oleh Pemerintah kepada kontraktor atas penyerahan
minyak dan/atau gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan menggunakan harga yang
ditetapkan oleh Menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi kegiatan usaha minyak dan
gas bumi.
18. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
19. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kegiatan usaha minyak
dan gas bumi.

Pasal 2

Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini berlaku untuk kontrak bagi hasil dan kontrak jasa
di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi.

Pasal 3

(1) Kontraktor wajib membawa modal dan teknologi serta menanggung risiko operasi dalam rangka
pelaksanaan operasi perminyakan berdasarkan kontrak kerja sama pada suatu wilayah kerja.
(2) Pelaksanaan operasi perminyakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan berdasarkan
prinsip efektif dan efisien, prinsip kewajaran, serta kaidah praktek bisnis dan keteknikan yang baik.

Pasal 4

(1) Seluruh barang dan peralatan yang dibeli oleh kontraktor dalam rangka operasi perminyakan menjadi
barang milik negara yang pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah dan dikelola oleh Badan Pelaksana.
(2) Atas barang dan peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rangka pengembalian biaya
operasi tidak dapat dilakukan penilaian kembali.

Pasal 5

(1) Dalam melaksanakan operasi perminyakan, kontraktor wajib menyusun rencana kerja dan anggaran
sesuai dengan kaidah praktek bisnis dan keteknikan yang baik serta prinsip kewajaran.
(2) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. pengeluaran rutin; dan
b. pengeluaran proyek.
(3) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mendapat persetujuan Kepala
Badan Pelaksana.
(4) Persetujuan Kepala Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan dasar bagi
kontraktor untuk melaksanakan operasi perminyakan.

Pasal 6

Terhadap pengeluaran proyek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b, sebelum dilaksanakan
wajib mendapatkan persetujuan atorisasi pembelanjaan finansial dari Kepala Badan Pelaksana.

Pasal 7

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 355

(1) Kontraktor mendapatkan kembali biaya operasi sesuai dengan rencana kerja dan anggaran yang telah
disetujui oleh Kepala Badan Pelaksana, setelah wilayah kerja menghasilkan produksi komersial.
(2) Produksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) statusnya ditetapkan melalui Persetujuan
Menteri atas rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan.
(3) Dalam hal wilayah kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghasilkan produksi komersial,
terhadap seluruh biaya operasi yang telah dikeluarkan menjadi risiko dan beban kontraktor sepenuhnya.

Pasal 8

(1) Menteri menetapkan besaran minimum bagian negara dari suatu wilayah kerja yang dikaitkan dengan
lifting dalam persetujuan rencana pengembangan lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(2).
(2) Penetapan besaran minimum bagian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.

BAB II
PENGHASILAN BRUTO
DAN PENGURANG PENGHASILAN KONTRAKTOR

Bagian Kesatu
Penghasilan Bruto Kontraktor

Pasal 9

(1) Penghasilan bruto kontraktor terdiri atas:


a. penghasilan dalam rangka kontrak bagi hasil; atau
b. penghasilan dalam rangka kontrak jasa; dan
c. penghasilan lain di luar kontrak kerja sama.
(2) Penghitungan pajak penghasilan atas penghasilan dalam rangka kontrak bagi hasil sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dihitung berdasarkan nilai realisasi minyak dan/atau gas bumi bagian
kontraktor dari equity share dan FTP share ditambah minyak dan/atau gas bumi yang berasal dari
pengembalian biaya operasi ditambah minyak dan/atau gas bumi tambahan yang berasal dari
pemberian insentif atau karena hal lain dikurangi nilai realisasi penyerahan DMO minyak dan/atau gas
bumi ditambah Imbalan DMO ditambah varian harga atas lifling.
(3) Penghitungan pajak penghasilan atas penghasilan dalam rangka kontrak jasa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan imbalan yang diterima dari Pemerintah ditambah nilai
realisasi penjualan atas minyak dan/atau gas bumi yang berasal dari pengembalian biaya operasi.
(4) Penghasilan lain di luar kontrak kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas:
a. uplift atau imbalan lain yang sejenis; dan/atau
b. penghasilan yang berasal dari pengalihan participating interest.

Pasal 10

(1) Untuk menjamin adanya penerimaan negara, Menteri menetapkan besaran dan pembagian FTP.
(2) Untuk mendorong pengembangan wilayah kerja, Menteri dapat menetapkan bentuk dan besaran
insentif investasi.

Bagian Kedua
Biaya Operasi

Pasal 11

(1) Biaya operasi terdiri atas:


a. biaya eksplorasi;
b. biaya eksploitasi; dan
c. biaya lain.
(2) Biaya eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. biaya pengeboran terdiri atas:
1. biaya pengeboran eksplorasi; dan
2. biaya pengeboran pengembangan;
b. biaya geologis dan geofisika terdiri atas:
1. biaya penelitian geologis; dan
2. biaya penelitian geofisika;
c. biaya umum dan administrasi pada kegiatan eksplorasi;dan
d. biaya penyusutan.
(3) Biaya eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. biaya langsung produksi untuk:
1. minyak bumi; dan

www.ortax.org
356 Edisi PPh Badan | Maret 2017

2. gas bumi.
b. biaya pemrosesan gas bumi;
c. biaya utility terdiri atas:
1. biaya perangkat produksi dan pemeliharaan peralatan; dan
2. biaya uap, air, dan listrik;
d. biaya umum dan administrasi pada kegiatan eksploitasi; dan
e. biaya penyusutan.
(4) Biaya umum dan administrasi untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf c dan ayat (3) huruf d terdiri atas:
a. biaya administrasi dan keuangan;
b. biaya pegawai;
c. biaya jasa material;
d. biaya transportasi;
e. biaya umum kantor; dan
f. pajak tidak langsung, pajak daerah, dan retribusi daerah.
(5) Biaya lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas:
a. biaya untuk memindahkan gas dari titik produksi ke titik penyerahan; dan
b. biaya kegiatan pasca operasi kegiatan usaha hulu.

Pasal 12

(1) Biaya operasi yang dapat dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil dan pajak penghasilan harus
memenuhi persyaratan:
a. dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan dab terkait langsung dengan kegiatan operasi
perminyakan di wilayah kerja kontraktor yang bersangkutan di Indonesia;
b. menggunakan harga wajar yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan;
c. pelaksanaan operasi perminyakan sesuai dengan kaidah praktek bisnis dan keteknikan yang
baik;
d. kegiatan operasi perminyakan sesuai dengan rencana kerja dan anggaran yang telah
mendapatkan persetujuan Kepala Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan
Pasal 6.
(2) Biaya yang dikeluarkan yang terkait langsung dengan operasi perminyakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a wajib memenuhi syarat:
a. untuk biaya penyusutan hanya atas barang dan peralatan yang digunakan untuk operasi
perminyakan yang menjadi milik negara;
b. untuk biaya langsung kantor pusat yang dibebankan ke proyek di Indonesia yang berasal dari
luar negeri hanya untuk kegiatan yang:
1. tidak dapat dikerjakan oleh institusi/lembaga di dalam negeri;
2. tidak dapat dikerjakan oleh tenaga kerja Indonesia; dan
3. tidak rutin;
c. untuk pemberian imbalan sehubungan dengan pekerjaan kepada karyawan/pekerja dalam
bentuk natural kenikmatan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang perpajakan;
d. untuk pemberian sumbangan bencana alam atas nama Pemerintah dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
e. untuk pengeluaran biaya pengembangan masyarakat dan lingkungan yang dikeluarkan hanya
pada masa eksplorasi;
f. untuk pengeluaran alokasi biaya tidak langsung kantor pusat dengan syarat:
1. digunakan untuk menunjang usaha atau kegiatan di Indonesia;
2. kontraktor menyerahkan laporan keuangan konsolidasi kantor pusat yang telah
diaudit dan dasar pengalokasiannya; dan
3. besarannya tidak melampaui batasan yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri
Keuangan setelah mendapat pertimbangan Menteri.
(3) Batasan maksimum biaya yang berkaitan dengan remunerasi tenaga kerja asing ditetapkan dengan
Peraturan Menteri Keuangan setelah mendapatkan pertimbangan dari Menteri.

Pasal 13

Jenis biaya operasi yang tidak dapat dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil dan pajak penghasilan
meliputi:
a. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi dan/atau keluarga dari pekerja,
pengurus, pemegang participating interest, dan pemegang saham;
b. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali biaya penutupan dan pemulihan tambang yang
disimpan pada rekening bersama Badan Pelaksana dan kontraktor dalam rekening bank umum
Pemerintah Indonesia yang berada di Indonesia;
c. harta yang dihibahkan;
d. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang
berkaitan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan serta tagihan atau
denda yang timbul akibat kesalahan kontraktor karena kesengajaan atau kealpaan;

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 357

e. biaya penyusutan atas barang dan peralatan yang digunakan yang bukan milik negara;
f. insentif, pembayaran iuran pensiun, dan premi asuransi untuk kepentingan pribadi dan/atau keluarga
dari tenaga kerja asing, pengurus, dan pemegang saham;
g. biaya tenaga kerja asing yang tidak memenuhi prosedur rencana penggunaan tenaga kerja asing
(RPTKA) atau tidak memiliki izin kerja tenaga asing (IKTA);
h. biaya konsultan hukum yang tidak terkait langsung dengan operasi perminyakan dalam rangka kontrak
kerja sama;
i. biaya konsultan pajak;
j. biaya pemasaran minyak dan/atau gas bumi bagian kontraktor, kecuali biaya pemasaran gas bumi yang
telah disetujui Kepala Badan Pelaksana;
k. biaya representasi, termasuk biaya jamuan dengan nama dan dalam bentuk apapun, kecuali disertai
dengan daftar nominatif penerima manfaat dan nomor pokok wajib pajak (NPWP) penerima manfaat;
l. biaya pengembangan lingkungan dan masyarakat setempat pada masa eksploitasi;
m. biaya pelatihan teknis untuk tenaga kerja asing;
n. biaya terkait merger, akuisisi, atau biaya pengalihan participating interest;
o. biaya bunga atas pinjaman;
p. pajak penghasilan karyawan yang ditanggung kontraktor maupun dibayarkan sebagai tunjangan pajak
dan pajak penghasilan yang wajib dipotong atau dipungut atas penghasilan pihak ketiga yang
ditanggung kontraktor atau di-gross up;
q. pengadaan barang dan jasa serta kegiatan lainnya yang tidak sesuai dengan prinsip kewajaran dan
kaidah keteknikan yang baik, atau yang melampaui nilai persetujuan otorisasi pengeluaran di atas 10%
(sepuluh persen) dari nilai otorisasi pengeluaran;
r. surplus material yang berlebihan akibat kesalahan perencanaan dan pembelian;
s. nilai buku dan biaya pengoperasian aset yang telah digunakan yang tidak dapat beroperasi lagi akibat
kelalaian kontraktor;
t. transaksi yang:
1. merugikan negara;
2. tidak melalui proses tender sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali dalam hal
tertentu; atau
3. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
u. bonus yang dibayarkan kepada Pemerintah;
v. biaya yang terjadi sebelum penandatanganan kontrak;
w. insentif interest recovery; dan
x. biaya audit komersial.

Pasal 14

Dalam hal terdapat penghasilan tambahan yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan operasi perminyakan
dalam bentuk hasil penjualan produk sampingan atau bentuk lainnya diperlakukan sebagai pengurang biaya
operasi.

Pasal 15

(1) Barang yang memiliki masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun dibebankan sebagai biaya operasi
pada saat barang digunakan.
(2) Pembebanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara rata-rata atau dengan cara
mendahulukan barang yang diperoleh pertama.

Pasal 16

(1) Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun
dilakukan dalam bagian yang menurun selama masa manfaat yang dihitung dengan cara menerapkan
tarif penyusutan atas nilai sisa buku dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus.
(2) Penyusutan dimulai pada bulan harta tersebut digunakan (placed into service).
(3) Penghitungan penyusutan dilakukan sesuai kelompok, tarif, dan masa manfaat sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(4) Dalam hal harta berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat digunakan lagi akibat
kerusakan karena faktor alamiah atau keadaan kahar, jumlah nilai sisa buku harta berwujud tetap
disusutkan sesuai dengan sisa masa manfaatnya.

Pasal 17

(1) Besarnya cadangan biaya penutupan dan pemulihan tambang yang dibebankan untuk 1 (satu) tahun
pajak, dihitung berdasarkan estimasi biaya penutupan dan pemulihan tambang berdasarkan masa
manfaat ekonomis.
(2) Cadangan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disimpan dalam rekening bersama antara
Badan Pelaksana dan kontraktor di bank umum Pemerintah Indonesia di Indonesia.
(3) Dalam hal total realisasi biaya penutupan dan pemulihan tambang lebih kecil atau lebih besar dari
jumlah yang dicadangkan, selisihnya menjadi pengurang atau penambah biaya operasi yang dapat

www.ortax.org
358 Edisi PPh Badan | Maret 2017

dikembalikan dari masing-masing wilayah kerja atau lapangan yang bersangkutan, setelah mendapat
persetujuan Kepala Badan Pelaksana.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penggunaan dana cadangan biaya penutupan dan pemulihan tambang
diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 18

(1) Kontraktor dapat membebankan iuran pesangon bagi pegawai tetap yang dibayarkan kepada
pengelola dana pesangon tenaga kerja yang ditetapkan Menteri Keuangan.
(2) Tata cara pengelolaan iuran pesangon dan besarnya pesangon diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan.

Pasal 19

(1) Seluruh biaya kerja, pembebanannya ditangguhkan sampai dengan adanya lapangan yang berproduksi
secara komersial di wilayah kerja sebagaimana dimaksud dalamPasal 7 ayat (1).
(2) Untuk pengamanan penerimaan negara, selain penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Menteri dapat mengambil kebijakan terkait pengembangan lapangan.

Pasal 20

(1) Biaya operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 yang dapat dikembalikan dalam 1 (satu) tahun
kalender terdiri atas:
a. biaya bukan modal tahun berjalan;
b. penyusutan biaya modal tahun berjalan; dan
c. biaya operasi yang belum dapat dikembalikan pada tahun-tahun sebelumnya.
(2) Jumlah maksimum biaya operasi yang dapat dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
kontrak jasa ditentukan sebesar imbalan yang diberikan olehPemerintah.
(3) Biaya operasi yang dapat dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang belum dapat
diperhitungkan dalam 1 (satu) tahun kalender dapat diperhitungkan pada tahun berikutnya.
(4) Biaya langsung minyak bumi dibebankan pada produksi minyak bumi dan biaya langsung gas bumi
dibebankan pada produksi gas bumi.
(5) Dalam hal terdapat biaya bersama minyak dan gas bumi, biaya bersama dialokasikan sesuai proporsi
nilai relatif hasil produksi.
(6) Dalam hal suatu lapangan atau wilayah kerja telah menghasilkan satu jenis hasil produksi minyak bumi
atau gas bumi, sementara jenis produksi yang lainnya belum menghasilkan, biaya bersama
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dialokasikan secara adil berdasarkan kesepakatan antara Badan
Pelaksana dan kontraktor.
(7) Pengembalian biaya operasi untuk minyak bumi dilakukan hanya terhadap lifting minyak bumi,
sedangkan pengembalian biaya operasi untuk gas bumi dilakukanhanya terhadap nilai penjualan gas
bumi.
(8) Dalam hal pengembalian biaya operasi minyak bumi atau gas bumi tidak mencukupi dari hasil
produksinya atau nilai penjualannya, ditentukan:
a. biaya operasi gas bumi yang melebihi nilai produksinya, selisihnya dibebankan pada hasil
produksi minyak bumi;
b. biaya operasi minyak bumi yang melebihi nilai produksinya, selisihnya dibebankan pada nilai
penjualan gas bumi.

BAB III
PENGAKUAN DAN PENGUKURAN PENGHASILAN

Pasal 21

Penghasilan kontraktor untuk kontrak bagi hasil diakui pada titik penyerahan.

Pasal 22

(1) Penghasilan dari kontrak kerja sama dalam bentuk penjualan minyak bumi dinilai dengan menggunakan
harga
minyak mentah Indonesia.
(2) Metodologi dan formula dari harga minyak mentah Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan bersama oleh Menteri dan Menteri Keuangan.
(3) Ketentuan mengenai tata cara penetapan metodologi dan formula harga minyak mentah Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 23

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 359

(1) Penghasilan dari kontrak kerja sama dalam bentuk kontrak penjualan gas bumi dihitung berdasarkan
harga yang disepakati dalam kontrak penjualan gas bumi.
(2) Dalam hal penjualan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah gas bumi
diperoleh melalui proses lebih lanjut yang disetujui Menteri, penghasilan yang diakui dihitung
berdasarkan hasil penjualan yang diterimadikurangi komponen biaya penjualan.

BAB IV
PENGHITUNGAN BAGI HASIL

Pasal 24

(1) Dalam hal tidak terdapat FTP dan insentif investasi, equity to be split dihitung berdasarkan lifting
dikurangi biaya operasi yang dapat dikembalikan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 20.
(2) Dalam hal terdapat FTP tetapi tidak terdapat insentif investasi, equity to be split dihitung berdasarkan
lifting dikurangi FTP dikurangi biaya operasi yang dapatdikembalikan.
(3) Dalam hal terdapat FTP dan insentif investasi, equity to be split dihitung berdasarkan lifting dikurangi
FTP dikurangi insentif investasi dikurangi biaya operasi yang dapat dikembalikan.
(4) Dalam hal tidak terdapat FTP tetapi terdapat insentif investasi,equity to be split dihitung berdasarkan
lifting dikurangi insentif investasi dikurangi biaya operasi yangdapat dikembalikan.
(5) Insentif investasi dan biaya operasi yang dapat dikembalikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan,dikonversi menjadi:
a. minyak bumi, dengan harga rata-rata harga minyak mentah Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22;atau
b. gas bumi, dengan harga yang disepakati dalam kontrak penjualan gas bumi.
(6) Bagian kontraktor untuk kontrak kerja sama, dihitung berdasarkan persentase bagian kontraktor
sebelum pajak penghasilan yang dinyatakan dalam kontrak kerja sama dikalikan dengan equity to be
split.
(7) Bagian Pemerintah untuk kontrak kerja sama dihitung berdasarkan persentase bagian Pemerintah yang
dinyatakan dalam kontrak kerja sama dikalikafi dengan equity to be split yang didalamnya belum
termasuk pajak penghasilan yang terutang oleh kontraktor.
(8) Kontraktor wajib memenuhi kewajiban DMO dengan menyerahkan 25% (dua puluh lima persen)
bagiannya dari produksi minyak bumi dan/atau gas bumi yang dihasilkannya untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri.
(9) Kontraktor mendapat imbalan DMO atas penyerahan minyak bumi dan/atau gas bumi sebagaimana
dimaksud pada ayat (8) dengan harga yang ditetapkan oleh Menteri.

BAB V
PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN

Pasal 25

(1) Penghasilan kena pajak untuk 1 (satu) tahun pajak bagi kontraktor untuk kontrak bagi hasil, dihitung
berdasarkan penghasilan dalam rangka kontrak bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(2) dikurangi biaya bukan modal tahun berjalan dikurangi penyusutan biaya modal tahun berjalan
dikurangi biaya operasi yang belum dapatdikembalikan pada tahun-tahun sebelumnya.
(2) Dalam hal jumlah pengurang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih besar dari penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), sisa kurangnya diperhitungkan pada tahun pajak
berikutnya sampaidengan berakhirnya kontrak.
(3) Besarnya pajak penghasilan yang terutang bagi kontraktor,dihitung berdasarkan penghasilan kena
pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikalikan dengan tarif pajak yang ditentukan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangandi bidang pajak penghasilan.
(4) Besarnya pajak penghasilan yang terutang bagi kontraktor yang kontraknya ditandatangani sebelum
berlakunya peraturan Pemerintah ini, dihitung berdasarkan tarif pajak perseroan atau pajak
penghasilan pada saat kontrak ditandatangani.
(5) Atas penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah dikurangi pajak penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), terutang pajak penghasilan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(6) Dalam hal kontraktor berbentuk badan hukum Indonesia, penghasilan kena pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) setelah dikurangi pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diperlakukan sebagai deviden yang disediakan untuk dibayarkan dan terutang pajak penghasilan sesuai
dengan ketentuan peraturanperundang-undangan.
(7) Atas pemenuhan kewajiban pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4),ayat (5),
dan ayat (6) diterbitkan surat ketetapan pembayaran pajak penghasilan minyak bumi dan gas bumi
setelah dilakukan pemeriksaan pajak.
(8) Sebelum surat ketetapan pembayaran pajak penghasilan minyak bumi dan gas bumi diterbitkan, dapat
diterbitkan surat keterangan pembayaran pajak penghasilan minyakbumi dan gas bumi sementara.
(9) Ketentuan mengenai penerbitan surat ketetapan pembayaran pajak penghasilan minyak bumi dan gas
bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan surat keterangan pembayaran pajak penghasilan
minyak bumi dan gas bumi sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dengan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak.
(10) Kontraktor dibebaskan dari pemungutan bea masuk dan pajak dalam rangka impor atas barang yang

www.ortax.org
360 Edisi PPh Badan | Maret 2017

digunakan dalam operasi perminyakan pada kegiatan eksplorasi dankegiatan eksploitasi.


(11) Ketentuan mengenai tata cara pembebasan bea masuk dan pemungutan pajak dalam rangka impor
sebagaimana dimaksud pada ayat (10) diatur sesuai ketentuan peraturanperundang-undangan.

Pasal 26

(1) Penghasilan kena pajak untuk 1 (satu) tahun pajak bagi kontraktor dalam rangka kontrak jasa,
berdasarkan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) dikurangi biaya bukan modal
tahun berjalan dikurangi penyusutan biaya modal tahun berjalan dikurangi seluruh biaya operasi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 yangbelum dikembalikan.
(2) Ketentuan mengenai jumlah maksimum pengurang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah
imbalan yang diberikan oleh Pemerintah kepada kontraktor diaturdengan Peraturan Menteri.
(3) Dalam hal jumlah pengurang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih besar dari penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), sisa kurangnya diperhitungkan pada tahun pajak
berikutnya sampaidengan berakhirnya kontrak.
(4) Besarnya pajak penghasilan yang terutang bagi kontraktor berdasarkan penghasilan kena pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikalikan dengan tarif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dibidang pajak penghasilan.
(5) Atas penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah dikurangi pajak penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperlakukan sebagai deviden yang disediakan untuk dibayarkan
dan terutang pajakpenghasilan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.

BAB VI
PENGHASILAN DI LUAR KONTRAK KERJA SAMA

Pasal 27

(1) Atas penghasilan lain kontraktor berupa uplift atau imbalan lain yang sejenis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (4) huruf a dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final dengan tarif 20% (dua
puluh persen) dari jumlah bruto.
(2) Atas penghasilan kontraktor dari pengalihan participating interest sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (4) huruf b dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final dengan tarif:
a. 5% (lima persen) dari jumlah bruto, untuk pengalihan participating interest selama masa
eksplorasi;atau
b. 7% (tujuh persen) dari jumlah bruto, untuk pengalihan participating interest selama masa
eksploitasi.
(3) Pengenaan pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dikecualikan sepanjang
untuk melakukan kewajiban pengalihan participating interest sesuai kontrakkerja sama kepada
perusahaan nasional sebagaimana tertuang dalam kontrak kerja sama.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pemotongan dan pembayaran atas pajak penghasilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (I), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 28

Dalam rangka membagi risiko dalam masa eksplorasi, pengalihan participating interest tidak termasuk
penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) huruf b apabila memenuhi kriteria:
a. tidak mengalihkan seluruh participating interest yang dimilikinya;
b. participating interest telah dimiliki lebih dari 3 (tiga) tahun;
c. di wilayah kerja telah dilakukan eksplorasi (telah ada pengeluaran investasi);dan
d. pengalihan participating interest tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan.

BAB VII
PEMBUKUAN KONTRAKTOR

Pasal 29

(1) Pembukuan atau pencatatan hams diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan
mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
(2) Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin,
angka arab, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau bahasa asingsetelah mendapat persetujuan dari
Menteri Keuangan.
(3) Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas, sesuai dengan pernyataan standar akuntansi
keuangan, dan sesuai prinsip kontrak bagi hasil.
(4) Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan
dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitungbesarnya pajak yang terutang.
(5) Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain
termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program
aplikasi online wajib disediakan di Indonesia selama biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 belum
dikembalikan.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 361

Pasal 30

(1) Untuk perhitungan pajak, Direktorat Jenderal Pajak menetapkan besarnya biaya pada tahapan
eksplorasi setiap tahunnya di bidang usaha hulu minyak bumi dan gas bumisetelah mendapat
rekomendasi dari Badan Pelaksana,
(2) Sebelum menetapkan besarnya biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (I),auditor Pemerintah atas
nama Direktorat Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan.
(3) Dalam hal besaran biaya yang direkomendasikan Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berbeda dengan besaran biaya hasil pemeriksaan auditor Pemerintah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2),auditor Pemerintah dan Badan Eelaksana wajib menyelesaikanperbedaan tersebut.

BAB VIII
KEWAJIBAN KONTRAKTOR DAN/ATAU OPERATOR

Pasal 31

(1) Setiap kontraktor pada suatu wilayah kerja wajib:


a. mendaftarkan diri untuk memperoleh nomor pokok wajib pajak;
b. melaksanakan pembukuan;
c. menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan (SPT Tahunan PPh);
d. membayar angsuran pajak dalam tahun berjalan untuk setiap bulan paling lambat pada tanggal
15 (lima belas) bulan berikutnya,dan dihitung atas penghasilan kena pajak dari lifting yang
sebenarnya terjadi dalam suatu bulan takwim;
e. memenuhi ketentuan lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan.
(2) Dalam hal terjadi pengalihan participating interest atau pengalihan saham, kontraktor wajib melaporkan
nilainya kepada Direktur Jenderal Pajak.
(3) Dalam hal pengalihan participating interest, hak dan kewajiban perpajakan beralih kepada kontraktor
yang baru.
(4) Bentuk dan isi SPT Tahunan PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diatur dengan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 32

(1) Setiap operator pada suatu wilayah kerja wajib:


a. mendaftarkan kontrak kerja sama untuk memperoleh nomor pokok wajib pajak yang berbeda
dengan nomor pokok wajib pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a;
b. melakukan pemenuhan kewajiban pemotongan dan/ atau pemungutan pajak;
c. menyelenggarakan pembukuan untuk kegiatan operasi perminyakan untuk wilayah kerja yang
bersangkutan.
(2) Dalam hal terjadi pergantian operator, kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beralih kepada
operator yang baru.

Pasal 33

(1) Minyak bumi dan/atau gas bumi bagian pemerintah dari kontrak bagi hasil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 dihitung berdasarkan volume minyak bumi dan/atau gasbumi.
(2) Dalam hal Pemerintah membutuhkan minyak bumi dan/atau gas bumi untuk keperluan pemenuhan
kebutuhan dalam negeri, pajak penghasilan kontraktor dari kontrak bagi hasil, dapat berupa volume
minyak bumidan/atau gas bumi dari bagian kontraktor.
(3) Ketentuan mengenai perhitungan dan tata cara penyerahan bagian Pemerintah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
(4) Ketentuan mengenai perhitungan dan tata cara pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

BAB IX
KEWAJIBAN BADAN PELAKSANA

Pasal 34

(1) Badan Pelaksana wajib menerbitkan standar atau norma, jenis, kategori,dan besaran biaya yang
digunakan pada kegiatan operasi perminyakan bersamaan denganberlakunya Peraturan Pemerintah ini.
(2) Badan Pelaksana wajib menyampaikan laporan pembukuan mengenai pelaksanaan pengembalian biaya
operasi kepada Direktur Jenderal Pajak dan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi secara periodik
setiap tahun dan sewaktu-waktuapabila diperlukan.

www.ortax.org
362 Edisi PPh Badan | Maret 2017

BAB X
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 35

(1) Kontraktor harus melakukan transaksinya di Indonesia dan menyelesaikan pembayarannya melalui
sistem perbankan di Indonesia.
(2) Transaksi dan penyelesaian pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan
di luar Indonesia setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.

Pasal 36

(1) Menteri Keuangan dalam keadaan tertentu dapat menunjuk pihak ketiga yang independen untuk
melakukan verifikasi finansial dan teknis setelah berkoordinasi dengan Menteri.
(2) Penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan barang dan jasa.

Pasal 37

Dalam hal terjadi perubahan bentuk hukum dan/atau perubahan status domisili dan/atau pengalihan
participating interest atau kepemilikan saham dan/atau hal lain dari kontraktor yang mengakibatkan perubahan
perhitungan pajak penghasilan, besaran bagian penerimaan negara harus tetap.

BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 38

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:


a. Kontrak kerja sama yang telah ditandatangani sebelum Peraturan Pemerintah ini diundangkan,
dinyatakan tetap berlaku sampai dengan tanggal berakhirnya kontrak yang bersangkutan.
b. Hal-hal yang belum diatur atau belum cukup diatur secara tegas dalam kontrak kerja sama
sebagaimana dimaksud pada huruf a untuk ketentuan mengenai:
1. besaran bagian penerimahn negara;
2. persyaratan biaya operasi yang dapat dikembalikan dan norma pembebanan biaya operasi;
3. biaya operasi yang tidak dapat dikembalikan;
4. penunjukan pihak ketiga yang independen untuk melakukan verifikasi finansial dan teknis;
5. penerbitan surat ketetapan pajak penghasilan;
6. pembebasan bea masuk dan pajak dalam rangka impor atas barang pada kegiatan eksplorasi
dan kegiatan eksploitasi;
7. pajak penghasilan kontraktor berupa volume minyak bumi dan/atau gas bumi dari bagian
kontraktor;dan
8. penghasilan di luar kontrak kerja sama berupa uplift dan/ atau pengalihan participating
interest,
dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan wajib menyesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini.

BAB XII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 39

Kontrak kerja sama dalam kegiatan usaha hulu minyak bumi dan gas bumi yang dibuat atau diperpanjang
setelah berlakunya Peraturan Pemerintah ini wajib mematuhi ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 40

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 363

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA

ttd.

PATRIALIS AKBAR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 139

PENJELASAN
ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 79 TAHUN 2010

TENTANG

BIAYA OPERASI YANG DAPAT DIKEMBALIKAN DAN


PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN DI BIDANG USAHA HULU
MINYAK DAN GAS BUMI

I. UMUM

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) menegaskan bahwa cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara
termasuk minyak dan gas bumi yang merupakan sumber daya alam strategis yang tak dapat
diperbaharui.

Mengingat minyak dan gas bumi merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang penting, maka
pengelolaannya perlu dilakukan secara efisien dan seoptimal mungkin agar dapat dimanfaatkan bagi
sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Pengelolaan minyak dan gas bumi sampai saat ini dilakukan melalui sistem kontrak bagi hasil yang juga
dianut oleh kebanyakan negara produsen minyak.

Peraturan Pemerintah ini lebih menjamin penerimaan negara yang berasal dari penghasilan kontrak
bagi hasil atau penghasilan lainnya menjadi lebih optimal, antara lain melalui:
a. biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto akan sama dengan biaya yang dapat
dikembalikan oleh Pemerintah;
b. jenis, syarat, metode alokksi, dan batasan jumlah dari biaya tersebut akan diatur secara
seksama agar penerimaan negara lebih optimal dan agar tercipta kepastian hukum;
c. pajak-pajak tidak langsung seperti pajak pertambahan nilai (PPN), bea masuk, pajak bumi dan
bangunan (PBB), pajak daerah dan retribusi daerah yang selama ini menjadi beban Pemerintah
diubah sehingga menjadi beban bersama Pemerintah dan kontraktor dengan cara membukukan
pembayaran pajak tidak langsung tersebut sebagai komponen biaya;
d. kontraktor diwajibkan membayar sendiri pajak penghasilan yang terutang atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh di luar skema kontrak kerja sama.

Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya


penyalahgunaan penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

Dalam rangka optimalisasi penerimaan negara dari kontrak-kontrak yang sudah ada, Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2008 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009
mengamanatkan Pemerintah untuk menerbitkan peraturan yang mengatur mengenai Pengembalian
Biaya Operasi yang telah dikeluarkan kontraktor dalam rangka kontrak kerja sama. Untuk itu,
ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini juga berlaku terhadap kontrak kerja sama yang
telah ditandatangani sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dengan beberapa ketentuan
peralihan.

www.ortax.org
364 Edisi PPh Badan | Maret 2017

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Ayat (1)

Dalam hal kontrak kerja sama di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi, Pemerintah
menyediakan sumber daya alamnya sedangkan kontraktor wajib membawa modal dan
teknologi. Konsekuensinya bahwa kontraktor tidak diperkenankan membebankan
biaya bunga maupun biaya royalti dan sejenisnya ke dalam biaya operasi yang dapat
dikembalikan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 4

Ayat (1)

Pada dasarnya seluruh pengeluaran atas barang dan peralatan yang dibeli oleh kontraktor
merupakan milik negara, sehingga pengeluaran tersebut merupakan biaya operasi
yang dapat dikembalikan oleh Pemerintah kepada kontraktor berdasarkan harga
perolehan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 5

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan kaidah praktek bisnis yang baik meliputi kaidah praktek bisnis
yang umum berlaku dan wajar sesuai dengan etika bisnis, sedangkan kaidah
keteknikan yang baik meliputi:
a. memenuhi ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja serta perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup;
b. memproduksikan minyak dan gas bumi sesuai dengan kaidah pengelolaan
reservoar yang baik;
c. memproduksikan sumur minyak dan gas bumi dengan cara yang tepat;
d. menggunakan teknologi perolehan minyak tingkat lanjut yang tepat;
e. meningkatkan usaha peningkatan kemampuan reservoar untuk mengalirkan
fluida dengan teknik yang tepat; dan
f. memenuhi ketentuan standar peralatan yang dipersyaratkan.

Ayat (2)

Huruf a

Pengeluaran rutin antara lain pembayaran gaji, biaya pemeliharaan, dan biaya
pasca operasi pertambangan.

Huruf b

Pengeluaran proyek antara lain pembangunan fasilitas produksi dan kegiatan


survei seismik.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 365

Cukup jelas.

Pasal 6

Otorisasi pembelanjaan finansial adalah authorization for expenditure (AFE) .

Pasal 7

Cukup jelas.

Pasal 8

Cukup jelas.

Pasal 9

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan varian harga atas lifting adalah selisih harga yang terjadi
karena perbedaan harga minyak mentah Indonesia bulanan dengan harga minyak
mentah Indonesia rata-rata tertimbang.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 10

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Pengembangan wilayah kerja dalam ketentuan ini meliputi ekstensifikasi dan


intensifikasi.

Pasal 11

Biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan adalah sama dengan biaya yang akan
dikembalikan oleh Pemerintah kepada kontraktor dalam rangka kontrak kerja sama, demikian
pula sebaliknya. Prinsip ini biasa dikenal dengan nama uniformity principle.

Biaya operasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan biaya yang menjadi
dasar dalam penghitungan bagi hasil dan penghitungan Penghasilan Kena Pajak.

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

www.ortax.org
366 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Yang termasuk biaya penyusutan antara lain berupa:


1. fasilitas produksi;
2. gedung kantor, gudang, perumahan;
3. mesin dan peralatan.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Huruf a

Termasuk dalam biaya pemindahan gas dari titik produksi ke titik penyerahan
adalah biaya untuk pemasaran.

Huruf b

Cukup jelas.
Pasal 12

ayat (1)

Huruf a

Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan disebut


biaya sehari-hari yang boleh dibebankan pada tahun pengeluaran. Untuk dapat
dibebankan sebagai biaya, pengeluaran tersebut hams mempunyai hubungan
baik langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha atau kegiatan
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dengan kegiatan
operasi perminyakan di lapangan yang berproduksi secara komersial
di wilayah kerja yang bersangkutan di Indonesia.

Dengan demikian, pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara


penghasilan yang bukan objek pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pajak penghasilan dan/atau untuk penghasilan
yang dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final, tidak boleh dibebankan
sebagai biaya yang dapat dikembalikan.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Yang dimaksud dengan "biaya langsung kantor pusat yang dibebankan


ke proyek" adalah biaya yang terkait langsung dengan kegiatan operasi
perminyakan di Indonesia dengan syarat:
1. tidak dapat dikerjakan oleh institusillembaga di dalam negeri;
2. tidak dapat dikerjakan oleh tenaga kerja Indonesia; dan

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 367

3. tidak rutin.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Ayat (3)

Peraturan Menteri Keuangan paling sedikit mengatur mengenai waktu pemberlakuan


remunerasi.

Pasal 13

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Harta yang dihibahkan tidak boleh dibebankan sebagai biaya karena harta tersebut
merupakan milik negara.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Cukup jelas.

Huruf i

Cukup jelas.

Huruf j

Cukup jelas.

Huruf k

Cukup jelas.

Huruf l

Cukup jelas.

www.ortax.org
368 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Huruf m

Cukup jelas.

Huruf n

Biaya yang terkait dengan merger dan akuisisi antara lain:


1. biaya personal dan konsultan yang berkaitan dengan due diligence;
2. biaya eksternal untuk press release, promosi, dan penggantian logo
perusahaan;
3. biaya yang terkait dengan separation program dan retention program, biaya
yang berkaitan dengan teknologi sistem informasi (sepanjang sistem yang
lama belum sepenuhnya didepresiasikan), biaya yang terkait dengan
perpindahan kantor, dan biaya yang timbul karena perubahan kebijakan
tentang proyek yang sedang berjalan.

Huruf o

Yang dimaksud dengan "bunga atas pinjaman" adalah bunga atas pinjaman untuk
membiayai operasi perminyakan.

Huruf p

Cukup jelas.

Huruf q

Cukup jelas.

Huruf r

Yang dimaksud dengan "kesalahan perencanaan" adalah perbuatan kontraktor dalam


menyusun rencana yang dapat dikategorikan sebagai kelalaian berat atau perbuatan
salah yang disengaja.

Pengertian kelalaian berat atau perbuatan salah yang disengaja adalah setiap tindakan
yang disengaja atau kecerobohan yang dilakukan oleh manajemen atau pejabat senior
dari kontraktor yang:

a. konsekuensi diketahui atau patut diketahui dapat mengakibatkan terjadinya


kerugian orang atau terancamnya keamanan atau kepemilikan orang atau
badan lain; atau
b. secara fatal melanggar standar kehati-hatian yang dalam pengabaiannya atau
ketidakpeduliannya yang fatal mengakibatkan konsekuensi yang merugikan.

Huruf s

Yang dimaksud dengan "kelalaian kontraktor" adalah kelalaian berat (gross


negligance) atau perbuatan salah yang disengaja (willful misconduct).

Sebagian biaya konstruksi fasilitas produksi /peralatan yang tidak dapat dibebankan
menjadi biaya operasi yang tidak dapat dikembalikan dalam hal:
a. tidak dapat membuktikan bahwa kapasitas fasilitas produksi memenuhi target
yang disepakati sehingga pembebanan hanya dapat dibebankan proporsional
terhadap kapasitas terbukti;
b. tidak dapat membuktikan bahwa unjuk kerja fasilitas produksi memenuhi
kriteria yang ditetapkan sehingga pembebanan hanya dapat dilakukan
proporsional terhadap unjuk kerja terbukti.
c. pada masa konstruksi terjadi perbaikan atau pembuatan ulang/penggantian
seluruh dan/atau sebagian fasilitas produksi yang termasuk dalam
pertanggungan asuransi construction all risk;
d. pada masa garansi terjadi kerusakan akibat kesalahan fabrikasil
manufacturing, maka biaya perbaikan ataupun penggantian menjadi tanggung
jawab kontraktor penyedia barang/jasa.

Huruf t

Angka 1

Yang dimaksud dengan "transaksi yang merugikan negara" adalah transaksi


yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
sehingga menimbulkan kerugian bagi negara seperti pengadaan barang dan

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 369

jasa yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan dan lain-lain.

Angka 2

Yang dimaksud dengan tidak melalui proses tender dalam ketentuan ini adalah
seluruh pengadaan barang dan jasa wajib melalui proses tender sesuai
kebutuhan yang berlaku, namun untuk pengadaan barang dan jasa untuk
keperluan darurat dapat tidak melalui proses tender.

Angka 3

Cukup jelas.

Huruf u

Cukup jelas.

Huruf v

Cukup jelas.

Huruf w

Cukup jelas.

Huruf x

Dalam ha adanya kepentingan nasional yang mendesak, antara lain kelangsungan


produksi, percepatan peningkatan produksi minyak dan/atau gas bumi yang
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara, dapat dilakukan
pengecualian terhadap ketentuan ini.

Pasal 14

Yang dimaksud dengan penghasilan tambahan yang berasal dari hasil penjualan produk
sampingan antara lain penjualan belerang dan penjualan kapasitas lebih dari tenaga listrik.

Pasal 15

Cukup jelas.

Pasal 16

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "placed into service" adalah saat dimulainya suatu harta
berwujud digunakan dan telah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh Badan
Pelaksana.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 17

Yang dimaksud dengan "tahun pajak" adalah tahun kalender.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

www.ortax.org
370 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "kebijakan" adalah antara lain dalam rangka pengembalian
biaya yang didasarkan atas keekonomian lapangan atau beberapa lapangan dalam
usulan satu rencana pengembangan lapangan (POD basis) atau pengembangan
lapangan yang didasarkan atas keekonomian dalam satu lapangan veld basis) atau
pengembangan lapangan yang didasarkan atas keekonomian satu sumur atau
beberapa sumur dengan tidak membangun fasilitas produksi sendiri (put on production).

Pasal 20

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Yang dimaksud dengan "biaya operasi yang belum dapat dikembalikan pada
tahun-tahun sebelumnya" adalah bagian dari saldo biaya operasi yang belum
dapat dikembalikan pada awal tahun, sehingga dapat dikembalikan pada tahun
berjalan sesuai dengan pola bagi hasil.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Ayat (8)

Cukup jelas.

Pasal 21

Yang dimaksud dengan "titik penyerahan" adalah titik terjadinya pengalihan hak kepemilikan

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 371

(transfer of title) minyak bumi dan/atau gas bumi dari Pemerintah kepada kontraktor.

Pasal 22

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "harga minyak mentah Indonesia" adalah harga minyak
mentah yang ditetapkan oleh Menteri secara periodik.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 23

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "komponen biaya penjualan" adalah biaya yang berkaitan
dengan kegiatan pemrosesan lebih lanjut gas sampai dengan penjualannya antara lain
biaya pinjaman pembangunan kilang, biaya operasi kilang, transportasi, dan biaya
pemasaran.

Pasal 24

Cukup jelas.

Pasal 25

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan "tarif pajak" sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan


di bidang Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini adalah pemberlakuan tarif pajak
sesuai besaran tarif pajak yang dipilih oleh kantraktor yaitu tarif pajak yang berlaku
pada saat kontrak kerja sama ditandatangani atau tarif pajak sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku dan dapat
berubah setiap saat.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Yang dimaksud dengan "surat ketetapan pembayaran pajak penghasilan minyak bumi
dan gas bumi" adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal
Pajak setelah dilakukan pemeriksaan.

Ayat (8)

www.ortax.org
372 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Yang dimaksud dengan "surat ketetapan pembayaran pajak penghasilan minyak bumi
dan gas bumi sementara" adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan oleh Direktur
Jenderal Pajak sebelum dilakukan pemeriksaan yang kegunaannya antara lain untuk
kepentingan internal manajemen kantor pusat.

Ayat (9)

Cukup jelas.

Ayat (10)

Cukup jelas.

Ayat (11)

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

Pasal 27

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Participating interest dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29

Cukup jelas.

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Jika interest pada suatu wilayah kerja dimiliki oleh kontraktor A, kontraktor B, dan
kontraktor C kemudian interest kontraktor A dialihkan kepada kontraktor D, maka
kewajiban perpajakan atas interest tersebut menjadi kewajiban kontraktor D sejak
pengalihan interest tersebut berlaku efektif.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 32

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 373

Ayat (1)

Huruf a

Jika kontraktor A telah menandatangani kontrak kerja sama minyak dan gas
bumi dengan Pemerintah pada wilayah kerja X, maka kontraktor A yang juga
bertindak selaku operator wajib mendaftarkan wilayah kerja tersebut untuk
memperoleh NPWP yang berbeda dengan NPWP kontraktor itu sendiri.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Ayat (2)

Jika kontraktor B menjadi operator menggantikan kontraktor A, maka kewajiban


beralih kepada kontraktor B sejak pengalihan operator tersebut berlaku efektif.

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "standar atau norma, jenis, kategori, dan besaran biaya"
adalah suatu ukuran baik kualitatif dan/atau kuantitatif yang merupakan suatu rentang
nilai yang mewakili kondisi keteknikan dan kewajaran unsur biaya barang dan jasa
yang digunakan sebagai pembanding dalam proses persetujuan rencana kerja dan
anggaran serta otorisasi pembelanjaan finansial.

Pembebanan biaya operasi didasarkan pada realisasi biaya yang dikeluarkan


berdasarkan proses pengadaan barang dan jasa sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Standar atau norma, jenis, kategori, dan besaran biaya
tersebut akan dievaluasi sesuai dengan keperluan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 35

Cukup jelas.

Pasal 36

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" adalah musibah karena alam yang
menimbulkan potensi kerugian negara berupa penurunan penerimaan dan/atau
kerugian pada aset negara pada kegiatan eksplorasi danlatau eksploitasi minyak bumi
dan/atau gas bumi.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 37

Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjaga besaran penerimaan negara (jumlah pajak dan
penerimaan negara bukan pajak) tidak mengalami perubahan sesuai dengan besaran
penerimaan negara sebagaimana tercantum dalam kontrak kerja sama.

Pasal 38

huruf a

www.ortax.org
374 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Pasal 39

Cukup jelas.

Pasal 40

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5173

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=14547

www.ortax.org
Peraturan Pemerintah RI :
256/PMK.011/2011 Edisi PPh Badan | Maret 2017 375

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 256/PMK.011/2011

TENTANG

BATASAN PENGELUARAN ALOKASI BIAYA TIDAK LANGSUNG KANTOR PUSAT


YANG DAPAT DIKEMBALIKAN DALAM PENGHITUNGAN BAGI HASIL DAN
PAJAK PENGHASILAN BAGI KONTRAKTOR KONTRAK KERJA SAMA
MINYAK DAN GAS BUMI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 12 ayat (2) huruf f angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun
2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu
Minyak dan Gas Bumi, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Batasan Pengeluaran Alokasi
Biaya Tidak Langsung Kantor Pusat yang Dapat Dikembalikan Dalam Penghitungan Bagi Hasil dan Pajak
Penghasilan Bagi Kontraktor Minyak dan Gas Bumi;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan
Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5173);
4. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG BATASAN PENGELUARAN ALOKASI BIAYA TIDAK LANGSUNG
KANTOR PUSAT YANG DAPAT DIKEMBALIKAN DALAM PENGHITUNGAN BAGI HASIL DAN PAJAK PENGHASILAN
BAGI KONTRAKTOR MINYAK DAN GAS BUMI.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:


1. Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi yang untuk selanjutnya disebut Kontraktor adalah
badan usaha atau bentuk usaha tetap yang ditetapkan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi pada
suatu wilayah kerja berdasarkan kontrak kerja sama dengan Badan Pelaksana.
2. Kantor Pusat adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pendanaan dan/atau investasi untuk
mendukung operasi perminyakan bagi afiliasinya termasuk di Indonesia dan memberikan jasa untuk
menunjang operasi perminyakan bagi afiliasinya serta membuat laporan keuangan konsolidasi.
3. Badan Pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian kegiatan usaha
hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi.
4. Operasi Perminyakan adalah kegiatan yang meliputi eksplorasi, eksploitasi, pengangkutan, penutupan
dan peninggalan sumur (plug and abandonment) serta pemulihan bekas penambangan (site restoration)
minyak dan gas bumi.
5. Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk
menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas bumi di wilayah kerja yang
ditentukan.
6. Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan minyak dan gas bumi dari
wilayah kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan
sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian minyak dan gas
bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya.
7. Biaya Modal (capital cost) adalah pengeluaran yang dilakukan untuk peralatan atau barang yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang pembebanannya pada tahun berjalan melalui
penyusutan.
8. Biaya Bukan Modal (non capital cost) adalah biaya yang dikeluarkan pada kegiatan operasi tahun

www.ortax.org
376 Edisi PPh Badan | Maret 2017

berjalan yang mempunyai masa manfaat kurang dari 1 (satu) tahun, termasuk survei dan intangible
drilling cost.

Pasal 2

Pengeluaran alokasi biaya tidak langsung Kantor Pusat dapat dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil dan
menjadi pengurang penghasilan bruto dalam penghitungan Pajak Penghasilan Kontraktor.

Pasal 3

(1) Pengeluaran alokasi biaya tidak langsung Kantor Pusat yang dapat dikembalikan dan menjadi
pengurang penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan terkait langsung dengan kegiatan Operasi
Perminyakan di wilayah kerja Kontraktor yang bersangkutan di Indonesia;
b. digunakan untuk menunjang usaha atau kegiatan di Indonesia;
c. Kontraktor telah menyerahkan laporan keuangan konsolidasi Kantor Pusat yang telah diaudit;
dan
d. Kontraktor telah menyerahkan dasar pengalokasian biaya tidak langsung Kantor Pusat berupa:
1) untuk Kontraktor pada masa Eksplorasi, yaitu Rencana Kerja dan Anggaran yang telah
disetujui oleh Badan Pelaksana;
2) untuk Kontraktor pada masa Eksploitasi, yaitu:
a) persetujuan tertulis metode alokasi biaya tidak langsung Kantor Pusat oleh
Badan Pelaksana, dalam hal telah dilakukan kajian detil (detailed study) oleh
Badan Pelaksana; atau
b) proposal metode alokasi biaya tidak langsung Kantor Pusat yang telah
dinyatakan lengkap oleh Badan Pelaksana, dalam hal belum dilakukan kajian
detil (detailed study) oleh Badan Pelaksana.
(2) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c dan/atau huruf d
tidak dipenuhi oleh Kontraktor, pengeluaran alokasi biaya tidak langsung Kantor Pusat tidak dapat
dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil dan tidak menjadi pengurang penghasilan bruto dalam
penghitungan Pajak Penghasilan.

Pasal 4

(1) Besaran pengeluaran alokasi biaya tidak langsung Kantor Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ditetapkan:
a. paling tinggi 2% (dua persen) dari jumlah pengeluaran Biaya Modal dan Biaya Bukan Modal
selama masa Eksplorasi di wilayah kerja Kontraktor di Indonesia;
b. paling tinggi 2% (dua persen) dari jumlah pengeluaran Biaya Modal dan Biaya Bukan Modal
pada tahun yang bersangkutan selama masa Eksploitasi di wilayah kerja Kontraktor di Indonesia,
dengan contoh penghitungan sebagaimana tercantum dalam Lampiran, yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(2) Masa Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terhitung sejak tanggal efektif kontrak
kerja sama sampai dengan tahun persetujuan rencana pengembangan lapangan pertama pada suatu
wilayah kerja Kontraktor.
(3) Masa Eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terhitung dari berakhirnya masa
Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan tanggal berakhirnya kontrak kerja
sama.
(4) Dalam hal besaran pengeluaran alokasi biaya tidak langsung Kantor Pusat yang telah disetujui Badan
Pelaksana nilainya lebih kecil dari besaran pengeluaran alokasi biaya tidak langsung Kantor Pusat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), besaran pengeluaran alokasi biaya tidak langsung Kantor Pusat
yang dapat dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil dan menjadi pengurang penghasilan bruto
dalam penghitungan Pajak Penghasilan bagi Kontraktor tidak melebihi besaran pengeluaran yang telah
mendapat persetujuan dari Badan Pelaksana.

Pasal 5

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2012.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2011

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 377

MENTERI KEUANGAN,

ttd.

AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDIN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 945

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=14911

www.ortax.org
BIAYA
Natura, Makan
dan Minum
Edisi PPh Badan | Maret 2017 379

No Nomor Dokumen Tanggal Ditetapkan Perihal


1. 83/PMK.03/2009 22 April 2009 Penyediaan Makanan Dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai Serta
Penggantian Atau Imbalan Dalam Bentuk Natura Dan Kenikmatan Di
Daerah Tertentu Dan Yang Berkaitan Dengan Pelaksanaan Pekerjaan
Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja
2. PER - 51/PJ/2009 07 September 2009 Tata Cara Pemberian Dan Penetapan Besaran Kupon Makanan Dan/
Atau Minuman Bagi Pegawai, Kriteria Dan Tata Cara Penetapan Daerah
Tertentu, Dan Batasan Mengenai Sarana Dan Fasilitas Di Lokasi Kerja

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
380 Edisi PPh Badan | Maret 2017 83/PMK.03/2009

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 83/PMK.03/2009

TENTANG

PENYEDIAAN MAKANAN DAN MINUMAN BAGI SELURUH PEGAWAI SERTA


PENGGANTIAN ATAU IMBALAN DALAM BENTUK NATURA DAN KENIKMATAN DI DAERAH TERTENTU
DAN YANG BERKAITAN DENGAN PELAKSANAAN PEKERJAAN YANG DAPAT DIKURANGKAN
DARI PENGHASILAN BRUTO PEMBERI KERJA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penyediaan Makanan dan Minuman Bagi
Seluruh Pegawai Serta Penggantian atau Imbalan dalam Bentuk Natura dan Kenikmatan di Daerah Tertentu dan
yang Berkaitan Dengan Pelaksanaan Pekerjaan yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4740);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263), sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENYEDIAAN MAKANAN DAN MINUMAN BAGI SELURUH PEGAWAI
SERTA PENGGANTIAN ATAU IMBALAN DALAM BENTUK NATURA DAN KENIKMATAN DI DAERAH TERTENTU DAN
YANG BERKAITAN DENGAN PELAKSANAAN PEKERJAAN YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO
PEMBERI KERJA.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan:


1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008.
2. Pegawai adalah seluruh pegawai termasuk dewan direksi dan komisaris.

Pasal 2

Pemberian natura dan kenikmatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan
merupakan penghasilan bagi Pegawai yang menerimanya adalah :
a. Pemberian atau penyediaan makanan dan/atau minuman bagi seluruh Pegawai yang berkaitan dengan
pelaksanaan pekerjaan.
b. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan
pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk
mendorong pembangunan di daerah tersebut.
c. Pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai
sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya.

Pasal 3

Pengeluaran untuk penyediaan makanan dan/atau minuman bagi Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 huruf a meliputi:
a. pemberian makanan dan/atau minuman yang disediakan oleh pemberi kerja di tempat kerja, atau

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 381
b. pemberian kupon makanan dan/atau minuman bagi Pegawai yang karena sifat pekerjaannya tidak
dapat memanfaatkan pemberian sebagaimana dimaksud pada huruf a, meliputi Pegawai bagian
pemasaran, bagian transportasi, dan dinas luar lainnya.
b. pemberian kupon makanan dan/atau minuman bagi Pegawai yang karena sifat pekerjaannya tidak
dapat memanfaatkan pemberian sebagaimana dimaksud pada huruf a, meliputi Pegawai bagian
pemasaran, bagian transportasi, dan dinas Pasal
luar lainnya.
4

(1) Penggantian atau imbalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b adalah sarana dan fasilitas
di lokasi kerja untuk : Pasal 4
a. tempat tinggal, termasuk perumahan bagi Pegawai dan keluarganya;
(1) Penggantian
b. atau imbalan
pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b adalah sarana dan fasilitas
kesehatan;
di lokasi pendidikan
c. kerja untukbagi
: Pegawai dan keluarganya;
a.
d. tempat tinggal, termasuk perumahan bagi Pegawai dan keluarganya;
peribadatan;
b.
e. pelayanan kesehatan;
pengangkutan bagi Pegawai dan keluarganya;
c.
f. pendidikan
olahraga bagi
bagi Pegawai
Pegawai dan
dan keluarganya;
keluarganya tidak termasuk golf, power boating, pacuan kuda, dan
d. peribadatan;
terbang layang,
e.
sepanjang pengangkutan bagi Pegawai
sarana dan fasilitas dan
tersebut keluarganya;
tidak tersedia, sehingga pemberi kerja harus menyediakannya
f.
sendiri. olahraga bagi Pegawai dan keluarganya tidak termasuk golf, power boating, pacuan kuda, dan
(2) terbang sebagaimana
Daerah tertentu layang, dimaksud dalam Pasal 2 huruf b adalah daerah yang secara ekonomis
sepanjang sarana
mempunyai potensidan fasilitas
yang layaktersebut tidak tersedia,
dikembangkan sehingga
tetapi keadaan pemberi ekonomi
prasarana kerja harus menyediakannya
pada umumnya
sendiri. memadai dan sulit dijangkau oleh transportasi umum, baik melalui darat, laut maupun udara,
kurang
(2) Daerah tertentu
sehingga sebagaimana
untuk mengubah dimaksud
potensi dalam
ekonomi yangPasal 2 huruf
tersedia b adalah
menjadi daerahekonomi
kekuatan yang secara
yangekonomis
nyata,
mempunyai
penanam potensi
modal yang layakrisiko
menanggung dikembangkan
yang cukuptetapi
tinggikeadaan prasarana
dan masa ekonomi
pengembalian pada
yang umumnya
relatif panjang,
kurang memadai
termasuk daerah dan sulit laut
perairan dijangkau oleh transportasi
yang mempunyai umum,
kedalaman baikdari
lebih melalui darat,
50 (lima laut maupun
puluh) meter yangudara,
sehingga
dasar untuk
lautnya mengubah
memiliki potensimineral.
cadangan ekonomi yang tersedia menjadi kekuatan ekonomi yang nyata,
(3) penanam
Pengeluaranmodal menanggung
untuk pembangunan risiko yang dan
sarana cukup tinggi sebagaimana
fasilitas dan masa pengembalian
dimaksud padayangayat
relatif
(1)panjang,
yang
termasuk daerah
mempunyai masaperairan
manfaatlautlebihyang
darimempunyai kedalaman
1 (satu) tahun lebih
disusutkan dari 50
sesuai (limaketentuan
dengan puluh) meter yang
Pasal 11
dasar lautnya memiliki
Undang-Undang cadangan mineral.
Pajak Penghasilan.
(3) Pengeluaran untuk pembangunan sarana dan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun disusutkan sesuai dengan ketentuan Pasal 11
Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pasal 5

Pemberian natura dan kenikmatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c meliputi pakaian dan
Pasal
peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian seragam 5
petugas keamanan (satpam), sarana antar jemput
Pegawai, serta penginapan untuk awak kapal, dan yang sejenisnya.
Pemberian natura dan kenikmatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c meliputi pakaian dan
peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan (satpam), sarana antar jemput
Pegawai, serta penginapan untuk awak kapal, dan yang
Pasalsejenisnya.
6

Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman teknis tata cara pemberian dan penetapan besaran kupon makanan
dan/atau minuman bagi Pegawai, kriteria dan tata cara Pasal 6
penetapan daerah tertentu, dan batasan mengenai
sarana dan fasilitas di lokasi kerja, diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman teknis tata cara pemberian dan penetapan besaran kupon makanan
dan/atau minuman bagi Pegawai, kriteria dan tata cara penetapan daerah tertentu, dan batasan mengenai
sarana dan fasilitas di lokasi kerja, diatur dengan Peraturan
Pasal 7 Direktur Jenderal Pajak.

Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 466/KMK.04/2000
tentang Penyediaan Makanan Dan Minuman Bagi SeluruhPasal 7
Pegawai Dan Penggantian Atau Imbalan Sehubungan
Dengan Pekerjaan Atau Jasa Yang Diberikan Dalam Bentuk Natura Dan Kenikmatan Di Daerah Tertentu Serta
Pada saat
Yang Peraturan
Berkaitan Menteri
Dengan Keuangan
Pelaksanaan ini mulaiYang
Pekerjaan berlaku, Keputusan
Dapat Menteri
Dikurangkan DariKeuangan Nomor
Penghasilan 466/KMK.04/2000
Bruto Pemberi Kerja,
tentang dan
dicabut Penyediaan Makanan
dinyatakan Dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai Dan Penggantian Atau Imbalan Sehubungan
tidak berlaku.
Dengan Pekerjaan Atau Jasa Yang Diberikan Dalam Bentuk Natura Dan Kenikmatan Di Daerah Tertentu Serta
Yang Berkaitan Dengan Pelaksanaan Pekerjaan Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 8

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut terhitung
sejak tanggal 1 Januari 2009. Pasal 8

Peraturan
Agar setiapMenteri Keuangan ini mulai
orang mengetahuinya, berlaku pada pengumuman
memerintahkan tanggal ditetapkan dan mempunyai
Peraturan daya laku
Menteri Keuangan surut terhitung
ini dengan
sejak tanggal 1 Januari
penempatannya 2009. Negara Republik Indonesia.
dalam Berita

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 April 2009
MENTERI KEUANGAN,
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 April 2009
ttd.
MENTERI KEUANGAN,
SRI MULYANI INDRAWATI
ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13778

www.ortax.org
Peraturan Direktur Jenderal Pajak :
382 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PER - 51/PJ/2009

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 51/PJ/2009

TENTANG

TATA CARA PEMBERIAN DAN PENETAPAN BESARAN KUPON MAKANAN


DAN/ATAU MINUMAN BAGI PEGAWAI, KRITERIA DAN TATA CARA
PENETAPAN DAERAH TERTENTU, DAN BATASAN MENGENAI
SARANA DAN FASILITAS DI LOKASI KERJA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.03/2009 tentang
Penyediaan Makanan dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai Serta Penggantian atau Imbalan Dalam Bentuk Natura
dan Kenikmatan di Daerah Tertentu dan yang Berkaitan Dengan Pelaksanaan Pekerjaan yang Dapat
Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
tentang Tata Cara Pemberian dan Penetapan Besaran Kupon Makanan dan/atau Minuman Bagi Pegawai, Kriteria
dan Tata Cara Penetapan Daerah Tertentu, dan Batasan Mengenai Sarana dan Fasilitas di Lokasi Kerja;

Mengingat:

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.03/2009 tentang Penyediaan Makanan dan Minuman Bagi
Seluruh Pegawai Serta Penggantian atau Imbalan Dalam Bentuk Natura dan Kenikmatan di Daerah
Tertentu dan yang Berkaitan Dengan Pelaksanaan Pekerjaan yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan
Bruto Pemberi Kerja;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PEMBERIAN DAN PENETAPAN BESARAN KUPON
MAKANAN DAN/ATAU MINUMAN BAGI PEGAWAI, KRITERIA DAN TATA CARA PENETAPAN DAERAH TERTENTU,
DAN BATASAN MENGENAI SARANA DAN FASILITAS DI LOKASI KERJA.

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan:


1. Pegawai adalah seluruh pegawai termasuk dewan direksi dan komisaris.
2. Peraturan Menteri Keuangan adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.03/2009 tentang
Penyediaan Makanan dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai Serta Penggantian atau Imbalan Dalam
Bentuk Natura dan Kenikmatan di Daerah Tertentu dan yang Berkaitan Dengan Pelaksanaan Pekerjaan
yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja.
3. Daerah tertentu adalah daerah terpencil, yaitu daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang
layak dikembangkan tetapi keadaan prasarana ekonomi pada umumnya kurang memadai dan sulit
dijangkau oleh transportasi umum, baik melalui darat, laut maupun udara, sehingga untuk mengubah
potensi ekonomi yang tersedia menjadi kekuatan ekonomi yang nyata, penanam modal menanggung
risiko yang cukup tinggi dan masa pengembalian yang relatif panjang, termasuk daerah perairan laut
yang mempunyai kedalaman lebih dari 50 (lima puluh) meter yang dasar lautnya memiliki cadangan
mineral.

Pasal 2

(1) Nilai kupon makanan dan/atau minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b Peraturan
Menteri Keuangan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja sesuai dengan nilai kupon
yang wajar.
(2) Nilai kupon dapat dianggap wajar apabila nilai kupon tersebut tidak melebihi pengeluaran penyediaan
makanan dan/atau minuman per Pegawai yang disediakan oleh pemberi kerja di tempat kerja.

Pasal 3

(1) Penetapan daerah tertentu diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun, yang berlaku sejak tahun
pajak dierbitkannya keputusan dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 383

(2) Jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah 5 (lima) tahun.

Pasal 4

(1) Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha di daerah tertentu dapat mengajukan permohonan
penetapan daerah tertentu kepada Kepala Kantor Wilayah DJP yang membawahi Kantor Pelayanan
Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, dengan menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan:
a. fotokopi surat persetujuan penanaman modal berserta rinciannya yang diterbitkan oleh Kepala
Badan Koordinasi Penanaman Modal atau instansi lain yang berwenang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku untuk wajib Pajak penanaman modal, atau rencana
investasi untuk Wajib Pajak lainnya;
b. fotokopi peta lokasi;
c. fotokopi laporan keuangan tahun buku terakhir sebelum tahun permohonan; dan
d. pernyataan mengenai keadaan prasarana ekonomi dan sarana transportasi umum dengan
menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini.

Pasal 5

(1) Kepala Kantor Wilayah DJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 melakukan penelitian atas
permohonan Wajib Pajak, dan dalam hal:
a. permohonan Wajib Pajak belum lengkap, Kepala Kantor wilayah DJP mengirimkan surat
permintaan kelengkapan dengan menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
b. permohonan Wajib Pajak lengkap, Kepala Kantor Wilayah DJP melakukan pemeriksaan
ke lokasi daerah tertentu.
(2) Apabila Wajib Pajak tidak dapat memenuhi kelengkapan yang diminta sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a sampai dengan batas waktu yang ditentukan, permohonan Wajib Pajak tidak dapat
dipertimbangkan.
(3) Kepala Kantor Wilayah DJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat meminta bantuan kepada
Kepala Kantor Wilayah DJP tempat lokasi daerah tertentu berada untuk melakukan pemeriksaan apabila
lokasi daerah tertentu berada di luar wilayah kerjanya, dengan tembusan kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak terkait dan Wajib Pajak yang bersangkutan.

Pasal 6

(1) Berdasarkan permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Kepala Kantor Wilayah DJP atas nama Direktur Jenderal Pajak
wajib menerbitkan keputusan dengan menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
IV atau Lampiran V Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, paling lama 3 (tiga) bulan setelah
permohonan Wajib Pajak diterima secara lengkap.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diterbitkan paling lama 6 (enam) bulan setelah
permohonan Wajib Pajak diterima secara lengkap dalam hal diperlukan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3).
(3) Surat permohonan Wajib Pajak diterima secara lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) adalah saat diterimanya permohonan beserta seluruh lampiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4.
(4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) terlampaui dan Direktur
Jenderal Pajak belum menerbitkan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap diterima dan Kepala
Kantor Wilayah DJP atas nama Direktur Jenderal Pajak wajib menerbitkan keputusan persetujuan.
(5) Keputusan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib diterbitkan paling lama 5 (lima) hari
kerja setelah tanggal berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2).
(6) Keputusan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berlaku terhitung mulai tahun pajak saat
keputusan tersebut seharusnya diterbitkan.

Pasal 7

(1) Permohonan perpanjangan penetapan daerah tertentu diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah DJP
yang membawahi Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, dengan menggunakan formulir
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan
setelah keputusan persetujuan penetapan daerah tertentu berakhir dan harus dilampiri dengan:
a. fotokopi surat persetujuan penanaman modal berserta rinciannya yang diterbitkan oleh Kepala
Badan Koordinasi Penanaman Modal atau instansi lain yang berwenang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku untuk Wajib Pajak penanaman modal, atau rencana
investasi untuk wajib Pajak lainnya;
b. fotokopi peta lokasi;

www.ortax.org
384 Edisi PPh Badan | Maret 2017

c. fotokopi laporan keuangan tahun buku terakhir sebelum tahun permohonan;


d. pernyataan mengenai keadaan prasarana ekonomi dan sarana transportasi umum dengan
menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini; dan
e. fotokopi Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang penetapan daerah tertentu.
(3) Kepala Kantor Wilayah DJP melakukan penelitian atas permohonan Wajib Pajak dan pemeriksaan
ke lokasi daerah tertentu yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5.

Pasal 8

(1) Berdasarkan permohonan Wajib Pajak dan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Kepala
kantor Wilayah DJP atas nama Direktur Jenderal Pajak wajib menerbitkan keputusan dengan
menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV atau Lampiran V Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini, dengan jangka waktu penerbitan keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) atau ayat (2).
(2) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak
belum menerbitkan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap diterima dan Kepala Kantor Wilayah
DJP atas nama Direktur Jenderal Pajak wajib menerbitkan keputusan persetujuan, dengan jangka waktu
penerbitan keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5).
(3) Keputusan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku terhitung mulai tahun pajak pada
saat keputusan tersebut seharusnya diterbitkan.

Pasal 9

(1) Kantor Wilayah DJP dan Kantor Pelayanan Pajak harus membuat Buku Register pengawasan Wajib
Pajak yang mengajukan permohonan atau telah diberikan keputusan penetapan daerah tertentu dengan
menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran VI Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini.
(2) Untuk memonitor perkembangan investasi di daerah tertentu, laporan keuangan yang disampaikan oleh
Wajib Pajak sebagai lampiran SPT Tahunan Pajak Penghasilan harus diuraikan secara rinci mengenai:
a. daftar sarana dan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri
Keuangan beserta penyusutannya dengan menggunakan formulir sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran VII Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
b. daftar penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan
berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu dengan menggunakan formulir
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran VIII Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 10

(1) Pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai
sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf c Peraturan Menteri Keuangan meliputi pakaian dan peralatan untuk
keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan (satpam), sarana antar jemput Pegawai, serta
penginapan untuk awak kapal, dan sejenisnya.
(2) Pengertian keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkaitan
dengan keamanan atau keselamatan pekerja yang diwajibkan oleh Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi atau pemerintah daerah setempat.

Pasal 11

Lampiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 12

(1) Permohonan penetapan sebagai daerah tertentu yang diajukan sebelum berlakunya Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini dilaksanakan dan diproses sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-213/PJ/2001 tentang Perlakuan Perpajakan atas Penyediaan Makanan dan Minuman Bagi Seluruh
Pegawai dan Penggantian atau Imbalan Sehubungan Dengan Pekerjaan atau Jasa yang Diberikan Dalam
Bentuk Natura dan Kenikmatan di Daerah Tertentu Serta yang Berkaitan Dengan Pelaksanaan
Pekerjaan yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja.
(2) Jangka Waktu penetapan daerah tertentu yang telah ditetapkan berdasarkan ketentuan sebelum
berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dapat diperpanjang sesuai ketentuan dalam Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 13

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 385

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-213/PJ./2001 tentang Perlakuan Perpajakan atas Penyediaan Makanan dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai
dan Penggantian atau Imbalan Sehubungan Dengan Pekerjaan atau Jasa yang Diberikan Dalam Bentuk Natura
dan Kenikmatan di Daerah Tertentu Serta yang Berkaitan Dengan Pelaksanaan Pekerjaan yang Dapat Dikurangkan
Dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 14

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 September 2009
DIREKTUR JENDERAL,

ttd.

MOCHAMAD TJIPTARDJO
NIP 060044911

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13909

www.ortax.org
BIAYA
Pemakaian Telepon Seluler
Dan Kendaraan Perusahaan
Edisi PPh Badan | Maret 2017 387

No Nomor Dokumen Tanggal Ditetapkan Perihal


1. KEP - 220/PJ./2002 18 April 2002 Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Biaya Pemakaian Telepon Seluler Dan
Kendaraan Perusahaan
2. SE - 09/PJ.42/2002 17 Mei 2002 Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Biaya Pemakaian Telepon Seluler Dan
Kendaraan Perusahaan

www.ortax.org
Keputusan Direktur Jenderal Pajak :
388 Edisi PPh Badan | Maret 2017 KEP - 220/PJ./2002

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR KEP - 220/PJ./2002

TENTANG

PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS BIAYA PEMAKAIAN TELEPON SELULER DAN KENDARAAN PERUSAHAAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan dalam perlakuan pajak sebagai pelaksanaan
ketentuan Pasal 6, Pasal 9, dan Pasal 11 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, perlu
menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Biaya Pemakaian
Telepon Seluler Dan Kendaraan Perusahaan;

Menimbang :

1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3985);
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 138 Tahun 2000 Tentang Penghitungan Penghasilan
Kena Pajak Dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 253, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4055);
3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 520/KMK.04/2000 tanggal 14 Desember 2000 tentang Jenis-jenis
Harta Yang Termasuk Dalam Kelompok Harta Berwujud Bukan Bangunan Untuk Keperluan Penyusutan
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 138/KMK.03/2002 tanggal
8 April 2002;
4. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : Kep-545/PJ./2000 tanggal 29 Desember 2000 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pasal
26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS BIAYA PEMAKAIAN
TELEPON SELULER DAN KENDARAAN PERUSAHAAN.

Pasal 1

(1) Atas biaya perolehan atau pembelian telepon seluler yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk
pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya, dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan
sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah biaya perolehan atau pembelian melalui penyusutan
aktiva tetap kelompok I sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor
520/KMK.04/2000 Lampiran I butir 1 huruf c sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 138/KMK.03/2002.

(2) Atas biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan telepon seluler yang dimiliki dan
dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya, dapat
dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah biaya
berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan dalam tahun pajak yang bersangkutan.

Pasal 2

(1) Atas biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan bus, minibus, atau yang sejenis
yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk antar jemput para pegawai, dapat dibebankan
seluruhnya sebagai biaya perusahaan melalui penyusutan aktiva tetap kelompok II sebagaimana
dimaksud dalam Keputusan Menteri keuangan Nomor 520/KMK.04/2000 Lampiran II butir 1 huruf b
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 138/KMK.03/2002.

(2) Atas biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan bus, minibus, atau yang sejenis yang dimiliki
dan dipergunakan perusahaan untuk antar jemput para pegawai, dapat dibebankan seluruhnya
sebagai biaya perusahaan dalam tahun pajak yang bersangkutan.

Pasal 3

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 389

(1) Atas biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan sedan atau yang sejenis yang
dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya,
dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah biaya
perolehan atau pembelian atau perbaikan besar melalui penyusutan aktiva tetap kelompok II
sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 520/KMK.04/2000 Lampiran II
butir 1 huruf b sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
138/KMK.03/2002.

(2) Atas biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya
dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah biaya
pemeliharaan atau perbaikan rutin dalam tahun pajak yang bersangkutan.

Pasal 4

Apabila atas penghasilan Wajib Pajak yang dapat dibebani biaya-biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1,
Pasal 2 dan Pasal 3 dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final atau berdasarkan norma penghitungan
khusus, maka pembebanan biaya-biaya tersebut telah termasuk dalam penghitungan Pajak Penghasilan yang
bersifat final atau berdasarkan norma penghitungan khusus.

Pasal 5

Atas biaya-biaya yang dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1,
Pasal 2 dan Pasal 3, tidak merupakan penghasilan bagi para pegawai perusahaan yang bersangkutan.

Pasal 6

Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 April 2002
DIREKTUR JENDERAL,

ttd

HADI POERNOMO

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=1297

www.ortax.org
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak :
390 Edisi PPh Badan | Maret 2017 SE - 09/PJ.42/2002
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 17 Mei 2002
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
NOMOR SE - 09/PJ.42/2002 17 Mei 2002
TENTANGJENDERAL PAJAK
SURAT EDARAN DIREKTUR
NOMOR SE - 09/PJ.42/2002
PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS BIAYA PEMAKAIAN TELEPON SELULER
DAN KENDARAAN PERUSAHAAN
TENTANG

PERLAKUAN PAJAK PENGHASILANDIREKTUR JENDERAL


ATAS PAJAK,
BIAYA PEMAKAIAN TELEPON SELULER
DAN KENDARAAN PERUSAHAAN
Sehubungan dengan telah diterbitkannya Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-220/PJ./2002 tanggal
18 April 2002 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan
DIREKTURatas Biaya Pemakaian
JENDERAL PAJAK, Telepon Seluler Dan Kendaraan
Perusahaan yang berlaku mulai tanggal ditetapkan, untuk kelancaran pelaksanaannya dengan ini disampaikan
penegasan sebagai
Sehubungan denganberikut :
telah diterbitkannya Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-220/PJ./2002 tanggal
18 April 2002 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Biaya Pemakaian Telepon Seluler Dan Kendaraan
1. Berdasarkan
Perusahaan Keputusan
yang berlaku Direktur
mulai tanggal Jenderal Pajak
ditetapkan, untuktersebut di atas,
kelancaran diatur bahwadengan
pelaksanaannya : ini disampaikan
penegasan sebagai berikut :
Pasal 1:
1. Atas biaya perolehan
Berdasarkan atau
Keputusan pembelian
Direktur telepon
Jenderal seluler
Pajak yangdidimiliki
tersebut dan dipergunakan
atas, diatur bahwa : perusahaan untuk
pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya, dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan
sebesar
Pasal 1: 50% (lima puluh persen) melalui penyusutan aktiva tetap kelompok I (Lampiran I butir 1
huruf c), dan
Atas biaya atas biaya
perolehan berlangganan
atau atau pengisian
pembelian telepon ulang
seluler yang pulsa dan
dimiliki dan perbaikan telepon
dipergunakan seluler untuk
perusahaan
tersebut tertentu
pegawai dapat dibebankan sebagai
karena jabatan biaya
atau rutin perusahaan
pekerjaannya, dapat sebesar 50%sebagai
dibebankan (lima puluh
biayapersen).
perusahaan
sebesar 50% (lima puluh persen) melalui penyusutan aktiva tetap kelompok I (Lampiran I butir 1
Pasal
huruf 2
c),: dan atas biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan telepon seluler
Atas biaya perolehan
tersebut dapat atau pembelian
dibebankan ataurutin
sebagai biaya perbaikan besar sebesar
perusahaan kendaraan
50%bus, minibus,
(lima puluh atau yang sejenis
persen).
yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk antar jemput para pegawai, dapat dibebankan
seluruhnya
Pasal 2 : sebagai biaya perusahaan melalui penyusutan aktiva tetap kelompok II (Lampiran II butir
1 huruf
Atas b), perolehan
biaya dan atas biaya pemeliharaan
atau pembelian atau
atau perbaikan
perbaikan rutin
besar kendaraan
kendaraan tersebut
bus, dapat
minibus, ataudibebankan
yang sejenis
seluruhnya
yang dimilikisebagai biaya rutin perusahaan.
dan dipergunakan perusahaan untuk antar jemput para pegawai, dapat dibebankan
seluruhnya sebagai biaya perusahaan melalui penyusutan aktiva tetap kelompok II (Lampiran II butir
Pasal
1 huruf3 :b), dan atas biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan tersebut dapat dibebankan
Atas biaya perolehan
seluruhnya ataurutin
sebagai biaya pembelian atau perbaikan besar kendaraan sedan atau yang sejenis yang
perusahaan.
dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya,
dapat
Pasal 3dibebankan
: sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen) melalui penyusutan
aktiva tetapperolehan
Atas biaya Kelompokatau
II (Lampiran
pembelianIIatau
butirperbaikan
1 huruf b), dan kendaraan
besar atas biaya sedan
pemeliharaan atau
atau yang perbaikan
sejenis yang
rutin kendaraan tersebut dapat dibebankan sebagai biaya rutin perusahaan sebesar 50%
dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya,(lima puluh
persen).
dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen) melalui penyusutan
aktiva tetap Kelompok II (Lampiran II butir 1 huruf b), dan atas biaya pemeliharaan atau perbaikan
2. Berdasarkan ketentuan-ketentuan
rutin kendaraan tersebut di
tersebut dapat dibebankan atas, dengan
sebagai ini ditegaskan
biaya rutin perusahaanbahwa:
sebesar 50% (lima puluh
a.
persen). Yang dimaksud dengan:
a.1. Telepon seluler, termasuk juga alat komunikasi berupa pager;
2. a.2. ketentuan-ketentuan
Berdasarkan Kendaraan sedan tersebut
atau yangdi sejenis, termasuk
atas, dengan juga kendaraan
ini ditegaskan bahwa:jenis minibus
a. sepanjang digunakan
Yang dimaksud dengan: hanya untuk seorang pegawai tertentu karena jabatan atau
a.1. pekerjaannya,
Telepon seluler,dan penggunaannya
termasuk juga alat full-time
komunikasibaik untuk pager;
berupa kepentingan perusahaan
a.2. maupun keperluan
Kendaraan pribadi
sedan atau yangdan keluarga
sejenis, pegawai
termasuk yang
juga bersangkutan;
kendaraan jenis minibus
a.3. Biaya pemeliharaan
sepanjang digunakankendaraan,
hanya untuk termasuk
seorangjuga pengeluaran
pegawai tertenturutin untuk
karena pembelian/
jabatan atau
pemakaian bahan
pekerjaannya, danbakar.
penggunaannya full-time baik untuk kepentingan perusahaan
maupun keperluan pribadi dan keluarga pegawai yang bersangkutan;
b. Ketentuan-ketentuan
a.3. sebagaimana
Biaya pemeliharaan diaturtermasuk
kendaraan, dalam Keputusan Direktur rutin
juga pengeluaran Jenderal Pajak
untuk Nomor
pembelian/
KEP-220/PJ./2002
pemakaiantanggal
bahan 18 April 2002 berlaku untuk pengeluaran/biaya pemakaian telapon
bakar.
seluler dan kendaraan perusahaan yang dilakukan pada dan setelah tanggal 18 April 2002.
b. Adapun perlakuan pajak
Ketentuan-ketentuan terhadap pengeluaran/biaya
sebagaimana pemakaian
diatur dalam Keputusan telepon
Direktur seluler
Jenderal danNomor
Pajak
kendaraan perusahaan
KEP-220/PJ./2002 yang
tanggal 18dilakukan
April 2002sebelum
berlakutanggal 18 April 2002 padapemakaian
untuk pengeluaran/biaya dasarnya adalah
telapon
sama,
seluler kecuali mengenai
dan kendaraan penetapanyang
perusahaan beban biaya agar
dilakukan sedapat
pada mungkin
dan setelah didasarkan
tanggal atas
18 April fakta
2002.
yang
Adapunsebenarnya.
perlakuan pajak terhadap pengeluaran/biaya pemakaian telepon seluler dan
kendaraan perusahaan yang dilakukan sebelum tanggal 18 April 2002 pada dasarnya adalah
Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan
sama, kecuali dengan sebaik-baiknya.
mengenai penetapan beban biaya agar sedapat mungkin didasarkan atas fakta
yang sebenarnya.

Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

DIREKTUR JENDERAL,

ttd
DIREKTUR JENDERAL,
HADI POERNOMO
ttd

HADI POERNOMO
Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=1917

www.ortax.org
BIAYA
Penyusutan
392 Edisi PPh Badan | Maret 2017

No Nomor Dokumen Tanggal Ditetapkan Perihal


1. 43/PMK.03/2008 13 Maret 2008 Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan Harta Dalam Rangka
Penggabungan, Peleburan, Atau Pemekaran Usaha
2. 249/PMK.03/2008 31 Desember 2008 Penyusutan Atas Pengeluaran Untuk Memperoleh Harta Berwujud Yang
Dimiliki Dan Digunakan Dalam Bidang Usaha Tertentu
3. 96/PMK.03/2009 15 Mei 2009 Jenis-jenis Harta Yang Termasuk Dalam Kelompok Harta Berwujud
Bukan Bangunan Untuk Keperluan Penyusutan
4. 126/PMK.011/2012 06 Agustus 2012 Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 249/PMK.03/2008
Tentang Penyusutan Atas Pengeluaran Untuk Memperoleh Harta
Berwujud Yang Dimiliki Dan Digunakan Dalam Bidang Usaha Tertentu
5. 1169/KMK.01/1991 27 November 1991 Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing)
6. 521/KMK.04/2000 14 Desember 2000 Jenis-Jenis Harta Yang Termasuk Dalam Kelompok Harta Berwujud
Untuk Keperluan Penyusutan Bagi Kontraktor Yang Melakukan
Eksplorasi Dan Eksploitasi Minyak Dan Gas Bumi Dalam Rangka Kontrak
Bagi Hasil Dengan Perusahaan Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi
Negara (Pertamina)
7. PER - 28/PJ./2008 19 Juni 2008 Persyaratan Dan Tata Cara Pemberian Izin Penggunaan Nilai Buku
Atas Pengalihan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Atau
Pemekaran Usaha
8. PER - 55/PJ/2009 02 Oktober 2009 Tata Cara Permohonan Dan Penetapan Masa Manfaat Yang
Sesungguhnya Atas Harta Berwujud Bukan Bangunan Untuk Keperluan
Penyusutan
9. PER - 21/PJ/2012 24 Oktober 2012 Tata Cara Permohonan Dan Penetapan Masa Manfaat Yang
Sesungguhnya Atas Harta Berwujud Yang Dimiliki Dan Digunakan Dalam
Bidang Usaha Tertentu
10. PER - 10/PJ/2014 21 Maret 2014 Tata Cara Permohonan Dan Penetapan Atas Saat Mulainya Penyusutan
Harta Berwujud Yang Dapat Dilakukan Pada Bulan Digunakan Atau
Bulan Mulai Menghasilkan
11. PER - 20/PJ/2014 25 Juli 2014 Tata Cara Permohonan Dan Penetapan Masa Manfaat Yang
Sesungguhnya Atas Harta Berwujud Bukan Bangunan Untuk Keperluan
Penyusutan
12. KEP - 520/PJ./2002 11 Desember 2002 Jenis-Jenis Harta Yang Dipergunakan Dalam Usaha Jasa Telekomunikasi
Seluler Yang Termasuk Dalam Kelompok Harta Berwujud Bukan
Bangunan Untuk Keperluan Penyusutan
13. SE - 09/PJ.31/2002 17 Desember 2002 Pengantar Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-520/PJ./2002 Tanggal 11 Desember 2002 Tentang Jenis-Jenis Harta
Yang Dipergunakan Dalam Usaha Jasa Telekomunikasi Seluler Yang
Termasuk Dalam Kelompok Harta Berwujud Bukan Bangunan Untuk
Keperluan Penyusutan

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
43/PMK.03/2008 Edisi PPh Badan | Maret 2017 393

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 43/PMK.03/2008

TENTANG

PENGGUNAAN NILAI BUKU ATAS PENGALIHAN HARTA DALAM RANGKA PENGGABUNGAN,


PELEBURAN, ATAU PEMEKARAN USAHA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa dalam rangka menyelaraskan kebijakan perpajakan dengan kebijakan di bidang sosial, ekonomi,
investasi, moneter dan kebijakan lainnya, berdasarkan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan nilai lain
selain harga pasar, yaitu atas dasar nilai sisa buku ("pooling of interest");
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Keuangan tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta Dalam Rangka Penggabungan,
Peleburan, atau Pemekaran Usaha;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4740);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3985);
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGGUNAAN NILAI BUKU ATAS PENGALIHAN HARTA DALAM
RANGKA PENGGABUNGAN, PELEBURAN, ATAU PEMEKARAN USAHA.

Pasal 1

(1) Wajib Pajak yang melakukan merger dapat menggunakan nilai buku.
(2) Merger sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penggabungan usaha atau peleburan usaha.
(3) Penggabungan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah penggabungan dari dua atau lebih
Wajib Pajak Badan yang modalnya terbagi atas saham dengan cara tetap mempertahankan berdirinya
salah satu badan usaha yang tidak mempunyai sisa kerugian atau mempunyai sisa kerugian yang lebih
kecil.
(4) Peleburan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah penggabungan dari dua atau lebih Wajib
Pajak Badan yang modalnya terbagi atas saham dengan cara mendirikan badan usaha baru.
(5) Wajib Pajak yang melakukan pemekaran usaha yang dapat menggunakan nilai buku adalah:
a. Wajib Pajak yang belum Go Public yang akan melakukan penawaran umum perdana (Initial
Public Offering); atau
b. Wajib Pajak yang telah Go Public sepanjang seluruh badan usaha hasil pemekaran melakukan
penawaran umum perdana (Initial Public Offering).
(6) Pemekaran usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) adalah pemisahan satu Wajib Pajak Badan
yang modalnya terbagi atas saham menjadi dua Wajib Pajak Badan atau lebih dengan cara mendirikan
badan usaha baru dan mengalihkan sebagian harta dan kewajiban kepada badan usaha baru tersebut
yang dilakukan tanpa melakukan likuidasi badan usaha yang lama.

Pasal 2

Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan melampirkan alasan dan tujuan
melakukan merger dan pemekaran usaha;
b. melunasi seluruh utang pajak dari tiap badan usaha yang terkait; dan
c. memenuhi persyaratan tujuan bisnis (business purpose test).

www.ortax.org
394 Edisi PPh Badan | Maret 2017
Pasal 3

Wajib Pajak yang melakukan Merger dengan menggunakan nilai buku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
Pasalkerugian
ayat (1) tidak boleh mengkompensasikan kerugian/sisa 3 dari Wajib Pajak yang menggabungkan diri/
Wajib Pajak yang dilebur.
Wajib Pajak yang melakukan Merger dengan menggunakan nilai buku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
ayat (1) tidak boleh mengkompensasikan kerugian/sisa kerugian dari Wajib Pajak yang menggabungkan diri/
Wajib Pajak yang dilebur. Pasal 4

(1) Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 mencatat nilai
perolehan harta tersebut sesuai dengan nilaiPasal
sisa 4buku sebagaimana tercantum dalam pembukuan
pihak atau pihak-pihak yang mengalihkan.
(1)
(2) Wajib Pajak atas
Penyusutan yangharta
menerima pengalihan
yang diterima harta sebagaimana
sebagaimana dimaksuddimaksud dalam
pada ayat Pasal 1 mencatat
(1) dilakukan nilai
berdasarkan
perolehan hartayang
masa manfaat tersebut sesuai
tersisa dengan nilai
sebagaimana sisa buku
tercantum sebagaimana
dalam pembukuan tercantum dalam
pihak atau pembukuan
pihak-pihak yang
pihak atau pihak-pihak yang mengalihkan.
mengalihkan.
(2) Penyusutan atas harta yang diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan
masa manfaat yang tersisa sebagaimana tercantum dalam pembukuan pihak atau pihak-pihak yang
mengalihkan. Pasal 5

(1) Apabila Merger atau pemekaran usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan dalam tahun
pajak berjalan, maka jumlah angsuran Pajak Pasal 5
Penghasilan Pasal 25 dari pihak atau pihak-pihak yang
menerima pengalihan tidak boleh lebih kecil dari jumlah angsuran yang wajib dibayar oleh pihak atau
(1) Apabila Merger
pihak-pihak yangatau pemekaran usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan dalam tahun
mengalihkan.
(2) pajak berjalan,
Pembayaran, maka jumlahdan
pemungutan, angsuran Pajak Pajak
pemotongan Penghasilan Pasal 25
Penghasilan dari
yang pihak
telah atau pihak-pihak
dilakukan oleh pihakyang
atau
menerima
pihak-pihakpengalihan tidak boleh
yang mengalihkan lebih kecil
sebelum dari jumlah
dilakukannya angsuran
Merger atau yang wajib dibayar
pemekaran oleh pihak atau
usaha dapat
pihak-pihak yang menjadi
dipindahbukukan mengalihkan.
pembayaran, pemungutan, atau pemotongan Pajak Penghasilan dari Wajib
(2) Pembayaran, pemungutan, dan pemotongan Pajak Penghasilan yang telah dilakukan oleh pihak atau
Pajak yang menerima pengalihan.
pihak-pihak yang mengalihkan sebelum dilakukannya Merger atau pemekaran usaha dapat
dipindahbukukan menjadi pembayaran, pemungutan, atau pemotongan Pajak Penghasilan dari Wajib
Pajak yang menerima pengalihan. Pasal 6

(1) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (5) yang akan menjual sahamnya di bursa efek,
selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1Pasal (satu)6 tahun setelah memperoleh persetujuan dari Direktur
Jenderal Pajak untuk melakukan pemekaran usaha dengan menggunakan nilai buku, harus telah
(1) Wajib Pajak sebagaimana
mengajukan dimaksud dalam
pernyataan pendaftaran kepada Pasal 1 ayat
Badan (5) yang
Pengawas akanModal-Lembaga
Pasar menjual sahamnya di bursa
Keuangan efek,
dalam
selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah memperoleh persetujuan
rangka penawaran umum perdana (Initial Public Offering) dan pernyataan pendaftaran tersebut telah dari Direktur
Jenderal Pajak untuk melakukan pemekaran usaha dengan menggunakan nilai buku, harus telah
menjadi efektif.
(2) mengajukan
Jangka waktupernyataan
sebagaimana pendaftaran
dimaksudkepada
pada ayat Badan
(1) Pengawas Pasar Modal-Lembaga
dapat diperpanjang Keuangan
karena keadaan diluar dalam
rangka penawaran
kekuasaan umum
Wajib Pajak perdana
dengan (Initial Public
persetujuan Offering)
Direktur dan Pajak.
Jenderal pernyataan pendaftaran tersebut telah
(3) menjadiWajib
Apabila efektif.
Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
(2) Jangka waktu
maka nilai sebagaimana
pengalihan harta dimaksud pada ayat
atas pemekaran (1)yang
usaha dapat diperpanjang
dilakukan karena keadaan
berdasarkan nilai bukudiluar
dihitung
kekuasaan
kembali Wajib Pajak
berdasarkan dengan
nilai pasar.persetujuan Direktur Jenderal Pajak.
(3) Apabila Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
maka nilai pengalihan harta atas pemekaran usaha yang dilakukan berdasarkan nilai buku dihitung
kembali berdasarkan nilai pasar. Pasal 7

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diatur
dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Pasal 7

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diatur
dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Pasal 8

Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.04/1998
Pasal
tentang Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan Harta 8 Rangka Penggabungan, Peleburan, atau
Dalam
Pemekaran Usaha sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
Pada saat Peraturan
75/PMK.03/2005, Menteri
dicabut danKeuangan ini tidak
dinyatakan mulaiberlaku.
berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.04/1998
tentang Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, atau
Pemekaran Usaha sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
75/PMK.03/2005, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 9

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.


Pasal 9
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
Peraturan Menteri
penempatannya Keuangan
dalam Beritaini mulai Republik
Negara berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Indonesia.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Maret 2008
MENTERI KEUANGAN
Ditetapkan di Jakarta
pada
ttd tanggal 13 Maret 2008
MENTERI KEUANGAN
SRI MULYANI INDRAWATI
Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13164

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
249/PMK.03/2008 Edisi PPh Badan | Maret 2017 395

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 249/PMK.03/2008

TENTANG

PENYUSUTAN ATAS PENGELUARAN UNTUK MEMPEROLEH HARTA BERWUJUD


YANG DIMILIKI DAN DIGUNAKAN DALAM BIDANG USAHA TERTENTU

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 11 ayat (7) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penyusutan atas Pengeluaran Untuk
Memperoleh Harta Berwujud yang Dimiliki dan Digunakan dalam Bidang Usaha Tertentu.

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
2. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENYUSUTAN ATAS PENGELUARAN UNTUK MEMPEROLEH HARTA
BERWUJUD YANG DIMILIKI DAN DIGUNAKAN DALAM BIDANG USAHA TERTENTU.

Pasal 1

(1) Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang usaha tertentu dapat melakukan penyusutan atas
pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa
manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.
(2) Bidang usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. bidang usaha kehutanan, yaitu bidang usaha hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang
tanamannya dapat berproduksi berkali-kali dan baru menghasilkan setelah ditanam lebih dari
1 (satu) tahun.
b. bidang usaha perkebunan tanaman keras, yaitu bidang usaha perkebunan yang tanamannya
dapat berproduksi berkali-kali dan baru menghasilkan setelah ditanam lebih dari 1 (satu)
tahun.
c. bidang usaha peternakan, yaitu bidang usaha peternakan dimana ternak dapat berproduksi
berkali-kali dan baru dapat dijual setelah dipelihara sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun.
(3) Harta berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa aktiva tetap yang dimiliki dan digunakan
serta merupakan komoditas pokok dalam bidang usaha tertentu, yaitu :
a. bidang usaha kehutanan, meliputi tanaman kehutanan, kayu;
b. bidang usaha industri perkebunan tanaman keras meliputi tanaman keras;
c. bidang usaha peternakan meliputi ternak, termasuk ternak sapi pejantan.
(4) Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dimulai pada bulan produksi komersial.
(5) Bulan produksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah bulan dimana penjualan mulai
dilakukan.

Pasal 2

(1) Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 termasuk biaya
pembelian bibit, biaya untuk membesarkan dan memelihara bibit.
(2) tidak termasuk sebagai pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah biaya yang
berhubungan dengan tenaga kerja.

Pasal 3

Dalam hal harta berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dijual, maka harga jual merupakan
penghasilan dan nilai sisa buku merupakan kerugian.

www.ortax.org
396 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Pasal 4

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 31 Desember 2008
MENTERI KEUANGAN,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI

Status :
Peraturan Menteri Keuangan - 249/PMK.03/2008 Telah mengalami perubahan atau
penyempurnaan oleh Peraturan Menteri Keuangan - 126/PMK.011/2012, Tanggal 6 Agust 2012

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13581

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
96/PMK.03/2009 Edisi PPh Badan | Maret 2017 397

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 96/PMK.03/2009

TENTANG

JENIS-JENIS HARTA YANG TERMASUK DALAM KELOMPOK HARTA


BERWUJUD BUKAN BANGUNAN UNTUK KEPERLUAN PENYUSUTAN

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 11 ayat (11) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008,
perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Jenis-jenis Harta Yang Termasuk Dalam Kelompok Harta
Berwujud Bukan Bangunan Untuk Keperluan Penyusutan;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 133, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG JENIS-JENIS HARTA YANG TERMASUK DALAM KELOMPOK HARTA
BERWUJUD BUKAN BANGUNAN UNTUK KEPERLUAN PENYUSUTAN.

Pasal 1

(1) Untuk keperluan penyusutan, harta berwujud bukan bangunan sesuai dengan masa manfaat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (6) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun
2008 dikelompokkan menjadi Kelompok 1, Kelompok 2, Kelompok 3, dan Kelompok 4.
(2) Jenis-jenis harta berwujud bukan bangunan pada Kelompok 1, Kelompok 2, Kelompok 3, dan Kelompok
4 sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I, Lampiran
II, Lampiran III, dan Lampiran IV Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.

Pasal 2

(1) Jenis-jenis harta berwujud bukan bangunan yang tidak tercantum dalam Lampiran I, Lampiran II,
Lampiran III, dan Lampiran IV, untuk kepentingan penyusutan digunakan masa manfaat dalam
Kelompok 3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1).
(2) Dikecualikan dari ketentuan pada ayat (1), Wajib Pajak dapat memperoleh penetapan masa manfaat
atas jenis-jenis harta berwujud bukan bangunan sesuai dengan masa manfaat yang sesungguhnya.
(3) Untuk memperoleh penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak harus mengajukan
permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan menunjukkan masa manfaat yang sesungguhnya
jenis-jenis harta berwujud bukan bangunan.
(4) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditolak, Wajib Pajak menggunakan masa
manfaat jenis-jenis harta berwujud bukan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 3

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan dan penetapan masa manfaat yang sesungguhnya harta
berwujud bukan bangunan untuk keperluan penyusutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, diatur dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 4

www.ortax.org
398 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Pada saat berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 520/KMK.04/2000
tentang Jenis-jenis Harta Yang Termasuk Dalam Kelompok Harta Berwujud Bukan Bangunan Untuk Keperluan
Penyusutan sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan nomor KMK.138/KMK.03/2002,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 5

Peraturan Menteri Keuangan ini berlaku sejak tanggal 1 Januari 2009.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 15 Mei 2009
MENTERI KEUANGAN

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 15 Mei 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,

ttd.

ANDI MATTALATTA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 105

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13818

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
126/PMK.011/2012 Edisi PPh Badan | Maret 2017 399

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 126/PMK.011/2012

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 249/PMK.03/2008


TENTANG PENYUSUTAN ATAS PENGELUARAN UNTUK MEMPEROLEH
HARTA BERWUJUD YANG DIMILIKI DAN DIGUNAKAN
DALAM BIDANG USAHA TERTENTU

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa ketentuan mengenai penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang
dimiliki dan digunakan dalam bidang usaha tertentu telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 249/PMK.03/2008 tentang Penyusutan atas Pengeluaran Untuk Memperoleh Harta Berwujud yang
Dimiliki dan Digunakan dalam Bidang Usaha Tertentu;
b. bahwa dalam rangka lebih memberikan keseimbangan hak dan kewajiban Wajib Pajak, perlu melakukan
penyempurnaan ketentuan mengenai penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud
yang dimiliki dan digunakan dalam bidang usaha tertentu sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 249/PMK.03/2008 tentang Penyusutan atas Pengeluaran Untuk Memperoleh Harta
Berwujud yang Dimiliki dan Digunakan dalam Bidang Usaha Tertentu sebagaimana dimaksud pada
huruf a;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, dan untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 11 ayat (7) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 249/PMK.03/2008 tentang Penyusutan atas Pengeluaran Untuk Memperoleh Harta
Berwujud yang Dimiliki dan Digunakan dalam Bidang Usaha Tertentu;

Mengingat :

1. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;


2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 249/PMK.03/2008 tentang Penyusutan atas Pengeluaran Untuk
Memperoleh Harta Berwujud yang Dimiliki dan Digunakan dalam Bidang Usaha Tertentu;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
249/PMK.03/2008 TENTANG PENYUSUTAN ATAS PENGELUARAN UNTUK MEMPEROLEH HARTA BERWUJUD YANG
DIMILIKI DAN DIGUNAKAN DALAM BIDANG USAHA TERTENTU.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 249/PMK.03/2008 tentang Penyusutan atas
Pengeluaran Untuk Memperoleh Harta Berwujud yang Dimiliki dan Digunakan dalam Bidang Usaha Tertentu,
diubah sebagai berikut :

1. Ketentuan ayat (2) huruf c dan ayat (3) Pasal 1 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 1

(1) Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang usaha tertentu dapat melakukan penyusutan atas
pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dalam bagian-bagian yang sama besar selama
masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.
(2) Bidang usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. bidang usaha kehutanan, yaitu bidang usaha hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan
yang tanamannya dapat berproduksi berkali-kali dan baru menghasilkan setelah
ditanam lebih dari 1 (satu) tahun;
b. bidang usaha perkebunan tanaman keras, yaitu bidang usaha perkebunan yang
tanamannya dapat berproduksi berkali-kali dan baru menghasilkan setelah ditanam
lebih dari 1 (satu) tahun;
c. bidang usaha peternakan, yaitu bidang usaha peternakan yang ternaknya dapat
berproduksi berkali-kali dan baru menghasilkan setelah dipelihara lebih dari 1 (satu)
tahun.
(3) Harta berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa aktiva tetap yang dimiliki dan
digunakan serta merupakan komoditas pokok dalam bidang usaha tertentu, yaitu :

www.ortax.org
400 Edisi PPh Badan | Maret 2017

a. bidang usaha kehutanan, meliputi tanaman kehutanan;


b. bidang usaha perkebunan tanaman keras, termasuk tanaman rempah dan penyegar;
c. bidang usaha peternakan, meliputi ternak, termasuk ternak pejantan.
(4) Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dimulai pada bulan produksi komersial.
(5) Bulan produksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah bulan dimana penjualan
mulai dilakukan.

2. Di antara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 2A dan Pasal 2B yang berbunyi sebagai
berikut :

Pasal 2A

(1) Harta berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 untuk :


a. bidang usaha kehutanan, dikelompokkan dalam Kelompok 4;
b. bidang usaha perkebunan tanaman keras, dikelompokkan dalam kelompok 4;
c. bidang usaha peternakan, dikelompokkan dalam Kelompok 2.
sesuai dengan masa manfaat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (6) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
(2) Dikecualikan dari ketentuan pada ayat (1), Wajib Pajak dapat memperoleh penetapan masa
manfaat atas harta berwujud sesuai dengan masa manfaat yang sesungguhnya.
(3) Untuk memperoleh penetapan masa manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib
Pajak harus mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan menunjukkan
masa manfaat yang sesungguhnya dari harta berwujud.
(4) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditolak, Wajib Pajak menggunakan
masa manfaat harta berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 2B

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan untuk memperoleh penetapan masa
manfaat atas harta berwujud sesuai dengan masa manfaat yang sesungguhnya dan penetapan dokumen
yang harus dilampirkan pada permohonan serta tata cara penetapan masa manfaat yang sesungguhnya
harta berwujud yang dimiliki dan digunakan dalam bidang usaha tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2A, diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

3. Di antara Pasal 3 dan Pasal 4 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 3A dan Pasal 3B yang berbunyi
sebagai berikut :

Pasal 3A

Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini :


1. Atas harta berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yang telah disusutkan berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 249/PMK.03/2008, berlaku ketentuan sebagai berikut :
a. Terhadap nilai sisa buku fiskal harta berwujud berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 249/PMK.03/2008, yang mempunyai sisa masa manfaat berdasarkan Peraturan
Menteri ini lebih dari 1 (satu) tahun, disusutkan berdasarkan sisa masa manfaat sesuai
dengan Peraturan Menteri ini.
b. Terhadap nilai sisa buku fiskal harta berwujud berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 249/PMK.03/2008, yang mempunyai sisa masa manfaat berdasarkan Peraturan
Menteri ini kurang atau sama dengan 1 (satu) tahun, disusutkan sekaligus pada tahun
buku saat berlakunya Peraturan Menteri ini.
2. Terhadap harta berwujud sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
249/PMK.03/2008 yang tidak termasuk sebagai harta berwujud berdasarkan Peraturan Menteri
ini, biaya pengembangan harta berwujud dimaksud dikapitalisasi selama periode pengembangan
dan merupakan bagian dari harga pokok penjualan pada saat hasil harta berwujud tersebut
dijual, sepanjang harta berwujud tersebut telah disusutkan berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 249/PMK.03/2008.

Pasal 3B

Ketentuan mengenai penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang dimiliki dan
digunakan dalam bidang usaha tertentu sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini, mulai berlaku
sejak Tahun Pajak 2012.

Pasal II

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 401

dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 6 Agustus 2012
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Agustus 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDIN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 782

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15077

www.ortax.org
Keputusan Menteri Keuangan RI :
402 Edisi PPh Badan | Maret 2017 1169/KMK.01/1991

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 1169/KMK.01/1991

TENTANG

KEGIATAN SEWA GUNA USAHA (LEASING)

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa dalam rangka untuk lebih memberikan kepastian hukum terutama mengenai perlakuan perpajakan
kegiatan sewa-guna-usaha, dipandang perlu mengatur kembali ketentuan tentang kegiatan sewa guna usaha
dalam suatu Keputusan Menteri Keuangan.

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Tahun 1983 Nomor 49; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983
Nomor 50; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 51; Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3264);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan;
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 64M Tahun 1988;
6. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 1251/KMK.013/1988 tanggal 20 Desember
1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan sebagaimana diubah
dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1256/KMK.00/1989 tanggal 18 Nopember 1989;
7. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 634/KMK.013/1990 tanggal 5 Juni 1990
tentang Pengadaan Barang Modal Berfasilitas Melalui Perusahaan Sewa Guna Usaha (Perusahaan
Leasing).

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEGIATAN SEWA-GUNA-USAHA (LEASING).

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Yang dimaksud dalam Keputusan ini dengan :

a. Sewa-guna-usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik
secara sewa-guna-usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi
(operating lease) untuk digunakan oleh Lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan
pembayaran secara berkala;

b. Barang modal adalah setiap aktiva tetap berwujud, termasuk tanah sepanjang di atas tanah tersebut
melekat aktiva tetap berupa bangunan (plant), dan tanah serta aktiva dimaksud merupakan satu
kesatuan kepemilikan, yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dan digunakan secara
langsung untuk menghasilkan atau meningkatkan, atau memperlancar produksi dan distribusi barang
atau jasa oleh Lessee;

c. Lessor adalah perusahaan pembiayaan atau perusahaan sewa-guna-usaha yang telah memperoleh izin
usaha dari Menteri Keuangan dan melakukan kegiatan sewa-guna-usaha;

d. Lessee adalah perusahaan atau perorangan yang menggunakan barang modal dengan pembiayaan
dari Lessor;

e. Pembayaran Sewa-guna-usaha (Lease Payment) adalah jumlah uang yang harus dibayar secara
berkala oleh Lessee kepada Lessor selama jangka waktu yang telah disetujui bersama sebagai
imbalan penggunaan barang modal berdasarkan perjanjian sewa-guna-usaha;

f. Piutang sewa-guna-usaha (Lease Receivable) adalah jumlah seluruh pembayaran sewa-guna-usaha


selama masa sewa-guna-usaha;

g. Harga Perolehan (Acquisition Cost) adalah harga beli barang modal yang dilease ditambah dengan
biaya langsung;

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 403

h. Nilai pembiayaan adalah jumlah pembiayaan untuk pengadaan barang modal yang secara riil
dikeluarkan oleh Lessor;

i. Angsuran Pokok Pembiayaan adalah bagian dari pembayaran sewa-guna-usaha yang diperhitungkan
sebagai pelunasan atas nilai pembiayaan;

j. Imbalan Jasa Sewa-guna-usaha adalah bagian dari pembayaran sewa-guna-usaha yang


diperhitungkan sebagai pendapatan sewa-guna-usaha bagi Lessor;

k. Nilai Sisa (Residual Value) adalah nilai barang modal pada akhir masa sewa-guna-usaha yang telah
disepakati oleh Lessor dengan Lessee pada awal masa sewa-guna-usaha;

l. Simpanan Jaminan (Security Deposit) adalah jumlah uang yang diterima Lessor dari Lessee pada
permulaan masa lease sebagai jaminan untuk kelancaran pembayaran lease;

m. Masa Sewa-guna-usaha (Lease Term) adalah jangka waktu sewa-guna-usaha yang dimulai sejak
diterimanya barang modal yang disewa-guna-usaha oleh Lessee sampai dengan perjanjian sewa-guna
-usaha berakhir;

n. Masa Sewa-guna-usaha Pertama adalah jangka waktu sewa-guna-usaha barang modal untuk transaksi
sewa-guna-usaha yang pertama kalinya;

o. Opsi adalah hak Lessee untuk membeli barang modal yang disewa-guna-usaha atau memperpanjang
jangka waktu perjanjian sewa-guna-usaha.

BAB II
KEGIATAN USAHA

Pasal 2

(1) Kegiatan sewa-guna-usaha dapat dilakukan secara :


a. sewa-guna-usaha dengan hak opsi (finance lease);
b. sewa-guna-usaha tanpa hak opsi (operating lease).

(2) Kegiatan sewa-guna-usaha dengan hak opsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a Pasal ini
ditetapkan sebagai kegiatan lembaga keuangan lainnya.

Pasal 3

Kegiatan sewa-guna-usaha digolongkan sebagai sewa-guna-usaha dengan hak opsi apabila memenuhi semua
kriteria berikut :
a. jumlah pembayaran sewa-guna-usaha selama masa sewa-guna-usaha pertama ditambah dengan nilai
sisa barang modal, harus dapat menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan lessor;
b. masa sewa-guna-usaha ditetapkan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun untuk barang modal Golongan
I, 3 (tiga) tahun untuk barang modal Golongan II dan III, dan 7 (tujuh) tahun untuk Golongan
bangunan;
c. perjanjian sewa-guna-usaha memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.

Pasal 4

Kegiatan sewa-guna-usaha digolongkan sebagai sewa-guna-usaha tanpa hak opsi apabila memenuhi semua
kriteria berikut :
a. jumlah pembayaran sewa-guna-usaha selama masa sewa-guna-usaha pertama tidak dapat menutupi
harga perolehan barang modal yang disewa-guna-usahakan ditambah keuntungan yang
diperhitungkan oleh lessor;
b. perjanjian sewa-guna-usaha tidak memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.

Pasal 5

Penggolongan jenis barang modal yang disewa-guna-usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b
Keputusan ini, ditetapkan berdasarkan ketentuan Pasal 11 Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan.

Pasal 6

(1) Lessor hanya diperkenankan memberikan pembiayaan barang modal kepada lessee yang telah
memiliki NPWP, mempunyai kegiatan usaha dan atau pekerjaan bebas.

www.ortax.org
404 Edisi PPh Badan | Maret 2017

(2) Lessee dilarang menyewa-guna-usahakan kembali barang modal yang disewa-guna-usaha kepada
pihak lain.

Pasal 7

(1) Lessor wajib menempelkan plakat atau etiket pada barang modal yang disewa-guna-usahakan dengan
mencantumkan nama dan alamat lessor serta pernyataan bahwa barang modal dimaksud terikat
dalam perjanjian sewa-guna-usaha.

(2) Plakat atau etiket sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pasal ini harus ditempatkan sedemikian
rupa sehingga dengan mudah barang modal tersebut dapat dibedakan dari barang modal lainnya yang
pengadaannya tidak dilakukan secara sewa-guna-usaha.

(3) Selama masa sewa-guna-usaha, lessee bertanggung jawab untuk memelihara agar plakat atau etiket
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini tetap melekat pada barang modal yang disewa-guna-
usaha.

Pasal 8

(1) Perusahaan sewa-guna-usaha atau perusahaan pembiayaan yang melakukan kegiatan sewa-guna-
usaha, dapat membuka kantor cabang/kantor perwakilan dan menggunakan tenaga asing setelah
memperoleh izin/persetujuan dan rekomendasi dari Menteri Keuangan.

(2) Tata cara pemberian izin/persetujuan, dan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
oleh Direktur Jenderal Moneter.

BAB III
PERJANJIAN SEWA-GUNA-USAHA

Pasal 9

(1) Setiap transaksi sewa-guna-usaha wajib diikat dalam suatu perjanjian sewa-guna-usaha (lease
agreement).

(2) Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini sekurang-kurangnya memuat hal-hal
sebagai berikut :
a. jenis transaksi sewa-guna-usaha;
b. nama dan alamat masing-masing pihak;
c. nama, jenis, type dan lokasi penggunaan barang modal;
d. harga perolehan, nilai pembiayaan, pembayaran sewa-guna-usaha, angsuran pokok
pembiayaan, imbalan jasa sewa-guna-usaha, nilai sisa, simpanan jaminan, dan ketentuan
asuransi atas barang modal yang disewa-guna-usahakan;
e. masa sewa-guna-usaha;
f. ketentuan mengenai pengakhiran transaksi sewa-guna-usaha yang dipercepat, dan penetapan
kerugian yang harus ditanggung lessee dalam hal barang modal yang disewa-guna-usaha
dengan hak opsi hilang, rusak atau tidak berfungsi karena sebab apapun;
g. opsi bagi penyewa-guna-usaha dalam hal transaksi sewa-guna-usaha dengan hak opsi;
h. tanggung jawab para pihak atas barang modal yang disewa-guna-usaha.

(3) Perjanjian sewa-guna-usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini wajib dibuat dalam
bahasa Indonesia, dan apabila dipandang perlu dapat diterjemahkan kedalam bahasa asing.

BAB IV
PELAKSANAAN HAK OPSI

Pasal 10

Pada saat berakhirnya masa sewa-guna-usaha dari transaksi sewa-guna-usaha dengan hak opsi, lessee dapat m
elaksanakan opsi yang telah disetujui bersama pada permulaan masa sewa-guna-usaha.

Pasal 11

(1) Opsi untuk membeli dilakukan dengan melunasi pembayaran nilai sisa barang modal yang disewa-
guna-usaha.

(2) Dalam hal lessee memilih untuk memperpanjang jangka waktu perjanjian sewa-guna-usaha, maka
nilai sisa barang modal yang disewa-guna-usahakan digunakan sebagai dasar dalam menetapkan

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 405

piutang sewa-guna-usaha.

Pasal 12

Dalam hal lessee menggunakan opsi membeli maka dasar penyusutannya adalah nilai sisa barang modal.

BAB V
PERLAKUAN AKUNTANSI

Pasal 13

Akuntansi transaksi sewa-guna-usaha dilaksanakan sesuai dengan standar akuntansi di bidang sewa-guna-
usaha di Indonesia.

BAB VI
PERLAKUAN PERPAJAKAN

Bagian Pertama
Sewa-guna-usaha Dengan Hak Opsi

Pasal 14

Perlakuan Pajak Penghasilan bagi lessor adalah sebagai berikut :

a. penghasilan lessor yang dikenakan Pajak Penghasilan adalah sebagian dari pembayaran sewa guna
usaha dengan hak opsi yang berupa imbalan jasa sewa guna usaha;

b. lessor tidak boleh menyusutkan atas barang modal yang disewa-guna-usahakan dengan hak opsi;

c. dalam hal masa sewa-guna-usaha lebih pendek dari masa yang ditentukan dalam Pasal 3 Keputusan
ini, Direktur Jenderal Pajak melakukan koreksi atas pengakuan penghasilan pihak lessor;

d. lessor dapat membentuk cadangan penghapusan piutang ragu-ragu yang dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto, setinggi-tingginya sejumlah 2,5% (dua setengah persen) dari rata-rata saldo awal
dan saldo akhir piutang sewa-guna-usaha dengan hak opsi.

e. kerugian yang diderita karena piutang sewa-guna-usaha yang nyata-nyata tidak dapat ditagih lagi
dibebankan pada cadangan penghapusan piutang ragu-ragu yang telah dibentuk pada awal tahun
pajak yang bersangkutan;

f. dalam hal cadangan penghapusan piutang ragu-ragu tersebut tidak atau tidak sepenuhnya dibebani
untuk menutup kerugian dimaksud maka sisanya dihitung sebagai penghasilan, sedangkan apabila
cadangan tersebut tidak mencukupi maka kekurangannya dapat dibebankan sebagai biaya yang
dikurangkan dari penghasilan bruto.

Pasal 15

Atas penyerahan jasa dalam transaksi sewa-guna-usaha dengan hak opsi dari lessor kepada lessee,
dikecualikan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

Pasal 16

(1) Perlakuan Pajak Penghasilan bagi lessee adalah sebagai berikut :

a. selama masa sewa-guna-usaha, lessee tidak boleh melakukan penyusutan atas barang modal
yang disewa-guna-usaha, sampai saat lessee menggunakan hak opsi untuk membeli;

b. setelah lessee menggunakan hak opsi untuk membeli barang modal tersebut, lessee
melakukan penyusutan dan dasar penyusutannya adalah nilai sisa (residual value) barang
modal yang bersangkutan;

c. pembayaran sewa-guna-usaha yang dibayar atau terutang oleh lessee kecuali pembebanan
atas tanah, merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto lessee
sepanjang transaksi sewa-guna-usaha tersebut memenuhi ketentuan dalam Pasal 3 Keputusan
ini;

d. dalam hal masa sewa-guna-usaha lebih pendek dari masa yang ditentukan dalam Pasal 3
Keputusan ini, Direktur Jenderal Pajak melakukan koreksi atas pembebanan biaya sewa-guna-

www.ortax.org
406 Edisi PPh Badan | Maret 2017

usaha.

(2) Lessee tidak memotong Pajak Penghasilan Pasal 23 atas pembayaran sewa-guna-usaha yang dibayar
atau terutang berdasarkan perjanjian sewa-guna-usaha dengan hak opsi.

Bagian Kedua
Sewa-guna-usaha Tanpa Hak Opsi

Pasal 17

(1) Perlakuan Pajak Penghasilan bagi lessor adalah sebagai berikut :


a. seluruh pembayaran sewa-guna-usaha tanpa hak opsi yang diterima atau diperoleh lessor
merupakan obyek Pajak Penghasilan.
b. lessor membebankan biaya penyusutan atas barang modal yang disewa-guna-usahakan tanpa
hak opsi, sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 beserta
peraturan pelaksanaannya.

(2) Perlakuan Pajak Penghasilan bagi lessee adalah sebagai berikut :


a. pembayaran sewa-guna-usaha tanpa hak opsi yang dibayar atau terutang oleh lessee adalah
biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
b. lessee wajib memotong Pajak Penghasilan Pasal 23 atas pembayaran sewa-guna-usaha tanpa
hak opsi yang dibayarkan atau terutang kepada lessor.

Pasal 18

Atas penyerahan jasa dalam transaksi sewa-guna-usaha tanpa hak opsi dari lessor kepada lessee, terhutang
Pajak Pertambahan Nilai.

Bagian Ketiga
Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25

Pasal 19

Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk setiap bulan yang terutang oleh lessor adalah jumlah
Pajak Penghasilan sebagai hasil penerapan tarif Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan Tahun 1984
terhadap Penghasilan Kena Pajak berdasarkan laporan keuangan triwulanan terakhir sesuai dengan ketentuan
dalam Pasal 20 Keputusan ini disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).

BAB IX
PELAPORAN

Pasal 20

(1) Lessor wajib menyampaikan laporan keuangan triwulanan kepada Direktorat Jenderal Pajak dan
Direktorat Jenderal Moneter.

(2) Laporan keuangan triwulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus sudah disampaikan paling
lambat 15 (lima belas) hari setelah triwulan yang bersangkutan berakhir.

Pasal 21

(1) Lessor wajib menyampaikan laporan operasional secara semesteran berdasarkan tahun takwim
kepada Direktorat Jenderal Moneter.

(2) Bentuk laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini dan tata cara penyampaiannya
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Moneter.

Pasal 22

Setiap perubahan anggaran dasar, pemegang saham, pengurus, tenaga ahli, dan alamat kantor wajib
dilaporkan kepada Menteri Keuangan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari kerja setelah perubahan
dilaksanakan.

Pasal 23

Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud Pasal 20, Pasal 21 dan Pasal 22 atau berdasarkan informasi lain

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 407

ditemukan adanya penyimpangan, Menteri Keuangan atau Pejabat yang ditunjuknya dapat melakukan
pemeriksaan.

BAB X
SANKSI

Pasal 24

Pelanggaran terhadap ketentuan Keputusan ini, dapat dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Perundang-undangan Perpajakan dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988
jo. Nomor 1256/KMK.00/ 1989.

BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 25

(1) Perlakuan akuntansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 Keputusan ini mulai berlaku untuk tahun
pajak 1991.

(2) Perlakuan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 16 Keputusan ini mulai
berlaku terhadap sewa-guna-usaha dengan hak opsi yang kontraknya ditandatangani setelah
berlakunya Keputusan ini.

(3) Perlakuan perpajakan yang selama ini diterapkan terhadap sewa-guna-usaha dengan hak opsi yang
kontraknya telah ditandatangani sebelum berlakunya Keputusan ini, tetap berlaku.

BAB XII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 26

Pelaksanaan teknis Keputusan ini diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Moneter dan Direktur Jenderal Pajak
baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing.

Pasal 27

Dengan ditetapkannya Keputusan ini, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 48/KMK.013/1991 tentang Kegiatan
Sewa-guna-usaha, dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 28

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut terhitung sejak tanggal
19 Januari 1991.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 27 November 1991
MENTERI KEUANGAN,

ttd

J.B. SUMARLIN

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=501

www.ortax.org
Keputusan Menteri Keuangan RI :
408 Edisi PPh Badan | Maret 2017 521/KMK.04/2000

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 521/KMK.04/2000

TENTANG

JENIS-JENIS HARTA YANG TERMASUK DALAM KELOMPOK HARTA BERWUJUD


UNTUK KEPERLUAN PENYUSUTAN BAGI KONTRAKTOR YANG MELAKUKAN EKSPLORASI DAN EKSPLOITASI
MINYAK DAN GAS BUMI DALAM RANGKA KONTRAK BAGI HASIL DENGAN
PERUSAHAAN PERTAMBANGAN MINYAK DAN GAS BUMI NEGARA (PERTAMINA)

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 11 ayat (7) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, perlu
menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Jenis-jenis Harta yang Termasuk Dalam Kelompok Harta
Berwujud Untuk Keperluan Penyusutan Bagi Kontraktor Yang Melakukan Eksplorasi Dan Eksploitasi Minyak Dan
Gas Bumi Dalam Rangka Kontrak Bagi Hasil Dengan Perusahaan Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi Negara
(Pertamina);

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1971 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2971);

2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983, tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3984);

3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985);

4. Keputusan Presiden Nomor 234/M Tahun 2000;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG JENIS-JENIS HARTA YANG TERMASUK DALAM KELOMPOK HARTA
BERWUJUD UNTUK KEPERLUAN PENYUSUTAN BAGI KONTRAKTOR YANG MELAKUKAN EKSPLORASI DAN
EKSPLOITASI MINYAK DAN GAS BUMI DALAM RANGKA KONTRAK BAGI HASIL DENGAN PERUSAHAAN
PERTAMBANGAN MINYAK DAN GAS BUMI NEGARA (PERTAMINA).

Pasal 1

Jenis-jenis harta yang termasuk dalam masing-masing kelompok harta berwujud untuk keperluan penyusutan
bagi kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi dalam rangka kontrak bagi
hasil dengan Perusahaan Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi Negara (Pertamina) adalah sebagaimana
ditetapkan dalam Lampiran I sampai dengan Lampiran III Keputusan Menteri Keuangan ini.

Pasal 2

(1) Dalam melaksanakan perhitungan penyusutan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1,
diperhatikan persyaratan khusus yang berhubungan dengan produksi minyak dan gas bumi dari
Kontraktor Kontrak Bagi Hasil.

(2) Persyaratan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah Kontraktor Kontrak Bagi Hasil yang
mempunyai cadangan terbukti (proven reserves) yang dapat berproduksi selama 7 (tujuh) tahun atau
kurang.

Pasal 3

Pada saat Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor
457/KMK.012/1984 tentang Penentuan Jenis-jenis Harta Dalam Masing-masing Golongan Harta Untuk Keperluan

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 409

Penyusutan Bagi Kontraktor Yang Melakukan Kontrak Production Sharing Dalam Explorasi Dan Exploitasi
Minyak Dan Gas Bumi Dengan Perusahaan Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi Negara (Pertamina) Yang
Ditandatangani Setelah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 120/KMK.012/1986, dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 4

Terhadap pengeluaran harta berwujud untuk keperluan penyusutan bagi Kontraktor Kontrak Bagi Hasil di bidang
pertambangan yang kontraknya ditandatangani sebelum berlakunya Keputusan Menteri Keuangan ini, tetap
berlaku Keputusan Menteri Keuangan Nomor 457/KMK.012/1984 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 120/KMK.012/1986, sampai berakhirnya masa kontrak.

Pasal 5

Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 14 Desember 2000
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

ttd

PRIJADI PRAPTOSUHARDJO

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=257

www.ortax.org
Peraturan Direktur Jenderal Pajak :
410 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PER - 28/PJ./2008

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 28/PJ./2008

TENTANG

PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMBERIAN IZIN PENGGUNAAN NILAI BUKU ATAS
PENGALIHAN HARTA DALAM RANGKA PENGGABUNGAN, PELEBURAN, ATAU PEMEKARAN USAHA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2008 tentang
Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam rangka Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha
perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Izin
Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam rangka Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985);
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2008 tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan
Harta dalam rangka Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMBERIAN IZIN
PENGGUNAAN NILAI BUKU ATAS PENGALIHAN HARTA DALAM RANGKA PENGGABUNGAN, PELEBURAN, ATAU
PEMEKARAN USAHA.

Pasal 1

(1) Wajib Pajak yang melakukan merger dapat menggunakan nilai buku.
(2) Merger sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penggabungan usaha atau peleburan usaha
(3) Penggabungan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah penggabungan dari dua atau lebih
Wajib Pajak Badan yang modalnya terbagi atas saham dengan cara tetap mempertahankan berdirinya
salah satu badan usaha yang tidak mempunyai sisa kerugian atau mempunyai sisa kerugian yang lebih
kecil.
(4) Sisa kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah sisa kerugian fiskal dan komersial.
(5) Peleburan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah penggabungan dari dua atau lebih Wajib
Pajak Badan yang modalnya terbagi atas saham dengan cara mendirikan badan usaha baru.
(6) Wajib Pajak yang melakukan pemekaran usaha yang dapat menggunakan nilai buku adalah :
a. Wajib Pajak yang belum Go Public yang akan melakukan penawaran umum perdana (Initial
Public Offering); atau
b. Wajib Pajak yang telah Go Public sepanjang seluruh badan usaha hasil pemekaran melakukan
penawaran umum perdana (Initial Public Offering).
(7) Pemekaran usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (6) adalah pemisahan satu Wajib Pajak Badan
yang modalnya terbagi atas saham menjadi dua Wajib Pajak Badan atau lebih dengan cara mendirikan
badan usaha baru dan mengalihkan sebagian harta dan kewajiban kepada badan usaha baru tersebut
yang dilakukan tanpa melakukan likuidasi badan usaha yang lama.

Pasal 2

Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan melampirkan alasan dan tujuan
melakukan merger dan pemekaran usaha;
b. melunasi seluruh utang pajak dari tiap badan usaha yang terkait; dan
c. memenuhi persyaratan tujuan bisnis (business purpose test).

Pasal 3

(1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a diajukan oleh :


a. Wajib Pajak yang menerima harta, dalam hal dilakukan merger; atau
b. Wajib Pajak yang mengalihkan harta, dalam hal dilakukan pemekaran usaha.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 411

Direktorat Jenderal Pajak yang membawahi Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak pemohon
terdaftar paling lama 6 (enam) bulan setelah tanggal efektif merger atau pemekaran usaha dilakukan.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a diajukan dengan ketentuan sebagai berikut :
a. menggunakan surat permohonan sesuai dengan format sebagaimana ditetapkan dalam
Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
b. melampirkan surat pernyataan yang mengemukakan alasan dan tujuan melakukan merger
atau pemekaran usaha dengan disertai bukti pendukung sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
c. melampirkan daftar isian dan surat pernyataan dalam rangka business purpose test sesuai
dengan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini.
(4) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat
keputusan paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya permohonan dari Wajib Pajak secara lengkap
dengan menggunakan bentuk formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IV Peraturan Direktu
Jenderal Pajak ini.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah lewat dan Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan keputusan,
permohonan Wajib Pajak dianggap diterima dan kepadanya diterbitkan surat keputusan persetujuan.

Pasal 4

Pelunasan seluruh utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak
yang mengalihkan harta dan Wajib Pajak yang menerima harta, termasuk utang pajak dari cabang atau
perwakilan yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak lokasi.

Pasal 5

Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 memenuhi persyaratan business purpose test sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf c apabila :
a. tujuan utama dari merger dan pemekaran usaha adalah menciptakan sinergi usaha yang kuat dan
memperkuat struktur permodalan serta tidak dilakukan untuk penghindaran pajak;
b. kegiatan usaha Wajib Pajak yang mengalihkan harta masih berlangsung sampai dengan tanggal efektif
merger;
c. kegiatan usaha Wajib Pajak yang mengalihkan harta sebelum merger terjadi wajib dilanjutkan oleh
Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta paling singkat 5 (lima) tahun setelah tanggal efektif
merger;
d. kegiatan usaha Wajib Pajak yang menerima harta dalam rangka merger tetap berlangsung paling
singkat 5 (lima) tahun setelah tanggal efektif merger;
e. kegiatan usaha Wajib Pajak yang menerima harta dalam rangka pemekaran usaha wajib berlangsung
paling singkat 5 (lima) tahun setelah tanggal efektif pemekaran usaha; dan
f. harta yang dimiliki oleh Wajib Pajak yang menerima harta setelah terjadinya merger atau pemekaran
usaha tidak dipindahtangankan oleh Wajib Pajak yang menerima harta paling singkat 2 (dua) tahun
setelah tanggal efektif merger atau pemekaran usaha.

Pasal 6

(1) Apabila Wajib Pajak yang menerima harta melakukan penjualan harta yang sebelumnya dimiliki Wajib
Pajak yang mengalihkan harta sebelum melewati jangka waktu 2 (dua) tahun setelah tanggal efektif
merger atau pemekaran usaha, Wajib Pajak tersebut wajib menyampaikan pernyataan tertulis bahwa
harta tersebut layak dijual demi meningkatkan efeisiensi perusahaan dan disertai dengan bukti
pendukung.
(2) Pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak yang menerima harta terdaftar paling lama 1 (satu) bulan
setelah terjadinya penjualan harta dengan menggunakan bentuk formulir sebagaimana ditetapkan
dalam Lampiran V Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 7

(1) Paling lama 1 (satu) Tahun setelah memperoleh persetujuan Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan
pengalihan harta dengan menggunakan nilai buku, Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
ayat (6) yang akan menjual sahamnya di bursa efek harus sudah mengajukan pernyataan pendaftaran
kepada Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) dalam rangka penawaran
umum perdana (initial public offering) dan pernyataan pendaftaran tersebut telah menjadi efektif;
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 2 (dua) tahun,
dalam hal keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak, dengan persetujuan Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang;
(3) Apabila setelah lewat jangka waktu 3 (tiga) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
Wajib Pajak belum dapat melaksanakan penawaran umum perdana (initial public offering), jangka
waktu tersebut dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) tahun setelah mendapat persetujuan dari

www.ortax.org
412 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 8

(1) Apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun Direktur Jenderal Pajak melalui penelitian atau pemeriksaan
menemukan bukti bahwa merger atau pemekaran usaha tidak memenuhi persyaratan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan/atau Pasal 6, nilai pengalihan harta dalam rangka merger
atau pemekaran usaha berdasarkan nilai buku dihitung kembali berdasarkan nilai pasar.
(2) Apabila Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, nilai pengalihan
harta atas pemekaran usaha yang dilakukan berdasarkan nilai buku dihitung kembali berdasarkan nilai
pasar.
(3) Kepada Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keputusan pencabutan
atas surat keputusan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) dan ayat (5) dengan
menggunakan bentuk formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VI Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini.
(4) Berdasarkan hasil pemeriksaan dan surat keputusan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak.

Pasal 9

Lampiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 6, dan Pasal 8 merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 10

Permohonan Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam rangka Penggabungan, Peleburan, atau
pemekaran Usaha yang diajukan sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, dilaksanakan dan
diproses sesuai dengan tata cara berdasarkan ketentuan yang berlaku sebelum berlakunya Peraturan Direktur
Jenderal ini.

Pasal 11

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 19 Juni 2008
DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd.

DARMIN NASUTION

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13277

www.ortax.org
Peraturan Direktur Jenderal Pajak :
PER - 55/PJ/2009 Edisi PPh Badan | Maret 2017 413

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 55/PJ/2009

TENTANG

TATA CARA PERMOHONAN DAN PENETAPAN MASA MANFAAT


YANG SESUNGGUHNYA ATAS HARTA BERWUJUD BUKAN BANGUNAN
UNTUK KEPERLUAN PENYUSUTAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.03/2009
tentang Jenis-Jenis Harta yang Termasuk Dalam kelompok Harta Berwujud Bukan Bangunan Untuk Keperluan
Penyusutan, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal pajak tentang Tata Cara Permohonan dan
Penetapan Masa Manfaat yang Sesungguhnya Atas Harta Berwujud Bukan Bangunan Untuk Keperluan
Penyusutan.

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 133 Tahun 2008,
Tambahan Berita Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
2. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 125/PMK.01/2008 tentang Jasa Penilai Publik;
3. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 96/PMK.03/2009 tentang Jenis-Jenis Harta yang
Termasuk Dalam kelompok Harta Berwujud Bukan Bangunan Untuk Keperluan Penyusutan;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PERMOHONAN DAN PENETAPAN MASA MANFAAT
YANG SESUNGGUHNYA ATAS HARTA BERWUJUD BUKAN BANGUNAN UNTUK KEPERLUAN PENYUSUTAN.

Pasal 1

(1) Untuk keperluan penyusutan, harta berwujud bukan bangunan sesuai dengan masa manfaat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (6) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 dikelompokkan menjadi Kelompok 1, Kelompok 2, Kelompok 3, dan Kelompok 4.
(2) Jenis-jenis harta berwujud bukan bangunan yang tidak tercantum dalam Lampiran I, Lampiran II,
Lampiran III, dan Lampiran IV, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.03/2009, untuk kepentingan
penyusutan digunakan masa manfaat dalam Kelompok 3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 2

(1) Dalam hal Wajib Pajak dapat menunjukkan masa manfaat yang sesungguhnya dari suatu harta
berwujud bukan bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tidak dapat dimasukkan ke dalam
kelompok 3, Wajib pajak harus mengajukan permohonan untuk penetapan kelompok harta berwujud
bukan bangunan tersebut sesuai dengan masa manfaat yang sesungguhnya kepada Direktur Jenderal
Pajak melalui Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang membawahi KPP tempat Wajib
Pajak yang bersangkutan terdaftar.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan dengan menggunakan formulir
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 1 Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dan dilampiri:
a. penjelasan terperinci mengenai aktiva;
b. spesifikasi aktiva dari produsen;
c. perkiraan umur aktiva/masa manfaat ekonomis dari Penilai Publik; dan
d. dokumen teknis pendukung dari produsen mengenai masa manfaat aktiva.

Pasal 3

(1) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
melakukan penelitian atas permohonan Wajib Pajak.
(2) Dalam hal permohonan Wajib Pajak belum lengkap, Kepala kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) mengirimkan surat permintaan kelengkapan dengan
menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 2 Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

www.ortax.org
414 Edisi PPh Badan | Maret 2017

(3) Dalam hal Wajib Pajak tidak dapat memenuhi kelengkapan yang diminta sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) sampai dengan batas waktu yang ditentukan, permohonan Wajib Pajak tidak dapat
dipertimbangkan.
(4) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, atas nama Menteri Keuangan, harus memberikan
keputusan atas permohonan Wajib Pajak paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan beserta
dokumen pendukung diterima secara lengkap dengan menggunakan formulir sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran 3 dan Lampiran 4 Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah lewat dan Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak belum memberikan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap diterima.

Pasal 4

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 2 Oktober 2009
DIREKTUR JENDERAL,

ttd.

MOCHAMAD TJIPTARDJO
NIP 060044911

Status :
Peraturan Dirjen Pajak - PER - 55/PJ/2009 Diralat dan kondisi terakhir peraturan tersebut
sudah tidak berlaku lagi karena diganti atau dicabut oleh :
1. Peraturan Dirjen Pajak - PER - 20/PJ/2014, Tanggal 25 Jul 2014
2. Peraturan Dirjen Pajak - PER - 55/PJ/2009, Tanggal 11 Okt 2010

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13939

www.ortax.org
Peraturan Direktur Jenderal Pajak :
PER - 21/PJ/2012 Edisi PPh Badan | Maret 2017 415

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 21/PJ/2012

TENTANG

TATA CARA PERMOHONAN DAN PENETAPAN MASA MANFAAT


YANG SESUNGGUHNYA ATAS HARTA BERWUJUD YANG DIMILIKI
DAN DIGUNAKAN DALAM BIDANG USAHA TERTENTU

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2B Peraturan Menteri Keuangan Nomor 249/PMK.03/2008 tentang
Penyusutan atas Pengeluaran Untuk Memperoleh Harta Berwujud yang Dimiliki dan Digunakan dalam Bidang
Usaha Tertentu sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 126/PMK.011/2012, perlu
menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Permohonan dan Penetapan Masa Manfaat
yang Sesungguhnya atas Harta Berwujud Yang Dimiliki dan Digunakan dalam Bidang Usaha Tertentu;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 249/PMK.03/2008 tentang Penyusutan atas Pengeluaran Untuk
Memperoleh Harta Berwujud yang Dimiliki dan Digunakan dalam Bidang Usaha Tertentu sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 126/PMK.011/2012;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PERMOHONAN DAN PENETAPAN MASA MANFAAT
YANG SESUNGGUHNYA ATAS HARTA BERWUJUD YANG DIMILIKI DAN DIGUNAKAN DALAM BIDANG USAHA
TERTENTU.

Pasal 1

Untuk keperluan penyusutan, harta berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 249/PMK.03/2008 tentang Penyusutan atas Pengeluaran Untuk Memperoleh Harta Berwujud yang Dimiliki
dan Digunakan dalam Bidang Usaha Tertentu sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 126/PMK.011/2012 untuk:
a. bidang usaha kehutanan, dikelompokkan dalam Kelompok 4;
b. bidang usaha perkebunan tanaman keras, dikelompokkan dalam Kelompok 4;
c. bidang usaha peternakan, dikelompokkan dalam Kelompok 2;
sesuai dengan masa manfaat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (6) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008.

Pasal 2

(1) Dalam hal Wajib Pajak dapat menunjukkan masa manfaat yang sesungguhnya dari suatu harta
berwujud yang dimiliki dan digunakan dalam bidang usaha tertentu tidak dapat dimasukkan ke dalam
kelompok harta berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, Wajib Pajak harus mengajukan
permohonan tertulis untuk penetapan kelompok harta berwujud sesuai dengan masa manfaat yang
sesungguhnya.
(2) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak
melalui Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang membawahi Kantor Pelayanan Pajak
tempat Wajib Pajak terdaftar.
(3) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan sebelum dimulainya
penyusutan dengan menggunakan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(4) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilampiri dengan:
a. penjelasan terperinci mengenai harta berwujud;
b. kajian mengenai perkiraan umur harta berwujud/masa manfaat ekonomis; dan
c. surat kuasa khusus dalam hal permohonan disampaikan oleh kuasa Wajib Pajak.

www.ortax.org
416 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Pasal 3

(1) Atas permohonan tertulis Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Kepala Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) melakukan penelitian.
(2) Dalam hal permohonan Wajib Pajak belum lengkap, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak
menyampaikan surat permintaan kelengkapan dengan menggunakan format sebagaimana ditetapkan
dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(3) Dalam hal Wajib Pajak tidak dapat memenuhi kelengkapan yang diminta sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) sampai dengan batas waktu yang ditentukan, permohonan Wajib Pajak tidak dapat
dipertimbangkan.
(4) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) atas
nama Direktur Jenderal Pajak harus memberikan keputusan atas permohonan Wajib Pajak paling lama
1 (satu) bulan sejak permohonan tertulis dan lampirannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (4) diterima secara lengkap dengan menggunakan format sebagaimana ditetapkan dalam
Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah terlampaui dan Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) belum memberikan suatu
keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan.

Pasal 4

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 Oktober 2012
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15132

www.ortax.org
Peraturan Direktur Jenderal Pajak :
PER - 10/PJ/2014 Edisi PPh Badan | Maret 2017 417

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 10/PJ/2014

TENTANG

TATA CARA PERMOHONAN DAN PENETAPAN ATAS SAAT MULAINYA


PENYUSUTAN HARTA BERWUJUD YANG DAPAT DILAKUKAN PADA BULAN
DIGUNAKAN ATAU BULAN MULAI MENGHASILKAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa untuk memberikan kepastian hukum dan melaksanakan ketentuan Pasal 11 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara
Permohonan dan Penetapan atas Saat Mulainya Penyusutan Harta Berwujud yang Dapat Dilakukan pada Bulan
Digunakan atau Bulan Mulai Menghasilkan;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 249/PMK.03/2008 tentang Penyusutan atas Pengeluaran untuk
Memperoleh Harta Berwujud yang Dimiliki dan Digunakan dalam Bidang Usaha Tertentu sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 126/PMK.011/2012;
3. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-297/PJ/2002 tentang Pelimpahan Wewenang Direktur
Jenderal Pajak kepada Para Pejabat di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-11/PJ/2013;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PERMOHONAN DAN PENETAPAN ATAS SAAT
MULAINYA PENYUSUTAN HARTA BERWUJUD YANG DAPAT DILAKUKAN PADA BULAN DIGUNAKAN ATAU BULAN
MULAI MENGHASILKAN.

Pasal 1

(1) Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam proses
pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut.
(2) Penyusutan untuk harta berwujud tertentu dapat dimulai pada bulan harta tersebut digunakan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai
menghasilkan.

Pasal 2

(1) Harta berwujud tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) adalah semua harta berwujud
berupa bangunan dan bukan bangunan, sepanjang harta dimaksud belum pernah digunakan atau
menghasilkan dan belum menjadi beban penyusutan secara fiskal.
(2) Tidak termasuk harta berwujud tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah harta berwujud
yang dimiliki dan digunakan dalam bidang-bidang usaha tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 249/PMK.03/2008 tentang Penyusutan atas Pengeluaran untuk
Memperoleh Harta Berwujud yang Dimiliki dan Digunakan dalam Bidang Usaha Tertentu sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 126/PMK.011/2012 beserta aturan pelaksanaan
dan perubahannya.

Pasal 3

(1) Wajib Pajak harus mengajukan permohonan untuk penetapan saat mulainya penyusutan harta berwujud
tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala
Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak yang bersangkutan terdaftar dengan status domisili/pusat
(kode status pada NPWP 000).
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan dengan menggunakan formulir
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 1 Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dan dilampiri:

www.ortax.org
418 Edisi PPh Badan | Maret 2017

a. penjelasan terperinci mengenai harta berwujud tertentu;


b. bukti-bukti pendukung atas saat pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud tertentu
dan/atau saat selesainya pengerjaan harta berwujud tertentu; dan
c. penjelasan mengenai saat harta berwujud tertentu mulai digunakan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan atau saat mulai menghasilkan.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan paling lambat 1 (satu) bulan
selelah berakhirnya tahun pajak dilakukannya pengeluaran atau selesainya pengerjaan harta.

Pasal 4

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak meneliti permohonan tertulis Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1).
(2) Dalam hal permohonan Wajib Pajak belum lengkap Kepala Kantor Pelayanan Pajak menyampaikan
surat permintaan kelengkapan dengan menggunakan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini.
(3) Surat permintaan kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disampaikan dalam jangka
waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan.
(4) Wajib Pajak wajib memenuhi kelengkapan yang diminta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling
lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal dikirimnya surat permintaan kelengkapan (tanggal cap pos
pengiriman).
(5) Dalam hal Wajib Pajak tidak dapat memenuhi kelengkapan yang diminta sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) sampai dengan batas waktu yang ditentukan pada ayat (4) permohonan Wajib Pajak tidak
dapat dipertimbangkan.
(6) Dalam hal permohonan Wajib Pajak tidak dapat dipertimbangkan, Kepala Kantor Pelayananan Pajak
harus memberitahukan kepada Wajib Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kerja sejak terlampauinya
batas waktu pemenuhan kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan menggunakan
formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(7) Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas nama Direktur Jenderal Pajak, harus memberikan keputusan atas
permohonan Wajib Pajak paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan tertulis dan lampirannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) diterima secara lengkap dengan menggunakan format
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IV atau Lampiran V Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 5

Apabila di kemudian hari diketahui bahwa bulan saat mulai digunakannya harta berwujud tertentu untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau bulan saat mulai menghasilkan yang telah ditetapkan
dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (7) ternyata berbeda
dengan kenyataan di lapangan, maka Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak
berwenang untuk menetapkan kembali saat mulainya penyusutan atas harta berwujud tertentu yang
bersangkutan.

Pasal 6

(1) Tata cara penetapan saat mulainya penyusutan harta berwujud yang dapat dilakukan pada bulan
digunakan atau bulan mulai menghasilkan, untuk permohonan yang disampaikan sebelum tanggal
ditetapkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dan belum memperoleh keputusan, penetapannya
dilaksanakan berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap disampaikan 2 (dua) bulan setelah tanggal
ditetapkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(3) Keputusan mengenai penetapan saat mulainya penyusutan harta berwujud yang dapat dilakukan pada
bulan digunakan atau bulan mulai menghasilkan yang telah diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini dinyatakan tetap berlaku.

Pasal 7

(1) Terhadap harta berwujud tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2), yang diperoleh
sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dan belum pernah diajukan permohonan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), dapat diajukan permohonan paling lambat 1 (satu)
bulan setelah berakhirnya tahun pajak diberlakukannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Contoh penerapan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 adalah sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran VI Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 8

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 419

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Maret 2014
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

A. FUAD RAHMANY

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15505

www.ortax.org
Peraturan Direktur Jenderal Pajak :
420 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PER - 20/PJ/2014

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 20/PJ/2014

TENTANG

TATA CARA PERMOHONAN DAN PENETAPAN MASA MANFAAT


YANG SESUNGGUHNYA ATAS HARTA BERWUJUD BUKAN
BANGUNAN UNTUK KEPERLUAN PENYUSUTAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan dan memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak,
dipandang perlu untuk menetapkan kembali Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Permohonan
dan Penetapan Masa Manfaat yang Sesungguhnya atas Harta Berwujud Bukan Bangunan untuk Keperluan
Penyusutan;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4893);
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125/PMK.01/2008 tentang Jasa Penilai Publik;
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.03/2009 tentang Jenis-Jenis Harta yang Termasuk Dalam
kelompok Harta Berwujud Bukan Bangunan Untuk Keperluan Penyusutan;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PERMOHONAN DAN PENETAPAN MASA MANFAAT
YANG SESUNGGUHNYA ATAS HARTA BERWUJUD BUKAN BANGUNAN UNTUK KEPERLUAN PENYUSUTAN.

Pasal 1

(1) Untuk keperluan penyusutan, harta berwujud bukan bangunan sesuai dengan masa manfaat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (6) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 dikelompokkan menjadi Kelompok 1, Kelompok 2, Kelompok 3, dan Kelompok 4.
(2) Jenis-jenis harta berwujud bukan bangunan yang tidak tercantum dalam Lampiran I, Lampiran II,
Lampiran III, dan Lampiran IV, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.03/2009, untuk kepentingan
penyusutan digunakan masa manfaat dalam Kelompok 3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 2

(1) Dalam hal Wajib Pajak dapat menunjukkan masa manfaat yang sesungguhnya dari suatu harta berwujud
bukan bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) tidak dapat dimasukkan ke dalam
Kelompok 3, Wajib Pajak dapat memperoleh penetapan kelompok harta berwujud bukan bangunan
tersebut sesuai dengan masa manfaat yang sesungguhnya.
(2) Untuk memperoleh penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak harus mengajukan
permohonan untuk penetapan kelompok harta berwujud bukan bangunan sesuai dengan masa manfaat
yang sesungguhnya kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Pajak yang membawahi KPP tempat Wajib Pajak yang bersangkutan terdaftar.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disampaikan dengan menggunakan formulir
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dan dilampiri:
a. penjelasan terperinci mengenai aktiva;
b. spesifikasi aktiva dari produsen;
c. perkiraan umur aktiva/masa manfaat ekonomis dari Penilai Publik;
d. dokumen teknis pendukung dari produsen mengenai masa manfaat aktiva; dan
e. keputusan penetapan kelompok harta berwujud bukan bangunan untuk keperluan penyusutan
yang sudah pernah diperoleh.
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disampaikan paling lama 1 (satu) bulan setelah
akhir Tahun Pajak diperolehnya harta berwujud bukan bangunan.

Pasal 3

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 421

(1) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak meneliti permohonan Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
(2) Dalam hal permohonan Wajib Pajak belum lengkap, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mengirimkan surat permintaan kelengkapan dengan
menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini,
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(3) Surat permintaan kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disampaikan dalam jangka
waktu 10 hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan.
(4) Wajib Pajak wajib memenuhi kelengkapan yang diminta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling
lama 10 hari keija sejak tanggal dikirimnya surat permintaan kelengkapan.
(5) Dalam hal Wajib Pajak tidak dapat memenuhi kelengkapan yang diminta sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) sampai dengan batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), permohonan
Wajib Pajak tidak dapat dipertimbangkan.
(6) Dalam hal permohonan Wajib Pajak tidak dapat dipertimbangkan, Kepala Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak harus memberitahukan kepada Wajib Pajak dalam jangka waktu 3 hari kerja sejak
terlampauinya batas waktu pemenuhan kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan
menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(7) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, atas nama Menteri Keuangan, harus memberikan
keputusan persetujuan atau persetujuan sebagian atau penolakan atas permohonan Wajib Pajak paling
lama 1 (satu) bulan sejak permohonan beserta dokumen pendukung diterima secara lengkap dengan
menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV atau Lampiran V Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 4

(1) Harta berwujud bukan bangunan yang diperoleh sebelum Tahun Pajak 2014 dan masih memiliki nilai
sisa buku fiskal pada Tahun Pajak 2014 serta belum pernah memperoleh keputusan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-55/PJ/2009, dapat
diajukan permohonan untuk memperoleh penetapan kelompok harta berwujud bukan bangunan sesuai
dengan masa manfaat yang sesungguhnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan paling lama 1 (satu) bulan setelah
akhir Tahun Pajak 2014.
(3) Keputusan persetujuan atau persetujuan sebagian atas permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berlaku sejak Tahun Pajak 2014.
(4) Atas harta berwujud bukan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah memperoleh
keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Atas harta berwujud bukan bangunan yang mempunyai selisih masa manfaat lebih besar dari
1 (satu) tahun, biaya penyusutan untuk tahun 2014 diperoleh dari biaya penyusutan untuk
tahun 2014 berdasarkan masa manfaat kelompok penyusutan yang sesungguhnya ditambah
selisih nilai akumulasi penyusutan fiskal.
b. Atas harta berwujud bukan bangunan yang mempunyai selisih masa manfaat lebih kecil atau
sama dengan 1 (satu) tahun, biaya penyusutan untuk tahun 2014 merupakan nilai sisa buku
fiskal yang disusutkan sekaligus.
c. Selisih masa manfaat sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b merupakan selisih antara
masa manfaat kelompok penyusutan yang sesungguhnya dan masa manfaat kelompok
penyusutan yang lama (Kelompok 3) yang sudah digunakan untuk penyusutan.
d. Selisih nilai akumulasi penyusutan fiskal sebagaimana dimaksud pada huruf a merupakan selisih
antara nilai akumulasi penyusutan fiskal sampai dengan tahun 2013 berdasarkan masa manfaat
kelompok penyu sutan yang sesungguhnya dengan nilai akumulasi penyusutan fiskal sampai
dengan tahun 2013 berdasarkan masa manfaat kelompok penyusutan yang lama (Kelompok 3).
e. Atas harta berwujud bukan bangunan sebagaimana dimaksud pada huruf a, biaya penyusutan
untuk tahun selanjutnya dihitung berdasarkan masa manfaat kelompok penyusutan yang
sesungguhnya.

Pasal 5

Penerapan dan penghitungan penyusutan berdasarkan kelompok sesuai dengan masa manfaat sesungguhnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), sesuai dengan contoh sebagaimana tercantum dalam
Lampiran VI Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 6

Tata cara permohonan dan penetapan kelompok harta berwujud bukan bangunan sesuai dengan masa manfaat
yang sesungguhnya:
a. untuk permohonan yang disampaikan sebelum tanggal ditetapkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini, dilaksanakan berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-55/PJ/2009;
b. untuk permohonan yang disampaikan sejak tanggal ditetapkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini,
dilaksanakan berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

www.ortax.org
422 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Pasal 7

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-55/PJ/2009 tentang Tata Cara Permohonan dan Penetapan Masa Manfaat yang Sesungguhnya atas Harta
Berwujud Bukan Bangunan untuk Keperluan Penyusutan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 8

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak Tahun Pajak 2014.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Juli 2014
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

A. FUAD RAHMANY

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15594

www.ortax.org
Keputusan Direktur Jenderal Pajak :
KEP - 520/PJ./2002 Edisi PPh Badan | Maret 2017 423

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR KEP - 520/PJ./2002

TENTANG

JENIS-JENIS HARTA YANG DIPERGUNAKAN DALAM USAHA JASA TELEKOMUNIKASI SELULER


YANG TERMASUK DALAM KELOMPOK HARTA BERWUJUD BUKAN BANGUNAN UNTUK KEPERLUAN PENYUSUTAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 520/KMK.04/2000 tentang Jenis-
Jenis Harta Yang Termasuk Dalam Kelompok Harta Berwujud Bukan Bangunan Untuk Keperluan Penyusutan
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 138/KMK.03/2002, perlu menetapkan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Jenis-Jenis Harta Yang Dipergunakan Dalam Usaha Jasa
Telekomunikasi Seluler Yang Termasuk Dalam Kelompok Harta Berwujud Bukan Bangunan Untuk Keperluan
Penyusutan;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985);
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 138 Tahun 2000 Tentang Penghitungan Penghasilan
Kena Pajak Dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 253, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4055);
3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 520/KMK.04/2000 tentang Jenis-Jenis Harta Yang Termasuk
Dalam Kelompok Harta Berwujud Bukan Bangunan Untuk Keperluan Penyusutan sebagaimana telah
diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 138/KMK.03/2002;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG JENIS-JENIS HARTA YANG DIPERGUNAKAN DALAM USAHA
JASA TELEKOMUNIKASI SELULER YANG TERMASUK DALAM KELOMPOK HARTA BERWUJUD BUKAN BANGUNAN
UNTUK KEPERLUAN PENYUSUTAN.

Pasal 1

Jenis-jenis harta yang dipergunakan dalam usaha jasa telekomunikasi seluler yang termasuk dalam masing-
masing kelompok harta berwujud bukan bangunan untuk keperluan penyusutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (6) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, adalah sebagaimana ditetapkan
dalam Lampiran Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 2

Penghitungan penyusutan fiskal atas jenis-jenis harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yang telah dimiliki
dan dipergunakan dalam perusahaan sebelum berlakunya Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini, mulai tahun
pajak/tahun buku 2002 diatur sebagai berikut :
a. Dalam hal menggunakan metode garis lurus (straight-line method) Jenis-jenis harta yang menjadi
termasuk baik dalam kelompok I maupun dalam kelompok II, penyusutan fiskal dilakukan sesuai
dengan masa manfaat yang tersisa.
b. Dalam hal menggunakan metode saldo menurun (declining balance method)
1) Jenis-jenis harta yang menjadi termasuk dalam kelompok I:
a) Apabila sisa masa manfaat fiskal pada awal tahun pajak/tahun buku 2002 lebih dari 4
(empat) tahun, maka penyusutan fiskal berdasarkan kelompok I berakhir pada tahun
keempat (nilai sisa buku fiskal disusutkan seluruhnya);
b) Apabila sisa masa manfaat fiskal pada awal tahun pajak/tahun buku 2002 tidak lebih
dari 4 (empat) tahun, maka penyusutan fiskal berdasarkan kelompok I berlaku sesuai
dengan masa manfaat yang tersisa.
2) Jenis-jenis harta yang menjadi termasuk dalam kelompok II:
a) Apabila sisa masa manfaat fiskal pada awal tahun pajak/tahun buku 2002 lebih dari 8
(delapan) tahun, maka penyusutan fiskal berdasarkan kelompok II berakhir pada
tahun kedelapan (nilai sisa buku fiskal disusutkan seluruhnya);
b) Apabila sisa masa manfaat fiskal pada awal tahun pajak/tahun buku 2002 tidak lebih
dari 8 (delapan) tahun, maka penyusutan fiskal berdasarkan kelompok II berlaku
sesuai dengan masa manfaat yang tersisa.

www.ortax.org
424 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Pasal 3

Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tahun pajak/tahun buku 2002.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 Desember 2002
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

HADI POERNOMO

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=1338

www.ortax.org
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak :
SE - 09/PJ.31/2002 Edisi PPh Badan | Maret 2017 425

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
17 Desember 2002

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 09/PJ.31/2002

TENTANG

PENGANTAR KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP-520/PJ./2002 TANGGAL 11 DESEMBER 2002
TENTANG JENIS-JENIS HARTA YANG DIPERGUNAKAN DALAM USAHA JASA TELEKOMUNIKASI SELULER YANG
TERMASUK DALAM KELOMPOK HARTA BERWUJUD BUKAN BANGUNAN UNTUK KEPERLUAN PENYUSUTAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan telah diterbitkannya Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-520/PJ./2002 tanggal
11 Desember 2002 tentang Jenis-jenis Harta Yang Dipergunakan Dalam Usaha Jasa Telekomunikasi Seluler
Yang Termasuk Dalam Kelompok Harta Berwujud Bukan Bangunan Untuk Keperluan Penyusutan, bersama ini
disampaikan Keputusan tersebut beserta penjelasan mengenai beberapa hal yang perlu mendapat perhatian
sebagai berikut:

1. Keputusan Direktur Jenderal Pajak tersebut mulai berlaku pada tahun pajak/tahun buku 2002.

2. Atas jenis-jenis harta sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak tersebut yang
telah dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan sejak sebelum tahun pajak/tahun buku 2002,
penghitungan penyusutan fiskalnya sampai dengan tahun pajak/tahun buku 2001 menggunakan tarif
penyusutan kelompok III.

3. Penghitungan Penyusutan fiskal atas harta dimaksud pada butir 2 mulai tahun pajak/tahun buku 2002
menggunakan tarif penyusutan kelompoknya yang baru (kelompok I atau kelompok II) dengan
metode penyusutan/dasar penyusutan yang tetap sama, yaitu:
a. Metode garis lurus, dasar penyusutan adalah harga perolehan;
b. Metode saldo menurun, dasar penyusutan adalah nilai sisa buku fiskal.

4. Masa manfaat yang tersisa atas harta dimaksud pada butir 2 setelah perpindahan dari kelompok III
ke dalam kelompok I atau kelompok II akan mengalami penyesuaian otomatis karena beban
penyusutan yang semakin besar. Khusus untuk harta yang disusutkan dengan metode saldo menurun,
masa manfaat yang tersisa dalam:
a. Kelompok I, akan berakhir paling lama pada tahun keempat sejak tahun pajak/tahun buku
2002 (nilai sisa buku fiskal disusutkan sekaligus);
b. Kelompok II, akan berakhir paling lama pada tahun kedelapan sejak tahun pajak/tahun buku
2002 (nilai sisa buku fiskal disusutkan sekaligus).

Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

DIREKTUR JENDERAL,

ttd

HADI POERNOMO

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=7523

www.ortax.org
BIAYA
Perbaikan
Edisi PPh Badan | Maret 2017 427

No Nomor Dokumen Tanggal Ditetapkan Perihal


1. KEP - 316/PJ./2002 17 Juni 2002 Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Pengeluaran/ Biaya Perolehan
Perangkat Lunak (Software) Komputer
2. SE - 43/PJ/2013 17 September 2013 Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial Yang Dapat Dikurangkan Dari
Penghasilan Bruto Terkait Dengan Perbaikan Rumah Negara Di Jajaran
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat Yang Tidak Layak Huni

www.ortax.org
Keputusan Direktur Jenderal Pajak :
428 Edisi PPh Badan | Maret 2017 KEP - 316/PJ./2002

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR KEP - 316/PJ./2002

TENTANG

PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGELUARAN/BIAYA PEROLEHAN


PERANGKAT LUNAK (SOFTWARE) KOMPUTER

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa untuk memberikan kemudahan dan kepastian hukum dalam pembebanan atas pengeluaran/biaya
perolehan perangkat lunak (software) komputer, perlu menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang
Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Pengeluaran/Biaya Perolehan Perangkat Lunak (Software) Komputer;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan
Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 253, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4055);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGELUARAN/
BIAYA PEROLEHAN PERANGKAT LUNAK (SOFTWARE) KOMPUTER.

Pasal 1

Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan:


1. Perangkat lunak (software) komputer adalah semua program yang dapat digunakan pada sistem
operasi komputer.
2. Program aplikasi umum adalah program yang dapat dipergunakan oleh pengguna (users) umum untuk
memproses berbagai pekerjaan dengan komputer.
3. Program aplikasi khusus adalah program yang dirancang khusus untuk keperluan otomatisasi sistem
administrasi, pekerjaan atau kegiatan usaha tertentu, seperti dibidang perbankan, pasar modal,
perhotelan, rumah sakit atau penerbangan.

Pasal 2

(1) Perangkat lunak komputer kecuali dalam hal tersebut pada ayat (2), merupakan harta tak berwujud
(intangible asset) yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun dan termasuk dalam kelompok-
1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan.

(2) Perangkat lunak komputer berupa program aplikasi umum diperlakukan sebagai pengeluaran atau
biaya operasional rutin.

Pasal 3

(1) Atas pengeluaran/biaya perolehan dan upgrade perangkat lunak komputer berupa program aplikasi
umum yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang
dikenakan pajak berdasarkan ketentuan umum Undang-undang Pajak Penghasilan, pembebanannya
dilakukan sekaligus dalam bulan pengeluaran.

(2) Dalam hal program aplikasi umum tersebut pada ayat (1) diperoleh sebagai bagian dari harga
pembelian perangkat keras komputer, maka pembebanannya sudah termasuk dalam penyusutan
perangkat keras komputer tersebut (Kelompok-1);

(3) Atas pengeluaran/biaya perolehan dan upgrade perangkat lunak komputer berupa program aplikasi
khusus yang dimiliki dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan
yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan umum Undang-undang Pajak Penghasilan,
pembebanannya dilakukan melalui amortisasi harta tak berwujud (Kelompok-1).

(4) Dalam hal pengeluaran/biaya upgrade program aplikasi khusus tersebut pada ayat (3), pengeluaran/

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 429

biaya tersebut terlebih dahulu ditambahkan pada nilai sisa buku fiskal yang masih ada dan
amortisasinya dilakukan dengan masa manfaat baru/penuh terhitung mulai bulan dilakukan upgrade.

Pasal 4

Atas pengeluaran/biaya perolehan dan upgrade perangkat lunak komputer berupa program aplikasi khusus
yang diperoleh sebelum berlakunya Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini, sepanjang belum dibebankan atau
baru dibebankan sebagian melalui amortisasi, dapat diamortisasi mulai tahun pajak 2002 berdasarkan sisa
masa manfaat untuk Kelompok-1.

Pasal 5

Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tahun pajak 2002.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Juni 2002
DIREKTUR JENDERAL,

ttd

HADI POERNOMO

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=1311

www.ortax.org
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak :
430 Edisi PPh Badan | Maret 2017 SE - 43/PJ/2013

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
____________________________________________________________________________________________
17 September 2013

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 43/PJ/2013

TENTANG

BIAYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR SOSIAL


YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO
TERKAIT DENGAN PERBAIKAN RUMAH NEGARA
DI JAJARAN TENTARA NASIONAL INDONESIA ANGKATAN DARAT YANG TIDAK LAYAK HUNI

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. Umum

Sehubungan dengan Surat Kepala Staf Angkatan Darat kepada Menteri Keuangan Nomor
B/1920/VIII/2012 tanggal 15 Agustus 2012 yang mengajukan permohonan pembebasan pajak untuk
perusahaan yang memberi bantuan kepada Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat berupa Rumah
Tidak Layak Huni, telah diberikan jawaban melalui Surat Menteri Keuangan kepada Kepala Staf Angkatan
Darat Nomor S-35/MK.011/2013 tanggal 16 Januari 2013 yang memberikan penegasan bahwa
sumbangan pembangunan rumah dinas Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat merupakan bentuk
biaya pembangunan infrastruktur sosial sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor
93 Tahun 2010 tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan
Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya
Pembangunan Infrastruktur Sosial yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto.
Sejalan dengan hal tersebut, Kepala Badan Kebijakan Fiskal telah mengirimkan surat penegasan kepada
Direktur Jenderal Pajak Nomor S-559/KF/2013 tanggal 29 Juli 2013 yang menyatakan bahwa
permasalahan sumbangan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat merupakan kasus implementasi
dan interpretasi peraturan, dan hal tersebut telah diselesaikan dengan adanya penegasan Surat Menteri
Keuangan Nomor S-35/MK.011/2013.
Atas pertimbangan hal-hal tersebut di atas serta dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional
di bidang pertahanan negara, perlu menetapkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak tentang Biaya
Pembangunan Infrastruktur Sosial yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto terkait dengan
Perbaikan Rumah Negara di Jajaran Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat yang Tidak Layak Huni.

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud
Penetapan Surat Edaran ini dimaksudkan untuk memberikan acuan dalam rangka pelaksanaan
ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PJ.03/2011 tentang Tata Cara Pencatatan dan
Pelaporan Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan
Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya
Pembangunan Infrastruktur Sosial yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto dan Surat
Menteri Keuangan Nomor S-35/MK.011/2013 tanggal 16 Januari 2013.

2. Tujuan
Penetapan Surat Edaran ini bertujuan untuk memberikan keseragaman pemahaman mengenai
sumbangan dan/atau biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, sehubungan dengan
biaya pembangunan infrastruktur sosial yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto terkait
dengan perbaikan Rumah Negara di Jajaran Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat yang
tidak layak huni.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Surat Edaran ini meliputi pemberian sumbangan pembangunan infrastruktur sosial oleh
Wajib Pajak kepada Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat berupa perbaikan Rumah Negara
di Jajaran Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat yang tidak layak huni.

D. Dasar

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1994 tentang Rumah Negara sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2005;

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 431

4. Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010 tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana
Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan,
Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang Dapat
Dikurangkan dari Penghasilan Bruto;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar
Negeri dan Penerimaan Hibah;
7. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 76/PMK.03/2011 tentang Tata Cara
Pencatatan dan Pelaporan Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan
Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan
Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang Dapat Dikurangkan dari
Penghasilan Bruto.

E. Definisi

Rumah Negara di Jajaran Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat adalah bangunan yang dimiliki
negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga serta
menunjang pelaksanaan tugas anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat.

F. Materi

1. Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat yang selanjutnya disebut TNI AD berperan sebagai
alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan
dan keputusan politik negara.
2. TNI AD dalam melaksanakan fungsinya mewujudkan pembangunan nasional di bidang
pertahanan negara membutuhkan alat utama sistem persenjataan (alutsista) serta dukungan
sumber daya manusia dan tingkat kesejahteraan yang memadai.
3. Sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008, besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan
bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembangunan
infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
4. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010 tentang
Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan,
Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan
Infrastruktur Sosial yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto, biaya yang dapat
dikurangkan sampai jumlah tertentu dari penghasilan bruto dalam rangka penghitungan
penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak terdiri atas biaya pembangunan infrastruktur sosial
yang merupakan biaya yang dikeluarkan untuk keperluan membangun sarana dan prasarana
untuk kepentingan umum dan bersifat nirlaba.
5. Mengingat sumbangan Wajib Pajak kepada TNI AD berupa perbaikan Rumah Negara di Jajaran
TNI AD yang tidak layak huni dan digunakan untuk kepentingan anggota TNI AD, bentuk biaya
ini dapat dikategorikan sebagai biaya pembangunan infrastruktur sosial yang dapat
dikurangkan sampai jumlah tertentu dari penghasilan bruto dalam rangka penghitungan
penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak, sebagaimana dimaksud dalam butir 4.
6. Ketentuan mengenai tata cara pencatatan dan pelaporan biaya pembangunan infrastruktur
sosial yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto terkait dengan perbaikan Rumah Negara
di Jajaran TNI AD yang tidak layak huni mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03/2011.

Demikian disampaikan untuk dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 17 September 2013
DIREKTUR JENDERAL,

ttd.

A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15543

www.ortax.org
BIAYA
Piutang Tak
Tertagih
Edisi PPh Badan | Maret 2017 433

No Nomor Dokumen Tanggal Ditetapkan Perihal


1. 105/PMK.03/2009 10 Juni 2009 Piutang Yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih Yang Dapat Dikurangkan
Dari Penghasilan Bruto
2. 57/PMK.03/2010 09 Maret 2010 Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.03/2009
Tentang Piutang Yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih Yang Dapat
Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto
3. 207/PMK.010/2015 20 November 2015 Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
105/PMK.03/2009 Tentang Piutang Yang Nyata-Nyata Tidak Dapat
Ditagih Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto
4. SE - 75/PJ/2015 10 Desember 2015 Penegasan Perlakuan Perpajakan Atas Piutang Yang Nyata-Nyata Tidak
Dapat Ditagih Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
434 Edisi PPh Badan | Maret 2017 105/PMK.03/2009

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 105/PMK.03/2009

TENTANG

PIUTANG YANG NYATA-NYATA TIDAK DAPAT DITAGIH


YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

Bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Piutang yang Nyata-nyata Tidak Dapat
Ditagih yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PIUTANG YANG NYATA-NYATA TIDAK DAPAT DITAGIH YANG DAPAT
DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO.

Pasal I

Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan :


1. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan
pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
2. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih adalah piutang yang timbul dari transaksi bisnis yang
wajar sesuai dengan bidang usahanya, yang nyata-nyata tidak dapat ditagih meskipun telah dilakukan
upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir oleh Wajib Pajak.
3. Penerbitan umum atau khusus adalah penerbitan yang meliputi :
a. Penerbitan umum adalah pemuatan pengumuman pada penerbitan koran/majalah atau media
massa cetak yang lazim lainnya Yang berskala nasional; atau
b. Penerbitan khusus adalah pemuatan pengumuman pada penerbitan Himpunan Bank-Bank Milik
Negara (HIMBARA)/Persatuan Bank-Bank Swasta Nasional (PERBANAS) dan/atau penerbitan/
pengumuman khusus Bank Indonesia.

Pasal 2

(1) piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang timbul dibidang usaha bank, lembaga pembiayaan,
industri, dagang dan jasa lainnya dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung penghasilan kena
pajak.
(2) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk
piutang yang berasal dari transaksi bisnis dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa
dengan Wajib Pajak.

Pasal 3

(1) Piutang yang nyata-nyata, tidak dapat ditagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat dibebankan
sebagai pengurang penghasilan bruto, sepanjang memenuhi persyaratan :

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 435

a. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut telah dibukukan sebagai penghasilan
oleh debitur yang bersangkutan pada tahun yang bersangkutan;
b. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut
kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
c. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut telah diserahkan perkara penagihannya
kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang
negara, atau terdapat perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang
antara kreditur dan debitur atas piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut, atau
telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus, atau adanya pengakuan dari debitur
bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak berlaku untuk piutang yang nyata-
nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil atau debitur kecil lainnya.
(3) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) adalah piutang debitur kecil yang jumlahnya tidak melebihi Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah),
yang merupakan gunggungan jumlah piutang dari beberapa kredit yang diberikan oleh suatu institusi
bank/lembaga pembiayaan dalam negeri sebagai akibat adanya pemberian:
a. Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), yaitu kredit lunak untuk usaha ekonomi
produktif yang diberikan kepada Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I yang telah
menjadi peserta Takesra dan tergabung dalam kegiatan kelompok Prokesra-OPPKS;
b. Kredit Usaha Tani (KUT), yaitu kredit modal kerja yang diberikan oleh bank kepada koperasi
primer baik sebagai pelaksana (executing) maupun penyalur (channeling) atau kepada
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai pelaksana pemberian kredit, untuk keperluan
petani yang tergabung dalam kelompok tani guna membiaya usaha taninya dalam rangka
intensifikasi padi, palawija dan hortikultura;
c. Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS), yaitu kredit yang diberikan oleh bank
kepada masyarakat untuk pemilihan rumah sangat sederhana (RSS);
d. Kredit Usaha Kecil (KUK), yaitu kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil;
e. Kredit Usaha Rakyat (KUR), yaitu kredit yang diberikan untuk keperluan modal usaha kecil
lainnya selain KUK; dan/atau
f. Kredit kecil lainnya dalam rangka kebijakan perkreditan Bank Indonesia dalam
mengembangkan usaha kecil dan koperasi.
(4) Piutang yang nyata-nyata tidak ditagih kepada debitur kecil lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) adalah piutang debitur kecil lainnya yang jumlahnya tidak melebihi Rp 5.000.000,00 (lima juta
rupiah).

Pasal 4

(1) Daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang diserahkan kepada Direktorat Jenderal Pajak
sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (1) huruf b harus mencantumkan identitas debitur berupa nama,
Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat dan jumlah piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih.
(2) Pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (1) huruf c dilakukan dengan cara
melampirkan :
a. fotokopi bukti penyerahan perkara penagihannya ke Pengadilan Negeri atau instansi
pemerintah yang menangani piutang negara; atau
b. fotokopi perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang usaha yang
telah dilegalisir oleh notaris;atau
c. fotokopi bukti publikasi dalam penerbitan umum atau penerbitan khusus; atau
d. surat yang berisi pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan yang disetujui oleh
kreditur tentang penghapusan piutang untuk jumlah utang tertentu,yang disetujui oleh kreditur.
(3) Daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dan bukti/dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) harus disampaikan bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT)
Tahunan.

Pasal 5

Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil atau debitur kecil lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 harus dilampiri daftar nominatif yang berisi identitas debitur berupa nama,Nomor
Pokok Wajib Pajak, alamat dan jumlah Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih.

Pasal 6

Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 130/KMK.04/1998
tentang Penghapusan Piutang Tak Tertagih yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya, dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.

Pasal 7

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

www.ortax.org
436 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Juni 2009
MENTERI KEUANGAN

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 10 Juni 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,

ttd.

ANDI MATTALATTA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 133

Status :
Peraturan Menteri Keuangan - 105/PMK.03/2009 Telah beberapa kali mengalami perubahan
atau penyempurnaan oleh :
1. Peraturan Menteri Keuangan - 207/PMK.010/2015, Tanggal 20 Nop 2015
2. Peraturan Menteri Keuangan - 57/PMK.03/2010, Tanggal 9 Mar 2010

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13835

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
57/PMK.03/2010 Edisi PPh Badan | Maret 2017 437

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 57/PMK.03/2010

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 105/PMK.03/2009


TENTANG PIUTANG YANG NYATA-NYATA TIDAK DAPAT DITAGIH
YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa dalam rangka memberikan kepastian hukum dan untuk lebih memberikan keseimbangan hak
dan kewajiban Wajib Pajak, perlu melakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai piutang yang
nyata-nyata tidak dapat ditagih yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
105/PMK.03/2009 tentang Piutang yang Nyata-nyata Tidak Dapat Ditagih yang Dapat Dikurangkan Dari
Penghasilan Bruto;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4893);
3. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.03/2009 tentang Piutang yang Nyata-nyata Tidak Dapat
Ditagih yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
105/PMK.03/2009 TENTANG PIUTANG YANG NYATA-NYATA TIDAK DAPAT DITAGIH YANG DAPAT DIKURANGKAN
DARI PENGHASILAN BRUTO.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.03/2009 tentang Piutang yang
Nyata-nyata Tidak Dapat Ditagih yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto diubah sebagai berikut :

1. Ketentuan Pasal 1 angka 3 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:


1. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan
pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
2. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih adalah piutang yang timbul dari transaksi bisnis
yang wajar sesuai dengan bidang usahanya, yang nyata-nyata tidak dapat ditagih meskipun
telah dilakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir oleh Wajib Pajak.
3. Penerbitan umum atau khusus adalah penerbitan yang meliputi:
a. Penerbitan umum adalah pemuatan pengumuman pada penerbitan surat kabar/majalah
atau media massa cetak yang lazim lainnya yang berskala nasional; atau
b. Penerbitan khusus adalah pemuatan pengumuman pada:
1) penerbitan Himpunan Bank-Bank Milik Negara (HIMBARA)/Perhimpunan Bank-
Bank Umum Nasional (PERBANAS);
2) penerbitan/pengumuman khusus Bank Indonesia; dan/atau
3) penerbitan yang dikeluarkan oleh asosiasi yang telah terdaftar sebagai Wajib

www.ortax.org
438 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Pajak dan pihak kreditur menjadi anggotanya.

2. Ketentuan Pasal 3 ayat (1) diubah, diantara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat
(1a), sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3

(1) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat
dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto, sepanjang memenuhi persyaratan:
a. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
b. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
c. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut telah diserahkan perkara
penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani
piutang negara, atau terdapat perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/
pembebasan utang antara kreditur dan debitur atas piutang yang nyata-nyata tidak
dapat ditagih tersebut, atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus,
atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah
utang tertentu.
(1a) Daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b berbentuk hard copy dan/atau soft copy.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak berlaku untuk piutang yang
nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil atau debitur kecil lainnya.
(3) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) adalah piutang debitur kecil yang jumlahnya tidak melebihi Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah), yang merupakan gunggungan jumlah piutang dari beberapa kredit yang diberikan
oleh suatu institusi bank/lembaga pembiayaan dalam negeri sebagai akibat adanya pemberian:
a. Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), yaitu kredit lunak untuk usaha ekonomi
produktif yang diberikan kepada Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I yang
telah menjadi peserta Takesra dan tergabung dalam kegiatan kelompok Prokesra-
OPPKS;
b. Kredit Usaha Tani (KUT), yaitu kredit modal kerja yang diberikan oleh bank kepada
koperasi primer baik sebagai pelaksana (executing) maupun penyalur (channeling)
atau kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai pelaksana pemberian
kredit, untuk keperluan petani yang tergabung dalam kelompok tani guna membiayai
usaha taninya dalam rangka intensifikasi padi, palawija, dan hortikultura;
c. Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS), yaitu kredit yang diberikan oleh
bank kepada masyarakat untuk pemilihan rumah sangat sederhana (RSS);
d. Kredit Usaha Kecil (KUK), yaitu kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil;
e. Kredit Usaha Rakyat (KUR), yaitu kredit yang diberikan untuk keperluan modal usaha
kecil lainnya selain KUK; dan/atau
f. Kredit kecil lainnya dalam rangka kebijakan perkreditan Bank Indonesia dalam
mengembangkan usaha kecil dan koperasi.
(4) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil lainnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) adalah piutang debitur kecil lainnya yang jumlahnya tidak melebihi
Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

3. Di antara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 5A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5A

Apabila Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dibayar
seluruhnya atau dibayar sebagian oleh debitur, jumlah piutang yang dibayar seluruhnya atau dibayar
sebagian tersebut merupakan penghasilan bagi kreditur pada tahun pajak diterimanya pembayaran.

Pasal II

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 Maret 2010
MENTERI KEUANGAN,

ttd.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 439

SRI MULYANI INDRAWATI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 9 Maret 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,

ttd.

PATRIALIS AKBAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 123

Status :
Peraturan Menteri Keuangan - 57/PMK.03/2010 Telah mengalami perubahan atau
penyempurnaan oleh Peraturan Menteri Keuangan - 207/PMK.010/2015, Tanggal 20 Nop 2015

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=14166

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
440 Edisi PPh Badan | Maret 2017 207/PMK.010/2015

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 207/PMK.010/2015

TENTANG

PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR


105/PMK.03/2009 TENTANG PIUTANG YANG NYATA-NYATA TIDAK DAPAT
DITAGIH YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa untuk lebih memberikan keadilan bagi Wajib Pajak, perlu menyempurnakan ketentuan mengenai
piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.03/2009 tentang Piutang yang
Nyata-nyata Tidak Dapat Ditagih yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.03/2010;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada hruf a, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Keuangan tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.03/2009
tentang Piutang yang Nyata-nyata Tidak Dapat Ditagih yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.03/2010;

Mengingat :

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.03/2009 tentang Piutang yang Nyata-nyata Tidak Dapat Ditagih
yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 57/PMK.03/2010;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
105/PMK.03/2009 TENTANG PIUTANG YANG NYATA-NYATA TIDAK DAPAT DITAGIH YANG DAPAT DIKURANGKAN
DARI PENGHASILAN BRUTO.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.03/2009 tentang Piutang yang Nyata-
nyata Tidak Dapat Ditagih yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.03/2010, diubah sebagai berikut :

1. Ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf c dan ayat (1a) diubah, sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3

(1) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat
dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto, sepanjang memenuhi persyaratan:
a. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
b. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
c. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut:
1. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau
instansi pemerintah yang menangani piutang negara;
2. terdapat perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang
antara kreditur dan debitur atas piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
tersebut;
3. telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau
4. adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah
utang tertentu.
(1a) Daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b berbentuk hard copy dan soft copy.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak berlaku untuk piutang yang
nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil atau debitur kecil lainnya.
(3) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) adalah piutang debitur kecil yang jumlahnya tidak melebihi Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah), yang merupakan gunggungan jumlah piutang dari beberapa kredit yang diberikan
oleh suatu institusi bank/lembaga pembiayaan dalam negeri sebagai akibat adanya pemberian:
a. Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), yaitu kredit lunak untuk usaha ekonomi

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 441

produktif yang diberikan kepada Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I yang
telah menjadi peserta Takesra dan tergabung dalam kegiatan kelompok Prokesra-
OPPKS;
b. Kredit Usaha Tani (KUT), yaitu kredit modal kerja yang diberikan oleh bank kepada
koperasi primer baik sebagai pelaksana (executing) maupun penyalur (channeling) atau
kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai pelaksana pemberian kredit,
untuk keperluan petani yang tergabung dalam kelompok tani guna membiayai usaha
taninya dalam rangka intensifikasi padi, palawija, dan hortikultura;
c. Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS), yaitu kredit yang diberikan oleh
bank kepada masyarakat untuk pemilikan rumah sangat sederhana (RSS);
d. Kredit Usaha Kecil (KUK), yaitu kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil;
e. Kredit Usaha Rakyat (KUR), yaitu kredit yang diberikan untuk keperluan modal usaha
kecil lainnya selain KUK; dan/atau
f. Kredit kecil lainnya dalam rangka kebijakan perkreditan Bank Indonesia dalam
mengembangkan usaha kecil dan koperasi.
(4) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil lainnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) adalah piutang debitur kecil lainnya yang jumlahnya tidak melebihi
Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

2. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) diubah, sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4

(1) Daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang diserahkan kepada Direktorat
Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b harus mencantumkan
identitas debitur berupa nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat, jumlah plafon utang yang
diberikan, dan jumlah piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih.
(2) Pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c dilakukan dengan
cara melampirkan:
a. fotokopi bukti penyerahan perkara penagihannya ke Pengadilan Negeri atau instansi
pemerintah yang menangani piutang negara;
b. fotokopi perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang usaha
yang telah dilegalisir oleh notaris;
c. fotokopi bukti publikasi dalam penerbitan umum atau penerbitan khusus; atau
d. surat yang berisi pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan yang
disetujui oleh kreditur tentang penghapusan piutang untuk jumlah utang tertentu, yang
disetujui oleh kreditur.
(3) Daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dan bukti/dokumen sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) harus disampaikan bersamaan dengan penyampaian Surat
Pemberitahuan (SPT) Tahunan.

3. Ketentuan Pasal 5 diubah, sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5

(1) Dikecualikan dari keharusan mencantumkan identitas debitur berupa Nomor Pokok Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) adalah piutang yang nyata-nyata tidak dapat
ditagih yang berasal dari plafon utang sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah),
baik yang berasal dari satu utang maupun gunggungan dari beberapa utang yang diterima dari
satu kreditur.
(2) Ketentuan mengenai pengecualian keharusan mencantumkan identitas debitur berupa Nomor
Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku untuk penghapusan
piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang dibebankan sejak Tahun Pajak 2015.

Pasal II

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 20 November 2015
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

www.ortax.org
442 Edisi PPh Badan | Maret 2017

BAMBANG P. S. BRODJONEGORO

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 23 November 2015
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 1747

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15930

www.ortax.org
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak :
SE - 75/PJ/2015 Edisi PPh Badan | Maret 2017 443

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
____________________________________________________________________________________________
10 Desember 2015

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 75/PJ/2015

TENTANG

PENEGASAN PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS PIUTANG YANG NYATA-NYATA TIDAK


DAPAT DITAGIH YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. Umum

Dalam rangka memberikan kepastian hukum mengenai perlakuan perpajakan atas piutang yang
nyata-nyata tidak dapat ditagih terkait adanya Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
27/121/KEP/DIR tanggal 25 Januari 1995 tentang Penyampaian Nomor Pokok Wajib Pajak dan Laporan
Keuangan dalam Permohonan Kredit sebagaimana telah diubah dengan Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 28/83/KEP/DIR tanggal 12 Oktober 1995 serta telah diterbitkannya Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 207/PMK.010/2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
105/PMK.03/2009 tentang Piutang yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih yang Dapat Dikurangkan dari
Penghasilan Bruto, diperlukan penegasan mengenai perlakuan perpajakan dimaksud dalam Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak.

B. Maksud dan Tujuan

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini disusun untuk memberikan acuan dan keseragaman dalam
pelaksanaan dan pengawasan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan perpajakan serta menyelaraskan dengan ketentuan lain yang terkait.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini menegaskan tentang perlakuan perpajakan atas
piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih terkait dengan adanya Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 27/121/KEP/DIR tanggal 25 Januari 1995 tentang Penyampaian Nomor Pokok Wajib
Pajak dan Laporan Keuangan dalam Permohonan Kredit sebagaimana telah diubah dengan Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/83/KEP/DIR tanggal 12 Oktober 1995 serta telah
diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 207/PMK.010/2015 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.03/2009 tentang Piutang yang Nyata-Nyata Tidak Dapat
Ditagih yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto.

D. Dasar

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009
(Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan).
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Undang-Undang Pajak
Penghasilan).
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.03/2009 tentang Piutang yang Nyata-Nyata Tidak
Dapat Ditagih yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 207/PMK.010/2015 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.03/2009.
4. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/121/KEP/DIR tanggal 25 Januari 1995
tentang Penyampaian Nomor Pokok Wajib Pajak dan Laporan Keuangan dalam Permohonan
Kredit sebagaimana telah diubah dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
28/83/KEP/DIR tanggal 12 Oktober 1995.

E. Materi

1. Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap,
ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan. Salah satu jenis biaya tersebut yaitu piutang yang nyata-nyata tidak
dapat ditagih dengan persyaratan, antara lain Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang
yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak, yang di dalam daftar
tersebut mencantumkan identitas debitur, salah satunya berupa Nomor Pokok Wajib Pajak.

www.ortax.org
444 Edisi PPh Badan | Maret 2017

2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/121/KEP/DIR tanggal 25 Januari 1995
tentang Penyampaian Nomor Pokok Wajib Pajak dan Laporan Keuangan dalam Permohonan
Kredit sebagaimana telah diubah dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
28/83/KEP/DIR tanggal 12 Oktober 1995 mengatur hal-hal antara lain:
a. pada setiap pengajuan permohonan kredit, bank wajib meminta kepada pemohon
kredit untuk menyampaikan fotokopi kartu NPWP pemohon kredit; dan
b. kewajiban dimaksud pada huruf a berlaku bagi:
1) permohonan satu atau beberapa jenis kredit dengan plafon keseluruhan di atas
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) atau ekuivalennya dalam valuta
asing; atau
2) permohonan penambahan kredit sehingga plafon keseluruhan mencapai jumlah
di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) atau ekuivalennya dalam
valuta asing.

3. Untuk menjaga keselarasan peraturan, keharusan mencantumkan identitas debitur berupa


Nomor Pokok Wajib Pajak dalam daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang
diserahkan kepada Direktorat Jenderal Pajak diterapkan terhadap piutang yang nyata-nyata
tidak dapat ditagih yang berasal dari plafon utang di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah), baik yang berasal dari satu utang maupun gunggungan dari beberapa utang yang
diterima dari satu kreditur.

4. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 3 diberlakukan untuk penyelesaian pemeriksaan,


keberatan, dan permohonan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar,
sejak diterbitkannya Surat Edaran ini.

F. Penutup

Dengan diterbitkannya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini, diminta agar seluruh unit terkait
di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan pengawasan sehubungan dengan pelaksanaan
Surat Edaran ini di lingkungan wilayah kerja masing-masing.

Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebagaimana mestinya

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Desember 2015
Plt. DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

KEN DWIJUGIASTEADI
NIP 195711081984081001

Tembusan:
1. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak
2. Para Direktur di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
3. Para Tenaga Pengkaji di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
4. Kepala Pusat Pengolahan Data dan Dokumentasi Perpajakan

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15951

www.ortax.org
BIAYA
Promosi
446 Edisi PPh Badan | Maret 2017

No Nomor Dokumen Tanggal Ditetapkan Perihal


1. 02/PMK.03/2010 08 Januari 2010 Biaya Promosi Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto
2. SE - 9/PJ/2010 1 Februari 2010 Penyampaian Peraturan Menteri Keuangan Nomor 2/PMK.03/2010
Tentang Biaya Promosi Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
02/PMK.03/2010 Edisi PPh Badan | Maret 2017 447

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 02/PMK.03/2010

TENTANG

BIAYA PROMOSI YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa dalam rangka untuk lebih memberikan kepastian hukum dan memberikan kesamaan perlakukan
bagi Wajib Pajak, perlu penyesuaian terhadap pengaturan mengenai biaya promosi yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto;
b. bahwa biaya promosi sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah bagian dari biaya penjualan yang
dikeluarkan oleh Wajib Pajak dalam rangka memperkenalkan dan/atau menganjurkan pemakaian suatu
produk baik langsung maupun tidak langsung untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan
penjualan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, serta dalam
rangka melaksanakan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf (a) angka 7 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Biaya
Promosi yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 84/P Tahun 2009

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG BIAYA PROMOSI YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN
BRUTO.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan Biaya Promosi adalah bagian dari biaya penjualan
yang dikeluarkan oleh Wajib Pajak dalam rangka memperkenalkan dan/atau menganjurkan pemakaian suatu
produk baik langsung maupun tidak langsung untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan penjualan.

Pasal 2

Besarnya Biaya Promosi yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto merupakan akumulasi dari jumlah :
a. biaya periklanan di media elektronik, media cetak, dan/atau media lainnya;
b. biaya pameran produk;
c. biaya pengenalan produk baru;dan/atau
d. biaya sponsorship yang berkaitan dengan promosi produk.

Pasal 3

Tidak termasuk Biaya Promosi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah :


a. pemberian imbalan berupa uang dan/atau fasilitas, dengan nama dan dalam bentuk apapun, kepada
pihak lain yang tidak berkaitan langsung dengan penyelenggaraan kegiatan promosi.
b. Biaya Promosi untuk mendapatkan, menagih, dan menelihara penghasilan yang bukan merupakan
objek pajak dan yang telah dikenai pajak bersifat final.

www.ortax.org
448 Edisi PPh Badan | Maret 2017
Pasal 4

Dalam hal promosi dilakukan dalam bentuk pemberian sampel produk, besarnya biaya yang dapat dikurangkan
Pasal 4 produk yang diberikan, sepanjang belum
dari penghasilan bruto adalah sebesar harga pokok sampel
dibebankan dalam perhitungan harga pokok penjualan.
Dalam hal promosi dilakukan dalam bentuk pemberian sampel produk, besarnya biaya yang dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto adalah sebesar harga pokok sampel produk yang diberikan, sepanjang belum
dibebankan dalam perhitungan harga pokok penjualan.
Pasal 5

Biaya promosi yang dikeluarkan kepada pihak lain dan merupakan objek pemotongan Pajak Penghasilan wajib
dilakukan pemotongan pajak sesuai dengan ketentuanPasal 5 berlaku.
yang

Biaya promosi yang dikeluarkan kepada pihak lain dan merupakan objek pemotongan Pajak Penghasilan wajib
dilakukan pemotongan pajak sesuai dengan ketentuan yang
Pasal 6 berlaku.

(1) Wajib Pajak wajib membuat daftar nominatif atas pengeluaran Biaya Promosi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 yang dikeluarkan kepada pihak Pasal 6
lain.
(2) Daftar nominatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit harus memuat data penerima
(1) Wajib
berupaPajak
nama,wajib membuat
Nomor Pokok daftar nominatif
Wajib Pajak, atas tanggal,
alamat, pengeluaran Biaya
bentuk danPromosi sebagaimana
jenis biaya, besarnyadimaksud
biaya,
dalam Pasal
nomor bukti 2 yang dikeluarkan
pemotongan kepada Pajak
dan besarnya pihak Penghasilan
lain. yang dipotong.
(2)
(3) Daftar nominatif
sebagaimanasebagaimana
dimaksud dimaksud
pada ayat pada ayat (1)
(2) dibuat paling
sesuai sedikit
format harus memuat
sebagaimana data penerima
ditetapkan dalam
berupa nama,
Lampiran NomorMenteri
Peraturan Pokok Keuangan
Wajib Pajak,ini,alamat, tanggal, bentuk
yang merupakan bagiandan jenis
yang biaya,
tidak besarnyadari
terpisahkan biaya,
nomor bukti
Peraturan pemotongan
Menteri danini.
Keuangan besarnya Pajak Penghasilan yang dipotong.
(3)
(4) sebagaimana
Daftar nominatif dimaksud dimaksud
sebagaimana pada ayat pada
(2) dibuat sesuai
ayat (1) format sebagai
dilaporkan sebagaimana ditetapkan
lampiran dalam
saat Wajib Pajak
Lampiran Peraturan
menyampaikan Menteri Keuangan
SPT Tahunan PPh Badan.ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
(5) Peraturan
Dalam hal Menteri Keuangan
ketentuan ini.
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) tidak dipenuhi,
(4) DaftarPromosi
Biaya nominatif sebagaimana
tidak dimaksuddari
dapat dikurangkan pada ayat (1) dilaporkan
penghasilan bruto. sebagai lampiran saat Wajib Pajak
menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan.
(5) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) tidak dipenuhi,
Biaya Promosi tidak dapat dikurangkan dariPasal penghasilan
7 bruto.

Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104/PMK.03/2009
Pasal 7
tentang Biaya Promosi dan Penjualan yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto, dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104/PMK.03/2009
tentang Biaya Promosi dan Penjualan yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto, dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku. Pasal 8

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Pasal 8
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
Peraturan Menteri
penempatannya Keuangan
dalam Beritaini mulai Republik
Negara berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Indonesia.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 Januari 2010
MENTERI KEUANGAN
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 Januari 2010
ttd.
MENTERI KEUANGAN
SRI MULYANI INDRAWATI
ttd.
Di undangkan di Jakarta
pada tanggal 8 Januari 2010 SRI MULYANI INDRAWATI
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
Di undangkan di Jakarta
pada tanggal 8 Januari 2010
ttd.
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
PATRIALIS AKBAR
ttd.

PATRIALIS AKBAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR

Lampiran bisa lihat di laman Ortax


BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=14076

www.ortax.org
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak :
SE - 9/PJ/2010 Edisi PPh Badan | Maret 2017 449

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
1 Februari 2010

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 9/PJ/2010

TENTANG

PENYAMPAIAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 2/PMK.03/2010 TENTANG


BIAYA PROMOSI YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan telah disahkan dan diundangkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 2/PMK.03/2010
tanggal 8 Januari 2010 tentang biaya Promosi yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto, dengan ini
disampaikan kembali hal-hal sebagai berikut :
1. Dalam Peraturan Menteri tersebut antara lain diatur :
a. Biaya Promosi adalah bagian dari biaya penjualan yang dikeluarkan oleh Wajib Pajak dalam
rangka memperkenalkan dan/atau menganjurkan pemakaian suatu produk baik langsung
maupun tidak langsung untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan penjualan.
b. Besarnya Biaya Promosi yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto merupakan akumulasi
dari jumlah :
1) biaya periklanan di media elektronik, media cetak, dan/atau media lainnya;
2) biaya pameran produk;
3) biaya pengenalan produk baru; dan/atau
4) biaya sponsorship yang berkaitan dengan promosi produk.
c. Tidak termasuk Biaya Promosi adalah :
1) pemberian imbalan berupa uang dan/atau fasilitas, dengan nama dan dalam bentuk
apapun, kepada pihak lain yang tidak berkaitan langsung dengan penyelenggaraan
kegiatan promosi.
2) Biaya Promosi untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan
merupakan objek pajak dan yang telah dikenai pajak bersifat final.
d. Dalam hal promosi dilakukan dalam bentuk pemberian sampel produk, besarnya biaya yang
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah sebesar harga pokok sampel produk yang
diberikan, sepanjang belum dibebankan dalam perhitungan harga pokok penjualan.
e. Biaya Promosi yang dikeluarkan kepada pihak lain dan merupakan objek pemotongan Pajak
Penghasilan wajib dilakukan pemotongan pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
f. Wajib Pajak wajib membuat daftar nominatif yang paling sedikit harus memuat data penerima
berupa nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat, tanggal, bentuk dan jenis biaya, besarnya
biaya, nomor bukti pemotongan dan besarnya Pajak Penghasilan yang dipotong dengan format
atas pengeluaran Biaya Promosi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dikeluarkan
kepada pihak lain sebagaimana ditetapkan dalam lampiran.
g. Daftar nominatif dilaporkan sebagai lampiran saat Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan
PPh Badan.
h. Dalam hal ketentuan huruf f dan g di atas tidak dipenuhi, Biaya Promosi tidak dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto.
2. Berdasarkan hal-hal di atas, dengan ini ditegaskan bahwa :
a. Biaya Promosi yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto harus memperhatikan hal-hal
sebagai berikut :
1) untuk mempertahankan dan atau meningkatkan penjualan;
2) dikeluarkan secara wajar; dan
3) menurut adat kebiasaan pedagang yang baik.
b. Mekanisme pemotongan PPh kepada pihak-pihak yang menerima penghasilan atas pengeluaran
biaya promosi mengacu pada ketentuan perpajakan yang berlaku.
c. Pada saat pengisian Lampiran Peraturan Menteri mengenai Daftar Nominatif perlu diperhatikan
hal-hal sebagai berikut :
1) Dalam hal pemberian sampel, kolom Keterangan harus diisi dengan mencantumkan
Nama Kegiatan dan Lokasinya;
2) Dalam hal Biaya Promosi dikeluarkan dalam bentuk sponsorship, kolom Keterangan
harus diisi dengan informasi kontrak dan/atau perjanjian sponsorship secara lengkap,
termasuk nomor dan tanggal kontrak;
3) Dalam hal Biaya Promosi dilakukan dalam bentuk selain sponsorship dan kegiatan
promosi tersebut dilakukan berdasarkan suatu kontrak dan/atau perjanjian, maka
Wajib Pajak harus mencantumkan informasi kontrak dan/atau perjanjian secara
lengkap dalam kolom Keterangan, termasuk nomor dan tanggal kontrak.
3. Pada saat Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, maka Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak Nomor SE-29/PJ.42/1990 tanggal 2 Oktober 1990 tentang Biaya Promosi bagi Perusahaan Rokok/
Cerutu, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Demikian untuk menjadi pedoman dalam pelaksanaan di lapangan.

www.ortax.org
450 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 1 Februari 2010
Direktur Jenderal,

ttd

Mochammad Tjiptardjo
NIP. 060044911

Tembusan :
1. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak;
2. Para Direktur di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak; dan
3. Para Tenaga Pengkaji di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=14103

www.ortax.org
BIAYA
Sumbangan
452 Edisi PPh Badan | Maret 2017

No Nomor Dokumen Tanggal Ditetapkan Perihal


1. PP No. 93 Tahun 2010 30 Desember 2010 Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian
Dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan
Pembinaan Olahraga, Dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial Yang
Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto
2. PP No. 60 Tahun 2010 20 Agustus 2010 Zakat Atau Sumbangan Keagamaan Yang Sifatnya Wajib Yang Dapat
Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto
3. 14/PMK.03/2005 21 Februari 2005 Persyaratan Sumbangan Serta Tata Cara Pendaftaran Dan Pelaporan
Oleh Penampung, Penyalur Dan/Atau Pengelola Sumbangan Dalam
Rangka Bantuan Kemanusiaan Bencana Alam Di Nanggroe Aceh
Darussalam Dan Sumatera Utara
4. 254/PMK.03/2010 28 Desember 2010 Tata Cara Pembebanan Zakat Atau Sumbangan Keagamaan Yang Sifatnya
Wajib Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto
5. 76/PMK.03/2011 05 April 2011 Tata Cara Pencatatan Dan Pelaporan Sumbangan Penanggulangan
Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian Dan Pengembangan,
Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, Dan
Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial Yang Dapat Dikurangkan Dari
Penghasilan Bruto
6. PER - 6/PJ/2011 21 Maret 2011 Pelaksanaan Pembayaran Dan Pembuatan Bukti Pembayaran Atas
Zakat Atau Sumbangan Keagamaan Yang Sifatnya Wajib Yang Dapat
Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto
7. PER - 33/PJ/2011 11 November 2011 Badan/Lembaga Yang Dibentuk Atau Disahkan Oleh Pemerintah Yang
Ditetapkan Sebagai Penerima Zakat Atau Sumbangan Keagamaan Yang
Sifatnya Wajib Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto
8. PER - 15/PJ/2012 11 Juni 2012 Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-33/PJ/2011
Tentang Badan/Lembaga Yang Dibentuk Atau Disahkan Oleh Pemerintah
Yang Ditetapkan Sebagai Penerima Zakat Atau Sumbangan Keagamaan
Yang Sifatnya Wajib Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto

www.ortax.org
Peraturan Pemerintah RI :
PP No. 93 Tahun 2010 Edisi PPh Badan | Maret 2017 453

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 93 TAHUN 2010

TENTANG

SUMBANGAN PENANGGULANGAN BENCANA NASIONAL, SUMBANGAN


PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, SUMBANGAN FASILITAS PENDIDIKAN,
SUMBANGAN PEMBINAAN OLAHRAGA, DAN BIAYA PEMBANGUNAN
INFRASTRUKTUR SOSIAL YANG DAPAT DIKURANGKAN
DARI PENGHASILAN BRUTO

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf i, huruf j, huruf k, huruf l, dan huruf m
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Sumbangan
Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan,
Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang Dapat Dikurangkan dari
Penghasilan Bruto;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SUMBANGAN PENANGGULANGAN BENCANA NASIONAL, SUMBANGAN


PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, SUMBANGAN FASILITAS PENDIDIKAN, SUMBANGAN PEMBINAAN OLAHRAGA,
DAN BIAYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR SOSIAL YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO.

Pasal 1

Sumbangan dan/atau biaya yang dapat dikurangkan sampai jumlah tertentu dari penghasilan bruto dalam
rangka penghitungan penghasilan kena pajak bagi wajib pajak terdiri atas:
a. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional, yang merupakan sumbangan untuk
korban bencana nasional yang disampaikan secara langsung melalui badan penanggulangan bencana
atau disampaikan secara tidak langsung melalui lembaga atau pihak yang telah mendapat izin dari
instansi/lembaga yang berwenang untuk pengumpulan dana penanggulangan bencana;
b. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan, yang merupakan sumbangan untuk penelitian
dan pengembangan yang dilakukan di wilayah Republik Indonesia yang disampaikan melalui lembaga
penelitian dan pengembangan;
c. Sumbangan fasilitas pendidikan, yang merupakan sumbangan berupa fasilitas pendidikan yang
disampaikan melalui lembaga pendidikan;
d. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga, yang merupakan sumbangan untuk membina,
mengembangkan dan mengoordinasikan suatu atau gabungan organisasi cabang/jenis olahraga
prestasi yang disampaikan melalui lembaga pembinaan olah raga; dan
e. Biaya pembangunan infrastruktur sosial merupakan biaya yang dikeluarkan untuk keperluan
membangun sarana dan prasarana untuk kepentingan umum dan bersifat nirlaba.

Pasal 2

Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
dengan syarat:
a. Wajib Pajak mempunyai penghasilan neto fiskal berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Tahun Pajak sebelumnya;
b. pemberian sumbangan dan/atau biaya tidak menyebabkan rugi pada Tahun Pajak sumbangan
diberikan;
c. didukung oleh bukti yang sah; dan

www.ortax.org
454 Edisi PPh Badan | Maret 2017

d. lembaga yang menerima sumbangan dan/atau biaya memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, kecuali badan
yang dikecualikan sebagai subjek pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pajak
Penghasilan.

Pasal 3

Besarnya nilai sumbangan dan/atau biaya pembangunan infrastruktur sosial yang dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 untuk 1 (satu) tahun dibatasi tidak melebihi 5% (lima
persen) dari penghasilan neto fiskal Tahun Pajak sebelumnya.

Pasal 4

Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tidak dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto bagi pihak pemberi apabila sumbangan dan/atau biaya diberikan kepada pihak yang mempunyai
hubungan istimewa sebagaimana dimaksud Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan.

Pasal 5

(1) Sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d dapat diberikan
dalam bentuk uang dan/atau barang.
(2) Biaya pembangunan infrastruktur sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e diberikan hanya
dalam bentuk sarana dan/atau prasarana.

Pasal 6

(1) Nilai sumbangan dalam bentuk barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) ditentukan
berdasarkan:
a. nilai perolehan, apabila barang yang disumbangkan belum disusutkan;
b. nilai buku fiskal, apabila barang yang disumbangkan sudah disusutkan; atau
c. harga pokok penjualan, apabila barang yang disumbangkan merupakan barang produksi
sendiri.
(2) Nilai biaya pembangunan infrastruktur sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) ditentukan
berdasarkan jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan untuk membangun sarana dan/atau prasarana.

Pasal 7

Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 wajib dicatat sesuai dengan peruntukannya
oleh pemberi sumbangan.

Pasal 8

(1) Badan penanggulangan bencana dan lembaga atau pihak yang menerima sumbangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 huruf a harus menyampaikan laporan penerimaan dan penyaluran sumbangan
kepada Direktur Jenderal Pajak untuk setiap triwulan.
(2) Lembaga penerima sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b, huruf c,
huruf d, dan huruf e wajib menyampaikan laporan penerimaan sumbangan kepada Direktur Jenderal
Pajak paling lambat pada akhir Tahun Pajak diterimanya sumbangan dan/atau biaya.
(3) Lembaga penerima sumbangan dan/atau biaya yang mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak melaporkan
sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai lampiran laporan keuangan
pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak diterimanya sumbangan.

Pasal 9

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pencatatan dan pelaporan sumbangan dan/atau biaya diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 10

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak Tahun Pajak 2010.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 455

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

PATRIALIS AKBAR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 160

PENJELASAN
ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 93 TAHUN 2010

TENTANG

SUMBANGAN PENANGGULANGAN BENCANA NASIONAL, SUMBANGAN


PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, SUMBANGAN FASILITAS PENDIDIKAN,
SUMBANGAN PEMBINAAN OLAHRAGA, DAN BIAYA PEMBANGUNAN
INFRASTRUKTUR SOSIAL YANG DAPAT DIKURANGKAN
DARI PENGHASILAN BRUTO

I. UMUM

Dalam rangka membantu program pemerintah serta memberi kesempatan kepada Wajib Pajak untuk
turut berperan serta dalam penanggulangan bencana nasional, pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi di Indonesia, pengembangan pendidikan di Indonesia, pembinaan olahraga di Indonesia dan
turut serta membantu pemerintah dalam pembiayaan pembangunan infrastruktur sosial di Indonesia,
maka pengeluaran untuk sumbangan penanggulangan bencana nasional, sumbangan penelitian dan
pengembangan, sumbangan fasilitas pendidikan, sumbangan pembinaan olahraga, dan pembiayaan
pembangunan infrastruktur sosial di Indonesia yang dikeluarkan oleh Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i, huruf j, huruf k, huruf l, dan huruf m Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Sebagaimana
diamanatkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan maka ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Pengeluaran untuk sumbangan dan/atau biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
dalam satu tahun oleh Wajib Pajak dibatasi sampai jumlah maksimum tertentu.

Yang dimaksud dengan "sumbangan" adalah pemberian bantuan yang dilaksanakan Wajib Pajak,
yang meliputi sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional, sumbangan dalam
rangka penelitian dan pengembangan, sumbangan fasilitas pendidikan, dan sumbangan dalam
rangka pembinaan olahraga.

Huruf a

www.ortax.org
456 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Yang dimaksud dengan "bencana nasional" adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa
yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis, yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

Yang dimaksud dengan "badan penanggulangan bencana" adalah badan yang


ditetapkan oleh pemerintah untuk menampung, menyalurkan, dan/atau mengelola
sumbangan yang berkaitan dengan bencana nasional sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Huruf b

Yang dimaksud dengan "penelitian" adalah kegiatan yang dilakukan menurut kaidah
dan metode ilmiah secara sistematis untuk memperoleh informasi, data dan keterangan
yang berkaitan dengan pemahaman dan pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran
suatu asumsi dan/atau hipotesis di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta
menarik kesimpulan ilmiah bagi keperluan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
termasuk penelitian di bidang Seni dan Budaya.

Yang dimaksud dengan "pengembangan" adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan


teknologi yang bertujuan memanfaatkan kaidah dan teori ilmu pengetahuan yang telah
terbukti kebenarannya untuk meningkatkan fungsi, manfaat, dan aplikasi ilmu
pengetahuan dan teknologi yang telah ada, atau menghasilkan teknologi.

Yang dimaksud dengan "lembaga penelitian dan pengembangan" adalah lembaga yang
didirikan dengan tujuan melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan
di Indonesia termasuk perguruan tinggi terakreditasi.

Huruf c

Yang dimaksud dengan "fasilitas pendidikan" adalah prasarana dan sarana yang
dipergunakan untuk kegiatan pendidikan termasuk pendidikan kepramukaan, olahraga,
dan program pendidikan di bidang seni dan budaya nasional.

Yang dimaksud dengan "lembaga pendidikan" adalah lembaga yang bergerak


di bidang pendidikan, termasuk pendidikan olah raga, seni dan/atau budaya, baik
pendidikan dasar dan menengah yang terdaftar pada dinas pendidikan maupun
perguruan tinggi terakreditasi.

Huruf d

Yang dimaksud dengan "lembaga pembinaan olahraga" adalah organisasi olahraga


yang membina, mengembangkan dan mengoordinasikan suatu atau gabungan
organisasi cabang/jenis olahraga prestasi.

Yang dimaksud dengan "olahraga prestasi" adalah olahraga yang membina dan
mengembangkan atlit secara terencana, berjenjang, dan berkelanjutan melalui
kompetisi untuk mencapai prestasi dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi
keolahragaan.

Huruf e

Cukup Jelas.

Pasal 2

Contoh:
PT Gunung Raya pada tahun 2009 mempunyai penghasilan neto fiskal sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Pada tahun 2010 Wajib Pajak memberikan
sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga melalui lembaga pembinaan olahraga sebesar
Rp.40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah). Pada tahun 2010 Wajib Pajak mempunyai
penghasilan neto fiskal sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). Wajib Pajak tidak
diperkenankan mengurangkan sumbangan tersebut dari penghasilan bruto tahun 2010 karena
akan menyebabkan rugi sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

Pasal 3

Contoh:
Penghasilan neto fiskal Wajib Pajak adalah Rp60.000.000.000,00 (enam puluh milyar rupiah)
maka jumlah sumbangan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto yaitu maksimal 5%
(lima persen) atau sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah).

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 457

Apabila Wajib Pajak memberikan sumbangan sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)
maka yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto hanya sebesar Rp3.000.000.000,00
(tiga milyar rupiah).

Pasal 4

Yang dimaksud dengan "hubungan istimewa" adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan.

Pasal 5

Ayat (1)

Yang dimaksud "barang" dapat berupa barang yang diproduksi atau diperoleh oleh
Wajib Pajak pemberi sumbangan.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "sarana dan/atau prasarana" antara lain rumah ibadah,
sanggar seni budaya, dan poliklinik.

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7

Cukup jelas.

Pasal 8

Cukup jelas.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5182

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=14535

www.ortax.org
Peraturan Pemerintah RI :
458 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PP No. 60 Tahun 2010

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 60 TAHUN 2010

TENTANG

ZAKAT ATAU SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG SIFATNYA WAJIB


YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan,
perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang
Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
beberapa kali telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan:

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG ZAKAT ATAU SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG SIFATNYA WAJIB YANG
DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO.

Pasal 1

(1) Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
meliputi:
a. zakat atas penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam
dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada
badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; atau
b. sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama
selain agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk
agama selain agama Islam, yang diakui di Indonesia yang dibayarkan kepada lembaga
keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
(2) Zakat atau sumbangan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa uang atau yang
disetarakan dengan uang.

Pasal 2

Apabila pengeluaran untuk zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib tidak dibayarkan kepada
badan amil zakat atau lembaga amil zakat, atau lembaga keagamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
ayat (1) maka pengeluaran tersebut tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

Pasal 3

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembebanan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib
yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 4

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang
dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 2009 berlaku ketentuan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 5

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 459

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Agustus 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 Agustus 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

PATRIALIS AKBAR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 98

PENJELASAN
ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 60 TAHUN 2010

TENTANG

ZAKAT ATAU SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG SIFATNYA WAJIB


YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO

I. UMUM

Penghasilan yang dikecualikan dari Objek Pajak seperti zakat atau sumbangan keagamaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan, pada prinsipnya tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto oleh Wajib Pajak
Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang membayar pengeluaran tersebut dalam rangka menghitung
penghasilan kena pajak.

Selain itu, untuk mendorong masyarakat dalam menjalankan kewajiban keagamaan berupa membayar
zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia
serta untuk lebih meningkatkan akuntabilitas dan transparansi penggunaannya maka Wajib Pajak yang
membayar zakat melalui badan amil zakat atau lembaga amil zakat dan Wajib Pajak yang memberikan
sumbangan keagamaan melalui lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah,
juga diberikan fasilitas perpajakan. Fasilitas perpajakan tersebut berupa diperbolehkannya zakat atau
sumbangan keagamaan tersebut dikurangkan dari penghasilan bruto.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup Jelas

Pasal 2

www.ortax.org
460 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Ketentuan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa dalam hal Wajib Pajak mengeluarkan
zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib selain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (1), tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

Oleh karena itu, apabila Wajib Pajak pemeluk agama Islam membayar zakat bukan kepada
badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah maka
zakat yang dibayarkan tersebut tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Demikian juga
apabila Wajib Pajak selain pemeluk agama Islam membayar sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia bukan kepada lembaga
keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, maka pembayaran tersebut juga
tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

Contoh:

Badu merupakan Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha. Badu membayar zakat
sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Zakat tersebut tidak disalurkan melalui badan
amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, tetapi secara
langsung diberikan kepada perorangan atau keluarga yang berhak untuk menerimanya.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal ini maka zakat yang dibayarkan oleh Badu tersebut tidak
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dan bagi penerima zakatnya dikecualikan dari
penghasilan.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5148

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=14380

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
14/PMK.03/2005 Edisi PPh Badan | Maret 2017 461

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 14/PMK.03/2005

TENTANG

PERSYARATAN SUMBANGAN SERTA TATA CARA PENDAFTARAN DAN PELAPORAN OLEH PENAMPUNG,
PENYALUR, DAN/ATAU PENGELOLA SUMBANGAN DALAM RANGKA BANTUAN KEMANUSIAAN BENCANA ALAM
DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN SUMATERA UTARA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa bencana alam berupa gempa bumi dan tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam
dan Sumatera Utara pada bulan Desember 2004, merupakan bencana nasional yang sangat
membutuhkan sumbangan dari berbagai pihak untuk disalurkan kepada para korban bencana tersebut;
b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut pada huruf a, perlu diberikan kepastian mengenai persyaratan
sumbangan serta tata cara pendaftaran dan pelaporan oleh penampung, penyalur dan/atau pengelola
sumbangan dimaksud;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a dan b, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Keuangan tentang Persyaratan Sumbangan serta Tata Cara Pendaftaran dan
Pelaporan oleh Penampung, Penyalur dan/atau Pengelola Sumbangan Dalam Rangka Bantuan
Kemanusiaan Bencana Alam di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3984);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3985);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan
Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 253, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4055);
4. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004;
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 609/PMK.03/2004 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas
Bantuan Kemanusiaan Bencana Alam di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERSYARATAN SUMBANGAN SERTA TATA CARA PENDAFTARAN
DAN PELAPORAN OLEH PENAMPUNG, PENYALUR, DAN/ATAU PENGELOLA SUMBANGAN DALAM RANGKA
BANTUAN KEMANUSIAAN BENCANA ALAM DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN SUMATERA UTARA.

Pasal 1

(1) Sumbangan yang diberikan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 609/PMK.03/2004 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Bantuan Kemanusiaan
Bencana Alam di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara, dapat dibiayakan melalui
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang bersangkutan.

(2) Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi uang dan/atau barang.

(3) Dalam hal sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan dalam bentuk barang, biaya
yang dapat dibebankan adalah sebesar nilai buku fiskal barang tersebut.

(4) Pembebanan biaya sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat sebagai "Sumbangan
Bencana Alam di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara".

Pasal 2

(1) Sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) harus ditampung, disalurkan, dan/atau
dikelola oleh instansi pemerintah antara lain Kantor Wakil Presiden, Kantor Menteri Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat, Departemen Sosial, Departemen Kesehatan, dan Departemen Keuangan, serta

www.ortax.org
462 Edisi PPh Badan | Maret 2017

pihak-pihak lain yang dapat dipertanggungjawabkan keberadaannya, termasuk Palang Merah


Indonesia, media massa cetak dan elektronik, dan organisasi sosial dan/atau keagamaan.

(2) Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didukung oleh bukti-bukti yang sah dan dapat
diuji kebenarannya.

Pasal 3

(1) Instansi pemerintah atau pihak-pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) harus
mendaftarkan diri sebagai penampung, penyalur, dan/atau pengelola sumbangan kepada Kantor Pusat
Direktorat Jenderal Pajak.

(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara langsung, melalui faksimili,
e-mail, atau pos dengan paling sedikit memuat :
a. Nama, alamat dan nomor telepon penampung, penyalur, dan/atau pengelola;
b. Nomor Rekening bank yang digunakan untuk menampung sumbangan; dan
c. Nama, alamat, dan nomor telepon penanggung jawab dari penanggung jawab dari
penampung, penyalur, dan/atau pengelola;

(3) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima paling lambat tanggal 31 Maret 2005.

(4) Dalam hal pendaftaran dilakukan melaui pos, tanda bukti pengiriman pos dianggap sebagai tanda
terima pendaftaran.

Pasal 4

Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) adalah :


a. Wajib Pajak Badan yang penghasilannya tidak dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final,; dan
b. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan usaha atau pekerjaan bebas, tidak termasuk Wajib Pajak
orang pribadi yang penghasilannya dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final atau menggunakan
norma penghitungan penghasilan neto.

Pasal 5

(1) Penampung, penyalur, dan/atau pengelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib
menyampaikan laporan penerimaan sumbangan dan/atau penyalurannya kepada Kantor Pusat
Direktorat Jenderal Pajak untuk setiap triwulan sesuai dengan format sebagaimana ditetapkan dalam
Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini.

(2) Periode laporan triwulan pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk tahun 2005 adalah
periode waktu yang dimulai sejak tanggal 28 Desember 2004 sampai dengan tanggal 31 Maret 2005.

(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan paling lambat tanggal 20 (dua puluh)
bulan setelah akhir triwulan yang bersangkutan.

(4) Dalam hal tanggal 20 (dua puluh) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) jatuh pada hari libur, laporan
disampaikan pada hari kerja berikutnya.

(5) Dalam hal pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menyampaikan laporan sesuai dengan
batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat dilakukan pemeriksaan
terhadap pihak tersebut sesuai ketentuan yang berlaku.

Pasal 6

Pajak Penghasilan atas sumbangan yang diberikan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
ayat (1) ditanggung oleh pemerintah.

Pasal 7

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut
terhitung sejak tanggal 28 Desember 2004.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 463

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Februari 2005
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

JUSUF ANWAR

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=9394

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
464 Edisi PPh Badan | Maret 2017 254/PMK.03/2010

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 254/PMK.03/2010

TENTANG

TATA CARA PEMBEBANAN ZAKAT ATAU SUMBANGAN KEAGAMAAN


YANG SIFATNYA WAJIB YANG DAPAT DIKURANGKAN
DARI PENGHASILAN BRUTO

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2010 tentang Zakat atau
Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pembebanan Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya
Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2010 tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya
Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2010 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5148);
4. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMBEBANAN ZAKAT ATAU SUMBANGAN KEAGAMAAN
YANG SIFATNYA WAJIB YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO.

Pasal 1

(1) Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
meliputi:
a. zakat atas penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam
dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada
badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; atau
b. sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama
selain agama Islam dan/ atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk
agama selain agama Islam, yang diakui di Indonesia yang dibayarkan kepada lembaga
keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
(2) Badan amil zakat atau lembaga amil zakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah badan
atau lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang yang mengatur tentang pengelolaan zakat
dan perubahannya.
(3) Zakat atau sumbangan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa uang atau yang
disetarakan dengan uang.
(4) Yang disetarakan dengan uang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah zakat atau sumbangan
keagamaan yang diberikan dalam bentuk selain uang yang dinilai dengan harga pasar pada saat
dibayarkan.

Pasal 2

(1) Zakat atau sumbangan keagamaan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi dan/atau oleh
Wajib Pajak badan dalam negeri, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto yang bersangkutan.
(2) Dalam hal zakat atau sumbangan keagamaan yang dibayarkan oleh:
a. wanita yang telah kawin yang pengenaan pajaknya berdasarkan penggabungan penghasilan
neto suami isteri, dikurangkan dari penghasilan bruto suaminya;

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 465

b. wanita yang telah kawin yang:


1) telah hidup berpisah dengan suaminya berdasarkan putusan hakim;
2) secara tertulis melakukan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan; atau
3) memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri, dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto wanita yang bersangkutan.
c. anak yang belum dewasa, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto orang tuanya.

Pasal 3

(1) Pengurangan zakat atau sumbangan keagamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilaporkan
dalam:
a. Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dan/atau
oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang bersangkutan, untuk pembayaran zakat atau
sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);
b. Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan suami yang bersangkutan, untuk
pembayaran zakat atau sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a;
c. Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan wanita yang telah kawin yang
bersangkutan, untuk pembayaran zakat atau sumbangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) huruf b;
d. Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan orang tua dari anak yang bersangkutan,
untuk pembayaran zakat atau sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
huruf c, pada tahun penghasilan diterima atau diperoleh.
(2) Apabila dalam tahun pajak dilaporkannya penghasilan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan,
zakat atau sumbangan keagamaan tersebut belum dibayar, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. pengurangan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib dapat dilakukan dalam
tahun pajak dilakukannya pembayaran; dan
b. Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa penghasilan bruto telah dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan (SPT) Tahunan tahun pajak sebelumnya.

Pasal 4

(1) Zakat atau sumbangan keagamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto oleh pemberi zakat atau sumbangan keagamaan harus didukung
oleh bukti-bukti yang sah.
(2) Apabila pengeluaran untuk zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib tidak dibayarkan
kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat, atau lembaga keagamaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (1), pengeluaran tersebut tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

Pasal 5

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pembayaran dan pembuatan bukti pembayaran atas zakat atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto diatur dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 6

Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, perlakuan perpajakan untuk zakat atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib yang dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 2009, berlaku ketentuan dalam
Peraturan Menteri Keuangan ini.

Pasal 7

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2010
MENTERI KEUANGAN,

ttd.

AGUS D.W. MARTOWARDOJO

www.ortax.org
466 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,

ttd.

PATRIALIS AKBAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 668

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=14563

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
76/PMK.03/2011 Edisi PPh Badan | Maret 2017 467

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 76/PMK.03/2011

TENTANG

TATA CARA PENCATATAN DAN PELAPORAN SUMBANGAN PENANGGULANGAN


BENCANA NASIONAL, SUMBANGAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN,
SUMBANGAN FASILITAS PENDIDIKAN, SUMBANGAN PEMBINAAN OLAHRAGA,
DAN BIAYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR SOSIAL
YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010 tentang Sumbangan
Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan,
Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang dapat Dikurangkan dari
Penghasilan Bruto, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pencatatan dan Pelaporan
Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan
Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang Dapat
Dikurangkan dari Penghasilan Bruto;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010 tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional,
Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan
Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan
Bruto (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5182);
4. Keputusan Presiden Nomor 56/ P Tahun 2010;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENCATATAN DAN PELAPORAN SUMBANGAN
PENANGGULANGAN BENCANA NASIONAL, SUMBANGAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, SUMBANGAN
FASILITAS PENDIDIKAN, SUMBANGAN PEMBINAAN OLAHRAGA, DAN BIAYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR
SOSIAL YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO.

Pasal 1

Sumbangan dan/atau biaya yang dapat dikurangkan sampai jumlah tertentu dari penghasilan bruto dalam
rangka penghitungan penghasilan kena pajak terdiri atas:
a. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional, yang merupakan sumbangan untuk
korban bencana nasional yang disampaikan secara langsung melalui badan penanggulangan bencana
atau disampaikan secara tidak langsung melalui lembaga atau pihak yang telah mendapat izin dari
instansi/lembaga yang berwenang untuk pengumpulan dana penanggulangan bencana;
b. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan, yang merupakan sumbangan untuk penelitian
dan pengembangan yang dilakukan di wilayah Republik Indonesia yang disampaikan melalui lembaga
penelitian dan pengembangan;
c. Sumbangan fasilitas pendidikan, yang merupakan sumbangan berupa fasilitas pendidikan yang
disampaikan melalui lembaga pendidikan;
d. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga, yang merupakan sumbangan untuk membina,
mengembangkan dan mengoordinasikan suatu atau gabungan organisasi cabang/jenis olahraga
prestasi yang disampaikan melalui lembaga pembinaan olah raga; dan
e. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang merupakan biaya yang dikeluarkan untuk keperluan
membangun sarana dan prasarana untuk kepentingan umum dan bersifat nirlaba.

www.ortax.org
468 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Pasal 2

(1) Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto dengan syarat:
a. Wajib Pajak mempunyai penghasilan neto fiskal berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan Tahun Pajak sebelumnya;
b. pemberian sumbangan dan/atau biaya tidak menyebabkan rugi pada Tahun Pajak sumbangan
diberikan;
c. didukung oleh bukti yang sah; dan
d. lembaga yang menerima sumbangan dan/atau biaya memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak,
kecuali badan yang dikecualikan sebagai subjek pajak sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan.
(2) Besarnya nilai sumbangan dan/atau biaya pembangunan infrastruktur sosial yang dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk 1 (satu) tahun dibatasi tidak
melebihi 5% (lima persen) dari penghasilan neto fiskal Tahun Pajak sebelumnya.

Pasal 3

Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tidak dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto bagi pihak pemberi apabila sumbangan dan/atau biaya diberikan kepada pihak yang mempunyai
hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan.

Pasal 4

(1) Sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d dapat
diberikan dalam bentuk uang dan/atau barang.
(2) Biaya pembangunan infrastruktur sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e diberikan hanya
dalam bentuk sarana dan/atau prasarana.

Pasal 5

(1) Nilai sumbangan dalam bentuk barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) ditentukan
berdasarkan:
a. nilai perolehan, apabila barang yang disumbangkan belum disusutkan:
b. nilai buku fiskal, apabila barang yang disumbangkan sudah disusutkan; atau
c. harga pokok penjualan, apabila barang yang disumbangkan merupakan barang produksi
sendiri.
(2) Nilai biaya pembangunan infrastruktur sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) ditentukan
berdasarkan jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan untuk membangun sarana dan/atau prasarana.

Pasal 6

Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 wajib dicatat sesuai dengan peruntukannya
oleh pemberi sumbangan.

Pasal 7

(1) Sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a, huruf b, huruf c, dan/atau huruf d,
dikurangkan dari penghasilan bruto pada tahun pajak sumbangan tersebut diserahkan.
(2) Biaya pembangunan infrastruktur sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e dikurangkan dari
penghasilan bruto pada tahun pajak infrastruktur sosial dapat dimanfaatkan.
(3) Dalam hal pembangunan infrastruktur sosial dilaksanakan lebih dari 1 (satu) Tahun Pajak, biaya
pembangunan infrastruktur sosial dibebankan sekaligus sebagai pengurang penghasilan bruto pada
Tahun Pajak infrastruktur sosial dapat dimanfaatkan, dengan contoh penghitungan sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
(4) Dalam hal pembangunan infrastruktur sosial dibiayai oleh lebih dari 1 (satu) Wajib Pajak, biaya
pembangunan infrastruktur sosial yang dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto adalah
biaya yang sebenarnya dikeluarkan oleh masing-masing Wajib Pajak.
(5) Pengeluaran masing-masing Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibatasi tidak melebihi
persentase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).

Pasal 8

Bukti penerimaan sumbangan dan/atau biaya wajib dilampirkan oleh Wajib Pajak pemberi sumbangan pada
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak dengan menggunakan formulir penerimaan

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 469

sumbangan sesuai contoh format sebagaimana tercantum pada Lampiran II Peraturan Menteri Keuangan ini,
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.

Pasal 9

(1) Badan penanggulangan bencana dan/atau lembaga atau pihak yang menerima sumbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a harus menyampaikan laporan penerimaan dan
penyaluran sumbangan kepada Direktur Jenderal Pajak setiap triwulan.
(2) Lembaga penerima sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b, huruf c,
huruf d, dan huruf e wajib menyampaikan laporan penerimaan sumbangan kepada Direktur Jenderal
Pajak paling lambat pada akhir Tahun Pajak diterimanya sumbangan dan/atau biaya.
(3) Laporan penerimaan dan penyaluran sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dengan menggunakan formulir laporan penerimaan sumbangan sesuai contoh format sebagaimana
tercantum pada Lampiran III Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.

Pasal 10

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku sejak Tahun Pajak 2010.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 April 2011
MENTERI KEUANGAN,

ttd.

AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 April 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,

ttd.

PATRIALIS AKBAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 205

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=14672

www.ortax.org
Peraturan Direktur Jenderal Pajak :
470 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PER - 6/PJ/2011

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 6/PJ/2011

TENTANG

PELAKSANAAN PEMBAYARAN DAN PEMBUATAN BUKTI PEMBAYARAN ATAS ZAKAT ATAU


SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG SIFATNYA WAJIB
YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.03/2010
tentang Tata Cara Pembebanan Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat
Dikurangkan dari Penghasilan Bruto, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Pelaksanaan
Pembayaran dan Pembuatan Bukti Pembayaran atas Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib
yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2010 tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya
Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pembebanan Zakat atau
Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PELAKSANAAN PEMBAYARAN DAN PEMBUATAN BUKTI
PEMBAYARAN ATAS ZAKAT ATAU SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG SIFATNYA WAJIB YANG DAPAT
DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO.

Pasal 1

Zakat atau Sumbangan keagamaan yang sifanya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi:
a. zakat yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak
badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga
amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah;atau
b. sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama selain
agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama selain
agama Islam, yang diakui di Indonesia yang dibayarkan kepada lembaga keagamaan yang dibentuk
atau disahkan Pemerintah.

Pasal 2

(1) Wajib Pajak yang melakukan pengurangan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, wajib melampirkan fotokopi bukti pembayaran pada Surat
Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak dilakukannya pengurangan zakat atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib.
(2) Bukti pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) :
a. dapat berupa bukti pembayaran secara langsung atau melalui transfer rekening bank, atau
pembayaran melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM), dan
b. paling sedikit memuat :
1) Nama lengkap Wajib Pajak dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pembayar;
2) Jumlah pembayaran;
3) Tanggal pembayaran;
4) Nama badan amil zakat; lembaga amil zakat; atau lembaga keagamaan yang dibentuk
atau disahkan Pemerintah; dan
5) Tanda tangan petugas badan amil zakat; lembaga amil zakat; atau lembaga

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 471

keagamaan, yang dibentuk atau disahkan Pemerintah, di bukti pembayaran, apabila


pembayaran secara langsung; atau
6) Validasi petugas bank pada bukti pembayaran apabila pembayaran melalui transfer
rekening bank.

Pasal 3

Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto apabila:
a. tidak dibayarkan oleh Wajib Pajak kepada badan amil zakat; lembaga amil zakat; atau lembaga
keagamaan, yang dibentuk atau disahkan Pemerintah; dan/atau
b. bukti pembayarannya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).

Pasal 4

(1) Pengurangan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang
bersangkutan dalam Tahun Pajak dibayarkan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib
tersebut.
(2) Dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan, zakat atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib sebagaimana ayat (1) dilaporkan untuk menentukan penghasilan neto.

Pasal 5

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-163/PJ./2003 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 6

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, pelaksanaan pembayaran dan pembuatan bukti
pembayaran atas zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto yang dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 2009 berlaku ketentuan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini.

Pasal 7

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Maret 2011
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=14649

www.ortax.org
Peraturan Direktur Jenderal Pajak :
472 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PER - 33/PJ/2011

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 33/PJ/2011

TENTANG

BADAN/LEMBAGA YANG DIBENTUK ATAU DISAHKAN OLEH PEMERINTAH YANG


DITETAPKAN SEBAGAI PENERIMA ZAKAT ATAU SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG
SIFATNYA WAJIB YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa sehubungan dengan banyaknya pertanyaan dari Wajib Pajak mengenai badan/lembaga sebagai
penerima zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Badan/Lembaga yang Dibentuk atau
Disahkan oleh Pemerintah yang Ditetapkan sebagai Penerima Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang
Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2010 tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya
Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2010 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5148);
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pembebanan Zakat atau
Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto;
4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-6/PJ/2011 tentang Pelaksanaan pembayaran dan
Pembuatan Bukti Pembayaran atas Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang
Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG BADAN/LEMBAGA YANG DIBENTUK ATAU DISAHKAN OLEH
PEMERINTAH YANG DITETAPKAN SEBAGAI PENERIMA ZAKAT ATAU SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG SIFATNYA
WAJIB YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO.

Pasal 1

(1) Badan/Lembaga sebagai penerima zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat
dikurangkan dari penghasilan buto adalah badan/lembaga yang dibentuk atau disahkan oleh
Pemerintah.
(2) Badan/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 2

Untuk badan/lembaga selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) akan ditetapkan lebih lanjut setelah
badan/lembaga lain tersebut disahkan oleh Pemerintah.

Pasal 3

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 November 2011
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

A. FUAD RAHMANY

NIP 195411111981121001

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 473

Status :
Peraturan Dirjen Pajak - PER - 33/PJ/2011 Telah mengalami perubahan atau penyempurnaan
oleh Peraturan Dirjen Pajak - PER - 15/PJ/2012, Tanggal 11 Jun 2012

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=14858

www.ortax.org
Peraturan Direktur Jenderal Pajak :
474 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PER - 15/PJ/2012

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 15/PJ/2012

TENTANG

PERUBAHAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER-33/PJ/2011 TENTANG
BADAN/LEMBAGA YANG DIBENTUK ATAU DISAHKAN OLEH PEMERINTAH
YANG DITETAPKAN SEBAGAI PENERIMA ZAKAT
ATAU SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG SIFATNYA WAJIB
YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

a. bahwa dalam rangka mengakomodasi badan/lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah sebagai penerima zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto;
b. bahwa berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Kementerian Agama
Nomor 43 Tahun 2012 tentang Badan Dharma Dana Nasional Yayasan Adikara Dharma Parisad sebagai
Lembaga yang Sah Menerima dan Mengelola Dharma Dana Hindu di Indonesia;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu menetapkan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-33/PJ/2011 tentang Badan/Lembaga yang Dibentuk atau Disahkan oleh Pemerintah yang
Ditetapkan Sebagai Penerima Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat
Dikurangkan dari Penghasilan Bruto;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2010 tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya
Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto;
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pembebanan Zakat atau
Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto;
4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-6/PJ/2011 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan
Pembuatan Bukti Pembayaran atas Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang
Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto;
5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-33/PJ/2011 tentang Badan/Lembaga yang Dibentuk atau
Disahkan oleh Pemerintah yang Ditetapkan Sebagai Penerima Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang
Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan Dan Penghasilan Bruto;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERUBAHAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER-33/PJ/2011 TENTANG BADAN/LEMBAGA YANG DIBENTUK ATAU DISAHKAN OLEH PEMERINTAH
YANG DITETAPKAN SEBAGAI PENERIMA ZAKAT ATAU SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG SIFATNYA WAJIB YANG
DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO

Pasal I

Mengubah Lampiran dan menambah 1 (satu) butir menjadi butir 5 dalam Lampiran Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-33/PJ/2011 tentang Badan/Lembaga yang Dibentuk atau Disahkan oleh Pemerintah yang
Ditetapkan Sebagai Penerima Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan
dari Penghasilan Bruto, sehingga keseluruhan Lampiran berbunyi sebagai berikut:

Badan/Lembaga sebagai penerima zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto adalah:

1. Badan Amil Zakat Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 2001 tanggal 17 Januari
2001;

2. Lembaga Amil Zakat (LAZ) sebagai berikut:


a. LAZ Dompet Dhuafa Republika berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 439 Tahun 2001

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 475

tanggal 8 Oktober 2001;


b. LAZ Yayasan Amanah Takaful berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 440 Tahun 2001
tanggal 8 Oktober 2001;
c. LAZ Pos Keadilan Peduli Umat berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 441 Tahun 2001
tanggal 8 Oktober2001;
d. LAZ Yayasan Baitulmaal Muamalat berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 481 Tahun
2001 tanggal 7 November 2001;
e. LAZ Yayasan Dana Sosial Al Falah berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 523 Tahun
2001 tanggal 10 Desember 2001;
f. LAZ Baitul Maal Hidayatullah berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 538 Tahun 2001
tanggal 27 Desember 2001;
g. LAZ Persatuan Islam berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 552 Tahun 2001 tanggal
31 Desember2001;
h. LAZ Yayasan Baitul Maal Umat Islam PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. berdasarkan
Keputusan Menteri Agama Nomor 330 Tahun 2002 tanggal 20 Juni 2002;
i. LAZ Yayasan Bangun Sejahtera Mitra Umat berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 406
Tahun 2002 tanggal 7 September 2002;
j. LAZ Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 407
Tahun 2002 tanggal 17 September 2002;
k. LAZ Yayasan Baitul Maal Bank Rakyat Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor
445 Tahun 2002 tanggal 6 November 2002;
l. LAZ Baitul Maal wat Tamwil berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 468 Tahun 2002
tanggal 28 November 2002;
m. LAZ Baituzzakah Pertamina berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 313 Tahun 2004
tanggal 24 Mei 2004;
n. LAZ Dompet Peduli Umat Daarut Tauhiid (DUDT) berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor
410 Tahun 2004 tanggal 13 Oktober 2004;
o. LAZ Yayasan Rumah Zakat Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 42 Tahun
2007 tanggal 7 Mei 2007;

3. Lembaga Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah (LAZIS) sebagai berikut:


a. LAZIS Muhammadiyah berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 457 Tahun 2002 tanggal
21 November 2002;
b. LAZIS Nahdlatul Ulama (LAZIS NU) berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 65 Tahun
2005 tanggal 16 Februari 2006;
c. LAZIS Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (LAZIS IPHI) berdasarkan Keputusan Menteri
Agama Nomor 498 Tahun 2006 tanggal 31 Juli 2006;

4. Lembaga Sumbangan Agama Kristen Indonesia (LEMSAKTI) berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal
Bimbingan Masyarakat Kristen Kementerian Agama Nomor DJ.III/KEP/HK.00.5/290/2011 tanggal
15 Juli 2011;

5. Badan Dharma Dana Nasional Yayasan Adikara Dharma Parisad (BDDN YADP) berdasarkan Keputusan
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Kementerian Agama Nomor 43 Tahun 2012 tanggal
15 Maret 2012.

Pasal II

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 11 Juni 2012
DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd

A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15034

www.ortax.org
BIAYA
Selisih Kurs dan
Joint Cost
Edisi PPh Badan | Maret 2017 477

No Nomor Dokumen Tanggal Ditetapkan Perihal


1. PP No. 94 Tahun 2010 30 Desember 2010 Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Dan Pelunasan Pajak Penghasilan
Dalam Tahun Berjalan

www.ortax.org
Peraturan Pemerintah RI :
478 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PP No. 94 Tahun 2010

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 94 TAHUN 2010

TENTANG

PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN


PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa dengan dilakukannya perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan,
perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pelunasan
Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan;
B. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan
dalam Tahun Berjalan;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik lndonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN
PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:


1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang--Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
2. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
3. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

BAB II
OBJEK PAJAK

Pasal 2

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 479

Objek pajak berupa dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-Undang Pajak
Penghasilan tidak termasuk pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran yang berasal dari:
a. kapitalisasi agio saham kepada pemegang saham yang telah menyetor modal atau membeli saham
di atas harga nominal, sepanjang jumlah nilai nominal saham yang dimilikinya setelah pembagian
saham bonus tidak melebihi jumlah setoran modal; dan
b. kapitalisasi selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)
Undang--Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 3

Dalam hal terjadi pengalihan harta perusahaan kepada pegawainya, maka keuntungan berupa selisih antara
harga pasar harta tersebut dengan nilai sisa buku merupakan penghasilan bagi perusahaan.

Pasal 4

(1) Agio saham yang timbul dari selisih lebih antara nilai pasar saham dan nilai nominal saham, tidak
termasuk objek pajak.
(2) Disagio saham yang timbul dari selisih lebih antara nilai nominal saham dan nilai pasar saham, bukan
merupakan pengurang dari penghasilan bruto.

Pasal 5

(1) Bagian laba yang diterima atau diperoleh oleh pemegang unit penyertaan Kontrak Investasi Kolektif
termasuk keuntungan atas pelunasan kembali unit penyertaannya, tidak termasuk sebagai objek pajak.
(2) Ketentuan terhadap bagian laba termasuk keuntungan atas pelunasan kembali unit penyertaannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi pemegang unit penyertaan yang merupakan
Subjek Pajak luar negeri.

Pasal 6

Pembagian laba secara langsung dan/atau tidak langsung yang berasal dari saldo laba termasuk saldo laba
berdasarkan proyeksi laba tahun berjalan merupakan objek pajak, kecuali bagian laba sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 7

(1) Surplus Bank Indonesia yang merupakan objek Pajak Penghasilan adalah surplus Bank Indonesia
menurut laporan keuangan audit setelah dilakukan penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan
Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan memperhatikan karakteristik Bank Indonesia.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan atas surplus Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 8

(1) Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3)
huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu
dengan yang lain secara langsung atau tidak langsung berkenaan dengan:
a. usaha;
b. pekerjaan; atau
c. kepemilikan atau penguasaan.
(2) Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima, dapat terjadi apabila
terdapat transaksi yang bersifat rutin antara kedua belah pihak.
(3) Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan pekerjaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima terjadi
apabila terdapat hubungan yang berupa pekerjaan, pemberian jasa, atau pelaksanaan kegiatan secara
langsung atau tidak langsung antara kedua pihak tersebut.
(4) Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan kepemilikan atau penguasaan
antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima sebagaimana dimaksud pada ayat (I) huruf c
terjadi apabila terdapat:
a. penyertaan modal secara langsung atau tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18

www.ortax.org
480 Edisi PPh Badan | Maret 2017

ayat (4) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan; atau


b. hubungan penguasaan secara langsung atau tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (4) huruf b Undang-Undang Pajak Penghasilan.

BAB III
PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK

Pasal 9

(1) Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing diakui sebagai penghasilan atau biaya
berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar
Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
(2) Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
berkaitan langsung dengan usaha Wajib Pajak yang:
a. dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
b. tidak termasuk objek pajak,
tidak diakui sebagai penghasilan atau biaya.
(3) Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
tidak berkaitan langsung dengan usaha Wajib Pajak yang:
a. dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
b. tidak termasuk objek pajak,
diakui sebagai penghasilan atau biaya sepanjang biaya tersebut dipergunakan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan.

Pasal 10

(1) Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8)
Undang--Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sepanjang dapat dibuktikan Pajak Masukan tersebut:
a. benar-benar telah dibayar; dan
b. berkenaan dengan pengeluaran yang berhubungan dengan kegiatan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan.
(2) Pajak Masukan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sehubungan dengan pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud
serta biaya lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 dan Pasal 11A Undang-Undang Pajak Penghasilan, harus dikapitalisasi dengan
pengeluaran atau biaya tersebut dan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi.

Pasal 11

(1) Biaya pengembangan tanaman industri yang berumur lebih dari 1 (satu) tahun dan hanya 1 (satu) kali
memberikan hasil, dikapitalisasi selama periode pengembangan dan merupakan bagian dari harga
pokok penjualan pada saat hasil tanaman industri dijual.
(2) Biaya pemeliharaan ternak yang berumur lebih dari 1 (satu) tahun dan hanya 1 (satu) kali memberikan
hasil, dikapitalisasi selama periode pemeliharaan dan merupakan bagian dari harga pokok penjualan
pada saat ternak dijual.

Pasal 12

(1) Pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk perseroan
terbatas diperkenankan apabila:
a. pinjaman tersebut berasal dari dana milik pemegang saham itu sendiri dan bukan berasal dari
pihak lain;
b. modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjaman telah disetor
seluruhnya;
c. pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan merugi; dan
d. perseroan terbatas penerima pinjaman sedang mengalami kesulitan keuangan untuk
kelangsungan usahanya.
(2) Apabila pinjaman yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk perseroan terbatas dari pemegang
sahamnya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas pinjaman tersebut
terutang bunga dengan tingkat suku bunga wajar.

Pasal 13

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 481

Pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi
Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, termasuk:
a. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang:
1) bukan merupakan objek pajak;
2) pengenaan pajaknya bersifat final; dan/atau
3) dikenakan pajak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Norma Penghitungan Khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
b. Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan.

BAB IV
PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN
OLEH WAJIB PAJAK SENDIRI

Pasal 14

Orang pribadi dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP) sehubungan dengan pekerjaan dari badan-badan yang tidak wajib melakukan pemotongan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, wajib:
a. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
b. melaksanakan sendiri penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun
berjalan; dan
c. melaporkan penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun berjalan
dalam Surat Pemberitahuan Tahunan.

BAB V
PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN
MELALUI PIHAK LAIN

Pasal 15

(1) Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1)
Undang-Undang Pajak Penghasilan dilakukan pada akhir bulan:
a. terjadinya pembayaran; atau
b. terutangnya penghasilan yang bersangkutan,
tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
(2) Pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1)
Undang-Undang Pajak Penghasilan, dilakukan pada saat:
a. pembayaran; atau
b. tertentu lainnya yang diatur oleh Menteri Keuangan.
(3) Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3)
Undang--Undang Pajak Penghasilan, dilakukan pada akhir bulan:
a. dibayarkannya penghasilan;
b. disediakan untuk dibayarkannya penghasilan; atau
c. jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan,
tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
(4) Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)
Undang-Undang Pajak Penghasilan, dilakukan pada akhir bulan:
a. dibayarkannya penghasilan;
b. disediakan untuk dibayarkannya penghasilan; atau
c. jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan,
tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.

Pasal 16

Dalam hal pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang--Undang Pajak Penghasilan atau Pasal 26
Undang-Undang Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilakukan
pada tahun pajak yang berbeda dengan tahun pajak pengakuan penghasilan, maka atas Pajak Penghasilan yang
telah dipotong tersebut dapat dikreditkan pada tahun pajak dilakukan pemotongan.

Pasal 17

Dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak, dapat ditetapkan saat pengakuan penghasilan dan biaya dalam

www.ortax.org
482 Edisi PPh Badan | Maret 2017

hal-hal tertentu sesuai dengan kebijakan Pemerintah.

Pasal 18

(1) Pajak Penghasilan atas pembayaran royalti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a
angka 3 Undang-Undang Pajak Penghasilan yang dilakukan dengan cara bagi hasil dipotong oleh pihak
yang wajib membayarkan.
(2) Ketentuan mengenai dasar pemotongan Pajak Penghasilan atas pembayaran royalti sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 19

Dalam hal penghasilan tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan Peraturan Pemerintah
tersendiri, atas penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 20

Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut berdasarkan tarif pemotongan atau pemungutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5a), Pasal 22 ayat (3), dan Pasal 23 ayat (1a) Undang-Undang Pajak
Penghasilan, dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan
setelah Wajib Pajak tersebut memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.

Pasal 21

(1) Wajib Pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang Pajak
Penghasilan karena:
a. mengalami kerugian fiskal;
b. berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal; atau
c. Pajak Penghasilan yang telah dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan terutang,
dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan
oleh pihak lain kepada Direktur Jenderal Pajak.
(2) Wajib Pajak yang atas penghasilannya hanya dikenakan pajak bersifat final, dapat mengajukan
permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang dapat
dikreditkan kepada Direktur Jenderal Pajak.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/
atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 22

Dalam menghitung Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Pajak
Penghasilan, terhadap bentuk usaha tetap yang terutang Pajak Penghasilan pada suatu tahun pajak, kerugian
fiskal tidak dapat dikompensasikan lagi dengan Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi dengan Pajak
Penghasilan.

Pasal 23

(1) Pajak Penghasilan yang terutang dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu
bentuk usaha tetap di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Pajak
Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak bentuk usaha tetap memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pajak Penghasilan
yang terutang berdasarkan penghitungan sementara harus dibayar lunas sebelum penyampaian
pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan.

BAB VI
PENERAPAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
MENGENAI PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
DAN PERTUKARAN INFORMASI

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 483

Pasal 24

(1) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda hanya berlaku bagi orang pribadi atau badan yang
merupakan Subjek Pajak:
a. dalam negeri dari Indonesia; dan/atau
b. dari negara mitra persetujuan penghindaran pajak berganda,
yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Domisili.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 25

(1) Direktur Jenderal Pajak dapat melaksanakan kesepakatan dengan negara mitra dalam rangka
pertukaran informasi, prosedur persetujuan bersama, dan bantuan penagihan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian pertukaran informasi, pelaksanaan prosedur persetujuan
bersama, dan pelaksanaan bantuan penagihan diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 26

(1) Dalam hal terdapat ketentuan perpajakan yang diatur dalam perjanjian internasional yang berbeda
dengan ketentuan perpajakan yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, perlakuan
perpajakannya didasarkan pada ketentuan dalam perjanjian tersebut sampai dengan berakhirnya
perjanjian dimaksud, dengan syarat perjanjian tersebut telah sesuai dengan Undang-Undang tentang
Perjanjian Internasional.
(2) Pelaksanaan perlakuan perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat
persetujuan Menteri Keuangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan perlakuan perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

BAB VII
PEMBUKUAN TERPISAH DAN PERUBAHAN TAHUN BUKU

Pasal 27

(1) Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan secara terpisah dalam hal:
a. memiliki usaha yang penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan tidak
final;
b. menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek pajak dan bukan objek pajak; atau
c. mendapatkan dan tidak mendapatkan fasilitas perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 31A
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(2) Biaya bersama bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak dapat dipisahkan
dalam rangka penghitungan besarnya Penghasilan Kena Pajak, pembebanannya dialokasikan secara
proporsional.

Pasal 28

(1) Wajib Pajak yang melakukan perubahan tahun buku dan telah mendapat persetujuan dari Direktur
Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (6) Undang--Undang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, harus melaporkan penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun
buku yang tidak termasuk dalam tahun buku yang baru dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tersendiri untuk Bagian Tahun Pajak yang bersangkutan.
(2) Sisa rugi fiskal yang masih dapat dikompensasikan yang berasal dari tahun-tahun pajak sebelum
perubahan tahun buku dapat dikompensasikan dengan penghasilan untuk Bagian Tahun Pajak dan
Tahun Pajak berikutnya.

BAB VIII
FASILITAS PEMBEBASAN ATAU PENGURANGAN
PAJAK PENGHASILAN BADAN DALAM RANGKA PENANAMAN MODAL

Pasal 29

(1) Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal baru yang merupakan industri pionir, yang

www.ortax.org
484 Edisi PPh Badan | Maret 2017

tidak mendapatkan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan
dapat diberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
(2) Industri pionir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah industri yang memiliki keterkaitan yang
luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta
memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.

Pasal 30

Ketentuan mengenai pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 31

Penghitungan pajak bagi Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir sebelum tanggal 1 Juli 2009 dilakukan
berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

Pasal 32

Penghitungan pajak dalam tahun berjalan sampai dengan Desember 2008, untuk tahun pajak 2009, bagi Wajib
Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni 2009, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

Pasal 33

Fasilitas perpajakan dengan jangka waktu yang terbatas yang diperoleh Wajib Pajak sebelum tanggal
1 Januari 2009 tetap berlaku sampai dengan berakhirnya jangka waktu fasilitas perpajakan tersebut.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 34

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 tentang
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 253, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4055), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 35

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 485

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

PATRIALIS AKBAR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 161

PENJELASAN
ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 94 TAHUN 2010

TENTANG

PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN


PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN

I. UMUM

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat


Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan terdapat perubahan materi yang
terkait dengan penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun
berjalan. Oleh karena itu perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan penghitungan Penghasilan
Kena Pajak dan pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan.

Peraturan Pemerintah ini, sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 tentang
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan,
mengatur ketentuan--ketentuan yang berkenaan dengan Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan
Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan

Dalam Peraturan Pemerintah ini, diatur juga ketentuan peralihan dalam rangka pelaksanaan
Undang-Undang Pajak Penghasilan yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Pemberian saham bonus kepada pemegang saham yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk
dalam pengertian pembagian laba atau dividen. Demikian pula dengan pemberian saham bonus
yang berasal dari kapitalisasi agio saham. Agio saham berasal dari setoran modal pemegang
saham di atas nilai nominal saham yang diperolehnya.

Oleh karena itu apabila saham bonus dimaksud diberikan kepada pemegang saham yang
menjadikan jumlah nilai nominal seluruh saham termasuk saham bonus yang diperolehnya
lebih besar dari jumlah setoran modalnya, pemberian saham bonus yang berasal dari
kapitalisasi agio saham tersebut termasuk dalam pengertian pembagian laba atau dividen.
Namun demikian apabila saham bonus dimaksud diberikan kepada pemegang saham sehingga
pemberian tersebut tidak menjadikan jumlah nilai seluruh saham (termasuk saham bonus)
yang diperoleh atau dimilikinya lebih besar dari jumlah setoran modalnya, pemberian saham

www.ortax.org
486 Edisi PPh Badan | Maret 2017

bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham tersebut tidak termasuk dalam pengertian
pembagian laba atau dividen.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Ayat (1)

Contoh:

PT A (belum Go Public) yang mempunyai modal dasar sebesar Rp4.500.000.000,00


(terdiri dari 4.500.000 lembar saham) dan telah disetor penuh melakukan ekspansi
yang sumber pendanaannya diperoleh dengan jalan meningkatkan modal saham
dengan menjual saham baru sejumlah 500.000 lembar (nilai nominal Rp 1000,00/
lembar) dengan nilai jual Rp 750.000.000,00 (500.000 lembar saham x Rp1.500,00)
sehingga terdapat selisih di atas nilai nominal sebesar Rp 250.000.000,00 (500.000
lembar saham x Rp500,00) yang dibukukan sebagai agio saham oleh PT A.

Atas agio saham tersebut bukan merupakan objek Pajak Penghasilan bagi PT A.

Ayat (2)

Contoh:

Seperti pada ayat (1), namun nilai penjualan 500.000 lembar saham baru tersebut
sebesar Rp400.000.000,00. Atas selisih lebih antara nilai nominal dan nilai pasar saham
sebesar Rp 100.000.000,00 (500.000 lembar saham x (-Rp200,00)) tersebut dibukukan
sebagai disagio saham oleh PT A.

Atas disagio saham tersebut bukan merupakan pengurang dari penghasilan bagi PT A.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7

Ayat (1)

Karakteristik Bank Indonesia terkait surplus Bank Indonesia antara lain selisih kurs,
penyisihan aktiva, dan penyusutan aktiva tetap.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 8

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "pihak-pihak yang bersangkutan" adalah Wajib Pajak pemberi
dan Wajib Pajak penerima bantuan atau, sumbangan, termasuk zakat atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, dan
atau harta hibahan.

Ayat (2)

Transaksi yang bersifat rutin antara kedua belah pihak adalah berupa pembelian,
penjualan, atau pemberian imbalan lain dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Ayat (3)

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 487

Contoh hubungan berkenaan dengan pekerjaan:

1. Tuan B merupakan direktur PT X dan Tuan C merupakan pegawai PT X. Dalam


hal ini, antara PT X dengan Tuan B dan/atau Tuan C terdapat hubungan
pekerjaan langsung. Jika Tuan B dan/atau Tuan C menerima bantuan atau
sumbangan dari PT X atau sebaliknya, maka bantuan atau sumbangan
tersebut merupakan objek Pajak Penghasilan bagi yang menerima karena
antara PT X dengan Tuan B dan/atau Tuan C mempunyai hubungan pekerjaan
langsung.
2. Tuan A bekerja sebagai petugas dinas luar asuransi dari perusahaan asuransi
PT X. Meskipun Tuan A tidak berstatus sebagai pegawai PT X, namun antara
PT X dan Tuan A dianggap mempunyai hubungan pekerjaan tidak langsung.
Jika Tuan A menerima bantuan atau sumbangan dari PT X atau sebaliknya,
maka bantuan atau sumbangan tersebut merupakan objek Pajak Penghasilan
bagi pihak yang menerima karena antara PT X dan Tuan A mempunyai
hubungan pekerjaan tidak langsung.

Ayat (4)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Contoh:

1. Penguasaan manajemen secara langsung:

Tuan A dan Tuan B, adalah direktur PT X, sedangkan Tuan C adalah


komisaris X. Selain itu, Tuan C juga menjadi direktur di PT Y, dan
Tuan B sebagai komisaris di PT Y.

Tuan B Junior adalah direktur PT AA, sedangkan Tuan E sebagai


komisaris PT AA. Tuan B Junior adalah anak dari Tuan B yang menjadi
direktur PT X dan komisaris PT Y.

Dalam contoh di atas, antara PT X dan PT Y mempunyai hubungan


penguasaan manajemen secara langsung, karena Tuan B selain
bekerja sebagai direktur di PT X juga bekerja sebagai komisaris
PT Y. Di samping itu, Tuan C selain bekerja sebagai komisaris di PT X
juga bekerja sebagai direktur di PT Y. Jika PT X menerima bantuan
atau sumbangan dari PT Y (atau sebaliknya) maka bantuan atau
sumbangan tersebut merupakan objek pajak bagi pihak yang
menerima.

Demikian pula antara PT Y dan PT AA mempunyai hubungan


penguasaan manajemen secara langsung, karena terdapat hubungan
keluarga antara Tuan B (ayah) yang bekerja sebagai komisaris
di PT Y dengan Tuan B Junior (anak) yang bekerja sebagai direktur
di PT AA.

Jika PT AA menerima bantuan atau sumbangan dari PT Y (atau


sebaliknya) maka bantuan atau sumbangan tersebut merupakan objek
pajak bagi pihak yang menerima.

Jika Tuan B.Jr (anak) menerima bantuan atau sumbangan atau harta
hibahan dari Tuan B (ayah) maka bantuan atau sumbangan atau harta
hibahan tersebut dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a Undang-Undang
Pajak Penghasilan, karena yang mempunyai hubungan penguasaan
manajemen adalah antara PT Y dengan PT AA, bukan antara Tuan B
(ayah) dan Tuan B Junior (anak).

Dengan demikian, hubungan penguasaan manajemen hanya terjadi


antara entitas yang pengurusnya sama atau memiliki hubungan
keluarga. Sedangkan antara pengurus dalam entitas tersebut tidak

www.ortax.org
488 Edisi PPh Badan | Maret 2017

memilki hubungan penguasaan.

2. Penguasaan manajemen secara tidak langsung:

Tuan O adalah direktur PT AB, dan Tuan P sebagai komisaris PT AB.


Tuan O dan Tuan P nyata-nyata mempunyai wewenang dalam
menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam
rangka menjalankan kegiatan PT X, misalnya berwenang
menandatangani kontrak dengan pihak ketiga, menandatangani cek,
dan sebagainya walaupun Tuan O dan/atau Tuan tidak tercantum
namanya dalam susunan pengurus yang tertera dalam akte pendirian
maupun akte perubahan PT X.

Dalam contoh di atas, antara PT AB dan PT X mempunyai hubungan


penguasaan manajemen secara tidak langsung. Jika PT X menerima
bantuan atau sumbangan dari PT AB atau sebaliknya maka bantuan
atau sumbangan tersebut merupakan objek pajak bagi pihak yang
menerima.

Pasal 9

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Contoh:

PT A bergerak di bidang penyewaan apartemen. Sesuai dengan kontrak, sewa


apartemen tiap bulan adalah sebesar US$1,000 dan diterbitkan invoice setiap tanggal 1.

Pada tanggal 1 September 2010 PT A menerbitkan invoice sebesar US$ 1,000 kepada
penyewa. Pada tanggal tersebut, kurs yang berlaku adalah Rp9.000,00 per 1 US$.
Pada tanggal 1 September 2010 tersebut PT A mengakui penghasilan atas sewa
apartemen sebesar Rp9.000.000,00 (US$ 1,000 x Rp9.000,00).

Pada tanggal 15 September 2010 penyewa membayar sewa apartemen. Pada tanggal
tersebut, kurs yang berlaku adalah Rp8.700,00 per 1 US$, sehingga nilai sewa yang
dibayar adalah sebesar Rp8.700.000,00 (US$ 1,000 x Rp8.700,00).

Atas perbedaan waktu antara tanggal penerbitan invoice dan tanggal pembayaran
timbul kerugian selisih kurs bagi PT A sebesar
Rp300.000,00 ((Rp9.000,00 - Rp8.700,00) x US$ 1,000)).

Atas kerugian selisih kurs tersebut tidak diakui sebagai biaya bagi PT A karena berasal
dari penyewaan apartemen yang telah dikenai Pajak Penghasilan bersifat final.

Ayat (3)

Contoh:

PT A yang bergerak di bidang penyewaan apartemen, pada bulan September 2010


mendapatkan pinjaman sebesar US$ 10,000,000 yang digunakan masing-masing
sebesar US$ 9,000,000 untuk membangun apartemen, dan sebesar US$ 1,000,000
untuk membeli alat transportasi yang akan dipergunakan untuk usaha jasa angkutan.

Atas keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing yang berasal dari
pinjaman sebesar US$ 1,000,000 tersebut dapat diakui sebagai penghasilan atau biaya
karena:
a. tidak berkaitan langsung dengan usaha PT A di bidang penyewaan apartemen
yang atas penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final; dan
b. merupakan pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan lainnya berupa usaha jasa angkutan yang atas penghasilannya
dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 10

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 489

Cukup jelas.

Ayat (3)

Saat terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan


Pasal 11

Pasal 12

Pasal 13

Pasal 14
Cukup jelas.

Ayat (1)

Ayat (2)

Ayat (1)

Ayat (2)

Huruf a

Huruf b
Yang dimaksud dengan "biaya pengembangan" adalah seluruh pengeluaran yang
terkait dengan tanaman industri termasuk pembelian bibit, pemeliharaan, dan
pembesaran tanaman sampai dijual.

Yang dimaksud dengan "biaya pemeliharaan" adalah seluruh pengeluaran yang terkait
dengan ternak termasuk pembelian bibit, pemeliharaan, dan pembesaran ternak
sampai dijual.

Cukup jelas.

Yang dimaksud dengan "tingkat suku bunga wajar" adalah tingkat suku bunga yang
berlaku yang ditetapkan sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman
(best practice) jika transaksi dilakukan di antara pihak yang tidak mempunyai
hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang
Pajak Penghasilan.

Biaya yang berkenaan dengan penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri, baik
penghasilan yang dikenakan pemotongan, pemungutan, atau pembayaran Pajak
Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) maupun
penghasilan yang dikenai pajak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Norma
Penghitungan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-Undang Pajak
Penghasilan, telah diperhitungkan dalam tarif pajak ataupun norma penghitungan yang
berlaku untuk penghasilan tersebut. Oleh karena itu, biaya-biaya tersebut tidak boleh
lagi dikurangkan dari penghasilan bruto lainnya yang pengenaan pajaknya dilakukan
berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak
Penghasilan.

Cukup jelas.

Kantor perwakilan negara asing dan organisasi internasional tertentu sebagai bukan Subjek
Pajak tidak berkewajiban melakukan pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud

adalah pada saat pembayaran, saat disediakan untuk dibayarkan (seperti: dividen)
dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan. Oleh karena itu, orang pribadi
dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan, berupa gaji dan imbalan lain
sehubungan dengan pekerjaan pada badan-badan tersebut, yang jumlahnya melebihi batas
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berkewajiban menghitung, membayar, dan melaporkan
sendiri Pajak Penghasilan yang terutang.

Pasal 15

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

dan jatuh tempo (seperti: bunga dan sewa), saat yang ditentukan dalam kontrak atau
perjanjian atau faktur (seperti: royalti, imbalan jasa teknik atau jasa manajemen atau
jasa lainnya).

Yang dimaksud dengan "saat disediakan untuk dibayarkan":


a. untuk perusahaan yang tidak go public, adalah saat dibukukan sebagai utang
dividen yang akan dibayarkan, yaitu pada saat pembagian dividen diumumkan
atau ditentukan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan.
Demikian pula apabila perusahaan yang bersangkutan dalam tahun berjalan
membagikan dividen sementara (dividen interim), maka Pajak Penghasilan
Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan terutang pada saat diumumkan
atau ditentukan dalam Rapat Direksi atau pemegang saham sesuai dengan
Anggaran Dasar perseroan yang bersangkutan.
b. untuk perusahaan yang go public, adalah pada tanggal penentuan kepemilikan
pemegang saham yang berhak atas dividen (recording date). Dengan
perkataan lain pemotongan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana
diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan baru dapat dilakukan
setelah para pemegang saham yang berhak "menerima atau memperoleh"
dividen tersebut diketahui, meskipun dividen tersebut belum diterima secara
tunai.

Yang dimaksud dengan "saat jatuh tempo pembayaran" adalah saat kewajiban untuk
melakukan pembayaran yang didasarkan atas kesepakatan, baik yang tertulis maupun
tidak tertulis dalam kontrak atau perjanjian atau faktur.

Ayat (4)

Saat terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah


pada saat pembayaran, saat disediakan untuk dibayarkan (seperti: dividen) dan jatuh
tempo (seperti: bunga dan sewa), saat yang ditentukan dalam kontrak atau perjanjian
atau faktur (seperti: royalti, imbalan jasa teknik atau jasa manajemen atau jasa
lainnya).

Yang dimaksud dengan "saat disediakan untuk dibayarkan":


a. untuk perusahaan yang tidak go public, adalah saat dibukukan sebagai utang
dividen yang akan dibayarkan, yaitu pada saat pembagian dividen diumumkan
atau ditentukan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan.
Demikian pula apabila perusahaan yang bersangkutan dalam tahun berjalan
membagikan dividen sementara (dividen interim), maka Pajak Penghasilan
Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan terutang pada saat diumumkan
atau ditentukan dalam Rapat Direksi atau pemegang saham sesuai dengan
Anggaran Dasar perseroan yang bersangkutan
b. untuk perusahaan yang go public, adalah pada tanggal penentuan kepemilikan
pemegang saham yang berhak atas dividen (recording date). Dengan
perkataan lain pemotongan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana
diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan baru dapat dilakukan
setelah para pemegang saham yang berhak "menerima atau memperoleh"
dividen tersebut diketahui, meskipun dividen tersebut belum diterima secara
tunai.

Yang dimaksud dengan "saat jatuh tempo pembayaran" adalah saat kewajiban untuk
melakukan pembayaran yang didasarkan atas kesepakatan, baik yang tertulis maupun
tidak tertulis dalam kontrak atau perjanjian atau faktur.

Pasal 16

Contoh:

Pada bulan Oktober 2009 PT A memberikan pinjaman kepada PT B sebesar


Rp1.000.000.000,00 dengan tingkat bunga sebesar 10% (sepuluh persen) per tahun. Jatuh
tempo pembayaran bunga setiap tanggal 1 April dan 1 Oktober.

www.ortax.org
490 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Pada 1 April 2010, PT B membayar bunga sebesar Rp50.000.000,00 kepada PT A. Atas bunga
pinjaman ini, PT A telah mengakui sebagai penghasilan di tahun 2009 sebesar Rp25.000.000,00
(bunga selama Oktober s.d Desember 2009). Sesuai ketentuan, PT B melakukan pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan pada saat jatuh tempo
pembayaran pada tanggal l April 2010 sebesar Rp7.500.000,00 (15% x Rp50.000.000,00) dan
kepada PT A diberikan bukti pemotongannya.

Atas pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan tersebut,


dapat dikreditkan oleh PT A pada tahun 2010.

Pasal 17

Pada dasarnya saat pengakuan biaya dan penghasilan dilakukan secara taat asas berdasarkan
prinsip akuntansi tentang pengaitan biaya dengan penghasilan (matching of costs againts
revenues). Namun, dalam hal-hal tertentu karena kebijakan Pemerintah, Direktur Jenderal
Pajak dapat mengatur saat pengakuan penghasilan dan biaya yang berbeda.

Yang dimaksud dengan "dalam hal-hal tertentu" antara lain:


a. saat pengakuan penghasilan bank berupa bunga kredit non performing loan dalam
rangka menunjang percepatan proses restrukturisasi perbankan sesuai dengan
kebijakan Pemerintah; atau
b. saat pengakuan penghasilan dan biaya bagi Wajib Pajak karena adanya perubahan
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan.

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak misalnya yang bergerak di bidang
usaha jasa konstruksi dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan Peraturan
Pemerintah tersendiri. Dalam hal tidak diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri yang
menyatakan bahwa atas penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final,
penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 20

Contoh:

Tuan A, subjek pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif namun belum
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), memperoleh penghasilan sebesar Rp20.000.000,00
sehubungan dengan jasa konsultasi yang dilakukannya pada tahun 2009. Oleh karena Tuan A
belum memiliki NPWP, atas penghasilan tersebut dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan
Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan oleh pemberi penghasilan dengan tarif lebih tinggi
20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat
menunjukkan NPWP, sehingga Pajak Penghasilan Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan
yang dipotong adalah sebesar Rp 1.200.000,00 (5% x 120% x Rp20.000.000,00).

Pada tahun 2011, Tuan A mendaftarkan dirinya untuk mendapatkan NPWP dan melaporkan
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi Tahun Pajak 2009
dan 2010. Atas kredit pajak sebesar Rp1.200.000,00 yang dipotong pada tahun 2009 tersebut,
Tuan A hanya dapat mengkreditkannya dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
Wajib Pajak orang pribadi Tahun Pajak 2009.

Pasal 21

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Contoh:
Perusahaan Jasa Konstruksi yang atas penghasilannya semata--mata dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final melakukan impor barang yang digunakan untuk

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 491

kegiatan jasa konstruksi. Atas impor barang tersebut, perusahaan jasa konstruksi
dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan
Pajak Penghasilan Pasal 22 Undang--Undang Pajak Penghasilan.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 22

Contoh:

Penghasilan neto komersial bentuk usaha tetap di Indonesia dalam tahun 2009 sebesar
Rp16.000.000.000,00 dan penyesuaian fiskal positif sebesar Rp1.500.000.000,00. Sisa kerugian
tahun sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan dalam tahun 2009 sebesar
Rp7.500.000.000,00.

Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 17 dan Pasal 26 ayat (4) sebagai berikut:
------------------------------------------------------------------------------------------------
Uraian PPh Pasal 17 PPh Pasal 26 (4)
------------------------------------------------------------------------------------------------
Penghasilan Neto Komersial 16.000.000.000,00
Penyesuaian Fiskal Positif 1.500.000.000,00
Penghasilan Neto Fiskal 17.500.000.000,00
Kompensasi Kerugian 7.500.000.000,00
Penghasilan Kena Pajak 10.000.000.000,00
PPh Badan Terutang 28% 2.800.000.000,00
PKP setelah dikurangi pajak 7.200.000.000,00
PPh Pasal 26 (4) = 20% 1.440.000.000,00
-------------------------------------------------------------------------------------------------

Dalam menghitung PPh Pasal 26 ayat (4), kompensasi kerugian sebesar Rp7.500.000.000,00
tersebut tidak boleh diperhitungkan sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak setelah
dikurangi pajak (Rp7.200.000.000,00).

Pasal 23

Ayat (1)

Sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan, batas akhir penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan bagi Wajib Pajak badan adalah paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir
Tahun Pajak. Dengan demikian pelunasan Pajak Penghasilan yang terhutang harus
dilakukan sebelum batas akhir penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 24

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "Surat Keterangan Domisili" atau yang disebut dengan
certificate of resident adalah surat keterangan yang diterbitkan dan/atau disahkan oleh
pejabat yang berwenang di bidang perpajakan (Competent Authority) atau pejabat
yang ditunjuk berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 25

Ayat (1)

Pertukaran informasi (exchange of information), prosedur persetujuan bersama


(mutual agreement procedures), dan bantuan penagihan (assistance in collection of

www.ortax.org
492 Edisi PPh Badan | Maret 2017

taxes) merupakan bagian dari kesepakatan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak


Berganda.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

Pasal 27

Ayat (1)

Pembukuan secara terpisah merupakan proses pencatatan yang dilakukan secara


teratur dengan melakukan pemisahan pencatatan untuk setiap transaksi, penghasilan
dan biaya-biaya antara kegiatan usaha yang dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan
kegiatan usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final maupun atas
penerimaan penghasilan bruto yang merupakan objek pajak dan yang bukan
merupakan objek pajak, serta penghasilan dan biaya-biaya dari usaha yang tidak
mendapatkan fasilitas perpajakan dan yang mendapatkan fasilitas perpajakan
sebagaimana diatur dalam Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Contoh huruf c:

PT A bergerak di bidang industri pengalengan ikan yang berkedudukan di Jakarta


mempunyai aset berupa gudang dan mesin pengolahan di Papua dalam rangka
pengembangan kegiatan dan produksi perusahaan.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak
Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau
di Daerah-Daerah Tertentu sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 62 Tahun 2008, atas industri pengalengan ikan dan biota perairan lainnya
di daerah Papua dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan.

Salah satu bentuk fasilitas Pajak Penghasilan yang dimaksud adalah penyusutan dan
amortisasi yang dipercepat.

Dalam hal ini, pencatatan secara terpisah harus dilakukan untuk biaya penyusutan atas
aset dalam rangka usaha yang mendapatkan fasilitas perpajakan (di Papua) dan yang
tidak mendapatkan fasilitas perpajakan (di Jakarta).

Ayat (2)

Biaya bersama adalah pengeluaran atau biaya yang berhubungan langsung dengan
kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara suatu penghasilan dan
sekaligus berhubungan langsung dengan kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan lainnya.

Biaya-biaya bersama yang menjadi dasar alokasi pembebanan dalam rangka


menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak adalah biaya bersama setelah dilakukan
penyesuaian/koreksi fiskal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2008 dan peraturan pelaksanaannya.

Contoh:
PT A bergerak dalam bidang usaha yang penghasilannya dikenakan Pajak Penghasilan
yang bersifat final. Dalam suatu tahun pajak, PT A memperoleh penghasilan bruto yang
terdiri dari:
a. penghasilan dari usaha yang telah
dikenakan Pajak Penghasilan yang
bersifat final ................................... Rp 300.000.000,00
b. penghasilan bruto lainnya yang
dikenakan Pajak Penghasilan yang
bersifat tidak final ........................... Rp 200.000.000,00
----------------------

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 493

Jumlah penghasilan bruto Rp 500.000.000,00

Apabila biaya-biaya bersama yang tidak dapat dipisahkan setelah dilakukan


penyesuaian fiskal adalah sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh
juta rupiah), maka biaya yang boleh dikurangkan untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan adalah sebesar:
2/5 x Rp250.000.000,00 = Rp 100.000.000,00

Pasal 28

Ayat (1)

Contoh:

Wajib Pajak dengan tahun buku dari 1 Juli 2009 sampai dengan 30 Juni 2010 (tahun
buku 2009) melakukan perubahan tahun bukunya yang telah disetujui Direktur
Jenderal Pajak menjadi 1 Oktober 2009 sampai dengan 30 September 2010 (tahun
buku 2010). Dalam hal ini, penghasilan yang diterima atau diperoleh sejak 1 Juli 2010
sampai dengan 30 September 2010 harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2010 tersendiri.

Ayat (2)

Sisa rugi fiskal dalam bagian tahun buku yang tidak termasuk dalam tahun buku yang
baru, dapat dikompensasikan dengan penghasilan mulai Tahun Pajak berikutnya
berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.

Contoh:

Tahun buku PT X adalah Oktober sampai dengan September. PT X berencana


mengubah tahun buku menjadi Januari sampai dengan Desember mulai Tahun Pajak
2010. PT X memiliki rugi fiskal yang berasal dari Tahun Pajak 2007.
Untuk sisa rugi fiskal Tahun Pajak 2007 (Oktober 2006 sampai dengan September
2007) dapat dikompensasikan dengan penghasilan mulai Tahun Pajak berikutnya
berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun, yaitu mulai Tahun Pajak 2008 sampai
dengan 2011 sebagai berikut:
Tahun Pajak I : 2008 (Oktober 2007 sampai dengan September 2008)
Tahun Pajak II : 2009 (Oktober 2008 sampai dengan September 2009)
Tahun Pajak III : Bagian Tahun Pajak 2009 (Oktober 2009 sampai dengan dengan
Desember 2009)
Tahun Pajak IV : 2010 (Januari 2010 sampai dengan Desember 2010)
Tahun Pajak V : 2011 (Januari 2011 sampai dengan Desember 2011).

Pasal 29

Cukup jelas.

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31

Contoh :

PT A mempergunakan tahun buku dari 1 Juli 2008 sampai dengan 30 Juni 2009 untuk Tahun
Pajak 2008. Dalam rangka menghitung kewajiban pajaknya pada akhir tahun ( tahun buku),
PT A wajib menghitungnya berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.

Pasal 32

PT A mempergunakan tahun buku dari 1 Agustus 2008 sampai dengan 31 Juli 2009 untuk Tahun
Pajak 2009. Dalam rangka menghitung kewajiban pajak dalam tahun berjalan melalui
pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain (Pajak Penghasilan Pasal 22, Pasal 23,
Pasal 24 dan Pasal 26 ayat (5) Undang-Undang Pajak Penghasilan serta pembayaran pajak oleh
Wajib Pajak sendiri (Pajak Penghasilan Pasal 25) sampai dengan Desember 2008, PT A wajib

www.ortax.org
494 Edisi PPh Badan | Maret 2017

menghitungnya berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang


Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang--Undang Nomor 17 Tahun
2000.

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5183

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=14538

www.ortax.org
KOMPENSASI
Kerugian Fiskal
496 Edisi PPh Badan | Maret 2017

No Nomor Dokumen Tanggal Ditetapkan Perihal


1. SE - 03/PJ.31/2004 03 Maret 2004 Kompensasi Kerugian Fiskal Dalam Penghitungan Pajak Penghasilan
2. S - 13/PJ.031/2008 07 Januari 2008 Masa Kompensasi Kerugian Fiskal

www.ortax.org
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak :
SE - 03/PJ.31/2004 Edisi PPh Badan | Maret 2017 497

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
3 Maret 2004

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 03/PJ.31/2004

TENTANG

KOMPENSASI KERUGIAN FISKAL DALAM PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan mengenai pelaksanaan ketentuan kompensasi kerugian fiskal
dalam penghitungan Pajak Penghasilan, dengan ini perlu disampaikan penegasan sebagai berikut:

1. Berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (UU
KUP), antara lain diatur:
a. Pasal 12 ayat (1), Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan,
dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak;
Pasal 12 ayat (2), Jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang
disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
Pasal 12 ayat (3), Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti bahwa jumlah
pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) tidak benar, maka Direktur Jenderal Pajak
menetapkan jumlah pajak terutang yang semestinya.

b. Pasal 13 ayat (1), Dalam jangka waktu sepuluh tahun sesudah saat terutangnya pajak, atau
berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak
dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang
tidak atau kurang dibayar;
b. Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak
disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
c. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih
lebih pajak atau tidak seharusnya dikenakan tarif 0% (nol persen);
d. Apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dan Pasal 29 tidak
dipenuhi, sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang.

c. Pasal 15 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sesudah saat pajak terutang,
berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, apabila ditemukan data baru
dan atau data yang semula belum terungkap yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak
yang terutang.

2. Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (UU PPh), antara lain diatur:

Pasal 6 ayat (2), Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) didapat kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak
berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.

3. Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-01/PJ.7/2003 tanggal 1 April 2003
tentang Kebijakan Pemeriksaan Pajak, pemeriksaan terhadap SPT Tahunan yang menyatakan Rugi
Tidak Lebih Bayar termasuk dalam kriteria Pemeriksaan Rutin yaitu pemeriksaan yang dilakukan
sehubungan dengan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak sesuai dengan SPT
Tahunannya.

4. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut diatas, bersama ini ditegaskan bahwa:


a. Berdasarkan sistem self assessment yang dianut dalam Undang-undang Perpajakan
khususnya Undang-undang Pajak Penghasilan, penetapan pajak pada tingkat pertama
dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri melalui penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT);
b. Penerbitan ketetapan pajak oleh Direktur Jenderal Pajak hanya dilakukan apabila terdapat
fakta tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (3), Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 15
ayat (1) UU KUP. Dengan demikian apabila Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh
Wajib Pajak telah memenuhi ketentuan formal maupun ketentuan material Undang-undang
Perpajakan, maka Direktur Jenderal Pajak tidak perlu menerbitkan ketetapan pajak.

www.ortax.org
498 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Demikian pula apabila Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan ketetapan pajak, maka
Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak merupakan ketetapan pajak
berdasarkan Undang-undang Perpajakan;
c. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan ketentuan kompensasi kerugian fiskal dalam
penghitungan Pajak Penghasilan sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU PPh, yang dimaksud
dengan kerugian fiskal adalah kerugian fiskal berdasarkan ketetapan pajak yang telah
diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak maupun kerugian fiskal berdasarkan SPT Tahunan
Wajib Pajak (self assessment) dalam hal tidak ada atau belum diterbitkan ketetapan pajak
oleh Direktur Jenderal Pajak;
d. Dilakukannya pemeriksaan pajak terhadap SPT Tahunan yang menyatakan Rugi Tidak Lebih
Bayar maupun Rugi Lebih Bayar tidak meniadakan hak kompensasi kerugian fiskal Wajib
Pajak sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU PPh jo. ketentuan Pasal 12 UU KUP
tersebut di atas. Namun apabila kemudian ternyata berdasarkan ketetapan pajak hasil
pemeriksaan menunjukkan jumlah kerugian fiskal yang berbeda dari SPT Tahunan atau
menjadi tidak rugi, maka kompensasi kerugian fiskal menurut SPT Tahunan tersebut harus
segera dibetulkan sesuai dengan ketentuan dan prosedur sebagaimana diatur dalam UU KUP.
e. Kerugian fiskal dari penghasilan yang bersumber di luar negeri hanya dapat dikompensasikan
dengan penghasilan dari sumber yang sama di luar negeri;
f. Kerugian fiskal dari penghasilan yang dikenakan PPh final atau penghasilan yang bukan
merupakan Objek Pajak, tidak dapat dikompensasikan dengan penghasilan lainnya yang
dikenakan pajak berdasarkan ketentuan umum.

Demikian penegasan ini untuk diketahui dan disebarluaskan di jajaran kantor masing-masing, serta
dilaksanakan secara konsisten sebagaimana mestinya.

DIREKTUR JENDERAL,

ttd

HADI POERNOMO

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=7498

www.ortax.org
Surat Direktur Jenderal Pajak :
S - 13/PJ.031/2008 Edisi PPh Badan | Maret 2017 499

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
07 Januari 2008

SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR S - 13/PJ.031/2008

TENTANG

MASA KOMPENSASI KERUGIAN FISKAL

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan surat Saudara nomor xxx tanggal 18 Desember 2007 perihal Perpanjangan Kompensasi
Kerugian Fiskal, dengan ini disampaikan beberapa hal sebagai berikut:
1. Dalam surat tersebut Saudara menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
a. PT XYZ memiliki kerugian fiskal tahun 2001 sebesar US$ 8,317,373 yang dikompensasikan
dengan penghasilan sampai dengan tahun 2006.
b. Sesuai dengan ketentuan perpajakan sampai dengan tahun 2006, kerugian dapat
dikompensasikan dengan penghasilan maksimum 5 tahun. Saudara mohon agar kerugian
tersebut dalam huruf a diatas dapat dikompensasikan sampai dengan 10 tahun dengan
pertimbangan bahwa investasi yang dilakukan adalah investasi yang mendapat prioritas tinggi
dalam skala nasional.
2. Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Undang-undang Pajak Penghasilan), diatur
antara lain:
a. Pasal 6 ayat (2): Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) didapat kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai
tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.
b. Pasal 31A: Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha
tertentu dan atau di daerah-daerah tertentu dapat diberikan fasilitas perpajakan dalam bentuk
antara lain kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun.
Fasilitas dimaksud ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
3. Sesuai dengan hal-hal dan ketentuan-ketentuan yang diuraikan diatas, dengan ini dapat kami
sampaikan bahwa:
a. Sesuai dengan ketentuan umum Undang-undang Pajak Penghasilan, kerugian hanya dapat
dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai
dengan 5 (lima) tahun.
b. Kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun namun tidak melebihi 10 (tahun)
hanya dapat diberikan kepada Wajib Pajak yang telah memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan
sesuai dengan Pasal 31A Undang-undang Pajak Penghasilan.

Demikian untuk dimaklumi.

a.n. Direktur Jenderal


Pjs. Direktur,

ttd,

Sumihar Petrus Tambunan


NIP 060055232

Tembusan:
1. Direktur Jenderal Pajak;
2. Kepala KPP PMA Dua.

www.ortax.org
Tarif PPh
Edisi PPh Badan | Maret 2017 501

No Nomor Dokumen Tanggal Ditetapkan Perihal


1. PP No. 94 Tahun 2010 30 Desember 2010 Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Dan Pelunasan Pajak Penghasilan
Dalam Tahun Berjalan
2. SE - 66/PJ/2010 24 Mei 2010 Penegasan Atas Pelaksanaan Pasal 31E Ayat (1) Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Beberapa
Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
3. SE - 02/PJ/2015 09 Januari 2015 Penegasan Atas Pelaksanaan Pasal 31E Ayat (1) Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Beberapa
Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008

www.ortax.org
Peraturan Pemerintah RI :
502 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PP No. 94 Tahun 2010

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 94 TAHUN 2010

TENTANG

PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN


PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa dengan dilakukannya perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan,
perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pelunasan
Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan;
B. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan
dalam Tahun Berjalan;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik lndonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN
PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:


1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang--Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
2. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
3. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

BAB II
OBJEK PAJAK

Pasal 2

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 503

Objek pajak berupa dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-Undang Pajak
Penghasilan tidak termasuk pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran yang berasal dari:
a. kapitalisasi agio saham kepada pemegang saham yang telah menyetor modal atau membeli saham
di atas harga nominal, sepanjang jumlah nilai nominal saham yang dimilikinya setelah pembagian
saham bonus tidak melebihi jumlah setoran modal; dan
b. kapitalisasi selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)
Undang--Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 3

Dalam hal terjadi pengalihan harta perusahaan kepada pegawainya, maka keuntungan berupa selisih antara
harga pasar harta tersebut dengan nilai sisa buku merupakan penghasilan bagi perusahaan.

Pasal 4

(1) Agio saham yang timbul dari selisih lebih antara nilai pasar saham dan nilai nominal saham, tidak
termasuk objek pajak.
(2) Disagio saham yang timbul dari selisih lebih antara nilai nominal saham dan nilai pasar saham, bukan
merupakan pengurang dari penghasilan bruto.

Pasal 5

(1) Bagian laba yang diterima atau diperoleh oleh pemegang unit penyertaan Kontrak Investasi Kolektif
termasuk keuntungan atas pelunasan kembali unit penyertaannya, tidak termasuk sebagai objek pajak.
(2) Ketentuan terhadap bagian laba termasuk keuntungan atas pelunasan kembali unit penyertaannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi pemegang unit penyertaan yang merupakan
Subjek Pajak luar negeri.

Pasal 6

Pembagian laba secara langsung dan/atau tidak langsung yang berasal dari saldo laba termasuk saldo laba
berdasarkan proyeksi laba tahun berjalan merupakan objek pajak, kecuali bagian laba sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 7

(1) Surplus Bank Indonesia yang merupakan objek Pajak Penghasilan adalah surplus Bank Indonesia
menurut laporan keuangan audit setelah dilakukan penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan
Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan memperhatikan karakteristik Bank Indonesia.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan atas surplus Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 8

(1) Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3)
huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu
dengan yang lain secara langsung atau tidak langsung berkenaan dengan:
a. usaha;
b. pekerjaan; atau
c. kepemilikan atau penguasaan.
(2) Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima, dapat terjadi apabila
terdapat transaksi yang bersifat rutin antara kedua belah pihak.
(3) Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan pekerjaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima terjadi
apabila terdapat hubungan yang berupa pekerjaan, pemberian jasa, atau pelaksanaan kegiatan secara
langsung atau tidak langsung antara kedua pihak tersebut.
(4) Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan kepemilikan atau penguasaan
antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima sebagaimana dimaksud pada ayat (I) huruf c
terjadi apabila terdapat:
a. penyertaan modal secara langsung atau tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18

www.ortax.org
504 Edisi PPh Badan | Maret 2017

ayat (4) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan; atau


b. hubungan penguasaan secara langsung atau tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (4) huruf b Undang-Undang Pajak Penghasilan.

BAB III
PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK

Pasal 9

(1) Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing diakui sebagai penghasilan atau biaya
berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar
Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
(2) Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
berkaitan langsung dengan usaha Wajib Pajak yang:
a. dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
b. tidak termasuk objek pajak,
tidak diakui sebagai penghasilan atau biaya.
(3) Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
tidak berkaitan langsung dengan usaha Wajib Pajak yang:
a. dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
b. tidak termasuk objek pajak,
diakui sebagai penghasilan atau biaya sepanjang biaya tersebut dipergunakan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan.

Pasal 10

(1) Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8)
Undang--Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sepanjang dapat dibuktikan Pajak Masukan tersebut:
a. benar-benar telah dibayar; dan
b. berkenaan dengan pengeluaran yang berhubungan dengan kegiatan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan.
(2) Pajak Masukan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sehubungan dengan pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud
serta biaya lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 dan Pasal 11A Undang-Undang Pajak Penghasilan, harus dikapitalisasi dengan
pengeluaran atau biaya tersebut dan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi.

Pasal 11

(1) Biaya pengembangan tanaman industri yang berumur lebih dari 1 (satu) tahun dan hanya 1 (satu) kali
memberikan hasil, dikapitalisasi selama periode pengembangan dan merupakan bagian dari harga
pokok penjualan pada saat hasil tanaman industri dijual.
(2) Biaya pemeliharaan ternak yang berumur lebih dari 1 (satu) tahun dan hanya 1 (satu) kali memberikan
hasil, dikapitalisasi selama periode pemeliharaan dan merupakan bagian dari harga pokok penjualan
pada saat ternak dijual.

Pasal 12

(1) Pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk perseroan
terbatas diperkenankan apabila:
a. pinjaman tersebut berasal dari dana milik pemegang saham itu sendiri dan bukan berasal dari
pihak lain;
b. modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjaman telah disetor
seluruhnya;
c. pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan merugi; dan
d. perseroan terbatas penerima pinjaman sedang mengalami kesulitan keuangan untuk
kelangsungan usahanya.
(2) Apabila pinjaman yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk perseroan terbatas dari pemegang
sahamnya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas pinjaman tersebut
terutang bunga dengan tingkat suku bunga wajar.

Pasal 13

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 505

Pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi
Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, termasuk:
a. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang:
1) bukan merupakan objek pajak;
2) pengenaan pajaknya bersifat final; dan/atau
3) dikenakan pajak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Norma Penghitungan Khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
b. Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan.

BAB IV
PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN
OLEH WAJIB PAJAK SENDIRI

Pasal 14

Orang pribadi dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP) sehubungan dengan pekerjaan dari badan-badan yang tidak wajib melakukan pemotongan pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, wajib:
a. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
b. melaksanakan sendiri penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun
berjalan; dan
c. melaporkan penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun berjalan
dalam Surat Pemberitahuan Tahunan.

BAB V
PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN
MELALUI PIHAK LAIN

Pasal 15

(1) Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1)
Undang-Undang Pajak Penghasilan dilakukan pada akhir bulan:
a. terjadinya pembayaran; atau
b. terutangnya penghasilan yang bersangkutan,
tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
(2) Pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1)
Undang-Undang Pajak Penghasilan, dilakukan pada saat:
a. pembayaran; atau
b. tertentu lainnya yang diatur oleh Menteri Keuangan.
(3) Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3)
Undang--Undang Pajak Penghasilan, dilakukan pada akhir bulan:
a. dibayarkannya penghasilan;
b. disediakan untuk dibayarkannya penghasilan; atau
c. jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan,
tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
(4) Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)
Undang-Undang Pajak Penghasilan, dilakukan pada akhir bulan:
a. dibayarkannya penghasilan;
b. disediakan untuk dibayarkannya penghasilan; atau
c. jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan,
tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.

Pasal 16

Dalam hal pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang--Undang Pajak Penghasilan atau Pasal 26
Undang-Undang Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilakukan
pada tahun pajak yang berbeda dengan tahun pajak pengakuan penghasilan, maka atas Pajak Penghasilan yang
telah dipotong tersebut dapat dikreditkan pada tahun pajak dilakukan pemotongan.

Pasal 17

Dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak, dapat ditetapkan saat pengakuan penghasilan dan biaya dalam

www.ortax.org
506 Edisi PPh Badan | Maret 2017

hal-hal tertentu sesuai dengan kebijakan Pemerintah.

Pasal 18

(1) Pajak Penghasilan atas pembayaran royalti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a
angka 3 Undang-Undang Pajak Penghasilan yang dilakukan dengan cara bagi hasil dipotong oleh pihak
yang wajib membayarkan.
(2) Ketentuan mengenai dasar pemotongan Pajak Penghasilan atas pembayaran royalti sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 19

Dalam hal penghasilan tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan Peraturan Pemerintah
tersendiri, atas penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 20

Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut berdasarkan tarif pemotongan atau pemungutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5a), Pasal 22 ayat (3), dan Pasal 23 ayat (1a) Undang-Undang Pajak
Penghasilan, dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan
setelah Wajib Pajak tersebut memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.

Pasal 21

(1) Wajib Pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang Pajak
Penghasilan karena:
a. mengalami kerugian fiskal;
b. berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal; atau
c. Pajak Penghasilan yang telah dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan terutang,
dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan
oleh pihak lain kepada Direktur Jenderal Pajak.
(2) Wajib Pajak yang atas penghasilannya hanya dikenakan pajak bersifat final, dapat mengajukan
permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang dapat
dikreditkan kepada Direktur Jenderal Pajak.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/
atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 22

Dalam menghitung Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Pajak
Penghasilan, terhadap bentuk usaha tetap yang terutang Pajak Penghasilan pada suatu tahun pajak, kerugian
fiskal tidak dapat dikompensasikan lagi dengan Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi dengan Pajak
Penghasilan.

Pasal 23

(1) Pajak Penghasilan yang terutang dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu
bentuk usaha tetap di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Pajak
Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak bentuk usaha tetap memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pajak Penghasilan
yang terutang berdasarkan penghitungan sementara harus dibayar lunas sebelum penyampaian
pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan.

BAB VI
PENERAPAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
MENGENAI PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
DAN PERTUKARAN INFORMASI

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 507

Pasal 24

(1) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda hanya berlaku bagi orang pribadi atau badan yang
merupakan Subjek Pajak:
a. dalam negeri dari Indonesia; dan/atau
b. dari negara mitra persetujuan penghindaran pajak berganda,
yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Domisili.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 25

(1) Direktur Jenderal Pajak dapat melaksanakan kesepakatan dengan negara mitra dalam rangka
pertukaran informasi, prosedur persetujuan bersama, dan bantuan penagihan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian pertukaran informasi, pelaksanaan prosedur persetujuan
bersama, dan pelaksanaan bantuan penagihan diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 26

(1) Dalam hal terdapat ketentuan perpajakan yang diatur dalam perjanjian internasional yang berbeda
dengan ketentuan perpajakan yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, perlakuan
perpajakannya didasarkan pada ketentuan dalam perjanjian tersebut sampai dengan berakhirnya
perjanjian dimaksud, dengan syarat perjanjian tersebut telah sesuai dengan Undang-Undang tentang
Perjanjian Internasional.
(2) Pelaksanaan perlakuan perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat
persetujuan Menteri Keuangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan perlakuan perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

BAB VII
PEMBUKUAN TERPISAH DAN PERUBAHAN TAHUN BUKU

Pasal 27

(1) Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan secara terpisah dalam hal:
a. memiliki usaha yang penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan tidak
final;
b. menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek pajak dan bukan objek pajak; atau
c. mendapatkan dan tidak mendapatkan fasilitas perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 31A
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(2) Biaya bersama bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak dapat dipisahkan
dalam rangka penghitungan besarnya Penghasilan Kena Pajak, pembebanannya dialokasikan secara
proporsional.

Pasal 28

(1) Wajib Pajak yang melakukan perubahan tahun buku dan telah mendapat persetujuan dari Direktur
Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (6) Undang--Undang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, harus melaporkan penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun
buku yang tidak termasuk dalam tahun buku yang baru dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tersendiri untuk Bagian Tahun Pajak yang bersangkutan.
(2) Sisa rugi fiskal yang masih dapat dikompensasikan yang berasal dari tahun-tahun pajak sebelum
perubahan tahun buku dapat dikompensasikan dengan penghasilan untuk Bagian Tahun Pajak dan
Tahun Pajak berikutnya.

BAB VIII
FASILITAS PEMBEBASAN ATAU PENGURANGAN
PAJAK PENGHASILAN BADAN DALAM RANGKA PENANAMAN MODAL

Pasal 29

(1) Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal baru yang merupakan industri pionir, yang

www.ortax.org
508 Edisi PPh Badan | Maret 2017

tidak mendapatkan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan
dapat diberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
(2) Industri pionir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah industri yang memiliki keterkaitan yang
luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta
memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.

Pasal 30

Ketentuan mengenai pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 31

Penghitungan pajak bagi Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir sebelum tanggal 1 Juli 2009 dilakukan
berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

Pasal 32

Penghitungan pajak dalam tahun berjalan sampai dengan Desember 2008, untuk tahun pajak 2009, bagi Wajib
Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni 2009, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

Pasal 33

Fasilitas perpajakan dengan jangka waktu yang terbatas yang diperoleh Wajib Pajak sebelum tanggal
1 Januari 2009 tetap berlaku sampai dengan berakhirnya jangka waktu fasilitas perpajakan tersebut.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 34

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 tentang
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 253, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4055), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 35

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 509

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

PATRIALIS AKBAR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 161

PENJELASAN
ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 94 TAHUN 2010

TENTANG

PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN


PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN

I. UMUM

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat


Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan terdapat perubahan materi yang
terkait dengan penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun
berjalan. Oleh karena itu perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan penghitungan Penghasilan
Kena Pajak dan pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan.

Peraturan Pemerintah ini, sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 tentang
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan,
mengatur ketentuan--ketentuan yang berkenaan dengan Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan
Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan

Dalam Peraturan Pemerintah ini, diatur juga ketentuan peralihan dalam rangka pelaksanaan
Undang-Undang Pajak Penghasilan yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Pemberian saham bonus kepada pemegang saham yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk
dalam pengertian pembagian laba atau dividen. Demikian pula dengan pemberian saham bonus
yang berasal dari kapitalisasi agio saham. Agio saham berasal dari setoran modal pemegang
saham di atas nilai nominal saham yang diperolehnya.

Oleh karena itu apabila saham bonus dimaksud diberikan kepada pemegang saham yang
menjadikan jumlah nilai nominal seluruh saham termasuk saham bonus yang diperolehnya
lebih besar dari jumlah setoran modalnya, pemberian saham bonus yang berasal dari
kapitalisasi agio saham tersebut termasuk dalam pengertian pembagian laba atau dividen.
Namun demikian apabila saham bonus dimaksud diberikan kepada pemegang saham sehingga
pemberian tersebut tidak menjadikan jumlah nilai seluruh saham (termasuk saham bonus)
yang diperoleh atau dimilikinya lebih besar dari jumlah setoran modalnya, pemberian saham

www.ortax.org
510 Edisi PPh Badan | Maret 2017

bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham tersebut tidak termasuk dalam pengertian
pembagian laba atau dividen.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Ayat (1)

Contoh:

PT A (belum Go Public) yang mempunyai modal dasar sebesar Rp4.500.000.000,00


(terdiri dari 4.500.000 lembar saham) dan telah disetor penuh melakukan ekspansi
yang sumber pendanaannya diperoleh dengan jalan meningkatkan modal saham
dengan menjual saham baru sejumlah 500.000 lembar (nilai nominal Rp 1000,00/
lembar) dengan nilai jual Rp 750.000.000,00 (500.000 lembar saham x Rp1.500,00)
sehingga terdapat selisih di atas nilai nominal sebesar Rp 250.000.000,00 (500.000
lembar saham x Rp500,00) yang dibukukan sebagai agio saham oleh PT A.

Atas agio saham tersebut bukan merupakan objek Pajak Penghasilan bagi PT A.

Ayat (2)

Contoh:

Seperti pada ayat (1), namun nilai penjualan 500.000 lembar saham baru tersebut
sebesar Rp400.000.000,00. Atas selisih lebih antara nilai nominal dan nilai pasar saham
sebesar Rp 100.000.000,00 (500.000 lembar saham x (-Rp200,00)) tersebut dibukukan
sebagai disagio saham oleh PT A.

Atas disagio saham tersebut bukan merupakan pengurang dari penghasilan bagi PT A.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7

Ayat (1)

Karakteristik Bank Indonesia terkait surplus Bank Indonesia antara lain selisih kurs,
penyisihan aktiva, dan penyusutan aktiva tetap.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 8

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "pihak-pihak yang bersangkutan" adalah Wajib Pajak pemberi
dan Wajib Pajak penerima bantuan atau, sumbangan, termasuk zakat atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, dan
atau harta hibahan.

Ayat (2)

Transaksi yang bersifat rutin antara kedua belah pihak adalah berupa pembelian,
penjualan, atau pemberian imbalan lain dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Ayat (3)

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 511

Contoh hubungan berkenaan dengan pekerjaan:

1. Tuan B merupakan direktur PT X dan Tuan C merupakan pegawai PT X. Dalam


hal ini, antara PT X dengan Tuan B dan/atau Tuan C terdapat hubungan
pekerjaan langsung. Jika Tuan B dan/atau Tuan C menerima bantuan atau
sumbangan dari PT X atau sebaliknya, maka bantuan atau sumbangan
tersebut merupakan objek Pajak Penghasilan bagi yang menerima karena
antara PT X dengan Tuan B dan/atau Tuan C mempunyai hubungan pekerjaan
langsung.
2. Tuan A bekerja sebagai petugas dinas luar asuransi dari perusahaan asuransi
PT X. Meskipun Tuan A tidak berstatus sebagai pegawai PT X, namun antara
PT X dan Tuan A dianggap mempunyai hubungan pekerjaan tidak langsung.
Jika Tuan A menerima bantuan atau sumbangan dari PT X atau sebaliknya,
maka bantuan atau sumbangan tersebut merupakan objek Pajak Penghasilan
bagi pihak yang menerima karena antara PT X dan Tuan A mempunyai
hubungan pekerjaan tidak langsung.

Ayat (4)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Contoh:

1. Penguasaan manajemen secara langsung:

Tuan A dan Tuan B, adalah direktur PT X, sedangkan Tuan C adalah


komisaris X. Selain itu, Tuan C juga menjadi direktur di PT Y, dan
Tuan B sebagai komisaris di PT Y.

Tuan B Junior adalah direktur PT AA, sedangkan Tuan E sebagai


komisaris PT AA. Tuan B Junior adalah anak dari Tuan B yang menjadi
direktur PT X dan komisaris PT Y.

Dalam contoh di atas, antara PT X dan PT Y mempunyai hubungan


penguasaan manajemen secara langsung, karena Tuan B selain
bekerja sebagai direktur di PT X juga bekerja sebagai komisaris
PT Y. Di samping itu, Tuan C selain bekerja sebagai komisaris di PT X
juga bekerja sebagai direktur di PT Y. Jika PT X menerima bantuan
atau sumbangan dari PT Y (atau sebaliknya) maka bantuan atau
sumbangan tersebut merupakan objek pajak bagi pihak yang
menerima.

Demikian pula antara PT Y dan PT AA mempunyai hubungan


penguasaan manajemen secara langsung, karena terdapat hubungan
keluarga antara Tuan B (ayah) yang bekerja sebagai komisaris
di PT Y dengan Tuan B Junior (anak) yang bekerja sebagai direktur
di PT AA.

Jika PT AA menerima bantuan atau sumbangan dari PT Y (atau


sebaliknya) maka bantuan atau sumbangan tersebut merupakan objek
pajak bagi pihak yang menerima.

Jika Tuan B.Jr (anak) menerima bantuan atau sumbangan atau harta
hibahan dari Tuan B (ayah) maka bantuan atau sumbangan atau harta
hibahan tersebut dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a Undang-Undang
Pajak Penghasilan, karena yang mempunyai hubungan penguasaan
manajemen adalah antara PT Y dengan PT AA, bukan antara Tuan B
(ayah) dan Tuan B Junior (anak).

Dengan demikian, hubungan penguasaan manajemen hanya terjadi


antara entitas yang pengurusnya sama atau memiliki hubungan
keluarga. Sedangkan antara pengurus dalam entitas tersebut tidak

www.ortax.org
512 Edisi PPh Badan | Maret 2017

memilki hubungan penguasaan.

2. Penguasaan manajemen secara tidak langsung:

Tuan O adalah direktur PT AB, dan Tuan P sebagai komisaris PT AB.


Tuan O dan Tuan P nyata-nyata mempunyai wewenang dalam
menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam
rangka menjalankan kegiatan PT X, misalnya berwenang
menandatangani kontrak dengan pihak ketiga, menandatangani cek,
dan sebagainya walaupun Tuan O dan/atau Tuan tidak tercantum
namanya dalam susunan pengurus yang tertera dalam akte pendirian
maupun akte perubahan PT X.

Dalam contoh di atas, antara PT AB dan PT X mempunyai hubungan


penguasaan manajemen secara tidak langsung. Jika PT X menerima
bantuan atau sumbangan dari PT AB atau sebaliknya maka bantuan
atau sumbangan tersebut merupakan objek pajak bagi pihak yang
menerima.

Pasal 9

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Contoh:

PT A bergerak di bidang penyewaan apartemen. Sesuai dengan kontrak, sewa


apartemen tiap bulan adalah sebesar US$1,000 dan diterbitkan invoice setiap tanggal 1.

Pada tanggal 1 September 2010 PT A menerbitkan invoice sebesar US$ 1,000 kepada
penyewa. Pada tanggal tersebut, kurs yang berlaku adalah Rp9.000,00 per 1 US$.
Pada tanggal 1 September 2010 tersebut PT A mengakui penghasilan atas sewa
apartemen sebesar Rp9.000.000,00 (US$ 1,000 x Rp9.000,00).

Pada tanggal 15 September 2010 penyewa membayar sewa apartemen. Pada tanggal
tersebut, kurs yang berlaku adalah Rp8.700,00 per 1 US$, sehingga nilai sewa yang
dibayar adalah sebesar Rp8.700.000,00 (US$ 1,000 x Rp8.700,00).

Atas perbedaan waktu antara tanggal penerbitan invoice dan tanggal pembayaran
timbul kerugian selisih kurs bagi PT A sebesar
Rp300.000,00 ((Rp9.000,00 - Rp8.700,00) x US$ 1,000)).

Atas kerugian selisih kurs tersebut tidak diakui sebagai biaya bagi PT A karena berasal
dari penyewaan apartemen yang telah dikenai Pajak Penghasilan bersifat final.

Ayat (3)

Contoh:

PT A yang bergerak di bidang penyewaan apartemen, pada bulan September 2010


mendapatkan pinjaman sebesar US$ 10,000,000 yang digunakan masing-masing
sebesar US$ 9,000,000 untuk membangun apartemen, dan sebesar US$ 1,000,000
untuk membeli alat transportasi yang akan dipergunakan untuk usaha jasa angkutan.

Atas keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing yang berasal dari
pinjaman sebesar US$ 1,000,000 tersebut dapat diakui sebagai penghasilan atau biaya
karena:
a. tidak berkaitan langsung dengan usaha PT A di bidang penyewaan apartemen
yang atas penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final; dan
b. merupakan pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan lainnya berupa usaha jasa angkutan yang atas penghasilannya
dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 10

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 513

Cukup jelas.

Ayat (3)

Saat terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan


Pasal 11

Pasal 12

Pasal 13

Pasal 14
Cukup jelas.

Ayat (1)

Ayat (2)

Ayat (1)

Ayat (2)

Huruf a

Huruf b
Yang dimaksud dengan "biaya pengembangan" adalah seluruh pengeluaran yang
terkait dengan tanaman industri termasuk pembelian bibit, pemeliharaan, dan
pembesaran tanaman sampai dijual.

Yang dimaksud dengan "biaya pemeliharaan" adalah seluruh pengeluaran yang terkait
dengan ternak termasuk pembelian bibit, pemeliharaan, dan pembesaran ternak
sampai dijual.

Cukup jelas.

Yang dimaksud dengan "tingkat suku bunga wajar" adalah tingkat suku bunga yang
berlaku yang ditetapkan sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman
(best practice) jika transaksi dilakukan di antara pihak yang tidak mempunyai
hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang
Pajak Penghasilan.

Biaya yang berkenaan dengan penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri, baik
penghasilan yang dikenakan pemotongan, pemungutan, atau pembayaran Pajak
Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) maupun
penghasilan yang dikenai pajak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Norma
Penghitungan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-Undang Pajak
Penghasilan, telah diperhitungkan dalam tarif pajak ataupun norma penghitungan yang
berlaku untuk penghasilan tersebut. Oleh karena itu, biaya-biaya tersebut tidak boleh
lagi dikurangkan dari penghasilan bruto lainnya yang pengenaan pajaknya dilakukan
berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak
Penghasilan.

Cukup jelas.

Kantor perwakilan negara asing dan organisasi internasional tertentu sebagai bukan Subjek
Pajak tidak berkewajiban melakukan pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud

adalah pada saat pembayaran, saat disediakan untuk dibayarkan (seperti: dividen)
dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan. Oleh karena itu, orang pribadi
dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan, berupa gaji dan imbalan lain
sehubungan dengan pekerjaan pada badan-badan tersebut, yang jumlahnya melebihi batas
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berkewajiban menghitung, membayar, dan melaporkan
sendiri Pajak Penghasilan yang terutang.

Pasal 15

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

dan jatuh tempo (seperti: bunga dan sewa), saat yang ditentukan dalam kontrak atau
perjanjian atau faktur (seperti: royalti, imbalan jasa teknik atau jasa manajemen atau
jasa lainnya).

Yang dimaksud dengan "saat disediakan untuk dibayarkan":


a. untuk perusahaan yang tidak go public, adalah saat dibukukan sebagai utang
dividen yang akan dibayarkan, yaitu pada saat pembagian dividen diumumkan
atau ditentukan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan.
Demikian pula apabila perusahaan yang bersangkutan dalam tahun berjalan
membagikan dividen sementara (dividen interim), maka Pajak Penghasilan
Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan terutang pada saat diumumkan
atau ditentukan dalam Rapat Direksi atau pemegang saham sesuai dengan
Anggaran Dasar perseroan yang bersangkutan.
b. untuk perusahaan yang go public, adalah pada tanggal penentuan kepemilikan
pemegang saham yang berhak atas dividen (recording date). Dengan
perkataan lain pemotongan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana
diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan baru dapat dilakukan
setelah para pemegang saham yang berhak "menerima atau memperoleh"
dividen tersebut diketahui, meskipun dividen tersebut belum diterima secara
tunai.

Yang dimaksud dengan "saat jatuh tempo pembayaran" adalah saat kewajiban untuk
melakukan pembayaran yang didasarkan atas kesepakatan, baik yang tertulis maupun
tidak tertulis dalam kontrak atau perjanjian atau faktur.

Ayat (4)

Saat terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah


pada saat pembayaran, saat disediakan untuk dibayarkan (seperti: dividen) dan jatuh
tempo (seperti: bunga dan sewa), saat yang ditentukan dalam kontrak atau perjanjian
atau faktur (seperti: royalti, imbalan jasa teknik atau jasa manajemen atau jasa
lainnya).

Yang dimaksud dengan "saat disediakan untuk dibayarkan":


a. untuk perusahaan yang tidak go public, adalah saat dibukukan sebagai utang
dividen yang akan dibayarkan, yaitu pada saat pembagian dividen diumumkan
atau ditentukan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan.
Demikian pula apabila perusahaan yang bersangkutan dalam tahun berjalan
membagikan dividen sementara (dividen interim), maka Pajak Penghasilan
Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan terutang pada saat diumumkan
atau ditentukan dalam Rapat Direksi atau pemegang saham sesuai dengan
Anggaran Dasar perseroan yang bersangkutan
b. untuk perusahaan yang go public, adalah pada tanggal penentuan kepemilikan
pemegang saham yang berhak atas dividen (recording date). Dengan
perkataan lain pemotongan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana
diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan baru dapat dilakukan
setelah para pemegang saham yang berhak "menerima atau memperoleh"
dividen tersebut diketahui, meskipun dividen tersebut belum diterima secara
tunai.

Yang dimaksud dengan "saat jatuh tempo pembayaran" adalah saat kewajiban untuk
melakukan pembayaran yang didasarkan atas kesepakatan, baik yang tertulis maupun
tidak tertulis dalam kontrak atau perjanjian atau faktur.

Pasal 16

Contoh:

Pada bulan Oktober 2009 PT A memberikan pinjaman kepada PT B sebesar


Rp1.000.000.000,00 dengan tingkat bunga sebesar 10% (sepuluh persen) per tahun. Jatuh
tempo pembayaran bunga setiap tanggal 1 April dan 1 Oktober.

www.ortax.org
514 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Pada 1 April 2010, PT B membayar bunga sebesar Rp50.000.000,00 kepada PT A. Atas bunga
pinjaman ini, PT A telah mengakui sebagai penghasilan di tahun 2009 sebesar Rp25.000.000,00
(bunga selama Oktober s.d Desember 2009). Sesuai ketentuan, PT B melakukan pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan pada saat jatuh tempo
pembayaran pada tanggal l April 2010 sebesar Rp7.500.000,00 (15% x Rp50.000.000,00) dan
kepada PT A diberikan bukti pemotongannya.

Atas pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan tersebut,


dapat dikreditkan oleh PT A pada tahun 2010.

Pasal 17

Pada dasarnya saat pengakuan biaya dan penghasilan dilakukan secara taat asas berdasarkan
prinsip akuntansi tentang pengaitan biaya dengan penghasilan (matching of costs againts
revenues). Namun, dalam hal-hal tertentu karena kebijakan Pemerintah, Direktur Jenderal
Pajak dapat mengatur saat pengakuan penghasilan dan biaya yang berbeda.

Yang dimaksud dengan "dalam hal-hal tertentu" antara lain:


a. saat pengakuan penghasilan bank berupa bunga kredit non performing loan dalam
rangka menunjang percepatan proses restrukturisasi perbankan sesuai dengan
kebijakan Pemerintah; atau
b. saat pengakuan penghasilan dan biaya bagi Wajib Pajak karena adanya perubahan
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan.

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak misalnya yang bergerak di bidang
usaha jasa konstruksi dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan Peraturan
Pemerintah tersendiri. Dalam hal tidak diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri yang
menyatakan bahwa atas penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final,
penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 20

Contoh:

Tuan A, subjek pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif namun belum
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), memperoleh penghasilan sebesar Rp20.000.000,00
sehubungan dengan jasa konsultasi yang dilakukannya pada tahun 2009. Oleh karena Tuan A
belum memiliki NPWP, atas penghasilan tersebut dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan
Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan oleh pemberi penghasilan dengan tarif lebih tinggi
20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat
menunjukkan NPWP, sehingga Pajak Penghasilan Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan
yang dipotong adalah sebesar Rp 1.200.000,00 (5% x 120% x Rp20.000.000,00).

Pada tahun 2011, Tuan A mendaftarkan dirinya untuk mendapatkan NPWP dan melaporkan
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi Tahun Pajak 2009
dan 2010. Atas kredit pajak sebesar Rp1.200.000,00 yang dipotong pada tahun 2009 tersebut,
Tuan A hanya dapat mengkreditkannya dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
Wajib Pajak orang pribadi Tahun Pajak 2009.

Pasal 21

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Contoh:
Perusahaan Jasa Konstruksi yang atas penghasilannya semata--mata dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final melakukan impor barang yang digunakan untuk

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 515

kegiatan jasa konstruksi. Atas impor barang tersebut, perusahaan jasa konstruksi
dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan
Pajak Penghasilan Pasal 22 Undang--Undang Pajak Penghasilan.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 22

Contoh:

Penghasilan neto komersial bentuk usaha tetap di Indonesia dalam tahun 2009 sebesar
Rp16.000.000.000,00 dan penyesuaian fiskal positif sebesar Rp1.500.000.000,00. Sisa kerugian
tahun sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan dalam tahun 2009 sebesar
Rp7.500.000.000,00.

Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 17 dan Pasal 26 ayat (4) sebagai berikut:
------------------------------------------------------------------------------------------------
Uraian PPh Pasal 17 PPh Pasal 26 (4)
------------------------------------------------------------------------------------------------
Penghasilan Neto Komersial 16.000.000.000,00
Penyesuaian Fiskal Positif 1.500.000.000,00
Penghasilan Neto Fiskal 17.500.000.000,00
Kompensasi Kerugian 7.500.000.000,00
Penghasilan Kena Pajak 10.000.000.000,00
PPh Badan Terutang 28% 2.800.000.000,00
PKP setelah dikurangi pajak 7.200.000.000,00
PPh Pasal 26 (4) = 20% 1.440.000.000,00
-------------------------------------------------------------------------------------------------

Dalam menghitung PPh Pasal 26 ayat (4), kompensasi kerugian sebesar Rp7.500.000.000,00
tersebut tidak boleh diperhitungkan sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak setelah
dikurangi pajak (Rp7.200.000.000,00).

Pasal 23

Ayat (1)

Sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan, batas akhir penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan bagi Wajib Pajak badan adalah paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir
Tahun Pajak. Dengan demikian pelunasan Pajak Penghasilan yang terhutang harus
dilakukan sebelum batas akhir penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 24

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "Surat Keterangan Domisili" atau yang disebut dengan
certificate of resident adalah surat keterangan yang diterbitkan dan/atau disahkan oleh
pejabat yang berwenang di bidang perpajakan (Competent Authority) atau pejabat
yang ditunjuk berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 25

Ayat (1)

Pertukaran informasi (exchange of information), prosedur persetujuan bersama


(mutual agreement procedures), dan bantuan penagihan (assistance in collection of

www.ortax.org
516 Edisi PPh Badan | Maret 2017

taxes) merupakan bagian dari kesepakatan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak


Berganda.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

Pasal 27

Ayat (1)

Pembukuan secara terpisah merupakan proses pencatatan yang dilakukan secara


teratur dengan melakukan pemisahan pencatatan untuk setiap transaksi, penghasilan
dan biaya-biaya antara kegiatan usaha yang dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan
kegiatan usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final maupun atas
penerimaan penghasilan bruto yang merupakan objek pajak dan yang bukan
merupakan objek pajak, serta penghasilan dan biaya-biaya dari usaha yang tidak
mendapatkan fasilitas perpajakan dan yang mendapatkan fasilitas perpajakan
sebagaimana diatur dalam Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Contoh huruf c:

PT A bergerak di bidang industri pengalengan ikan yang berkedudukan di Jakarta


mempunyai aset berupa gudang dan mesin pengolahan di Papua dalam rangka
pengembangan kegiatan dan produksi perusahaan.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak
Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau
di Daerah-Daerah Tertentu sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 62 Tahun 2008, atas industri pengalengan ikan dan biota perairan lainnya
di daerah Papua dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan.

Salah satu bentuk fasilitas Pajak Penghasilan yang dimaksud adalah penyusutan dan
amortisasi yang dipercepat.

Dalam hal ini, pencatatan secara terpisah harus dilakukan untuk biaya penyusutan atas
aset dalam rangka usaha yang mendapatkan fasilitas perpajakan (di Papua) dan yang
tidak mendapatkan fasilitas perpajakan (di Jakarta).

Ayat (2)

Biaya bersama adalah pengeluaran atau biaya yang berhubungan langsung dengan
kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara suatu penghasilan dan
sekaligus berhubungan langsung dengan kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan lainnya.

Biaya-biaya bersama yang menjadi dasar alokasi pembebanan dalam rangka


menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak adalah biaya bersama setelah dilakukan
penyesuaian/koreksi fiskal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2008 dan peraturan pelaksanaannya.

Contoh:
PT A bergerak dalam bidang usaha yang penghasilannya dikenakan Pajak Penghasilan
yang bersifat final. Dalam suatu tahun pajak, PT A memperoleh penghasilan bruto yang
terdiri dari:
a. penghasilan dari usaha yang telah
dikenakan Pajak Penghasilan yang
bersifat final ................................... Rp 300.000.000,00
b. penghasilan bruto lainnya yang
dikenakan Pajak Penghasilan yang
bersifat tidak final ........................... Rp 200.000.000,00
----------------------

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 517

Jumlah penghasilan bruto Rp 500.000.000,00

Apabila biaya-biaya bersama yang tidak dapat dipisahkan setelah dilakukan


penyesuaian fiskal adalah sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh
juta rupiah), maka biaya yang boleh dikurangkan untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan adalah sebesar:
2/5 x Rp250.000.000,00 = Rp 100.000.000,00

Pasal 28

Ayat (1)

Contoh:

Wajib Pajak dengan tahun buku dari 1 Juli 2009 sampai dengan 30 Juni 2010 (tahun
buku 2009) melakukan perubahan tahun bukunya yang telah disetujui Direktur
Jenderal Pajak menjadi 1 Oktober 2009 sampai dengan 30 September 2010 (tahun
buku 2010). Dalam hal ini, penghasilan yang diterima atau diperoleh sejak 1 Juli 2010
sampai dengan 30 September 2010 harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2010 tersendiri.

Ayat (2)

Sisa rugi fiskal dalam bagian tahun buku yang tidak termasuk dalam tahun buku yang
baru, dapat dikompensasikan dengan penghasilan mulai Tahun Pajak berikutnya
berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.

Contoh:

Tahun buku PT X adalah Oktober sampai dengan September. PT X berencana


mengubah tahun buku menjadi Januari sampai dengan Desember mulai Tahun Pajak
2010. PT X memiliki rugi fiskal yang berasal dari Tahun Pajak 2007.
Untuk sisa rugi fiskal Tahun Pajak 2007 (Oktober 2006 sampai dengan September
2007) dapat dikompensasikan dengan penghasilan mulai Tahun Pajak berikutnya
berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun, yaitu mulai Tahun Pajak 2008 sampai
dengan 2011 sebagai berikut:
Tahun Pajak I : 2008 (Oktober 2007 sampai dengan September 2008)
Tahun Pajak II : 2009 (Oktober 2008 sampai dengan September 2009)
Tahun Pajak III : Bagian Tahun Pajak 2009 (Oktober 2009 sampai dengan dengan
Desember 2009)
Tahun Pajak IV : 2010 (Januari 2010 sampai dengan Desember 2010)
Tahun Pajak V : 2011 (Januari 2011 sampai dengan Desember 2011).

Pasal 29

Cukup jelas.

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31

Contoh :

PT A mempergunakan tahun buku dari 1 Juli 2008 sampai dengan 30 Juni 2009 untuk Tahun
Pajak 2008. Dalam rangka menghitung kewajiban pajaknya pada akhir tahun ( tahun buku),
PT A wajib menghitungnya berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.

Pasal 32

PT A mempergunakan tahun buku dari 1 Agustus 2008 sampai dengan 31 Juli 2009 untuk Tahun
Pajak 2009. Dalam rangka menghitung kewajiban pajak dalam tahun berjalan melalui
pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain (Pajak Penghasilan Pasal 22, Pasal 23,
Pasal 24 dan Pasal 26 ayat (5) Undang-Undang Pajak Penghasilan serta pembayaran pajak oleh
Wajib Pajak sendiri (Pajak Penghasilan Pasal 25) sampai dengan Desember 2008, PT A wajib

www.ortax.org
518 Edisi PPh Badan | Maret 2017

menghitungnya berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang


Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang--Undang Nomor 17 Tahun
2000.

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5183

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=14538

www.ortax.org
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak :
SE - 66/PJ/2010 Edisi PPh Badan | Maret 2017 519

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
____________________________________________________________________________________________
24 Mei 2010

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 66/PJ/2010

TENTANG

PENEGASAN ATAS PELAKSANAAN PASAL 31E AYAT (1)


UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan mengenai fasilitas pengurangan tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib
Pajak badan dalam negeri sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
(Undang-Undang Pajak Penghasilan), dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :

1. Berdasarkan Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, diatur bahwa Wajib Pajak badan
dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah)
mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak
dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah).

2. Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, dengan ini ditegaskan hal-hal sebagai berikut :
a. Fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan
dilaksanakan dengan cara self assessment pada saat penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan. Dengan demikian, Wajib Pajak tidak perlu
menyampaikan permohonan untuk dapat memperoleh fasilitas tersebut.

b. Batasan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) adalah
sebagai batasan maksimal peredaran bruto yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan
dalam negeri untuk dapat memperoleh fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E
ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan.

c. Peredaran bruto sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak
Penghasilan adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha sebelum
dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan baik yang berasal
dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, meliputi :
1) Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final;
2) Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan tidak bersifat final; dan
3) Penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak.

d. Fasilitas Pasal 31E ayat (1) tersebut bukan merupakan pilihan. Sepanjang akumulasi peredaran
bruto sebagaimana dimaksud pada huruf c di atas tidak melebihi Rp50.000.000.000,00 (lima
puluh miliar rupiah), tarif Pajak Penghasilan yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi
Wajib Pajak badan dalam negeri wajib mengikuti ketentuan fasilitas pengurangan tarif sesuai
dengan Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan.

3. Contoh penghitungan fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang
Pajak Penghasilan adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Surat Edaran ini.

Demikian untuk menjadi perhatian dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 Mei 2010
Direktur Jenderal,

ttd.

Mochamad Tjiptardjo
NIP 060044911

www.ortax.org
520 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Tembusan :
1. Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan;
2. Inspektur Jenderal Departemen Keuangan;
3. Kepala Biro Hukum Departemen Keuangan;
4. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak;
5. Para Direktur, Kepala Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan, dan Tenaga Pengkaji
di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=14287

www.ortax.org
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak :
SE - 02/PJ/2015 Edisi PPh Badan | Maret 2017 521

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
____________________________________________________________________________________________
09 Januari 2015

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 02/PJ/2015

TENTANG

PENEGASAN ATAS PELAKSANAAN PASAL 31E AYAT (1)


UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. Umum

Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan mengenai fasilitas pengurangan tarif Pajak Penghasilan
bagi Wajib Pajak badan dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Undang-Undang Pajak Penghasilan) sebagaimana telah
ditegaskan dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-66/PJ/2010 dan terbitnya Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima
atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu dan peraturan pelaksanaannya,
dengan ini dipandang perlu untuk menetapkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak sebagai pengganti
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-66/PJ/2010.

B. Maksud dan Tujuan

1. Penerbitan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini dimaksudkan untuk memberikan acuan
dalam rangka pelaksanaan ketentuan mengenai fasilitas pengurangan tarif Pajak Penghasilan
bagi Wajib Pajak badan dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1)
Undang-Undang Pajak Penghasilan.

2. Penerbitan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini bertujuan agar pelaksanaan ketentuan
mengenai fasilitas pengurangan tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak badan dalam negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan dapat
berjalan dengan baik dan terdapat keseragaman dalam pelaksanaannya.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini meliputi Wajib Pajak badan dalam negeri yang
memiliki peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dalam 1 (satu)
Tahun Pajak.

D. Dasar

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu dan
peraturan pelaksanaannya.

E. Definisi

1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2008.

2. PP 46 Tahun 2013 adalah Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang
Memiliki Peredaran Bruto Tertentu dan peraturan pelaksanaannya.

F. Materi

www.ortax.org
522 Edisi PPh Badan | Maret 2017

1. Berdasarkan Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, diatur bahwa Wajib Pajak
badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh
miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen)
dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan
atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah).

2. Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, dengan ini ditegaskan hal-hal sebagai berikut:
a. Fasilitas pengurangan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) Undang-
Undang Pajak Penghasilan dilaksanakan dengan cara self assessment pada saat
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan,
sehingga Wajib Pajak badan dalam negeri tidak perlu menyampaikan permohonan
untuk dapat memperoleh fasilitas tersebut.

b. Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak luar negeri, sehingga tidak mendapat
fasilitas berupa pengurangan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1)
Undang-Undang Pajak Penghasilan.

c. Batasan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar


rupiah) adalah sebagai batasan maksimal peredaran bruto yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak badan dalam negeri untuk dapat memperoleh fasilitas pengurangan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan.

d. Peredaran bruto sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang
Pajak Penghasilan merupakan semua penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh
dari kegiatan usaha dan dari luar kegiatan usaha, setelah dikurangi dengan retur dan
pengurangan penjualan serta potongan tunai dalam Tahun Pajak yang bersangkutan,
sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan,
baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, meliputi:
1) penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final;
2) penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan tidak bersifat final; dan
3) penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak.

e. Fasilitas pengurangan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) Undang-
Undang Pajak Penghasilan tersebut bukan merupakan pilihan, sehingga bagi Wajib Pajak
badan dalam negeri yang memiliki akumulasi peredaran bruto sebagaimana dimaksud
pada huruf d di atas sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah),
tarif Pajak Penghasilan yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak
badan dalam negeri tersebut wajib mengikuti ketentuan pengurangan tarif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan.

f. Fasilitas pengurangan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) Undang-
Undang Pajak Penghasilan ini berlaku untuk penghitungan Pajak Penghasilan Terutang
atas Penghasilan Kena Pajak yang berasal dari penghasilan yang dikenai Pajak
Penghasilan tidak bersifat final.

g. Untuk menghitung besarnya angsuran PPh Pasal 25 tahun berjalan, Wajib Pajak badan
dalam negeri yang telah memenuhi persyaratan fasilitas pengurangan tarif Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak
Penghasilan wajib menggunakan tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan.

3. Contoh penghitungan fasilitas pengurangan tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak badan
dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak
Penghasilan adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak ini yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
ini.

4. Pada saat penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, Wajib Pajak badan
dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar
rupiah) dapat melampirkan Lembar Penghitungan fasilitas pengurangan tarif Pajak Penghasilan
bagi Wajib Pajak badan dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1)
Undang-Undang Pajak Penghasilan, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak ini yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak ini.

G. Penutup

1. Dengan berlakunya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini, maka Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak Nomor SE-66/PJ/2010 tanggal 24 Mei 2010 tentang Penegasan Atas Pelaksanaan
Pasal 31E Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 523

Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
2. Para Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, Kepala Kantor Pelayanan Pajak dan
Kepala Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan agar melakukan koordinasi
dengan pihak-pihak terkait atas pelaksanaan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini serta
melakukan sosialisasi dan pengawasan pelaksanaannya.

Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 09 Januari 2015
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

MARDIASMO
NIP 195805101983031004

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15697

www.ortax.org
TARIF
PPh Wajib Pajak
Dalam Negeri Perseroan Terbuka
Edisi PPh Badan | Maret 2017 525

No Nomor Dokumen Tanggal Ditetapkan Perihal


1. PP No. 77 Tahun 2013 21 November 2013 Penurunan Tarif Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Badan Dalam
Negeri Yang Berbentuk Perseroan Terbuka
2. PP No. 56 Tahun 2015 3 Agustus 2015 Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2013 Tentang
Penurunan Tarif Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Badan Dalam
Negeri Yang Berbentuk Perseroan Terbuka
3. 238/PMK.03/2008 30 Desember 2008 Tata Cara Pelaksanaan Dan Pengawasan Pemberian Penurunan Tarif Bagi
Wajib Pajak Badan Dalam Negeri Yang Berbentuk Perseroan Terbuka

www.ortax.org
Peraturan Pemerintah RI :
526 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PP No. 77 Tahun 2013

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 77 TAHUN 2013

TENTANG

PENURUNAN TARIF PAJAK PENGHASILAN BAGI WAJIB PAJAK BADAN


DALAM NEGERI YANG BERBENTUK PERSEROAN TERBUKA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu mengatur kembali penurunan
tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk Perseroan Terbuka
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2007 tentang Penurunan Tarif Pajak
Penghasilan Bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 17 ayat (2b) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang
Berbentuk Perseroan Terbuka;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENURUNAN TARIF PAJAK PENGHASILAN BAGI WAJIB PAJAK BADAN DALAM
NEGERI YANG BERBENTUK PERSEROAN TERBUKA.

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:


1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan.
2. Perseroan Terbuka adalah Perseroan Publik atau Perseroan yang melakukan penawaran umum saham,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
3. Pihak adalah orang pribadi atau badan.

Pasal 2

(1) Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk Perseroan Terbuka dapat memperoleh penurunan tarif
Pajak Penghasilan sebesar 5% (lima persen) lebih rendah dari tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan
dalam negeri.
(2) Penurunan tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Wajib Pajak
badan dalam negeri yang berbentuk Perseroan Terbuka setelah memenuhi persyaratan:
a. Paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor dicatat
untuk diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan masuk dalam penitipan kolektif di lembaga
penyimpanan dan penyelesaian;
b. Saham sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus dimiliki oleh paling sedikit 300 Pihak;
c. masing-masing Pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf b hanya boleh memiliki saham
kurang dari 5% (lima persen) dari keseluruhan saham yang ditempatkan dan disetor penuh;
dan
d. ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c harus dipenuhi dalam
waktu paling singkat 183 (seratus delapan puluh tiga) hari kalender dalam jangka waktu
1 (satu) Tahun Pajak.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan dan pengawasan pemberian penurunan tarif Pajak

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 527

Penghasilan bagi Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk Perseroan Terbuka diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 3

Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) tidak terpenuhi, Pajak Penghasilan terutang
dihitung berdasarkan tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2a) Undang-Undang
Pajak Penghasilan.

Pasal 4

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah
Nomor 81 Tahun 2007 tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang
Berbentuk Perseroan Terbuka (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 170, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4798) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 5

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2007 tentang
Penurunan Tarif Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 170, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4798), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 6

Ketentuan mengenai penurunan tarif Pajak Penghasilan badan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur
dalam Peraturan Pemerintah ini berlaku sejak Tahun Pajak 2013.

Pasal 7

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 November 2013
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 21 November 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

AMIR SYAMSUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 186

PENJELASAN
ATAS

www.ortax.org
528 Edisi PPh Badan | Maret 2017

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 77 TAHUN 2013

TENTANG

PENURUNAN TARIF PAJAK PENGHASILAN BAGI WAJIB PAJAK BADAN


DALAM NEGERI YANG BERBENTUK PERSEROAN TERBUKA

I. UMUM

Sesuai dengan ketentuan Pasal 17 ayat (2b) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam
negeri yang berbentuk Perseroan Terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah
keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan
tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2a) Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai pemberian penurunan tarif Pajak Penghasilan sebesar
5% (lima persen) lebih rendah dari tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri kepada
Wajib Pajak badan dalam negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka yang memenuhi persyaratan
tertentu.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Besaran 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor dihitung dari
modal ditempatkan dan disetor penuh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang perseroan terbatas.

Yang dimaksud dengan "penitipan kolektif di lembaga penyimpanan dan penyelesaian" adalah
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar
modal.

Contoh kondisi yang memenuhi persyaratan untuk dapat memperoleh penurunan tarif Pajak
Penghasilan badan sebesar 5% (lima persen):

Contoh A1:

PT ABC Tbk mempunyai modal dasar Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah),
dengan modal ditempatkan dan disetor penuh sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
dengan nilai nominal per lembar saham Rp1.000,00 (seribu rupiah) sehingga total saham
ditempatkan dan disetor penuh adalah 1.000.000 (satu juta) lembar saham.

PT ABC Tbk memasukkan 40% (empat puluh persen) dari saham ditempatkan dan disetor
penuh yaitu sejumlah 400.000 (empat ratus ribu) lembar saham dalam penitipan kolektif
di Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dan mencatatkan seluruh saham ditempatkan dan
disetor penuh tersebut untuk dapat diperdagangkan di PT Bursa Efek Indonesia.

Saham sejumlah 40% (empat puluh persen) tersebut dimiliki oleh 300 (tiga ratus) Pihak dengan
persentase kepemilikan para Pihak paling tinggi sebesar 4,99% (empat koma sembilan puluh
sembilan persen).

Kondisi tersebut terjadi selama 183 (seratus delapan puluh tiga) hari kalender dalam 1 (satu)
Tahun Pajak.

Mengingat jumlah saham yang masuk dalam penitipan kolektif di Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian serta dicatatkan untuk dapat diperdagangkan di PT Bursa Efek Indonesia sebesar
40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang ditempatkan dan disetor
penuh, dimiliki oleh 300 (tiga ratus) Pihak dengan kepemilikan masing-masing Pihak kurang
dari 5% (lima persen) dari keseluruhan saham yang ditempatkan dan disetor penuh, dan
kondisi tersebut terjadi selama 183 (seratus delapan puluh tiga) hari, maka PT ABC Tbk
memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (2), sehingga dapat memperoleh penurunan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

Contoh A2:

PT DEF Tbk mempunyai modal dasar Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah),

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 529

dengan modal ditempatkan dan disetor penuh sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
dengan nilai nominal per lembar saham Rp1.000,00 (seribu rupiah) sehingga total saham
ditempatkan dan disetor penuh adalah 1.000.000 (satu juta) lembar saham.

PT DEF Tbk memasukkan 45% (empat puluh lima persen) dari saham ditempatkan dan disetor
penuh yaitu sejumlah 450.000 (empat ratus lima puluh ribu) lembar saham dalam penitipan
kolektif di Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, dan mencatatkan seluruh saham
ditempatkan dan disetor penuh tersebut untuk dapat diperdagangkan di PT Bursa Efek Indonesia.

Saham sejumlah 45% (empat puluh lima persen) tersebut dimiliki oleh 399 (tiga ratus sembilan
puluh sembilan) Pihak dengan persentase kepemilikan para Pihak paling tinggi sebesar 4,99%
(empat koma sembilan puluh sembilan persen).

Kondisi tersebut terjadi selama 190 (seratus sembilan puluh) hari kalender dalam 1 (satu)
Tahun Pajak.

Mengingat jumlah saham yang masuk dalam penitipan kolektif di Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian serta dicatatkan untuk dapat diperdagangkan di PT Bursa Efek Indonesia lebih
besar dari 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang ditempatkan dan
disetor penuh, dimiliki lebih dari 300 (tiga ratus) Pihak dengan kepemilikan masing-masing
Pihak kurang dari 5% (lima persen) dari keseluruhan saham yang ditempatkan dan disetor
penuh, dan kondisi tersebut terjadi selama lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari,
maka PT DEF Tbk memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (2), sehingga dapat memperoleh
penurunan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

Contoh A3:

PT GHI Tbk mempunyai modal dasar Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah),
dengan modal ditempatkan dan disetor penuh sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
dengan nilai nominal per lembar saham Rp1.000,00 (seribu rupiah) sehingga total saham
ditempatkan dan disetor penuh adalah 1.000.000 (satu juta) lembar saham.

Dari keseluruhan saham PT GHI Tbk yang ditempatkan dan disetor penuh tersebut terdiri dari:
a. 50% (lima puluh persen) dari saham ditempatkan dan disetor penuh yaitu sejumlah
500.000 (lima ratus ribu) lembar saham dimasukkan dalam penitipan kolektif
di Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dan seluruhnya dicatatkan untuk dapat
diperdagangkan di PT Bursa Efek Indonesia;
b. 20% (dua puluh persen) dari saham ditempatkan dan disetor penuh yaitu sejumlah
200.000 (dua ratus ribu) lembar saham dicatatkan untuk diperdagangkan di bursa efek
di luar negeri;
c. 10% (sepuluh persen) dari saham ditempatkan dan disetor penuh yaitu sejumlah
100.000 (seratus ribu) lembar saham diperdagangkan di luar bursa;
d. 20% (dua puluh persen) dari saham ditempatkan dan disetor penuh yaitu sejumlah
200.000 (dua ratus ribu) lembar saham masih dalam bentuk warkat dan tidak
dimasukkan ke dalam penitipan kolektif di Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.

Saham sejumlah 50% (lima puluh persen) sebagaimana tersebut pada huruf a dimiliki oleh
400 (empat ratus) Pihak. Diantara 400 (empat ratus) Pihak, terdapat 1 (satu) Pihak yang
persentase kepemilikannya sebesar 7% (tujuh persen), sisanya 399 (tiga ratus sembilan puluh
sembilan) Pihak hanya memiliki persentase kepemilikan kurang dari 5% (lima persen).

Kondisi tersebut terjadi selama 234 (dua ratus tiga puluh empat) hari kalender dalam 1 (satu)
Tahun Pajak.

Mengingat jumlah saham yang masuk dalam penitipan kolektif di Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian serta dicatatkan untuk dapat diperdagangkan di PT Bursa Efek Indonesia lebih
besar dari 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang ditempatkan dan
disetor penuh, yaitu 43% (empat puluh tiga persen), dimiliki lebih dari 300 (tiga ratus) Pihak
dengan kepemilikan masing-masing Pihak kurang dari 5% dari keseluruhan saham yang
ditempatkan dan disetor penuh, dan kondisi tersebut terjadi selama lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari, maka PT GHI Tbk memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (2), sehingga
dapat memperoleh penurunan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

Contoh kondisi yang tidak memenuhi persyaratan untuk dapat memperoleh penurunan tarif
Pajak Penghasilan badan sebesar 5% (lima persen):

Contoh B1:

PT KLM Tbk mempunyai modal dasar Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah),
dengan modal ditempatkan dan disetor penuh sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
dengan nilai nominal per lembar saham Rp1.000,00 (seribu rupiah) sehingga total saham
ditempatkan dan disetor penuh adalah 1.000.000 (satu juta) lembar saham.

www.ortax.org
530 Edisi PPh Badan | Maret 2017

PT KLM Tbk memasukkan 35% (tiga puluh lima persen) dari saham ditempatkan dan disetor
penuh yaitu sejumlah 350.000 (tiga ratus lima puluh ribu) lembar saham dalam penitipan
kolektif di Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, dan mencatatkan seluruh saham disetor
tersebut untuk dapat diperdagangkan di PT Bursa Efek Indonesia.

Saham sejumlah 35% (tiga puluh lima persen) tersebut dimiliki oleh 399 (tiga ratus sembilan
puluh sembilan) Pihak dengan persentase kepemilikan para Pihak paling tinggi sebesar 4,99%
(empat koma sembilan puluh sembilan persen).

Kondisi tersebut terjadi selama 195 (seratus sembilan puluh lima) hari kalender dalam 1 (satu)
Tahun Pajak.

Meskipun jumlah saham PT KLM Tbk yang masuk dalam penitipan kolektif di Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian dan dicatatkan untuk dapat diperdagangkan di PT Bursa Efek
Indonesia dimiliki oleh lebih dari 300 (tiga ratus) Pihak dengan persentase kepemilikan
masing-masing Pihak kurang dari 5% (lima persen) selama lebih dari 183 (seratus delapan
puluh tiga) hari kalender dalam 1 (satu) Tahun Pajak, namun mengingat jumlah saham tersebut
hanya meliputi 35% (tiga puluh lima persen) dari seluruh saham yang ditempatkan dan disetor
penuh, maka PT KLM Tbk tidak dapat memperoleh penurunan tarif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1).

Contoh B2:

PT MNO Tbk mempunyai modal dasar Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah),
dengan modal ditempatkan dan disetor penuh sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
dengan nilai nominal per lembar saham Rp1.000,00 (seribu rupiah) sehingga total saham
ditempatkan dan disetor penuh adalah 1.000.000 (satu juta) lembar saham.

PT MNO Tbk memasukkan 45% (empat puluh lima persen) dari saham ditempatkan dan disetor
penuh yaitu sejumlah 450.000 (empat ratus lima puluh ribu) lembar saham dalam penitipan
kolektif di Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, dan mencatatkan seluruh saham
ditempatkan dan disetor penuh tersebut untuk dapat diperdagangkan di PT Bursa Efek
Indonesia.

Saham sejumlah 45% (empat puluh lima persen) tersebut dimiliki oleh 299 (dua ratus sembilan
puluh sembilan) Pihak dengan persentase kepemilikan para Pihak paling tinggi sebesar 4,99%
(empat koma sembilan puluh sembilan persen).

Kondisi tersebut terjadi selama 190 (seratus sembilan puluh) hari kalender dalam 1 (satu)
Tahun Pajak.

Meskipun jumlah saham PT MNO Tbk yang masuk dalam penitipan kolektif di Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian dan dicatatkan untuk dapat diperdagangkan di PT Bursa Efek
Indonesia lebih dari 40% (empat puluh persen) dari seluruh saham yang ditempatkan dan
disetor penuh dengan persentase kepemilikan masing-masing Pihak kurang dari 5% (lima
persen) selama lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari kalender dalam 1 (satu) Tahun
Pajak, namun mengingat jumlah saham tersebut dimiliki kurang dari 300 (tiga ratus) Pihak,
maka PT MNO Tbk tidak dapat memperoleh penurunan tarif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1).

Contoh B3:

PT PQR Tbk mempunyai modal dasar Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah),
dengan modal ditempatkan dan disetor penuh sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
dengan nilai nominal per lembar saham Rp1.000,00 (seribu rupiah) sehingga total saham
ditempatkan dan disetor penuh adalah 1.000.000 (satu juta) lembar saham.

Dari keseluruhan saham PT PQR Tbk yang ditempatkan dan disetor penuh tersebut terdiri dari:
a. 39% (tiga puluh sembilan persen) dari saham ditempatkan dan disetor penuh yaitu
sejumlah 390.000 (tiga ratus sembilan puluh ribu) lembar saham dimasukkan dalam
penitipan kolektif di Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dan seluruhnya dicatatkan
untuk dapat diperdagangkan di PT Bursa Efek Indonesia;
b. 20% (dua puluh persen) dari saham ditempatkan dan disetor penuh yaitu sejumlah
200.000 (dua ratus ribu) lembar saham dicatatkan untuk diperdagangkan di bursa
efek di luar negeri;
c. 5% (lima persen) dari saham ditempatkan dan disetor penuh yaitu sejumlah 50.000
(lima puluh ribu) lembar saham diperdagangkan di luar bursa;
d. 36% (tiga puluh enam persen) dari saham ditempatkan dan disetor penuh yaitu
sejumlah 360.000 (tiga ratus enam puluh ribu) lembar saham masih dalam bentuk
warkat dan tidak dimasukkan ke dalam penitipan kolektif di Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian.

Saham sejumlah 39% (tiga puluh sembilan persen) sebagaimana tersebut pada huruf a, dimiliki

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 531

oleh 350 (tiga ratus lima puluh) Pihak dengan persentase kepemilikan para Pihak paling tinggi
sebesar 4,99% (empat koma sembilan puluh sembilan persen).

Kondisi tersebut terjadi selama 300 (tiga ratus) hari kalender dalam 1 (satu) Tahun Pajak.

Meskipun jumlah saham PT PQR Tbk yang masuk dalam penitipan kolektif di Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian dan dicatatkan untuk dapat diperdagangkan di PT Bursa Efek
Indonesia dimiliki oleh lebih dari 300 (tiga ratus) Pihak dengan persentase kepemilikan
masing-masing Pihak kurang dari 5% (lima persen) selama lebih dari 183 (seratus delapan
puluh tiga) hari kalender dalam 1 (satu) Tahun Pajak, namun mengingat jumlah saham tersebut
hanya meliputi 39% (tiga puluh sembilan persen) dari seluruh saham yang ditempatkan dan
disetor penuh, maka PT PQR Tbk tidak dapat memperoleh penurunan tarif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

Contoh B4:

PT XYZ Tbk mempunyai modal dasar Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah),
dengan modal ditempatkan dan disetor penuh sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
dengan nilai nominal per lembar saham Rp1.000,00 (seribu rupiah) sehingga total saham
ditempatkan dan disetor penuh adalah 1.000.000 (satu juta) lembar saham.

PT XYZ Tbk memasukkan 45% (empat puluh lima persen) dari saham ditempatkan dan disetor
penuh yaitu sejumlah 450.000 (empat ratus lima puluh ribu) lembar saham dalam penitipan
kolektif di Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, dan mencatatkan seluruh saham
ditempatkan dan disetor penuh tersebut untuk dapat diperdagangkan di PT Bursa Efek
Indonesia.

Saham sejumlah 45% (empat puluh lima persen) tersebut dimiliki oleh 325 (tiga ratus dua puluh
lima) Pihak. Diantara 325 (tiga ratus dua puluh lima) Pihak tersebut, terdapat 1 (satu) Pihak
yang persentase kepemilikannya sebesar 7% (tujuh persen), sisanya 324 (tiga ratus dua puluh
empat) Pihak hanya memiliki persentase kepemilikan paling tinggi sebesar 4,99% (empat
koma sembilan puluh sembilan persen).

Kondisi tersebut terjadi selama 200 (dua ratus) hari kalender dalam 1 (satu) Tahun Pajak.

Meskipun jumlah saham PT XYZ Tbk yang masuk dalam penitipan kolektif di Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian dan dicatatkan untuk dapat diperdagangkan di PT Bursa Efek
Indonesia lebih dari 40% (empat puluh persen) dari saham yang ditempatkan dan disetor
penuh yaitu 45% (empat puluh lima persen), namun mengingat dari jumlah saham tersebut
yang dimiliki oleh lebih dari 300 (tiga ratus) Pihak dengan persentase kepemilikan
masing-masing Pihak kurang dari 5% (lima persen) selama lebih dari 183 (seratus delapan
puluh tiga) hari kalender dalam 1 (satu) Tahun Pajak hanya meliputi 38% (tiga puluh delapan
persen) dari seluruh saham yang ditempatkan dan disetor penuh, maka PT XYZ Tbk tidak dapat
memperoleh penurunan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5465

www.ortax.org
532 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Status :
Peraturan Pemerintah - 77 TAHUN 2013 Telah mengalami perubahan atau penyempurnaan
oleh Peraturan Pemerintah - 56 TAHUN 2015, Tanggal 3 Agust 2015

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15404

www.ortax.org
Peraturan Pemerintah RI :
PP No. 56 Tahun 2015 Edisi PPh Badan | Maret 2017 533

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 56 TAHUN 2015

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 77 TAHUN 2013


TENTANG PENURUNAN TARIF PAJAK PENGHASILAN BAGI WAJIB PAJAK
BADAN DALAM NEGERI YANG BERBENTUK PERSEROAN TERBUKA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa untuk meningkatkan peranan pasar modal sebagai sumber pembiayaan dunia usaha dan
mendorong peningkatan jumlah perseroan terbuka serta kepemilikan publik pada perseroan terbuka,
perlu dilakukan perubahan ketentuan persyaratan pemberian penurunan tarif Pajak Penghasilan bagi
Wajib Pajak Badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2013 tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib
Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2013 tentang Penurunan
Tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2013 tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib
Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 186, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5465);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 77 TAHUN 2013
TENTANG PENURUNAN TARIF PAJAK PENGHASILAN BAGI WAJIB PAJAK BADAN DALAM NEGERI YANG BERBENTUK
PERSEROAN TERBUKA.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2013 tentang Penurunan Tarif Pajak
Penghasilan bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 186, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5465)
diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan ayat (2) Pasal 2 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2

(1) Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk Perseroan Terbuka dapat memperoleh
penurunan tarif Pajak Penghasilan sebesar 5% (lima persen) lebih rendah dari tarif Pajak
Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri.
(2) Penurunan tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada
Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk Perseroan Terbuka setelah memenuhi
persyaratan:
a. paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor
dicatat untuk diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
b. saham sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus dimiliki oleh paling sedikit 300
(tiga ratus) Pihak;
c. masing-masing Pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf b hanya boleh memiliki
saham kurang dari 5% (lima persen) dari keseluruhan saham yang ditempatkan dan
disetor penuh; dan
d. ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c harus dipenuhi
dalam waktu paling singkat 183 (seratus delapan puluh tiga) hari kalender dalam jangka

www.ortax.org
534 Edisi PPh Badan | Maret 2017

waktu 1 (satu) Tahun Pajak.


(3) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan dan pengawasan pemberian penurunan tarif Pajak
Penghasilan bagi Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk Perseroan Terbuka diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan.

2. Pasal 6 dihapus.

Pasal II

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 Agustus 2015
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 4 Agustus 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 180

PENJELASAN
ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 56 TAHUN 2015

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 77 TAHUN 2013


TENTANG PENURUNAN TARIF PAJAK PENGHASILAN BAGI WAJIB PAJAK
BADAN DALAM NEGERI YANG BERBENTUK PERSEROAN TERBUKA

I. UMUM

Untuk meningkatkan peranan pasar modal sebagai sumber pembiayaan dunia usaha dan mendorong
peningkatan jumlah perseroan terbuka serta kepemilikan publik pada perseroan terbuka, perlu dilakukan
perubahan persyaratan pemberian penurunan tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Badan dalam
negeri yang berbentuk perseroan terbuka sebagaimana sebelumnya diatur dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 77 Tahun 2013 tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Badan
Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka.

Pokok perubahan yaitu mengubah ketentuan persyaratan bagi Wajib Pajak badan dalam negeri yang
berbentuk Perseroan Terbuka untuk dapat memperoleh penurunan tarif Pajak Penghasilan sebesar 5%
(lima persen) lebih rendah dari tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri.

II. PASAL DEMI PASAL

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 535

Pasal I

Angka 1

Pasal 2

Besaran 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang
disetor dihitung dari modal ditempatkan dan disetor penuh sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perseroan terbatas.

Contoh kondisi yang memenuhi persyaratan untuk dapat memperoleh


penurunan tarif Pajak Penghasilan badan sebesar 5% (lima persen):

Contoh A1:

PT ABC Tbk mempunyai modal dasar Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima


ratus juta rupiah), dengan modal ditempatkan dan disetor penuh sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dengan nilai nominal per lembar saham
Rp1.000,00 (seribu rupiah) sehingga total saham ditempatkan dan disetor
penuh adalah 1.000.000 (satu juta) lembar saham.

PT ABC mencatatkan 40% (empat puluh persen) dari saham ditempatkan dan
disetor penuh tersebut, yaitu sejumlah 400.000 (empat ratus ribu) lembar
saham, untuk dapat diperdagangkan di PT Bursa Efek Indonesia.

Saham sejumlah 40% (empat puluh persen) tersebut dimiliki oleh 300 (tiga
ratus) Pihak dengan persentase kepemilikan para Pihak paling tinggi sebesar
4,99% (empat koma sembilan puluh sembilan persen).

Kondisi tersebut terjadi selama 183 (seratus delapan puluh tiga) hari kalender
dalam 1 (satu) Tahun Pajak.

Mengingat jumlah saham yang dicatatkan untuk dapat diperdagangkan


di PT Bursa Efek Indonesia sebesar 40% (empat puluh persen) dari jumlah
keseluruhan saham yang ditempatkan dan disetor penuh, dimiliki oleh 300
(tiga ratus) Pihak dengan kepemilikan masing-masing Pihak kurang dari 5%
(lima persen) dari keseluruhan saham yang ditempatkan dan disetor penuh,
dan kondisi tersebut terjadi selama 183 (seratus delapan puluh tiga) hari,
maka PT ABC Tbk memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (2), sehingga dapat
memperoleh penurunan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

Contoh A2:

PT DEF Tbk mempunyai modal dasar Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima


ratus juta rupiah), dengan modal ditempatkan dan disetor penuh sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dengan nilai nominal per lembar saham
Rp1.000,00 (seribu rupiah) sehingga total saham ditempatkan dan disetor
penuh adalah 1.000.000 (satu juta) lembar saham.

PT DEF Tbk mencatatkan 45% (empat puluh lima persen) dari saham
ditempatkan dan disetor penuh, yaitu sejumlah 450.000 (empat ratus lima
puluh ribu) lembar saham, untuk dapat diperdagangkan di PT Bursa Efek
Indonesia.

Saham sejumlah 45% (empat puluh lima persen) tersebut dimiliki oleh
399 (tiga ratus sembilan puluh sembilan) Pihak dengan persentase kepemilikan
para Pihak paling tinggi sebesar 4,99% (empat koma sembilan puluh sembilan
persen).

Kondisi tersebut terjadi selama 190 (seratus sembilan puluh) hari kalender
dalam 1 (satu) Tahun Pajak.

Mengingat jumlah saham dicatatkan untuk dapat diperdagangkan di PT Bursa


Efek Indonesia lebih besar dari 40% (empat puluh persen) dari jumlah
keseluruhan saham yang ditempatkan dan disetor penuh, dimiliki lebih dari
300 (tiga ratus) Pihak dengan kepemilikan masing-masing Pihak kurang dari
5% (lima persen) dari keseluruhan saham yang ditempatkan dan disetor
penuh, dan kondisi tersebut terjadi selama lebih dari 183 (seratus delapan
puluh tiga) hari maka PT DEF Tbk memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (2),
sehingga dapat memperoleh penurunan tarif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1).

Contoh A3:

www.ortax.org
536 Edisi PPh Badan | Maret 2017

PT GHI Tbk mempunyai modal dasar Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima


ratus juta rupiah), dengan modal ditempatkan dan disetor penuh sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dengan nilai nominal per lembar saham
Rp1.000,00 (seribu rupiah) sehingga total saham ditempatkan dan disetor
penuh adalah 1.000.000 (satu juta) lembar saham.

Dari keseluruhan saham PT GHI Tbk yang ditempatkan dan disetor penuh
tersebut terdiri dari:
a. 50% (lima puluh persen) dari saham ditempatkan dan disetor penuh,
yaitu sejumlah 500.000 (lima ratus ribu) lembar saham, dicatatkan
untuk dapat diperdagangkan di PT Bursa Efek Indonesia;
b. 40% (empat puluh persen) dari saham ditempatkan dan disetor penuh,
yaitu sejumlah 400.000 (empat ratus ribu) lembar saham, dicatatkan
untuk diperdagangkan di bursa efek di luar negeri; dan
c. 10% (sepuluh persen) dari saham ditempatkan dan disetor penuh,
yaitu sejumlah 100.000 (seratus ribu) lembar saham, diperdagangkan
di luar bursa.

Saham sejumlah 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud dalam


huruf a dimiliki oleh 400 (empat ratus) Pihak. Di antara 400 (empat ratus)
Pihak, terdapat 1 (satu) Pihak yang persentase kepemilikannya sebesar 7%
(tujuh persen), sisanya 399 (tiga ratus sembilan puluh sembilan) Pihak
memiliki persentase kepemilikan kurang dari 5% (lima persen).

Kondisi tersebut terjadi selama 234 (dua ratus tiga puluh empat) hari kalender
dalam 1 (satu) Tahun Pajak.

Mengingat jumlah saham yang dicatatkan untuk dapat diperdagangkan


di PT Bursa Efek Indonesia lebih besar dari 40% (empat puluh persen) dari
jumlah keseluruhan saham yang ditempatkan dan disetor penuh, yaitu 43%
(empat puluh tiga persen), dimiliki lebih dari 300 (tiga ratus) Pihak dengan
kepemilikan masing-masing Pihak kurang dari 5% dari keseluruhan saham
yang ditempatkan dan disetor penuh, dan kondisi tersebut terjadi selama lebih
dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari, maka PT GHI Tbk memenuhi
ketentuan Pasal 2 ayat (2), sehingga dapat memperoleh penurunan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

Contoh kondisi yang tidak memenuhi persyaratan untuk dapat memperoleh


penurunan tarif Pajak Penghasilan badan sebesar 5% (lima persen):

Contoh B1:

PT KLM Tbk mempunyai modal dasar Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima


ratus juta rupiah), dengan modal ditempatkan dan disetor penuh sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dengan nilai nominal per lembar saham
Rp1.000,00 (seribu rupiah) sehingga total saham ditempatkan dan disetor
penuh adalah 1.000.000 (satu juta) lembar saham.

PT KLM Tbk mencatatkan 35% (tiga puluh lima persen) dari saham ditempatkan
dan disetor penuh, yaitu sejumlah 350.000 (tiga ratus lima puluh ribu) lembar
saham, untuk dapat diperdagangkan di PT Bursa Efek Indonesia.

Saham sejumlah 35% (tiga puluh lima persen) tersebut dimiliki oleh 399 (tiga
ratus sembilan puluh sembilan) Pihak dengan persentase kepemilikan para
Pihak paling tinggi sebesar 4,99% (empat koma sembilan puluh sembilan
persen).

Kondisi tersebut terjadi selama 195 (seratus sembilan puluh lima) hari kalender
dalam 1 (satu) Tahun Pajak.

Meskipun jumlah saham PT KLM Tbk yang dicatatkan untuk dapat


diperdagangkan di PT Bursa Efek Indonesia dimiliki oleh lebih dari 300 (tiga
ratus) Pihak dengan persentase kepemilikan masing-masing Pihak kurang dari
5% (lima persen) selama lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
kalender dalam 1 (satu) Tahun Pajak, namun mengingat jumlah saham
tersebut hanya meliputi 35% (tiga puluh lima persen) dari seluruh saham yang
ditempatkan dan disetor penuh maka PT KLM Tbk tidak dapat memperoleh
penurunan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

Contoh B2:

PT MNO Tbk mempunyai modal dasar Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 537

ratus juta rupiah), dengan modal ditempatkan dan disetor penuh sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dengan nilai nominal per lembar saham
Rp1.000,00 (seribu rupiah) sehingga total saham ditempatkan dan disetor
penuh adalah 1.000.000 (satu juta) lembar saham.

PT MNO Tbk mencatatkan 45% (empat puluh lima persen) dari saham
ditempatkan dan disetor penuh, yaitu sejumlah 450.000 (empat ratus lima
puluh ribu) lembar saham, untuk dapat diperdagangkan di PT Bursa Efek
Indonesia.

Saham sejumlah 45% (empat puluh lima persen) tersebut dimiliki oleh 299
(dua ratus sembilan puluh sembilan) Pihak dengan persentase kepemilikan
para Pihak paling tinggi sebesar 4,99% (empat koma sembilan puluh sembilan
persen).

Kondisi tersebut terjadi selama 190 (seratus sembilan puluh) hari kalender
dalam 1 (satu) Tahun Pajak.

Meskipun jumlah saham PT MNO Tbk yang dicatatkan untuk dapat


diperdagangkan di PT Bursa Efek Indonesia lebih dari 40% (empat puluh
persen) dari seluruh saham yang ditempatkan dan disetor penuh dengan
persentase kepemilikan masing-masing Pihak kurang dari 5% (lima persen)
selama lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari kalender dalam
1 (satu) Tahun Pajak, namun mengingat jumlah saham tersebut dimiliki kurang
dari 300 (tiga ratus) Pihak, maka PT MNO Tbk tidak dapat memperoleh
penurunan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

Contoh B3:

PT PQR Tbk mempunyai modal dasar Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima


ratus juta rupiah), dengan modal ditempatkan dan disetor penuh sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dengan nilai nominal per lembar saham
Rp1.000,00 (seribu rupiah) sehingga total saham ditempatkan dan disetor
penuh adalah 1.000.000 (satu juta) lembar saham.

Dari keseluruhan saham PT PQR Tbk yang ditempatkan dan disetor penuh
tersebut terdiri dari:
a. 39% (tiga puluh sembilan persen) dari saham ditempatkan dan disetor
penuh, yaitu sejumlah 390.000 (tiga ratus sembilan puluh ribu) lembar
saham, dicatatkan untuk dapat diperdagangkan di PT Bursa Efek
Indonesia;
b. 56% (lima puluh enam persen) dari saham ditempatkan dan disetor
penuh, yaitu sejumlah 560.000 (lima ratus enam puluh ribu) lembar
saham, dicatatkan untuk diperdagangkan di bursa efek di luar negeri;
c. 5% (lima persen) dari saham ditempatkan dan disetor penuh, yaitu
sejumlah 50.000 (lima puluh ribu) lembar saham, diperdagangkan
di luar bursa;

Saham sejumlah 39% (tiga puluh sembilan persen) sebagaimana dimaksud


dalam huruf a, dimiliki oleh 350 (tiga ratus lima puluh) Pihak dengan persentase
kepemilikan para Pihak paling tinggi sebesar 4,99% (empat koma sembilan
puluh sembilan persen).

Kondisi tersebut terjadi selama 300 (tiga ratus) hari kalender dalam 1 (satu)
Tahun Pajak.

Meskipun jumlah saham PT PQR Tbk yang dicatatkan untuk dapat


diperdagangkan di PT Bursa Efek Indonesia dimiliki oleh lebih dari 300 (tiga
ratus) Pihak dengan persentase kepemilikan masing-masing Pihak kurang dari
5% (lima persen) selama lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
kalender dalam 1 (satu) Tahun Pajak, namun mengingat jumlah saham
tersebut hanya meliputi 39% (tiga puluh sembilan persen) dari seluruh saham
yang ditempatkan dan disetor penuh, maka PT PQR Tbk tidak dapat
memperoleh penurunan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

Contoh B4:

PT XYZ Tbk mempunyai modal dasar Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima


ratus juta rupiah), dengan modal ditempatkan dan disetor penuh sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dengan nilai nominal per lembar saham
Rp1.000,00 (seribu rupiah)

sehingga total saham ditempatkan dan disetor penuh adalah 1.000.000 (satu

www.ortax.org
538 Edisi PPh Badan | Maret 2017

juta) lembar saham.

PT XYZ Tbk mencatatkan 45% (empat puluh lima persen) dari saham
ditempatkan dan disetor penuh, yaitu sejumlah 450.000 (empat ratus lima
puluh ribu) lembar saham, untuk dapat diperdagangkan di PT Bursa Efek
Indonesia.

Saham sejumlah 45% (empat puluh lima persen) tersebut dimiliki oleh 325
(tiga ratus dua puluh lima) Pihak. Diantara 325 (tiga ratus dua puluh lima) Pihak
tersebut, terdapat 1 (satu) Pihak yang persentase kepemilikannya sebesar 7%
(tujuh persen), sisanya 324 (tiga ratus dua puluh empat) Pihak hanya memiliki
persentase kepemilikan paling tinggi sebesar 4,99% (empat koma sembilan
puluh sembilan persen).

Kondisi tersebut terjadi selama 200 (dua ratus) hari kalender dalam 1 (satu)
Tahun Pajak.

Meskipun jumlah saham PT XYZ Tbk yang dicatatkan untuk dapat


diperdagangkan di PT Bursa Efek Indonesia lebih dari 40% (empat puluh
persen) dari saham yang ditempatkan dan disetor penuh, yaitu 45% (empat
puluh lima persen), namun mengingat dari jumlah saham tersebut yang dimiliki
oleh lebih dari 300 (tiga ratus) Pihak dengan persentase kepemilikan masing-
masing Pihak kurang dari 5% (lima persen) selama lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari kalender dalam 1 (satu) Tahun Pajak hanya meliputi
38% (tiga puluh delapan persen) dari seluruh saham yang ditempatkan dan
disetor penuh, maka PT XYZ Tbk tidak dapat memperoleh penurunan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

Angka 2

Pasal 6

Dihapus

Pasal II

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5725

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15852

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
238/PMK.03/2008 Edisi PPh Badan | Maret 2017 539

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 238/PMK.03/2008

TENTANG

TATA CARA PELAKSANAAN DAN PENGAWASAN PEMBERIAN PENURUNAN TARIF


BAGI WAJIB PAJAK BADAN DALAM NEGERI YANG BERBENTUK PERSEROAN TERBUKA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2007 tentang
Penurunan Tarif Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka
perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pelaksanaan dan Pengawasan Pemberian
Penurunan Tarif bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4740);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1993 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2007 tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan Bagi Wajib
Pajak Badan Dalam Negeri Yang Berbentuk Perseroan Terbuka (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 170, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4798);
4. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN DAN PENGAWASAN PEMBERIAN
PENURUNAN TARIF BAGI WAJIB PAJAK BADAN DALAM NEGERI YANG BERBENTUK PERSEROAN TERBUKA.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan :


1. Undang-Undang adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan
perubahannya.
2. Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2007 tentang
Penurunan Tarif Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Badan dalam Negeri Yang Berbentuk Perseroan
Terbuka.
3. Pihak adalah orang pribadi atau badan.
4. Perseroan Terbuka adalah Perseroan Publik atau Perseroan yang telah melakukan Penawaran Umum
Saham atau Efek Bersifat Ekuitas lainnya di Indonesia dan tercatat di bursa efek di Indonesia.
5. Wajib Pajak adalah Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang berbentuk Perseroan Terbuka.

Pasal 2

(1) Wajib Pajak dapat memperoleh penurunan tarif Pajak Penghasilan sebesar 5% (lima persen) lebih
rendah dari tarif tertinggi Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan Dalam Negeri sebagaimana diatur
dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-Undang.
(2) Penurunan Tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Wajib Pajak
apabila jumlah kepemilikan saham publiknya 40% (empat puluh persen) atau lebih dari keseluruhan
saham yang disetor dan saham tersebut dimiliki paling sedikit oleh 300 (tiga ratus) Pihak.
(3) Masing-masing Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya boleh memiliki saham kurang dari
5% (lima persen) dari keseluruhan saham yang disetor.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) harus dipenuhi oleh Wajib Pajak dalam
waktu paling singkat 6 (enam) bulan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun pajak.
(5) Waktu 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari kalender.

Pasal 3

www.ortax.org
540 Edisi PPh Badan | Maret 2017

(1) Dalam hal Wajib Pajak dalam 1 (satu) tahun pajak tertentu tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), ketentuan penurunan tarif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak berlaku.
(2) pajak Penghasilan atas penghasilan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
berdasarkan ketentuan yang berlaku secara umum sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 17 ayat
(1) huruf b Undang-Undang.

Pasal 4

(1) Wajib Pajak harus melampirkan surat keterangan dari Biro Administrasi Efek pada Surat
Pemberitahuan Tahunan PPh WP Badan dengan melampirkan formulir X.H.1-6 sebagaimana diatur
dalam Peraturan Bapepam dan LK Nomor X.H.1 untuk setiap tahun pajak terkait.
(2) Surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat untuk setiap tahun pajak dengan
mencantumkan nama Wajib Pajak, Nomor Pokok Wajib Pajak, Tahun Pajak serta menyatakan bahwa
dalam waktu paling singkat 6 (enam) bulan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun pajak.
a. Saham Wajib Pajak dimiliki oleh publik paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari
keseluruhan saham yang disetor; dan
b. saham Wajib Pajak yang dimiliki oleh publik dimiliki paling sedikit oleh 300 (tiga ratus) pihak
dan masing-masing pihak hanya memiliki saham kurang dari 5% (lima persen) dari
keseluruhan saham yang disetor.

Pasal 5

(1) Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan menyampaikan daftar Wajib Pajak yang
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) kepada
Direktur Jenderal Pajak, dengan menggunakan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I
Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri
Keuangan ini.
(2) Daftar Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama setiap akhir bulan
setelah berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyampaian Daftar Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk tahun pajak 2008 dapat dilakukan paling lama pada
tanggal 15 Maret 2009.

Pasal 6

Dasar perhitungan besarnya angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang
untuk satu tahun pajak berikutnya setelah Wajib Pajak mendapatkan fasilitas berupa penurunan tarif Pajak
Penghasilan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah adalah Surat Pemberitahuan Tahunan PPh WP
Badan tahun pajak yang mendapatkan faslitas.

Pasal 7

Contoh perhitungan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan contoh kondisi
Wajib Pajak yang memenuhi dan tidak memenuhi kriteria Pasal 2 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri Keuangan ini.

Pasal 8

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut
terhitung sejak tanggal 1 januari 2008.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2008
MENTERI KEUANGAN

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 541

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13602

www.ortax.org
TARIF
PPh Wajib Pajak
Peredaran Bruto Tertentu
Edisi PPh Badan | Maret 2017 543

No Nomor Dokumen Tanggal Ditetapkan Perihal


1. PP No. 46 Tahun 2013 12 Juni 2013 Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau
Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
2. 107/PMK.011/2013 30 Juli 2013 Tata Cara Penghitungan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Penghasilan
Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak
Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
3. PER - 32/PJ/2013 25 September 2013 Tata Cara Pembebasan Dari Pemotongan Dan/ Atau Pemungutan
Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Yang Dikenai Pajak Penghasilan
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Tentang
Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau
Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran
Bruto Tertentu
4. PER - 37/PJ/2013 30 Oktober 2013 Tata Cara Penyetoran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha
Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran
Bruto Tertentu Melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM)
5. SE - 42/PJ/2013 02 September 2013 Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Tentang Pajak
Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh
Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
6. SE-32/PJ/2014 17 September 2014 Penegasan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013
Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima
Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
7. SE - 38 /PJ/2014 22 Oktober 2014 Ralat Surat Edaran Nomor SE-32/PJ/2014 Tentang Penegasan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Tentang
Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau
Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu

www.ortax.org
Peraturan Pemerintah RI :
544 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PP No. 46 Tahun 2013

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 46 TAHUN 2013

TENTANG

PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA


YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK
YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak orang pribadi dan badan yang memiliki
peredaran bruto tertentu, perlu memberikan perlakuan tersendiri ketentuan mengenai penghitungan,
penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan yang terutang;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf e dan Pasal 17 ayat (7) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang
Diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);

MEMUTUSKAN:

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU
DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU.

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:


1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan.
2. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun
buku yang tidak sama dengan tahun kalender.

Pasal 2

(1) Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto
tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.
(2) Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap; dan
b. Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan
pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
(3) Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Wajib Pajak
orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:
a. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap
maupun tidak menetap; dan
b. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak
diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
(4) Tidak termasuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)adalah:
a. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
b. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara
komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan
ratus juta rupiah).

Pasal 3

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 545

(1) Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah
1% (satu persen).
(2) Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada peredaran bruto
dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan.
(3) Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah melebihi jumlah
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam suatu Tahun Pajak, Wajib Pajak
tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan yang telah ditentukan berdasarkan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan akhir Tahun Pajak yang bersangkutan.
(4) Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah) pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya dikenai tarif Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 4

(1) Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat final
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan.
(2) Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
dikalikan dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 5

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak berlaku atas penghasilan dari usaha yang
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang
perpajakan.

Pasal 6

Atas penghasilan selain dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak, dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 7

Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Pajak Penghasilan dan peraturan pelaksanaannya.

Pasal 8

Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan
menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan kompensasi kerugian dengan penghasilan yang tidak dikenai
Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan sebagai berikut:
a. kompensasi kerugian dilakukan mulai Tahun Pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) Tahun
Pajak;
b. Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini
tetap diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak berikutnya.

Pasal 9

Ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan atas penghasilan
dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dan kriteria
beroperasi secara komersial diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 10

Hal khusus terkait peredaran bruto sebagai dasar untuk dapat dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, diatur sebagai berikut:
1. didasarkan pada jumlah peredaran bruto Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak berlakunya
Peraturan Pemerintah ini yang disetahunkan, dalam hal Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak
berlakunya Peraturan Pemerintah ini meliputi kurang dari jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
2. didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib Pajak terdaftar sampai dengan bulan
sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak terdaftar pada
Tahun Pajak yang sama dengan Tahun Pajak saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini di bulan
sebelum Peraturan Permerintah ini berlaku;

www.ortax.org
546 Edisi PPh Badan | Maret 2017

3. didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha yang
disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak yang baru terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak berlakunya
Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 11

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2013.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juni 2013
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal13 Juni 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

AMIR SYAMSUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 106

PENJELASAN
ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 46 TAHUN 2013

TENTANG

PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA


YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK
YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU

I. UMUM

Materi pokok yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini mengenai pengenaan Pajak Penghasilan yang
bersifat final dan penetapan besaran tarif pajak terhadap penghasilan dari usaha yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu. Pengenaan Pajak Penghasilan yang
bersifat final tersebut ditetapkan dengan berdasarkan pada pertimbangan perlunya kesederhanaan
dalam pemungutan pajak, berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat
Jenderal Pajak, serta memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter.

Tujuan pengaturan ini


adalah untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh
penghasilan dari usaha yang memiliki peredaran bruto tertentu, untuk melakukan penghitungan,
penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan yang terutang.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 547

Cukup jelas.

Pasal2

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Peredaran bruto merupakan peredaran bruto dari usaha, termasuk dari usaha cabang,
selain peredaran bruto dari usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan
di bidang perpajakan.

Berdasarkan arah aliran tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak,


penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:
a. penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas
seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris,
akuntan, pengacara, dan sebagainya;
b. penghasilan dari usaha dan kegiatan;
c. penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak,
seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau
hak yang tidak dipergunakan untuk usaha;dan
d. penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.

Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas meliputi:

a. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,
akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
b. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang
sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati,
pemain drama, dan penari;
c. olahragawan;
d. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
e. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
f. agen iklan;
g. pengawas atau pengelola proyek;
h. perantara;
i. petugas penjaja barang dagangan;
J. agen asuransi; dan
k. distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau
penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.

Tahun Pajak menurut ketentuan umum perpajakan adalah sama dengan tahun
kalender. Namun demikian, bagi Wajib Pajak yang tahun bukunya tidak sama dengan
tahun kalender, Tahun Pajak ditentukan berdasarkan tahun buku yang didalamnya
termasuk 6 (enam) bulan pertama atau lebih dari 6 (enam) bulan dari tahun buku
tersebut.

Misalnya, Jika tahun buku Wajib Pajak dimulai pada tanggal 1 Juli 2013 dan berakhir
pada tanggal 30 Juni 2014 maka tahun buku tersebut berarti Tahun Pajak 2013 karena
memenuhi 6 (enam) bulan pertama dari tahun 2013.

Contoh penentuan peredaran bruto:

Rajesh merupakan pedagang tekstil yang memiliki tempat kegiatan usaha di beberapa
pasar di wilayah yang berbeda. Berdasarkan pencatatan yang dilakukan diketahui
rincian peredaran usaha di tahun 2013 adalah sebagai berikut:
a. Pasar A sebesar Rp 80.000.000,00;
b. Pasar B sebesar Rp 250.000.000,00;
c. Pasar C sebesar Rp 400.000.000,00.

Dengan demikian peredaran bruto usaha perdagangan tekstil Rajesh sebagai dasar
pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final adalah sebesar Rp730.000.000,00
(Rp80.000.000,00 + Rp250.000.000,00 + Rp400.000.000,00).

Ayat (3)

Wajib Pajak orang pribadi yang tergolong dalam ketentuan ini adalah Wajib Pajak
orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa melalui
suatu tempat usaha yang dapat dibongkar pasang, termasuk yang menggunakan
gerobak, dan menggunakan tempat untuk kepentingan umum yang menurut peraturan

www.ortax.org
548 Edisi PPh Badan | Maret 2017

perundang-undangan bahwa tempat tersebut tidak diperuntukkan bagi tempat usaha


atau berjualan, misalnya pedagang makanan keliling, pedagang asongan, warung
tenda di trotoar, dan sejenisnya. Terhadap Wajib Pajak tersebut atas penghasilannya
tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan
Pemerintah ini.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 3

Ayat (1)

Contoh penentuan pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final:

CV Andik memiliki usaha penjualan gerabah yang berdasarkan pembukuan atau


catatan pada Tahun Pajak 2013 (Januari 2013 sampai dengan Desember 2013),
memiliki peredaran bruto sebesar Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Dengan demikian, atas penghasilan dari usaha yang diterima oleh CV Andik pada tahun
2014 dikenai Pajak Penghasilan bersifat final sebesar 1% (satu persen), karena
peredaran bruto CV Andik pada Tahun Pajak 2013 tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratusjuta rupiah).

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Jika CV Andik, sebagaimana contoh pada penjelasan ayat (1) dan ayat (2), pada bulan
Januari sampai dengan Oktober 2014 memperoleh peredaran bruto sebesar
Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), maka atas penghasilan dari usaha yang
diterima oleh CV Andik sampai dengan bulan Desember 2014 (akhir Tahun Pajak 2014)
tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 1% (satu persen).

Ayat (4)

Jika CV Andik, sebagaimana contoh pada penjelasan ayat (3), pada bulan Januari
sampai dengan Desember 2014 memperoleh peredaran bruto sebesar
Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah), maka penghasilan yang diperoleh CV Andik
pada tahun 2015 (tahun berikutnya), dikenai Pajak Penghasilan sesuai ketentuan
Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 4

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Jika CV Andik, sebagaimana contoh pada penjelasan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2),
pada bulan Agustus 2014 memperoleh penghasilan dari usaha penjualan gerabah
sebesar Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), maka Pajak Penghasilan yang
bersifat final yang terutang untuk bulan Agustus 2014 dihitung sebagai berikut:

Pajak Penghasilan yang bersifat final = 1% x Rp50.000.000,00 = Rp500.000,00

Pasal 5

Atas penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri, misalnya penghasilan dari usaha jasa
konstruksi yang pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah, meskipun
peredaran bruto usaha Wajib Pajak yang bersangkutan dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi
Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), tidak dikenai Pajak Penghasilan
yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tetapi mengikuti ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang mengatur mengenai pengenaan pajak atas penghasilan
tersebut.

Pasal 6

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 549

Cukup jelas.

Pasal 7

Cukup jelas.

Pasal 8

Contoh perlakuan kompensasi kerugian:

Jika Wajib Pajak PT Pantang Menyerah mengalami kerugian pada Tahun Pajak 2010, maka
kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan pada Tahun Pajak 2011 sampai
dengan Tahun Pajak 2015.

Jika Wajib Pajak PT Pantang Menyerah pada Tahun Pajak 2014 dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat fmal berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini maka jangka waktu kompensasi
kerugian tetap dihitung sampai dengan Tahun Pajak 2015.

Jika Wajib Pajak PT Pantang Menyerah pada Tahun Pajak 2014 dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dan mengalami kerugian
berdasarkan pembukuan, maka atas kerugian tersebut tidak dapat dikompensasikan dengan
Tahun Pajak berikutnya.

Pasal 9

Cukup je1as.

Pasal 10

Contoh penentuan peredaran bruto sebagai dasar dikenainya Pajak Penghasilan dengan
Peraturan Pemerintah ini, dalam hal:
a. Tahun Pajak sebelumnya kurang dari 12 (dua belas) bulan;
b. Wajib Pajak baru terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan tahun berlakunya
Peraturan Pemerintah ini pada bulan sebelum bulan berlakunya Peraturan Pemerintah
ini; dan
c. Wajib Pajak baru terdaftar setelah berlakunya Peraturan Pemerintah ini, untuk Tahun
Pajak pertama,

adalah sebagai berikut:

1) PT Maju Jaya menggunakan tahun kalender sebagai Tahun Pajak.


Terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak bulan Agustus 2013. Peredaran bruto selama
bulan Agustus 2013 sampai dengan Desember 2013 adalah Rp150.000.000,00 (seratus
lima puluh juta rupiah).

Peredaran bruto tahun 2013 disetahunkan adalah:

Rp150.000.000,00 x 12/5 = Rp360.000.000,00

Karena peredaran bruto disetahunkan di tahun 2013 tidak melebihi Rp4.800.000.00,00


(empat miliar delapan ratus juta rupiah), maka penghasilan yang diperoleh di tahun
2014 dikenai pajak yang bersifat final sesuai ketentuan dalam Peraturan Pemerintah
ini.

2) PT Daya Tangkap terdaftar 3 (tiga) bulan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah


ini pada Tahun Pajak yang sama dengan tahun berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
Jumlah peredaran bruto selama 3 (tiga) bulan tersebut adalah Rp150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah).

Peredaran bruto selama 3 (tiga) bulan yang disetahunkan adalah:


Rp150.000.000,00 x 12/3 = Rp600.000.000,00

Karena peredaran bruto disetahunkan untuk 3 (tiga) bulan tersebut tidak melebihi
Rp 4.800.000.00,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), maka penghasilan yang
diperoleh mulai pada bulan berlakunya Peraturan Pemerintah ini sampai dengan akhir
tahun pajak bersangkutan, dikenai pajak yang bersifat final sesuai ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah ini

3) Gatot Kaca terdaftar sebagai Wajib Pajak baru pada bulan November 2014.
Pada bulan November 2014 tersebut, memperoleh peredaran bruto sebesar
Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). Penghasilan bruto bulan November 2014

www.ortax.org
550 Edisi PPh Badan | Maret 2017

disetahunkan adalah: 12/1 x Rp15.000.000,00 = Rp180.000.000,00

Karena penghasilan bulan November 2014 (bulan pertama mulai terdaftar sebagai
Wajib Pajak) yang disetahunkan tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah), maka penghasilan yang diperoleh di tahun 2014 dikenai
Pajak Penghasilan yang bersifat final sesuai dengan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 11

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5424

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15293

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
107/PMK.011/2013 Edisi PPh Badan | Maret 2017 551

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 107/PMK.011/2013

TENTANG

TATA CARA PENGHITUNGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK


PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU
DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa dalam rangka melaksanakan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran
Bruto Tertentu, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Penghitungan, Penyetoran,
dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang
Memiliki Peredaran Bruto Tertentu;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan
Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5183);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha
yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5424);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK
PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG
MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:


1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008.
2. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun
buku yang tidak sama dengan tahun kalender.

Pasal 2

(1) Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto
tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.
(2) Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib
Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap; dan
b. menerima, penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan
pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
(3) Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
a. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek,
dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
b. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan,

www.ortax.org
552 Edisi PPh Badan | Maret 2017

sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
c. olahragawan;
d. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
e. pengarang, peneliti, dan penerjemah;.
f. agen iklan;
g. pengawas atau pengelola proyek;
h. perantara;
i. petugas penjaja barang dagangan;
j. agen asuransi; dan
k. distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan langsung
(direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.
(4) Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Wajib Pajak
orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:
a. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang baik yang menetap maupun
tidak menetap; dan
b. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan
bagi tempat usaha atau berjualan.
(5) Tidak termasuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
a. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
b. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial
memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah).

Pasal 3

(1) Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) didasarkan pada peredaran
bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang
bersangkutan.
(2) Peredaran bruto yang tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari
usaha seluruhnya termasuk dari usaha cabang, tidak termasuk peredaran bruto dari:
a. jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3);
b. penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri;
c. usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
d. penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
(3) Dalam hal peredaran bruto dari usaha pada Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang
bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak meliputi jangka waktu 12 (dua belas) bulan,
pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada jumlah peredaran
bruto Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak bersangkutan yang disetahunkan.
(4) Dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar pada tahun pajak 2013 sebelum Peraturan Menteri ini berlaku,
pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) didasarkan pada jumlah
peredaran bruto dari bulan saat Wajib Pajak terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya
Peraturan Menteri ini yang disetahunkan.
(5) Dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar sejak berlakunya Peraturan Menteri ini, pengenaan Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) didasarkan pada jumlah peredaran bruto
pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan.

Pasal 4

(1) Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
adalah 1% (satu persen).
(2) Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat final
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan, untuk setiap
tempat kegiatan usaha.
(3) Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikalikan
dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 5

(1) Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah melebihi jumlah
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam suatu Tahun Pajak, Wajib Pajak
tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan yang telah ditentukan berdasarkan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) sampai dengan akhir Tahun Pajak yang bersangkutan.
(2) Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan
ratus juta rupiah) pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
pada Tahun Pajak berikutnya dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak
Penghasilan.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 553

Pasal 6

(1) Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) yang berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan peraturan
pelaksanaannya wajib dilakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak
bersifat final, dapat dibebaskan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak
lain.
(2) Pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan melalui Surat Keterangan Bebas.
(3) Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan
Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atas nama Direktur Jenderal Pajak berdasarkan permohonan Wajib
Pajak.

Pasal 7

(1) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif
umum Undang-Undang Pajak Penghasilan sampai dengan jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi
secara komersial.
(2) Dalam hal Jangka waktu 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melewati Tahun Pajak
yang bersangkutan, ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sampai dengan akhir
Tahun Pajak berikutnya.

Pasal 8

(1) Wajib Pajak yang dikenai Pajak penghasilan bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
yang menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan kompensasi kerugian dengan penghasilan yang
tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.
(2) Ketentuan kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. kompensasi kerugian dilakukan mulai tahun Pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan
5 (lima) Tahun Pajak;
b. Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1), tetap diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada huruf a;
c. kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak
berikutnya.

Pasal 9

(1) Wajib Pajak yang hanya menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), tidak diwajibkan melakukan pembayaran
angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak selain menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan
yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) juga menerima atau memperoleh
penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan,
atas penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum tersebut wajib dibayar
angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(3) Besarnya angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan
bagi Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) pada Tahun
Pajak pertama Wajib Pajak tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1), diatur ketentuan sebagai berikut:
a. bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (7) huruf b dan huruf c
Undang-Undang Pajak Penghasilan, besaran angsuran pajak adalah sesuai dengan besarnya
angsuran pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur
mengenai besarnya angsuran pajak bagi Wajib Pajak tersebut;
b. bagi Wajib Pajak selain Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a, penghitungan
besarnya angsuran pajak diberlakukan seperti Wajib Pajak baru sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (7) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(4) Untuk Wajib Pajak orang pribadi, jumlah penghasilan neto yang disetahunkan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf b dikurangi terlebih dahulu dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
(5) Angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan dan pajak
yang telah dipotong dan/atau dipungut pihak lain boleh dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang
terutang untuk Tahun Pajak yang bersangkutan, kecuali untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya
bersifat final.

Pasal 10

(1) Wajib Pajak wajib menyetor Pajak Penghasilan terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3)
ke kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran

www.ortax.org
554 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan Surat Setoran Pajak, yang telah
mendapat validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara, paling lama tanggal 15 (lima belas)
bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(2) Wajib Pajak yang melakukan pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan paling lama 20 (dua puluh) hari
setelah Masa Pajak berakhir.
(3) Wajib Pajak yang telah melakukan penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dianggap telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), sesuai dengan tanggal validasi Nomor Transaksi Penerimaan Negara yang tercantum
pada Surat Setoran Pajak.

Pasal 11

Wajib Pajak yang atas seluruh atau sebagian penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan adalah sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, dan peraturan pelaksanaannya beserta perubahannya.

Pasal 12

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak berlaku atas penghasilan dari usaha
yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan tersendiri.
(2) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap, Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5), serta penghasilan dari jasa sehubungan
dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dan penghasilan yang diterima
atau diperoleh dari luar negeri, dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang
Pajak Penghasilan.

Pasal 13

Tata cara penghitungan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan
Menteri ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 14

Ketentuan lebih lanjut mengenai :


a. bentuk Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan Surat Setoran
Pajak sebagaimana dimaksud pada dalam Pasal 10 ayat (1);
b. bentuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11; dan
c. tata cara pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6,
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 15

(1) Kerugian pada bulan Januari 2013 sampai dengan Juni 2013 dapat dilakukan kompensasi dengan
penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final pada Tahun Pajak berikutnya.
(2) Wajib Pajak yang melakukan kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib
melampirkan laporan rugi laba bulan Januari 2013 sampai dengan Juni 2013 dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2013.

Pasal 16

(1) Ketentuan mengenai pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1), diberlakukan sama dengan mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 46
Tahun 2013.
(2) ketentuan mengenai pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (2) diberlakukan mulai masa pajak Januari 2014.

Pasal 17

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 555

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Juli 2013
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

MUHAMAD CHATIB BASRI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Agustus 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDIN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 984

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15330

www.ortax.org
Peraturan Direktur Jenderal Pajak :
556 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PER - 32/PJ/2013

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 32/PJ/2013

TENTANG

TATA CARA PEMBEBASAN DARI PEMOTONGAN DAN/ATAU PEMUNGUTAN


PAJAK PENGHASILAN BAGI WAJIB PAJAK YANG DIKENAI PAJAK PENGHASILAN
BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN 2013 TENTANG
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU
DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

a. bahwa dalam rangka melaksanakan Pasal 14 huruf c Peraturan Menteri Keuangan Nomor
107/PMK.011/2013 tentang Tata Cara Penghitungan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto
Tertentu;
b. bahwa dalam rangka pengawasan pemenuhan kewajiban Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang dikenai
Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang
Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki
Peredaran Bruto Tertentu;
c. berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Pembebasan dari Pemotongan dan/atau
Pemungutan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang Dikenai Pajak Penghasilan Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha
yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan
Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Tahun 2010 Nomor
161, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5183);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha
yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (Lembaran Negara
Republik Tahun 2013 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5424);
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 tentang Tata Cara Penghitungan, Penyetoran,
dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib
Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PEMBEBASAN DARI PEMOTONGAN DAN/ATAU
PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN BAGI WAJIB PAJAK YANG DIKENAI PAJAK PENGHASILAN BERDASARKAN
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI
USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU.

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini, yang dimaksud dengan :


1. Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu adalah Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan
yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan
atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto
Tertentu.
2. Surat Keterangan Bebas Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang
Memiliki Peredaran Bruto Tertentu yang untuk selanjutnya disebut Surat Keterangan Bebas adalah
surat keterangan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan
dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu dan

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 557

dibebaskan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain yang dapat
dikreditkan.

Pasal 2

Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan
dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final kepada Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 3

(1) Pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberikan oleh Direktur Jenderal Pajak melalui Surat Keterangan
Bebas.
(2) Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keterangan
Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 4

(1) Permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 diajukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib
Pajak menyampaikan kewajiban Surat Pemberitahuan Tahunan dengan syarat:
a. telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak sebelum
Tahun Pajak diajukan permohonan, untuk Wajib Pajak yang telah terdaftar pada Tahun Pajak
sebelum Tahun Pajak diajukannya Surat Keterangan Bebas
b. menyerahkan surat pernyataan yang ditandatangani Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak yang
menyatakan bahwa peredaran bruto usaha yang diterima atau diperoleh termasuk dalam
kriteria untuk dikenai Pajak Penghasilan bersifat final disertai lampiran jumlah peredaran bruto
setiap bulan sampai dengan bulan sebelum diajukannya Surat Keterangan Bebas, untuk Wajib
Pajak yang terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan Tahun Pajak saat diajukannya Surat
Keterangan Bebas;
c. menyerahkan dokumen-dokumen pendukung transaksi seperti Surat Perintah Kerja, Surat
Keterangan Pemenang Lelang dari Instansi Pemerintah, atau dokumen pendukung sejenis
lainnya.
d. ditandatangani oleh Wajib Pajak, atau dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib
Pajak harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
Undang-Undang KUP.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan untuk setiap pemotongan dan/atau
pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 21, Pasal 22, Pasal 22 impor, dan/atau Pasal 23.

Pasal 5

(1) Atas permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus menerbitkan:
a. Surat Keterangan Bebas; atau
b. surat penolakan permohonan Surat Keterangan Bebas,
dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak
belum memberikan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap diterima.
(3) Dalam hal permohonan Wajib Pajak dianggap diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala
Kantor Pelayanan Pajak wajib menerbitkan Surat Keterangan Bebas dalam jangka waktu 2 (dua) hari
kerja setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlewati.

Pasal 6

Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud Pasal 3 berlaku sampai dengan berakhirnya Tahun Pajak yang
bersangkutan.

Pasal 7

(1) Pemotong dan/atau pemungut pajak tidak melakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak
Penghasilan untuk setiap transaksi yang merupakan objek pemotongan dan/atau pemungutan Pajak
Penghasilan yang tidak bersifat final apabila telah menerima fotokopi Surat Keterangan Bebas yang
telah dilegalisasi oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak menyampaikan kewajiban Surat
Pemberitahuan Tahunan.
(2) Permohonan legalisasi fotokopi Surat Keterangan Bebas diajukan secara tertulis kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak menyampaikan kewajiban Surat Pemberitahuan Tahunan dengan

www.ortax.org
558 Edisi PPh Badan | Maret 2017

syarat:
a. menunjukkan Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (1);
b. menyerahkan bukti penyetoran Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang
Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu untuk setiap
transaksi yang akan dilakukan dengan pemotong dan/atau pemungut berupa Surat Setoran
Pajak lembar ke-3 yang telah mendapat validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara,
kecuali untuk transaksi yang dikenai pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas:
1) impor;
2) pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;
3) pembelian hasil produksi industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif
dan industri farmasi;
4) pembelian kendaraan bermotor di dalam negeri;
c. mengisi identitas Wajib Pajak pemotong dan/atau pemungut Pajak Penghasilan dan nilai
transaksi pada kolom yang tercantum dalam Surat Keterangan Bebas.
d. ditandatangani oleh Wajib Pajak, atau dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib
Pajak harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
Undang-Undang KUP.
(3) Fotokopi Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan dalam rangkap 3
(tiga), yaitu:
a. satu lembar untuk Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak menyampaikan kewajiban Surat
Pemberitahuan Tahunan;
b. satu lembar untuk diserahkan Wajib Pajak kepada Wajib Pajak pemotong dan/atau pemungut;
c. satu lembar untuk diserahkan kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat pemotong dan/atau
pemungut terdaftar
(4) Legalisasi fotokopi Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam
jangka waktu 1 (satu) hari kerja sejak permohonan legalisasi diterima lengkap.
(5) Legalisasi fotokopi Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diberikan
apabila persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terpenuhi.

Pasal 8

Bentuk formulir untuk:


(1) permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud pada Pasal 4 menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I;
(2) surat pernyataan dari Wajib Pajak yang menyatakan bahwa peredaran bruto usaha yang diterima atau
diperoleh termasuk dalam kriteria untuk dikenai Pajak Penghasilan bersifat final sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf b menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II
(3) Surat Keterangan Bebas untuk pemotongan dan/atau pemungutan PPh Pasal 21/Pasal 22/Pasal 23
menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran III;
(4) Surat Keterangan Bebas untuk pemotongan dan/atau pemungutan PPh Pasal 22 impor menggunakan
formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV;
(5) Surat penolakan permohonan Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
dibuat menggunakan formulir sebagaimana Lampiran V;
(6) permohonan legalisasi fotokopi Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (2)
menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran VI,
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 9

(1) Setelah Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, permohonan pembebasan dari pemotongan
dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain bagi Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran
Bruto Tertentu diajukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
(2) Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor
PER-1/PJ/2011 bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang diterbitkan sebelum
berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, tetap berlaku sampai dengan akhir Tahun pajak
bersangkutan.

Pasal 10

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 September 2013
DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd.

www.ortax.org
Pasal 10
Edisi PPh Badan | Maret 2017 559
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 September 2013
DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd.

A. FUAD RAHMANY

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15357

www.ortax.org
Peraturan Direktur Jenderal Pajak :
560 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PER - 37/PJ/2013

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 37/PJ/2013

TENTANG

TATA CARA PENYETORAN PAJAK PENGHASILAN


ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH
WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU
MELALUI ANJUNGAN TUNAI MANDIRI (ATM)

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak orang pribadi dan badan yang memiliki peredaran
bruto tertentu, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Penyetoran Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran
Bruto Tertentu Melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM);

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha
yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 no 106, Tambahan Lembahan Negara Republik Indonesia 5424);
4. Peraturan Pemerintah nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan
Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 162, Tambahan
Lembahan Negara Republik Indonesia 5268);
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 tentang Tata Cara Penghitungan, Penyetoran
dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib
Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu;
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo
Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, Penentuan Tanggal Jatuh
Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara
Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan
Pembayaran Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
80/PMK. 03/2010;
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.06/2006 tentang Modul Penerimaan Negara sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37/PMK.05/2007;
8. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-148/PJ/2007 tentang Pelaksanaan Modul Penerimaan
Negara;
9. Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-78/PB/2006 tentang Penatausahaan
Penerimaan Negara Melalui Modul Penerimaan Negara sebagaimana diubah dengan Peraturan Direktur
Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-25/PB/2012;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PENYETORAN PAJAK PENGHASILAN ATAS
PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN
BRUTO TERTENTU MELALUI ANJUNGAN TUNAI MANDIRI (ATM)

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan:


1. Wajib Pajak adalah Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang dikenai Pajak Penghasilan
yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013
tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang
Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
2. Pajak Penghasilan adalah Pajak Penghasilan yang dikenakan kepada Wajib Pajak yang memiliki
peredaran bruto tertentu dan bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 561
Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
3. Bukti Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat BPN adalah dokumen yang diterbitkan oleh Bank
Persepsi atas transaksi penerimaan Negara dengan teraan NTPN dan NTB.
4. Modul Penerimaan
Diterima Negara
atau Diperoleh yangPajak
Wajib selanjutnya disingkat
yang Memiliki MPN adalah
Peredaran Brutomodul penerimaan yang memuat
Tertentu.
3. serangkaian prosedur
Bukti Penerimaan mulai
Negara dariselanjutnya
yang penerimaan, penyetoran,
disingkat pengumpulan
BPN adalah dokumen data,
yangpencatatan,
diterbitkan oleh Bank
pengikhtisaran sampai dengan
Persepsi atas transaksi pelaporan
penerimaan yang
Negara berhubungan
dengan dengan
teraan NTPN dan penerimaan
NTB. Negara dan
4. merupakan bagian Negara
Modul Penerimaan dari Sistem
yangPenerimaan
selanjutnyadan Anggaran
disingkat MPNNegara.
adalah modul penerimaan yang memuat
5. ATM adalah Anjungan
serangkaian Tunai dari
prosedur mulai Mandiri.
penerimaan, penyetoran, pengumpulan data, pencatatan,
pengikhtisaran sampai dengan pelaporan yang berhubungan dengan penerimaan Negara dan
merupakan bagian dari Sistem Penerimaan dan Anggaran Negara.
5. ATM adalah Anjungan Tunai Mandiri. Pasal 2

Wajib Pajak dapat melakukan penyetoran Pajak Penghasilan melalui ATM pada Bank Persepsi yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan. Pasal 2

Wajib Pajak dapat melakukan penyetoran Pajak Penghasilan melalui ATM pada Bank Persepsi yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan. Pasal 3

(1) Penyetoran Pajak Penghasilan melalui ATM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan dengan
memasukkan NPWP, Masa Pajak dan jumlah nominal
Pasal 3 Pajak Penghasilan yang akan dibayar.
(2) Atas penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak menerima BPN dalam bentuk cetakan
(1) struk ATM. Pajak Penghasilan melalui ATM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan dengan
Penyetoran
(3) Dalam hal terdapat
memasukkan NPWP,kendala padadan
Masa Pajak mesin ATM nominal
jumlah sehinggaPajak
BPN Penghasilan
sebagaimanayang
dimaksud pada ayat (2) tidak
akan dibayar.
(2) dapat tercetak atau
Atas penyetoran tercetak namun
sebagaimana tidakpada
dimaksud dapat dibaca,
ayat Wajib Pajak
(1), Wajib Pajak menerima
dapat meminta cetak ulang
BPN dalam bentukBPN
cetakan
di kantor
struk ATM.cabang Bank Persepsi terdekat.
(4)
(3) Prosedur
Dalam halcetak ulang
terdapat BPN sebagaimana
kendala pada mesin dimaksud padaBPN
ATM sehingga ayatsebagaimana
(3) disesuaikan denganpada
dimaksud prosedur pada
ayat (2) tidak
Bank
dapatPersepsi
tercetak yang
atau bersangkutan.
tercetak namun tidak dapat dibaca, Wajib Pajak dapat meminta cetak ulang BPN
di kantor cabang Bank Persepsi terdekat.
(4) Prosedur cetak ulang BPN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disesuaikan dengan prosedur pada
Bank Persepsi yang bersangkutan. Pasal 4

(1) BPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, termasuk cetakan ulang dan salinannya, merupakan sarana
administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan Surat Setoran Pajak dalam rangka
Pasal 4
pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2)
(1) Apabila terdapat perbedaan
BPN sebagaimana dimaksud antara
dalam data
Pasalpembayaran
3, termasuk yang tertera
cetakan dalam
ulang BPN denganmerupakan
dan salinannya, data sarana
pembayaran menurut
administrasi lain yang MPN, maka yang
kedudukannya dianggap dengan
disamakan sah adalah data
Surat pembayaran
Setoran menurut
Pajak dalam MPN.
rangka
(3) BPN sebagaimana
pelaksanaan dimaksud
ketentuan dalamperundang-undangan
peraturan Pasal 3 setidak-tidaknya mencantumkan elemen-elemen sebagai
perpajakan.
(2) berikut:
Apabila terdapat perbedaan antara data pembayaran yang tertera dalam BPN dengan data
a.
pembayaranNomor Transaksi
menurut Penerimaan
MPN, maka yangNegara (NTPN);
dianggap sah adalah data pembayaran menurut MPN.
(3) b. Nomor Transaksi
BPN sebagaimana Bank
dimaksud (NTB);
dalam Pasal 3 setidak-tidaknya mencantumkan elemen-elemen sebagai
c.
berikut: Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
d.
a. Nama
NomorWajib Pajak;
Transaksi Penerimaan Negara (NTPN);
e.
b. Kode
NomorAkun Pajak;Bank (NTB);
Transaksi
f.
c. Kode
NomorJenis
PokokSetoran;
Wajib Pajak (NPWP);
g.
d. Masa
NamaPajak;
Wajib Pajak;
h.
e. Tahun Pajak;
Kode Akun Pajak;
i.
f. Tanggal transaksi;
Kode Jenis Setoran;dan
j.
g. Jumlah nominal pembayaran.
Masa Pajak;
h. Tahun Pajak;
i. Tanggal transaksi; dan
j. Jumlah nominal pembayaran. Pasal 5

Penyetoran Pajak Penghasilan melalui ATM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diadministrasikan sebagai
penerimaan Negara dengan Kode Akun Pajak 411128 (PPh5 Final) dan Kode Jenis Setoran 420 (PPh Final Pasal 4
Pasal
ayat (2) atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto
Tertentu).
Penyetoran Pajak Penghasilan melalui ATM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diadministrasikan sebagai
penerimaan Negara dengan Kode Akun Pajak 411128 (PPh Final) dan Kode Jenis Setoran 420 (PPh Final Pasal 4
ayat (2) atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto
Tertentu). Pasal 6

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Pasal 6

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Oktober 2013
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Ditetapkan di Jakarta
ttd.
pada tanggal 30 Oktober 2013
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
A. FUAD RAHMANY
ttd.

A. FUAD RAHMANY
Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15383

www.ortax.org
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak :
562 Edisi PPh Badan | Maret 2017 SE - 42/PJ/2013

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
____________________________________________________________________________________________
2 September 2013

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 42/PJ/2013

TENTANG

PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK


PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH
WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. Umum

Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki
Peredaran Bruto Tertentu dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 tentang Tata Cara
Penghitungan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima
atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, perlu diterbitkan Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak sebagai acuan dalam pelaksanaan ketentuan penerapan tarif Pajak Penghasilan
bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.

B. Maksud dan Tujuan

1. Penerbitan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini dimaksudkan untuk memberikan acuan
dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang memiliki
peredaran bruto tertentu.

2. Penerbitan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini bertujuan agar pelaksanaan ketentuan
Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dapat berjalan
dengan baik dan terdapat keseragaman dalam pelaksanaannya.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini meliputi Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib
Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap yang menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk
penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.

D. Dasar

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 tentang Tata Cara Penghitungan,
Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau
Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

E. Materi

1. Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran
bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.

2. Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria
sebagai berikut:
a. Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap;
dan
b. menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan
dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.

3. Peredaran bruto yang tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 563

rupiah) pada butir 2 huruf b ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha seluruhnya,
termasuk dari usaha cabang, tidak termasuk peredaran bruto dari:
a. jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
b. penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri;
c. usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
d. penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.

4. Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan
kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:
a. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap
maupun tidak menetap; dan
b. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak
diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.

5. Tidak termasuk Wajib Pajak badan adalah:


a. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
b. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara
komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah).

6. Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif 1% (satu persen) dikalikan dengan dasar
pengenaan pajak berupa jumlah peredaran bruto setiap bulan, untuk setiap tempat kegiatan
usaha.

7. Pengenaan Pajak Penghasilan didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun
dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan.

8. Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran
bruto tertentu yang berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan peraturan
pelaksanaannya wajib dilakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang
tidak bersifat final, dapat dibebaskan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan
oleh pihak lain dengan tata cara sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak
yang mengatur mengenai pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak
Penghasilan oleh pihak lain.

9. Wajib Pajak yang hanya menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final, tidak diwajibkan melakukan pembayaran angsuran pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

10. Wajib Pajak wajib menyetor Pajak Penghasilan terutang sebagaimana dimaksud pada butir 6
ke kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan Surat Setoran Pajak,
yang telah mendapat validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN), paling lama
tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

11. Wajib Pajak yang melakukan pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada
butir 10 wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan paling lama
20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.

12. Wajib Pajak yang telah melakukan penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada
butir 10 dianggap telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud pada butir 11, sesuai dengan tanggal validasi NTPN yang tercantum
pada Surat Setoran Pajak.

13. Ketentuan mengenai pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud pada butir 11 diberlakukan mulai Masa Pajak Januari 2014.

F. Hal-Hal Khusus Terkait Pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final

Hal-hal yang perlu diperhatikan terkait dengan pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final diatur
sebagai berikut:
1. Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi setiap tempat usaha di Kantor Pelayanan Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi tempat usaha Wajib Pajak dan di Kantor Pelayanan Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak.

2. Penentuan peredaran bruto untuk dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final bagi Wajib
Pajak badan yang baru beroperasi secara komersial untuk pertama kali ditentukan berdasarkan
peredaran bruto dari usaha 1 (satu) Tahun Pajak setelah Tahun Pajak beroperasi secara
komersial, pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final selanjutnya untuk Wajib Pajak yang
bersangkutan ditentukan berdasarkan peredaran bruto Tahun Pajak sebelumnya.

www.ortax.org
564 Edisi PPh Badan | Maret 2017

3. Wajib Pajak wajib menyetor Pajak Penghasilan yang bersifat final ke kantor pos atau bank yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana
administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak dengan mengisi Kode Akun Pajak
411128 dan Kode Jenis Setoran 420 sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Direktur
Jenderal Pajak yang mengatur mengenai Bentuk Formulir Surat Setoran Pajak.

4. Wajib Pajak yang menyetor Pajak Penghasilan yang bersifat final tetapi Surat Setoran Pajaknya
tidak mendapat validasi dengan NTPN, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Penghasilan Pasal 4 ayat (2) ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai tempat kegiatan usaha Wajib
Pajak terdaftar dengan mengisi baris pada angka 11 formulir Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Penghasilan Pasal 4 ayat (2):
a. kolom Uraian diisi dengan "Penghasilan Usaha WP yang Memiliki Peredaran Bruto
Tertentu";
b. kolom KAP/KJS diisi dengan "411128/420".

5. Wajib Pajak dengan jumlah Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) nihil tidak wajib melaporkan
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2).

6. Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dengan
peredaran bruto tertentu yang disetor tidak menggunakan Kode Akun Pajak 411128 dan Kode
Jenis Setoran 420 dapat diajukan permohonan pemindahbukuan oleh Wajib Pajak ke setoran
Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) dengan Kode Akun Pajak 411128 dan Kode Jenis Setoran
420, sesuai dengan ketentuan mengenai tata cara pembayaran pajak melalui pemindahbukuan.

7. Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran
bruto tertentu, yang dipotong dan/atau dipungut oleh pihak lain diatur sebagai berikut:
a. atas pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh bendahara pemerintah dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak yang telah diisi atas nama rekanan:
1) dapat diajukan permohonan pemindahbukuan ke setoran Pajak Penghasilan
Pasal 4 ayat (2) sesuai dengan ketentuan mengenai tata cara pembayaran
pajak melalui pemindahbukuan; atau
2) dapat diajukan permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak
terutang sesuai dengan ketentuan mengenai tata cara pengembalian atas
kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang; atau
3) dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk Tahun Pajak yang
bersangkutan.
b. atas pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain dengan
bukti pemotongan dan/atau pemungutan, termasuk pemungutan Pajak Penghasilan
Pasal 22 atas import
1) dapat diajukan permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak
terutang sesuai dengan ketentuan mengenai tata cara pengembalian atas
kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang; atau
2) dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk Tahun Pajak yang
bersangkutan.

8. Permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak
lain sebagaimana dimaksud dalam huruf E butir 8 dapat diajukan sesuai dengan ketentuan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2011 tentang Tata Cara Pengajuan
Permohonan Pembebasan dari Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan oleh Pihak
Lain, sampai dengan ditetapkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak yang mengatur
mengenai tata cara pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan
bagi Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau
Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

9. Angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan


untuk Masa Pajak Juli 2013 sampai dengan Desember 2013 bagi Wajib Pajak yang memiliki
peredaran bruto tertentu yang juga menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai Pajak
Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan, dapat mengajukan
pengurangan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sesuai dengan ketentuan yang mengatur
mengenai penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan dalam hal-hal tertentu.

10. Atas penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final menurut
ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan pada kelompok penghasilan yang dikenai pajak final dan/atau
bersifat final pada:
a. lampiran III bagian A butir 14 (Penghasilan Lain yang Dikenakan Pajak Final dan/atau
Bersifat Final, Formulir 1770-III) bagi Wajib Pajak orang pribadi;
b. lampiran IV bagian A butir 16 dengan mengisi "Penghasilan Usaha WP yang Memiliki
Peredaran Bruto Tertentu" (Formulir 1771-1V) bagi Wajib Pajak badan.

11. Penghitungan untuk pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 565

2013:
a. peredaran usaha dihitung berdasarkan seluruh peredaran usaha selama Tahun Pajak
2013, tidak termasuk peredaran usaha pada Masa Pajak Juli 2013 sampai dengan
Desember 2013 yang dikenai Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2);
b. bagi Wajib Pajak orang pribadi, untuk menentukan Penghasilan Kena Pajak dikurangi
terlebih dahulu dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak setahun;
c. angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan Masa Pajak
Januari 2013 sampai dengan Juni 2013 dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang
terutang untuk Tahun Pajak yang bersangkutan.

G. Penghapusan Sanksi Administrasi

1. Sehubungan dengan tujuan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 adalah:


a. memberikan kemudahan dan penyederhanaan aturan perpajakan;
b. mengedukasi masyarakat untuk tertib administrasi;
c. mengedukasi masyarakat untuk transparansi; dan
d. memberikan kesempatan masyarakat untuk berkontribusi dalam penyelenggaraan
Negara;
dipandang perlu memberikan keringanan atas sanksi yang dikenakan terhadap Wajib Pajak
yang memiliki peredaran bruto tertentu atas pemenuhan kewajiban penyetoran Pajak
Penghasilan Pasal 4 ayat (2) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013.

2. Berdasarkan pertimbangan pada butir 1, kepada Kepala Kanwil DJP agar menghapuskan sanksi
administrasi Pasal 9 ayat (2a) Undang-Undang KUP dalam Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan
untuk Masa Pajak Juli sampai dengan Desember 2013.

H. Penutup

Mengingat penerapan ketentuan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud Peraturan Pemerintah


Nomor 46 Tahun 2013 mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2013, dengan ini diinstruksikan:
1. Kepala Kantor Wilayah, Kepala Kantor Pelayanan Pajak, dan Kepala Kantor Pelayanan,
Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan untuk melakukan sosialisasi Peraturan Pemerintah
Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima
atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu dan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 tentang Tata Cara Penghitungan, Penyetoran, dan
Pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib
Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu kepada Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib
Pajak badan sebagaimana dimaksud yang berada di wilayah kerja masing-masing.

2. Dalam rangka pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan Pajak Penghasilan bagi Wajib
Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu:
a. Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak diadministrasikan melakukan:
1) kegiatan ekstensifikasi dengan memanfaatkan data hasil Sensus Pajak Nasional
(SPN) Tahun 2011 dan 2012, serta melalui pelaksanaan SPN Tahun 2013 untuk
tempat-tempat usaha yang memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang
memiliki peredaran bruto tertentu di wilayah kerjanya masing-masing;
2) himbauan kepada Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu untuk
melaksanakan kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2)
setiap bulan untuk setiap tempat kegiatan usaha;
3) pemanfaatan alat keterangan yang diterima dan membandingkannya dengan
data Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang disampaikan Wajib
Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang bersangkutan;
4) pengawasan terhadap Wajib Pajak mengenai pemenuhan syarat pengenaan
Pajak Penghasilan, yaitu sebesar 1% (satu persen) bersifat final sesuai
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 atau sesuai tarif dalam Pasal 17
Undang-Undang;
5) pengawasan terhadap kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 4
ayat (2) Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang mendapat
Surat Keterangan Bebas untuk dibebaskan dari pemotongan dan/atau
pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain;
6) pengiriman alat keterangan ke Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat-tempat usaha Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai
Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.
b. Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat-tempat usaha Wajib
Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu melakukan:
1) kegiatan ekstensifikasi dengan memanfaatkan data hasil Sensus Pajak Nasional
(SPN) Tahun 2011 dan 2012, serta melalui pelaksanaan SPN Tahun 2013 untuk
tempat-tempat usaha yang memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang
memiliki peredaran bruto tertentu di wilayah kerjanya masing-masing;
2) himbauan kepada Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu untuk

www.ortax.org
566 Edisi PPh Badan | Maret 2017

melaksanakan kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2)


setiap bulan untuk setiap tempat kegiatan usaha;
3) pengawasan terhadap kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 4
ayat (2) Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang mendapat
Surat Keterangan Bebas untuk dibebaskan dari pemotongan dan/atau
pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain;
4) pengiriman alat keterangan atas pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 4
ayat (2) Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu kepada Kantor
Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak diadministrasikan.
c. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak diminta untuk melakukan pengawasan atas
pelaksanaan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) bagi Wajib Pajak yang
memiliki Peredaran Bruto Tertentu oleh Kantor Pelayanan Pajak yang berada di wilayah
kerjanya.

Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 September 2013
DIREKTUR JENDERAL,

ttd

A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001

Tembusan :
1. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak
2. Para Direktur di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
3. Para Tenaga Pengkaji di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
4. Kepala Pusat Pengolahan Data dan Dokumentasi Perpajakan

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15349

www.ortax.org
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak :
SE - 32/PJ/2014 Edisi PPh Badan | Maret 2017 567

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
____________________________________________________________________________________________
17 September 2014

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 32/PJ/2014

TENTANG

PENEGASAN PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN 2013


TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU
DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. Umum

Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan terkait pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46


Tahun 2013 (PP 46 Tahun 2013) tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima
atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, perlu ditetapkan Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak sebagai acuan dalam pelaksanaan ketentuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak
yang memiliki peredaran bruto tertentu.

B Maksud dan Tujuan

1. Penetapan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini dimaksudkan untuk memberikan acuan
dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang memiliki
peredaran bruto tertentu.
2. Penetapan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini bertujuan agar pelaksanaan ketentuan Pajak
Penghasilan bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dapat berjalan dengan
baik dan terdapat keseragaman dalam pelaksanaannya.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini meliputi Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib
Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap yang menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk
penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi
Rp4.800.000.000.00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.

D. Dasar

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 tentang Tata Cara Penghitungan,
Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau
Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-37/PJ/2013 tentang Tata Cara Penyetoran Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang
Memiliki Peredaran Bruto Tertentu Melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM);
6. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-42/PJ/2013 tentang Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang
Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

E. Materi

1. Penghasilan yang dikenai PP 46 Tahun 2013.


a. Berdasarkan memori penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan
dijelaskan bahwa aliran penghasilan bagi Wajib Pajak dapat dikelompokkan menjadi:
1) penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti
gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan,
pengacara, dan sebagainya;
2) penghasilan dari usaha dan kegiatan,
3) penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak,
seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau

www.ortax.org
568 Edisi PPh Badan | Maret 2017

hak yang tidak dipergunakan untuk usaha;dan


4) penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.

b. Dengan demikian penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan PP 46


Tahun 2013 adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha,
kecuali:
1) penghasilan yang diterima atau diperoleh dari jasa sehubungan pekerjaan
bebas sebagaimana dimaksud dalam PP 46 Tahun 2013;
2) penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri;
3) penghasilan yang telah dikenai Pajak Penghasilan yang barsifat final dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
4) penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.

2. Penentuan saat beroperasi secara komersial bagi Wajib Pajak badan.


a. Penentuan saat beroperasi secara komersial sebagaimana dimaksud dalam PP 46
Tahun 2013 bagi Wajib Pajak badan adalah saat Wajib Pajak melakukan kegiatan
operasi secara komersial untuk pertama kali bagi Wajib Pajak yang bergerak di sektor:
1) jasa, adalah saat pertama kali dilakukannya penjualan jasa dan/atau saat
diterima atau diperolehnya pendapatan/penghasilan; dan/atau
2) dagang dan industri, adalah saat pertama kali dilakukannya penjualan barang
dan/atau saat diterima atau diperolehnya pendapatan/penghasilan.

b. Penentuan peredaran bruto untuk dikenakan Pajak Penghasilan yarg bersifat final
berdasarkan PP 46 Tahun 2013 bagi Wajib Pajak badan yang baru beroperasi secara
komersial untuk pertama kali, ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha
dalam 1 (satu) Tahun Pajak setelah Tahun Pajak beroperasi secara komersial.

c. Wajib Pajak badan yang baru beroperasi secara komersial sebagaimana dimaksud pada
huruf b dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak
Penghasilan sampai dengan jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara
komersial.

d. Dalam hal jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial sebagaimana
dimaksud pada huruf c melewati Tahun Pajak saat beroperasi secara komersial,
ketentuan pengenaan Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak
Penghasilan dimaksud berlaku sampai dengan akhir Tahun Pajak berikutnya setelah
Tahun Pajak saat beroperasi secara komersial.

e. Pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan PP 46 Tahun 2013 bagi
Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud pada huruf b untuk Tahun Pajak selanjutnya,
ditentukan berdasarkan peredaran bruto Tahun Pajak sebelumnya.

f. Contoh:
1) Wajib Pajak badan dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru
beroperasi secara komersial pada tanggal 1 Juli 2013. Karena baru beroperasi
secara komersial, maka Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan
tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2013 dan
Tahun Pajak 2014 (jangka waktu 1 tahun sejak beroperasi secara komersial
1 Juli 2013 sampai dengan 30 Juni 2014 dan diteruskan sampai dengan
31 Desember 2014). Untuk pengenaan Pajak Penghasilan pada Tahun Pajak
2015 memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2014.
2) Wajib Pajak badan dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru
beroperasi secara komersial pada tanggal 1 Januari 2013. Karena baru
beroperasi secara komersial, maka Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan
berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak
2013 (jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial
1 Januari 2013 sampai dengan 31 Desember 2013). Untuk pengenaan Pajak
Penghasilan pada Tahun Pajak 2014 memperhatikan besarnya peredaran bruto
Tahun Pajak 2013.
3) Wajib Pajak badan dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru
beroperasi secara komersiai pada tanggal 2 Januari 2013. Karena baru
beroperasi secara komersial, maka Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan
berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak
2013 dan Tahun Pajak 2014 (jangka waktu 1 tahun sejak beroperasi secara
komersial 2 Januari 2013 sampai dengan 1 Januari 2014 dan diteruskan
sampai dengan 31 Desember 2014). Untuk pengenaan Pajak Penghasilan pada
Tahun Pajak 2015 memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2014.
4) Wajib Pajak badan dengan tahun buku sama dengan tahun takwim, baru
beroperasi secara komersial pada tanggal 1 Agustus 2013. Karena baru
beroperasi secara komersial, maka Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan
berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak
2013 dan Tahun Pajak 2014 (jangka waktu 1 tahun sejak beroperasi secara
komersial 1 Agustus 2013 sampai dengan 31 Juli 2014 dan diteruskan sampai

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 569

dengan 31 Desember 2014). Untuk pengenaan Pajak Penghasilan pada Tahun


Pajak 2015 memperhatikan besarnya peredaran bruto Tahun Pajak 2014.

3. Perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam
bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan.
a. Atas sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak
dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah
terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk
sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan,
dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut
bukan merupakan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf m
Undang-Undang Pajak Penghasilan

b. Dalam hal ketentuan persyaratan penanaman kembali sisa lebih sebagaimana dimaksud
pada huruf a tidak terpenuhi, maka atas sisa lebih tersebut merupakan objek pajak
yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang Pajak
Penghasilan.

c. Dengan demikian perlakuan perpajakan bagi Wajib Pajak badan atau lembaga nirlaba
yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan
mengacu pada ketentuan umum Undang-Undang Pajak Penghasilan.

4. Perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak reksa dana.


a. Reksa dana adalah suatu bentuk kegiatan usaha yang melakukan penghimpunan dana
dari masyarakat pemodal, untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek oleh
manajer investasi yang dapat berbentuk perseroan atau kontrak investasi kolektif
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal.

b. Berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka aliran penghasilan


yang diperoleh Wajib Pajak reksa dana termasuk dalam kategori penghasilan yang
berasal dari usaha sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang Pajak Penghasilan. Sehingga, dalam hal Wajib Pajak reksa dana
memenuhi kriteria PP 46 Tahun 2013, maka Wajib Pajak reksa dana dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final sesuai PP 46 Tahun 2013 beserta ketentuan
pelaksanaannya.

5. Perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak bank/bank perkreditan rakyat/koperasi simpan
pinjam/lembaga pemberi dana pinjaman.
a. Bagi Wajib Pajak bank/bank perkreditan rakyat/koperasi simpan pinjam/lembaga
pemberi dana pinjaman yang memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang dikenai Pajak
Penghasilan berdasarkan PP 46 Tahun 2013, atas penghasilan dari usaha yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan bersifat final sebesar 1% (satu
persen) dari jumlah peredaran bruto setiap bulan.

b. Peredaran bruto yang menjadi dasar pengenaan pajak bagi Wajib Pajak bank/bank
perkreditan rakyat/koperasi simpan pinjam/lembaga pemberi dana pinjaman adalah
jumlah seluruh penghasilan usaha jasa perbankan/peminjaman, antara lain:
1) pendapatan bunga, fee, komisi, dan seluruh penghasilan yang terkait dengan
pemberian kredit/pinjaman, tidak termasuk pembayaran pokok kredit/pinjaman;
2) penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan atas simpanan di bank lain,
serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia.

c. Dalam hal Wajib Pajak bank/bank perkreditan rakyat/koperasi simpan pinjam/lembaga


pemberi dana pinjaman tidak memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang dikenai Pajak
Penghasilan berdasarkan PP 46 Tahun 2013, atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak
dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang Pajak
Penghasilan.

6. Perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (Wajib Pajak
OPPT).
a. Bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha yang memiliki peredaran bruto tidak
melebihi Rp4 800.000.000.00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu)
Tahun Pajak yang memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak OPPT dan kriteria sebagai
Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan PP 46 Tahun 2013, atas
penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi
pengusaha tersebut dikenai Pajak Penghasilan bersifat final sebesar 1% (satu persen)
dari jumlah peredaran bruto setiap bulan.

b. Bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha yang memiliki peredaran bruto melebihi
Rp4.800.000.000.00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun
Pajak dan memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak OPPT, maka pengenaan Pajak
Penghasilan bagi Wajib Pajak tersebut mengacu pada ketentuan tarif umum

www.ortax.org
570 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Undang-Undang Pajak Penghasilan dan pembayaran angsuran pajaknya mengacu pada


ketentuan Pasat 25 ayat (7) Undang-Undang Pajak Penghasilan yaitu sebesar 0,75%
dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat kegiatan usaha.

7. Perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
a. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah, ditegaskan bahwa Wajib Pajak orang pribadi yang berprofesi
sebagai PPAT :
1) mempunyai persamaan kewenangan dengan Notaris, yaitu merupakan pejabat
umum yang diberikan kewenangan membuat akta otentik tertentu yakni akta
yang berkaitan dengan dengan pertanahan; dan
2) dapat dipersamakan dengan notaris sebagai Wajib Pajak orang pribadi yang
melakukan pekerjaan bebas.

b. Dengan demikian perlakuan perpajakan bagi Wajib Pajak PPAT mengacu pada
ketentuan umum Undang-Undang Pajak Penghasilan.

8. Penegasan kembali ketentuan penyetoran dan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak
Penghasilan Pasal 4 ayat (2) bagi Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat
final berdasarkan PP 46 Tahun 2013
a. Wajib Pajak wajib menyetor Pajak Penghasilan terutang ke kas negara melalui:
1) kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP);
2) Anjungan Tunai Mandiri (ATM) bank-bank tertentu Wajib Pajak menerima Bukti
Penerimaan Negara (BPN) dengan teraan Nomor Transaksi Penerimaan Negara
(NTPN) dalam bentuk catakan struk ATM yang kedudukannya disamakan
dengan SSP;
paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

b. Wajib Pajak yang melakukan pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud


pada huruf a wajib menyampaikan SPT Masa Pajak Penghasilan paling lama 20 (dua
puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.

c. Ketentuan mengenai pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan


sebagaimana dimaksud pada huruf b diberlakukan mulai Masa Pajak Januari 2014,
sehingga stas keterlambatan pelaporan (sesuai tanggal validasi NTPN) masa
Juli-Desember 2013 tidak dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar
Rp.100.000.00 (seratus ribu rupiah).

d. Wajib Pajak yang telah melakukan penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana


dimaksud pada huruf a dan lelah mendapatkan validasi NTPN, dianggap telah
menyampaikan SPT Masa Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf b,
dengan tanggal pelaporan sesuai tanggal NTPN yang tercantum pada SSP atau cetakan
struk ATM.

e. Wajib Pajak dengan Jumlah Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) nihil tidak wajib
melaporkan SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) sebagaimana dimaksud pada
huruf b.

F. Penutup

Agar pelaksanaan pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan PP 46 Tahun 2013
sebagaimana ditegaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini dapat berjalan dengan baik,
dengan ini para:
1. Kepala Kantor Wilayah diminta untuk melakukan pengawasan dan sosialisasi Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak ini di lingkungan wilayah kerja masing-masing.
2. Kepala Kantor Pelayanan Pajak dan Kepala Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi
Perpajakan diminta untuk melakukan sosialisasi dan pengawasan pelaksanaan PP 46 Tahun 2013
yang dilakukan oleh Wajib Pajak.

Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 September 2014
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001

Tembusan:
1. Sekretaris Direktorat Jenderal Paiak www.ortax.org
2. Para Direktur di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
Edisi PPh Badan | Maret 2017 571
A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001

Tembusan:
1. Sekretaris Direktorat Jenderal Paiak
2. Para Direktur di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
3. Para Tenaga Pengkaji di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
4. Kepala Pusat Pengolahan Data dan Dokumentasi Perpajakan

Status :
Surat Edaran Dirjen Pajak - SE - 32/PJ/2014 Diralat oleh Surat Edaran Dirjen Pajak - SE -
38 /PJ/2014, Tanggal 22 Okt 2014

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15596

www.ortax.org
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak :
572 Edisi PPh Badan | Maret 2017 SE - 38 /PJ/2014

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
____________________________________________________________________________________________
22 Oktober 2014

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 38 /PJ/2014

TENTANG

RALAT SURAT EDARAN NOMOR SE-32/PJ/2014 TENTANG PENEGASAN PELAKSANAAN


PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS
PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG
MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan adanya kekeliruan pada isi Surat Edaran Nomor SE-32/PJ/2014 tentang Penegasan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari
Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, dengan ini dilakukan
ralat dalam huruf E angka 5 huruf b sebagai berikut:

Huruf E angka 5 huruf b:

Tertulis:
" Peredaran bruto yang menjadi dasar pengenaan pajak bagi Wajib Pajak bank/bank perkreditan rakyat/
koperasi simpan pinjam/lembaga pemberi dana pinjaman adalah jumlah seluruh penghasilan usaha jasa
perbankan/peminjaman, antara lain;
1) pendapatan bunga, fee, komisi, dan seluruh penghasilan yang terkait dengan pemberian kredit/
pinjaman, tidak termasuk pembayaran pokok kredit/pinjaman;
2) penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan atas simpanan di bank lain, serta diskonto Sertifikat
Bank Indonesia."

Seharusnya;
" Peredaran bruto yang menjadi dasar pengenaan pajak bagi Wajib Pajak bank/bank perkreditan rakyat/
koperasi simpan pinjam/lembaga pemberi dana pinjaman adalah jumlah seluruh penghasilan usaha jasa
perbankan/peminjaman, antara lain:
1) pendapatan bunga, fee, komisi, dan seluruh penghasilan yang terkait dengan pemberian kredit/
pinjaman, tidak termasuk pembayaran pokok kredit/pinjaman;
2) penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan atas simpanan di bank lain, serta diskonto Sertifikat
Bank Indonesia, kecuali bagi Wajib Pajak selain bank/bank perkreditan rakyat."

Untuk lebih memudahkan penggunaan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini, dianjurkan agar pengarsipannya
disatukan dengan Surat Edaran Nomor SE-32/PJ/2014 tentang Penegasan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Nomor 46 Tahun 2013 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh
Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

Dengan ralat ini maka kekeliruan tersebut telah dibetulkan. Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan
sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Oktober 2014
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001

Tembusan:
1. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak
2. Para Direktur di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
3. Para Tenaga Pengkaji di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
4. Kepala Pusat Pengolahan Data dan Dokumentasi Perpajakan

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15613

www.ortax.org
BUKTI
Potong
574 Edisi PPh Badan | Maret 2017

No Nomor Dokumen Tanggal Ditetapkan Perihal


1. 12/PMK.03/2017 7 Februari 2017 Bukti Pemotongan Dan/Atau Pemungutan Pajak Penghasilan

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
12/PMK.03/2017 Edisi PPh Badan | Maret 2017 575

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 12/PMK.03/2017

TENTANG

BUKTI PEMOTONGAN DAN/ATAU PEMUNGUTAN


PAJAK PENGHASILAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa sesuai ketentuan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan, pajak yang diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun pajak, dilunasi oleh Wajib Pajak
dalam tahun pajak berjalan melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain, serta
pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri;
b. bahwa dalam rangka lebih memberikan kepastian hukum dan kejelasan pemotongan dan/atau
pemungutan pajak oleh pihak lain sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu mengatur ketentuan
mengenai bukti pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Keuangan tentang Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan;

Mengingat :

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG BUKTI PEMOTONGAN DAN/ATAU PEMUNGUTAN PAJAK


PENGHASILAN.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:


1. Pemotong dan/atau Pemungut Pajak Penghasilan adalah Wajib Pajak yang berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan diwajibkan untuk melakukan pemotongan dan/atau
pemungutan Pajak Penghasilan.
2. Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Bukti Pemotongan PPh adalah dokumen
berupa formulir atau dokumen lain yang dipersamakan, yang dibuat oleh Pemotong Pajak Penghasilan
sebagai bukti atas pemotongan Pajak Penghasilan yang dilakukan dan menunjukkan besarnya Pajak
Penghasilan yang telah dipotong.
3. Bukti Pemungutan Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Bukti Pemungutan PPh adalah dokumen
berupa formulir atau dokumen lain yang dipersamakan, yang dibuat oleh Pemungut Pajak Penghasilan
sebagai bukti atas pemungutan Pajak Penghasilan yang dilakukan dan menunjukkan besarnya Pajak
Penghasilan yang telah dipungut.

Pasal 2

(1) Pemotong dan/atau Pemungut Pajak Penghasilan harus membuat:


a. Bukti Pemotongan PPh atas pemotongan Pajak Penghasilan yang dilakukan; dan/atau
b. Bukti Pemungutan PPh atas pemungutan Pajak Penghasilan yang dilakukan.
(2) Bukti Pemotongan PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan/atau Bukti Pemungutan PPh
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus diberikan oleh Pemotong dan/atau Pemungut Pajak
Penghasilan kepada pihak yang dipotong dan/atau pihak yang dipungut.

Pasal 3

(1) Pajak Penghasilan yang tercantum dalam Bukti Pemotongan PPh dan/atau Bukti Pemungutan PPh atas
penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat tidak final dapat diperhitungkan sebagai
kredit pajak bagi pihak yang dipotong dan/atau dipungut.

www.ortax.org
576 Edisi PPh Badan | Maret 2017

(2) Pajak Penghasilan yang tercantum dalam Bukti Pemotongan PPh dan/atau Bukti Pemungutan PPh atas
penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final merupakan bukti pelunasan Pajak
Penghasilan bagi pihak yang dipotong dan/atau dipungut.

Pasal 4

Bukti Pemotongan PPh dan/atau Bukti Pemungutan PPh dapat berbentuk formulir kertas (hard copy) atau
dokumen elektronik.

Pasal 5

Dalam hal terdapat kondisi-kondisi tertentu yang menyebabkan Bukti Pemotongan PPh dan/atau Bukti
Pemungutan PPh tidak sesuai dengan yang sebenarnya, Pemotong dan/atau Pemungut Pajak Penghasilan dapat
melakukan pembetulan dan/atau pembatalan Bukti Pemotongan PPh dan/atau Bukti Pemungutan PPh yang telah
dibuat sebelumnya.

Pasal 6

Ketentuan lebih lanjut yang mengatur mengenai:


a. bentuk dan tata cara pembuatan Bukti Pemotongan PPh dan/atau Bukti Pemungutan PPh;
b. dokumen lain yang kedudukannya dipersamakan dengan Bukti Pemotongan PPh dan/atau Bukti
Pemungutan PPh;
c. kondisi-kondisi tertentu yang menyebabkan Bukti Pemotongan PPh dan/atau Bukti Pemungutan PPh
dapat dilakukan pembetulan dan/atau pembatalan; dan
d. tata cara pembetulan dan/atau pembatalan Bukti Pemotongan PPh dan/atau Bukti Pemungutan PPh,
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 7

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Februari 2017
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Februari 2017
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 248

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=16229

www.ortax.org
KREDIT
Pajak Luar Negeri
578 Edisi PPh Badan | Maret 2017

No Nomor Dokumen Tanggal Ditetapkan Perihal


1. 164/KMK.03/2002 19 April 2002 Kredit Pajak Luar Negeri

www.ortax.org
Keputusan Menteri Keuangan RI :
164/KMK.03/2002 Edisi PPh Badan | Maret 2017 579

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 164/KMK.03/2002

TENTANG

KREDIT PAJAK LUAR NEGERI

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 24 ayat (6) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun
2000, perlu menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Kredit Pajak Luar Negeri;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16
Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3984);

2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3985);

3. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG KREDIT PAJAK LUAR NEGERI.

Pasal 1

(1) Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas Penghasilan Kena Pajak yang berasal dari seluruh
penghasilan termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri.

(2) Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan sebagai berikut:
a. untuk penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan tersebut;
b. untuk penghasilan lainnya dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut;
c. untuk penghasilan berupa dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, dilakukan dalam tahun pajak
pada saat perolehan deviden tersebut ditetapkan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan.

(3) Kerugian yang diderita di luar negeri tidak boleh digabungkan dalam menghitung Penghasilan Kena
Pajak.

Pasal 2

(1) Apabila dalam Penghasilan Kena Pajak terdapat penghasilan yang berasal dari luar negeri, maka Pajak
Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan tersebut dapat dikreditkan
terhadap Pajak Penghasilan yang terutang di Indonesia.

(2) Pengkreditan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam tahun pajak
digabungkannya penghasilan dari luar negeri tersebut dengan penghasilan di Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2).

(3) Jumlah kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling tinggi sama dengan jumlah pajak
yang dibayar atau terutang di luar negeri, tetapi tidak boleh melebihi jumlah tertentu.

www.ortax.org
580 Edisi PPh Badan | Maret 2017

(4) Jumlah tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dihitung menurut perbandingan antara
penghasilan dari luar negeri terhadap Penghasilan Kena Pajak dikalikan dengan pajak yang terutang
atas Penghasilan Kena Pajak, paling tinggi sama dengan pajak yang terutang atas Penghasilan Kena
Pajak dalam hal Penghasilan Kena Pajak lebih kecil dari penghasilan luar negeri.

(5) Apabila Penghasilan luar negeri berasal dari beberapa negara, maka penghitungan kredit pajak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilakukan untuk masing-masing negara.

(6) Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak termasuk Penghasilan yang
dikenakan Pajak yang bersifat final sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (2) dan atau penghasilan
yang dikenakan pajak tersendiri sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (1) dan ayat (4) Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000.

Pasal 3

Dalam hal jumlah Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri melebihi jumlah kredit pajak
yang diperkenankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, maka kelebihan tersebut tidak dapat
diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang tahun berikutnya, tidak boleh dibebankan sebagai
biaya atau pengurang penghasilan, dan tidak dapat dimintakan restitusi.

Pasal 4

(1) Untuk melaksanakan pengkreditan pajak luar negeri, Wajib Pajak wajib menyampaikan permohonan
kepada Direktur Jenderal Pajak dengan dilampiri:
a. Laporan Keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri;
b. Foto Kopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri; dan
c. Dokumen pembayaran pajak di luar negeri.

(2) Penyampaian permohonan kredit pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

Pasal 5

Atas permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian
lampiran-lampiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 karena alasan-alasan di luar kemampuan Wajib
Pajak (force majeur).

Pasal 6

(1) Dalam hal terjadi perubahan besarnya penghasilan yang berasal dari luar negeri, Wajib Pajak harus
melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan untuk tahun pajak yang bersangkutan dengan
melampirkan dokumen yang berkenaan dengan perubahan tersebut.

(2) Dalam hal pembetulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menyebabkan Pajak Penghasilan kurang
dibayar, maka atas kekurangan tersebut tidak dikenakan bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (2) Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah diubah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun
2000.

(3) Dalam hal pembetulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menyebabkan Pajak Penghasilan lebih
dibayar, maka atas kelebihan tersebut dapat dikembalikan kepada Wajib Pajak setelah diperhitungkan
dengan utang pajak lainnya.

Pasal 7

Ketentuan yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan ini diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 8

Pada saat Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 581

640/KMK.04/1994 tentang Kredit Pajak Luar Negeri dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 9

Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 April 2002
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

BOEDIONO

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=349

www.ortax.org
ANGSURAN
PPh Pasal 25
Edisi PPh Badan | Maret 2017 583

No Nomor Dokumen Tanggal Ditetapkan Perihal


1. 255/PMK.03/2008 31 Desember 2008 Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Dalam Tahun
Pajak Berjalan Yang Harus Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak Baru, Bank,
Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi, Badan Usaha Milik Negara, Badan
Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa Dan Wajib Pajak Lainnya
Yang Berdasarkan Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan Keuangan
Berkala Termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
2. 208/PMK.03/2009 10 Desember 2009 Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008
Tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Dalam
Tahun Pajak Berjalan Yang Harus Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak Baru,
Bank, Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi, Badan Usaha Milik Negara,
Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa Dan Wajib Pajak
Lainnya Yang Berdasarkan Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan
Keuangan Berkala Termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha
Tertentu
3. 124/PMK.011/2013 27 Agustus 2013 Pengurangan Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 Dan Penundaan
Pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 Tahun 2013 Bagi Wajib Pajak
Industri Tertentu
4. PER - 22/PJ/2008 21 Mei 2008 Tata Cara Pembayaran Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 25
5. PER - 52/PJ/2008 31 Desember 2008 Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Penyalur/Distributor
Rokok
6. PER - 10/PJ/2009 13 Maret 2008 Pengurangan Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 Dalam Tahun 2009
Bagi Wajib Pajak Yang Mengalami Perubahan Keadaan Usaha Atau
Kegiatan Usaha
7. KEP - 537/PJ./2000 29 Desember 2000 Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Dalam Tahun Pajak Berjalan
Dalam Hal-hal Tertentu
8. SE - 36/PJ/2013 25 Juli 2013 Penghitungan Angsuran Pajak Dalam Tahun Berjalan Bagi Wajib
Pajak Yang Menjalankan Usaha Di Bidang Pertambangan Mineral
Atau Batubara Dalam Rangka Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, Atau
Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan
9. SE - 44/PJ/2014 24 November 2014 Penegasan Perlakuan Tarif Pajak Penghasilan Badan Bagi Wajib Pajak
Yang Menjalankan Usaha Di Bidang Pertambangan Berdasarkan
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara Atau Kontrak
Karya

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
584 Edisi PPh Badan | Maret 2017 255/PMK.03/2008

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 255/PMK.03/2008

TENTANG

PENGHITUNGAN BESARNYA ANGSURAN PAJAK PENGHASILAN DALAM


TAHUN PAJAK BERJALAN YANG HARUS DIBAYAR SENDIRI OLEH WAJIB PAJAK BARU,
BANK, SEWA GUNA USAHA DENGAN HAK OPSI, BADAN USAHA MILIK NEGARA,
BADAN USAHA MILIK DAERAH, WAJIB PAJAK MASUK BURSA DAN WAJIB PAJAK LAINNYA YANG
BERDASARKAN KETENTUAN DIHARUSKAN MEMBUAT LAPORAN KEUANGAN BERKALA
TERMASUK WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI PENGUSAHA TERTENTU

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 25 ayat (7) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak
Penghasilan Dalam Tahun Pajak Berjalan Yang Harus Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa Guna
Usaha Dengan Hak Opsi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa dan
Wajib Pajak Lainnya yang berdasarkan Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan Keuangan Berkala Termasuk
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
2. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGHITUNGAN BESARNYA ANGSURAN PAJAK PENGHASILAN


DALAM TAHUN PAJAK BERJALAN YANG HARUS DIBAYAR SENDIRI OLEH WAJIB PAJAK BARU, BANK, SEWA
GUNA USAHA DENGAN HAK OPSI, BADAN USAHA MILIK NEGARA, BADAN USAHA MILIK DAERAH, WAJIB PAJAK
MASUK BURSA DAN WAJIB PAJAK LAINNYA YANG BERDASARKAN KETENTUAN DIHARUSKAN MEMBUAT
LAPORAN KEUANGAN BERKALA TERMASUK WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI PENGUSAHA TERTENTU.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan :


1. Wajib Pajak Baru adalah Wajib Pajak orang pribadi dan badan yang baru pertama kali memperoleh
penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak berjalan.
2. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan
kegiatan usaha di bidang perdagangan yang mempunyai tempat usaha lebih dari satu, atau
mempunyai tempat usaha yang berbeda alamat dengan domisili.
3. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun
2008.
4. Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah angsuran Pajak Penghasilan dalam tahun pajak berjalan
untuk setiap bulan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 2

(1) Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak baru adalah sebesar Pajak
Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas penghasilan neto sebulan yang
disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).
(2) Penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
a. dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menyelenggarakan pembukuan

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 585

dan dari pembukuannya dapat dihitung besarnya penghasilan neto setiap bulan, penghasilan
neto fiskal dihitung berdasarkan pembukuannya;
b. dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya menyelenggarakan
pencatatan dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto atau
menyelenggarakan pembukuan tetapi dari pembukuannya tidak dapat dihitung besarnya
penghasilan neto setiap bulan, penghasilan neto fiskal dihitung berdasarkan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto atas peredaran atau penerimaan bruto.
(3) Untuk Wajib Pajak orang pribadi baru, jumlah penghasilan neto fiskal yang disetahunkan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dikurangi terlebih dahulu dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
(4) Dalam hal Wajib Pajak baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Wajib Pajak badan yang
mempunyai kewajiban membuat laporan berkala, besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25
adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas proyeksi
laba-rugi fiskal pada laporan berkala pertama yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).

Pasal 3

Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi
adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal
menurut laporan keuangan triwulan terakhir yang disetahunkan dikurangi Pajak Penghasilan Pasal 24 yang
dibayar atau terutang di luar negeri untuk tahun pajak yang lalu, dibagi 12 (dua belas).

Pasal 4

(1) Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara dan Badan
Usaha Milik Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, kecuali Wajib Pajak bank dan
Sewa Guna Usaha dengan hak opsi, adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan
penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP)
tahun pajak yang bersangkutan yang telah disahkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dikurangi
dengan pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan
Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri tahun pajak yang lalu, dibagi 12 (dua belas).
(2) Dalam hal Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
belum disahkan, maka besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum
bulan pengesahan adalah sama dengan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan terakhir tahun
pajak sebelumnya.

Pasal 5

Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak masuk bursa dan Wajib Pajak lainnya yang
berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala, adalah sebesar Pajak Penghasilan
yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut laporan keuangan berkala
terakhir yang disetahunkan di kurangi dengan pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dan
Pasal 23 serta Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri untuk tahun pajak yang lalu, dibagi 12
(dua belas).

Pasal 6

(1) Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu,
ditetapkan sebesar 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen) dari jumlah peredaran bruto setiap bulan
dari masing-masing tempat usaha tersebut.
(2) Ketentuan pelaksanaan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak orang pribadi
pengusaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak.

Pasal 7

Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 522/KMK.04/2000
tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan Yang Harus Dibayar Sendiri
Bagi Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha
Milik Daerah, dan Wajib Pajak Lainnya Termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha tertentu sebagaimana
telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 84/KMK.03/2002, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.

www.ortax.org
586 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Pasal 8

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 31 Desember 2008
MENTERI KEUANGAN,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI

Status :
Peraturan Menteri Keuangan - 255/PMK.03/2008 Telah mengalami perubahan atau
penyempurnaan oleh Peraturan Menteri Keuangan - 208/PMK.03/2009, Tanggal 10 Des
2009

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13576

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
208/PMK.03/2009 Edisi PPh Badan | Maret 2017 587

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 208/PMK.03/2009

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 255/PMK.03/2008


TENTANG PENGHITUNGAN BESARNYA ANGSURAN PAJAK PENGHASILAN DALAM
TAHUN PAJAK BERJALAN YANG HARUS DIBAYAR SENDIRI OLEH WAJIB PAJAK
BARU, BANK, SEWA GUNA USAHA DENGAN HAK OPSI, BADAN USAHA MILIK
NEGARA, BADAN USAHA MILIK DAERAH, WAJIB PAJAK MASUK BURSA
DAN WAJIB PAJAK LAINNYA YANG BERDASARKAN KETENTUAN
DIHARUSKAN MEMBUAT LAPORAN KEUANGAN BERKALA TERMASUK
WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI PENGUSAHA TERTENTU

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa dalam rangka lebih memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan penghitungan besarnya
angsuran Pajak Penghasilan dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak
Orang Pribadi Pengusaha Tertentu perlu mengatur kembali batasan mengenai Wajib Pajak Orang
Pribadi Pengusaha Tertentu;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008
tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Dalam Tahun Pajak Berjalan yang harus
Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi, Badan Usaha Milik
Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa dan Wajib Pajak Lainnya yang berdasarkan
Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan Keuangan Berkala termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi
Pengusaha Tertentu;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
255/PMK.03/2008 TENTANG PENGHITUNGAN BESARNYA ANGSURAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN PAJAK
BERJALAN YANG HARUS DIBAYAR SENDIRI OLEH WAJIB PAJAK BARU, BANK, SEWA GUNA USAHA DENGAN
HAK OPSI, BADAN USAHA MILIK NEGARA, BADAN USAHA MILIK DAERAH, WAJIB PAJAK MASUK BURSA DAN
WAJIB PAJAK LAINNYA YANG BERDASARKAN KETENTUAN DIHARUSKAN MEMBUAT LAPORAN KEUANGAN
BERKALA TERMASUK WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI PENGUSAHA TERTENTU.

Pasal I

Mengubah ketentuan Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008 tentang
Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Dalam Tahun Pajak Berjalan yang harus Dibayar Sendiri
Oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha
Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa dan Wajib Pajak Lainnya yang berdasarkan Ketentuan Diharuskan
Membuat Laporan Keuangan Berkala termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu, sehingga Pasal 1
berbunyi sebagai berikut :

www.ortax.org
588 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan :


1. Wajib Pajak Baru adalah Wajib Pajak orang pribadi dan badan yang baru pertama kali memperoleh
penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak berjalan.
2. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah Wajib Pajak Pajak orang pribadi yang melakukan
kegiatan usaha sebagai pedagang pengecer yang mempunyai 1 (satu) atau lebih tempat usaha.
3. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008.
4. Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah angsuran Pajak Penghasilan dalam tahun pajak berjalan
untuk setiap bulan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal II

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Desember 2009
MENTERI KEUANGAN

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 Desember 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

ttd.

PATRIALIS AIKBAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 478

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=14047

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
124/PMK.011/2013 Edisi PPh Badan | Maret 2017 589

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 124/PMK.011/2013

TENTANG

PENGURANGAN BESARNYA PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 DAN PENUNDAAN


PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 29 TAHUN 2013
BAGI WAJIB PAJAK INDUSTRI TERTENTU

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa dalam rangka menjaga stabilitas ekonomi makro dan mendorong pertumbuhan ekonomi pada
tingkat yang realistis sehubungan dengan terjadinya gejolak pada pasar keuangan dan nilai tukar rupiah,
dan untuk meningkatkan daya saing industri nasional baik yang berorientasi domestik maupun ekspor,
serta untuk mendukung program Pemerintah dalam upaya penciptaan dan penyerapan lapangan kerja,
perlu diberikan kebijakan Pajak Penghasilan untuk meringankan dan menjaga likuiditas bagi Wajib Pajak
industri tertentu;
b. bahwa sesuai ketentuan Pasal 25 ayat (6) huruf f Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran
pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib
Pajak;
c. bahwa sesuai ketentuan Pasal 9 ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2009, Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan
persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran Pajak termasuk kekurangan pembayaran
pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, yang
pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
ditetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pengurangan Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dan
Penundaan Pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 Tahun 2013 Bagi Wajib Pajak Industri Tertentu;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGURANGAN BESARNYA PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 DAN
PENUNDAAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 29 TAHUN 2013 BAGI WAJIB PAJAK INDUSTRI
TERTENTU.

Pasal 1

(1) Terhadap Wajib Pajak badan industri tertentu dapat diberikan :


a. pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Masa Pajak September 2013 sampai dengan
Masa Pajak Desember 2013; dan/atau
b. penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 untuk Tahun Pajak 2013.
(2) Wajib Pajak badan industri tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak badan
yang melakukan kegiatan usaha pada bidang:
a. industri tekstil;
b. industri pakaian jadi;

www.ortax.org
590 Edisi PPh Badan | Maret 2017

c. industri alas kaki;


d. industri furnitur; dan/atau
e. industri mainan anak-anak,
(3) Pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 dan penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diberikan kepada Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) berdasarkan rekomendasi dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang perindustrian.

Pasal 2

(1) Besarnya Pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1)
huruf a dapat diberikan paling tinggi sebesar :
a. 25% (dua puluh lima persen) dari Pajak Penghasilan Pasal 25 Masa Pajak Agustus 2013, bagi
Wajib Pajak badan industri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) yang tidak
berorientasi ekspor; atau
b. 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan Pasal 25 Masa Pajak Agustus 2013, bagi Wajib
Pajak badan industri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) yang berorientasi
ekspor.
(2) Untuk mendapatkan pengurangan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak
harus menyampaikan permohonan secara tertulis tentang besarnya pengurangan Pajak Penghasilan
Pasal 25 yang diminta, kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.

Pasal 3

(1) Penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1)
huruf b diberikan paling lama 3 (tiga) bulan dari saat terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 29
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
(2) Penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan
dengan menyampaikan permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat
Wajib Pajak terdaftar.

Pasal 4

Direktur Jenderal Pajak karena jabatan menghapuskan sanksi administrasi atas penundaan pembayaran Pajak
Penghasilan Pasal 29 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

Pasal 5

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dan penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 6

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Agustus 2013
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

MUHAMAD CHATIB BASRI

Diundangkan di Jakarta

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 591

pada tanggal 29 Agustus 2013


MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDIN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 1066

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15342

www.ortax.org
Peraturan Direktur Jenderal Pajak :
592 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PER - 22/PJ/2008

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR 22/PJ/2008

TENTANG

TATA CARA PEMBAYARAN DAN PELAPORAN


PAJAK PENGHASILAN PASAL 25

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak, dipandang perlu untuk memberikan
kemudahan kepada Wajib Pajak dalam melakukan kewajiban perpajakannya;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4740);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985);
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak
dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007;
4. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 182/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pelaporan
Surat Pemberitahuan Masa Bagi Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu yang Dapat Melaporkan Beberapa
Masa Pajak dalam Satu Surat Pemberitahuan Masa;
5. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal
Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata
Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan
Pembayaran Pajak;
6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 148/PJ./2007 tentang Pelaksanaan Modul Penerimaan Negara;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN DAN PELAPORAN PAJAK
PENGHASILAN PASAL 25.

Pasal 1

(1) Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapakali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2000, harus dibayar paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa
Pajak berakhir.
(2) PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3a)
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 yang
melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu Surat Pemberitahuan Masa, harus dibayar paling lama
pada akhir Masa Pajak terakhir.
(3) Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu atau
hari libur nasional, maka pembayaran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
(4) Hari libur nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) termasuk hari yang diliburkan untuk
penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional
yang ditetapkan oleh pemerintah.

Pasal 2

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 593

Pembayaran Pajak dilakukan melalui Bank Persepsi atau Bank Devisa Persepsi atau Kantor Pos Persepsi dengan
sistem pembayaran secara on-line.

Pasal 3

(1) Pembayaran pajak harus dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana
administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
(2) SSP atau sarana administrasi lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai bukti
pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang
atau apabila telah mendapatkan validasi.
(3) SSP atau sarana administrasi lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap sah apabila telah
divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN).
(4) Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) adalah nomor yang tertera pada bukti penerimaan negara
yang diterbitkan melalui Modul Penerimaan Negara (MPN).
(5) Modul Penerimaan Negara (MPN) adalah modul penerimaan yang memuat serangkaian prosedur mulai
dari penerimaan, penyetoran, pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran sampai dengan pelaporan
yang berhubungan penerimaan negara dan merupakan bagian dari Sistem Perbendaharaan dan
Anggaran Negara.

Pasal 4

(1) Wajib Pajak yang melakukan pembayaran PPh Pasal 25 pada tempat pembayaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan SSP nya telah mendapat validasi dengan NTPN, maka Surat
Pemberitahuan Masa PPh Pasal 25 dianggap telah disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai
dengan tanggal validasi yang tercantum pada SSP.
(2) Wajib Pajak dengan jumlah angsuran PPh Pasal 25 Nihil atau angsuran PPh Pasal 25 dalam bentuk
satuan mata uang selain rupiah atau yang melakukan pembayaran tidak secara on-line dan tidak
mendapat validasi dengan NTPN, tetap harus menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 25
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(3) Pembayaran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) yang dilakukan :
a. setelah tanggal jatuh tempo pembayaran tetapi belum melewati batas akhir pelaporan, dikenai
sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2a) Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007; atau
b. setelah tanggal jatuh tempo pembayaran dan pelaporan, dikenai sanksi administrasi berupa
bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2a) dan denda sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007.

Pasal 5

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Mei 2008
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

DARMIN NASUTION
NIP 130605098

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13249

www.ortax.org
Peraturan Direktur Jenderal Pajak :
594 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PER - 52/PJ/2008

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 52/PJ/2008

TENTANG

PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN


PENYALUR/DISTRIBUTOR ROKOK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

a. bahwa dengan telah ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.03/2008 tentang
Perubahan Kelima atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001 tentang Penunjukan
Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat dan Besarnya Pungutan, serta Tata Cara Penyetoran dan
Pelaporannya, industri rokok tidak lagi ditunjuk sebagai pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 atas
penjualan hasil produksinya di dalam negeri;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan dalam rangka
melaksanakan ketentuan Pasal 9 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001 tentang
Penunjukan Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat dan Besarnya Pungutan serta Tata Cara
Penyetoran dan Pelaporannya sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.03/2008, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Penyalur/Distributor Rokok;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 133; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4893);
2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001 tentang Penunjukan Pemungut Pajak
Penghasilan Pasal 22, Sifat dan Besarnya Pungutan serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporannya
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
210/PMK.03/2008;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN
PENYALUR/DISTRIBUTOR ROKOK.

Pasal 1

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh penyalur/distributor rokok dikenai Pajak Penghasilan sesuai
dengan ketentuan umum tarif Pasal 17 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

Pasal 2

Penyalur/distributor rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 wajib melakukan pembayaran angsuran Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

Pasal 3

Besarnya angsuran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 untuk tahun pajak 2009 adalah
sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas penghasilan neto sebulan
yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).

Pasal 4

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 595

Pada saat berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-529/PJ./2001 tentang Tarif dan Tata Cara Pemungutan, Penyetoran serta Pelaporan Pajak Penghasilan
Pasal 22 atas Penjualan Hasil Produksi Industri Rokok di Dalam Negeri dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 5

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2009.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 2008
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

DARMIN NASUTION
NIP 130605098

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13549

www.ortax.org
Peraturan Direktur Jenderal Pajak :
596 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PER - 10/PJ/2009

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 10/PJ/2009

TENTANG

PENGURANGAN BESARNYA PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 DALAM TAHUN 2009 BAGI


WAJIB PAJAK YANG MENGALAMI PERUBAHAN KEADAAN USAHA ATAU KEGIATAN USAHA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

Bahwa dalam rangka meringankan likuiditas bagi Wajib Pajak dan mengantisipasi dampak krisis keuangan
global yang dapat berakibat pada perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak, perlu menetapkan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Tentang Pengurangan Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 Dalam Tahun
2009 Bagi Wajib Pajak yang Mengalami Perubahan Keadaan Usaha atau Kegiatan Usaha.

Mengingat :

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PENGURANGAN BESARNYA PAJAK PENGHASILAN PASAL 25
DALAM TAHUN 2009 BAGI WAJIB PAJAK YANG MENGALAMI PERUBAHAN KEADAAN USAHA ATAU KEGIATAN
USAHA.

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan :


a. Wajib Pajak yang dapat diberikan Pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah Wajib Pajak yang
mengalami perubahan keadaan usaha atau kegiatan usaha dalam tahun 2009.
b. Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan Desember tahun 2008 adalah Pajak Penghasilan Pasal 25 yang
seharusnya dibayar oleh Wajib Pajak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.

Pasal 2

Wajib Pajak dapat diberikan pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 sampai dengan 25% (dua puluh lima
persen) untuk Masa Pajak Januari sampai dengan Juni 2009.

Pasal 3

(1) Pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dihitung dari besarnya
Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan Desember tahun 2008.
(2) Dalam hal Wajib Pajak telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun
pajak 2008, pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dihitung
dari besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun pajak 2008.

Pasal 4

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak berlaku bagi Wajib Pajak bank, badan usaha milik
negara, badan usaha milik daerah, Wajib Pajak masuk bursa, dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan harus membuat laporan keuangan berkala.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 597

Pasal 5

(1) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
tentang besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 yang diminta disertai dengan:
a. penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan tahun pajak 2008 atau penghitungan sementara Pajak Penghasilan terutang
tahun pajak 2008, dan
b. perkiraan penghitungan Pajak Penghasilan yang akan terutang tahun 2009,
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, dengan format sesuai Lampiran I
dan Lampiran II yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh Pengurus atau Direksi
dan disampaikan paling lama tanggal 30 April 2009

Pasal 6

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan secara tertulis mengenai pengurangan besarnya Pajak
Penghasilan Pasal 25 untuk Masa Pajak Juli sampai dengan Desember 2009 kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar paling lama tanggal 30 Juni 2009 apabila Wajib Pajak
dapat menunjukkan bahwa besarnya Pajak Penghasilan yang akan terutang untuk tahun 2009 kurang
dari 75% (tujuh puluh lima persen) dari Pajak Penghasilan yang terutang yang menjadi dasar
penghitungan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 Masa Pajak Januari sampai dengan Juni 2009.
(2) Pengajuan permohonan pengurangan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disertai dengan perkiraan penghitungan besarnya Pajak Penghasilan yang akan terutang
tahun 2009 berdasarkan:
a. penghasilan yang diterima atau diperoleh sampai dengan bulan terakhir sebelum bulan
pengajuan permohonan, dan
b. perkiraan penghasilan yang akan diterima atau diperoleh sejak bulan pengajuan permohonan
sampai dengan Desember 2009,
dengan format sesuai Lampiran I dan Lampiran III yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini.
(3) Atas permohonan yang diajukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kantor Pelayanan
Pajak melakukan evaluasi dengan format sesuai Lampiran IV dengan mempertimbangkan kondisi
Wajib Pajak di tahun 2009;
(4) Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan surat keputusan tentang besarnya Pajak Penghasilan
Pasal 25 Masa Pajak Juli sampai dengan Desember 2009 berdasarkan hasil evaluasi, paling lama 15
(lima belas) hari kerja sejak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima lengkap,
dengan format sesuai Lampiran V yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Kepala Kantor Pelayanan Pajak
tidak memberikan keputusan, permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dianggap dikabulkan dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus menerbitkan surat keputusan tersebut
paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir.

Pasal 7

Dalam hal Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Wajib Pajak membayar Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Masa Pajak Juli
sampai dengan Desember 2009 sebesar Pajak Penghasilan Pasal 25 yang dihitung berdasarkan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), ayat (4), dan ayat (6) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008.

Pasal 8

Wajib Pajak yang mengalami perubahan keadaan usaha atau kegiatan usaha dan memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-537/PJ./2000 tentang
Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Dalam Tahun Pajak Berjalan Dalam Hal-Hal Tertentu dapat
mengajukan permohonan pengurangan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 sesuai ketentuan dalam
Keputusan Direktur Jenderal Pajak tersebut.

Pasal 9

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan

www.ortax.org
598 Edisi PPh Badan | Maret 2017

penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 11 Pebruari 2009
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

DARMIN NASUTION
NIP 130605098

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13627

www.ortax.org
Keputusan Direktur Jenderal Pajak :
KEP - 537/PJ./2000 Edisi PPh Badan | Maret 2017 599

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR KEP - 537/PJ./2000

TENTANG

PENGHITUNGAN BESARNYA ANGSURAN PAJAK DALAM TAHUN PAJAK BERJALAN DALAM HAL-HAL TERTENTU

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 25 ayat (6) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, dipandang
perlu untuk menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak
Dalam Tahun Pajak Berjalan Dalam Hal-hal Tertentu;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3984);
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3985);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PENGHITUNGAN BESARNYA ANGSURAN PAJAK DALAM
TAHUN PAJAK BERJALAN DALAM HAL-HAL TERTENTU.

Pasal 1

Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan :

a. Angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan adalah Pajak Penghasilan Pasal 25 yang harus dibayar
sendiri oleh Wajib Pajak yang bersangkutan setiap bulan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000.

b. Hal-hal tertentu adalah :


1) Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
2) Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
3) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu disampaikan setelah
lewat batas waktu yang ditentukan;
4) Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan;
5) Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang
mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan;
6) Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.

c. Kompensasi kerugian adalah kompensasi kerugian fiskal berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan,
Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, sesuai dengan ketentuan
Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 31A Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000.

d. Penghasilan teratur adalah penghasilan yang lazimnya diterima atau diperoleh secara berkala
sekurang-kurangnya sekali dalam setiap tahun pajak, yang bersumber dari kegiatan usaha,
pekerjaan bebas, pekerjaan, harta dan atau modal, kecuali penghasilan yang telah dikenakan Pajak
Penghasilan yang bersifat final. Tidak termasuk dalam penghasilan teratur adalah keuntungan selisih
kurs dari utang/piutang dalam mata uang asing dan keuntungan dari pengalihan harta (capital gain)
sepanjang bukan merupakan penghasilan dari kegiatan usaha pokok, serta penghasilan lainnya yang

www.ortax.org
600 Edisi PPh Badan | Maret 2017

bersifat insidentil.

Pasal 2

(1) Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dalam hal Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian adalah
sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung dengan dasar penghitungan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang dipotong dan atau dipungut serta Pajak Penghasilan
yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sesuai ketentuan Pasal 21, Pasal 22,
Pasal 23, dan Pasal 24 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, dibagi 12 (dua belas) atau
banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

(2) Dasar penghitungan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah jumlah
penghasilan neto menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu
atau dasar penghitungan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 522 tanggal 14 Desember 2000 setelah dikurangi dengan kompensasi
kerugian.

(3) Dalam hal Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu atau dasar
penghitungan lainnya seperti tersebut dalam ayat (2) menyatakan rugi (lebih bayar atau nihil),
besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah nihil.

Pasal 3

(1) Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dalam hal Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur
adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung dengan dasar penghitungan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang dipotong dan atau dipungut serta Pajak
Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sesuai ketentuan Pasal
21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, dibagi 12 (dua
belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

(2) Dasar penghitungan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah jumlah
penghasilan neto menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu
setelah dikurangi dengan penghasilan tidak teratur yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan tersebut.

Pasal 4

(1) Dalam hal Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu disampaikan Wajib
Pajak setelah lewat batas waktu yang ditentukan, besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-
bulan mulai batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai dengan bulan sebelum
disampaikannya Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut adalah sama dengan besarnya Pajak
Penghasilan Pasal 25 bulan terakhir tahun pajak yang lalu dan bersifat sementara.

(2) Setelah Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan Surat
Pemberitahuan Tahunan tersebut dengan memperhatikan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 dan berlaku
surut mulai bulan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan.

(3) Apabila besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) lebih besar dari
Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), atas kekurangan setoran Pajak
Penghasilan Pasal 25 terutang bunga sesuai ketentuan Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000, untuk jangka waktu yang dihitung sejak jatuh tempo
penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 25 dari masing-masing bulan sampai dengan tanggal penyetoran.

(4) Apabila besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) lebih kecil dari
Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), atas kelebihan setoran Pajak
Penghasilan Pasal 25 dapat dipindahbukukan ke Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan-bulan berikut
setelah penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan.

Pasal 5

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 601

(1) Dalam hal Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan, besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan mulai batas
waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai dengan bulan sebelum disampaikannya
Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut adalah sama dengan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25
yang dihitung berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan sementara yang disampaikan Wajib Pajak
pada saat mengajukan permohonan ijin perpanjangan.

(2) Setelah Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan Surat
Pemberitahuan Tahunan tersebut dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3
dan berlaku surut mulai bulan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan.

(3) Apabila besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) lebih besar dari
Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), atas kekurangan setoran Pajak
Penghasilan Pasal 25 terutang bunga sesuai ketentuan Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000, untuk jangka waktu yang dihitung sejak jatuh tempo
penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 25 dari masing-masing bulan sampai dengan tanggal penyetoran.

(4) Apabila besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) lebih kecil dari
Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), atas kelebihan setoran Pajak
Penghasilan Pasal 25 dapat dipindahbukukan ke Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan-bulan berikut
setelah penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan.

Pasal 6

(1) Dalam hal Wajib Pajak dalam tahun pajak berjalan membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu, besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dihitung
kembali berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pembetulan tersebut dengan memperhatikan
ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 dan berlaku surut mulai bulan batas waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan.

(2) Apabila besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 setelah pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih besar dari Pajak Penghasilan Pasal 25 sebelum
dilakukan pembetulan, atas kekurangan setoran Pajak Penghasilan Pasal 25 terutang bunga sesuai
ketentuan Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000,
untuk jangka waktu yang dihitung sejak jatuh tempo penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 25 dari
masing-masing bulan sampai dengan tanggal penyetoran.

(3) Apabila besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 setelah pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih kecil dari Pajak Penghasilan Pasal 25 sebelum dilakukan
pembetulan, atas kelebihan setoran Pajak Penghasilan Pasal 25 dapat dipindahbukukan ke Pajak
Penghasilan Pasal 25 bulan-bulan berikut setelah penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
Pembetulan.

Pasal 7

(1) Apabila sesudah 3 (tiga) bulan atau lebih berjalannya suatu tahun pajak, Wajib Pajak dapat
menunjukkan bahwa Pajak Penghasilan yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut kurang dari
75% (tujuh puluh lima persen) dari Pajak Penghasilan yang terutang yang menjadi dasar
penghitungan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan
pengurangan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan
Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.

(2) Pengajuan permohonan pengurangan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), harus disertai dengan penghitungan besarnya Pajak Penghasilan yang akan terutang
berdasarkan perkiraan penghasilan yang akan diterima atau diperoleh dan besarnya Pajak
Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan.

(3) Apabila dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya surat permohonan Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak
memberikan keputusan, permohonan Wajib Pajak tersebut dianggap diterima dan Wajib Pajak
dapat melakukan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25 sesuai dengan penghitungannya untuk
bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan.

www.ortax.org
602 Edisi PPh Badan | Maret 2017

(4) Apabila dalam tahun pajak berjalan Wajib Pajak mengalami peningkatan usaha dan diperkirakan
Pajak Penghasilan yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut lebih dari 150% (seratus lima
puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang terutang yang menjadi dasar penghitungan besarnya
Pajak Penghasilan Pasal 25, besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dari
tahun pajak yang bersangkutan harus dihitung kembali berdasarkan perkiraan kenaikan Pajak
Penghasilan yang terutang tersebut oleh Wajib Pajak sendiri atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak
tempat Wajib Pajak terdaftar.

Pasal 8

Pada saat Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor :
KEP-03/PJ./1995 tanggal 9 Januari 1995 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak
Nomor : KEP-89/PJ./1999 tanggal 22 April 1999, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor :
SE-03/PJ.4/1995 tanggal 8 Februari 1995 sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak Nomor : SE-17/PJ.41/1999 tanggal 22 April 1999, serta Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor :
SE-24/PJ.42/1998 tanggal 8 Agustus 1998, dinyatakan tidak berlaku, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9.

Pasal 9

Bagi Wajib Pajak yang tahun pajak/tahun bukunya tidak sama dengan tahun takwim, ketentuan lama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 tetap berlaku untuk penghitungan besarnya angsuran Pajak
Penghasilan Pasal 25 dari :
a. bagian tahun pajak/tahun buku 2000 periode masa pajak setelah 1 Januari 2001;
b. bagian tahun pajak/tahun buku 2001 periode masa pajak sebelum 1 Januari 2001.

Pasal 10

Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2000
DIREKTUR JENDERAL,

ttd

MACHFUD SIDIK

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=1190

www.ortax.org
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak :
SE - 36/PJ/2013 Edisi PPh Badan | Maret 2017 603

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
____________________________________________________________________________________________
25 Juli 2013

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 36/PJ/2013

TENTANG

PENGHITUNGAN ANGSURAN PAJAK DALAM TAHUN BERJALAN


BAGI WAJIB PAJAK YANG MENJALANKAN USAHA DI BIDANG PERTAMBANGAN MINERAL
ATAU BATUBARA DALAM RANGKA KONTRAK BAGI HASIL, KONTRAK KARYA, ATAU
PERJANJIAN KERJASAMA PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. Umum

1. Peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan telah mengatur mengenai


pengenaan Pajak Penghasilan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperolehnya. Bagi Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan mineral atau
batubara dalam rangka kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama
pengusahaan pertambangan pengenaan pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam
kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan
sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud, sebagaimana
diatur dalam Pasal 33A ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2008.

2. Apabila ketentuan dalam kontrak bagi hasil kontrak karya, atau perjanjian kerjasama
pengusahaan pertambangan tersebut tidak mengatur pengenaan pajak bagi Wajib Pajak yang
terikat dengan kontrak bagi hasil, kontrak karya atau perjanjian kerjasama pengusahaan
pertambangan maka pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak tersebut berlaku ketentuan umum sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan.

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud

Penyusunan Surat Edaran ini dimaksudkan untuk memberikan penegasan dalam rangka
menghitung dan membayar besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus
dibayar sendiri untuk setiap bulan bagi Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang
pertambangan mineral atau batubara berdasarkan kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau
perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan.

2. Tujuan

Agar pemenuhan dan pengawasan pelaksanaan kewajiban pembayaran angsuran pajak dalam
tahun berjalan yang harus dibayar sendiri untuk setiap bulan yang dilakukan oleh Wajib Pajak
yang menjalankan usaha di bidang pertambangan mineral atau batubara berdasarkan kontrak
bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan dapat
berjalan dengan baik.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Surat Edaran ini meliputi Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan
mineral atau batubara dalam rangka kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama
pengusahaan pertambangan yang kontrak atau perjanjlannya ditandatangani sebelum berlakunya
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

D. Dasar Hukum

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali

www.ortax.org
604 Edisi PPh Badan | Maret 2017

diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.

E. Materi

1. Bagi Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan mineral atau batubara
berdasarkan kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan
pertambangan, dasar penghitungan dan besarnya angsuran Pajak Penghasilan yang harus
dibayar dalam tahun berjalan adalah sebagaimana tercantum dalam kontrak bagi hasil,
kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan
berakhirnya jangka waktu kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama
pengusahaan pertambangan dimaksud.

2. Bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 1 yang dalam kontrak bagi hasil, kontrak
karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangannya tidak mengatur mengenai
angsuran pajaknya namun mengatur pengenaan pajaknya berdasarkan ketentuan dalam
Ordonansi Pajak Perseroan 1925, maka dasar penghitungan dan besarnya Pajak Perseroan
yang terutang/harus dibayar dalam tahun berjalan adalah sebesar 1% (satu persen) dari
peredaran bruto setiap bulan/masa pajak, sebagaimana ditegaskan dalam Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-48/PJ.42/1999 tentang Penghitungan Angsuran Pajak dalam
Tahun Berjalan bagi Wajib Pajak yang Berusaha dalam Bidang Penambangan Umum dalam
Rangka Kontrak Karya yang Pengenaan Pajaknya Berdasarkan Ordonansi Pajak Perseroan
1925.

3. Dalam hal ketentuan kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama
pengusahaan pertambangan sebagaimana dimaksud pada angka 1 tidak mengatur mengenai
dasar penghitungan dan besarnya angsuran Pajak Penghasilan yang harus dibayar dalam tahun
berjalan dan tidak mengatur mengenai pengenaan pajaknya berdasarkan ketentuan dalam
Ordonansi Pajak Perseroan 1925, maka dasar penghitungan dan besarnya angsuran Pajak
Penghasilan yang harus dibayar dalam tahun berjalan bagi Wajib Pajak yang menjalankan
usaha di bidang pertambangan mineral atau batubara dalam rangka kontrak bagi hasil, kontrak
karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan adalah sebagaimana diatur
dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Demikian Surat Edaran ini disampaikan untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Juli 2013

ttd.

A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15392

www.ortax.org
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak :
SE - 44/PJ/2014 Edisi PPh Badan | Maret 2017 605

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
____________________________________________________________________________________________
24 November 2014

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 44/PJ/2014

TENTANG

PENEGASAN PERLAKUAN TARIF PAJAK PENGHASILAN BADAN


BAGI WAJIB PAJAK YANG MENJALANKAN USAHA DI BIDANG PERTAMBANGAN
BERDASARKAN PERJANJIAN KARYA PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN BATUBARA
ATAU KONTRAK KARYA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. Umum

Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan terkait penafsiran perlakuan tarif Pajak Penghasilan badan
dalam naskah kontrak atau perjanjian bagi Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang
pertambangan batubara berdasarkan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B)
atau di bidang pertambangan mineral berdasarkan Kontrak Karya (KK) yang disebabkan oleh perbedaan
penafsiran atas frasa Government Regulations/Government regulations dalam naskah bahasa Inggris
PKP2B atau KK, maka diperlukan penegasan mengenai penafsiran atas frasa Government Regulations/
Government regulations dan perlakuan tarif Pajak Penghasilan badan dimaksud dalam Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak.

B. Maksud dan Tujuan

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini disusun untuk memberikan acuan dan keseragaman dalam
penafsiran atas frasa Government Regulations/Government regulations dan penerapan tarif Pajak
Penghasilan badan di bidang pertambangan mineral dan batubara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini meliputi Wajib Pajak yang menjalankan usaha
di bidang pertambangan batubara berdasarkan PKP2B atau bidang pertambangan mineral berdasarkan
KK yang kontrak atau perjanjiannya ditandatangani pada tahun 1997 sampai dengan tahun 2000 dan
pokok-pokok pengaturan tarif Pajak Penghasilan badan dalam naskah kontrak atau perjanjiannya
adalah sebagai berikut:
1. Naskah PKP2B dalam bahasa Indonesia
Kontraktor harus membayar Pajak Penghasilan atas penghasilan, yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Kontraktor, baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk
tetapi tidak terbatas kepada laba bruto atas usaha, dividen, bunga, dan royalti dengan tarif
pajak yang akan dikenakan selama jangka waktu Perjanjian ini adalah sebagai berikut:
a. 10% (sepuluh persen) untuk penghasilan kena pajak sampai dengan Rp25.000.000,00
(dua puluh lima juta rupiah);
b. 15% (lima belas persen) untuk penghasilan kena pajak lebih dari Rp25.000.000,00
(dua puluh lima juta rupiah) sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
c. 30% (tiga puluh persen) atau tarif yang lebih kecil yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah untuk penghasilan kena pajak lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
Apabila lapisan penghasilan kena pajak diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan, maka
tarif tersebut pada huruf a, b, dan c diterapkan terhadap lapisan kena pajak yang telah diubah
tersebut.

Untuk menghitung penghasilan kena pajak berlaku tata cara perhitungan Pajak Penghasilan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran "F" yang merupakan bagian dari Perjanjian ini. Kecuali
ditetapkan lain dalam Perjanjian ini, berlaku ketentuan sebagaimana dinyatakan dalam
Undang-Undang Pajak Penghasilan 1994 dan peraturan pelaksanaannya

2. Naskah PKP2B dalam bahasa Inggris


The Contractor must pay Income Tax on taxable income, that is any increase in economic

www.ortax.org
606 Edisi PPh Badan | Maret 2017

ability received or accrued by the Contractor, whether originating from within or outside
Indonesia, in whatever name and form, including but not limited to gross profit from business,
dividends, interest and royalties and the tax rates to be charged for the duration of this
Agreement shall be as follows:
a. Ten per cent (10%) for taxable income up to twenty five million Rupiah (Rp25,000,000)
b. Fifteen per cent (15%) for taxable income exceeding twenty five million Rupiah
(Rp25,000,000) up to fifty million Rupiah (Rp50,000,000);
c. Thirty per cent (30%) or lower rate as set forth by the Government Regulations
for taxable income exceeding fifty million Rupiah (Rp50,000,000).
Should the income brackets be amended by the Minister of Finance, then the tax rates
mentioned in a, b, and c will be applied to the amended income brackets.

To calculate the taxable income, the rules for computation of income tax as provided for
in Annex "F" attached to and made part of this Agreement shall apply. Except as otherwise
stipulated in this Agreement, the rules as provided in Income Tax Law 1994 and its implementing
regulations shall apply.

3. Naskah KK dalam bahasa Indonesia


Perusahaan harus membayar Pajak Penghasilan atas penghasilan, yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Perusahaan, baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk
tetapi tidak terbatas kepada laba bruto atas usaha, dividen, bunga, dan royalti dengan tarif
pajak yang akan dikenakan selama jangka waktu Persetujuan ini adalah sebagai berikut:
a. 10% (sepuluh persen) untuk penghasilan kena pajak sampai dengan Rp25.000.000,00
(dua puluh lima juta rupiah);
b. 15% (lima belas persen) untuk penghasilan kena pajak lebih dari Rp25.000.000,00
(dua puluh lima juta rupiah) sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
c. 30% (tiga puluh persen) atau lebih kecil dari 30% (tiga puluh persen) sesuai dengan
tarif tertinggi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah untuk penghasilan kena
pajak lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Apabila Lapisan Penghasilan Kena Pajak diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan, maka
tarif tersebut pada huruf a, b, dan c diterapkan terhadap Lapisan Kena Pajak yang telah diubah
tersebut.

Untuk menghitung penghasilan kena pajak berlaku tatacara perhitungan Pajak Penghasilan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran "H" yang merupakan bagian dari Persetujuan ini.
Kecuali ditetapkan lain dalam Persetujuan ini berlaku ketentuan sebagaimana dinyatakan dalam
Undang-Undang Pajak Penghasilan 1994 dan Peraturan Pelaksanaannya.

4. Naskah KK dalam bahasa Inggris


The Company shall pay Income Tax on Income, that is any increase in economic ability
received or accrued by the Company, whether originating from within or outside Indonesia,
in whatever name and form, including but not limited to gross profit from business, dividends,
interest and royalties and the tax rates to be charged for the duration of this Agreement shall
be as follows:
a. Ten percent (10%) for taxable income up to twenty five million Rupiah (Rp25,000,000);
b. Fifteen percent (15%) for taxable income exceeding twenty five million Rupiah
(Rp25,000,000) up to fifty million Rupiah (Rp50,000,000);
c. Thirty percent (30%) or lower rate as set forth by the Government regulations for
taxable income exceeding fifty million Rupiah (Rp50,000,000).
Should the income brackets be amended by the Minister of Finance, then the tax rates
mentioned in a, b, and c will be applied to the amended income brackets.

To calculate the taxable income, the rules for computation of Income Tax as provided for
in Annex "H" attached to and made part of this Agreement shall apply. Except as otherwise
stipulated in this Agreement, the rules as provided in Income Tax Law 1994, and its
implementing regulations, shall apply.

D. Dasar

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Undang-Undang Pajak
Penghasilan).
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara NO.XX/MPRS/1966 tentang Memorandum
DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan
Perundangan Republik Indonesia.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 607
E. Materi

1. Sesuai ketentuan dalam Pasal 33A ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan, mengatur bahwa
E. Materi Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi,
pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan kontrak bagi hasil, kontrak
1. Sesuai atau
karya, ketentuan dalam
perjanjian Pasal 33Apengusahaan
kerjasama ayat (4) Undang-Undang
pertambangan Pajak
yang Penghasilan,
masih berlaku mengatur bahwa
pada saat
Wajib PajakUndang-undang
berlakunya yang menjalankan ini, usaha di bidang
pajaknya pertambangan
dihitung berdasarkan minyak
ketentuandandalam
gas bumi,
kontrak bagi
pertambangan
hasil, umum,
kontrak karya, danperjanjian
atau pertambangan lainnya
kerjasama berdasarkanpertambangan
pengusahaan kontrak bagi hasil, kontrak
tersebut sampai
karya, atau
dengan perjanjian
berakhirnya kerjasama
kontrak atau pengusahaan pertambangan
perjanjian kerjasama yang masih berlaku pada saat
dimaksud.
berlakunya Undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam kontrak bagi
2. hasil, kontrakKetetapan
Berdasarkan karya, atau perjanjian
Majelis kerjasama pengusahaan
Permusyawaratan pertambangan
Rakyat Sementara tersebut sampai
No. XX/MPRS/1966 tentang
dengan berakhirnya
Memorandum DPR-GR kontrak atauSumber
Mengenai perjanjian kerjasama
Tertib Hukum dimaksud.
Republik Indonesia dan Tata Urutan
Peraturan Perundangan Republik Indonesia, mengatur antara lain:
2. Berdasarkan
a. Romawi Ketetapan
II hurufMajelis
A angka Permusyawaratan
1, Bentuk-bentuk Rakyat Sementara
Peraturan No. XX/MPRS/1966
Perundangan tentang
Republik Indonesia
Memorandummenurut Undang-Undang
DPR-GR Mengenai SumberDasar 1945
Tertibialah
Hukumsebagai berikut:
Republik Indonesia dan Tata Urutan
Peraturan Undang-Undang Dasar Republik
Perundangan Republik Indonesia
Indonesia, mengatur1945;
antara lain:
a. Ketetapan
Romawi II MPR; huruf A angka 1, Bentuk-bentuk Peraturan Perundangan Republik Indonesia
menurut Undang-Undang
Undang-undang PeraturanDasar 1945 ialah
Pemerintah sebagai
Pengganti berikut:
Undang-undang;
Undang-Undang
Peraturan Pemerintah; Dasar Republik Indonesia 1945;
Ketetapan MPR;
Keputusan Presiden;
Undang-undang Peraturan
Peraturan-peraturan Pemerintah
Pelaksanaan Pengganti
lainnya seperti :Undang-undang;
-Peraturan Pemerintah;
Peraturan Menteri
-Keputusan Presiden;
Instruksi Menteri
-Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya seperti :
Dan lain-lainnya.
b. -
Romawi Peraturan
II Menteri4, Peraturan Pemerintah adalah memuat aturan-aturan umum
huruf B angka
-
untuk Instruksi Menteri
melaksanakan Undang-undang.
- Dan lain-lainnya.
3. b.
Frasa Romawi II Regulations/Government
Government huruf B angka 4, Peraturan Pemerintah
regulations adalah
dalam memuat
naskah aturan-aturan
bahasa umum
Inggris PKP2B
atau KK dan frasa
untuk Peraturan Pemerintah
melaksanakan dalam naskah bahasa Indonesia PKP2B atau KK
Undang-undang.
adalah Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf b.
3. Frasa Government Regulations/Government regulations dalam naskah bahasa Inggris PKP2B
4. atau KK
Tarif danPenghasilan
Pajak frasa Peraturan
badanPemerintah
sebagaimana dalam naskahdalam
dimaksud bahasa Indonesia
huruf C untukPKP2B atau
lapisan KK
tarif
adalah Peraturan
tertinggi Pemerintah
sebesar 30% sebagaimana
dapat ditetapkan dimaksud
menjadi pada lebih
tarif yang angkakecil
2 huruf b. Peraturan
dengan
Pemerintah.
4. Tarif Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam huruf C untuk lapisan tarif
5. tertinggiPenghasilan
Lapisan sebesar 30% dapat
Kena ditetapkan
Pajak menjadi
sebagaimana tarif yang
dimaksud lebihhuruf
dalam kecil Cdengan Peraturan
dapat diubah dengan
Pemerintah.Menteri Keuangan.
Keputusan

5.
6. Lapisan Penghasilan
Dengan demikian, tarifKena Pajak
Pajak sebagaimana
Penghasilan dimaksud
badan dalam
dan lapisan huruf C dapat
Penghasilan Kenadiubah
Pajak dengan
yang
Keputusan
berlaku Menteri
adalah : Keuangan.
a. 10% (sepuluh persen) untuk Penghasilan Kena Pajak sampai dengan Rp25.000.000,00
6. Dengan demikian,
(dua puluhtarif
limaPajak
juta Penghasilan
rupiah); badan dan lapisan Penghasilan Kena Pajak yang
b. 15% (lima
berlaku adalah : belas persen) untuk Penghasilan Kena Pajak lebih dari Rp25.000.000,00
a. (dua
10% puluh lima
(sepuluh juta rupiah)
persen) untuk sampai dengan
Penghasilan Rp50.000.000,00
Kena (lima puluh
Pajak sampai dengan juta rupiah);
Rp25.000.000,00
c. 30% (tiga puluh
(dua puluh persen)
lima juta untuk Penghasilan Kena Pajak lebih dari Rp50.000.000,00
rupiah);
b. 15% (lima
(lima puluhbelas persen) untuk Penghasilan Kena Pajak lebih dari Rp25.000.000,00
juta rupiah),
(dua puluh
sampai dengan lima juta rupiah)
ditetapkannya sampai
Peraturan dengan sebagaimana
Pemerintah Rp50.000.000,00 (lima pada
dimaksud puluhangka
juta rupiah);
4
c.
dan/atau 30% (tiga puluh
Keputusan persen)
Menteri untuksebagaimana
Keuangan Penghasilan Kena Pajakpada
dimaksud lebihangka
dari Rp50.000.000,00
5.
(lima puluh juta rupiah),
sampai dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada angka 4
F. Lain-Laindan/atau Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada angka 5.

Dengan diterbitkannya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini, diminta agar seluruh unit terkait
F. Lain-Lain
di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan sosialisasi, penggalian potensi penerimaan,
dan pengawasan terkait dengan pelaksanaannya.
Dengan diterbitkannya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini, diminta agar seluruh unit terkait
di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan sosialisasi, penggalian potensi penerimaan,
Demikiandan
Surat Edaran Direktur
pengawasan terkaitJenderal Pajak ini disampaikan untuk diketahui dan dilaksanakan dengan
dengan pelaksanaannya.
sebaik-baiknya.

Demikian Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini disampaikan untuk diketahui dan dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 November 2014
DIREKTUR JENDERAL PAJAK
Ditetapkan di Jakarta
pada
ttd. tanggal 24 November 2014
DIREKTUR JENDERAL PAJAK
A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15641

www.ortax.org
DOKUMENTASI
Transfer Pricing
Edisi PPh Badan | Maret 2017 609

No Nomor Dokumen Tanggal Ditetapkan Perihal


1. 256/PMK.03/2008 31 Desember 2008 Penetapan Saat Diperolehnya Dividen Oleh Wajib Pajak Dalam Negeri
Atas Penyertaan Modal Pada Badan Usaha Di Luar Negeri Selain Badan
Usaha Yang Menjual Sahamnya Di Bursa Efek
2. 140/PMK.03/2010 11 Agustus 2010 Penetapan Wajib Pajak Sebagai Pihak Yang Sebenarnya Melakukan
Pembelian Saham Atau Aktiva Perusahaan Melalui Pihak Lain Atau
Badan Yang Dibentuk Untuk Maksud Demikian (Special Purpose
Company) Yang Mempunyai Hubungan Istimewa Dengan Pihak Lain Dan
Terdapat Ketidakwajaran Penetapan Harga
3. 7/PMK.03/2015 12 Januari 2015 Tata Cara Pembentukan Dan Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer
(Advance Pricing Agreement)
4. 213/PMK.03/2016 30 Desember 2016 Jenis Dokumen Dan/Atau Informasi Tambahan Yang Wajib Disimpan
Oleh Wajib Pajak Yang Melakukan Transaksi Dengan Para Pihak Yang
Mempunyai Hubungan Istimewa, Dan Tata Cara Pengelolaannya
5. 254/KMK.01/1985 08 Maret 1985 Penundaan Pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 1002/ KMK.04/1984 Tanggal 8 Oktober 1984 Tentang
Penentuan Perbandingan Antara Hutang Dan Modal Sendiri Untuk
Keperluan Pengenaan Pajak Penghasilan
6. PER - 43/PJ/2010 06 September 2010 Penerapan Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi
Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa
7. PER - 48/PJ/2010 03 November 2010 Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual
Agreement Procedure) Berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda
8. PER - 59/PJ/2010 15 Desember 2010 Tata Cara Pelaporan Penerimaan Dividen, Penghitungan Besarnya
Pajak Yang Harus Dibayar, Dan Pengkreditan Pajak Sehubungan Dengan
Penetapan Saat Diperolehnya Dividen Oleh Wajib Pajak Dalam Negeri
Atas Penyertaan Modal Pada Badan Usaha Di Luar Negeri Selain Badan
Usaha Yang Menjual Sahamnya Di Bursa Efek
9. PER - 69/PJ/2010 31 Desember 2010 Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement)
10. PER - 32/PJ/2011 11 November 2011 Perubahan Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/
PJ/2010 Tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman Usaha
Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai
Hubungan Istimewa
11. PER - 22/PJ/2013 30 Mei 2013 Pedoman Pemeriksaan Terhadap Wajib Pajak Yang Mempunyai
Hubungan Istimewa
12. SE - 18/PJ.53/1995 26 April 1995 Pengertian Hubungan Istimewa (Seri PPN 16-95)
13. SE - 50/PJ/2013 24 Oktober 2013 Petunjuk Teknis Pemeriksaan Terhadap Wajib Pajak Yang Mempunyai
Hubungan Istimewa

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
610 Edisi PPh Badan | Maret 2017 256/PMK.03/2008

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 256/PMK.03/2008

TENTANG

PENETAPAN SAAT DIPEROLEHNYA DIVIDEN OLEH WAJIB PAJAK DALAM NEGERI


ATAS PENYERTAAN MODAL PADA BADAN USAHA DI LUAR NEGERI SELAIN
BADAN USAHA YANG MENJUAL SAHAMNYA DI BURSA EFEK

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen Oleh Wajib
Pajak Dalam Negeri Atas Penyertaan Modal Pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual
Sahamnya di Bursa Efek;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262), sebagaimana telah beberapa kali diubah terahir dengan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4740);
2. Undang-Undang nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263), sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara repulik Indonesia Nomor
4983);
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENETAPAN SAAT DIPEROLEHNYA DIVIDEN OLEH WAJIB PAJAK
DALAM NEGERI ATAS PENYERTAAN MODAL PADA BADAN USAHA DI LUAR NEGERI SELAIN BADAN USAHA YANG
MENJUAL SAHAMNYA DI BURSA EFEK.

Pasal 1

Saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar
negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek adalah:
a. pada bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian surat pemberitahuan
tahunan Pajak Penghasilan badan usaha di luar negeri tersebut untuk tahun pajak yang bersangkutan;
atau
b. pada bulan ketujuh setelah tahun pajak berakhir apabila badan usaha di luar negeri tersebut tidak
memiliki kwajiban untuk menyampaikan surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan atau tidak
ada ketentuan batas waktu penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan.

Pasal 2

Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah Wajib Pajak dalam negeri yang:
a. memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor
pada badan usaha di luar negeri; atau
b. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal paling
rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor pada badan usaha di luar negeri.

Pasal 3

(1) Besarnya dividen yang wajib dihitung oleh Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 adalah sebesar jumlah dividen yang menjadi haknya terhadap laba setelah pajak yang

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 611

sebanding dengan penyertaannya pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual
sahamnya di bursa efek.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila sebelum batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, badan usaha di luar negeri dimaksud sudah membagikan
dividen yang menjadi hak Wajib Pajak.
(3) Dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau pada ayat (2) wajib dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk tahun pajak saat dividen tersebut dianggap diperoleh.

Pasal 4

(1) Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 menerima pembagian
dividen dalam jumlah yang melebihi jumlah dividen yang dilaporkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1), atas kelebihan jumlah dividen tersebut wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan pada tahun pajak dibagikannya dividen tersebut.
(2) Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri menerima pembagian dividen selain dividen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), dividen tersebut wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan pada tahun pajak dibagikannya dividen tersebut.

Pasal 5

(1) Pajak atas dividen yang telah dibayar atau dipotong di luar negeri dapat dikreditkan sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008.
(2) Pengkreditan pajak yang dibayar atau dipotong sebagimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada
tahun pajak dibayarnya atau dipotongnya pajak tersebut.

Pasal 6

Ketentuan mengenai:
a. tata cara pelaporan penerimaan dividen dari luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1;
b. tata cara perhitungan besarnya pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2; dan
c. tata cara pengkreditan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5,
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 7

Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 650/KMK.04/1994
tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen Atas Penyertaan Modal Pada Badan Usaha di Luar negeri yang
Sahamnya Tidak Diperdagangkan di Bursa Efek, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 8

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 2008
MENTERI KEUANGAN

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=13586

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
612 Edisi PPh Badan | Maret 2017 140/PMK.03/2010

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 140/PMK.03/2010

TENTANG

PENETAPAN WAJIB PAJAK SEBAGAI PIHAK YANG SEBENARNYA MELAKUKAN


PEMBELIAN SAHAM ATAU AKTIVA PERUSAHAAN MELALUI PIHAK LAIN ATAU BADAN
YANG DIBENTUK UNTUK MAKSUD DEMIKIAN (SPECIAL PURPOSE COMPANY) YANG
MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA DENGAN PIHAK LAIN DAN TERDAPAT
KETIDAKWAJARAN PENETAPAN HARGA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (3b) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 diatur bahwa Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui
pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian (special purpose company), dapat
ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut sepanjang Wajib Pajak yang
bersangkutan mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan terdapat
ketidakwajaran penetapan harga;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 18 ayat (3e) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penetapan Wajib Pajak sebagai Pihak yang
Sebenarnya Melakukan Pembelian Saham atau Aktiva Perusahaan Melalui Pihak Lain atau Badan yang
Dibentuk untuk Maksud Demikian (special purpose company) yang Mempunyai Hubungan Istimewa
Dengan Pihak Lain dan Terdapat Ketidakwajaran Penetapan Harga;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENETAPAN WAJIB PAJAK SEBAGAI PIHAK YANG SEBENARNYA
MELAKUKAN PEMBELIAN SAHAM ATAU AKTIVA PERUSAHAAN MELALUI PIHAK LAIN ATAU BADAN YANG
DIBENTUK UNTUK MAKSUD DEMIKIAN (SPECIAL PURPOSE COMPANY) YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA
DENGAN PIHAK LAIN DAN TERDAPAT KETIDAKWAJARAN PENETAPAN HARGA.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:


1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008.
2. Hubungan Istimewa adalah hubungan istimewa sebagaimana diatur Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang
Pajak Penghasilan, atau hubungan istimewa sebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda dan Pencegahan Pengelakan Pajak (P3B) antara Indonesia dengan negara mitra yang
berlaku.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 613

Pasal 2

(1) Pembelian saham atau aktiva Wajib Pajak badan dalam negeri oleh suatu pihak atau badan yang
dibentuk khusus untuk maksud demikian (special purpose company) dapat ditetapkan sebagai
pembelian yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri lainnya sebagai pihak yang sebenarnya
melakukan pembelian dimaksud sepanjang:
a. Wajib Pajak dalam negeri yang ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan
pembelian tersebut mempunyai Hubungan Istimewa dengan pihak atau badan yang dibentuk
untuk maksud melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan (special purpose company);
dan
b. Terdapat ketidakwajaran penetapan harga pembelian.
(2) Saham atau aktiva perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. Saham atau aktiva yang sebelumnya dimiliki dan/atau dijaminkan oleh Wajib Pajak dalam
negeri yang ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian, sehubungan
dengan perjanjian utang piutang; atau
b. Aktiva yang merupakan aset kredit (piutang) kepada Wajib Pajak dalam negeri yang ditetapkan
sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian, sehubungan dengan perjanjian utang
piutang.
(3) Pihak atau badan yang dibentuk untuk maksud melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan
(special purpose company) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pihak atau badan yang
tidak mempunyai substansi usaha dan yang dibentuk oleh Wajib Pajak dalam negeri yang bertujuan
antara lain untuk membeli saham atau aktiva Wajib Pajak dalam negeri lainnya.

Pasal 3

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada saat diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 Agustus 2010
MENTERI KEUANGAN,

ttd.

AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 11 Agustus 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,

ttd.

PATRIALIS AKBAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 386

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=14373

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
614 Edisi PPh Badan | Maret 2017 7/PMK.03/2015

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 7/PMK.03/2015

TENTANG

TATA CARA PEMBENTUKAN DAN PELAKSANAAN KESEPAKATAN


HARGA TRANSFER (ADVANCE PRICING AGREEMENT)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (3a) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 diatur bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk melakukan perjanjian dengan Wajib
Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi
antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang berlaku selama suatu periode tertentu dan
mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir;
b. bahwa perjanjian antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dimaksudkan untuk memberikan kepastian dan menghindari terjadinya kesalahan dalam rangka
penentuan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 59 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan
tentang Tata Cara Pembentukan dan Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing
Agreement);

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan
Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 162, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5268);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN DAN PELAKSANAAN KESEPAKATAN
HARGA TRANSFER (ADVANCE PRICING AGREEMENT).

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:


1. Undang-Undang adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008
tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang.
2. Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra adalah negara atau yurisdiksi yang terikat dengan Pemerintah
Indonesia dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
3. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara
Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra untuk mencegah terjadinya

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 615

pengenaan pajak berganda dan pengelakan pajak.


4. Otoritas Pajak Negara Mitra atau Otoritas Pajak Yurisdiksi Mitra yang selanjutnya disebut Otoritas Pajak
Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra adalah otoritas perpajakan pada Negara Mitra atau otoritas perpajakan
pada Yurisdiksi Mitra yang berwenang melaksanakan ketentuan dalam P3B.
5. Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) yang selanjutnya disebut MAP adalah
prosedur administratif yang diatur dalam P3B untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam
penerapan P3B.
6. Persetujuan Bersama adalah hasil yang telah disepakati dalam penerapan P3B oleh pejabat yang
berwenang dari Pemerintah Indonesia dan pemerintah Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra sehubungan
dengan MAP yang telah dilaksanakan.
7. Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) yang selanjutnya disebut APA adalah
perjanjian tertulis antara:
a. Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak; atau
b. Direktur Jenderal Pajak dengan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra P3B yang
melibatkan Wajib Pajak,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3a) Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan
perubahannya untuk menyepakati kriteria-kriteria dan/atau menentukan harga wajar atau laba wajar
dimuka.
8. Hubungan Istimewa adalah hubungan istimewa sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4)
Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya atau Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
9. Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (arm's length principle (ALP)) yang selanjutnya disebut Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha adalah prinsip yang menyatakan bahwa apabila kondisi dalam
transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sama atau sebanding
dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa yang dijadikan sebagai pembanding, harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara
pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dimaksud harus sama dengan atau berada dalam
rentang harga atau rentang laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa yang dijadikan sebagai pembanding.
10. Harga Wajar atau Laba Wajar adalah harga atau laba yang terjadi atas transaksi yang dilakukan antara
pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi yang sebanding atau harga atau
laba yang ditentukan sebagai harga atau laba yang memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
11. Penentuan Harga Transfer atau Transfer Pricing yang selanjutnya disebut Transfer Pricing adalah
penentuan harga dalam transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
12. Analisis Kesebandingan adalah analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau Direktur Jenderal Pajak
atas kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa untuk diperbandingkan dengan kondisi yang sebanding dalam transaksi yang
dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, dan analisis untuk
mengidentifikasi atas perbedaan kondisi dalam kedua jenis transaksi dimaksud.
13. Naskah APA adalah dokumen yang berisi kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib
Pajak di Indonesia mengenai penentuan harga transfer dan kriteria-kriteria dalam penentuan harga
transfer untuk tahun pajak selama jangka waktu APA.

BAB II
RUANG LINGKUP

Pasal 2

(1) Pengajuan APA dapat dilakukan oleh:


a. Wajib Pajak dalam negeri Indonesia dan Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; atau
b. Wajib Pajak dalam negeri Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
(2) Wajib Pajak dalam negeri Indonesia dan Wajib Pajak luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dapat mengajukan APA sepanjang telah beroperasi atau melakukan kegiatan usaha di Indonesia
paling singkat selama 3 (tiga) tahun.
(3) Pengajuan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan melalui Otoritas Pajak Negara
Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
(4) Pengajuan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi seluruh atau sebagian transaksi yang
dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.

Pasal 3

(1) APA berlaku dan mengikat bagi :


a. Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak; atau
b. Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak dan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi
Mitra, selama jangka waktu APA.

www.ortax.org
616 Edisi PPh Badan | Maret 2017

(2) APA paling sedikit memuat :


a. para pihak yang memiliki Hubungan Istimewa;
b. transaksi yang termasuk dalam ruang lingkup APA;
c. metode Transfer Pricing;
d. pembanding (comparables);
e. jangka waktu berlakunya APA;
f. asumsi kritikal (critical assumptions); dan
g. penyesuaian Transfer Pricing (transfer pricing adjustment).

Pasal 4

Jangka waktu pemberlakuan APA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dapat diberikan:
a. paling lama 3 (tiga) tahun pajak; atau
b. paling lama 4 (empat) tahun pajak, untuk APA yang pembahasannya melibatkan Otoritas Pajak Negara
Mitra atau Yurisdiksi Mitra sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2).

BAB III
PEMBENTUKAN APA

Pasal 5

(1) Tahapan pembentukan APA meliputi :


a. pengajuan permohonan pembicaraan awal oleh Wajib Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak;
b. pembicaraan awal antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak;
c. penyampaian undangan dari Direktur Jenderal Pajak kepada Wajib Pajak dalam rangka
pengajuan permohonan APA berdasarkan hasil dari pembicaraan awal;
d. pengajuan permohonan APA oleh Wajib Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak;
e. pembentukan tim pembahas APA oleh Direktur Jenderal Pajak;
f. analisis dan evaluasi serta pembahasan permohonan APA oleh tim pembahas dengan Wajib
Pajak;
g. pembahasan APA melalui MAP, dalam hal APA dimaksud melibatkan Otoritas Pajak Negara Mitra
atau Yurisdiksi Mitra;
h. penyusunan Naskah APA; dan
i. penerbitan Keputusan Direktur Jenderal Pajak yang berisi mengenai Naskah APA dan
pelaksanaan Naskah APA tersebut.
(2) Dalam hal APA diajukan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b, tahapan
pembentukan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap harus dipenuhi oleh Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a yang terkait dengan permohonan APA.

Bagian Kesatu
Pembicaraan Awal

Pasal 6

(1) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a mengajukan permohonan
pembicaraan awal secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak dengan mencantumkan transaksi dan
tahun pajak yang akan dicakup dalam APA.
(2) Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pembicaraan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus menyampaikan pernyataan kesediaan secara tertulis untuk menyediakan seluruh dokumen yang
diperlukan dalam proses permohonan APA, dan melengkapi dokumen pendukung sebagai berikut:
a. penjelasan dari Wajib Pajak mengenai alasan mengajukan permohonan APA;
b. penjelasan mengenai kegiatan dan usaha Wajib Pajak;
c. penjelasan mengenai rencana usaha (business plan) Wajib Pajak;
d. struktur perusahaan yang meliputi antara lain struktur kelompok usaha, struktur kepemilikan
dan struktur organisasi;
e. penjelasan mengenai pemegang saham dan penjelasan mengenai transaksi yang dilakukan oleh
pemegang saham dengan Wajib Pajak;
f. penjelasan mengenai pihak-pihak lainnya yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan Wajib
Pajak dan penjelasan rinci mengenai transaksi yang dilakukan pihak-pihak lain tersebut dengan
Wajib Pajak;
g. penjelasan mengenai transaksi dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk
3 (tiga) tahun pajak terakhir, dalam hal ada;
h. penjelasan mengenai transaksi yang diusulkan untuk dibahas dan yang dicakup dalam APA;
i. metode dan penjelasan atas penentuan harga transfer yang diusulkan oleh Wajib Pajak dan
dokumentasi yang dilakukan oleh Wajib Pajak mengenai Analisis Kesebandingan, analisis fungsional,

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 617

pemilihan dan penentuan pembanding, dan penentuan metode Transfer Pricing;


j. penjelasan mengenai situasi atau keadaan dalam kegiatan atau usaha Wajib Pajak yang
perubahannya dapat mempengaruhi secara material kesesuaian metode Transfer Pricing Wajib
Pajak;
k. penjelasan mengenai sistem akuntansi, proses produksi, dan proses pembuatan keputusan;
l. penjelasan mengenai pihak lain yang menjadi pesaing yang mempunyai jenis kegiatan atau
usaha atau produk yang sama atau sejenis dengan Wajib Pajak, termasuk penjelasan mengenai
karakteristik dan pangsa pasar pesaing;
m. fotokopi akta pendirian dan perubahan Wajib Pajak, atau sejenisnya;
n. fotokopi Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan dan Laporan Keuangan Wajib Pajak
selama 3 (tiga) tahun terakhir; dan
o. dokumen pendukung lainnya yang diperlukan.
(3) Permohonan pembicaraan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus:
a. berdasarkan transaksi riil dan/atau transaksi yang sudah direncanakan berdasarkan keputusan
pengurus atau direksi perusahaan;
b. sesuai dengan pedoman atau peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
Transfer Pricing; dan
c. tidak dilakukan semata-mata untuk meminimalisasi beban pajak.
(4) Permohonan pembicaraan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan paling lambat
6 (enam) bulan sebelum dimulainya tahun pajak yang akan dicakup dalam APA.

Pasal 7

(1) Dalam hal pengajuan APA dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b melalui Otoritas Pajak Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), Direktur Jenderal Pajak menyampaikan
surat pemberitahuan kepada Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a yang
terkait dengan permohonan APA.
(2) Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a yang terkait dengan
permohonan APA menyetujui permohonan APA yang diajukan oleh Wajib Pajak dalam negeri Negara
Mitra atau Yurisdiksi Mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a yang terkait dengan permohonan APA mengajukan permohonan
pembicaraan awal sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
(3) Direktur Jenderal Pajak menolak permohonan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a yang terkait dengan permohonan
APA tidak menyetujui permohonan APA yang diajukan oleh Wajib Pajak dalam negeri Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra.

Pasal 8

(1) Direktur Jenderal Pajak melakukan pembicaraan awal dengan Wajib Pajak untuk:
a. membahas perlu atau tidaknya dilaksanakan APA;
b. membahas ruang lingkup APA yang diusulkan oleh Wajib Pajak;
c. memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk menjelaskan penentuan metode Transfer
Pricing yang diusulkannya;
d. membahas kemungkinan pembentukan APA yang melibatkan Otoritas Pajak Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra;
e. membahas dokumentasi dan analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak;
f. membahas jangka waktu dan periode tahun pajak yang dicakup dalam pembentukan APA; dan
g. membahas hal-hal lain yang terkait dengan pembentukan dan penerapan APA.
(2) Atas permohonan pembicaraan awal dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1),
Direktur Jenderal Pajak melakukan evaluasi dan menentukan jadwal pembicaraan awal dengan Wajib
Pajak.
(3) Pembicaraan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali.
(4) Dalam rangka pembicaraan awal, Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan peninjauan ke tempat
kegiatan usaha Wajib Pajak untuk melengkapi data atau informasi yang diperlukan.

Pasal 9

(1) Pembicaraan awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam
pembahasan APA.
(2) Pembicaraan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengikat Direktur Jenderal Pajak atau
Wajib Pajak untuk menindaklanjuti ke tahap pembahasan APA.

www.ortax.org
618 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Bagian Kedua
Undangan Pengajuan Permohonan APA

Pasal 10

(1) Dalam hal berdasarkan hasil pembicaraan awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal 8 Direktur
Jenderal Pajak memutuskan bahwa pembicaraan awal dapat ditindaklanjuti ke tahap pembahasan APA,
Direktur Jenderal Pajak menyampaikan surat undangan kepada Wajib Pajak untuk mengajukan
permohonan APA.
(2) Surat undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam jangka waktu paling lambat
1 (satu) bulan sebelum dimulainya tahun pajak yang akan dicakup dalam APA.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil pembicaraan awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Direktur Jenderal
Pajak memutuskan bahwa pembicaraan awal dengan Wajib Pajak tidak dapat ditindaklanjuti ke tahap
pembahasan APA, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan surat pemberitahuan kepada Wajib Pajak
yang menyatakan bahwa Wajib Pajak tidak dapat mengajukan permohonan APA.
(4) Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan dalam jangka waktu paling
lambat 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya tahun pajak yaitu tahun diajukannya permohonan
pembicaraan awal APA oleh Wajib Pajak.

Bagian Ketiga
Permohonan APA

Pasal 11

(1) Berdasarkan undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), Wajib Pajak dapat
menyampaikan permohonan APA kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Peraturan
Perpajakan II dengan mencantumkan informasi sebagai berikut:
a. nama Wajib Pajak, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat Wajib Pajak;
b. identitas pendukung pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan Wajib Pajak; dan
c. ruang lingkup transaksi dan tahun pajak yang dicakup dalam APA.
(2) Permohonan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
b. ditandatangani oleh Wajib Pajak atau wakilnya yang sah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang; dan
c. dalam hal ditandatangani oleh kuasa, dilampiri surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang.
(3) Permohonan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan dokumen pendukung
meliputi:
a. penjelasan rinci mengenai hasil pembicaraan awal yang telah dilakukan sebelumnya antara
Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak;
b. penjelasan rinci mengenai metode Transfer Pricing yang diusulkan oleh Wajib Pajak, termasuk
dokumentasi yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak;
c. penjelasan rinci mengenai kondisi yang membentuk metode Transfer Pricing;
d. penjelasan rinci dan dokumentasi yang menunjukkan bahwa penerapan metode Transfer Pricing
yang diusulkan oleh Wajib Pajak memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha;
e. penjelasan rinci mengenai analisis asumsi kritikal (critical assumptions); dan
f. dokumen pendukung terkait lainnya yang diperlukan.
(4) Permohonan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) harus diterima oleh Direktur Peraturan Perpajakan II paling lambat pada akhir
tahun pajak sebelum dimulainya tahun pajak yang dicakup dalam APA.
(5) Dalam hal batas waktu diterimanya permohonan APA dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) terlampaui sampai dengan paling lama 1 (satu) tahun, tahun pajak yang dicakup dalam
APA menjadi berkurang 1 (satu) tahun pajak.
(6) Dalam hal batas waktu diterimanya permohonan APA dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) terlampaui, permohonan APA tidak dapat ditindaklanjuti ke tahap pembahasan APA.

Bagian Keempat
Pembahasan APA

Pasal 12

(1) Berdasarkan permohonan APA, Direktur Jenderal Pajak membentuk tim pembahas APA.
(2) Tim pembahas APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari unsur-unsur pegawai negeri sipil
di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, dan/atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal
Pajak.
(3) Tim pembahas APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain mempunyai tugas:

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 619

a. melakukan analisis dan evaluasi atas permohonan APA termasuk analisis ekonomi untuk tahun
pajak yang dicakup dalam APA;
b. mengajukan usul pemeriksaan tujuan lain dalam rangka analisis dan evaluasi atas permohonan
APA, dalam hal diperlukan;
c. meminta Wajib Pajak untuk memberikan data atau informasi lain yang diperlukan serta
melakukan peninjauan ke tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dan/atau pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa, dalam hal diperlukan;
d. meminta informasi yang diperlukan dari pihak terkait lainnya, dalam hal diperlukan;
e. melakukan pembahasan APA dengan Wajib Pajak;
f. melakukan pembahasan dengan unit terkait di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak;
g. menyiapkan usulan rekomendasi naskah posisi APA Direktorat Jenderal Pajak; dan
h. melakukan dokumentasi atas kegiatan dalam rangka APA.
(4) Pembahasan APA dengan Wajib Pajak meliputi:
a. ruang lingkup transaksi dan tahun pajak yang akan dicakup oleh APA;
b. analisis kesebandingan, pemilihan, dan penentuan data pembanding;
c. penentuan metode Transfer Pricing yang tepat;
d. kondisi dan faktor-faktor yang mempengaruhi asumsi kritikal (critical assumptions) dalam
penentuan metode Transfer Pricing; dan
e. penjelasan mengenai ada atau tidaknya pengenaan pajak berganda.
(5) Pembahasan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan memenuhi standar analisis
dan evaluasi yang meliputi standar umum analisis dan evaluasi, standar pelaksanaan analisis dan
evaluasi, dan standar pelaporan hasil analisis dan evaluasi.

Pasal 13

(1) Dalam hal berdasarkan pembahasan APA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) diketahui
dapat menyebabkan terjadinya pengenaan pajak berganda, Direktur Jenderal Pajak dapat:
a. mengajukan permohonan MAP kepada Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra;
b. menerima permohonan APA yang diajukan oleh Wajib Pajak dalam negeri Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra melalui Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
(2) Dalam hal pembahasan APA melibatkan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, pembahasan
APA dilakukan sesuai dengan perundang-undangan yang mengatur mengenai MAP.

Pasal 14

(1) Terhadap hasil analisis dan evaluasi permohonan APA, tim pembahas APA menyampaikan usulan
rekomendasi APA kepada Direktur Jenderal Pajak.
(2) Direktur Jenderal Pajak membahas usulan rekomendasi APA dari tim pembahas APA sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bersama dengan tim quality assurance.
(3) Tim quality assurance sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan tim yang dibentuk oleh Direktur
Jenderal Pajak untuk membahas usulan rekomendasi APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Berdasarkan hasil pembahasan usulan rekomendasi APA antara Direktur Jenderal Pajak dengan tim
quality assurance, Direktur Jenderal Pajak memutuskan untuk menyetujui atau tidaknya usulan
rekomendasi APA dimaksud.
(5) Dalam hal pembahasan APA melibatkan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, hasil
pembahasan Direktur Jenderal Pajak dengan tim quality assurance sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) digunakan sebagai posisi runding Direktorat Jenderal Pajak dalam melakukan MAP.

Pasal 15

(1) Pembahasan APA dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak permohonan APA
diterima.
(2) Dalam hal pembahasan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memerlukan perpanjangan waktu
mengingat adanya pengajuan pemeriksaan tujuan lain dalam rangka analisis dan evaluasi atas
permohonan APA, perpanjangan waktu pembahasan APA dimaksud dapat dilakukan paling lama
1 (satu) tahun sejak berakhirnya jangka waktu pembahasan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal pembahasan APA melibatkan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, jangka waktu
pembahasan APA dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam MAP.

Pasal 16

(1) Hasil pembahasan APA berupa kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau
tidak dicapai kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak.
(2) Dalam hal APA melibatkan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, kesepakatan yang dicapai

www.ortax.org
620 Edisi PPh Badan | Maret 2017

sebagai hasil pembahasan APA dituangkan dalam Persetujuan Bersama.


(3) Dalam hal hasil pembahasan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa tidak dicapai
kesepakatan, permohonan APA dianggap batal.
(4) Dalam hal APA yang melibatkan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra tidak menghasilkan
Persetujuan Bersama, tindak lanjut pembahasan APA berupa:
a. pembahasan APA yang hanya dilakukan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a; atau
b. penghentian pembahasan APA.

Bagian Kelima
Naskah APA

Pasal 17

(1) Hasil pembahasan APA yang berupa kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) ditindaklanjuti dengan penyusunan Naskah APA.
(2) Naskah APA ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak.
(3) Naskah APA paling sedikit memuat:
a. nama Wajib Pajak, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat Wajib Pajak, serta identitas pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa dengan Wajib Pajak yang terkait dengan APA;
b. ruang lingkup transaksi yang dicakup;
c. tahun pajak yang dicakup;
d. ketentuan umum yang digunakan dalam APA;
e. metode Transfer Pricing yang disepakati;
f. faktor-faktor yang mempengaruhi asumsi kritikal (critical assumptions) penerapan metode
Transfer Pricing;
g. Harga Wajar atau Laba Wajar, atau rentang Harga Wajar atau rentang Laba Wajar untuk setiap
jenis barang/jasa atau transaksi yang dicakup;
h. kewajiban yang harus dilaksanakan dalam penerapan APA dan kewajiban pelaporan;
i. konsekuensi hukum;
j. kerahasiaan informasi;
k. peninjauan kembali dan pembatalan;
l. mekanisme penyelesaian masalah yang timbul dalam penerapan APA;
m. kondisi yang menyebabkan Direktur Jenderal Pajak dapat meninjau atau membatalkan APA;
dan
n. informasi lain yang mendukung keterangan sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai
dengan huruf m.

Pasal 18

Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan yang berisi mengenai Naskah APA dan pelaksanaan Naskah APA
tersebut.

BAB IV
PELAKSANAAN, EVALUASI, DAN PEMBARUAN (RENEWAL) APA

Bagian Kesatu
Pelaksanaan APA

Pasal 19

(1) APA diberlakukan terhitung sejak tahun pajak saat Naskah APA disepakati.
(2) Dalam hal APA melibatkan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, APA diberlakukan sesuai
dengan hasil Persetujuan Bersama.

Bagian Kedua
Evaluasi APA

Pasal 20

(1) Wajib Pajak wajib menyampaikan laporan kepatuhan tahunan (annual compliance report) kepada
Direktur Jenderal paling lambat 4 (empat) bulan setelah berakhirnya tahun pajak.
(2) Dalam hal Naskah APA yang disusun berdasarkan Persetujuan Bersama menyepakati cakupan tahun
pajak sebelum ditandatanganinya Naskah APA, penyampaian laporan kepatuhan tahunan yang meliputi

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 621

tahun pajak sebelum tahun pajak ditandatanganinya Naskah APA disampaikan paling lambat 4 (empat)
bulan setelah bulan ditandatanganinya Naskah APA.
(3) Laporan kepatuhan tahunan (annual compliance report) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi
kesesuaian pelaksanaan APA dalam kegiatan atau usaha Wajib Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak
untuk seluruh tahun pajak yang dicakup dalam APA, dan harus memuat:
a. penjelasan rinci mengenai kepatuhan Wajib Pajak menerapkan metode Transfer Pricing dalam
transaksi yang dicakup dalam APA;
b. penjelasan rinci mengenai keakuratan dan konsistensi penerapan metode Transfer Pricing;
c. penjelasan rinci mengenai keakuratan faktor-faktor yang mempengaruhi asumsi kritikal
(critical assumptions) penerapan metode Transfer Pricing; dan
d. informasi lain yang mendukung penjelasan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan
huruf c.
(4) Faktor-faktor yang mempengaruhi asumsi kritikal (critical assumptions) sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf c antara lain:
a. perubahan ketentuan perundang-undangan perpajakan dan aturan pelaksanaannya;
b. perubahan tarif dan bea masuk;
c. perubahan ketentuan perundang-undangan di bidang usaha yang terkait;
d. peristiwa di luar kekuasaan dan kendali manusia/perusahaan (force majeur);
e. munculnya pesaing baru yang mempengaruhi struktur harga pasar secara signifikan;
f. keluarnya kebijakan pemerintah yang dapat mempengaruhi kegiatan Wajib Pajak;
g. perubahan kondisi ekonomi yang dapat mempengaruhi volume penjualan, unit produksi, atau
pangsa pasar secara signifikan;
h. perubahan kegiatan usaha Wajib Pajak, seperti restrukturisasi perusahaan; atau
i. perubahan nilai tukar mata uang yang signifikan.
(5) Dalam hal terjadi faktor-faktor yang mempengaruhi asumsi kritikal (critical assumptions) sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), Wajib Pajak harus menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal
Pajak.
(6) Wajib Pajak dapat menyampaikan permohonan peninjauan ulang atau permohonan pembatalan APA
dalam hal terjadi faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (4), paling lambat 30 (tiga puluh) hari
sejak timbulnya faktor-faktor dimaksud.

Pasal 21

(1) Direktur Jenderal Pajak melakukan evaluasi atas laporan kepatuhan tahunan (annual compliance report)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20.
(2) Direktur Jenderal Pajak dapat meninjau kembali atau membatalkan APA dalam hal:
a. Wajib Pajak tidak mematuhi APA;
b. Wajib Pajak menyampaikan data/informasi yang tidak benar;
c. Wajib Pajak tidak menyampaikan laporan kepatuhan tahunan (annual compliance report) sesuai
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2);
d. Wajib Pajak menyampaikan laporan kepatuhan tahunan yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3);
e. terdapat perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi asumsi kritikal (assumption critical)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (4);
f. Wajib Pajak tidak menyampaikan pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
ayat (5);
g. Wajib Pajak menyampaikan permohonan peninjauan ulang atau permohonan pembatalan APA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (6);
h. ditemukan fakta bahwa APA memuat kesalahan; atau
i. Wajib Pajak telah melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
(3) Dalam hal Direktur Jenderal Pajak meninjau kembali atau membatalkan APA sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak mengirimkan surat pemberitahuan peninjauan kembali atau
pembatalan kepada Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a atau kepada
Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
(4) Dalam hal Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak melakukan peninjauan kembali Naskah APA, hasil
peninjauan kembali dimaksud dituangkan dalam perubahan Naskah APA dan ditandatangani oleh
Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak.
(5) Dalam hal Direktur Jenderal Pajak memutuskan dilakukan peninjauan kembali Naskah APA sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan mengenai perubahan atas
keputusan penerbitan Naskah APA dan pelaksanaan Naskah APA.
(6) Dalam hal Direktur Jenderal Pajak memutuskan dilakukan pembatalan APA, Direktur Jenderal Pajak
menerbitkan keputusan mengenai pencabutan atas keputusan penerbitan Naskah APA dan pelaksanaan
Naskah APA.

Bagian Ketiga
Pembaruan (Renewal) APA

www.ortax.org
622 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Pasal 22

(1) Pembaruan (renewal) APA dapat dilakukan pada tahun pajak terakhir berlakunya APA.
(2) Pengajuan pembaruan (renewal) APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlakukan sama dengan
pengajuan APA sesuai tahapan pembentukan APA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
(3) Dalam rangka melakukan pembaruan (renewal) APA, Direktur Jenderal Pajak mempertimbangkan
kesepakatan-kesepakatan dalam APA yang dilakukan pembaruan (renewal).

BAB V
DOKUMENTASI

Pasal 23

(1) Direktur Jenderal Pajak melakukan dokumentasi atas seluruh tahapan dalam pelaksanaan pembentukan
APA, termasuk:
a. hasil analisis dan evaluasi APA;
b. hasil pembahasan APA;
c. agreed minutes atau records of discussion selama pembentukan APA;
d. surat menyurat, termasuk surat menyurat elektronik; dan
e. media rekam digital atau elektronik.
(2) Dokumen atau informasi yang disampaikan oleh Wajib Pajak dalam pembentukan APA merupakan
kerahasiaan Wajib Pajak yang dilarang untuk diberitahukan kepada pihak lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 Undang-Undang.
(3) Dalam hal proses pembentukan APA tidak dicapai kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan
Wajib Pajak atau Direktur Jenderal Pajak membatalkan APA, dokumen Wajib Pajak yang dipergunakan
selama proses pembentukan APA harus dikembalikan kepada Wajib Pajak.
(4) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat digunakan oleh Direktur Jenderal Pajak
sebagai dasar untuk melakukan pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, atau penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan.

BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 24

(1) APA tidak menghalangi Direktur Jenderal Pajak untuk melaksanakan pemeriksaan, pemeriksaan bukti
permulaan, atau penyidikan pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Dalam hal APA yang melibatkan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra berakibat pada
pembetulan surat ketetapan pajak atau surat keputusan keberatan, pembetulan surat ketetapan pajak
atau surat keputusan keberatan dimaksud dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
di bidang perpajakan.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4), untuk permintaan dan/atau
perolehan dokumen yang diperlukan oleh Direktur Jenderal Pajak pada saat melakukan pemeriksaan,
pemeriksaan bukti permulaan, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, permintaan dan/atau
perolehan dokumen dimaksud dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan.

Pasal 25

(1) Dalam hal diperlukan, Direktur Jenderal Pajak dapat menghadirkan tenaga ahli di luar Direktorat
Jenderal Pajak pada tahapan pembentukan APA.
(2) Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak dapat menghadirkan tenaga ahli pada tahapan
pembentukan APA.

BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 26

Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, terhadap pengajuan APA yang telah diterima oleh Direktur Jenderal
Pajak sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dan belum diterbitkan Naskah APA, dilakukan pemrosesan lebih
lanjut berdasarkan Peraturan Menteri ini.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 623

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 27

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan tim pembahas dan tim quality assurance, dan tahap pembentukan
APA, serta pelaksanaan, evaluasi, dan pembaruan (renewal) APA diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak.

Pasal 28

Peraturan Menteri ini berlaku setelah 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Januari 2015
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

BAMBANG P.S. BRODJONEGORO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Januari 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

YASONNA H. LAOLY

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 39

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15673

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
624 Edisi PPh Badan | Maret 2017 213/PMK.03/2016

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 213/PMK.03/2016

TENTANG

JENIS DOKUMEN DAN/ATAU INFORMASI TAMBAHAN


YANG WAJIB DISIMPAN OLEH WAJIB PAJAK YANG MELAKUKAN TRANSAKSI
DENGAN PARA PIHAK YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA,
DAN TATA CARA PENGELOLAANNYA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (6) dan Pasal 28 ayat (11) Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang,
Wajib Pajak harus melampirkan dokumen berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang perpajakan dalam Surat Pemberitahuannya, dan wajib menyimpan buku, catatan, dan
dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain selama 10 (sepuluh)
tahun di Indonesia;
b. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan diatur bahwa dalam hal Wajib Pajak
melakukan transaksi dengan para pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak,
kewajiban menyimpan dokumen lain meliputi dokumen dan/atau informasi tambahan untuk mendukung
bahwa transaksi yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa telah sesuai dengan
prinsip kewajaran dan kelaziman usaha;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b serta untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, perlu menetapkan Peraturan Menteri
Keuangan tentang Jenis Dokumen dan/atau Informasi Tambahan yang Wajib Disimpan oleh Wajib Pajak
yang Melakukan Transaksi dengan Para Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa, dan Tata Cara
Pengelolaannya;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008
tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan
Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan
Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 162, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5268);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG JENIS DOKUMEN DAN/ATAU INFORMASI TAMBAHAN YANG WAJIB
DISIMPAN OLEH WAJIB PAJAK YANG MELAKUKAN TRANSAKSI DENGAN PARA PIHAK YANG MEMPUNYAI
HUBUNGAN ISTIMEWA, DAN TATA CARA PENGELOLAANNYA.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:


1. Hubungan Istimewa adalah hubungan istimewa sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan atau Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 625

sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang
Perubahan Ketiga Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah.
2. Pihak Afiliasi adalah pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan Wajib Pajak.
3. Transaksi Afiliasi adalah transaksi yang dilakukan Wajib Pajak dengan Pihak Afiliasi.
4. Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha yang Tidak Dipengaruhi oleh Hubungan Istimewa yang
selanjutnya disebut Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha adalah prinsip yang mengatur bahwa dalam
hal kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara para pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa
sama atau sebanding dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara para pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa yang dijadikan sebagai pembanding, harga atau laba dalam transaksi
yang dilakukan antara para pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dimaksud harus sama dengan
atau berada dalam rentang harga atau rentang laba dalam transaksi yang dilakukan antara para pihak
yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang dijadikan sebagai pembanding.
5. Penentuan Harga Transfer atau Transfer Pricing yang selanjutnya disebut Penentuan Harga Transfer
adalah penentuan harga dalam Transaksi Afiliasi.
6. Dokumen Penentuan Harga Transfer adalah dokumen yang diselenggarakan oleh Wajib Pajak sebagai
dasar penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Penentuan Harga Transfer yang
dilakukan oleh Wajib Pajak.
7. Grup Usaha adalah sekumpulan subjek pajak yang menjalankan kegiatan usaha yang terdiri dari
pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
8. Entitas Induk adalah salah satu anggota dari Grup Usaha yang memenuhi kriteria:
a. menguasai secara langsung atau tidak langsung satu atau lebih anggota lain dalam Grup
Usaha; dan
b. mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan laporan keuangan konsolidasi berdasarkan
standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia dan/atau berdasarkan ketentuan yang
mengikat emiten bursa efek di Indonesia.

Pasal 2

(1) Dokumen Penentuan Harga Transfer terdiri atas:


a. dokumen induk;
b. dokumen lokal; dan/ atau
c. laporan per negara.
(2) Wajib Pajak yang melakukan Transaksi Afiliasi dengan:
a. nilai peredaran bruto Tahun Pajak sebelumnya dalam satu Tahun Pajak lebih dari
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah);
b. nilai Transaksi Afiliasi Tahun Pajak sebelumnya dalam satu Tahun Pajak:
1. lebih dari Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) untuk transaksi barang
berwujud; atau
2. lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk masing-masing penyediaan
jasa, pembayaran bunga, pemanfaatan barang tidak berwujud, atau Transaksi Afiliasi
lainnya; atau
c. Pihak Afiliasi yang berada di negara atau yurisdiksi dengan tarif Pajak Penghasilan lebih rendah
dari pada tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan,
wajib menyelenggarakan dan menyimpan Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan huruf b sebagai bagian dari kewajiban menyimpan dokumen lain sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3) Wajib Pajak yang merupakan Entitas Induk dari suatu Grup Usaha yang memiliki peredaran bruto
konsolidasi pada Tahun Pajak bersangkutan paling sedikit Rp 11.000.000.000.000,00 (sebelas triliun
rupiah), wajib menyelenggarakan dan menyimpan Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c sebagai bagian dari kewajiban menyimpan
dokumen lain sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan.
(4) Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri berkedudukan sebagai anggota Grup Usaha dan entitas induk dari
Grup Usaha merupakan subjek pajak luar negeri, Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan
laporan per negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sepanjang negara atau yurisdiksi
tempat Entitas Induk berdomisili:
a. tidak mewajibkan penyampaian laporan per negara;
b. tidak memiliki perjanjian dengan pemerintah Indonesia mengenai pertukaran informasi
perpajakan; atau
c. memiliki perjanjian dengan pemerintah Indonesia mengenai pertukaran informasi perpajakan,
namun laporan per negara tidak dapat diperoleh pemerintah Indonesia dari negara atau
yurisdiksi tersebut.
(5) Batasan nilai peredaran bruto dan nilai Transaksi Afiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung

www.ortax.org
626 Edisi PPh Badan | Maret 2017

dengan cara disetahunkan dalam hal Tahun Pajak diperolehnya peredaran bruto dan/ atau dilakukannya
Transaksi Afiliasi meliputi jangka waktu kurang dari 12 (dua belas) bulan.
(6) Dalam hal Wajib Pajak memiliki Transaksi Afiliasi namun tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan dan
menyimpan Dokumen Penentuan Harga Transfer berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), ayat (3), atau ayat (4), Wajib Pajak tetap diwajibkan untuk menerapkan Prinsip Kewajaran
dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi Afiliasi tersebut sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang perpajakan.
(7) Dalam hal Wajib Pajak telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan
dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain rupiah, batasan nilai uang dalam mata uang
rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) setara dengan nilai mata uang selain rupiah
berdasarkan nilai kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk penghitungan pajak pada akhir
Tahun Pajak.
(8) Peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) merupakan jumlah bruto
dari penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan pekerjaan, usaha atau kegiatan
utama Wajib Pajak sebelum dikurangi diskon, rabat, dan pengurang lainnya.
(9) Penentuan Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan dan menyimpan Dokumen Penentuan Harga
Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) adalah sesuai contoh
sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.

Pasal 3

(1) Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a dan huruf b,
wajib diselenggarakan berdasarkan data dan informasi yang tersedia pada saat dilakukan Transaksi
Afiliasi.
(2) Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c, wajib
diselenggarakan berdasarkan data dan informasi yang tersedia sampai dengan akhir Tahun Pajak.
(3) Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau
ayat (2), Wajib Pajak dianggap tidak menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.

Pasal 4

(1) Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a dan huruf b,
harus tersedia paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
(2) Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c, harus
tersedia paling lama 12 (dua belas) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
(3) Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan surat
pernyataan mengenai saat tersedianya Dokumen Penentuan Harga Transfer tersebut yang
ditandatangani oleh pihak yang menyediakan Dokumen Penentuan Harga Transfer.

Pasal 5

(1) Dalam hal diperlukan untuk pengawasan kepatuhan Wajib Pajak, pemeriksaan, pemeriksaan bukti
permulaan, atau penyidikan, Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan permintaan Dokumen
Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a dan huruf b.
(2) Wajib Pajak wajib menyampaikan Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dalam jangka waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang perpajakan.
(3) Dalam hal Wajib Pajak menyampaikan Dokumen Penentuan Harga Transfer melebihi jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dokumen Penentuan Harga Transfer yang disampaikan tidak
dipertimbangkan sebagai Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf a dan huruf b.
(4) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana

dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak dianggap tidak memenuhi kewajiban menyelenggarakan dan
menyimpan Dokumen Penentuan Harga Transfer.

Pasal 6

(1) Dalam rangka melaksanakan proses penelitian keberatan, pengurangan atau penghapusan sanksi
administrasi, pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar, pengurangan atau
pembatalan surat tagihan pajak yang tidak benar, atau pembetulan, Direktur Jenderal Pajak berwenang
untuk melakukan permintaan Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf a dan huruf b.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 627

(2) Wajib Pajak harus menyampaikan Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dalam jangka waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang perpajakan.

Pasal 7

(1) Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a dan huruf b
wajib dibuat ikhtisar.
(2) Ikhtisar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan sebagai lampiran Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan Badan Tahun Pajak yang bersangkutan.
(3) Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c untuk Tahun
Pajak 2016 dan seterusnya wajib disampaikan sebagai lampiran Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Badan Tahun Pajak berikutnya.
(4) Ikhtisar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 8

(1) Dokumen induk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a harus memuat informasi
mengenai Grup Usaha paling sedikit sebagai berikut:
a. struktur dan bagan kepemilikan serta negara atau yurisdiksi masing-masing anggota;
b. kegiatan usaha yang dilakukan;
c. harta tidak berwujud yang dimiliki;
d. aktivitas keuangan dan pembiayaan; dan
e. Laporan Keuangan Konsolidasi Entitas Induk dan informasi perpajakan terkait Transaksi Afiliasi.
(2) Rincian dan/atau penjelasan dari informasi dalam dokumen induk sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit memuat informasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 9

(1) Dokumen lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b harus memuat informasi
mengenai Wajib Pajak paling sedikit sebagai berikut:
a. identitas dan kegiatan usaha yang dilakukan;
b. informasi Transaksi Afiliasi dan transaksi independen yang dilakukan;
c. penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha;
d. informasi keuangan; dan
e. peristiwa-peristiwa/kejadian-kejadian/fakta-fakta non-keuangan yang memengaruhi
pembentukan harga atau tingkat laba.
(2) Rincian dan/atau penjelasan dari informasi dalam dokumen lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit memuat informasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(3) Dalam hal Wajib Pajak mempunyai lebih dari satu kegiatan usaha dengan karakterisasi usaha yang
berbeda, dokumen lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disajikan secara tersegmentasi
sesuai dengan karakterisasi usaha yang dimiliki.

Pasal 10

(1) Laporan per negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c harus memuat informasi
sebagai berikut:
a. alokasi penghasilan, pajak yang dibayar, dan aktivitas usaha per negara atau yurisdiksi dari
seluruh anggota Grup Usaha baik di dalam negeri maupun luar negeri, yang meliputi nama
negara atau yurisdiksi, peredaran bruto, laba (rugi) sebelum pajak, Pajak Penghasilan yang
telah dipotong/dipungut/dibayar sendiri, Pajak Penghasilan terutang, modal, akumulasi laba
ditahan, jumlah pegawai tetap, dan harta berwujud selain kas dan setara kas; dan
b. daftar anggota Grup Usaha dan kegiatan usaha utama per negara atau yurisdiksi.
(2) Penyusunan laporan per negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pembentukan
kertas kerja laporan per negara dan dilampirkan pada laporan per negara.
(3) Kertas kerja laporan per negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun sesuai dengan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
(4) Laporan per negara yang memuat informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun
sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf F yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

www.ortax.org
628 Edisi
(5) PPhLaporan
Badan per
| Maret 2017
negara yang memuat informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun
sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf G yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(6) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan hanya dalam rangka penilaian risiko
(5) penghindaran pajak.yang memuat informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun
Laporan per negara
sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf G yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(6) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayatPasal 11
(1) digunakan hanya dalam rangka penilaian risiko
penghindaran pajak.
(1) Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) harus dibuat oleh
Wajib Pajak dalam bahasa Indonesia.
(2) Dalam hal Wajib Pajak telah mendapat izin Pasal
Menteri
11Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan
dalam bahasa asing dan mata uang selain rupiah, Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana
(1) dimaksud pada ayat (1)
Dokumen Penentuan dapat
Harga dibuatsebagaimana
Transfer sesuai dengan bahasa asing
dimaksud dalamyang tercantum
Pasal 2 ayat (1)dalam
harusizin
dibuat oleh
penyelenggaraan
Wajib Pajak dalampembukuan dimaksud dan disertai dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
bahasa Indonesia.
(2) Dalam hal Wajib Pajak telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan
dalam bahasa asing dan mata uang selain rupiah, Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dibuat sesuaiPasal 12 bahasa asing yang tercantum dalam izin
dengan
penyelenggaraan pembukuan dimaksud dan disertai dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
(1) Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c yang
diterima oleh Direktur Jenderal Pajak dikelola secara khusus oleh Direktur Jenderal Pajak.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengelolaan
Pasal 12 Dokumen Penentuan Harga Transfer
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
(1) Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c yang
diterima oleh Direktur Jenderal Pajak dikelola secara khusus oleh Direktur Jenderal Pajak.
(2) Pasal 13
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengelolaan Dokumen Penentuan Harga Transfer
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 5, atau Pasal 7,
dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Pasal 13

Pasal 14
Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 5, atau Pasal 7,
dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan


Pasal 14 Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2016
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA,
Ditetapkan di Jakarta
ttd.
pada tanggal 30 Desember 2016
MENTERI KEUANGAN
SRI MULYANI
REPUBLIK INDRAWATI
INDONESIA,

Diundangkan di Jakarta ttd.


pada tanggal 30 Desember 2016
DIREKTUR JENDERAL SRI MULYANI INDRAWATI
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN
Diundangkan diHUKUM
JakartaDAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
pada tanggal 30 Desember 2016
DIREKTUR JENDERAL
ttd.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
WIDODO
REPUBLIKEKATJAHJANA
INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 2120

Lampiran bisa lihat di laman Ortax


BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 2120

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=16197

www.ortax.org
Keputusan Menteri Keuangan RI :
254/KMK.01/1985 Edisi PPh Badan | Maret 2017 629
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 254/KMK.01/1985

TENTANG REPUBLIK INDONESIA


KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 254/KMK.01/1985
PENUNDAAN PELAKSANAAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1002/KMK.04/1984 TANGGAL 8 OKTOBER 1984
TENTANG
TENTANG PENENTUAN PERBANDINGAN ANTARA HUTANG DAN MODAL SENDIRI
UNTUK KEPERLUAN
PENUNDAAN PELAKSANAAN PENGENAAN
KEPUTUSAN PAJAK
MENTERI PENGHASILAN
KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1002/KMK.04/1984 TANGGAL 8 OKTOBER 1984
MENTERI
TENTANG PENENTUAN KEUANGAN REPUBLIK
PERBANDINGAN INDONESIA,
ANTARA HUTANG DAN MODAL SENDIRI
UNTUK KEPERLUAN PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN
Menimbang :
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
a. bahwa dengan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 1002/KMK.04/1984 tanggal 8
Oktober 1984
Menimbang : telah ditetapkan Keputusan Menteri Keuangan Tentang Penentuan Perbandingan Antara
Hutang dan Modal Sendiri Untuk Keperluan Pengenaan Pajak Penghasilan;
b.
a. bahwa
bahwa penentuan besarnya
dengan Keputusan perbandingan
Menteri Keuangan antara hutang
Republik dan modal
Indonesia sendiri
Nomor untuk keperluan tanggal 8
: 1002/KMK.04/1984
pengenaan
Oktober Pajak
1984 Penghasilan
telah ditetapkanyang bersifatMenteri
Keputusan dan berlaku umum
Keuangan dikuatirkan
Tentang akan menghambat
Penentuan Perbandingan Antara
perkembangan dunia
Hutang dan Modal usaha,
Sendiri sehingga
Untuk dipandang
Keperluan perlu Pajak
Pengenaan untuk Penghasilan;
menangguhkan pelaksanaan Keputusan
b. Menteripenentuan
bahwa Keuangan besarnya
Republik Indonesia Nomor
perbandingan : 1002/KMK.04/1984
antara hutang dan modaltanggal
sendiri 8 Oktober
untuk 1984;
keperluan
pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat dan berlaku umum dikuatirkan akan menghambat
Mengingat :
perkembangan dunia usaha, sehingga dipandang perlu untuk menangguhkan pelaksanaan Keputusan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 1002/KMK.04/1984 tanggal 8 Oktober 1984;
Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984;
Mengingat :
MEMUTUSKAN :
Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984;
Menetapkan :
MEMUTUSKAN :
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENANGGUHAN PELAKSANAAN KEPUTUSAN
MENTERI KEUANGAN
Menetapkan : REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1002/KMK.04/1984 TANGGAL 8 OKTOBER 1984 TENTANG
PENENTUAN PERBANDINGAN ANTARA HUTANG DAN MODAL SENDIRI UNTUK KEPERLUAN PENGENAAN
PAJAK PENGHASILAN.
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENANGGUHAN PELAKSANAAN KEPUTUSAN
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1002/KMK.04/1984 TANGGAL 8 OKTOBER 1984 TENTANG
PENENTUAN PERBANDINGAN ANTARA HUTANG DAN MODAL SENDIRI UNTUK KEPERLUAN PENGENAAN
PAJAK PENGHASILAN. Pasal 1

Pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 1002/KMK.04/1984 tanggal 8 Oktober
1984 Tentang Penentuan Perbandingan Antara Hutang dan
Pasal 1 Modal Sendiri Untuk Keperluan Pengenaan Pajak
Penghasilan ditangguhkan sampai saat yang ditentukan kemudian oleh Menteri Keuangan.
Pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 1002/KMK.04/1984 tanggal 8 Oktober
1984 Tentang Penentuan Perbandingan Antara Hutang dan Modal Sendiri Untuk Keperluan Pengenaan Pajak
Pasalkemudian
Penghasilan ditangguhkan sampai saat yang ditentukan 2 oleh Menteri Keuangan.

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut sejak tanggal 8 Oktober
1984. Pasal 2

Agar setiapini
Keputusan orang mengetahuinya,
mulai memerintahkan
berlaku pada tanggal pengumuman
ditetapkan Keputusan
dan mempunyai ini dengan
daya laku penempatannya
surut sejak dalam
tanggal 8 Oktober
Berita Negara Republik Indonesia.
1984.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di JAKARTA.
Pada tanggal 8 Maret 1985.
MENTERI KEUANGAN,
Ditetapkan di JAKARTA.
ttd
Pada tanggal 8 Maret 1985.
MENTERI KEUANGAN,
RADIUS PRAWIRO
ttd
Status :
RADIUS PRAWIRO

Keputusan Menteri Keuangan - 254/KMK.01/1985 Sudah tidak berlaku lagi karena diganti atau
dicabut oleh Peraturan Menteri Keuangan - 169/PMK.010/2015, Tanggal 9 Sept 2015

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=414

www.ortax.org
Peraturan Direktur Jenderal Pajak :
630 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PER - 43/PJ/2010

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 43/PJ/2010

TENTANG

PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA DALAM TRANSAKSI


ANTARA WAJIB PAJAK DENGAN PIHAK YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 32A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 diatur bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah
negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak;
b. bahwa berdasarkan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 dan
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009;
c. bahwa berdasarkan huruf a dan b di atas dan untuk memberikan kepastian dan kelancaran dalam
penerapan kewajaran dan kelaziman usaha, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak
Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA
DALAM TRANSAKSI ANTARA WAJIB PAJAK DENGAN PIHAK YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan:


1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut Undang-Undang
KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
2. Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
3. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 631

4. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara
Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara/jurisdiksi lain dalam rangka penghindaran pajak
berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
5. Hubungan Istimewa adalah hubungan antara Wajib Pajak dengan pihak lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh atau Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang PPN.
6. Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (arm's length principle/ALP) merupakan prinsip yang mengatur
bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang
tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam
transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa harus sama dengan
atau berada dalam rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang
tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding.
7. Harga Wajar atau Laba Wajar adalah harga atau laba yang terjadi dalam transaksi yang dilakukan
antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi yang sebanding, atau
harga atau laba yang ditentukan sebagai harga atau laba yang memenuhi Prinsip Kewajaran dan
Kelaziman Usaha.
8. Analisis Kesebandingan adalah analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau Direktorat Jenderal Pajak
atas kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa untuk diperbandingkan dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara
pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, dan melakukan identifikasi atas perbedaan
kondisi dalam kedua jenis transaksi dimaksud.
9. Penentuan Harga Transfer (transfer pricing) adalah penentuan harga dalam transaksi antara pihak-pihak
yang mempunyai Hubungan Istimewa.
10. Data Pembanding Internal adalah data Harga Wajar atau Laba Wajar dalam transaksi sebanding yang
dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
11. Data Pembanding Eksternal adalah data Harga Wajar atau Laba Wajar dalam transaksi sebanding yang
dilakukan oleh Wajib Pajak lain dengan pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
12. Metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price/CUP) adalah
metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi yang
dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan harga dalam transaksi yang
dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi atau keadaan
yang sebanding.
13. Metode harga penjualan kembali (resale price method/RPM) adalah metode Penentuan Harga Transfer
yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi suatu produk yang dilakukan antara
pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan harga jual kembali produk tersebut setelah
dikurangi laba kotor wajar, yang mencerminkan fungsi, aset dan risiko, atas penjualan kembali produk
tersebut kepada pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau penjualan kembali produk
yang dilakukan dalam kondisi wajar.
14. Metode biaya-plus (cost plus method/CPM) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan
dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan yang sama dari transaksi
dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau tingkat laba kotor wajar yang diperoleh
perusahaan lain dari transaksi sebanding dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa pada
harga pokok penjualan yang telah sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
15. Metode pembagian laba (profit split method/PSM) adalah metode Penentuan Harga Transfer berbasis
laba transaksional (transactional profit method) yang dilakukan dengan mengidentifikasi laba gabungan
atas transaksi afiliasi yang akan dibagi oleh pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa tersebut
dengan menggunakan dasar yang dapat diterima secara ekonomi yang memberikan perkiraan
pembagian laba yang selayaknya akan terjadi dan akan tercermin dari kesepakatan antar pihak-pihak
yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
16. Metode laba bersih transaksional (transactional net margin method/TNMM) adalah metode Penentuan
Harga Transfer yang c dilakukan dengan membandingkan persentase laba bersih operasi terhadap
biaya, terhadap penjualan, terhadap aktiva, atau terhadap dasar lainnya atas transaksi antara pihak-
pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan persentase laba bersih operasi yang diperoleh atas
transaksi sebanding dengan pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau persentase laba
bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding yang dilakukan oleh pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa lainnya.
17. Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure/MAP) adalah prosedur administratif yang
dilakukan oleh pejabat yang berwenang dari Indonesia dengan pejabat yang berwenang dari negara
mitra P3B untuk menyelesaikan sengketa perpajakan yang timbul sehubungan dengan penerapan P3B.

BAB II
RUANG LINGKUP

Pasal 2

(1) Ruang lingkup Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini adalah transaksi yang dilakukan Wajib Pajak
dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.

www.ortax.org
632 Edisi PPh Badan | Maret 2017

(2) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat mengakibatkan pelaporan jumlah
penghasilan dan pengurangan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak
tidak sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha meliputi antara lain :
a. penjualan, pengalihan, pembelian atau perolehan barang berwujud maupun barang tidak
berwujud;
b. sewa, royalti, atau imbalan lain yang timbul akibat penyediaan atau pemanfaatan harta
berwujud maupun harta tidak berwujud;
c. penghasilan atau pengeluaran sehubungan dengan penyerahan atau pemanfaatan jasa;
d. alokasi biaya; dan
e. penyerahan atau perolehan harta dalam bentuk instrumen keuangan, dan penghasilan atau
pengeluaran yang timbul akibat penyerahan atau perolehan harta dalam bentuk instrumen
keuangan dimaksud.

BAB III
PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA
SERTA ANALISIS KESEBANDINGAN

Pasal 3

(1) Wajib Pajak dalam melakukan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dengan pihak-pihak
yang mempunyai Hubungan Istimewa wajib menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
(2) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a. melakukan Analisis Kesebandingan dan menentukan pembanding;
b. menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat;
c. menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha berdasarkan hasil Analisis Kesebandingan
dan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat ke dalam transaksi yang dilakukan antara
Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa; dan
d. mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
(3) Transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa
yang mempunyai nilai penghasilan atau pengeluaran tidak melampaui Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) tidak diwajibkan memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), namun Wajib
Pajak tetap diwajibkan memenuhi ketentuan Pasal 28 Undang-Undang KUP.

Pasal 4

(1) Dalam melakukan Analisis Kesebandingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa dianggap sebanding dengan transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa dalam hal :
1) tidak terdapat perbedaan kondisi yang material atau signifikan yang dapat
mempengaruhi harga atau laba dari transaksi yang diperbandingkan; atau
2) terdapat perbedaan kondisi, namun dapat dilakukan penyesuaian untuk menghilangkan
pengaruh yang material atau signifikan dari perbedaan kondisi tersebut terhadap harga
atau laba;
b. dalam hal tersedia Data Pembanding Internal dan Data Pembanding Eksternal dengan tingkat
kesebandingan yang sama, maka Wajib Pajak wajib menggunakan Data Pembanding Internal
untuk penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar .
(2) Wajib Pajak wajib mendokumentasikan langkah-langkah, kajian, dan hasil kajian dalam melakukan
Analisis Kesebandingan dan penentuan pembanding, penggunaan Data Pembanding Internal dan/atau
Data Pembanding Eksternal serta menyimpan buku, dasar catatan, atau dokumen sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.

Pasal 5

(1) Dalam melaksanakan Analisis Kesebandingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus
dilakukan analisis atas faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kesebandingan antara lain:
a. karakteristik barang/harta berwujud dan barang/harta tidak berwujud yang diperjualbelikan,
termasuk jasa;
b. fungsi masing-masing pihak yang melakukan transaksi;
c. ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian;
d. keadaan ekonomi; dan
e. strategi usaha .
(2) Wajib Pajak wajib mendokumentasikan langkah-langkah, kajian, dan hasil kajian atas faktor-faktor

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 633

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyimpan buku, dasar catatan, atau dokumen sesuai
dengan ketentuan yang berlaku .

Pasal 6

(1) Dalam menilai dan menganalisis karakteristik barang/harta berwujud dan barang/harta tidak berwujud
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a, harus dilakukan analisis terhadap jenis barang
atau jasa yang diperjualbelikan, dialihkan, atau diserahkan, baik oleh pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa maupun oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Dalam menilai dan menganalisis karakteristik barang berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
harus dipertimbangkan antara lain :
a. ciri-ciri fisik barang;
b. kualitas barang;
c. daya tahan barang;
d. tingkat ketersediaan barang; dan
e. jumlah penawaran barang.
(3) Dalam menilai dan menganalisis karakteristik barang tidak berwujud sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), harus dipertimbangkan antara lain :
a. jenis transaksi;
b. jenis barang tidak berwujud yang diserahkan;
c. jangka waktu dan tingkat perlindungan yang diberikan; dan
d. potensi manfaat yang dapat diperoleh dari penggunaan barang tidak berwujud tersebut.
(4) Dalam menilai dan menganalisis karakteristik jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus
dipertimbangkan antara lain :
a. sifat dan jenis jasa; dan
b. cakupan pemberian jasa.

Pasal 7

(1) Dalam melakukan penilaian dan analisis fungsi (functional analysis) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) huruf b, harus dilakukan analisis dengan mengidentifikasi dan membandingkan kegiatan
ekonomi yang signifikan dan tanggung jawab utama yang diambil atau akan diambil oleh pihak-pihak
yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Kegiatan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap signifikan dalam hal kegiatan
tersebut berpengaruh secara material pada harga yang ditetapkan dan/atau laba yang diperoleh dari
transaksi yang dilakukan.
(3) Dalam melakukan penilaian dan analisis fungsi, harus dipertimbangkan antara lain :
a. struktur organisasi;
b. fungsi-fungsi utama yang dijalankan oleh suatu perusahaan seperti desain, pengolahan,
perakitan, penelitian, pengembangan, pelayanan, pembelian, distribusi, pemasaran, promosi,
transportasi, keuangan, dan manajemen;
c. jenis aktiva yang digunakan atau akan digunakan seperti tanah, bangunan, peralatan, dan harta
tidak berwujud, serta sifat dari aktiva tersebut seperti umur, harga pasar, dan lokasi;
d. risiko yang mungkin timbul dan harus ditanggung oleh masing-masing pihak yang melakukan
transaksi seperti risiko pasar, risiko kerugian investasi, dan risiko keuangan.

Pasal 8

Dalam melakukan penilaian dan analisis atas ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c, harus dilakukan analisis terhadap tingkat tanggung jawab, risiko, dan
keuntungan yang dibagi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk dibandingkan dengan
ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa, yang meliputi ketentuan tertulis dan tidak tertulis.

Pasal 9

Dalam melakukan penilaian dan analisis keadaan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
huruf d, harus diidentifikasi kondisi ekonomi yang relevan, seperti keadaan geografis, luas pasar, tingkat
persaingan, tingkat permintaan dan penawaran, serta tingkat ketersediaan barang atau jasa pengganti pada
transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan transaksi yang
dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.

Pasal 10

www.ortax.org
634 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Penilaian dan analisis atas strategi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf e, harus dilakukan
antara lain dengan mengidentifikasi inovasi dan pengembangan produk baru, tingkat diversifikasi barang/jasa,
tingkat penetrasi pasar, dan kebijakan-kebijakan usaha lainnya, yang terjadi pada pihak-pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa dan pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.

BAB IV
METODE PENENTUAN HARGA WAJAR ATAU LABA WAJAR

Pasal 11

(1) Dalam penentuan metode harga wajar atau laba wajar wajib dilakukan kajian untuk menentukan
metode Penentuan Harga Transfer yang paling tepat.
(2) Metode Penentuan Harga Transfer yang dapat diterapkan adalah :
a. metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price/CUP);
b. metode harga penjualan kembali (resale price method/RPM) atau metode biaya-plus (cost plus
method/CPM);
c. metode pembagian laba (profit split method/PSM) atau metode laba bersih transaksional
(transactional net margin method/TNMM).
(3) Dalam menerapkan metode Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib
diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. penerapan metode Penentuan Harga Transfer dilakukan secara hirarkis dimulai dengan
menerapkan metode perbandingan harga antar pihak yang independen (comparable
uncontrolled price/CUP) sesuai dengan kondisi yang tepat;
b. dalam hal metode perbandingan harga antar pihak yang independen (comparable uncontrolled
price/CUP) tidak tepat untuk diterapkan, wajib diterapkan metode penjualan kembali (resale
price method/RPM) atau metode biaya-plus (cost plus method/CPM) sesuai dengan kondisi yang
tepat;
c. dalam hal metode penjualan kembali (resale price method/RPM) atau metode biaya-plus (cost
plus method/CPM) tidak tepat untuk diterapkan, dapat diterapkan metode pembagian laba
(profit split method/PSM) atau metode laba bersih transaksional (transactional net margin
method/TNMM).
(4) Kondisi yang tepat dalam menerapkan metode perbandingan harga antar pihak yang independen
(comparable uncontrolled price/CUP) adalah:
a. barang atau jasa yang ditransaksikan memiliki karakteristik yang identik dalam kondisi yang
sebanding; atau
b. kondisi transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa
dengan pihak-pihak yang tidak memiliki Hubungan Istimewa identik atau memiliki tingkat
kesebandingan yang tinggi atau dapat dilakukan penyesuaian yang akurat untuk menghilangkan
pengaruh dari perbedaan kondisi yang timbul.
(5) Kondisi yang tepat dalam menerapkan metode penjualan kembali (resale price method/RPM) adalah :
a. tingkat kesebandingan yang tinggi antara transaksi antara Wajib Pajak yang mempunyai
Hubungan Istimewa dengan transaksi antara Wajib Pajak yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa, khususnya tingkat kesebandingan berdasarkan hasil analisis fungsi, meskipun barang
atau jasa yang diperjualbelikan berbeda; dan
b. pihak penjual kembali (reseller) tidak memberikan nilai tambah yang signifikan atas barang
atau jasa yang diperjualbelikan.
(6) Kondisi yang tepat dalam menerapkan metode biaya-plus (cost plus method/CPM) adalah:
a. barang setengah jadi dijual kepada pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa;
b. terdapat kontrak/perjanjian penggunaan fasilitas bersama (joint facility agreement) atau
kontrak jual-beli jangka panjang (long term buy and supply agreement) antara pihak-pihak
yang mempunyai Hubungan Istimewa; atau
c. bentuk transaksi adalah penyediaan jasa.
(7) Metode pembagian laba (profit split method/PSM) secara khusus hanya dapat diterapkan dalam kondisi
sebagai berikut :
a. transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sangat terkait satu sama
lain sehingga tidak dimungkinkan untuk dilakukan kajian secara terpisah; atau
b. terdapat barang tidak berwujud yang unik antara pihak-pihak yang bertransaksi yang
menyebabkan kesulitan dalam menemukan data pembanding yang tepat.
(8) Penerapan metode Penentuan Harga Transfer secara hirarkis harus didasarkan pada kondisi yang tepat
untuk setiap metode Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5),
ayat (6), dan ayat (7).
(9) Wajib Pajak wajib mendokumentasikan kajian yang dilakukan dan menyimpan buku, dasar catatan,
atau dokumen sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pasal 12

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 635

Dalam hal kondisi-kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) tidak terpenuhi maka metode laba
bersih transaksional (transactional net margin method/TNMM) dapat diterapkan.

BAB V
HARGA WAJAR ATAU LABA WAJAR

Pasal 13

(1) Harga Wajar atau Laba Wajar berdasarkan metode-metode Penentuan Harga Transfer sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dapat ditentukan dalam bentuk harga atau laba tunggal (single price)
atau dalam bentuk Rentang Harga Wajar atau Laba Wajar (arm's length range/ALR).
(2) Rentang Harga Wajar atau Laba Wajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan rentangan
antara kuartil pertama dan ketiga yang harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. transaksi atau data pembanding yang digunakan dapat diandalkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a; dan
b. didukung dengan bukti-bukti dan penjelasan yang memadai bahwa penetapan harga atau laba
tunggal tidak dapat dilakukan.
(3) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dipenuhi, maka Rentang Harga
Wajar atau Laba Wajar tidak dapat dipergunakan.
(4) Yang dimaksud dengan Rentang Harga Wajar atau Laba Wajar (arm's length range/ALR) adalah rentang
harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa, yang merupakan hasil pengujian beberapa data pembanding dengan menggunakan metode
Penentuan Harga Transfer yang sama.

BAB VI
TRANSAKSI KHUSUS

Pasal 14

(1) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha wajib diterapkan atas transaksi jasa yang dilakukan antara
Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman
Usaha sepanjang memenuhi ketentuan :
a. penyerahan atau perolehan jasa benar-benar terjadi;
b. terdapat manfaat ekonomis atau komersial dari perolehan jasa; dan
c. nilai transaksi jasa antara pihak-pihak yang mempunyai mempunyai Hubungan Istimewa sama
dengan nilai transaksi jasa yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa yang mempunyai kondisi yang sebanding, atau yang dilakukan sendiri oleh Wajib
Pajak untuk keperluannya;
(3) Transaksi jasa antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dianggap tidak
memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam hal transaksi jasa terjadi hanya karena
terdapat kepemilikan perusahaan induk pada salah satu atau beberapa perusahaan yang berada dalam
satu kelompok usaha.
(4) Transaksi jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk biaya atau pengeluaran yang terjadi
sehubungan dengan :
a. kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan induk, seperti rapat pemegang saham perusahaan
induk, penerbitan saham oleh perusahaan induk, dan biaya pengurus perusahaan induk;
b. kewajiban pelaporan perusahaan induk, termasuk laporan keuangan konsolidasi perusahaan
induk, kecuali terdapat bukti mengenai adanya manfaat yang terukur yang dinikmati oleh Wajib
Pajak; dan
c. perolehan dana/modal yang dipergunakan untuk pengambilalihan kepemilikan perusahaan
dalam kelompok usaha, kecuali pengambilalihan tersebut dilakukan oleh Wajib Pajak dan
manfaatnya dinikmati oleh Wajib Pajak.

Pasal 15

Dalam hal transaksi jasa yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa
dapat dilakukan identifikasi jenis transaksinya secara spesifik, langkah-langkah penerapan Prinsip Kewajaran
dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib diterapkan untuk setiap jenis
transaksi jasa.

Pasal 16

www.ortax.org
636 Edisi PPh Badan | Maret 2017

(1) Dalam hal transaksi jasa dilakukan bersama-sama antara Wajib Pajak dan pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa dan tidak dapat dilakukan identifikasi atas transaksi jasa yang diserahkan kepada
masing-masing pihak, maka beban jasa harus dialokasikan berdasarkan manfaat yang diterima oleh
masing-masing pihak .
(2) Kriteria yang digunakan untuk mengalokasikan beban jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dianggap memadai dalam hal menerapkan kriteria yang terukur dan dapat diandalkan berdasarkan :
a. sifat jasa, kondisi pada saat jasa diserahkan, dan manfaat yang diperoleh; atau
b. kriteria lain yang berkaitan dengan transaksi yang tidak dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa.

Pasal 17

(1) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha wajib diterapkan atas transaksi pemanfaatan dan pengalihan
harta tidak berwujud yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa.
(2) Transaksi pemanfaatan harta tidak berwujud yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa dianggap memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sepanjang
memenuhi ketentuan :
a. transaksi pemanfaatan harta tidak berwujud benar-benar terjadi;
b. terdapat manfaat ekonomis atau komersial; dan
c. transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai mempunyai Hubungan Istimewa mempunyai
nilai yang sama dengan transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa yang mempunyai kondisi yang sebanding dengan menerapkan Analisis
Kesebandingan dan menerapkan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat ke dalam
transaksi.
(3) Transaksi pengalihan harta tidak berwujud yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa dianggap memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
sepanjang memenuhi ketentuan :
a. transaksi pengalihan harta tidak berwujud benar-benar terjadi; dan
b. nilai pengalihan harta tidak berwujud antara pihak-pihak yang mempunyai mempunyai
Hubungan Istimewa sama dengan nilai pengalihan harta tidak berwujud yang dilakukan antara
pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang mempunyai kondisi yang
sebanding.
(4) Dalam melakukan Analisis Kesebandingan untuk transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) harus dipertimbangkan antara lain :
a. keterbatasan geografis dalam pemanfaatan hak atas harta tidak berwujud;
b. eksklusifitas hak yang dialihkan; dan
c. keberadaan hak pihak yang memperolah harta tak berwujud untuk turut serta dalam
pengembangan harta dimaksud.

BAB VII
DOKUMEN DAN KEWAJIBAN PENGISIAN
SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN

Pasal 18

(1) Wajib Pajak wajib menyelenggarakan dan menyimpan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Undang-Undang
KUP dan peraturan pelaksanaannya.
(2) Termasuk dalam pengertian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi dokumen yang
menjadi dasar penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha pada transaksi dengan pihak-pihak
yang mempunyai Hubungan Istimewa.
(3) Dokumen penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang harus disediakan oleh Wajib Pajak sekurang-
kurangnya mencakup :
a. gambaran perusahaan secara rinci seperti struktur kelompok usaha, struktur kepemilikan,
struktur organisasi, aspek-aspek operasional kegiatan usaha, daftar pesaing usaha, dan
gambaran lingkungan usaha;
b. kebijakan penetapan harga dan/atau penetapan alokasi biaya;
c. hasil Analisis Kesebandingan atas karakteristik produk yang diperjualbelikan, hasil analisis
fungsional, kondisi ekonomi, ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian, dan strategi
usaha;
d. pembanding yang terpilih; dan
e. catatan mengenai penerapan metode penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang dipilih oleh
Wajib Pajak.
(4) Wajib Pajak dapat menentukan sendiri jenis dan bentuk dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
yang harus diselenggarakan disesuaikan dengan bidang usahanya sepanjang dokumen tersebut

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 637

mendukung penggunaan metode penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang dipilih.

Pasal 19

Wajib Pajak wajib melaporkan transaksi yang dilakukannya dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

BAB VIII
KEWENANGAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

Pasal 20

(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan untuk
menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak pada transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Penghitungan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan mempertimbangkan metode dan dokumen penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar
yang diterapkan oleh Wajib Pajak .
(3) Dalam hal Wajib Pajak tidak dapat memberikan penjelasan yang memadai dan/atau menunjukkan
dokumen pendukung penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam
peraturan ini, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan Harga Wajar atau Laba Wajar
berdasarkan data atau dokumen lain dan metode penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang dinilai
tepat oleh Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan kewenangan berdasarkan Pasal 13 ayat (1)
Undang-Undang KUP.
(4) Kewenangan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan apabila
Wajib Pajak telah memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam transaksi yang dilakukan
dengan pihak-pihak yang memiliki Hubungan Istimewa.
(5) Dalam hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang memiliki Hubungan Istimewa
yang terindikasi sebagai tindak pidana di bidang perpajakan, Direktur Jenderal Pajak berwenang
melakukan penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 44 Undang-Undang KUP.

Pasal 21

(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyesuaian (correlative adjustment) terhadap
penghitungan Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak sebagai tindak lanjut atas suatu penyesuaian
(primary adjustment) yang dilakukan oleh :
a. Direktur Jenderal Pajak atas penghitungan penghasilan dan pengurangan yang dilakukan oleh
Wajib Pajak dalam negeri lainnya yang menjadi lawan transaksi Wajib Pajak; atau
b. otoritas pajak negara lain atas penghitungan penghasilan dan pengurangan yang dilakukan oleh
Wajib Pajak negara tersebut yang menjadi lawan transaksi Wajib Pajak dalam negeri Indonesia.
(2) Atas penyesuaian yang dilakukan oleh otoritas pajak negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, Wajib Pajak tidak diperkenankan untuk melakukan sendiri penyesuaian penghitungan pajaknya.

BAB IX
HAK-HAK WAJIB PAJAK

Pasal 22

Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure/MAP)
kepada Direktur Jenderal Pajak sesuai ketentuan dalam P3B untuk menyelesaikan sengketa perpajakan yang
menyangkut penerapan ketentuan dalam P3B sesuai dengan ketentuan yang berlaku, termasuk dalam hal Wajib
Pajak tidak menyetujui penyesuaian yang dilakukan oleh otoritas pajak di negara mitra P3B terhadap Wajib
Pajak yang menjadi lawan transaksinya.

Pasal 23

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement/
APA) kepada Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sebagai upaya
menghindari permasalahan yang mungkin timbul dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak
dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement/APA) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah perjanjian tertulis antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau antara Direktur

www.ortax.org
638 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
(3a) Undang-Undang PPh.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 24

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 6 September 2010
DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd.

MOCHAMAD TJIPTARDJO
NIP 195104281975121002

Status :
Peraturan Dirjen Pajak - PER - 43/PJ/2010 Telah mengalami perubahan atau penyempurnaan
oleh Peraturan Dirjen Pajak - PER - 32/PJ/2011, Tanggal 11 Nop 2011

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=14386

www.ortax.org
Peraturan Direktur Jenderal Pajak :
PER - 48/PJ/2010 Edisi PPh Badan | Maret 2017 639

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 48/PJ/2010

TENTANG

TATA CARA PELAKSANAAN PROSEDUR PERSETUJUAN BERSAMA


(MUTUAL AGREEMENT PROCEDURE) BERDASARKAN
PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan Pasal 32A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 diatur
bahwa Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan Pemerintah negara lain dalam
rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak;
b. bahwa dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara Pemerintah Indonesia dengan
Pemerintah negara mitra diatur mengenai Prosedur Persetujuan Bersama atau lazim disebut dengan
Mutual Agreement Procedure (MAP);
c. bahwa untuk melaksanakan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda mengenai
Prosedur Persetujuan Bersama dimaksud, perlu ditetapkan prosedur baku sebagai petunjuk teknis
pelaksanaannya;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan
Bersama (Mutual Agreement Procedure) Berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang 16 Tahun 2009
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PROSEDUR PERSETUJUAN
BERSAMA (MUTUAL AGREEMENT PROCEDURE) BERDASARKAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan :


1. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara
Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah negara atau yurisdiksi mitra untuk mencegah terjadinya
pengenaan pajak berganda dan pengelakan pajak.
2. Prosedur Persetujuan Bersama atau Mutual Agreement Procedure yang selanjutnya disebut MAP adalah
prosedur administratif yang diatur dalam P3B untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam
penerapan P3B.
3. Pejabat yang Berwenang adalah pejabat sebagaimana dimaksud dalam P3B.
4. Negara Mitra P3B adalah negara atau yurisdiksi yang mempunyai P3B dengan Indonesia yang sudah
berlaku efektif .
5. Persetujuan Bersama atau Mutual Agreement adalah hasil yang telah disepakati oleh Pejabat yang
Berwenang dari Indonesia dan Negara Mitra P3B sehubungan dengan MAP yang telah dilaksanakan.
6. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia adalah Subjek Pajak dalam negeri berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, yang menerima atau memperoleh

www.ortax.org
640 Edisi PPh Badan | Maret 2017

penghasilan yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang tersebut.


7. Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B adalah Subjek Pajak dalam negeri Negara Mitra P3B
berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku di negara yang bersangkutan,
yang menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan di negara tersebut.
8. Wajib Pajak Luar Negeri adalah Subjek Pajak luar negeri berdasarkan ketentuan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, yang menerima atau memperoleh penghasilan yang
dikenakan pajak berdasarkan undang-undang tersebut.
9. Warga Negara Indonesia adalah Warga Negara Indonesia berdasarkan ketentuan perundang-undangan
di bidang kewarganegaraan.
10. Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang selanjutnya disebut
Undang-Undang KUP, adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2009.
11. Transfer Pricing adalah penentuan harga yang dilakukan dalam transaksi antara pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa.
12. Corresponding Adjustments yaitu koreksi atau penyesuaian atas jumlah pajak yang terutang bagi Wajib
Pajak suatu negara yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak negara mitra, yang
dilakukan oleh otoritas pajak negara yang bersangkutan sehubungan dengan koreksi Transfer Pricing
yang dilakukan oleh otoritas pajak negara mitra (primary adjustments), sehingga alokasi keuntungan
pada dua negara atau yurisdiksi tersebut konsisten, dengan tujuan untuk menghilangkan pengenaan
pajak berganda.
13. Dual Residence adalah kondisi yang dihadapi oleh satu subjek pajak yang melakukan transaksi lintas
negara atau yurisdiksi pada saat yang sama dianggap menjadi subjek pajak dalam negeri di masing-
masing negara atau yurisdiksi berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku
di masing-masing negara atau yurisdiksi dimaksud.

Pasal 2

MAP dilaksanakan dalam hal terdapat :


a. permintaan yang diajukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia;
b. permintaan yang diajukan oleh Warga Negara Indonesia yang telah menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri
Negara Mitra P3B sehubungan dengan ketentuan non diskrimasi (non-discrimination) dalam P3B yang
berlaku;
c. permintaan yang diajukan oleh Negara Mitra P3B; atau
d. hal yang dianggap perlu oleh dan atas inisiatif Direktur Jenderal Pajak.

BAB II
TATA CARA PENGAJUAN DAN PELAKSANAAN MAP DARI WAJIB PAJAK
DALAM NEGERI INDONESIA ATAU WARGA NEGARA INDONESIA YANG
MENJADI WAJIB PAJAK DALAM NEGERI NEGARA MITRA P3B

Pasal 3

(1) Permintaan untuk melaksanakan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dilakukan antara
lain dalam hal :
a. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia dikenakan pajak atau akan dikenakan pajak karena
melakukan praktik Transfer Pricing sehubungan adanya transaksi dengan Wajib Pajak Dalam
Negeri Negara Mitra P3B yang mempunyai hubungan istimewa;
b. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia menganggap bahwa tindakan Negara Mitra P3B
mengakibatkan atau akan mengakibatkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan
ketentuan P3B sehubungan dengan keberadaan atau penghasilan bentuk usaha tetap yang
dimiliki oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia di Negara Mitra P3B;
c. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia menganggap bahwa tindakan Negara Mitra P3B
mengakibatkan atau akan mengakibatkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan
ketentuan P3B sehubungan dengan pemotongan pajak di Negara Mitra P3B; atau
d. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang juga merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri Negara
Mitra P3B meminta pelaksanaan konsultasi dalam rangka MAP untuk menentukan status dirinya
sebagai Wajib Pajak dalam negeri dari salah satu negara tersebut.
(2) Permintaan untuk melaksanakan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dilakukan dalam
hal Warga Negara Indonesia yang telah menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B dikenakan
atau akan dikenakan pajak di Negara Mitra P3B yang lebih berat dibandingkan dengan yang dikenakan
oleh Negara Mitra P3B kepada warganegaranya (kasus non diskriminasi berdasarkan ketentuan P3B
yang berlaku).
(3) Permintaan untuk melaksanakan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan
dengan memperhatikan ketentuan dalam P3B yang berlaku.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 641

Pasal 4

(1) Permintaan untuk melaksanakan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a disampaikan
dengan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala Kantor Pelayanan
Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dengan menyampaikan informasi sekurang-kurangnya mengenai:
a. nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat, dan jenis usaha Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia
yang mengajukan permintaan;
b. nama, Nomor Identitas Wajib Pajak, alamat, dan jenis usaha Wajib Pajak di Negara Mitra P3B
yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak yang mengajukan permintaan,
khusus dalam hal terkait dengan transaksi Transfer Pricing;
c. tindakan yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B atau otoritas
pajak Negara Mitra P3B, yang telah dianggap tidak sesuai dengan ketentuan P3B oleh Wajib
Pajak Dalam Negeri Indonesia;
d. penjelasan apakah Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia telah mengajukan atau akan
mengajukan permohonan pembetulan, keberatan, permohonan banding kepada badan
peradilan pajak, atau permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), Pasal 25 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), atau
Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP, atas hal-hal yang dimintakan MAP;
e. Tahun Pajak sehubungan dengan permintaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri
Indonesia;
f. penjelasan mengenai transaksi yang telah dilakukan koreksi oleh otoritas pajak Negara Mitra
P3B, yang meliputi substansi transaksi, nilai koreksi, dan dasar dilakukannya koreksi;
g. pendapat Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia sehubungan dengan koreksi yang telah dilakukan
oleh otoritas Negara Mitra P3B Indonesia;
h. pihak yang dapat dihubungi oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka tindak lanjut atas
permintaan untuk melaksanakan MAP yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri
Indonesia;
i. nama kantor pajak Negara Mitra P3B, jika memungkinkan nama unit vertikal kantor pajak
Negara Mitra P3B yang terkait dalam hal diketahui oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia
yang mengajukan permintaan MAP; dan
j. ketentuan dalam P3B yang menurut Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia tidak diterapkan
secara benar dan pendapat Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia atas penerapan dari ketentuan
P3B tersebut, apabila permintaan MAP berkaitan dengan penerapan ketentuan P3B yang tidak
semestinya.
(2) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditandatangani oleh Wajib Pajak Dalam Negeri
Indonesia atau wakilnya yang sah berdasarkan ketentuan Undang-Undang KUP, dan dalam hal
ditandatangani oleh kuasa, wajib dilampiri surat kuasa khusus.
(3) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan dokumen-dokumen
pendukung dan disampaikan dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam P3B yang berlaku, yang
dihitung setelah Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia dikenakan atau akan dikenakan pajak yang tidak
sesuai dengan ketentuan dalam P3B.
(4) Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib meneliti kelengkapan permintaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan melengkapi dengan dokumen-dokumen perpajakan yang terkait yang terdapat dalam
administrasi Kantor Pelayanan Pajak, untuk selanjutnya diteruskan kepada Direktur Peraturan
Perpajakan II paling lama dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak permintaan untuk
melaksanakan MAP diterima lengkap.
(5) Dalam hal permintaan MAP disampaikan tidak lengkap, Kepala Kantor Pelayanan Pajak memberikan
surat pemberitahuan kepada Wajib Pajak paling lama dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kalender
sejak permintaan untuk melaksanakan MAP diterima, yang menyatakan bahwa permintaan untuk
melaksanakan MAP tidak lengkap dan meminta Wajib Pajak untuk melengkapi hal-hal yang belum
lengkap.
(6) Direktur Peraturan Perpajakan II meneliti dan mempertimbangkan permintaan untuk melaksanakan
MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(7) Dalam hal permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diproses lebih lanjut untuk
dikonsultasikan dengan Pejabat yang Berwenang di Negara Mitra P3B, Direktur Peraturan Perpajakan II
mengirimkan permintaan MAP secara tertulis kepada Pejabat yang Berwenang di Negara Mitra P3B.
(8) Direktur Peraturan Perpajakan II atas nama Direktur Jenderal Pajak menolak permintaan untuk
melaksanakan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal :
a. permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setelah melewati batas waktu
penyampaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
b. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia mengajukan permohonan keberatan kepada Direktur
Jenderal Pajak atas permasalahan yang dimintakan MAP dan tidak mencabut permohonan
keberatan dimaksud; atau
c. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia mengajukan permohonan banding kepada badan peradilan
pajak atas permasalahan yang dimintakan MAP dan tidak mencabut permohonan Banding
dimaksud;

www.ortax.org
642 Edisi PPh Badan | Maret 2017

paling lama dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kalender sejak permintaan untuk melaksanakan
MAP diterima dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak atau sejak diketahui Wajib Pajak yang bersangkutan
mengajukan permohonan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atau permohonan banding kepada
badan peradilan pajak.
(9) Direktur Peraturan Perpajakan II dapat meminta penjelasan lebih lanjut kepada Wajib Pajak Dalam
Negeri Indonesia, termasuk meminta dokumen-dokumen pendukung dan informasi yang diperlukan,
serta dapat meminta informasi atau bantuan dari direktorat lain, unit pelaksana teknis dan/atau unit
vertikal di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.

Pasal 5

(1) Permintaan untuk melaksanakan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b disampaikan
dengan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Direktur Peraturan Perpajakan
II dengan menyampaikan informasi sekurang-kurangnya mengenai :
a. nama, alamat, dan kegiatan usaha Warga Negara Indonesia yang mengajukan permintaan;
b. tindakan atau pengenaan pajak yang telah dilakukan oleh otoritas pajak Negara Mitra P3B yang
dianggap lebih berat dibandingkan dengan tindakan atau pengenaan pajak yang dilakukan oleh
otoritas pajak Negara Mitra P3B dimaksud kepada warga negaranya sendiri;
c. Tahun Pajak sehubungan dengan permintaan yang dilakukan;
d. pihak yang dapat dihubungi oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka tindak lanjut atas
permohonan yang telah disampaikan oleh yang bersangkutan; dan
e. nama kantor pajak Negara Mitra P3B, jika memungkinkan nama unit vertikal kantor pajak
Negara Mitra P3B yang terkait dalam hal diketahui oleh yang bersangkutan.
(2) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan dokumen-dokumen
pendukung dan disampaikan dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam P3B yang berlaku, yang
dihitung setelah yang bersangkutan dikenakan atau akan dikenakan pajak yang tidak sesuai dengan
ketentuan dalam P3B.
(3) Direktur Peraturan Perpajakan II meneliti dan mempertimbangkan permintaan untuk melaksanakan
MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam hal permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diproses lebih lanjut untuk
dikonsultasikan dengan Pejabat yang Berwenang di Negara Mitra P3B, Direktur Peraturan Perpajakan II
mengirimkan permintaan secara tertulis untuk melaksanakan MAP kepada Pejabat yang Berwenang
di Negara Mitra P3B.
(5) Direktur Peraturan Perpajakan II atas nama Direktur Jenderal Pajak menolak permintaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dalam hal permintaan untuk melaksanakan MAP disampaikan setelah melewati
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau permintaan untuk melaksanakan MAP
dimaksud tidak sesuai dengan ketentuan dalam P3B Indonesia yang berlaku, paling lama dalam jangka
waktu 15 (lima belas) hari kalender sejak permintaan untuk melaksanakan MAP diterima.

Pasal 6

(1) Dalam hal Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang mengajukan permintaan untuk melaksanakan MAP
juga mengajukan permohonan pembetulan atau permohonan pengurangan atau pembatalan surat
ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) atau Pasal 36 ayat (1) huruf b
Undang-Undang KUP, Direktur Jenderal Pajak dapat memproses pengajuan permintaan MAP.
(2) Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan Persetujuan Bersama sebelum dikeluarkannya keputusan
atas permohonan pembetulan atau permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Persetujuan Bersama dimaksud dituangkan dalam keputusan
Direktur Jenderal Pajak atas permohonan pembetulan atau permohonan pengurangan atau pembatalan
surat ketetapan pajak.
(3) Dalam hal pelaksanaan MAP belum menghasilkan Persetujuan Bersama dan Wajib Pajak Dalam Negeri
Indonesia yang bersangkutan mengajukan permohonan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atau
permohonan banding kepada badan peradilan pajak, Direktur Jenderal Pajak menghentikan
pelaksanaan MAP dan memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak, paling lama dalam jangka
waktu 15 (lima belas) hari kalender sejak diketahui Wajib Pajak yang bersangkutan mengajukan
permohonan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atau permohonan banding kepada badan
peradilan pajak.

Pasal 7

(1) Dalam hal dipandang perlu, Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan pertemuan konsultasi dengan
Pejabat yang Berwenang dari Negara Mitra P3B untuk menindaklanjuti permintaan MAP yang dilakukan
oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia atau Warga Negara Indonesia yang telah menjadi Wajib Pajak
Dalam Negeri Negara Mitra P3B.
(2) Sebelum dicapainya Persetujuan Bersama, Direktur Jenderal Pajak terlebih dahulu menyampaikan

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 643

pemberitahuan secara tertulis kepada Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia atau Warga Negara
Indonesia yang telah menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B mengenai isi rancangan
Persetujuan Bersama untuk memperoleh konfirmasi bahwa yang bersangkutan dapat menerima isi
rancangan Persetujuan Bersama.
(3) Direktur Jenderal Pajak menyepakati Persetujuan Bersama dengan Negara Mitra P3B setelah Wajib
Pajak Dalam Negeri Indonesia atau Warga Negara Indonesia yang telah menjadi Wajib Pajak Dalam
Negeri Negara Mitra P3B memberikan konfirmasi bahwa yang bersangkutan dapat menerima
kesepakatan dimaksud.
(4) Konfirmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus diberikan paling lama dalam jangka waktu 30
(tiga puluh) hari kalender sejak pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 disampaikan.
(5) Dalam hal Persetujuan Bersama mengakibatkan perubahan besarnya pajak yang terutang di Indonesia
sebagaimana tercantum dalam surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Pembetulan, dan Surat
Keputusan Pengurangan atau Surat Keputusan Pembatalan surat ketetapan pajak, Direktur Jenderal
Pajak melakukan pembetulan, pengurangan atau pembatalan atas surat ketetapan pajak atau surat
keputusan dimaksud sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(6) Direktur Jenderal Pajak menyampaikan Persetujuan Bersama kepada Wajib Pajak secara tertulis.

Pasal 8

(1) Direktur Jenderal Pajak menghentikan pelaksanaan MAP dalam hal :


a. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia atau Warga Negara Indonesia yang telah menjadi Wajib
Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B yang menyampaikan permintaan untuk melaksanakan
MAP :
1) menyampaikan surat pembatalan permintaan MAP kepada Direktur Jenderal Pajak;
2) tidak menyetujui isi rancangan Persetujuan Bersama;
3) tidak memenuhi seluruh permintaan data, informasi, atau dokumen yang diperlukan
oleh Direktur Jenderal Pajak;
4) menyampaikan informasi yang tidak benar kepada Direktur Jenderal Pajak; atau
b. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang menyampaikan permintaan untuk melaksanakan
MAP mengajukan permohonan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atau permohonan
banding kepada badan peradilan pajak.
(2) Direktur Jenderal Pajak menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Wajib Pajak mengenai
penghentian pelaksanaan MAP, paling lama dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kalender sejak
penghentian diputuskan.

Pasal 9

Tata Cara Pengajuan dan Pelaksanaan MAP dari Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia atau Warga Negara
Indonesia yang Menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B adalah sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang merupakan satu bagian yang tidak terpisahkan.

BAB III
TATA CARA PENANGANAN PERMINTAAN MAP
DARI NEGARA MITRA P3B

Pasal 10

(1) Permintaan untuk melaksanakan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c dilakukan antara
lain dalam hal :
a. Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas Wajib Pajak Luar Negeri yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia yang
dianggap tidak sesuai dengan ketentuan dalam P3B;
b. terjadi koreksi Transfer Pricing di Indonesia atas Wajib Pajak Luar Negeri yang menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;
c. Negara Mitra P3B meminta dilakukan Corresponding Adjustments sehubungan dengan koreksi
Transfer Pricing yang dilakukan otoritas Pajak negara yang bersangkutan atas Wajib Pajak
dalam negerinya yang melakukan transaksi hubungan istimewa dengan Wajib Pajak Dalam
Negeri Indonesia;
d. terjadi pemotongan pajak oleh Wajib Pajak di Indonesia sehubungan dengan penghasilan yang
bersumber dari Indonesia yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan dalam P3B; atau
e. penentuan negara domisili dari Wajib Pajak yang mempunyai status sebagai Wajib Pajak Dalam
Negeri Indonesia dan Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B (Dual Residence).
(2) Direktur Jenderal Pajak dapat menolak permintaan MAP yang diajukan oleh Negara Mitra P3B yang
berkaitan dengan koreksi Transfer Pricing yang dilakukan oleh Negara Mitra P3B yang bersangkutan,
dalam hal tidak terdapat ketentuan mengenai Corresponding Adjustments dalam P3B Indonesia yang

www.ortax.org
644 Edisi PPh Badan | Maret 2017

berlaku.

Pasal 11

(1) Direktur Jenderal Pajak c.q. Direktur Peraturan Perpajakan II memberitahukan permintaan untuk
melaksanakan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c kepada Kepala Kantor Pelayanan
Pajak tempat Wajib Pajak yang terkait dengan permintaan dimaksud terdaftar.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi informasi mengenai :
a. nama Negara Mitra P3B yang mengajukan permintaan untuk melaksanakan MAP;
b. tanggal diterimanya permintaan MAP;
c. nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, dan alamat bentuk usaha tetap atau Wajib Pajak dalam
negeri yang terkait;
d. nama dan alamat Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B yang terlibat, dalam hal terjadi
kasus Transfer Pricing; dan
e. nama dan alamat Wajib Pajak terkait serta Tahun Pajak yang akan dibahas dalam kasus Dual
Residence.

Pasal 12

(1) Direktur Jenderal Pajak menolak permintaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c untuk
permintaan MAP sehubungan dengan Corresponding Adjusments dalam hal Wajib Pajak Dalam Negeri
Indonesia yang terkait tidak mengajukan permintaan MAP kepada Direktur Jenderal Pajak.
(2) Direktur Peraturan Perpajakan II atas nama Direktur Jenderal Pajak meminta pernyataan secara
tertulis dari Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia untuk memastikan bahwa yang bersangkutan tidak
mengajukan permintaan MAP.

Pasal 13

Dalam hal pokok permintaan MAP dari Negara Mitra P3B adalah pemotongan atau pemungutan Pajak
Penghasilan oleh Wajib Pajak di Indonesia yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan P3B, Direktur Peraturan
Perpajakan II menyampaikan secara tertulis kepada Wajib Pajak dimaksud mengenai permintaan MAP dari
Negara Mitra P3B dan dapat meminta penjelasan mengenai dasar pemotongan atau pemungutan pajak,
substansi transaksi, dan meminta dokumen yang diperlukan melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak
terdaftar.

Pasal 14

Dalam menindaklanjuti permintaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c, Direktur Peraturan
Perpajakan II dapat meminta informasi atau bantuan dari direktorat lain, unit pelaksana teknis dan/atau unit
vertikal di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.

Pasal 15

(1) Dalam hal permintaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c terkait dengan bentuk usaha
tetap di Indonesia dan bentuk usaha tetap dimaksud juga mengajukan permohonan pembetulan atau
permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (1) atau Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP, Direktur Jenderal Pajak dapat
melaksanakan MAP dan memproses permohonan pembetulan atau permohonan pengurangan, atau
pembatalan surat ketetapan pajak.
(2) Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan Persetujuan Bersama sebelum dikeluarkannya keputusan
atas permohonan pembetulan atau permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Persetujuan Bersama dimaksud dituangkan dalam keputusan
Direktur Jenderal Pajak atas permohonan pembetulan atau permohonan pengurangan atau pembatalan
surat ketetapan pajak.
(3) Dalam hal pelaksanaan MAP belum menghasilkan Persetujuan Bersama dan Wajib Pajak yang terkait
dengan permintaan untuk melaksanakan MAP mengajukan permohonan keberatan kepada Direktur
Jenderal Pajak atau permohonan banding kepada badan peradilan pajak, Direktur Jenderal Pajak
menghentikan pelaksanaan MAP dan memberitahukan secara tertulis kepada Negara Mitra P3B yang
mengajukan permintaan MAP.

Pasal 16

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 645

(1) Dalam hal dipandang perlu atau atas permintaan Negara Mitra P3B Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak
dapat melakukan pertemuan konsultasi dengan Pejabat yang Berwenang dari Negara Mitra P3B yang
bersangkutan untuk menindaklanjuti permohonan MAP yang dilakukan oleh negara mitra dimaksud.
(2) Dalam hal Direktur Jenderal Pajak menyepakati Persetujuan Bersama dengan Negara Mitra P3B,
Direktur Peraturan Perpajakan II segera menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Kepala
Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak yang terkait terdaftar.
(3) Kepala Kantor Pelayanan Pajak segera menyampaikan Persetujuan Bersama secara tertulis kepada
Wajib Pajak terkait.
(4) Dalam hal Persetujuan Bersama mengakibatkan perubahan besarnya pajak yang terutang di Indonesia
dalam surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Pembetulan, dan Surat Keputusan Pengurangan atau
Surat Keputusan Pembatalan surat ketetapan pajak, Direktur Jenderal Pajak melakukan pembetulan,
pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak atau surat keputusan dimaksud sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
(5) Dalam hal Persetujuan Bersama berkaitan dengan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan
di Indonesia, tindak lanjutnya dapat dilakukan berdasarkan prosedur atau tata cara pengembalian pajak
yang seharusnya tidak terutang, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pasal 17

(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menolak atau menghentikan pelaksanaan MAP dalam hal :
a. permintaan MAP disampaikan oleh Negara Mitra P3B setelah batas waktu pelaksanaan MAP
sebagaimana ditetapkan dalam P3B;
b. pokok permohonan yang diajukan oleh Negara Mitra P3B tidak termasuk ke dalam ruang
lingkup MAP sebagaimana diatur dalam P3B yang berlaku;
c. Negara Mitra P3B membatalkan permintaan MAP;
d. permintaan melaksanakan MAP terkait dengan bentuk usaha tetap di Indonesia dan bentuk
usaha tetap dimaksud mengajukan permohonan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak
atau permohonan banding kepada badan peradilan pajak;
e. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang terkait dengan permintaan MAP sehubungan dengan
koreksi Transfer Pricing yang dilakukan oleh otoritas pajak Negara Mitra P3B atas Wajib Pajak
Dalam Negerinya, tidak mengajukan permohonan MAP;
f. Wajib Pajak yang diterbitkan surat ketetapan pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak yang
menjadi fokus dari permintaan MAP tidak memberikan seluruh dokumen yang diperlukan;
g. Direktorat Jenderal Pajak tidak mungkin untuk mengumpulkan dokumen-dokumen yang
diperlukan untuk melaksanakan konsultasi dalam rangka MAP karena telah terlewatinya waktu
yang lama setelah penerbitan surat ketetapan pajak di Indonesia; atau
h. terdapat indikasi kuat bahwa pelaksanaan konsultasi dalam rangka MAP tidak akan
menghasilkan keputusan yang tepat.
(2) Dalam hal Direktur Jenderal Pajak dan Pejabat yang Berwenang dari Negara Mitra P3B bersepakat
untuk menghentikan pelaksanaan MAP, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan pemberitahuan
secara tertulis kepada Wajib Pajak terkait.

Pasal 18

Tata Cara Penanganan Permintaan MAP dari Negara Mitra P3B adalah sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang merupakan satu bagian yang tidak terpisahkan.

BAB IV
PELAKSANAAN MAP ATAS INISIATIF DIREKTUR JENDERAL PAJAK

Pasal 19

Direktur Jenderal Pajak dapat mengajukan permintaan untuk melaksanakan MAP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 huruf d tanpa berdasarkan permintaan dari Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia atau dari Negara Mitra
P3B, untuk:
a. meninjau ulang (me-review) Persetujuan Bersama yang telah disepakati sebelumnya karena terdapat
indikasi ketidakbenaran informasi atau dokumen yang diajukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri
Indonesia maupun Negara Mitra P3B;
b. meminta dilakukan Corresponding Adjustments atas koreksi Transfer Pricing yang dilakukan oleh
Direktorat Jenderal Pajak kepada Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia sehubungan dengan transaksi
hubungan istimewa dengan Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B;
c. membuat penafsiran atas suatu ketentuan tertentu dalam P3B yang diperlukan dalam pelaksanaan P3B
yang bersangkutan; atau
d. melaksanakan hal-hal lain yang diperlukan dalam rangka melaksanakan ketentuan P3B.

www.ortax.org
646 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Pasal 20

Direktur Peraturan Perpajakan II dapat meminta dokumen dan/atau informasi tambahan yang terkait dengan
MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, dari Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia atau melalui Kantor
Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia tersebut terdaftar.

Pasal 21

(1) Dalam hal Direktur Jenderal Pajak mengajukan permintaan untuk melaksanakan MAP kepada Negara
Mitra P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 yang berkaitan dengan Wajib Pajak Dalam Negeri
Indonesia, Direktur Peraturan Perpajakan II memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak Dalam
Negeri Indonesia yang terkait mengenai :
a. tanggal pengajuan permintaan untuk melaksanakan MAP;
b. nama Negara Mitra P3B yang terkait;
c. pokok-pokok yang diajukan dalam surat permintaan MAP;
d. argumentasi pengajuan permintaan MAP; dan
e. informasi lain yang diperlukan.
(2) Dalam hal dipandang perlu, Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan pertemuan konsultasi dengan
Pejabat yang Berwenang dari Negara Mitra P3B untuk menindaklanjuti MAP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19.
(3) Dalam hal tercapai Persetujuan Bersama dengan Negara Mitra P3B yang berkaitan dengan Wajib Pajak
Dalam Negeri Indonesia, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan Persetujuan Bersama secara
tertulis kepada Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia terkait.
(4) Dalam hal pelaksanaan MAP yang berkaitan dengan Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia dihentikan
tanpa menghasilkan Persetujuan Bersama dengan Negara Mitra P3B, Direktur Peraturan Perpajakan II
menyampaikan pemberitahuan penghentian MAP kepada Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia terkait.

Pasal 22

Tata Cara Pelaksanaan MAP atas Inisiatif Direktur Jenderal Pajak adalah sebagaimana tercantum dalam
Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang merupakan satu bagian yang tidak terpisahkan.

BAB V
PELAKSANAAN KONSULTASI DALAM RANGKA MAP

Pasal 23

(1) Pelaksanaan pertemuan konsultasi dalam rangka MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1),
Pasal 16 ayat (1), dan Pasal 21 ayat (2) dilakukan oleh Direktorat Peraturan Perpajakan II atau oleh
Tim Pelaksana/Delegasi Perunding yang dibentuk oleh Direktur Jenderal Pajak dengan
mempertimbangkan masukan dari Direktur Peraturan Perpajakan II.
(2) Direktur Peraturan Perpajakan II memberi masukan kepada Direktur Jenderal Pajak mengenai
direktorat, unit pelaksana teknis, dan/atau unit vertikal di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang
terkait dengan permasalahan yang akan dibahas dalam pelaksanaan MAP untuk menjadi bagian dari
Tim Pelaksana/Delegasi Perunding.
(3) Direktorat Peraturan Perpajakan II atau Tim Pelaksana/Delegasi Perunding menyiapkan posisi
Direktorat Jenderal Pajak dalam pelaksanaan MAP dan melaksanakan MAP sesuai dengan posisi yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 24

(1) Dalam hal permintaan untuk melaksanakan MAP terkait dengan koreksi Transfer Pricing, Direktur
Jenderal Pajak dapat membentuk Tim Khusus yang mempunyai tugas menyiapkan posisi (position
paper) Direktorat Jenderal Pajak, melakukan koordinasi serta supervisi atas unit-unit yang terkait
dengan permintaan untuk melaksanakan MAP yang terkait dengan koreksi Transfer Pricing, dan
menjadi anggota delegasi perunding dalam pelaksanaan pertemuan konsultasi dalam rangka MAP.
(2) Tim Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari perwakilan Direktorat Peraturan
Perpajakan II, Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan, dan unit pelaksana pemeriksaan yang terkait
dengan koreksi Transfer Pricing yang akan dibahas dalam pelaksanaan pertemuan konsultasi dalam
rangka MAP.
(3) Tim Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat meminta data, informasi atau dokumen yang
diperlukan terkait dengan koreksi Transfer Pricing kepada Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang
terkait dengan permintaan untuk melaksanakan MAP.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 647

(4) Dalam hal Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia tidak memenuhi seluruh permintaan data, informasi
atau dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal Pajak dapat menghentikan
pelaksanaan MAP tersebut.

Pasal 25

Direktur Jenderal Pajak mengembalikan dokumen Wajib Pajak yang disampaikan dalam rangka pelaksanaan
MAP dalam hal :
a. pelaksanaan MAP batal untuk dilaksanakan atau dihentikan; atau
b. telah dicapai Persetujuan Bersama dengan Negara Mitra P3B.

Pasal 26

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 3 November 2010
Direktur Jenderal,

ttd.

Mochamad Tjiptardjo
NIP 195104281975121002

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=14443

www.ortax.org
Peraturan Direktur Jenderal Pajak :
648 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PER - 59/PJ/2010

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 59/PJ/2010

TENTANG

TATA CARA PELAPORAN PENERIMAAN DIVIDEN, PENGHITUNGAN BESARNYA PAJAK


YANG HARUS DIBAYAR, DAN PENGKREDITAN PAJAK SEHUBUNGAN DENGAN
PENETAPAN SAAT DIPEROLEHNYA DIVIDEN OLEH WAJIB PAJAK DALAM NEGERI
ATAS PENYERTAAN MODAL PADA BADAN USAHA DI LUAR NEGERI SELAIN BADAN
USAHA YANG MENJUAL SAHAMNYA DI BURSA EFEK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.03/2008
tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada
Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek, perlu menetapkan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Pelaporan Penerimaan Dividen, Penghitungan Besarnya
Pajak yang Harus Dibayar, dan Pengkreditan Pajak Sehubungan dengan Penetapan Saat Diperolehnya Dividen
oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha
yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.03/2008 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen
oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan
Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PELAPORAN PENERIMAAN DIVIDEN,
PENGHITUNGAN BESARNYA PAJAK YANG HARUS DIBAYAR, DAN PENGKREDITAN PAJAK SEHUBUNGAN DENGAN
PENETAPAN SAAT DIPEROLEHNYA DIVIDEN OLEH WAJIB PAJAK DALAM NEGERI ATAS PENYERTAAN MODAL
PADA BADAN USAHA DI LUAR NEGERI SELAIN BADAN USAHA YANG MENJUAL SAHAMNYA DI BURSA EFEK.

Pasal 1

Saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar
negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek adalah:
a. pada bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban/penyampaian surat pemberitahuan
tahunan Pajak Penghasilan badan usaha di luar negeri tersebut untuk tahun pajak yang bersangkutan;
atau
b. pada bulan ketujuh setelah tahun pajak berakhir apabila badan usaha di luar negeri tersebut tidak
memiliki kewajiban untuk menyampaikan surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan atau tidak
ada ketentuan batas waktu penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan.

Pasal 2

Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah Wajib Pajak dalam negeri yang:
a. memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor
pada badan usaha di luar negeri; atau
b. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal paling
rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor pada badan usaha di luar negeri.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 649

Pasal 3

(1) Besarnya dividen yang wajib dihitung oleh Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 adalah sebesar jumlah dividen yang menjadi haknya terhadap laba setelah pajak yang
sebanding dengan penyertaannya pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual
sahamnya di bursa efek.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila sebelum batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, badan usaha di luar negeri dimaksud sudah membagikan
dividen yang menjadi hak Wajib Pajak.
(3) Laba setelah pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah laba usaha sesuai dengan laporan
keuangan berdasarkan standar akuntansi keuangan yang lazim berlaku di negara yang bersangkutan,
setelah dikurangi dengan pajak penghasilan yang terutang di negara tersebut.
(4) Dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau pada ayat (2) wajib dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk tahun pajak saat dividen tersebut dianggap diperoleh.
(5) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau pada ayat (2) wajib melampirkan laporan
keuangan dari badan usaha di luar negeri pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

Pasal 4

(1) Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 menerima pembagian
dividen dalam jumlah yang melebihi jumlah dividen yang dilaporkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1), atas kelebihan jumlah dividen tersebut wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan pada tahun pajak dibagikannya dividen tersebut.
(2) Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri menerima pembagian dividen selain dividen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), dividen tersebut wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan pada tahun pajak dibagikannya dividen tersebut.
(3) Pembagian dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pembagian dividen dengan nama
dan dalam bentuk apapun yang pada hakikatnya merupakan pembagian dividen yang tidak termasuk
dalam penghitungan penetapan saat diperolehnya dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1).

Pasal 5

(1) Pajak atas dividen yang telah dibayar atau dipotong di luar negeri dapat dikreditkan sesuai ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
(2) Pengkreditan pajak yang dibayar atau dipotong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada
tahun pajak dibayarnya atau dipotongnya pajak tersebut.

Pasal 6

Dalam hal belum ada pajak secara nyata dibayar di luar negeri atas dividen yang ditetapkan saat perolehannya,
maka pajak atas dividen tersebut tidak boleh diperhitungkan sebagai kredit pajak luar negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 dalam SPT Tahunan Pajak
Penghasilan tahun pajak saat ditetapkan perolehan dividen.

Pasal 7

Contoh pelaporan penerimaan dividen, penghitungan besarnya pajak yang harus dibayar, dan pengkreditan
pajak sehubungan dengan penetapan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan
modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek adalah
sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Direktur Jenderal ini, yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 8

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, Tata Cara Pelaporan Penerimaan Dividen,
Penghitungan Besarnya Pajak Yang Harus Dibayar, dan Pengkreditan Pajak Sehubungan dengan Penetapan
Saat Diperolehnya Dividen Oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal Pada Badan Usaha di Luar
Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek yang dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari

www.ortax.org
650 Edisi PPh Badan | Maret 2017

2009 berlaku ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 9

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 15 Desember 2010
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

MOCHAMAD TJIPTARDJO
NIP 195104281975121002

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=14520

www.ortax.org
Peraturan Direktur Jenderal Pajak :
PER - 69/PJ/2010 Edisi PPh Badan | Maret 2017 651

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 69/PJ/2010

TENTANG

KESEPAKATAN HARGA TRANSFER (ADVANCE PRICING AGREEMENT)

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 18 ayat (3a) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang--Undang Nomor 36 Tahun
2008, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Kesepakatan Harga Transfer (Advance
Pricing Agreement) ;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG KESEPAKATAN HARGA TRANSFER (ADVANCE PRICING
AGREEMENT).

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan:


(1) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008.
(2) Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) adalah perjanjian antara Direktorat Jenderal
Pajak dan Wajib Pajak dan/atau otoritas pajak negara lain untuk menyepakati kriteria--kriteria dan/atau
menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar dimuka para pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
(3) Kriteria-kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2), termasuk diantaranya penentuan metode
transfer pricing dan faktor-faktor yang digunakan dalam analisis asumsi kritikal (critical assumptions).
(4) Yang dimaksud dengan Harga Wajar atau Laba Wajar adalah harga atau laba yang terjadi dalam
transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi
yang sebanding, atau harga atau laba yang ditentukan sebagai harga atau laba yang memenuhi Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
(5) Hubungan Istimewa adalah hubungan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai hubungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh atau Pasal 2 ayat (2)
Undang-Undang PPN.
(6) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (arm's length principle/ALP) merupakan prinsip yang
mengatur bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara
pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding, maka harga atau
laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa harus
sama dengan atau berada dalam rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara
pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding.
(7) Penentu Harga Transfer (transfer pricing) adalah penentuan harga dalam transaksi antara pihak-pihak
yang mempunyai Hubungan Istimewa.
(8) Analisa Kesebandingan adalah analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau Direktorat Jenderal Pajak

www.ortax.org
652 Edisi PPh Badan | Maret 2017

atas kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa untuk diperbandingkan dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara
pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, dan melakukan identifikasi atas perbedaan
kondisi dalam kedua jenis transaksi dimaksud.

BAB II
TUJUAN DAN RUANG LINGKUP

Pasal 2

(1) Tujuan Kesepakatan Harga Transfer adalah untuk memberikan sarana kepada Wajib Pajak guna
menyelesaikan permasalahan transfer pricing.
(2) Kesepakatan Harga Transfer mencakup perjanjian tertulis antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal
atau antara Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas pajak Negara lain yang melibatkan Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3a) Undang--Undang PPh.
(3) Ruang lingkup Kesepakatan Harga Transfer meliputi seluruh atau sebagian transaksi yang dilakukan
oleh Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.

BAB III
TAHAPAN KESEPAKATAN HARGA TRANSFER

Pasal 3

(1) Tahapan-tahapan yang harus ditempuh dalam pembentukan Kesepakatan Harga Transfer adalah:
a. pembicaraan awal (pre-lodgement meeting) antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak
yang bertujuan antara lain untuk:
1. membahas perlu atau tidaknya diadakan Kesepakatan Harga Transfer;
2. memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk menjelaskan penentuan metode
Penentuan harga Transfer yang diusulkannya;
3. membahas kemungkinan pembentukan Kesepakatan Harga Transfer yang melibatkan
otoritas pajak negara lain;
4. membahas dokumentasi dan analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak;
5. menyepakati rencana waktu pelaksanaan pembentukan Kesepakatan harga Transfer;
dan
6. membahas hal-hal lain yang relevan dengan pembentukan dan penerapan
Kesepakatan Harga Transfer.
b. penyampaian permohonan formal Kesepakatan Harga Transfer oleh Wajib Pajak kepada
Direktur Jenderal Pajak berdasarkan hasil pembicaraan awal sebagaimana dimaksud pada
huruf a;
c. pembahasan Kesepakatan Harga Transfer antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak;
d. penerbitan surat Kesepakatan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak; dan
e. pelaksanaan dan evaluasi Kesepakatan Harga Transfer.
(2) Wajib Pajak dapat mengajukan penghentian pelaksanaan pembicaraan awal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a atau menarik permohonan formal Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b sebelum surat Kesepakatan Harga Transfer diterbitkan dengan
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak beserta alasan-alasannya.

BAB IV
PEMBICARAAN AWAL

Pasal 4

(1) Wajib Pajak mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktorat Jenderal Pajak melalui Direktur
Peraturan Perpajakan II dengan tembusan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak domisili untuk
melakukan pembicaraan awal sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dengan
menggunakan Formulir APA-1 sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini yang dilengkapi dengan dokumen pendukung.
(2) Yang dimaksud dengan Kantor Pelayanan Pajak Domisili adalah Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal atau domisili Wajib Pajak orang pribadi terdaftar atau tempat
kedudukan Wajib Pajak badan terdaftar.
(3) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. akta pendirian dan perubahan Wajib Pajak, atau sejenisnya;
b. penjelasan rinci mengenai kegiatan dan usaha Wajib Pajak;
c. struktur perusahaan yang meliputi antara lain struktur kelompok usaha, struktur kepemilikan
dan struktur organisasi;

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 653

d. penjelasan rinci mengenai pemegang saham dan penjelasan rinci mengenai transaksi yang
dilakukan oleh pemegang saham dengan Wajib Pajak;
e. penjelasan rinci mengenai pihak-pihak lainnya yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan
Wajib Pajak dan penjelasan rinci mengenai transaksi yang dilakukan pihak-pihak lain tersebut
dengan Wajib Pajak;
f. transaksi yang diusulkan untuk dibahas dan dicakup dalam Kesepakatan Harga Transfer dan
penjelasan rinci mengenai transaksi tersebut;
g. metode Penentuan Harga Transfer yang diusulkan oleh Wajib Pajak dan dokumentasi yang
dilakukan oleh Wajib Pajak mengenai Analisis Kesebandingan, analisis fungsional, pemilihan
dan penentuan pembanding, dan penentuan metode Harga Transfer;
h. penjelasan rinci mengenai situasi atau keadaan dalam kegiatan atau usaha Wajib Pajak yang
perubahannya dapat mempengaruhi secara material kesesuaian metode Penentuan Harga
Transfer Wajib Pajak;
i. penjelasan rinci mengenai sistem akuntansi, proses produksi, dan proses pembuatan keputusan;
j. penjelasan rinci mengenai pihak lain yang menjadi pesaing yang mempunyai jenis kegiatan
atau usaha atau produk yang sama atau sejenis dengan Wajib Pajak, termasuk penjelasan
mengenai karakteristik dan pangsa pasar pesaing;
k. fotokopi Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan dan Laporan Keuangan Wajib Pajak
yang telah diaudit Akuntan Publik selama 3 (tiga) tahun terakhir;
l. dokumen lain yang dianggap oleh Wajib Pajak relevan untuk disampaikan.

Pasal 5

Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 Undang-Undang KUP dalam hal permohonan
ditandatangani bukan oleh Wajib Pajak.

Pasal 6

(1) Atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak
melakukan evaluasi dan menentukan jadwal untuk pembicaraan awal dengan Wajib Pajak.
(2) Pembicaraan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan lebih dari satu kali.
(3) Direktur Jenderal Pajak dapat meminta keterangan kepada Wajib Pajak dan/atau melakukan peninjauan
ke tempat kegiatan usaha Wajib Pajak untuk melengkapi data atau informasi yang diperlukan.

Pasal 7

Pelaksanaan pembicaraan awal tidak mengikat Direktur Jenderal Pajak atau Wajib Pajak untuk membuat
Kesepakatan Harga Transfer.

Pasal 8

(1) Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak diterimanya permohonan Wajib Pajak secara
lengkap, Direktur Jenderal Pajak memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak tentang
persetujuan atau penolakan untuk membahas lebih lanjut tentang Kesepakatan Harga Transfer.
(2) Dengan diterbitkannya penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak
tidak dapat meminta untuk meneruskan pembahasan ke tahap selanjutnya.
(3) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan baru sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 atas
permohonan yang telah diterbitkan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

BAB V
PENYAMPAIAN PERMOHONAN FORMAL

Pasal 9

(1) Berdasarkan persetujuan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Wajib Pajak
dapat menyampaikan permohonan formal untuk membentuk Kesepakatan Harga Transfer kepada
Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Peraturan Perpajakan II.
(2) Permohonan formal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dengan menggunakan Formulir
APA-2 sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang harus
dilengkapi dengan dokumen pendukung.
(3) Dokumen-dokumen serta penjelasan yang diperlukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. penjelasan mengenai ikhtisar hasil pembicaraan awal yang telah dilakukan sebelumnya antara
Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak;

www.ortax.org
654 Edisi PPh Badan | Maret 2017

b. penjelasan rinci mengenai metode Penentuan Harga Transfer yang diusulkan oleh Wajib Pajak,
termasuk dokumentasi yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak;
c. penjelasan rinci mengenai kondisi yang membentuk metode Penentuan Harga Transfer;
d. penjelasan rinci dan dokumentasi yang menunjukkan bahwa penerapan metode Penentuan
Harga Transfer yang diusulkan oleh Wajib Pajak memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman
Usaha; dan
e. penjelasan rinci mengenai analisis asumsi kritikal (critical assumptions).
(4) Yang dimaksud dengan asumsi kritikal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e antara lain :
a. perubahan ketentuan perundang-undangan perpajakan dan aturan pelaksanaannya;
b. perubahan tarif dan bea masuk;
c. perubahan ketentuan perundang-undangan di bidang usaha yang terkait;
d. peristiwa di luar kekuasaan dan kendali manusia/perusahaan (force majeur);
e. munculnya pesaing baru yang mempengaruhi struktur harga pasar secara signifikan;
f. keluarnya kebijakan pemerintah yang dapat mempengaruhi kegiatan Wajib Pajak;
g. perubahan kondisi ekonomi yang dapat mempengaruhi volume penjualan, unit produksi, atau
pangsa pasar secara signifikan;
h. perubahan kegiatan usaha Wajib Pajak, seperti restrukturisasi perusahaan; atau
i. perubahan nilai tukar mata uang yang signifikan.

BAB VI
PEMBAHASAN KESEPAKATAN HARGA TRANSFER

Pasal 10

(1) Berdasarkan permohonan formal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Direktur
Jenderal Pajak melakukan pembahasan Kesepakatan Harga Transfer pada waktu yang telah disepakati
bersama antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak.
(2) Pembahasan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi antara lain:
a. ruang lingkup transaksi dan Tahun Pajak yang akan dicakup oleh Kesepakatan Harga Transfer;
b. Analisis Kesebandingan, pemilihan dan penentuan data pembanding;
c. penentuan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat;
d. kondisi dan faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan metode Penentuan Harga Transfer;
dan
e. perlu atau tidaknya diadakan Kesepakatan Harga Transfer dengan negara/jurisdiksi lain.
(3) Direktur Jenderal Pajak dapat meminta Wajib Pajak untuk memberikan data dan informasi lain yang
diperlukan selama pelaksanaan pembahasan Kesepakatan Harga Transfer.

Pasal 11

(1) Dalam hal Wajib Pajak menganggap bahwa Kesepakatan Harga Transfer dapat menyebabkan terjadinya
pengenaan pajak berganda, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada
Direktur Jenderal Pajak untuk mengadakan Prosedur Persetujuan Bersama (MutuaI Agreement
Procedure/MAP) dengan otoritas pajak dari negara/jurisdiksi mitra Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda.
(2) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembahasan
Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) tetap dilanjutkan.
(3) Penyampaian permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan berdasarkan
PER-48/PJ/2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement
Procedure) Berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.

Pasal 12

(1) Kesepakatan Harga Transfer dapat diberlakukan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) Tahun Pajak
yang dihitung sejak Tahun Pajak saat Kesepakatan Harga Transfer disepakati.
(2) Kesepakatan Harga Transfer dapat diberlakukan untuk Tahun Pajak sebelum Kesepakatan Harga
Transfer disepakati sepanjang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak untuk
Tahun Pajak dimaksud:
a. belum pernah dilakukan pemeriksaan;
b. belum pernah diajukan Keberatan atau Banding oleh Wajib Pajak; dan
c. tidak terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan.
(3) Kesepakatan Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak mengenai Tahun Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) harus dituangkan secara jelas dan tegas di dalam Kesepakatan Harga
Transfer.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 655

BAB VII
NASKAH KESEPAKATAN HARGA TRANSFER

Pasal 13

(1) Berdasarkan kesepakatan yang dicapai dalam pembahasan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10, Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak menyusun naskah Kesepakatan
Harga Transfer.
(2) Naskah Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat
sekurang-kurangnya:
a. nama, NPWP, serta alamat perusahaan yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan Wajib
Pajak yang terkait dengan Kesepakatan Harga Transfer;
b. ruang lingkup transaksi yang dicakup;
c. Tahun Pajak yang dicakup;
d. ketentuan umum yang digunakan dalam Kesepakatan Harga Transfer;
e. metode Penentuan Harga Transfer yang disepakati;
f. faktor-faktor yang mempengaruhi asumsi kritikal (critical assumptions) penerapan metode
Penentuan Harga Transfer;
g. Harga Wajar atau Laba Wajar, atau Rentang Harga Wajar atau rentang Laba Wajar untuk setiap
jenis barang/jasa atau transaksi yang dicakup;
h. kewajiban yang harus dilaksanakan dalam penerapan Kesepakatan Harga Transfer dan
kewajiban pelaporan;
i. konsekuensi hukum;
j. kerahasiaan informasi;
k. peninjauan kembali dan pembatasan; dan
l. mekanisme penyelesaian masalah yang timbul dalam penerapan;
(3) Naskah Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat dalam jangka
waktu 20 (dua puluh) hari kerja setelah pembahasan Kesepakatan Harga Transfer diselesaikan dan
ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak.

BAB VIII
PELAKSANAAN DAN EVALUASI KESEPAKATAN HARGA TRANSFER

Pasal 14

Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) mengikat Direktur Jenderal Pajak
dan Wajib Pajak.

Pasal 15

(1) Transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa yang
telah mengikuti atau memenuhi kriteria-kriteria yang telah disepakati dalam Kesepakatan Harga Wajar
antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak, dianggap telah memenuhi Prinsip Kewajaran dan
Kelaziman Usaha.
(2) Dalam hal Kesepakatan Harga Transfer akan diberlakukan untuk Tahun Pajak sebelum disepakatinya
Kesepakatan Harga Transfer dan Surat Pemberitahuan yang dilaporkan oleh Wajib Pajak untuk Tahun
Pajak dimaksud belum mencerminkan hasil Kesepakatan Harga Transfer, Wajib Pajak dapat melakukan
penyesuaian (compensating adjustment) dengan membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah
disampaikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
(3) Dalam hal penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyebabkan Surat Pemberitahuan
menjadi lebih bayar, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
(4) Dalam hal penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyebabkan Surat Pemberitahuan
menjadi kurang bayar, sanksi administrasi dikenakan sesuai dengan ketentuan perundang--undangan
perpajakan yang berlaku atas kekurangan pembayaran pajak dimaksud.

Pasal 16

(1) Wajib Pajak wajib menyampaikan laporan tahunan (annual compliance report) yang menggambarkan
kesesuaian pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer dalam kegiatan atau usaha Wajib Pajak kepada
Kepala KPP Domisili paling lambat 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
(2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a. kepatuhan Wajib Pajak menerapkan metode Penentuan Harga Transfer dalam transaksi yang
dicakup dalam Kesepakatan Harga Transfer;
b. penjelasan rinci mengenai keakuratan dan konsistensi penerapan metode Penentuan Harga

www.ortax.org
656 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Transfer; dan
c. penjelasan rinci mengenai keakuratan faktor-faktor yang mempengaruhi (critical assumptions)
penerapan metode Penentuan Harga Transfer.

Pasal 17

(1) Direktur Jenderal Pajak melakukan evaluasi atas penerapan Kesepakatan Harga Transfer oleh Wajib
Pajak.
(2) Direktur Jenderal Pajak dapat meninjau kembali atau membatalkan Kesepakatan Harga Transfer dalam
hal:
a. Wajib Pajak tidak mematuhi Kesepakatan Harga Transfer;
b. Wajib Pajak menyampaikan data/informasi yang tidak benar kepada Direktur Jenderal Pajak;
c. Wajib Pajak tidak menyampaikan laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (1) atau menyampaikan laporan tahunan namun tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 16
ayat (2);
d. terdapat perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi (critical assumptions) penerapan metode
Penentuan Harga Transfer; atau
e. ditemukan fakta bahwa Kesepakatan Harga Transfer memuat kesalahan;
f. Wajib Pajak telah melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
(3) Kondisi yang menyebabkan Direktur Jenderal Pajak dapat meninjau atau membatalkan Kesepakatan
Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau kondisi lainnya harus dicantumkan dalam
Kesepakatan Harga Transfer.
(4) Dalam hal terjadi pembatalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Direktur Jenderal Pajak akan
memberitahukan pembatalan dimaksud kepada Wajib Pajak secara tertulis.

Pasal 18

(1) Kesepakatan Harga Transfer tidak menghalangi Direktur Jenderal Pajak melaksanakan pemeriksaan
pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
(2) Dalam hal Kesepakatan Harga Transfer diberlakukan untuk transaksi antara Wajib Pajak dengan pihak
yang mempunyai Hubungan Istimewa di dalam negeri (domestic transfer pricing), maka penyesuaian
(secondary adjustment) pada Wajib Pajak dalam negeri lainnya dapat dilakukan dengan persetujuan
Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 19

(1) Buku, catatan, dokumen, atau informasi yang disampaikan oleh Wajib Pajak dalam pembentukan
Kesepakatan Harga Transfer merupakan kerahasiaan Wajib Pajak yang tidak dapat diungkapkan
kepada pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
(2) Dalam hal proses pembentukan Kesepakatan Harga Transfer tidak mencapai kesepakatan atau
Kesekapatan Harga Transfer yang telah disepakati dibatalkan, buku, catatan, dokumen, atau informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembalikan kepada Wajib Pajak dan tidak digunakan sebagai
dasar untuk melakukan pemeriksaan atau penyidikan pajak.

BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 20

Pembentukan Kesepakatan Harga Transfer dilaksanakan oleh Tim yang dibentuk berdasarkan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak.

BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 21

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 657

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 31 Desember 2010
DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd.

MOCHAMAD TJIPTARDJO
NIP 195104281975121002

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=14529

www.ortax.org
Peraturan Direktur Jenderal Pajak :
658 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PER - 32/PJ/2011

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 32/PJ/2011

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR


PER-43/PJ/2010 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN
DAN KELAZIMAN USAHA DALAM TRANSAKSI ANTARA
WAJIB PAJAK DENGAN PIHAK YANG MEMPUNYAI
HUBUNGAN ISTIMEWA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

1. bahwa dalam rangka memberikan kepastian dan kelancaran dalam penerapan prinsip kewajaran dan
kelaziman usaha antara Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa,
dipandang perlu melakukan perubahan beberapa ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi
Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa;
2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a di atas, perlu menetapkan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara
Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban
Perpajakan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER-43/PJ/2010 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA DALAM
TRANSAKSI ANTARA WAJIB PAJAK DENGAN PIHAK YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan
Istimewa, diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan:


1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 659

Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
2. Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
3. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN adalah Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2009.
4. Hubungan Istimewa adalah hubungan antara Wajib Pajak dengan pihak lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh atau Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang
PPN.
5. Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm's length principle/ALP) merupakan prinsip yang
mengatur bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam transaksi yang
dilakukan antara pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding,
maka harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa harus sama dengan atau berada dalam rentang harga atau laba dalam
transaksi yang dilakukan antara pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang
menjadi pembanding.
6. Harga Wajar atau Laba Wajar adalah harga atau laba yang terjadi dalam transaksi yang
dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi yang
sebanding, atau harga atau laba yang ditentukan sebagai harga atau laba yang memenuhi
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
7. Analisis Kesebandingan adalah analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau Direktorat
Jenderal Pajak atas kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak
yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk diperbandingkan dengan kondisi dalam transaksi
yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, dan melakukan
identifikasi atas perbedaan kondisi dalam kedua jenis transaksi dimaksud.
8. Penentuan Harga Transfer (transfer pricing) adalah penentuan harga dalam transaksi antara
pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.

2. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2

(1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini berlaku untuk Penentuan Harga Transfer (Transfer Pricing)
atas transaksi yang dilakukan Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap di Indonesia
dengan Wajib Pajak Luar Negeri diluar Indonesia.
(2) Dalam hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa yang merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap di Indonesia,
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini hanya berlaku untuk transaksi yang dilakukan oleh Wajib
Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk memanfaatkan
perbedaan tarif pajak yang disebabkan antara lain:
a. perlakuan pengenaan Pajak Penghasilan final atau tidak final pada sektor usaha
tertentu;
b. perlakuan pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; atau
c. transaksi yang dilakukan dengan Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas.

3. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3

(1) Wajib Pajak dalam melakukan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dengan pihak-
pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa wajib menerapkan Prinsip Kewajaran dan
Kelaziman Usaha.
(2) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. melakukan Analisis Kesebandingan dan menentukan pembanding;
b. menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat;
c. menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha berdasarkan hasil Analisis
Kesebandingan dan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat ke dalam transaksi
yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa; dan
d. mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar

www.ortax.org
660 Edisi PPh Badan | Maret 2017

sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.


(3) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm's Length Principle/ALP) mendasarkan pada norma
bahwa harga atau laba atas transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa ditentukan oleh kekuatan pasar, sehingga transaksi tersebut mencerminkan
harga pasar yang wajar (Fair Market Value/FMV).
(4) Wajib Pajak yang melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa dengan nilai seluruh transaksi tidak melebihi Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar
rupiah) dalam 1 (satu) tahun pajak untuk setiap lawan transaksi, dikecualikan dari kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

4. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4

(1) Dalam melakukan Analisis Kesebandingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
huruf a harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa dianggap sebanding dengan transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak
yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam hal :
1) tidak terdapat perbedaan kondisi yang material atau signifikan yang dapat
mempengaruhi harga atau laba dari transaksi yang diperbandingkan; atau
2) terdapat perbedaan kondisi, namun dapat dilakukan penyesuaian untuk
menghilangkan pengaruh yang material atau signifikan dari perbedaan kondisi
tersebut terhadap harga atau laba;
b. dalam hal tersedia Data Pembanding Internal dan Data Pembanding Eksternal dengan
tingkat kesebandingan yang sama, maka Wajib Pajak wajib menggunakan Data
Pembanding Internal untuk penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar.
c. dalam hal Data Pembanding Internal yang tersedia sebagaimana dimaksud pada
huruf b bersifat insidental, maka Data Pembanding Internal dimaksud hanya dapat
dipergunakan dalam transaksi yang bersifat insidental antara Wajib Pajak dengan
pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Wajib Pajak wajib mendokumentasikan langkah-langkah, kajian, dan hasil kajian dalam
melakukan Analisis Kesebandingan dan penentuan pembanding, penggunaan Data Pembanding
Internal dan/atau Data Pembanding Eksternal serta menyimpan buku, dasar catatan, atau
dokumen sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

5. Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 4A sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 4A

(1) Data Pembanding Internal adalah data Harga Wajar atau Laba Wajar dalam transaksi sebanding
yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Data Pembanding Eksternal adalah data Harga Wajar atau Laba Wajar dalam transaksi sebanding
yang dilakukan oleh Wajib Pajak lain dengan pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa.
(3) Data Pembanding Internal dan Data Pembanding Eksternal harus memenuhi faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi tingkat kesebandingan.
(4) Dalam hal Data Pembanding Internal telah memenuhi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
tingkat kesebandingan, maka Data Pembanding Eksternal tidak diperlukan.
(5) Data Pembanding Eksternal dapat diperoleh dari database komersial maupun database lainnya.

6. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 7

(1) Dalam melakukan penilaian dan analisis fungsi (functional analysis) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, harus dilakukan analisis dengan mengidentifikasi dan
membandingkan kegiatan ekonomi yang signifikan dan tanggung jawab utama yang diambil
atau akan diambil oleh pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan pihak-pihak
yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Kegiatan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap signifikan dalam hal kegiatan
tersebut berpengaruh secara material pada harga yang ditetapkan dan/atau laba yang
diperoleh dari transaksi yang dilakukan.
(3) Dalam melakukan penilaian dan analisis fungsi, harus dipertimbangkan antara lain:

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 661

a. struktur organisasi dan posisi perusahaan yang diuji dalam kelompok usaha serta
manajemen mata rantai (supply chain management) kelompok usaha;
b. fungsi-fungsi utama yang dijalankan oleh suatu perusahaan seperti desain, pengolahan,
perakitan, penelitian, pengembangan, pelayanan, pembelian, distribusi, pemasaran,
promosi, transportasi, keuangan, dan manajemen serta karakteristik utama perusahaan
seperti jasa maklon (toll manufacturing), manufaktur dengan fungsi dan risiko terbatas
(contract manufacturing), dan manufaktur dengan fungsi dan risiko penuh (fully fledge
manufacturing);
c. jenis aktiva yang digunakan atau akan digunakan seperti tanah, bangunan, peralatan,
dan Harta Tidak Berwujud, serta sifat dari aktiva tersebut seperti umur, harga pasar,
dan lokasi;
d. risiko yang mungkin timbul dan harus ditanggung oleh masing-masing pihak yang
melakukan transaksi seperti risiko pasar, risiko kerugian investasi, dan risiko keuangan.

7. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8

(1) Dalam melakukan penilaian dan analisis atas ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c, harus dilakukan analisis terhadap
tingkat tanggung jawab, risiko, dan keuntungan yang dibagi antara pihak-pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa untuk dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan dalam
kontrak/perjanjian yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa,
yang meliputi ketentuan tertulis dan tidak tertulis.
(2) Dalam hal tidak terdapat dokumen tertulis, hubungan kontrak para pihak dapat ditentukan dari
peran/perilaku para pihak atau prinsip ekonomi, yang umumnya mengatur hubungan para
pihak tersebut.

8. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 9

(1) Analisis keadaan ekonomi diperlukan untuk memperoleh tingkat kesebandingan dalam pasar
tempat beroperasinya para pihak yang melakukan transaksi.
(2) Keadaan ekonomi yang harus diidentifikasi untuk menentukan tingkat kesebandingan pasar
mencakup:
a. Lokasi geografis;
b. ukuran pasar;
c. tingkat persaingan dalam pasar serta posisi persaingan antara penjual dan pembeli;
d. ketersediaan barang atau jasa pengganti;
e. tingkat permintaan dan penawaran dalam pasar baik secara keseluruhan maupun
regional;
f. daya beli konsumen;
g. sifat dan cakupan peraturan pemerintah dalam pasar;
h. biaya produksi termasuk biaya tanah, upah tenaga kerja, dan modal; biaya
transportasi; dan tingkatan pasar;
i. tanggal dan waktu transaksi; dan sebagainya.

9. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11

(1) Dalam penentuan metode Harga Wajar atau Laba Wajar wajib dilakukan kajian untuk
menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang paling sesuai (The Most Appropiate
Method).
(2) Metode Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat diterapkan
adalah :
a. Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa
(Comparable Uncontrolled Price/CUP);
b. Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM);
c. Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method);
d. Metode Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM); atau
e. Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin Method/TNMM).
(3) Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa
(Comparable Uncontrolled Price/CUP) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan

www.ortax.org
662 Edisi PPh Badan | Maret 2017

dengan membandingkan harga dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa dengan harga barang atau jasa dalam transaksi yang dilakukan
antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi atau keadaan
yang sebanding.
(4) Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM) adalah metode Penentuan Harga
Transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi suatu produk yang
dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan harga jual kembali
produk tersebut setelah dikurangi laba kotor wajar, yang mencerminkan fungsi, aset dan risiko,
atas penjualan kembali produk tersebut kepada pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa atau penjualan kembali produk yang dilakukan dalam kondisi wajar.
(5) Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan
dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan yang sama dari
transaksi dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau tingkat laba kotor
wajar yang diperoleh perusahaan lain dari transaksi sebanding dengan pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa pada harga pokok penjualan yang telah sesuai dengan Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
(6) Metode Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM) adalah metode Penentuan Harga Transfer
berbasis Laba Transaksional (Transactional Profit Method Based) yang dilakukan dengan
mengidentifikasi laba gabungan atas transaksi afiliasi yang akan dibagi oleh pihak-pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa tersebut dengan menggunakan dasar yang dapat diterima
secara ekonomi yang memberikan perkiraan pembagian laba yang selayaknya akan terjadi
dan akan tercermin dari kesepakatan antar pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa, dengan menggunakan Metode Kontribusi (Contribution Profit Split Method) atau
Metode Sisa Pembagian Laba (Residual Profit Split Method).
(7) Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin method/TNMM) adalah metode
Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan presentase laba bersih
operasi terhadap biaya, terhadap penjualan, terhadap aktiva, atau terhadap dasar lainnya atas
transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan presentase laba
bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding dengan pihak lain yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa atau persentase laba bersih operasi yang diperoleh atas
transaksi sebanding yang dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa
lainnya.
(8) Dalam menerapkan metode Penentuan Harga Transfer yang paling sesuai sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan (2), wajib diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. kelebihan dan kekurangan setiap metode;
b. kesesuaian metode Penentuan Harga Transfer dengan sifat dasar transaksi antar pihak
yang mempunyai Hubungan Istimewa, yang ditentukan berdasarkan analisis fungsional;
c. ketersediaan informasi yang handal (sehubungan dengan transaksi antar pihak yang
tidak mempunyai Hubungan Istimewa) untuk menerapkan metode yang dipilih dan/atau
metode lain;
d. tingkat kesebandingan antara transaksi antar pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa dengan transaksi antar pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa,
termasuk kehandalan penyesuaian yang dilakukan untuk menghilangkan pengaruh
yang material dari perbedaan yang ada.
(9) Kondisi yang tepat dalam menerapkan Metode Perbandingan Harga antara pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP) antara lain adalah:
a. barang atau jasa yang ditransaksikan memiliki karakteristik yang identik dalam kondisi
yang sebanding; atau
b. kondisi transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa dengan pihak-pihak yang tidak memiliki Hubungan Istimewa Identik atau
memiliki tingkat kesebandingan yang tinggi atau dapat dilakukan penyesuaian yang
akurat untuk menghilangkan pengaruh dari perbedaan kondisi yang timbul.
(10) Kondisi yang tepat dalam menerapkan Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/
RPM) antara lain adalah:
a. tingkat kesebandingan yang tinggi antara transaksi antara Wajib Pajak yang
mempunyai Hubungan Istimewa dengan transaksi antara Wajib Pajak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa, khususnya tingkat kesebandingan berdasarkan hasil
analisis fungsi, meskipun barang atau jasa yang diperjualbelikan berbeda; dan
b. pihak penjual kembali (reseller) tidak memberikan nilai tambah yang signifikan atas
barang atau jasa yang diperjualbelikan.
(11) Kondisi yang tepat dalam menerapkan Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method) antara lain adalah:
a. barang setengah jadi dijual kepada pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa;
b. terdapat kontrak/perjanjian penggunaan fasilitas bersama (joint facility agreement)
atau kontrak jual-beli jangka panjang (long term buy and supply agreement) antara
pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa; atau
c. bentuk transaksi adalah penyediaan jasa.
(12) Metode Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM) secara khusus hanya dapat diterapkan dalam
kondisi sebagai berikut:

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 663

a. transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sangat terkait satu
sama lain sehingga tidak dimungkinkan untuk dilakukan kajian secara terpisah; atau
b. terdapat barang tidak berwujud yang unik antara pihak-pihak yang bertransaksi yang
menyebabkan kesulitan dalam menemukan data pembanding yang tepat.
(13) Kondisi yang tepat dalam menerapkan Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net
Margin Method/TNMM) antara lain adalah:
a. salah satu pihak dalam transaksi Hubungan Istimewa melakukan kontribusi yang
khusus; atau
b. salah satu pihak dalam transaksi Hubungan Istimewa melakukan transaksi yang
kompleks dan memiliki transaksi yang berhubungan satu sama lain.
(14) Wajib Pajak wajib mendokumentasikan kajian yang dilakukan dan menyimpan buku, dasar
catatan, atau dokumen sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

10. Pasal 12 dihapus.

11. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14

(1) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha wajib diterapkan atas transaksi jasa yang dilakukan
antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap memenuhi Prinsip Kewajaran dan
Kelaziman Usaha sepanjang memenuhi ketentuan:
a. penyerahan atau perolehan jasa benar-benar terjadi;
b. nilai transaksi jasa antara pihak-pihak yang mempunyai mempunyai Hubungan
Istimewa sama dengan nilai transaksi jasa yang dilakukan antara pihak-pihak yang
tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang mempunyai kondisi yang sebanding, atau
yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak untuk keperluannya;
(3) Penyerahan atau perolehan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dianggap
benar-benar terjadi apabila terdapat manfaat ekonomis atau komersial yang dapat menambah
nilai atas penyerahan atau perolehan jasa dimaksud.
(4) Dalam menentukan nilai transaksi jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b harus
diterapkan melalui Analisis Kesebandingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5,
Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10.
(5) Transaksi jasa antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dianggap
tidak memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam hal transaksi jasa terjadi hanya
karena terdapat kepemilikan perusahaan induk pada salah satu atau beberapa perusahaan
yang berada dalam satu kelompok usaha.
(6) Transaksi jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) termasuk biaya atau pengeluaran yang
terjadi sehubungan dengan:
a. kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan induk, seperti rapat pemegang saham
perusahaan induk, penerbitan saham oleh perusahaan induk, dan biaya pengurus
perusahaan induk;
b. kewajiban pelaporan perusahaan induk, termasuk laporan keuangan konsolidasi
perusahaan induk, kecuali terdapat bukti mengenai adanya manfaat yang terukur yang
dinikmati oleh Wajib Pajak;
c. perolehan dana/modal yang dipergunakan untuk pengambilalihan kepemilikan
perusahaan dalam kelompok usaha, kecuali pengambilalihan tersebut dilakukan oleh
Wajib Pajak dan manfaatnya dinikmati oleh Wajib Pajak.

12. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17

(1) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha wajib diterapkan atas transaksi pemanfaatan dan
pengalihan Harta Tidak Berwujud yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Harta Tak Berwujud (Intangibles) adalah suatu aktiva yang pada umumnya memiliki masa
manfaat yang panjang dan tidak mempunyai bentuk fisik serta memiliki kegunaan dalam
kegiatan operasi perusahaan dan penggunaannya tidak untuk dijual kembali, seperti paten, hak
cipta atau merek dagang.
(3) Harta Tidak Berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi Harta Tidak Berwujud
sehubungan dengan Fungsi Perdagangan (Trade Intangibles) dan Harta Tidak Berwujud
sehubungan dengan Fungsi Pemasaran (Marketing Intangibles).
(4) Harta Tidak Berwujud sehubungan dengan Fungsi Perdagangan (Trade Intangibles) pada

www.ortax.org
664 Edisi PPh Badan | Maret 2017

umumnya terjadi melalui kegiatan riset dan pengembangan yang berisiko dan mahal, sehingga
pemiliknya berusaha mengganti pengeluaran tersebut melalui penjualan barang, perjanjian
lisensi atau kontrak jasa.
(5) Harta Tidak Berwujud sehubungan dengan Fungsi Pemasaran (Marketing Intangibles) meliputi
antara lain merek dagang atau nama dagang yang membantu meningkatkan pemasaran dari
barang dan jasa, daftar pelanggan, dan saluran distribusi.
(6) Merek Dagang adalah nama, simbol atau gambar yang unik yang dimiliki sebagai identitas dari
suatu barang atau jasa tertentu yang dihasilkan oleh pabrikan atau dealer, dimana
penggunaannya oleh pihak lain diatur oleh hukum domestik atau hukum internasional.
(7) Transaksi pemanfaatan Harta Tidak Berwujud yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak
yang mempunyai Hubungan Istimewa dianggap memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman
Usaha sepanjang memenuhi ketentuan :
a. transaksi pemanfaatan Harta Tidak Berwujud benar-benar terjadi;
b. terdapat manfaat ekonomis atau komersial; dan
c. transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai mempunyai Hubungan Istimewa
mempunyai nilai yang sama dengan transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang
tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang mempunyai kondisi yang sebanding dengan
menerapkan Analisis Kesebandingan dan menerapkan metode Penentuan Harga
Transfer yang tepat ke dalam transaksi.
(8) Transaksi pengalihan Harta Tidak Berwujud yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak
yang mempunyai Hubungan Istimewa dianggap memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman
Usaha sepanjang memenuhi ketentuan :
a. transaksi pengalihan Harta Tidak Berwujud benar-benar terjadi; dan
b. nilai pengalihan Harta Tidak Berwujud antara pihak-pihak yang mempunyai mempunyai
Hubungan Istimewa sama dengan nilai pengalihan Harta Tidak Berwujud yang dilakukan
antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang mempunyai
kondisi yang sebanding.
(9) Dalam melakukan Analisis Kesebandingan untuk transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (8)
dan ayat (9) harus dipertimbangkan antara lain :
a. keterbatasan geografis dalam pemanfaatan hak atas Harta Tidak Berwujud;
b. eksklusifitas hak yang dialihkan; dan
c. keberadaan hak pihak yang memperolah Harta Tak Berwujud untuk turut serta dalam
pengembangan harta dimaksud.

13. Diantara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 17A sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 17A

(1) Kesepakatan Kontribusi Biaya (Cost Contribution Arrangements) adalah kesepakatan yang
dibuat oleh para pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk berbagi risiko dari
mengembangkan, menghasilkan atau mendapatkan aset, jasa atau hak, dan untuk menentukan
fungsi dan peranan para pihak dalam kesepakatan atas aset, jasa atau hak dimaksud.
(2) Para pihak dalam Kesepakatan Kontribusi Biaya (Cost Contribution Arrangements) berhak
untuk mendapatkan manfaat pelaksanaan Kesepakatan Kontribusi Biaya (Cost Contribution
Arrangements) sebagai pemilik efektif (effective owners).
(3) Dalam hal terdapat Kesepakatan Kontribusi Biaya (Cost Contribution Arrangements), maka
kontribusi biaya antara para pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa harus sama
dibandingkan dengan kontribusi biaya dalam kesepakatan yang dilakukan antara pihak-pihak
yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.

14. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 18

(1) Wajib Pajak wajib menyelenggarakan dan menyimpan buku, catatan, dan dokumen yang
menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 Undang-Undang KUP dan peraturan pelaksanaannya.
(2) Termasuk dalam pengertian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi dokumen
yang menjadi dasar penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha pada transaksi dengan
pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
(3) Wajib Pajak wajib menyampaikan dokumentasi dalam melaporkan transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), yang terdiri dari satu set dokumen induk dan satu set lampiran dari
dokumen induk.
(4) Wajib Pajak dapat menentukan sendiri jenis dan bentuk dokumen yang disesuaikan dengan
bidang usahanya sepanjang dokumen tersebut mendukung penggunaan metode penentuan

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 665

Harga Wajar atau Laba Wajar yang dipilih, termasuk laporan keuangan yang tersegmentasi.
(5) Dokumen penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang harus disediakan oleh Wajib Pajak
sekurang-kurangnya mencakup:
a. gambaran perusahaan secara rinci seperti struktur kelompok usaha, struktur
kepemilikan, struktur organisasi, aspek-aspek operasional kegiatan usaha, daftar
pesaing usaha, dan gambaran lingkungan usaha;
b. kebijakan penetapan harga dan/atau penetapan alokasi biaya;
c. hasil Analisis Kesebandingan atas karakteristik produk yang diperjualbelikan, hasil
analisis fungsional, kondisi ekonomi, ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian,
dan strategi usaha.
d. pembanding yang terpilih;
e. catatan mengenai penerapan metode penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang
dipilih oleh Wajib Pajak serta alasan penolakan metode yang tidak dipilih.

15. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 20

(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan dan
pengurangan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak pada transaksi yang
dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Kewenangan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan
apabila Wajib Pajak telah memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam transaksi
yang dilakukan dengan pihak-pihak yang memiliki Hubungan Istimewa.
(3) Penghitungan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan metode dan dokumen penentuan Harga Wajar
atau Laba Wajar yang diterapkan oleh Wajib Pajak.
(4) Dalam hal Wajib Pajak tidak dapat memberikan penjelasan yang memadai dan/atau
menunjukkan dokumen pendukung penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, Direktur Jenderal Pajak
berwenang menetapkan Harga Wajar atau Laba Wajar berdasarkan data atau dokumen lain dan
metode penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang dinilai tepat oleh Direktorat Jenderal
Pajak sesuai dengan kewenangan berdasarkan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang KUP.

16. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 21

(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyesuaian (correlative adjustment) terhadap
penghitungan Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak sebagai tindak lanjut atas suatu penyesuaian
(primary adjustment) yang dilakukan oleh :
a. Direktur Jenderal Pajak atas penghitungan penghasilan dan pengurangan yang
dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri lainnya termasuk Bentuk Usaha Tetap yang
menjadi lawan transaksi Wajib Pajak; atau
b. otoritas pajak negara lain atas penghitungan penghasilan dan pengurangan yang
dilakukan oleh Wajib Pajak negara tersebut yang menjadi lawan transaksi Wajib Pajak
dalam negeri termasuk Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
(2) Atas penyesuaian yang dilakukan oleh otoritas pajak negara lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, Wajib Pajak tidak diperkenankan untuk melakukan sendiri penyesuaian
penghitungan pajaknya.

17. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 22

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement
Procedure/MAP) kepada Direktur Jenderal Pajak sesuai ketentuan dalam Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda atau P3B untuk menyelesaikan sengketa perpajakan yang
menyangkut penerapan ketentuan dalam P3B sesuai dengan ketentuan yang berlaku, termasuk
dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui penyesuaian yang dilakukan oleh otoritas pajak
di negara mitra P3B terhadap Wajib Pajak yang menjadi lawan transaksinya.
(2) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian
antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara/jurisdiksi lain dalam rangka
penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
(3) Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure/MAP) sebagaimana dimaksud

www.ortax.org
666 Edisi PPh Badan | Maret 2017

pada ayat (1) adalah prosedur administratif yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang dari
Indonesia dengan pejabat yang berwenang dari negara mitra P3B untuk menyelesaikan
sengketa perpajakan yang timbul sehubungan dengan penerapan P3B.

18. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 23

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing
Agreement/APA) kepada Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
sebagai upaya menghindari permasalahan yang mungkin timbul dalam transaksi yang dilakukan
antara Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement/APA) sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah perjanjian tertulis antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau
antara Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (3a) Undang-Undang PPh.

Pasal II

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 11 November 2011
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=14855

www.ortax.org
Peraturan Direktur Jenderal Pajak :
PER - 22/PJ/2013 Edisi PPh Badan | Maret 2017 667

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 22/PJ/2013

TENTANG

PEDOMAN PEMERIKSAAN TERHADAP WAJIB PAJAK


YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 92 Peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan, perlu menetapkan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak tentang Pedoman Pemeriksaan Terhadap Wajib Pajak Yang Mempunyai Hubungan
Istimewa;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan
Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 162, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5268) berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
5. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 47);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan:

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PEDOMAN PEMERIKSAAN TERHADAP WAJIB PAJAK YANG
MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA.

Pasal 1

Menetapkan Pedoman Pemeriksaan sebagaimana tercantum dalam lampiran peraturan ini sebagai pedoman
pelaksanaan Pemeriksaan Terhadap Wajib Pajak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa yang selanjutnya disebut
Pemeriksaan transfer pricing.

Pasal 2

Jenis dan bentuk surat dan/atau dokumen yang diperlukan dalam pelaksanaan Pemeriksaan Terhadap Wajib
Pajak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa dibuat dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 3

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku:

www.ortax.org
668 Edisi PPh Badan | Maret 2017

1. Terhadap SP2 yang diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal ini dan Pemeriksaan
belum selesai, proses penyelesaian selanjutnya dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur
dalam Peraturan Direktur Jenderal ini;
2. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-01/PJ.07/1993 tentang Pedoman Pemeriksaan Pajak
Terhadap Wajib Pajak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 4

Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2013.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30-05-2013
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

A. FUAD RAHMANY

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15275

www.ortax.org
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak :
SE - 18/PJ.53/1995 Edisi PPh Badan | Maret 2017 669

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
26 April 1995

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 18/PJ.53/1995

TENTANG

PENGERTIAN HUBUNGAN ISTIMEWA (SERI PPN 16-95)

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8
Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah,maka
terjadi perubahan pengertian mengenai hubungan istimewa. Untuk itu diminta perhatian saudara terhadap
hal-hal sebagai berikut :

1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun
1994, memberikan pengertian yang lebih luas tentang hubungan istimewa. Persyaratan terjadinya
hubungan istimewa ditambah dengan adanya hubungan baik sedarah maupun semenda dalam garis
keturunan lurus satu derajat dan/atau kesamping satu derajat.

2. Dengan demikian hubungan istimewa antara Pengusaha Kena Pajak dengan pihak yang menerima
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau
keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan oleh salah satu dari faktor-faktor sebagai berikut :
2.1 Faktor Kepemilikan atau penyertaan
Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan berupa penyertaan
modal sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih, baik secara langsung atau tidak
langsung.

Contoh :
a. Penyertaan secara langsung
PT A memiliki 50% (lima puluh perseratus) saham PT B. Kepemilikan saham PT B
oleh PT A tersebut merupakan penyertaan modal secara langsung sebesar lebih dari
25% (dua puluh lima perseratus). Dalam hal ini Dianggap ada hubungan istimewa
antara PT A dan PT B.

b. Penyertaan secara tidak langsung


Jika PT B tersebut diatas memiliki 50% (lima puluh perseratus) saham PT C,maka PT
A sebagai pemegang saham PT B, secara tidak langsung mempunyai penyertaan
pada PT.C sebesar 25% (dua puluh lima perseratus). Dalam hal tersebut, antara PT
A,PT B, dan PT C terdapat hubungan istimewa. Hubungan kepemilikan tersebut diatas
juga dapat terjadi antara orang pribadi dan badan.

2.2 Faktor Penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi


Hubungan istimewa antara pengusaha dapat juga terjadi karena adanya penguasaan melalui
manajemen ataupun penggunaan teknologi, meskipun tidak terdapat hubungan kepemilikan.
Hubungan istimewa ada apabila satu atau lebih perusahaan berada dibawah penguasaan yang
sama. Demikian juga hubungan antara beberapa perusahaan yang berada dalam penguasaan
Pengusaha yang sama tersebut.

contoh :
a. Penguasaan melalui manajemen :
TA, Direktur Utama di perusahaan BB, juga menjabat sebagai Direktur Utama
di Perusahaan C.
Dalam hal ini ada hubungan istimewa antara perusahaan BB dan C, karena adanya
penguasaan melalui manajemen oleh TA terhadap perusahaan BB dan C.

b. Penguasaan melalui penggunaan Teknologi :


Perusahaan X yang memproduksi minuman menggunakan Formula yang diciptakan
oleh perusahaan Y. Dalam hal ini ada penguasaan melalui penggunaan teknologi oleh
perusahan Y terhadap perusahaan X, sehingga terjadi hubungan istimewa antara
perusahaan X dan perusahaan Y.

2.3 Faktor hubungan keluarga sedarah atau semenda

www.ortax.org
670 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Hubungan keluarga sedarah atau semenda ini dapat menimbulkan hubungan istimewa diantara
orang pribadi. Hubungan keluarga sedarah yang menimbulkan hubungan istimewa adalah
hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat yaitu hubungan antara
seseorang dengan ayahnya, atau dengan ibunya, atau dengan anaknya,dan hubungan
keluarga sedarah dalam garis keturunan kesamping satu derajat, yaitu hubungan antara
seseorang dengan kakaknya, atau dengan adiknya. Hubungan keluarga semenda yang dapat
menimbulkan hubungan istimewa adalah hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan
lurus satu derajat, yaitu hubungan antara seseorang dengan mertuanya, atau dengan anak
tirinya, dan hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan kesamping satu derajat, yaitu
hubungan antara seseorang dengan iparnya. Apabila antara suami istri terdapat perjanjian
pemisahaan harta dan penghasilan, maka antara suami istri tersebut terdapat hubungan
istimewa.

3. Hubungan istimewa seperti dimaksud pada butir 2 akan dapat mempengaruhi harga, yaitu adanya
kemungkinan harga ditekan lebih rendah dari harga pasar. Dalam hal demikian maka yang menjadi
Dasar Pengenaan Pajak adalah harga pasar yang wajar yang berlaku dipasar bebas.

4. Oleh sebab itu, diharap agar saudara memperhatikan dengan seksama praktek-praktek yang diduga
mengandung hubungan istimewa antara perusahaan dan/atau pribadi serta pengaruhnya terhadap
potensi pajak, antara lain dalam hal transaksi antar perusahaan yang bernaung dibawah satu grup
dan perusahaan keluarga.

Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

FUAD BAWAZIER

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=2684

www.ortax.org
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak :
SE - 50/PJ/2013 Edisi PPh Badan | Maret 2017 671

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
____________________________________________________________________________________________
24 Oktober 2013

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 50/PJ/2013

TENTANG

PETUNJUK TEKNIS PEMERIKSAAN TERHADAP WAJIB PAJAK YANG MEMPUNYAI


HUBUNGAN ISTIMEWA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. Umum

Secara umum pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa tetap mengacu
kepada Standar Pemeriksaaan sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2013
tanggal 11 Juni 2013 tentang Standar Pemeriksaan.

Petunjuk Teknis Pemeriksaan Terhadap Wajib Pajak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa sebagaimana
diatur dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini digunakan
sebagai tuntunan teknis dalam melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang mempunyai
hubungan istimewa.

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud
Petunjuk Teknis Pemeriksaan Terhadap Wajib Pajak yang Mempunyai Hubungan Istimewa
merupakan tuntunan teknis pemeriksaan yang dapat digunakan Pemeriksa Pajak dalam
melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa

2. Tujuan
Petunjuk Teknis Pemeriksaan Terhadap Wajib Pajak yang Mempunyai Hubungan Istimewa
bertujuan memberikan kemudahan dan keseragaman bagi Pemeriksa Pajak dalam melakukan
pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa guna menjamin
pemeriksaan yang berkualitas.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Petunjuk Teknis Pemeriksaan Terhadap Wajib Pajak yang Mempunyai Hubungan
Istimewa meliputi kegiatan persiapan pemeriksaan, pelaksanaan pemeriksaan, pelaporan pemeriksaan,
format tambahan Kertas Kerja pemeriksaan, dan format tambahan Laporan Hasil Pemeriksaan.

D. Dasar Hukum

Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-22/PJ/2013 tentang Pedoman Pemeriksaan Terhadap
Wajib Pajak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.

E. Ketentuan Lain-lain

1. Petunjuk teknis yang diatur dalam Surat Edaran ini digunakan sebagai tuntunan teknis dalam
melakukan pemeriksaan dengan kriteria sebagai berikut :
a. Pemeriksaan khusus atau pemeriksaan rutin atas Wajib Pajak yang telah teridentifikasi
mempunyai risiko penghindaran pajak terkait transaksi dengan pihak yang mempunyai
hubungan istimewa sebelum diterbitkannya Surat Perintah Pemeriksaan (SP2).
b. Pemeriksaan khusus atau pemeriksaan rutin atas Wajib Pajak yang mempunyai risiko
penghindaran pajak terkait transaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan
istimewa yang ditemukan pada saat pelaksanaan pemeriksaan, sehingga Pemeriksa
Pajak melakukan perubahan atas Rencana Pemeriksaan (audit plan) dan Program
Pemeriksaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

www.ortax.org
672 Edisi PPh Badan | Maret 2017

2. Pada saat Surat Edaran Direktur Jenderal ini mulai berlaku, Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak Nomor SE-04/PJ.7/1993 tentang Petunjuk Penanganan Kasus-Kasus Transfer Pricing
(seri TP-1) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Surat Edaran ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Oktober 2013
DIREKTUR JENDERAL

ttd.

A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001

Tembusan:
1. Sekretaris Direktorat Jenderal;
2. Para Direktur dan Tenaga Pengkaji di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak; dan
3. Kepala Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan.

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15381

www.ortax.org
FASILITAS
PPh Badan
674 Edisi PPh Badan | Maret 2017

No Nomor Dokumen Tanggal Ditetapkan Perihal


1. PP No. 18 Tahun 2015 06 April 2015 Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk PenanamanModal Di Bidang-Bidang
Usaha Tertentu Dan/Atau Di Daerah-Daerah Tertentu
2. PP No. 9 Tahun 2016 15 April 2016 Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015 Tentang
Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang
Usaha Tertentu Dan/Atau Di Daerah-Daerah Tertentu
3. 21/PMK.011/2010 28 Januari 2010 Pemberian Fasilitas Perpajakan Dan Kepabeanan Untuk Kegiatan
Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan
4. 130/PMK.011/2011 15 Agustus 2011 Pemberian Fasilitas Pembebasan Atau Pengurangan Pajak Penghasilan
Badan
5. 144/PMK.011/2012 03 September 2012 Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di
Bidang-Bidang Usaha Tertentu Dan/Atau Di Daerah-Daerah Tertentu
6. 89/PMK.010/2015 28 April 2015 Tata Cara Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman
Modal Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu Dan/Atau Di Daerah-Daerah
Tertentu Serta Pengalihan Aktiva Dan Sanksi Bagi Wajib Pajak Badan
Dalam Negeri Yang Diberikan Fasilitas Pajak Penghasilan
7. 159/PMK.010/2015 14 Agustus 2015 Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan
8. 103/PMK.010/2016 27 Juni 2016 Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 159/PMK.010/2015
Tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan
9. 48/M-IND/PER/5/2015 05 Mei 2015 Kriteria Dan/Atau Persyaratan Dalam Implementasi Pemanfaatan
Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang
Usaha Tertentu Dan/Atau Di Daerah Tertentu Pada Sektor Industri
10. Peraturan Menteri 05 Mei 2015 Kriteria Dan/Atau Persyaratan Pemanfaatan Fasilitas Pajak Penghasilan
Pariwisata No. 9 Tahun Untuk Penanaman Modal Di Bidang Usaha Kawasan Pariwisata
2015
11. Peraturan Menteri 13 Mei 2015 Kriteria Dan/Atau Persyaratan Dalam Pemanfaatan Fasilitas Pajak
Energi Dan Sumber Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu
Daya Mineral No. 16 Dan/Atau Di Daerah-Daerah Tertentu Pada Sektor Energi Dan Sumber
Tahun 2015 Daya Mineral
12. Peraturan Kepala Badan 30 November 2011 Pedoman Dan Tata Cara Pengajuan Permohonan Fasilitas Pembebasan
Koordinasi Penanaman Atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan
Modal Nomor 12 Tahun
2011
13. PER - 67/PJ./2007 05 April 2007 Tata Cara Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman
Modal Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu Dan/Atau Di Daerah-Daerah
Tertentu
14. PER - 44/PJ/2011 29 Desember 2011 Tata Cara Pelaporan Penggunaan Dana Dan Realisasi Penanaman Modal
Bagi Wajib Pajak Badan Yang Mendapatkan Fasilitas Pembebasan Atau
Pengurangan Pajak Penghasilan Badan
15. PER - 45/PJ/2011 29 Desember 2011 Tata Cara Penetapan Saat Dimulainya Berproduksi Secara Komersial
Bagi Wajib Pajak Badan Yang Mendapatkan Fasilitas Pembebasan Atau
Pengurangan Pajak Penghasilan Badan
16. PER - 30/PJ/2013 11 September 2013 Tata Cara Pelaksanaan Pengurangan Besarnya Pajak Penghasilan Pasal
25 Dan Penundaan Pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 Tahun 2013
Bagi Wajib Pajak Industri Tertentu
17. SE - 16/PJ./2007 05 April 2007 Penyampaian Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 Tentang
Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang - Bidang
Usaha Tertentu Dan/Atau Di Daerah-Daerah Tertentu Beserta Peraturan-
Peraturan Pelaksanaannya
18. SE - 15/PJ/2015 09 Maret 2015 Penegasan Atas Pelaksanaan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-41/PJ/2013 Tentang Tata Cara Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan,
Penetapan Realisasi Penanaman Modal, Penyampaian Kewajiban
Pelaporan, Dan Pencabutan Keputusan Persetujuan Pemberian Fasilitas
Pajak Penghasilan Untuk Wajib Pajak Yang Melakukan Penanaman Modal
Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu Dan/Atau Di Daerah-Daerah Tertentu

www.ortax.org
Peraturan Pemerintah RI :
PP No. 18 Tahun 2015 Edisi PPh Badan | Maret 2017 675

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 18 TAHUN 2015

TENTANG

FASILITAS PAJAK PENGHASILAN UNTUK PENANAMAN MODAL DI BIDANG-BIDANG


USAHA TERTENTU DAN/ATAU DI DAERAH-DAERAH TERTENTU

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa untuk lebih meningkatkan kegiatan investasi langsung guna mendorong pertumbuhan ekonomi,
serta untuk pemerataan pembangunan dan percepatan pembangunan bagi bidang-bidang usaha tertentu
dan/atau di daerah-daerah tertentu, perlu mengatur kembali ketentuan mengenai fasilitas Pajak
Penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah
tertentu sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas
Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah
Tertentu sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 52
Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas
Pajak Penghasilan untuk Penanaman
b. Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 31A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang
Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu;

Mengingat:

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan:

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG FASILITAS PAJAK PENGHASILAN UNTUK PENANAMAN MODAL DI


BIDANG-BIDANG USAHA TERTENTU DAN/ATAU DI DAERAH-DAERAH TERTENTU.

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:


1. Penanaman Modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam
negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.
2. Bidang-bidang Usaha Tertentu adalah bidang usaha di sektor kegiatan ekonomi yang mendapat prioritas
tinggi dalam skala nasional.
3. Daerah-daerah Tertentu adalah daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang layak
dikembangkan.

Pasal 2

(1) Kepada Wajib Pajak badan dalam negeri yang melakukan Penanaman Modal, baik Penanaman Modal
baru maupun perluasan dari usaha yang telah ada, pada:
a. Bidang-bidang Usaha Tertentu sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Pemerintah
ini; dan/atau
b. Bidang-bidang Usaha Tertentu dan Daerah-daerah Tertentu sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II Peraturan Pemerintah ini,

www.ortax.org
676 Edisi PPh Badan | Maret 2017

dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan.


(2) Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Penanaman Modal
berupa aktiva tetap berwujud termasuk tanah yang digunakan untuk kegiatan utama usaha,
dibebankan selama 6 (enam) tahun masing-masing sebesar 5% (lima persen) pertahun yang
dihitung sejak saat mulai berproduksi secara komersial;
b. penyusutan yang dipercepat atas aktiva berwujud dan amortisasi yang dipercepat atas aktiva
tak berwujud yang diperoleh dalam rangka Penanaman Modal baru dan/atau perluasan usaha,
dengan masa manfaat dan tarif penyusutan serta tarif amortisasi ditetapkan sebagai berikut:
1. untuk penyusutan yang dipercepat atas aktiva berwujud :
--------------------------------------------------------------------------------------
Kelompok Masa Tarif Penyusutan
Aktiva Manfaat Berdasarkan Metode
Berwujud Menjadi --------------------------------------
Garis Lurus Saldo Menurun
--------------------------------------------------------------------------------------
I. Bukan
Bangunan
--------------------------------------------------------------------------------------
Kelompok I 2 tahun 50% 100%
(dibebankan
sekaligus)
Kelompok II 4 tahun 25% 50%

Kelompok III 8 tahun 12,5%25%


Kelompok IV 10 tahun 10% 20%
--------------------------------------------------------------------------------------
II. Bangunan
--------------------------------------------------------------------------------------
Permanen 10 tahun 10% -
Tidak
Permanen 5 tahun 20% -
--------------------------------------------------------------------------------------

2. untuk amortisasi yang dipercepat atas aktiva tak berwujud:


--------------------------------------------------------------------------------------
Kelompok Masa Tarif Amortisasi
Aktiva Manfaat Berdasarkan Metode
Tak Berwujud Menjadi --------------------------------------
Garis Lurus Saldo Menurun
--------------------------------------------------------------------------------------
Kelompok I 2 tahun 50% 100%
(dibebankan
sekaligus)
Kelompok II 4 tahun 25% 50%
Kelompok III 8 tahun 12,5% 25%
Kelompok IV 10 tahun 10% 20%
--------------------------------------------------------------------------------------
c. pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri
selain bentuk usaha tetap di Indonesia sebesar 10% (sepuluh persen), atau tarif yang lebih
rendah menurut perjanjian penghindaran pajak berganda yang berlaku; dan
d. kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh)
tahun, dengan ketentuan sebagai berikut:
1. tambahan 1 tahun : apabila Penanaman Modal baru pada bidang usaha
yang diatur pada ayat (1) huruf a dilakukan
di kawasan industri dan/atau kawasan berikat;
2. tambahan 1 tahun : apabila Wajib Pajak yang melakukan Penanaman
Modal baru mengeluarkan biaya untuk infrastruktur
ekonomi dan/atau sosial di lokasi usaha paling sedikit
sebesar Rp10.000.000.000,00(sepuluh miliar rupiah);
3. tambahan 1 tahun : apabila menggunakan bahan baku dan/atau
komponen hasil produksi dalam negeri paling sedikit
70% (tujuh puluh persen) sejak tahunke 4 (empat);
4. tambahan 1 tahun
atau 2 tahun : a) tambahan 1 (satu) tahun apabila
mempekerjakan sekurang-kurangnya 500
(lima ratus) orang tenaga kerja Indonesia
selama 5 (lima) tahun berturut-turut;atau

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 677

b) tambahan 2 (dua) tahun apabila


mempekerjakan sekurang-kurangnya 1000
(seribu) orang tenaga kerja Indonesia selama
5 (lima) tahun berturut-turut;
5. tambahan 2 tahun : apabila mengeluarkan biaya penelitian dan
pengembangan di dalam negeri dalam rangka
pengembangan produk atau efisiensi produksi paling
sedikit 5% (lima persen) dari jumlah Penanaman
Modal dalam jangkawaktu 5 (lima) tahun;
6. tambahan 2 tahun : apabila Penanaman Modal berupa perluasan dari
usaha yang telah ada pada Bidang-bidang Usaha
Tertentu dan/atau Daerah-daerah Tertentu yang
diatur pada ayat (1) huruf a dan/atau huruf b
sebagian sumber pembiayaannya berasal dari laba
setelah pajak (earning after tax) Wajib Pajak pada
satu tahun pajak sebelum tahun diterbitkannya izin
prinsip perluasan penanaman modal; dan/atau
7. tambahan 2 tahun : apabila melakukan ekspor paling sedikit 30% (tiga
puluh persen) dari nilai total penjualan, untuk
Penanaman Modal pada bidang-bidang
usaha yang
diatur pada ayat (1) huruf a yang dilakukan diluar
kawasan berikat.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d angka 6 adalah sebagai berikut:
a. diberikan untuk kerugian fiskal pada tahun pajak saat mulai berproduksi secara komersial atas
Penanaman Modal berupa perluasan dari usaha yang telah ada sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf d angka 6;
b. besarnya kerugian fiskal sebagaimana dimaksud pada huruf a dihitung berdasarkan proporsi
laba setelah pajak (earning after tax) yang ditanamkan kembali dalam perluasan usaha
terhadap nilai buku fiskal seluruh aktiva tetap pada akhir tahun pajak saat dimulainya
berproduksi secara komersial sebagaimana dimaksud pada huruf a.

Pasal 3

Wajib Pajak yang melakukan Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dapat diberikan
fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) sepanjang memenuhi kriteria sebagai
berikut:
a. memiliki nilai investasi yang tinggi atau untuk ekspor;
b. memiliki penyerapan tenaga kerja yang besar; atau
c. memiliki kandungan lokal yang tinggi.

Pasal 4

(1) Terhadap aktiva tetap yang mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) huruf a dilarang digunakan selain untuk tujuan pemberian fasilitas, atau dialihkan
sebagian atau seluruh aktiva tetap dimaksud kecuali diganti dengan aktiva tetap baru, sebelum
berakhirnya jangka waktu yang lebih lama antara:
a. jangka waktu 6 (enam) tahun sejak saat mulai berproduksi secara komersial; atau
b. masa manfaat aktiva sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
huruf b angka 1.
(2) Terhadap aktiva tak berwujud yang mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b dilarang digunakan selain untuk tujuan pemberian fasilitas, atau dialihkan
sebagian atau seluruh aktiva tak berwujud dimaksud kecuali diganti dengan aktiva tak berwujud baru,
sebelum berakhirnya masa manfaat aktiva tak berwujud dimaksud sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b angka 2.

Pasal 5

Terhadap Wajib Pajak yang telah mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan tetapi tidak lagi memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 4:
a. fasilitas yang telah diberikan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dicabut;
b. dikenai pajak dan sanksi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang
perpajakan; dan
c. tidak dapat lagi diberikan fasilitas berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

www.ortax.org
678 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Pasal 6

(1) Pelaksanaan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dievaluasi dalam waktu paling lama 2 (dua)
tahun sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian.

Pasal 7

Terhadap Wajib Pajak yang diberikan fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini, tidak
dapat lagi dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau
Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

Pasal 8

(1) Atas kegiatan usaha di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) yang telah memperoleh
fasilitas perpajakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perlakuan
Perpajakan di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 147 Tahun 2000 tentang Perlakuan Perpajakan di Kawasan Pengembangan Ekonomi
Terpadu, tidak dapat lagi diberikan fasilitas perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Pemerintah ini.
(2) Wajib Pajak yang telah memperoleh fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak
dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan, tidak dapat lagi diberikan fasilitas perpajakan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 9

(1) Pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) ditetapkan oleh
Menteri Keuangan setelah mempertimbangkan usulan dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dari Wajib Pajak dan pembahasan pemenuhan kriteria dan persyaratan
fasilitas dimaksud diatur dengan Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1), pengalihan aktiva sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, sanksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan/atau persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I dan Lampiran II Peraturan Pemerintah ini diatur oleh Menteri
pembina sektor sesuai dengan kewenangannya masing-masing.

Pasal 10

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:


1. Wajib Pajak yang telah mendapatkan keputusan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal
di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal
di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu, dapat memanfaatkan pemberian
fasilitas dimaksud sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan,
sampai dengan berakhirnya pemberian fasilitas dimaksud.
2. Terhadap usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 52
Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas
Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah
Tertentu yang pernah disampaikan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal kepada Menteri
Keuangan sampai dengan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, diproses berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah
Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang
Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu.
3. Terhadap Wajib Pajak yang izin prinsip penanaman modal atau izin prinsip perluasan penanaman
modalnya diterbitkan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal atau instansi lain yang
berwenang sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 679

atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman
Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu sampai dengan sebelum
berlakunya Peraturan Pemerintah ini, dapat diajukan usulan untuk diberikan fasilitas Pajak Penghasilan
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, sepanjang:
a. izin prinsip penanaman modal atau izin prinsip perluasan penanaman modal tersebut belum
pernah diterbitkan keputusan persetujuan atau penolakan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan
untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 52
Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang
Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau
di Daerah-daerah Tertentu;
b. bidang usaha, klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia, cakupan produk, persyaratan,
dan/atau Daerah/Provinsi sesuai dengan Lampiran I atau Lampiran II Peraturan Pemerintah ini;
c. belum berproduksi secara komersial pada saat/tanggal mulai berlakunya Peraturan Pemerintah
ini; dan
d. usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan dimaksud diterima oleh Menteri Keuangan paling
lama 1 (satu) tahun setelah berlakunya Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 11

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang merupakan
peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan
untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4675),
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011 tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk
Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5264),
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah
ini.

Pasal 12

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas
Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah
Tertentu (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2007 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4675) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 52 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang
Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah
Tertentu (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2011 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5264), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 13

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 6 April 2015
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 April 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

www.ortax.org
680 Edisi PPh Badan | Maret 2017

ttd.

YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 77

PENJELASAN
ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 18 TAHUN 2015

TENTANG

FASILITAS PAJAK PENGHASILAN UNTUK PENANAMAN MODAL DI BIDANG-BIDANG


USAHA TERTENTU DAN/ATAU DI DAERAH-DAERAH TERTENTU

I. UMUM

Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan, dan percepatan pembangunan


di daerah tertentu, pendalaman struktur industri, serta mendorong penanaman modal asing dan
penanaman modal dalam negeri di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah tertentu,
kepada Wajib Pajak yang melakukan Penanaman Modal baru atau perluasan dari usaha yang telah ada
di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu tersebut dapat diberikan fasilitas
Pajak Penghasilan.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Fasilitas pengurangan penghasilan neto diberikan selama 6 (enam) tahun


terhitung sejak saat mulai berproduksi komersial, yaitu setiap tahunnya
sebesar 5 % (lima persen) dari jumlah Penanaman Modal berupa perolehan
aktiva tetap berwujud termasuk tanah untuk kegiatan utama usaha.

Fasilitas ini sifatnya mengurangi penghasilan neto (dalam hal mendapat


keuntungan usaha) atau menambah kerugian fiskal (dalam hal mendapat
kerugian usaha).

Contoh :

PT. ABC melakukan Penanaman Modal sebesar Rp100 miliar berupa pembelian
aktiva tetap berupa tanah, bangunan dan mesin. Terhadap PT ABC dapat
diberikan fasilitas pengurangan penghasilan neto (investment allowance)
sebesar 5% x Rp100 miliar = Rp 5 miliar setiap tahunnya, selama 6 tahun
dihitung sejak saat mulai berproduksi komersial.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 681

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Misalnya, investor dari negara X, memperoleh dividen dari Wajib Pajak badan
dalam negeri yang telah ditetapkan memperoleh fasilitas berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini. Apabila investor X tersebut bertempat kedudukan
di negara yang belum memiliki Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B)
dengan Pemerintah Republik Indonesia, atau bertempat kedudukan di negara
yang telah memiliki P3B dengan Pemerintah Republik Indonesia dengan tarif
pajak dividen untuk Wajib Pajak Luar Negeri 10% (sepuluh persen) atau lebih,
maka atas dividen tersebut hanya dikenakan Pajak Penghasilan di Indonesia
sebesar 10% (sepuluh persen).

Namun apabila investor X tersebut bertempat kedudukan di suatu negara yang


telah memiliki P3B dengan Pemerintah Republik Indonesia dengan tarif pajak
dividen lebih rendah dari 10% (sepuluh persen) maka atas dividen tersebut
dikenakan Pajak Penghasilan di Indonesia sesuai dengan tarif yang diatur
dalam P3B tersebut.

Huruf d

Sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36


Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan, kerugian fiskal pada suatu tahun pajak, dapat
dikompensasikan dengan keuntungan yang diperoleh dalam 5 (lima) tahun
pajak berikutnya. Dalam rangka mendorong Penanaman Modal, jangka waktu
kompensasi kerugian tersebut dapat diberikan lebih lama dari 5 (lima) tahun
tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun. Jumlah penambahan jangka waktu
kompensasi kerugian tersebut dapat diberikan dalam hal dipenuhinya
persyaratan/kriteria sebagai berikut:
1. Tambahan jangka waktu kompensasi kerugian selama 1 (satu) tahun
apabila Penanaman Modal baru pada Bidang-bidang Usaha Tertentu
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Pemerintah ini
dilakukan di kawasan industri dan/atau kawasan berikat;

2. Tambahan jangka waktu kompensasi kerugian selama 1 (satu) tahun


apabila Wajib Pajak yang melakukan Penanaman Modal baru
mengeluarkan biaya untuk infrastruktur ekonomi dan/atau sosial
di lokasi usaha paling sedikit sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah);

3. Tambahan jangka waktu kompensasi kerugian selama 1 (satu) tahun


apabila menggunakan bahan baku dan/atau komponen hasil produksi
dalam negeri paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) sejak tahun
ke 4 (empat);

4. Tambahan jangka waktu kompensasi kerugian selama 1 (satu) tahun


apabila mempekerjakan paling sedikit 500 (lima ratus) orang tenaga
kerja Indonesia selama 5 (lima) tahun berturut-turut, atau tambahan
jangka waktu kompensasi kerugian selama 2 (dua) tahun apabila
mempekerjakan paling sedikit 1000 (seribu) orang tenaga kerja
Indonesia selama 5 (lima) tahun berturut-turut;

5. Tambahan jangka waktu kompensasi kerugian selama 2 (dua) tahun


apabila dalam rentang waktu paling lama 5 (lima) tahun pajak
melakukan pengeluaran biaya penelitian dan pengembangan di dalam
negeri dalam rangka pengembangan produk atau efisiensi produksi
paling sedikit 5% (lima persen) dari jumlah Penanaman Modal;

6. Tambahan jangka waktu kompensasi kerugian selama 2 (dua) tahun


apabila perluasan dari usaha yang telah ada pada Bidang-bidang Usaha
Tertentu dan/atau Daerah-daerah Tertentu yang diatur pada ayat (1)
huruf a dan/atau huruf b sebagian sumber pembiayaannya berasal
dari laba setelah pajak (earning after tax) Wajib Pajak pada satu tahun
pajak sebelum tahun diterbitkannya izin prinsip perluasan penanaman

www.ortax.org
682 Edisi PPh Badan | Maret 2017

modal; dan/atau

7. Tambahan jangka waktu kompensasi kerugian selama 2 (dua) tahun,


apabila melakukan ekspor paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari
nilai total penjualan, untuk Penanaman Modal pada bidang-bidang
usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang
dilakukan di luar kawasan berikat.
Infrastruktur sosial sebagaimana dimaksud pada angka 2 adalah sarana dan
prasarana untuk kepentingan umum dan bersifat nirlaba.

Fasilitas Pajak Penghasilan berupa tambahan jangka waktu kompensasi


kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat ini diberikan paling lama 5 (lima)
tahun.

Ayat (3)

Contoh perhitungan fasilitas tambahan jangka waktu kompensasi kerugian bagi Wajib
Pajak yang melakukan perluasan usaha yang sumber pembiayaan untuk perluasan
usaha dimaksud berasal dari laba setelah pajak (earning after tax) adalah sebagai
berikut:
1. Untuk tahun pajak yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2015 PT DEF
memiliki laba setelah pajak (earning after tax) sebesar Rp250.000.000.000,00
(dua ratus lima puluh miliar rupiah).

2. Pada tanggal 1 Mei 2016 PT DEF mendapatkan Izin Prinsip Perluasan


Penanaman Modal dari Badan Koordinasi Penanaman Modal dengan rencana
penanaman modalsebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah).

3. Sumber pembiayaan untuk perluasan penanaman modal dimaksud berasal


dari laba setelah pajak (earning after tax) tahun pajak 2015 sebesar
Rp220.000.000.000,00 (dua ratus dua puluh miliar rupiah) dan sisanya berasal
dari pinjaman sebesar Rp280.000.000.000,00 (dua ratus delapan puluh miliar
rupiah).

4. Atas perluasan penanaman modal tersebut, PT DEF mendapatkan keputusan


persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan
Pemerintah inipada tanggal 2 Januari 2017.

5. Pada tanggal 31 Juli 2017 PT DEF merealisasikan seluruh rencana perluasan


penanaman modal sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah).

6. PT DEF mengalami kerugian fiskal tahun pajak 2017 sebesar


Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

7. Nilai buku fiskal seluruh aktiva tetap PT DEF pada tanggal 31 Desember 2017
sebesar Rp550.000.000.000,00 (lima ratus lima puluh miliar rupiah) yang
terdiri dari:
a. nilai buku fiskal aktiva tetap sebelum perluasan sebesar
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dengan perincian:

Nilai perolehan Rp 1.000.000.000.000,00 (satu triliun


rupiah)
Dikurangi
akumulasi
penyusutan s.d.
31 Desember 2017 Rp 900.000.000.000,00 (sembilan
ratus miliar
rupiah)

Nilai buku Rp 100.000.000.000,00 (seratus


miliar
rupiah)

b. nilai buku fiskal aktiva tetap perluasan sebesar Rp450.000.000.000,00


(empat ratus lima puluh miliar rupiah) dengan perincian:

Nilai perolehan Rp 500.000.000.000,00 (lima ratus


miliar

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 683

rupiah)

Dikurangi
akumulasi
penyusutan s.d.
31 Desember 2017 Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh
miliar
rupiah)
---------------------------------------
Nilai buku Rp 450.000.000.000,00 (empat
ratus lima
puluh miliar
rupiah)

8. Besarnya kerugian fiskal yang mendapatkan fasilitas:

laba setelah pajak (earning after tax) yang


ditanamkan kembali
= kerugian tahun pajak 2017 x ---------------------------------------------------
nilai buku fiskal seluruh aktiva tetap pada
tanggal 31 Des 2017

Rp 220.000.000.000,00
= Rp10.000.000.000,00 x ----------------------------
Rp 550.000.000.000,00

= Rp4.000.000.000,00

9. Jadi kerugian fiskal tahun pajak 2017 sebesar Rp4.000.000.000,00 (empat


miliar rupiah) dapat dikompensasikan selama 7 (tujuh) tahun, sedangkan untuk
kerugian sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) hanya dapat
dikompensasikan selama 5 (lima) tahun.

10. Atas kerugian fiskal tahun pajak 2018 dan tahun-tahun berikutnya tidak lagi
dapat diberikan tambahan jangka waktu kompensasi kerugian berdasarkan
persyaratan sebagian sumber pembiayaannya berasal dari laba setelah pajak
(earning after tax) karena kerugian fiskal yang dapat diperhitungkan hanya
kerugian fiskal atas tahun pajak saat dimulainya berproduksi secara komersial
yaitu tahun pajak 2017.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Ayat (1)

Aktiva tetap yang mendapat fasilitas investment allowance dan fasilitas penyusutan
dipercepat, dilarang digunakan untuk tujuan selain yang sesuai dengan tujuan
pemberian fasilitas, atau dialihkan sebagian atau seluruh aktiva tetap dimaksud kecuali
diganti dengan aktiva tetap baru, selama jangka waktu yang lebih lama antara jangka
waktu pemberian fasilitas investment allowance yaitu 6 tahun sejak saat mulai
berproduksi komersial atau sebelum berakhirnya masa manfaat yang dipercepat
aktiva tersebut.

Ayat (2)

Aktiva tak berwujud yang mendapat fasilitas amortisasi dipercepat, dilarang digunakan
untuk tujuan selain yang sesuai dengan tujuan pemberian fasilitas, atau dialihkan
sebagian atau seluruh aktiva tetap dimaksud kecuali diganti dengan aktiva tetap baru,
sebelum berakhirnya masa manfaat yang dipercepat aktiva tersebut.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

www.ortax.org
684 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Cukup jelas.

Pasal 7

Cukup jelas.

Pasal 8

Cukup jelas.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10

Angka 1

Cukup jelas.

Angka 2

Yang dimaksud dengan "usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan "berdasarkan


Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman
Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu yang
pernah disampaikan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal kepada Menteri
Keuangan, yaitu usulan yang pernah disampaikan oleh Kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal kepada Menteri Keuangan dan usulan tersebut sedang dalam proses
pemberian fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 52
Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007
tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha
Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu, termasuk usulan yang telah dikembalikan
kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dan/atau pejabat yang berwenang
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan dalam rangka memenuhi
kelengkapan dokumen yang dipersyaratkan sepanjang usulan tersebut sesuai dengan
kriteria dan persyaratan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011
tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang
Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu
dan/atau di Daerah-daerah Tertentu.

Angka 3

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5688

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=16040

www.ortax.org
Peraturan Pemerintah RI :
PP No. 9 Tahun 2016 Edisi PPh Badan | Maret 2017 685

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 9 TAHUN 2016

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 18 TAHUN 2015


TENTANG FASILITAS PAJAK PENGHASILAN UNTUK PENANAMAN MODAL
DI BIDANG-BIDANG USAHA TERTENTU DAN/ATAU DI DAERAH-DAERAH
TERTENTU

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa untuk lebih meningkatkan kegiatan investasi langsung guna mendorong pertumbuhan ekonomi,
serta untuk pemerataan pembangunan dan percepatan pembangunan bagi bidang-bidang usaha
tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu, telah ditetapkan ketentuan mengenai fasilitas Pajak
Penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah
tertentu dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk
Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu;
b. bahwa dalam rangka percepatan penciptaan lapangan kerja sebagaimana termuat dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, perlu mendorong peningkatan investasi pada
industri padat karya;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015 tentang
Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau
di Daerah-daerah Tertentu;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman
Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu (Lembaran Negara Tahun
2015 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5688);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 18 TAHUN 2015
TENTANG FASILITAS PAJAK PENGHASILAN UNTUK PENANAMAN MODAL DI BIDANG-BIDANG USAHA TERTENTU
DAN/ATAU DI DAERAH-DAERAH TERTENTU.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan
untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu (Lembaran
Negara Tahun 2015 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5688) diubah sebagai berikut:

1. Lampiran I diubah menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
2. Lampiran II diubah menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.

Pasal II

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku 15 (lima belas) hari sejak tanggal diundangkan.

www.ortax.org
686 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 15 April 2016
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 April 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

YASONNA H LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 72

PENJELASAN
ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 9 TAHUN 2016

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 18 TAHUN 2015


TENTANG FASILITAS PAJAK PENGHASILAN UNTUK PENANAMAN MODAL
DI BIDANG-BIDANG USAHA TERTENTU DAN/ATAU DI DAERAH-DAERAH

I. UMUM

Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan, dan percepatan pembangunan


di daerah tertentu, pendalaman struktur industri, serta mendorong penanaman modal asing dan
penanaman modal dalam negeri di Bidang-Bidang Usaha tertentu dan/atau di Daerah-daerah tertentu,
kepada Wajib Pajak yang melakukan Penanaman Modal baru atau perluasan dari usaha yang telah ada
di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di daerah-Daerah tertentu tersebut dapat diberikan fasilitas
Pajak Penghasilan.

Dalam rangka memenuhi target penciptaan lapangan kerja bagi dua juta orang per tahun sesuai
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 diantaranya perlu didorong peningkatan
investasi pada industri padat karya, perlu dilakukan perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 18
Tahun 2015 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha
Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal I

Angka 1

Cukup jelas.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 687

Angka 2

Cukup jelas.

Pasal II

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5873

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=16036

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
688 Edisi PPh Badan | Maret 2017 21/PMK.011/2010

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 21/PMK.011/2010

TENTANG

PEMBERIAN FASILITAS PERPAJAKAN DAN KEPABEANAN UNTUK


KEGIATAN PEMANFAATAN SUMBER ENERGI TERBARUKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa dalam rangka untuk mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan energi tidak terbarukan
dan untuk menjamin tersedianya pasokan energi yang berkelanjutan, perlu mendukung pemanfaatan
sumber energi terbarukan;
b. bahwa dalam rangka menarik investasi dan meningkatkan daya saing di bidang pemanfaatan sumber
energi terbarukan perlu memberikan fasilitas perpajakan dan kepabeanan bagi pengusaha yang
bergerak di bidang usaha pemanfaatan sumber energi terbarukan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan
tentang Pemberian Fasilitas Perpajakan dan Kepabeanan Untuk Kegiatan Pemanfaatan Sumber Energi
Terbarukan.

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3986);
4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
5. Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2009 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2010
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5075);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak
Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4083) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31
Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4726);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman
Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4675) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4892);
8. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMBERIAN FASILITAS PERPAJAKAN DAN KEPABEANAN UNTUK
KEGIATAN PEMANFAATAN SUMBER ENERGI TERBARUKAN.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 689

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan :


1. Pajak Penghasilan yang selanjutnya disingkat dengan PPh adalah Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
2. Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disingkat dengan PPN adalah Pajak Pertambahan Nilai
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
3. Bea Masuk adalah pungutan negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 yang dikenakan
terhadap barang yang diimpor.
4. Sumber Energi Terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang
berkelanjutan jika dikelola dengan baik, antara lain panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari,
aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut.
5. Energi Terbarukan adalah energi yang berasal dari Sumber Energi Terbarukan.

BAB II
FASILITAS PERPAJAKAN DAN KEPABENAN

Pasal 2

Untuk kegiatan pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan dapat diberikan fasilitas perpajakan dan kepabeanan
berupa :
a. fasilitas PPh;
b. fasilitas PPN;
c. fasilitas Bea Masuk;
d. fasilitas pajak ditanggung Pemerintah.

BAB III
FASILITAS PAJAK PENGHASILAN

Pasal 3

(1) Fasilitas PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a adalah :


a. pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Penanaman Modal,
dibebankan selama 6 (enam) tahun masing-masing sebesar 5% (lima persen) per tahun;
b. penyusutan dan amortisasi yang dipercepat, sebagai berikut :
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kelompok Aktiva l Masa Manfaat Menjadi l Tarif Penyusutan dan Amortisasi
Tetap Berwujud l l Berdasarkan Metode
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
l l Garis Lurus l Saldo Menurun
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Bukan Bangunan : l l l
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kelompok I l 2 tahun l 50% l 100 % (dibebankan
l l l sekaligus)
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kelompok II l 4 tahun l 25% l 50%
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kelompok III l 8 tahun l 12,5% l 25%
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kelompok IV l 10 tahun l 10% l 20%
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
l l l
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
2. Bangunan : l l l
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Permanen l 10 tahun l 10% l -

www.ortax.org
690 Edisi PPh Badan | Maret 2017

---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tidak Permanen l 5 tahun l 20% l -
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
c. Pengenaan Pajak Penghasilan atas deviden yang dibayarkan kepada Subjek Pajak Luar Negeri
sebesar 10% (sepuluh persen), atau tarif yang lebih rendah menurut Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda yang berlaku; dan
d. Kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh)
tahun dengan ketentuan sebagai berikut :
1) tambahan 1 tahun : apabila penanaman modal baru dilakukan pada
bidang-bidang usaha tertentu di kawasan industri dan
kawasan berikat;
2) tambahan 1 tahun : apabila mempekerjakan sekurang-kurangnya 500 (lima
ratus) orang tenaga kerja Indonesia selama 5 (lima) tahun
berturut-turut;
3) tambahan 1 tahun : apabila penanaman modal baru memerlukan investasi/
pengeluaran untuk infrastruktur ekonomi dan sosial di lokasi
usaha paling sedikit sebesar Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah);
4) tambahan 1 tahun : apabila mengeluarkan biaya penelitian dan pengembangan
di dalam negeri dalam rangka pengembangan produk atau
efisiensi produksi paling sedikit 5% (lima persen) dari
investasi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun; dan/atau
5) tambahan 1 tahun : apabila menggunakan bahan baku dan atau komponen hasil
produksi dalam negeri paling sedikit 70% (tujuh puluh
persen) sejak tahun ke-4 (empat).
(2) Tata cara pemberian fasilitas PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak
Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah
Tertentu dan peraturan pelaksanaannya, beserta perubahannya.

Pasal 4

(1) Atas impor barang berupa mesin dan peralatan, baik dalam keadaan terpasang maupun terlepas, tidak
termasuk suku cadang, yang diperlukan oleh pengusaha di bidang pemanfaatan Sumber Energi
Terbarukan dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 impor.
(2) Pengecualian dari pemungutan PPh Pasal 22 impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
secara otomatis tanpa menggunakan Surat Keterangan Bebas (SKB).

BAB IV
FASILITAS PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

Pasal 5

(1) Fasilitas PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b adalah pembebasan dari pengenaan PPN
atas impor Barang Kena Pajak yang bersifat strategis berupa mesin dan peralatan, baik dalam keadaan
terpasang maupun terlepas, tidak termasuk suku cadang, yang diperlukan oleh pengusaha di bidang
pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk menghasilkan Barang Kena Pajak.
(2) Tata cara pembebasan dari pengenaan PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan/atau
Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai dan peraturan pelaksanaannya, beserta perubahannya.

BAB V
FASILITAS BEA MASUK

Pasal 6

Fasilitas Bea Masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c adalah fasilitas pembebasan Bea masuk
sebagaimana diatur dalam :
a. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 176/PMK.011/2009 tentang Fasilitas Pembebasan Bea Masuk Atas
Impor Mesin Serta Barang dan Bahan untuk Pembangunan atau Pengembangan Industri Dalam Rangka
Penanaman Modal, beserta perubahannya;
b. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.011/2008 tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor
Barang Modal Dalam Rangka Pembangunan dan Pengembangan Industri Pembangkit Tenaga Listrik
Untuk Kepentingan Umum, beserta perubahannya.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 691

BAB VI
FASILITAS PAJAK DITANGGUNG PEMERINTAH

Pasal 7

Fasilitas pajak ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d adalah fasilitas pajak
ditanggung Pemerintah yang diatur dengan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan
peraturan pelaksanaannya.

BAB VII
PENUTUP

Pasal 8

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Januari 2010

ttd

MENTERI KEUANGAN
SRI MULYANI INDRAWATI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Januari 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

ttd

PATRIALIS AKBAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 45

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=14096

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
692 Edisi PPh Badan | Maret 2017 130/PMK.011/2011
21/PMK.011/2010

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 130/PMK.011/2011

TENTANG

PEMBERIAN FASILITAS PEMBEBASAN ATAU PENGURANGAN


PAJAK PENGHASILAN BADAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (7) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal, Menteri Keuangan diberikan kewenangan untuk mengatur pemberian fasilitas
pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan dalam rangka penanaman modal;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 30 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan
Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Keuangan tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4993);
3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan
Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5183);
5. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMBERIAN FASILITAS PEMBEBASAN ATAU PENGURANGAN PAJAK
PENGHASILAN BADAN.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:


1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008.
2. Undang-Undang Penanaman Modal adalah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal.
3. Industri Pionir adalah industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan
eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, dan memiliki nilai strategis bagi
perekonomian nasional.

Pasal 2

(1) Kepada Wajib Pajak badan dapat diberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan
badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Penanaman Modal dan Pasal 29
Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan
Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 693

(2) Pembebasan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan untuk
jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) Tahun Pajak dan paling singkat 5 (lima) Tahun Pajak, terhitung
sejak Tahun Pajak dimulainya produksi komersial.
(3) Setelah berakhirnya pemberian fasilitas pembebasan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Wajib Pajak diberikan pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sebesar 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan terutang selama 2 (dua) Tahun
Pajak.
(4) Dengan mempertimbangkan kepentingan mempertahankan daya saing industri nasional dan nilai
strategis dari kegiatan usaha tertentu, Menteri Keuangan dapat memberikan fasilitas pembebasan atau
pengurangan Pajak Penghasilan badan dengan jangka waktu melebihi jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3).

Pasal 3

(1) Wajib Pajak yang dapat diberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah Wajib Pajak badan baru yang memenuhi kriteria sebagai
berikut:
a. merupakan Industri Pionir;
b. mempunyai rencana penanaman modal baru yang telah mendapatkan pengesahan dari instansi
yang berwenang paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah);
c. menempatkan dana di perbankan di Indonesia paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari total
rencana penanaman modal sebagaimana dimaksud pada huruf b, dan tidak boleh ditarik
sebelum saat dimulainya pelaksanaan realisasi penanaman modal; dan
d. harus berstatus sebagai badan hukum Indonesia yang pengesahannya ditetapkan paling lama
12 (dua belas) bulan sebelum Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku atau
pengesahannya ditetapkan sejak atau setelah berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini.
(2) Industri Pionir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mencakup:
a. Industri logam dasar;
b. Industri pengilangan minyak bumi dan/atau kimia dasar organik yang bersumber dari minyak
bumi dan gas alam;
c. Industri permesinan;
d. Industri di bidang sumberdaya terbarukan; dan/atau
e. Industri peralatan komunikasi.
(3) Dengan mempertimbangkan kepentingan mempertahankan daya saing industri nasional dan nilai
strategis dari kegiatan usaha tertentu, Menteri Keuangan dapat menetapkan Industri Pionir yang
diberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan, selain cakupan Industri
Pionir sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dapat dimanfaatkan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sepanjang memenuhi
persyaratan:
a. telah merealisasikan seluruh penanaman modalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b; dan
b. telah berproduksi secara komersial.
(5) Saat dimulainya berproduksi secara komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b ditetapkan
oleh Direktur Jenderal Pajak, yang tata caranya diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 4

(1) Untuk memperoleh fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan, Wajib Pajak
menyampaikan permohonan kepada Menteri Perindustrian atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman
Modal.
(2) Dalam rangka pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Menteri Perindustrian atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal setelah
berkoordinasi dengan menteri terkait, menyampaikan usulan kepada Menteri Keuangan, dengan
melampirkan fotokopi:
a. kartu Nomor Pokok Wajib Pajak;
b. surat persetujuan penanaman modal baru yang diterbitkan oleh Kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal, yang dilengkapi dengan rinciannya; dan
c. bukti penempatan dana di perbankan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) huruf c.
(3) Penyampaian usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disertai dengan uraian penelitian
mengenai hal-hal sebagai berikut:
a. ketersediaan infrastruktur di lokasi investasi;
b. penyerapan tenaga kerja domestik;
c. kajian mengenai pemenuhan kriteria sebagai Industri pionir;
d. rencana tahapan alih teknologi yang jelas dan konkret; dan e. adanya ketentuan mengenai tax

www.ortax.org
694 Edisi PPh Badan | Maret 2017

sparing di negara domisili.


(4) Tax sparing sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e adalah pengakuan pemberian fasilitas
pembebasan dan pengurangan dari Indonesia dalam penghitungan Pajak Penghasilan di negara domisili
sebesar fasilitas yang diberikan.

Pasal 5

(1) Atas usulan untuk memberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan yang
disampaikan oleh Menteri Perindustrian atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), Menteri Keuangan menugaskan komite verifikasi pemberian
pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan untuk membantu melakukan penelitian dan
verifikasi dengan mempertimbangkan dampak strategis Wajib Pajak bagi perekonomian nasional.
(2) Komite verifikasi pemberian pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh Menteri Keuangan.
(3) Dalam melakukan penelitian dan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), komite verifikasi
pemberian pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan berkonsultasi dengan Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian.
(4) Komite verifikasi pemberian pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan menyampaikan
hasil penelitian dan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) kepada Menteri
Keuangan disertai dengan pertimbangan dan rekomendasi, termasuk rekomendasi mengenai jangka
waktu pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), ayat (3) dan/atau ayat (4).
(5) Pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan diputuskan oleh Menteri
Keuangan berdasarkan pertimbangan dan rekomendasi dari komite verifikasi pemberian pembebasan
atau pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dan setelah
berkonsultasi dengan Presiden Republik Indonesia.
(6) Dalam hal Menteri Keuangan menyetujui usulan untuk memberikan fasilitas pembebasan atau
pengurangan Pajak Penghasilan badan, diterbitkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai pemberian
fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan.
(7) Dalam hal Menteri Keuangan menolak usulan untuk memberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan
Pajak Penghasilan badan, disampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai penolakan tersebut
kepada Wajib Pajak dengan tembusan kepada Menteri Perindustrian atau Kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal.

Pasal 6

(1) Wajib Pajak yang telah memperoleh Keputusan Menteri Keuangan mengenai pemberian fasilitas
pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan harus menyampaikan laporan secara berkala
kepada Direktur Jenderal Pajak dan komite verifikasi pemberian pembebasan atau pengurangan Pajak
Penghasilan badan mengenai hal-hal sebagai berikut:
a. laporan penggunaan dana yang ditempatkan di perbankan di Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c; dan
b. laporan realisasi penanaman modal yang telah diaudit.
(2) Tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak.

Pasal 7

(1) Fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 dicabut, dalam hal Wajib Pajak:
a. tidak memenuhi ketentuan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf a; dan/atau
b. tidak memenuhi ketentuan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1).
(2) Pencabutan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri Keuangan setelah
mendapat rekomendasi dari komite verifikasi pemberian pembebasan atau pengurangan Pajak
Penghasilan badan.
(3) Direktur Jenderal Pajak dapat mengusulkan kepada komite verifikasi pemberian pembebasan atau
pengurangan Pajak Penghasilan badan guna menyampaikan rekomendasi kepada Menteri Keuangan
untuk melakukan pencabutan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan, dalam
hal:
a. realisasi penanaman modal Wajib Pajak tidak sesuai dengan rencana penanaman modal dalam
surat persetujuan penanaman modal baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)
huruf b; dan/atau
b. Wajib Pajak yang diberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan:
1) tidak memenuhi ketentuan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 695

persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf a; dan/atau


2) tidak memenuhi ketentuan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1).

Pasal 8

(1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memperoleh fasilitas pembebasan
Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari kegiatan usaha yang
memperoleh fasilitas pembebasan Pajak Penghasilan badan, tidak dilakukan pemotongan dan
pemungutan pajak selama periode pemberian fasilitas pembebasan Pajak Penghasilan badan
sesuai jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) atau Pasal 2 ayat (4);
b. atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak di luar kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada huruf a, tetap dilakukan pemotongan dan pemungutan pajak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Wajib Pajak yang memperoleh fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, tetap melaksanakan kewajiban pemotongan dan pemungutan
pajak kepada pihak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pasal 9

(1) Wajib Pajak yang telah memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 31A Undang-Undang
Pajak Penghasilan, tidak dapat memperoleh fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan
badan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini.
(2) Wajib Pajak yang telah memperoleh fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini, tidak dapat memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan
berdasarkan Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 10

Usulan untuk memberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan ini, harus diajukan oleh Menteri Perindustrian atau Kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dalam jangka waktu selama 3 (tiga)
tahun terhitung sejak diundangkannya Peraturan Menteri Keuangan ini.

Pasal 11

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 15 Agustus 2011
MENTERI KEUANGAN,

ttd.

AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 Agustus 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,

ttd.

PATRIALIS AKBAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 503

www.ortax.org
696 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Status :
Peraturan Menteri Keuangan - 130/PMK.011/2011 Telah mengalami perubahan atau
penyempurnaan dan kondisi terakhir peraturan tersebut sudah tidak berlaku lagi karena
diganti atau dicabut oleh
1. Peraturan Menteri Keuangan - 159/PMK.010/2015, Tanggal 14 Agust 2015
2. Peraturan Menteri Keuangan - 192/PMK.011/2014, Tanggal 6 Okt 2014

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=14789

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
144/PMK.011/2012 Edisi PPh Badan | Maret 2017 697

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 144/PMK.011/2012

TENTANG

PEMBERIAN FASILITAS PAJAK PENGHASILAN UNTUK PENANAMAN MODAL


DI BIDANG-BIDANG USAHA TERTENTU DAN/ATAU
DI DAERAH-DAERAH TERTENTU

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak
Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman
Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal
di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4675)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5264);
4. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMBERIAN FASILITAS PAJAK PENGHASILAN UNTUK PENANAMAN
MODAL DI BIDANG-BIDANG USAHA TERTENTU DAN/ATAU DI DAERAH-DAERAH TERTENTU.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:


1. Penanaman Modal adalah investasi berupa aktiva tetap berwujud termasuk tanah yang digunakan untuk
kegiatan utama usaha, baik untuk penanaman modal baru maupun perluasan dari usaha yang telah ada.
2. Aktiva Tetap Berwujud adalah aktiva berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun
yang diperoleh dalam bentuk siap pakai atau dibangun lebih dahulu, yang digunakan dalam operasi
perusahaan, tidak dimaksudkan untuk diperjualbelikan atau dipindahtangankan.
3. Bidang-bidang Usaha Tertentu adalah bidang usaha di sektor kegiatan ekonomi yang mendapat prioritas
tinggi dalam skala nasional.
4. Daerah-daerah Tertentu adalah daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang layak
dikembangkan.

Pasal 2

(1) Kepada Wajib Pajak badan dalam negeri berbentuk perseroan terbatas dan koperasi, yang melakukan
Penanaman Modal pada :
a. Bidang-bidang Usaha Tertentu sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Pemerintah

www.ortax.org
698 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-
bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011; atau
b. Bidang-bidang Usaha Tertentu dan Daerah-daerah Tertentu sebagaimana ditetapkan dalam
Lampiran II Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan
untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 52
Tahun 2011,
dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan.
(2) Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut :
a. pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Penanaman Modal,
dibebankan selama 6 (enam) tahun masing-masing sebesar 5% (lima persen) pertahun.
b. penyusutan dan amortisasi yang dipercepat, sebagai berikut :
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kelompok l Masa l Tarif penyusutan dan Amortisasi
Aktiva Tetap l Manfaat l Berdasarkan Metode
Berwujud l Menjadi l---------------------------------------------------
l l Garis Lurus l Saldo menurun
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
I. Bukan Bangunan l l l
Kelompok I l 2 l 50% l 100 % (dibebankan
l l l sekaligus)
Kelompok II l 4 l 25% l 50%
Kelompok III l 8 l 12,5% l 25%
Kelompok IV l 10 l 10% l 20%
II. Bangunan : l l l
Permanen l 10 l 10% l -
Tidak Permanen l 5 l 20% l -
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
c. pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen yang dibayarkan kepada Subjek Pajak luar negeri
sebesar 10% (sepuluh persen), atau tarif yang lebih rendah menurut Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda yang berlaku; dan
d. kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh)
tahun dengan ketentuan sebagai berikut :
1) Tambahan 1 tahun : apabila penanaman modal baru pada bidang usaha yang
diatur pada ayat (1) huruf a dilakukan di kawasan industri
dan kawasan berikat;
2) Tambahan 1 tahun : apabila mempekerjakan sekurang-kurangnya 500 (lima
ratus) orang tenaga kerja Indonesia selama 5 (lima) tahun
berturut-turut;
3) Tambahan 1 tahun : apabila penanaman modal baru memerlukan investasil
pengeluaran untuk infrastruktur ekonomi dan sosial di lokasi
usaha paling sedikit sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah);
4) Tambahan 1 tahun : apabila mengeluarkan biaya penelitian dan pengembangan
di dalam negeri dalam rangka pengembangan produk atau
efisiensi produksi paling sedikit 5% (lima persen) dari
investasi dalarn jangka waktu 5 ( lima) tahun; dan/atau
5) Tambahan 1 tahun : apabila menggunakan bahan baku danl atau komponen
hasil produksi dalam negeri paling sedikit 70% (tujuh puluh
persen) sejak tahun ke 4 (empat).

Pasal 3

(1) Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) merupakan investasi berupa Aktiva
Tetap Berwujud termasuk tanah yang digunakan untuk kegiatan utama usaha yaitu :
a. seluruh Aktiva Tetap Berwujud bagi penanaman modal baru;
b. tambahan Aktiva Tetap Berwujud bagi perluasan dari usaha yang telah ada.
(2) Perluasan dari usaha yang telah ada sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan suatu
kegiatan dalam rangka peningkatan kuantitas/kualitas produk, diversifikasi produk, atau perluasan
wilayah operasi dalam rangka pengembangan kegiatan dan produksi perusahaan.
(3) Kepada Wajib Pajak yang melakukan perluasan usaha, besarnya dividen dan kerugian yang mendapat
fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c dan huruf d sebanding
dengan persentase nilai realisasi Aktiva Tetap Berwujud perluasan usaha terhadap total nilai buku fiskal
Aktiva Tetap Berwujud yang diperoleh sebelum perluasan usaha ditambah dengan nilai realisasi Aktiva
Tetap Berwujud perluasan usaha pada waktu selesainya perluasan usaha.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 699

Pasal 4

Bagi Wajib Pajak yang telah memiliki izin penanaman modal sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor
52 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak
Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu,
dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) sepanjang :
a. memiliki rencana Penanaman Modal paling sedikit Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah); dan
b. belum beroperasi secara komersial pada saat Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011 tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan
untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu berlaku.

Pasal 5

Permohonan untuk mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
diajukan oleh Wajib Pajak dengan ketentuan sebagai berikut:
a. paling lama 1 (satu) tahun sejak izin penanaman modal atau izin perluasan penanaman modal diterbitkan
oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal atau instansi lain yang berwenang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, bagi Wajib Pajak yang izin penanaman modal atau izin
perluasan penanaman modalnya diterbitkan setelah berlakunya Peraturan Menteri ini;
b. paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Menteri ini berlaku bagi Wajib Pajak yang izin penanaman
modal atau izin perluasan penanaman modal diterbitkan dalam jangka waktu sejak berlakunya Peraturan
Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 1
Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha
Tertentu sampai dengan berlakunya Peraturan Menteri ini; atau
c. paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Menteri ini berlaku bagi Wajib Pajak yang memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

Pasal 6

(1) Keputusan untuk pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah mempertimbangkan usulan dari Kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal.
(2) Usulan dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
disampaikan kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Pajak dengan dilampiri dokumen
berupa :
a. fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak;
b. fotokopi surat permohonan Wajib Pajak kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal;
c. izin penanaman modal atau izin perluasan penanaman modal yang diterbitkan oleh Kepala
Badan Koordinasi Penanaman Modal atau instansi lain yang berwenang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; dan
d. rincian jenis dan nilai Penanaman Modal.
(3) Dalam rangka pemberian fasilitas Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, usulan dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal selain
dilampiri dengan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus dilampiri dengan surat
keterangan belum beroperasi secara komersial yang diterbitkan oleh Kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal.
(4) Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan menerbitkan keputusan persetujuan atau
penolakan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dalam
jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak usulan dari Kepala Badan Koordinasi
Penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima secara lengkap.
(5) Keputusan persetujuan atau penolakan untuk pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diterbitkan dengan mendasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak
atas pemenuhan kriteria dan persyaratan Wajib Pajak, termasuk kesesuaian permohonan dengan
bidang usaha, klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia, cakupan produk, persyaratan, dan/atau
Daerah/Provinsi dengan Lampiran I atau Lampiran II Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang
Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011.

Pasal 7

(1) Dalam hal terhadap usulan dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 diterbitkan keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan, fasilitas Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dapat dimanfaatkan sejak Wajib Pajak
merealisasikan Penanaman Modal sebesar 80% (delapan puluh persen) dari rencana Penanaman Modal.

www.ortax.org
700 Edisi PPh Badan | Maret 2017

(2) Untuk dapat memanfaatkan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib
Pajak mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk memperoleh keputusan mengenai
realisasi Penanaman Modal sebesar 80% (delapan puluh persen) dari rencana Penanaman Modal.
(3) Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak melakukan
pemeriksaan lapangan.

Pasal 8

(1) Fasilitas Pajak Penghasilan berupa pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari
jumlah Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a, dapat dibebankan
sejak Tahun Pajak ditetapkannya realisasi Penanaman Modal oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7.
(2) Pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan ketentuan
sebagai berikut :
a. pengurang penghasilan neto untuk tahun pertama sampai dengan tahun kelima masing-masing
sebesar 5% (lima persen) dikalikan rencana Penanaman Modal.
b. pengurang penghasilan neto untuk tahun keenam sebesar 30% (tiga puluh persen) dikalikan
dengan realisasi Penanaman Modal sampai dengan tahun keenam dikurangi dengan jumlah
pengurang penghasilan neto dari tahun pertama sampai dengan tahun kelima sebagaimana
dimaksud pada huruf a.
c. dalam hal jumlah pengurang penghasilan neto dari tahun pertama sampai dengan tahun kelima
sebagaimana dimaksud pada huruf a lebih besar dari realisasi Penanaman Modal sampai dengan
tahun keenam dikalikan 30% (tiga puluh persen), atas selisih lebih pengurang penghasilan neto
tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan pada tahun keenam.

Pasal 9

(1) Penghitungan penyusutan dan amortisasi Aktiva Tetap Berwujud bagi Wajib Pajak yang realisasi
Penanaman Modalnya belum ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 sesuai ketentuan mengenai penyusutan dan amortisasi sebagaimana diatur dalam Pasal 11
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan beserta perubahannya.
(2) Pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan berupa penyusutan dan amortisasi dipercepat atas Aktiva Tetap
Berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b, dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Penghitungan penyusutan dan amortisasi dipercepat dimulai sejak bulan ditetapkannya realisasi
Penanaman Modal oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
b. Dasar penyusutan dan amortisasi dipercepat adalah:
1) harga perolehan Aktiva Tetap Berwujud bagi Wajib Pajak yang menggunakan metode
penyusutan garis lurus;
2) nilai sisa buku Aktiva Tetap Berwujud bagi Wajib Pajak yang menggunakan metode
penyusutan saldo menurun.
c. Tarif penyusutan dan amortisasi dipercepat adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) huruf b.
d. Masa manfaat dipercepat Aktiva Tetap Berwujud adalah setengah dari sisa masa manfaat Aktiva
Tetap Berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan beserta perubahannya dengan ketentuan bagian bulan dihitung
sebagai 1 (satu) bulan penuh.
(3) Terhadap Aktiva Tetap Berwujud yang diperoleh setelah ditetapkannya realisasi Penanaman Modal oleh
Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 berlaku ketentuan mengenai penyusutan
dan amortisasi dipercepat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b.

Pasal 10

Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c dapat dimanfaatkan sejak
Tahun Pajak ditetapkannya realisasi Penanaman Modal oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7.

Pasal 11

(1) Fasilitas Pajak Penghasilan berupa tambahan kompensasi kerugian yang lebih lama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d dapat dimanfaatkan sejak Tahun Pajak ditetapkannya realisasi
Penanaman Modal oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
(2) Untuk mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan berupa tambahan kompensasi kerugian yang lebih lama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak harus mengajukan permohonan tertulis kepada
Direktur Jenderal Pajak.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 701

(3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak setelah
melakukan pemeriksaan lapangan menerbitkan keputusan tentang penambahan jangka waktu fasilitas
kompensasi kerugian.
(4) Ketentuan tambahan 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d butir 1)
berlaku untuk kerugian seluruh Tahun Pajak sepanjang Penanaman Modal baru dilakukan di kawasan
industri dan kawasan berikat.
(5) Ketentuan tambahan 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d butir 2)
berlaku untuk kerugian pada Tahun Pajak setelah Wajib Pajak mempekerjakan sekurang-kurangnya
500 (lima ratus) orang tenaga kerja Indonesia selama 5 (lima) tahun berturut-turut.
(6) Ketentuan tambahan 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d butir 3)
berlaku untuk kerugian seluruh Tahun Pajak apabila Penanaman Modal baru memerlukan investasi/
pengeluaran untuk infrastruktur ekonomi dan sosial di lokasi usaha paling sedikit sebesar
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(7) Ketentuan tambahan 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d butir 4)
berlaku untuk kerugian Tahun Pajak dilakukannya pengeluaran biaya penelitian dan pengembangari
di dalam negeri dalam rangka pengembangan produk atau efisiensi produksi paling sedikit 5% (lima
persen) dari investasi dalam jangka waktu 5 ( lima) tahun.
(8) Ketentuan tambahan 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d butir 5)
berlaku :
a. terhitung sejak Tahun Pajak ke 4 (empat) setelah Wajib Pajak memperoleh izin penanaman
modal atau izin perluasan penanaman modal dan Wajib Pajak bersangkutan menggunakan
bahan baku dan/atau komponen hasil produksi dalam negeri paling sedikit 70% (tujuh puluh
persen); dan
b. pada Tahun Pajak bersangkutan, Wajib Pajak menggunakan bahan baku danl atau komponen
hasil produksi dalam negeri paling sedikit 70% (tujuh puluh persen).

Pasal 12

Penerapan dan penghitungan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) sesuai
contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 13

(1) Wajib Pajak yang telah memperoleh keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan wajib
menyampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak laporan mengenai hal-hal sebagai berikut :
a. jumlah realisasi Penanaman Modal sampai dengan selesainya seluruh investasi;
b. jumlah realisasi produksi;
c. rincian aktiva tetap yang digunakan untuk tujuan selain yang diberikan fasilitas Pajak
Penghasilan;
d. rincian pengalihan sebagian atau seluruh aktiva tetap yang mendapatkan fasilitas Pajak
Penghasilan; dan
e. rincian aktiva tetap yang dialihkan yang diganti dengan aktiva tetap yang baru.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak
setiap semester terhitung sejak dimulainya realisasi Penanaman Modal sampai dengan selesainya
seluruh investasi, paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah akhir semester yang bersangkutan.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, disampaikan
kepada Direktur Jenderal Pajak setiap semester paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah akhir
semester yang bersangkutan selama 6 (enam) tahun sejak ditetapkannya realisasi Penanaman Modal
oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.

Pasal 14

Wajib Pajak yang telah memperoleh keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) wajib :
a. melampirkan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik pada saat menyampaikan
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; dan
b. menyelenggarakan pembukuan secara terpisah atas aktiva tetap yang mendapatkan fasilitas dan yang
tidak mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).

Pasal 15

Terhadap penyalahgunaan fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007
tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau

www.ortax.org
702 Edisi PPh Badan | Maret 2017

di Daerah-daerah Tertentu sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 52 Tahun 2011 dan Peraturan Menteri ini, dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan
di bidang perpajakan dan dilakukan pencabutan terhadap keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak
Penghasilan.

Pasal 16

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian fasilitas Pajak Penghasilan serta penetapan realisasi
Penanaman Modal, tata cara penyampaian kewajiban pelaporan, dan tata cara pencabutan keputusan persetujuan
pemberian fasilitas Pajak Penghasilan, diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 17

(1) Terhadap usulan, pemberian fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1
Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha
Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 62 Tahun 2008 yang telah disampaikan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal kepada
Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Pajak sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, dilakukan
pemrosesan lebih lanjut berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2007.
(2) Terhadap Wajib Pajak yang telah mendapatkan keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak
Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan
untuk Penanaman Modal di Bidang-biqang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu,
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2008, tidak berlaku
ketentuan mengenai pemanfaatan fasilitas oleh Wajib Pajak setelah Wajib Pajak merealisasikan
Penanaman Modal sebesar 80% (delapan puluh persen) dari rencana Penanaman Modal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).
(3) Terhadap permohonan untuk memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan yang diajukan setelah berlakunya
Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah
Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang
Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu sampai dengan sebelum berlakunya Peraturan
Menteri ini, diproses berdasarkan Peraturan Menteri ini.

Pasal 18

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2007 tentang
Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau
di Daerah-daerah Tertentu, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 19

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 September 2012
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 3 September 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI
MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
ttd.

AMIR SYAMSUDIN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 888

www.ortax.org
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 888
Edisi PPh Badan | Maret 2017 703

Status :
Peraturan Menteri Keuangan - 144/PMK.011/2012 Sudah tidak berlaku lagi karena diganti atau
dicabut oleh Peraturan Menteri Keuangan - 89/PMK.010/2015, Tanggal 28 Apr 2015

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15094

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
704 Edisi PPh Badan | Maret 2017 89/PMK.010/2015

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 89/PMK.010/2015

TENTANG

TATA CARA PEMBERIAN FASILITAS PAJAK PENGHASILAN UNTUK PENANAMAN


MODAL DI BIDANG-BIDANG USAHA TERTENTU DAN/ATAU
DI DAERAH-DAERAH TERTENTU SERTA PENGALIHAN AKTIVA
DAN SANKSI BAGI WAJIB PAJAK BADAN DALAM NEGERI
YANG DIBERIKAN FASILITAS PAJAK PENGHASILAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015 tentang
Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah
Tertentu, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pemberian Fasilitas Pajak
Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu serta
Pengalihan Aktiva dan Sanksi bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Diberikan Fasilitas Pajak Penghasilan;

Mengingat :

Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal
di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5688);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMBERIAN FASILITAS PAJAK PENGHASILAN UNTUK
PENANAMAN MODAL DI BIDANG-BIDANG USAHA TERTENTU DAN/ATAU DI DAERAH-DAERAH TERTENTU SERTA
PENGALIHAN AKTIVA DAN SANKSI BAGI WAJIB PAJAK BADAN DALAM NEGERI YANG DIBERIKAN FASILITAS
PAJAK PENGHASILAN.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:


1. Penanaman Modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam
negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.
2. Bidang-bidang Usaha Tertentu adalah bidang usaha di sektor kegiatan ekonomi yang mendapat prioritas
tinggi dalam skala nasional.
3. Daerah-daerah Tertentu adalah daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang layak
dikembangkan.

Pasal 2

(1) Kepada Wajib Pajak badan dalam negeri yang melakukan Penanaman Modal baik Penanaman Modal
baru maupun perluasan dari usaha yang telah ada, pada:
a. Bidang-bidang Usaha Tertentu sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Pemerintah
Nomor ........... Tahun 2015 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal
di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu; dan/atau
b. Bidang-bidang Usaha Tertentu dan Daerah-daerah Tertentu sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II Peraturan Pemerintah Nomor ........... Tahun 2015 tentang Fasilitas Pajak
Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-
daerah Tertentu,
dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan.
(2) Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:
a. pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Penanaman Modal
berupa aktiva tetap berwujud termasuk tanah yang digunakan untuk kegiatan utama usaha,
dibebankan selama 6 (enam) tahun masing-masing sebesar 5% (lima persen) pertahun yang
dihitung sejak saat mulai berproduksi secara komersial;
b. penyusutan yang dipercepat atas aktiva berwujud dan amortisasi yang dipercepat atas aktiva

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 705

tak berwujud yang diperoleh dalam rangka Penanaman Modal baru dan/atau perluasan usaha,
dengan masa manfaat dan tarif penyusutan serta tarif amortisasi ditetapkan sebagai berikut:
1. untuk penyusutan yang dipercepat atas aktiva berwujud :
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Kelompok Masa Tarif Penyusutan
Aktiva Berwujud Manfaat Berdasarkan Metode
Menjadi Garis Saldo
Lurus Menurun
----------------------------------------------------------------------------------------------------
I. Bukan Bangunan
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Kelompok I 2 tahun 50% 100%
(dibebankan
sekaligus)
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Kelompok II 4 tahun 25% 50%
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Kelompok III 8 tahun 12,5% 25%
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Kelompok IV 10 tahun 10% 20%
----------------------------------------------------------------------------------------------------
II. Bangunan :
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Permanen 10 tahun 10% -
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Tidak Permanen 5 tahun 20% -
----------------------------------------------------------------------------------------------------

2. untuk amortisasi yang dipercepat atas aktiva tak berwujud :


----------------------------------------------------------------------------------------------------
Kelompok Masa Tarif Penyusutan
Aktiva Tak Manfaat Berdasarkan Metode
Berwujud Menjadi Garis Saldo
Lurus Menurun
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Kelompok I 2 tahun 50% 100%
(dibebankan
sekaligus)
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Kelompok II 4 tahun 25% 50%
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Kelompok III 8 tahun 12,5% 25%
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Kelompok IV 10 tahun 10% 20%
----------------------------------------------------------------------------------------------------
c. pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri
selain bentuk usaha tetap di Indonesia sebesar 10% (sepuluh persen), atau tarif yang lebih
rendah menurut perjanjian penghindaran pajak berganda yang berlaku; dan
d. kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh)
tahun, dengan ketentuan sebagai berikut:
1. tambahan 1 tahun : apabila Penanaman Modal baru pada bidang usaha
yang diatur pada ayat (1) huruf a dilakukan
di kawasan industri dan/atau kawasan berikat;
2. tambahan 1 tahun : apabila Wajib Pajak yang melakukan Penanaman
Modal baru mengeluarkan biaya untuk infrastruktur
ekonomi dan/atau sosial di lokasi usaha paling sedikit
sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
3. tambahan 1 tahun : apabila menggunakan bahan baku dan/atau komponen
hasil produksi dalam negeri paling sedikit 70% (tujuh
puluh persen) sejak tahun ke 4 (empat);
4. tambahan 1 tahun
atau 2 tahun : a) tambahan 1 (satu) tahun apabila
mempekerjakan sekurang-kurangnya
500 (lima ratus) orang tenaga kerja Indonesia
selama 5 (lima) tahun berturut-turut; atau
b) tambahan 2 (dua) tahun apabila
mempekerjakan sekurang-kurangnya 1000
(seribu) orang tenaga kerja Indonesia selama

www.ortax.org
706 Edisi PPh Badan | Maret 2017

5 (lima) tahun berturut-turut;


5. tambahan 2 tahun : apabila mengeluarkan biaya penelitian dan
pengembangan di dalam negeri dalam rangka
pengembangan produk atau efisiensi produksi paling
sedikit 5% (lima persen) dari jumlah Penanaman
Modal dalam jangka waktu 5 (lima) tahun;
6. tambahan 2 tahun : apabila Penanaman Modal berupa perluasan dari
usaha yang telah ada pada Bidang-bidang Usaha
Tertentu dan/atau Daerah-daerah Tertentu yang
diatur pada ayat (1) huruf a dan/atau huruf b
sebagian sumber pembiayaannya berasal dari laba
setelah pajak (earning after tax) Wajib Pajak pada
satu tahun pajak sebelum tahun diterbitkannya izin
prinsip perluasan penanaman modal; dan/atau
7. tambahan 2 tahun : apabila melakukan ekspor paling sedikit 30% (tiga
puluh persen) dari nilai total penjualan, untuk
Penanaman Modal pada bidang-bidang usaha yang
diatur pada ayat (1) huruf a yang dilakukan diluar
kawasan berikat.
(3) Pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga diberikan kepada
Wajib Pajak yang atas usulan pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan
badan sesuai ketentuan Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010, ditolak oleh Menteri
Keuangan.

Pasal 3

(1) Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a, dibebankan sejak
tahun pajak saat mulai berproduksi secara komersial.
(2) Pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan selama
6 (enam) tahun masing-masing sebesar 5% (lima persen) per tahun dikalikan jumlah Penanaman
Modal yang ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan.

Pasal 4

(1) Penghitungan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b, dimulai
sejak bulan berlakunya keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan.
(2) Penghitungan penyusutan atas aktiva berwujud dan amortisasi atas aktiva tak berwujud untuk bulan
sebelum berlakunya keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan, dilakukan sesuai
ketentuan mengenai penyusutan dan amortisasi sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 11A
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan beserta perubahannya.
(3) Pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. Kelompok aktiva berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b angka 1) dan
kelompok aktiva tak berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b angka 2)
adalah sesuai ketentuan mengenai penyusutan dan amortisasi sebagaimana diatur dalam
Pasal 11 dan Pasal 11A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
beserta perubahannya.
b. Dasar penyusutan dan amortisasi dipercepat adalah:
1) harga perolehan aktiva bagi Wajib Pajak yang menggunakan metode penyusutan garis
lurus;
2) nilai sisa buku aktiva bagi Wajib Pajak yang menggunakan metode penyusutan saldo
menurun.
c. Tarif penyusutan yang dipercepat atas aktiva berwujud adalah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) huruf b angka 1) dan tarif amortisasi yang dipercepat adalah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b angka 2).
d. Masa manfaat dipercepat aktiva adalah setengah dari sisa masa manfaat aktiva sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan beserta perubahannya dengan ketentuan bagian bulan dihitung sebagai 1 (satu)
bulan penuh.
(4) Dalam hal aktiva tetap yang lama diganti dengan aktiva tetap yang baru, dasar penyusutan aktiva tetap
baru adalah harga perolehan aktiva baru dimaksud.

Pasal 5

(1) Terhadap aktiva tetap yang mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 707

Pasal 2 ayat (2) huruf a dilarang digunakan selain untuk tujuan pemberian fasilitas, atau dialihkan
sebagian atau seluruh aktiva tetap dimaksud kecuali diganti dengan aktiva tetap baru, sebelum berakhirnya
jangka waktu yang lebih lama antara:
a. jangka waktu 6 (enam) tahun sejak saat mulai berproduksi secara komersial; atau
b. masa manfaat aktiva sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
huruf b angka 1.
(2) Terhadap aktiva tak berwujud yang mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b dilarang digunakan selain untuk tujuan pemberian fasilitas, atau dialihkan
sebagian atau seluruh aktiva tak berwujud dimaksud kecuali diganti dengan aktiva tak berwujud baru,
sebelum berakhirnya masa manfaat aktiva tak berwujud dimaksud sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b angka 2.

Pasal 6

(1) Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c dapat dimanfaatkan
sejak berlakunya keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan dan berakhir pada saat
Wajib Pajak tidak lagi memenuhi ketentuan bidang usaha, Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia
(KBLI), atau cakupan produk, serta persyaratan lainnya dalam lampiran keputusan persetujuan
pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
(2) Dalam hal Wajib Pajak selain menghasilkan produk yang diberikan fasilitas juga menghasilkan produk
yang tidak diberikan fasilitas, besaran dividen yang mendapat fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c adalah sebesar persentase total nilai penjualan produk yang
mendapat fasilitas terhadap total nilai penjualan seluruh produk pada tahun pajak sebelum dividen
dibagikan.
(3) Kepada Wajib Pajak yang melakukan perluasan usaha, besarnya dividen yang mendapat fasilitas Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c sebanding dengan persentase nilai
realisasi aktiva perluasan usaha terhadap total nilai buku fiskal aktiva yang diperoleh sebelum perluasan
usaha ditambah dengan nilai realisasi aktiva perluasan usaha pada waktu selesainya perluasan usaha.

Pasal 7

(1) Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d dapat dimanfaatkan
sejak berlakunya keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan dan Wajib Pajak
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d angka 1, angka 2,
angka 3, angka 4, angka 5, angka 6 dan/atau angka 7.
(2) Dalam hal Wajib Pajak dapat memenuhi sebagian atau seluruh persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d, sehingga Wajib Pajak dimaksud dapat memperoleh tambahan jangka
waktu kompensasi kerugian yang melebihi dari 5 (lima) tahun, besarnya tambahan jangka waktu
kompensasi kerugian yang diberikan adalah paling lama untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
(3) Untuk mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak
harus mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak.
(4) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal Pajak setelah
melakukan pemeriksaan lapangan menerbitkan keputusan tentang penambahan jangka waktu fasilitas
kompensasi kerugian.
(5) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan keputusan tentang penambahan jangka
waktu fasilitas kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sesuai format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(6) Pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. Ketentuan tambahan 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d
angka 1 berlaku untuk kerugian seluruh tahun pajak sepanjang Penanaman Modal baru
dilakukan di kawasan industri dan/atau kawasan berikat dan berakhir saat Wajib Pajak tidak
lagi memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
b. Ketentuan tambahan 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d
angka 2 berlaku untuk kerugian tahun pajak dicapainya pengeluaran untuk infrastruktur
ekonomi dan sosial di lokasi usaha paling sedikit sebesar Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).
c. Ketentuan tambahan 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d
angka 3 berlaku:
1. terhitung sejak tahun pajak ke 4 (empat) setelah Wajib Pajak memperoleh izin
Penanaman Modal atau izin perluasan Penanaman Modal dan Wajib Pajak bersangkutan
menggunakan bahan baku dan/atau komponen hasil produksi dalam negeri paling
sedikit 70% (tujuh puluh persen); dan
2. pada tahun pajak sebelum tahun pajak ke 4 (empat) setelah Wajib Pajak memperoleh
izin Penanaman Modal atau izin perluasan Penanaman Modal bersangkutan dan Wajib
Pajak menggunakan bahan baku dan/atau komponen hasil produksi dalam negeri

www.ortax.org
708 Edisi PPh Badan | Maret 2017

paling sedikit 70% (tujuh puluh persen).


d. Ketentuan tambahan 1 (satu) tahun atau 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) huruf d angka 4 berlaku:
1. tambahan 1 (satu) tahun berlaku untuk kerugian pada tahun pajak setelah Wajib Pajak
mempekerjakan sekurang-kurangnya 500 (lima ratus) orang tenaga kerja Indonesia
selama 5 (lima) tahun berturut-turut; atau
2. tambahan 2 (dua) tahun berlaku untuk kerugian pada tahun pajak setelah Wajib Pajak
mempekerjakan sekurang-kurangnya 1000 (seribu) orang tenaga kerja Indonesia
selama 5 (lima) tahun berturut-turut;
3. tenaga kerja Indonesia sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan angka 2 adalah
tenaga kerja yang berkewarganegaraan Indonesia dan tercantum dalam Surat
Pemberitahuan Pajak Penghasilan Pasal 21 Wajib Pajak.
e. Ketentuan tambahan 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d
angka 5 berlaku untuk kerugian tahun pajak saat dicapainya pengeluaran biaya penelitian dan
pengembangan di dalam negeri dalam rangka pengembangan produk atau efisiensi produksi
paling sedikit 5% (lima persen) dari jumlah realisasi Penanaman Modal, dalam jangka waktu
5 (lima) tahun.
f. Ketentuan tambahan 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d
angka 6 berlaku:
1) Wajib Pajak yang dapat diberikan fasilitas tambahan kompensasi kerugian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d angka 6 adalah Wajib Pajak yang memenuhi
ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1);
2) sumber pembiayaan perluasan Penanaman Modal berasal dari laba setelah pajak
(earning after tax) Wajib Pajak pada satu tahun pajak sebelum tahun diterbitkannya izin
prinsip perluasan Penanaman Modal;
3) kerugian yang dapat diberikan fasilitas tambahan jangka waktu kompensasi kerugian
selama 2 (dua) tahun adalah kerugian fiskal pada tahun pajak saat mulai berproduksi
secara komersial atas kegiatan perluasan Penanaman Modal sebagaimana dimaksud
pada angka 2) ;
g. Ketentuan tambahan 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d
angka 7 berlaku untuk tahun pajak dilakukannya ekspor paling sedikit 30% (tiga puluh persen)
dari nilai total penjualan.
(7) Wajib Pajak yang melakukan pembukuan secara terpisah atas Penanaman Modal yang mendapatkan
fasilitas dan yang tidak mendapatkan fasilitas, penghitungan besarnya kerugian yang mendapat fasilitas
tambahan jangka waktu kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d
angka 1, angka 2, angka 3, angka 4, angka 5, dan/atau angka 7 sesuai dengan penghitungan
berdasarkan pembukuan secara terpisah atas Penanaman Modal yang mendapatkan fasilitas dan yang
tidak mendapatkan fasilitas.
(8) Dalam hal Wajib Pajak tidak melakukan pembukuan secara terpisah atas Penanaman Modal yang
mendapatkan fasilitas dan yang tidak mendapatkan fasilitas, besarnya kerugian yang mendapat fasilitas
tambahan jangka waktu kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d
angka 1, angka 2, angka 3, angka 4, angka 5, dan/atau angka 7 dihitung dengan formula sebagai
berikut:
KMF = BVMF
------------------------ X TK
(BVTF +BVMF)
KMF = Kerugian yang mendapat fasilitas Pajak Penghasilan
BVMF = Total nilai buku fiskal aktiva tetap yang mendapatkan fasilitas pada akhir tahun pajak
terjadinya kerugian
BVTF = Total nilai buku fiskal aktiva tetap yang tidak mendapatkan fasilitas pada akhir tahun
pajak terjadinya kerugian
TK = Total kerugian
(9) Besarnya kerugian yang mendapat fasilitas tambahan jangka waktu kompensasi kerugian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d angka 6 dihitung dengan formula sebagai berikut:
KMF = EAT
------------- X TK
BVAT
BVAT = BVMF + BVTF
KMF = Kerugian yang mendapat fasilitas Pajak Penghasilan
EAT = Laba setelah pajak yang ditanamkan kembali dalam perluasan usaha
BVAT = Total nilai buku fiskal seluruh aktiva tetap
BVMF = Total nilai buku fiskal aktiva tetap yang mendapatkan fasilitas pada akhir tahun pajak
terjadinya kerugian
BVTF = Total nilai buku fiskal aktiva tetap yang tidak mendapatkan fasilitas pada akhir tahun
pajak terjadinya kerugian
TK = Total kerugian tahun pajak saat mulai berproduksi secara komersial

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 709

Pasal 8

Permohonan untuk mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
diajukan oleh Wajib Pajak kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dan pengajuannya dilakukan
sebelum saat mulai berproduksi secara komersial.

Pasal 9

Pada saat Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015 berlaku, terhadap Wajib Pajak yang izin prinsip
Penanaman Modal atau izin prinsip perluasan Penanaman Modalnya diterbitkan oleh Kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal atau instansi lain yang berwenang sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 52
Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak
Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu
sampai dengan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015, dapat diajukan usulan untuk
diberikan fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015 oleh Kepala
Badan Koordinasi Penanaman Modal, sepanjang:
a. izin prinsip Penanaman Modal atau izin prinsip perluasan Penanaman Modal tersebut belum pernah
diterbitkan keputusan persetujuan atau penolakan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal
di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal
di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu;
b. bidang usaha, Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI), cakupan produk, persyaratan,
dan/atau Daerah/Provinsi sesuai dengan Lampiran I atau Lampiran II Peraturan Pemerintah Nomor 18
Tahun 2015;
c. belum berproduksi secara komersial pada saat Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015 berlaku;
dan
d. usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan dimaksud diterima oleh Menteri Keuangan paling lama
1 (satu) tahun setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015.

Pasal 10

Pemberian fasilitas Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), berlaku
ketentuan sebagai berikut:
a. Diperuntukkan bagi:
1) Wajib Pajak yang pada saat menyampaikan permohonan pemberian fasilitas Pembebasan atau
Pengurangan Pajak Penghasilan Badan sesuai Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun
2010, memilih untuk dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015; atau
2) Wajib pajak yang telah menyampaikan permohonan pemberian fasilitas pembebasan atau
pengurangan Pajak Penghasilan Badan sesuai Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun
2010 sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, yang mengajukan permohonan untuk memilih
untuk dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18
Tahun 2015 setelah atas permohonan untuk mendapatkan fasilitas pembebasan atau
pengurangan Pajak Penghasilan Badan sesuai Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun
2010 ditolak oleh Menteri Keuangan.
b. Memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015;
c. Wajib Pajak dianggap telah mengajukan permohonan mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan kepada
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8; dan
d. Dilakukan pemrosesan berdasarkan Peraturan Menteri ini.

Pasal 11

(1) Atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9, dilakukan
pembahasan dalam rapat yang dikoordinasikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal untuk
memutuskan dapat tidaknya permohonan dimaksud diusulkan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman
Modal kepada Menteri Keuangan.
(2) Direktur Jenderal Pajak, staf ahli Menteri Keuangan yang mempunyai tugas memberikan telaahan
mengenai masalah-masalah di bidang penerimaan negara, dan/atau pejabat yang ditunjuk dapat hadir
dalam rapat koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 12

www.ortax.org
710 Edisi PPh Badan | Maret 2017

(1) Keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah mempertimbangkan usulan dari Kepala Badan
Koordinasi Penanaman Modal.
(2) Usulan dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Pajak dengan dilampiri dokumen
berupa:
a. fotokopi surat permohonan Wajib Pajak kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal
dan bukti tanda terima surat permohonan Wajib Pajak dimaksud;
b. surat penolakan pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan Badan,
untuk permohonan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9;
c. izin Penanaman Modal atau izin perluasan Penanaman Modal yang diterbitkan oleh Kepala Badan
Koordinasi Penanaman Modal atau instansi lain yang berwenang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
d. rincian aktiva tetap; dan
e. surat keterangan pemenuhan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Peraturan
Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015, kesesuaian cakupan produk, dan pemenuhan tiap
persyaratan sesuai Lampiran I dan/atau Lampiran II Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun
2015 dari kementerian pembina sektor terkait.
(3) Terhadap usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
yang disampaikan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal kepada Menteri Keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, selain dilampiri dengan dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), harus dilampiri dengan surat keterangan belum beroperasi secara komersial yang diterbitkan
oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Pasal 13

(1) Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan menerbitkan keputusan persetujuan atau
penolakan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) setelah
mendapat rekomendasi staf ahli Menteri Keuangan yang mempunyai tugas memberikan telaahan
mengenai masalah-masalah di bidang penerimaan negara.
(2) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis oleh staf ahli Menteri
Keuangan yang mempunyai tugas memberikan telaahan mengenai masalah-masalah di bidang
penerimaan negara kepada Direktur Jenderal Pajak.
(3) Keputusan persetujuan atau penolakan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mendasarkan pada dokumen-dokumen, berupa:
a. rekomendasi tertulis staf ahli Menteri Keuangan yang mempunyai tugas memberikan telaahan
mengenai masalah-masalah di bidang penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1);
b. usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal
dan lampiran dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dan ayat (3).
(4) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus tersedia lengkap pada saat rapat yang
dikoordinasikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (1) dan saat disampaikan kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2).
(5) Keputusan persetujuan atau penolakan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak usulan
dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2).
(6) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 14

(1) Saat mulai berproduksi secara komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) adalah saat
pertama kali hasil produksi dijual ke pasaran dan/atau digunakan sendiri untuk proses produksi lebih
lanjut.
(2) Saat mulai berproduksi secara komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan.
(3) Pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan setelah Direktur Jenderal Pajak
menerima permohonan tertulis dari Wajib Pajak secara lengkap atau berdasarkan penelitian terhadap
surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan badan Wajib Pajak diketahui Wajib Pajak telah mulai
berproduksi secara komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan Wajib Pajak kepada Direktur
Jenderal Pajak melalui Direktur Pemeriksaan dan Penagihan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah
berakhirnya tahun pajak dilakukannya produksi secara komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan dengan menggunakan formulir

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 711

sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini, yang paling sedikit dilampiri dengan:
a. fotokopi keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan;
b. fotokopi izin Penanaman Modal atau izin perluasan Penanaman Modal yang menjadi dasar
penerbitan keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan dan izin usaha
tetapnya;
c. fotokopi dan softcopy atas rincian dan jenis aktiva tetap pada saat pengajuan permohonan
pemberian fasilitas Pajak Penghasilan dan pada saat Wajib Pajak mulai berproduksi secara
komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan
d. dokumen-dokumen yang berkaitan dengan transaksi penjualan hasil produksi ke pasaran
pertama kali, atau pertama kali digunakan sendiri untuk proses produksi lebih lanjut.
(6) Pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi kegiatan:
a. penentuan mengenai saat Wajib Pajak pertama kali melakukan penjualan hasil produksi
ke pasaran dan/atau menggunakan sendiri untuk proses produksi lebih lanjut;
b. penghitungan jumlah Penanaman Modal yang digunakan sebagai dasar penghitungan fasilitas
pengurangan penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a, yaitu:
1) sebesar realisasi Penanaman Modal, dalam hal realisasi Penanaman Modal kurang dari
atau sama dengan rencana Penanaman Modal;
2) sebesar rencana Penanaman Modal, dalam hal realisasi lebih besar dari rencana
Penanaman Modal.
c. pengujian kesesuaian penjualan hasil produksi ke pasaran dengan bidang usaha, Klasifikasi
Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI), atau cakupan produk, serta persyaratan lainnya dalam
lampiran keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13.

Pasal 15

(1) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak permohonan
tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 diterima secara lengkap, harus menerbitkan keputusan
yang berisi mengenai:
a. saat mulai berproduksi secara komersial;
b. penetapan jumlah Penanaman Modal yang digunakan sebagai dasar penghitungan fasilitas
pengurangan penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a;
c. kesesuaian antara penjualan hasil produksi ke pasaran dengan bidang usaha, Klasifikasi Baku
Lapangan Usaha Indonesia (KBLI), atau cakupan produk serta persyaratan lainnya dalam
lampiran keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam
Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 16

(1) Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (6)
terdapat ketidaksesuaian antara penjualan hasil produksi ke pasaran dengan bidang usaha, Klasifikasi
Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI), atau cakupan produk, serta persyaratan lainnya dalam lampiran
keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13,
permohonan penetapan saat mulai berproduksi secara komersial ditolak, dan keputusan persetujuan
pemberian fasilitas dicabut, serta kepada Wajib Pajak dikenakan sanksi perpajakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Keputusan pencabutan pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.

Pasal 17

(1) Wajib Pajak yang telah memperoleh keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan wajib
menyampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak laporan mengenai hal-hal sebagai berikut:
a. jumlah realisasi Penanaman Modal;
b. jumlah realisasi produksi;
c rincian aktiva tetap.
sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak
setiap semester paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah akhir semester yang bersangkutan dalam
periode sejak diterbitkannya keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sampai

www.ortax.org
712 Edisi PPh Badan | Maret 2017

dengan diterbitkannya keputusan saat mulai berproduksi secara komersial.


(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c disampaikan kepada Direktur
Jenderal Pajak setiap semester paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah akhir semester yang
bersangkutan dalam periode sejak diterbitkannya keputusan saat mulai berproduksi secara komersial
sampai dengan berakhirnya masa manfaat aktiva secara fiskal.
(4) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau
menyampaikan laporan namun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3), terhadap Wajib Pajak dimaksud dapat dilakukan pemeriksaan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Pasal 18

(1) Terhadap penyalahgunaan fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18
Tahun 2015 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-bidang Usaha
Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu dan Peraturan Menteri ini, dikenakan sanksi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, dilakukan pencabutan terhadap keputusan
persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan, dan tidak dapat lagi diberikan fasilitas Pajak
Penghasilan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan
untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu dan
Peraturan Menteri ini.
(2) Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan menerbitkan keputusan pencabutan keputusan
persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun
2015 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu
dan/atau di Daerah-daerah Tertentu.

Pasal 19

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:


1. Terhadap usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 52
Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas
Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah
Tertentu yang telah disampaikan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal kepada Menteri
Keuangan melalui Direktur Jenderal Pajak sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, dilakukan
pemrosesan lebih lanjut berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 144/PMK.011/2012.
2. Terhadap permohonan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
52 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang
Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di
Daerah-daerah Tertentu yang:
a. telah disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal; dan
b. atas permohonan dimaksud belum disampaikan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman
Modal kepada Menteri Keuangan pada saat berlakunya Peraturan Menteri ini,
Wajib Pajak harus menyampaikan permohonan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015.

Pasal 20

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 144/PMK.011/2012 tentang
Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau
di Daerah-daerah Tertentu, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 21

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 6 Mei 2015.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 April 2015
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

BAMBANG P. S. BRODJONEGORO

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 28 April 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA www.ortax.org
REPUBLIK INDONESIA,
Edisi PPh Badan | Maret 2017 713

BAMBANG P. S. BRODJONEGORO

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 28 April 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

YASONNA H. LAOLY

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 652

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15768

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
714 Edisi PPh Badan | Maret 2017 159/PMK.010/2015

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 159/PMK.010/2015

TENTANG

PEMBERIAN FASILITAS PENGURANGAN PAJAK PENGHASILAN BADAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa ketentuan mengenai pemberian fasilitas pembebasan dan pengurangan Pajak Penghasilan
Badan, telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.011/2011 sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.011/2014;
b. bahwa untuk lebih meningkatkan kegiatan investasi langsung khususnya pada industri pionir guna
mendorong pertumbuhan ekonomi, perlu mengganti ketentuan mengenai pemberian fasilitas Pajak
Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 30 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan
Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Keuangan tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4993);
2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan
Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5183);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMBERIAN FASILITAS PENGURANGAN PAJAK PENGHASILAN BADAN.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:


1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008.
2. Undang-Undang Penanaman Modal adalah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal.
3. Industri Pionir adalah industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan
eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, dan memiliki nilai strategis bagi
perekonomian nasional.

Pasal 2

(1) Kepada Wajib Pajak badan yang melakukan penanaman modal baru yang merupakan Industri Pionir
dapat diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (5) Undang-Undang Penanaman Modal dan Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010
tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan.
(2) Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan utama usaha yang merupakan Industri Pionir.
(3) Kegiatan utama usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah kegiatan utama usaha sebagaimana
tercantum dalam izin prinsip dan/atau izin usaha Wajib Pajak pada saat pengajuan permohonan
pengurangan Pajak Penghasilan badan termasuk perubahan dan perluasannya sepanjang termasuk

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 715

dalam kriteria Industri Pionir.

Pasal 3

(1) Pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberikan paling banyak
100% (seratus persen) dan paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari jumlah Pajak Penghasilan badan
yang terutang.
(2) Pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat diberikan untuk
jangka waktu paling lama 15 (lima belas) Tahun Pajak dan paling singkat 5 (lima) Tahun Pajak, terhitung
sejak Tahun Pajak dimulainya produksi secara komersial.
(3) Besarnya pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan
persentase yang sama setiap tahun selama jangka waktu Sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Dengan mempertimbangkan kepentingan mempertahankan daya saing industri nasional dan nilai
strategis dari kegiatan usaha tertentu, Menteri Keuangan dapat memberikan fasilitas pengurangan Pajak
Penghasilan badan dengan jangka waktu melebihi jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
menjadi paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Pasal 4

(1) Wajib Pajak yang dapat diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 adalah Wajib Pajak badan yang memenuhi kriteria:
a. merupakan Wajib Pajak baru;
b. merupakan Industri Pionir;
c. mempunyai rencana penanaman modal baru yang telah mendapatkan pengesahan dari instansi
yang berwenang, paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah);
d. memenuhi ketentuan besaran perbandingan antara utang dan modal sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai penent?an besarnya perbandingan
antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan Pajak Penghasilan;
e. menyampaikan surat pernyataan kesanggupan untuk menempatkan dana di perbankan
di Indonesia paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari total rencana penanaman modal
sebagaimana dimaksud pada huruf c, dan dana tersebut tidak ditarik sebelum saat dimulainya
pelaksanaan realisasi penanaman modal; dan
f. harus berstatus sebagai badan hukum Indonesia yang pengesahannya ditetapkan sejak atau
setelah tanggal 15 Agustus 2011.
(2) Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimiliki langsung oleh Wajib Pajak dalam
negeri dan/atau Wajib Pajak luar negeri berupa bentuk usaha tetap, selain memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Wajib Pajak dalam negeri dan/atau Wajib Pajak luar negeri
berupa bentuk usaha tetap tersebut harus memiliki surat keterangan fiskal yang diterbitkan oleh
Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai tata cara pemberian surat
keterangan fiskal.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal Wajib Pajak badan:
a. dimiliki langsung oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
b. kepemilikannya terdiri atas saham-saham yang terdaftar pada bursa efek di Indonesia.
(4) Industri Pionir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mencakup:
a. Industri logam hulu;
b. Industri pengilangan minyak bumi;
c. Industri kimia dasar organik yang bersumber dari minyak bumi dan gas alam;
d. Industri permesinan yang menghasilkan mesin industri;
e. Industri pengolahan berbasis hasil pertanian, kehutanan, dan perikanan;
f. Industri telekomunikasi, informasi dan komunikasi;
g. Industri transportasi kelautan;
h. Industri pengolahan yang merupakan industri utama di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK);
dan/atau
i. Infrastruktur ekonomi selain yang menggunakan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan
Usaha (KPBU).
(5) Batasan nilai rencana penanaman modal baru yang telah mendapatkan pengesahan dari instansi yang
berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dapat diturunkan menjadi paling sedikit
sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) untuk Industri Pionir sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) huruf f, dan memenuhi persyaratan memperkenalkan teknologi tinggi (high tech).
(6) Besaran pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) diberikan
paling banyak sebesar 50% (lima puluh persen) untuk Industri Pionir sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) dengan nilai rencana penanaman modal baru kurang dari Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun
rupiah) dan paling sedikit sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah).
(7) Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat
dimanfaatkan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sepanjang memenuhi
persyaratan:

www.ortax.org
716 Edisi PPh Badan | Maret 2017

a. telah berproduksi secara komersial;


b. pada saat mulai berproduksi secara komersial, Wajib Pajak telah merealisasikan nilai
penanaman modal paling sedikit sebesar rencana penanaman modalnya; dan
c. bidang usaha penanaman modal sesuai dengan rencana bidang usaha penanaman modal dan
termasuk dalam cakupan Industri Pionir sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(8) Direktur Jenderal Pajak menetapkan Wajib Pajak yang dapat memanfaatkan fasilitas pengurangan Pajak
Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dan penetapan dimaksud paling sedikit berisi
mengenai:
a. Tanggal saat mulai berproduksi secara komersial sebagai dasar penetapan Tahun Pajak
dimulainya pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan;
b. Penetapan jumlah realisasi penanaman modal pada saat mulai berproduksi secara komersial;
dan
c. Kesesuaian bidang usaha penanaman modal dengan rencana bidang usaha penanaman modal
dan masuk dalam cakupan Industri Pionir.
(9) Tata cara penetapan pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana
dimaksud pada ayat (8) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
(10) Saat mulai berproduksi secara komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (7) adalah saat pertama
kali hasil produksi dijual ke pasaran dan/atau digunakan sendiri untuk proses produksi lebih lanjut dari
kegiatan utama usaha yang mendapatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan.

Pasal 5

(1) Untuk memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan, Wajib Pajak menyampaikan
permohonan kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan:
a. fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak;
b. fotokopi ijin prinsip penanaman modal baru, yang dilengkapi dengan rinciannya;
c. asli surat pernyataan kesanggupan untuk menempatkan dana di perbankan di Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e; dan
d. surat keterangan fiskal untuk Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan Pasal 4 ayat (2).
(3) Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Badan Koordinasi Penanaman
Modal melakukan penelitian terhadap kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
pemenuhan cakupan Industri Pionir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4).
(4) Dalam rangka penyampaian usulan pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan kepada
Menteri Keuangan, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal berkoordinasi dengan menteri terkait
untuk melakukan:
a. penelitian mengenai pemenuhan cakupan Industri Pionir sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
b. penyusunan uraian penelitian mengenal hal-hal sebagai berikut:
1. ketersediaan dan kontribusi rencana pembangunan infrastruktur di lokasi investasi;
2. penyerapan tenaga kerja domestik;
3. kajian mengenai pemenuhan kriteria sebagai Industri Pionir; dan
4. rencana tahapan alih teknologi yang jelas dan konkret.
(5) Berdasarkan hasil penelitian yang memenuhi cakupan industri pionir sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) huruf a dan uraian penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, Kepala Badan
Koordinasi Penanaman Modal dapat mengajukan usulan pemberian fasilitas pengurangan Pajak
Penghasilan badan dengan dilampiri dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan dokumen
uraian penelitian dimaksud.

Pasal 6

(1) Atas usulan pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (5), Menteri Keuangan menugaskan komite verifikasi pemberian pengurangan Pajak
Penghasilan badan untuk membantu melakukan penelitian dan verifikasi terhadap usulan dimaksud.
(2) Komite verifikasi pemberian pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibentuk oleh Menteri Keuangan.
(3) Komite verifikasi pemberian pengurangan Pajak Penghasilan badan menyampaikan hasil penelitian dan
verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri Keuangan disertai dengan pertimbangan
dan rekomendasi, termasuk rekomendasi mengenai besaran pengurangan Pajak Penghasilan badan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan jangka waktu pemberian fasilitas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).
(4) Rekomendasi mengenai besaran pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) dan jangka waktu pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
didasarkan pada hasil penilaian atas uraian penelitian yang berisi mengenai hal-hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3).
(5) Pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan diputuskan oleh Menteri Keuangan
berdasarkan pertimbangan dan rekomendasi dari komite verifikasi pemberian pengurangan Pajak

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 717

Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).


(6) Pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan oleh Menteri Keuangan dengan jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Menteri Keuangan dapat meminta pertimbangan dan rekomendasi dari komite verifikasi
pengurangan Pajak Penghasilan badan; atau
b. Menteri Keuangan memberikan fasilitas tanpa meminta pertimbangan dan rekomendasi dari
komite verifikasi pengurangan Pajak Penghasilan badan.
(7) Dalam hal Menteri Keuangan menyetujui usulan pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan
badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2):
a. Menteri Keuangan menerbitkan keputusan mengenai pemberian fasilitas pengurangan Pajak
Penghasilan badan; dan
b. Wajib Pajak menempatkan dana di perbankan di Indonesia paling sedikit 10% (sepuluh persen)
dari total rencana penanaman modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e.
(8) Penempatan dana di perbankan di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b dilakukan
paling lambat 7 (tujuh) hari sejak tanggal ditetapkan keputusan mengenai pemberian fasilitas
pengurangan Pajak Penghasilan badan, dan dana tersebut tidak ditarik sebelum saat dimulainya
pelaksanaan realisasi penanaman modal.
(9) Dalam hal Menteri Keuangan menolak usulan untuk memberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan
badan, disampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai penolakan tersebut kepada Wajib Pajak
dengan tembusan kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Pasal 7

(1) Terhadap Wajib Pajak yang atas usulan pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan yang
ditolak oleh Menteri Keuangan dan telah diterbitkan pemberitahuan secara tertulis mengenai penolakan
dimaksud, diberikan fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha
tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu sepanjang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk
Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu beserta
peraturan pelaksanaannya.
(2) Tata cara pemberian fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha
tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu bagi Wajib Pajak yang usulan pemberian fasilitas
pengurangan Pajak Penghasilan badan ditolak oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sesuai Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara pemberian fasilitas
Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah
tertentu.

Pasal 8

(1) Wajib Pajak yang telah memperoleh Keputusan Menteri Keuangan mengenai pemberian fasilitas
pengurangan Pajak Penghasilan badan wajib menyampaikan laporan secara berkala kepada Direktur
Jenderal Pajak dan ketua komite verifikasi pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan
mengenai hal-hal sebagai berikut:
a. laporan penggunaan dana yang ditempatkan di perbankan di Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e;
b. laporan realisasi penanaman modal yang telah diaudit; dan
c. laporan realisasi produksi selama masa fasilitas.
(2) Tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak.
(3) Selain kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak yang
mendapatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan juga diwajibkan untuk memenuhi
permintaan Direktur Jenderal Pajak untuk memberikan data transaksi perusahaan yang memiliki
hubungan istimewa sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 9

(1) Wajib Pajak badan yang telah mendapatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan dilarang
untuk:
a. mengimpor atau membeli barang modal bekas yang direlokasi dari negara atau perusahaan lain
dalam rangka realisasi penanaman modal yang mendapatkan fasilitas pengurangan Pajak
Penghasilan badan;
b. melakukan kegiatan utama usaha yang tidak sesuai dengan rencana bidang usaha penanaman
modal dan tidak termasuk dalam cakupan Industri Pionir selama jangka waktu pemanfaatan
fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan;
c. melakukan pemindahtanganan aset dan/atau kepemilikan Wajib Pajak badan yang mendapatkan

www.ortax.org
718 Edisi PPh Badan | Maret 2017

fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan selama jangka waktu pemanfaatan fasilitas
pengurangan Pajak Penghasilan badan;
d. melakukan relokasi penanaman modal ke provinsi lain di Indonesia atau ke luar negeri sejak
Tahun Pajak dimulainya dan sampai dengan 5 (lima) Tahun Pajak sejak berakhirnya jangka
waktu pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan; dan/atau
e. mengubah metode pembukuan untuk menggeser laba atau rugi dari periode pemanfaatan
fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan ke periode setelahnya, dan sebaliknya, termasuk
metode pengakuan penghasilan dan/atau biaya, dan metode penghitungan depresiasi dan/atau
persediaan, sejak Tahun Pajak dimulainya dan sampai dengan 5 (lima) Tahun Pajak sejak
berakhirnya jangka waktu pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan.
(2) Dikecualikan dari larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dalam hal Wajib Pajak:
a. melakukan pemindahtanganan aset dan menggantinya dengan aset lain yang lebih produktif;
b. melakukan pengalihan kepemilikan kepada Wajib Pajak yang telah mendapatkan surat
keterangan fiskal;
c. melakukan pengalihan kepemilikan melalui mekanisme listing di bursa saham (go public).

Pasal 10

(1) Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dicabut, dalam
hal Wajib Pajak:
a. pada saat mulai berproduksi secara komersial, nilai realisasi penanaman modal kurang dari
rencana penanaman modal;
b. tidak menempatkan dana di perbankan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (7) huruf b dan/atau dana tersebut ditarik sebelum saat dimulainya pelaksanaan realisasi
penanaman modal;
c. tidak memenuhi ketentuan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
dan ketentuan mengenai pemenuhan permintaan Direktur Jenderal Pajak untuk memberikan
data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3);
d. melakukan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9;
e. tidak mengajukan permohonan Advance Pricing Agreement untuk Wajib Pajak yang
berorientasi ekspor yang melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan
istimewa sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai
tata cara pembentukan dan pelaksanaan kesepakatan harga transfer (Advance Pricing
Agreement); dan/atau
f. berdasarkan hasil pemeriksaan, menyalahgunakan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan
badan dalam rangka penghindaran atau pengelakan pajak, antara lain melakukan praktik
transfer pricing yang tidak sesuai dengan norma kewajaran.
(2) Pencabutan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri Keuangan:
a. setelah mendapat rekomendasi dari komite verifikasi pemberian fasilitas pengurangan Pajak
Penghasilan badan; atau
b. berdasarkan usulan dari Direktur Jenderal Pajak kepada komite verifikasi pemberian fasilitas
pengurangan Pajak Penghasilan badan.
(3) Terhadap Wajib Pajak yang dicabut fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan Badan berdasarkan
Peraturan Menteri ini, dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan, dan tidak dapat lagi diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan.

Pasal 11

(1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang mendapatkan fasilitas pengurangan
Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. harus diselenggarakan pembukuan secara terpisah dari pembukuan atas penghasilan lainnya
yang tidak mendapatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan; dan
b. tidak dilakukan pemotongan dan pemungutan pajak selama periode pemberian fasilitas
pengurangan Pajak Penghasilan badan sesuai jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (2) atau Pasal 3 ayat (4).
(2) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari luar kegiatan utama usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), tetap dilakukan pemotongan dan pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3) Penghasilan lainnya yang tidak mendapatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan adalah:
a. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta (capital gain) selain dari produk
yang dihasilkan Wajib Pajak dari kegiatan utama usaha sebagaimana tercantum dalam izin
prinsip dan/atau izin usaha Wajib Pajak;
b. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran
tambahan pengembalian pajak;
c. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
d. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 719

kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;


e. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
f. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
g. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah;
h. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
i. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
j. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
ketentuan umum dan tata cara perpajakan;
(4) Biaya bersama yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka penghitungan besarnya Penghasilan Kena
Pajak yang timbul dari:
a. penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang mendapatkan fasilitas pengurangan
Pajak Penghasilan badan; dan
b. penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang tidak mendapatkan fasilitas
pengurangan Pajak Penghasilan badan,
pembebanannya dialokasikan secara proporsional.
(5) Wajib Pajak yang mendapatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, tetap melaksanakan kewajiban pemotongan dan pemungutan pajak kepada pihak lain
sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pasal 12

(1) Wajib Pajak badan yang telah mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 31A
Undang-Undang Pajak Penghasilan, tidak dapat diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan
berdasarkan Peraturan Menteri ini.
(2) Wajib Pajak badan yang telah mendapatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan berdasarkan
Peraturan Menteri ini, tidak dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 31A
Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 13

Usulan untuk memberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan berdasarkan Peraturan Menteri ini,
harus diajukan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5, dalam jangka waktu selama 3 (tiga) tahun terhitung sejak berlakunya Peraturan Menteri ini.

Pasal 14

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:


1. Usulan pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan dari Menteri
Perindustrian atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal kepada Menteri Keuangan sejak tanggal
15 Agustus 2011 sampai dengan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, yang belum diterbitkan
Keputusan Menteri Keuangan mengenai pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak
Penghasilan badan atau disampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai penolakan, dilakukan
pemrosesan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.011/2011 sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.011/2014.
2. Wajib Pajak badan yang telah mendapatkan dan/atau memanfaatkan fasilitas pembebasan atau
pengurangan Pajak Penghasilan badan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
130/PMK.011/2011 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
192/PMK.011/2014, tetap dapat memanfaatkan fasilitas dimaksud sampai dengan berakhirnya jangka
waktu pemanfaatan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan dimaksud.

Pasal 15

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.011/2011 tentang
Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.011/2014, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 16

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 16 Agustus 2015.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

www.ortax.org
720 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 14 Agustus 2015
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

BAMBANG P. S. BRODJONEGORO

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 18 Agustus 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

YASONNA H. LAOLY

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 1218

Status :
Peraturan Menteri Keuangan - 159/PMK.010/2015 Telah mengalami perubahan atau
penyempurnaan oleh Peraturan Menteri Keuangan - 103/PMK.010/2016 , Tanggal 27 Jun
2016

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15851

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
103/PMK.010/2016 Edisi PPh Badan | Maret 2017 721

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 103/PMK.010/2016

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR


159/PMK.010/2015 TENTANG PEMBERIAN FASILITAS
PENGURANGAN PAJAK PENGHASILAN BADAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa ketentuan mengenai pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan Badan, telah diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 159/PMK.010/2015;
b. bahwa dalam rangka meningkatkan kelancaran pelaksanaan pemberian fasilitas pengurangan Pajak
Penghasilan badan, perlu mengubah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 159/PMK.010/2015
sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, serta untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 30 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan
Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
159/PMK.010/2015 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan;

Mengingat :

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 159/PMK.010/2015 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak
Penghasilan Badan;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
159/PMK.010/2015 TENTANG PEMBERIAN FASILITAS PENGURANGAN PAJAK PENGHASILAN BADAN.

Pasal I

Ketentuan Pasal 4 ayat (4) diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4

(1) Wajib Pajak yang dapat diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 adalah Wajib Pajak badan yang memenuhi kriteria:
a. merupakan Wajib Pajak baru;
b. merupakan Industri Pionir;
c. mempunyai rencana penanaman modal baru yang telah mendapatkan pengesahan dari instansi
yang berwenang, paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah);
d. memenuhi ketentuan besaran perbandingan antara utang dan modal sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai penentuan besarnya perbandingan
antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan Pajak Penghasilan;
e. menyampaikan surat pernyataan kesanggupan untuk menempatkan dana di perbankan di
Indonesia paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari total rencana penanaman modal
sebagaimana dimaksud pada huruf c, dan dana tersebut tidak ditarik sebelum saat dimulainya
pelaksanaan realisasi penanaman modal; dan
f. harus berstatus sebagai badan hukum Indonesia yang pengesahannya ditetapkan sejak atau
setelah tanggal 15 Agustus 2011.
(2) Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimiliki langsung oleh Wajib Pajak dalam
negeri dan/atau Wajib Pajak luar negeri berupa bentuk usaha tetap, selain memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak dalam negeri dan/atau Wajib Pajak luar negeri
berupa bentuk usaha tetap tersebut harus memiliki surat keterangan fiskal yang diterbitkan oleh
Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai tata cara pemberian surat
keterangan fiskal.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal Wajib Pajak badan:
a. dimiliki langsung oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;

www.ortax.org
722 Edisi PPh Badan | Maret 2017

b. kepemilikannya terdiri atas saham-saham yang terdaftar pada bursa efek di Indonesia.
(4) Industri Pionir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mencakup:
a. Industri logam hulu;
b. Industri pengilangan minyak bumi atau industri dan infrastruktur pengilangan minyak bumi,
termasuk yang menggunakan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU);
c. Industri kimia dasar organik yang bersumber dari minyak bumi dan gas alam;
d. Industri permesinan yang menghasilkan mesin industri;
e. Industri pengolahan berbasis hasil pertanian, kehutanan, dan perikanan;
f. Industri telekomunikasi, informasi dan komunikasi;
g. Industri transportasi kelautan; dan/atau
h. dihapus;
i. Infrastruktur ekonomi yang menggunakan skema selain Kerjasama Pemerintah dan Badan
Usaha (KPBU).
(5) Batasan nilai rencana penanaman modal baru yang telah mendapatkan pengesahan dari instansi yang
berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dapat diturunkan menjadi paling sedikit
sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) untuk Industri Pionir sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) huruf f, dan memenuhi persyaratan memperkenalkan teknologi tinggi (high tech).
(6) Besaran pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) diberikan
paling banyak sebesar 50% (lima puluh persen) untuk Industri Pionir sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) dengan nilai rencana penanaman modal baru kurang dari Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun
rupiah) dan paling sedikit sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah).
(7) Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat
dimanfaatkan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sepanjang memenuhi
persyaratan:
a. telah berproduksi secara komersial;
b. pada saat mulai berproduksi secara komersial, Wajib Pajak telah merealisasikan nilai
penanaman modal paling sedikit sebesar rencana penanaman modalnya; dan
c. bidang usaha penanaman modal sesuai dengan rencana bidang usaha penanaman modal dan
termasuk dalam cakupan Industri Pionir sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(8) Direktur Jenderal Pajak menetapkan Wajib Pajak yang dapat memanfaatkan fasilitas pengurangan Pajak
Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dan penetapan dimaksud paling sedikit berisi
mengenai:
a. Tanggal saat mulai berproduksi secara komersial sebagai dasar penetapan Tahun Pajak
dimulainya pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan;
b. Penetapan jumlah realisasi penanaman modal pada saat mulai berproduksi secara komersial;
dan
c. Kesesuaian bidang usaha penanaman modal dengan rencana bidang usaha penanaman modal
dan masuk dalam cakupan Industri Pionir.
(9) Tata cara penetapan pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana
dimaksud pada ayat (8) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
(10) Saat mulai berproduksi secara komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (7) adalah saat pertama
kali hasil produksi dijual ke pasaran dan/atau digunakan sendiri untuk proses produksi lebih lanjut dari
kegiatan utama usaha yang mendapatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan.

Pasal II

Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini:


1. Terhadap usulan pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan yang
diajukan oleh Menteri Perindustrian atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal kepada Menteri
Keuangan sejak berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.011/2011 sampai dengan
sebelum berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 159/PMK.010/2015 yang belum diterbitkan
Keputusan Menteri Keuangan mengenai pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak
Penghasilan badan atau disampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai penolakan, sampai
dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, pemrosesannya dikecualikan dari ketentuan Pasal 5 ayat (5)
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.011/2011 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.011/2014.
2. Pemrosesan atas usulan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan penerbitan keputusan pemberian
fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan oleh Menteri Keuangan didasarkan
pada pertimbangan dan rekomendasi dari komite verifikasi pemberian fasilitas pembebasan atau
pengurangan Pajak Penghasilan badan.

Pasal III

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 723

dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 27 Juni 2016
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

BAMBANG P.S. BRODJONEGORO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Juni 2016
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 967

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=16071

www.ortax.org
Peraturan Menteri Perindustrian RI :
724 Edisi PPh Badan | Maret 2017 48/M-IND/PER/5/2015

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 48/M-IND/PER/5/2015

TENTANG

KRITERIA DAN/ATAU PERSYARATAN DALAM IMPLEMENTASI PEMANFAATAN


FASILITAS PAJAK PENGHASILAN UNTUK PENANAMAN MODAL
DI BIDANG-BIDANG USAHA TERTENTU DAN/ATAU DI DAERAH TERTENTU
PADA SEKTOR INDUSTRI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015 tentang
Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di
Daerah-Daerah Tertentu, Menteri Perindustrian diberikan kewenangan untuk menetapkan kriteria
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I dan
Lampiran II Peraturan Pemerintah dimaksud;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Perindustrian tentang Kriteria dan/atau Persyaratan Dalam Implementasi Fasilitas Pajak
Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah Tertentu pada
Sektor Industri;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724);
2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5492);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman
Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5688);
4. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara;
5. Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2015 tentang Kementerian Perindustrian;
6. Keputusan Presiden Nomor 121/P Tahun 2014 tentang Pembentukan Kementerian dan Pengangkatan
Menteri Kabinet Kerja Periode Tahun 2014-2019;
7. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 105/M-IND/PER/10/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Perindustrian;
8. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 64/M-IND/PER/07/2011 tentang Jenis-Jenis Industri Dalam
Pembinaan Direktorat Jenderal dan Badan di Lingkungan Kementerian Perindustrian;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KRITERIA DAN/ATAU PERSYARATAN DALAM IMPLEMENTASI PEMANFAATAN FASILITAS PAJAK PENGHASILAN


UNTUK PENANAMAN MODAL DI BIDANG-BIDANG USAHA TERTENTU DAN/ATAU DI DAERAH TERTENTU PADA
SEKTOR INDUSTRI.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:


1. Industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang mengolah bahan baku dan/atau memanfaatkan
sumber daya industri sehingga menghasilkan barang yang mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih
tinggi, termasuk jasa industri.
2. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut
pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
3. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 725

BAB II
KRITERIA DAN PERSYARATAN

Bagian Kesatu
Kriteria Industri

Pasal 2

(1) Wajib Pajak pada sektor Industri yang dapat diberikan Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman
Modal di Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu apabila memenuhi kriteria:
a. Memiliki nilai investasi tinggi;
b. Memiliki penyerapan tenaga kerja tinggi;atau
c. Memiliki kandungan lokal bahan baku, bahan penolong, atau mesin sama dengan atau lebih dari
20% (dua puluh perseratus).
(2) Kriteria memiliki investasi tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan kriteria memiliki
penyerapan tenaga kerja tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tercantum dalam
Lampiran I dan Lampiran II Peraturan Menteri ini.
(3) Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c dibuktikan dengan surat
keterangan dari Kementerian Perindustrian.
(4) Surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat:
a. Pemenuhan kriteria;dan
b. Kesesuaian bidang usaha dan cakupan produk.
(5) Surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dilengkapi oleh Wajib Pajak pada saat
mengajukan permohonan Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha
Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu.

Bagian Kedua
Persyaratan Industri

Pasal 3

(1) Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat diberikan Fasilitas Pajak Penghasilan apabila
memenuhi persyaratan sebagaiamana tercantum dalam Lampiran I dan Lampiran II Peraturan
Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015, yang meliputi:
a. Bermitra dengan UMKM/Koperasi;
b. Terintegrasi;
c. Melakukan alih teknologi;
d. Menggunakan teknologi ramah lingkungan; dan/atau
e. Menggunakan teknologi baru.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi industri yang tidak terdapat
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I dan Lampiran II Peraturan Pemerintah
Nomor 18 Tahun 2015.

Pasal 4

Bermitra dengan UMKM/koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dilakukan melalui
kerjasama pasokan bahan baku dan/atau bahan penolong yang dibuktikan dengan kontrak tertulis.

Pasal 5

(1) Industri yang terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b, meliputi:
a. Industri yang terintegrasi secara proses produksi dari pengolahan bahan baku sampai dengan
produk hilir;
b. Industri yang terintegrasi/kemitraan dengan usaha budidaya/pemasok bahan baku; dan/atau
c. Industri yang terintegrasi dengan komponennya.
(2) Industri yang terintegrasi secara proses produksi dari pengolahan bahan baku sampai dengan produk
hilir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
a. Industri yang memiliki fasilitas pengolahan awal bahan baku utama milik sendiri;
b. Industri yang tersambung secara rantai nilai dari hulu ke hilir;
c. Industri yang berada dalam satu hamparan atau kawasan industri (tidak terpisah-pisah);
dan/atau
d. Industri yang menggunakan bahan baku utama dari rantai nilai awal atau produk hulu.
(3) Industri yang terintegrasi/kemitraan dengan usaha budidaya/pemasok bahan baku sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a. Industri yang terhubung dengan usaha budidaya atau pemasok bahan baku yang berada dalam

www.ortax.org
726 Edisi PPh Badan | Maret 2017

satu batasan atau antar wilayah provinsi; dan


b. Industri yang melakukan kerjasama atau kemitraan pasokan bahan baku yang dibuktikan
dengan perjanjian tertulis.
(4) Industri yang terintegrasi dengan komponennya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi:
a. Industri yang dalam proses produksinya menggunakan paling sedikit dua subkomponen pada
tier satu hasil produksi dalam negeri yang dibuktikan dengan surat rekomendasi dari
Kementerian Perindustrian; dan
b. Industri yang melakukan kerjasama pasokan komponen yang dibuktikan dengan perjanjian
tertulis.
(5) Industri yang terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak harus berbadan hukum yang sama.

Pasal 6

Melakukan alih teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c, meliputi:
a. Pengalihan kemampuan dengan memanfaatkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi industri
berasal dari luar negeri ke dalam negeri;
b. Peningkatan kompetensi SDM dalam negeri di bidang teknologi industri melalui pelatihan yang terjadwal;
dan/atau;
c. Peningkatan kompetensi SDM dibuktikan dengan jumlah dan jenis sertifikasi SDM serta berkurangnya
jumlah tenaga kerja asing yang tergantikan oleh tenaga kerja lokal, apabila ada.

Pasal 7

Menggunakan teknologi ramah lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d, yaitu
menggunakan teknologi yang hemat dalam penggunaan bahan baku, bahan penolong, energi dan air, dalam
proses produksi dan meminimalkan limbah, termasuk optimalisasi diversifikasi energi yang dibuktikan dengan
surat rekomendasi dari Kementerian Perindustrian.

Pasal 8

Menggunakan teknologi baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf e, yaitu:
a. Menggunakan teknologi proses produksi yang belum pernah diterapkan di Indonesia yang dibuktikan
dengan keterangan tertulis dari penyedia teknologi; atau
b. Menggunakan teknologi hasil penyempurnaan atau pengembangan dari teknologi proses produksi yang
sudah ada namun belum pernah diterapkan di Indonesia dengan bukti surat rekomendasi dari
Kementerian Perindustrian.

Pasal 9

Surat rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) huruf a, Pasal 7, dan Pasal 8 huruf b harus
dilengkapi oleh Wajib Pajak pada saat mengajukan permohonan Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman
Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu.

BAB III
MEKANISME PENERBITAN SURAT KETERANGAN
DAN SURAT REKOMENDASI

Pasal 10

(1) Untuk mendapatkan surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) Wajib Pajak
mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal pembina industri.
(2) Paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan dari Wajib Pajak, Direktur Jenderal
Pembina Industri menerbitkan surat keterangan/surat penolakan.

Pasal 11

(1) Untuk mendapatkan surat rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) huruf a, Pasal 7,
dan Pasal 8 huruf b Wajib Pajak mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal pembina industri.
(2) Paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan dari Wajib Pajak, Direktur Jenderal
Pembina Industri menerbitkan surat rekomendasi/surat penolakan.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 727

Pasal 12

(1) Kriteria sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan Lampiran II hanya dipergunakan sebagai
indikator pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan.
(2) Keputusan pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan sepenuhnya ditentukan di dalam Rapat Trilateral.

Pasal 13

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Mei 2015
MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SALEH HUSIN

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Mei 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

YASONNA H. LAOLY

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 692

www.ortax.org
Peraturan Menteri Pariwisata RI :
728 Edisi PPh Badan | Maret 2017 Nomor 9 Tahun 2015

PERATURAN MENTERI PARIWISATA REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 9 TAHUN 2015

TENTANG

KRITERIA DAN/ATAU PERSYARATAN PEMANFAATAN FASILITAS


PAJAK PENGHASILAN UNTUK PENANAMAN MODAL
DI BIDANG USAHA KAWASAN PARIWISATA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI PARIWISATA REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa dalam rangka melaksanakan Ketentuan Pasal 9 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015
tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau
di Daerah-Daerah Tertentu, perlu menetapkan Peraturan Menteri Pariwisata tentang Kriteria dan/atau
Persyaratan Pemanfaatan Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal di Bidang Usaha Kawasan
Pariwisata;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724);
3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman
Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5688);
5. Keputusan Presiden Nomor 121/P Tahun 2014 tentang Pembentukan Kementerian dan Pembentukan
Kabinet Kerja 2014-2019;
6. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 8);
7. Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2015 tentang Kementerian Pariwisata (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 20);
8. Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.88/HK.501/MKP/2010 tentang Tata Cara
Pendaftaran Usaha Kawasan Pariwisata (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 740);
9. Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 17 Tahun 2014 tentang Standar Usaha
Kawasan Pariwisata (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1028);
10. Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 6 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Pariwisata (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 545);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI PARIWISATA TENTANG KRITERIA DAN/ATAU PERSYARATAN PEMANFAATAN FASILITAS


PAJAK PENGHASILAN UNTUK PENANAMAN MODAL DI BIDANG USAHA KAWASAN PARIWISATA.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:


1. Penanaman Modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam
negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.
2. Penanaman Modal Dalam Negeri adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah
negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan
modal dalam negeri.
3. Penanaman Modal Asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara
Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 729

sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.


4. Usaha Kawasan Pariwisata adalah usaha pembangunan dan/atau pengelolaan kawasan untuk memenuhi
kebutuhan pariwisata.
5. Tanda Daftar Usaha Pariwisata adalah dokumen resmi yang membuktikan bahwa usaha pariwisata yang
dilakukan oleh Pengusaha telah tercantum di dalam Daftar Usaha Pariwisata.
6. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kepariwisataan.

Pasal 2

(1) Kepada wajib pajak badan dalam negeri yang melakukan penanaman modal, baik penanaman modal
baru maupun perluasan dari usaha yang telah ada, untuk bidang usaha kawasan pariwisata dapat
diberikan fasilitas pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Bidang usaha kawasan pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan fasilitas pajak
penghasilan sesuai dengan kriteria dan persyaratan.
(3) Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. luas lahan paling sedikit 100 Ha (seratus hektar);
b. nilai investasi lebih dari Rp. 50.000.000.000 (Lima puluh miliar rupiah); dan
c. mempekerjakan tenaga kerja lebih dari 100 (seratus) orang.
(4) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. Tanda Daftar Usaha Pariwisata Bidang Usaha Kawasan Pariwisata;
b. surat permohonan yang ditandatangani direksi;
c. rincian aktiva tetap;
d. sumber pembiayaan investasi perusahaan disertai dokumen-dokumen pendukungnya; dan
e. surat pengantar dari Badan Koordinasi Penanaman Modal tentang penyampaian dokumen
permohonan dan informasi mengenai izin prinsip penanaman modal wajib pajak pemohon.

Pasal 3

(1) Dalam rangka pemberian fasilitas pajak penghasilan untuk penanaman modal di bidang usaha kawasan
pariwisata, Kementerian Pariwisata melakukan verifikasi terhadap kriteria dan persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dan ayat (4).
(2) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pejabat yang ditunjuk oleh Kementerian
Pariwisata.
(3) Hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan melalui Surat Keterangan yang
ditandatangani oleh Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Industri Pariwisata atau pejabat yang
ditunjuk.
(4) Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan oleh Kementerian Pariwisata pada
rapat trilateral dalam rangka penetapan pemberian fasilitas pajak penghasilan di Badan Koordinasi
Penanaman Modal.
(5) Rapat trilateral sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(6) Bentuk dan format Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 4

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Mei 2015
MENTERI PARIWISATA REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

ARIEF YAHYA

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Mei 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

www.ortax.org
730 Edisi PPh Badan | Maret 2017

REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

YASONNA H. LAOLY

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 695

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15801

www.ortax.org
Peraturan Menteri ESDM RI :
Nomor 16 Tahun 2015 Edisi PPh Badan | Maret 2017 731

PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 16 TAHUN 2015

TENTANG

KRITERIA DAN/ATAU PERSYARATAN DALAM PEMANFAATAN FASILITAS


PAJAK PENGHASILAN UNTUK PENANAMAN MODAL DI BIDANG-BIDANG
USAHA TERTENTU DAN/ATAU DI DAERAH-DAERAH TERTENTU PADA
SEKTOR ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015
tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau
di Daerah-Daerah Tertentu, perlu mengatur lebih lanjut mengenai kriteria dan/atau persyaratan bagi
wajib pajak di sektor energi dan sumber daya mineral yang dapat diberikan fasilitas pajak penghasilan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Kriteria dan/atau Persyaratan Dalam Pemanfaatan
Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau
di Daerah-Daerah Tertentu Pada Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152);
3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724);
4. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4746);
5. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959);
6. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052);
7. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 217, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5585);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4436) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2009
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4996);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Perhitungan Penghasilan Kena Pajak dan
Pelunasan Pajak Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 161);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5281) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2014
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5530);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman
Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5688);
12. Keputusan Presiden Nomor 121/P Tahun 2014 tanggal 27 Oktober 2014;
13. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 18 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 552) sebagaimana telah dua kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral Nomor 30 Tahun 2014 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1725);

MEMUTUSKAN :

www.ortax.org
732 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL TENTANG KRITERIA DAN/ATAU PERSYARATAN
DALAM PEMANFAATAN FASILITAS PAJAK PENGHASILAN UNTUK PENANAMAN MODAL DI BIDANG-BIDANG USAHA
TERTENTU DAN/ATAU DI DAERAH-DAERAH TERTENTU PADA SEKTOR ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:


1. Penanaman Modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam
negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.
2. Bidang-Bidang Usaha Tertentu adalah bidang usaha di sektor kegiatan ekonomi yang mendapat prioritas
tinggi dalam skala nasional.
3. Daerah-Daerah Tertentu adalah daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang layak
dikembangkan.
4. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang melaksanakan tugas dan bertanggung jawab atas
perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang minyak dan gas bumi, mineral
dan batubara, ketenagalistrikan, atau energi baru, terbarukan dan konservasi energi, sesuai tugas dan
fungsinya masing-masing.
5. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di sektor energi dan sumber daya
mineral.

Pasal 2

Wajib Pajak badan dalam negeri di sektor energi dan sumber daya mineral yang melakukan Penanaman Modal,
baik Penanaman Modal baru maupun perluasan usaha yang telah ada, dapat diberikan fasilitas pajak penghasilan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 3

Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dapat diberikan fasilitas pajak penghasilan adalah Wajib
Pajak yang bidang usaha dan/atau daerahnya sebagaimana tercantum dalam Lampiran I atau Lampiran II yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini, dan sepanjang memenuhi kriteria sebagai
berikut:
a. memiliki nilai investasi tinggi atau untuk ekspor;
b. memiliki penyerapan tenaga kerja tinggi; atau
c. memiliki kandungan lokal yang tinggi.

Pasal 4

Untuk Wajib Pajak tertentu, selain telah memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus
memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I atau Lampiran II yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 5

Cakupan Produk untuk bidang usaha pengusahaan tenaga panas bumi sebagaimana tercantum pada Lampiran I
merupakan kesatuan kegiatan yang dilakukan oleh Pemegang Izin Panas Bumi.

Pasal 6

Pemberian fasilitas pajak penghasilan diperhitungkan sejak dimulainya penetapan produksi untuk masing-masing
bidang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang minyak dan gas bumi, mineral dan
batubara, ketenagalistrikan, atau energi baru, terbarukan dan konservasi energi.

Pasal 7

Untuk mendapatkan fasilitas pajak penghasilan, Wajib Pajak mengajukan permohonan fasilitas pajak kepada
Badan Koordinasi Penanaman Modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dengan tembusan
kepada Direktur Jenderal.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 733

Pasal 8

Direktur Jenderal memberikan surat keterangan mengenai kesesuaian atas kriteria dan persyaratan untuk
mendapatkan fasilitas pajak penghasilan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal sesuai dengan
kewenangannya.

Pasal 9

Dalam rangka kepentingan nasional dan nilai strategis dari kegiatan usaha tertentu di sektor energi dan sumber
daya mineral, atas kesepakatan trilateral meeting, Menteri dapat mengusulkan kepada Kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal untuk pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang Usaha
Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu.

Pasal 10

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Mei 2015
MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SUDIRMAN SAID

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Mei 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

YASONNA H. LAOLY

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 728

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15781

www.ortax.org
Peraturan Kepala Badan Koordinasi
734 Edisi PPh Badan | Maret 2017 Penanaman Modal :
Nomor 12 Tahun 2011
PERATURAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL
NOMOR 12 TAHUN 2011

TENTANG

PEDOMAN DAN TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN


FASILITAS PEMBEBASAN ATAU PENGURANGAN PAJAK
PENGHASILAN BADAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL,

Menimbang :

a. bahwa dalam rangka memperlancar proses pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak
Penghasilan Badan dalam rangka penanaman modal sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 130/PMK.011/2011 tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak
Penghasilan Badan, perlu diatur suatu pedoman dalam rangka melaksanakan peraturan dimaksud;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal tentang Pedoman dan Tata Cara Pengajuan Permohonan
Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4953);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263), sebagaiman telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1984 Nomor 22, Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 3274);
4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan
Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5183);
6. Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2007 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal;
7. Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 Tentang Kebijakan Industri Nasional;
8. Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman
Modal;
9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.011/2011 tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan atau
Pengurangan Pajak Penghasilan Badan;
10. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 90/SK/2007 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 1 Tahun 2011;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL TENTANG PEDOMAN DAN TATA CARA PENGAJUAN
PERMOHONAN FASILITAS PEMBEBASAN ATAU PENGURANGAN PAJAK PENGHASILAN BADAN.

Pasal 1

Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :


1. Industri Pionir adalah industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan
eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi
perekonomian nasional.
2. Perusahaan adalah perusahaan industri pionir yang berstatus sebagai badan hukum Indonesia yang telah
mendapatkan pengesahan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 735

3. Tax Sparing adalah pengakuan pemberian fasilitas pembebasan dan pengurangan dari Pemerintah
Indonesia dalam penghitungan Pajak Penghasilan di negara domisili sebesar fasilitas yang diberikan.
4. Surat persetujuan penanaman modal baru adalah berupa Izin Prinsip Penanaman Modal, yaitu izin untuk
memulai kegiatan penanaman modal di bidang usaha yang dapat memperoleh fasilitas fiskal dan dalam
pelaksanaan penanaman modalnya memerlukan fasilitas fiskal.
5. Badan Koordinasi Penanaman Modal, yang selanjutnya disingkat BKPM, adalah Lembaga Pemerintah Non
Kementerian yang bertanggungjawab di bidang penanaman modal, yang dipimpin oleh seorang Kepala
yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden.
6. Direktorat Jenderal Pembina Industri adalah Direktorat Jenderal Industri Agro, Direktorat Jenderal
Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi dan Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur yang
melaksanakan tugas dan tanggungjawab dalam pembinaan industri sesuai dengan kewenangannya.
7. Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri, yang selanjutnya disingkat BPKIMI, merupakan
unsur pendukung yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Menteri Perindustrian yang
mempunyai tugas melaksanakan penelitian dan pengkajian serta penyusunan rencana kebijakan makro
pengembangan industri jangka menengah dan panjang, kebijakan pengembangan klaster industri
prioritas serta iklim dan mutu industri.
8. Pelayanan Terpadu Satu Pintu, yang selanjutnya disingkat PTSP, adalah kegiatan pelaksanaan suatu
perizinan dan nonperizinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau
instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan, yang proses pengelolaannya dimulai
dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen, yang dilakukan dalam satu tempat.
9. Tim adalah kelompok kerja yang terdiri dari unsur BKPM, Direktorat Jenderal Pembina Industri, dan
BPKIMI yang melaksanakan kegiatan verifikasi dan pengkajian permohonan serta evaluasi efektivitas
kebijakan yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Kepala BKPM.

Pasal 2

(1) Industri Pionir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi :


a. industri logam dasar;
b. industri pengilangan minyak bumi dan/atau kimia dasar organik yang bersumber dari minyak
bumi dan gas alam;
c. industri permesinan;
d. industri bidang sumberdaya terbarukan ; dan
e. industri peralatan komunikasi.
(2) Selain Industri Pionir yang dicantumkan pada ayat (1), Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan
kepentingan mempertahankan daya saing industri nasional dan nilai strategis dari kegiatan usaha
tertentu dapat menetapkan Industri Pionir lainnya.
(3) Industri Pionir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dapat diberikan fasilitas pembebasan atau
pengurangan Pajak Penghasilan badan setelah dilakukan verifikasi dan kajian.
(4) Verifikasi dan kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Tim.

Pasal 3

(1) Perusahaan mengajukan permohonan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan
kepada Kepala BKPM melalui PTSP BKPM dengan tembusan kepada Deputi Bidang Pelayanan Penanaman
Modal.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilengkapi dengan :
a. Fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak;
b. Surat persetujuan penanaman modal baru yang diterbitkan oleh Kepala BKPM;
c. Surat Pernyataan Kesanggupan untuk menempatkan dana paling sedikit 10% (sepuluh persen)
dari total rencana penanaman modal di perbankan di Indonesia apabila permohonan disetujui
oleh Menteri Keuangan;
d. Dokumen pengesahan badan hukum perusahaan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia;
e. Surat Pernyataan adanya ketentuan mengenai tax sparing di negara domisili, yang dilengkapi
dengan dokumen peraturannya;
f. Formulir permohonan yang telah diisi oleh pemohon sebagaimana tercantum Lampiran I
Peraturan ini.

Pasal 4

(1) Kepala BKPM menugaskan Deputi Bidang Pelayanan Penanaman Modal untuk melakukan verifikasi dan
pengkajian atas permohonan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), sebagai bahan rekomendasi kepada Kepala BKPM.
(2) Dalam hal Kepala BKPM berhalangan selama 2 (dua) hari kerja, Deputi Bidang Pelayanan Penanaman
Modal berinisiatif melakukan verifikasi dan kajian.

www.ortax.org
736 Edisi PPh Badan | Maret 2017

(3) Dalam rangka verifikasi dan pengkajian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Deputi Bidang Pelayanan
Penanaman Modal menugaskan kepada Tim untuk melakukan verifikasi dan kajian.
(4) Tim berkoordinasi dengan instansi terkait lainnya, melakukan verifikasi kelengkapan dan pengkajian
atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Pasal 5

Perusahaan yang telah mengajukan permohonan diwajibkan untuk melakukan presentasi kepada Tim secara
lengkap dan jelas tentang kelengkapan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan
melengkapi dokumen/data penunjang beserta kelengkapan yang masih diperlukan, selambat-lambatnya 9
(sembilan) hari kerja setelah permohonan diterima di PTSP BKPM.

Pasal 6

(1) Tim berkoordinasi dengan instansi terkait lainnya, melakukan pengkajian atas presentasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5.
(2) Dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja Tim menyusun uraian penelitian dan menyampaikan
hasil verifikasi dan pengkajian kepada Deputi Bidang Pelayanan Penanaman Modal.
(3) Berdasarkan hasil verifikasi dan kajian oleh Tim, Deputi Bidang Pelayanan Penanaman Modal
merekomendasikan kelayakan permohonan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan
badan kepada Kepala BKPM.

Pasal 7

(1) Atas dasar hasil verifikasi dan kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3), Kepala BKPM
menugaskan Deputi Bidang Pelayanan Penanaman Modal untuk menyiapkan usulan yang disertai dengan
uraian penelitian kepada Menteri Keuangan selambat-lambatnya 2 (dua) hari kerja.
(2) Dalam hal usulan permohonan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan ditolak,
Kepala BKPM menugaskan Deputi Bidang Pelayanan Penanaman Modal untuk menyiapkan pemberitahuan
secara tertulis mengenai penolakan tersebut kepada pemohon selambat-lambatnya dalam 2 (dua) hari
kerja.

Pasal 8

Alur pengajuan permohonan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan adalah
sebagaimana tercantum pada Lampiran II Peraturan ini.

Pasal 9

(1) Dalam rangka mengukur efektifitas kebijakan pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak
Penghasilan badan, perlu dilakukan evaluasi atas pemanfaatan fasilitas pembebasan atau pengurangan
Pajak Penghasilan badan yang pelaksanaannya dilakukan oleh Tim.
(2) Dalam rangka untuk mendukung kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap perusahaan
yang telah memperoleh keputusan Menteri Keuangan mengenai pemberian fasilitas pembebasan atau
pengurangan Pajak Penghasilan badan wajib menyampaikan laporan kepada Kepala BKPM secara
berkala setiap 6 (enam) bulan yang meliputi hal-hal sebagai berikut :
a. realisasi produksi komersial;
b. pemanfaatan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan;
c. realisasi penggunaan tenaga kerja; dan
d. realisasi penggunaan dan alih teknologi.
(3) Tim melaporkan hasil evaluasi kepada Kepala BKPM sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam setahun.

Pasal 10

Peraturan Kepala ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 737

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 November 2011
KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL
REPUBLIK INDONESIA,

ttd,

GITA IRAWAN WIRAJAWAN

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 Desember 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd,

AMIR SYAMSUDDIN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 770

www.ortax.org
Peraturan Direktur Jenderal Pajak :
738 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PER - 67/PJ./2007

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 67/PJ./2007

TENTANG

TATA CARA PEMBERIAN FASILITAS PAJAK PENGHASILAN UNTUK PENANAMAN MODAL


DI BIDANG-BIDANG USAHA TERTENTU DAN/ATAU DI DAERAH-DAERAH TERTENTU

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa dengan telah ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2007 tentang Pemberian
Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-
Daerah Tertentu, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Pemberian Fasilitas
Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah
Tertentu;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3984);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3985);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman
Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4675);
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2007 tentang Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan
untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PEMBERIAN FASILITAS PAJAK PENGHASILAN
UNTUK PENANAMAN MODAL DI BIDANG-BIDANG USAHA TERTENTU DAN/ATAU DI DAERAH-DAERAH TERTENTU.

Pasal 1

Kepada Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbatas atau koperasi, baik yang baru
berdiri maupun yang telah ada, yang melakukan penanaman modal baik untuk penanaman modal baru
maupun perluasan dari usaha yang telah ada pada bidang-bidang usaha tertentu atau bidang-bidang usaha
tertentu dan daerah-daerah tertentu, dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana ditetapkan
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007.

Pasal 2

(1) Usulan dalam rangka pemberian fasilitas Pajak Penghasilan yang diterima Direktur Jenderal Pajak dari
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal diteliti dan dievaluasi oleh Direktur Peraturan Perpajakan
II, sesuai persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 1
Tahun 2007 dan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2007.
(2) Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan tentang Persetujuan atau Penolakan
Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari
kerja terhitung sejak diterimanya usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara lengkap dan
benar.
(3) Apabila Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Persetujuan atau Penolakan Pemberian Fasilitas
Pajak Penghasilan belum diterbitkan setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
maka permohonan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sesuai dengan usulan Kepala Badan
Koordinasi Penanaman Modal dianggap disetujui.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 739

(4) Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan tentang Persetujuan atau Penolakan
Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (3)
menggunakan formulir sesuai dengan Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 3

(1) Bagi Wajib Pajak yang telah mendapat Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri keuangan
tentang Persetujuan Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan maka dalam rangka pelaksanaan pemberian
fasilitas Pajak Penghasilan berupa pengurangan penghasilan neto, Wajib Pajak wajib mengajukan
permohonan untuk Penetapan Saat Dimulainya Produksi Komersial kepada Direktur Jenderal Pajak
melalui Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dengan menggunakan formulir sesuai dengan Lampiran II
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Penetapan Saat Dimulainya Produksi Komersial diterbitkan
dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima.
(3) Apabila Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Penetapan Saat Dimulainya Produksi Komersial
belum diterbitkan setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka saat
dimulainya produksi komersial sebagaimana tercantum dalam permohonan Wajib Pajak dianggap
disetujui.
(4) Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Penetapan Saat Dimulainya Produksi Komersial
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (3) menggunakan formulir sesuai dengan Lampiran III
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 4

(1) Bagi Wajib Pajak yang telah mendapat Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan
tentang Persetujuan Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan maka dalam rangka pelaksanaan pemberian
fasilitas Pajak Penghasilan berupa penambahan jangka waktu kompensasi kerugian, Wajib Pajak wajib
mengajukan permohonan untuk Penetapan Penambahan Jangka Waktu Kompensasi Kerugian kepada
Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dengan menggunakan formulir
sesuai dengan Lampiran IV Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Penetapan Penambahan Jangka Waktu Kompensasi Kerugian
diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak permohonan
diterima.
(3) Apabila Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Penetapan Penambahan Jangka Waktu kompensasi
Kerugian belum diterbitkan setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka
penambahan jangka waktu kompensasi kerugian sebagaimana tercantum dalam permohonan Wajib
Pajak dianggap disetujui.
(4) Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Penetapan Penambahan Jangka Waktu Kompensasi
Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (3) menggunakan formulir sesuai dengan
Lampiran V Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 5

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut
terhitung sejak tanggal 1 Januari 2007.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 April 2007
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

DARMIN NASUTION
NIP 130605098

www.ortax.org
740 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Status :
Peraturan Dirjen Pajak - PER - 67/PJ./2007 Telah mengalami perubahan atau penyempurnaan
oleh Peraturan Dirjen Pajak - PER - 41/PJ/2013, Tanggal 27 Nop 2013

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=12568

www.ortax.org
Peraturan Direktur Jenderal Pajak :
PER - 44/PJ/2011 Edisi PPh Badan | Maret 2017 741

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 44/PJ/2011

TENTANG

TATA CARA PELAPORAN PENGGUNAAN DANA DAN REALISASI PENANAMAN


MODAL BAGI WAJIB PAJAK BADAN YANG MENDAPATKAN FASILITAS
PEMBEBASAN ATAU PENGURANGAN PAJAK PENGHASILAN BADAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.011/2011
tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan, perlu menetapkan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Pelaporan Penggunaan Dana dan Realisasi Penanaman
Modal bagi Wajib Pajak Badan yang Mendapatkan Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan
Badan;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan
Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5183);
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.011/2011 tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan atau
Pengurangan Pajak Penghasilan Badan;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PELAPORAN PENGGUNAAN DANA DAN
REALISASI PENANAMAN MODAL BAGI WAJIB PAJAK BADAN YANG MENDAPATKAN FASILITAS PEMBEBASAN
ATAU PENGURANGAN PAJAK PENGHASILAN BADAN.

Pasal 1

Wajib Pajak yang telah memperoleh Keputusan Menteri Keuangan mengenai pemberian fasilitas pembebasan
atau pengurangan Pajak Penghasilan badan harus menyampaikan laporan secara berkala kepada Direktur
Jenderal Pajak dan komite verifikasi pemberian pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan
mengenai hal-hal sebagai berikut:
a. laporan penggunaan dana yang ditempatkan di perbankan di Indonesia paling sedikit 10% (sepuluh
persen) dari total rencana penanaman modal baru yang telah mendapatkan pengesahan dari instansi
yang berwenang; dan
b. laporan realisasi penanaman modal yang telah diaudit.

Pasal 2

(1) Laporan penggunaan dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a harus disampaikan secara
triwulanan sejak triwulan saat dana tersebut mulai digunakan sampai dengan triwulan dana digunakan
seluruhnya.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan fotokopi rekening koran atas dana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan menggunakan format sebagaimana

www.ortax.org
742 Edisi PPh Badan | Maret 2017

ditetapkan dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini.

Pasal 3

(1) Laporan realisasi penanaman modal yang telah diaudit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b
harus disampaikan secara tahunan sejak Tahun Pajak saat penanaman modal mulai direalisasikan
sampai dengan Tahun Pajak penanaman modal direalisasikan seluruhnya.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan surat pernyataan akuntan publik yang
menyatakan bahwa laporan realisasi penanaman modal telah diaudit dan sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan menggunakan format sebagaimana
ditetapkan dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini.

Pasal 4

(1) Selain menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Wajib Pajak juga harus
menyampaikan laporan realisasi penanaman modal yang tidak wajib diaudit secara triwulanan.
(2) Laporan triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan sejak triwulan saat penanaman
modal mulai direalisasikan sampai dengan triwulan penanaman modal direalisasikan seluruhnya.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan menggunakan format sebagaimana
ditetapkan dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini.

Pasal 5

(1) Laporan penggunaan dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan laporan realisasi
penanaman modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) disampaikan kepada Direktur
Jenderal Pajak melalui Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dan komite verifikasi pemberian
pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan paling lama tanggal 5 (lima) bulan berikutnya
setelah berakhirnya periode triwulanan bersangkutan.
(2) Laporan realisasi penanaman modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) disampaikan
kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dan komite verifikasi
pemberian pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan paling lama 4 (empat) bulan
setelah akhir Tahun Pajak.
(3) Dalam hal penanaman modal direalisasikan seluruhnya pada bagian tahun berjalan maka laporan
realisasi penanaman modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) disampaikan kepada
Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dan komite verifikasi pemberian
pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan paling lama 4 (empat) bulan setelah bulan
penanaman modal direalisasikan seluruhnya.
(4) Dalam hal batas akhir pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional atau hari cuti bersama yang
ditetapkan oleh pemerintah, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

Pasal 6

(1) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dilakukan dengan cara:
a. disampaikan langsung dan kepada pengurus/kuasa Wajib Pajak diberikan tanda bukti
penerimaan; atau
b. dikirimkan melalui pos atau jasa ekspedisi dengan tanda bukti pengiriman surat
(2) Tanggal dan tanda bukti pengiriman surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dianggap
sebagai tanggal dan tanda bukti penerimaan sepanjang laporan tersebut telah lengkap.

Pasal 7

Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5,
Direktur Jenderal Pajak dapat mengusulkan kepada komite verifikasi pemberian pembebasan atau pengurangan
Pajak Penghasilan badan guna menyampaikan rekomendasi kepada Menteri Keuangan untuk melakukan
pencabutan fasititas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana diatur dalam Pasal 7
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.011/2011 tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan atau
Pengurangan Pajak Penghasilan Badan.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 743

Pasal 8

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2011
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=14891

www.ortax.org
Peraturan Direktur Jenderal Pajak :
744 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PER - 45/PJ/2011

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 45/PJ/2011

TENTANG

TATA CARA PENETAPAN SAAT DIMULAINYA BERPRODUKSI SECARA


KOMERSIAL BAGI WAJIB PAJAK BADAN YANG MENDAPATKAN FASILITAS
PEMBEBASAN ATAU PENGURANGAN PAJAK PENGHASILAN BADAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 3 ayat (5) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.011/2011
tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan, perlu menetapkan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Penetapan Saat Dimulainya Berproduksi Secara Komersial
bagi Wajib Pajak Badan yang Mendapatkan Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan
Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5183);
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.011/2011 tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan atau
Pengurangan Pajak Penghasilan Badan;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PENETAPAN SAAT DIMULAINYA BERPRODUKSI
SECARA KOMERSIAL BAGI WAJIB PAJAK BADAN YANG MENDAPATKAN FASILITAS PEMBEBASAN ATAU
PENGURANGAN PAJAK PENGHASILAN BADAN.

Pasal 1

Wajib Pajak yang telah memperoleh Keputusan Menteri Keuangan mengenai pemberian fasilitas pembebasan
atau pengurangan Pajak Penghasilan badan dapat memanfaatkan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak
Penghasilan badan sepanjang memenuhi persyaratan:
a. telah merealisasikan seluruh rencana penanaman modal; dan
b. telah berproduksi secara komersial.

Pasal 2

Saat dimulainya berproduksi secara komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b didasarkan pada:
a. saat seluruh penanaman modal direalisasikan; dan
b. saat penjualan hasil produksi ke pasaran dilakukan.

Pasal 3

(1) Saat dimulainya berproduksi secara komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditetapkan dengan
keputusan Direktur Jenderal Pajak.
(2) Keputusan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan hasil

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 745

pemeriksaan lapangan untuk tujuan lain atas permohonan tertulis Wajib Pajak.
(3) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak
melalui Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dengan menggunakan format sebagaimana ditetapkan
dalam Lampiran 1 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(4) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampiri dengan:
a. Fotokopi akta pendirian;
b. Fotokopi keputusan Menteri Keuangan mengenai pemberian fasilitas pembebasan atau
pengurangan Pajak Penghasilan badan;
c. Laporan Keuangan 3 (tiga) tahun terakhir yang telah diaudit;
d. Surat kuasa khusus dalam hal permohonan disampaikan oleh kuasa Wajib Pajak; dan
e. Dokumen-dokumen yang berkaitan dengan transaksi penjualan hasil produksi sekurang-
kurangnya terdiri dari faktur penjualan. faktur pajak, dan bukti pengiriman barang.

Pasal 4

(1) Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Direktur Jenderal Pajak
menerbitkan keputusan tentang penetapan saat dimulainya berproduksi secara komersial dalam jangka
waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak saat Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak disampaikan
kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, atau pegawai dari Wajib Pajak.
(2) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan Direktur Jenderal
Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan keputusan
Direktur Jenderal Pajak tentang penetapan saat dimulainya berproduksi secara komersial diterbitkan
paling lama 5 (lima) hari kerja setelah jangka waktu tersebut berakhir.
(3) Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang penetapan saat dimulainya berproduksi secara komersial
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) menggunakan format sebagaimana ditetapkan
dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 5

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2011
DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd

A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=14890

www.ortax.org
Peraturan Direktur Jenderal Pajak :
746 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PER - 30/PJ/2013

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 30/PJ/2013

TENTANG

TATA CARA PELAKSANAAN PENGURANGAN BESARNYA PAJAK PENGHASILAN


PASAL 25 DAN PENUNDAAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 29
TAHUN 2013 BAGI WAJIB PAJAK INDUSTRI TERTENTU

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.011/2013
tentang Pengurangan Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Penundaan Pembayaran Pajak Penghasilan
Pasal 29 Tahun 2013 Bagi Wajib Pajak Industri Tertentu, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengurangan Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Penundaan Pembayaran
Pajak Penghasilan Pasal 29 Tahun 2013 Bagi Wajib Pajak Industri Tertentu;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.011/2013 tentang Pengurangan Besarnya Pajak
Penghasilan Pasal 25 dan Penundaan Pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 Tahun 2013 Bagi Wajib
Pajak Industri Tertentu;
4. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 43/M-IND/PER/8/2013 tentang Ketentuan Pemberian
Rekomendasi Pemanfaatan Fasilitas Insentif Pengurangan Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dan
Penundaan Pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 Tahun 2013 Bagi Wajib Pajak Perusahaan Industri;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PENGURANGAN BESARNYA
PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 DAN PENUNDAAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 29 TAHUN 2013
BAGI WAJIB PAJAK INDUSTRI TERTENTU.

Pasal 1

(1) Terhadap Wajib Pajak badan industri tertentu dapat diberikan:


a. pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Masa Pajak September 2013 sampai dengan
Masa Pajak Desember 2013; dan/atau
b. penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 untuk Tahun Pajak 2013.
(2) Wajib Pajak badan industri tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak badan
yang melakukan kegiatan usaha pada bidang:
a. industri tekstil;
b. industri pakaian jadi;
c. industri alas kaki;
d. industri furnitur; dan/atau
e. industri mainan anak-anak.
(3) Pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 dan penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diberikan kepada Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) berdasarkan rekomendasi dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang perindustrian.

Pasal 2

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 747

(1) Besarnya pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1)
huruf a dapat diberikan paling tinggi sebesar:
a. 25% (dua puluh lima persen) dari Pajak Penghasilan Pasal 25 Masa Pajak Agustus 2013, bagi
Wajib Pajak badan industri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) yang tidak
berorientasi ekspor; atau
b. 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan Pasal 25 Masa Pajak Agustus 2013, bagi Wajib
Pajak badan industri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) yang berorientasi
ekspor.
(2) Untuk mendapatkan pengurangan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak
harus menyampaikan permohonan tertulis tentang besarnya pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 25
yang diminta.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara langsung kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dengan status domisili/pusat (kode status NPWP 000).
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lambat pada akhir Masa Pajak
dimulainya pengurangan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a,
dengan menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, dengan
dilampiri:
a. fotokopi surat rekomendasi dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang perindustrian;
b. fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak;
c. fotokopi surat keputusan pemberian pengurangan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25
sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-537/PJ./2000
bagi Wajib Pajak yang telah memperoleh keputusan pengurangan besarnya Pajak Penghasilan
Pasal 25 untuk Tahun Pajak 2013 sebelum permohonan disampaikan.
(5) Kepala Kantor Pelayanan Pajak meneliti kelengkapan dokumen permohonan Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (4).
(6) Dalam hal permohonan Wajib Pajak belum lengkap, Kepala Kantor Pelayanan Pajak mengirimkan surat
permintaan kelengkapan dengan menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini.
(7) Surat permintaan kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) harus disampaikan dalam jangka
waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan.

Pasal 3

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus memberikan keputusan pemberian pengurangan besarnya Pajak
Penghasilan Pasal 25 atas permohonan Wajib Pajak paling lama 5 (lima) hari kerja sejak permohonan
diterima secara lengkap dengan menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran III
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak
namun tidak melebihi besarnya pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1).
(3) Setelah Wajib Pajak memenuhi kelengkapan yang diminta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(6), Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus memberikan keputusan pemberian pengurangan besarnya
Pajak Penghasilan Pasal 25 atas permohonan Wajib Pajak, yang berlaku sejak Masa Pajak
dilengkapinya permohonan.

Pasal 4

(1) Penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1)
huruf b diberikan paling lama 3 (tiga) bulan dari saat terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 29
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
(2) Untuk mendapatkan penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Wajib Pajak harus menyampaikan permohonan tertulis secara langsung kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dengan status domisili/pusat (kode status NPWP 000).
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lambat 20 (dua puluh) hari
kerja sebelum saat terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 29 dengan menggunakan formulir
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, dengan dilampiri:
a. fotokopi surat rekomendasi dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang perindustrian;
b. fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak.

www.ortax.org
748 Edisi PPh Badan | Maret 2017

(4) Kepala Kantor Pelayanan Pajak meneliti kelengkapan dokumen permohonan Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
(5) Dalam hal permohonan Wajib Pajak belum lengkap, Kepala Kantor Pelayanan Pajak mengirimkan surat
permintaan kelengkapan dengan menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran V
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini.
(6) Surat permintaan kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus disampaikan dalam jangka
waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan.
(7) Wajib Pajak harus memenuhi kelengkapan yang diminta sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam
jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal dikirimnya surat permintaan kelengkapan.
(8) Permohonan Wajib Pajak tidak dapat dipertimbangkan dalam hal tidak memenuhi jangka waktu
penyampaian:
a. permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3); atau
b. kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (7).
(9) Dalam hal permohonan Wajib Pajak tidak dapat dipertimbangkan, Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus
memberitahukan kepada Wajib Pajak dalam jangka waktu 3 hari kerja sejak terlampauinya batas
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (7) dengan menggunakan formulir sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran VI Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 5

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus memberikan keputusan pemberian penundaan pembayaran Pajak
Penghasilan Pasal 29 atas permohonan Wajib Pajak paling lama 5 (lima) hari kerja sejak permohonan
diterima secara lengkap dengan menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran VII
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak
namun tidak melebihi jangka waktu penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).

Pasal 6

Direktur Jenderal Pajak karena jabatan menghapuskan atau mengurangkan seluruhnya sanksi administrasi
atas penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
berdasarkan ketentuan Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2009.

Pasal 7

(1) Wajib Pajak yang telah mendapatkan keputusan pemberian pengurangan besarnya Pajak Penghasilan
Pasal 25 Tahun Pajak 2013 sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-537/PJ./2000 tetap dapat diberikan pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a.
(2) Wajib Pajak yang belum mendapatkan keputusan pemberian pengurangan besarnya Pajak Penghasilan
Pasal 25 Tahun Pajak 2013 sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-537/PJ./2000 dapat mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Direktur
Jenderal Pajak Nomor KEP-537/PJ./2000 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(3) Dalam hal besarnya pengurangan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Direktur
Jenderal Pajak Nomor KEP-537/PJ./2000 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini berbeda untuk
Masa Pajak yang sama, maka besaran Pajak Penghasilan Pasal 25 yang digunakan adalah besaran
Pajak Penghasilan Pasal 25 yang lebih rendah.

Pasal 8

(1) Wajib Pajak yang telah mendapatkan keputusan pemberian penundaan pembayaran Pajak Penghasilan
Pasal 29 Tahun Pajak 2013 sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-38/PJ/2008 tentang Tata Cara Pemberian Angsuran atau Penundaan Pembayaran Pajak, tetap
dapat mengajukan permohonan penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b.
(2) Wajib Pajak yang telah mendapatkan keputusan pemberian penundaan pembayaran Pajak Penghasilan
Pasal 29 Tahun Pajak 2013 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b tetap dapat
mengajukan permohonan penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 sebagaimana dimaksud

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 749

dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2008 tentang Tata Cara Pemberian
Angsuran atau Penundaan Pembayaran Pajak.
(3) Dalam hal jangka waktu penundaan Pajak Penghasilan Pasal 29 berdasarkan keputusan sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2008 tentang Tata Cara
Pemberian Angsuran atau Penundaan Pembayaran Pajak dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini
berbeda, maka jangka waktu penundaan Pajak Penghasilan Pasal 29 yang digunakan adalah jangka
waktu penundaan yang paling lama.

Pasal 9

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 September 2013
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd,

A. FUAD RAHMANY

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15353

www.ortax.org
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak :
750 Edisi PPh Badan | Maret 2017 SE - 16/PJ./2007

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
___________________________________________________________________________________________
5 April 2007

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 16/PJ./2007

TENTANG

PENYAMPAIAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 1 TAHUN 2007


TENTANG FASILITAS PAJAK PENGHASILAN UNTUK PENANAMAN MODAL
DI BIDANG-BIDANG USAHA TERTENTU DAN/ATAU DI DAERAH-DAERAH TERTENTU
BESERTA PERATURAN-PERATURAN PELAKSANAANNYA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak
Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu
beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya, dengan ini disampaikan fotokopi peraturan-peraturan sebagai
berikut :
1. Peraturan Pemerintah nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman
Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu;
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2007 tentang Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan
untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu;
3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-67/PJ./2007 tentang Tata Cara Pemberian Fasilitas
Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-
Daerah Tertentu.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan Ketentuan-ketentuan tersebut di atas adalah sebagai
berikut:

1. Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak


a. Direktur Jenderal Pajak menerima usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan dari Kepala
Badan Koordinasi Penanaman Modal dengan lampiran sebagai berikut:
1) Fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak; dan
2) Surat persetujuan untuk penanaman modal baru atau surat persetujuan perluasan
penanaman modal yang diterbitkan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal
atau instansi lain yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, dan dilengkapi dengan rinciannya.
b. Direktur Peraturan Perpajakan II meneliti kelengkapan dan kebenaran usulan pemberian
fasilitas Pajak Penghasilan beserta lampiran-lampirannya sebagaimana dimaksud pada huruf a
di atas.
c. Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada huruf b di atas, Direktur Peraturan
Perpajakan II mengusulkan konsep Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri
Keuangan tentang Persetujuan/Penolakan Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan untuk
Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu bagi
Wajib Pajak yang telah diusulkan oleh Kepala Badan koordinasi Penanaman Modal. Keputusan
Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan tentang Persetujuan/Penolakan
Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan diterbitkan dalam jangka waktu paling lama
10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya usulan sebagaimana dimaksud pada
huruf a secara lengkap dan benar.

2. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak


a. Kepala Kantor Wilayah mengawasi pelaksanaan instruksi Direktur Pemeriksaan dan Penagihan
atas nama Direktur Jenderal Pajak dalam rangka penetapan saat dimulainya produksi
komersial dan penetapan tambahan jangka waktu fasilitas kompensasi kerugian kepada
Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Pajak (UP3).
b. Kepala Kantor Wilayah melakukan koordinasi dengan Kepala Kantor Wilayah lainnya dalam
hal perluasan usaha mencakup wilayah kerja beberapa Kantor Wilayah.

3. Unit Pelaksana Pemeriksaan Pajak (UP3)


a. Pemeriksaan lapangan dalam rangka penetapan saat dimulainya produksi komersial dan
penetapan penambahan jangka waktu kompensasi kerugian termasuk dalam kriteria
Pemeriksaan untuk Tujuan Lain.
b. Mencocokkan bidang usaha Wajib Pajak dengan Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU).
c. Dalam rangka pemeriksaan lapangan untuk penetapan saat dimulainya produksi komersial
agar diperhatikan antara lain hal-hal sebagai berikut:

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 751

1) Pemeriksaan terhadap proses produksi untuk membuktikan perusahaan telah sampai


pada tahap produksi komersial;
2) Pemeriksaan terhadap dokumen-dokumen berkaitan dengan transaksi penjualan hasil
produksi;
3) Penentuan tanggal produksi komersial mulai dilakukan.
d. Dalam rangka pemeriksaan lapangan untuk penetapan penambahan jangka waktu kompensasi
kerugian agar diperhatikan antara lain hal-hal sebagai berikut:
1) Melakukan peninjauan ke lokasi tempat investasi dan meminta Surat Penetapan dari
pengelola kawasan industri atau kawasan berikat;
2) Daftar pembayaran gaji pegawai/karyawan untuk masa 5 (lima) tahun sebelumnya
berturut-turut sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 16/PMK.03/2007;
3) Keberadaan secara fisik infrastruktur ekonomi dan sosial di lokasi usaha dan
pemeriksaan terhadap dokumen-dokumen mengenai pembiayaan infrastruktur
tersebut;
4) Dokumen-dokumen mengenai pembiayaan penelitian dan pengembangan di dalam
negeri dalam rangka pengembangan produk atau efisiensi produksi;
5) Dokumen-dokumen pembelian bahan baku dan/atau komponen hasil produksi dalam
negeri selama 4 (empat) tahun setelah penanaman modal baru atau perluasan usaha.

Demikian untuk mendapat perhatian Saudara dan untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 April 2007
Direktur Jenderal pajak

ttd.

Darmin Nasution
NIP 130605098

Tembusan:
1. Menteri Keuangan;
2. Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan;
3. Inspektur Jenderal Departemen Keuangan;
4. Kepala Biro Hukum dan Humas Departemen Keuangan;
5. Sekretaris DJP;
6. Para Direktur, dan Tenaga Pengkaji di lingkungan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak.

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=12571

www.ortax.org
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak :
752 Edisi PPh Badan | Maret 2017 SE - 15/PJ/2015

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
____________________________________________________________________________________________
09 Maret 2015

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 15/PJ/2015

TENTANG

PENEGASAN ATAS PELAKSANAAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL


PAJAK NOMOR PER-41/PJ/2013 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN
FASILITAS PAJAK PENGHASILAN, PENETAPAN REALISASI PENANAMAN
MODAL, PENYAMPAIAN KEWAJIBAN PELAPORAN, DAN PENCABUTAN
KEPUTUSAN PERSETUJUAN PEMBERIAN FASILITAS PAJAK
PENGHASILAN UNTUK WAJIB PAJAK YANG MELAKUKAN PENANAMAN
MODAL DI BIDANG-BIDANG USAHA TERTENTU DAN/ATAU DI DAERAH-
DAERAH TERTENTU

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A. Umum

Sehubungan dengan telah ditetapkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-41/PJ/2013
tentang Tata Cara Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan, Penetapan Realisasi Penanaman Modal,
Penyampaian Kewajiban Pelaporan, dan Pencabutan Keputusan Persetujuan Pemberian Fasilitas Pajak
Penghasilan Untuk Wajib Pajak Yang Melakukan Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu
dan/atau di Daerah-daerah Tertentu, dengan ini disampaikan penegasan atas pelaksanaan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak tersebut.

B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud
Maksud dari Surat Edaran ini untuk menjadi penegasan dalam rangka melaksanakan pemberian
fasilitas Pajak Penghasilan, penetapan realisasi Penanaman Modal, penyampaian kewajiban
pelaporan, dan pencabutan keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan untuk
Wajib Pajak yang melakukan Penanaman Modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau
di daerah-daerah tertentu.

2. Tujuan
a. Kesamaan pemahaman atas ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-41/PJ/2013;
b. Keseragaman dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-41/PJ/2013;
c. Optimalisasi pengawasan terhadap para Wajib Pajak yang telah diberikan fasilitas Pajak
Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas
Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau
di Daerah-daerah Tertentu sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Surat Edaran ini meliputi:


1. Penegasan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan;
2. Penegasan penetapan saat pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan;
3. Penegasan penetapan fasilitas Pajak Penghasilan berupa tambahan jangka waktu kompensasi
kerugian;
4. Penegasan pengawasan penyampaian kewajiban pelaporan;
5. Penegasan pencabutan keputusan persetujuan pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan.

D. Dasar

1. Pasal 31A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 753

Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu


sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 52
Tahun 2011;
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 144/PMK.011/2012 tentang Pemberian Fasilitas Pajak
Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-
daerah Tertentu;
4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-41/PJ/2013 tentang Tata Cara Pemberian Fasilitas
Pajak Penghasilan, Penetapan Realisasi Penanaman Modal, Penyampaian Kewajiban Pelaporan,
dan Pencabutan Keputusan Persetujuan Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Wajib
Pajak Yang Melakukan Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau
di Daerah-daerah Tertentu.

E. Definisi

1. Fasilitas Pajak Penghasilan adalah fasilitas Pajak Penghasilan yang diberikan berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk
Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 52
Tahun 2011.

2. Laporan-laporan Fasilitas Pajak Penghasilan adalah laporan-laporan mengenai hal-hal sebagai


berikut:
a. realisasi Penanaman Modal;
b. jumlah realisasi produksi;
c. rincian aktiva tetap yang digunakan untuk tujuan selain yang diberikan fasilitas Pajak
Penghasilan;
d. rincian pengalihan sebagian atau seluruh aktiva tetap yang mendapatkan fasilitas Pajak
Penghasilan; dan
e. rincian aktiva tetap yang dialihkan yang diganti dengan aktiva tetap yang baru.

F. Materi

1. Pelaksanaan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan.

a. Terhadap usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan yang diterima dari Kepala
Badan Koordinasi Penanaman Modal dilakukan penelitian atas hal-hal sebagai berikut:
1) Tanggal diterimanya usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan.

2) Jabatan Pejabat di lingkungan Badan Koordinasi Penanaman Modal yang


menandatangani surat usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan, serta apabila
diperlukan disertakan fotokopi dasar hukum pendelegasian kewenangan
penandatanganan usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan.

3) Pejabat yang ditujukan dalam surat usulan pemberian fasilitas Pajak


Penghasilan.

4) Peraturan perundang-undangan yang diberlakukan sebagai dasar hukum


usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan.

5) Dilengkapi atau tidak dilengkapinya dokumen-dokumen yang dipersyaratkan


berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku:
a) fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak;
b) fotokopi surat permohonan Wajib Pajak kepada Kepala Badan
Koordinasi Penanaman Modal;
c) izin Penanaman Modal atau izin perluasan Penanaman Modal yang
diterbitkan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal atau
instansi lain yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku; dan
d) rincian jenis dan nilai Penanaman Modal;
e) surat keterangan belum beroperasi secara komersial yang diterbitkan
oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, sepanjang
dipersyaratkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

6) Identitas Wajib Pajak dalam fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak sesuai
dengan identitas Wajib Pajak dalam usulan pemberian fasilitas Pajak

www.ortax.org
754 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Penghasilan dan database Wajib Pajak di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.

7) Izin Penanaman Modal atau izin perluasan Penanaman Modal yang diterbitkan
oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal atau instansi lain yang
berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku:
a) Tanggal penerbitan pertama izin Penanaman Modal atau izin perluasan
Penanaman Modal dalam usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan
sesuai dengan ketentuan batas waktu penyampaian permohonan dari
Wajib Pajak kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal
dan/atau usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan dari Kepala
Badan Koordinasi Penanaman Modal;
b) Seluruh izin Penanaman Modal atau izin perluasan Penanaman Modal
yang proyek Penanaman Modalnya diusulkan untuk diberikan fasilitas
Pajak Penghasilan sepanjang izin Penanaman Modal atau izin
perluasan Penanaman Modal telah mengalami perubahan;
c) Pejabat yang berwenang menerbitkan izin Penanaman Modal atau izin
perluasan Penanaman Modal berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
d) Masa berlakunya izin Penanaman Modal atau izin perluasan
Penanaman Modal dalam usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan;
e) Bidang usaha, klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia, cakupan
produk, kapasitas produksi, jumlah tenaga kerja, nilai Penanaman
Modal, jenis mata uang, sumber pembiayaan Penanaman Modal,
dan/atau lokasi Daerah/Provinsi/Kabupaten/Kota yang dilakukan
Penanaman Modal yang mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan;
f) Kesesuaian informasi dalam seluruh izin Penanaman Modal atau izin
perluasan Penanaman Modal termasuk perubahannya yang diusulkan
untuk diberikan fasilitas Pajak Penghasilan.

8) Surat permohonan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan dari Wajib Pajak


kepada Kepala Badan Koordinasi Badan Penanaman Modal:
a) Tanggal diterimanya surat permohonan pemberian fasilitas Pajak
Penghasilan dan tanda terimanya sesuai dengan ketentuan batas
waktu penyampaian permohonan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan
dari Wajib Pajak kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal;
b) Wajib Pajak yang menandatangani surat permohonan pemberian
fasilitas Pajak Penghasilan memiliki kewenangan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c) Kesesuaian Penanaman Modal dalam surat permohonan pemberian
fasilitas Pajak Penghasilan, usulan pemberian fasilitas Pajak
Penghasilan yang diterima dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman
Modal, dan izin Penanaman Modal atau izin perluasan Penanaman
Modal beserta perubahan-perubahannya dengan persyaratan
Lampiran I atau Lampiran II Peraturan Pemerintah:
i. bidang usaha;
ii. klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia;
iii. cakupan produk;
iv. lokasi di Daerah/Provinsi/Kabupaten/Kota sepanjang diatur
dalam persyaratan Lampiran I atau Lampiran II Peraturan
Pemerintah;
v. Persyaratan lainnya sepanjang diatur dalam persyaratan
Lampiran I atau Lampiran II Peraturan Pemerintah, termasuk
antara lain:
i) minimal nilai Penanaman Modal dan translasinya dalam
mata uang rupiah dalam hal Penanaman Modal
dilakukan dalam mata uang selain rupiah;
ii) kapasitas produksi;
iii) jumlah tenaga kerja;
iv) bidang usaha terintegrasi;
d) Apabila diperlukan, dokumen tertulis yang memberikan justifikasi
teknis dan/atau penjelasan lebih lanjut atas bidang usaha, klasifikasi
baku lapangan usaha Indonesia, cakupan produk, Daerah/Provinsi,
dan persyaratan lainnya dari instansi berwenang dan/atau pihak-pihak
lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

9) Rincian jenis dan nilai Penanaman Modal dalam izin Penanaman Modal atau izin
perluasan Penanaman Modal yang diusulkan untuk diberikan fasilitas Pajak
Penghasilan:

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 755

a) Rincian jenis dan nilai Penanaman Modal berupa aktiva berwujud yang
mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan, sekurang-kurangnya
memuat informasi yang memadai untuk mengidentifikasi
masing-masing aktiva:
i. Tanah (cantumkan masing-masing lokasi dan luas tanah dalam
rencana, serta bulan dan tahun perolehannya untuk aktiva
yang sudah terealisasi);
ii. Bangunan (cantumkan masing-masing jenis, lokasi dan luas
bangunan dalam rencana, serta bulan dan tahun perolehannya
untuk aktiva yang sudah terealisasi);
iii. Mesin atau peralatan (cantumkan masing-masing jenis, nama,
dan merek mesin atau peralatan dalam rencana, serta bulan
dan tahun perolehannya untuk aktiva yang sudah terealisasi);
dan
iv. Aktiva-aktiva lainnya (cantumkan masing-masing jenis, nama,
dan merek aktiva dalam rencana, serta bulan dan tahun
perolehannya untuk aktiva yang sudah terealisasi);
b) Rincian jenis dan nilai Penanaman Modal berupa aktiva berwujud yang
tidak mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan, sekurang-kurangnya
memuat informasi yang memadai untuk mengidentifikasi
masing-masing aktiva:
i. Tanah (cantumkan masing-masing lokasi dan luas tanah dalam
rencana, serta bulan dan tahun perolehannya untuk aktiva
yang sudah terealisasi);
ii. Bangunan (cantumkan masing-masing jenis, lokasi dan luas
bangunan dalam rencana, serta bulan dan tahun perolehannya
untuk aktiva yang sudah terealisasi);
iii. Mesin atau peralatan (cantumkan masing-masing jenis, nama
dan merek mesin atau peralatan dalam rencana, serta bulan
dan tahun perolehannya untuk aktiva yang sudah terealisasi);
dan
iv. Aktiva-aktiva lainnya (cantumkan masing-masing jenis, nama,
dan merek aktiva dalam rencana, serta bulan dan tahun
perolehannya untuk aktiva yang sudah terealisasi);
c) Kesesuaian nilai Penanaman Modal dengan sumber pembiayaan
Penanaman Modal disertai dengan dokumen-dokumen pendukungnya,
antara lain:
i. Kontrak perjanjian pinjaman; dan/atau
ii. Akte rapat pemegang saham.

10) Sepanjang dipersyaratkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang


berlaku, surat keterangan belum beroperasi secara komersial yang diterbitkan
oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal:
a) Pejabat yang berwenang menerbitkan surat keterangan belum
beroperasi secara komersial berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku:
b) Tanggal dinyatakannya belum beroperasi komersial.

b. Dalam pelaksanaan penerbitan keputusan persetujuan, keputusan penolakan, surat


pengembalian usulan, atau surat permintaan kelengkapan pemberian fasilitas Pajak
Penghasilan diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Tanggal diterimanya usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan dan tanggal
jangka waktu penyelesaiannya.

2) Hasil penelitian terhadap usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sesuai


dengan check list penelitian dokumen sebagaimana terlampir dalam Surat
Edaran ini atas dipenuhi atau tidak dipenuhinya kriteria dan persyaratan Wajib
Pajak, termasuk kesesuaian permohonan dengan bidang usaha, klasifikasi
baku lapangan usaha Indonesia, cakupan produk, persyaratan, dan/atau
Daerah/Provinsi.

3) Peraturan perundang-undangan yang diberlakukan sebagai dasar hukum


penerbitan keputusan persetujuan, keputusan penolakan, surat pengembalian
usulan, atau surat permintaan kelengkapan pemberian fasilitas Pajak
Penghasilan.

4) Dalam hal Wajib Pajak mendapatkan keputusan persetujuan pemberian fasilitas


Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007

www.ortax.org
756 Edisi PPh Badan | Maret 2017

tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang


Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011, seluruh fasilitas Pajak
Penghasilan dimanfaatkan sejak Wajib Pajak merealisasikan Penanaman
Modal paling sedikit 80% (delapan puluh persen) dari rencana Penanaman
Modal.

5) Kesesuaian format keputusan persetujuan, keputusan penolakan, surat


pengembalian usulan, atau surat permintaan kelengkapan pemberian fasilitas
Pajak Penghasilan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan ketentuan mengenai tata naskah dinas di lingkungan Direktorat Jenderal
Pajak.

6) Pembuatan dan distribusi salinan keputusan persetujuan atau penolakan


pemberian fasilitas Pajak Penghasilan kepada pihak-pihak yang dituju
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ketentuan
mengenai tata naskah dinas di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.

7) Distribusi surat pengembalian usulan atau permintaan kelengkapan pemberian


fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan ketentuan mengenai tata naskah dinas di lingkungan Direktorat
Jenderal Pajak.

2. Pelaksanaan penetapan saat pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan.

a. Dalam pelaksanaan pemeriksaan lapangan sesuai dengan ketentuan di bidang


Pemeriksaan Pajak dalam rangka penetapan saat pemanfaatan fasilitas Pajak
Penghasilan diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Tanggal diterimanya permohonan penetapan saat pemanfaatan fasilitas Pajak
Penghasilan.

2) Wajib Pajak yang menandatangani surat permohonan penetapan saat


pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan memiliki kewenangan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3) Pejabat yang ditujukan dalam surat permohonan penetapan saat pemanfaatan


fasilitas Pajak Penghasilan.

4) Peraturan perundang-undangan yang diberlakukan sebagai dasar hukum surat


permohonan penetapan saat pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan.

5) Dilengkapi atau tidak dilengkapinya dokumen-dokumen yang dipersyaratkan


berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sekurang-kurangnya
yaitu:
a) Fotokopi akte pendirian perusahaan;
b) Fotokopi keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan;
c) Laporan keuangan selama 3 (tiga) tahun terakhir yang telah diaudit;
d) Fotokopi dan softcopy laporan yang telah disampaikan mengenai:
i. jumlah realisasi Penanaman Modal sampai dengan selesainya
seluruh investasi;
ii. jumlah realisasi produksi;
iii. rincian aktiva tetap yang digunakan untuk tujuan selain yang
diberikan fasilitas Pajak Penghasilan;
iv. rincian pengalihan sebagian atau seluruh aktiva tetap yang
mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan; dan
v. rincian aktiva tetap yang dialihkan yang diganti dengan aktiva
tetap yang baru.
e) Fotokopi dan softcopy rincian dan jenis aktiva tetap pada saat
pengajuan permohonan pemberian fasilitas dan perubahannya;
f) Surat kuasa khusus dalam hal permohonan disampaikan oleh kuasa
Wajib Pajak.
g) Seluruh izin Penanaman Modal atau izin perluasan Penanaman Modal
yang menjadi dasar diterbitkannya surat keputusan persetujuan
pemberian fasilitas Pajak Penghasilan.

6) Kesesuaian nilai dan rincian realisasi Penanaman Modal dengan rencana


Penanaman Modal yang diberikan fasilitas Pajak Penghasilan dalam keputusan
persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan:

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 757

a) Aktiva berwujud yang mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan yang


dipisahkan dari aktiva yang tidak mendapatkan fasilitas Pajak
Penghasilan;
b) Nilai perolehan aktiva berwujud yang mendapatkan fasilitas Pajak
Penghasilan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam
Pasal 10 dan Pasal 18 UU PPh;
c) Nilai dan rincian realisasi Penanaman Modal pada saat Wajib Pajak
merealisasikan Penanaman Modal dibandingkan dengan nilai dan
rincian rencana Penanaman Modal yang diberikan fasilitas Pajak
Penghasilan dalam keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak
Penghasilan.

7) Kesesuaian kegiatan usaha dari realisasi Penanaman Modal dengan kriteria


dan persyaratan Lampiran I atau Lampiran II Peraturan Pemerintah
berdasarkan persyaratan yang dicantumkan dalam lampiran surat keputusan
persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan, meliputi:
a) bidang usaha;
b) klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia;
c) cakupan produk;
d) Daerah/Provinsi;
e) Persyaratan lainnya sepanjang diatur dalam Lampiran I atau
Lampiran II Peraturan Pemerintah, termasuk antara lain:
i. minimal nilai Penanaman Modal;
ii. kapasitas produksi;
iii. jumlah tenaga kerja;
iv. bidang usaha terintegrasi.

8) Dalam hal berdasarkan temuan pemeriksaan lapangan terdapat persyaratan


dalam Lampiran I dan/atau Lampiran II Peraturan Pemerintah yang belum
dipenuhi oleh Wajib Pajak maka Wajib Pajak belum dapat memanfaatkan
fasilitas Pajak Penghasilan, dengan pertimbangan Wajib Pajak belum
merealisasikan Penanaman Modal paling sedikit 80% (delapan puluh persen)
dari rencana Penanaman Modal atau Wajib Pajak belum berproduksi secara
komersial.

b. Dalam pelaksanaan penerbitan keputusan penetapan saat pemanfaatan fasilitas Pajak


Penghasilan diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Tanggal diterimanya surat permohonan penetapan saat pemanfaatan fasilitas
Pajak Penghasilan secara lengkap dan tanggal jangka waktu jatuh tempo
penyelesaiannya.

2) Hasil pemeriksaan dalam rangka penetapan saat pemanfaatan fasilitas Pajak


Penghasilan atas kesesuaian nilai dan rincian realisasi Penanaman Modal dan
kegiatan usaha dari realisasi Penanaman Modal dengan persyaratan
Lampiran I atau Lampiran II Peraturan Pemerintah.

3) Peraturan perundang-undangan yang diberlakukan sebagai dasar hukum


penerbitan keputusan penetapan saat pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan.

4) Pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan:


a) Bagi Wajib Pajak yang telah mendapat keputusan persetujuan
pemberian fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan
untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau
di Daerah-daerah Tertentu sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011, seluruh fasilitas Pajak
Penghasilan dimanfaatkan sejak Wajib Pajak merealisasikan
Penanaman Modal paling sedikit 80% (delapan puluh persen) dari
rencana Penanaman Modal.
b) Bagi Wajib Pajak yang telah mendapat keputusan persetujuan
pemberian fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan
untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau
di Daerah-daerah Tertentu sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2008:
i. Fasilitas Pajak Penghasilan berupa pengurangan penghasilan
neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Penanaman
Modal, dibebankan selama 6 (enam) tahun berturut-turut

www.ortax.org
758 Edisi PPh Badan | Maret 2017

masing-masing sebesar 5% (lima persen) per tahun


dimanfaatkan sejak Wajib Pajak memenuhi persyaratan saat
dimulainya produksi komersial;
ii. Fasilitas Pajak Penghasilan lainnya berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak
Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha
Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun
2008, dimanfaatkan sejak Wajib Pajak mendapatkan
keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan.

5) Tanggal saat pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan:


a) Dalam hal saat pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan adalah sejak
Wajib Pajak merealisasikan paling sedikit 80% (delapan puluh persen)
dari rencana Penanaman Modal sesuai Peraturan Pemerintah Nomor
1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman
Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah
Tertentu sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 52 Tahun 2011, tanggal pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan
adalah tanggal pada saat Wajib Pajak merealisasikan paling sedikit
80% (delapan puluh persen) dari rencana Penanaman Modal;
b) Dalam hal saat pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan adalah sejak
Wajib Pajak memenuhi persyaratan saat mulai berproduksi secara
komersial sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang
Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang
Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2008, tanggal
pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan berupa pengurangan
penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah
Penanaman Modal adalah tanggal sejak Wajib Pajak merealisasikan
100% (seratus persen) dari rencana Penanaman Modal dan Wajib
Pajak melakukan penjualan untuk pertama kali secara komersial.

6) Kesesuaian format keputusan penetapan saat pemanfaatan fasilitas Pajak


Penghasilan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
ketentuan mengenai tata naskah dinas di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.

7) Pembuatan dan distribusi salinan keputusan penetapan saat pemanfaatan


fasilitas Pajak Penghasilan kepada pihak-pihak yang dituju atas penetapan
saat pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan ketentuan mengenai tata naskah dinas
di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.

c. Dalam hal Surat Keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan


ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak a.n. Menteri Keuangan diterbitkan setelah
Wajib Pajak memenuhi persyaratan:
1) realisasi Penanaman Modal paling sedikit 80% (delapan puluh persen) dari
rencana Penanaman Modal sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007
tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang
Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011; atau

2) saat mulai berproduksi secara komersial sesuai Peraturan Pemerintah Nomor


1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal
di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2008,
maka fasilitas Pajak Penghasilan dimanfaatkan sejak memenuhi persyaratan tersebut
dan sejak Surat Keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak a.n. Menteri Keuangan.

d. Besarnya nilai Penanaman Modal yang mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan adalah
sebesar nilai rencana Penanaman Modal berupa aktiva tetap yang tercantum dalam
Surat Keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan dan/atau dalam izin
Penanaman Modal atau izin perluasan Penanaman Modal yang menjadi dasar
pertimbangan pemberian fasilitas pada saat diterbitkannya Surat Keputusan persetujuan
pemberian fasilitas Pajak Penghasilan;

e. Dalam hal terjadi perubahan atas surat persetujuan atau izin Penanaman Modal atau

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 759

izin perluasan Penanaman Modal, pada prinsipnya pemberian fasilitas Pajak Penghasilan
melekat pada Penanaman Modal berupa aktiva tetap pada bidang-bidang usaha tertentu
dan/atau daerah-daerah tertentu yang tercantum dalam Surat Keputusan persetujuan
pemberian fasilitas Pajak Penghasilan dan/atau dalam surat persetujuan atau izin
Penanaman Modal atau izin perluasan Penanaman Modal yang digunakan sebagai dasar
pertimbangan pemberian fasilitas pada saat diterbitkannya keputusan persetujuan
pemberian fasilitas;

f. Dalam hal Wajib Pajak mengubah rencana Penanaman Modal maka besarnya nilai
Penanaman Modal yang mendapatkan fasilitas adalah nilai Penanaman Modal sesuai
Surat Keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan dan/atau surat
persetujuan atau izin Penanaman Modal atau izin perluasan Penanaman Modal yang
menjadi dasar pertimbangan pemberian fasilitas pada saat diterbitkannya Surat
Keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan;

3. Pelaksanaan penetapan penambahan jangka waktu kompensasi kerugian.

a. Dalam pelaksanaan pemeriksaan lapangan sesuai dengan ketentuan di bidang


pemeriksaan pajak dalam rangka penetapan penambahan jangka waktu kompensasi
kerugian diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Tanggal diterimanya permohonan penetapan penambahan jangka waktu
kompensasi kerugian secara lengkap.

2) Wajib Pajak yang menandatangani surat permohonan penetapan penambahan


jangka waktu kompensasi kerugian memiliki kewenangan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3) Pejabat yang ditujukan dalam surat permohonan penetapan penambahan


jangka waktu kompensasi kerugian.

4) Peraturan perundang-undangan yang diberlakukan sebagai dasar hukum


permohonan penetapan penambahan jangka waktu kompensasi kerugian.

5) Dilengkapi atau tidak dilengkapinya dokumen-dokumen yang dipersyaratkan


berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sekurang-
kurangnya:
a) laporan keuangan selama 3 (tiga) tahun terakhir yang telah diaudit;
b) fotokopi persetujuan Penanaman Modal baru di kawasan industri dan
kawasan berikat dari instansi yang berwenang;
c) pernyataan bahwa Wajib Pajak telah memperkerjakan sekurang-
kurangnya 500 (lima ratus) orang tenaga kerja Indonesia selama
5 (lima) tahun berturut- turut dilampiri dengan dokumen-dokumen
pendukungnya;
d) pernyataan investasi/pengeluaran untuk infrastruktur ekonomi dan
sosial di lokasi usaha paling sedikit sebesar Rp 10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah) untuk Penanaman Modal baru dilampiri dengan
dokumen-dokumen pendukungnya;
e) pernyataan biaya penelitian dan pengembangan di dalam negeri dalam
rangka pengembangan produk atau efisiensi produksi paling sedikit
5% (lima persen) dari investasi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
dilampiri dengan dokumen-dokumen pendukungnya;
f) pernyataan penggunaan bahan baku dan/atau komponen hasil
produksi dalam negeri paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) sejak
tahun ke-4 sesuai dengan Pasal 11 ayat (8) Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 144/PMK.011/2012 dilampiri dengan dokumen-
dokumen pendukungnya, termasuk sertifikat capaian tingkat
kandungan dalam negeri yang diterbitkan oleh pihak yang berwenang
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
g) fotokopi Laporan-laporan Fasilitas Pajak Penghasilan; dan/atau
h) surat kuasa khusus dalam hal permohonan disampaikan oleh kuasa
Wajib Pajak.

6) Fasilitas penambahan jangka waktu kompensasi kerugian berlaku ketentuan


sebagai berikut:
a) Ketentuan tambahan 1 (satu) tahun berlaku untuk kerugian seluruh
Tahun Pajak sepanjang Penanaman Modal baru pada bidang-bidang
usaha tertentu sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan

www.ortax.org
760 Edisi PPh Badan | Maret 2017

untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau


di Daerah-daerah Tertentu sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011 dilakukan
di kawasan industri dan kawasan berikat yang terkait dengan
Penanaman Modal Wajib Pajak yang mendapatkan fasilitas Pajak
Penghasilan;
b) Ketentuan tambahan 1 (satu) tahun berlaku untuk kerugian pada
Tahun Pajak setelah Wajib Pajak mempekerjakan sekurang-kurangnya
500 (lima ratus) orang tenaga kerja Indonesia selama 5 (lima) tahun
berturut-turut yang terkait dengan Penanaman Modal Wajib Pajak yang
mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan;
c) Ketentuan tambahan 1 (satu) tahun berlaku untuk kerugian seluruh
Tahun Pajak apabila Penanaman Modal baru memerlukan investasi/
pengeluaran untuk infrastruktur ekonomi dan sosial di lokasi usaha
paling sedikit sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
yang terkait dengan Penanaman Modal Wajib Pajak yang mendapatkan
fasilitas Pajak Penghasilan;
d) Ketentuan tambahan 1 (satu) tahun berlaku untuk kerugian Tahun
Pajak dilakukannya pengeluaran biaya penelitian dan pengembangan
di dalam negeri dalam rangka pengembangan produk atau efisiensi
produksi paling sedikit 5% (lima persen) dari investasi dalam jangka
waktu 5 (lima) tahun yang terkait dengan Penanaman Modal Wajib
Pajak yang mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan;
e) Ketentuan tambahan 1 (satu) tahun berlaku untuk kerugian Tahun
Pajak:
i. terhitung sejak Tahun Pajak ke 4 (empat) setelah Wajib Pajak
memperoleh izin Penanaman Modal atau izin perluasan
Penanaman Modal dan Wajib Pajak bersangkutan
menggunakan bahan baku dan/atau komponen hasil produksi
dalam negeri paling sedikit 70% (tujuh puluh persen); dan
ii. pada Tahun Pajak bersangkutan, Wajib Pajak menggunakan
bahan baku dan/atau komponen hasil produksi dalam negeri
paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) yang terkait dengan
Penanaman Modal Wajib Pajak yang mendapatkan fasilitas
Pajak Penghasilan.

b. Dalam pelaksanaan penerbitan keputusan penetapan penambahan jangka waktu


kompensasi kerugian diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Tanggal diterimanya surat permohonan penetapan penambahan jangka waktu
kompensasi kerugian secara lengkap dan tanggal jangka waktu jatuh tempo
penyelesaiannya.

2) Hasil pemeriksaan dalam rangka penetapan penambahan jangka waktu


kompensasi kerugian atas pemenuhan persyaratan penambahan jangka waktu
kompensasi kerugian dan kesesuaian kegiatan usaha Wajib Pajak yang
mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan dengan persyaratan Lampiran I atau
Lampiran II Peraturan Pemerintah.

3) Peraturan perundang-undangan yang diberlakukan sebagai dasar hukum


penerbitan keputusan penetapan penambahan jangka waktu kompensasi
kerugian.

4) Pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan berupa penambahan jangka waktu


kompensasi kerugian:
a) Bagi Wajib Pajak yang telah mendapat keputusan persetujuan
pemberian fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan
untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau
di Daerah-daerah Tertentu sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011, fasilitas Pajak
Penghasilan berupa penambahan jangka waktu kompensasi kerugian
dimanfaatkan sejak Wajib Pajak merealisasikan Penanaman Modal
paling sedikit 80% (delapan puluh persen) dari rencana Penanaman
Modal dan sejak Wajib Pajak mendapatkan keputusan tentang
penetapan saat pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan;
b) Bagi Wajib Pajak yang telah mendapat keputusan persetujuan
pemberian fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 761

untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau


di Daerah-daerah Tertentu sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2008, fasilitas Pajak
Penghasilan berupa penambahan jangka waktu kompensasi kerugian
dimanfaatkan sejak Wajib Pajak mendapatkan keputusan persetujuan
pemberian fasilitas Pajak Penghasilan.

5) Kerugian yang dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan berupa penambahan


jangka waktu kompensasi kerugian adalah kerugian fiskal yang berasal dari
Penanaman Modal Wajib Pajak yang mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan
dengan persyaratan Lampiran I atau Lampiran II Peraturan Pemerintah.

6) Kesesuaian format keputusan penetapan penambahan jangka waktu


kompensasi kerugian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan ketentuan mengenai tata naskah dinas di lingkungan Direktorat
Jenderal Pajak.

7) Pembuatan dan distribusi salinan keputusan penetapan penambahan jangka


waktu kompensasi kerugian kepada pihak-pihak yang dituju atas penetapan
penambahan jangka waktu kompensasi kerugian berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan ketentuan mengenai tata naskah dinas
di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.

4. Pelaksanaan pengawasan penyampaian kewajiban pelaporan.

a. Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat terdaftarnya Wajib Pajak yang mendapatkan
keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan wajib mengawasi
pelaksanaan penyampaian Laporan-laporan Fasilitas Pajak Penghasilan dengan
memperhatikan hal-hal sebagai sebagai berikut:
1) Laporan mengenai realisasi Penanaman Modal disampaikan kepada Kepala
Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar setiap semester
berdasarkan tahun kalender terhitung sejak dimulainya realisasi Penanaman
Modal sampai dengan selesainya seluruh realisasi Penanaman Modal, paling
lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah akhir semester yang bersangkutan.

2) Dalam hal surat keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan


diterbitkan setelah Wajib Pajak merealisasikan sebagian atau seluruh rencana
Penanaman Modal, Wajib Pajak wajib untuk menyampaikan Laporan mengenai
realisasi Penanaman Modal sejak semester diterbitkannya surat keputusan
persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sampai dengan selesainya
seluruh realisasi Penanaman Modal, paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja
setelah akhir semester yang bersangkutan.

3) Laporan-laporan mengenai:
a) jumlah realisasi produksi;
b) rincian aktiva tetap yang digunakan untuk tujuan selain yang diberikan
fasilitas Pajak Penghasilan;
c) rincian pengalihan sebagian atau seluruh aktiva tetap yang
mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan; dan
d) rincian aktiva tetap yang dialihkan yang diganti dengan aktiva tetap
yang baru,
disampaikan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak
terdaftar setiap semester paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah akhir
semester berdasarkan tahun kalender yang bersangkutan selama 6 (enam)
tahun sejak ditetapkannya saat pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan oleh
Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.

4) Kesesuaian jenis cakupan produk dan nilai peredaran usaha dalam laporan
mengenai jumlah realisasi produksi dibandingkan dengan jenis cakupan produk
dan nilai peredaran usaha yang dicatat dalam pembukuan dan dilaporkan dalam
laporan keuangan Wajib Pajak.

5) Kesesuaian jenis dan nilai Penanaman Modal berupa aktiva tetap dalam laporan
mengenai:
a) realisasi Penanaman Modal;
b) rincian aktiva tetap yang digunakan untuk tujuan selain yang diberikan
fasilitas Pajak Penghasilan;
c) laporan mengenai rincian pengalihan sebagian atau seluruh aktiva

www.ortax.org
762 Edisi PPh Badan | Maret 2017

tetap yang mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan; dan


d) laporan mengenai rincian aktiva tetap yang dialihkan yang diganti
dengan aktiva tetap yang baru,
dibandingkan dengan jenis dan nilai Penanaman Modal berupa aktiva tetap
yang dicatat dalam pembukuan dan dilaporkan dalam laporan keuangan Wajib
Pajak.

b. Dalam hal berdasarkan penelitian atas laporan-laporan fasilitas Pajak Penghasilan,


data, dan/atau informasi lainnya diperoleh indikasi tidak dipenuhinya ketentuan:
1) Sebelum lewat jangka waktu 6 (enam) tahun sejak tanggal pemanfaatan
fasilitas Wajib Pajak dilarang:
a. menggunakan aktiva tetap yang mendapatkan fasilitas untuk tujuan
selain yang diberikan fasilitas;
b. mengalihkan sebagian atau seluruh aktiva tetap yang mendapatkan
fasilitas kecuali aktiva tetap yang dialihkan tersebut diganti dengan
aktiva tetap baru; atau
2) Melakukan penyalahgunaan fasilitas Pajak Penghasilan,
Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dan/atau unit kerja
lainnya di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak wajib menyampaikan usulan kepada
Direktur Pemeriksaan dan Penagihan untuk dilakukan pemeriksaan lapangan sesuai
dengan ketentuan di bidang pemeriksaan pajak.

c. Dalam hal Wajib Pajak yang telah mendapat keputusan tentang persetujuan
pemberian fasilitas Pajak Penghasilan:
1) tidak menyampaikan laporan-laporan fasilitas Pajak Penghasilan;
2) menyampaikan laporan-laporan fasilitas Pajak Penghasilan namun tidak
merinci atau tidak memuat informasi yang memadai atas realisasi produksi
dan/atau aktiva tetap untuk dapat mengidentifikasi masing-masing jenis
cakupan produk dan/atau jenis aktiva tetap (masing-masing jenis, lokasi/luas,
dan peruntukan aktiva tetap dalam rencana, serta bulan dan tahun
perolehannya untuk aktiva tetap yang sudah terealisasi);
3) tidak melampirkan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan
publik pada saat menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan; atau
4) tidak menyelenggarakan pembukuan secara terpisah atas aktiva tetap yang
mendapatkan fasilitas dan yang tidak mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan,
Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar wajib menyampaikan
himbauan.

d. Dalam hal setelah Kepala Kantor Pelayanan Pajak Direktorat Jenderal Pajak tempat
Wajib Pajak tersebut terdaftar melakukan himbauan dan dalam jangka waktu paling
lama 2 (dua) periode laporan berturut-turut Wajib Pajak dimaksud:
1) tidak menyampaikan laporan-laporan Fasilitas Pajak Penghasilan;
2) menyampaikan laporan-laporan fasilitas Pajak Penghasilan namun tidak
merinci atau tidak memuat informasi yang memadai atas realisasi produksi
dan/atau aktiva tetap untuk dapat mengidentifikasi masing-masing jenis
cakupan produk dan/atau jenis aktiva tetap (masing-masing jenis, lokasi/luas,
dan peruntukan aktiva tetap dalam rencana, serta bulan dan tahun
perolehannya untuk aktiva tetap yang sudah terealisasi);
3) tidak menyampaikan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh
akuntan publik; dan/atau
4) tidak menyelenggarakan pembukuan secara terpisah,
Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar wajib menyampaikan
usulan kepada Direktur Pemeriksaan dan Penagihan untuk dilakukan pemeriksaan
lapangan sesuai dengan ketentuan di bidang pemeriksaan pajak.

5. Pelaksanaan pencabutan keputusan persetujuan pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan.

a. Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan karena jabatan atau atas
permohonan Wajib Pajak dapat melakukan pencabutan keputusan persetujuan
pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan.

b. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pencabutan keputusan persetujuan


pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat
Wajib Pajak terdaftar;

c. Atas permohonan tersebut, Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak
terdaftar wajib menyampaikan usulan kepada Direktur Pemeriksaan dan Penagihan

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 763
untuk dilakukan pemeriksaan lapangan sesuai dengan ketentuan di bidang
pemeriksaan pajak.

d. untuk dilakukan
Berdasarkan pemeriksaan
pemeriksaan lapangan
lapangan sesuai
dalam dengan ketentuan di bidang
rangka:
pemeriksaan
1) pajak. saat pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan oleh Direktur
penetapan
Pemeriksaan dan Penagihan; atau
d. Berdasarkan
2) tindakpemeriksaan
lanjut oleh lapangan dalamPemeriksaan
Unit Pelaksana rangka: atas usulan Kepala Kantor
1) penetapan Pajak
Pelayanan saat pemanfaatan
tempat Wajibfasilitas Pajak Penghasilan
Pajak tersebut oleh Direktur
terdaftar kepada Direktur
Pemeriksaan dan
Pemeriksaan dan Penagihan
Penagihan;sebagaimana
atau dimaksud pada huruf b dan huruf d
2) tindak
tersebut lanjut oleh Unit Pelaksana Pemeriksaan atas usulan Kepala Kantor
di atas,
Direktur Pelayanan
Pemeriksaan Pajak
dantempat
PenagihanWajib Pajak tersebutusulan
menyampaikan terdaftar kepada
kepada Direktur
Direktur Jenderal
Pemeriksaan
Pajak melalui Direkturdan Penagihan
Peraturan sebagaimana
Perpajakan II untukdimaksud
dilakukan pada huruf b dan
pencabutan huruf d
fasilitas
tersebut diyang
Pajak Penghasilan atas,ditetapkan berdasarkan keputusan Direktur Jenderal Pajak
Direktur
atas nama Pemeriksaan dan Penagihan menyampaikan usulan kepada Direktur Jenderal
Menteri Keuangan.
Pajak melalui Direktur Peraturan Perpajakan II untuk dilakukan pencabutan fasilitas
e. Pajak
DalamPenghasilan
hal pencabutanyangkeputusan
ditetapkanpersetujuan
berdasarkan keputusanFasilitas
pemberian Direktur Jenderal
Pajak Pajak
Penghasilan
atas namaberdasarkan
dilakukan Menteri Keuangan.
hasil pemeriksaan lapangan dengan pertimbangan bahwa Wajib
Pajak:
e. Dalam
1) hal pencabutan keputusan
menggunakan aktiva tetap persetujuan pemberian
yang mendapatkan Fasilitas
fasilitas Pajak
untuk Penghasilan
tujuan selain
dilakukanyangberdasarkan
diberikanhasil pemeriksaan lapangan dengan pertimbangan bahwa Wajib
fasilitas;
Pajak:
2) mengalihkan sebagian atau seluruh aktiva tetap yang mendapatkan fasilitas
1) menggunakan
kecuali aktivayang
aktiva tetap tetapdialihkan
yang mendapatkan
tersebut digantifasilitas untuk
dengan tujuan
aktiva selain
tetap baru;
yang
dan/ataudiberikan fasilitas;
2)
3) mengalihkan
melakukan sebagian atau seluruh
penyalahgunaan fasilitasaktiva
Pajak tetap yang mendapatkan fasilitas
Penghasilan,
kecuali
Wajib Pajak aktiva tetap
dikenakan sanksiyang
sesuaidialihkan
dengantersebut
peraturan diganti dengan aktiva tetap
perundang-undangan baru;
di bidang
perpajakandan/atau
dan tidak dapat lagi diberikan fasilitas Pajak Penghasilan.
3) melakukan penyalahgunaan fasilitas Pajak Penghasilan,
f. Wajib
DalamPajak dikenakan keputusan
hal pencabutan sanksi sesuai dengan peraturan
persetujuan pemberian perundang-undangan di bidang
Fasilitas Pajak Penghasilan
perpajakanberdasarkan
dilakukan dan tidak dapat lagi diberikan
permohonan Wajib fasilitas Pajak Penghasilan.
Pajak kepada Kepala Kantor Pelayanan
Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dan hasil pemeriksaan lapangan dengan
f. Dalam hal pencabutan
pertimbangan bahwa Wajibkeputusan
Pajak:persetujuan pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan
dilakukan
1) berdasarkan
tidak menggunakanpermohonan Wajibyang
aktiva tetap Pajak kepada Kepala
mendapatkan Kantor
fasilitas Pelayanan
untuk tujuan
Pajak tempat
selainWajib
yang Pajak terdaftar
diberikan dan hasil pemeriksaan lapangan dengan
fasilitas;
pertimbangan
2) bahwa Wajib sebagian
tidak mengalihkan Pajak: atau seluruh aktiva tetap yang mendapatkan
1) tidak menggunakan
fasilitas kecuali aktiva aktiva
tetaptetap
yangyang mendapatkan
dialihkan fasilitasdengan
tersebut diganti untuk tujuan
aktiva
selain yang dan/atau
tetap baru; diberikan fasilitas;
2)
3) tidak
tidak mengalihkan sebagian atau seluruh
melakukan penyalahgunaan fasilitasaktiva
Pajak tetap yang mendapatkan
Penghasilan,
fasilitas
Wajib Pajak tidakkecuali
dikenakanaktiva tetapsesuai
sanksi yang dialihkan tersebut diganti
dengan peraturan dengan aktiva
perundang-undangan
di bidangtetap baru; dan/atau
perpajakan dan atas perluasan Penanaman Modal yang berikutnya dapat
3)
diberikan tidak melakukan
fasilitas penyalahgunaan
Pajak Penghasilan, fasilitas
sepanjang Pajak
Wajib Penghasilan,
Pajak belum memanfaatkan
Wajib Pajak
fasilitas Pajaktidak dikenakan
Penghasilan sanksi
atas suratsesuai dengan
keputusan peraturan pemberian
persetujuan perundang-undangan
Fasilitas Pajak
di bidang perpajakan
Penghasilan dan atas perluasan
yang dimohonkan Penanaman
untuk dilakukan Modal yang berikutnya dapat
pencabutan.
diberikan fasilitas Pajak Penghasilan, sepanjang Wajib Pajak belum memanfaatkan
fasilitas Pajak Penghasilan atas surat keputusan persetujuan pemberian Fasilitas Pajak
G. Lain-lain Penghasilan yang dimohonkan untuk dilakukan pencabutan.

Dengan diterbitkannya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini, diminta agar seluruh unit terkait
G. Lain-lain
di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing untuk
melakukan sosialisasi, penggalian potensi penerimaan, dan pengawasan terkait dengan pelaksanaannya.
Dengan diterbitkannya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini, diminta agar seluruh unit terkait
di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing untuk
Demikianmelakukan sosialisasi,
Surat Edaran Direkturpenggalian potensi
Jenderal Pajak penerimaan, untuk
ini disampaikan dan pengawasan terkait
diketahui dan dengan pelaksanaannya.
dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya.

Demikian Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini disampaikan untuk diketahui dan dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 09 Maret 2015
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 09 Maret 2015
ttd.
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
SIGIT PRIADI PRAMUDITO
ttd. 195909171987091001
NIP

SIGIT PRIADI PRAMUDITO


Lampiran
NIP bisa lihat di laman Ortax
195909171987091001

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15732

www.ortax.org
PPh
Ditanggung
Pemerintah
Edisi PPh Badan | Maret 2017 765

No Nomor Dokumen Tanggal Ditetapkan Perihal


1. PP No. 42 Tahun 1995 30 November 1995 Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah Dan Pajak Penghasilan Dalam Rangka
Pelaksanaan Proyek Pemerintah Yang Dibiayai Dengan Hibah Atau Dana
Pinjaman Luar Negeri
2. PP No. 63 Tahun 1998 23 Juni 1998 Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 Tentang
Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah Dan Pajak Penghasilan Dalam Rangka
Pelaksanaan Proyek Pemerintah Yang Dibiayai Dengan Hibah Atau Dana
Pinjaman Luar Negeri
3. PP No. 43 Tahun 2000 23 Juni 2000 Perubahan Kedua Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 Tentang
Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah Dan Pajak Penghasilan Dalam Rangka
Pelaksanaan Proyek Pemerintah Yang Dibiayai Dengan Hibah Atau Dana
Pinjaman Luar Negeri
4. PP No. 25 Tahun 2001 18 Mei 2001 Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995
Tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai
Dan Penjualan Atas Barang Mewah Dan Pajak Penghasilan Dalam
Rangka Pelaksanaan Proyek Pemerintah Yang Dibiayai Dengan Hibah
Atau Dana Pinjaman Luar Negeri
5. 210/PMK.010/2015 27 November 2015 Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah Atas Bunga Atau Imbalan
Surat Berharga Negara Yang Diterbitkan Di Pasar Internasional Dan
Penghasilan Pihak Ketiga Atas Jasa Yang Diberikan Kepada Pemerintah
Dalam Penerbitan Dan/Atau Pembelian Kembali/Penukaran Surat
Berharga Negara Di Pasar Internasional Tahun Anggaran 2015
6. 91/PMK.010/2016 9 Juni 2016 Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah Atas Bunga Atau imbalan
Surat Berharga Negara Yang Diterbitkan Di Pasar Internasional Dan
Penghasilan Pihak Ketiga Atas Jasa Yang Diberikan Kepada Pemerintah
Dalam Penerbitan Dan/Atau Pembelian Kembali/Penukaran Surat
Berharga Negara Di Pasar Internasional Tahun Anggaran 2016
7. 195/PMK.010/2016 19 Desember 2016 Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah Atas Penghasilan Dari
Penghapusan Piutang Negara Yang Diterima Perusahaan Daerah Air
Minum Tertentu Tahun Anggaran 2016
8. 199/PMK.010/2016 27 Desember 2016 Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah Atas Penghasilan Dari
Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Yang Diterima Atau
Diperoleh Masyarakat Yang Terkena Luapan Lumpur Sidoarjo Untuk
Tahun Anggaran 2016

www.ortax.org
Peraturan Pemerintah RI :
766 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PP No. 42 Tahun 1995

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 42 TAHUN 1995

TENTANG

BEA MASUK, BEA MASUK TAMBAHAN, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS
BARANG MEWAH DAN PAJAK PENGHASILAN DALAM RANGKA PELAKSANAAN PROYEK PEMERINTAH
YANG DIBIAYAI DENGAN HIBAH ATAU DANA PINJAMAN LUAR NEGERI

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa dalam rangka menunjang pelaksanaan Proyek Pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau
dana pinjaman luar negeri, dipandang perlu memberikan kemudahan di bidang kepabeanan dan
perpajakan;
b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut, dipandang perlu mengatur tentang Bea Masuk, Bea Masuk
Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Pajak Penghasilan
dalam rangka pelaksanaan Proyek Pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar
negeri dengan Peraturan Pemerintah;

Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Indische Tariefwet (Staatsblad Tahun 1873 Nomor 35) sebagaimana telah diubah dan ditambah;
3. Rechten Ordonnantie (Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471) sebagaimana telah diubah dan ditambah;
4. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (Lembaran
Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3566);
5. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983
Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);
6. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3264) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 (Lembaran
Negara Tahun 1994 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3568);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1969 tentang Pembebanan Atas Impor (Lembaran Negara
Tahun 1969 Nomor 7) sebagaimana telah diubah dan ditambah terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 26 Tahun 1988 (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3384);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun
1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun
1994 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3581);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1994 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan
Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 76,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3579);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG BEA MASUK, BEA MASUK TAMBAHAN, PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH DAN PAJAK PENGHASILAN DALAM
RANGKA PELAKSANAAN PROYEK PEMERINTAH YANG DIBIAYAI DENGAN HIBAH ATAU DANA PINJAMAN LUAR
NEGERI.

Pasal 1

Bea Masuk dan Bea Masuk Tambahan yang terutang sejak tanggal 1 April 1995 atas impor dalam rangka
pelaksanaan Proyek Pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri, dibebaskan.

Pasal 2

Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang sejak tanggal 1 April 1995

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 767

atas impor serta penyerahan Barang dan Jasa dalam rangka pelaksanaan Proyek Pemerintah yang dibiayai
dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri, tidak dipungut.

Pasal 3

Pajak Penghasilan yang terutang sejak tanggal 1 April 1995 oleh kontraktor, konsultan dan pemasok (supplier)
atas penghasilan yang diterima atau diperoleh karena pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan
Proyek Pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri, ditanggung oleh Pemerintah.

Pasal 4

Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini diatur oleh Menteri
Keuangan.

Pasal 5

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 1995 dinyatakan tidak
berlaku.

Pasal 6

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut sejak tanggal
1 April 1995.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Nopember 1995
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Nopember 1995
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

ttd

MOERDIONO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1995 NOMOR 70

Status :
Peraturan Pemerintah - 42 TAHUN 1995 Telah beberapa kali mengalami perubahan atau
penyempurnaan oleh :
1. Peraturan Pemerintah - 25 TAHUN 2001, Tanggal 18 Mei 2001
2. Peraturan Pemerintah - 43 TAHUN 2000, Tanggal 23 Jun 2000
3. Peraturan Pemerintah - 63 TAHUN 1998, Tanggal 23 Jun 1998

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=117

www.ortax.org
Peraturan Pemerintah RI :
768 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PP No. 63 TAHUN 1998

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 63 TAHUN 1998

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 42 TAHUN 1995


TENTANG BEA MASUK, BEA MASUK TAMBAHAN, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS
BARANG MEWAH DAN PAJAK PENGHASILAN DALAM RANGKA PELAKSANAAN PROYEK PEMERINTAH
YANG DIBIAYAI DENGAN HIBAH ATAU DANA PINJAMAN LUAR NEGERI

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa dalam rangka lebih memperlancar pelaksanaan Proyek Pemerintah yang dibiayai dengan hibah,
dipandang perlu memberikan perlakuan di bidang perpajakan;
b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut, dipandang perlu mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 42
Tahun 1995 dengan Peraturan Pemerintah.

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945;


2. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1994 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan
Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 76,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3579);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dan Pajak Penghasilan dalam Rangka
Pelaksanaan Proyek Pemerintah yang Dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 70).

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 42 TAHUN 1995 TENTANG BEA MASUK, BEA MASUK
TAMBAHAN, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH DAN PAJAK
PENGHASILAN DALAM RANGKA PELAKSANAAN PROYEK PEMERINTAH YANG DIBIAYAI DENGAN HIBAH ATAU
DANA PINJAMAN LUAR NEGERI.

Pasal I

Menambah ketentuan baru diantara Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 yang
dijadikan Pasal 3A, yang berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 3A

(1) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang oleh karyawan asing yang bekerja pada kontraktor,
konsultan, dan pemasok (supplier) utama atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
karena pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan Proyek Pemerintah yang
dibiayai dengan hibah, ditanggung oleh Pemerintah.

(2) Pajak Penghasilan yang terutang oleh Kontraktor, Konsultan dan pemasok lapisan kedua atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh karena pekerjaan yang dilakukan dalam rangka
pelaksanaan Proyek Pemerintah yang dibiayai oleh hibah, ditanggung oleh Pemerintah."

Pasal II

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 769

Pada tanggal 23 Juni 1998


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan
Pada tanggal 23 Juni 1998
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

ttd

AKBAR TANDJUNG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1998 NOMOR 107

PENJELASAN
ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 63 TAHUN 1998

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 42 TAHUN 1995


TENTANG BEA MASUK, BEA MASUK TAMBAHAN, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS
BARANG MEWAH DAN PAJAK PENGHASILAN DALAM RANGKA PELAKSANAAN PROYEK PEMERINTAH
YANG DIBIAYAI DENGAN HIBAH ATAU DANA PINJAMAN LUAR NEGERI

UMUM

Dalam rangka lebih menunjang pelaksanaan Proyek Pemerintah yang dibiayai oleh hibah, dipandang perlu
memberikan perlakuan di bidang perpajakan.

Perlakuan perpajakan dimaksud berupa ditanggungnya oleh Pemerintah :


a. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang oleh karyawan asing yang bekerja pada kontraktor,
konsultan dan pemasok utama;
b Pajak Penghasilan yang terutang oleh Kontraktor, konsultan, dan pemasok lapisan kedua.

Sehubungan dengan hal tersebut, dipandang perlu mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995
tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
dan Pajak Penghasilan dalam rangka Pelaksanaan Proyek Pemerintah yang dibiayai dengan Hibah atau Dana
Pinjaman Luar Negeri.

PASAL DEMI PASAL

Pasal I

Pasal 3A

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "Karyawan Asing" adalah warga negara asing yang menerima
atau memperoleh penghasilan dari kontraktor, konsultan atau pemasok utama dalam
rangka pelaksanaan Proyek Pemerintah yang dibiayai dengan hibah.

www.ortax.org
770 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "kontraktor, konsultan dan pemasok lapisan kedua" adalah
kontraktor, konsultan dan pemasok yang menerima pekerjaan dari kontraktor,
konsultan dan pemasok utama dalam rangka pelaksanaan Proyek Pemerintah yang
dibiayai oleh hibah.

Pasal II

Cukup Jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3770

Status :
Peraturan Pemerintah - 63 TAHUN 1998 Telah beberapa kali mengalami perubahan atau
penyempurnaan oleh
1. Peraturan Pemerintah - 25 TAHUN 2001, Tanggal 18 Mei 2001
2. Peraturan Pemerintah - 43 TAHUN 2000, Tanggal 23 Jun 2000

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=154

www.ortax.org
Peraturan Pemerintah RI :
PP No. 43 TAHUN 2000 Edisi PPh Badan | Maret 2017 771

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 43 TAHUN 2000

TENTANG

PERUBAHAN KEDUA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 42 TAHUN 1995


TENTANG BEA MASUK, BEA MASUK TAMBAHAN, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS
BARANG MEWAH DAN PAJAK PENGHASILAN DALAM RANGKA PELAKSANAAN PROYEK PEMERINTAH YANG
DIBIAYAI DENGAN HIBAH ATAU DANA PINJAMAN LUAR NEGERI

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa dalam rangka menetapkan perlakuan adil dalam pengenaan Pajak Penghasilan sehubungan
dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam rangka pelaksanaan proyek
Pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri maka dipandang perlu untuk
mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan,
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Pajak Penghasilan dalam rangka
Pelaksanaan Proyek Pemerintah yang Dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1998;
b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut, dipandang perlu untuk mengatur perubahan tersebut dengan
Peraturan Pemerintah;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;


2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566);
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1994 tentang Perhitungan Penghasilan Kena Pajak dan
Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994
Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3579);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Pajak Penghasilan dalam rangka
Pelaksanaan Proyek Pemerintah yang Dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 70) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 170, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3770);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 42 TAHUN
1995 TENTANG BEA MASUK, BEA MASUK TAMBAHAN, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN
ATAS BARANG MEWAH DAN PAJAK PENGHASILAN DALAM RANGKA PELAKSANAAN PROYEK PEMERINTAH YANG
DIBIAYAI DENGAN HIBAH ATAU DANA PINJAMAN LUAR NEGERI.

Pasal 1

Mengubah beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 tentang Bea Masuk, Bea
Masuk Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Pajak Penghasilan
dalam rangka Pelaksanaan Proyek Pemerintah yang Dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1998, sebagai berikut :

1. Ketentuan Pasal 3 diubah, sehingga Pasal 3 seluruhnya berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 3

Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh kontraktor, konsultan,
dan pemasok (supplier) dari pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan proyek-proyek

www.ortax.org
772 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Pemerintah yang dibiayai dengan dana pinjaman luar negeri dipungut, dipotong atau dibayar sesuai
dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa
kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994."

2. Ketentuan Pasal 3A dihapus.

Pasal II

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Juni 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

ABDURRAHMAN WAHID

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 Juni 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DJOHAN EFFENDI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 95

Status :
Peraturan Pemerintah - 43 TAHUN 1998 Telah beberapa kali mengalami perubahan atau
penyempurnaan oleh Peraturan Pemerintah - 25 TAHUN 2001, Tanggal 18 Mei 2001

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=56

www.ortax.org
Peraturan Pemerintah RI :
PP No. 25 TAHUN 2001 Edisi PPh Badan | Maret 2017 773

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 25 TAHUN 2001

TENTANG

PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 42 TAHUN 1995


TENTANG BEA MASUK, BEA MASUK TAMBAHAN, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PENJUALAN ATAS
BARANG MEWAH DAN PAJAK PENGHASILAN DALAM RANGKA PELAKSANAAN PROYEK PEMERINTAH
YANG DIBIAYAI DENGAN HIBAH ATAU DANA PINJAMAN LUAR NEGERI

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa dalam rangka mempercepat pemulihan ekonomi melalui pelaksanaan Proyek Pemerintah yang dibiayai
dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan
Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Pajak Penghasilan Dalam Rangka Pelaksanaan
Proyek Pemerintah yang Dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua
Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262)
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3984);
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 42 TAHUN
1995 TENTANG BEA MASUK, BEA MASUK TAMBAHAN, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN
ATAS BARANG MEWAH DAN PAJAK PENGHASILAN DALAM RANGKA PELAKSANAAN PROYEK PEMERINTAH YANG
DIBIAYAI DENGAN HIBAH ATAU DANA PINJAMAN LUAR NEGERI.

Pasal I

Mengubah Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan,
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Pajak Penghasilan Dalam Rangka
Pelaksanaan Proyek Pemerintah yang Dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 70) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 95),
sehingga keseluruhan Pasal 3 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 3

Pajak Penghasilan yang terhutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh kontraktor, konsultan
dan pemasok (supplier) utama dari pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan proyek-
proyek Pemerintah yang dibiayai dengan dana hibah dan atau dana pinjaman luar negeri, ditanggung
oleh Pemerintah."

Pasal II

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

www.ortax.org
774 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 18 Mei 2001
PRESIDEN REPUBLIK IND0NESIA,

ttd.

ABDURRAHMAN WAHID

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 18 Mei 2001
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA

ttd.

DJOHAN EFFENDI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 48

PENJELASAN
ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 25 TAHUN 2001

TENTANG

PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 42 TAHUN 1995


TENTANG BEA MASUK, BEA MASUK TAMBAHAN, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PENJUALAN ATAS
BARANG MEWAH DAN PAJAK PENGHASILAN DALAM RANGKA PELAKSANAAN PROYEK PEMERINTAH
YANG DIBIAYAI DENGAN HIBAH ATAU DANA PINJAMAN LUAR NEGERI

UMUM

Bahwa dalam rangka pembangunan nasional dalam rangka pemulihan kegiatan ekonomi serta kelangsungan
pembiayaan proyek-proyek pembangunan yang belum dapat sepenuhnya dapat dibiayai dari penerimaan dalam
negeri, maka peranan dana bantuan luar negeri baik berupa pinjaman luar negeri maupun hibah masih
diperlukan. Untuk itu pemberian fasilitas berupa pajak penghasilan ditanggung oleh pemerintah atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh kontraktor, konsultan dan pemasok (supplier) utama karena
pekerjaan yang dilakukan dalam rangka Proyek Pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman
luar negeri, masih perlu diberikan. Namun demikian, fasilitas hanya bersifat sementara dan akan
dipertimbangkan kembali sesuai dengan kemampuan pembiayaan dari sumber dalam negeri dan
perkembangan sosial ekonomi nasional.

PASAL DEMI PASAL

Pasal I

Pasal 3

Cukup jelas

Pasal II

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4092

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=64

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
210/PMK.010/2015 Edisi PPh Badan | Maret 2017 775

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 210/PMK.010/2015

TENTANG

PAJAK PENGHASILAN DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS BUNGA ATAU


IMBALAN SURAT BERHARGA NEGARA YANG DITERBITKAN DI PASAR
INTERNASIONAL DAN PENGHASILAN PIHAK KETIGA ATAS JASA YANG
DIBERIKAN KEPADA PEMERINTAH DALAM PENERBITAN DAN/ATAU
PEMBELIAN KEMBALI/PENUKARAN SURAT BERHARGA NEGARA
DI PASAR INTERNASIONAL TAHUN ANGGARAN 2015

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2015 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2015, telah tersedia pagu anggaran untuk subsidi Pajak Penghasilan
ditanggung oleh Pemerintah atas bunga atau imbalan surat berharga negara yang diterbitkan di pasar
internasional dan penghasilan pihak ketiga atas jasa yang diberikan kepada Pemerintah dalam
penerbitan dan/atau pembelian kembali/penukaran surat berharga negara di pasar internasional;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan dalam rangka
melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2015 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2015, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pajak
Penghasilan Ditanggung Pemerintah atas Bunga atau Imbalan Surat Berharga Negara yang Diterbitkan
di Pasar Internasional dan Penghasilan Pihak Ketiga atas Jasa yang Diberikan Kepada Pemerintah dalam
Penerbitan dan/atau Pembelian Kembali/Penukaran Surat Berharga Negara di Pasar Internasional Tahun
Anggaran 2015;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4236);
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4852);
4. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun
Anggaran 2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 259, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5593) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5669);
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 228/PMK.05/2010 tentang Mekanisme Pelaksanaan dan
Pertanggungjawaban atas Pajak Ditanggung Pemerintah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 237/PMK.05/2011;
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.08/2013 tentang Penjualan dan Pembelian Kembali Surat
Utang Negara dalam Valuta Asing di Pasar Internasional;
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 238/PMK.08/2014 tentang Penjualan Surat Utang Negara Di Pasar
Perdana Dalam Denominasi Yen Di Jepang;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PAJAK PENGHASILAN DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS BUNGA ATAU
IMBALAN SURAT BERHARGA NEGARA YANG DITERBITKAN DI PASAR INTERNASIONAL DAN PENGHASILAN
PIHAK KETIGA ATAS JASA YANG DIBERIKAN KEPADA PEMERINTAH DALAM PENERBITAN DAN/ATAU PEMBELIAN
KEMBALI/PENUKARAN SURAT BERHARGA NEGARA DI PASAR INTERNASIONAL TAHUN ANGGARAN 2015.

Pasal 1

(1) Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan berupa bunga atau imbalan surat berharga negara
yang di terbitkan di pasar internasional ditanggung Pemerintah.
(2) Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan pihak ketiga atas jasa yang diberikan kepada
Pemerintah dalam penerbitan dan/atau pembelian kembali/penukaran surat berharga negara di pasar
internasional ditanggung Pemerintah.
(3) Penerbitan di pasar internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah kegiatan

www.ortax.org
776 Edisi PPh Badan | Maret 2017

penawaran dan penjualan surat berharga negara dalam valuta asing di luar wilayah Indonesia.
(4) Pembelian kembali/penukaran surat berharga negara di pasar internasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) adalah kegiatan pembelian kembali/penukaran surat berharga negara dalam valuta asing
di pasar internasional oleh Pemerintah sebelum jatuh tempo dengan cara tunai (cash buyback) dan/atau
dengan cara penukaran (exchange offer).
(5) Surat berharga negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) terdiri atas :
a. Surat utang negara, yaitu surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam valuta
asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai
dengan masa berlakunya, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat
Utang Negara; dan
b. Surat berharga syariah negara atau sukuk negara, yaitu surat berharga negara yang diterbitkan
berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset surat berharga
syariah negara, dalam valuta asing, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008
tentang Surat Berharga Syariah Negara.
(6) Penghasilan berupa bunga atau imbalan surat berharga negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
termasuk diskonto surat berharga negara yang diterbitkan di pasar internasional.
(7) Penghasilan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi fee atas jasa pihak ketiga
tersebut dan pembayaran atas biaya-biaya yang timbul dalam pelaksanaan penerbitan dan/atau
pembelian kembali/penukaran surat berharga negara di pasar internasional.
(8) Pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (7) adalah pihak ketiga yang memberikan jasa kepada
pemerintah dalam rangka penerbitan dan/atau pembelian kembali/penukaran surat berharga negara
di pasar internasional antara lain agen penjual, agen pembeli/penukar, bursa efek di luar negeri, agen
fiskal, agen pembayar, lembaga rating, dan konsultan hukum internasional tidak termasuk konsultan
hukum lokal.

Pasal 2

(1) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) merupakan belanja
subsidi Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri
Keuangan mengenai mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawaban atas pajak ditanggung
Pemerintah.
(2) Subsidi Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pagu
anggaran sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2015 dan perubahannya.

Pasal 3

(1) Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara sebagai Pengguna Anggaran Bagian Anggaran
Bendahara Umum Negara menetapkan Direktur Jenderal Pajak c.q. Direktur Potensi Kepatuhan dan
Penerimaan selaku Kuasa Pengguna Anggaran untuk melaksanakan pembayaran subsidi Pajak
Penghasilan ditanggung Pemerintah.
(2) Direktur Jenderal Pajak c.q. Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan selaku Kuasa Pengguna
Anggaran memerintahkan kepada Pejabat Pembuat Komitmen dan Pejabat Penandatangan Surat
Perintah Membayar sesuai tugasnya masing-masing untuk:
a. membuat Surat Permintaan Pembayaran atas realisasi belanja subsidi Pajak Penghasilan
ditanggung Pemerintah;
b. membuat Surat Perintah Membayar; dan
c. menyampaikan Surat Perintah Membayar kepada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara,
Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara, untuk mendapatkan Surat Perintah Pencairan Dana
sebagai pelaksanaan pengeluaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk subsidi
Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah.

Pasal 4

Pelaporan dan pertanggungjawaban Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah atas bunga atau imbalan surat
berharga negara yang diterbitkan di pasar internasional dan penghasilan pihak ketiga atas jasa yang diberikan
kepada Pemerintah dalam penerbitan dan/atau pembelian kembali/penukaran surat berharga negara di pasar
internasional Tahun Anggaran 2015 dilaksanakan oleh Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak c.q. Direktur
Potensi Kepatuhan dan Penerimaan selaku Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran atas belanja subsidi pajak
ditanggung Pemerintah sesuai Peraturan Menteri Keuangan mengenai mekanisme pelaksanaan dan
pertanggungjawaban atas pajak ditanggung Pemerintah.

Pasal 5

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2015 sampai dengan tanggal 31 Desember 2015.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 777

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 November 2015
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

BAMBANG P. S. BRODJONEGORO

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 30 November 2015
DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 1786

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15934

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
778 Edisi PPh Badan | Maret 2017 91/PMK.010/2016

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 91/PMK.010/2016

TENTANG

PAJAK PENGHASILAN DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS BUNGA ATAU


IMBALAN SURAT BERHARGA NEGARA YANG DITERBITKAN DI PASAR
INTERNASIONAL DAN PENGHASILAN PIHAK KETIGA ATAS JASA YANG
DIBERIKAN KEPADA PEMERINTAH DALAM PENERBITAN DAN/ATAU
PEMBELIAN KEMBALI/PENUKARAN SURAT BERHARGA NEGARA
DI PASAR INTERNASIONAL TAHUN ANGGARAN 2016

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015 tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016, telah tersedia pagu anggaran untuk
subsidi Pajak Penghasilan ditanggung oleh Pemerintah atas bunga atau imbalan surat berharga negara
yang diterbitkan di pasar internasional dan penghasilan pihak ketiga atas jasa yang diberikan kepada
Pemerintah dalam penerbitan dan/atau pembelian kembali/penukaran surat berharga negara di pasar
internasional;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan dalam rangka
melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015 tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016, perlu menetapkan Peraturan Menteri
Keuangan tentang Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah atas Bunga atau Imbalan Surat Berharga
Negara yang Diterbitkan di Pasar Internasional dan Penghasilan Pihak Ketiga atas Jasa yang Diberikan
Kepada Pemerintah dalam Penerbitan dan/atau Pembelian Kembali/Penukaran Surat Berharga Negara
di Pasar Internasional Tahun Anggaran 2016;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4236);
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4852);
4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun
Anggaran 2016 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 278, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5767);
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 228/PMK.05/2010 tentang Mekanisme Pelaksanaan dan
Pertanggungjawaban atas Pajak Ditanggung Pemerintah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 632) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 237/PMK.05/2011
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 228/PMK.05/2010 tentang Mekanisme
Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban atas Pajak Ditanggung Pemerintah (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 898);
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 119/PMK.08/2011 tentang Penerbitan dan Penjualan Surat Berharga
Syariah Negara dalam Valuta Asing di Pasar Perdana Internasional (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 460);
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.08/2013 tentang Penjualan dan Pembelian Kembali Surat
Utang Negara dalam Valuta Asing di Pasar Internasional (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013
Nomor 1229) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 264/PMK.08/2015
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.08/2013 tentang Penjualan dan
Pembelian Kembali Surat Utang Negara dalam Valuta Asing di Pasar Internasional (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 2062);
8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 238/PMK.08/2014 tentang Penjualan Surat Utang Negara di Pasar
Perdana dalam Denominasi Yen di Jepang (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1950)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 46/PMK.08/2016 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 238/PMK.08/2014 tentang Penjualan Surat Utang
Negara di Pasar Perdana dalam Denominasi Yen di Jepang (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2016 Nomor 449);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PAJAK PENGHASILAN DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS BUNGA
ATAU IMBALAN SURAT BERHARGA NEGARA YANG DITERBITKAN DI PASAR INTERNASIONAL DAN PENGHASILAN
PIHAK KETIGA ATAS JASA YANG DIBERIKAN KEPADA PEMERINTAH DALAM PENERBITAN DAN/ATAU PEMBELIAN

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 779

KEMBALI/PENUKARAN SURAT BERHARGA NEGARA DI PASAR INTERNASIONAL TAHUN ANGGARAN 2016.

Pasal 1

(1) Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan berupa bunga atau imbalan surat berharga negara
yang diterbitkan di pasar internasional ditanggung Pemerintah.
(2) Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan pihak ketiga atas jasa yang diberikan kepada
Pemerintah dalam penerbitan dan/atau pembelian kembali/penukaran surat berharga negara di pasar
internasional ditanggung Pemerintah.
(3) Penerbitan di pasar internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah kegiatan
penawaran dan penjualan surat berharga negara dalam valuta asing di luar wilayah Indonesia.
(4) Pembelian kembali/penukaran surat berharga negara di pasar internasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) adalah kegiatan pembelian kembali/penukaran surat berharga negara dalam valuta asing
di pasar internasional oleh Pemerintah sebelum jatuh tempo dengan cara tunai (cash buyback) dan/atau
dengan cara penukaran (exchange offer).
(5) Surat berharga negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) terdiri atas :
a. Surat utang negara, yaitu surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam valuta
asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai
dengan masa berlakunya, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat
Utang Negara; dan
b. Surat berharga syariah negara atau sukuk negara, yaitu surat berharga negara yang diterbitkan
berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset surat berharga
syariah negara, dalam valuta asing, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008
tentang Surat Berharga Syariah Negara.
(6) Penghasilan berupa bunga atau imbalan surat berharga negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
termasuk diskonto surat berharga negara yang diterbitkan di pasar internasional.
(7) Penghasilan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi fee atas jasa pihak ketiga
tersebut dan pembayaran atas biaya-biaya yang timbul dalam pelaksanaan penerbitan dan/atau
pembelian kembali/penukaran surat berharga negara di pasar internasional.
(8) Pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (7) adalah pihak ketiga yang memberikan jasa kepada
pemerintah dalam rangka penerbitan dan/atau pembelian kembali/penukaran surat berharga negara
di pasar internasional antara lain agen penjual, agen pembeli/penukar, bursa efek di luar negeri, agen
fiskal, agen pembayar, lembaga rating, dan konsultan hukum internasional tidak termasuk konsultan
hukum lokal.

Pasal 2

(1) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) merupakan belanja
subsidi Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri
Keuangan mengenai mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawaban atas pajak ditanggung
Pemerintah.
(2) Subsidi Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pagu
anggaran sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016 dan perubahannya.

Pasal 3

(1) Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara sebagai Pengguna Anggaran Bagian Anggaran
Bendahara Umum Negara menetapkan Direktur Jenderal Pajak c.q. Direktur Potensi Kepatuhan dan
Penerimaan selaku Kuasa Pengguna Anggaran untuk melaksanakan pembayaran subsidi Pajak
Penghasilan ditanggung Pemerintah.
(2) Direktur Jenderal Pajak c.q. Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan selaku Kuasa Pengguna
Anggaran memerintahkan kepada Pejabat Pembuat Komitmen dan Pejabat Penandatangan Surat
Perintah Membayar sesuai tugasnya masing-masing untuk:
a. membuat Surat Permintaan Pembayaran atas realisasi belanja subsidi Pajak Penghasilan
ditanggung Pemerintah;
b. membuat Surat Perintah Membayar; dan
c. menyampaikan Surat Perintah Membayar kepada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara,
Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara, untuk mendapatkan Surat Perintah Pencairan
Dana sebagai pelaksanaan pengeluaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk
subsidi Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah.

Pasal 4

Pelaporan dan pertanggungjawaban Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah atas bunga atau imbalan surat
berharga negara yang diterbitkan di pasar internasional dan penghasilan pihak ketiga atas jasa yang diberikan
kepada Pemerintah dalam penerbitan dan/atau pembelian kembali/penukaran surat berharga negara di pasar
internasional Tahun Anggaran 2016 dilaksanakan oleh Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak c.q. Direktur
Potensi Kepatuhan dan Penerimaan selaku Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran atas belanja subsidi pajak

www.ortax.org
780 Edisi PPh Badan | Maret 2017

ditanggung Pemerintah sesuai Peraturan Menteri Keuangan mengenai mekanisme pelaksanaan dan
pertanggungjawaban atas pajak ditanggung Pemerintah.

Pasal 5

Peraturan Menteri ini berlaku pada tanggal diundangkan dan mempunyai daya laku surut sejak tanggal
1 Januari 2016.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 Juni 2016
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

BAMBANG P. S. BRODJONEGORO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 Juni 2016
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 895

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=16065

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
195/PMK.010/2016 Edisi PPh Badan | Maret 2017 781

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 195/PMK.010/2016

TENTANG

PAJAK PENGHASILAN DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS PENGHASILAN DARI


PENGHAPUSAN PIUTANG NEGARA YANG DITERIMA PERUSAHAAN
DAERAH AIR MINUM TERTENTU TAHUN ANGGARAN 2016

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2015-2019, telah ditetapkan target Akses Air Minum Layak sebesar 100%
(seratus persen) pada Tahun 2019 sehingga perlu dilakukan upaya perbaikan kondisi keuangan
Perusahaan Daerah Air Minum Tertentu;
b. bahwa dalam rangka upaya perbaikan kondisi keuangan Perusahaan Daerah Air Minum Tertentu
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu dilakukan upaya peningkatan efektifitas dan efisiensi
dalam penyelesaian piutang negara yang bersumber dari Penerusan Pinjaman Luar Negeri, Rekening
Dana Investasi, dan Rekening Pembangunan Daerah yang diterima Perusahaan Daerah Air Minum
Tertentu melalui upaya optimalisasi untuk pengembalian dan/atau penghapusan piutang negara;
c. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2015 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016, telah tersedia
pagu anggaran untuk subsidi Pajak Penghasilan ditanggung oleh Pemerintah atas penghasilan dari
penghapusan secara mutlak piutang negara nonpokok yang bersumber dari Penerusan Pinjaman Luar
Negeri, Rekening Dana Investasi, dan Rekening Pembangunan Daerah yang diterima oleh Perusahaan
Daerah Air Minum Tertentu;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, serta
untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf d Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015 tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Keuangan tentang Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah atas Penghasilan dari Penghapusan
Piutang Negara yang Diterima Perusahaan Daerah Air Minum Tertentu Tahun Anggaran 2016;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun
Anggaran 2016 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 278, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5767) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2016 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5907);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4488) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006
tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan
Piutang Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 83, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4652);
3. Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2016 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Tahun Anggaran 2016 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 153);
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 228/PMK.05/2010 tentang Mekanisme Pelaksanaan dan
Pertanggungjawaban atas Pajak Ditanggung Pemerintah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 632) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 237/PMK.05/2011
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 898);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PAJAK PENGHASILAN DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS


PENGHASILAN DARI PENGHAPUSAN PIUTANG NEGARA YANG DITERIMA PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM
TERTENTU TAHUN ANGGARAN 2016.

Pasal 1

(1) Penghasilan yang diterima Perusahaan Daerah Air Minum Tertentu dari penghapusan piutang negara

www.ortax.org
782 Edisi PPh Badan | Maret 2017

merupakan objek Pajak Penghasilan dan terutang Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Perusahaan Daerah Air Minum Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Perusahaan
Daerah Air Minum yang telah mendapatkan penetapan dari Menteri Keuangan untuk diberikan
penghapusan piutang negara dalam rangka mendukung pelaksanaan strategi pembangunan
infrastruktur/prasarana dasar yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
Tahun 2015-2019 sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(3) Piutang negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan piutang negara nonpokok yang
bersumber dari Penerusan Pinjaman Luar Negeri, Rekening Dana Investasi, dan/atau Rekening
Pembangunan Daerah.
(4) Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penghasilan yang diterima atau diperoleh
pada Tahun Pajak 2015 dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang
disampaikan pada tahun 2016.
(5) Pajak Penghasilan terutang atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditanggung
Pemerintah pada Tahun Anggaran 2016.
(6) Besaran Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah atas penghasilan dari penghapusan piutang negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan selisih antara Pajak Penghasilan terutang dari
Penghasilan Kena Pajak yang memperhitungkan penghapusan piutang negara dengan Pajak Penghasilan
terutang dari Penghasilan Kena Pajak yang tidak memperhitungkan penghapusan piutang negara.

Pasal 2

(1) Untuk mendapatkan Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah, Perusahaan Daerah Air Minum Tertentu
menyampaikan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat pada tanggal
22 Desember 2016.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui Kantor Pelayanan Pajak
dimana Perusahaan Daerah Air Minum Tertentu terdaftar dengan menggunakan Surat Permohonan
sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(3) Surat Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampiri dengan:
a. fotokopi Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2015 dan/atau
pembetulannya;
b. Laporan Keuangan Tahun 2015; dan
c. Lembar Penghitungan Besaran Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah.
(4) Lembar Penghitungan Besaran Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf c, adalah sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 3

(1) Pajak Penghasilan terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (5) merupakan belanja subsidi
Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan
mengenai Mekanisme Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban atas Pajak Ditanggung Pemerintah.
(2) Subsidi Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pagu
anggaran sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016.

Pasal 4

(1) Menteri Keuangan sebagai Pengguna Anggaran Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara menetapkan
Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan selaku Kuasa Pengguna Anggaran untuk melaksanakan
pembayaran subsidi Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah.
(2) Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan selaku Kuasa Pengguna Anggaran berdasarkan
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), memerintahkan kepada Pejabat Pembuat
Komitmen dan Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar sesuai tugasnya masing-masing untuk:
a. membuat Surat Permintaan Pembayaran atas realisasi belanja subsidi Pajak Penghasilan
ditanggung Pemerintah;
b. membuat Surat Perintah Membayar; dan
c. menyampaikan Surat Perintah Membayar kepada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara,
Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara, untuk mendapatkan Surat Perintah Pencairan
Dana sebagai pelaksanaan pengeluaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk
subsidi Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah.

Pasal 5

Pelaporan dan pertanggungjawaban Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah atas penghasilan dari

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 783

penghapusan piutang negara yang diterima Perusahaan Daerah Air Minum Tertentu dilaksanakan oleh Direktorat
Potensi Kepatuhan dan Penerimaan selaku Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran atas belanja subsidi pajak
ditanggung Pemerintah sesuai Peraturan Menteri Keuangan mengenai Mekanisme Pelaksanaan dan
Pertanggungjawaban atas Pajak Ditanggung Pemerintah.

Pasal 6

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan mempunyai daya laku surut terhitung sejak
tanggal 1 Januari 2016.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Desember 2016
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 2016
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 1943

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=16193

www.ortax.org
Peraturan Menteri Keuangan RI :
784 Edisi PPh Badan | Maret 2017 199/PMK.010/2016

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 199/PMK.010/2016

TENTANG

PAJAK PENGHASILAN DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS PENGHASILAN DARI


PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN YANG DITERIMA
ATAU DIPEROLEH MASYARAKAT YANG TERKENA LUAPAN
LUMPUR SIDOARJO UNTUK TAHUN ANGGARAN 2016

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015 tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016, telah tersedia pagu anggaran
untuk subsidi Pajak Penghasilan ditanggung oleh Pemerintah atas penghasilan dari pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan yang diterima atau diperoleh masyarakat yang terkena luapan lumpur
Sidoarjo dalam peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan dalam rangka
melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015 tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Keuangan tentang Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah atas Penghasilan dari Pengalihan
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang Diterima atau Diperoleh Masyarakat yang Terkena Luapan
Lumpur Sidoarjo untuk Tahun Anggaran 2016;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun
Anggaran 2016 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 278, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5767) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2016 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5907);
2. Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo sebagaimana
telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 37 Tahun 2012 tentang
Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan
Lumpur Sidoarjo (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 91);
3. Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2015 tentang Pemberian Dana Antisipasi Untuk Melunasi Pembelian
Tanah dan Bangunan Milik Masyarakat yang Terkena Luapan Lumpur Sidoarjo dalam Peta Area
Terdampak 22 Maret 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 149);
4. Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2016 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Tahun Anggaran 2016 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 153);
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 228/PMK.05/2010 tentang Mekanisme Pelaksanaan dan
Pertanggungjawaban atas Pajak Ditanggung Pemerintah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 632) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 237/PMK.05/2011
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 898);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PAJAK PENGHASILAN DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS


PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH
MASYARAKAT YANG TERKENA LUAPAN LUMPUR SIDOARJO UNTUK TAHUN ANGGARAN 2016.

Pasal 1

(1) Penghasilan yang diterima atau diperoleh masyarakat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada PT Minarak Lapindo Jaya atau Pemerintah,
terutang Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan.
(2) Masyarakat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
orang pribadi dan/atau badan yang terkena luapan lumpur Sidoarjo dan mengalihkan hak atas tanah
dan/atau bangunan yang termasuk dalam peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 kepada
PT Minarak Lapindo Jaya atau Pemerintah.

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 785

(3) Peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan peta
area sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Presiden Nomor 37 Tahun 2012.
(4) Pajak Penghasilan terutang atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditanggung Pemerintah.

Pasal 2

(1) Pajak Penghasilan terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) merupakan belanja subsidi
Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan
mengenai mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawaban atas pajak ditanggung Pemerintah.
(2) Subsidi Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pagu
anggaran sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016.

Pasal 3

(1) Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo harus menyampaikan laporan tiap bulan kepada Direktur
Jenderal Pajak c.q. Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan mengenai data orang pribadi dan/atau
badan yang menerima pembayaran atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun sesuai format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan
berikutnya setelah bulan dilakukannya pembayaran atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
kepada orang pribadi dan/atau badan yang terkena luapan lumpur Sidoarjo.
(4) Terhadap pembayaran yang telah dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan
berikutnya setelah bulan diundangkannya Peraturan Menteri ini.

Pasal 4

(1) Menteri Keuangan selaku Pengguna Anggaran Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara menetapkan
Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan selaku Kuasa Pengguna Anggaran untuk melaksanakan
pembayaran subsidi Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah.
(2) Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan selaku Kuasa Pengguna Anggaran memerintahkan kepada
Pejabat Pembuat Komitmen dan Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar sesuai tugasnya
masing-masing untuk:
a. membuat Surat Permintaan Pembayaran atas realisasi belanja subsidi Pajak Penghasilan
ditanggung Pemerintah;
b. membuat Surat Perintah Membayar; dan
c. menyampaikan Surat Perintah Membayar kepada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara,
Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara, untuk mendapatkan Surat Perintah Pencairan
Dana sebagai pelaksanaan pengeluaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk
subsidi Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah.

Pasal 5

Pelaporan dan pertanggungjawaban Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah atas penghasilan dari pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan yang diterima atau diperoleh masyarakat yang terkena luapan lumpur
Sidoarjo untuk tahun anggaran 2016 dilaksanakan oleh Direktorat Potensi Kepatuhan dan Penerimaan selaku
Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran atas belanja subsidi pajak ditanggung Pemerintah sesuai Peraturan
Menteri Keuangan mengenai mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawaban atas pajak ditanggung
Pemerintah.

Pasal 6

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan mempunyai daya laku surut sejak
1 Januari 2016.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

www.ortax.org
786 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Desember 2016
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Desember 2016
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 2002

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=16206

www.ortax.org
KLASIFIKASI
Lapangan Usaha
788 Edisi PPh Badan | Maret 2017

No Nomor Dokumen Tanggal Ditetapkan Perihal


1. KEP-233/PJ/2012 10 Juli 2012 Klasifikasi Lapangan Usaha Wajib Pajak
2. KEP - 321/PJ/2012 31 Oktober 2012 Perubahan Atas Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-233/
PJ/2012 Tentang Klasifikasi Lapangan Usaha Wajib Pajak

www.ortax.org
Keputusan Direktur Jenderal Pajak :
KEP - 233/PJ/2012 Edisi PPh Badan | Maret 2017 789

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR KEP - 233/PJ/2012

TENTANG

KLASIFIKASI LAPANGAN USAHA WAJIB PAJAK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa sehubungan dengan adanya Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 57 Tahun 2009 tentang
Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia dan dalam rangka mewujudkan administrasi perpajakan yang lebih
akurat dan informatif, perlu menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Klasifikasi Lapangan Usaha
Wajib Pajak;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5132);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312)
sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3569);
5. Undang-Undang Nomor 22 tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2012
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 113);
6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-44/PJ/2008 tentang Tata Cara Pendaftaran Nomor Pokok
Wajib Pajak dan/atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, sebagaimana telah diubah dua kali dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 41/PJ/2009 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
62/PJ/2010;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG KLASIFIKASI LAPANGAN USAHA WAJIB PAJAK.

KESATU :

Klasifikasi Lapangan Usaha Wajib Pajak, selanjutnya disebut KLU, disusun menurut Kategori, Golongan Pokok,
Golongan Sub Golongan dan Kelompok Kegiatan Ekonomi sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Keputusan
Direktur Jenderal Pajak ini.

KEDUA :

Kode KLU dipergunakan untuk :


a. Tata Usaha Wajib Pajak, seperti data Kelompok Kegiatan Ekonomi Wajib Pajak dalam Master File Wajib
Pajak, Kelompok Kegiatan Ekonomi pada SPT Pajak Penghasilan;
b. Dasar penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Netto;
c. Keperluan khusus lainnya.

KETIGA :

www.ortax.org
790 Edisi PPh Badan | Maret 2017

Pada saat Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, maka Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-34/PJ/2003 tanggal 14 Pebruari 2003 tentang Klasifikasi Lapangan Usaha Wajib Pajak dinyatakan tidak
berlaku.

KEEMPAT :

Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus 2012.

Salinan Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini disampaikan kepada :


1. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak;
2. Para Direktur, Para Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, Para Tenaga Pengkaji, dan Kepala
Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan;
3. Para Kepala Kantor Pelayanan Pajak,
untuk diketahui dan digunakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Juli 2012
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001

Status :
Keputusan Dirjen Pajak - KEP - 233/PJ/2012 Telah mengalami perubahan atau penyempurnaan
oleh Keputusan Dirjen Pajak - KEP - 321/PJ/2012, Tanggal 31 Okt 2012

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15061

www.ortax.org
Keputusan Direktur Jenderal Pajak :
KEP - 321/PJ/2012 Edisi PPh Badan | Maret 2017 791

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR KEP - 321/PJ/2012

TENTANG

PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP-233/PJ/2012


TENTANG KLASIFIKASI LAPANGAN USAHA WAJIB PAJAK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa untuk tertib administrasi perpajakan yang lebih akurat serta untuk transparansi pendapatan negara dari
pajak yang diuraikan per sektor, maka perlu menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Perubahan
atas Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-233/PJ/2012 tentang Klasifikasi Lapangan Usaha Wajib Pajak;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16
Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5132);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312)
sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3569);
5. Undang-Undang Nomor 22 tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2012
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia 5254) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara Tahun Anggaran 2012 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 87, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5303);
6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-44/PJ/2008 tentang Tata Cara Pendaftaran Nomor Pokok
Wajib Pajak dan/atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Perubahan Data Dan Pemindahan Wajib Pajak
dan/atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ/2010;
7. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-233/PJ/2012 tentang Klasifikasi Lapangan Usaha Wajib
Pajak;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan:

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR KEP-233/PJ/2012 TENTANG KLASIFIKASI LAPANGAN USAHA WAJIB PAJAK.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-233/PJ/2012 tentang Klasifikasi
Lapangan Usaha Wajib Pajak diubah sebagai berikut :

1. Diktum KEDUA diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

KEDUA :

Kode KLU dipergunakan untuk :

www.ortax.org
792 Edisi PPh Badan | Maret 2017

a. Penatausahaan data Wajib Pajak, seperti data Kelompok Kegiatan Ekonomi Wajib Pajak dalam
Master File Wajib Pajak dan Kelompok Kegiatan Ekonomi pada Surat Pemberitahuan;
b. Dasar penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto;
c. Keperluan lainnya.

2. Di antara Diktum KEDUA dan Diktum KETIGA disisipkan 1 (satu) diktum, yakni diktum KEDUA A
sehingga berbunyi sebagai berikut:

KEDUA A :

KLU sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini selanjutnya disebut KLU 2012.

3. Diktum KEEMPAT diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

KEEMPAT :

Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2013.

4. Lampiran I diubah sehingga menjadi sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini.

5. Lampiran II diubah sehingga menjadi sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal II

Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Salinan Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini disampaikan kepada:


1. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak;
2. Para Direktur, Para Tenaga Pengkaji, Kepala Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan dan
Para Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak;
3. Para Kepala Kantor Pelayanan Pajak,
untuk diketahui dan digunakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Oktober 2012
DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd.

A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15155

www.ortax.org
FORMULIR
SPT Tahunan
PPh Badan
794 Edisi PPh Badan | Maret 2017

No Nomor Dokumen Tanggal Ditetapkan Perihal


1. PER - 34/PJ/2010 27 Juli 2010 Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
Wajib Pajak Orang Pribadi Dan Wajib Pajak Badan Beserta Petunjuk
Pengisiannya
2. PER - 26/PJ/2013 05 Juli 2013 Perubahan Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/
PJ/2010 Tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Dan Wajib Pajak Badan Beserta
Petunjuk Pengisiannya
3. PER - 05/PJ/2014 18 Februari 2014 Bentuk Dan Isi Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Bagi
Wajib Pajak Yang Melakukan Kegiatan Di Bidang Usaha Hulu Minyak
Dan/Atau Gas Bumi
4. PER - 19/PJ/2014 03 Juli 2014 Perubahan Kedua Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-
34/PJ/2010 Tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Dan Wajib Pajak Badan
Beserta Petunjuk Pengisiannya
5. PER - 36/PJ/2015 12 Oktober 2015 Perubahan Ketiga Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-
34/PJ/2010 Tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Dan Wajib Pajak Badan
Beserta Petunjuk Pengisiannya
6. S - 150/PJ.03/2017 01 Maret 2017 Penegasan Penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak
Penghasilan (PPh) Terkait Penyampaian Surat Pernyataan Harta (SPH)
Untuk Pengampunan Pajak

www.ortax.org
Peraturan Direktur Jenderal Pajak :
PER - 34/PJ/2010 Edisi PPh Badan | Maret 2017 795

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 34/PJ/2010

TENTANG

BENTUK FORMULIR SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK


ORANG PRIBADI DAN WAJIB PAJAK BADAN BESERTA PETUNJUK PENGISIANNYA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.03/2007 tentang
Bentuk dan Isi Surat Pemberitahuan, serta Tata Cara Pengambilan, Pengisian, Penandatanganan, dan
Penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
152/PMK.03/2009, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Bentuk Formulir Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan Beserta Petunjuk
Pengisiannya;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.03/2007 tentang Bentuk dan Isi Surat Pemberitahuan,
Serta Tata Cara Pengambilan, Pengisian, Penandatanganan, dan Penyampaian Surat Pemberitahuan
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152/PMK.03/2009;
4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerimaan dan
Pengolahan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2010;
5. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-214/PJ./2001 tentang Keterangan dan atau Dokumen
Lain yang Harus Dilampirkan;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG BENTUK FORMULIR SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN
PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DAN WAJIB PAJAK BADAN BESERTA PETUNJUK
PENGISIANNYA.

Pasal 1

(1) Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi
(Formulir 1770 dan Lampiran-Lampirannya) bagi Wajib Pajak yang mempunyai penghasilan:
a. dari usaha/pekerjaan bebas yang menyelenggarakan pembukuan atau Norma Penghitungan
Penghasilan Neto;
b. dari satu atau lebih pemberi kerja;
c. yang dikenakan Pajak Penghasilan Final dan atau bersifat Final; dan/atau
d. penghasilan lain,
adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini.
(2) Petunjuk Pengisian Formulir 1770 dan Lampiran-Lampirannya adalah sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 2

(1) Bentuk Formulir SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Sederhana (Formulir 1770 S
dan Lampiran-Lampirannya) bagi Wajib Pajak yang mempunyai penghasilan:
a. dari satu atau lebih pemberi kerja;
b. dari dalam negeri lainnya; dan/atau
c. yang dikenakan Pajak Penghasilan final dan/atau bersifat final,
adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini.

www.ortax.org
796 Edisi PPh Badan | Maret 2017

(2) Petunjuk Pengisian Formulir 1770 S dan Lampiran-Lampirannya adalah sebagaimana tercantum dalam
Lampiran IV yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 3

(1) Bentuk Formulir SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Sangat Sederhana (Formulir
1770 SS) bagi Wajib Pajak yang mempunyai penghasilan hanya dari satu pemberi kerja dengan jumlah
penghasilan bruto dari pekerjaan tidak lebih dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) setahun
dan tidak mempunyai penghasilan lain kecuali penghasilan berupa bunga bank dan/atau bunga
koperasi adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Dalam hal Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan dengan menggunakan Formulir
1770 SS maka Lampiran Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 berupa Bukti Pemotongan 1721
A1 dan/atau 1721 A2 merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Formulir 1770 SS.

Pasal 4

(1) Bentuk Formulir SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan (Formulir 1771 dan Lampiran-
Lampirannya) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Bentuk Formulir SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan bagi Wajib Pajak yang diizinkan
menyelenggarakan pembukuan dalam mata uang Dollar Amerika Serikat (Formulir 1771/$ dan
Lampiran-Lampirannya) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII yang tidak terpisahkan
dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(3) Petunjuk Pengisian Formulir SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan adalah sebagaimana
tercantum dalam Lampiran VIII yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 5

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini berlaku,


1. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2009 tentang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Beserta Petunjuk Pengisiannya sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-66/PJ/2009;dan
2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-39/PJ/2009 tentang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak Badan Beserta Petunjuk Pengisiannya

tetap berlaku sepanjang digunakan untuk pengisian SPT Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2009.

Pasal 6

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan diberlakukan untuk pengisian
SPT Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2010 dan seterusnya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Juli 2010
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

MOCHAMAD TJIPTARDJO
NIP 195104281975121002

Status :
Peraturan Dirjen Pajak - PER - 34/PJ/2010 Telah beberapa kali mengalami perubahan atau
penyempurnaan oleh :
1. Peraturan Dirjen Pajak - PER - 36/PJ/2015, Tanggal 12 Okt 2015
2. Peraturan Dirjen Pajak - PER - 19/PJ/2014, Tanggal 3 Jul 2014
3. Peraturan Dirjen Pajak - PER - 26/PJ/2013, Tanggal 5 Jul 2013

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 797

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=14347

www.ortax.org
Peraturan Direktur Jenderal Pajak :
798 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PER - 26/PJ/2013

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 26/PJ/2013

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR


PER-34/PJ/2010 TENTANG BENTUK FORMULIR SURAT PEMBERITAHUAN
TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DAN WAJIB
PAJAK BADAN BESERTA PETUNJUK PENGISIANNYA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

a. bahwa untuk memberikan kemudahan, kepastian hukum, dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib
Pajak dalam melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak penghasilan;
b. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.03/2007
tentang Bentuk dan Isi Surat Pemberitahuan, serta Tata cara Pengambilan, Pengisian, Penandatanganan,
dan Penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 152/PMK.03/2009;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b perlu menetapkan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-34/PJ/2010 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak
Orang Pribadi dan Wajib Badan Beserta Petunjuk Pengisiannya;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan
Kewajiban Perpajakan;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.03/2007 tentang Bentuk dan Isi Surat Pemberitahuan,
serta Tata Cara Pengambilan, Pengisian, Penandatanganan, dan Penyampaian Surat Pemberitahuan
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152/PMK.03/2009;
5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2010 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan Beserta Petunjuk
Pengisiannya;
6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-26/PJ/2012 tentang Tata Cara Penerimaan dan Pengolahan
Surat Pemberitahuan Tahunan;
7. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-214/PJ./2001 tentang Keterangan dan/atau Dokumen
Lain yang Harus Dilampirkan;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER-34/PJ/2010 TENTANG BENTUK FORMULIR SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN
WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DAN WAJIB PAJAK BADAN BESERTA PETUNJUK PENGISIANNYA.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2010 tentang Bentuk Formulir
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan Beserta
Petunjuk Pengisiannya diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan dalam Pasal 3 diubah sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3

Bentuk Formulir SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Sangat Sederhana (Formulir
1770 SS) bagi Wajib Pajak yang mempunyai penghasilan selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 799

dengan jumlah penghasilan bruto tidak lebih dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) setahun
adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini.

2. Ketentuan Lampiran V diubah dengan Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal II

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan diberlakukan untuk pengisian
SPT Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2013 dan seterusnya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Juli 2013
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

A. FUAD RAHMANY

Status :
Peraturan Dirjen Pajak - PER - 26/PJ/2013 Telah beberapa kali mengalami perubahan atau
penyempurnaan oleh :
1 Peraturan Dirjen Pajak - PER - 36/PJ/2015, Tanggal 12 Okt 2015
2 Peraturan Dirjen Pajak - PER - 19/PJ/2014, Tanggal 3 Jul 2014

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15321

www.ortax.org
Peraturan Direktur Jenderal Pajak :
800 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PER - 05/PJ/2014

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 05/PJ/2014

TENTANG

BENTUK DAN ISI SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN


BAGI WAJIB PAJAK YANG MELAKUKAN KEGIATAN DI BIDANG USAHA HULU
MINYAK DAN/ATAU GAS BUMI

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

a. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian hukum, serta meningkatkan pelayanan,
tertib administrasi dan pengawasan kepada Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di bidang usaha hulu
minyak dan gas bumi dalam melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak
penghasilan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, serta untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 31 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang
Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, perlu
menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Bentuk Dan Isi Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang Melakukan Kegiatan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan/atau
Gas Bumi;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan
Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5173);
4. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu
Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 24);
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.03/2007 tentang Bentuk, dan Isi Surat Pemberitahuan,
serta Tata Cara Pengambilan, Pengisian, Penandatanganan, dan Penyampaian Surat Pemberitahuan
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152/PMK.03/2009;
6. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-214/PJ./2001 tentang Keterangan dan atau Dokumen
yang Harus Dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan;
7. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2010 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan Beserta Petunjuk
Pengisiannya sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-26/PJ/2013;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

BENTUK DAN ISI SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN BAGI WAJIB PAJAK YANG MELAKUKAN
KEGIATAN DI BIDANG USAHA HULU MINYAK DAN/ATAU GAS BUMI.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini, yang dimaksud dengan:


1. Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun
Pajak.
2. Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 801

dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
3. Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak bagi hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan
eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
4. Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk
menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas bumi di wilayah kerja yang
ditentukan.
5. Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan minyak dan gas bumi dari
wilayah kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan
sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian minyak dan gas
bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya.
6. Kontraktor adalah badan usaha atau bentuk usaha tetap yang ditetapkan untuk melakukan eksplorasi
dan eksploitasi pada suatu wilayah kerja berdasarkan kontrak kerja sama dengan Badan Pelaksana
atau SKK Migas.
7. Operator adalah kontraktor atau dalam hal kontraktor terdiri atas beberapa pemegang participating
interest, salah satu pemegang participating interest yang ditunjuk sebagai wakil oleh pemegang
participating interest lainnya sesuai dengan kontrak kerja sama.
8. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang selanjutnya disingkat
SKK Migas adalah satuan kerja penyelenggara pengelolaan kegiatan usaha hulu migas yang dibentuk
sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan
Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
9. Financial Quarterly Report yang selanjutnya disingkat FQR adalah laporan anggaran dan realisasi lifting,
biaya operasi dan bagi hasil serta kewajiban perpajakan yang wajib disampaikan oleh Operator kepada
SKK Migas secara kuartalan untuk masing-masing wilayah kerja.
10. First Tranche Petroleum yang selanjutnya disingkat FTP adalah sejumlah tertentu minyak mentah
dan/atau gas bumi yang diproduksi dari suatu wilayah kerja dalam satu tahun kalender, yang dapat
diambil dan diterima oleh SKK Migas dan/atau kontraktor dalam tiap tahun kalender, sebelum dikurangi
pengembalian biaya operasi dan penanganan produksi (own use).
11. Equity to be Split adalah hasil produksi yang tersedia untuk dibagi (lifting) antara SKK Migas dan
kontraktor setelah dikurangi FTP, insentif investasi (jika ada), dan pengembalian biaya operasi.
12. Investment Credit yang selanjutnya disebut insentif investasi adalah tambahan pengembalian biaya
modal dalam jumlah tertentu, yang berkaitan langsung dengan fasilitas produksi, yang diberikan
sebagai insentif untuk pengembangan lapangan minyak dan/atau gas bumi tertentu.
13. Participating Interest adalah hak dan kewajiban sebagai kontraktor kontrak kerja sama baik secara
langsung maupun tidak langsung pada suatu wilayah kerja.
14. Domestic Market Obligation yang selanjutnya disingkat DMO adalah kewajiban penyerahan bagian
kontraktor berupa minyak dan/atau gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
15. DMO fee atau imbalan DMO adalah imbalan yang dibayarkan oleh Pemerintah kepada kontraktor atas
penyerahan minyak dan/atau gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan menggunakan
harga yang ditetapkan oleh Menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi kegiatan usaha
minyak dan gas bumi.
16. Harga minyak mentah Indonesia adalah harga minyak mentah yang ditetapkan oleh Menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kegiatan usaha minyak dan gas bumi secara periodik.
17. Lifting price variance atau varian harga atas lifting adalah selisih harga yang terjadi karena perbedaan
harga minyak mentah Indonesia bulanan dengan harga minyak mentah Indonesia rata-rata tertimbang.
18. Biaya bukan modal (non Capital cost) adalah biaya yang dikeluarkan pada kegiatan operasi tahun
berjalan yang mempunyai masa manfaat kurang dari 1 (satu) tahun, termasuk survei dan intangible
drilling cost
19. Biaya modal (capital cost) adalah pengeluaran yang dilakukan untuk peralatan atau barang yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang pembebanannya pada tahun berjalan melalui
penyusutan.

BAB II
BENTUK FORMULIR DAN LAMPIRAN SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN

Pasal 2

Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan bagi Kontraktor adalah sebagaimana
ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2010 tentang Bentuk Formulir Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan Beserta Petunjuk
Pengisiannya, dan perubahannya.

Pasal 3

Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib dilampiri dengan

www.ortax.org
802 Edisi PPh Badan | Maret 2017

keterangan dan/atau dokumen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk:
a. FQR untuk Tahun Pajak yang bersangkutan; dan
b. Bukti penyetoran Pajak Penghasilan;

Pasal 4

Kontraktor wajib mengisi Lampiran Khusus Penghitungan Pajak Penghasilan yang meliputi:
a. Lampiran Khusus Penghitungan Pajak Penghasilan Badan bagi Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas;
b. Lampiran Khusus Penghitungan Branch Profit Tax/Pajak atas Dividen bagi Kontraktor Kontrak Kerja
Sama Migas;
c. Lampiran Khusus Rincian Biaya pada Tahapan Eksplorasi dalam rangka Kontrak Kerja Sama Migas atau
Lampiran Khusus Rincian Biaya pada Tahapan Eksploitasi dalam rangka Kontrak Kerja Sama Migas;
d. Lampiran Khusus Daftar Penyusutan dalam Rangka Kontrak Kerja Sama Migas;
e. Lampiran Khusus Rincian FTP Share Bagian Kontraktor; dan
f. Lampiran Khusus Laporan Perubahan Participating Interest;

BAB III
LAMPIRAN KHUSUS PENGHITUNGAN
PAJAK PENGHASILAN BADAN DAN LAMPIRAN KHUSUS
PENGHITUNGAN BRANCH PROFIT TAX/PAJAK ATAS DIVIDEN
ATAS PENGHASILAN DARI KONTRAK KERJA SAMA MIGAS

Pasal 5

(1) Lampiran Khusus Penghitungan Pajak Penghasilan Badan bagi Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan Badan
dalam rangka Kontrak Kerja Sama, meliputi:
a. Peredaran Usaha;
b. Biaya Usaha;
c. Penghasilan Kena Pajak;
d. PPh Badan Terutang;
e. Kredit Pajak PPh Badan;
f. PPh Badan yang Kurang (Lebih) dibayar.
(2) Peredaran usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. FTP Share;
b. Equity Share;
c. Insentif Investasi;
d. Cost Recovery;
e. DMO;
f. DMO Fee; dan
g. Lifting Price Variance;
(3) Bentuk Lampiran Khusus Penghitungan Pajak Penghasilan Badan bagi Kontraktor Kontrak Kerja Sama
Migas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta petunjuk umum dan petunjuk pengisiannya adalah
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 6

(1) Penghasilan atas FTP share sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a, Pajak Penghasilannya
dihitung pada saat Kontraktor mencapai equity to be split.
(2) Dalam hal FTP share diterima sebelum Kontraktor mencapai equity to be split, maka kewajiban Pajak
Penghasilan atas FTP share yang diterima tersebut penghitungannya ditangguhkan sampai dengan
Kontraktor mencapai equity to be split
(3) Dalam hal terjadi pengalihan participating interest oleh Kontraktor yang belum mencapai equity to be
split, maka kewajiban Pajak Penghasilan atas FTP share yang penghitungannya ditangguhkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menjadi kewajiban Kontraktor pemegang participating interest
pada saat mencapai equity to be split.
(4) Dalam hal Kontraktor pemegang participating interest pada saat mencapai equity to be split
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum memenuhi kewajiban Pajak Penghasilan atas FTP share
yang penghitungannya ditangguhkan namun telah mengalihkan participating interest kepada Kontraktor
lain, kewajiban Pajak Penghasilan atas FTP share yang penghitungannya ditangguhkan tersebut menjadi
kewajiban Kontraktor pemegang participating interest terakhir.

Pasal 7

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 803

(1) Lampiran Khusus Penghitungan Branch Profit Tax/Pajak atas Dividen bagi Kontraktor Kontrak Kerja
Sama Migas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b digunakan untuk menghitung pajak atas
Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c setelah dikurangi PPh
Badan Terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d yang terutang oleh Kontraktor.
(2) Bentuk Lampiran Khusus Penghitungan Branch Profit Tax/Pajak atas Dividen bagi Kontraktor Kontrak
Kerja Sama Migas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta petunjuk pengisiannya adalah
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini.

BAB IV
LAMPIRAN KHUSUS RINCIAN BIAYA DAN DAFTAR PENYUSUTAN
DALAM RANGKA KONTRAK KERJA SAMA MIGAS

Pasal 8

(1) Biaya usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b meliputi:
a. Biaya bukan modal tahun berjalan;
b. Penyusutan biaya modal tahun berjalan;
c. Biaya operasi yang belum dapat dikembalikan tahun sebelumnya;
(2) Dalam hal terdapat penghasilan tambahan yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan operasi
perminyakan dalam bentuk hasil penjualan produk sampingan atau bentuk lainnya diperlakukan
sebagai pengurang biaya operasi.

Pasal 9

(1) Biaya usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dirinci dalam laporan yang terpisah untuk
tahapan eksplorasi dan untuk tahapan eksploitasi.
(2) Untuk Kontraktor yang masih dalam tahapan eksplorasi, rincian biaya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan dalam Lampiran Khusus Rincian Biaya pada tahapan Eksplorasi dalam rangka
Kontrak Kerja Sama Migas yang bentuk serta petunjuk pengisiannya adalah sebagaimana ditetapkan
dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini.
(3) Untuk Kontraktor yang sudah dalam tahapan eksploitasi, maka rincian biaya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan dalam Lampiran Khusus Rincian Biaya pada Tahapan Eksploitasi dalam
rangka Kontrak Kerja Sama Migas yang bentuk serta petunjuk pengisiannya adalah sebagaimana
ditetapkan dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini.
(4) Dalam hal di Tahun Pajak yang bersangkutan Kontraktor beralih dari tahapan eksplorasi ke tahapan
eksploitasi, biaya usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dirinci untuk masing-masing tahapan
dalam bentuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3).

Pasal 10

(1) Penyusutan biaya modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b dirinci penghitungannya
per harta dengan menggunakan Lampiran Khusus Daftar Penyusutan dalam Rangka Kontrak Kerja Sama
Migas.
(2) Penghitungan penyusutan dilakukan sesuai metode penyusutan, kelompok, tarif, dan masa manfaat
sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi
yang dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
(3) Untuk Kontrak Kerja Sama yang ditandatangani sebelum Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010
diberlakukan, apabila ketentuan penghitungan penyusutan sudah diatur secara jelas di dalam kontrak,
maka mengikuti ketentuan dalam kontrak kerja sama bersangkutan.
(4) Bentuk Lampiran Khusus Daftar Penyusutan dalam Rangka Kontrak Kerja Sama Migas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) serta petunjuk pengisiannya adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran V
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(5) Lampiran Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menggantikan kewajiban melampirkan Lampiran
Khusus Daftar Penyusutan dan Amortisasi Fiskal (Lampiran Khusus IA), sebagaimana diatur dalam
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2010 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan Beserta Petunjuk
Pengisiannya, dan perubahannya.

BAB V
LAMPIRAN KHUSUS RINCIAN FTP SHARE BAGIAN KONTRAKTOR

www.ortax.org
804 Edisi PPh Badan | Maret 2017

YANG PENGENAAN PAJAKNYA DITANGGUHKAN DAN LAPORAN


PERUBAHAN PARTICIPATING INTEREST

Pasal 11

(1) Kontraktor yang sudah mencapai tahapan eksploitasi namun belum mencapai equity to be split wajib
menyampaikan Lampiran Khusus Rincian FTP Share Bagian Kontraktor sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf e yang bentuk dan petunjuk pengisiannya adalah sebagaimana ditetapkan dalam
Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) FTP share sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. FTP share tahun berjalan;
b. FTP share tahun-tahun sebelumnya yang penghitungan kewajiban Pajak Penghasilannya
ditangguhkan sampai dengan equity to be split
c. Dalam hal Kontraktor menerima pengalihan participating interest dari Kontraktor lain, FTP share
tahun-tahun sebelumnya yang penghitungan kewajiban Pajak Penghasilannya ditangguhkan
sampai dengan equity to be split sebagaimana dimaksud pada huruf b juga meliputi FTP share
kontraktor lain yang penghitungan Pajak Penghasilannya ditangguhkan.

Pasal 12

Kontraktor wajib menyampaikan Lampiran Khusus Laporan Perubahan Participating Interest sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf f yang bentuk dan petunjuk pengisiannya adalah sebagaimana ditetapkan dalam
Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

BAB VI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 13

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-28/PJ/2011 tentang Bentuk Dan Isi Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang
Melakukan Kegiatan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan/atau Gas Bumi, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 14

Peraturan Direktur Jenderal Paj ak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan diberlakukan untuk pengisian
SPT Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2013 dan seterusnya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Februari 2014
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

A. FUAD RAHMANY

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15467

www.ortax.org
Peraturan Direktur Jenderal Pajak :
PER - 19/PJ/2014 Edisi PPh Badan | Maret 2017 805

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 19/PJ/2014

TENTANG

PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER-34/PJ/2010 TENTANG BENTUK FORMULIR SURAT
PEMBERITAHUAN TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK ORANG
PRIBADI DAN WAJIB PAJAK BADAN BESERTA PETUNJUK PENGISIANNYA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

a. bahwa untuk memberikan kemudahan, kepastian hukum, dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib
Pajak dalam melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak Penghasilan;
b. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.03/2007
tentang Bentuk dan Isi Surat Pemberitahuan, serta Tata Cara Pengambilan, Pengisian,
Penandatanganan, dan Penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 152/PMK.03/2009;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b perlu menetapkan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-34/PJ/2010 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib
Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan Beserta Petunjuk Pengisiannya;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan
Kewajiban Perpajakan;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.03/2007 tentang Bentuk dan Isi Surat Pemberitahuan,
serta Tata Cara Pengambilan, Pengisian, Penandatanganan, dan Penyampaian Surat Pemberitahuan
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152/PMK.03/2009;
5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2010 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan Beserta Petunjuk
Pengisiannya sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-26/PJ/2013;
6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-26/PJ/2012 tentang Tata Cara Penerimaan dan
Pengolahan Surat Pemberitahuan Tahunan;
7. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-214/PJ./2001 tentang Keterangan dan/atau Dokumen
Lain yang Harus Dilampirkan;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL
PAJAK NOMOR PER-34/PJ/2010 TENTANG BENTUK FORMULIR SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN PAJAK
PENGHASILAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DAN WAJIB PAJAK BADAN BESERTA PETUNJUK PENGISIANNYA.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2010 tentang Bentuk Formulir
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan Beserta
Petunjuk Pengisiannya sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-26/PJ/2013 diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan dan lampiran dalam Pasal 1 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1

(1) Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi
(Formulir 1770 dan Lampiran-Lampirannya) bagi Wajib Pajak yang mempunyai penghasilan:

www.ortax.org
806 Edisi PPh Badan | Maret 2017

a. dari usaha/pekerjaan bebas;


b. dari satu atau lebih pemberi kerja;
c. yang dikenakan Pajak Penghasilan Final dan/atau bersifat Final; dan/atau
d. dalam negeri lainnya/luar negeri,
adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Petunjuk pengisian Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang
Pribadi (Formulir 1770 dan Lampiran-Lampirannya) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini.

2. Ketentuan dan lampiran dalam Pasal 2 diubah sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2

(1) Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi
Sederhana (Formulir 1770 S dan Lampiran-Lampirannya) bagi Wajib Pajak yang mempunyai
penghasilan:
a. dari satu atau lebih pemberi kerja;
b. dalam negeri lainnya; dan/atau
c. yang dikenakan Pajak Penghasilan final dan/atau bersifat final,
adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Petunjuk pengisian Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang
Pribadi Sederhana (Formulir 1770 S dan Lampiran-Lampirannya) sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

3. Ketentuan dan lampiran dalam Pasal 3 diubah sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3

Bentuk dan petunjuk pengisian Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak
Orang Pribadi Sangat Sederhana (Formulir 1770 SS) bagi Wajib Pajak yang mempunyai penghasilan
selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas dengan jumlah penghasilan bruto tidak lebih dari
Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) setahun adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran V
yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

4. Ketentuan dan lampiran dalam Pasal 4 diubah sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4

(1) Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan (Formulir
1771 dan Lampiran-Lampirannya) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan bagi Wajib
Pajak yang diizinkan menyelenggarakan pembukuan dalam mata uang Dollar Amerika Serikat
(Formulir 1771/$ dan Lampiran-Lampirannya) adalah sebagaimana tercantum dalam
Lampiran VII yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(3) Petunjuk pengisian Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak
Badan (Formulir 1771 dan Lampiran-Lampirannya) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan bagi Wajib Pajak yang
diizinkan menyelenggarakan pembukuan dalam mata uang Dollar Amerika Serikat (Formulir
1771/$ dan Lampiran-Lampirannya) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah sebagaimana
tercantum dalam Lampiran VIII yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak
ini.

Pasal II

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan diberlakukan untuk pengisian
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2014 dan seterusnya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 Juli 2014
DIREKTUR JENDERAL PAJAK
ttd

A. FUAD RAHMANY

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 807

Status :
Peraturan Dirjen Pajak - PER - 19/PJ/2014 Telah mengalami perubahan atau penyempurnaan
oleh Peraturan Dirjen Pajak - PER - 36/PJ/2015, Tanggal 12 Okt 2015

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15564

www.ortax.org
Peraturan Direktur Jenderal Pajak :
808 Edisi PPh Badan | Maret 2017 PER - 36/PJ/2015

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER - 36/PJ/2015

TENTANG

PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR


PER-34/PJ/2010 TENTANG BENTUK FORMULIR SURAT PEMBERITAHUAN
TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DAN WAJIB
PAJAK BADAN BESERTA PETUNJUK PENGISIANNYA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

a. bahwa untuk memberikan kepastian hukum dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak dalam
melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak Penghasilan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a perlu menetapkan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-34/PJ/2010 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak
Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan Beserta Petunjuk Pengisiannya;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan
Kewajiban Perpajakan;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT);
5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2010 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan Beserta Petunjuk
Pengisiannya sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-19/PJ/2014;
6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-29/PJ/2014 Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang
Tata Cara Penerimaan dan Pengolahan Surat Pemberitahuan Tahunan;
7. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-214/PJ./2001 tentang Keterangan dan/atau Dokumen
Lain yang Harus Dilampirkan;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN DIREKTUR
JENDERAL PAJAK NOMOR PER-34/PJ/2010 TENTANG BENTUK FORMULIR SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN
PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DAN WAJIB PAJAK BADAN BESERTA PETUNJUK
PENGISIANNYA.

Pasal I

Mengubah Lampiran II, IV, dan V Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2010 tentang Bentuk
Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan
Beserta Petunjuk Pengisiannya sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-19/PJ/2014 sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran II, IV, dan V yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal II

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan diberlakukan untuk pengisian
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2015 dan seterusnya.

Ditetapkan di Jakarta

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 809

pada tanggal 12 Oktober 2015


DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

SIGIT PRIADI PRAMUDITO

Lampiran bisa lihat di laman Ortax

Tautan:
http://ortax.org/ortax/?mod=aturan&page=show&id=15895

www.ortax.org
Surat Direktur Jenderal Pajak :
810 Edisi PPh Badan | Maret 2017 S - 150/PJ.03/2017

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
____________________________________________________________________________________________
1 Maret 2017

SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR S - 150/PJ.03/2017

TENTANG

PENEGASAN PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN (SPT)


TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) TERKAIT
PENYAMPAIAN SURAT PERNYATAAN HARTA (SPH)
UNTUK PENGAMPUNAN PAJAK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan kewajiban penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2016 bagi Wajib Pajak yang telah
penyampaikan SPH untuk pengampunan pajak dan telah mendapatkan Surat Keterangan Pengampunan Pajak
(Surat Keterangan) di tahun 2016, berikut disampaikan beberapa hal sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak mengatur antara lain:
a. Pasal 6 ayat (4), nilai harta tambahan yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam
SPT PPh Terakhir ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan nilai nominal untuk harta
berupa kas atau nilai wajar untuk harta selain kas pada akhir Tahun Pajak Terakhir;
b. Penjelasan Pasal 6 ayat (4), nilai wajar harta tambahan dimaksud dicatat sebagai harga
perolehan harta yang dilaporkan paling lambat pada Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak
Penghasilan (PPh) Tahun Pajak 2017;

2. Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 119/PMK.08/2016 tentang Tata Cara Pengalihan
Harta Wajib Pajak ke dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Penempatan pada
Instrumen Investasi di Pasar Keuangan dalam rangka Pengampunan Pajak sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.08/2016 mengatur bahwa
tambahan harta dan utang yang membentuk nilai harta bersih yang dilaporkan dalam Surat Pernyataan
dan telah diterbitkan Surat Keterangan diperlakukan sebagai perolehan harta baru dan perolehan utang
baru Wajib Pajak sesuai tanggai Surat Keterangan;

3. berdasarkan ketentuan tersebut di atas, pelaporan SPT Tahunan PPh bagi Wajib Pajak yang memperoleh
Surat Keterangan secara umum berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. tambahan harta dan utang yang membentuk nilai harta bersih yang dilaporkan dalam Surat
Pernyataan dan telah diterbitkan Surat Keterangan diperlakukan sebagai perolehan harta baru
dan perolehan utang baru Wajib Pajak sesuai tanggal Surat Keterangan;
b. dalam hal Wajib Pajak wajib menyelenggarakan pembukuan:
1) nilai harta bersih dimaksud dicatat sebagai tambahan atas saldo laba ditahan dalam
neraca; dan
2) aktiva berwujud dan/atau aktiva tidak berwujud tidak dapat disusutkan dan/atau
diamortisasikan untuk tujuan perpajakan;

4. pelaporan harta dan utang dalam SPT Tahunan PPh bagi Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh
Surat Keterangan adalah sebagai berikut:
a. seluruh harta dan utang dalam SPH serta harta dan utang yang diperoleh pada tahun 2016,
dilaporkan pada SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi;
b. harta pada lampiran A1 SPH dilaporkan pada tabel "Harta pada Akhir Tahun" sebagai berikut:
1) tahun perolehan diisi dengan tahun perolehan yang sebenarnya;
2) ketentuan harga perolehan adalah sebagai berikut:
a) harta berupa kas atau setara kas diisi dengan nilai nominal pada akhir Tahun
Pajak;
b) harta selain kas diisi dengan harga perolehan harta pada saat harta dimaksud
diperoleh;
c. utang pada lampiran A2 SPH dilaporkan pada tabel "Kewajiban/Utang pada Akhir Tahun''
sebagai berikut:
1) tahun peminjaman diisi dengan tahun peminjaman yang sebenarnya;
2) jumlah diisi dengan sisa utang pada akhir Tahun Pajak yang bersangkutan yang masih
harus dilunasi (termasuk utang bunga);
d. harta pada lampiran B1, C1, dan D1 SPH dilaporkan pada tabel "Harta pada Akhir Tahun"
sebagai berikut:
1) terhadap harta pada lampiran C1 SPH yang dilakukan pengalihan ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pada SPT diisi dengan harta yang
diperoleh setelah pengalihan tersebut yang diperkenankan oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan;
2) tahun perolehan diisi dengan tahun Surat Keterangan diterbitkan;
3) ketentuan harga perolehan adalah sebagai berikut:
a) harta berupa kas atau setara kas diisi dengan nilai nominal pada akhir Tahun

www.ortax.org
Edisi PPh Badan | Maret 2017 811

Pajak. Dalam hal harta berupa kas atau setara kas dimaksud dalam bentuk
mata uang selain Rupiah, nilai nominal dihitung dengan kurs pada akhir Tahun
Pajak;
b) harta selain kas diisi dengan nilai wajar harta dalam mata uang rupiah sesuai
lampiran B1, C1, dan D1 SPH;
e. utang pada lampiran B2, C2, dan D2 SPH dilaporkan pada tabel "Kewajiban/Utang pada Akhir
Tahun'' sebagai berikut:
1) tahun peminjaman diisi dengan tahun Surat Keterangan diterbitkan;
2) jumlah diisi dengan sisa utang pada akhir Tahun Pajak yang bersangkutan yang masih
harus dilunasi (termasuk utang bunga);
f. ringkasan penerapan huruf a s.d. huruf e adalah sebagaimana matriks terlampir;
g. keterangan seperti lokasi harta dan nomor dokumen pada SPH dicantumkan dalam kolom
Nama Harta atau kolom Keterangan pada tabel "Harta pada Akhir Tahun";

5. pelaporan penghasilan dari harta dalam SPT Tahunan PPh bagi Wajib Pajak orang pribadi yang
memperoleh Surat Keterangan adalah sebagai berikut:
a. penghasilan dari harta yang berada di dalam negeri dilaporkan dan dikenai PPh sesuai dengan
jenis penghasilannya. Misal: penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan dikenai PPh
yang bersifat final dan dilaporkan pada tabel "Penghasilan yang Dikenai Pajak Final dan/atau
Bersifat Final", penghasilan dari royalti hak cipta dikenai PPh dengan tarif umum dan dilaporkan
pada tabel "Penghasilan Neto Dalam Negeri Lainnya";
b. dalam hal penghasilan dari harta yang berada di dalam negeri yang dilaporkan pada tabel
"Penghasilan Neto Dalam Negeri Lainnya" dilakukan pemotongan atau pemungutan PPh oleh
pihak lain, pemotongan atau pemungutan PPh tersebut diperhitungkan sebagai kredit pajak dan
dilaporkan pada tabel "Daftar Pemotongan/Pemungutan PPh oleh Pihak Lain, PPh yang
Dibayar/Dipotong di Luar Negeri dan PPh yang Ditanggung Pemerintah";
c. penghasilan dari harta yang berada di luar negeri dilaporkan pada kolom Penghasilan Neto Luar
Negeri pada "Formulir Induk SPT" berdasarkan lampiran tersendiri yang dibuat Wajib Pajak.
Dalam hal penghasilan tersebut telah dibayar atau telah dilakukan pemotongan pajak di luar
negeri, lampiran tersendiri dimaksud sekaligus sebagai permohonan kredit pajak luar negeri;
d. lampiran tersendiri sebagaimana dimaksud huruf c, paling sedikit memuat informasi:
1) nama dan alamat sumber/pemberi penghasilan di luar negeri;
2) jenis penghasilan, misal: dividen, bunga, royalti, penghasilan dari harta tak gerak, dan
lainnya;
3) penghasilan neto dalam rupiah;
4) pajak yang dibayar/dipotong/terutang di luar negeri;
5) penghitungan kredit pajak luar negeri (PPh Pasal 24) dan lampiran bukti pendukung
yang mengacu pada Keputusan Menteri Keuangan Nomor 164/KMK.03/2002;
e. jumlah kredit pajak luar negeri yang dapat diperhitungkan dalam lampiran tersendiri
sebagaimana dimaksud huruf c dilaporkan pada tabel "Daftar Pemotongan/Pemungutan PPh
oleh Pihak Lain, PPh yang Dibayar/Dipotong di Luar Negeri dan PPh yang Ditanggung
Pemerintah";

6. contoh pelaporan harta dan utang sebagaimana dimaksud angka 4 dan pelaporan penghasilan dari harta
sebagaimana dimaksud angka 5 adalah sebagaimana terlampir.

Mengingat hal-hal tersebut diatas, diharapkan seluruh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak
menginstruksikan para Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang berada di wilayahnya masing-masing untuk
menghimbau para Wajib Pajak agar mematuhi ketentuan-ketentuan dimaksud dan seluruh Kepala KPP
melakukan pengawasan atas pelaksanaan ketentuan tersebut.

Demikian disampaikan.

a.n. Direktur Jenderal Pajak


Direktur,

ttd.

Yunirwansyah
NIP 196706221993111001

Tembusan:
Direktur Jenderal Pajak

www.ortax.org
SUSUNAN DALAM SATU NASKAH 10 (SEPULUH)

UNDANG-UNDANG
PERPAJAKAN
Rp. 200.000,-
Penyusun :
Tim Redaksi Ortax

DAFTAR PERATURAN PELAKSANA


DILENGKAPI : UNDANG-UNDANG
PERPAJAKAN
Daftar Peraturan Pelaksana yang Disajikan
Komprehensif Per Pasal pada Setiap
Undang-Undang
CD Berisi Peraturan Pelaksana dari Setiap KUP PPh PPN
& PPnBM PBB BPHTB
PPSP Pengadilan
Pajak PDRD Penga
Bea Meterai
mpunan

Undang-Undang
Pajak

Buku ini merupakan One Stop Solution bagi mereka yang concern terhadap masalah
perpajakan karena buku ini tidak hanya menampilkan pasal-pasal yang dirubah tapi
menampilkan pasal-pasal secara utuh sehingga pembaca tidak perlu lagi
menyandingkan dengan UU sebelumnya untuk melihat pasal-pasal lainnya yang masih
valid namun tidak mengalami perubahan.

KUP PPh PPN & PPnBM PBB BPHTB Bea Meterai


PPSP Pengadilan Pajak PDRD Pengampunan Pajak

CD SUPLEMEN
Daftar Peraturan Pelaksana
UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

Scan me

Hubungi kami :
Phone : (021) 4786 5713 | WA : +62823 1144 1010 | Fax : (021) 4788 1350
Email : sales@ortax.org | Website : www.ortax.org
TRAINING CENTER
STAY in front of CHANGE
JOIN US for more comprehensive tax knowledge...
Ortax training center dengan instruktur profesional dan kompeten tidak hanya
memaparkan konsep yang mumpuni namun juga berbagi pengalaman praktis.
Ortax training telah diikuti oleh ribuan perusahaan di Indonesia.

r T r a i n i n g
Regula
g diselengga
ra k a n d i O rt ax Training
n
Center
berbagai to
pik
u ti n ya n l d e n g a
Training R atau di Hote

Inhouse 01
Pelatiha
dengan
n yang d Training
esain se
kondisi rta mate
dan kein rin
ginan kli ya disesuaikan
en (tailo
r).

t e T r a i n i n g
Priva sahaan a ta u g ro u p perusaha
an
ortax.

03
u s u s u ntu k satu peru is e d ia k a n oleh pihak
ajak kh udah d
Pelatihan p p il ih a n m ateri yang s
dengan

training.ortax.org Scan untuk mengetahui jadwal training


taxbase Version 6.0
Your Tax Information Partner

Kini seluruh informasi penting sehubungan dengan PAJAK


tersedia di komputer Anda dan kami update setiap hari
Digunakan lebih dari 250 Kantor Pajak dan ribuan Perusahaan di seluruh Indonesia

WHATS INSIDE ?
Dokumentasi Peraturan 01 05 Artikel dan Resume Perpajakan
Dokumentasi Tax Treaty (P3B) 02 06 e-Learning Perpajakan
Database Kurs KMK dan BI 03 07 Formulir Perpajakan
Putusan Pengadilan Pajak 04 08 Kalkulator Pajak

HOT FEATURES
Online Update Ribbon Interface PowerFull Search Document Multilevel Hyperlink
Comparison

Database TaxBase TaxBase 6.0 Data pada Fitur persandingan Memudahkan


6.0 di-update menggunakan TaxBase 6.0, dokumen yang pengguna untuk
setiap hari yang Ribbon Interface didukung oleh dapat digunakan membuka
meliputi seluruh dengan beberapa fasilitas pencarian untuk menyanding- dokumentasi
dokumen. pilihan tampilan. yg canggih. kan dokumen. terkait.

Status & History Export Dokumen Favorite Save/Load Flexible Docking


Hasil Pencarian and Design

TaxBase 6.0
dilengkapi Memudahkan Pengguna dapat Pengguna dapat Fleksibilitas untuk
dengan informasi pengguna untuk mengelola sendiri menyimpan setiap mengatur jendela/
Status Dokumen berbagi dokumen- hasil dari pencarian form pada layar
(Valid, Expired, dokumen/katalog dokumen yang dokumen yang monitor pengguna.
Dirubah, dsb) dengan pihak lain. sering dibuka. dilakukan.

Hubungi kami : Observation & Research of Taxation (Ortax)


Scan kode berikut
Phone : 021 - 4786 5713 | WA : +62823 1144 1010 | Fax : 021 - 4788 1350
untuk informasi selengkapnya
Email : sales@ortax.org | Website : http://taxbase.ortax.org
FOLLOW AND
SubScribe
OUR SOCIAL MEDIA

Your Center of Excellence in Taxation

redaksi ortax @redaksi_ortax ortax.taxation redaksi ortax

@redaksi_ortax redaksi ortax +62823 1144 1010 @redaksi_ortax

www.ortax.org

Anda mungkin juga menyukai