Anda di halaman 1dari 25

148

BAGIAN V

PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEKTOR (P3)


PERTAMBANGAN, PERKEBUNAN DAN PERHUTANAN

A. Sejarah singkat tentang Pajak Bumi di indonesia

Pajak Bumi pada dasarnya sudah mulai dilaksanakan di Indonesia sejak zaman
parsejarah, namun dasar dan ketentuan pemungutannya tidak diketahui (karena tiada bukti
berupa tulisan yang ditemukan). Pada zaman kebudayaan Hindu (zaman Indonesia Hindu)
sudah dikenal adanya pungutan pajak atas tanah dengan nama “Drwyahaji” yang artinya
bagian panen milik raja, yang menjadi objek pajak selain sawah juga tanah-tanah lain yang
menghasilkan.
Pada zaman kerajaan Islam (Raja Mataram II) pungutan pajak bumi dilaksanakan
dengan nama “Pajeg Bumi”, dipungut secara periodik atau tetap (dalam bahasa Jawa :
Pasokan Ajeg) yang karenanya disebut “Pajek sikep atau Ajeg” atau Pajeg.
Pada zaman penjajahan Inggris dikenal adanya pungutan atas tanah yang dinamakan
Landrent yang mencontoh dari kerajaan-kerajaan India dengan dasar pemikiran bahwa tanah
adalah milik Negara, rakyat dipandang sebagai penyewa (yaitu tahun 1811-1816). Kemudian
pada waktu Indonesia diserahkan kepada Belanda, pungutan ini diteruskan lagi oleh
pemerintahan kolonial Belanda dengan nama “ Land Rente “
Penjajah Belanda pergi datang Jepang menjajah Indonesia, pada masa penjajahan
Jepang pemungutan Pajak Bumi diteruskan pemungutannya dengan nam “ Pajak Atas Tanah

Sesudah Jepang menyerah kepada sekutu dan Indonesia menyatakan
kemerdekaannya, maka kemudian Pajak atas Tanah diganti namanya menjadi “Pajak Hasil
Bumi “
Sehubungan dengan itu maka pemerintah dengan Peraturan pengganti UU No.11
tahun 1959 menghidupkan kembali pajak atas tanah dengan nama “Pajak Hasil Bumi”.
Peraturan perundang-undangan ini kemudian disahkan dengan Undang-undang No.1 tahun
1961 menjadi Undang-undang No 11 Peraturan perundang-undangan tahun 1959. Peraturan
inilah yang menjadi dasar pemungutan Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA).
Pada tanggal 4 November 1985 pemerintah menyampaikan rancangan undang-undang
Pajak Bumi Bangunan kepada DPR kemudian Rancangan Undang-undang Pajak Bumi
Bangunan disetujui oleh DPR RI dan disahkan oleh Presiden RI dengan Undang-undang
No.12 tahun 1985 dan mulai efektif berlaku 1 Januari 1986. Dengan lahirnya Undang-
undang ini maka lengkaplah perwujudan pembaharuan sistem perpajakan nasional sesuai
dengan yang diamanatkan dalam GBHN.

B. Dasar hukum Pajak Bumi dan Bangunan


Dasar Hukum pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan adalah UU nomor 12 Tahun 1985
juncto UU nomor 12 Tahun 1994. beserta peraturan pelaksanaannya.

C. Pajak-pajak sebelum di undangkan PBB


Dengan berlakunya Pajak Bumi dan Bangunan (UU No.12 Tahun 1985), maka dinyatakan
bahwa beberapa jenis pemungutan pajak dicabut, yaitu :
1. Pajak Rumah Tangga 1908, yang dipungut berdasarkan Ordonansi Pajak Rumah Tangga
1908, Staatsblad Tahun 1908 No.13;
2. Verponding Indonesia 1923, yang dipungut berdasarkan Ordonansi Verponding 1923,
Staatsblad Tahun 1923 No.425;
149

3. Verponding 1928, yang dipungut berdasarkan Ordonansi Verponding 1928, Staatsblad


Tahun 1928 No.342;
4. Pajak Kekayaan 1932, yang dipungut berdasarkan Ordonansi Pajak Kekayaan 1932,
Staatsblad Tahun 1932 No.405;
5. Pajak Jalan 1942, yang dipungut berdasarkan Ordonansi Pajak Jalan 1942, Staatsblad
Tahun 1942 No.97;
6. Pajak Hasil Bumi, yang kemudian berubah menjadi IPEDA (Iuran Pembangunan
Daerah), yang dipungut berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–ungdang
Nomor 11 Tahun 1959 (Lembaran Negara Tahun 1959 No.104) dan ditetapkan menjadi
Undang–undang dengan UU No.1 Tahun 1961 (Lembaran Negara Tahun 1961 No.3 dan
Tambahan Lembaran Negara No.2124);

D. Subyek Pajak
Yang diwajibkan membayar Pajak Bumi dan Bangunan adalah Orang atau Badan (Subyek
Pajak) yang :
- secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau
- memperoleh manfaat atas bumi, dan atau
- memiliki, menguasai, dan atau
- memperoleh manfaat atas bangunan.
Dalam kaitannya dengan kewajiban membayar Pajak Bumi dan Bangunan perlu diperhatikan
ketentuan dalam Pasal 4 ayat (3) UU No.12 Tahun 1985, yakni : Dalam hal atas suatu obyek
pajak belum diketahui Wajib Pajaknya, maka Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan
Subyek Pajak sebagai Wajib Pajak.
Pajak Bumi dan Bangunan dikenakan terhadap Orang atau Badan yang mempunyai hak
/manfaat atas bumi dan/atau memiliki, mengusai/memperoleh manfaat atas bangunan.

E. Obyek Pajak
Yang menjadi obyek pajak adalah BUMIdan/atau BANGUNAN.
1. Yang dimaksud dengan BUMI adalah : permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di
bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah
Indonesia. Perairan pedalaman dapat berupa tambak, rawa–rawa, sungai yang diusahakan.
Dalam pengertian laut wilayah Indonesia sudah tercakup pengertian Zone Ekonomi
Eksklusif. Hal ini berkaitan erat dengan penambangan minyak lepas pantai.

2. Yang dimaksud dengan BANGUNAN adalah : konstruksi teknik yang ditanam atau
diletakkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan. Termasuk juga dalam pengertian
BANGUNAN adalah :
 jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik
dan emplasemennya, dan lain–lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks
bangunan tersebut;
 jalan tol, kolam renang, pagar mewah, tempat olahraga, galangan kapal &dermaga,
taman mewah;
 tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak;
 fasilitas lain yang memberikan manfaat.

F. Obyek pajak yang dikecualikan


Obyek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah Obyek Pajak yang :
a. digunakan semata–mataut melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial,
kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan Nasional yang tidak dimaksudkan untuk
memperoleh keuntungan;
b. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu;
150

c. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah
penggembalaan yang dikuasai oleh desa , dan tanah negara yang belum dibebani oleh
suatu hak;
d. digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
e. digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh
menteri keuangan;

G. Obyek pajak yang digunakan oleh negara


Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, dalam menyelenggarakan
pemerintahan memiliki, menguasai atau menggunakan juga obyek pajak.
Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan atas obyek pajak yang digunakan oleh
Negara/Pemerintah akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Mengenai BUMI dan/atau BANGUNAN milik perseorangan ataupun milik badan–badan


(hukum) yang digunakan oleh Negara, kewajiban perpajakannya (cq Pajak Bumi dan
Bangunan) tergantung kepada perjanjian yang diatur oleh kedua belah pihak.

Mengenai Rumah–rumah Dinas/Instansi, pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan akan


dilaksanakan oleh yang mendiami/penghuni Rumah Dinas, jadi tidak dapat dibebankan pada
keuangan Kantor.

H. Batas Nilai Jual Bangunan Tidak Kena Pajak (BTKP)


Obyek pajak berupa bangunan diberi batas Nilai Bangunan Tidak Kena Pajak (BTKP)
sebesar Rp.2.000.000,– untuk tiap satuan bangunan. Besarnya nilai Bangunan Tidak Kena
Pajak tersebut akan disesuaikan dengan suatu faktor penyesuaian yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan. Dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 25/KMK.04/1989 tanggal
9 Januari 1989, maka mulai 1 Januaru 1989 nilai jual Bangunan Tidak Kena Pajak telah
dinaikkan/disesuaikan menjadi Rp.3.500.000,00 dan terakhir besarnya BTKP adalah
Rp.7.500.000,00.

Adanya Batas Nilai Jual Bangunan Tidak Kena Pajak jelas memberi keringanan kepada
penduduk/masyarakat yang penghasilannya rendah/kurang memadai serta diharapkan bahwa
masyarakat akan bersedia untuk membangun tempat tinggal yang memadai/yang memenuhi
syarat kesehatan dengan Nilai Jual tersebut. Dengan berlakunya UU nomor 12 Tahun 1994,
maka pengurangan BTKP tidak ada lagi, yang ada sekarang adalah pengurangan NJOPTKP.

I. Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak. (NJOPTKP)


Sejak berlakunya UU No.12 Tahun 1994, yang mengubah UU No.12 Tahun 1985, maka
BTKP telah diganti dengan Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP).
Setiap obyek pajak dapat diberikan pengurangan NJOPTKP, namun apabila ada wajib pajak
yang memiliki obyek pajak lebih dari satu obyek dan berada dalam wilayah tempat pajak
terutang yang sama, maka penerapan pengurangan NJOPTKP hanya diberikan terhadap
obyek yang NJOP nya paling tinggi, obyek lainnya tidak ada pengurangan. Pada awalnya
NJOPTKP adalah sebesar Rp.8.000.000,00 untuk setiap Wajib Pajak. Sebagaimana halnya
dengan BTKP, maka NJOPTKP akan disesuaikan besarnya dalam waktu-waktu tertentu,
dengan keputusan Menteri Keuangan.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 201/KMK.04/2000 tanggal 6 Juni 2000
tentang Penyesuaian besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagai dasar
penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan, Menteri Keuangan telah menetapkan besarnya
NJOPTKP setinggi-tingginya Rp.12.000.000,00 untuk setiap Wajib Pajak. (Pasal 2 keputusan
tersebut). Besarnya NJOPTKP untuk setiap daerah Kabupaten/Kotamadya akan ditetapkan
151

oleh Kepala Kantor Wilayah DJP atas nama Menteri Keuangan dengan memperhatikan
pendapat PEMDA setempat, namun biasanya NJOPTKP yang akan ditetapkan tersebut
adalah setinggi-tinginya Rp.12.000.000,00 (Pasal 3 keputusan Menteri Keuangan tersebut).

J. Tarif Pajak
Tarif Pajak yang dikenakan atas obyek pajak adalah tarif tunggal, yakni sebesar 0,5% (lima
persepuluh persen).
Tarif efektif PBB di beberapa negara :
NAIROBI tarif 3,80 % dari NJOP
Jepang tarif 1,90 % dari NJOP
Lusaka tarif 1,10 % dari NJOP
Taiwan tarif 1.04 % dari NJOP
Korea tarif 0.90 % dari NJOP
Muangthai tarif 0.75 % dari NJOP
Malaysia tarif 0.48 % dari NJOP
Pilippina tarif 1.40 % dari NJOP
Indonesia tarif 0.5 % dari NJKP
Dengan demikian, untuk dapat menghitung besarnya Pajak Bumi dan Bangunan yang
terutang kita harus mengetahui NJKP, yang besarnya ditentukan oleh besarnya Nilai Jual
Obyek Pajak (NJOP).

K. Dasar Pengenaan Pajak (DPP)


Yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Obyek Pajak. Yang dimaksud dengan
NJOP adalah :
a. harga rata–rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar;
b. apabila tidak terdapat transaksi jual–beli, maka NJOP ditentukan melalui perbandingan
harga dengan obyek lain yang sejenis, atau
c. nilai perolehan baru, atau
d. Nilai Jual Obyek Pajak pengganti.

L. Kelasifikasi obyek pajak


Untuk memudahkan pelaksanaan perhitungan PBB, maka dalam pelaksanaannya
dikeluarkanlah keputusan klasifikasi obyek pajak berdasarkan SK Menteri Keuangan nomor
523/KMK.04/1998, saat ini telah dikeluarkan Peraturan Menteri Keuangan PMK No.
150/PMK.03/2010 dimana dalam SK tersebut diatur tentang klasifikasi NJOP untuk Tanah
dan Bangunan. Untuk obyek Bumi/tanah sector Perhutanan, sector Perkebunan, sector
Pertambangan, diatur dalam lamp I A. Untuk obyek Bangunan sector Perhutanan, sector
Perkebunan, sector Pertambangan, diatur dalam lamp I B. Untuk obyek Bumi sector
Pedesaan dan Perkotaan diatur dalam lamp II A, Untuk obyek Bangunan sector Pedesaan
dan Perkotaan diatur dalam lamp II B.

Selanjutnya ditentukan sebagai berikut :

a. Klasifikasi dan besarnya Nilai Jual Objek Pajak atas permukaan bumi berupa tanah
ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran IA dan IB Keputusan ini.
b. Klasifikasi dan besarnya Nilai Jual Objek Pajak atas permukaan bumi berupa bangunan
ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran IIA dan IIB Keputusan ini.
c. Dalam hal ada objek pajak yang nilai jual per M2 nya lebih besar dari ketentuan Nilai Jual
Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), Nilai Jual Objek Pajak yang
terjadi di lapangan tersebut digunakan sebagai dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan
152

d. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat atas nama Menteri Keuangan
menetapkan klasifikasi dan besarnya Nilai Jual Objek Pajak atas permukaan bumi dan/atau
bangunan di daerah-daerah dalam wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Daerah
Tingkat II di seluruh Indonesia
Berkaitan dengan Kelasifikasi PBB Sektor P3, lihat lampiran kelas

M. Dasar penghitungan pajak (NJKP)


Yang menjadi dasar penghitungan pajak adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP). Yang
dimaksud dengan NJKP adalah persentase tertentu dari NJOP. Besarnya persentase tersebut
adalah : serendah–rendahnya 20% dan setinggi–tingginya 100% dari NJOP. Penetapan
besarnya persentase NJKP tersebut ditentukan dengan Peraturan Pemerintah.
Sesuai dengan Pemerintah Pemerintah No.46 Tahun 1985 tanggal 27 Desember 1985, maka
besarnya persentase Nilai Jual Kena Pajak adalah 20% (duapuluh persen). Besarnya
prosentase NJKP telah beberapa kali mengalami perubahan yaitu dengan PP nomor 46 tahun
2000 dan terakhir sampai dengan tahun 2008 NJKP berdasarkan PP nomor 25 tahun 2002.

Berdasarkan PP nomor 25 tahun 2002, besarnya Nilai Jual Kena Pajak sebagai dasar
penghitungan pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak dan Bangunan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, ditetapkan untuk :

a. obyek pajak dan perkebunan, kehutanan dan pertambangan sebesar 40 % (empat


puluh persen ) dari Nilai jual Objek Pajak;
b. objek pajak lainnya :

sebesar 40 % ( empat puluh persen ) dari Nilai Jual Objek Pajak apabila Nilai Jual Objek
Pajaknya Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah ) atau lebih;

sebesar 20 % (dua puluh persen ) dari Nilai Jual Objek Pajak apabila Nilai Jual Pajak
Objeknya kurang dari Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)

N. Cara menghitung pajak

Setelah mengetahui unsur-unsur (NJOP, NJOPTKP, NJKP dan tariff), maka PBB dapat
dihitung dengan rumus :

PBB terhutang = 0,5 % x 20 % x NJOP

PBB terhutang = 0,5% x 40% x NJOP

Catatan: NJOP dimaksud harus dikurangi dengan NJOPTKP.

Contoh perhitungannya lihat pada lampiran.

M. PBB SEKTOR PERTAMBANGAN MINYAK BUMI DAN GAS BUMI (PBB MIGAS)

Dalam rangka pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 523/KMK.04/1998 tanggal


18 Desember 1998 jo. Keputusan Dirjen Pajak Nomor Kep-113/PJ.6/1998 tanggal 30
Desember 1998, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 451/KMK.04/1997 tanggal 28
Agustus 1997 jo. Keputusan Dirjen Pajak Nomor Kep-19/PJ.6/1997 tanggal 28 Oktober
153

1997, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 127/PMK.03/2007 tanggal 11 Oktober 2007,
sea adanya perubahan ketentuan di bidang Migas dan struktur organisasi PT. Pertamina
(Persero) dan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BPMIGAS), dengan ini
disampaikan petunjuk pengenaan PBB Migas dengan penjelasan sebagai berikut:

a. PengertianUmum
PBB Migas merupakan bagian dari pelaksanaan pengenaan PBB sektor pertambangan
disamping sektor lainnya yaitu pedesaan, perkotaan, perkebunan, perhutanan, dan
pertambangan non migas. Dalam pelaksanaan pengenaan PBB Migas, yang dimaksud
dengan:
1. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan
dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau
ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk
batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan
yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.
2. Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan
temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan Minyak dan
Gas Bumi.
3. Kegiatan Usaha Hulu adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pads kegiatan
usaha Eksplorasi dan Eksploitasi.
4. Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi
geologi untuk menemukan dan memperoleh perkoraan cadangan Minyak dan Gas
Bumi di Wilayah Kerja yang ditentukan.
5. Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan Minyak
dan Gas Bumi dari Wilayah Kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan
penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan
pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian Minyak dan Gas Bumi di iapangan
serta kegiatan lain yang mendukungnya.
6. Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia adalah seluruh wilayah daratan, perairan,
dan landas kontinen Indonesia,
7. Wilayah Kerja adalah daerah tertentu di dalam Wilayah Hukum Pertambangan
Indonesia untuk pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi.
8. Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain
dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan
hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
9. Areal Produktif adalah areal di dalam Wilayah Kerja baik di daratan maupun di
perairan yang telah diekspioitasi/menghasilkan minyak bumi dan atau gas bumi
(tahap eksploitasilproduksi).
10. Areal Belum Produktif adalah areal di dalam Wilayah Kerja baik di daratan maupun
di perairan yang meliputi:
a. Areal Penyelidikan Umum adalah areal yang sedang atau akan dilakukan
penyelidikan secara geologi umum, untuk membuat peta geologi dan mengetahui
tanda-tanda adanya bahan galian minyak bumi dan atau gas bumi.
b. Areal Eksplorasi adalah areal yang sudah dilakukan penyelidikan umum dan
perlu diteliti lebih seksama untuk menetapakan secara rinci adanya bahan galian
minyak bumi dan atau gas bumi.
c. Areal Non Producing open adalah areal yang sudah selesai dieksplorasi dan
sewaktuwaktu slap untuk ditambangldieksploitasi.
d. Areal Non Producing Plug and Abandon adalah yang sudah selesai
dieksploitasi dan untuk sementara ditutup/ditinggalkan.
154

11. Areal Tidak Produktif adalah areal di dalam Wilayah Kerja baik di daratan maupun
di perairan yang sama sekali tidak mempunyai potensi untuk menghasilkan minyak
bumi dan atau gas bumi.
12. Areal Emplasemen adalah areal di dalam maupun diluar Wilayah Kerja yang di
atasnya terdapat bangunan dan atau pekarangan.
13. Areal Pengamanan adalah areal di dalam maupun di luar Wilayah Kerja yang
digunakan sebagai pengamanan bangunan (misalnya jalur pipa) dan/atau
keselamatan lingkungan.
14. Areal Lainnya adalah areal yang berada di dalam maupun di luar Wilayah Kerja yang
tidak termasuk Areal Produktif, Areal Belum Produktif, Areal Tidak Produktif, Areal
Emplasemen, dan Areal Pengamanan.
15. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada
tanah danlatau perairan.
16. Hasil Produksi adalah produksi minyak dan atau gas bumi yang dijual dalam satu
tahun yang dinyatakan dalam ukuran barrel untuk minyak dan mscf untuk gas bumi.
17. Penjualan Hasil Produksi adalah perkalian Hasil Produksi dengan harga minyak dan
atau gas bumi dalam mata uang rupiah.

b. Objek Pajak, Subjek Pajak, dan Wajib Pajak


1. Objek PBB Migas terdiri atas permukaan bumi dan tubuh bumi.
a. Objek pajak di permukaan bumi meliputi areal di daratan dan di perairan
pedalaman (onshore) dan areal di perairan lepas pantai (offshore).
1 Objek pajak areal onshore terdiri atas Areal Produktif, Areal Belum
) Produktif, Areal Tidak Produktif, Areal Emplasemen, Areal
Pengamanan, dan Areal Lainnya serta Objek Bangunan.
2 Objek pajak areal offshore terdiri atas Areal Produktif, Areal Belum
) Produktif, Areal Tidak Produktif, dan Objek Bangunan.

b. Objek pajak tubuh bumi direpresentasikan dengan kapitalisasi Hasil Produksi.

1. Subjek Pajak PBB Migas adalah seluruh Kontraktor Kontrak Kerja Sama
(KKKS) yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, danlatau
memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, danlatau
memperoleh manfaat atas bangunan sesuai lugs Wilayah Kerja yang
dikuasainya.
2. Subjek Pajak sebagaimana butir 2 yang dikenakan kewajiban membayar pajak
menjadi Wajib Pajak PBB Migas.

c. Pendaftaran, Penilaian, dan Penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang


(SPPT)
1. Pendaftaran Objek Pajak

a. Subjek Pajak (KKKS) mendaftarkan Objek Pajaknya dengan mengisi


Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) dengan jelas, benar, lengkap,
dan ditandatangani, untuk disampaikan kepada BPMIGAS. SPOP dari
seluruh KKKS yang terkumpul diteruskan BPMIGAS kepada Ditjen Pajak
e.g. Direktorat Ekstensifikasi dan Penilaian.
b. SPOP terdiri dari SPOP Induk dan 4 (empat) jenis Lampiran SPOP yaitu:

1) Lampiran SPOP Areal Daratan (SPOP Onshore), yang menampung


data luas tanah, perairan pedalaman dan bangunan di dalam
Wilayah Kerja di daratan per kabupaten/kota.
155

2) Lampiran SPOP Areal Daratan di luar Wilayah Kerja (SPOP


Onshore Non WK), yang menampung data luas tanah dan
bangunan di luar Wilayah Kerja di daratan per kabupaten/kota.
3) Lampiran SPOP Areal Perairan Lepas Pantai (SPOP Offshore),
yang menampung data luas perairan laut dan bangunan di dalam
Wilayah Kerja di perairan lepas pantai.
4) Lampiran SPOP Hasil Produksi, yang menampung data Hasil
Produksi selama setahun sebelurn tahun pajak berjalan.
Bentuk formulir dan petunjuk pengisian SPOP dimaksud adalah
sebagaimana lampiran 1.

c. SPOP Induk dan Lampiran SPOP yang diterima dari BPMIGAS, oieh
Ditjen Pajak disampaikan kepada KPPBB/KPP Pratama sebagai
berikut:

1) Lampiran SPOP Onshore dan Lampiran SPOP Onshore Non WK,


disampaikan kepada KPPBB/KPP Pratama tempat objek pajak
berada.
2) Lampiran SPOP Offshore dan Lampiran SPOP Hasil Produksi
ditatausahakan berdasarkan angka perbandingan tertimbang yang
ditetapkan terlebih dahulu setiap tahun oleh Dirjen Pajak dengan
memperhatikan potensi sumber daya Migas masing-masing
kabupaten/kota serta azas pemerataan dan keseimbangan, yang
dituangkan dalam Keputusan Dirjen Pajak tentang rincian angka
perbandingan tertimbang penatausahaan data objek PBB Migas per
kabupaten/kota. Petikan angka perbandingan tertimbang dan
rincian pembagian datanya selanjutnya disampaikan kepada
masing-masing KPPBB/KPP Pratama.

2. Penilaian Objek
Pajak Penilaian objek PBB Migas dalam rangka penentuan besarnya Niiai dual
Objek Pajak (NJOP) untuk masing-masing peruntukkan objek pajak adalah
sebagai berikut:
a. NJOP Onshore dan NJOP Onshore Non WK ditentukan meialui
perbandingan harga tanah sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya
danlatau sebagaimana tatacara penilaian tanah untuk sektor lainnya.
b. NJOP Offshore ditentukan melalui perbandingan harga perairan/daratan
sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya.
c. NJOP Bangunan ditentukan melalui nilai perolehan baru sebesar biaya
pembangunan baru yang disusun berdasarkan Daftar Biaya Komponen
Bangunan (DBKB) setiap jenis bangunan setelah dikurangi penyusutan
fisik.
d. NJOP Tubuh Bumi ditentukan melalui nilai jual pengganti sebesar angka
kapitalisasi dikalikan Penjualan Hasil Produksi dalam satu tahun sebelum
tahun pajak berjalan
e. Angka kapitalisasi dalam penentuan NJOP tubuh bumi ditetapkan setiap
tahun
f. irektorat Ekstensifikasi dan Penilaian melakukan penelitian dan
memberikan persetujuan terhadap usulan perhitungan PBB sebagai dasar
bagi KPPBBIKPoleh Direktur Jenderal Pajak.

3. Penerbitan SPPT
156

a. Berdasarkan SPOP dan petikan angka perbandingan tertimbang Berta


rincian pembagian data objek PBB Migas per kabupaten/kota yang
diterima dari Ditjen Pajak, KPPBBIKPP Pratama melakukan perhitungan
PBB dan mengusulkannya kepada Ditjen Pajak c.q. Direktorat
Ekstensifikasi dan Penilaian.
b. Ditjen Pajak c.q. KPP Pratama untuk menerbitkan SPPT.
c. Setelah mendapatkan persetujuan dart Ditjen Pajak c q. Direktorat
Ekstensifikasi dan Penilaian, KPPBB/KPP Pratama menerbitkan SPPT
per kabupaten/kota dalam rangkap 3 (tiga). Rangkap pertama dan kedua
dikirimkan kepada Direktorat Ekstensifikasi dan Penilaian, dan rangkap
pertama setelah diteliti oleh Direktorat Ekstensifikasi dan Penilaian
diteruskan kepada Ditjen Anggaran. Rangkap ketiga untuk arsip
KPPBB/KPP Pratama yang bersangkutan.
d. Bentuk formulir Daftar Perhitungan Ketetapan PBB sebagaimana
dimaksud pada butir a adalah sebagaimana lampiran 2.

Ketentuan Lain-lain Dengan diterbitkannya Surat Edaran ini maka ketentuan butir I
dan II Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-24/PJ.6/1999 tanggal 23 April 1999 hal
Petunjuk Pengenaan PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, dinyatakan
tidak

O. PENGENAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEKTOR PERKEBUNAN

Dasar hokum pelaksanaan pemungutan PBB sector Perkebunan adalah, Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-50/PJ/2008 tanggal 30 Desember 2008. Dalam Per DJP
tersebut diatur berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:

a. Beberapa istilah dan pengertian

1. Sektor Perkebunan adalah objek pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang digunakan
untuk pengusahaan tanaman perkebunan dengan luasan paling sedikit 2 (dua)
hektar, termasuk emplasemen.
2. Standar Investasi Tanaman yang selanjutnya disebut SIT adalah jumlah biaya
tenaga kerja, bahan dan alat yang diinvestasikan untuk pembukaan lahan,
penanaman, dan pemeliharaan tanaman.
3. Surat Pemberitahuan Objek Pajak Sektor Perkebunan yang selanjutnya disebut
SPOP adalah surat yang digunakan oleh subjek pajak/Wajib Pajak untuk
melaporkan data objek pajak Sektor Perkebunan ke Direktorat Jenderal Pajak.
4. Lampiran Surat Pemberitahuan Objek Pajak Sektor Perkebunan yang selanjutnya
disebut LSPOP adalah formulir yang dipergunakan oleh subjek pajak/Wajib Pajak
untuk melaporkan data rinci objek pajak Sektor Perkebunan.
5. Formulir Data Masukan yang selanjutnya disebut FDM adalah formulir yang
digunakan sebagai sarana perekaman data ke dalam aplikasi SISMIOP untuk
Sektor Perkebunan.
6. Rincian Perhitungan Nilai yang selanjutnya disebut RPN adalah hasil keluaran
dari aplikasi SISMIOP untuk Sektor Perkebunan yang berisi informasi rinci
perhitungan nilai tanah dan nilai bangunan.
7. Nilai Dasar Tanah adalah nilai tanah areal perkebunan tidak termasuk SIT.
8. Pembentukan Basis Data adalah rangkaian kegiatan membentuk basis data objek
pajak untuk pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan ke dalam
basis data SISMIOP untuk Sektor Perkebunan.
157

9. Pemutakhiran/Pemeliharaan Basis Data adalah kegiatan menyesuaikan data objek


pajak untuk pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan dalam basis
data SISMIOP untuk Sektor Perkebunan.

b. Pengadministrasian dan dasar pengenaan PBB sektor perkebunan


1. Pengadministrasian pengenaan PBB Sektor Perkebunan dilakukan dengan
tahapan sebagai berikut:
a. SPOP dan LSPOP yang telah diisi oleh subjek pajak atau Wajib Pajak
digunakan sebagai dasar penghitungan nilai tanah dan nilai bangunan;
b. Hasil perhitungan nilai tanah dan nilai bangunan dituangkan ke FDM
dengan bentuk sebagaimana ditetapkan pada Lampiran I Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak ini;
c. SPOP sebagaimana dimaksud pada huruf a dan FDM sebagaimana
dimaksud pada huruf b digunakan sebagai sarana perekaman data ke dalam
aplikasi SISMIOP untuk Sektor Perkebunan.
2. Dasar pengenaan PBB Sektor Perkebunan adalah hasil penjumlahan antara
perkalian luas areal perkebunan dengan NJOP bumi per meter persegi dan
perkalian luas bangunan dengan NJOP bangunan per meter persegi, dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. NJOP bumi per meter persegi sebesar hasil konversi nilai tanah per
meter persegi ke dalam klasifikasi, penggolongan dan ketentuan nilai
jual permukaan bumi (tanah); dan
b. NJOP bangunan per meter persegi sebesar hasil konversi nilai
bangunan per meter persegi ke dalam klasifikasi, penggolongan, dan
ketentuan nilai jual bangunan.

c. Pendataan dan Penilaian objek pajak PBB sektor perkebunan


1. Dalam rangka pelaksanaan pendataan dan penilaian, areal perkebunan
dikelompokkan menjadi:
a. Areal Produktif, yaitu areal yang sudah ditanami meliputi areal tanaman
belum menghasilkan dan areal tanaman menghasilkan;
b. Areal Belum Produktif, terdiri dari:

1) Areal yang sudah diolah tetapi belum ditanami; dan/atau


2) Areal belum diolah;

c. Areal Emplasemen, yaitu areal yang digunakan untuk berdirinya


bangunan dan sarana pelengkap lainnya dalam perkebunan;
d. Areal Lainnya, terdiri dari:

1) Areal tidak produktif/tidak dapat dimanfaatkan, seperti rawa,


cadas, dan jurang; dan/atau
2) Areal jalan meliputi jalan utama yang terletak di dalam dan/atau di
luar areal perkebunan, jalan produksi yang berfungsi untuk
pengumpulan hasil dan jalan kontrol yang berfungsi untuk
pengawasan areal perkebunan.

2. Penghitungan nilai tanah areal perkebunan ditentukan sebagai berikut:


a. Nilai tanah Areal Produktif:

1) Nilai tanah Areal Produktif merupakan penjumlahan Nilai Dasar


Tanah Areal Produktif dan SIT.
158

2) Nilai Dasar Tanah Areal Produktif merupakan perkalian luas


dengan Nilai Dasar Tanah per meter persegi Areal Produktif.
3) Pedoman penentuan SIT ditetapkan sebagaimana pada Lampiran II
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.

b. Nilai tanah Areal Belum Produktif:

1) Nilai tanah Areal kebun yang sudah diolah tetapi belum ditanami
merupakan perkalian luas dengan nilai dasar tanah per meter
persegi areal kebun yang sudah diolah tetapi belum ditanami,
termasuk di dalamnya biaya pembukaan lahan.
2) Nilai tanah Areal kebun belum diolah merupakan perkalian luas
dengan Nilai Dasar Tanah per meter persegi areal kebun yang
belum diolah.

c. Nilai tanah Areal Emplasemen merupakan perkalian luas dengan Nilai


Dasar Tanah per meter persegi areal emplasemen, termasuk di
dalamnya biaya pematangan tanah.
d. Nilai tanah Areal Lainnya:

1) Nilai tanah Areal tidak produktif merupakan perkalian luas dengan


Nilai Dasar Tanah per meter persegi areal tidak produktif.
2) Nilai tanah Areal jalan merupakan perkalian luas dengan Nilai
Dasar Tanah per meter persegi areal jalan, termasuk di dalamnya
biaya pematangan tanah.
e. Nilai tanah per meter persegi areal perkebunan merupakan jumlah nilai
tanah Areal Produktif, Areal Belum Produktif, Areal Emplasemen dan
Areal Lainnya dibagi dengan jumlah luas Areal Produktif, Areal
Belum Produktif, Areal Emplasemen dan Areal Lainnya.

3. Penghitungan nilai bangunan ditentukan sebagai berikut:


a. Nilai bangunan tiap-tiap jenis bangunan merupakan perkalian luas
dengan nilai bangunan per meter persegi tiap-tiap jenis bangunan.
b. Nilai bangunan per meter persegi merupakan jumlah nilai seluruh
bangunan dibagi dengan jumlah luas seluruh bangunan.
4. Kegiatan pendataan dan penilaian objek pajak PBB Sektor Perkebunan
meliputi kegiatan Pembentukan Basis Data dan Pemutakhiran/Pemeliharaan
Basis Data dengan prosedur sebagaimana ditetapkan pada Lampiran III dan
Lampiran IV Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.

d. LAIN-LAIN

1. Dalam hal Wajib Pajak meminta informasi rinci perhitungan nilai tanah dan
nilai bangunan objek pajak PBB Sektor Perkebunan, KPP Pratama harus
menerbitkan RPN sebagaimana ditetapkan pada Lampiran V Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak ini.
2. Prosedur penerbitan RPN sebagaimana ditetapkan pada Lampiran IV Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
3. Untuk objek pajak yang selama ini telah ditetapkan sebagai objek pajak Sektor
Perkebunan, mulai Tahun Pajak 2009 harus diadministrasikan dalam aplikasi
SISMIOP untuk Sektor Perkebunan.
159

P. PENGENAAN PBB SEKTOR KEHUTANAN

Dalam rangka penyempurnaan tindak lanjut dari tata cara pengenaan PBB Sektor
Kehutanan sebagaimana telah ditetapkan oleh Keputusan Dirjen Pajak Nomor : KEP-
16/PJ.6/1998 dan diatur dengan SE-23/PJ.6/1998 dan diatur dengan SE-23/PJ.6/1999
tanggal 23 April 1999 dan SE-49/PJ.6/1999 tanggal 10 Agustus 1999, dengan ini
disampaikan hal-hal sebagai berikut :

1. Dalam pelaksanaan pengenaan PBB Sektor Kehutanan, yang dimaksud dengan :


a. Hasil bersih setahun adalah pendapatan kotor setahun dari penjualan hasil
produksi dikurangi dengan biaya eksploitasi.

b. Pendapatan kotor adalah total hasil produksi dalam tahun pajak sebelumnya
dikalikan dengan harga pasar kayu bulat sebagaimana harga pasar per 1
Januari dari tahun pajak berjalan.
c. Biaya Eksploitasi adalah biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi
meliputi :

(1) Penebangan/upah tenaga kerja dan peralatan;


(2) Pengangkutan sampai di tempat penimbunan kayu (logponds/logyards)
dalam areal hutan;
(3) Penanaman (Perhutani);
(4) Pemeliharaan hutan/perawatan (Perhutani);
(5) Pengendalian kebakaran dan pengamanan hutan;
(6) Pajak Bumi dan Bangunan dan Provisi Sumber Daya Hutan (untuk areal
blok tebangan) tahun pajak sebelumnya.

d. Areal produktif adalah areal hutan blok tebangan;


e. Areal belum produktif adalah areal hutan non blok tebangan;

f. Areal tidak produktif adalah areal hutan yang tidak ada tegakannya, seperti
areal rawa, payau, waduk/danau, atau yang digunakan pihak ketiga secara
tidak sah;
g. Areal emplasemen adalah areal yang di atasnya terdapat bangunan dan atau
pekarangan;
h. Log ponds adalah areal perairan yang digunakan untuk tempat penimbunan
kayu;
i. Log yards adalah areal daratan yang digunakan untuk penimbunan kayu;

j. Areal hutan yang tidak dikenakan PBB adalah hutan lindung, hutan suaka
alam, hutan wisata, taman nasional, dan tanah penggembalaan yang dikuasai
oleh desa;
k. Areal yang digunakan oleh pihak ke III adalah areal hutan yang digunakan
oleh pihak lain dengan pembuktian yang sah;
l. Luas areal Blok Tebangan adalah sebagaimana ditetapkan dalam Surat
Keputusan Rencana Karya Tahunan (RKT).

2. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Sektor Kehutanan atas:


(1) Hak Pengusahaan Hutan, Hak Pengusahaan Hasil Hutan, Perhutani, Izin
Pemanfaatan Kayu serta Izin Sah Lainnya selain Hak Pengusahaan Hutan
160

Tanaman Industri ditentukan sebagai berikut:


a. Areal produktif sebesar 8,5 x Hasil Bersih setahun sebelum tahun pajak
berjalan;
b. Areal belum produktif, tidak produktif, dan emplasemen adalah sebesar
luas areal dikalikan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah
sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan;
c. Objek Pajak berupa bangunan adalah sebesar luas bangunan dikalikan
dengan Nilai Objek Pajak berupa bangunan yang disusun berdasarkan
Daftar Biaya Komponen Bangunan sebagaimana ditetapkan dalam
Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama
Menteri Keuangan.

(2) Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri ditentukan sebagai berikut:


d. Areal produktif adalah sebesar luas areal dikalikan dengan Nilai Jual
Objek Pajak berupa tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri
Keuangan, ditambah dengan Jumlah Biaya Pembangunan hutan Tanaman
Industri menurut umur tanaman;
e. Areal tidak produktif dan areal emplasemen dalam Kawasan Hutan
Tanaman Industri, adalah sebesar luas areal dikalikan dengan Nilai Jual
Objek Pajak berupa tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri
Keuangan;
f. Objek Pajak berupa bangunan adalah sebesar luas bangunan dikalikan
dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa bangunan yang disusun berdasarkan
Daftar Biaya Komponen Bangunan sebagaimana ditetapkan dalam
Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama
Menteri Keuangan.

(3) Areal Log Ponds adalah sebesar luas areal dikalikan dengan Nilai Jual Objek
Pajak perairan yang ditentukan berdasarkan korelasi garis lurus ke samping,
dengan klasifikasi Nilai Jual Objek Pajak permukaan bumi berupa tanah
sekitarnya.

3. Penggolongan Wilayah, dan Besarnya Standar Biaya Pembangunan Hutan Tanaman


Industri untuk tahun pajak 1999 adalah sebagaimana tercantum pada Lampiran II
Keputusan Dirjen Pajak Nomor : KEP-16/PJ.6/1998 Tanggal 30 Desember 1998,
sedangkan penyesuaian besarnya Standar Biaya Pembangunan Hutan Tanaman
Industri untuk Tahun 2000 dan seterusnya ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan kondisi masing-masing daerah.
4. Yang dimaksud tanah sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya dalam penetapan
besarnya Nilai Jual Objek Pajak untuk areal belum produktif, tidak produktif, dan
emplasemen adalah perbandingan dengan objek yang sejenis dalam satu wilayah dan
apabila tidak ada yang sejenis dapat dibandingkan dengan objek yang sejenis pada
wilayah yang lain dengan dilakukan penyesuaian.
5. Yang dimaksud dengan penyesuaian adalah: membandingkan perbedaan karakteristik
objek yang dinilai dengan objek lainnya yang sejenis pada lokasi yang berdekatan dan
dinyatakan dalam bentuk nilai satuan rupiah.
6. Bentuk formulir Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) dan Daftar Perhitungan
adalah sebagaimana contoh pada Lampiran 2, 3, 4 dan 5 Surat Edaran ini.
161

7. Dengan berlakunya Surat Edaran ini, Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor:
SE-23/PJ.6/1999 dan SE-49/PJ.6/1999dinyatakan tidak berlaku.
8. Surat Edaran ini mulai berlaku sejak tahun pajak 2000.

Q. Tahun pajak , Saat menentukan dan Tempat pajak terutang


Tahun Pajak adalah jangka waktu satu tahun, yakni masa l Januari s/d 31 Desember, ini
berarti PBB terutang setahun sekali, apabila terjadi beberapa kali mutasi baik perubahan
pemilik dan obyek bangunan, seperti contoh berikut :
Per 1 Januari 2000, tanah kosong pemilik atas nama A,
Tanggal 15 Juni 2001 tanah kosong tersebut dijual kepada B,
lalu tanggal 6 Agustus 2001, B menjual lagi tanah tersebut kepada C,
tanggal 10 Desember 2001 diatas tanah kosong sudah dibangun rumah komplit dan sudah
bisa ditempati,
selanjutnya pada tanggal 30 Desember 2002 Tanah dan bangunan tersebut dijual lagi kepada
si D.
Pertanyaannya Siapa yang harus membayar PBB pada tahun yang bersangkutan, dan terhadap
obyek apa saja terhutang PBB nya.
Untuk menjawab hal tersebut, maka saat yang menentukan pajak yang terutang adalah
menurut keadaan obyek pajak pada tanggal 1 Januari, artinya Pajak Bumi dan Bangunan
dikenakan/dihitung menurut keadaan 1 Januari. Apapun terjadi setelah tanggal 1 Januari tidak
merubah siapa subyek dan terhadap obyek apa (tanah/bangunan) yang dibayar, perubahan
terjadi ditahun pajak berikutnya, Jadi yang menjadi subyek Tahun 2000 dan 2001 adalah
Tuan A, sedangkan tahun 2002 adalah Tuan D, karena keadaan per 1 Januari obyek tersebut
masih nama yang bersangkutan.
Tempat pajak terutang adalah diwilayah kabupaten/kota dimana letak obyek pajak berada,
kecuali untuk DKI Jakarta, PBB terutang di DKI Jakarta. Pengaturan ini dimaksudkan
berkaitan dengan wilayah administratif KPP mana yang berwenang menangani obyek
tersebut, seperti umpamanya pengajuan keringanan, penentuan NJOPTKP , Keberatan dan
lain-lain.

R. Cara pemungutan dan pembayaran PBB


Setelah mengetahui permasalahan OBYEK PAJAK, besarnya pajak yang terutang dan harus
dilunasi dan siapa yang harus melunasi Pajak Bumi dan Bangunan, tata cara pemungutan dan
pelunasan/pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan. PBB dapat dibayar di tempat-tempat
pembayaran yang ditunjuk, seperti pada Bank, kantor Pos dan Giro. Berdasarkan ketentuan
terbaru, PBB terutang dapat dibayar pada bank-bank yang ditunjuk untuk penerima
pembayaran, sebagai bukti pembayaran , WP akan mendapat STTS, atau SSP bila WP
membayarannya menggunakan SSP.

S. Pendaftaran obyek pajak dan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP)


Subyek Pajak wajib mendaftarkan obyek pajaknya dengan mengisi Surat Pemberitahuan
Obyek Pajak. SPOP harus diisi dengan jelas, benar, lengkap, dan ditandatangani serta
menyampaikannya kepada Kantor Ditjen Pajak (cq Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan) di wilayah mana obyek pajak berada dalam jangka waktu 30 hari setelah Subyek
Pajak menerima formulir SPOP.

T. Penetapan pajak
1. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT)
Berdasarkan data–data dalam SPOP, maka pihak Ditjen Pajak (cq Kepala Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan) akan menerbitkan SPPT. SPPT adalah surat yang
162

digunakan oleh Ditjen Pajak untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan
yang terutang kepada Wajib Pajak.
Pajak yang terutang dalam SPPT harus dilunasi selambat–lambatnya 6 (enam bulan)
setelah tanggal diterimanya/penerbitan SPPT.

2. Surat Ketetapan Pajak (SKP)


Surat Ketetapan Pajak akan diterbitkan dalam hal :
a. SPOP tidak disampaikan pada waktunya, walaupun sudah diterbitkan Surat Tegoran.
Dalam SKP ditetapkan jumlah Pajak Bumi dan Bangunan yang terutang dengan
ditambah sanksi berupa denda administrasi sebesar 25% dari pokok pajak.
b. Pajak yang terutang menurut hasil pemeriksaan atau keterangan lain lebih besar dari
pajak yang terutang menurut SPOP, yang telah dimuat dalam SPPT. Kekurangan
pajak tersebut ditagih dengan SKP dengan ditambah sanksi berupa denda
administrasi sebesar 25% dari pajak yang kurang dibayar.

Pajak yang harus dibayar, yang tercantum dalam SKP harus dilunasi selambat–
lambatnya 1 (satu) bulan, sejak tanggal diterimanya Surat Ketetapan Pajak (SKP).
Pembayaran/pelunasan pajak dilakukan pada Bank–bank yang ditunjuk dan Kantor
Pos & Giro dan/atau di tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

3. Penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP)


Apabila pajak yang terutang dalam SPPT dan/atau SKP tidak atau kurang
dibayar/dilunasi pada saat jatuh tempo, maka atas keterlambatan pembayaran/pelunasan
tersebut dikenakan denda administrasi sebesar 2% sebulan, dihitung dari saat jatuh tempo,
untuk janka waktu paling lama 24 bulan.
Jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dan/atau denda administrasi sebesar 2%
sebulan ditagih dengan Surat Tagihan Pajak (STP).

U. Penagihan pajak
Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT), Surat Ketetapan Pajak (SKP), dan Surat
Tagihan Pajak (STP) merupakan dasar penagihan.
Jumlah pajak yang terhutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak yang tidak dibayar pada
waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.
Menteri Keuangan dapat melimpahkan kewenangan penagihan pajak kepada Gubernur
/Kepala Daerah Tingkat I dan/atau Bupati?Walikotamadya/Kepala Daerah Tingkat II.
Berdasarkan UU Otonomi Daerah istilah Tk I dirubah menjadi Pemerintah Propinsi dan
Daerah Tk II, menjadi pemerintah Kabupaten/kota

V. Keberatan dan Banding


Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atas penerbitan :
a. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT);
b. Surat Ketetapan Pajak (SKP).

Syarat–syarat yang harus dipenuhi dalam pengajuan keberatan :


1. Keberatan diajukan secara tertulis;
2. Keberatan disusun dalam Bahasa Indonesia;
3. Dalam pengajuan keberatan harus dicantumkan alasan–alasan yang jelas yang
mengakibatkan diajukannya keberatan;
4. Dalam pengajuan keberatan Wajib Pajak harus menunjukkan besarnya pajak yang
terhutang menurut perhitungan Wajib Pajak;
5. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 bulan setelah diterimanya SPPT dan/atau
SKP.
163

Perlu diketahui bahwa pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar/melunasi


pajak.
Atas surat keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak memberi
keputusan, dalam jangka waktu 12 bulan. Apabila keputusan tidak diberikan dalam jangka
waktu paling lama 12 bulan, maka pengajuan keberatan Wajib Pajak dianggap diterima.

Keputusan Dirjen Pajak atas pengajuan keberatan Wajib Pajak dapat berupa :
 menerima seluruhnya atau sebagian;
 menolak pengajuan keberatan Wajib Pajak yang bersangkutan;
 menambah besarnya jumlah pajak yang terutang.
Terhadap/atas keputusan yang diberikan Dirjen Pajak, atas pengajuan keberatan oleh Wajib
Pajak, masih dapat diajukan permohonan banding kepada Badan Peradilan Pajak di Jakarta,
sebelum Badan Peradilan Pajak terbentuk. Pengajuan banding itu dilakukan apabila
keputusan yang diberikan Dirjen Pajak masih belum memuaskan bagi Wajib Pajak yang
mengajukan keberatan kepada Dirjen Pajak. Perlu dikatahui bahwa dengan UU No.17 Tahun
1997 Badan Peradilan Pajak sudah terbentuk yakni Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.,
selanjutnya telah juga diadakan perubahan dengan UU nomor 14 tahun 2002, mengenai
Pengadilan Pajak. Jadi WP yang masih keberatan terhadap SK Keputusan Keberatan dapat
menempuh upaya hokum berikutnya yaitu Banding ke Pengadilan Pajak.

Pengajuan banding harus memenuhi syarat–syarat sebagai berikut :


1. Pengajuan banding diajukan secara tertulis;
2. Pengajuan banding diajukan dalam Bahasa Indonesia;
3. Wajib Pajak melampirkan salinan Surat Keputusan Dirjen Pajak atas (berkaitan dengan)
pengajuan keberatan Wajib Pajak;
4. Pengajuan banding harus dilaksanakan dalam jangka waktu 3 bulan sejak diterimanya
Surat Keputusan Dirjen Pajak (sebagai tanggapan atas pengajuan keberatannya).
5. Telah membayar pajak terhutang sesuai % yang disepakati dalam berita acara hasil
pemeiksaan keberatan.

W. Pengurangan atau Keringanan


Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 19 UU No.12 Tahun 1985 jo UU No.12 Tahun 1994,
Menteri Keuangan dalam hal-hal tertentu dapat memberikan pengurangan pajak yang
terutang. Perlu segera dijelaskan bahwa pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan, yang
tercantum dalam SPPT sudah benar (sudah sesuai dengan ketentuan), namun karena keadaan-
keadaan tertentu pelunasan PBB yang terutang dalam SPPT tersebut agak susah
pelaksanaannya. Keadaan atau hal-hal tertentu tersebut dapat berupa:

1. karena kondisi tertentu dari Objek Pajak yang ada hubungannya dengan Subjek Pajak.
Kondisi dimaksud dapat berupa: Pembangunan jalan yang mengakibatkan Nilai lahan
menjadi naik dengan tajam pada hal pemanfaatannya oleh Wajib Pajak tidak mengalami
perubahan, demikian juga Orang pribadi dapat membangun Rumah tinggal dengan Nilai
yang cukup tinggi (pada waktu masih aktip berusaha/bekerja) namun setelah pensiun
(tidak aktip bekerja/berusaha) tidak mempunyai kemampuan untuk melunasi PBB yang
terutang, dan lain-lain keadaan.
2. karena Objek Pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa.
Bencana alam dapat berupa: gempa, banjir, tanah lonsor, dll.
Sebab lain yang luar biasa dapat berupa: kebakaran, kekeringan, wabah penyakit
tanaman, hama tanaman, dll.
164

Yang dimaksud dengan kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek
pajak dan atau karena sebab-sebab tertentu lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
huruf a adalah :
objek pajak berupa lahan pertanian/perkebunan/perikanan/peternakan yang hasilnya sangat
terbatas yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang pribadi;
a. objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang
pribadi yang berpenghasilan rendah yang nilai jualnya meningkat akibat adanya
pembangunan atau perkembangan lingkungan;
b. objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang
pribadi yang penghasilannya semata-mata berasal dari pensiunan, sehingga kewajiban
PBB-nya sulit dipenuhi;
c. objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang
pribadi yang berpenghasilan rendah, sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi;
d. objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak veteran
pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan termasuk janda/dudanya
e. objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak badan
yang mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas yang serius sepanjang tahun,
sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban rutin perusahaan.

Warga Negara Indonesia yang mendapat gelar Kehormatan dengan diberikan sebutan Veteran
Pejuang Kemerdekaan RI.
Warga Negara Indonesia yang mendapat gelar Kehormatan dengan diberikan sebutan Veteran
Pembela Kemerdekaan RI.

Pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 untuk masing-masing wilayah Daerah


Tingkat II Kabupaten atau Kotamadya, hanya diberikan untuk satu objek pajak yang dimiliki,
dikuasai dan atau dimanfaatkan wajib pajak.
Dalam hal wajib pajak orang pribadi memiliki, menguasai dan atau memanfaatkan lebih dari
satu objek pajak, maka objek pajak yang dapat diajukan permohonan pengurangan adalah
objek pajak yang menjadi tempat domisili wajib pajak.
Dalam hal wajib pajak yang memiliki, menguasai dan atau memanfaatkan lebih dari satu
objek pajak adalah wajib pajak badan, maka objek pajak yang dapat diajukan permohonan
pengurangan adalah salah satu objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan
wajib pajak.

Pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a dapat diberikan setinggi-


tingginya 75% (tujuh puluh lima persen) dari besarnya pajak terutang, dan ditetapkan
berdasarkan pertimbangan kondisi serta penghasilan wajib pajak;
Pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b dapat diberikan sampai dengan
100% (seratus persen) dari besarnya pajak terutang.
Pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan sebesar 75% (tujuh puluh lima
persen) dari besarnya pajak terutang.
Dalam hal permohonan pengurangan diajukan oleh janda/duda veteran yang telah
kawin/menikah lagi, maka besarnya persentase pengurangan diberikan sebagaimana
dimaksud pada ayat 1.

Permohonan pengurangan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Kantor
Pelayanan PBB yang menerbitkan SPPT atau SKP dengan mencantumkan besarnya
persentase pengurangan yang dimohonkan.
Dalam hal permohonan pengurangan diajukan terhadap SKP, maka pemberian pengurangan
PBB hanya dapat diberikan atas pokok ketetapan pajak terutang.
165

Permohonan pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan selambat-lambatnya


3 (tiga) bulan terhitung :

a. sejak tanggal diterima SPPT/SKP.


b. sejak terjadinya bencana alam atau sebab-sebab lain yang luar biasa.
c. Permohonan pengurangan PBB dapat diajukan secara perseorangan atau kolektif
(formulir 1/formulir 2a dan 2b/formulirB/FORMULIR 3a dan 3b).

X. Pembagian hasil penerimaan PBB


Pembagian hasil penerimaan pajak diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Sesuai
dengan Peraturan Pemerintah No.47 Tahun 1985, maka hasil penerimaan Pajak Bumi dan
Bangunan diperuntukkan sebagai berikut :
1. Untuk Pemerintah Pusat 10%, dan harus disetor sepenuhnya ke Kas Negara;
2. Untuk Pemerintah Daerah 90%;

Bagian Pemerintah Daerah, setelah dikurangi dengan biaya pemungutan sebesar 10%,
diperuntukkan :
1. Untuk Pemerintah Daerah Tingkat I sebesar 20% (duapuluh persen)
2. Untuk Pemerintah Daerah Tingkat II sebesar 80% (delapan puluh persen).

Y. Sanksi Pidana
1. Pidana Kurungan

Barang siapa karena ke alpaannya :

a. tidak mengembalikan/menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak kepada


Direktorat Jenderal Pajak;
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak, tetapi isinya tidak benar atau tidak
lengkap dan/atau melampirkan keterangan yang tidak benar;

sehingga menimbulkan kerugian Negara, di pidana dengan pidana kurungan selama-


lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya sebesar 2 (dua) kali pajak yang
terutang.

2. Pidana Penjara
1. Barang siapa dengan sengaja :
2. tidak mengembalikan/menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak kepada
Direktorat Jenderal Pajak;
3. menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak, tetapi isinya tidak benar atau tidak
lengkap dan/atau melampirkan keterangan yang tidak benar;
4. memperlihatkan surat palsu atau dipalsukan atau dokumen lain yang palsu atau
dipalsukan seolah-olah benar;
5. tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan surat atau dokumen lainnya;
6. tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan keterangan yang diperlukan;
7. sehingga menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya 2 (dua) tahun atau denda setinggi-tingginya sebesar 5 (lima) kali
pajak yang terhutang.
8. Terhadap bukan wajib pajak yang bersangkutan yang melakukan tindakan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d dan huruf e, di pidana dengan pidana
kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp.
2.000.000,- (dua juta rupiah).
166

9. Ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di lipatkan dua apabila
seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu)
tahun, terhitung sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang
dijatuhkan atau sejak dibayarnya denda.

Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan Pasal 25 tidak dapat dituntut
setelah lampau waktu 10 (sepuluh) tahun sejak berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan.

Z. CONTOH PERHITUNGAN PBB (sector P3)


1. PBB Perhutanan
PT. ALAM INDAH RAYA, sebuah perusahaan perseroam terbatas di bidang perhutanan,
memiliki/menguasai atau memanfaatkan Tanah dan Bangunan sebagai berikut :
A. Tanah
1. Areal produktif : tanah hutan blok tebangan= 15 Ha, klas 101,NJOP Rp 94.300/M2
2. Areal belum produktif: non blok tebangan = 23 Ha, klas 122 NJOP Rp 34.300/M2
3. Tanah :a.Log Ponds = 11 Ha, klas 122,(korelasi kesamping Rp 200/m2)
b.Log Yards = 8 Ha, klas 142, NJOP Rp 12.700/M2
4. Areal lainnya(rawa,payau) = 5 Ha, klas 143 NJOP Rp 12.100/M2
5.Areal Emplasment :
a) Pabrik = 35.000 m2, klas 103 NJOP Rp 86.000/M2
b) Gudang = 15.000 m2, klas 101 NJOP Rp 94.300/M2
c) Kantor = 5.000 m2, klas 099 NJOP Rp 103.000/M2
d) Tempat Rekreasi(tennis,bola voli ) = 15.000 m2, klas 143 NJOP Rp 12.100/M2
e) Perumahan = 23.000 m2, klas 099 NJOP Rp 103.000/M2
Catatan : Hasil penjualan kayu tahun lalu = Rp 4.000.000.000,
angka kapitalisasi: 8,5
B. Bangunan
a) Pabrik = 17.000 m2, klas 067 NJOP Rp 920.000/M2
b) Gudang = 13.000 m2, klas 067 NJOP Rp 920.000/M2
c) Kantor = 3.000 m2, klas 063 NJOP Rp 1.300.000/M2
d) Tenis court = 5.500 m2, klas 073 NJOP Rp 660.000/M2
e) Lapangan bola voli = 1.800 m2, klas 073 NJOP Rp 660.000/M2
f) Perumahan = 15,000 m2, klas 064 NJOP Rp 1.100.000/M2

Hitunglah PBB terutang atas obyek tersebut bila NJOPTKP diketahui Rp 24.000.000,-

2. PBB Perkebunan
PT. POHON NYIUR RAYA, sebuah perusahaan perseroam terbatas di bidang
perkebunan, memiliki/menguasai atau memanfaatkan Tanah dan Bangunan sebagai
berikut :
A.Tanah
1. Tanaman usia 3 tahun = 25 Ha, klas 101,NJOP Rp 94.300/M2
Standar investasi Rp 5.500.000,- per Ha
2. Tanaman sudah menghasilkan = 28 Ha, klas 122 NJOP Rp 34.300/M2
Standar investasi Rp 7.800.000,- per Ha
3 .Areal Emplasment :
a) Pabrik = 3.000 m2, klas 103 NJOP Rp 86.000/M2
b) Gudang = 1.000 m2, klas 101 NJOP Rp 94.300/M2
c) Kantor = 2.000 m2, klas 099 NJOP Rp 103.000/M2
d) Perumahan = 2.000 m2, klas 099 NJOP Rp 103.000/M2
e) Tempah Ibadah = 1.000 m2, klas 099 NJOP Rp 103.000/M2
167

B. Bangunan
a. Pabrik = 1.000 m2, klas 067 NJOP Rp 920.000/M2
b. Gudang = 600 m2, klas 067 NJOP Rp 920.000/M2
c. Kantor = 1.500 m2, klas 063 NJOP Rp 1.300.000/M2
d. Perumahan = 1,000 m2, klas 064 NJOP Rp 1.100.000/M2
e. Tempah Ibadah = 1.000 m2, klas 064 NJOP Rp 1.100.000/M2

Hitunglah PBB terutang atas obyek tersebut bila NJOPTKP diketahui Rp 24.000.000,-

3.PBB Pertambangan
A.Tanah
1. Areal produktif : = 25 Ha, klas 101,NJOP Rp 94.300/M2
2. Areal belum produktif :
a. General servey = 11 Ha, klas 142,NJOP Rp 12.700/M2
b. Eksplorasi = 8 Ha, klas 122, NJOP Rp 34.300/M2
4. Areal Tidak produktif = 5 Ha, klas 143 NJOP Rp 12.100/M2
5.Areal Emplasment :
a) Pabrik = 15.000 m2, klas 103 NJOP Rp 86.000/M2
b) Gudang = 5.000 m2, klas 101 NJOP Rp 94.300/M2
c) Kantor = 5.000 m2, klas 099 NJOP Rp 103.000/M2
d) Tempat Rekreasi(tennis,bola voli ) = 10.000 m2, klas 143 NJOP Rp 12.100/M2
e) Perumahan = 13.000 m2, klas 099 NJOP Rp 103.000/M2

B.Bangunan
f) Pabrik = 7.000 m2, klas 067 NJOP Rp 920.000/M2
g) Gudang = 3.000 m2, klas 067 NJOP Rp 920.000/M2
h) Kantor = 3.000 m2, klas 063 NJOP Rp 1.300.000/M2
i) Tenis court = 5.500 m2, klas 073 NJOP Rp 660.000/M2
j) Lapangan bola voli = 2.800 m2, klas 073 NJOP Rp 660.000/M2
k) Perumahan = 11,000 m2, klas 064 NJOP Rp 1.100.000/M2
C. Hasil Bersih Tahun Lalu, sebesar Rp 15.000.000.000,- angka kapitalisasi 9,5

Hitunglah PBB terutang atas obyek tersebut bila NJOPTKP diketahui Rp 24.000.000,-
168

LAMPIRAN I
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 150/PMK.03/2010
KLASIFIKASI DAN PENETAPAN NILAI JUAL OBJEK PAJAK SEBAGAI DASAR PENGENAAN PAJAK
BUMI DAN BANGUNAN

a. KLASIFIKASI NILAI JUAL OBJEK PAJAK BUMI UNTUK OBJEK PAJAK SEKTOR PERKEBUNAN,
OBJEK PAJAK SEKTOR PERHUTANAN, DAN OBJEK PAJAK SEKTOR PERTAMBANGAN.

Pengelompokan Nilai Jual Bumi Nilai Jual Objek Pajak Bumi


Klas
(Rp/m2) (Rp/m2)
001 > 3.064.000,00 s/d 3.136.000,00 3.100.000,00
002 > 3.010.000,00 s/d 3.064.000,00 3.037.000,00
003 > 2.948.000,00 s/d 3.010.000,00 2.979.000,00
004 > 2.902.000,00 s/d 2.948.000,00 2.925.000,00
005 > 2.850.000,00 s/d 2.902.000,00 2.876.000,00
006 > 2.804.000,00 s/d 2.850.000,00 2.827.000,00
007 > 2.754.000,00 s/d 2.804.000,00 2.779.000,00
008 > 2.710.000,00 s/d 2.754.000,00 2.732.000,00
009 > 2.662.000,00 s/d 2.710.000,00 2.686.000,00
010 > 2.618.000,00 s/d 2.662.000,00 2.640.000,00
011 > 2.574.000,00 s/d 2.618.000,00 2.596.000,00
012 > 2.530.000,00 s/d 2.574.000,00 2.552.000,00
013 > 2.486.000,00 s/d 2.530.000,00 2.508.000,00
014 > 2.426.000,00 s/d 2.486.000,00 2.456.000,00
015 > 2.382.000,00 s/d 2.426.000,00 2.404.000,00
016 > 2.324.000,00 s/d 2.382.000,00 2.353.000,00
017 > 2.260.000,00 s/d 2.324.000,00 2.292.000,00
018 > 2.206.000,00 s/d 2.260.000,00 2.233.000,00
019 > 2.146.000,00 s/d 2.206.000,00 2.176.000,00
020 > 2.094.000,00 s/d 2.146.000,00 2.120.000,00
021 > 2.038.000,00 s/d 2.094.000,00 2.066.000,00
022 > 1.988.000,00 s/d 2.038.000,00 2.013.000,00
023 > 1.936.000,00 s/d 1.988.000,00 1.962.000,00
024 > 1.888.000,00 s/d 1.936.000,00 1.912.000,00
025 > 1.836.000,00 s/d 1.888.000,00 1.862.000,00
026 > 1.794.000,00 s/d 1.836.000,00 1.815.000,00
027 > 1.742.000,00 s/d 1.794.000,00 1.768.000,00
028 > 1.702.000,00 s/d 1.742.000,00 1.722.000,00
029 > 1.642.000,00 s/d 1.702.000,00 1.672.000,00
030 > 1.602.000,00 s/d 1.642.000,00 1.622.000,00
031 > 1.544.000,00 s/d 1.602.000,00 1.573.000,00
032 > 1.496.000,00 s/d 1.544.000,00 1.520.000,00
033 > 1.438.000,00 s/d 1.496.000,00 1.467.000,00
034 > 1.394.000,00 s/d 1.438.000,00 1.416.000,00
035 > 1.340.000,00 s/d 1.394.000,00 1.367.000,00
036 > 1.300.000,00 s/d 1.340.000,00 1.320.000,00
037 > 1.248.000,00 s/d 1.300.000,00 1.274.000,00
038 > 1.214.000,00 s/d 1.248.000,00 1.231.000,00
039 > 1.164.000,00 s/d 1.214.000,00 1.189.000,00
040 > 1.130.000,00 s/d 1.164.000,00 1.147.000,00
041 > 1.080.000,00 s/d 1.130.000,00 1.105.000,00
042 > 1.050.000,00 s/d 1.080.000,00 1.065.000,00
043 > 1.004.000,00 s/d 1.050.000,00 1.027.000,00
044 > 968.000,00 s/d 1.004.000,00 986.000,00
045 > 930.000,00 s/d 968.000,00 949.000,00
046 > 902.000,00 s/d 930.000,00 916.000,00
047 > 870.000,00 s/d 902.000,00 886.000,00
048 > 844.000,00 s/d 870.000,00 857.000,00
049 > 814.000,00 s/d 844.000,00 829.000,00
050 > 790.000,00 s/d 814.000,00 802.000,00
051 > 762.000,00 s/d 790.000,00 776.000,00
052 > 740.000,00 s/d 762.000,00 751.000,00
053 > 714.000,00 s/d 740.000,00 727.000,00
054 > 692.000,00 s/d 714.000,00 703.000,00
169

055 > 668.000,00 s/d 692.000,00 680.000,00


056 > 646.000,00 s/d 668.000,00 657.000,00
057 > 624.000,00 s/d 646.000,00 635.000,00
058 > 604.000,00 s/d 624.000,00 614.000,00
059 > 584.000,00 s/d 604.000,00 594.000,00
060 > 566.000,00 s/d 584.000,00 575.000,00
061 > 546.000,00 s/d 566.000,00 556.000,00
062 > 528.000,00 s/d 546.000,00 537.000,00
063 > 508.000,00 s/d 528.000,00 518.000,00
064 > 492.000,00 s/d 508.000,00 500.000,00
065 > 472.000,00 s/d 492.000,00 482.000,00
066 > 456.000,00 s/d 472.000,00 464.000,00
067 > 434.000,00 s/d 456.000,00 445.000,00
068 > 420.000,00 s/d 434.000,00 427.000,00
069 > 400.000,00 s/d 420.000,00 410.000,00
070 > 388.000,00 s/d 400.000,00 394.000,00
071 > 368.000,00 s/d 388.000,00 378.000,00
072 > 358.000,00 s/d 368.000,00 363.000,00
073 > 340.000,00 s/d 358.000,00 349.000,00
074 > 330.000,00 s/d 340.000,00 335.000,00
075 > 314.000,00 s/d 330.000,00 322.000,00
076 > 304.000,00 s/d 314.000,00 309.000,00
077 > 290.000,00 s/d 304.000 ,00 297.000,00
078 > 280.000,00 s/d 290.000,00 285.000,00
079 > 268.000,00 s/d 280.000,00 274.000,00
080 > 258.000,00 s/d 268.000,00 263.000,00
081 > 248.000,00 s/d 258.000,00 253.000,00
082 > 237.000,00 s/d 248.000,00 243.000,00
083 > 227.000,00 s/d 237.000,00 232.000,00
084 > 215.000,00 s/d 227.000,00 221.000,00
085 > 205.000,00 s/d 215.000,00 210.000,00
086 > 195.000,00 s/d 205.000,00 200.000,00
087 > 184.000,00 s/d 195.000,00 190.000,00
088 > 176.000,00 s/d 184.000,00 180.000,00
089 > 164.000,00 s/d 176.000,00 170.000,00
090 > 156.000,00 s/d 164.000,00 160.000,00
091 > 146.000,00 s/d 156.000,00 151.000,00
092 > 139.000,00 s/d 146.000,00 143.000,00
093 > 131.000,00 s/d 139.000,00 135.000,00
094 > 124.000,00 s/d 131.000,00 128.000,00
095 > 120.000,00 s/d 124.000,00 122.000,00
096 > 114.000,00 s/d 120.000,00 117.000,00
097 > 110.000,00 s/d 114.000,00 112.000,00
098 > 105.000,00 s/d 110.000,00 107.500,00
099 > 100.900,00 s/d 105.000,00 103.000,00
100 > 96.300,00 s/d 100.900,00 98.600,00
101 > 92.300,00 s/d 96.300,00 94.300,00
102 > 87.900,00 s/d 92.300,00 90.100,00
103 > 84.100,00 s/d 87.900,00 86.000,00
104 > 79.900,00 s/d 84.100,00 82.000,00
105 > 76.100,00 s/d 79.900,00 78.000,00
106 > 72.300,00 s/d 76.100,00 74.200,00
107 > 68.900,00 s/d 72.300,00 70.600,00
108 > 65.500,00 s/d 68.900,00 67.200,00
109 > 62.500,00 s/d 65.500,00 64.000,00
110 > 59.500,00 s/d 62.500,00 61.000,00
111 > 56.700,00 s/d 59.500,00 58.100,00
112 > 54.100,00 s/d 56.700,00 55.400,00
113 > 51.500,00 s/d 54.100,00 52.800,00
114 > 49.100,00 s/d 51.500,00 50.300,00
115 > 46.900,00 s/d 49.100,00 48.000,00
116 > 44.700,00 s/d 46.900,00 45.800,00
117 > 42.700,00 s/d 44.700,00 43.700,00
118 > 40.700,00 s/d 42.700,00 41.700,00
119 > 38.700,00 s/d 40.700,00 39.700,00
120 > 36.900,00 s/d 38.700,00 37.800,00
121 > 35.100,00 s/d 36.900,00 36.000,00
122 > 33.500,00 s/d 35.100,00 34.300,00
123 > 32.100,00 s/d 33.500,00 32.800,00
170

> 30.500,00 s/d 32.100,00 31.300,00


124
> 29.100,00 s/d 30.500,00 29.800,00
125
> 27.700,00 s/d 29.100,00 28.400,00
126
> 26.300,00 s/d 27.700,00 27.000,00
127
> 24.900,00 s/d 26.300,00 25.600,00
128
> 23.700,00 s/d 24.900,00 24.300,00
129
> 22.500,00 s/d 23.700,00 23.100,00
130
> 21.500,00 s/d 22.500,00 22.000,00
131
> 20.500,00 s/d 21.500,00 21.000,00
132
> 19.500,00 s/d 20.500,00 20.000,00
133
> 18.500,00 s/d 19.500,00 19.000,00
134
> 17.600,00 s/d 18.500,00 18.100,00
135
> 16.800,00 s/d 17.600,00 17.200,00
136
> 16.000,00 s/d 16.800,00 16.400,00
137
> 15.200,00 s/d 16.000,00 15.600,00
138
> 14.400,00 s/d 15.200,00 14.800,00
139
> 13.600,00 s/d 14.400,00 14.000,00
140
> 13.000,00 s/d 13.600,00 13.300,00
141
> 12.400,00 s/d 13.000,00 12.700,00
142
> 11.800,00 s/d 12.400,00 12.100,00
143
> 11.200,00 s/d 11.800,00 11.500,00
144
> 10.700,00 s/d 11.200,00 11.000,00
145
> 10.200,00 s/d 10.700,00 10.500,00
146
> 9.700,00 s/d 10.200,00 10.000,00
147
> 9.300,00 s/d 9.700,00 9.500,00
148
> 8.900,00 s/d 9.300,00 9.100,00
149
> 8.500,00 s/d 8.900,00 8.700,00
150
> 8.100,00 s/d 8.500,00 8.300,00
151
> 7.700,00 s/d 8.100,00 7.900,00
152
> 7.300,00 s/d 7.700,00 7.500,00
153
> 7.000,00 s/d 7.300,00 7.150,00
154
> 6.600,00 s/d 7.000,00 6.800,00
155
> 6.300,00 s/d 6.600,00 6.450,00
156
> 5.900,00 s/d 6.300,00 6.100,00
157
> 2.800,00 s/d 3.000,00 2.900,00
172
> 2.600,00 s/d 2.800,00 2.700,00
173
> 2.400,00 s/d 2.600,00 2.500,00
174
> 2.220,00 s/d 2.400,00 2.310,00
175
> 2.060,00 s/d 2.220,00 2.140,00
176
> 1.910,00 s/d 2.060,00 1.990,00
177
> 1.770,00 s/d 1.910,00 1.840,00
178
> 1.620,00 s/d 1.770,00 1.700,00
179
> 1.500,00 s/d 1.620,00 1.560,00
180
> 1.380,00 s/d 1.500,00 1.440,00
181
> 1.250,00 s/d 1.380,00 1.320,00
182
> 1.150,00 s/d 1.250,00 1.200,00
183
> 1.050,00 s/d 1.150,00 1.100,00
184
> 950,00 s/d 1.050,00 1.000,00
185
> 860,00 s/d 950,00 910,00
186
> 780,00 s/d 860,00 820,00
187
> 700,00 s/d 780,00 740,00
188
> 630,00 s/d 700,00 670,00
189
> 560,00 s/d 630,00 600,00
190
> 510,00 s/d 560,00 540,00
191
> 450,00 s/d 510,00 480,00
192
> 410,00 s/d 450,00 430,00
193
> 370,00 s/d 410,00 390,00
194
> 330,00 s/d 370,00 350,00
195
> 290,00 s/d 330,00 310,00
196
> 250,00 s/d 290,00 270,00
197
> 210,00 s/d 250,00 230,00
198
> 190,00 s/d 210,00 200,00
199
> 150,00 s/d 190,00 170,00
200
< 150,00 140,00

b. KLASIFIKASI NILAI JUAL OBJEK PAJAK BANGUNAN UNTUK OBJEK PAJAK SEKTOR PERKEBUNAN,
OBJEK PAJAK SEKTOR PERHUTANAN, DAN OBJEK PAJAK SEKTOR PERTAMBANGAN
171

Pengelompokan Nilai Jual Bangunan Nilai Jual Objek Pajak


Klas
(Rp/m2) (Rp/m2)
001 > 15.800.000,00 s/d 16.100.000,00 16.000.000,00
002 > 15.434.000,00 s/d 15.800.000,00 15.600.000,00
003 > 15.066.000,00 s/d 15.434.000,00 15.250.000,00
004 > 14.688.000,00 s/d 15.066.000,00 14.800.000,00
005 > 14.330.000,00 s/d 14.688.000,00 14.500.000,00
006 > 13.970.000,00 s/d 14.330.000,00 14.150.000,00
007 > 13.612.000,00 s/d 13.970.000,00 13.800.000,00
008 > 13.246.000,00 s/d 13.612.000,00 13.430.000,00
009 > 12.904.000,00 s/d 13.246.000,00 13.075.000,00
010 > 12.538.000,00 s/d 12.904.000,00 12.720.000,00
011 > 12.213.000,00 s/d 12.538.000,00 12.380.000,00
012 > 11.887.000,00 s/d 12.213.000,00 12.050.000,00
013 > 11.562.000,00 s/d 11.887.000,00 11.725.000,00
014 > 11.229.000,00 s/d 11.562.000,00 11.395.000,00
015 > 10.921.000,00 s/d 11.229.000,00 11.075.000,00
016 > 10.612.000,00 s/d 10.921.000,00 10.770.000,00
017 > 10.296.000,00 s/d 10.612.000,00 10.450.000,00
018 > 10.004.000,00 s/d 10.296.000,00 10.150.000,00
019 > 9.688.000,00 s/d 10.004.000,00 9.850.000,00
020 > 9.413.000,00 s/d 9.688.000,00 9.550.000,00
021 > 9.137.000,00 s/d 9.413.000,00 9.275.000,00
022 > 8.862.000,00 s/d 9.137.000,00 9.000.000,00
023 > 8.579.000,00 s/d 8.862.000,00 8.720.000,00
024 > 8.321.000,00 s/d 8.579.000,00 8.450.000,00
025 > 8.063.000,00 s/d 8.321.000,00 8.190.000,00
026 > 7.796.000,00 s/d 8.063.000,00 7.930.000,00
027 > 7.554.000,00 s/d 7.796.000,00 7.675.000,00
028 > 7.313.000,00 s/d 7.554.000,00 7.430.000,00
029 > 7.070.000,00 s/d 7.313.000,00 7.190.000,00
030 > 6.830.000,00 s/d 7.070.000,00 6.950.000,00
031 > 6.588.000,00 s/d 6.830.000,00 6.710.000,00
032 > 6.346.000,00 s/d 6.588.000,00 6.470.000,00
033 > 6.104.000,00 s/d 6.346.000,00 6.225.000,00
034 > 5.862.000,00 s/d 6.104.000,00 5.980.000,00
035 > 5.613.000,00 s/d 5.862.000,00 5.740.000,00
036 > 5.387.000,00 s/d 5.613.000,00 5.500.000,00
037 > 5.138.000,00 s/d 5.387.000,00 5.260.000,00
038 > 4.930.000,00 s/d 5.138.000,00 5.030.000,00
039 > 4.700.000,00 s/d 4.930.000,00 4.825.000,00
040 > 4.488.000,00 s/d 4.700.000,00 4.600.000,00
041 > 4.296.000,00 s/d 4.488.000,00 4.390.000,00
042 > 4.104.000,00 s/d 4.296.000,00 4.200.000,00
043 > 3.912.000,00 s/d 4.104.000,00 4.010.000,00
044 > 3.713.000,00 s/d 3.912.000,00 3.813.000,00
045 > 3.537.000,00 s/d 3.713.000,00 3.625.000,00
046 > 3.362.000,00 s/d 3.537.000,00 3.450.000,00
047 > 3.180.000,00 s/d 3.362.000,00 3.270.000,00
048 > 3.020.000,00 s/d 3.180.000,00 3.100.000,00
049 > 2.862.000,00 s/d 3.020.000,00 2.940.000,00
050 > 2.696.000,00 s/d 2.862.000,00 2.780.000,00
051 > 2.554.000,00 s/d 2.696.000,00 2.625.000,00
052 > 2.384.000,00 s/d 2.554.000,00 2.470.000,00
053 > 2.261.000,00 s/d 2.384.000,00 2.320.000,00
054 > 2.100.000,00 s/d 2.261.000,00 2.200.000,00
055 > 1.975.000,00 s/d 2.100.000,00 2.050.000,00
056 > 1.885.000,00 s/d 1.975.000,00 1.950.000,00
057 > 1.781.000,00 s/d 1.885.000,00 1.833.000,00
058 > 1.675.000,00 s/d 1.781.000,00 1.730.000,00
059 > 1.568.000,00 s/d 1.675.000,00 1.620.000,00
060 > 1.464.000,00 s/d 1.568.000,00 1.516.000,00
061 > 1.359.000,00 s/d 1.464.000,00 1.410.000,00
062 > 1.239.000,00 s/d 1.359.000,00 1.300.000,00
063 > 1.161.000,00 s/d 1.239.000,00 1.200.000,00
064 > 1.041.000,00 s/d 1.161.000,00 1.100.000,00
065 > 993.000,00 s/d 1.041.000,00 1.020.000,00
066 > 943.000,00 s/d 993.000,00 968.000,00
067 > 895.000,00 s/d 943.000,00 920.000,00
172

068 > 844.000,00 s/d 895.000,00 870.000,00


069 > 802.000,00 s/d 844.000,00 823.000,00
070 > 753.000,00 s/d 802.000,00 780.000,00
071 > 718.000,00 s/d 753.000,00 730.000,00
072 > 682.000,00 s/d 718.000,00 700.000,00
073 > 647.000,00 s/d 682.000,00 660.000,00
074 > 610.000,00 s/d 647.000,00 630.000,00
075 > 580.000,00 s/d 610.000,00 595.000,00
076 > 550.000,00 s/d 580.000,00 565.000,00
077 > 518.000,00 s/d 550.000,00 530.000,00
078 > 492.000,00 s/d 518.000,00 505.000,00
079 > 461.000,00 s/d 492.000,00 480.000,00
080 > 440.000,00 s/d 461.000,00 450.000,00
081 > 418.000,00 s/d 440.000,00 429.000,00
082 > 397.000,00 s/d 418.000,00 408.000,00
083 > 374.000,00 s/d 397.000,00 385.000,00
084 > 356.000,00 s/d 374.000,00 365.000,00
085 > 338.000,00 s/d 356.000,00 347.000,00
086 > 282.000,00 s/d 338.000,00 310.000,00
087 > 278.000,00 s/d 282.000,00 280.000,00
088 > 250.000,00 s/d 278.000,00 264.000,00
089 > 230.000,00 s/d 250.000,00 240.000,00
090 > 220.000,00 s/d 230.000,00 225.000,00
091 > 185.000,00 s/d 220.000,00 191.000,00
092 > 170.000,00 s/d 185.000,00 180.000,00
093 > 136.000,00 s/d 170.000,00 162.000,00
094 > 128.000,00 s/d 136.000,00 132.000,00
095 > 104.000,00 s/d 128.000,00 116.000,00
096 > 92.000,00 s/d 104.000,00 98.000,00
097 > 74.000,00 s/d 92.000,00 83.000,00
098 > 68.000,00 s/d 74.000,00 71.000,00
099 > 52.000,00 s/d 68.000,00 60.000,00
100 > 52.000,00 50.000,00

Anda mungkin juga menyukai