BAGIAN V
Pajak Bumi pada dasarnya sudah mulai dilaksanakan di Indonesia sejak zaman
parsejarah, namun dasar dan ketentuan pemungutannya tidak diketahui (karena tiada bukti
berupa tulisan yang ditemukan). Pada zaman kebudayaan Hindu (zaman Indonesia Hindu)
sudah dikenal adanya pungutan pajak atas tanah dengan nama “Drwyahaji” yang artinya
bagian panen milik raja, yang menjadi objek pajak selain sawah juga tanah-tanah lain yang
menghasilkan.
Pada zaman kerajaan Islam (Raja Mataram II) pungutan pajak bumi dilaksanakan
dengan nama “Pajeg Bumi”, dipungut secara periodik atau tetap (dalam bahasa Jawa :
Pasokan Ajeg) yang karenanya disebut “Pajek sikep atau Ajeg” atau Pajeg.
Pada zaman penjajahan Inggris dikenal adanya pungutan atas tanah yang dinamakan
Landrent yang mencontoh dari kerajaan-kerajaan India dengan dasar pemikiran bahwa tanah
adalah milik Negara, rakyat dipandang sebagai penyewa (yaitu tahun 1811-1816). Kemudian
pada waktu Indonesia diserahkan kepada Belanda, pungutan ini diteruskan lagi oleh
pemerintahan kolonial Belanda dengan nama “ Land Rente “
Penjajah Belanda pergi datang Jepang menjajah Indonesia, pada masa penjajahan
Jepang pemungutan Pajak Bumi diteruskan pemungutannya dengan nam “ Pajak Atas Tanah
“
Sesudah Jepang menyerah kepada sekutu dan Indonesia menyatakan
kemerdekaannya, maka kemudian Pajak atas Tanah diganti namanya menjadi “Pajak Hasil
Bumi “
Sehubungan dengan itu maka pemerintah dengan Peraturan pengganti UU No.11
tahun 1959 menghidupkan kembali pajak atas tanah dengan nama “Pajak Hasil Bumi”.
Peraturan perundang-undangan ini kemudian disahkan dengan Undang-undang No.1 tahun
1961 menjadi Undang-undang No 11 Peraturan perundang-undangan tahun 1959. Peraturan
inilah yang menjadi dasar pemungutan Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA).
Pada tanggal 4 November 1985 pemerintah menyampaikan rancangan undang-undang
Pajak Bumi Bangunan kepada DPR kemudian Rancangan Undang-undang Pajak Bumi
Bangunan disetujui oleh DPR RI dan disahkan oleh Presiden RI dengan Undang-undang
No.12 tahun 1985 dan mulai efektif berlaku 1 Januari 1986. Dengan lahirnya Undang-
undang ini maka lengkaplah perwujudan pembaharuan sistem perpajakan nasional sesuai
dengan yang diamanatkan dalam GBHN.
D. Subyek Pajak
Yang diwajibkan membayar Pajak Bumi dan Bangunan adalah Orang atau Badan (Subyek
Pajak) yang :
- secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau
- memperoleh manfaat atas bumi, dan atau
- memiliki, menguasai, dan atau
- memperoleh manfaat atas bangunan.
Dalam kaitannya dengan kewajiban membayar Pajak Bumi dan Bangunan perlu diperhatikan
ketentuan dalam Pasal 4 ayat (3) UU No.12 Tahun 1985, yakni : Dalam hal atas suatu obyek
pajak belum diketahui Wajib Pajaknya, maka Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan
Subyek Pajak sebagai Wajib Pajak.
Pajak Bumi dan Bangunan dikenakan terhadap Orang atau Badan yang mempunyai hak
/manfaat atas bumi dan/atau memiliki, mengusai/memperoleh manfaat atas bangunan.
E. Obyek Pajak
Yang menjadi obyek pajak adalah BUMIdan/atau BANGUNAN.
1. Yang dimaksud dengan BUMI adalah : permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di
bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah
Indonesia. Perairan pedalaman dapat berupa tambak, rawa–rawa, sungai yang diusahakan.
Dalam pengertian laut wilayah Indonesia sudah tercakup pengertian Zone Ekonomi
Eksklusif. Hal ini berkaitan erat dengan penambangan minyak lepas pantai.
2. Yang dimaksud dengan BANGUNAN adalah : konstruksi teknik yang ditanam atau
diletakkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan. Termasuk juga dalam pengertian
BANGUNAN adalah :
jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik
dan emplasemennya, dan lain–lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks
bangunan tersebut;
jalan tol, kolam renang, pagar mewah, tempat olahraga, galangan kapal &dermaga,
taman mewah;
tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak;
fasilitas lain yang memberikan manfaat.
c. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah
penggembalaan yang dikuasai oleh desa , dan tanah negara yang belum dibebani oleh
suatu hak;
d. digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
e. digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh
menteri keuangan;
Adanya Batas Nilai Jual Bangunan Tidak Kena Pajak jelas memberi keringanan kepada
penduduk/masyarakat yang penghasilannya rendah/kurang memadai serta diharapkan bahwa
masyarakat akan bersedia untuk membangun tempat tinggal yang memadai/yang memenuhi
syarat kesehatan dengan Nilai Jual tersebut. Dengan berlakunya UU nomor 12 Tahun 1994,
maka pengurangan BTKP tidak ada lagi, yang ada sekarang adalah pengurangan NJOPTKP.
oleh Kepala Kantor Wilayah DJP atas nama Menteri Keuangan dengan memperhatikan
pendapat PEMDA setempat, namun biasanya NJOPTKP yang akan ditetapkan tersebut
adalah setinggi-tinginya Rp.12.000.000,00 (Pasal 3 keputusan Menteri Keuangan tersebut).
J. Tarif Pajak
Tarif Pajak yang dikenakan atas obyek pajak adalah tarif tunggal, yakni sebesar 0,5% (lima
persepuluh persen).
Tarif efektif PBB di beberapa negara :
NAIROBI tarif 3,80 % dari NJOP
Jepang tarif 1,90 % dari NJOP
Lusaka tarif 1,10 % dari NJOP
Taiwan tarif 1.04 % dari NJOP
Korea tarif 0.90 % dari NJOP
Muangthai tarif 0.75 % dari NJOP
Malaysia tarif 0.48 % dari NJOP
Pilippina tarif 1.40 % dari NJOP
Indonesia tarif 0.5 % dari NJKP
Dengan demikian, untuk dapat menghitung besarnya Pajak Bumi dan Bangunan yang
terutang kita harus mengetahui NJKP, yang besarnya ditentukan oleh besarnya Nilai Jual
Obyek Pajak (NJOP).
a. Klasifikasi dan besarnya Nilai Jual Objek Pajak atas permukaan bumi berupa tanah
ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran IA dan IB Keputusan ini.
b. Klasifikasi dan besarnya Nilai Jual Objek Pajak atas permukaan bumi berupa bangunan
ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran IIA dan IIB Keputusan ini.
c. Dalam hal ada objek pajak yang nilai jual per M2 nya lebih besar dari ketentuan Nilai Jual
Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), Nilai Jual Objek Pajak yang
terjadi di lapangan tersebut digunakan sebagai dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan
152
d. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat atas nama Menteri Keuangan
menetapkan klasifikasi dan besarnya Nilai Jual Objek Pajak atas permukaan bumi dan/atau
bangunan di daerah-daerah dalam wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Daerah
Tingkat II di seluruh Indonesia
Berkaitan dengan Kelasifikasi PBB Sektor P3, lihat lampiran kelas
Berdasarkan PP nomor 25 tahun 2002, besarnya Nilai Jual Kena Pajak sebagai dasar
penghitungan pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak dan Bangunan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, ditetapkan untuk :
sebesar 40 % ( empat puluh persen ) dari Nilai Jual Objek Pajak apabila Nilai Jual Objek
Pajaknya Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah ) atau lebih;
sebesar 20 % (dua puluh persen ) dari Nilai Jual Objek Pajak apabila Nilai Jual Pajak
Objeknya kurang dari Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)
Setelah mengetahui unsur-unsur (NJOP, NJOPTKP, NJKP dan tariff), maka PBB dapat
dihitung dengan rumus :
M. PBB SEKTOR PERTAMBANGAN MINYAK BUMI DAN GAS BUMI (PBB MIGAS)
1997, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 127/PMK.03/2007 tanggal 11 Oktober 2007,
sea adanya perubahan ketentuan di bidang Migas dan struktur organisasi PT. Pertamina
(Persero) dan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BPMIGAS), dengan ini
disampaikan petunjuk pengenaan PBB Migas dengan penjelasan sebagai berikut:
a. PengertianUmum
PBB Migas merupakan bagian dari pelaksanaan pengenaan PBB sektor pertambangan
disamping sektor lainnya yaitu pedesaan, perkotaan, perkebunan, perhutanan, dan
pertambangan non migas. Dalam pelaksanaan pengenaan PBB Migas, yang dimaksud
dengan:
1. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan
dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau
ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk
batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan
yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.
2. Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan
temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan Minyak dan
Gas Bumi.
3. Kegiatan Usaha Hulu adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pads kegiatan
usaha Eksplorasi dan Eksploitasi.
4. Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi
geologi untuk menemukan dan memperoleh perkoraan cadangan Minyak dan Gas
Bumi di Wilayah Kerja yang ditentukan.
5. Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan Minyak
dan Gas Bumi dari Wilayah Kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan
penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan
pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian Minyak dan Gas Bumi di iapangan
serta kegiatan lain yang mendukungnya.
6. Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia adalah seluruh wilayah daratan, perairan,
dan landas kontinen Indonesia,
7. Wilayah Kerja adalah daerah tertentu di dalam Wilayah Hukum Pertambangan
Indonesia untuk pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi.
8. Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain
dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan
hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
9. Areal Produktif adalah areal di dalam Wilayah Kerja baik di daratan maupun di
perairan yang telah diekspioitasi/menghasilkan minyak bumi dan atau gas bumi
(tahap eksploitasilproduksi).
10. Areal Belum Produktif adalah areal di dalam Wilayah Kerja baik di daratan maupun
di perairan yang meliputi:
a. Areal Penyelidikan Umum adalah areal yang sedang atau akan dilakukan
penyelidikan secara geologi umum, untuk membuat peta geologi dan mengetahui
tanda-tanda adanya bahan galian minyak bumi dan atau gas bumi.
b. Areal Eksplorasi adalah areal yang sudah dilakukan penyelidikan umum dan
perlu diteliti lebih seksama untuk menetapakan secara rinci adanya bahan galian
minyak bumi dan atau gas bumi.
c. Areal Non Producing open adalah areal yang sudah selesai dieksplorasi dan
sewaktuwaktu slap untuk ditambangldieksploitasi.
d. Areal Non Producing Plug and Abandon adalah yang sudah selesai
dieksploitasi dan untuk sementara ditutup/ditinggalkan.
154
11. Areal Tidak Produktif adalah areal di dalam Wilayah Kerja baik di daratan maupun
di perairan yang sama sekali tidak mempunyai potensi untuk menghasilkan minyak
bumi dan atau gas bumi.
12. Areal Emplasemen adalah areal di dalam maupun diluar Wilayah Kerja yang di
atasnya terdapat bangunan dan atau pekarangan.
13. Areal Pengamanan adalah areal di dalam maupun di luar Wilayah Kerja yang
digunakan sebagai pengamanan bangunan (misalnya jalur pipa) dan/atau
keselamatan lingkungan.
14. Areal Lainnya adalah areal yang berada di dalam maupun di luar Wilayah Kerja yang
tidak termasuk Areal Produktif, Areal Belum Produktif, Areal Tidak Produktif, Areal
Emplasemen, dan Areal Pengamanan.
15. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada
tanah danlatau perairan.
16. Hasil Produksi adalah produksi minyak dan atau gas bumi yang dijual dalam satu
tahun yang dinyatakan dalam ukuran barrel untuk minyak dan mscf untuk gas bumi.
17. Penjualan Hasil Produksi adalah perkalian Hasil Produksi dengan harga minyak dan
atau gas bumi dalam mata uang rupiah.
1. Subjek Pajak PBB Migas adalah seluruh Kontraktor Kontrak Kerja Sama
(KKKS) yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, danlatau
memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, danlatau
memperoleh manfaat atas bangunan sesuai lugs Wilayah Kerja yang
dikuasainya.
2. Subjek Pajak sebagaimana butir 2 yang dikenakan kewajiban membayar pajak
menjadi Wajib Pajak PBB Migas.
c. SPOP Induk dan Lampiran SPOP yang diterima dari BPMIGAS, oieh
Ditjen Pajak disampaikan kepada KPPBB/KPP Pratama sebagai
berikut:
2. Penilaian Objek
Pajak Penilaian objek PBB Migas dalam rangka penentuan besarnya Niiai dual
Objek Pajak (NJOP) untuk masing-masing peruntukkan objek pajak adalah
sebagai berikut:
a. NJOP Onshore dan NJOP Onshore Non WK ditentukan meialui
perbandingan harga tanah sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya
danlatau sebagaimana tatacara penilaian tanah untuk sektor lainnya.
b. NJOP Offshore ditentukan melalui perbandingan harga perairan/daratan
sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya.
c. NJOP Bangunan ditentukan melalui nilai perolehan baru sebesar biaya
pembangunan baru yang disusun berdasarkan Daftar Biaya Komponen
Bangunan (DBKB) setiap jenis bangunan setelah dikurangi penyusutan
fisik.
d. NJOP Tubuh Bumi ditentukan melalui nilai jual pengganti sebesar angka
kapitalisasi dikalikan Penjualan Hasil Produksi dalam satu tahun sebelum
tahun pajak berjalan
e. Angka kapitalisasi dalam penentuan NJOP tubuh bumi ditetapkan setiap
tahun
f. irektorat Ekstensifikasi dan Penilaian melakukan penelitian dan
memberikan persetujuan terhadap usulan perhitungan PBB sebagai dasar
bagi KPPBBIKPoleh Direktur Jenderal Pajak.
3. Penerbitan SPPT
156
Ketentuan Lain-lain Dengan diterbitkannya Surat Edaran ini maka ketentuan butir I
dan II Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-24/PJ.6/1999 tanggal 23 April 1999 hal
Petunjuk Pengenaan PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, dinyatakan
tidak
Dasar hokum pelaksanaan pemungutan PBB sector Perkebunan adalah, Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-50/PJ/2008 tanggal 30 Desember 2008. Dalam Per DJP
tersebut diatur berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:
1. Sektor Perkebunan adalah objek pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang digunakan
untuk pengusahaan tanaman perkebunan dengan luasan paling sedikit 2 (dua)
hektar, termasuk emplasemen.
2. Standar Investasi Tanaman yang selanjutnya disebut SIT adalah jumlah biaya
tenaga kerja, bahan dan alat yang diinvestasikan untuk pembukaan lahan,
penanaman, dan pemeliharaan tanaman.
3. Surat Pemberitahuan Objek Pajak Sektor Perkebunan yang selanjutnya disebut
SPOP adalah surat yang digunakan oleh subjek pajak/Wajib Pajak untuk
melaporkan data objek pajak Sektor Perkebunan ke Direktorat Jenderal Pajak.
4. Lampiran Surat Pemberitahuan Objek Pajak Sektor Perkebunan yang selanjutnya
disebut LSPOP adalah formulir yang dipergunakan oleh subjek pajak/Wajib Pajak
untuk melaporkan data rinci objek pajak Sektor Perkebunan.
5. Formulir Data Masukan yang selanjutnya disebut FDM adalah formulir yang
digunakan sebagai sarana perekaman data ke dalam aplikasi SISMIOP untuk
Sektor Perkebunan.
6. Rincian Perhitungan Nilai yang selanjutnya disebut RPN adalah hasil keluaran
dari aplikasi SISMIOP untuk Sektor Perkebunan yang berisi informasi rinci
perhitungan nilai tanah dan nilai bangunan.
7. Nilai Dasar Tanah adalah nilai tanah areal perkebunan tidak termasuk SIT.
8. Pembentukan Basis Data adalah rangkaian kegiatan membentuk basis data objek
pajak untuk pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan ke dalam
basis data SISMIOP untuk Sektor Perkebunan.
157
1) Nilai tanah Areal kebun yang sudah diolah tetapi belum ditanami
merupakan perkalian luas dengan nilai dasar tanah per meter
persegi areal kebun yang sudah diolah tetapi belum ditanami,
termasuk di dalamnya biaya pembukaan lahan.
2) Nilai tanah Areal kebun belum diolah merupakan perkalian luas
dengan Nilai Dasar Tanah per meter persegi areal kebun yang
belum diolah.
d. LAIN-LAIN
1. Dalam hal Wajib Pajak meminta informasi rinci perhitungan nilai tanah dan
nilai bangunan objek pajak PBB Sektor Perkebunan, KPP Pratama harus
menerbitkan RPN sebagaimana ditetapkan pada Lampiran V Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak ini.
2. Prosedur penerbitan RPN sebagaimana ditetapkan pada Lampiran IV Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
3. Untuk objek pajak yang selama ini telah ditetapkan sebagai objek pajak Sektor
Perkebunan, mulai Tahun Pajak 2009 harus diadministrasikan dalam aplikasi
SISMIOP untuk Sektor Perkebunan.
159
Dalam rangka penyempurnaan tindak lanjut dari tata cara pengenaan PBB Sektor
Kehutanan sebagaimana telah ditetapkan oleh Keputusan Dirjen Pajak Nomor : KEP-
16/PJ.6/1998 dan diatur dengan SE-23/PJ.6/1998 dan diatur dengan SE-23/PJ.6/1999
tanggal 23 April 1999 dan SE-49/PJ.6/1999 tanggal 10 Agustus 1999, dengan ini
disampaikan hal-hal sebagai berikut :
b. Pendapatan kotor adalah total hasil produksi dalam tahun pajak sebelumnya
dikalikan dengan harga pasar kayu bulat sebagaimana harga pasar per 1
Januari dari tahun pajak berjalan.
c. Biaya Eksploitasi adalah biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi
meliputi :
f. Areal tidak produktif adalah areal hutan yang tidak ada tegakannya, seperti
areal rawa, payau, waduk/danau, atau yang digunakan pihak ketiga secara
tidak sah;
g. Areal emplasemen adalah areal yang di atasnya terdapat bangunan dan atau
pekarangan;
h. Log ponds adalah areal perairan yang digunakan untuk tempat penimbunan
kayu;
i. Log yards adalah areal daratan yang digunakan untuk penimbunan kayu;
j. Areal hutan yang tidak dikenakan PBB adalah hutan lindung, hutan suaka
alam, hutan wisata, taman nasional, dan tanah penggembalaan yang dikuasai
oleh desa;
k. Areal yang digunakan oleh pihak ke III adalah areal hutan yang digunakan
oleh pihak lain dengan pembuktian yang sah;
l. Luas areal Blok Tebangan adalah sebagaimana ditetapkan dalam Surat
Keputusan Rencana Karya Tahunan (RKT).
(3) Areal Log Ponds adalah sebesar luas areal dikalikan dengan Nilai Jual Objek
Pajak perairan yang ditentukan berdasarkan korelasi garis lurus ke samping,
dengan klasifikasi Nilai Jual Objek Pajak permukaan bumi berupa tanah
sekitarnya.
7. Dengan berlakunya Surat Edaran ini, Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor:
SE-23/PJ.6/1999 dan SE-49/PJ.6/1999dinyatakan tidak berlaku.
8. Surat Edaran ini mulai berlaku sejak tahun pajak 2000.
T. Penetapan pajak
1. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT)
Berdasarkan data–data dalam SPOP, maka pihak Ditjen Pajak (cq Kepala Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan) akan menerbitkan SPPT. SPPT adalah surat yang
162
digunakan oleh Ditjen Pajak untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan
yang terutang kepada Wajib Pajak.
Pajak yang terutang dalam SPPT harus dilunasi selambat–lambatnya 6 (enam bulan)
setelah tanggal diterimanya/penerbitan SPPT.
Pajak yang harus dibayar, yang tercantum dalam SKP harus dilunasi selambat–
lambatnya 1 (satu) bulan, sejak tanggal diterimanya Surat Ketetapan Pajak (SKP).
Pembayaran/pelunasan pajak dilakukan pada Bank–bank yang ditunjuk dan Kantor
Pos & Giro dan/atau di tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
U. Penagihan pajak
Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT), Surat Ketetapan Pajak (SKP), dan Surat
Tagihan Pajak (STP) merupakan dasar penagihan.
Jumlah pajak yang terhutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak yang tidak dibayar pada
waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.
Menteri Keuangan dapat melimpahkan kewenangan penagihan pajak kepada Gubernur
/Kepala Daerah Tingkat I dan/atau Bupati?Walikotamadya/Kepala Daerah Tingkat II.
Berdasarkan UU Otonomi Daerah istilah Tk I dirubah menjadi Pemerintah Propinsi dan
Daerah Tk II, menjadi pemerintah Kabupaten/kota
Keputusan Dirjen Pajak atas pengajuan keberatan Wajib Pajak dapat berupa :
menerima seluruhnya atau sebagian;
menolak pengajuan keberatan Wajib Pajak yang bersangkutan;
menambah besarnya jumlah pajak yang terutang.
Terhadap/atas keputusan yang diberikan Dirjen Pajak, atas pengajuan keberatan oleh Wajib
Pajak, masih dapat diajukan permohonan banding kepada Badan Peradilan Pajak di Jakarta,
sebelum Badan Peradilan Pajak terbentuk. Pengajuan banding itu dilakukan apabila
keputusan yang diberikan Dirjen Pajak masih belum memuaskan bagi Wajib Pajak yang
mengajukan keberatan kepada Dirjen Pajak. Perlu dikatahui bahwa dengan UU No.17 Tahun
1997 Badan Peradilan Pajak sudah terbentuk yakni Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.,
selanjutnya telah juga diadakan perubahan dengan UU nomor 14 tahun 2002, mengenai
Pengadilan Pajak. Jadi WP yang masih keberatan terhadap SK Keputusan Keberatan dapat
menempuh upaya hokum berikutnya yaitu Banding ke Pengadilan Pajak.
1. karena kondisi tertentu dari Objek Pajak yang ada hubungannya dengan Subjek Pajak.
Kondisi dimaksud dapat berupa: Pembangunan jalan yang mengakibatkan Nilai lahan
menjadi naik dengan tajam pada hal pemanfaatannya oleh Wajib Pajak tidak mengalami
perubahan, demikian juga Orang pribadi dapat membangun Rumah tinggal dengan Nilai
yang cukup tinggi (pada waktu masih aktip berusaha/bekerja) namun setelah pensiun
(tidak aktip bekerja/berusaha) tidak mempunyai kemampuan untuk melunasi PBB yang
terutang, dan lain-lain keadaan.
2. karena Objek Pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa.
Bencana alam dapat berupa: gempa, banjir, tanah lonsor, dll.
Sebab lain yang luar biasa dapat berupa: kebakaran, kekeringan, wabah penyakit
tanaman, hama tanaman, dll.
164
Yang dimaksud dengan kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek
pajak dan atau karena sebab-sebab tertentu lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
huruf a adalah :
objek pajak berupa lahan pertanian/perkebunan/perikanan/peternakan yang hasilnya sangat
terbatas yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang pribadi;
a. objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang
pribadi yang berpenghasilan rendah yang nilai jualnya meningkat akibat adanya
pembangunan atau perkembangan lingkungan;
b. objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang
pribadi yang penghasilannya semata-mata berasal dari pensiunan, sehingga kewajiban
PBB-nya sulit dipenuhi;
c. objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang
pribadi yang berpenghasilan rendah, sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi;
d. objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak veteran
pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan termasuk janda/dudanya
e. objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak badan
yang mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas yang serius sepanjang tahun,
sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban rutin perusahaan.
Warga Negara Indonesia yang mendapat gelar Kehormatan dengan diberikan sebutan Veteran
Pejuang Kemerdekaan RI.
Warga Negara Indonesia yang mendapat gelar Kehormatan dengan diberikan sebutan Veteran
Pembela Kemerdekaan RI.
Permohonan pengurangan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Kantor
Pelayanan PBB yang menerbitkan SPPT atau SKP dengan mencantumkan besarnya
persentase pengurangan yang dimohonkan.
Dalam hal permohonan pengurangan diajukan terhadap SKP, maka pemberian pengurangan
PBB hanya dapat diberikan atas pokok ketetapan pajak terutang.
165
Bagian Pemerintah Daerah, setelah dikurangi dengan biaya pemungutan sebesar 10%,
diperuntukkan :
1. Untuk Pemerintah Daerah Tingkat I sebesar 20% (duapuluh persen)
2. Untuk Pemerintah Daerah Tingkat II sebesar 80% (delapan puluh persen).
Y. Sanksi Pidana
1. Pidana Kurungan
2. Pidana Penjara
1. Barang siapa dengan sengaja :
2. tidak mengembalikan/menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak kepada
Direktorat Jenderal Pajak;
3. menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak, tetapi isinya tidak benar atau tidak
lengkap dan/atau melampirkan keterangan yang tidak benar;
4. memperlihatkan surat palsu atau dipalsukan atau dokumen lain yang palsu atau
dipalsukan seolah-olah benar;
5. tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan surat atau dokumen lainnya;
6. tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan keterangan yang diperlukan;
7. sehingga menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya 2 (dua) tahun atau denda setinggi-tingginya sebesar 5 (lima) kali
pajak yang terhutang.
8. Terhadap bukan wajib pajak yang bersangkutan yang melakukan tindakan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d dan huruf e, di pidana dengan pidana
kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp.
2.000.000,- (dua juta rupiah).
166
9. Ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di lipatkan dua apabila
seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu)
tahun, terhitung sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang
dijatuhkan atau sejak dibayarnya denda.
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan Pasal 25 tidak dapat dituntut
setelah lampau waktu 10 (sepuluh) tahun sejak berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan.
Hitunglah PBB terutang atas obyek tersebut bila NJOPTKP diketahui Rp 24.000.000,-
2. PBB Perkebunan
PT. POHON NYIUR RAYA, sebuah perusahaan perseroam terbatas di bidang
perkebunan, memiliki/menguasai atau memanfaatkan Tanah dan Bangunan sebagai
berikut :
A.Tanah
1. Tanaman usia 3 tahun = 25 Ha, klas 101,NJOP Rp 94.300/M2
Standar investasi Rp 5.500.000,- per Ha
2. Tanaman sudah menghasilkan = 28 Ha, klas 122 NJOP Rp 34.300/M2
Standar investasi Rp 7.800.000,- per Ha
3 .Areal Emplasment :
a) Pabrik = 3.000 m2, klas 103 NJOP Rp 86.000/M2
b) Gudang = 1.000 m2, klas 101 NJOP Rp 94.300/M2
c) Kantor = 2.000 m2, klas 099 NJOP Rp 103.000/M2
d) Perumahan = 2.000 m2, klas 099 NJOP Rp 103.000/M2
e) Tempah Ibadah = 1.000 m2, klas 099 NJOP Rp 103.000/M2
167
B. Bangunan
a. Pabrik = 1.000 m2, klas 067 NJOP Rp 920.000/M2
b. Gudang = 600 m2, klas 067 NJOP Rp 920.000/M2
c. Kantor = 1.500 m2, klas 063 NJOP Rp 1.300.000/M2
d. Perumahan = 1,000 m2, klas 064 NJOP Rp 1.100.000/M2
e. Tempah Ibadah = 1.000 m2, klas 064 NJOP Rp 1.100.000/M2
Hitunglah PBB terutang atas obyek tersebut bila NJOPTKP diketahui Rp 24.000.000,-
3.PBB Pertambangan
A.Tanah
1. Areal produktif : = 25 Ha, klas 101,NJOP Rp 94.300/M2
2. Areal belum produktif :
a. General servey = 11 Ha, klas 142,NJOP Rp 12.700/M2
b. Eksplorasi = 8 Ha, klas 122, NJOP Rp 34.300/M2
4. Areal Tidak produktif = 5 Ha, klas 143 NJOP Rp 12.100/M2
5.Areal Emplasment :
a) Pabrik = 15.000 m2, klas 103 NJOP Rp 86.000/M2
b) Gudang = 5.000 m2, klas 101 NJOP Rp 94.300/M2
c) Kantor = 5.000 m2, klas 099 NJOP Rp 103.000/M2
d) Tempat Rekreasi(tennis,bola voli ) = 10.000 m2, klas 143 NJOP Rp 12.100/M2
e) Perumahan = 13.000 m2, klas 099 NJOP Rp 103.000/M2
B.Bangunan
f) Pabrik = 7.000 m2, klas 067 NJOP Rp 920.000/M2
g) Gudang = 3.000 m2, klas 067 NJOP Rp 920.000/M2
h) Kantor = 3.000 m2, klas 063 NJOP Rp 1.300.000/M2
i) Tenis court = 5.500 m2, klas 073 NJOP Rp 660.000/M2
j) Lapangan bola voli = 2.800 m2, klas 073 NJOP Rp 660.000/M2
k) Perumahan = 11,000 m2, klas 064 NJOP Rp 1.100.000/M2
C. Hasil Bersih Tahun Lalu, sebesar Rp 15.000.000.000,- angka kapitalisasi 9,5
Hitunglah PBB terutang atas obyek tersebut bila NJOPTKP diketahui Rp 24.000.000,-
168
LAMPIRAN I
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 150/PMK.03/2010
KLASIFIKASI DAN PENETAPAN NILAI JUAL OBJEK PAJAK SEBAGAI DASAR PENGENAAN PAJAK
BUMI DAN BANGUNAN
a. KLASIFIKASI NILAI JUAL OBJEK PAJAK BUMI UNTUK OBJEK PAJAK SEKTOR PERKEBUNAN,
OBJEK PAJAK SEKTOR PERHUTANAN, DAN OBJEK PAJAK SEKTOR PERTAMBANGAN.
b. KLASIFIKASI NILAI JUAL OBJEK PAJAK BANGUNAN UNTUK OBJEK PAJAK SEKTOR PERKEBUNAN,
OBJEK PAJAK SEKTOR PERHUTANAN, DAN OBJEK PAJAK SEKTOR PERTAMBANGAN
171