Anda di halaman 1dari 73

1

BAGIAN I

DASAR – DASAR PERPAJAKAN

A. DEFINISI

Definisi pajak yang dikemukakan oleh S. I. Djajadiningrat


Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas negara yang dlsebabkan suatu
keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman,
menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari
negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan secara umum.

Defmisi pajak yang dikemukakan oleh Dr. N. J. Feldmann:


Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma- norma
yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup
pengeluaran-pengeluaran umum.

Definisi pajak yang dikemufcakan oleh Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H.:
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)
dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan, dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran urnum,
Definisi tersebut kemudian disempurnakan, menjadi:
Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin
dan "surplus**-nya digunakan untuk public saving yang mempakan sumber utama untuk membiayai public
investment
Defenisi pajak pusat dan pajak daerah
Dalam pasal 1 angka 1 UU nomor 28 tahun 2007 disebutkan rumusan pajak sbb :
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dalam pasal 1 angka 1 UU nomor 28 tahun 2009 disebutkan rumusan pajak sbb :
Pajak adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

B. CIRI-CIRI YANG MELEKAT PAPA DEFINISI PAJAK


Dari beberapa definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
3. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya
masih terdapat surplus, digunakan untuk membiayai public investment.

1. Pajak dipungut berdasarkan kekuatan UU serta peraturan pelaksanaannya.


2

Azas pemungutan Pajak di Negara kita diatur dalam Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 yang
menyatakan Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan
undang-undang. (ketentuan yang lama diatur dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
menyatakan: “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang”)

Pungutan pajak yang dilakukan oleh negara pada akhirnya merupakan beban yang akan dipikul
oleh masyarakat. Dengan demikian pungutan pajak tersebut sudah selayaknya disetujui oleh
rakyat, yang akan dipikul oleh mereka. Cara yang ditempuh untuk memperoleh persetujuan
dilakukan dengan jalan:
Sebelum dilaksanakan pemungutan satu jenis pajak di negara kita, terlebih dahulu rencana
pemungutan tersebut harus diberitahukan kepada masyarakat untuk mendapat persetujuan, dengan
mengajukan RUU pemungutan suatu jenis pajak kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang
mewakili rakyat. Pada masa yang lalu kita telah melihat adanya beberapa RUU di bidang
perpajakan, terakhir RUU Ketentuan Umum dan tata Cara Perpajakan. Setelah mengalami
pembahasan dalam Sidang DPR, maka RUU itu dapat disetujui menjadi undang-undang. Tidak
semua RUU akan dapat disetujui menjadi undang-undang, karena RUU tersebut dapat pula
ditolak. Namun, pengalaman selama ini, RUU selalu disetujui oleh DPR. Setelah mendapat
persetujuan barulah dapat diundangkan sebagai UNDANG-UNDANG yang akan mengikat baik
Pemerintah maupun dan terutama masyarakat, sebagai pemikul pajak.
Proses seperti di atas telah berlaku sebelum Proklamasi Kemerdekaan, yang berwujud Ordonansi.
Sebelumnya, sebelum ada Dewan yang mewakili masyarakat, maka pemungutan pajak
dilaksanakan melalui Reglement (semacam Peraturan Pemerintah) yang ditetapkan penjajah,
seperti Vendureglement, yang merupakan pemungutan Bea Lelang. Pada saat sekarang ini Bea
Lelang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

2. Dalam pembayaran Pajak, pembayar pajak tidak mendapat imbalan jasa secara langsung, yang
dapat ditunjuk, dari pemerintah.

Hasil penerimaan atau pemungutan pajak digunakan oleh Pemerintah untuk membiayai
kegiatannya, baik yang bersifat rutin maupun kegiatan dalam pembangunan. Kegiatan rutin dapat
berupa berbagai macam pelayanan kepada masyarakat, termasuk kegiatan memberi rasa aman dan
adil bagi mayarakat, Kegiatan ini memerlukan antara lain: dana untuk membayar gaji , baik untuk
Pegawai Negeri Sipil maupun untuk anggota TNI dan Kepolisian. Pelayanan yang diberikan oleh
Pemerintah tersebut diperuntukkan kepada masyarakat keseluruhan, termasuk kepada mereka
Kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah adalah bermacam-macam yang dapat
berupa antara lain: pembangunan jalan dan jembatan, pembangunan dermaga dan pelabuhan
untuk kelancaran proses perekonomian, pembangunan saluran irigasi, pembangunan gedung-
gedung untuk sarana pendidikan dan olah raga serta masih banyak lagi macamnya. Kegiatan
pembangunan tersebut diarahkan untuk peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat
keseluruhan, termasuk pembayar pajak.

3. Pajak dipungut oleh Negara (baik oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah).
Sesuai dengan instansi yang melaksanakan pemungutan pajak, maka di Negara Republik
Indonesia dikenal adanya Pajak Pusat atau Pajak Negara, yakni pajak yang pemungutannya
dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat. Pemungutan Pajak Pusat ini dilaksanakan oleh:
- Direktorat Jenderal Pajak, terdiri dari 4 (empat) jenis pajak;
3

- Direktorat Jenderal Bea dan Cukau, terdiri dari 2 (dua) jenis pajak, yakni Bea Masuk dan
Cukai.

Disamping Pajak Pusat atau Pajak Negara dikenal juga adanya Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, yang pemungutannya dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Pemungutan Pajak Daerah
dilaksanakan oleh:
- Pemerintah Propinsi, terdiri dari 5 (lima) jenis pajak;
- Pemerintah Kabupaten/Kota, terdiri dari 11 (sebelas) jenis pajak.
Disamping Pajak Daerah, maka Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
melaksanakan juga pemungutan Retribusi Daerah, yang terdiri dari:
- Retribusi Jasa Umum;
- Retribusi Jasa Usaha; dan
- Retribusi Perizinan Tertentu.

4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran umum Pemerintah, termasuk pengeluaran untuk


Pembangunan.

Penerimaan pajak dipergunakan oleh Pemerintah untuk membiayai kegiatannya. Kegiatan yang
dilakukan oleh Pemerintah meliputi juga kegiatan pelayanan kepada warganya sehingga warga
Negara/masyarakat akan merasakan rasa nyaman atas pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah.
Dengan demikian penerimaan pajak akan digunakan untuk membiayai kegiatan:
- Rutin, seperti pembayaran gaji, pembelian alat-tulis-menulis termasuk peralatan perkantoran,
sehingga pelayanan terhadap anggota masyarakat yang membutuhkan jasa dari Pemerintah
dapat dirasakan nyaman;
- Pembangunan, seperti pembangunan gedung-gedung Pemerintah dalam rangka pemberian
pelayanan kepada anggota masyarakat, pembangunan jalan dan jembatan yang sangat
diperlukan oleh masyarakat dalam menjalankan usaha dan kehidupan sehari-hari serta
pemabngunan lainnya.

C. PUNGUTAN LAIN SELAIN PAJAK


Di samping pajak, ada beberapa pungutan lain yang serupa dengan pajak tetapi mempunyai perlakuan
dan sifat yang berbeda dengan pajak, yang dilakukan oleh negara terhada rakyatnya. Pungutan tersebut
antara lain:
1. Bea meterai, yaitu pungutan yang dikenakan atas dokumen dengan menggunaka benda meterai
ataupun benda lain.
2. Bea masuk dan bea keluar. Bea masuk adalah pungutan atas barang-barang yang dimasukkan ke
dalam daerah pabean berdasarkan harga/nilai barang itu atau berdasarkan tarif yang sudah
ditentukan. Bea keluar adalah pungutan yang dilakukan atas barang yang dikeluarkan dari daerah
pabean berdasarkan tarif yang sudah ditentukan bagi masing-masing golongan barang.
3. Cukai, yaitu pungutan yang dikenakan atas barang-barang tertentu yang sudah ditetapkan untuk
masing-masing jenis barang tertentu. Contoh: tembakau, gula, bensin minuman keras, dan Iain-lain.
4. Retribusi, yaitu pungutan yang dikenakan sehubungan dengan suatu jasa atau fasil: yang diberikan oleh
pemerintah secara langsung dan nyata kepada pembayar. Contoh parkir, pasar, jalan tol, dan Iain-lain.
5. luran, yaitu pungutan yang dikenakan sehubungan dengan suatu jasa atau fasil yang diberikan
pemerintah secara langsung dan nyata kepada kelompok atau golon pembayar.
6. Pungutan lain yang sah/legal berupa sumbangan wajib.
4

D. PERBEDAAN PAJAK, RETRIBUSI DAN SUMBANGAN


Pajak :
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)
dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

Ciri-ciri yang melekat pada pajak :


1. pajak dipungut berdasarkan undang-undang
2. jasatimbal balik tidak dapat ditunjukkan secara langsung.
3. pajak dipungut oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
4. pajak dipergunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah.
5. dapat dipaksakan. (bersifat yuridis)

Retribusi :
Retribusi adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan mendapatkan jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan
oleh pemerintah.

Ciri-ciri yang melekat pada retribusi :


1. dipungut berdasarkan undang-undang
2. jasa timbal balik (kontraprestasi) dapat ditunjukkan secara langsung.
3. retribusi dipungut oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
4. pembayaran tersebut memang untuk mendapatkan prestasi tertentu dari pemerintah.
5. dapat dipaksakan( bersifat ekonomis)

Sumbangan
Sumbangan adalah iuran yang dibayar dikenakan hanya kepada golongan masyarakat tertentu
saja, kontraprestasi dapat dinikmati oleh golongan tersebut. contoh sumbangan wajib untuk
perawatan dan pemeliharaan jalan, hanya dikenakan terhadap pemilik kendaraan

E. FUNGSI PAJAK
Terdapat dua fungsi pajak, yaitu fungsi budgetair (sumber keuangan negara) dan fungsi regularend
(pengatur).

1. Fungsi Budgetair / Sumber Keuangan Negara


Pajak mempunyai fungsi budgetair, artinya pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah
untuk membiayai pengeiuaran baik rutin maupun pembangunan. Sebagai sumber keuangan negara,
pemerintah berupaya memasukkan uang sebanyak-banyaknya untuk kas negara. Upaya tersebut
ditempuh dengan cara ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan pajak melalui penyenipurnaan
peraturan berbagai jenis pajak seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Iain-lain.

2. Fungsi Regularend / Pengatur


Pajak rnempunyai fungsi pengatur, artinya pajak sebagai alat untuk mengatur atau rnelaksanakan
kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, serta mencapai tujuan-tujuan tertentu di
5

luar bidang keuangan. Beberapa contoh penerapan pajak sebagai fungsi pengatur adalah:
a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang rnewah, Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (PPnBM) dikenakan pada saat terjadi transaksi jual beli barang mewah. Semakin mewah
suatu barang maka tarif pajaknya semakin tinggi sehingga barang tersebut semakin mahal
harganya.Pengenaan pajak ini dimaksudkan agar rakyat tidak berlomba-loniba untuk
mengonsumsi barang mewah (mengurangi gaya hidup mewah).
b. Tarif pajak progresif dikenakan atas penghasilan: dimaksudkan agar pihak yang memperoleh
penghasilan tinggi memberikan kontribusi (membayar pajak) yang tinggi pula, sehingga terjadi
pemerataan pendapatan.
c. Tarif pajak ekspor sebesar 0%: dimaksudkan agar para pengusaha terdorong mengekspor hasil
produksinya di pasar dunia sehingga dapat memperbesar devisa negara.
d. Pajak penghasilan dikenakan atas penyerahan barang hasil industri tertentu seperti industri
semen, industri rokok, industri baja, dan Iain-lain: dimaksudkan agar terdapat penekanan produksi
terhadap industri tersebut karena dapat mengganggu lingkungan atau polusi (membahayakan
kesehatan).
e. Pembebasan pajak penghasilan atas sisa hasil usaha koperasi: dimaksudkan untuk mendorong
perkembangan koperasi di Indonesia.
f. Pemberlakuan tax holiday: dimaksudkan untuk menarik investor asing agar menanamkan
modalnva di Indonesia.

F. KEDUDUKAN HUKUM PAJAK

Dasar hukum pemungutan pajak


dasar hukum pemungutan pajak di indonesia diatur dalam pasal 23 a undang-undang dasar 1945,
dalam pasal ini disebutkan, pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara
diatur dengan undang-undang.

Kedudukan hukum pajak


kedudukan hukum pajak adalah bagian dari hukum publik, termasuk hukum publik adalah hukum
tata negara, hukum pidana dan hukum administrasi. hukum pajak merupakan anak bagian dari
hukum administrasi.

R, Santoso Brotodiharjo menyatakan bahwa hukum pajak termasuk hukum publik. Hukum publik
merupakan bagian dari tata tertib hukum yang mengatur hubungan antara penguasa dengan
warganya, Hukum publik rnernuat cara-cara untuk mengatur pemerintahan. Menurutnya, yang termasuk
hukum publik antara lain hukum tata negara, hukum pidana, hukum administratif, sedangkan hukum
pajak merupakan bagian dari hukum administratif. Meski demikian tidak berarti bahwa hukum pajak
berdiri sendiri terlepas dari hukum pajak lainnya (seperti hukum perdata dan hukum pidana),

R. Santoso Brotodiharjo juga menyatakan bahwa hukum pajak berkaitan erat dengan hukum perdata,
Hukum perdata merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang mengatur hubungan antara orang-
orangpribadi, Kebanyakan hukum pajak mencari dasar kemungkinan pemungutannya atas kejadian-
kejadian, keadaan-keadaan, dan perbuatan-perbuatan hukum yang tercakup dalam lingkungan perdata,
seperti pendapatan, kekayaan, perjanjian penyerahan, pemindahan hak warisan, dan seterusnya, Adanya
kaitan antara hukum pajak dan hukum perdata ditunjukkan dengan banyaknya istilah-istilah hukum
perdata yang digunakan dalam perundang-undangan perpajakan. Sebaliknya, hukum pajak juga
menipunyai pengaruh besar terhadap hukum perdata, Sebagai contoh, dalam hukum pajak terdapat
6

ketentuan bahwa lex specialis (peraturan yang istimewa) harus diberi tempat yang lebih utama dari lex
generalis (peraturan yang uinum). Ketentuan ini diberlakukan pula dalam undang-undang atau peraturan
yang lain, bahwasannya dalam setiap penafsirannya maka yang pertama-tama dianut adalah lex specialis.

Hukum pajak juga berkaitan dengan hukum pidana, Hukum pidana, seperti yang telah tercantum dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan suatu keseluruhan sistematis yang juga
berlaku untuk peristiwa-peristiwa pidana yang diuraikan di luar KUHP, Hak untuk menyimpang dari
peraturan-peraturan yang tercantum dalam KUHP di Indonesia telah diperoleh pembuat ordonansi
sernenjak 16 Mei 1927, dan kesempatan ini banyak digunakan karena kenyataan bahwa peraturan
administratif pun sangat memerlukan sanksi-sanksi yang menjamin untuk ditaati oleh khalayak umum.
Demikian pula dalam peraturan pajak, terdapat sanksi-sanksi yang bersifat khusus. Sanksi-sanksi dalam
peraturan pajak secara lengkap dapat dibaca padabab-bab selanjutnya.

G. PEMBAGIAN HUKUM PAJAK DAN PENGGOLONGAN JENIS PAJAK

1. Pembagian Hukum Pajak


Dalam rangka pemungutan pajak di negara kita, maka UU atau peraturan di bidang perpajakan
dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian besar, yakni:
 Yang menyangkut Hukum Pajak Materiil;
 Yang menyangkut Hukum Pajak Formil.

a. Hukum Pajak Materiil

Hukum pajak materiil merupakan norma-norma yang menjelaskan keadaan, perbuatan, dan peristiwa
hukum yang harus dikenakan pajak, siapa yang harus dikenakan pajak, dan berapa besar pajaknya.
Dengan kata lain, hukum pajak materiil mengatur tentang timbulnya, besarnya, dan hapusnya utang pajak
beserta hubungan hukum antara pemerintah dan Wajib Pajak. Termasuk dalam hukum pajak materiil
sesuai dengan peraturan perpajakan yang baru, maka ketentuan materiil tersebut kita dapatkan
dalam Undang-undang antara lain :
1. UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yang telah dirobah dengan UU No.7 Tahun
1991 dan disempurnakan dengan UU No.10 Tahun 1994, disempurnakan lagi dengan UU
nomor 17 Tahun 2000 dan terakhir diatur dengan UU No. 36 Tahun 2008
2. UU No.8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan PPn atas Barang Mewah, yang
telah disempurnakan dengan UU No.11 Tahun 1994, disempurnakan lagi dengan UU nomor
18 Tahun 2000 dan terakhir diatur dengan UU No. 42 Tahun 2009
3. UU No.12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, yang telah disempurnakan dengan
UU No.12 Tahun 1994; UU No. 28 Tahun 2009 (obyek PBB Perkotaan dan Pedesaan)
menjadi Pajak Daerah Kabupaten
4. UU No.13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai,
5. UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. terakhir diatur
dengan UU nomor 20 Tahun 2000
6. Ordonansi BBN Harta Tetap/Kapal Tahun 1924 tentang pemungutan Bea Balik Nama Kapal.
7. UU No.10 Tahun 1995 tentang Bea Masuk;
8. UU No.11 Tahun 1995 tentang Cukai;
7

9. Undang-undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. . terakhir
diatur dengan UU nomor 34 Tahun 2000 dan terakhir diatur dengan UU No. 28 Tahun 2009

b. Hukum Pajak Formil

Hukum pajak formil merupakan peraturan-peraturan mengenai berbagai cara untuk mewujudkan
hukum materiil menjadi suatu kenyataan. Bagian hukum ini memuat cara-cara penyelenggaraan
mengenai penetapan suatu utang pajak, kontrol oleh pemerintah terhadap penyelenggaranya, kewajiban
para Wajib Pajak (sebelum dan sesudah menerima surat ketetapan pajak), kewajiban pihak ketiga, dan
prosedur dalam pemungutannya. Hukum pajak formil dimaksudkan untuk melindungi fiskus dan Wajib
Pajak serta memberi jaminan bahwa hukum materiilnya dapat diselenggarakan setepat mungkin.
Hubungan hukum antara fiskus dan Wajib Pajak tidaklah selalu sama karena kompetensi aparatur
fiskus yang terkadang ditambah atau dikurangi. Sebagai contoh, mula-mula tidak terdapat peraturan yang
melindungi Wajib Pajak, melainkan yang bersifat melawannya. Akan tetapi, lama-kelamaan ada perbaikan
dalam hal terdapatnya hak-hak Wajib Pajak yang umumnya melindungi tindakan sewenang-wenang
pihak fiskus.

Hukum Pajak formil adalah hukum pajak yang memuat bentuk/tata cara untuk mewujudkan
hukum materiil menjadi kenyatan, hukum pajak formal ini memuat, antara lain:
 tata cara penetapan utang pajak
 hak-hak fiskus untuk mengawasi wajib pajak mengenai keadaan, perbuatan, peristiwa yang
dapat menimbulkan utang pajak.
 kewajiban perpajakan, seperti penyelenggaraan pembukuan/pencatatan dan hak-hak wajib
pajak seperti mengajukan keberatan dan banding. contoh : uu nomor 6 tahun 1983 tentang
ketentuan umum dan tata cara perpajaKAN.

Dengan perkataan lain, Hukum Pajak Formil memuat peraturan-peraturan tentang bagaimana
caranya agar pemungutan dan pembayaran pajak oleh Para Wajib Pajak dapat dilakukan dengan
setepat-tepatnya.
Sesuai dengan peraturan perpajakan kita yang baru, maka ketentuan formil tersebut kita jumpai
dalam UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang telah
diubah/disempurnakan dengan UU No.9 Tahun 1994. yang selanjutnya telah
diubah/disempurnakan dengan UU No.16 Tahun 2000, diperbaharui lagi dengan UU nomor 28
Tahun 2007, dan terakhir diatur dengan UU nomor 16 Tahun 2009
2. Jenis Pajak
Terdapat berbagai jenis pajak, yang dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu pengelompokan menurut
golongan, menurut sifat, dan menurut lembaga pemungutnya.
a. Menurut Golongan
Pajak dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1. Pajak Langsung: pajak yang harus dipikul atau ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat
dilimpahkan atau dibebankan kepada orang lain atau pihak lain. Pajak harus menjadi beban Wajib
Pajak yang bersangkutan.
Contoh: Pajak Penghasilan (PPh). PPh dibayar atau ditanggung oleh pihak-pihak tertentu yang
memperoleh penghasilan tersebut.
8

2. Pajak Tidak Langsung: pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan
kepada orang lain atau pihak ketiga. Pajak tidak langsung terjadi jika terdapat suatu kegiatan,
peristiwa, atau perbuatan yang menyebabkan terutangnya pajak, misalnya terjadi penyerahan
barang atau jasa.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPN terjadi karena terdapat pertambahan nilai terhadap barang
atau jasa. Pajak ini dibayarkan oleh produsen atau pihak yang menjual barang tetapi dapat dibebankan
kepada konsumen baik secara eksplisit maupun implisit (dimasukkan dalam harga jual barang atau
jasa).
Untuk menentukan apakah sesuatu termasuk pajak langsung atau pajak tidak langsung dalam arti
ekonomis, yaitu dengan cara melihat ketiga unsur yang terdapat dalam kewajiban pemenuhan
perpajakannya. Ketiga unsur tersebut terdiri atas:

1) Penanggungjawab Pajak, adalah orang yang secara formal yuridis diharuskan melunasi pajak.
2) PenanggungPajak, adalah orang yang dalam faktanya memikul terlebih dahulu beban pajaknya.
3) Pemikul Pajak, adalah orang yang menurut undang-undang harus dibebani pajak.

Jika ketiga unsur tersebut ditemukan pada seseorang maka pajaknya disebut Pajak Langsung, sedangkan
jika ketiga unsur tersebut terpisah atau terdapat pada lebih dari satu orang maka pajaknya disebut
Pajak Tidak Langsung.

b. Menurut Sifat
Pajak dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1. Pajak Subjektif: pajak yang pengenaannya memerhatikan keadaan pribadi Wajib Pajak atau
pengenaan pajak yang memerhatikan keadaan subjeknya.
Contoh: Pajak Penghasilan (PPh). Dalam PPh terdapat Subjek Pajak (Wajib Pajak) orang pribadi.
Pengenaan PPh untuk orang pribadi tersebut memerhatikan keadaan pribadi Wajib Pajak (status
perkawinan, banyaknya anak, dan tanggungan lainnya). Keadaan pribadi Wajib Pajak tersebut
selanjutnya digunakan untuk menentukan besarnya penghasilan tidak kena pajak.

2. Pajak Objektif: pajak yang pengenaannya memerhatikan objeknya baik berupa benda,
keadaan, perbuatan, atau peristiwa yang mengakibatkan timbulnya kewajiban membayar
pajak, tanpa memerhatikan keadaan pribadi Subjek Pajak (Wajib Pajak) maupun tempat tinggal.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), serta
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

c. Menurut Institusi Pemungutnya


Pajak dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1. Pajak Negara (Pajak Pusat): pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk
membiayai rumah tangga negara pada umumnya.
Contoh: PPh, PPN dan PPnBM, PBB, serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB). PBB sektor P-2 dan BPHTB menjadi pajak daerah kabupaten/kota mulai tahun 2011.

2. Pajak Daerah: pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah baik daerah tingkat I (pajak provinsi)
maupun daerah tingkat II (pajak kabupaten/kota) dan digunakan untuk membiayai rumah
tangga daerah masing-masing. Berdasarkan UU nomor 28 tahun 2009, diatur pemungutan pajak
9

daerah sbb :
a. Pajak Propinsi

b. Pajak Daerah Kabupaten/kota

H. HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM PERATURAN PERPAJAKAN


Berhubung dengan pemungutan pajak itu merupakan pemindahan sebahagian kekayaan atau
penghasilan seseorang ataupun sebagian keuntungan/laba suatu badan ke Kas Negara melalui atau
berdasarkan wewenang Pemerintah yang diberikan oleh Undang-undang/peraturan-peraturan
perpajakan, maka didalam penyusunan Undang-undang dan peraturan perpajakan harus
diperhatikan beberapa asas.

1. Menurut ADAM SMITH


10

Adam Smith dalam bukunya : “An inquiry in to the Nature and Cause of the Wealth of
Nations”, mengemukakan diperhatikannya 4 asas yang perlu diperhatikan, yakni :
a. asas persamaan, keadilan dan kemampuan (asas equality, equity),
Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu dikenakan kepada orang pribadi yang
harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak atau ability to pay dan sesuai dengan
manfaat yang diterima
b. asas kepastian (certainty),
Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang. Oleh karena itu, Wajib Pajak harus
mengetahui secara jelas dan pasti pajak yang terutang, kapan harus dibayar, serta batas
waktu pembayaran.
c. Asas pelayanan yang baik (conveniency),
Kapan Wajib Pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat-saat yang tidak
menyulitkan Wajib Pajak. Contoh : pada saat Wajib Pajak memperoleh penghasilan. Sistem
pemungutan ini disebut Pay as You Earn
d. Asas ongkos murah (low cost of collection).
Secara ekonomi biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi Wajib Pajak
diharapkan seminimum mungkin,

2. Menurut JHON F. DUE


Pendapat ahli yang lain, mengemukakan bahwa didalam penyusunan peraturan-peraturan
perpajakan, dalam rangka pemungutan pajak agar memperhatikan asas-asas sebagai berikut :

1. Asas Falsafah Hukum.


Asas ini menekankan kepada unsur hukum dan keadilan dalam pemungutan pajak. Azas
ini ingin menjelaskan apakah pemungutan pajak itu sesuai dengan hokum (recht) dan
keadilan
Dari masa ke masa selalu muncul pertanyaan dari masyarakat yang mempertanyakan:
apakah ada dasar hukum yang mewajibkan masyarakat, orang-orang (individu) untuk
membayar pajak kepada Negara atau Pemerintah.
Kekuasaan yang diberikan kepada Pemerintah untuk melaksanakan pemungutan pajak
adalah demikian besar. Dengan demikian, kewenangan pemerintah untuk mengambil
sebagian harta kekayaan Orang pribadi dan Badan berupa pemungutan pajak hendaknya
jangan sampai ditafsirkan mirip perampasan. Pemungutan pajak tersebut merupakan
sumbangan yang diwajibkan kepada penduduknya.

Berbagai teori timbul, dari hasil pemikiran sarjana-sarjana besar, untuk membenarkan
serta memberi dasar hokum dalam hal pemungutan pajak dan untuk meyakinkan bahwa
pemungutan pajak itu adalah “halal” dan sekali-kali jangan dipandang sebagai
perampasan yang sewenang-wenang.
[Lihat Hukum Pajak dan Keadilan, pidato pengukuhan jabatan Guru Besar dari
Mr.Sindian Isa Djajadiningrat !]

Diantara berbagai teori-teori yang menjadi dasar pemungutan pajak, adalah sebagai
berikut :

1).Teori Asuransi.
11

Menurut teori Asuransi, Negara mempunyai tugas/kewajiban melindungi masyarakat


yang meliputi keselamatan dan keamanan orang beserta harta bendanya.
Perlindungan yang diberikan Negara kepada masyarakat diibaratkan dengan
perlindungan perusahaan Asuransi kepada pihak tertanggung. Untuk itu pihak
tertanggung (sesuai dengan perjanjian) wajib membayar Premi Asuransi kepada
Perusahaan Asuransi.

Pungutan pajak diibaratkan sebagai pembayaran premi asuransi, yang harus dibayar
kepada Negara/Pemerintah dalam waktu-waktu tertentu. Meskipun teori ini hanya sekadar
untuk memberi dasar hukum kepada pemungut pajak, namun beberapa pakar menentangnya.
Mereka berpendapat bahwa pembandingan antara pajak dan perusahaan asuransi tidaklah
tepat, karena:
1) dalam hal timbul kerugian, tidak ada penggantian secara langsung dari negara, dan
2) antara pembayaran jumlah pajak dengan jasa yang diberikan oleh negara tidaklah
terdapat
hubungan langsung.

Teori Asuransi ini semakin kurang pendukung atau penganutnya. Pengibaratan atau
memperbandingkan Negara/Pemerintah dengan Perusahaan Asuransi seperti
diutarakan di atas tidaklah tepat, karena:
1. Pembayaran pajak kepada Negara merupakan pembayaran tanpa imbalan langsung
yang dapat ditunjuk;
2. Dalam hal terjadi kerugian atau pembunuhan kepada seseorang, maka tidak
terdapat ganti rugi atau pembayaran dari Negara/Pemerintah;
3. Anggota masyarakat yang tidak membayar pajak atau membayar pajak dengan
jumlah relatif kecil, seperti fakir-miskin, juga mendapat perlindungan yang sama
dari Negara/Pemerintah, bahkan kadang-kadang lebih besar dibandingkan
denganmereka yang membayar pajak.

b. Teori Kepentingan,
Menurut teori ini, pembagian beban pajak kepada seluruh penduduk didasarkan atas
kepentingan orang-orang (individu) yang diperoleh dari tugas-tugas atau pekerjaan
yang dilakukan oleh Negara. Dengan perkataan lain, setiap orang (individu)
berkepentingan terhadap tugas-tugas/pekerjaan yang dilakukan oleh Negara, seperti
perlindungan dan keamanan masing-masing individu.
Dengan demikian, wajarlah bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Negara dalam
melaksanakan tugas kewajibannya dibebankan kepada masing-masing orang
(individu). Pembebanan ini dilakukan melalui kewajiban membayar pajak.

Teori tersebut memang bermanfaat untuk memberi penjelasan terhadap pemungutan


Retribusi.
Untuk menjelaskan alasan pemungutan pajak, maka teori ini mempunyai kelemahan,
karena:
1) Fakir miskin yang tidak membayar pajak atau relatif membayar pajak justru sangat
berkepentingan atas tugas dan kewajiban yang dilaksankan oleh Negara, untuk
merawat, memelihara mereka;
12

2) Pemabayaran pajak tersebut merupakan pembayaran yang tidak mendapat imbalan


secara langsung yang dapat ditunjuk kepada pembayar pajak.

c. Teori Gaya pikul,


Menurut teori ini, dasar keadilan pemungutan pajak terletak dalam jasa-jasa yang
diberikan oleh Negara kepada warganya, yaitu perlindungan atas jiwa dan harta
bendanya.
Sehubungan dengan jasa yang diberikan oleh Negara tersebut, wajarlah apabila biaya-
biaya yang diperlukan oleh Negara, dalam melakukan perlindungan kepada warganya,
akan dipikul oleh segenap orang yang menikmati perlindungan yang diberikan Negara.
Cara memikul biaya-biaya yang diperlukan oleh Negara adalah dalam bentuk
pembayaran pajak.
Teori Gaya pikul menekankan azas keadilan dalam pembayaran pajak dengan
menyatakan bahwa tekanan pajak haruslah sama beratnya untuk setiap orang. Pajak
harus dibayar menurut gaya pikul sesorang.
Permasalahan yang timbul adalah bagaimana merumuskan atau mengukur gaya pikul
bagi seseorang.

Ada yang berpendapat bahwa gaya pikul ditentukan oleh: besarnya penghasilan,
besarnya kekayaan, dan besarnya pengeluaran (belanja) seseorang.

Ir.Mr. A.J.Cohen Stuart memberikan penjelasan mengenai gaya pikul, sebagaimana


diuraikan oleh R.Santoso Brotodihardjo, SH dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum
Pajak sebagai berikut:
Gaya pikul diibaratkan seperti sebuah jembatan, yang pertama-tama jembatan tersebut
harus dapat memikul bobotnya sendiri sebelum dicoba untuk membebaninya dengan
beban yang lain. Dengan demikian, Sarjana tersebut menyarankan bahwa hal-hal yang
sangat diperlukan dalam kehidupantidak dimasukkan dalam pengertian gaya pikul.
Kekuatan untuk menyerahkan uang kepada Negara barulah ada jikalau kebutuhan-
kebutuhan primer (yang sangat penting) dalam hidup telah tersedia.

Mr.Dr. JHR Sinninghe Damste mentakan pendapatnya, bahwa gaya pikul adalah akibat
dari bermacam-macam komponen, terutama:
1) pendapatan;
2) kekayaan;
3) susunan keluarga dari Wajib Pajak..

Prof. de Langen memberikan pengertian gaya pikul sebagai berikut: gaya pikul
merupakan kekuatan untuk membayar uang kepada Negara, jadi untuk membayar
pajak, setelah dikurangi dengan kebutuhan minimum kehidupan (bestaansminimum).
Kekuatan untuk membayar uang kepada Negara dipengaruhi oleh jumlah uang yang
ada pada seseorang, baik berupa penghasilan maupun berupa kekayaan.

d. Teori kewajiban mutlak atau teori bakti


Menurut teori ini Negara menyelenggarakan kepentingan Umum. Sifat atau Azas yang
dimiliki oleh Negara untuk menyelenggarakan kepentingan umum menimbulkan hak
mutlak bagi Negara untuk melaksanakan pemungutan pajak dari rakyatnya.
13

Dr. W.H. van den Berge sebagai penganut teori Bakti yang pernah menjabat Dirjen
Pajak di Nederland, mengemukakan: Negara sebagai Organisasi dari golongan, dengan
memperhatikan syarat-syarat keadilan, bertugas menyelenggarakan kepentingan umum
dan karenanya dapat dan harus mengambil tindakan-tindakan yang diperlukannya,
termasuk tindakan-tindakan dalam lapangan pemungutan pajak.
Dengan demikian pemungutan pajak terjadi karena adanya hubungan rakyat dengan
Negara.

f. Teori asas gaya-beli.


Teori ini tidak mempersoalkan asal mulanya Negara memungut pajak. Teori ini hanya
melihat kepada effek/akibat pelaksanaan pemungutan pajak dan memandang effek
yang baik dari pemungutan pajak tersebut. Efek yang baik inilah yang merupakan
dasar keadilan dari pemungutan pajak.

Menurut Teori Azas Gaya Beli, pemungutan pajak adalah suatu gejala yang terjadi
dalam masyarakat. Pemungutan pajak diibaratkan/disamakan dengan pompa yang
mengambil gaya beli dari rumahtangga-rumahtangga dalam masyarakat untuk
rumahtangga Negara. Selanjtnya, rumahtangga Negara menyalurkan kembali pajak
yang telah dipungut kepada masyarakat dengan maksud memelihara hidup masyarakat
dan membawanya ke arah tertentu.
Penyelenggaraan kepentingan masyarakat inilah yang dapat dianggap sebagai dasar
keadilan dalam pemungutan pajak.
Bukanlah kepentingan individu, bukan kepentingan Negara, melainkan kepentingan
masyarakatlah yang menjadi dasar pemungutan pajak.
Teori ini menitik beratkan Fungsi Mengatur dari pemungutan pajak.

PendapatbAhli perpajakan Indonesia Professor Mr.Sindian Isa Djajadiningrat.


Prof. Mr. Sindian Isa Djajadiningrat mengemukakan bahwa teori-teori pemungutan
pajak tersebut di atas tidak memberikan kepuasan sebagai dasar pemungutan pajak.
Beliau mengemukakan bahwa dasar untuk membenarkan pemungutan pajak harus
dilihat dari kepentingan bersama antara Negara dan kepentingan masyarakat sebagai
pembayar pajak. Kepentingan Negara adalah kepentingan masyarakat, kepentingan
masyarakat adalah kepentingan Negara juga. Negara ada justru untuk membela dan
memajukan kepentingan-kepentingan individu dan oleh sebab itu: individu
berkepentingan atas berlangsung hidupnya Negara.

Pajak adalah sumbangan wajib sebagai akibat sesuatu: keadaan, peristiwa, atau
perbuatan yang menguntungkan atau keadaan, peristiwa, atau perbuatan itu memberi
kedudukan tertentu kepada yang bersangkutan untuk turut membantu meninggikan
kesejahteraan umum.

Dalam pemungutan pajak terdapat azas timbal-balik antara hak dan kewajiban. Hak
untuk mencari dan memperoleh penghasilan sebanyak-banyaknya membawa
kewajiban menyerahkan sebagian kepada Negara (berupa pajak) untuk membantu
peningkatan kesejahteraan umum. Hak untuk memperoleh atau memiliki gedung,
mobil, dan barang atau melakukan sesuatu perbuatan hukum membawa kewajiban
untuk menyumbang kepada Negara.
14

2. Asas Yuridis.
Azas ini menyatakan bahwa pemungutan pajak harus memberi jaminan hukum bagi Negara yang
melakukan pemungutan pajak maupun bagi warganya/masyarakat sebagai pembayar pajak. Oleh
karena itu, pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang.
Sebagaimana diketahui, sebelum sebuah Undang-undang diundangkan, maka Rencana Undang-
undang tersebut harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari rakyat. Untuk Negara Republik
Indonesia, persetujuan rakyat dilakukan melalui wakilnya (yang dipilihnya) di Dewan Perwakilan
Rakayat (DPR). Dengan demikian, pemungutan pajak yang didasarkan kepada Undang-undang
mempunyai arti bahwa pemungutan pajak tersebut telah terlebih dahulu mendapat persetujuan
dari rakyat sebagai pembayar pajak.

Pemungutan pajak di Negara Republik Indonesia telah dinyatakan dengan tegas dalam Pasal 23A
UUD 1945 yang menyatakan: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan
negara diatur dengan undang-undang”.
Sebelum mengalami amandemen, pemungutan pajak di negara Republik Indonesia diatur dalam
Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: “Segala pajak untuk keperluan negara
berdasarkan undang-undang”.

Pengaturan pemungutan pajak dalam suatu undang-undang hendaknya memberikan jaminan


hukum, antara lain sebagai berikut:
 Hak-hak Fiscus dalam melaksanakan pemungutan pajak harus dapat dilaksanakan dengan baik
dan lancar.
Adanya undang-undang yang mengatur pemungutan pajak akan memberi kepastian bahwa
pemungutan pajak tersebut telah diketahui oleh masyarakat, terutama masyarakat Wajib
Pajak. Dengan demikian kemungkinan untuk menghindar atau menyelundupkan pajak akan
dapat dihindari.

 Hak-hak Wajib Pajak dalam pelaksanaan pembayaran pajak akan terjamin demikian pula
dengan kewajiban yang harus ditaati harus jelas.
Dengan adanya undang-undang akan memberikan kepastian tentang hak-hak Wajib Pajak
dalam pelaksanaan pemungutan pajak sehingga Wajib Pajak tidak akan dapat diperlakukan
dengan semena-mena oleh pihak Fiscus.
Kewajiban-kewajiban yang harus ditaati oleh Wajib Pajak akan jelas dengan konsekwensi:
stiap pelanggaran akan dikenakan sanksi.

 Rahasia Wajib Pajak akan dijamin oleh undang-undang.


Dalam undang-undang yang mengatur pemungutan pajak akan diatur tentang jaminan
kerahasiaan Wajib Pajak. Pihak Fiscus tidak akan membocorkan data-data Wajib Pajak
kepada pihak lain yang tidak berhak.

 Unsur keadilan dalam pemungutan pajak harus tercermin dalam undang-undang.


Undang-undang
akan mengatur terlaksananya pemungutan pajak dengan bertitik tolak dari unsur keadilan.

3. Asas Ekonomis.
15

Pelaksanaan pemungutan pajak dalam keadaan yang nyata merupakan pengambilan atau
merupakan penyisihan sebagian penghasilan atau harta kekayaan anggota masyarakat untuk
mengisi Kas Negara.
Dengan demikian, hendaknya peralihan penghasilan atau kekayaan tersebut dari masyarakat ke
Kas Negara tidak mengakibatkan kemunduran atau tidak mengakibatkan kemerosotan dalam
kehidupan ekonomi masyarakat. Dengan perkataan lain: dengan dilaksanakannya pemungutan
pajak, maka tingkat pertumbuhan ekonomi harus tetap dapat dipertahankan.
Mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi dapat dilaksanakan dengan, antara lain:
a. mengusahakan kelancaran produksi dan perdagangan;
b. mengurangi atau bahkan menghapuskan kegiatan yang menyebabkan produksi barang- barang
dan jasa-jasa di Dalam Negeri menjadi merosot;
c. memberikan kemungkinan melaksanakan kegiatan pembangunan berupa sarana dan prasarana
yang menunjang kepada kelancaran perekonomian/perdagangan.

Prof.DR Rochmat Soemitro, SH dalam bukunya seperti dikutip di atas, pada halaman 22
menyatakan bahwa syarat-syarat ekonomis yang harus diperhatikan dalam pemungutan pajak
adalah:

1) Pajak harus dapat dibayar dari penghasilan rakyat (volksinkomen) dan tidak boleh
mengurangi kekayaan;
2) Pajak tidak boleh menghalang-halangi lancarnya perdagangan atau perindustrian;
3) Pajak tidak boleh merugikan kebahagiaan rakyat (umpama pajak atas barang sandang
pangan yang memberatkan);
4) Pajak sebaiknya ditagih pada waktu yang tepat (umpamanya sehabis panen dan sebagainya).

Memperhatikan Azas Ekonomis dalam rangka pemungutan pajak berarti menonjolkan Fungsi
Mengatur dari pemungutan pajak.
Fungsi mengatur tersebut kelihatan dengan jelas dalam pemungutan pajak di Negara kita, antara
lain:

- Pengenaan PPN dengan tarif 0% (nol persen) atas ekspor Barang Kena Pajak, hal ini berarti
bahwa atas kegiatan ekspor Barang Kena Pajak tetap dikenakan PPN, walaupun dengan tarif nol
persen. Hal tersebut membawa konsekwensi terjadinya pengembalian Pajak Masukan yang telah
dilaksanakan kepada Pengusaha Kena Pajak; Pengenaan Cukai yang lebih tinngi untuk mengurangi
konsumsi minuman beralkohol.
- Pemberian berbagai fasilitas pajak dalam berbagai jenis pajak, antara lain adanya PPh yang
ditanggung oleh Pemerintah, adanya PPN yang tidak dipungut ataupun dibebaskan, dan lain-lain.

4. Asas Finansial.
Sesuai dengan Fungsi Budgetair dari pemungutan pajak, yakni memasukkan uang ke Kas Negara,
maka biaya-biaya yang diperlukan dalam pemungutan pajak hendaknya sekecil mungkin, dalam
pengertian: bahwa biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan pemungutan pajak haruslah relatip
kecil dibandingkan dengan penerimaan pajak yang didapat/diperoleh.
Pemungutan suatu jenis pajak, terutama jenis pajak yang baru akan dilakukan dengan didahului
adanya Rencana Undang-Undang (RUU). Dalam menyusun RUU tersebut harus diperhitungkan
hasil penerimaan pajak yang akan didapat dengan biaya yang akan dibutuhkan/dikeluarkan.
16

Prof.DR Rochmat Soemitro, SH dalam bukunya seperti dikutip di atas, pada halaman 22 menyatakan
bahwa syarat-syarat keuangan yang harus diperhatikan dalam pemungutan pajak adalah:
 Hendaknya pajak yang dipungut cukup untuk menutup sebagian pengeluaran-pengeluaran
Negara;
 Hendaknya pajak tidak memakan ongkos pemungutan yang besar.

Pengetrapan azas Finansial ini menonjol kelihatan dengan dilakukannya tax reform (pembaharuan
dibidang peraturan pajak). Dimana jenis pajak yang hasilnya kurang efektif sudah tidak diadakan lagi
seperti pajak Radio, Pajak Becak, Pajak televisi

I. TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK


Tata cara pemungutan pajak terdiri atas stelsel pajak, asas pemungutan pajak, dan sistem pemungutan
pajak.
1. Stelsel Pajak
Pemungutan pajak dapat dilakukan dengan tiga stelsel, yaitu:

a. Stelsel Nyata (Riil). Stelsel ini menyatakan bahwapengenaan pajakdidasarkan pada objek yang
sesungguhnya terjadi (untuk PPh maka objeknya adalah penghasilan). Oleh karena itu, pemungutan
pajaknya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yaitu setelah semua penghasilan yang
sesungguhnya dalam suatu tahun pajak diketahui.

Kelebihan stelsel nyata adalah penghitungan pajak didasarkan pada penghasilan yang
sesungguhnya sehingga lebih akurat dan realistis. Kekurangan stelsel nyata adalah pajak baru dapat
diketahui pada akhir periode, sehingga:

1.) Wajib Pajak akan dibebani jumlah pembayaran pajak yang tinggi pada akhir tahun sementara
pada waktu tersebut belum tentu tersedia jumlah kas yang memadai; dan
2.) semua Wajib Pajak akan membayar pajak pada akhir tahun sehingga jumlah uang beredar
secara makro akan terpengaruh.
b. Stelsel Anggapan (Fiktif). Stelsel ini menyatakan bahwa pengenaan pajak
didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Sebagai contoh,
penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan penghasilan tahun sebelumnya
sehingga pajak yang terutang pada suatutahun juga dianggap sama dengan pajak
yang terutang tahun sebelumnya. Dengan stelsel ini berarti besarnya pajak yang
terutang pada tahun berjalan sudah dapat ditetapkan atau diketahui pada awal
tahun yang bersangkutan.
Contoh:
Penghasilan tahun 2016 sebesar Rp50.000.000. Dengan anggapan bahwa penghasilan
tahun 2017 sama dengan penghasilan tahun 2016, maka PPh tahun 2017 sudah dapat dihitung
pada awal tahun 2017. Misalnya, tarif pajak yang berlaku adalah 10%, berarti besarnya PPh yang
terutang tahun 2017 adalah Rp5.000.000, yang pembayarannya dapat diangsur pada saat-saat
tertentu dalam tahun tersebut.
Kelebihan stelsel fiktif adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu
17

sampai akhir suatu tahun, misalnya pembayaran pajak dilakukan pada saat Wajib Pajak
memperoleh penghasilan tinggi atau mungkin dapat diangsur dalam tahun berjalan. Kekurangannya
adalah pajak yang dibayar tidak berdasar pada keadaan yang sesungguhnya, sehingga penentuan pajak
menjadi tidak akurat.

c. Stelsel Campuran. Stelsel ini menyatakan bahwa pengenaan pajak didasarkan pada kombinasi antara
stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarka suatu
anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak dihitung berdasar keadaan yang sesungguhnya.
Jika besarnya pajak berdasar keadaan sesungguhnya lebih besar daripada besarnya pajak menurut
anggapan,

Wajib Pajak harus membayar kekurangan tersebut. Sebaliknya, jikabesarnya pajak sesungguhnya
lebih kecil daripada besarnya pajak menurut anggapan, kelebihan tersebut dapat diminta kembali
(restitusi) ataupun dikompensasikan pada tahun-tahun berikutnya, setelah diperhitungkan dengan
utang pajak yang lain.

J. ASAS PENGENAAN DAN SISTIM PEMUNGUTAN PAJAK

1. Asas Pengenaan Pajak


Terdapat tiga asas pemungutan pajak, yaitu:

a. Asas Domisili (Asas Tempat Tinggal)


Asas ini menyatakan bahwa negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib
Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun luar
negeri. Setiap Wajib Pajak yang berdomisili atau bertempat tinggal di wilayah Indonesia (Wajib Pajak
Dalam Negeri) dikenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diperolehnya baik dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia.
Contoh:
TuanNano bertempat tinggal di Indonesia dalam jangka waktu tertentu, yang menurut peraturan
perpajakan Indonesia telah memenuhi ketentuan sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri. Pada tahun
2018 Tuan Akbar memperoleh penghasilan dari Indonesia sebesar Rp150.000.000 dan dari luar
negeri sebesar Rp75.000.000. Penghasilan Tuan Akbar yang dikenakan pajak di Indonesia pada tahun
2018 adalah sebesar Rp225.000.000.

b. Asas Sumber
Asas ini menyatakan bahwa negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di
wilayahnya tanpa memerhatikan tempat tinggal Wajib Pajak. Setiap orang yang memperoleh
penghasilan dari Indonesia dikenakan pajak atas penghasilan yang diperolehnya tadi.
Contoh:
Nikita adalah warga negara Jepang yang pada bulan Juli 2018 memperoleh penghasilann dari
Indonesia sebesar Rp 200.000.000 dan dari negara lain sebesar Rp 150.000.000. Menurut
peraturan perpajakan yangberlaku di Indonesia, Nikita bukan Wajib Pajak Dalam Negeri. Oleh
karena itu, penghasilan Nikita yang dikenakan Pajak di Indonesia pada bulan ]uli 2018 adalah
hanya penghasilan yang bersumber dari Indonesia saja yaitu sebesar Rp 200.000.000.
18

c. Asas Kebangsaan
Asas ini menyatakan bahwa pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara.
Misalnya pajakbangsa asing di Indonesia dikenakan atas setiap orang asing yang bukan
berkebangsaan Indonesia tetapi bertempat tinggal di Indonesia.

2. Sistem Pemungutan Pajak


Dalam memungut pajak dikenal beberapa sistem pemungutan, yaitu:
.
a. Official Assessment System
Sistem pemungutan pajak yang member! kewenangan aparatur perpajakan untuk menentukan
sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif serta kegiatan menghitung dan memungut pajak
sepenuhnya berada di tangan para aparatur perpajakan. Dengan demikian, berhasil atau tidaknya
pelaksanaan pemungutan pajak banyak tergantung pada aparatur perpajakan (peranan dominan ada
pada aparatur perpajakan).

b. Self Assessment System


Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang Wajib Pajak dalam menentukan
sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif serta
kegiatan menghitung dan memungut pajak sepenuhnya berada di tangan Wajib
Pajak. Wajib Pajak dianggap mampu menghitung pajak, mampu memahami
undang-undang perpajakan yang sedang berlaku, dan mempunyai kejujuran yang
tinggi, serta menyadari akan arti pentingnya membayar pajak. Oleh karena itu,
Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk:
1.) menghitung sendiri pajak yang terutang;
2.) memperhitungkan sendiri pajak yang terutang;
3.) membayar sendiri jumlah pajak yang terutang;
4.) melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang; dan
5.) mempertanggungjawabkan pajak yang terutang.
Dengan demikian, berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak banyak
tergantung pada Wajib Pajak sendiri (peranan dominan ada pada Wajib Pajak).

c. With Holding System


Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga yang ditunjuk untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku. Penunjukan pihak ketiga ini dilakukan sesuai peraturan
perundang-undangan perpajakan, keputusan presiden, dan peraturan lainnya untuk memotong dan
memungut pajak, menyetor, dan mempertanggungjawabkan melalui sarana perpajakan yang tersedia.
Berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak banyak tergantung pada pihak ketiga yang
ditunjuk. .

K. SAAT TIMBUL DAN BERAKHIRNYA UTANG PAJAK


1. Timbulnya Utang Pajak
19

Saat timbulnya utang pajak mempunyai peranan yang sangat penting karena berkaitan dengan:
1. pembayaran pajak.;
2. memasukkan surat keberatan;
3. menentukan saat dimulai dan berakhirnya jangka waktu daluwarsa;
4. menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, dan Iain-lain; dan
5. menentukan besarnya denda maupun sanksi administrasi lainnya.
Ada dua ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak (saat pengakuan adanya utang
pajak), yaitu ajaran materiil dan ajaran formil.
Ajaran Materiil
Ajaran materiil menyatakan bahwa utang pajak timbul karena diberlakukannya undang-undang
perpajakan. Dalam ajaran ini seseorang akan secara aktif menentukan apakah dirinya dikenakan pajak
atau tidak sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku. Ajaran ini konsisten dengan penerapan self
assessment system.
Ajaran Formil
Ajaran formil menyatakan bahwa utang pajak timbul karena dikeluarkannya surat ketetapan pajak
oleh fiskus (pemerintah). Untuk menentukan apakah seseorang dikenakan pajak atau tidak, berapa
jumlah pajak yang harus dibayar, dan kapan jangka waktu pembayarannya dapat diketahui dalam surat
ketetapan pajak tersebut. Ajaran ini konsisten dengan penerapan official assessment system.

2. Berakhirnya Utang Pajak


Utang pajak akan berakhir atau terhapus jika terjadi hal-hal sebagai berikut:
a. Pembayaran/Pelunasan
Pembayaran pajak dapat dilakukan dengan pemotongan/pemungutan oleh pihak lain, pengkreditan
pajak luar negeri, maupun pembayaran sendiri oleh Wajib Pajak ke kantor penerima pajak (bank-bank
persepsi dan kantor pos).

b. Kompensasi
Kompensasi dapat diartikan sebagai kompensasi kerugian maupun kompensasi karena kelebihan
pembayaran pajak.

1. Contoh penerapan kompensasi karena kerugian yang dapat menyebabkan terhapusnya


atau berakhirnya utang pajak:
Pada awal kepemilikan tahun 2016 Wajib Pajak A menderita kerugian sebesar Rpl00.000.000.
Pada tahun 2017 mulai memperoleh laba sebesar Rp50.000.000. Seharusnya pada tahun 2017,
Wajib Pajak A terutang pajak penghasilan sebesar persentase tertentu dari laba tahun 2017. Akan
tetapi utang pajak tahun 2017 terhapus karena jumlah kerugian pada tahun 2016 dapat
dikompensasikan atau dikurangkan dari laba tahun 2017.
Kerugian suatu usaha dapat dikompensasikan pada tahun-tahun setelahnya dengan jangka waktu
paling lama adalah 5 (lima) tahun setelah tahun terjadinya kerugian tersebut.

2. Contoh penerapan kompensasi karena kelebihan pembayaran pajak yang dapat


menyebabkan terhapusnya atau berakhirnya utang pajak:
1.) Wajib Pajak B pada tahun 2017 membayar pajak sebesar Rp80.000.000. Setelah dilakukan
penghitungan kembali pada akhir tahun 2017 ditemukan bahwa pajak yang sebenarnya
20

terutang oleh Wajib Pajak B adalah Rp50.000.000. Kelebihan pembayaran sebesar


Rp30.000.000 di tahun 2017 tersebut dapat dikompensasikan atau dikurangkan dari total
pajak pada tahun 2018.
2.) Wajib Pajak C kelebihan membayar PPh tahun 2018 sebesar Rpl0.000.000; sedangkan untuk
jenis PPN terdapat kekurangan pajak sebesar Rp1l.500.000. Kelebihan pembayaran PPh tahun
2018 sebesar Rpl0.000.000 tersebut dapat dikompensasikan pada kekurangan PPN di tahun
yang sama sehingga utang PPN yang sebesar Rpl0.000.000 pada tahun 2018 menjadi terhapus.
Sisa utang PPN menjadi Rp1.500.000.

c. Daluwarsa
Daluwarsa berarti telah lewat batas waktu tertentu. Jika dalam jangka waktu tertentu, suatu utang pajak
tidak ditagih oleh pemungutnya maka utang pajak tersebut dianggap telah lunas/dihapus/berakhir dan tidak
dapat ditagih lagi. Utang pajak akan daluwarsa setelah melewati waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak
saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang
bersangkuta
d.Pembebasan/Penghapusan
Kewajiban pajak oleh Wajib Pajak tertentu dinyatakan hapus oleh fiskus karena setelah dilakukan
penyidikan ternyata Wajib Pajak tidak mampu lagi memenuhi kewajibannya. Hal ini biasanya terjadi
karena Wajib Pajak mengalami kebangkrutan maupun mengalami kesulitan likuiditas.

L. TARIF PAJAK
Untuk menghitung besarnya pajak yang terutang diperlukan dua unsur, yaitu tarif pajak dan dasar
pengenaan pajak. Tarif pajak dapat berupa angka atau persentase tertentu. Jenis tarif pajak dibedakan
menjadi tarif tetap, tarif proporsional (sebanding), tarif progresif (meningkat), dan tarif degresif
(menurun).

1.Tarif Tetap

Tarif tetap adalah tarif berupa jumlah atau angka yang tetap, berapa pun besarnya dasar pengenaan
pajak.
Contoh:

No. Dasar Pengenaan Pajak Tarif Pajak BM


1. Rp 1.000.000 Rp 6.000
2. Rp 2.000.000 Rp 6.000
3. Rp 5.750.000 Rp 6.000
4. Rp 50.000.000 Rp 6.000

Di Indonesia, tarif tetap diterapkan pada bea meterai. Pembayaran dengan menggunakan cek
atau bilyet giro untuk berapa pun jumlahnya dikenakan pajak sebesar Rp6.000. Bea meterai juga
dikenakan atas dokumen-dokumen atau surat perjanjian tertentu yang ditetapkan dalam peraturan
tentang Bea Meterai.Untuk Bea Meterai Chek dan Bilyet Giro Berapapun nominal yang ditulis
dalam chek, maka akan dikenakan tariff tetap tunggal Rp 3.000,-
21

2.Tarif Proporsional (Sebanding)


Tarif proporsional adalah tarif berupa persentase tertentu yang sifatnya tetap terhadap berapa pun
dasar pengenaan pajaknya. Semakin besar dasar pengenaan pajak maka semakin besar pula
jumlah pajak yang terutang dengan kenaikan secara proporsional atau sebanding.
Contoh:

No. Dasar Pengenaan Pajak Tarif Pajak Utang Pajak


1. Rp 1.000 10% Rp 100
2. Rp 20.000 10% Rp 2.000
3. Rp 500.000 10% Rp 50.000
4. Rp 90.000.000 10% Rp 9.000.000
Di Indonesia, tarif proporsional diterapkan pada PPN (tarif 10%), PPh Pasal 26 (tarif 20%), PPh Pasal
23 (tarif 15% dan 2% untuk jasa lain), PPh WP badan dalam negeri dan BUT (tarif Pasal 17 ayat (1) b
atau 28% untuk tahun 2009 dan 25% untuk tahun 2010 dan seterusnya); dan Iain-lain.

3.Tarif Progresif (Meningkat)


Tarif progresif adalah tarif berupa persentase tertentu yang semakin meningkat dengan semakin
meningkatnya dasar pengenaan pajak. Tarif progresif dibedakan menjadi tiga, yaitu:
a. Tarif Progresif-Proporsional: tarif berupa persentase tertentu yang semakin meningkat dengan
meningkatnya dasar pengenaan pajak, dan kenaikan persentase tersebut adalah tetap.
Contoh:
Tarif Kenaikan
No. Dasar Pengenaan Pajak Pajak % Tarif
1. Sampai dengan Rp 10.000.000 15% —
2. Di atas Rp l0.000.000 s/d Rp 25.000.000 25% 10%
3. Di atas Rp 25.000.000 35% 10%

Tarif Progresif-Proporsional pernah diterapkan di Indonesia untuk menghitung PPh. Tarif ini
diberlakukan sejak tahun 1984 sampai dengan tahun 1994 dan diatur dalam Pasal 17 UU No. 7
Tahun 1983.

b. Tarif Progresif-Progresif: tarif berupa persentase tertentu yang semakin meningkat dengan
meningkatnya dasar pengenaan pajak, dan kenaikan persentase tersebut juga semakin
meningkat. Contoh:

Tarif Kenaikan
22

No. Dasar Pengenaan Pajak Pajak % Tarif


1. Sampai dengan Rp 25.000.000 10% —
2. Di atas Rp 25.000.000 s/d Rp 50.000.000 15% 5%
3. Di atas Rp 50.000.000 30% 15%

Tarif progresif-progresif pernah diterapkan di Indonesia untuk menghitung Pajak Penghasilan.


Tarif ini diberlakukan sejak tahun 1995 sampai dengan tahun 2000 dan diatur dalam Pasal 17 UU
No. 10 Tahun 1994. Mulai tahun 2001, jenis tarif ini masih diberlakukan sampai dengan akhir tahun
2008 tetapi hanya untuk Wajib Pajak badan
dan bentuk usaha tetap, dengan perubahan pada dasar pengenaan pajak sebagai berikut.

Tartf Kenaikan
No. Dasar Pengenaan Pajak Pajak %
1. Sampai dengan Rp50.000.000 10% —
2. Di atas Rp50.000.000 s/d Rp 100.000.000 15% 5%
3. Di atas Rpl00.000.000 30% 15%

c. Tarif Progresif-Degresif: tarif berupa persentase tertentu yang semakin meningkat dengan
meningkatnya dasar pengenaan pajak, tetapi kenaikan persentase tersebut semakin menurun.
Contoh:

No. Dasar Pengenaan Pajak Tarif Kenaikan


. % Tarif
1. Rp 50.000.000 10% —
2. Rp 100.000.000 15% 5%
r
3. Rp 200.000.000 18% 3%

d. Tarif Degresif (Menurun): tarif berupa persentase tertentu yang semakin menurun
dengan semakin meningkatnya dasar pengenaan pajak. Contoh:

No. Dasar Pengenaan Pajak Tarif Pajak


1. Rp 50.000.000 30%
2. Rp 100.000.000 20%
3. Rp 200.000.000 10%

M. PEMBAHARUAN SISTEM PERPAJAKAN (TAX REFORM)


Sebelum adanya tax reform, yang dimulai pada Tahun 1983, hampir semua jenis pemungutan
pajak di Indonesia menerapkan sistim pemungutan pajak Official Assessent System dan
23

Witholding Tax System.

1. Jenis Pajak yang dipungut sebelum adanya pembaharuan peraturan perpajakan (tax reform)
adalah:
1. Pajak Pendapatan (PPd);
(Pemungutan didasarkan/sesuai dengan Ordonansi Pajak Pendapatan 1994, Stbl.1944
No.17)
2. Pajak Perseroan (PPs);
(Pemungutan didasarkan/sesuai dengan Ordonansi Pajak Perseroan 1925, Stbl.1925 No.319)
3. Pajak Kekayaan (PKk);
(Pemungutan didasarkan/sesuai dengan Ordonansi Pajak Kekayaan 1932, Stbl. 1932
No.405)
4. Pajak Penjualan (PPn);
(Pemungutan didasarkan/sesuai dengan UU Pajak Penjualan 1951,UU (drt.) No.19 Tahun
1951)
5. Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalty (PBDR);
(Pemungutan didasarkan/sesuai dengan UU PBDR 1970, UU No.10 Tahun 1970)
6. Bea Meterai;
(Pemungutan didasarkan/sesuai dengan Aturan Bea Materai 1921, Stbl. 1921 No. 498)
7. Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA);
[Pemungutan didasarkan/sesuai dengan UU (Perpu) No.11 Tahun 1959]
8. Bea Balik Nama Harta Tetap/Kapal;
(Pemungutan didasarkan/sesuai dengan Ordonansi Bea Balik Nama Harta Tetap/Kapal
1924, Stbl. 1924 No. 291)
9. Bea Lelang;
Pemungutan didasarkan/sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Leang (Vendu
Reglement) Tahun 1908 dan terakhir didasarkan kepada Peraturan Tentang Pemungutan Bea
Lelang untuk Penjualan di Muka Umum 1949, Stbl. 1949 No.390]
Dalam perkembangan selanjutnya, Bea Lelang ini telah berobah menjadi penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP), sebagaimana dinyatakan dalam Surat Edaran Dirjen Pajak
No.SE-23/PJ.24/1995 tentang Penyetoran Bea Lelang.

Berdasarkan UU No.8 Tahun 1967 tanggal 26 Agustus 1967 (LN Tahun 1967 No.18) tentang
Perubahan dan penyempurnaan tata cara pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan
1932, dan Pajak Perseroan 1925 telah diatur tata cara pemungutan:
- Pajak Pendapatan (PPd);
- Pajak Kekayaan (PKk); dan
- Pajak Perseroan (PPs).
Tata cara tersebut merupakan Withholding Tax System, lebih dikenal dengan sebutan MPS
(Menghitung Pajak Sendiri) dan MPO (Memungut Pajak Orang Lain). Pelaksanaan MPS dan
MPO diatur lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1967 tanggal 19 September
1967 yang dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 1967 No.20 dan Tambahan Lembaran
Negara Tahun 1967 No.2829. tentang Pelaksanaan UU No.8 Tahun 1967 mengenai
Perubahan dan penyempurnaan tata cara pemungutan Pajak Pendapatan1944, Pajak
Kekayaan1932, dan Pajak Perseroan 1925.
Tata cara pemungutan pajak seperti di atas dalam rangka sistem pemungutan pajak disebut:
24

Withholding tax sytem, yaitu Orang pribdi dan/atau Badan diserahi tugas memungut pajak,
yang selanjutnya pajak yang dipungut tersebut disetor ke Kas Negara oleh pemungut pajak.

Disamping UU No.8 Tahun 1967 tentang MPS-MPO, maka masih terdapat beberapa
peraturan lain yang berkaitan dengan tata cara pelaksanaan pemungutan pajak, yakni:
Peraturan Pertimbangan Urusan Pajak (Regeling van het beroep in Belastingzaken), yakni
Ordonansi Tahun 1927 No.29 tanggal 27 Januari 1927 tentang Peraturan Majelis
Pertimbangan Pajak;
Peraturan tentang Penagihan Pajak-pajak Negara dengan Surat Paksa (UU No.19 Tahun
1959).

2. Latar Belakang Tax reform


Yang mendasari lahirnya Tax reform yaitu diatur Dalam ketetapan MPR No.II/MPR/1983
tanggal 9 Maret 1983 pada Bab III huruf D butirke-13, disebutkan:
Untuk pelaksanaan Pelita Keempat diperlukan pembiayaan yang memadai, yang terutama harus
bersumber dari kemampuan dalam negeri, sedangkan sumber-sumber luar negeri merupakan
sumber pelengkap. Dalam hubungan ini pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja negara
terus disempurnakan agar penerimaan negara makin meningkat, sedangkan pengeluaran negara
makin terkendali dan terarah sehingga peranan tabungan Pemerintah di dalam anggaran
pembangunan negara dapat makin meningkat.
Untuk meningkatkan penerimaan negara terutama dari sumber diluar minyak dan gas bumi,
sistem perpajakan terus disempurnakan, pemungutan pajak diintensifkan, dan aparat perpajakan
juga harus makin mampu dan bersih. Semuanya itu diarahkan agar kemampuan negara dan
masyarakat untuk membiayai pembangunan dari sumber- sumber dalam negeri makin
meningkat, pembagian beban pembangunan antara golongan yang berpendapatan tinggi dan
golongan yang berpendapatan rendah makin sesuai dengan rasa keadilan masyarakat,
mendorong pemerataan pembangunan dan membantu terlaksananya pola hidup sederhana, yang
sangat penting untuk memperkokoh solidaritas sosial. Disamping itu sistem perpajakan harus
memungkinkan pemanfaatan sumber-sumber alam secara optimal, mendorong ekspor dan
mengembangkan kegiatan ekonomi pada umumnya. Segala pajak harus didasarkan atas
peraturan perundang-undangan.

Dalam pidato kenegaraan di depan sidang DPR RI tanggal 16 Agustus 1983 Presiden telah
mengutarakan bahwa sebelum pelaksanaan REPELITA IV dimulai, yakni mulai 1 April 1984,
Pemerintah akan mengajukan beberapa buah rancangan Undang-undang yang merupakan
pembaharuan perpajakan nasional.

Tujuan utama daripada pembaharuan perpajakan nasional adalah :


1. Untuk membangun kemandirian dalam membiayai pembangunan nasional;
2. Menyerahkan segenap potensi dan kemampuan dari dalam negeri, diluar minyak dan gas
bumi;
3. Bahwa kita tidak hanya mengandalkan penerimaan dari minyak dan gas bumi;

3. Tax reform Tahun 1983


Sesuai dengan uraian-uraian di atas, menjelang berakhirnya tahun 1983 telah terjadi perubahan
dibidang peraturan perpajakan dengan diundangkannya beberapa undang-undang sebagai
25

berikut:

UU No.6 Tahun 1983 tanggal 31 Desember 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara
perpajakan (KUP), yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 1984;
UU No.7 Tahun 1983 tanggal 31 Desember 1983 tanggal 31 Desember 1983 tentang Pajak
Penghasilan (PPh), yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 1984;
UU No.8 Tahun 1983 tanggal 31 Desember 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM), yang mulai berlaku secara efektip sejak tanggal
1 April 1985.

Selanjutnya, masih dalam rangka tax reform, pada tahun 1985 telah diundangkan 2 (dua)
undang-undang baru, yakni:
1. UU No.12 Tahun 1985 tanggal 27 Desember 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB), yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1986;
2. UU No.13 Tahun 1985 tanggal 27 Desember 1985 tentang Bea Meterai, yang mulai berlaku
sejak tanggal 1 Januari 1986.

Dari uraian-uraian di atas dapat diberi kesimpulan bahwa sejak Tahun 1984 mulailah
pelaksanaan pemungutan jenis-jenis pajak yang baru, yakni:

1. Pajak Penghasilan (PPh), yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1984. Dengan berlakunya Pajak
Penghasilan, maka pemungutan pajak:
a. Pajak Pendapatan 1944;
b. Pajak Perseroan 1925; dan
c. Pajak atas Bunga Dividen dan Royalti 1970 ditiadakan atau dihapuskan.

Tata cara pemungutan Pajak Penghasilan dilakukan sesuai dengan UU No.6 Tahun 1983
tentang KUP dan dengan demikian pemungutan pajak dengan cara MPS dan MPO sesuai
dengan UU No.8 Tahun 1967 dihentikan, karena sudah diatur lebih sedergana dan rinci
dalam KUP dan UU PPh.

Perlu diketahui bahwa UU No.7 Tahun 1983 telah mengalami perubahan dengan
diundangkannya UU No.7 Tahun 1991 dan disempurnakan dengan UU No.10 Tahun 1994.
terakhir telah diperbaharui dengan UU nomor 17 tahun 2000
Tata cara pemungutan pajak (KUP) UU nomor 6 tahun 1983 telah disempurnakan dengan
UU No.9 Tahun 1994, dan UU nomor 16 tahun 2000 terakhir telah diperbaharui dengan UU
nomor 28 tahun 2007

2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan (PPn) atas Barang Mewah, yang
seharusnya sudah berlaku sejak 1 Juli 1984 sesuai dengan UU No.8 Tahun 1983.
Namun, sesuai dengan Peraturan Pemerintah pengganti UU (Perpu) No.1 Tahun 1984
berlakunya UU PPN dan PPn atas Barang Mewah ditetapkan selambat-lambatnya tanggal 1
Januari 1986 dan tanggal kepastiannya akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
3. Sesuai dengan PP No.1 Tahun 1985, ditetapkanlah bahwa pemungutan PPN dan PPn atas
Barang mewah berlaku sejak 1 April 1985. Dengan demikian, pemungutan PPN dan PPn
26

atas Barang Mewah secara efektif dimulai sejak 1 April 1985. UU No.8 Tahun 1983.terakhir
telah diperbaharui dengan UU nomor 18 tahun 2000

4. Perkembangan peraturan perpajakan s/d akhir Tahun 2010


Dalam perkembangan selanjutnya, untuk memenuhi perubahan/perkembangan perekonomian,
perindustrian dan perdagangan, selalu dilakukan perubahan dalam peraturan perpajakan.

Dalam Tahun 1994 telah diadakan perubahan dalam peraturan perpajakan yang menyangkut:
1. Ketentuan Umum dan Tata cara perpajakan (UU No.9 Tahun 1994);
2. Pajak Penghasilan (UU No.10 Tahun 1994);
3. Pajak Pertambahan Nilai dan PPn atas Barang Mewah (UU No.11 Tahun 1994);
4. Pajak Bumi dan Bangunan (UU No.12 Tahun 1994).
5. Aturan Bea Meterai ( UU No, 13 Tahun 1994)

Dalam Tahun 1995 telah diadakan perubahan dalam peraturan perpajakan yang menyangkut:
1. Kepabeanan (UU No.10 Tahun 1995);
2. Cukai (UU No.11 Tahun 1995).

Dalam Tahun 1997 telah diadakan pula pembaharuan dalam perpajakan yang menyangkut:
1. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU No.18 Tahun 1997);
2. Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (UU No.17 Tahun 1997);
3. Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU No.19 Tahun 1997);
4. Penerimaan Bukan Pajak (UU No.20 Tahun 1997);
5. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (UU No.21 Tahun 1997).

Dalam Tahun 2000 telah diadakan perubahan dalam peraturan perpajakan yang menyangkut:
1. Ketentuan Umum dan Tata cara perpajakan (UU No.16 Tahun 2000);
2. Pajak Penghasilan (UU No.17 Tahun 2000);
3. Pajak Pertambahan Nilai dan PPn atas Barang Mewah (UU No.18 Tahun 2000);
4. Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU No.19 Tahun 2000);
5. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (UU No.20 Tahun 2000);
6. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU No.34 Tahun 2000).

Dalam Tahun 2002 telah diadakan perubahan dalam peraturan perpajakan yang menyangkut
Badan penyelesaian sengketa pajak, diatur berdasarkan UU nomor 17 tahun 1997, telah diganti
dengan UU nomor 14 tahun 2002 tentang Peradilan Pajak

Dalam Tahun 2007 telah diadakan perubahan dalam peraturan perpajakan yang menyangkut,
Ketentuan Umum dan Tata cara perpajakan (UU No.16 Tahun 2000), telah diperbaharui lagi
terakhir dengan UU nomor 28 tahun 2007.

Dalam Tahun 2008 telah diadakan perubahan dalam peraturan perpajakan yang menyangkut,
Pajak Penghasilan (UU No.17 Tahun 2000), telah diperbaharui lagi terakhir dengan UU nomor
36 tahun 2008.

Dalam Tahun 2009 telah diadakan perubahan dalam peraturan perpajakan yang menyangkut,
27

Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU No.18 Tahun 2000), telah
diperbaharui lagi terakhir dengan UU nomor 42 tahun 2009. Dan di tahun yang sama telah
diadakan perubahan dalam peraturan perpajakan yang menyangkut, Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah (PD & RD) (UU No.34 Tahun 2000), telah diperbaharui lagi terakhir dengan UU nomor
28 tahun 2009, dan seiring dengan UU No 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM, juga
membawa dampak diperbaharuinya lagi UU No. 28 Tahun 2007 dengan UU No. 16 Tahun 2009.
28

BAGIAN II

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

Peraturan perundang-undangan perpajakan terus disempurnakan seiring dengan perkembangan


ekonomi, teknologi informasi, sosial, dan politik dengan perkembangan ekonomi maupun sosial.
Perubahan perundang-undangan perpajakan khususnya Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan dimaksudkan untuk lebih memberikan keadilan, meningkatkan pelayanan kepada
Wajib Pajak, meningkatkan kepastian dan penegakan hukurn, serta mengantisipasi kemajuan di bidang
teknologi informasi dan perubahan ketentuan material di bidang perpajakan. Perubahan tersebut juga
dimaksudkan untuk meningkatkan profesionalisme aparatur perpajakan, meningkatkan keterbukaan
administrasi perpajakan, dan meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak.

Sistem, mekanisme, dan tata cara pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan yang sederhana menjadi
ciri dan corak dalam perubahan undang-undang ini dengan tetap menganut sistem self assessment.
Perubahan tersebut khususnya berkaitan dengan peningkatan keseimbangan hak dan kewajiban bagi
masyarakat Wajib Pajak sehingga masyarakat Wajib Pajak dapat melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakannya dengan lebih baik.

Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kesederhanaan, arah dan tujuan
perubahan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ini mengacu pada
kebijakan pokok sebagai berikut:

1. meningkatkan efisiensi pemungutan pajak dalam rangka mendukung penerimaan negara;


2. Meningkatkan pelayanan, kepastian hukum, dan keadilan bagi masyarakat guna
meningkatkan daya saing dalam bidang penanaman modal, dengan tetap mendukung
pengembangan usaha kecil dan menengah;
3. menyesuaikan tuntutan perkembangan sosial ekonomi masyarakat serta perkembangan
di bidang teknologi informasi;
4. meningkatkan keseimbangan antara hak dan kewajiban;
5. menyederhanakan prosedur administrasi perpajakan;
6. meningkatkan penerapan prinsip self assessment secara akuntabel dan konsisten; dan
7. mendukung iklim usaha ke arah yang lebih kondusif dan kompetitif.

Upaya pemerintah tersebut seiring dengan semakin dominannya peneriraaan dari sektor pajak dalam
RAPBN maupun APBN negara kita beberapa tahun terakliir ini, Hal ini dilakukan mengingat sumber
penerimaan migas tidak dapat diandalkan lagi karena jumlahnya makin menipis dan tidak dapat
diperbaharui, Dengan dilaksanakannya kebijakan pokok tersebut diharapkan dapat meningkatkan
penerimaan negara dalam jangka menengah dan panjang seiring dengan meningkatnya kepatuhan
sukarela dan membaiknya iklim usaha.
Bab ini membahas tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang berlaku di Indonesiaj
yang di dalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hubungan warga negara dan menempatkan
kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam
29

pembiayaan negara dan pembangunan nasional.


Dalam pelaksanaan UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umurn dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 1994, dan UU No. 16 Tahun 2000 disadari masih
terdapat hal-hal yang belum tertampung sehingga menuntut perlunya penyempurnaan sejalan dengan
perkembangan sosial ekonomi dan kebijaksanaan pemerintah. UU No. 28 Tahun 2007.
Penyempurnaan peraturan perundang-undangan perpajakan tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan tersebut terakhir diatur dalam UU No. 16 Tahun 2009

A. BEBERAPA PENGERTIAN

Beberapa istilah atau. pengertian umum dalam membicarakan perpajakan sesuai Pasal 1 UU No. 28 Tahun
2007 adalah sebagai berikut.
1. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat mernaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
2. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan
pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
3. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik
yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan
usaha milik daerah dengan natna dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi,
dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial
politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak
investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
4. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan
usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor
barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari
luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah
pabean.
5. Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-
undang Pajak Pertambahan Nilai Tahun 1984 dan perubahannya.
6. Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai
sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri
atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
7. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk
menghitung, menyetor, dan rnelaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu
tertentu sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini. Masa Pajak sama dengan
1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
8. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak
menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
9. Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak.
10. Pajak yang Terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa
30

Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
11. Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk rnelaporkan
penghitungan dan/atau pembayaran pajak, Objek Pajak dan/atau bukan Objek Pajak,
dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
12. Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak.
13. Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak
atau Bagian Tahun Pajak.
14. Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah
dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke
kas ncgara inelalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
15. Surat Ketetapan Pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak
Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
16. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran
pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus
dibayar.
17. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
18. Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah
pokok pajak sarna besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan
tidak ada kredit pajak.
19. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada
pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
20. Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa
bunga dan/atau denda.
21. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan
22. Kredit Pajak untuk Pajak Penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib
Pajak ditarnbah dengan pokok pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak karena
Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan
pajak yang dipotong atau dipungut, ditambah dengan pajak atas penghasilan yang
dibayar atau terutang di luar negeri, dikurangi dengan pengembalian pendahuluan
kelebihan pajak, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.
23. Kredit Pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Masukan yang dapat
dlkreditkan setelah dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak
atau setelah dikurangi dengan pajak yang telah dikornpensasikan, yang dikurangkan
dari pajak yang terutang.
24. Pekerjaan Bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai
keahlian kliusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh
suatu hubungan kerja.
25. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan,
dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu
standar pemeriksaan untukmenguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/
atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-
31

undangan perpajakan.
26. Bukti Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan,
atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau
telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja
yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.

27. Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan
bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang
perpajakan.
28. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas
pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban
Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
29. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa,
yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi
untuk periode Tahun Pajak tersebut.
30. Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan
pengisian Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang
kebenaran penulisan dan penghitungannya.
31. Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan adalah serangkaian tindakan yang
dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti
itu membuat terang tindak pidana di bidang perpaj akan yang terj adi serta menemukan
tersangkanya.
32. Penyidik adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal
Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
33. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan
tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam surat ketetapan
pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan
Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan
Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga.
34. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat
ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang
diajukan oleh Wajib Pajak.
35. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat
Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
36. Putusan Gugatan adalah putusan badan peradilan pajak atas gugatan terhadap hal-hal
yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat diajukan
gugatan.
37. Putusan Peninjauan Kembali adalah putusan Mahkamah Agung atas permohonan
peninjauan kembali yang diajukan oleh Wajib Pajak atau oleh Direktur Jenderal Pajak
terhadap Putusan Banding atau Putusan Gugatan dari badan peradilan pajak.
32

38. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak adalah surat keputusan yang
menentukan jumlah pengembalian pendahuluan kelebihan pajak untuk Wajib pajak tertentu.
39. Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga adalah surat keputusan yang menentukan jumlah
imbalan bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak.
40. Tanggal Dikirim adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam hal
disampaikan secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan disampaikan
secara langsung.
41. Tanggal Diterima adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam hal diterima
secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan diterima secara langsung.

B. KEWAJIBAN DAN HAK WAJIB PAJAK

1. Kewajiban Wajib Pajak


Kewajiban Wajib Pajak menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 adalah sebagai berkut:
a. Mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat
tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib
Pajak, apabila telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif.
b. Melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk
dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
c. Mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan
menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, serta menandatangani
dan menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau
dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
d. Menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan satuan
mata uang selain rupiah yang diizinkan, yang pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
e. Membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke
kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
f. Membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan
perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.
g. Menyelenggarakan pembukuan bagi Wajib Pajak orang pribadiyang melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan, dan melakukan pencatatan bagi Wajib Pajak
orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
h. Berkaitan dengan Pemeriksaan Pajak maka Wajib Pajak wajin :
1. Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya,
dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh kegiatan usaha,
pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
2. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu
dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau
3. memberikan keterangan lain yang diperlukan apabila diperiksa.
.
33

2. Hak-hak Wajib Pajak


Hak-hak Wajib Pajak menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 adalah sebag berikut:
a. Melaporkan beberapa Masa Pajak dalam 1 (satu) Surat Pemberitahuan Masa.
b. Mengajukan surat keberatan dan banding bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu.
c. Memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
untuk paling lama 2 (dua) bulan dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
atau dengan cara lain kepada Direktur Jenderal Pajak
d. Membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan
pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan
pemeriksaan.
e. Mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
f. Mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:
1) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
2) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
3) Surat Ketetapan Pajak Nihil;
4) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
5) pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
g. Mengajukan permohonan banding kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan
Keberatan.
h. Mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:
1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
3. Surat Ketetapan Pajak Nihil;
4. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
5. Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
i. Mengajukan permohonan banding kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan.
j. Menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi
kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
k. Memperoleh pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga
keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak dalam hal Wajib Pajak
menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Tahun
Pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih dan dilakukan
paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah berlakunya UU No. 28 Tahun 2007.

C.NOMOR POKOK WAJIB PAJAK DAN PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK

1. Pengertian dan Fungsi NPWP dan PKP


Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) merupakan suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang
dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak. Setiap Wajib lya diberikan satu
NPWP. Nomor Pokok Wajib Pajak juga dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam
pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan. Dengan memiliki NPWP,
Wajib Pajak memperoleh beberapa manfaat langsung lainnya seperti sebagai pembayaran pajak di muka
34

(angsuran/kredit pajak) atas Fiskal Luar Negeri dibayar sewaktu Wajib Pajak bertolak ke Luar Negeri,
sebagai persyaratan elakukan pengurusan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), dan sebagai salah
satu syarat pembuatan Rekening Koran di bank-bank. Terhadap Wajib Pajak yang tidak
mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak dikenakan sanksi sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Fungsi pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain dipergunakan untuk mengetahui identitas
Pengusaha Kena Pajak yang sebenarnya juga berguna untuk melaksanakan kewajiban di bidang
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang serta untuk pengawasan administrasi
perpajakan. Terhadap pengusaha yang nenuhi syarat sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak
melaporkan usahanya cukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dikenai sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
. Terhadap Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak yang tidak memenuhi
kewajiban :mendaftarkan diri dan/atau melaporkan usahanya dapat diterbitkan Nomor Pokok Wajib
Pajak dan/atau pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan. Hal ini dapat dilakukan\ apabila
berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktorat Jenderal
Pajak ternyata orang pribadi atau badan atau Pengusaha tersebut telah memenuhi syarat untuk
memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan NPWP dan/atau yang dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak secara jabatan, dirnulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan
subjektif dan objektif sesuai ketentuan perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima)
tahun sebelum diterbitkannya NPWP dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
NPWP terdiri atas 15 digit, meliputi 9 digit pertama merupakan Kode Wajib Pajak dan 6 digit
berikutnya merupakan Kode Administrasi Perpajakan. Format tersebut adalah sebagai berikut:

Kode
Kode kelompok WP Nomor Pokok Pengecekan Kode KPP Kantor
cabang/pusat
2.Tempat Pendaftaran NPWP dan Pengukuhan PKP
Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP). Tempat pendaftaran NPWP adalah sebagai berikut:
1. Bagi Wajib Pajak orang pribadi, adalah pada Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak.
2. Bagi Wajib Pajak badan, adalah tempat kedudukan/kegiatan usaha Wajib Pajak.

Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang Pajak
Pertambahan Nilai Tahun 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
menjadi pengusaha kena pajak (PKP). Tempat pelaporan usaha dan pengukuhan sebagai Pengusaha
Kena Pajak adalah sebagai berikut:

1. Bagi Pengusaha orang pribadi, adalah pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan.
35

2. Bagi Pengusaha badan, adalah pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat kedudukan Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan.
3. Bagi Pengusaha orang pribadi atau badan yang mempunyai tempat kegiatan usaha di beberapa
wilayah kantor Direktorat Jenderal Pajak, adalah baik di Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha maupun di kantor
Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan.
4. Bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu (yaitu Wajib Pajak orang pribadi
yang mempunyai tempat usaha tersebar di beberapa tempat, misalnya pedagang
elektronik yang mempunyai toko di beberapa pusat perbelanjaan), kewajiban
melaporkan usahanya di samping pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak juga pada kantor Direktorat Jenderal
Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dilakukan.

5. Bagi Pengusaha Kena Pajak tertentu, Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan kantor
Direktorat Jenderal Pajak sebagai tempat pendaftaran pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak sebagai berikut.
Wajib Pajak Tertentu dan Pengusaha Kena Pajak Tempat Pendaftaran dan
Tertentu Pelaporan Usaha
. BUMD yang berkedudukan di wilayah DKI Jakarta • • KPP Perusahaan Negara dan Daerah
Wajib Pajak BUMN, termasuk anak perusahaan yang
penyertaan modal induknya lebih dari 50%

• Wajib Pajak penanaman modal asing yang tidak • KPP Penanaman Modal Asing I
masuk bursa dan melakukan kegiatan usaha
di bidang industri nonlogam

• Wajib Pajak penanaman modal asing yang tidak • KPP Penanaman Modal Asing II
masuk bursa dan melakukan kegiatan usaha
di bidang industri logam dan mesin

• Wajib Pajak penanaman modal asing yang tidak • KPP Penanaman Modal Asing III
masuk bursa dan melakukan kegiatan usaha
di bidang nonindustri

• Wajib Pajak bentuk usaha tetap • Orang asing . KPP Badan dan Orang Asing
yang berkdudukan/bertempat tinggal di wilayah DKI Jakarta

• Wajib Pajak yang pernyataan pendaftaran emisi • KPP Perusahaan Masuk Bursa
sahamnya telah dinyatakan efektif oleh Bapepam

• Wajib Pajak BUMD dan bentuk usaha tetap • KPP yang wilayah kerjanya
. meliputi tempat kedudukan
Wajib Pajak BUMD dan bentuk
usaha tetap

Wajib Pajak orang asing yang berkedudukan atau . KPP yang wilayah kerjanya
bertempat tinggal di luar DKI Jakarta meliputi tempat tinggal Wajib
Pajak orang asing
36

Wajib Pajak Tertentu dan Pengusaha Kena Pajak Tempat Pendaftaran dan Pelaporan
Tertentu Usaha

Wajib Pajak BUMN, BUMD, penanaman modal asing, badan KPP yang diwilayah kerjanya meliputi
dan orang asing, dan perusahaan masuk bursa, terbatas pada Pajak tempat cabang, perwakilan, atau kegiatan
Penghasilan Pemotongan,Pajak Penghasilan Pemungutan, Pajak usaha dilakukan
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

KPP = Kantor Pelayanan Pajak


Direktorat Jenderal Pajak yang dimaksud adalah Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Kantor Penyuluhan dan
Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4).

3.Tata Cara Pendaftaran NPWP dan Pengukuhan PKP


Wajib Pajak (WP) mengisi formulir pendaftaran dan menyampaikan secara langsung melalui pos ke
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Pot Perpajakan (KP4) setempat
dengan melampirkan ketentuan sebagai berikut:
1. Untuk WP Orang Pribadi Non-Usahawan
Fotokopi KTP bagi penduduk Indonesia atau fotokopi paspor ditambah surat keteran tempat tinggal
dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa 1 orang asing.
2. Untuk WP Orang Pribadi Usahawan
a. Fotokopi KTP bagi penduduk Indonesia atau fotokopi paspor ditambah surat keterangan
tempat tinggal dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa bagi orang asing
b. Surat Keterangan tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari instansi yang berwenang
minimal Lurah atau Kepala Desa.
3. Untuk WP Badan
a. Fotokopi akta pendirian dan perubahan terakhir atau surat keterangan penunjuk
dari kantor pusat bagi BUT.
b. Fotokopi KTP bagi penduduk Indonesia atau fotokopi paspor ditambah surat keterangan
tempat tinggal dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa bagi orang asing,
dari salah seorang pengurus aktif.
c. Surat Keterangan tempat kegiatan usaha dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau
Kepala Desa.
4. Untuk Bendaharawan sebagai Pemungut/Pemotong
a. Fotokopi KTP bendaharawan.
b. Fotokopi surat penunjukan sebagai bendaharawan.
5. Untuk joint operation sebagai wajib pajak pemotong/pemungut
a. Fotokopi perjanjian kerja sama sebagai joint operation.
b. Fotokopi NPWP masing-masing anggota joint operation.
c. Fotokopi KTP bagi penduduk Indonesia atau fotokopi paspor ditambah surat keterangan
tempat tinggal dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa bagi orang asing,
dari salah seorang pengurus joint operation.
37

6. Wajib Pajak dengan status cabang, orang pribadi pengusaha tertentu atau wanita kawin tidak pisah harta
harus melampirkan fotokopi surat keterangan terdaftar.
7. Apabila permohonan ditandatangani orang lain harus dilengkapi dengan surat kuasa khusus.

5.Pendaftaran NPWP dan PKP melalui Elektronik


Pendaftaran NPWP oleh Wajib Pajak dapat juga dilakukan secara elektronik, yaitu melalui di internet di situs
Direktorat Jenderal Pajak dengan alamat http://www.pajak.go.id dengan mengeklik e-registration
(pendaftaran Wajib Pajak melalui Internet); di mana Wajib Pajak cukup memasukkan data-data pribadi
(KTP/SIM/Paspor) untuk dapat memperoleh NPWP. Selanjutnya dapat mengirimkan melalui pos fotokopi
data pribadi tersebut ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau kedudukan Wajib Pajak.
Berikut langkah-langkah untuk mendapatkan NPWP melalui Internet (electronic registration).
1. Cari situs Direktorat Jenderal Pajak di Internet dengan alamat www.pajak.go.id.
2. Selanjutnya Anda memilih menu e-reg (electronic rregistration).
3. Pilih menu "buat account baru" dan isilah kolom sesuai yyang diminta.
4. Setelah itu Anda akan masukke menu "Formulir Registrasi Wajib Pajak Orang Pribadi".
Isilah sesuai dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) Anda.
5. Anda akan memperoleh Surat Keterangan Terdaftar (SKT) sementara yang berlaku
selama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran dilakukan. Cetak SKT sementara tersebut
beserta Formulir Registrasi Wajib Pajak Orag Pribadi sebagai bukti Anda sudah terdaftar
sebagai Wajib Pajak.
6. Tandatangani formulir registrasi, kemudian kirimkan/sampaikan langsung bersama SKT sementara serta
persyaratan lainnya ke kantor pelayanan pajak seperti yang tertera pada SKT sementara Anda. Setelah itu,
Anda akan menerima kartu NPWP dan SKT asli.

7.Wajib Pajak Pindah


Dalam hal WP pindah domisili atau pindah tempat kegiatan usaha, WP wajib melaporkan diri ke
KPP lama maupun KPP baru dengan ketentuan:
1. Wajib Pajak Orang Pribadi Usahawan.
Pindah tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas; adalah surat keterangan
tempat tinggal baru atau tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang baru dari instansi
yang berwenang (Lurah atau Kepala Desa).
2. wajib pajak orang pribadi Nonusaha
Surat keterangan tempat tinggal baru dari Lurah atau Kepala Desa, atau surat ketentuan dari
pimpinan instansi perusahaannya.
3. Wajib Pajak Badan
Pindah tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha; adalah surat keterangan tempat kedudukan
atau tempat kegiatan yang baru dari Lurah atau Kepala Desa.

8.Penghapusan NPWP

Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila;
1. diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak oleh Wajib Pajak
atau ahli warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif
atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajak.
38

2. Wajib Pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha;


3. Wajib Pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia;
4. dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor Pokok
Pajak dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau
objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan kepi atas permohonan
penghapusan NPWP dalam jangka waktu 6 (enam) bulan untuk Pajak orang pribadi atau 12 (dua
belas) bulan untuk Wajib Pajak badan, sejak t? permohonan diterima secara lengkap.

9.Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan NPWP serta Pengukuhan dan Pencabutan
NPPKP dengan Sistem e-Registration
Hal-hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan tata cara Pendaftaran Pengha Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP) serta Pengukuhan dan Pencabutan Nomor Pengul Pengusaha Kena Pajak
(NPPKP) (sesuai Keputusan Dirjen Pajak Nomor Kep- 173/PJ./ diatur sebagai berikut.
1. Wajib Pajak yang mengajukan permohonan untuk mendaftarkan diri dan
melaporkan kegiatan usaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak melalui
sistem e-Registration akan mendapatkan Formulir Registrasi Wajib Pajak dan
Keterangan Terdaftar Sementara dengan cara Wajib Pajak mencetak sendiri melalui
sistem e-Registration.
2. Surat Keterangan Terdaftar Sementara hanya berlaku selama 30 (tiga puluhari) hari
sejak pendaftaran dilakukan dan hanya berlaku untuk pembayaran, pemotongan dan penungutan
pajak oleh pihak lain, serta tidak dapat dipergunakan untuk melakukan kegiatan di luar bidang
perpajakan.

3. formulir Registrasi Wajib Pajak yang sudah ditandatangani beserta persyaratannya disampaikan ke
Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar paling lama 30 hari sejak permohonan.
4. apaabila Formulir Registrasi Wajib Pajak yang sudah ditandatangani beserta persyaratannya
belum diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dalam jangka waktu 30
(tiga puluh) hari sejak permohonan dilakukan, maka proses permohonan akan dibatalkan secara
sistem.
5. kantor Pelayanan Pajak menerbitkan kartu Nomor Pokok Wajib Pajak dan Surat keterangan
Terdaftar paling lama 1 (satu) hari sejak Formulir Registrasi Wajib Pajak yang sudah ditandatangani
beserta persyaratannya diterima secara lengkap.
6. dalam hal Wajib Pajak melakukan pendaftaran sekaligus melaporkan usahanya untuk kukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak, Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib pajak terdaftar menerbitkan
secara bersamaan Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak, Surat keterangan Terdaftar dan Surat Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak paling lama 3 (tiga) hari kerja berikutnya setelah Formulir Registrasi Wajib
Pajak beserta persyaratannya terima secara lengkap.
7. berdasarkan proses approval melalui sistem e-Registration, Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib
Pajak terdaftar akan mengirimkan kartu Nomor Pokok Wajib Pajak KP.PDEP.4.4-00) dan Surat
Keterangan Terdaftar (KP.PDIP.4.2-00), dan/atau Surat Penngukuhan Pengusaha Kena Pajak
(KP.PDIP.4.3-00) melalui pos ke alamat Wajib pajak, atau berdasarkan Notifikasi yang dikirimkan
melalui sistem e-Registration, Wajib pajak atau Kuasanya dapat mengambil sendiri dokumen tersebut
ke Kantor Pelayanan pajak.
39

8. Wajib Pajak yang telah terdaftar dan belum mempunyai akses ke sistem e-Registration, dapat
mengajukan permohonan untuk dapat mengakses sistem e-Registration atas Nomor Pokok Wajib
Pajak yang bersangkutan kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dengan
membawa bukti pendaftaran yang berlaku.

D.PEMBAYARAN, PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN, DAN PELAPORAN


Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan sistem self assessment wajib
melakukan sendiri penghitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak terutang.

1.Pembayaran Pajak dan Surat Setoran Pajak (SSP)


Pembayaran pajak dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut.
1. Membayar sendiri pajak yang terutang.
a. Pembayaran angsuran setiap bulan (PPh Pasal 25), yaitu pembayaran pajak
penghasilan secara angsuran. Hal ini dimaksudkan untuk meringankan beban Wajib
Pajak dalam melunasi pajak yang terutang dalam 1 (satu) tahun pajak. Wajib Pajak
diwajibkan untuk mengangsur pajak yang akan terutang pada akhir tahun dengan
membayar sendiri angsuran pajak setiap bulan.
b. Pembayaran PPh Pasal 29 setelah akhir tahun, yaitu pelunasan pajak penghasilan
yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak pada akhir tahun pajak apabila pajak
terutang untuk suatu tahun pajak lebih besar dari total pajak yang dibayar sendiri
dan pajak yang dipotong atau dipungut pihak lain sebagai kredit pajak.
2. Melalui pemotongan dan pemungutan oleh pihak lain (PPh Pasal 4 (2), PPh Pasa'
15, PPh Pasal 21, 22, dan 23, serta PPh Pasal 26). Pihak lain yang dimaksud adalah
pemberi penghasilan, pemberi kerja, dan pihak lain yang ditunjuk atau ditetapkan oler
pemerintah.
3. Melalui pembayaran pajak di luar negeri (PPh Pasal 24).
4. Pemungutan PPN oleh pihak penjual atau oleh pihak yang ditunjuk pemerintar
(misalnya bendaharawan pemerintah).
5. Pembayaran paj ak-paj ak lainnya.
a. Pembayaran Pajak Bumi dan Bangungan (PBB), yaitu pelunasan berdasarkan Surai
Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Untuk daerah Jakarta, pembayaran PBE
sudah dapat dilakukan dengan menggunakan ATM di bank-bank tertentu.
b. Pembayaran Bea Perolehan Hakatas Tanah dan Bangunan (BPHTB), yaitupelunasar
pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan.
c. Pembayaran Bea Meterai, yaitu pelunasan pajak atas dokumen yang dapat dilakukar
dengan cara menggunakan benda meterai berupa meterai tempel atau kerta;
bermeterai atau dengan cara lain seperti menggunakan mesin teraan.

Pelaksanaan pembayaran pajak dapat dilakukan Kantor Penerima Pembayaran dengar menggunakan
Surat Setoran Pajak (SSP) yang dapat diambil di Kantor Pelayanan Pajal (KPP) atau KP4 terdekat, atau
dengan cara lain melalui pembayaran pajak secara elektronil (e-paymeni). Surat Setoran Pajak (SSP) adalah
surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untul melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang
ke kas negara melalui Kanto; Penerima Pembayaran. Kantor Penerima Pembayaran adalah Kantor Pos
40

dan atau banl Badan Usaha Milik Negara atau bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayarai
lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sebagai penerima pembayaran atau setoran pajak Surat setoran
pajak dapat berupa: SSP Standar, SSP Khusus, SSPCP (Surat Setoran Pabean Cukai dan Pajak Dalam
Rangka Impor), dan SSCP (Surat Setoran Cukai atas Barang Ken; Cukai dan PPN Hasil Tembakau
Buatan Dalam Negeri).

a. SSP Standar
Surat Setoran Pajak yang selanjutnya disebut dengan SSP adalah bukti pembayaran atau penyetoran
pajakyang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke
kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Formulir SSP dibuat
dalam rangkap 4 (empat), dengan peruntukan sebagai berikut:
a. lembar ke-1 : untuk arsip Wajib Pajak;
b. lembar ke-2 : untuk Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN);
c. lembar ke-3 : untuk dilaporkan oleh Wajib Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak;
d. lembar ke-4 : untuk arsip Kantor Penerima Pembayaran.

Dalam hal diperlukan, SSP dapat dibuat dalam rangkap 5 (lima) dengan peruntukan lembar ke-5
untuk arsip Wajib Pungut atau pihak lain sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
SSP berikut mulai berlaku per 1 Juli 2009. Namun demikian sampai dengan 31 Desember
2009 masih diperbolehkan menggunakan SSP lama, yaitu berdasar Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-01/PJ./2006 tentang Bentuk Surat Setoran Pajak.

Pengisian Kode Akun Pajak dan Kode Jenis Setoran dalam formulir SSP dilakukan berdasarkan Tabel
Akun Pajak dan Kode Jenis Setoran yang dapat dilihat pada Lampiran IV buku ini.

b. SSP Khusus
SSP Khusus merupakan bukti pembayaran atau penyetoran pajak terutang ke Kantor Penerima
Pembayaran yang dicetak oleh Kantor Penerima Pembayaran dengan menggunakan mesin
transaksi dan atau alat lainnya yang isinya sesuai dengan yang ditetapkan dalam Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini, dan mempunyai fungsi yang sama dengan SSP Standar dalam administrasi
perpajakan. SSP Khusus dicetak oleh Kantor Penerima Pembayaran yang telah mengadakan kerja
sama Monitoring Pelaporan Pembayaran Pajak (MP3) dengan Direktorat Jenderal Pajak. SSP Khusus
dicetak:
a. pada saat transaksi pembayaran atau penyetoran pajak sebanyak 2 (dua) lembar,
yang berfungsi sama dengan lembar ke-1 dan lembar ke-3 SSP Standar;
b. terpisah sebanyak 1 (satu) lembar, yang berfungsi sama dengan lembar ke-2 SSP
Standar untuk diteruskan ke KPPN sebagai lampiran Daftar Nominatif Penerimaan
(DNP).
SSP khusus dapat diperbanyak dan berfungsi sama dengan lembar ke-5 SSP Standar sebagai pengganti
bukti potong /bukti pungut dengan diberi cap dan tandatangan oleh pejabat yang berwenang oleh
Kantor penerima pembayaran. SSP Khusus paling sedikit memuat keterangan-keterangan sebagai
berikut;
a. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
b. Nama Wajib Pajak;
c. Identitas Kantor Penerima Pembayaran;
d. Mata Anggaran Penerimaan (MAP)/Kode Jenis Pajak dan Kode Jenis setoran;
e. Masa Pajak dan atau Tahun Pajak;
41

f. Nomor Ketetapan (untuk pembayaran: STP, SKPKB, atau SKPKBT);


g. Jumlah dan Tanggal Pembayaran; dan
h. Nomor Transaksi Pembayaran Pajak (NTPP) dan atau Nomor Transaksi Bank (NTB) atau
Nomor Transaksi Pos (NTP).

SSP Khusus dapat digunakan meskipun tidak memenuhi ketentuan di atas, dalam hal digunakan
untuk pembayaran sebagai berikut:
a. Pajak Penghasilan (PPh) atas pembayaran Fiskal Luar Negeri (MAP/Kode Jenis Pajak
411128, Kode Jenis Setoran 100) yang dibayar pada counter-counter di Bandar udara dan
pelabuhan laut;
b. Pajak Penghasilan Pasal 26 Subjek Pajak Luar Negeri (MAP/Kode Jenis Pajak411127,semua Kode
Jenis Setoran) baik untuk perorangan maupun badan;
c. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang terutang atas pengalihan aset dalam rangka
restrukturisasi perusahaan (MAP/Kode Jenis Pajak 411221, Kode Jenis Setoran 104);

d. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean (MAP/Kode Jenis
Pajak 411221, Kode Jenis Setoran 101 atau 102);
e. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Impor dan PPN Impor atas barang bawaan
penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas dan kiriman pos sebagaimana
ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (MAP/Kode Jenis Pajak 411123);
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 yang dipungut oleh Pemungut (MAP/Kode Jenis
Pajak 411122, Kode Jenis Setoran 900);
f. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dalam Negeri yang dipungut oleh Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai (MAP/Kode Jenis Pajak 411221, Kode Jenis Setoran 900); Pajak
Penghasilan (PPh) Final Pasal 4 ayat (2) atas pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan
yang dilakukan oleh orang pribadi yang tidak mempunyai NPWP (MAP/Kode Jenis
Pajak411128, Kode Jenis Setoran 402) sepanjang telah mendapat Surat Keterangan dari Kepala
Kantor Pelayanan Pajak setempat yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak wajib
memiliki NPWP;
g. Pajak Penghasilan (PPh) Final Pasal 4 ayat (2) atas persewaan tanah dan/atau bangunan
yang dilakukan oleh orang pribadi yang tidak mempunyai NPWP (MAP/ Kode Jenis Pajak
411128, Kode Jenis Setoran 403) sepanjang telah mendapat Surat Keterangan dari Kepala
Kantor Pelayanan Pajak setempat yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak wajib
memiliki NPWP;
h. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Kegiatan Membangun Sendiri yang dilakukan oleh orang
pribadi yang tidak mempunyai NPWP (MAP/Kode Jenis Pajak 411211, Kode Jenis Setoran
103).

Kantor Penerima Pembayaran diperkenankan melayani pembayaran atau penyetoran pajak


dengan menggunakan SSP Khusus setelah mendapatkan persetujuan khusus dari Direktur
Jenderal Pajak.

c. SSPCP (Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak dalam Rangka Impor) Adalah SSP yang
digunakan oleh Importir atau Wajib Bayar dalam rangka impor. SSPCP dibuat dalam rangka 8
(delapan) yang peruntukannya sebagai berikut:
42

a. Lembar ke-la: untuk KPBC melalui Penyetor/ Wajib Pajak;


b. Lembar ke-lb : untuk Penyetor/Wajib Pajak;
c. Lembar ke-2a: untuk KPBC melalui KPPN;
d. Lembar ke-2b dan ke-2c : untuk KPP melalui KPPN;
e. Lembar ke-3a dan ke-3b : untuk KPP melalui Penyetor/WP atau KPBC;
f. Lembar ke-4 : untuk Bank Devisa Persepsi, Bank Persepsi atau PT Pos Indonesia

Hal-hal khusus tentang SSPCP adalah:


a. SSPCP yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN adalah SSPCP lembar ke-3a.

b. Apabila dalam SSPCP tersebut terdapat pembayaran Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah (PPnBM) impor, maka SSPCP yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Penjualan Atas Barang Mewah adalah fotokopi SSPCP lembar ke-3a.
c. SSPCP yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa PPh adalah SSPCP lembar ke-3b.
d. SSPCP yang diterima KPP dari KPPN, digunakan untuk administrasi penerimaan
Pajak Penghasilan adalah SSPCP lembar ke-2b.
e. SSPCP yang diterima KPP dari KPPN, digunakan untuk administrasi penerimaan
Pajak Pertambahan Nilai adalah SSPCP lembar ke-2c.
f. Apabila dalam SSPCP tersebut terdapat pembayaran Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah (PPnBM) impor, maka untuk administrasi penerimaan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah digunakan fotokopi SSPCP lembar ke-2c.
g. Apabila terdapat kekurangan pembayaran pajak atas impor selain yang ditagih
dengan Surat Tagihan Pajak (STP) atau surat ketetapan pajak maka pelunasan
kekurangan pembayaran tersebut dilakukan dengan menggunakan SSPCP.

d. SSCP (Surat Setoran Cukai atas Barang Kena Cukai dan PPN Hasil Tembakau Buatan
Dalam Negeri)
Adalah SSP yang digunakan oleh Pengusaha untuk cukai atas Barang Kena Cukai dan PPN hasil
tembakau buatan dalam negeri.

SSCP dibuat dalam rangkap 6 (enam) yang peruntukannya sebagai berikut:


a. Lembar ke-la : untuk KPBC melalui Penyetor/ Wajib Pajak;
b. Lembar ke-lb : untuk Penyetor/Wajib Pajak;
c. Lembar ke-2a : untuk KPBC melalui KPPN;
d. Lembar ke-2b : untuk KPP melalui KPPN;
e. Lembar ke-3 : untuk KPP melalui Penyetor/ Wajib Pajak;
f. Lembar ke-4 : untuk Bank Persepsi atau PT Pos Indonesia.
Apabila terdapat kekurangan pembayaran pajak untuk cukai atas Barang Kena Cukai dan PPN hasil
tembakau buatan dalam negeri selain yang ditagih dengan Surat Tagihan Pajak (STP) atau surat
ketetapan pajak maka pelunasan kekurangan pembayaran tersebut dilakukan dengan menggunakan
SSCP.
2. Pemotongan/Pemungutan
Selain pembayaran bulanan yang dilakukan sendiri, ada pembayaran bulanan yang dilakukan dengan
mekanisme pemotongan/pemungutan yang dilakukan oleh pihak ketiga. Adapun jenis Pajak Penghasilan
yang pembayarannya melalui pemotongan/pemungutan adalah PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal
23, PPh Pasal 26, dan PPN dan PPnBM.
43

1. PPh Pasal 21 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga atas penghasilan
yang diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau
kegiatan yang dilakukan (seperti gaji yang diterim dipotong oleh perusahaan tempat pegawai
tersebut bekerja).
2. PPh Pasal 22 adalah pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak ketig
dengan pembayaran atas penyerahan barang, impor barang dan kegi
bidang-bidang tertentu (seperti penyerahan barang oleh rekanan kepada bendaharawan pemenntah).
3. PPh Pasal 23 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga
dengan penghasilan tertentu seperti deviden, bunga, royalty, sewa, dan jasa yang
diterima oleh Wajib Pajak badan dalam negeri, dan bentuk usaha tetap (BUT).
4. PPh Pasal 26 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga
dengan penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri.
5. PPh Final Pasal 4 ayat (2) merupakan pajak yang sifat pemungutannya
dimaksud final bahwa pajak yang dipotong, dipungut oleh pihak ketiga
sendiri tidak dapat dikreditkan (bukan pembayaran di muka) terhadap
pada akhir tahun dalam penghitungan pajak penghasilan pada surat pemberitahuan
(SPT) Tahunan. Beberapa contoh penghasilan yang dikenakan PPh final adalah bunga
deposito, penjualan tanah dan bangunan, persewaan tanah dan bangunan, hadiah
undian, bunga obligasi dan Iain-lain.
6. PPh Pasal 15 adalah pemotongan pajak penghasilan yang dilakukan oleh, wajib pajak tertentu yang
menggunakan norma penghitungan khusus, antara lain { pelayaran atau penerbangan international,
perusahaan asuransi luar negeri,pengeboran minyak, gas dan panas bumi, perusahaan dagang asing,
perus: melakukan investasi dalam bentuk bangun guna serah.
7. Pajak pertambahan nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas nilai tan
barang dan jasa.
8. Pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) adalah pajak khusus untt
barang mewah.

Seperti halnya PPh Pasal 25, pemotongan/pemungutan tersebut mi angsuran pajak. Untuk PPh
dikreditkan pada akhir tahun, sedangkan PPN di] pada masa diberlakukannya pemungutan dengan
mekanisme Pajak Keluaran Pajak Masukan (PM).
Apabila pihak-pihak yang diberi kewajiban oleh Ditjen Pajak untuk mi pemotongan/pemungutan
tidak melakukan sesuai dengan ketentuan yang berla dapat dikenakan sanksi administrasi berupa bunga
2% dan kenaikan 100%. Perr lebih lanjut tentang penghitungan, dan tata cara pemotongan/pemungutan
ada pada bab berikutnya.

3. Pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT)


a. Fungsi SPT
Surat Pemberitahuan (SPT) merupakan sarana bagi Wajib Pajak untuk melaporkan hal-hal yang berkaitan
dengan kewajiban perpajakan. SPT harus diisi dengan benar, lengkap, dan jelas dalam bahasa Indonesia
dengan menggunakan huruf latin dan angka arab, satuan mata uang rupiah dan menandatangani serta
menyampaikannya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.
Fungsi SPT bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan
tentang:
44

1. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui
pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian
Tahun Pajak;
2. penghasilan yang merupakan Objek Pajak dan/atau bukan Objek Pajak;
3. harta dan kewajiban; dan/atau
4. pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan
pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Bagi Pengusaha Kena Pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
1. pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran; dan
2. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena
Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, sesuai dengan ketentuar
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebaga sarana untuk
melaporkadan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atai dipungut dan disetorkannya.

b. Jenis SPT
Surat Pemberitahuan (SPT) dapat dibedakan sebagai berikut:
1. SPT Masa, yaitu SPT yang digunakan untuk melakukan pelaporan atas pembayarar pajak bulanan.
SPT Masa terdiri atas:
a. SPT Masa PPh Pasal 21 dan Pasal 26;
b. SPT Masa PPh Pasal 22;
c. SPT Masa PPh Pasal 23 dan Pasal 26;
d. SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2);
e. SPT Masa PPh Pasal 15;
f. SPT Masa PPN dan PPnBM;
g. SPT Masa PPN dan PPnBM bagi Pemungut.

2. Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan, yaitu SPT yang digunakan untuk pelaporan tahunan.
SPT Tahunan terdiri atas:
a. SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan (1771-Rupiah);
b. SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan yang diizinkan menyelenggarakan pembukuan
dalam bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat (1771 - US);
c. SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi yang mempunyai penghasilan dari
usaha/pekerjaan bebas yang menyelenggarakan pembukuan atau norma penghitungan
penghasilan neto; dari satu atau lebih pemberi kerja; yang dikenakan PPh final dan/atau
bersifat final; dan dari penghasilan lain (1770);
d. SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi yang mempunyai penghasilan dari
satu atau lebih pemberi kerja; dalam negeri lainnya; dan yang dikenakan PPh final
dan/atau bersifat final (1770 S);
e. SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi yang mempunyai penghasilan dari
satu pemberi kerja dengan penghasilan bruto tidak melebihi Rp30 juta setahun
(1770SS);
45

c. Batas Waktu Pembayaran dan Pelaporan. Batas waktu pembayaran dan pelaporan pajak
untuk setiap jenis pajak dapat dilihat pada tabel berikut.

No. Jenis SPT Masa Batas Waktu Pembayaran Batas Waktu Pelaporan
1. PPhPasal21/26 tanggal 10 bulan berikutnya 20 hari setelah akhir masa pajak

2. PPh Pasal 23/26 tanggal 10 bulan berikutnya 20 hari setelah akhir masa pajak

3. PPh Pasal 25 tanggal 15 bulan berikutnya 20 hari setelah akhir masa pajak
PPh Pasal 22, PPN,
4. dan PPnBM oleh Bea 1 hari setelah dipungut 7 hari setelah pembayaran
Cukai
PPh Pasal 22—
pada hari yang sama saat
5. Bendaharawan tanggal 14 bulan berikutnya
penyerahan barang
Pemerintah
PPh Pasal 22— sebelum Delivery Order
6.
Pertamina dibayar
PPh Pasal 22—
7. tanggal 10 bulan berikutnya 20 hari setelah akhir masa pajak
Pemungut tertentu
8. PPh Pasal 4 ayat (2) tanggal 10 bulan berikutnya 20 hari setelah akhir masa pajak
PPN dan PPnBM- akhir bulan berikutnya
9. akhir masa pajak berikutnya
PKP sebelum penyampaian SPT
PPN dan PPnBM-
10. tanggal 17 bulan berikutnya 20 hari setelah akhir masa pajak
Bendaharawan
PPN dan PPnBM—
11. Pemungut Non- tanggal 15 bulan berikutnya 20 hari setelah akhir masa pajak
Bendaharawan
• tanggal 25 bulan ketiga • paling lama 3 bulan setelah
• PPh Wajib Pajak setelah berakhirnya tahun akhir tahun pajak atau bagian
Orang Pribadi atau bagian tahun pajak tahun pajak
12.
• PPh Wajib Pajak • tanggal 25 bulan keempat • paling lama 4 bulan
Badan setelah berakhirnya tahun setelah akhir tahun pajak atau
atau bagian tahun pajak bagian tahun pajak

PKP: Pengusaha Kena Pajak.

d. Wajib Pajak dengan kriteria tertentu


Wajib Pajak dengan kriteria tertentu (antara lain Wajib Pajak usaha kecil) dapat:
1.menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk beberapa
Masa Pajak sekaligus dengan syarat pembayaran seluruh pajak yang wajib dilunasi
menurut Surat Pemberitahuan Masa tersebut dilakukan sekaligus paling lama dalam
Masa Pajak yang terakhir; dan/atau
46

2. menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa selain yang disebut pada nomor 1 untuk
beberapa Masa Pajak sekaligus dengan syarat pembayaran untuk masing-masing Masa
Pajak dilakukan sesuai batas waktu untuk Masa Pajak yang bersangkutan.

e. Perpanjangan Waktu Pelaporan SPT Tahunan


Apabila Wajib Pajak, baik orang pribadi maupun badan, ternyata tidak dapat menyampaikan
Surat Pemberitahuan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan karena luasnya kegiatan usaha
dan masalah-masalah teknis penyusunan laporan keuangan, atau sebab lainnya sehingga sulit
untuk memenuhi batas waktu penyelesaian dan memerlukan kelonggaran dari batas waktu yang
telah ditentukan, Wajib Pajak dapat memperpanjang penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara lain
misalnya dengan pemberitahuan secara elektronik kepada Direktur Jenderal Pajak. Jangka waktu
tersebut paling lama 2 (dua) bulan. Apabila sampai dengan batas perpanjangan ini, SPT tetap
belum disampaikan, dapat diterbitkan Surat Teguran.

SPT dianggap tidak disampaikan apabila:


1. Surat Pemberitahuan tidak ditandatangani;
2. Surat Pemberitahuan tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen yang
ditetapkan;
3. Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar disampaikan setelah 3 (tiga) tahun
sesudah berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dan Wajib
Pajak telah ditegur secara tertulis; atau
4. Surat Pemberitahuan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan
pemeriksaan atau menerbitkan surat ketetapan pajak.

f. Bentuk dan Isi SPT.


Untuk kepentingan keseragaman dan mempermudah pengisian serta pengadministrasian perpajakan,
bentuk dan isi SPT, keterangan, dokumen yang harus dilampirkan dan cara yang digunakan untuk
menyampaikan SPT diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Secara umum, Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sekurang-kurangnya memuat jumlah
peredaran, jumlah penghasilan, jumlah Penghasilan Kena Pajak, jumlah pajakyang terutang, jumlah
kredit pajak, jumlah kekurangan atau kelebihan pajak, serta harta dan kewajiban di luar kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas bagi Wajib Pajak orang pribadi. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan harus dilengkapi dengan laporan keuangan
berupa neraca dan laporan laba rugi serta keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak. Sedangkan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sekurang-
kurangnya memuat jumlah Dasar Pengenaan Pajak, jumlah Pajak Keluaran, jumlah Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan, dan jumlah kekurangan atau kelebihan pajak.

g. Tata Cara Pengisian dan Penyampaian SPT.


Tata cara pengisian SPT diatur sebagai berikut.
1.Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar,
lengkap, jelas, dan menandatanganinya.
2.Surat Pemberitahuan Wajib Pajak badan harus ditandatangani oleh pengurus atau
direksi.
47

3.Dalam hal Wajib Pajak menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk
mengisi dan menandatangani Surat Pemberitahuan, surat kuasa khusus tersebut harus
dilampirkan pada Surat Pemberitahuan.
4. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang wajib
menyelenggarakan pembukuan harus dilampiri dengan laporan keuangan berupa
neraca dan laporan laba rugi serta keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung
besarnya Penghasilan Kena Pajak.
5.Dalam hal laporan keuangan diaudit oleh Akuntan Publik tetapi tidak dilampirkan
pada Surat Pemberitahuan, Surat Pemberitahuan dianggap tidak lengkap dan tidak
jelas, sehingga Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan.

h. Pembetulan SPT.
Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah
disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum
melakukan tindakan pemeriksaan.
Apabila pembetulan Surat Pemberitahuan menyatakan rugi atau lebih bayar,
pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa
penetapan. Daluwarsa penetapan adalah jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak
atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak.
Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur
Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri
dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan
pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan
pemeriksaan, yang dapat mengakibatkan:

1. pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil;
2. rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih besar;
3. jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil; atau
4. jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil dan proses pemeriksaan
tetap
dilanjutkan.

Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah disampaikan,
dalam hal Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat
Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak
sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang
berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan
yang akan dibetulkan tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima Surat
Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau
Putusan Peninjauan Kembali, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan
pemeriksaan.
Contoh 1
PT A menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2016 yang
menyatakan:
Penghasilan Neto sebesar.............................................................................................Rp 250.000.000
48

'
Kompensasi kerugian berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan tahun 2016......................................................................................Rp 200.000.000 (-)
Penghasilan Kena Pajak................................................................................................Rp 50.000.000
Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2016 dilakukan pemeriksaan, dan
pada tanggal 6 Januari 2017 diterbitkan surat ketetapan pajak yang menyatakan rugi fiskal sebesar
Rp80.000.000.
Berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut, Direktur Jenderal Pajak akan mengubah
perhitungan Penghasilan Kena Pajak tahun 2016 menjadi sebagai berikut.
Penghasilan Neto Rp 250.000.000
Rugi menurut ketetapan pajak tahun 2016 Rp 80.000.000 (-)
Penghasilan Kena Pajak Rp 170.000.000

Dengan demikian, penghasilan kena pajak dari Surat Pemberitahuan yang semula Rp50.000.000
(didapat dari Rp250.000.000 – Rp200.000.000), maka setelah pembetulan menjadi Rpl70.000.000
(didapat dari Rp250.000.000 – Rp80.000.000).

Contoh 2
PT B menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2018 yang
menyatakan:
Penghasilan Neto sebesar Rp 350.000.000
Kompensasi kerugian berdasarkan
Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan Tahun 2017 Rp 240.000.000 (-)
Penghasilan Kena Pajak Rp 110.000.000

Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2017 dilakukan pemeriksaan dan
pada tanggal 6 Januari 2017 diterbitkan surat ketetapan pajak yang menyatakan rugi fiskal sebesar
Rp260.000.000.
Berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut Direktur Jenderal Pajak akan mengubah
perhitungan Penghasilan Kena Pajak tahun 2018 menjadi sebagai berikut.
Penghasilan Neto Rp 350.000.000
Rugi menurut ketetapan pajak tahun 2017 Rp 260.000.000 (-)
Penghasilan Kena Pajak Rp 90.000.000
Dengan demikian, penghasilan kena pajak dari Surat Pemberitahuan yang semula Rp
110.000.000 (didapat dari Rp300.000.000 - Rp200.000.000), maka setelah pembetulan menjadi
Rp90.000.000 (didapat dari Rp350.000.000 - Rp260.000.000).

E. SURAT KETETAPAN PAJAK


Surat ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar.
1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu
5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau
Tahun Pajak, apabila terjadi hal-hal sebagai berikut.
49

1. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang terutang tidak
atau kurang dibayar;
2. apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah
ditetapkan dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya
sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
3. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan
selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen);
4. apabila kewajiban pembukuan dan pemeriksaan (sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 atau Pasal 29) tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang
terutang; atau
5. apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan.
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana
dimaksud huruf a dan huruf e ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua
persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.

2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)


Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian
Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan
jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tidak akan mungkin diterbitkan sebelum didahului
dengan penerbitan surat ketetapan pajak. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
dilakukan dengan syarat adanya data baru termasuk data yang semula belum terungkap yang
menyebabkan penambahan pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak sebelumnya.
Apabila masih ditemukan lagi data baru termasuk data yang semula belum terungkap pada saat
diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan/atau data baru termasuk data yang
semula belum terungkap yang diketahui kemudian oleh Direktur Jenderal Pajak, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan masih dapat diterbitkan lagi.

3. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)


Surat Ketetapan Pajak Nihil diterbitkan apabila setelah dilakukan pemeriksaan, ditemukan adanya
jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau
pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak. Untuk masing-
masing jenis pajak, Surat Ketetapan Pajak Nihil diterbitkan untuk:
a. Pajak Penghasilan, apabila jumlah kredit pajak sama dengan pajak yang terutang atau pajak tidak
terutang dan tidak ada kredit pajak.

b. Pajak Pertambahan Nilai, apabila jumlah kredit pajak sama dengan jumlah pajakyang
terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. Jika terdapat pajak
50

yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, jumlah pajak yang terutang
dihitung dengan cara jumlah Pajak Keluaran dikurangi dengan pajak yang dipungut
oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
c. Pajak Penjualan atas Barang Mewah, apabila jumlah pajak yang dibayar sama dengan
jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada pembayaran
pajak.

4. Surat Ketetapan Pajak Labih Bayar (SKPLB)


Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan untuk:
1. Pajak Penghasilan, apabila jumlah kredit pajak (jumlah pajak yang dibayar) lebih besar
daripada jumlah pajak yang terutang;
2. Pajak Pertambahan Nilai, apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak
yang terutang. Jika terdapat pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan
Nilai, jumlah pajak yang terutang dihitung dengan cara jumlah Pajak Keluaran dikurangi
dengan pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut; atau
3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah, apabila jumlah pajak yang dibayar lebih besar
daripada jumlah pajak yang terutang.
Prosedur penerbitan SKPLB adalah sebagai berikut.

1. Wajib Pajak mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak.
Permohonan dapat disampaikan dengan mengisi kolom dalam SPT atau dengan surat
tersendiri.
2. Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak, harus menerbitkan SKPLB paling lambat 12 (dua belas)
bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap. Ketentuan ini tidak berlaku
terhadap Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan tindak
pidana di bidang perpajakan.
3. Apabila dalam jangka waktu tersebut (12 bulan sejak surat permohonan diterima),
Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu surat keputusan, permohonan
pengembalian kelebihan pajak dianggap dikabulkan dan SKPLB harus diterbitkan
dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir.
4. Apabila SKPLB terlambat diterbitkan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan setelah jangka
waktu tersebut berakhir, maka Wjib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua
persen) sebulan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu tersebut sampai dengan saat
diterbitkan SKPLB.
Apabila pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran paja dilakukan
terhadap Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan tinds pidana di bidang
perpajakan (huruf b), tetapi tidak dilanjutkan dengan penyidikan, ate dilanjutkan dengan penyidikan
tetapi tidak dilanjutkan dengan penuntutan tindak pidar di bidang perpajakan, atau dilanjutkan dengan
penyidikan dan penuntutan tindak pidana < bidang perpajakan tetapi diputus bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum berdasarka putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan
dalam hal kepac Wajib Pajak diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, kepada Wajib Pajak
diberika imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empa bulan
dihitung sejakberakhirnya jangka waktu 12 (duabelas) bulan sejak surat permohona diterima sampai
dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
51

5.Surat Tagihan Pajak (STP)


Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa
bunga dan atau denda. Surat Tagihan Pajak diterbitkan apabila:
1. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
2. dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis
dan/atau salah hitung;
3. Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga;
4. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak membuat
faktur pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu;
5. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi
faktur pajak secara lengkap, selain:
a. identitas pembeli; atau
b. identitas pembeli serta nama dan tandatangan, dalam hal penyerahan dilakukan oleh
Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran;
6. Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan
faktur pajak; atau
7. Pengusaha Kena Pajak gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak
Masukan.

Surat Tagihan Pajak mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan
pajak. Pengenaan sanksi berkaitan dengan Surat Tagihan Pajak diuraikan sebagai berikut.;
1. Sanksi administrasi berupa bunga 2% (dua persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan
dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun
pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak atas Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan
karena Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, atau dari hasil penelitian Surat
Pemberitahuan yang menunjukkan pajak kurang dibayar karena terdapat salah tulis dan/atau salah
hitung.

Contoh 1 Pajak Penghasilan


Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar. Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun
2012 setiap bulan sebesar Rpl00.000.000 jatuh tempo misalnya tiap tanggal 15. Pajak Penghasilan
Pasal 25 bulan Juni 2012 dibayar tepat waktu sebesar Rp40.000.000.
Atas kekurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 tersebut diterbitkan Surat Tagihan Pajak pada tanggal 18
September 2012 dengan penghitungan sebagai berikut:
a. Kekurangan bayar Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan Juni 2012
(Rpl00.000.000 - Rp40.000.000) Rp 60.000.000
b. Bunga: 3 x 2% x Rp60.000.000 Rp 3.600.000 (+)
c. Jumlah yang hams dibayar Rp 63.600.000

Contoh 2 Hasil Penelitian Surat Pemberitahuan


Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi tahun 2011 yang
disampaikan pada tanggal 31 April 2012 setelah dilakukan penelitian ternyata terdapat salah hitung
yang menyebabkan Pajak Penghasilan kurang bayar sebesar Rp5.000.000. Atas kekurangan Pajak
Penghasilan tersebut diterbitkan Surat Tagihan Pajak pada tanggal 12 Juni 2010 dengan
penghitungan sebagai berikut:
52

a. Kekurangan bayar Pajak Penghasilan Rp 5.000.000


b. Bunga: 3 x 2% x Rp5.000.000 Rp 600.000 (+)
c. Jumlah yang harus dibayar Rp 5.600.000

2. Sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari dasar pengenaan pajak dikenakan
terhadap pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak membuat
faktur pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu; atau pengusaha yang telah dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi faktur pajak secara lengkap; atau Pengusaha Kena Pajak
melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak.

3. Sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) dari jumlah pajak yang ditagih kembali,
dihitung dari tanggal penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran pajak sampai
dengan tanggal penerbitan Surat Tagihan Pajak terhadap Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi
dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan.

Surat Tagihan Pajak juga dapat diterbitkan apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali menyebabkan jumlah pajak yang masih
harus dibayar bertambah, dan pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar. Atas pajak yang
tidak atau kurang dibayar, maka dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen)
perbulan untuk seluruh masa pajak yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan
atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak.

Contoh 1
Jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebesar Rp
20.000.000 diterbitkan pada tanggal 7 Oktober 2012, dengan batas akhir pelunasan tanggal 6 November 2009.
Jumlah pembayaran sampai dengan 6 November 2012 sebesar Rp10.000.000. Pada tanggal 1 Desember
2012 diterbitkan Surat Tagihan Pajak dengan penghitungan sebagai berikut.
a. Pajak yang masih harus dibayar Rp 20.000.000
b. Dibayar sampai dengan jatuh tempo pelunasan Rp 10.000.000 (-)
Kurang dibayar RP.10.000.000
Bunga (6 Nov s.d. 1 Des 2012):
1 x 2% x Rp10.000.000 = Rp200.000

Contoh 2
Jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebesar
Rpl0.000.000 diterbitkan pada tanggal 7 Oktober 2012, dengan batas akhir pelunasan tanggal 6
November 2012. Wajib Pajak membayar sebesar Rpl0.000.000 pada tanggal 3 Desember 2012 dan pada
tanggal 5 Desember 2012 diterbitkan Surat Tagihan Pajak. Sanksi administrasi berupa bunga dihitung
sebagai berikut:
a. Pajak yang masih harus dibayar Rp 10.000.000
b. Dibayar setelah jatuh tempo pelunasan Rp.10.000.000(-)
Kurang dibayar Rp 0
Bunga (6 Nov s.d. 5 Des 2012):
1 x 2% x Rp 10.000.000 = Rp 200.000
53

6. Surat Paksa
Surat Paksa merupakan salah satu sarana penagihan pajak. Surat Paksa diterbitkan karena jumlah pajak
yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding, dan Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang
masih harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktu
yang telah ditetapkan. Jangka waktu yang dimaksud adalah 1 bulan sejak tanggal diterbitkannya Surat
Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan,
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, dan Putusan Peninjauan
Kembali, atau 3 (tiga) bulan bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu. Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa diatur tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 sebagai
perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997.

F. PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK

1. Kelebihan Pajak
Jika setelah diadakan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dengan jumla kredit pajak
menunjukkan jumlah selisih lebih (jumlah kredit pajak lebih besar daripac jumlah pajak yang
terutang) atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusn) tidak terutang, Wajib Pajak berhak
untuk meminta kembali kelebihan pembayaran pajak dengan catatan Wajib Pajak tersebut tidak
mempunyai utang pajak.
Kelebihan pembayaran pajak sebagai akibat adanya Surat Keputusan Keberataj Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Sur; Keputusan
Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapa Pajak, Surat Keputusan
Pembatalan Ketetapan Pajak, dan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, serta Surat
Keputusan Pemberian Imbalan Bunga dikembalikan kepada Wajib Pajak.
Apabila Wajib Pajak masih mempunyai utang pajak yang meliputi semua jen pajak
baik di pusat maupun cabang-cabangnya, kelebihan pembayaran tersebut hari diperhitungkan lebih
dahulu dengan utang pajak tersebut dan jika masih terdapat sis lebih, dikembalikan kepada Wajib
Pajak.

2.Batas waktu pengembalian kelebihan pembayaran pajak


Batas waktu pengembalian kelebihan pembayaran pajak ditetapkan paling lama satu bulan untuk:
a. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan
tertulis tentang pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
b. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, dihitung sejak tanggal penerbitan;
c. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, dihitung sejak tanggal
penerbitan;
d. Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi
Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan
Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, dihitung sejak tanggal
penerbitan;
e. Putusan Banding dihitung sejak diterimanya Putusan Banding oleh Kantor Direktorat
Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan putusan pengadilan; atau
f. Putusan Peninjauan Kembali dihitung sejak diterimanya Putusan Peninjauan Kembali
oleh Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan putusan
54

pengadilan sampai dengan saat diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan


Pembayaran Pajak.
Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah jangka waktu 1 (satu) bulan,
Pemerintah memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas keterlambatan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak, dihitung sejak batas waktu (yang telah disebutkan
sebelumnya) berakhir sampai dengan saat dilakukan pengembalian kelebihan.

3. Kelebihan Pembayaran Pajak bagi Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu


Wajib Pajak dengan kriteria tertentu adalah Wajib Pajak yang:
1. tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan;
2. tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak
yang telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak;
3. Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan
pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-
turut;
4. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.
Apabila permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diajukan oleh Wajib Pajak dengan
kriteria tertentu (setelah dilakukan penelitian), Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak
permohonan diterima secara lengkap (untuk Pajak Penghasilan), dan paling lama 1 (satu) bulan sejak
permohonan diterima secara lengkap (untuk Pajak Pertambahan Nilai).
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dalam jangka waktu 5 tahun setelah
melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak dengan kriteria tertentu yang telah memperoleh
pengembalian pendahuluan kelebihan pajak. Surat ketetapan pajak tersebut dapat berupa Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
Wajib Pajak harus membayar jumlah kekurangan pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak.

Contoh 1 Pajak Penghasilan


1. Wajib Pajak telah memperoleh pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebesar
Rp80.000.000.
2. Dari pemeriksaan diperoleh hasil sebagai berikut.
a. Pajak Penghasilan yang terutang sebesar Rp 100.000.000
b. Kredit pajak, yaitu:
1.) Pajak Penghasilan Pasal 22 Rp 20.000.000
2.) Pajak Penghasilan Pasal 23 Rp 40.000.000
3.) Pajak Penghasilan Pasal 25 Rp 90.000.000
Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan
penghitungan sebagai berikut.
a. Pajak Penghasilan yang terutang sebesar Rp 100.000.000
b. Kredit Pajak, yaitu:
1.) Pajak Penghasilan Pasal 22 Rp 20.000.000
2.) Pajak Penghasilan Pasal 23 Rp 40.000.000
3.) Pajak Penghasilan Pasal 25 Rp 90.000.000 (+)
55

Rp 150.000.000
c. Jumlah Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak Rp 80.000.000 (-)
d. Jumlah pajak yang dapat dikreditkan Rp.70.000.000(-)
Pajak yang tidak/kurang dibayar Rp.30.000.000
Sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% Rp.30.000.000(+)
Jumlah yang masih hams dibayar Rp.60.000.000

Contoh 2 Pajak Pertambahan Nilai


1. Pengusaha Kena Pajak telah memperoleh pengembalian pendahuluan kelebihan pajak
sebesar Rp60.000.000.
2. Dari pemeriksaan diperoleh hasil sebagai berikut.
a. Pajak Keluaran Rp 100.000.000

b. Kredit pajak, yaitu Pajak Masukan Rp 150.000.000


Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan
penghitungan sebagai berikut.
a. Pajak Keluaran Rp 100.000.000
b. Kredit Pajak:
. *Pajak Masukan Rp 150.000.000
c. Jumlah Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak Rp 60.000.000 (-)
d. Jumlah pajak yang dapat dikreditkan Rp 90.000.000 (-)

Pajak yang kurang dibayar Rp 10.000.000


Sanksi administrasi kenaikan 100% Rp 10.000.000 (+)
Jumlah yang masih harus dibayar Rp 20.000.000

4.Kelebihan Pembayaran Pajak bagi Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu
Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu adalah:
1. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
2. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan jumlah
peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu;
3. Wajib Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai
dengan jumlah tertentu; atau
4. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai dengan jumlah penyerahan dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu.
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak dari Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu, menerbitkan Surat
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan
diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima
secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai.
Setelah melakukan pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang menerima pengembalian pendahuluan
kelebihan pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak. Jika berdasarkan hasil
pemeriksaan, ternyata diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah pajak yang kurang
dibayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen).
56

5. Kelebihan Pembayaran Pajak bagi Orang Pribadi Bukan Subjek Pajak Dalam Negeri
Orang pribadi yang bukan Subjek Pajak dalam negeri yang melakukan pembelian Barang Kena Pajak di
dalam daerah pabean yang tidak dikonsumsi di daerah pabean dapat diberikan pengembalian Pajak
Pertambahan Nilai yang telah dibayar, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
Tata Cara Pembayaran Kelebihan Pajak
Tata cara pembayaran kembali kelebihan pembayaran pajak diatur sebagai berikut.
1. Pengembalian pembayaran pajak yang masih tersisa tersebut dilakukan dengan
menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP).
2. Kelebihan pembayaran pajak dikembalikan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas
nama Direktur Jenderal Pajak dengan menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian
Kelebihan Pembayaran Pajak (SKPKPP).
3. Atas dasar SKPKPP tersebut, Kantor Pelayanan Pajak atas nama Menteri Keuangan
menerbitkan SPMKP per jenis pajak dan per masa/tahun pajak.
4. SPMKP dibuat dalam rangkap 4 (empat) dengan peruntukan sebagai berikut:
a. Lembar ke-1 dan lembar ke-2 untuk Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara
mitra kerja Kantor Pelayanan Pajak yang menerbitkan SPMKP;
b. Lembar ke-3 untuk Wajib Pajak yang bersangkutan; dan
c. Lembar ke-4 untuk Kantor Pelayanan Pajak yang menerbitkan 5 PMKP.
5. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara mengembalikan lembar ke-2 SPMKP disertai
Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) lembar ke-2 kepada penerbit SPMKP setelah
dibubuhi cap tanggal dan nomor penerbitan SP2D.
6. SPMKP beserta SKPKPP wajib disampaikan Kantor Pelayanan Pajak ke Kantor
Pelayanan Perbendaharaan Negara paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum jangka
waktu 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud pada huruf b di atas terlampaui.
Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib menyampaikan spesimen tanda tangannya ke Kantor Pelayanan
Perbendaharaan Negara. Dalam hal pejabat berhalangan, maka pejabat yang ditunjuk wajib
menyampaikan spesimen tanda tangannya ke Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara.

G. KEBERATAN, BANDING, DAN PENINJAUAN KEMBALI


1. Keberatan
Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak, dan pemotongan atau pemungutan
pajak tidak sebagaimana mestinya, dapat mengajukan keberatan. Keberatan hanya ditujukan kepada
Direktur Jenderal Pajak. Keberatan tersebut diajukan atas suatu:
1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
3. Surat Ketetapan Pajak Nihil;
4. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
5. pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Tata cara pengajuan keberatan adalah sebagai berikut.
1. Satu keberatan harus diajukan terhadap satu jenis pajak dan satu masa pajak atau tahun
pajak. Misalnya, keberatan atas ketetapan Pajak Penghasilan tahun 2007 dan tahun
2008, maka harus diajukan dua buah surat keberatan untuk dua tahun tersebut.
2. Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan
jumlah pajak terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi menurut
penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar penghitungan.
57

3. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu tiga bulan sejak tanggal dikirim surat
ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak, kecuali apabila
Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi
karena keadaan di luar kekuasaannya.
4. Wajib Pajak yang masih mempunyai utang pajak, wajib melunasi pajak yang masih harus
dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan
akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan.
5. Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan di atas tidak dianggap sebagai Surat
Keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan.
6. Dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima,
Direktur Jenderal Pajak harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. Atas
keberatan yang diajukan, Direktur Jenderal Pajak dapat mengabulkan seluruhnya atau
sebagian, menolak atau menambah besar.
7. Apabila dalam jangka waktu tersebut nomor 6 telah terlampaui dan Direktur Jenderal
Pajak tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan Wajib Pajak dianggap
dikabulkan.
8. Terhadap Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat
Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, yang seharusnya dilunasi
dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan, tetapi belum dibayar pada
saat pengajuan keberatan, jangka waktu pelunasannya tertangguh sampai dengan 1
(satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
9. Terhadap Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat
Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali,
yang dialami oleh Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu, yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, yang seharusnya dilunasi
dalam jangka waktu 2 (dua) bulan sejak tanggal diterbitkan, tetapi belum dibayar pada
saat pengajuan keberatan, jangka waktu pelunasannya tertangguh sampai dengan 1
bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
10.Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain
dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan, selain data dan informasi yang
pada saat pemeriksaan belum diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data,
informasi, atau keterangan lain, dimaksud tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatannya.

2. Banding
Apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan Surat Keputusan Keberatan atas keberatan yang
diajukannya, Wajib Pajak masih dapat mengajukan banding kepada Badan Peradilan Pajak.
Tata cara pengajuan permohonan banding adalah sebagai berikut.
1. Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan
yang jelas paling lama 3 (tiga) bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterima dan
dilampiri dengan Salinan Surat Keputusan Keberatan.
2. Terhadap Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan
Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan
jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, yang seharusnya dilunasi dalam jangka
58

waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan, tetapi belum dibayar pada saat pengajuan
keberatan, jangka waktu pelunasannya tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak
tanggal penerbitan Putusan Banding.
3. Terhadap Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan
Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang dialami oleh
Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu, yang menyebabkan jumlah
pajak yang harus dibayar bertambah, yang seharusnya dilunasi dalam jangka waktu
2 (dua) bulan sejak tanggal diterbitkan, tetapi belum dibayar pada saat pengajuan
keberatan, jangka waktu pelunasannya tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak
tanggal penerbitan Putusan Banding.
4. Jumlah Pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan pada
nomor 3 tidak termasuk sebagai utang pajak.
5. Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding belum
merupakan pajak yang terutang sampai dengan Putusan Banding.
Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi
administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding
dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
Apabila putusan Pengadilan Pajak mengabulkan sebagian atau seluruh banding, kelebihan
pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

3. Peninjauan Kembali (PK)


Putusan Peninjauan Kembali adalah putusan Mahkamah Agung atas permohonan peninjauan kembali
yang diajukan oleh Wajib Pajak atau oleh Direktur Jenderal Pajak terhadap Putusan Banding atau
Putusan Gugatan dari badan peradilan pajak.
Apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan Putusan Banding, Wajib Pajak masih memiliki hak
mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat
diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak.

Pengajuan permohonan peninjauan kembali dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga)
bulan terhitung sejak diketahuinya kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan Hakim
Pengadilan pidana memperoleh kekuatan hukum tetap atau ditemukannya bukti tertulis baru atau sejak
putusan banding dikirim. Mahkamah Agung mengambil keputusan dalam jangka waktu 6 (enam)
bulan sejak permohonan Peninjauan Kembali diterima.

4. Kelebihan Pembayaran Pajak karena Keberatan, Banding, dan Peninjauan Kembali


Kelebihan pembayaran pajak ditambah imbalan bunga sebesar 2% per bulan untuk jangka waktu
paling lama 24 bulan diberikan kepada Wajib Pajak apabila:
1) Pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali
dikabulkan sebagian atau seluruhnya, selama pajak yang masih harus dibayar
(sebagaimana dimaksud dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar)
telah dibayar dan menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, dengan ketentuan sebaeai
benkut:
a. untuk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran
59

pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding,


atau Putusan Peninjauan Kembali; atau
b. untuk Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dihitung
sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sampai dengan diterbitkannya Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
2) Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat
Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak yang dikabulkan sebagian atau seluruhnya
menyebabkan kelebihan pembayaran pajak dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan
pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan,
Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan
Ketetapan Pajak;
b. untuk Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dihitung
sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sampai dengan diterbitkannya Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat
Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak; atau
c. untuk Surat Tagihan Pajak dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan
kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan
Pembatalan Ketetapan Pajak.

H. PEMBUKUAN, PEMERIKSAAN, DAN PENYIDIKAN

1. Pembukuan
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan
data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah
harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa
neraca dan laporan laba rugi pada setiap Tahun Pajak berakhir. Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan
pembukuan adalah:
1. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas di
Indonesia;
2. Wajib Pajak badan di Indonesia.

Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban pembukuan tetapi wajib melakukan pencatatan adalah:
1. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto;
2. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan pembukuan atau pencatatan:
1. Pembukuan atau pencatatan harus dilakukan dengan itikad baik dan mencerminkan
keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
2. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan
60

huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia
atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.
3. Pembukuan diselenggarakan dengan taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel
kas. Perubahan terhadap metode dan atau tahun buku, harus mendapat persetujuan
dari Direktur Jenderal Pajak.
4. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta, kewajiban,
modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian, sehingga dapat dihitung
besarnya pajak yang terutang.
5. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat
diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin dari Menteri Keuangan.

Dalam hal Wajib Pajak dikecualikan dari kewajiban pembukuan dan diwajibkan melakukan
pencatatan, pencatatan harus mencakup seluruh data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau
penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang,
termasuk penghasilan yang bukan Objek Pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.

Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain
termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara aplikasi on-line
wajib disimpan selama 10 tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang
pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak badan.
2. Pemeriksaan
Direktorat Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan tujuan lain, antara lain:
1. pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan;
2. penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak;
3. pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
4. Wajib Pajak mengajukan keberatan;
5. pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto;
6. pencocokan data dan/atau alat keterangan;
7. penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
8. penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai;
9. pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
10. penentuan saat mulai berproduksi sehubungan dengan fasilitas perpajakan; dan/atau
11. pemenuhan permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam rangka pemeriksaan adalah:


1. Pemeriksaan dapat dilakukan di kantor (Pemeriksaan Kantor) atau di tempat Wajib
Pajak (Pemeriksaan Lapangan) yang ruang lingkup pemeriksaannya dapat meliputi
satu jenis pajak, beberapa jenis pajak, atau seluruh jenis pajak, baik untuk tahun-tahun
yang lalu maupun untuk tahun berjalan.
2. Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak, termasuk terhadap instansi
pemerintah dan badan lain sebagai pemungut pajak atau pemotong pajak.
3. Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan
Wajib Pajak dilakukan dengan menelusuri kebenaran Surat Pemberitahuan, pembukuan
atau pencatatan, dan pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya dibandingkan dengan
keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya dari Wajib Pajak.
4. Petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat
61

Perintah Pemeriksaan serta memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa.


5. Wajib Pajak yang diperiksa wajib:
a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi
dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh,
kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu
dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau
c. memberikan keterangan lain yang diperlukan baik secara tertulis dan/atau lisan,
misalnya surat pernyataan tidak diaudit oleh Kantor Akuntan Publik, keterangan
bahwa fotokopi dokumen yang dipinjamkan sesuai dengan aslinya, surat pernyataan
tentang kepemilikan harta, surat pernyataan tentang perkiraan biaya hidup,
wawancara tentang proses pembukuan Wajib Pajak, wawancara tentang proses
produksi Wajib Pajak, wawancara dengan manajemen tentang transaksi-transaksi
yang bersifat khusus.
6. Buku, catatan, dokumen, data, informasi dan keterangan lain yang diminta oleh
Pemeriksa dalam rangka pemeriksaan, wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak paling lama
satu bulan sejak permintaan disampaikan.
Terhadap Wajib Pajak badan yang pernyataan pendaftaran emisi sahamnya telah dinyatakan
efektif oleh badan pengawas pasar modal dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan dilampiri
Laporan Keuangan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik dengan pendapat Wajar Tanpa
Pengecualian, yang Surat Pemberitahuan Wajib Pajak menyatakan lebih bayar atau terpilih untuk
diperiksa berdasarkan analisis risiko,dapat dilakukan pemeriksaan melalui Pemeriksaan Kantor.

3.Penyidikan
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh
penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak
pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya. Penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pengawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan
Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang
perpajakan.
Wewenang penyidik tersebut adalah:
1. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan
dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut
menjadi lebih lengkap dan jelas;
2. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan
tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di
bidang perpajakan;

3. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan
dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
4. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di
bidang perpajakan;
5. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan,
dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
6. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak
62

pidana di bidang perpajakan;


7. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat
pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda,
dan/atau dokumen yang dibawa;
8. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
9. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
10. menghentikan penyidikan; dan/atau
11. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.

Tindak pidana di bidang perpajakan dapat berupa kealpaan atau kesengajaan yang dilakukan oleh
Wajib Pajak. Kealpaan adalah Wajib Pajak alpa tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT
tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar,
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Kealpaan dapat diartikan tidak
sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajibannya. Kriteria kesengajaan
adalah:
1. tidak mendaftarkan diri, atau penyalahgunaan NPWP atau NPPKP;
2. tidak menyampaikan SPT;
3. menyampaikan SPT dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;
4. menolak untuk dilakukan pemeriksaan;
5. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu;
6. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau
tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya; atau
7. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
I. KETENTUAN BAGI PETUGAS PAJAK
Ketentuan perpajakan yang berkaitan dengan pegawai pajak diatur sebagai berikut.
1. Pegawai pajak yang karena kelalaiannya atau dengan sengaja menghitung atau menetapkan pajak
tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
2. Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya dengan sengaja bertindak di luar
kewenangannya yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, dapat diadukan ke unit internal Departemen Keuangan yang berwenang
melakukan pemeriksaan dan investigasi dan apabila terbukti melakukannya dikenai
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya terbukti melakukan pemerasan dan
pengancaman kepada Wajib Pajak agar menguntungkan diri sendiri secara melawan
hukum diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 368 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana.
4. Pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum
dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan
sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan
63

sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
perubahannya.
5. Pegawai paj ak tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, apabila dalam
melaksanakan tugasnya didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.

J. PENAGIHAN PAJAK

1. Tahap-tahap pelaksanaan penagihan.


Pelaksanaan penagihan dilakukan dengan mengikuti tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Penerbitan Surat Teguran.
Surat Teguran akan diterbitkan dan dikirimkan kepada Wajib Pajak apabila utang pajak belum
dilunasi pada saat jatuh tempo pembayaran. Surat Teguran diterbitkan 7 hari sesudah tanggal
jatuh tempo pembayaran.
b. Penerbitan Surat Paksa.
Surat Paksa akan diterbitkan oleh pejabat yang berwenang apabila utang pajak belum dilunasi
walaupun sudah ditegur. Surat Paksa akan diterbitkan 21 hari sejak terbitnya Surat Teguran dan
akan diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada Wajib Pajak/Penanggung Pajak.

c. Penerbitan Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP).


Apabila Wajib Pajak belum melunasi utang pajak, kendatipun sudah diberitahukan adanya Surat
Paksa, maka tahap penagihan dilanjutkan dengan penerbitan SPMP, yang menjadi dasar untuk
melakukan penyitaan terhadap barang atau harta kekayaan Wajib Pajak/Penanggung Pajak dalam
rangka pelunasan utang pajak, termasuk biaya penagihan pajak. SPMP diterbitkan dalam waktu 2
kali 24 jam sejak pemberitahuan Surat Paksa. Pelaksanaan penyitaan dilakukan Jurusita Pajak
disertai saksi-saksi. Dalam pelaksanaan penyitaan harus dibuatkan Berita Acara Penyitaan.
Apabila kegiatan penyitaan telah dilaksanakan tetapi Wajib Pajak belum melunasi utang pajak
dan biaya penagihan, maka tahap penagihan selanjutnya yang akan dilakukan adalah
menghubungi Kantor Lelang untuk menetapkan tanggal pelaksanaan lelang. Sudah barang tentu
sebelum meminta tanggal pelaksanaan lelang, Jurusita Pajak harus menghubungi beberapa
instansi tertentu seperti Badan Pertanahan Negara untuk memastikan status kepemilikan Harta
Tetap yang disita.

d. Pengumuman Lelang.
Sebelum melaksanakan pelelangan barang-barang/harta kekayaan yang disita, maka harus
dilakukan pengumuman tentang akan dilaksanakannya pelelangan barang/harta kekayaan Wajib
Pajak yang telah disita. Jangka waktu 14 hari Pengumuman tersebut dapat dilakukan dengan
memasang iklan pada surat-surat kabar, dengan memperhatikan urgensinya.

e. Lelang.
Kepada Wajib Pajak/Penanggung Pajak masih diberikan kesempatan untuk melunasi utang pajak
dan biaya penagihan sebelum kegiatan lelang dimulai. Apabila Wajib Pajak/Penanggung Pajak
tetap belum melunasi utang pajak dan biaya penagihan, maka pelelangan barang/harta kekayaan
yang telah disita akan dilaksanakan. Hasil pelelangan tersebut akan digunakan untuk melunasi
utang pajak dari biaya penagihan, dimana atas utang-utang tersebut Negara mempunyai Hak
64

Mendahulu.

2. Biaya penagihan.
Di atas telah disinggung tentang adanya biaya penagihan yang harus dilunasi oleh Wajib Pajak.
Biaya-biaya ini dapat berupa: biaya pemberitahuan Surat Paksa oleh Jurusita Pajak, biaya
pelaksanaan penyitaan, biaya pengumuman lelang, berupa iklan, dan biaya-biaya lain yang berkaitan
dengan penagihan utang pajak. Sebagaimana diketahui, biaya-biaya ini harus dilunasi Wajib
Pajak/Penanggung Pajak dengan menggunakan Surat Setoran Bukan Pajak. Apabila tidak dilunasi,
maka biaya penagihan tersebut dapat ditagih dengan menerbitkan Surat Paksa sampai dengan
dilaksanakannya penyitaan dan pelelangan barang/harta kekayaan Wajib PajakfPenanggung Pajak.

3. Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa


Atas jumlah pajak yang masih harus dibayar, yang berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang
menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh
Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau
ayat (3a) dilaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan. Penagihan pajak dengan surat paksa diatur dalam Pasal 20 ayat (1
s/d 3)
Ketentuan tentang dasar penagihan pajak diatur pada pasal 18, yang menjadi dasar penagihan pajak
adalah :
a. Surat Tagihan Pajak,
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
c. serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan
d. Surat Keputusan Pembetulan,
e. Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding,
f. serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar
bertambah

4. Penagihan Seketika dan Sekaligus


Ada kalanya pelaksanaan penagihan tidak perlu mengikuti tahap-tahap sebagaimana diutarakan di
atas, yakni dalam kejadian-kejadian/perbuatan seperti disebutkan di bawah. Penagihan seperti itu
disebut penagihan seketika dan sekaligus, dengan cara penerbitan Surat Perintah Penagihan Seketika
dan Sekaligus. Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus diterbitkan sebelum penerbitan Surat
Paksa.
Jurusita Pajak melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus tanpa menunggu tanggal jatuh tempo
pembayaran berdasarkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus yang diterbitkan oleh
Pejabat apabila :
1. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk
itu;
2. Penanggung Pajak menghentikan atau secara nyata mengecilkan kegiatan perusahaan, atau
pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia, ataupun memindahtangankan barang yang dimiliki
atau dikuasainya;
3. Terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya atau
berniat untuk itu;
4. Badan usaha akan dibubarkan oleh Negara; atau
65

5. Terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda
kepailitan.
Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus sekurang-kurangnya memuat :
1. nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung
Pajak;
2. besarnya utang pajak;
3. perintah untuk membayar, dan
4. saat pelunasan utang pajak

Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan
Ketentuan mengenai Penagihan Pajak dengan Surat Paksa telah diatur dalam UU nomor 19 tahun
1997 juncto UU nomor 19 tahun 2000, tentang penagihan pajak dengan surat paksa.
Sesuai dengan Pasal 18 UU No.6 Tahun 1983 jo UU No.9 Tahun 1994, UU nomor 16 Tahun 2000,
sebagaimana terakhir diperbaharui dengan UU nomor 28 Tahun 2007, penagihan pajak dilakukan
untuk menagih utang pajak yang terdapat dalam:
1. Surat Tagihan Pajak (STP);
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);
3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);
4. Surat Keputusan Pembetulan yang mengakibatkan jumlah pajak yang harus dibayar
bertambah;
5. Surat Keputusan Kebertan yang mengakibatkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah;
6. Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah. Timbulnya
utang pajak pada butir I s/d 6 tersebut telah diuraikan di atas.

5. Pencegahan.
Terdapat kemungkinan bahwa Wajib Pajak/Penanggung Pajak akan pergi ke luar negeri yang
mengakibatkan utang pajak dan biaya penagihan menjadi sulit ditagih. Untuk menghindari kejadian
tersebut, dalam rangka penagihan pajak, Wajib Pajak/Penanggung Pajak dapat diminta untuk
dicegah berpergian ke Luar Negeri.
Pencegahan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang mempunyai jumlah utang
pajak sekurang-kurangnya sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan diragukan itikad
baiknya dalam mehanasi utang pajak.
Pencegahan hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan pencegahan yang diterbitkan oleh
Menteri atas permintaan Pejabat atau atasan pejabat yang bersangkutan.
Keputusan pencegahan memuat sekurang-kurangnya :

1. identitas Penanggung Pajak yang dikenakan pencegahan;


2. atasan untuk melakukan pencegahan; dan
3. jangka waktu pencegahan.
Pencegahan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak dan terhentinya
pelaksanaan penagihan pajak

6 Penyanderaan.
Dalam upaya pelaksanaan penagihan pajak, agar Wajib Pajak/Penanggung Pajak melunasi utang
pajak dan biaya penagihan, perlu dilakukan penyanderaan.
Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang mempunyai utang pajak
66

sekurang-kurangnya Rp.100.000.000; (seratus juta rupiah) dan diragukan itikad baiknya dalam
melunasi utang pajak.
Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilaksanakan berdasarkan Surat
Perintah Penyaderaan yang diterbitkan oleh Pejabat setelah mendapat ijin tertulis dari Menteri atau
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.
Masa Pemanderaan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang untuk selama-lamanya 6
(enam) bulan.
Surat Perintah Penyanderaan memuat sekurang-kurangnya :
1. identitas Penanggung Pajak;
2. atasan penyanderaan;
3. izin penyanderaan;
4. lamanya penyanderaan; dan
5. tempat penyanderaan;
Penyanderaan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak dan
terhentinya pelaksanaan penagihan pajak.

Dalam pelunasan utang pajak, Negara mempunyai hak mendahulu, sebagaimana diatur dalam
Pasal 21 UU No.6 Tahun 1983, jo UU No.9 Tahun 1994. Hak mendahulu berarti pelunasan utang
pajak, termasuk biaya penagihan diutamakan dari pelunasan utang-utang lainnya, apabila terjadi
penjualan secara lelang atas barang-barang/harta kekayaan milik penanggung pajak

K. HAK MENDAHULU
Dalam pelunasan utang pajak, Negara mempunyai hak mendahulu, sebagaimana diatur dalam Pasal
21 UU No.6 Tahun 1983, jo UU No.9 Tahun 1994. Hak mendahulu berarti pelunasan utang pajak,
termasuk biaya penagihan diutamakan dari pelunasan utang-utang lainnya, apabila terjadi penjualan
secara lelang atas barang-barang/harta kekayaan milik penanggung pajak

Ketentuan hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak diatur
dalam Pasal 21 ayat (1 s/d 3)
Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak.
Ketentuan tentang hak mendahulu meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda,
kenaikan, dan biaya penagihan pajak.

Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:

a. biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang
bergerak dan/atau barang tidak bergerak;
b. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan/atau
c. biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.

Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator, likuidator, atau
orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta Wajib
Pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya
sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut.
Hak mendahulu hilang setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal diterbitkan Surat
Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
67

Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau
Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.
Perhitungan jangka waktu hak mendahulu ditetapkan sebagai berikut:
a. dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi maka jangka waktu 5 (lima)
tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak pemberitahuan Surat Paksa; atau
b. dalam hal diberikan penundaan pembayaran atau persetujuan angsuran pembayaran maka
jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dihitung sejak batas akhir penundaan diberikan.

L.DALUWARSA PENAGIHAN PAJAK


Daluwarsa untuk melakukan penagihan pajaK diatur dalam Pasal 22 ayat (1 s/d 2)
Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak,
daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan
Kembali. Daluwarsa penagihan pajak tertangguh apabila:
1. diterbitkan Surat Paksa;
2. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung;
3. diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5),
atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat
(4); atau
4. dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

M. SANKSI PAJAK
1. Sanksi Administrasi
Sanksi administrasi sehubungan dengan surat ketetapan pajak dan surat tagihan pajak berdasarkan UU
No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana terakhir dirubah
dengan UU no 16 tahun 2010, diuraikan pada tabel berikut.
Berkaitan dengan Denda

No. Pasal Masalah Sanksi


1. 7ayat(l) SPT tidak disampaikan:
a. SPT Masa PPN a. Rp 500.000,00
b. SPT Masa lainnya b. Rp 100.000,00
c. SPT Tahunan PPh WP Badan c. Rp 1.000.000,00
d. SPT Tahunan PPh WP Orang d. Rp 100.000,00
Pribadi
2. 8 ayat (3) Pembetulan sendiri dan belum disidik 150% dari jumlah pajak yang
kurang
dibayar
3. 14 ayat (4) a. Pengusaha dikukuhkan sebagai 2% dari Dasar Pengenaan
PKP, tidak membuat faktur pajak Pajak
b. Pengusaha dikukuhkan sebagai
PKP, tidak mengisi faktur pajak
secara lengkap
c. PKP melaporkan faktur pajak
tidak sesuai masa penerbitan
68

faktur pajak
4. 14 ayat (5) PKP gagal berproduksi telah diberikan 2% dari Dasar Pengenaan
pengembalian Pajak Masukan Pajak
5. 25 ayat (9) Keberatan ditolak atau dikabulkan 50% dari jumlah
sebagian pajakberdasarkan keputusan
keberatan dikurangi dengan
pajak yang telah dibayar
6. 27 ayat (5d) Permohonan banding ditolak atau sebelum
100% darimengajukan
jumlah pajak
dikabulkan sebagian berdasarkan Putusan Banding
dikurangi pajakyang telah
dibayar sebelum mengajukan
keberatan

2.Berkaitan dengan Bunga


XT Pasal Masalah Sanksi
No.
1. 8 ayat (2) Pembetulan SPT tahunan dalam 2 tahun 2% per bulan dari jumlah
pajak yang kurang dibayar,
dihitung sejak jatuh tempo
pembayaran
2. 8 ayat (2a) Pembetulan SPT Masa dalam 2 tahun 2% per bulan dari jumlah
pajak yang kurang dibayar,
dihitung sejak jatuh tempo
3. 9 ayat (2a) Keterlambatan pembayaran pajak masa pembayaran
2% per bulans/d tanggal
dari jumlah
pajak terutang, dihitung mulai
tanggal jatuh tempo
4. 9 ayat (2b) Keterlambatan pembayaran pembayaran
2% per bulans/d tanggal
dari jumlah
pajak tahunan pajak terutang, dihitung mulai
dari berakhirnya batas waktu
penyampaian SPT Tahunan s/d
5. 13 ayat (2) SKPKB karena pajak yang terutang kurang tanggal
2% per pembayaran
bulan dari jumlah
atau tidak dibayar, dan penerbitan NPWP kurang dibayar, maksimal 24
dan pengukuhan PKP secarajabatan bulan
6. 13 ayat (5) SKPKB diterbitkan setelah lewat waktu 5 48% dari jumlah pajak yang
tahun karena adanya tindak pidana tidak atau kurang dibayar
7. 14 ayat (3) a. PPh tahunn berjalan tidak/kurang 2% per bulan dari jumlah
bayar pajak tidak/ kurang dibayar,
b. SPT kurang bayar maksimal 24 bulan
8. 15 ayat (4) SKPKBT diterbitkan setelah lewat waktu 5 48% dari jumlah pajak yang
tahun karena adanya tindak pidana tidak atau kurang dibayar
69

9. 19 ayat (1) SKPKB/T, SK Pembetulan, SK Keberatan, 2% per bulan dari jumlah pajak
Putusan Banding yang menyebabkan yang tidak atau kurang
kurang bayar terlambat dibayar dibayar, dihitung dari tanggal
jatuh tempo s/d tanggal
pelunasan atau diterbitkannya
10. 19 ayat (2) Mengangsur atau menunda pembayaran Surat
2% perTagihan Paksa
bulan dari jumlah
pajak yang masih harus
dibayar, dihitung dari tanggal
jatuh tempo s/d tanggal
11. 19 ayat (3) Kekurangan pajak akibat diterbitkannya
2% STPkekurangan
per bulan dari
- penundaan SPT pembayaran pajak, dihitung
dari batas akhir penyampaian
SPT s/d tanggal dibayarnya
kekurangan tersebut
3.Berkaitan dengan Kenaikan
No. Pasal Masalah Sanksi
1. 8 ayat (5) Pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT 50% dari pajak yang kurang
setelah lewat 2 tahun sebelum terbitnya SKP. dibayar.

2. 13 ayat (3) a. SKPKB karena SPT tidak disampaikan 50% dari PPh yang
sebagaimana disebut dalam surat teguran tidak/kurang dibayar dalam
b. PPN/PPnBM tidak seharusnya setahun.
dikompensasi atau tidak seharusnya dikenai 100% dari PPh yang tidak atau
tarif 0% c. Kewajiban pembukuan dan kurang dipotong, tidak atau
pemeriksaan tidak dipenuhi sehingga tidak kurang dipungut, tidak atau
dapat diketahui besarnya pajak yang kurang disetor, dan dipotong
terutang atau dipungut tetapi tidak atau
kurang disetor; atau 100% dari
3. 13 A Tidak menyampaikan SPT atau 200% dari jumlah pajak yang
menyampaikan SPT tetapi isinya tidak kurang dibayar yang ditetapkan
benar atau tidak lengkap, atau melampirkan melalui penerbitan SKPKB.
keterangan yang isinya tidak benar, yang
dilakukan karena kealpaan dan pertama kali.
4. 15 ayat (2) Kekurangan pajak pada SKPKBT 100% dari jumlah kekurangan
pajak.
5. 17C ayat (5) SKPKB yang terbit dilakukan pengembalian 100% dari jumlah kekurangan
pendahuluan kelebihan pajak bagi Wajib Pajak pembayaran pajak.
dengan kriteria tertentu.
6. 17Dayat(5) SKPKB yang terbit setelah dilakukan 100% dari jumlah kekurangan
pengembalian pendahuluan kelebihan pajak pembayaran pajak.
bagi Wajib Pajak dengan persyaratan tertentu.

4.Sanksi Pidana
Sanksi pidana sehubungan dengan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan
khususnya dalam Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan diuraikan dalam tabel berikut.
70

No. Pasal Masalah Sanksi


1. 38 ayat (1) Setiap orang yang karena kealpaannya: Pidana kurungan paling sedikit
a. tidak menyampaikan Surat 3 bulan atau paling lama 1
(tiga)
Pemberitahuan; atau (satu)
tahun atau denda paling sedikit
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan (satu) kali jumlah pajak terutang
tetapi isinya tidak benar atau yang tidak atau kurang dibayar
tidak lengkap, atau melampirkan dan banyak 2 (dua) kali
paling
keterangan yang isinya tidak benar jumlah
pajak terutang yang tidak atau
sehingga dapat menimbulkan kurang
dibayar.
kerugian pada pendapatan negara
dan perbuatan tersebut merupakan
perbuatan setelah perbuatan yang
pertama kali (yang telah dikenai
sanksi administrasi berupa kenaikan
sebesar 200% dari jumlah pajak
yang kurang atau tidak dibayar yang
ditetapkan melalui penerbitan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar).
2. 39 ayat (1) Setiap orang yang dengan sengaja: Pidana penjara paling singkat 6
a. tidak mendaftarkan diri untuk (enam) bulan dan paling lama 6
diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau (enam) tahun dan denda paling
tidak melaporkan sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak
usahanya untuk dikukuhkan terutang yang tidak atau kurang
1
sebagai Pengusaha Kena Pajak; dibayar dan paling banyak 4
b. menyalahgunakan atau kali jumlah pajak terutang yang
menggunakan tanpa hak tidak
atau kurang dibayar.
Nomor Pokok Wajib Pajak atau
Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak;
c. tidak menyampaikan Surat
Pemberitahuan;
d. menyampaikan Surat
Pemberitahuan dan/atau
keterangan yang isinya tidak benar
atau tidak lengkap;
e. menolak untuk dilakukan
pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29;
f. memperlihatkan pembukuan,
pencatatan, atau dokumen lain
yang palsu atau dipalsukan
seolah-olah benar, atau tidak
menggambarkan keadaan yang
sebenarnya;
No. Pasal Masalah Sanksi
g. tidak menyelenggarakan
pembukuan atau pencatatan di Indonesia,
71

tidak memperlihatkan atau tidak


meminjamkan
buku, Catalan, atau dokumen lain;
h. tidak raenyimpan buku, catatan, atau
dokumen yang menjadi dasar pembukuan
atau pencatatan dan dokumen lain termasuk
hasil pengolahan data dari pembukuan yang
dikelola secara elektronik atau
diselenggarakan
secara program aplikasi on- line di Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat
(11); atau
i. tidak menyetorkan pajak yang telah
dipotong atau dipungut sehingga
dapat menimbulkan kerugian
pada pendapatan negara.

Seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang Pidana pada nomor 1


3 39 ayat (2) perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, tersebut akan ditambahkan
terhitung sejak selesainya menjalani pidana 1 (satu) kali menjadi 2 (dua)
penjara yang dijatuhkan. kali sanksi pidana.

Setiap orang yang melakukan percobaan untuk Pidana penjara paling singkat 6
4 39 ayat (3) melakukan tindak pidana menyalahgunakan (enam) bulan dan paling lama
atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok 2 (dua) tahun dan denda
Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena paling sedikit 2 (dua) kali
Pajak, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan jumlah restitusi yang
dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau dimohonkan dan/atau
tidak lengkap, dalam rangka mengajukan kompensasi atau pengkreditan
permohonan restitusi atau melakukan yang dilakukan dan paling
kompensasi pajak atau pengkreditan pajak. banyak 4 (empat) kali jumlah
restitusi yang dimohonkan
dan/atau kompensasi atau
pengkreditan yang dilakukan.

Setiap orang yang dengan sengaja: Pidana penjara paling singkat 2


5 39A a. menerbitkan dan/atau (dua) tahun
menggunakan faktur pajak, dan paling lama 6 (enam) tahun
bukti pemungutan pajak, bukti serta
pemotongan pajak, dan/atau denda paling sedikit 2 (dua) kali
bukti setoran pajak yang tidak jumlah pajak dalam faktur
berdasarkan transaksi yang pajak, bukti pemungutan pajak,
sebenarnya; atau bukti pemotongan pajak,
b. menerbitkan faktur pajak tetapi dan/atau bukti setoran
belum dikukuhkan sebagai pajak dan paling banyak 6
Pengusaha Kena Pajak. (enam) kali jumlah pajak dalam
72

faktur pajak, bukti pemungutan


pajak, bukti pemotongan pajak,
dan/atu bukti setoran pajak.

No. Pasal Masalah Sanksi


6. 41 ayat(l) Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi Pidana kurungan paling lama 1 (satu)
kewajiban merahasiakan segala sesuatu yang tahun dan denda paling banyak
diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Rp25.000.000,00.
Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau
pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, atas
pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.

7. 41 ayat (2) Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi Pidana penjara paling lama 2 (dua)
kewajiban merahasiakan segala sesuatu yang tahun dan denda paling banyak
diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Rp50.000.000.00.
Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau
pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, atas
pengaduan
Orang yang kerahasiaannya dilanggar.

8. 41A Setiap orang yang wajib memberikan keterangan Pidana kurungan paling lama 1 (satu)
atau bukti yang diminta oleh Direktur Jenderal tahun dan denda paling banyak
Pajak pada saat melakukan pemeriksaan pajak, Rp25.000.000,00.
penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana
di bidang perpajakan, tetapi dengan sengaja tidak
memberi keterangan atau bukti, atau memberi
keterangan atau bukti yang tidak benar.

9. 41B Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi Pidana penjara paling lama 3 (tiga)
atau mempersulit penyidikan tindak pidana di tahun dan denda paling banyak
bidang perpajakan. Rp75.000.000,00.

10. 41C Setiap orang yang dengan sengaja tidak Pidana kurungan paling lama 1 (satu)
ayat(l) memenuhi kewajiban merahasiakan segala tahun atau denda paling banyak
sesuatu yang diketahui atau diberitahukan Rp 1.000.000.000,00.
kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan •
atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
73

No. Pasal Masalah Sanksi

11. 41C ayat (2) Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan Pidana kurungan paling lama 10
tidak terpenuhinya kewajiban pejabat dan pihak (sepuluh) bulan atau denda paling
lain dalam merahasiakan segala sesuatu yang banyak Rp800.000.000,00.
diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh
Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau
pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.

12. 41C ayat (3) Setiap orang yang dengan sengaja tidak Pidana kurungan paling lama 10
memberikan data dan informasi yang diminta bulan atau denda paling banyak
oleh Direktur Jenderal Pajak dalam Rp.800.000.000,00.
menghimpun data dan informasi untuk
kepentingan penerimaan negara.

13. 41 C ayat (4) Setiap orang yang dengan sengaja Pidana kurungan paling lama 1
menyalahgunakan data dan informasi (satu) tahun atau denda paling
perpajakan sehingga menimbulkan kerugian banyak Rp500.000.000,00
bagi negara.

Anda mungkin juga menyukai