Anda di halaman 1dari 37

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pajak Secara Umum

2.1.1. Pengertian Pajak

Definisi pajak berdasarkan UU KUP Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 1 ayat 1

adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau

badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak

mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara

bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 

Selain pengertian pajak menurut Undang-undang, para ahli pun

mendefinisikan tentang pajak. Beberapa pendapat para ahli ekonomi tentang

pengertian Pajak, sebagai berikut :

Definisi pajak yang dikemukan oleh P. J. A. Adriani dalam buku Oyok

Abuyamin (2010;1) yang berjudul “Perpajakan Pusat dan Daerah” merumuskan :

“Pajak adalah iuran masyarakat kepadanegara (yang dapat dipaksakan) yang

terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum

(undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat

ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran

umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.”

8
9

Pengertian pajak menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH dalam buku

Oyok Abuyamin (2010:1) yang berjudul “Perpajakan Pusat dan Daerah”

mendefinisikan bahwa “Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan

undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal

(kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk

membayar pengeluaran umum.”

2.1.2. Dasar Hukum Pajak

Negara Kesatuan Ripublik Indonesia (NKRI), merupakan negara yang

berdaulat secara penuh dengan memiliki pilar-pilar kenegaraan yang disebut Pilar

NKRI (M.S. Kaelan, 2012:36). Dalam mengatur harmonisasi interaksi antar

warga negara dengan pemerintah, antar pemerintah dengan pemerintah, baik

interaksi lokal maupun interaksi internasional, maka dibuatlah suatu peraturan

yang disebut dengan Undang-Undang. Maka dapat dikatakan bahwa pengelolaan

NKRI berdasarkan hukum. Dengan demikian bahwa hukum selalu harus

ditetapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perpajakan di Indonesia

merupakan salah satu aktivitas iuran ekonomi antara warga negara kepada

negaranya. Maka Pajak diatur dakam Undang-undang dasar 1945 dalam pasal 23

ayat 2 yang menetapkan bahwa : “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa

untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” “Kontribusi wajib kepada

Negara yang teerutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa

berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung

dan digunakan untuk keperluan Negara sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”


10

Selain itu ada dasar hukum yang tidak dapat dipisahkan, yaitu :

1. UU Nomor 16 tahun 2009, tentang Ketentuan Umum dan Tatacara

Perpajakan

2. UU Nomor 36 tahun 2008, tentang Pajak Penghasilan

3. UU Nomor 42 Tahun 2009, tentang pajak Pertambahan Nilai dan Pajak

Penjualan Barang Mewah

4. UU Nomor 28 tahun 2009, tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

5. UU Nomor 19 tahun 2000, tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

6. UU Nomor 14 tahun 2002, tentang Pengadilan Pajak.

Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa segala sesuatu yang

berhubungan dengan perpajakan diatur dengan undang-undang, guna menjamin

kepastian hukum dalam hubungan antara negara dengan warga negaranya.

2.1.3. Jenis Pajak

Dalam bukunya yang berjudul “Perpajakan Pusat dan Daerah” Oyok

Abuyamin (2010:16_ menyebutkan bahwa jenis pajak dibagi menjadi tiga, yaitu :

1. Jenis Pajak Berdasarkan Cara Pemungutannya

Menurut cara pemungutannya, Pajak dikelompokkan menjadi dua, yaitu :

a. Pajak Langsung

Pajak Langsung adalah pajak yang harus dipikul atau ditanggung sendiri

oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan atau dibebankan kepada

orang lain atau pihak lain. Contohnya yaitu Pajak Penghasilan.

b. Pajak Tidak Langsung


11

Pajak Tidak Langsung adalah pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan

atau dilimpahkan kepada orang lain atau pihak ketiga. Contohnya yaitu

Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

2. Jenis Pajak Berdasarkan Sifat

Menurut sifat, Pajak dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :

a. Pajak Subjektif

Yaitu pajak yang pengenaannya memperhatikan keadaan pribadi Wajib

Pajak atau pengenaan pajak yang memperhatikan keadaan subjeknya.

Contohnya yaitu Pajak Penghasilan (PPh).

b. Pajak Objektif

Yaitu pajak yang pengenaannya memperhatikan objeknya baik berupa

benda, keadaan, perbuatan atau peristiwa yang mengakibatkan timbulnya

kewajiban membayar pajak, tanpa memperhatikan keadaan pribadi Subjek

Pajak (Wajib Pajak) maupun tempat tinggal. Contohnya yaitu Pajak

Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

(PPnBM).

3. Jenis Pajak Berdasarkan Lembaga/Wewenang Pemungut

Penggolongan pajak berdasarkan lembaga pemungutannya di

Indonesia dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu Pajak Pusat dan Pajak

Daerah.

a. Pajak Pusat

Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang

dalam hal ini sebagian besar dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak -

Kementerian keuangan.
12

Segala pengadministrasian yang berkaitan dengan pajak pusat, akan

dilaksanakan di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan

Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) dan Kantor Wilayah

Direktorat Jenderal Pajak serta di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak.

Untuk pengadministrasian yang berhubungan dengan pajak daerah, akan

dilaksanakan di Kantor Dinas Pendapatan Daerah atau Kantor Pajak

Daerah atau Kantor sejenisnya yang dibawahi oleh Pemerintah Daerah

setempat.

Pajak-pajak pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak meliputi:

1. Pajak Penghasilan (PPh)

PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan

atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun

Pajak. Yang dimaksud dengan penghasilan adalah setiap tambahan

kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak baik

yang berasal baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang

dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib

Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Dengan demikian maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan

usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan lain sebagainya.

2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak

atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean (dalam wilayah

Indonesia). Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang

mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan


13

PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak

atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang

PPN.

3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)

Selain dikenakan PPN, atas konsumsi Barang Kena Pajak tertentu

yang tergolong mewah, juga dikenakan PPnBM. Yang dimaksud

dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah:

a. Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau

b. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau

c. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat

berpenghasilan tinggi; atau

d. Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau

e. Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral

masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat.

4. Bea Meterai

Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas pemanfaatan dokumen,

seperti surat perjanjian, akta notaris, serta kwitansi pembayaran, surat

berharga, dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas

jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan.

5. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

PBB adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan

tanah dan atau bangunan. PBB merupakan Pajak Pusat namun

demikian hampir seluruh realisasi penerimaan PBB diserahkan kepada

Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Mulai 1


14

januari 2014, PBB pedesaan dan Perkotaan merupakan pajak daerah.

Untuk PBB Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan masih tetap

merupakan Pajak Pusat.

b. Pajak Daerah

Pajak daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah daerah

baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota dan hasil

penerimaannya sebagai sumber utama APBD dipergunakan untuk

membiayai rumah tangga daerah, baik pengeluaran rutin maupun

pembangunan daerah. Pajak-pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah

baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut:

1. Pajak Propinsi, meliputi:

a. Pajak Kendaraan Bermotor;

b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;

c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bemotor;

d. Pajak Air Permukaan;

e. Pajak Rokok.

2. Pajak Kabupaten/Kota, meliputi:

a. Pajak Hotel;

b. Pajak Restoran;

c. Pajak Hiburan;

d. Pajak Reklame;

e. Pajak Penerangan Jalan;

f.Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;

g. Pajak Parkir;
15

h. Pajak Air Tanah;

i. Pajak sarang Burung Walet;

j. Pajak Bumi dan Bangunan perdesaan dan perkotaan;

k. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan.

2.1.4. Fungsi Pajak

Menurut Resmi (2014:3) pajak memiliki 2 fungsi yaitu fungsi budgetair

(sumber keuangan negara) dan fungsi regularend (pengatur).

1. Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara)

Pajak mempunyai fungsi budgetair artinya pajak merupakan salah satu

sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin

maupun pembangunan. Sebagai sumber keuangan negara, pemerintah

berupaya memasukkan uang sebanyak-banyaknya untuk kas negara. Upaya

tersebut ditempuh dengan cara ekstensifikasi maupun intensifikasi

pemungutan pajak melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak

seperti pajak penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak

Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB),

dan lain-lain.

2. Fungsi Regularend (Pengatur)

Pajak mempunyai fungsi pengatur, artinya pajak sebagai alat untuk mengatur

atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi,

serta mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar bidang keuangan.


16

Berdasarkan penjelasan fungsi pajak, dapat disimpulkan bahwa pajak

berfungsi untuk membiayai pengeluaran rutin maupun pembangunan dan untuk

mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah.

2.1.5. Sistem Pemungutan Pajak

Terdapat empat sistem pemungutan Pajak menurut Mansury (2002) dan 1

sistem pemungutan tambahan dalam bukunya Diaz Priantara (2016:7), yaitu :

1. Official Assesment System, yaitu suatu sistem pemungutan pajak dimana

wewenang untuk menghitung besarnya pajak terutang dilakukan oleh aparatur

pajak.

2. Self Assesment System, yaitu sistem pemungutan pajak dimana wewenang

untuk menghitung besarnya pajak terutang berada pada wajib pajak dengan

aktif, menghitung, menyetor dan melapaorkan sendiri pajaknya.

3. Full assessment system, yaitu sistem pemungutan diamna wewenang untuk

menghitung besarnya pajak terutang oleh wajib pajak, seperti pada peraturan

tax amnesty 2016, unutk mentepakna sendiri jumlah uang tebusan pajak atas

pengampunan pajak.

4. Semi full assessment system, yaitu campuran antara sistem self assessment dan

official assessment.

5. Withholding system, merupakan sistem pemungutan yang dilakukan oleh

wajib pajak dengan pihak lain untuk menghitung dan menetukan besarnya

pajak terutang, yang tentunya diatur dengan ketentuan perundang-undangan

yang berlaku.
17

2.2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

2.2.1. Dasar Hukum Pajak Pertambahan Nilai

Peratuaran Undang-undang yang mengatur Pajak Pertambahan Nilai

(PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah PPnBM) adalah Undang-Undang

No. 8 tahun 1993 tentang Pajak Pertambahan Nilai barang dan jasa dan Pajak

Penjualan atas Penjualan Barang Mewah (PPnBM) yang mengalami perubahan

dengan Undang –Undang No.11 Tahun 1994, sebagaimana telah diubah kembali

dengan Undang-Uandang No.18 tahun 2000, dan terakhir diubah dengan Undang-

undang No.42 tahun 2009.

2.2.2. Pengertian Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) No. 42 Tahun

2009, Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak yang dikenakan atas konsumsi

barang dan jasa di dalam negeri (daerah Pabean) yanf dikenakan secara bertingkat

di setiap jalur produksi dan distribusi.

Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sangatlah dipengaruhi oleh

perkembangan transaksi bisnis serta pola konsumsi masyarakat yang merupakan

objek dari Pajak Pertambahan Nilai. Perkembangan ekonomi yang sangat dinamis

baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional terus menciptakan jenis

serta pola transaksi bisnis yang baru.

2.2.3. Objek Pajak Pertambahan Nilai

Menurut pasal 4 atat (1) Undang-Undang No.42 tahun 2009, Objek Pajak

Pertambahan Nilai adalah:


18

a. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh

pengusaha.

b. Impor Barang Kena Pajak.

c. Penyerahan Jasa Kena Pajak dalam daerah Pabean oleh pengusaha.

d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di

dalam Daerah Pabean.

e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah

Pabean.

f. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak.

g. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak.

h. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

2.2.4. Subjek Pajak Pertambahan Nilai

Menurut Undang-Undang No. 42 tahun 2009, yang dimaksud sebagai

subjek pajak Pertambahan Nilai Adalah :

1. Pengusaha Kena Pajak (PKP)

Pengusaha yang melakukan Penyerahan BKP dan/atau JKP yang dikenakan

pajak berdasarkan UU PPN dan PPnBM, tidak termasuk pengusaha kecil

yang batasannya diterapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan, kecuali

pengusaha kecil yang memilih dikukuhkan sebagai PKP.

2. Pengusaha kecil yang memilih menjadi PKP

Dalam Peraturan Menteri keuangan (PMK) Nomor 197/PMK.03/2013 yang

berlaku secara efektif sejak 1 Januari 2014, Pengusaha kecil merupakan


19

pengusaha yang selama 1 (satu) tahun buku melakukan penyerahan barang

kena pajak dan/atau jasa kena pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau

penerimaan bruto tidak lebih dari Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan

ratus juta rupiah).

3. Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan BKP Tidak Berwujud dari

Daerah Pabean dan/atau JKP dari luar daerah Pabean .

4. Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri yang

batasan dan tata caranya ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan.

2.2.5. Barang Kena Pajak (BKP)

2.2.5.1. Pengertian Barang Kena Pajak (BKP)

Menurut Anastasia Diana dan Lilis Setiawati (dalam Perpajakan

Indonesia, 2009, 538) bahwa

“Barang Kena Pajak (BKP) adalah Barang yang dikenakan pajak

berdasarkan Undang-Undang Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan.

Barang Kena Pajak adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau

Hukumnya dapat berupa barang bergerak atau tidak bergerak, dan barang

tidak berwujud.”

2.2.5.2. Barang yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Menurut Undang-Undang 18 Pasal 4A ayat (2) Tahun 2000 yang telah

diubah dengan Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM.

Jenis Barang yang tidak dikenakan PPN sebagai berikut :


20

1. Barang hasil pertambangan atau pengeboran yang diambil langsung dari

sumbernya.

2. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak.

3. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, rumah makan, warung, dan

sejenisnya.

4. Uang, emas batangan, dan surat berharga.

5. Pelayanan kesehatan medik.

6. Pelayanan sosial.

7. Pengiriman surat dengan perangko.

8. Keuangan.

9. Asuransi.

10. Keagamaan.

11. Pendidikan.

12. Kesenian dan hiburan.

13. Penyiaran yang tidak bersifat iklan.

14. Angkutan umum di darat dan di air.

15. Tenaga kerja.

16. Perhotelan.

17. Jasa yang disediakan pemerintahan secara umum.

18. Penyediaan tempat parkir.

19. Telepon umum koin.

20. Pengiriman uang dengan wesel pos.

21. Catering..
21

2.2.6. Jasa Kena Pajak (JKP)

2.2.6.1. Pengertian Jasa Kena Pajak (JKP)

Menurut Pasal 1 ayat 6 dan 5 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000

yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN

dan PPnBM bahwa :

“Jasa Kenap Pajak adalah Jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-

Undang. Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu

perikatan atau perbuatan hukum yang meneyebabkan suatu barang,

fasilitas, kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang

dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan

dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesanan.”

2.2.6.2. Jasa Kena Pajak yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai

Menurut A. P. Priono dan Edi Untung Tamba (2012:11) Jasa Kena Pajak

yang tidak dikenakan pajak atau yang dikecualikan dari Jasa Kena Pajak sebagai

berikut :

1. Jasa di bidang pelayanan kesehatan medis.

2. Jasa di bidang pelayanan sosial.

3. Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko.

4. Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi.

5. Jasa di bidang keagamaan.

6. Jasa di bidang pendidikan.

7. Jasa di bidang kesenian yang telah digunakan pajak tontonan.


22

8. Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan.

9. Jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air.

10. Jasa di bidang tenaga kerja.

11. Jasa di bidang perhotelan.

12. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintah

secara umum.

Mulai 1 April 2010 ditambah 4 (empat) jenis jasa yang tidak dikenakan

PPN. Yaitu :

1. Jasa penyedia tempat parkir.

2. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam.

3. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos.

4. Jasa boga atau catering.

2.3. Dasar Pengenaan Pajak

Menurut Pasal 1 angka 12 Undang-Undang No 42 tahun 2009, yang

dimaksud dengan dasar pengenaan pajak (DPP) adalah jumlah Harga jual,

Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang dipakai sebagai

dasar untuk menghitung pajak terutang, jenis DPP dapat dibagai menjadi dua,

yaitu :

1. DPP Secara Umum

a. Harga Jual Berdasarkan pasal 1 angka 18 UU PPN yang dimaksud

dengan harga jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang

diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang


23

Kena Pajak, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-undang

PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. Dari

Pengertian tersebut dapat diambil 3 hal yang termasuk harga jual, yaitu

sebagai berikut:

1) Nilai nya berupa uang karena penyerahan BKP oleh Pengusaha kena

Pajak.

2) Termasuk semua biaya yang diminta atau seharunya diminta oleh

penjual, contoh; biaya angkut, asuransi ,dll.

3) Tidak temasuk PPN dan potongan harga yang tercantum dalam

faktur pajak. 17

b. Penggantian

Pengertian penggantian dalam UU PPN pasal 1 angka 19 adalah nilai

berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya

diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa

Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak

termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-

Undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak,

atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh

Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh

penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena

pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah

Pabean di dalam Daerah Pabean.

c. Nilai Impor
24

Pengertian penggantian dalam UU PPN pasal 1 angka 20 adalah nilai

berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah

pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan

yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang

Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak

Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut menurut Undang-undang

PPN.

Dari pengertian tersebut dapat diambil 3 hal yang termasuk harga jual,

yaitu;

1) Nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan bea masuk

2) termasuk pungutan lain berdasarkan peraturan undang-undang

mengenai kepabeanan dan cukai atas impor BKP.

3) tidak termasuk PPN dan PPn BM.

d. Nilai Ekspor

Pengeritan penggantian dalam UU PPN pasal 1 angka 26 adalah nilai

berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya

diminta oleh eksportir.

2. DPP Khusus

Nilai lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai dasar pengenaan

pajak yang diatur oleh menteri keuangan. Sampai saat ini menteri keuangan

mengatur nilai lain dalam peraturan menteri keuangan Nomor

75/PMK.03/2010 yang telah diubah terakhir dengan peraturan Nomor

38/PMK.011/2013. Nilai lain tersebut ditetapkan antara lain:


25

1. Harga Pokok Penjualan yaitu harga jual atau penggantian dikurangi laba

kotor untuk pemakaian sendiri dan untuk pemberian cuma-cuma

BKP/JKP.

2. Perkiraan harga jual rata-rata untuk penyerahan media rekaman suara

atau gambar

3. Perkiraan hasil rata-rata per judul film untuk penyerahan film cerita

(tidak termasuk penetapan Nilai Lain untuk film cerita impor)

4. Berupa uang yang ditetapkan sebesar Rp 12.000.000,00 (dua belas juta

rupiah) per copy Film Cerita Impor untuk pemanfaaatan BKP tidak 19

berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean berupa film

cerita impor (PMK no. 102/PMK.011/2011)

5. Harga jual eceran untuk penyerahan produk hasil tembakau.

6. Harga pasar wajar untuk BKP berupa persediaan dan/atau aktiva yang

menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang masih tersisa

pada saat pembubaran perusahaan.

7. Harga perolehan atau harga pokok penjualan untuk penyerahan BKP dari

pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan BKP antar cabang.

8. Harga yang disepakati antara pedagang perantara dengan pembeli untuk

penyerahan Barang Kena Pajak melalui pedagang perantara

9. Harga lelang untuk penyerahan BKP melalui juru lelang

10. Sebesar 20% dari harga jual emas perhiasan atau nilai penggantian untuk

penyerahan emas perhiasan termasuk penyerahan jasa perbaikan dan

modifikasi emas perhiasan serta jasa-jasa lain yang berkaitan dengan

emas perhiasan, yang dilakukan oleh pabrikan emas perhiasan.


26

11. Sebesar 10% dari jumlah yang ditagih atau seharusnya ditagih untuk;

a. Penyerahan jasa pengiriman paket

b. Penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata

c. Penyerahan jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) yang

didalam tagihan jasa pengurusan transportasi tersebut terdapat biaya

transportasi (freight charges).

2.4. Tarif Pajak Pertambahan Nilai

Tarif PPN menurut ketentuan Undang-Undang Dasar No.42 tahun 2009

pasal 7 ialah sebagai berikut:

1. Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).

2. Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:

a) Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud

b) Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud

c) Ekspor Jasa Kena Pajak

3. Tarif Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berubah menjadi

paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi sebesar 15% (lima belas

persen) sebagaimana diatur oleh Peraturan Pemerintah

2.5. Faktur Pajak


27

Menurut A.P. Priono dan Edi Untung (2012:6) bahwa “Faktur Pajak

adalah bukti pungutan yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan

penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.”

Faktur Pajak berdasarkan UU PPN pasal 1 angka 23 , adalah bukti

pungutan pajak yang dibuat oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP dan atau

JKP atau bukti karena impor BKP.

Dalam bukunya Mardiasmo ( 2011 : 310) Faktur Pajak dibuat pada :

1. Saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;

2. Saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi

sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa

Kena Pajak;

3. Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap

pekerjaan; atau

4. Saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan

BKP dan/atau penyerahan JKP yang paling sedikit memuat :

1. Nama, alamat, dan NPWP yang menyerahkan BKP atau JKP;

2. Nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP;

3. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan

harga;

4. PPN yang dipungut;

5. PPn BM yang dipungut;

6. Kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan

7. Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.


28

Sebagai dasar hukum atas tata cara pembuatan dan pelaporan faktur pajak

berbentuk elektronik diatur dalam Berdasarkan Pasal 4 Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 151/PMK.011/2013 tanggal 11 November 2013 pengganti

peraturan Mentrri Keuangan Nomor 84/PMK.03/2012 yang mulai berlaku tanggal

1 januari 2014, ada dua macam Faktur Pajak, yaitu:

1. Elektronik dan

2. Kertas

Faktur Pajak berbentuk elektronik adalah Faktur Pajak yang dibuat secara

elektronik untuk penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP sebagaimana di

maksud dalam Pasal 4 ayat(1) huruf a dab huruf c serta pasal 16 D UU PPN

Faktur pajak elektronik atau E-Faktur Pajak adalah Faktur Pajak yang dibuat

melalui aplikasi atau sistem elektronik yang ditentukan dan/atau disediakan oleh

DJP. Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-136/PJ/2014

tentang Penetapan Pengusaha Kena Pajak yang Diwajibkan Membuat Faktur

Pajak Berbentuk Elektronik, telah ditetapkan Pengusaha Kena Pajak yang 23

dikukuhkan pada Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah DJP di

Pulau Jawa dan Bali diwajibkan membuat e-Faktur mulai tanggal 1 Juli 2015.

Faktur Pajak berbentuk kertas (Hardcopy) adalah Faktur Pajak yang dibuat

tidak secara elektronik untuk setiap penyerahan dan/atau ekspor BKP dan/atau

ekspor JKP sebagaimana dimaksud dalam pasal (4) ayat (1) Huruf a, huruf c,

huruf f, huruf g, dan huruf h UU PPN , dan diupdate dengan Peraturan direktoat

Jenderal Pajak No. PER-16 /PJ/2014.


29

2.6. Mekanisme Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Cara umum menghitung PPN yang harus dipungut adalah dengan

mengalikan Dasar pengenaan pajak yang meliputi harga jual , penggantian , nilai

impor ,atau nilai lain dengan tariff PPN :

PPN = DPP x tariff PPN 10%

Sumber : Diaz Priantara 2016: 450 - 451

Jika dalam penyerahan BKP/JKP sudah termasuk PPN , maka untuk menentukan

besarnya DPP dan PPN adalah dengan :

DPP = 100/110 X HARGA JUAL

a. Pajak Masukan

Menurut A.P. Priono dan Edi Tamba (2012:6) bahwa

“Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya

sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang

Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau

pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah

Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah

Pabean dan/atauimpor Barang Kena Pajak”.

b. Pajak Keluaran

Menurut A.P. Priono dan Edi Untung Tamba (2012:6) bahwa

“Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai yang wajib

dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan

Barang Kena Pajak, Penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang


30

Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud

dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak”.

Cara menghitung PPN terutang dalam satu masa pajak, adalah

sebagaimana diatur dalam UU KUP yang mengatur ketentuan formil PPN yaitu :

1. Semua Pajak keluaran dijumlahkan sehingga diperoleh jumlah PPN yang

menjadi Pajak keluaran dalam waktu satu bulan

2. Pajak masukan yang dapat dikreditkan untuk masa satu bulan dijumlahkan

juga

3. Jumlah PPN yang menjadi pajak masukan pada bulan yang bersangkutan

dikreditkan sebagai pengurang PPN yang menjadi pajak keluaran untuk bulan

yang sama

4. Apabila pada suatu bulan , pajak keluaran lebih besar daripada pajak masukan

maka selisihnya merupakan PPN Kurang Bayar, yang harus disetor ke kas

Negara

5. Apabila jumlah pajak masukan lebih besar daripada pajak keluaran , selisihnya

merupakan PPN lebih bayar , yang dapat dikompensasikan ke bulan berikutnya

maupun dapat direstitusi, sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan pajak

masukan telah memenuhi persyaratan pengkreditan pajak masukan.

Cara menghitung PPN dengan cara-cara tertentu lainnya dan diatur khusus

berdasarkan peraturan menteri keuangan dilakukan pada :

1. PKP tertentu

2. PPN atas perlehan/impor barang modal bagi PKP yang gagal produksi

3. PKP yang melakukan penyerahan kena pajak dan tidak kena pajak
31

4. PPN atas penyerahan BKP/JKP tertentu seperti hasil tembakau dan produk

rekaman suara

2.7. Tata Cara Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak

Pertambahan Nilai (PPN)

2.7.1. Tata Cara Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

a. Dasar Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Berdasarkan KMK No.563/KMK.03/2003 Dasar Pemungutan PPN

adalah jumlah pembayaran yang dilakukan oleh Bendaharawan

Pemerintah atau jumlah pembayaran yang dilakukan oleh Kantor

Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) yang sekarang menjadi

Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) sebagaimana

tersebut dalam Surat Perintah Membayar (SPM).

b. Saat Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Berdasarkan KMK No.563/KMK.03/2003 Pemungutan PPN

dilakukan pada saat Pembayaran oleh Bendaharawan Pemerintah

atau KPKN/KPPN kepada PKP Rekanan pemerintah.

c. Tata Cara Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Dalam hal pemungutan oleh Bendaharawan Pemerintah, mekanisme

pemungutan PPN adalah sebagai berikut :

1). PKP Rekanan Pemerintah membuat Faktur Pajak dan SSP

pada saat menyampaikan tagihan kepada Bendaharawan


32

Pemerintah atau KPKN baik untuk sebagian maupun seluruh

pembayaran.

2). Rekanan menerbitkan faktur pajak dengan kode 02.

3). Apabila pembayaran diterima sebelum penagihan atau sebelum

penyerahan BKP dan/atau JKP, Faktur Pajak wajib diterbitkan

pada saat pembayaran diterima.

4). Faktur Pajak dan SSP merupakan bukti pemungutan dan

penyetoran PPN dan/atau PPnBM.

5). Apabila penyerahan BKP tersebut terutang PPnBM maka PKP

Rekanan Pemerintah mencantumkan jumlah PPnBM yang

terutang pada Faktur Pajak.

6). Faktur Pajak dibuat rangkap 3 (tiga) :

a). Lembar ke-1 untuk Bendahara.

b). Lenbar ke-2 untuk arsip PKP Rekanan Pemerintah.

c). Lembar ke-3 untuk KPP melalui Bendahara Pemerintah.

7). Rekanan mengisi SSP dengan membubuhkan NPWP dan

identitas PKP Rekanan Pemerintah yang bersangkutan, tetapi

panandatanganan SSP dilakukan oleh Bendaharawan

Pemerintah atau KPKN/KPPN sebagai penyetor atas nama

PKP rekanan Pemerintah.

8). Pada lembar Faktur Pajak oleh Bendaharawan Pemerintah

yang melakukan pemungut wajib dibubuhi cap dan

ditandatangani oleh Bendaharawan Pemerintah.


33

9). Apabila pemungutuan oleh Bendaharawan Pemerintah, SSP

dibuat dalam rangkap 5 (lima. Setelah PPN dan/atau PPnBM

disetor di Bank Persepsi atau Kantor Pos, lembar-lembar SSP

tersebut diperuntukkan sebagai berikut :

1). Lembar ke-1 untuk PKP Rekanan.

2). Lembar ke-2 untuk KPP melalui KPKN/KPPN.

3). Lembar ke-3 untuk PKP Rekanan guna dilampirkannya

pada saat SPT masa PPN.

4). Lembar ke-4 untuk Bank Persepsi atau kantor pos atau

pertinggal untuk KPKN/KPPN

5). Lembar ke-5 untuk arsip Bendahara.

10). Apabila pemungutan oleh KPKN, SSP dibuat dalam rangkap 4

(empat) yang masing-masing diperuntukkan sebagai berikut :

a). Lembar ke-1 untuk PKP Rekanan Pemerintah.

b). Lembar ke-2 untuk KPP melalui KPKN/KPPN.

c). Lembar ke-3 untuk PKP Rekanan guna

dilampirkannya pada saat SPT masa PPN.

d). Lembar ke-4 untuk pertinggal KPKN/KPPN

11). KPPN membubuhkan cap “TELAH DIBUKUKAN” pada SSP

lembar ke-1 dan lembar ke-2

12). KPPN yang melakukan pemungtuan mencantumkan nomor

dan tsnggal advis SPM pad setiap lembar Faktur Pajak dan

SSP.
34

13). Untuk jenis pajak PPN Dalam Negeri, pengisian SSP

menggunakan Kode Akun Pajak 411211 dengan Kode Jenis

Setoran 910.

2.7.2. Tata Cara Penyetoran PPN

Menurut UU KUP Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau

penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah

dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui Kantor Pos dan Bank Persepsi.

Sehingga pembayaran seluruh jenis pajak dilakukan dengan menggunakan SSP.

Ketentuan ini diubah dengan peraturan Dirjen pajak Nomor

PER-26/PJ/2014 tentang Sistem pembayaran pajak Secara Elektronik. Sistem

pembayaran pajak secara elektronik adalah bagian dari sistem Penerimaan Negara

secara elektronik yang diadministrasikan oleh Biller Direktorat Jenderal Pajak dan

menerapkan Billing System.

Wajib Pajak dapat melakukan pembayaran/penyetoran pajak dengan

sistem pembayaran pajak secara elektronik. Pembayaran/penyetoran pajak

meliputi seluruh jenis pajak, kecuali:

a. pajak dalam rangka impor yang diadministrasikan pembayarannya oleh Biller

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; dan

b. pajak yang tata cara pembayarannya diatur secara khusus.

Pembayaran/penyetoran pajak meliputi pembayaran dalam mata uang

Rupiah dan Dollar Amerika Serikat. Pembayaran dalam mata uang Dollar
35

Amerika Serikat hanya dapat dilakukan untuk Pajak Penghasilan Pasal 25, Pajak

Penghasilan Pasal 29 dan Pajak Penghasilan yang bersifat Final yang dibayar

sendiri oleh Wajib Pajak yang memperoleh izin untuk menyelenggarakan

pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika

Serikat.

Transaksi pembayaran/penyetoran pajak dilakukan melalui Bank/Pos

Persepsi dengan menggunakan Kode Billing. Billing System adalah metode

pembayaran elektronik dengan menggunakan Kode Billing. Atas

pembayaran/penyetoran pajak, Wajib Pajak menerima BPN sebagai bukti setoran.

BPN diterbitkan dalam bentuk:

a. Dokumen bukti pembayaran yang diterbitkan Bank/Pos Persepsi, untuk

pembayaran/penyetoran melalui Teller dengan Kode Billing;

b. Struk bukti transaksi, untuk pembayaran melalui ATM dan EDC;

c. Dokumen elektronik, untuk pembayaran/penyetoran melalui internet banking;

dan

d. Teraan BPN pada SSP/SSP PBB, untuk pembayaran melalui Teller Bank/Pos

Persepsi dengan menggunakan SSP/SSP PBB.

Kode jenis setoran pajak PPN yang dapat digunakan adalah diuraikan

dalam Tabel 2.1.

Table 2.1.
Table Jenis Kode setoran PPN

No. Jenis Pajak MAP Kode Keterangan


PPN Dalam
1. 411211 100 PPN dalam Negeri masa
Negeri
36

PPN Dalam
2. 411211 300 STP PPN Dalam Negeri
Negeri

Setoran PPN BKP tidak


PPN Dalam
3. 411211 101 berwujud dari luar Daerah
Negeri
Pabean

PPN Dalam Setoran PPN JKP dari luar


4. 411211 102
Negeri Daerah Pabean

PPN Dalam Setoran Kegiatan Membangun


5. 411211 103
Negeri Sendiri

Setoran Penyerahan Aktiva yang


PPN Dalam
6. 411211 104 menurut tujuan semula tidak
Negeri
untuk diperjualbelikan

untuk pembayaran PPN yang

PPN Dalam terutang atas pengalihan aktiva


7. 411211 104
Negeri dalam rangka restrukturisasi

perusahaan.

untuk pembayaran pajak untuk

PPN Dalam Penebusan Stiker Lunas PPN


8. 411211 105
Negeri atas Penyerahan Produk

Rekaman Suara atau Gambar

9. PPN Dalam 411211 199 Pembayaran Pendahuluan skp


37

Negeri PPN Dalam Negeri

PPN Dalam SKPKB PPN Pemanfaatan JKP


10. 411211 312
Negeri dari luar Daerah Pabean

PPN Dalam SKPKB PPN Kegiatan


11. 411211 313
Negeri Membangun Sendiri

PPN Dalam
12. 411211 320 SKPKBT PPN Dalam Negeri
Negeri

SKPKBT PPN Pemanfaatan


PPN Dalam
13. 411211 321 BKP tidak berwujud dari luar
Negeri
Daerah Pabean

PPN Dalam SKPKBT PPN Pemanfaatan


14. 411211 322
Negeri JKP dari luar Daerah Pabean

PPN Dalam SKPKBT PPN atas Kegiatan


15. 411211 323
Negeri Membangun Sendiri

Pembayaran atas Surat

Keputusan Pembetulan, Surat


PPN Dalam
16. 411211 390 Keputusan Keberatan, Putusan
Negeri
Banding, atau Putusan

Peninjauan Kembali

17. PPN Impor 411212 300 STP PPN Impor

18. PPN Impor 411212 310 SKPKB PPN Impor

19. PPN Impor 411212 320 SKPKBT PPN Impor


38

Pembayaran atas Surat

Keputusan Pembetulan, Surat

20. PPN Impor 411212 390 Keputusan Keberatan, Putusan

Banding, atau Putusan

Peninjauan Kembali

21. PPN Lainnya 411219 300 STP PPN Lainnya

22. PPN Lainnya 411219 310 SKPKB PPN Lainnya

23. PPN Lainnya 411219 320 SKPKBT PPN Lainnya

Pembayaran atas Surat

Keputusan Pembetulan, Surat

24. PPN Lainnya 411219 390 Keputusan Keberatan, Putusan

Banding, atau Putusan

Peninjauan Kembali

Saat pembayaran / Penyetoran PPN adalah :

1. PPN yang dihitung sendiri oleh PKP harus disetor paling lama akhir bulan

berikutnya setelah masa Pajak berakhir dan sebelum Surat pemberitahuan

masa pajak pertambahan Nilai disampaikan

2. PPN yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT dan STP harus dibayarkan

/disetorkan sesuai batas waktu yang tercantum dalama Surat Ketetapan pajak

tersebut.
39

3. PPN atas impor dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea MAsuk ,

dan apabila pembayaran bea masuk ditunda/dibebaskan , harus dilunasi pada

saat penyelesaian dokumen impor

4. PPN yang pemungutannya dilakukan oleh :

a. Bendahara Pemerintah harus disetor paling lambat tanggal 7 9tujuh) bulan

berikutnya setelah masa Pajak berakhir

b. DJBC yangmemungut PPN atas impor harus disetor dalam jangka waktu 1

(satu) hari kerja setelh dilakukan pemungutan pajak.

5. PPN dari penyerahan terigu oleh BULOG harus dilunasi sendiri oleh PKP

sebelum Surat Perintah pengeluaran barang (D.O.) ditebus.

2.7.3. Tata Cara Pelaporan PPN

Tata cara pelaporan PPN adalah sesuai dengan PMK No. 243/PJ/2014 ,

dan lebih lanjut diatur dalam peraturan dirjen pajak nomor PER-29/PJ./2015 ,

hahwa pelaporan PPN adalah menggunakan SPT masa PPN berbentuk e-SPT.

Ketentuan lebih lanjut mengenai:

1. Jenis SPT Masa PPN sebagimana ditetapkan dalam Peraturan Direktur

Jenderal Pajak ini, yang selanjutnya disebut dengan SPT Masa PPN 1111,

terdiri dari:

a. Induk SPT Masa PPN 1111 - Formulir 1111 (F.1.2.32.04); dan

b. Lampiran SPT Masa PPN 1111:

1) Formulir 1111 AB - Rekapitulasi Penyerahan dan Perolehan

(D.1.2.32.07);

2) Formulir 1111 A1 - Daftar Ekspor BKP Berwujud, BKP Tidak

Berwujud dan/atau JKP (D.1.2.32.08);


40

3) Formulir 1111 A2 - Daftar Pajak Keluaran atas Penyerahan Dalam

Negeri dengan Faktur Pajak (D.1.2.32.09);

4) Formulir 1111 B1 - Daftar Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan

atas Impor BKP dan Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud/ JKP dari

Luar Daerah Pabean (D.1.2.32.10);

5) Formulir 1111 B2 - Daftar Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan

atas Perolehan BKP/ JKP Dalam Negeri (D.1.2.32.11); dan

6) Formulir 1111 B3 - Daftar Pajak Masukan yang Tidak Dikreditkan

atau yang Mendapat Fasilitas (D.1.2.32.12),

2. SPT Masa PPN 1111 dapat berbentuk:

a. formulir kertas (hard copy); atau

b. dokumen elektronik.

3. Formulir SPT Masa PPN 1111 dalam bentuk formulir kertas (hard copy) dan

aplikasi untuk membuat SPT Masa PPN 1111 dalam bentuk dokumen

elektronik dapat diperoleh dengan cara:

a. diunduh di laman (website) Direktorat Jenderal Pajak, dengan alamat

www.pajak.go.id;

b. diambil di KPP atau KP2KP; atau

c. digandakan atau diperbanyak sendiri oleh PKP.

4. Aplikasi yang dipergunakan PKP untuk membuat SPT Masa PPN 1111 dalam

bentuk dokumen elektronik yaitu:

a. Aplikasi e-SPT; atau

b. Aplikasi e-Faktur.
41

Dalam hal Formulir SPT Masa PPN 1111 berbentuk formulir kertas (hard

copy) dilakukan penggandaan, format dan ukurannya harus sesuai dengan

Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

SPT Masa PPN 1111 wajib diisi oleh setiap PKP selain PKP yang

menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7) dan ayat (7a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas

Barang Mewah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-

Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak

Penjualan atas Barang Mewah.

Setiap PKP wajib menyampaikan SPT Masa PPN 1111 dalam bentuk

dokumen elektronik. Dalam hal SPT Masa PPN 1111 disampaikan dalam bentuk

dokumen elektronik dengan media elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal

3 ayat (1) huruf b, PKP wajib :

a. menggunakan Aplikasi e-SPT atau aplikasi e-Faktur yang ditentukan dan/ atau

disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak; dan

b. menyampaikan Induk SPT Masa PPN 1111 dalam bentuk formulir kertas

(hard copy) dan menandatanganinya

c. PKP yang diwajibkan membuat e-Faktur sebagaimana ditetapkan dengan

Keputusan Direktur Jenderal Pajak wajib membuat SPT Masa PPN 1111

dengan menggunakan aplikasi e-Faktur yang telah ditentukan dan/ atau

disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.


42

Tata cara pengisian serta keterangan yang wajib diisi pada SPT Masa

PPN 1111 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengikuti petunjuk penggunaan (

manual user) aplikasi e Faktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Peraturan

Direktur Jenderal Pajak Nomor PER- 16/ PJ/ 20 14. PKP yang telah

menyampaikan SPT Masa PPN 1111 dalam bentuk dokumen elektronik, untuk

Masa Pajak berikutnya:

a. PKP diwajibkan menyampaikan SPT Masa PPN 1111 dalam bentuk

dokumen elektronik; dan

b. PKP tidak diperkenankan lagi untuk menyampaikan SPT Masa PPN 1111

dalam bentuk formulir kertas ( hard copy).

PKP yang diperkenankan melaporkan Faktur Pajak dalam SPT Masa

PPN 1111 dengan cara digunggung adalah:

a. PKP Pedagang Eceran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 Peraturan

Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan

Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah Diubah Beberapa Kali

Terakhir dengan Undang Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan

Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan

Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; atau

b. PKP yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/ atau Jasa Kena

Pajak yang diatur secara khusus pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

PKP yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) namun melaporkan Faktur Pajak dalam SPT Masa PPN 1111 dengan cara
43

digunggung merupakan PKP yang menyampai kan SPT Masa PPN dengan tidak

benar. PKP wajib melaporkan Daftar Pajak Keluaran atas penyerah an dalam

negeri dengan Faktur Pajak dalam SPT Masa PPN 1111 pada Formulir 1111 A2

untuk Masa Pajak yang sama dengan tanggal Faktur Pajak dibuat. PKP wajib

melaporkan dalam Formulir 1111 B3 atas Pajak Masukan yang menurut ketentuan

peraturan perundang undangan di bidang perpajakan dapat dikreditkan namun

tidak dilakukan pengkreditan oleh PKP.

PKP yang menyampaikan SPT Masa PPN 1111 tetapi isinya tidak benar

dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan. Kesesuaian pengisian SPT menurut undang undang seperti adalah

sebagai berikut :

b. Bentuk, isi, dan tata cara pengisian SPT;

c. Keterangan dan/atau dokumen yang harus dilampirkan dalam SPT;

d. Tempat dan cara lain pengambilan SPT;

e. Tatacara penandatanganan SPT;

f. Tatacara penyampaian SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan;

g. Tatacara pembetulan SPT; dan

h. Tatacara penelitian, pengelompokan, perekaman, dan pengelolaan SPT,

i. Saat Pelaporan PPN adalah :

1. SPT Masa disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat paling lambat

akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.

2. PPN yang tercantum dalam Surat ketetapan pajak yang telah dilunasi

segera dilaporkan ke KPP yang menerbitkan.

3. PPN yang pemungutannya dilakukan :


44

a. Bendahara Pemerintah harus dilaporkan paling lama akhir bulan

berikutnya setelah masa pajak berkahir

b. DJBC ata simpor harus dilaporkan paling lama akhir bulan berikut

setelah masa pajak berakhir

4. Untuk penyerahan tepung terigu oleh BULOG, PPN dihitung sendiri oleh

PKP dan dilaporkan dalam SPT MAsa dan dilaporkan ke KPP setempat

paling lama akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.

2.8. Sanksi Administrasi

Berdasarkan SPT Masa PPN yang harus dibuat oleh Pengusaha Kena

Pajak wajib dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak

dikukuhkan, paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

Apabila terjadi keterlambatan dalam pelaporan SPT Masa PPN maka terhadap

Pengusaha Kena Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda Rp

500.000.00-

Dalam hal tanggal jatuh tempo di atas bertepatan dengan hari libur

termasuk hari sabtu dan hari libur nasional, maka pelaporan atau penyampaian

SPT Masa PPN dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Dalam pengertian hari

libur nasional termasuk juga hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan

Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara

nasional yang ditetapkan pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai