Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

2.1 Tinjauan Teoritis

1.1.1 Pajak

Menurut Pasal 1 ayat 1 UU KUP No. 28 Tahun 2007, Pajak adalah

kontribusi wajib kepada negara yang terutang menurut undang-undang oleh orang

pribadi atau badan yang bersifat memaksa tanpa mendapat imbalan secara

langsung yang digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat. Dr. Soeparman Soemahamidjaya menyatakan pajak adalah

iuran wajib yang berupa barang atau uang yang dipungut oleh penguasa

berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang

dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum (Waluyo, 2011:2).

Menurut Soemitro, pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat

kontraprestasi secara langsung dan ditujukan untuk membayar pembiayaan umum

(Mardiasmo, 2011:1).

Dari pengertian di atas, ciri-ciri yang dapat disimpulkan dari pengertian

pajak adalah :

1) Pajak dipungut berdasarkan undang-undang yang berlaku dan bersifat

memaksa.

9
10

2) Dalam pembayaran pajak tidak dapat menerima kontraprestasi dari

pemerintah secara langsung.

3) Pajak memiliki tujuan sebagai budgeter untuk membiayai pengeluaran

pemerintah, yang bila pemasukannya melebihi dapat dikatakan surplus dan

digunakan untuk membiayai public invesment.

1.1.2 Wajib Pajak

Wajib Pajak (WP) adalah orang pribadi atau badan yang memiliki

kewajiban perpajakan sesuai undang-undang perpajakn yang meliputi

pemotong, pemungut, pembayar dan pelapor pajak tertentu (Mardiasmo,

2011:23). Wajib pajak memiliki kewajiban untuk medaftarkan diri sebagai

wajib pajak, menghitung, membayar dan melaporkan pajak sesuai dengan

sistem self assessment.

Menurut UU PPh Nomor 36 tahun 2008 mengenai wajib pajak adalah

sebagai berikut :

a. Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) :

o WPOP yang memiliki pengahasilan dari usaha

o WPOP yang memiliki penghasilan dari pekerjaan bebas

b. Wajib Pajak Badan (WP Badan) :

o Badan milik pemerintah

o Badan milik swasta (PT, Koperasi, CV, Yayasan, dan Lembaga)

c. Wajib Pajak Bendahara (sebagai pemungut dan pemotong pajak) :

o Bendahara Pemerintah Pusat

o Bendahara Pemerintah Daerah


11

Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak aturan

bahwa wajib pajak adalah orang yang sudah memiliki NPWP. Namun orang yang

belum memiliki NPWP sudah bisa disebut wajib pajak apabila benar-benar sudah

mempunyai hak dan kewajiban perpajakan atau yang sudah memenuhi tatbestand

yang berarti seseorang untuk memenuhi syarat yang ditentukan di dalam undang-

undang.

1.1.3 Jenis Pajak

Jenis Pajak di Indonesia dibagi menjadi 2 (dua) golongan yaitu :

a. Pajak Pusat adalah pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat dalam

hal ini Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan yang

hasilnya digunakan untuk pembiayaan negara seperti perbaikan

sarana dan prasarana, bantuan bencana alam nasional, bantuan

kesehatan. Pajak Pusat meliputi :

o Pajak Penghasilan (PPh)

o Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

o Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM)

o Bea Materai

o PBB Perkebunan, Perhutanan dan Pertambangan

b. Pajak Daerah adalah pajak yang dikelola oleh pemerintah daerah

tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota meliputi :

o Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Retribusi Daerah

o Pajak Kendaraan Bermotor


12

o BPHTB

o PBB Perdesaan dan Perkotaan

o dan pajak daerah lainnya

1.1.4 Fungsi Pajak

Seperti yang diketahui bahwa pajak mempunyai peranan yang sangat

penting bagi negara karena pajak adalah sumber pendapatan negara yang berguna

untuk membiayai pengeluaran pembagunan atau kebutuhan negara guna

kemakmuran rakyat. Pajak memiliki beberapa fungsi yaitu :

a. Fungsi Anggaran (Budgetair)

Penerimaan negara yang berasal dari pajak berfungsi untuk

membiayai kebutuhan negara seperti biaya pembangunan, biaya

pemeliharan, belanja pegawai, dan lain sebagainya. Pembiayaan

pembagunan makin tahun semakin meningkat maka tabungan negara

juga harus ditingkatkan yang mana juga besumber dari penerimaan

pajak.

b. Fungsi Mengatur (Regulerend)

Pemerintah dalam menjaga pertumbuhan ekomomi juga melalui

kebijakan pajak. Contohnya dalam rangka meningkatkan produksi

dalam negeri dan menerapkan kebiasaan masyarakat untuk mencintai

produk dalam negeri, pemerintah menaikkan bea masuk untuk produk

luar negeri.

c. Fungsi Stabilitas
13

Pemerintah menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan

stabilitas harga agar inflasi terkendali dengan cara mengatur

peredaran yang di masyrakat, penggunaan pajak yang efektif dan

efisien serta memungut pajak secara bijak.

d. Fungsi Retribusi Pendapatan

Pajak yang diperoleh negara juga untuk membiayai kepentingan

negara termasuk dana pembangunan sehingga dapat membuka

lapangan pekerjaan dan pada akhrinya meningkatkan pendapatan

masyarakat.

1.1.5 Pengertian Penghasilan

Definisi Penghasilan menurut UU PPh adalah setiap imbalan yang

berkenaan dengan suatu pekerjaan atau jasa yang diterima oleh Wajib Pajak, dari

sumber tertentu baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang digunakan untuk

hal konsumsi dan bersifat menambah kekayaan Wajib Pajak.

1.1.6 Pengertian Pemahaman Peraturan Perpajakan

Pemahaman wajib pajak terhadap peraturan perpajakan adalah cara wajib

pajak dala memahami peraturan perpajakan yang telah ada (Hardiningsih, 2011).

Wajib pajak yang kurang paham cenderung tidak patuh untuk melapor dan

membayar pajak. Wajib pajak yang memiliki pengetahuan tinggi akan mematuhi

peraturan perpajakan sesuai aturan yang berlaku. Menurut Rahayu (2010:141)

kualitas pengetahuan pajak yang baik akan meningkatkan kesadaran wajib pajak

dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Semakin tinggi tingkat pengetahuan

dan pemahaman wajib pajak, semakin mudah pula bagi mereka untuk memenuhi
14

kewajiban perpajaknnya (Nurmuntu, 2005:32). Dalam penelitian ini penulis

memakai acuan salah satu peraturan perpajakan yang relevan dengan kondisi

ekonomi di masa pandemi Covid-19 yaitu omnibus law.

1.1.7 Omnibus Law

Kebijakan Perpajakan untuk memperkuat perkonomian yang dirancang

dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kebijakan Perpajakan yang berisi

berbagai macam peraturan dari sejumlah UU Pajak yang ditujukan untuk

memberikan jaminan kepastian pajak. Omnibus Law adalah UU yang mencakup

berbagai jenis materi (Garner, 2009). Omnibus Law diharapkan mampu menjadi

daya tarik investor asing masuk ke dalam negeri kapan saja tanpa ada keraguan.

Berikut isi dan poin-poin omnibus law UU Cipta Kerja Bidang

Perpajakan:

a. Perubahan dalam UU Pajak Penghasilan (PPh)

1. Tidak Kena Pajak Dividen

Syarat : dividen dan penghasilan pajak yang diinvestasikan

minimal 30% dari laba setelah pajak serta bagi WP badan

sahamnya tidak diperdagangkan di BEI sebelum DJP menerbitkan

surat ketetapan dividen tersebut dengan ketentuan :

- Dividen yang diinvestasikan di Indonesia tidak dikenai PPh

- Bila diinvestasikan <30% laba setelah pajak Badan Usaha LN,

selisih 30% dikurangi realisasi yang diinvestasi di Indonesia

(kurang dari 30%) dikenai PPh


15

- Sisa laba setelah pajak Badan Usaha LN setelah dikurangi

kedua point di atas, tidak dikenai PPh

2. Penurunan Tarif PPh pasal 26 atas Penghasilan Bunga

3. Penegasan tentang Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) dan Subjek

Pajak Luar Negeri (SPLN)

4. Pengecualian dari Objek pajak untuk WNA

5. Pengaturan Dana Setoran Haji

b. Perubahan UU PPN dan PPnBM

1. Pengkreditan Pajak Masukan

2. Dapat mengkreditkan pajak masukan yang belum dikreditkan

dengan pajak keluaran pada masa pajak yang sama pada masa

pajak berikutnya paling lama 3 bulan setelah berakhirnya masa

pajak saat Faktur Pajak dibuat

3. PKP pedagang eceran dapat membuat faktur pajak tanpa

mencantumkan identitas pembeli

c. Perubahan UU KUP

1. Penurunan Sanksi Telat Lapor SPT dan Kurang Bayar Pajak

2. Penurunan Sanksi Pelaporan Pajak Tidak Sesuai

3. Surat Tagihan Pajak

4. PKP tidak terbitkan Faktur akan dikenakan sanksi sebesar 1% dari

DPP

5. Denda bayar SKPKBT dan lainnya

6. Sanksi Penundaan Pembayaran karena Mengangsur


16

7. Penghentian Penyidikan

d. Perubahan UU PDRD

1.1.8 Kualitas Pelayanan Pajak

Menurut Junita dan Widiastuti (2008) bahwa kualitas layanan merupakan

tingkat daya saing yang diharapkan dan pengendalian daya saing tersebut untuk

memuaskan keinginan pelanggan. Kualitas pelayanan adalah pelayanan yang

memberikan kepuasan pada wajib pajak dan tetap dalam batas standar pelayanan

yang dapat dipertanggungjawabkan (Hardiningsih, 2011). Dalam upaya

meningkatkan kepatuhan wajib pajak maka petugas pajak harus diarahkan untuk

memenuhi kebutuhan wajib pajak agar dapat melaksanakan peraturan perundang-

undangan perpajakan. Pelayanan wajib pajak bertujuan untuk menjaga kepuasan

wajib pajak dan diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam

memenuhi kewajiban perundang-undangannya.

Kualitas pelayanan adalah perbandingan antara pelayanan konsumen

dengan kualitas pelayanan yang diharapkan konsumen. DJP perlu meningkatkan

kualitas petugas pajak mengacu pada keterampilan, pengetahuan, pengalaman

dalam kebijakan, administrasi dan hukum perpajakan serat motivasi yang tinggi

sebagai pegawai pajak (Ilyas dan Burton, 2010). Pada penelitian Putri (2012:673)

dikatakan bahwa kualitas pelayanan berpengaruh positif dan signifikan terhadap

kepatuhan wajib pajak. Apabila aparat pajak memberikan pelayanan yang baik

maka wajib pajak akan patuh melaksanakan kewajiban perpajakannnya tanpa ada

rasa khawatir dan takut. Oleh karena itu aparat pajak wajib melakukan perbaikan

mutu pelayanan publik agar kepatuhan wajib pajak meningkat dan penerimaan
17

pajak juga meningkat dengan menempatkan masyarakat wajib pajak sebagai

pelanggan sebaik-baiknya layaknya pelanggan dalam suatu bisnis.

1.1.9 Sanksi Perpajakan

Mardiasmo (2011:59) menyatakan dalam bukunya bahwa sanksi

perpajakan merupakan jaminan atas ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan. Sanksi perpajakan merupakan alat jaminan agara ketentuan dan tata

cara perpajakan dapat dipatuhi dengan baik dan benar. Sehingaa siapapun yang

melanggar ketentuan wajib mendapat sanksi sesuai ketentuan yang berlaku agar

tidak meremehkan peraturan perpajakan dan hal-hal yang tidak diinginkan. Di

Indonesia Pelaksanaan dan Pengenaan Sanksi diatur dalam undang-undang berupa

sanksi administratif atau denda bahkan sanksi pidana.

Sanksi administratif merupakan pembayaran kerugian kepada negara

berupa bunga atau kenaikan. Sanksi pidana merupakan siksaan yang digunakan

fiskus agar norma perpajakan dipatuhi (Mardiasmo, 2006: 39-40).

Menurut Johanes et al (2017) sanksi pajak adalah bentuk imbal balik atas

pelanggaran yang dilakukan wajib pajak karena melanggar atau tidak memenuhi

kewajiban perpajakannya sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan dan

sanksi tidak menghilangkan kewenangan untuk menagih pajak yang masih

terutang.

1.1.10 Pengertian Ekonomi

Menurut Paul E. Samuelson, pengertian ekonomi adalah suatu cara yang

dipakai seseorang atau sekumpulan orang untuk memanfaatkan sumber-sumber

kekayaan yang terbatas untuk disalurkan agar dapat dikonsumsi masyarakat


18

banyak. Faktor ekonomi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh cukup

besar bagi individu untuk dapat memenuhi kebutuhannya dan dalam membayar

pajak (Carolla, 2013). Budi Setiyono (2017) menyatakan kondisi ekonomi adalah

kedudukan atau posisi seseorang dalam sekelompok manusia yang ditentukan

oleh jenis aktivitas ekonomi, pendapatan, tingkat pendidikan, jenis tempat tiggal,

dan jabatan dalam organisasi. Kondisi ini menggambarkan tingkat status ekonomi

seseorang yang dapat memberi dampak bagi individu yang bersangkutan untuk

membangun kesejahteraan bangsa dan negara. Sehingga diharapkan pendapatan

negara ikut bertambah lewat pajak yang dibayarkan oleh setiap warga yang

memiliki penghasilan di atas rata-rata.

1.1.11 Penyuluhan Perpajakan

Penyuluhan perpajakan yang dilakukan oleh Dirjen Pajak untuk

menyediakan informasi, pemahaman, dan pembinaan kepada masyarakat

khususnya Wajip Pajak tentang undang-undang dan fasilitas perpajakan.

Masyarakat diharapkan dapat memahami dan termotivasi agar meningkatkan

kepatuhan wajib pajak. Indikator sosialisasi yang dilakukan Direktorat Jenderal

Pajak antara lain penyuluhan, diskusi dengan wajib pajak dan tokoh masyarakat,

penyampaian informasi melalui sosial media, baliho serta website. Penyuluhan

perpajakan diartikan sebagai upaya atau proses memberikan informasi perpajakan

untuk menghasilkan perubahan pengetahuan, keterampilan, dan sikap masyarakat,

dunia usaha, aparat, serta lembaga pemerintah maupun non pemerintah agar

masyarakat paham, sadar, peduli dan berkontribusi dalam melaksanakan

kewajiban perpajakannya. Penyuluhan pajak memiliki arti proses penyebarluasan


19

peraturan perpajakan agar dapat dipahami dan dapat diterapkan dalam kegiatan

praktis di lapangan yang dilakukan secara berkesinambungan dengan tujuan

meningkatkan pengetahuan, keterampilan, kesadaran, dan kepatuhan Wajib Pajak

dalam melaksanakan kewajiban perpajakan (Arifin, 2012).

1.1.12 Insentif Pajak

Insentif pajak adalah suatu kebijakan pemerintah untuk menarik investasi

masuk dan sebagai alat untuk menstabilkan perekonomian suatu negara. Seperti

yang diketahui, dengan adanya pandemi COVID-19 perekonomian di berbagai

nagara terutama Indonesia sangat terganggu. Tentunya pemerintah telah

menyiapkan strategi dan protokol dalam menanggulangi ketidakstabilan ekonomi

di kala pandemi seperti saat ini. Tidak hanya sektor yang bermodal besar saja

yang terkena dampak melemahnya ekonomi karena pandemi COVID-19, tetapi

juga sektor yang memiliki modal terbatas seperti UMKM. Kementerian Keuangan

telah menyiapkan skema dalam menanggulangi krisis ekonomi akibat pandemi

COVID-19 yaitu dengan menambah hutang negara untuk menutupi defisit

anggaran dan membantu menjaga pertumbuhan ekonomi. Perekonomian yang

baik menjadi tolak ukur kemakmuran suatu negara yang dimana kesejahteraan

rakyat manjadi tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.

44/PMK03/2020 tentang Intensif Pajak untuk Wajib Pajak yang Terdampak

Ppandemi COVID-19 dan telah pembaruan terakhir dalam PMK No.

110/PMK.03/2020 yang berlaku sampai dengan Desember 2020 dan dicabut atau

tidak berlaku ketentuannya dan masih diperpanjang hingga 30 Juni 2021 yang
20

diatur dalam PMK No. 9/PMK03/2021 tentang Intensif Pajak untuk Wajib Pajak

yang Terdampak Pandemi COVID-19. Adapun 6 (enam) jenis pajak yang

mendapat intensif pajak sebagaimana yang diatur dalam PMK No. 9/PMK03/2021

sebagai program Pemulihan Ekonomi Nasional untuk menjaga kondusifitas iklim

investasi yaitu :

1. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21

Karyawan yang bekerja pada perusahaan yang bergerak di salah satu dari

1.189 bidang usaha tertentu, perusahaan yang mendapatkan fasilitas

Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE), dan pada perusahaan di kawasan

berikat dapat memperoleh insentif pajak penghasilan (PPh) pasal 21

ditanggung pemerintah. Fasilitas ini diberikan kepada karyawan yang

memiliki NPWP dan penghasilan bruto yang bersifat tetap dan teratur yang

disetahunkan tidak lebih dari Rp 200 juta.

2. Pajak Final (UMKM)

Pelaku UMKM mendapat insentif PPh final tarif 0,5 persen sesuai Peraturan

Pemerintah Nomor 23 tahun 2018 yang ditanggung pemerintah. Praktis,

wajib pajak UMKM tidak perlu melakukan setoran pajak. Selain itu,

pemotong atau pemungut pajak juga tidak perlu melakukan pemotongan atau

pemungutan pajak pada saat melakukan pembayaran kepada pelaku UMKM.

Pelaku UMKM yang ingin memanfaatkan fasilitas ini cukup menyampaikan

laporan realisasi setiap bulan melalui laman www.pajak.go.id.

3. PPh Pasal 22 Impor


21

Wajib pajak yang bergerak di salah satu dari 730 bidang usaha tertentu

perusahaan KITE, dan perusahaan di kawasan berikat mendapat insentif

pembebasan dari pemungutan PPh pasal 22 impor. Jumlah ini bertambah dari

sebelumnya hanya 721 bidang industri dan perusahaan KITE. Penerima

insentif ini juga wajib menyampaikan laporan realisasi pembebasan PPh Pasal

22 impor setiap bulannya.

4. Angsuran PPh Pasal 25

Wajib pajak yang bergerak di salah satu dari 1.018 bidang usaha tertentu,

perusahaan KITE, atau perusahaan di kawasan berikat mendapat pengurangan

angsuran PPh pasal 25 sebesar 50 persen dari angsuran yang seharusnya

terutang. Sebelumnya fasilitas hanya tersedia bagi 1.013 bidang industri dan

perisahaan KITE. Penerima insentif ini juga wajib menyampaikan laporan

realisasi pengurangan angsuran PPh Pasal 25 setiap bulannya.

5. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Pengusaha kena pajak (PKP) berisiko rendah yang bergerak di salah satu dari

725 bidang usaha tertentu, perusahaan KITE, dan perusahaan di kawasan

berikat mendapat insentif restitusi dipercepat hingga jumlah lebih bayar

paling banyak Rp5.000.000,00 Insentif ini sebelumnya hanya berlaku untuk

716 bidang usaha dan perusahaan KITE.

6. PPh Final Jasa Konstruksi

Wajib pajak yang menerima penghasilan dari usaha jasa konstruksi dalam

Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi (P3-TGAI)

mendapatkan insentif PPh final jasa konstruksi ditanggung pemerintah.


22

Pemberian insentif ini dimaksudkan untuk mendukung peningkatan

penyediaan air (irigasi) sebagai proyek padat karya yang merupakan

kebutuhan penting bagi sektor pertanian kita.

Gambar 1

Pajak yang Mendapat Insentif

1.1.13 ICT (Information and Communication Technologies)

Menurut Darmawan (2013:1) Information and Communication

Technology (ICT) atau yang lebih dikenal dengan TIK (Teknologi Informasi dan

Komunikasi) adalah semua teknologi yang berhubungan dengan pengambilan,


23

pengumpulan (akuisisi), pengolahan, penyimpanan, penyebaran, dan penyajian

informasi.

1.1.14 Pengertian Kepatuhan Pajak

Menurut Devano dan Rahayu (2006), kepatuhan perpajakan adalah sikap

ketaatan, kepatuhan dan tunduk untuk melaksanakan ketentuan perpajakan. Wajib

pajak yang patuh yaitu wajib pajak yang sadar dan taat memenuhi serta

melaksanakan kewajiban perpajakannya sesuai perundang-undangan perpajakan.

Kepatuhan Pajak adalah kesediaan wajib pajak untuk memenuhi

kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku tanpa perlu

diadakan pemeriksaan, penyidikan, peringatan, atau ancaman, dalam penerapan

sanksi baik hukum maupun administrasi (Gunadi, 2005). Lefebvre et al (2014)

menjelaskan bahwa pembayar pajak cenderung menyesuaikan keputusan mereka

dengan norma social hanya dalam kasus contoh penghindaran.

Kepatuhan pajak juga dipengaruhi oleh timbal balik dan sanksi yang

akan diberikan jika wajib pajak tidak melaksanakan kewajibannya. Seperti yang

dijelaskan oleh Kirchler, 2007 dalam Erich Kirchler (2010) bahwa jika wajib

pajak membutuhkan penegakan hukum agar mereka mematuhinya maka audit dan

denda perlu diberikan utnuk memberi efek jera. Mengedukasi pegawai KPP agar

ramah dan professional serta membina auditor pajak untuk memperlakukan wajib

pajak dengan baik akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak (Janina Enachescu,

Jerome Olsen, 2019)


24

1.1.15 Atribution Theory

Teori ini pertama kali dicetuskan oleh Fritz Heider pada tahun 1958 dan

dikembanngkan oleh Harold Kelley (1972). Menurut Robbin (2002:47) di dalam

Ariesta dan Latifah (2017:174) menyatakan bahwa teori atribusi adalah sikap kita

dalam menganalisa perilaku seseorang untuk menentukan apakah penilaian

tersebut disebabkan faktor internal dan eksternal. Teori ini relevan untuk

menjelaskan penelitian ini, karena perilaku seseorang dalam kepatuhan wajib

pajak sangat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksterna, contoh nya tingkat

pendidikan dan faktor ekonomi dapat mempengaruhi kepatuhan wajib pajak

dalam menentukan mau membayar pajak atau tidak.

1.1.16 Theory Planned Behavior (TPB)

Teori ini memperkuat teori atribusi dimana Theory Planned Behavior

(TPB) yang dikemukakan oleh Ajzen (1991) tentang faktor-faktor yang

mempengaruhi perilaku kepatuhan wajib pajak dilihat dari sisi psikologis. Teori

ini menyatakan bahwa mindset seseorang lah yang mempengaruhi keputusan

untuk patuh atau tidak pada peraturan perpajakan.

Keyakinan akan timbal balik yang diperoleh saat melakukan kewajiban

perpajakan akan mempengaruhi untuk mematuhi peraturan perpajakan atau tidak.

Kewajiban perpajakan akan terpenuhi jika wajib pajak sadar akan pentingnya

membayar pajak untuk kelangsungan pembangunan negara. Dengan memenuhi

kewajiban perpajakannya, tentu wajib pajak menginginkan timbal balik atau hasil

dari apa yang sudah dilakukannya yang memotivasi agar terus berperilaku taat

pajak. Hal ini dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas pelayanan dan adanya
25

penyuluhan perpajakan agar masyarakat teredukasi dan memahami pentingnya

patuh pajak dan apa saja timbal balik yang akan didapatkan masyrakat atas

kepatuhan perpajakannya itu.sedangkan sanksi pajak alat pengendalian sejauh

mana persepsi wajib pajak terhadap sanksi yang dapat mempengaruhi kepatuhan

(controlbeliefs). Insentif pajak diberikan sebagai upaya dalam rangka membantu

perekonomian negara dengan diberlakukan pengecualian objek pajak,

permberlakuan kredit pajak, penangguhan kewajiban perpajakan, pengurangan

sebuah biaya atas jenis pengeluaran tertentu atau tarif impor atau tarif bea cukai.

Dengan didukung pengoptimalan ICT (Information and Communication

Technologies di masa pandemi COVID-19 yang memnimalisir kegiatan tatap

muka, maka wajib pajak dapat dengan mudah dan efiesien melaksanakan

kewajiban perpajakannya serta dapat terlaksana dengan baik dan tepat waktu.

1.1.17 Penelitian Terdahulu

Berikut ringkasan hasil penelitian terdahulu yang membahas tentang

beberapa faktor yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak seperti kualitas

pelayanan, tingkat pendidikan, faktor ekonomi, sanksi perpajakan, penyuluhan

perpajakan, insentif pajak, dan optimalisasi ICT (Information and Communication

Technologies yang akan disajikan di tabel 1 :

Tabel 1

Penelitian Terdahulu

No. Nama Peneliti Variabel Peneliti Hasil Penelitian

1 Evalin Yuanita Pengaruh Sanksi, Motivasi dan Sanksi, Motivasi


26

Tologana Tingkat Pendidikan terhadap memiliki pengaruh

(2015) Kepatuhan Wajib Pajak Orang positif terhadap

Pribadi kepatuhan wajib

pajak. Namun

tingkat pendidikan

tidak berpengaruh

secara signifikan

2 Enni Savitri The Effect of Taxpayer The finding

dan Musfialdy Awareness, Tax Socialization, conclude that

(2015) Tax Penalties, Compliance Cost service quality has a

at Taxpayer Compliance with full mediating role

Service Quality as Mediating in relationhip

Variable between taxpayer

awareness, tax

penalties,

compliance cost

and taxpayer

compliance.

3 Ajat dan Aries Pemanfaatan Teknologi Pemanfaatan

(2015) Informasi, Sosialisasi Pajak, tekhnologi

Pengetahuan Perpajakan dan informasi,

Kepatuhan Pajak sosialisasi pajak

dan pengetahuan
27

pajak berpengaruh

positif dan

signifikan terhadap

kepatuhan Wajib

Pajak secara parsial.

Sedangkan

pengujian secara

bersama- sama

(simultan)

berpengaruh

terhadap kepatuhan

pajak.

4 Yulita Arfiana Korelasi Efektifitas Penerapan Terdapat hubungan

(2008) Teknologi Informasi dalam yang signifikan

Sistem Administrasi Perpajakan antara efektifitas

Modern penerapan teknologi

informasi dalam

sistem administrasi

perpajakan

5 Syanti Dewi, Pengaruh Insentif Pajak, Tarif Insentif pajak yang

Widyasari, Pajak, Sanksi Pajak dan diberikan

Nataherwin Pelayanan Pajak terhadap pemerintah selama

(2020) Kepatuhan Wajib Pajak selama pandemi tidak


28

Masa Pandemi Covid-19 berpengaruh

signifikan terhadap

kepatuhan wajib

pajak, sanksi pajak

dapat berpengaruh

signifikan terhadap

kepatuhan

2.2 Rerangka Pemikiran dan/atau Rerangka Konseptual

Rerangka pemikiran adalah suatu gambaran yang menjelaskan secara

garis besar penelitian yang akan dilakukan. Tinjauan teoritis akan membantu

menggambarkan bagaimana kerangka pemikiran yang akan disusun, kemudian

peneliti akan menganalisis masalah yang akan dikemukakan oleh peneliti.

Kerangka pemikiran tersebut berbentuk bagan atau narasi, berikut bagan dari

kerangka pemikiran peneliti ini:


Peraturan Perpajakan
Kualitas Pelayanan

Faktor Ekonomi
Kepatuhan Wajib
Sanksi Perpajakan Pajak saat Pandemi
COVID-19
Penyuluhan Perpajakan

Insentif Pajak Gambar 2 Rerangka Konseptual

Optimalisasi ICT
29

2.3 Pengembangan Hipotesa

1.1.18 Pemahaman Peraturan Perpajakan terhadap Kepatuhan Wajib


Pajak Masa Pandemi Covid-19

Pemahaman peraturan perpajakan adalah segala sesuatu yang

berkaitan dengan peraturan perpajakan yang disahkan oleh Dirjen

Pajak yang dilakukan dengan benar sesuai dengan ketentuan umum

dan tata cara perpajakan. Dengan kondisi saat ini pemerintah

mengeluarkan peraturan baru penggabungan dari beberapa peraturan

perundang-undangan untuk mengatasi masalah ketidakstabilan

perekonomian, meyederhanakan peraturan dan mengatasi adanya

regulasi yang disebut Omnibus Law.

H₁ : Pemahaman Peraturan Perpajakan berpengaruh positif

terhadap kepatuhan WP masa pandemi COVID-19

1.1.19 Kualitas Pelayanan terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Masa


Pandemi Covid-19

Kualitas pelayanan adalah ukuran citra yang diakui

masyrakat mengenai pelayanan yang dberikan baik atau tidak.

Kualitas pelayanan yang diberikan diharapkan sesuai dengan

keinginan atau ekspektasi pelanggan. Pada penelitian Putri (2012:673)

dijelaskan bahwa kualitas pelayanan berpengaruh positif dan

signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak. Menurut Jatmiko

(2006:21) kepatuhan wajib pajak tergantung pada bagaimana petugas

pajak memberikan pelayanan yang baik dan memuaskan kepada wajib

pajak yang sedang dan ingin memenuhi kewajibannya sebagai wajib


30

pajak. Kualitas pelayanan yang diberikan aparat pajak secara optimal,

akan meningkatkan kemauan membayar pajak karena wajib pajak

merasa diberi pelayanan yang baik oleh aparat pajak dan sesuai yang

diharapkan saat mengurus hal-hal yang berhubungan dengan pajak.

H₂ : Kualitas Pelayanan berpengaruh positif terhadap kepatuhan WP

masa pandemi COVID-19

1.1.20 Faktor Ekonomi terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Masa


Pandemi Covid-19

Tingkat penghasilan wajib pajak sebagai objek pajak sangat

terkait dengan besarnya pajak terutang. Disisi lain tingkat penghasilan

mempengaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak dalam mematuhi

kewajiban perpajakannya, maka salah satu hal yang dipertimbangkan

dalam pemungutan wajib pajak adalah tingkat penghasilan atau faktor

ekonomi (Rustyaningsih, 2011).

Wajib pajak yang memiliki penghasilan yang besar cenderung

untuk patuh pajak daripada wajib pajak yang berpenghasilan kecil

atau ekomoni pas-pasan. Menurut penelitian Sari dan Susanti (2013)

menunjukkan bahwa tingkat penghasilan berpengaruh terhadap

kepatuhan wajib pajak. Diperkuat dengan penelitian Chaerunnisa

(2010) dan Ernawati (2014) bahwa faktoor ekonomi berpengaruh

positif terhadap kepatuhan wajib pajak.

H₃ : Faktor Ekonomi berpengaruh positif terhadap kepatuhan WP

masa pandemi COVID-19


31

1.1.21 Sanksi Perpajakan terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Masa


Pandemi Covid-19

Sanksi dalam perpajakan yaitu hukuman yang diberikan kepada

wajib pajak yang melakukan pelanggaran agar norma perpajakan

dipatuhi.

H₄ :Sanksi Perpajakan berpengaruh positif terhadap kepatuhan WP

masa pandemi COVID-19

1.1.22 Penyuluhan Perpajakan terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Masa


Pandemi Covid-19

Adanya penyuluhan perpajakan agar masyarakat teredukasi

dan memahami pentingnya patuh pajak dan apa saja timbal balik yang

akan didapatkan masyrakat atas kepatuhan perpajakannya itu.

Masyarakat yang kurang teredukasi tentang perpajakan cenderung

tidak patuh atau tidak menghiraukan kewajiban perpajakannya.

Menurut penelitian Novita dan Zahroh (2014) menunjukan bahwa

penyuluhan berpengaruh signifikan secara parsial atau individu

terhadap kepatuhan wajib pajak. Hasil penelitian ini didukung oleh

penelitian yang dilakukan Muchsin (2013) bahwa terdapat pengaruh

yang signifikan dan positif antara penyuluhan pajak dengan kepatuhan

Wajib Pajak,

H₅ :Penyuluhan Perpajakan berpengaruh positif terhadap kepatuhan

WP masa pandemi COVID-19


32

1.1.23 Insentif Pajak terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Masa Pandemi


Covid-19

Insentif pajak merupakan ketentuan khusus dalam

perundang-undangan perpajakan yang berdampak pada berkurangnya

jumlah pajak terutang yang seharusnya dibayar ke negara. Program ini

bertujuan untuk membantu perekonomian negara terutama Indonesia

saat masa pandemi COVID-19.

H₆ : Insentif Pajak berpengaruh positif terhadap kepatuhan WP masa

pandemi COVID-19

1.1.24 Optimalisasi ICT (Information and Technologies Communication)


terhadap terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Masa Pandemi
Covid-19

Di masa pandemi COVID-19 pemerintah mengintruksikan

untuk membatasi kegiatan tatap muka untuk memutus mata rantai

penyebaran COVID-19. Sehubungan dengan hal tersebut, Dirjen

Pajak membuka layanan hanya melalui social media, sistem

perpajakan, dan telepon. Pengoptimalan ICT (Information and

Technologies Communication) sangat diperlukan untuk mendukung

kelancaran wajib pajak untuk tetap melakukan kewajiban

perpajakannya. Jika teknologi tidak dimanfaatkan secara optimal,

maka wajib pajak enggan untuk patuh terhadap kewajiban

perpajakannya.

H₇ : Optimalisasi ICT berpengaruh positif terhadap kepatuhan WP

masa pandemi Covid-19


33

Anda mungkin juga menyukai