I. PENDAHULUAN
1. UU Rumah Sakit
Rumah Sakit sebagaimana tertuang dalam Pasal 20 UU Rumah Sakit
No. 44 tahun 2009 berdasarkan pengelolaannya dapat dibagi menjadi
Rumah Sakit Publik dan Rumah Sakit Privat.
Rumah Sakit Publik dapat dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah dan badan hukum yang bersifat Nirlaba. Sedangkan Rumah
Sakit Privat dikelola oleh badan hukum dengan tujuan Profit yang
berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero.
Pada prakteknya cukup banyak Rumah Sakit Publik yang dikelola oleh
organisasi keagamaan yang bersifat Nirlaba dengan segala
permasalahan khususnya dalam hal pembiayaan. Agar Rumah Sakit
tetap dapat eksis membantu Pemerintah dalam mencapai tujuannya
yaitu pelayanan kesehatan yang didasarkan pada nilai kemanusiaan,
etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti
Pengenaan pajak di RS 1
diskriminasi, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai
fungsi sosial, maka sudah selayaknya Rumah Sakit Publik yang
dikelola swasta yang bersifat Nirlaba mendapat bantuan sumber
pembiayaan dan Insensif dari Pemerintah.
Pengenaan Pajak di RS 2
II. UNDANG UNDANG PERPAJAKAN
UU No. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan pasal 1 antara lain menyebutkan :
Ayat 1 :
“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-
Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat”.
Ayat 2 :
“Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak,
pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan
kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan”.
Ayat 3 :
“Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha
yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan
lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan
nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, orhanisasi sosial
politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya
termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap”.
Dalam hal ini Rumah Sakit Nirlaba termasuk Wajib Pajak yang harus
memenuhi kewajiban pajaknya.
1. UU Pajak Penghasilan
Sebagaimana tertuang dalam pasal 2.b UU No. 36 tahun 2008
tentang Pajak Penghasilan, maka Badan (dalam hal ini Rumah Sakit
Nirlaba) termasuk menjadi Subyek Pajak.
Sedangkan yang menjadi Obyek Pajak adalah penghasilan, yaitu
setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh
wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
Pengenaan Pajak di RS 3
kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam
bentuk apapun (pasal 4 ayat 1 Undang-Undang ini)
Dengan demikian setiap penghasilan yang diperoleh Rumah Sakit
Publik menjadi Obyek Pajak sesuai dengan Undang-Undang.
Ayat 1 :
“Daerah pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi
wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-
tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang
didalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai
kepabeanan”.
Ayat 2 :
“Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya
dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan
barang tidak berwujud”.
Ayat 3 :
“Barang kena pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan
Undang-Undang ini”.
Ayat 4 :
“Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan
Barang Kena Pajak”.
Ayat 5 :
“Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu
perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang,
fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa
yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau
permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan”.
Pengenaan Pajak di RS 4
Ayat 6 :
“Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan
Undang-Undang ini”.
Ayat 7 :
Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa
Kena Pajak.
Ayat 2 :
Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah
barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut :
a. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil
langsung dari sumbernya.
b. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat
banyak
c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah
makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman
baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan
dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering.
( Meskipun tidak tidak dikenai PPN atas penyajian makanan dan
minuman tersbut dikenai retribusi daerah ).
d. Uang, emas batangan, dan surat berharga.
Ayat 3 :
Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa
tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut :
a. Jasa pelayanan kesehatan medis
b. Jasa pelayanan sosial
c. Jasa pengiriman surat dengan perangko
d. Jasa keuangan
e. Jasa asuransi
Pengenaan Pajak di RS 5
f. Jasa keagamaan
g. Jasa pendidikan
h. Jasa kesenian dan hiburan
i. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan
j. Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan
udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari jasa angkutan udara luar negeri
k. Jasa tenaga kerja
l. Jasa perhotelan
m. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan
pemerintahan secara umum
n. Jasa penyediaan tempat parkir
o. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam
p. Jasa boga atau katering.
Pengenaan Pajak di RS 6
a. Pegawai tetap dan pegawai tidak tetap
Rumah Sakit menghitung, memotong dan menyetorkan potongan
PPh 21 pegawai tetap dan pegawai tidak tetap ke Kantor Pajak
serta membuat administrasi pajaknya.
Penghasilan pegawai tetap dan pegawai tidak tetap yang
dikenakan pajak meliputi antara lain :
- Gaji/Upah
- Tunjangan
- Lembur
- Tunjangan Hari Raya
- Insentif
- Penghasilan lain kena pajak
Pajak yang disetor adalah penghasilan tersebut diatas setelah
dikurangi dengan PTKP dan biaya yang boleh dikurangkan.
Besarnya PTKP adalah :
a. Rp 15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh
ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi
b. Rp 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah)
tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin.
c. Rp 15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh
ribu rupiah) tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya
digabung dengan pebghasilan suami sebagaimana dimaksud
dalam pasal 8 ayat (1).
d. Rp 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah)
tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga
semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang
menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang
untuk setiap keluarga.
Pengenaan Pajak di RS 7
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh
juta rupiah)
Di atas Rp 250.000.000,00 (dua ratus 25 % (dua puluh lima
lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp persen)
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
Di atas Rp 500.000.000,00 (lima ratus 30 % (tiga puluh
juta rupiah) persen)
Ayat (1) :
Atas penghasilan tersebut dibawah ini dengan nama dan dalam
bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau
telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subyek
pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha
tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib
Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh
pihak yang wajib membayarkan :
Huruf a.
Sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas :
1. Deviden sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) huruf g.
2. Bunga sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) huruf f.
3. Royalti
4. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah
dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal
21 ayat (1) huruf e.
Pengenaan Pajak di RS 8
Huruf b.
Sebesar 2% (dua persen)
1. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (2).
2. Imbalan sehubungan dengan jasa tehnik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah
dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal
21.
Pengenaan Pajak di RS 9
Dari beberapa hal tersebut tidak dibedakan antara Rumah sakit
publik dengan Rumah sakit privat atau badan hukum profit yang lain.
Di dalam biaya yang tidak boleh dikurangkan terdapat beberapa hal
yang memberatkan Rumah sakit publik antara lain ;
Pasal 9 ayat (1) huruf c
Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali
1. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan
usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan
hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan
anjak piutang.
2. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan
sosial yang dibentuk oleh Penyelenggara jaminan sosial.
3. Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin simpanan
4. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan
5. Cadangan penanaman kembali untuk usaha kehutanan
6. Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat
pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah
industri.
Pengenaan Pajak di RS 10
V. PENGENAAN PAJAK LAINNYA DI RUMAH SAKIT
Atas kepemilikan tanah dan bangunan, maka rumah sakit dikenai PBB.
Sampai saat ini Rumah Sakit masih diperbolehkan mengajukan
keringanan PBB walaupun harus memenuhi persyaratan yang cukup rumit
dan masih dapat diberikan keringanan sebesar 50 %.
Pengenaan Pajak di RS 11
VII. PENUTUP
1. Prospek RS Publik Swasta
Dalam mencapai tujuan yaitu Rumah sakit diselenggarakan
didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas,
manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan,
perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial
(UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah sakit pasal 2), maka Rumah
sakit publik swasta sangat diharapkan berperan lebih besar.
Disamping itu dapat membantu tanggungjawab pemerintah dalam
menggerakkan peran serta masyarakat dalam pendirian Rumah sakit
sesuai dengan jenis pelayanan yang dibutuhkan masyarakat.
(UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah sakit pasal 6 ayat (1) huruf f)
2. Harapan
Peningkatan peran serta Rumah sakit publik swasta akan dapat
direalisasikan tentunya dengan peran Pemerintah melalui beberapa
langkah real yang dapat menjadi pemicu peningkatan peran rumah
sakit publik swasta tersebut.
Harapan-harapan yang dibutuhkan oleh Rumah sakit publik swasta
antara lain :
a. Bantuan sumber dana dari pemerintah
b. Insentif Pajak
1. PPN
Terhadap pelayanan obat farmasi untuk Rawat Jalan agar
termasuk pengecualian yang tidak dikenai PPN.
Hal ini sangat membantu meringankan beban berobat
pasien.
2. PPh Badan
- Kelonggaran beberapa biaya yang tidak boleh
dikurangkan yaitu cadangan piutang tak tertagih untuk
pasien tak mampu hendaknya termasuk dikecualikan
yang boleh dikurangkan.
- Karena selisih usaha RS. Publik swasta tidak dibagikan
kepada Pemilik tetapi dipergunakan sebagai
Reinvestment, maka Tarif Pajak Badan hendaknya dapat
dihilangkan atau maksimal 5 %.
Pengenaan Pajak di RS 12
3. PBB
Tarif PBB untuk RS. Publik swasta hendaknya ditetapkan
sebesar 50 % dari tarif standard. Dengan demikian RS.
Publik swasta tidak perlu mengajukan keringanan setiap
kali jatuh tempo pembayaran PBB.
_____________
*) Disampaikan dalam rangka Seminar 1 hari tentang “Kriteria Pelayanan sosial
RS dan Konsesi Pajak untuk RS non-profit”, Rabu 9 Juni 2010, di Hotel
Santika Jakarta.
Pengenaan Pajak di RS 13