Anda di halaman 1dari 207

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
tuntunanNya kami telah dapat menyelesaikan penyusunan sebuah diktat yang dapat
dijadikan sebagai salah satu sumber bacaan dalam mempelajari pengetahuan
perpajakan,. Diktat ini disusun untuk memenuhi salah satu bahan bacaan untuk mata
kuliah PERPAJAKAN I, di Trisakti School of Management.
Dalam mempelajari perpajakan, para mahasiswa/i diharapkan selalu
memperbaharui bahan bacaannya, karena peraturan dan ketentuan perpajakan relative
sering terjadi perubahan, setiap saat dapat saja sutau peraturan dicabut, derevisi,
diperbaharui, untuk itu para pembaca diharapkan memperhatikan perubahan-
perubahan yang terjadi, selalu harus mengikuti peraturan perpajakan terbaru.
Diktat ini disusun dari beberapa sumber buku perpajakan, UU perpajakan,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan Dirjen Pajak, Peraturan
Pajak daerah, SK Gubernur dan Bupati, serta literature lainnya. Akhirnya saran dan kritik
sangat diharapkan untuk penyempurnaan penyusunan berikutnya.

Jakarta, .... Juli 2019

Penyusun
2

BAGIAN I

DASAR – DASAR PERPAJAKAN

A. DEFINISI

Definisi pajak yang dikemukakan oleh S. I. Djajadiningrat


Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas negara yang dlsebabkan suatu
keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman,
menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari
negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan secara umum.

Defmisi pajak yang dikemukakan oleh Dr. N. J. Feldmann:


Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma- norma
yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup
pengeluaran-pengeluaran umum.

Definisi pajak yang dikemufcakan oleh Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H.:
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)
dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan, dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran urnum,
Definisi tersebut kemudian disempurnakan, menjadi:
Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin
dan "surplus**-nya digunakan untuk public saving yang mempakan sumber utama untuk membiayai public
investment
Defenisi pajak pusat dan pajak daerah
Dalam pasal 1 angka 1 UU nomor 28 tahun 2007 disebutkan rumusan pajak sbb :
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dalam pasal 1 angka 1 UU nomor 28 tahun 2009 disebutkan rumusan pajak sbb :
Pajak adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

B. CIRI-CIRI YANG MELEKAT PAPA DEFINISI PAJAK


Dari beberapa definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
3. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya
masih terdapat surplus, digunakan untuk membiayai public investment.

1. Pajak dipungut berdasarkan kekuatan UU serta peraturan pelaksanaannya.


3

Azas pemungutan Pajak di Negara kita diatur dalam Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 yang
menyatakan Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan
undang-undang. (ketentuan yang lama diatur dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
menyatakan: “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang”)

Pungutan pajak yang dilakukan oleh negara pada akhirnya merupakan beban yang akan dipikul
oleh masyarakat. Dengan demikian pungutan pajak tersebut sudah selayaknya disetujui oleh
rakyat, yang akan dipikul oleh mereka. Cara yang ditempuh untuk memperoleh persetujuan
dilakukan dengan jalan:
Sebelum dilaksanakan pemungutan satu jenis pajak di negara kita, terlebih dahulu rencana
pemungutan tersebut harus diberitahukan kepada masyarakat untuk mendapat persetujuan, dengan
mengajukan RUU pemungutan suatu jenis pajak kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang
mewakili rakyat. Pada masa yang lalu kita telah melihat adanya beberapa RUU di bidang
perpajakan, terakhir RUU Ketentuan Umum dan tata Cara Perpajakan. Setelah mengalami
pembahasan dalam Sidang DPR, maka RUU itu dapat disetujui menjadi undang-undang. Tidak
semua RUU akan dapat disetujui menjadi undang-undang, karena RUU tersebut dapat pula
ditolak. Namun, pengalaman selama ini, RUU selalu disetujui oleh DPR. Setelah mendapat
persetujuan barulah dapat diundangkan sebagai UNDANG-UNDANG yang akan mengikat baik
Pemerintah maupun dan terutama masyarakat, sebagai pemikul pajak.
Proses seperti di atas telah berlaku sebelum Proklamasi Kemerdekaan, yang berwujud Ordonansi.
Sebelumnya, sebelum ada Dewan yang mewakili masyarakat, maka pemungutan pajak
dilaksanakan melalui Reglement (semacam Peraturan Pemerintah) yang ditetapkan penjajah,
seperti Vendureglement, yang merupakan pemungutan Bea Lelang. Pada saat sekarang ini Bea
Lelang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

2. Dalam pembayaran Pajak, pembayar pajak tidak mendapat imbalan jasa secara langsung, yang
dapat ditunjuk, dari pemerintah.

Hasil penerimaan atau pemungutan pajak digunakan oleh Pemerintah untuk membiayai
kegiatannya, baik yang bersifat rutin maupun kegiatan dalam pembangunan. Kegiatan rutin dapat
berupa berbagai macam pelayanan kepada masyarakat, termasuk kegiatan memberi rasa aman dan
adil bagi mayarakat, Kegiatan ini memerlukan antara lain: dana untuk membayar gaji , baik untuk
Pegawai Negeri Sipil maupun untuk anggota TNI dan Kepolisian. Pelayanan yang diberikan oleh
Pemerintah tersebut diperuntukkan kepada masyarakat keseluruhan, termasuk kepada mereka
Kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah adalah bermacam-macam yang dapat
berupa antara lain: pembangunan jalan dan jembatan, pembangunan dermaga dan pelabuhan
untuk kelancaran proses perekonomian, pembangunan saluran irigasi, pembangunan gedung-
gedung untuk sarana pendidikan dan olah raga serta masih banyak lagi macamnya. Kegiatan
pembangunan tersebut diarahkan untuk peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat
keseluruhan, termasuk pembayar pajak.

3. Pajak dipungut oleh Negara (baik oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah).
Sesuai dengan instansi yang melaksanakan pemungutan pajak, maka di Negara Republik
Indonesia dikenal adanya Pajak Pusat atau Pajak Negara, yakni pajak yang pemungutannya
dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat. Pemungutan Pajak Pusat ini dilaksanakan oleh:
- Direktorat Jenderal Pajak, terdiri dari 4 (empat) jenis pajak;
4

- Direktorat Jenderal Bea dan Cukau, terdiri dari 2 (dua) jenis pajak, yakni Bea Masuk dan
Cukai.

Disamping Pajak Pusat atau Pajak Negara dikenal juga adanya Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, yang pemungutannya dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Pemungutan Pajak Daerah
dilaksanakan oleh:
- Pemerintah Propinsi, terdiri dari 5 (lima) jenis pajak;
- Pemerintah Kabupaten/Kota, terdiri dari 11 (sebelas) jenis pajak.
Disamping Pajak Daerah, maka Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
melaksanakan juga pemungutan Retribusi Daerah, yang terdiri dari:
- Retribusi Jasa Umum;
- Retribusi Jasa Usaha; dan
- Retribusi Perizinan Tertentu.

4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran umum Pemerintah, termasuk pengeluaran untuk


Pembangunan.

Penerimaan pajak dipergunakan oleh Pemerintah untuk membiayai kegiatannya. Kegiatan yang
dilakukan oleh Pemerintah meliputi juga kegiatan pelayanan kepada warganya sehingga warga
Negara/masyarakat akan merasakan rasa nyaman atas pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah.
Dengan demikian penerimaan pajak akan digunakan untuk membiayai kegiatan:
- Rutin, seperti pembayaran gaji, pembelian alat-tulis-menulis termasuk peralatan perkantoran,
sehingga pelayanan terhadap anggota masyarakat yang membutuhkan jasa dari Pemerintah
dapat dirasakan nyaman;
- Pembangunan, seperti pembangunan gedung-gedung Pemerintah dalam rangka pemberian
pelayanan kepada anggota masyarakat, pembangunan jalan dan jembatan yang sangat
diperlukan oleh masyarakat dalam menjalankan usaha dan kehidupan sehari-hari serta
pemabngunan lainnya.

C. PUNGUTAN LAIN SELAIN PAJAK


Di samping pajak, ada beberapa pungutan lain yang serupa dengan pajak tetapi mempunyai perlakuan
dan sifat yang berbeda dengan pajak, yang dilakukan oleh negara terhada rakyatnya. Pungutan tersebut
antara lain:
1. Bea meterai, yaitu pungutan yang dikenakan atas dokumen dengan menggunaka benda meterai
ataupun benda lain.
2. Bea masuk dan bea keluar. Bea masuk adalah pungutan atas barang-barang yang dimasukkan ke
dalam daerah pabean berdasarkan harga/nilai barang itu atau berdasarkan tarif yang sudah
ditentukan. Bea keluar adalah pungutan yang dilakukan atas barang yang dikeluarkan dari daerah
pabean berdasarkan tarif yang sudah ditentukan bagi masing-masing golongan barang.
3. Cukai, yaitu pungutan yang dikenakan atas barang-barang tertentu yang sudah ditetapkan untuk
masing-masing jenis barang tertentu. Contoh: tembakau, gula, bensin minuman keras, dan Iain-lain.
4. Retribusi, yaitu pungutan yang dikenakan sehubungan dengan suatu jasa atau fasil: yang diberikan oleh
pemerintah secara langsung dan nyata kepada pembayar. Contoh parkir, pasar, jalan tol, dan Iain-lain.
5. luran, yaitu pungutan yang dikenakan sehubungan dengan suatu jasa atau fasil yang diberikan
pemerintah secara langsung dan nyata kepada kelompok atau golon pembayar.
6. Pungutan lain yang sah/legal berupa sumbangan wajib.
5

D. PERBEDAAN PAJAK, RETRIBUSI DAN SUMBANGAN


Pajak :
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)
dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

Ciri-ciri yang melekat pada pajak :


1. pajak dipungut berdasarkan undang-undang
2. jasatimbal balik tidak dapat ditunjukkan secara langsung.
3. pajak dipungut oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
4. pajak dipergunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah.
5. dapat dipaksakan. (bersifat yuridis)

Retribusi :
Retribusi adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan mendapatkan jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan
oleh pemerintah.

Ciri-ciri yang melekat pada retribusi :


1. dipungut berdasarkan undang-undang
2. jasa timbal balik (kontraprestasi) dapat ditunjukkan secara langsung.
3. retribusi dipungut oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
4. pembayaran tersebut memang untuk mendapatkan prestasi tertentu dari pemerintah.
5. dapat dipaksakan( bersifat ekonomis)

Sumbangan
Sumbangan adalah iuran yang dibayar dikenakan hanya kepada golongan masyarakat tertentu
saja, kontraprestasi dapat dinikmati oleh golongan tersebut. contoh sumbangan wajib untuk
perawatan dan pemeliharaan jalan, hanya dikenakan terhadap pemilik kendaraan

E. FUNGSI PAJAK
Terdapat dua fungsi pajak, yaitu fungsi budgetair (sumber keuangan negara) dan fungsi regularend
(pengatur).

1. Fungsi Budgetair / Sumber Keuangan Negara


Pajak mempunyai fungsi budgetair, artinya pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah
untuk membiayai pengeiuaran baik rutin maupun pembangunan. Sebagai sumber keuangan negara,
pemerintah berupaya memasukkan uang sebanyak-banyaknya untuk kas negara. Upaya tersebut
ditempuh dengan cara ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan pajak melalui penyenipurnaan
peraturan berbagai jenis pajak seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Iain-lain.

2. Fungsi Regularend / Pengatur


Pajak rnempunyai fungsi pengatur, artinya pajak sebagai alat untuk mengatur atau rnelaksanakan
kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, serta mencapai tujuan-tujuan tertentu di
6

luar bidang keuangan. Beberapa contoh penerapan pajak sebagai fungsi pengatur adalah:
a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang rnewah, Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (PPnBM) dikenakan pada saat terjadi transaksi jual beli barang mewah. Semakin mewah
suatu barang maka tarif pajaknya semakin tinggi sehingga barang tersebut semakin mahal
harganya.Pengenaan pajak ini dimaksudkan agar rakyat tidak berlomba-loniba untuk
mengonsumsi barang mewah (mengurangi gaya hidup mewah).
b. Tarif pajak progresif dikenakan atas penghasilan: dimaksudkan agar pihak yang memperoleh
penghasilan tinggi memberikan kontribusi (membayar pajak) yang tinggi pula, sehingga terjadi
pemerataan pendapatan.
c. Tarif pajak ekspor sebesar 0%: dimaksudkan agar para pengusaha terdorong mengekspor hasil
produksinya di pasar dunia sehingga dapat memperbesar devisa negara.
d. Pajak penghasilan dikenakan atas penyerahan barang hasil industri tertentu seperti industri
semen, industri rokok, industri baja, dan Iain-lain: dimaksudkan agar terdapat penekanan produksi
terhadap industri tersebut karena dapat mengganggu lingkungan atau polusi (membahayakan
kesehatan).
e. Pembebasan pajak penghasilan atas sisa hasil usaha koperasi: dimaksudkan untuk mendorong
perkembangan koperasi di Indonesia.
f. Pemberlakuan tax holiday: dimaksudkan untuk menarik investor asing agar menanamkan
modalnva di Indonesia.

F. KEDUDUKAN HUKUM PAJAK

Dasar hukum pemungutan pajak


dasar hukum pemungutan pajak di indonesia diatur dalam pasal 23 a undang-undang dasar 1945,
dalam pasal ini disebutkan, pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara
diatur dengan undang-undang.

Kedudukan hukum pajak


kedudukan hukum pajak adalah bagian dari hukum publik, termasuk hukum publik adalah hukum
tata negara, hukum pidana dan hukum administrasi. hukum pajak merupakan anak bagian dari
hukum administrasi.

R, Santoso Brotodiharjo menyatakan bahwa hukum pajak termasuk hukum publik. Hukum publik
merupakan bagian dari tata tertib hukum yang mengatur hubungan antara penguasa dengan
warganya, Hukum publik rnernuat cara-cara untuk mengatur pemerintahan. Menurutnya, yang termasuk
hukum publik antara lain hukum tata negara, hukum pidana, hukum administratif, sedangkan hukum
pajak merupakan bagian dari hukum administratif. Meski demikian tidak berarti bahwa hukum pajak
berdiri sendiri terlepas dari hukum pajak lainnya (seperti hukum perdata dan hukum pidana),

R. Santoso Brotodiharjo juga menyatakan bahwa hukum pajak berkaitan erat dengan hukum perdata,
Hukum perdata merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang mengatur hubungan antara orang-
orangpribadi, Kebanyakan hukum pajak mencari dasar kemungkinan pemungutannya atas kejadian-
kejadian, keadaan-keadaan, dan perbuatan-perbuatan hukum yang tercakup dalam lingkungan perdata,
seperti pendapatan, kekayaan, perjanjian penyerahan, pemindahan hak warisan, dan seterusnya, Adanya
kaitan antara hukum pajak dan hukum perdata ditunjukkan dengan banyaknya istilah-istilah hukum
perdata yang digunakan dalam perundang-undangan perpajakan. Sebaliknya, hukum pajak juga
menipunyai pengaruh besar terhadap hukum perdata, Sebagai contoh, dalam hukum pajak terdapat
7

ketentuan bahwa lex specialis (peraturan yang istimewa) harus diberi tempat yang lebih utama dari lex
generalis (peraturan yang uinum). Ketentuan ini diberlakukan pula dalam undang-undang atau peraturan
yang lain, bahwasannya dalam setiap penafsirannya maka yang pertama-tama dianut adalah lex specialis.

Hukum pajak juga berkaitan dengan hukum pidana, Hukum pidana, seperti yang telah tercantum dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan suatu keseluruhan sistematis yang juga
berlaku untuk peristiwa-peristiwa pidana yang diuraikan di luar KUHP, Hak untuk menyimpang dari
peraturan-peraturan yang tercantum dalam KUHP di Indonesia telah diperoleh pembuat ordonansi
sernenjak 16 Mei 1927, dan kesempatan ini banyak digunakan karena kenyataan bahwa peraturan
administratif pun sangat memerlukan sanksi-sanksi yang menjamin untuk ditaati oleh khalayak umum.
Demikian pula dalam peraturan pajak, terdapat sanksi-sanksi yang bersifat khusus. Sanksi-sanksi dalam
peraturan pajak secara lengkap dapat dibaca padabab-bab selanjutnya.

G. PEMBAGIAN HUKUM PAJAK DAN PENGGOLONGAN JENIS PAJAK

1. Pembagian Hukum Pajak


Dalam rangka pemungutan pajak di negara kita, maka UU atau peraturan di bidang perpajakan
dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian besar, yakni:
 Yang menyangkut Hukum Pajak Materiil;
 Yang menyangkut Hukum Pajak Formil.

a. Hukum Pajak Materiil

Hukum pajak materiil merupakan norma-norma yang menjelaskan keadaan, perbuatan, dan peristiwa
hukum yang harus dikenakan pajak, siapa yang harus dikenakan pajak, dan berapa besar pajaknya.
Dengan kata lain, hukum pajak materiil mengatur tentang timbulnya, besarnya, dan hapusnya utang pajak
beserta hubungan hukum antara pemerintah dan Wajib Pajak. Termasuk dalam hukum pajak materiil
sesuai dengan peraturan perpajakan yang baru, maka ketentuan materiil tersebut kita dapatkan
dalam Undang-undang antara lain :
1. UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yang telah dirobah dengan UU No.7 Tahun
1991 dan disempurnakan dengan UU No.10 Tahun 1994, disempurnakan lagi dengan UU
nomor 17 Tahun 2000 dan terakhir diatur dengan UU No. 36 Tahun 2008
2. UU No.8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan PPn atas Barang Mewah, yang
telah disempurnakan dengan UU No.11 Tahun 1994, disempurnakan lagi dengan UU nomor
18 Tahun 2000 dan terakhir diatur dengan UU No. 42 Tahun 2009
3. UU No.12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, yang telah disempurnakan dengan
UU No.12 Tahun 1994; UU No. 28 Tahun 2009 (obyek PBB Perkotaan dan Pedesaan)
menjadi Pajak Daerah Kabupaten
4. UU No.13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai,
5. UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. terakhir diatur
dengan UU nomor 20 Tahun 2000
6. Ordonansi BBN Harta Tetap/Kapal Tahun 1924 tentang pemungutan Bea Balik Nama Kapal.
7. UU No.10 Tahun 1995 tentang Bea Masuk;
8. UU No.11 Tahun 1995 tentang Cukai;
8

9. Undang-undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. . terakhir
diatur dengan UU nomor 34 Tahun 2000 dan terakhir diatur dengan UU No. 28 Tahun 2009

b. Hukum Pajak Formil

Hukum pajak formil merupakan peraturan-peraturan mengenai berbagai cara untuk mewujudkan
hukum materiil menjadi suatu kenyataan. Bagian hukum ini memuat cara-cara penyelenggaraan
mengenai penetapan suatu utang pajak, kontrol oleh pemerintah terhadap penyelenggaranya, kewajiban
para Wajib Pajak (sebelum dan sesudah menerima surat ketetapan pajak), kewajiban pihak ketiga, dan
prosedur dalam pemungutannya. Hukum pajak formil dimaksudkan untuk melindungi fiskus dan Wajib
Pajak serta memberi jaminan bahwa hukum materiilnya dapat diselenggarakan setepat mungkin.
Hubungan hukum antara fiskus dan Wajib Pajak tidaklah selalu sama karena kompetensi aparatur
fiskus yang terkadang ditambah atau dikurangi. Sebagai contoh, mula-mula tidak terdapat peraturan yang
melindungi Wajib Pajak, melainkan yang bersifat melawannya. Akan tetapi, lama-kelamaan ada perbaikan
dalam hal terdapatnya hak-hak Wajib Pajak yang umumnya melindungi tindakan sewenang-wenang
pihak fiskus.

Hukum Pajak formil adalah hukum pajak yang memuat bentuk/tata cara untuk mewujudkan
hukum materiil menjadi kenyatan, hukum pajak formal ini memuat, antara lain:
 tata cara penetapan utang pajak
 hak-hak fiskus untuk mengawasi wajib pajak mengenai keadaan, perbuatan, peristiwa yang
dapat menimbulkan utang pajak.
 kewajiban perpajakan, seperti penyelenggaraan pembukuan/pencatatan dan hak-hak wajib
pajak seperti mengajukan keberatan dan banding. contoh : uu nomor 6 tahun 1983 tentang
ketentuan umum dan tata cara perpajaKAN.

Dengan perkataan lain, Hukum Pajak Formil memuat peraturan-peraturan tentang bagaimana
caranya agar pemungutan dan pembayaran pajak oleh Para Wajib Pajak dapat dilakukan dengan
setepat-tepatnya.
Sesuai dengan peraturan perpajakan kita yang baru, maka ketentuan formil tersebut kita jumpai
dalam UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang telah
diubah/disempurnakan dengan UU No.9 Tahun 1994. yang selanjutnya telah
diubah/disempurnakan dengan UU No.16 Tahun 2000, diperbaharui lagi dengan UU nomor 28
Tahun 2007, dan terakhir diatur dengan UU nomor 16 Tahun 2009
2. Jenis Pajak
Terdapat berbagai jenis pajak, yang dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu pengelompokan menurut
golongan, menurut sifat, dan menurut lembaga pemungutnya.
a. Menurut Golongan
Pajak dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1. Pajak Langsung: pajak yang harus dipikul atau ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat
dilimpahkan atau dibebankan kepada orang lain atau pihak lain. Pajak harus menjadi beban Wajib
Pajak yang bersangkutan.
Contoh: Pajak Penghasilan (PPh). PPh dibayar atau ditanggung oleh pihak-pihak tertentu yang
memperoleh penghasilan tersebut.
9

2. Pajak Tidak Langsung: pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan
kepada orang lain atau pihak ketiga. Pajak tidak langsung terjadi jika terdapat suatu kegiatan,
peristiwa, atau perbuatan yang menyebabkan terutangnya pajak, misalnya terjadi penyerahan
barang atau jasa.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPN terjadi karena terdapat pertambahan nilai terhadap barang
atau jasa. Pajak ini dibayarkan oleh produsen atau pihak yang menjual barang tetapi dapat dibebankan
kepada konsumen baik secara eksplisit maupun implisit (dimasukkan dalam harga jual barang atau
jasa).
Untuk menentukan apakah sesuatu termasuk pajak langsung atau pajak tidak langsung dalam arti
ekonomis, yaitu dengan cara melihat ketiga unsur yang terdapat dalam kewajiban pemenuhan
perpajakannya. Ketiga unsur tersebut terdiri atas:

1) Penanggungjawab Pajak, adalah orang yang secara formal yuridis diharuskan melunasi pajak.
2) PenanggungPajak, adalah orang yang dalam faktanya memikul terlebih dahulu beban pajaknya.
3) Pemikul Pajak, adalah orang yang menurut undang-undang harus dibebani pajak.

Jika ketiga unsur tersebut ditemukan pada seseorang maka pajaknya disebut Pajak Langsung, sedangkan
jika ketiga unsur tersebut terpisah atau terdapat pada lebih dari satu orang maka pajaknya disebut
Pajak Tidak Langsung.

b. Menurut Sifat
Pajak dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1. Pajak Subjektif: pajak yang pengenaannya memerhatikan keadaan pribadi Wajib Pajak atau
pengenaan pajak yang memerhatikan keadaan subjeknya.
Contoh: Pajak Penghasilan (PPh). Dalam PPh terdapat Subjek Pajak (Wajib Pajak) orang pribadi.
Pengenaan PPh untuk orang pribadi tersebut memerhatikan keadaan pribadi Wajib Pajak (status
perkawinan, banyaknya anak, dan tanggungan lainnya). Keadaan pribadi Wajib Pajak tersebut
selanjutnya digunakan untuk menentukan besarnya penghasilan tidak kena pajak.

2. Pajak Objektif: pajak yang pengenaannya memerhatikan objeknya baik berupa benda,
keadaan, perbuatan, atau peristiwa yang mengakibatkan timbulnya kewajiban membayar
pajak, tanpa memerhatikan keadaan pribadi Subjek Pajak (Wajib Pajak) maupun tempat tinggal.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), serta
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

c. Menurut Institusi Pemungutnya


Pajak dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1. Pajak Negara (Pajak Pusat): pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk
membiayai rumah tangga negara pada umumnya.
Contoh: PPh, PPN dan PPnBM, PBB, serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB). PBB sektor P-2 dan BPHTB menjadi pajak daerah kabupaten/kota mulai tahun 2011.

2. Pajak Daerah: pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah baik daerah tingkat I (pajak provinsi)
maupun daerah tingkat II (pajak kabupaten/kota) dan digunakan untuk membiayai rumah
tangga daerah masing-masing. Berdasarkan UU nomor 28 tahun 2009, diatur pemungutan pajak
10

daerah sbb :
a. Pajak Propinsi

b. Pajak Daerah Kabupaten/kota

H. HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM PERATURAN PERPAJAKAN


Berhubung dengan pemungutan pajak itu merupakan pemindahan sebahagian kekayaan atau
penghasilan seseorang ataupun sebagian keuntungan/laba suatu badan ke Kas Negara melalui atau
berdasarkan wewenang Pemerintah yang diberikan oleh Undang-undang/peraturan-peraturan
perpajakan, maka didalam penyusunan Undang-undang dan peraturan perpajakan harus
diperhatikan beberapa asas.

1. Menurut ADAM SMITH


11

Adam Smith dalam bukunya : “An inquiry in to the Nature and Cause of the Wealth of
Nations”, mengemukakan diperhatikannya 4 asas yang perlu diperhatikan, yakni :
a. asas persamaan, keadilan dan kemampuan (asas equality, equity),
Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu dikenakan kepada orang pribadi yang
harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak atau ability to pay dan sesuai dengan
manfaat yang diterima
b. asas kepastian (certainty),
Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang. Oleh karena itu, Wajib Pajak harus
mengetahui secara jelas dan pasti pajak yang terutang, kapan harus dibayar, serta batas
waktu pembayaran.
c. Asas pelayanan yang baik (conveniency),
Kapan Wajib Pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat-saat yang tidak
menyulitkan Wajib Pajak. Contoh : pada saat Wajib Pajak memperoleh penghasilan. Sistem
pemungutan ini disebut Pay as You Earn
d. Asas ongkos murah (low cost of collection).
Secara ekonomi biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi Wajib Pajak
diharapkan seminimum mungkin,

2. Menurut JHON F. DUE


Pendapat ahli yang lain, mengemukakan bahwa didalam penyusunan peraturan-peraturan
perpajakan, dalam rangka pemungutan pajak agar memperhatikan asas-asas sebagai berikut :

1. Asas Falsafah Hukum.


Asas ini menekankan kepada unsur hukum dan keadilan dalam pemungutan pajak. Azas
ini ingin menjelaskan apakah pemungutan pajak itu sesuai dengan hokum (recht) dan
keadilan
Dari masa ke masa selalu muncul pertanyaan dari masyarakat yang mempertanyakan:
apakah ada dasar hukum yang mewajibkan masyarakat, orang-orang (individu) untuk
membayar pajak kepada Negara atau Pemerintah.
Kekuasaan yang diberikan kepada Pemerintah untuk melaksanakan pemungutan pajak
adalah demikian besar. Dengan demikian, kewenangan pemerintah untuk mengambil
sebagian harta kekayaan Orang pribadi dan Badan berupa pemungutan pajak hendaknya
jangan sampai ditafsirkan mirip perampasan. Pemungutan pajak tersebut merupakan
sumbangan yang diwajibkan kepada penduduknya.

Berbagai teori timbul, dari hasil pemikiran sarjana-sarjana besar, untuk membenarkan
serta memberi dasar hokum dalam hal pemungutan pajak dan untuk meyakinkan bahwa
pemungutan pajak itu adalah “halal” dan sekali-kali jangan dipandang sebagai
perampasan yang sewenang-wenang.
[Lihat Hukum Pajak dan Keadilan, pidato pengukuhan jabatan Guru Besar dari
Mr.Sindian Isa Djajadiningrat !]

Diantara berbagai teori-teori yang menjadi dasar pemungutan pajak, adalah sebagai
berikut :

1).Teori Asuransi.
12

Menurut teori Asuransi, Negara mempunyai tugas/kewajiban melindungi masyarakat


yang meliputi keselamatan dan keamanan orang beserta harta bendanya.
Perlindungan yang diberikan Negara kepada masyarakat diibaratkan dengan
perlindungan perusahaan Asuransi kepada pihak tertanggung. Untuk itu pihak
tertanggung (sesuai dengan perjanjian) wajib membayar Premi Asuransi kepada
Perusahaan Asuransi.

Pungutan pajak diibaratkan sebagai pembayaran premi asuransi, yang harus dibayar
kepada Negara/Pemerintah dalam waktu-waktu tertentu. Meskipun teori ini hanya sekadar
untuk memberi dasar hukum kepada pemungut pajak, namun beberapa pakar menentangnya.
Mereka berpendapat bahwa pembandingan antara pajak dan perusahaan asuransi tidaklah
tepat, karena:
1) dalam hal timbul kerugian, tidak ada penggantian secara langsung dari negara, dan
2) antara pembayaran jumlah pajak dengan jasa yang diberikan oleh negara tidaklah
terdapat
hubungan langsung.

Teori Asuransi ini semakin kurang pendukung atau penganutnya. Pengibaratan atau
memperbandingkan Negara/Pemerintah dengan Perusahaan Asuransi seperti
diutarakan di atas tidaklah tepat, karena:
1. Pembayaran pajak kepada Negara merupakan pembayaran tanpa imbalan langsung
yang dapat ditunjuk;
2. Dalam hal terjadi kerugian atau pembunuhan kepada seseorang, maka tidak
terdapat ganti rugi atau pembayaran dari Negara/Pemerintah;
3. Anggota masyarakat yang tidak membayar pajak atau membayar pajak dengan
jumlah relatif kecil, seperti fakir-miskin, juga mendapat perlindungan yang sama
dari Negara/Pemerintah, bahkan kadang-kadang lebih besar dibandingkan
denganmereka yang membayar pajak.

b. Teori Kepentingan,
Menurut teori ini, pembagian beban pajak kepada seluruh penduduk didasarkan atas
kepentingan orang-orang (individu) yang diperoleh dari tugas-tugas atau pekerjaan
yang dilakukan oleh Negara. Dengan perkataan lain, setiap orang (individu)
berkepentingan terhadap tugas-tugas/pekerjaan yang dilakukan oleh Negara, seperti
perlindungan dan keamanan masing-masing individu.
Dengan demikian, wajarlah bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Negara dalam
melaksanakan tugas kewajibannya dibebankan kepada masing-masing orang
(individu). Pembebanan ini dilakukan melalui kewajiban membayar pajak.

Teori tersebut memang bermanfaat untuk memberi penjelasan terhadap pemungutan


Retribusi.
Untuk menjelaskan alasan pemungutan pajak, maka teori ini mempunyai kelemahan,
karena:
1) Fakir miskin yang tidak membayar pajak atau relatif membayar pajak justru sangat
berkepentingan atas tugas dan kewajiban yang dilaksankan oleh Negara, untuk
merawat, memelihara mereka;
13

2) Pemabayaran pajak tersebut merupakan pembayaran yang tidak mendapat imbalan


secara langsung yang dapat ditunjuk kepada pembayar pajak.

c. Teori Gaya pikul,


Menurut teori ini, dasar keadilan pemungutan pajak terletak dalam jasa-jasa yang
diberikan oleh Negara kepada warganya, yaitu perlindungan atas jiwa dan harta
bendanya.
Sehubungan dengan jasa yang diberikan oleh Negara tersebut, wajarlah apabila biaya-
biaya yang diperlukan oleh Negara, dalam melakukan perlindungan kepada warganya,
akan dipikul oleh segenap orang yang menikmati perlindungan yang diberikan Negara.
Cara memikul biaya-biaya yang diperlukan oleh Negara adalah dalam bentuk
pembayaran pajak.
Teori Gaya pikul menekankan azas keadilan dalam pembayaran pajak dengan
menyatakan bahwa tekanan pajak haruslah sama beratnya untuk setiap orang. Pajak
harus dibayar menurut gaya pikul sesorang.
Permasalahan yang timbul adalah bagaimana merumuskan atau mengukur gaya pikul
bagi seseorang.

Ada yang berpendapat bahwa gaya pikul ditentukan oleh: besarnya penghasilan,
besarnya kekayaan, dan besarnya pengeluaran (belanja) seseorang.

Ir.Mr. A.J.Cohen Stuart memberikan penjelasan mengenai gaya pikul, sebagaimana


diuraikan oleh R.Santoso Brotodihardjo, SH dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum
Pajak sebagai berikut:
Gaya pikul diibaratkan seperti sebuah jembatan, yang pertama-tama jembatan tersebut
harus dapat memikul bobotnya sendiri sebelum dicoba untuk membebaninya dengan
beban yang lain. Dengan demikian, Sarjana tersebut menyarankan bahwa hal-hal yang
sangat diperlukan dalam kehidupantidak dimasukkan dalam pengertian gaya pikul.
Kekuatan untuk menyerahkan uang kepada Negara barulah ada jikalau kebutuhan-
kebutuhan primer (yang sangat penting) dalam hidup telah tersedia.

Mr.Dr. JHR Sinninghe Damste mentakan pendapatnya, bahwa gaya pikul adalah akibat
dari bermacam-macam komponen, terutama:
1) pendapatan;
2) kekayaan;
3) susunan keluarga dari Wajib Pajak..

Prof. de Langen memberikan pengertian gaya pikul sebagai berikut: gaya pikul
merupakan kekuatan untuk membayar uang kepada Negara, jadi untuk membayar
pajak, setelah dikurangi dengan kebutuhan minimum kehidupan (bestaansminimum).
Kekuatan untuk membayar uang kepada Negara dipengaruhi oleh jumlah uang yang
ada pada seseorang, baik berupa penghasilan maupun berupa kekayaan.

d. Teori kewajiban mutlak atau teori bakti


Menurut teori ini Negara menyelenggarakan kepentingan Umum. Sifat atau Azas yang
dimiliki oleh Negara untuk menyelenggarakan kepentingan umum menimbulkan hak
mutlak bagi Negara untuk melaksanakan pemungutan pajak dari rakyatnya.
14

Dr. W.H. van den Berge sebagai penganut teori Bakti yang pernah menjabat Dirjen
Pajak di Nederland, mengemukakan: Negara sebagai Organisasi dari golongan, dengan
memperhatikan syarat-syarat keadilan, bertugas menyelenggarakan kepentingan umum
dan karenanya dapat dan harus mengambil tindakan-tindakan yang diperlukannya,
termasuk tindakan-tindakan dalam lapangan pemungutan pajak.
Dengan demikian pemungutan pajak terjadi karena adanya hubungan rakyat dengan
Negara.

f. Teori asas gaya-beli.


Teori ini tidak mempersoalkan asal mulanya Negara memungut pajak. Teori ini hanya
melihat kepada effek/akibat pelaksanaan pemungutan pajak dan memandang effek
yang baik dari pemungutan pajak tersebut. Efek yang baik inilah yang merupakan
dasar keadilan dari pemungutan pajak.

Menurut Teori Azas Gaya Beli, pemungutan pajak adalah suatu gejala yang terjadi
dalam masyarakat. Pemungutan pajak diibaratkan/disamakan dengan pompa yang
mengambil gaya beli dari rumahtangga-rumahtangga dalam masyarakat untuk
rumahtangga Negara. Selanjtnya, rumahtangga Negara menyalurkan kembali pajak
yang telah dipungut kepada masyarakat dengan maksud memelihara hidup masyarakat
dan membawanya ke arah tertentu.
Penyelenggaraan kepentingan masyarakat inilah yang dapat dianggap sebagai dasar
keadilan dalam pemungutan pajak.
Bukanlah kepentingan individu, bukan kepentingan Negara, melainkan kepentingan
masyarakatlah yang menjadi dasar pemungutan pajak.
Teori ini menitik beratkan Fungsi Mengatur dari pemungutan pajak.

PendapatbAhli perpajakan Indonesia Professor Mr.Sindian Isa Djajadiningrat.


Prof. Mr. Sindian Isa Djajadiningrat mengemukakan bahwa teori-teori pemungutan
pajak tersebut di atas tidak memberikan kepuasan sebagai dasar pemungutan pajak.
Beliau mengemukakan bahwa dasar untuk membenarkan pemungutan pajak harus
dilihat dari kepentingan bersama antara Negara dan kepentingan masyarakat sebagai
pembayar pajak. Kepentingan Negara adalah kepentingan masyarakat, kepentingan
masyarakat adalah kepentingan Negara juga. Negara ada justru untuk membela dan
memajukan kepentingan-kepentingan individu dan oleh sebab itu: individu
berkepentingan atas berlangsung hidupnya Negara.

Pajak adalah sumbangan wajib sebagai akibat sesuatu: keadaan, peristiwa, atau
perbuatan yang menguntungkan atau keadaan, peristiwa, atau perbuatan itu memberi
kedudukan tertentu kepada yang bersangkutan untuk turut membantu meninggikan
kesejahteraan umum.

Dalam pemungutan pajak terdapat azas timbal-balik antara hak dan kewajiban. Hak
untuk mencari dan memperoleh penghasilan sebanyak-banyaknya membawa
kewajiban menyerahkan sebagian kepada Negara (berupa pajak) untuk membantu
peningkatan kesejahteraan umum. Hak untuk memperoleh atau memiliki gedung,
mobil, dan barang atau melakukan sesuatu perbuatan hukum membawa kewajiban
untuk menyumbang kepada Negara.
15

2. Asas Yuridis.
Azas ini menyatakan bahwa pemungutan pajak harus memberi jaminan hukum bagi Negara yang
melakukan pemungutan pajak maupun bagi warganya/masyarakat sebagai pembayar pajak. Oleh
karena itu, pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang.
Sebagaimana diketahui, sebelum sebuah Undang-undang diundangkan, maka Rencana Undang-
undang tersebut harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari rakyat. Untuk Negara Republik
Indonesia, persetujuan rakyat dilakukan melalui wakilnya (yang dipilihnya) di Dewan Perwakilan
Rakayat (DPR). Dengan demikian, pemungutan pajak yang didasarkan kepada Undang-undang
mempunyai arti bahwa pemungutan pajak tersebut telah terlebih dahulu mendapat persetujuan
dari rakyat sebagai pembayar pajak.

Pemungutan pajak di Negara Republik Indonesia telah dinyatakan dengan tegas dalam Pasal 23A
UUD 1945 yang menyatakan: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan
negara diatur dengan undang-undang”.
Sebelum mengalami amandemen, pemungutan pajak di negara Republik Indonesia diatur dalam
Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: “Segala pajak untuk keperluan negara
berdasarkan undang-undang”.

Pengaturan pemungutan pajak dalam suatu undang-undang hendaknya memberikan jaminan


hukum, antara lain sebagai berikut:
 Hak-hak Fiscus dalam melaksanakan pemungutan pajak harus dapat dilaksanakan dengan baik
dan lancar.
Adanya undang-undang yang mengatur pemungutan pajak akan memberi kepastian bahwa
pemungutan pajak tersebut telah diketahui oleh masyarakat, terutama masyarakat Wajib
Pajak. Dengan demikian kemungkinan untuk menghindar atau menyelundupkan pajak akan
dapat dihindari.

 Hak-hak Wajib Pajak dalam pelaksanaan pembayaran pajak akan terjamin demikian pula
dengan kewajiban yang harus ditaati harus jelas.
Dengan adanya undang-undang akan memberikan kepastian tentang hak-hak Wajib Pajak
dalam pelaksanaan pemungutan pajak sehingga Wajib Pajak tidak akan dapat diperlakukan
dengan semena-mena oleh pihak Fiscus.
Kewajiban-kewajiban yang harus ditaati oleh Wajib Pajak akan jelas dengan konsekwensi:
stiap pelanggaran akan dikenakan sanksi.

 Rahasia Wajib Pajak akan dijamin oleh undang-undang.


Dalam undang-undang yang mengatur pemungutan pajak akan diatur tentang jaminan
kerahasiaan Wajib Pajak. Pihak Fiscus tidak akan membocorkan data-data Wajib Pajak
kepada pihak lain yang tidak berhak.

 Unsur keadilan dalam pemungutan pajak harus tercermin dalam undang-undang.


Undang-undang
akan mengatur terlaksananya pemungutan pajak dengan bertitik tolak dari unsur keadilan.

3. Asas Ekonomis.
16

Pelaksanaan pemungutan pajak dalam keadaan yang nyata merupakan pengambilan atau
merupakan penyisihan sebagian penghasilan atau harta kekayaan anggota masyarakat untuk
mengisi Kas Negara.
Dengan demikian, hendaknya peralihan penghasilan atau kekayaan tersebut dari masyarakat ke
Kas Negara tidak mengakibatkan kemunduran atau tidak mengakibatkan kemerosotan dalam
kehidupan ekonomi masyarakat. Dengan perkataan lain: dengan dilaksanakannya pemungutan
pajak, maka tingkat pertumbuhan ekonomi harus tetap dapat dipertahankan.
Mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi dapat dilaksanakan dengan, antara lain:
a. mengusahakan kelancaran produksi dan perdagangan;
b. mengurangi atau bahkan menghapuskan kegiatan yang menyebabkan produksi barang- barang
dan jasa-jasa di Dalam Negeri menjadi merosot;
c. memberikan kemungkinan melaksanakan kegiatan pembangunan berupa sarana dan prasarana
yang menunjang kepada kelancaran perekonomian/perdagangan.

Prof.DR Rochmat Soemitro, SH dalam bukunya seperti dikutip di atas, pada halaman 22
menyatakan bahwa syarat-syarat ekonomis yang harus diperhatikan dalam pemungutan pajak
adalah:

1) Pajak harus dapat dibayar dari penghasilan rakyat (volksinkomen) dan tidak boleh
mengurangi kekayaan;
2) Pajak tidak boleh menghalang-halangi lancarnya perdagangan atau perindustrian;
3) Pajak tidak boleh merugikan kebahagiaan rakyat (umpama pajak atas barang sandang
pangan yang memberatkan);
4) Pajak sebaiknya ditagih pada waktu yang tepat (umpamanya sehabis panen dan sebagainya).

Memperhatikan Azas Ekonomis dalam rangka pemungutan pajak berarti menonjolkan Fungsi
Mengatur dari pemungutan pajak.
Fungsi mengatur tersebut kelihatan dengan jelas dalam pemungutan pajak di Negara kita, antara
lain:

- Pengenaan PPN dengan tarif 0% (nol persen) atas ekspor Barang Kena Pajak, hal ini berarti
bahwa atas kegiatan ekspor Barang Kena Pajak tetap dikenakan PPN, walaupun dengan tarif nol
persen. Hal tersebut membawa konsekwensi terjadinya pengembalian Pajak Masukan yang telah
dilaksanakan kepada Pengusaha Kena Pajak; Pengenaan Cukai yang lebih tinngi untuk mengurangi
konsumsi minuman beralkohol.
- Pemberian berbagai fasilitas pajak dalam berbagai jenis pajak, antara lain adanya PPh yang
ditanggung oleh Pemerintah, adanya PPN yang tidak dipungut ataupun dibebaskan, dan lain-lain.

4. Asas Finansial.
Sesuai dengan Fungsi Budgetair dari pemungutan pajak, yakni memasukkan uang ke Kas Negara,
maka biaya-biaya yang diperlukan dalam pemungutan pajak hendaknya sekecil mungkin, dalam
pengertian: bahwa biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan pemungutan pajak haruslah relatip
kecil dibandingkan dengan penerimaan pajak yang didapat/diperoleh.
Pemungutan suatu jenis pajak, terutama jenis pajak yang baru akan dilakukan dengan didahului
adanya Rencana Undang-Undang (RUU). Dalam menyusun RUU tersebut harus diperhitungkan
hasil penerimaan pajak yang akan didapat dengan biaya yang akan dibutuhkan/dikeluarkan.
17

Prof.DR Rochmat Soemitro, SH dalam bukunya seperti dikutip di atas, pada halaman 22 menyatakan
bahwa syarat-syarat keuangan yang harus diperhatikan dalam pemungutan pajak adalah:
 Hendaknya pajak yang dipungut cukup untuk menutup sebagian pengeluaran-pengeluaran
Negara;
 Hendaknya pajak tidak memakan ongkos pemungutan yang besar.

Pengetrapan azas Finansial ini menonjol kelihatan dengan dilakukannya tax reform (pembaharuan
dibidang peraturan pajak). Dimana jenis pajak yang hasilnya kurang efektif sudah tidak diadakan lagi
seperti pajak Radio, Pajak Becak, Pajak televisi

I. TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK


Tata cara pemungutan pajak terdiri atas stelsel pajak, asas pemungutan pajak, dan sistem pemungutan
pajak.
1. Stelsel Pajak
Pemungutan pajak dapat dilakukan dengan tiga stelsel, yaitu:

a. Stelsel Nyata (Riil). Stelsel ini menyatakan bahwapengenaan pajakdidasarkan pada objek yang
sesungguhnya terjadi (untuk PPh maka objeknya adalah penghasilan). Oleh karena itu, pemungutan
pajaknya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yaitu setelah semua penghasilan yang
sesungguhnya dalam suatu tahun pajak diketahui.

Kelebihan stelsel nyata adalah penghitungan pajak didasarkan pada penghasilan yang
sesungguhnya sehingga lebih akurat dan realistis. Kekurangan stelsel nyata adalah pajak baru dapat
diketahui pada akhir periode, sehingga:

1.) Wajib Pajak akan dibebani jumlah pembayaran pajak yang tinggi pada akhir tahun sementara
pada waktu tersebut belum tentu tersedia jumlah kas yang memadai; dan
2.) semua Wajib Pajak akan membayar pajak pada akhir tahun sehingga jumlah uang beredar
secara makro akan terpengaruh.
b. Stelsel Anggapan (Fiktif). Stelsel ini menyatakan bahwa pengenaan pajak
didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Sebagai contoh,
penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan penghasilan tahun sebelumnya
sehingga pajak yang terutang pada suatutahun juga dianggap sama dengan pajak
yang terutang tahun sebelumnya. Dengan stelsel ini berarti besarnya pajak yang
terutang pada tahun berjalan sudah dapat ditetapkan atau diketahui pada awal
tahun yang bersangkutan.
Contoh:
Penghasilan tahun 2016 sebesar Rp50.000.000. Dengan anggapan bahwa penghasilan
tahun 2017 sama dengan penghasilan tahun 2016, maka PPh tahun 2017 sudah dapat dihitung
pada awal tahun 2017. Misalnya, tarif pajak yang berlaku adalah 10%, berarti besarnya PPh yang
terutang tahun 2017 adalah Rp5.000.000, yang pembayarannya dapat diangsur pada saat-saat
tertentu dalam tahun tersebut.
Kelebihan stelsel fiktif adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu
18

sampai akhir suatu tahun, misalnya pembayaran pajak dilakukan pada saat Wajib Pajak
memperoleh penghasilan tinggi atau mungkin dapat diangsur dalam tahun berjalan. Kekurangannya
adalah pajak yang dibayar tidak berdasar pada keadaan yang sesungguhnya, sehingga penentuan pajak
menjadi tidak akurat.

c. Stelsel Campuran. Stelsel ini menyatakan bahwa pengenaan pajak didasarkan pada kombinasi antara
stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarka suatu
anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak dihitung berdasar keadaan yang sesungguhnya.
Jika besarnya pajak berdasar keadaan sesungguhnya lebih besar daripada besarnya pajak menurut
anggapan,

Wajib Pajak harus membayar kekurangan tersebut. Sebaliknya, jikabesarnya pajak sesungguhnya
lebih kecil daripada besarnya pajak menurut anggapan, kelebihan tersebut dapat diminta kembali
(restitusi) ataupun dikompensasikan pada tahun-tahun berikutnya, setelah diperhitungkan dengan
utang pajak yang lain.

J. ASAS PENGENAAN DAN SISTIM PEMUNGUTAN PAJAK

1. Asas Pengenaan Pajak


Terdapat tiga asas pemungutan pajak, yaitu:

a. Asas Domisili (Asas Tempat Tinggal)


Asas ini menyatakan bahwa negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib
Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun luar
negeri. Setiap Wajib Pajak yang berdomisili atau bertempat tinggal di wilayah Indonesia (Wajib Pajak
Dalam Negeri) dikenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diperolehnya baik dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia.
Contoh:
TuanNano bertempat tinggal di Indonesia dalam jangka waktu tertentu, yang menurut peraturan
perpajakan Indonesia telah memenuhi ketentuan sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri. Pada tahun
2018 Tuan Akbar memperoleh penghasilan dari Indonesia sebesar Rp150.000.000 dan dari luar
negeri sebesar Rp75.000.000. Penghasilan Tuan Akbar yang dikenakan pajak di Indonesia pada tahun
2018 adalah sebesar Rp225.000.000.

b. Asas Sumber
Asas ini menyatakan bahwa negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di
wilayahnya tanpa memerhatikan tempat tinggal Wajib Pajak. Setiap orang yang memperoleh
penghasilan dari Indonesia dikenakan pajak atas penghasilan yang diperolehnya tadi.
Contoh:
Nikita adalah warga negara Jepang yang pada bulan Juli 2018 memperoleh penghasilann dari
Indonesia sebesar Rp 200.000.000 dan dari negara lain sebesar Rp 150.000.000. Menurut
peraturan perpajakan yangberlaku di Indonesia, Nikita bukan Wajib Pajak Dalam Negeri. Oleh
karena itu, penghasilan Nikita yang dikenakan Pajak di Indonesia pada bulan ]uli 2018 adalah
hanya penghasilan yang bersumber dari Indonesia saja yaitu sebesar Rp 200.000.000.
19

c. Asas Kebangsaan
Asas ini menyatakan bahwa pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara.
Misalnya pajakbangsa asing di Indonesia dikenakan atas setiap orang asing yang bukan
berkebangsaan Indonesia tetapi bertempat tinggal di Indonesia.

2. Sistem Pemungutan Pajak


Dalam memungut pajak dikenal beberapa sistem pemungutan, yaitu:
.
a. Official Assessment System
Sistem pemungutan pajak yang member! kewenangan aparatur perpajakan untuk menentukan
sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif serta kegiatan menghitung dan memungut pajak
sepenuhnya berada di tangan para aparatur perpajakan. Dengan demikian, berhasil atau tidaknya
pelaksanaan pemungutan pajak banyak tergantung pada aparatur perpajakan (peranan dominan ada
pada aparatur perpajakan).

b. Self Assessment System


Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang Wajib Pajak dalam menentukan
sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif serta
kegiatan menghitung dan memungut pajak sepenuhnya berada di tangan Wajib
Pajak. Wajib Pajak dianggap mampu menghitung pajak, mampu memahami
undang-undang perpajakan yang sedang berlaku, dan mempunyai kejujuran yang
tinggi, serta menyadari akan arti pentingnya membayar pajak. Oleh karena itu,
Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk:
1.) menghitung sendiri pajak yang terutang;
2.) memperhitungkan sendiri pajak yang terutang;
3.) membayar sendiri jumlah pajak yang terutang;
4.) melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang; dan
5.) mempertanggungjawabkan pajak yang terutang.
Dengan demikian, berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak banyak
tergantung pada Wajib Pajak sendiri (peranan dominan ada pada Wajib Pajak).

c. With Holding System


Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga yang ditunjuk untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku. Penunjukan pihak ketiga ini dilakukan sesuai peraturan
perundang-undangan perpajakan, keputusan presiden, dan peraturan lainnya untuk memotong dan
memungut pajak, menyetor, dan mempertanggungjawabkan melalui sarana perpajakan yang tersedia.
Berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak banyak tergantung pada pihak ketiga yang
ditunjuk. .

K. SAAT TIMBUL DAN BERAKHIRNYA UTANG PAJAK


1. Timbulnya Utang Pajak
20

Saat timbulnya utang pajak mempunyai peranan yang sangat penting karena berkaitan dengan:
1. pembayaran pajak.;
2. memasukkan surat keberatan;
3. menentukan saat dimulai dan berakhirnya jangka waktu daluwarsa;
4. menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, dan Iain-lain; dan
5. menentukan besarnya denda maupun sanksi administrasi lainnya.
Ada dua ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak (saat pengakuan adanya utang
pajak), yaitu ajaran materiil dan ajaran formil.
Ajaran Materiil
Ajaran materiil menyatakan bahwa utang pajak timbul karena diberlakukannya undang-undang
perpajakan. Dalam ajaran ini seseorang akan secara aktif menentukan apakah dirinya dikenakan pajak
atau tidak sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku. Ajaran ini konsisten dengan penerapan self
assessment system.
Ajaran Formil
Ajaran formil menyatakan bahwa utang pajak timbul karena dikeluarkannya surat ketetapan pajak
oleh fiskus (pemerintah). Untuk menentukan apakah seseorang dikenakan pajak atau tidak, berapa
jumlah pajak yang harus dibayar, dan kapan jangka waktu pembayarannya dapat diketahui dalam surat
ketetapan pajak tersebut. Ajaran ini konsisten dengan penerapan official assessment system.

2. Berakhirnya Utang Pajak


Utang pajak akan berakhir atau terhapus jika terjadi hal-hal sebagai berikut:
a. Pembayaran/Pelunasan
Pembayaran pajak dapat dilakukan dengan pemotongan/pemungutan oleh pihak lain, pengkreditan
pajak luar negeri, maupun pembayaran sendiri oleh Wajib Pajak ke kantor penerima pajak (bank-bank
persepsi dan kantor pos).

b. Kompensasi
Kompensasi dapat diartikan sebagai kompensasi kerugian maupun kompensasi karena kelebihan
pembayaran pajak.

1. Contoh penerapan kompensasi karena kerugian yang dapat menyebabkan terhapusnya


atau berakhirnya utang pajak:
Pada awal kepemilikan tahun 2016 Wajib Pajak A menderita kerugian sebesar Rpl00.000.000.
Pada tahun 2017 mulai memperoleh laba sebesar Rp50.000.000. Seharusnya pada tahun 2017,
Wajib Pajak A terutang pajak penghasilan sebesar persentase tertentu dari laba tahun 2017. Akan
tetapi utang pajak tahun 2017 terhapus karena jumlah kerugian pada tahun 2016 dapat
dikompensasikan atau dikurangkan dari laba tahun 2017.
Kerugian suatu usaha dapat dikompensasikan pada tahun-tahun setelahnya dengan jangka waktu
paling lama adalah 5 (lima) tahun setelah tahun terjadinya kerugian tersebut.

2. Contoh penerapan kompensasi karena kelebihan pembayaran pajak yang dapat


menyebabkan terhapusnya atau berakhirnya utang pajak:
1.) Wajib Pajak B pada tahun 2017 membayar pajak sebesar Rp80.000.000. Setelah dilakukan
penghitungan kembali pada akhir tahun 2017 ditemukan bahwa pajak yang sebenarnya
21

terutang oleh Wajib Pajak B adalah Rp50.000.000. Kelebihan pembayaran sebesar


Rp30.000.000 di tahun 2017 tersebut dapat dikompensasikan atau dikurangkan dari total
pajak pada tahun 2018.
2.) Wajib Pajak C kelebihan membayar PPh tahun 2018 sebesar Rpl0.000.000; sedangkan untuk
jenis PPN terdapat kekurangan pajak sebesar Rp1l.500.000. Kelebihan pembayaran PPh tahun
2018 sebesar Rpl0.000.000 tersebut dapat dikompensasikan pada kekurangan PPN di tahun
yang sama sehingga utang PPN yang sebesar Rpl0.000.000 pada tahun 2018 menjadi terhapus.
Sisa utang PPN menjadi Rp1.500.000.

c. Daluwarsa
Daluwarsa berarti telah lewat batas waktu tertentu. Jika dalam jangka waktu tertentu, suatu utang pajak
tidak ditagih oleh pemungutnya maka utang pajak tersebut dianggap telah lunas/dihapus/berakhir dan tidak
dapat ditagih lagi. Utang pajak akan daluwarsa setelah melewati waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak
saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang
bersangkuta
d.Pembebasan/Penghapusan
Kewajiban pajak oleh Wajib Pajak tertentu dinyatakan hapus oleh fiskus karena setelah dilakukan
penyidikan ternyata Wajib Pajak tidak mampu lagi memenuhi kewajibannya. Hal ini biasanya terjadi
karena Wajib Pajak mengalami kebangkrutan maupun mengalami kesulitan likuiditas.

L. TARIF PAJAK
Untuk menghitung besarnya pajak yang terutang diperlukan dua unsur, yaitu tarif pajak dan dasar
pengenaan pajak. Tarif pajak dapat berupa angka atau persentase tertentu. Jenis tarif pajak dibedakan
menjadi tarif tetap, tarif proporsional (sebanding), tarif progresif (meningkat), dan tarif degresif
(menurun).

1.Tarif Tetap

Tarif tetap adalah tarif berupa jumlah atau angka yang tetap, berapa pun besarnya dasar pengenaan
pajak.
Contoh:

No. Dasar Pengenaan Pajak Tarif Pajak BM


1. Rp 1.000.000 Rp 6.000
2. Rp 2.000.000 Rp 6.000
3. Rp 5.750.000 Rp 6.000
4. Rp 50.000.000 Rp 6.000

Di Indonesia, tarif tetap diterapkan pada bea meterai. Pembayaran dengan menggunakan cek
atau bilyet giro untuk berapa pun jumlahnya dikenakan pajak sebesar Rp6.000. Bea meterai juga
dikenakan atas dokumen-dokumen atau surat perjanjian tertentu yang ditetapkan dalam peraturan
tentang Bea Meterai.Untuk Bea Meterai Chek dan Bilyet Giro Berapapun nominal yang ditulis
22

dalam chek, maka akan dikenakan tariff tetap tunggal Rp 3.000,-

2.Tarif Proporsional (Sebanding)


Tarif proporsional adalah tarif berupa persentase tertentu yang sifatnya tetap terhadap berapa pun
dasar pengenaan pajaknya. Semakin besar dasar pengenaan pajak maka semakin besar pula
jumlah pajak yang terutang dengan kenaikan secara proporsional atau sebanding.
Contoh:

No. Dasar Pengenaan Pajak Tarif Pajak Utang Pajak


1. Rp 1.000 10% Rp 100
2. Rp 20.000 10% Rp 2.000
3. Rp 500.000 10% Rp 50.000
4. Rp 90.000.000 10% Rp 9.000.000
Di Indonesia, tarif proporsional diterapkan pada PPN (tarif 10%), PPh Pasal 26 (tarif 20%), PPh Pasal
23 (tarif 15% dan 2% untuk jasa lain), PPh WP badan dalam negeri dan BUT (tarif Pasal 17 ayat (1) b
atau 28% untuk tahun 2009 dan 25% untuk tahun 2010 dan seterusnya); dan Iain-lain.

3.Tarif Progresif (Meningkat)


Tarif progresif adalah tarif berupa persentase tertentu yang semakin meningkat dengan semakin
meningkatnya dasar pengenaan pajak. Tarif progresif dibedakan menjadi tiga, yaitu:
a. Tarif Progresif-Proporsional: tarif berupa persentase tertentu yang semakin meningkat dengan
meningkatnya dasar pengenaan pajak, dan kenaikan persentase tersebut adalah tetap.
Contoh:
Tarif Kenaikan
No. Dasar Pengenaan Pajak Pajak % Tarif
1. Sampai dengan Rp 10.000.000 15% —
2. Di atas Rp l0.000.000 s/d Rp 25.000.000 25% 10%
3. Di atas Rp 25.000.000 35% 10%

Tarif Progresif-Proporsional pernah diterapkan di Indonesia untuk menghitung PPh. Tarif ini
diberlakukan sejak tahun 1984 sampai dengan tahun 1994 dan diatur dalam Pasal 17 UU No. 7
Tahun 1983.

b. Tarif Progresif-Progresif: tarif berupa persentase tertentu yang semakin meningkat dengan
meningkatnya dasar pengenaan pajak, dan kenaikan persentase tersebut juga semakin
meningkat. Contoh:
23

Tarif Kenaikan
No. Dasar Pengenaan Pajak Pajak % Tarif
1. Sampai dengan Rp 25.000.000 10% —
2. Di atas Rp 25.000.000 s/d Rp 50.000.000 15% 5%
3. Di atas Rp 50.000.000 30% 15%

Tarif progresif-progresif pernah diterapkan di Indonesia untuk menghitung Pajak Penghasilan.


Tarif ini diberlakukan sejak tahun 1995 sampai dengan tahun 2000 dan diatur dalam Pasal 17 UU
No. 10 Tahun 1994. Mulai tahun 2001, jenis tarif ini masih diberlakukan sampai dengan akhir tahun
2008 tetapi hanya untuk Wajib Pajak badan
dan bentuk usaha tetap, dengan perubahan pada dasar pengenaan pajak sebagai berikut.

Tartf Kenaikan
No. Dasar Pengenaan Pajak Pajak %
1. Sampai dengan Rp50.000.000 10% —
2. Di atas Rp50.000.000 s/d Rp 100.000.000 15% 5%
3. Di atas Rpl00.000.000 30% 15%

c. Tarif Progresif-Degresif: tarif berupa persentase tertentu yang semakin meningkat dengan
meningkatnya dasar pengenaan pajak, tetapi kenaikan persentase tersebut semakin menurun.
Contoh:

No. Dasar Pengenaan Pajak Tarif Kenaikan


. % Tarif
1. Rp 50.000.000 10% —
2. Rp 100.000.000 15% 5%
r
3. Rp 200.000.000 18% 3%

d. Tarif Degresif (Menurun): tarif berupa persentase tertentu yang semakin menurun
dengan semakin meningkatnya dasar pengenaan pajak. Contoh:

No. Dasar Pengenaan Pajak Tarif Pajak


1. Rp 50.000.000 30%
2. Rp 100.000.000 20%
3. Rp 200.000.000 10%

M. PEMBAHARUAN SISTEM PERPAJAKAN (TAX REFORM)


Sebelum adanya tax reform, yang dimulai pada Tahun 1983, hampir semua jenis pemungutan
24

pajak di Indonesia menerapkan sistim pemungutan pajak Official Assessent System dan
Witholding Tax System.

1. Jenis Pajak yang dipungut sebelum adanya pembaharuan peraturan perpajakan (tax reform)
adalah:
1. Pajak Pendapatan (PPd);
(Pemungutan didasarkan/sesuai dengan Ordonansi Pajak Pendapatan 1994, Stbl.1944
No.17)
2. Pajak Perseroan (PPs);
(Pemungutan didasarkan/sesuai dengan Ordonansi Pajak Perseroan 1925, Stbl.1925 No.319)
3. Pajak Kekayaan (PKk);
(Pemungutan didasarkan/sesuai dengan Ordonansi Pajak Kekayaan 1932, Stbl. 1932
No.405)
4. Pajak Penjualan (PPn);
(Pemungutan didasarkan/sesuai dengan UU Pajak Penjualan 1951,UU (drt.) No.19 Tahun
1951)
5. Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalty (PBDR);
(Pemungutan didasarkan/sesuai dengan UU PBDR 1970, UU No.10 Tahun 1970)
6. Bea Meterai;
(Pemungutan didasarkan/sesuai dengan Aturan Bea Materai 1921, Stbl. 1921 No. 498)
7. Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA);
[Pemungutan didasarkan/sesuai dengan UU (Perpu) No.11 Tahun 1959]
8. Bea Balik Nama Harta Tetap/Kapal;
(Pemungutan didasarkan/sesuai dengan Ordonansi Bea Balik Nama Harta Tetap/Kapal
1924, Stbl. 1924 No. 291)
9. Bea Lelang;
Pemungutan didasarkan/sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Leang (Vendu
Reglement) Tahun 1908 dan terakhir didasarkan kepada Peraturan Tentang Pemungutan Bea
Lelang untuk Penjualan di Muka Umum 1949, Stbl. 1949 No.390]
Dalam perkembangan selanjutnya, Bea Lelang ini telah berobah menjadi penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP), sebagaimana dinyatakan dalam Surat Edaran Dirjen Pajak
No.SE-23/PJ.24/1995 tentang Penyetoran Bea Lelang.

Berdasarkan UU No.8 Tahun 1967 tanggal 26 Agustus 1967 (LN Tahun 1967 No.18) tentang
Perubahan dan penyempurnaan tata cara pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan
1932, dan Pajak Perseroan 1925 telah diatur tata cara pemungutan:
- Pajak Pendapatan (PPd);
- Pajak Kekayaan (PKk); dan
- Pajak Perseroan (PPs).
Tata cara tersebut merupakan Withholding Tax System, lebih dikenal dengan sebutan MPS
(Menghitung Pajak Sendiri) dan MPO (Memungut Pajak Orang Lain). Pelaksanaan MPS dan
MPO diatur lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1967 tanggal 19 September
1967 yang dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 1967 No.20 dan Tambahan Lembaran
Negara Tahun 1967 No.2829. tentang Pelaksanaan UU No.8 Tahun 1967 mengenai
Perubahan dan penyempurnaan tata cara pemungutan Pajak Pendapatan1944, Pajak
Kekayaan1932, dan Pajak Perseroan 1925.
25

Tata cara pemungutan pajak seperti di atas dalam rangka sistem pemungutan pajak disebut:
Withholding tax sytem, yaitu Orang pribdi dan/atau Badan diserahi tugas memungut pajak,
yang selanjutnya pajak yang dipungut tersebut disetor ke Kas Negara oleh pemungut pajak.

Disamping UU No.8 Tahun 1967 tentang MPS-MPO, maka masih terdapat beberapa
peraturan lain yang berkaitan dengan tata cara pelaksanaan pemungutan pajak, yakni:
Peraturan Pertimbangan Urusan Pajak (Regeling van het beroep in Belastingzaken), yakni
Ordonansi Tahun 1927 No.29 tanggal 27 Januari 1927 tentang Peraturan Majelis
Pertimbangan Pajak;
Peraturan tentang Penagihan Pajak-pajak Negara dengan Surat Paksa (UU No.19 Tahun
1959).

2. Latar Belakang Tax reform


Yang mendasari lahirnya Tax reform yaitu diatur Dalam ketetapan MPR No.II/MPR/1983
tanggal 9 Maret 1983 pada Bab III huruf D butirke-13, disebutkan:
Untuk pelaksanaan Pelita Keempat diperlukan pembiayaan yang memadai, yang terutama harus
bersumber dari kemampuan dalam negeri, sedangkan sumber-sumber luar negeri merupakan
sumber pelengkap. Dalam hubungan ini pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja negara
terus disempurnakan agar penerimaan negara makin meningkat, sedangkan pengeluaran negara
makin terkendali dan terarah sehingga peranan tabungan Pemerintah di dalam anggaran
pembangunan negara dapat makin meningkat.
Untuk meningkatkan penerimaan negara terutama dari sumber diluar minyak dan gas bumi,
sistem perpajakan terus disempurnakan, pemungutan pajak diintensifkan, dan aparat perpajakan
juga harus makin mampu dan bersih. Semuanya itu diarahkan agar kemampuan negara dan
masyarakat untuk membiayai pembangunan dari sumber- sumber dalam negeri makin
meningkat, pembagian beban pembangunan antara golongan yang berpendapatan tinggi dan
golongan yang berpendapatan rendah makin sesuai dengan rasa keadilan masyarakat,
mendorong pemerataan pembangunan dan membantu terlaksananya pola hidup sederhana, yang
sangat penting untuk memperkokoh solidaritas sosial. Disamping itu sistem perpajakan harus
memungkinkan pemanfaatan sumber-sumber alam secara optimal, mendorong ekspor dan
mengembangkan kegiatan ekonomi pada umumnya. Segala pajak harus didasarkan atas
peraturan perundang-undangan.

Dalam pidato kenegaraan di depan sidang DPR RI tanggal 16 Agustus 1983 Presiden telah
mengutarakan bahwa sebelum pelaksanaan REPELITA IV dimulai, yakni mulai 1 April 1984,
Pemerintah akan mengajukan beberapa buah rancangan Undang-undang yang merupakan
pembaharuan perpajakan nasional.

Tujuan utama daripada pembaharuan perpajakan nasional adalah :


1. Untuk membangun kemandirian dalam membiayai pembangunan nasional;
2. Menyerahkan segenap potensi dan kemampuan dari dalam negeri, diluar minyak dan gas
bumi;
3. Bahwa kita tidak hanya mengandalkan penerimaan dari minyak dan gas bumi;

3. Tax reform Tahun 1983


Sesuai dengan uraian-uraian di atas, menjelang berakhirnya tahun 1983 telah terjadi perubahan
26

dibidang peraturan perpajakan dengan diundangkannya beberapa undang-undang sebagai


berikut:

UU No.6 Tahun 1983 tanggal 31 Desember 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara
perpajakan (KUP), yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 1984;
UU No.7 Tahun 1983 tanggal 31 Desember 1983 tanggal 31 Desember 1983 tentang Pajak
Penghasilan (PPh), yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 1984;
UU No.8 Tahun 1983 tanggal 31 Desember 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM), yang mulai berlaku secara efektip sejak tanggal
1 April 1985.

Selanjutnya, masih dalam rangka tax reform, pada tahun 1985 telah diundangkan 2 (dua)
undang-undang baru, yakni:
1. UU No.12 Tahun 1985 tanggal 27 Desember 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB), yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1986;
2. UU No.13 Tahun 1985 tanggal 27 Desember 1985 tentang Bea Meterai, yang mulai berlaku
sejak tanggal 1 Januari 1986.

Dari uraian-uraian di atas dapat diberi kesimpulan bahwa sejak Tahun 1984 mulailah
pelaksanaan pemungutan jenis-jenis pajak yang baru, yakni:

1. Pajak Penghasilan (PPh), yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1984. Dengan berlakunya Pajak
Penghasilan, maka pemungutan pajak:
a. Pajak Pendapatan 1944;
b. Pajak Perseroan 1925; dan
c. Pajak atas Bunga Dividen dan Royalti 1970 ditiadakan atau dihapuskan.

Tata cara pemungutan Pajak Penghasilan dilakukan sesuai dengan UU No.6 Tahun 1983
tentang KUP dan dengan demikian pemungutan pajak dengan cara MPS dan MPO sesuai
dengan UU No.8 Tahun 1967 dihentikan, karena sudah diatur lebih sedergana dan rinci
dalam KUP dan UU PPh.

Perlu diketahui bahwa UU No.7 Tahun 1983 telah mengalami perubahan dengan
diundangkannya UU No.7 Tahun 1991 dan disempurnakan dengan UU No.10 Tahun 1994.
terakhir telah diperbaharui dengan UU nomor 17 tahun 2000
Tata cara pemungutan pajak (KUP) UU nomor 6 tahun 1983 telah disempurnakan dengan
UU No.9 Tahun 1994, dan UU nomor 16 tahun 2000 terakhir telah diperbaharui dengan UU
nomor 28 tahun 2007

2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan (PPn) atas Barang Mewah, yang
seharusnya sudah berlaku sejak 1 Juli 1984 sesuai dengan UU No.8 Tahun 1983.
Namun, sesuai dengan Peraturan Pemerintah pengganti UU (Perpu) No.1 Tahun 1984
berlakunya UU PPN dan PPn atas Barang Mewah ditetapkan selambat-lambatnya tanggal 1
Januari 1986 dan tanggal kepastiannya akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
27

3. Sesuai dengan PP No.1 Tahun 1985, ditetapkanlah bahwa pemungutan PPN dan PPn atas
Barang mewah berlaku sejak 1 April 1985. Dengan demikian, pemungutan PPN dan PPn
atas Barang Mewah secara efektif dimulai sejak 1 April 1985. UU No.8 Tahun 1983.terakhir
telah diperbaharui dengan UU nomor 18 tahun 2000

4. Perkembangan peraturan perpajakan s/d akhir Tahun 2010


Dalam perkembangan selanjutnya, untuk memenuhi perubahan/perkembangan perekonomian,
perindustrian dan perdagangan, selalu dilakukan perubahan dalam peraturan perpajakan.

Dalam Tahun 1994 telah diadakan perubahan dalam peraturan perpajakan yang menyangkut:
1. Ketentuan Umum dan Tata cara perpajakan (UU No.9 Tahun 1994);
2. Pajak Penghasilan (UU No.10 Tahun 1994);
3. Pajak Pertambahan Nilai dan PPn atas Barang Mewah (UU No.11 Tahun 1994);
4. Pajak Bumi dan Bangunan (UU No.12 Tahun 1994).
5. Aturan Bea Meterai ( UU No, 13 Tahun 1994)

Dalam Tahun 1995 telah diadakan perubahan dalam peraturan perpajakan yang menyangkut:
1. Kepabeanan (UU No.10 Tahun 1995);
2. Cukai (UU No.11 Tahun 1995).

Dalam Tahun 1997 telah diadakan pula pembaharuan dalam perpajakan yang menyangkut:
1. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU No.18 Tahun 1997);
2. Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (UU No.17 Tahun 1997);
3. Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU No.19 Tahun 1997);
4. Penerimaan Bukan Pajak (UU No.20 Tahun 1997);
5. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (UU No.21 Tahun 1997).

Dalam Tahun 2000 telah diadakan perubahan dalam peraturan perpajakan yang menyangkut:
1. Ketentuan Umum dan Tata cara perpajakan (UU No.16 Tahun 2000);
2. Pajak Penghasilan (UU No.17 Tahun 2000);
3. Pajak Pertambahan Nilai dan PPn atas Barang Mewah (UU No.18 Tahun 2000);
4. Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU No.19 Tahun 2000);
5. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (UU No.20 Tahun 2000);
6. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU No.34 Tahun 2000).

Dalam Tahun 2002 telah diadakan perubahan dalam peraturan perpajakan yang menyangkut
Badan penyelesaian sengketa pajak, diatur berdasarkan UU nomor 17 tahun 1997, telah diganti
dengan UU nomor 14 tahun 2002 tentang Peradilan Pajak

Dalam Tahun 2007 telah diadakan perubahan dalam peraturan perpajakan yang menyangkut,
Ketentuan Umum dan Tata cara perpajakan (UU No.16 Tahun 2000), telah diperbaharui lagi
terakhir dengan UU nomor 28 tahun 2007.

Dalam Tahun 2008 telah diadakan perubahan dalam peraturan perpajakan yang menyangkut,
Pajak Penghasilan (UU No.17 Tahun 2000), telah diperbaharui lagi terakhir dengan UU nomor
36 tahun 2008.
28

Dalam Tahun 2009 telah diadakan perubahan dalam peraturan perpajakan yang menyangkut,
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU No.18 Tahun 2000), telah
diperbaharui lagi terakhir dengan UU nomor 42 tahun 2009. Dan di tahun yang sama telah
diadakan perubahan dalam peraturan perpajakan yang menyangkut, Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah (PD & RD) (UU No.34 Tahun 2000), telah diperbaharui lagi terakhir dengan UU nomor
28 tahun 2009, dan seiring dengan UU No 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM, juga
membawa dampak diperbaharuinya lagi UU No. 28 Tahun 2007 dengan UU No. 16 Tahun 2009.
29

BAGIAN II

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

Peraturan perundang-undangan perpajakan terus disempurnakan seiring dengan perkembangan


ekonomi, teknologi informasi, sosial, dan politik dengan perkembangan ekonomi maupun sosial.
Perubahan perundang-undangan perpajakan khususnya Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan dimaksudkan untuk lebih memberikan keadilan, meningkatkan pelayanan kepada
Wajib Pajak, meningkatkan kepastian dan penegakan hukurn, serta mengantisipasi kemajuan di bidang
teknologi informasi dan perubahan ketentuan material di bidang perpajakan. Perubahan tersebut juga
dimaksudkan untuk meningkatkan profesionalisme aparatur perpajakan, meningkatkan keterbukaan
administrasi perpajakan, dan meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak.

Sistem, mekanisme, dan tata cara pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan yang sederhana menjadi
ciri dan corak dalam perubahan undang-undang ini dengan tetap menganut sistem self assessment.
Perubahan tersebut khususnya berkaitan dengan peningkatan keseimbangan hak dan kewajiban bagi
masyarakat Wajib Pajak sehingga masyarakat Wajib Pajak dapat melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakannya dengan lebih baik.

Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kesederhanaan, arah dan tujuan
perubahan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ini mengacu pada
kebijakan pokok sebagai berikut:

1. meningkatkan efisiensi pemungutan pajak dalam rangka mendukung penerimaan negara;


2. Meningkatkan pelayanan, kepastian hukum, dan keadilan bagi masyarakat guna
meningkatkan daya saing dalam bidang penanaman modal, dengan tetap mendukung
pengembangan usaha kecil dan menengah;
3. menyesuaikan tuntutan perkembangan sosial ekonomi masyarakat serta perkembangan
di bidang teknologi informasi;
4. meningkatkan keseimbangan antara hak dan kewajiban;
5. menyederhanakan prosedur administrasi perpajakan;
6. meningkatkan penerapan prinsip self assessment secara akuntabel dan konsisten; dan
7. mendukung iklim usaha ke arah yang lebih kondusif dan kompetitif.

Upaya pemerintah tersebut seiring dengan semakin dominannya peneriraaan dari sektor pajak dalam
RAPBN maupun APBN negara kita beberapa tahun terakliir ini, Hal ini dilakukan mengingat sumber
penerimaan migas tidak dapat diandalkan lagi karena jumlahnya makin menipis dan tidak dapat
diperbaharui, Dengan dilaksanakannya kebijakan pokok tersebut diharapkan dapat meningkatkan
penerimaan negara dalam jangka menengah dan panjang seiring dengan meningkatnya kepatuhan
sukarela dan membaiknya iklim usaha.
Bab ini membahas tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang berlaku di Indonesiaj
30

yang di dalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hubungan warga negara dan menempatkan
kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam
pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
Dalam pelaksanaan UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umurn dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 1994, dan UU No. 16 Tahun 2000 disadari masih
terdapat hal-hal yang belum tertampung sehingga menuntut perlunya penyempurnaan sejalan dengan
perkembangan sosial ekonomi dan kebijaksanaan pemerintah. UU No. 28 Tahun 2007.
Penyempurnaan peraturan perundang-undangan perpajakan tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan tersebut terakhir diatur dalam UU No. 16 Tahun 2009

A. BEBERAPA PENGERTIAN

Beberapa istilah atau. pengertian umum dalam membicarakan perpajakan sesuai Pasal 1 UU No. 28 Tahun
2007 adalah sebagai berikut.
1. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat mernaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
1. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan
pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
3. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik
yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan
usaha milik daerah dengan natna dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi,
dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial
politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak
investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
4. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan
usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor
barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari
luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah
pabean.
5. Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-
undang Pajak Pertambahan Nilai Tahun 1984 dan perubahannya.
6. Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai
sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri
atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
7. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk
menghitung, menyetor, dan rnelaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu
tertentu sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini. Masa Pajak sama dengan
1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
8. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak
menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
31

3. Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak.
10. Pajak yang Terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa
Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
11. Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk rnelaporkan
penghitungan dan/atau pembayaran pajak, Objek Pajak dan/atau bukan Objek Pajak,
dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
12. Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak.
13. Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak
atau Bagian Tahun Pajak.
14. Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah
dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke
kas ncgara inelalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
15. Surat Ketetapan Pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak
Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
16. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran
pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus
dibayar.
17. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
18. Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah
pokok pajak sarna besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan
tidak ada kredit pajak.
19. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada
pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
20. Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa
bunga dan/atau denda.
21. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan
22. Kredit Pajak untuk Pajak Penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib
Pajak ditarnbah dengan pokok pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak karena
Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan
pajak yang dipotong atau dipungut, ditambah dengan pajak atas penghasilan yang
dibayar atau terutang di luar negeri, dikurangi dengan pengembalian pendahuluan
kelebihan pajak, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.
23. Kredit Pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Masukan yang dapat
dlkreditkan setelah dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak
atau setelah dikurangi dengan pajak yang telah dikornpensasikan, yang dikurangkan
dari pajak yang terutang.
24. Pekerjaan Bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai
keahlian kliusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh
suatu hubungan kerja.
25. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan,
dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu
32

standar pemeriksaan untukmenguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/


atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
26. Bukti Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan,
atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau
telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja
yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.

27. Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan
bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang
perpajakan.
28. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas
pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban
Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
29. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa,
yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi
untuk periode Tahun Pajak tersebut.
30. Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan
pengisian Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang
kebenaran penulisan dan penghitungannya.
31. Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan adalah serangkaian tindakan yang
dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti
itu membuat terang tindak pidana di bidang perpaj akan yang terj adi serta menemukan
tersangkanya.
32. Penyidik adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal
Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
33. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan
tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam surat ketetapan
pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan
Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan
Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga.
34. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat
ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang
diajukan oleh Wajib Pajak.
35. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat
Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
36. Putusan Gugatan adalah putusan badan peradilan pajak atas gugatan terhadap hal-hal
yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat diajukan
gugatan.
37. Putusan Peninjauan Kembali adalah putusan Mahkamah Agung atas permohonan
33

peninjauan kembali yang diajukan oleh Wajib Pajak atau oleh Direktur Jenderal Pajak
terhadap Putusan Banding atau Putusan Gugatan dari badan peradilan pajak.
38. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak adalah surat keputusan yang
menentukan jumlah pengembalian pendahuluan kelebihan pajak untuk Wajib pajak tertentu.
39. Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga adalah surat keputusan yang menentukan jumlah
imbalan bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak.
40. Tanggal Dikirim adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam hal
disampaikan secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan disampaikan
secara langsung.
41. Tanggal Diterima adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam hal diterima
secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan diterima secara langsung.

B. KEWAJIBAN DAN HAK WAJIB PAJAK

1. Kewajiban Wajib Pajak


Kewajiban Wajib Pajak menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 adalah sebagai berkut:
a. Mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat
tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib
Pajak, apabila telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif.
b. Melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk
dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
c. Mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan
menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, serta menandatangani
dan menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau
dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
d. Menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan satuan
mata uang selain rupiah yang diizinkan, yang pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
e. Membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke
kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
f. Membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan
perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.
g. Menyelenggarakan pembukuan bagi Wajib Pajak orang pribadiyang melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan, dan melakukan pencatatan bagi Wajib Pajak
orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
h. Berkaitan dengan Pemeriksaan Pajak maka Wajib Pajak wajin :
1. Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya,
dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh kegiatan usaha,
pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
2. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu
dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau
3. memberikan keterangan lain yang diperlukan apabila diperiksa.
34

.
2. Hak-hak Wajib Pajak
Hak-hak Wajib Pajak menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 adalah sebag berikut:
a. Melaporkan beberapa Masa Pajak dalam 1 (satu) Surat Pemberitahuan Masa.
b. Mengajukan surat keberatan dan banding bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu.
c. Memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
untuk paling lama 2 (dua) bulan dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
atau dengan cara lain kepada Direktur Jenderal Pajak
d. Membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan
pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan
pemeriksaan.
e. Mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
f. Mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:
1) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
2) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
3) Surat Ketetapan Pajak Nihil;
4) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
5) pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
g. Mengajukan permohonan banding kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan
Keberatan.
h. Mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:
1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
3. Surat Ketetapan Pajak Nihil;
4. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
5. Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
i. Mengajukan permohonan banding kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan.
j. Menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi
kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
k. Memperoleh pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga
keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak dalam hal Wajib Pajak
menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Tahun
Pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih dan dilakukan
paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah berlakunya UU No. 28 Tahun 2007.

C.NOMOR POKOK WAJIB PAJAK DAN PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK

1. Pengertian dan Fungsi NPWP dan PKP


Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) merupakan suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang
dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak. Setiap Wajib lya diberikan satu
NPWP. Nomor Pokok Wajib Pajak juga dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam
35

pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan. Dengan memiliki NPWP,
Wajib Pajak memperoleh beberapa manfaat langsung lainnya seperti sebagai pembayaran pajak di muka
(angsuran/kredit pajak) atas Fiskal Luar Negeri dibayar sewaktu Wajib Pajak bertolak ke Luar Negeri,
sebagai persyaratan elakukan pengurusan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), dan sebagai salah
satu syarat pembuatan Rekening Koran di bank-bank. Terhadap Wajib Pajak yang tidak
mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak dikenakan sanksi sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Fungsi pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain dipergunakan untuk mengetahui identitas
Pengusaha Kena Pajak yang sebenarnya juga berguna untuk melaksanakan kewajiban di bidang
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang serta untuk pengawasan administrasi
perpajakan. Terhadap pengusaha yang nenuhi syarat sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak
melaporkan usahanya cukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dikenai sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
. Terhadap Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak yang tidak memenuhi kewajiban
:mendaftarkan diri dan/atau melaporkan usahanya dapat diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak
dan/atau pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan. Hal ini dapat dilakukan\ apabila
berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktorat Jenderal
Pajak ternyata orang pribadi atau badan atau Pengusaha tersebut telah memenuhi syarat untuk
memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan NPWP dan/atau yang dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak secara jabatan, dirnulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan
subjektif dan objektif sesuai ketentuan perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima)
tahun sebelum diterbitkannya NPWP dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
NPWP terdiri atas 15 digit, meliputi 9 digit pertama merupakan Kode Wajib Pajak dan 6 digit
berikutnya merupakan Kode Administrasi Perpajakan. Format tersebut adalah sebagai berikut:

Kode
Kode kelompok WP Nomor Pokok Pengecekan Kode KPP Kantor
cabang/pusat
2.Tempat Pendaftaran NPWP dan Pengukuhan PKP
Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP). Tempat pendaftaran NPWP adalah sebagai berikut:
1. Bagi Wajib Pajak orang pribadi, adalah pada Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak.
2. Bagi Wajib Pajak badan, adalah tempat kedudukan/kegiatan usaha Wajib Pajak.

Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang Pajak
Pertambahan Nilai Tahun 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
menjadi pengusaha kena pajak (PKP). Tempat pelaporan usaha dan pengukuhan sebagai Pengusaha
Kena Pajak adalah sebagai berikut:
36

1. Bagi Pengusaha orang pribadi, adalah pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan.
2. Bagi Pengusaha badan, adalah pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat kedudukan Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan.
3. Bagi Pengusaha orang pribadi atau badan yang mempunyai tempat kegiatan usaha di beberapa
wilayah kantor Direktorat Jenderal Pajak, adalah baik di Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha maupun di kantor
Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan.
4. Bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu (yaitu Wajib Pajak orang pribadi
yang mempunyai tempat usaha tersebar di beberapa tempat, misalnya pedagang
elektronik yang mempunyai toko di beberapa pusat perbelanjaan), kewajiban
melaporkan usahanya di samping pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak juga pada kantor Direktorat Jenderal
Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dilakukan.

5. Bagi Pengusaha Kena Pajak tertentu, Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan kantor
Direktorat Jenderal Pajak sebagai tempat pendaftaran pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak sebagai berikut.
Wajib Pajak Tertentu dan Pengusaha Kena Pajak Tempat Pendaftaran dan
Tertentu Pelaporan Usaha
. BUMD yang berkedudukan di wilayah DKI Jakarta • • KPP Perusahaan Negara dan Daerah
Wajib Pajak BUMN, termasuk anak perusahaan yang
penyertaan modal induknya lebih dari 50%

• Wajib Pajak penanaman modal asing yang tidak • KPP Penanaman Modal Asing I
masuk bursa dan melakukan kegiatan usaha
di bidang industri nonlogam

• Wajib Pajak penanaman modal asing yang tidak • KPP Penanaman Modal Asing II
masuk bursa dan melakukan kegiatan usaha
di bidang industri logam dan mesin

• Wajib Pajak penanaman modal asing yang tidak • KPP Penanaman Modal Asing III
masuk bursa dan melakukan kegiatan usaha
di bidang nonindustri

• Wajib Pajak bentuk usaha tetap • Orang asing . KPP Badan dan Orang Asing
yang berkdudukan/bertempat tinggal di wilayah DKI Jakarta

• Wajib Pajak yang pernyataan pendaftaran emisi • KPP Perusahaan Masuk Bursa
sahamnya telah dinyatakan efektif oleh Bapepam

• Wajib Pajak BUMD dan bentuk usaha tetap • KPP yang wilayah kerjanya
. meliputi tempat kedudukan
Wajib Pajak BUMD dan bentuk
usaha tetap

Wajib Pajak orang asing yang berkedudukan atau . KPP yang wilayah kerjanya
bertempat tinggal di luar DKI Jakarta meliputi tempat tinggal Wajib
Pajak orang asing
37
38

Wajib Pajak Tertentu dan Pengusaha Kena Pajak Tempat Pendaftaran dan Pelaporan
Tertentu Usaha

Wajib Pajak BUMN, BUMD, penanaman modal asing, badan KPP yang diwilayah kerjanya meliputi
dan orang asing, dan perusahaan masuk bursa, terbatas pada Pajak tempat cabang, perwakilan, atau kegiatan
Penghasilan Pemotongan,Pajak Penghasilan Pemungutan, Pajak usaha dilakukan
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

KPP = Kantor Pelayanan Pajak


Direktorat Jenderal Pajak yang dimaksud adalah Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Kantor Penyuluhan dan
Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4).

3.Tata Cara Pendaftaran NPWP dan Pengukuhan PKP


Wajib Pajak (WP) mengisi formulir pendaftaran dan menyampaikan secara langsung melalui pos ke
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Pot Perpajakan (KP4) setempat
dengan melampirkan ketentuan sebagai berikut:
1. Untuk WP Orang Pribadi Non-Usahawan
Fotokopi KTP bagi penduduk Indonesia atau fotokopi paspor ditambah surat keteran tempat tinggal
dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa 1 orang asing.
2. Untuk WP Orang Pribadi Usahawan
a. Fotokopi KTP bagi penduduk Indonesia atau fotokopi paspor ditambah surat keterangan
tempat tinggal dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa bagi orang asing
b. Surat Keterangan tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari instansi yang berwenang
minimal Lurah atau Kepala Desa.
3. Untuk WP Badan
a. Fotokopi akta pendirian dan perubahan terakhir atau surat keterangan penunjuk
dari kantor pusat bagi BUT.
b. Fotokopi KTP bagi penduduk Indonesia atau fotokopi paspor ditambah surat keterangan
tempat tinggal dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa bagi orang asing,
dari salah seorang pengurus aktif.
c. Surat Keterangan tempat kegiatan usaha dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau
Kepala Desa.
4. Untuk Bendaharawan sebagai Pemungut/Pemotong
a. Fotokopi KTP bendaharawan.
b. Fotokopi surat penunjukan sebagai bendaharawan.
5. Untuk joint operation sebagai wajib pajak pemotong/pemungut
a. Fotokopi perjanjian kerja sama sebagai joint operation.
b. Fotokopi NPWP masing-masing anggota joint operation.
c. Fotokopi KTP bagi penduduk Indonesia atau fotokopi paspor ditambah surat keterangan
tempat tinggal dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa bagi orang asing,
dari salah seorang pengurus joint operation.
6. Wajib Pajak dengan status cabang, orang pribadi pengusaha tertentu atau wanita kawin tidak pisah harta
39

harus melampirkan fotokopi surat keterangan terdaftar.


7. Apabila permohonan ditandatangani orang lain harus dilengkapi dengan surat kuasa khusus.

5.Pendaftaran NPWP dan PKP melalui Elektronik


Pendaftaran NPWP oleh Wajib Pajak dapat juga dilakukan secara elektronik, yaitu melalui di internet di situs
Direktorat Jenderal Pajak dengan alamat http://www.pajak.go.id dengan mengeklik e-registration
(pendaftaran Wajib Pajak melalui Internet); di mana Wajib Pajak cukup memasukkan data-data pribadi
(KTP/SIM/Paspor) untuk dapat memperoleh NPWP. Selanjutnya dapat mengirimkan melalui pos fotokopi
data pribadi tersebut ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau kedudukan Wajib Pajak.
Berikut langkah-langkah untuk mendapatkan NPWP melalui Internet (electronic registration).
1. Cari situs Direktorat Jenderal Pajak di Internet dengan alamat www.pajak.go.id.
2. Selanjutnya Anda memilih menu e-reg (electronic rregistration).
3. Pilih menu "buat account baru" dan isilah kolom sesuai yyang diminta.
4. Setelah itu Anda akan masukke menu "Formulir Registrasi Wajib Pajak Orang Pribadi".
Isilah sesuai dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) Anda.
5. Anda akan memperoleh Surat Keterangan Terdaftar (SKT) sementara yang berlaku
selama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran dilakukan. Cetak SKT sementara tersebut
beserta Formulir Registrasi Wajib Pajak Orag Pribadi sebagai bukti Anda sudah terdaftar
sebagai Wajib Pajak.
6. Tandatangani formulir registrasi, kemudian kirimkan/sampaikan langsung bersama SKT sementara serta
persyaratan lainnya ke kantor pelayanan pajak seperti yang tertera pada SKT sementara Anda. Setelah itu,
Anda akan menerima kartu NPWP dan SKT asli.

7.Wajib Pajak Pindah


Dalam hal WP pindah domisili atau pindah tempat kegiatan usaha, WP wajib melaporkan diri ke
KPP lama maupun KPP baru dengan ketentuan:
1. Wajib Pajak Orang Pribadi Usahawan.
Pindah tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas; adalah surat keterangan
tempat tinggal baru atau tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang baru dari instansi
yang berwenang (Lurah atau Kepala Desa).
2. wajib pajak orang pribadi Nonusaha
Surat keterangan tempat tinggal baru dari Lurah atau Kepala Desa, atau surat ketentuan dari
pimpinan instansi perusahaannya.
3. Wajib Pajak Badan
Pindah tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha; adalah surat keterangan tempat kedudukan
atau tempat kegiatan yang baru dari Lurah atau Kepala Desa.

8.Penghapusan NPWP

Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila;
1. diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak oleh Wajib Pajak
atau ahli warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif
atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajak.
1. Wajib Pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha;
40

2. Wajib Pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia;


2. dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor Pokok
Pajak dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau
objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan kepi atas permohonan
penghapusan NPWP dalam jangka waktu 6 (enam) bulan untuk Pajak orang pribadi atau 12 (dua
belas) bulan untuk Wajib Pajak badan, sejak t? permohonan diterima secara lengkap.

9.Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan NPWP serta Pengukuhan dan Pencabutan
NPPKP dengan Sistem e-Registration
Hal-hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan tata cara Pendaftaran Pengha Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP) serta Pengukuhan dan Pencabutan Nomor Pengul Pengusaha Kena Pajak
(NPPKP) (sesuai Keputusan Dirjen Pajak Nomor Kep- 173/PJ./ diatur sebagai berikut.
1. Wajib Pajak yang mengajukan permohonan untuk mendaftarkan diri dan
melaporkan kegiatan usaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak melalui
sistem e-Registration akan mendapatkan Formulir Registrasi Wajib Pajak dan
Keterangan Terdaftar Sementara dengan cara Wajib Pajak mencetak sendiri melalui
sistem e-Registration.
2. Surat Keterangan Terdaftar Sementara hanya berlaku selama 30 (tiga puluhari) hari
sejak pendaftaran dilakukan dan hanya berlaku untuk pembayaran, pemotongan dan penungutan
pajak oleh pihak lain, serta tidak dapat dipergunakan untuk melakukan kegiatan di luar bidang
perpajakan.

3. formulir Registrasi Wajib Pajak yang sudah ditandatangani beserta persyaratannya disampaikan ke
Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar paling lama 30 hari sejak permohonan.
4. apaabila Formulir Registrasi Wajib Pajak yang sudah ditandatangani beserta persyaratannya
belum diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dalam jangka waktu 30
(tiga puluh) hari sejak permohonan dilakukan, maka proses permohonan akan dibatalkan secara
sistem.
5. kantor Pelayanan Pajak menerbitkan kartu Nomor Pokok Wajib Pajak dan Surat keterangan
Terdaftar paling lama 1 (satu) hari sejak Formulir Registrasi Wajib Pajak yang sudah ditandatangani
beserta persyaratannya diterima secara lengkap.
6. dalam hal Wajib Pajak melakukan pendaftaran sekaligus melaporkan usahanya untuk kukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak, Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib pajak terdaftar menerbitkan
secara bersamaan Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak, Surat keterangan Terdaftar dan Surat Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak paling lama 3 (tiga) hari kerja berikutnya setelah Formulir Registrasi Wajib
Pajak beserta persyaratannya terima secara lengkap.
7. berdasarkan proses approval melalui sistem e-Registration, Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib
Pajak terdaftar akan mengirimkan kartu Nomor Pokok Wajib Pajak KP.PDEP.4.4-00) dan Surat
Keterangan Terdaftar (KP.PDIP.4.2-00), dan/atau Surat Penngukuhan Pengusaha Kena Pajak
(KP.PDIP.4.3-00) melalui pos ke alamat Wajib pajak, atau berdasarkan Notifikasi yang dikirimkan
melalui sistem e-Registration, Wajib pajak atau Kuasanya dapat mengambil sendiri dokumen tersebut
ke Kantor Pelayanan pajak.
8. Wajib Pajak yang telah terdaftar dan belum mempunyai akses ke sistem e-Registration, dapat
41

mengajukan permohonan untuk dapat mengakses sistem e-Registration atas Nomor Pokok Wajib
Pajak yang bersangkutan kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dengan
membawa bukti pendaftaran yang berlaku.

D.PEMBAYARAN, PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN, DAN PELAPORAN


Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan sistem self assessment wajib
melakukan sendiri penghitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak terutang.

1.Pembayaran Pajak dan Surat Setoran Pajak (SSP)


Pembayaran pajak dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut.
1. Membayar sendiri pajak yang terutang.
a. Pembayaran angsuran setiap bulan (PPh Pasal 25), yaitu pembayaran pajak
penghasilan secara angsuran. Hal ini dimaksudkan untuk meringankan beban Wajib
Pajak dalam melunasi pajak yang terutang dalam 1 (satu) tahun pajak. Wajib Pajak
diwajibkan untuk mengangsur pajak yang akan terutang pada akhir tahun dengan
membayar sendiri angsuran pajak setiap bulan.
b. Pembayaran PPh Pasal 29 setelah akhir tahun, yaitu pelunasan pajak penghasilan
yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak pada akhir tahun pajak apabila pajak
terutang untuk suatu tahun pajak lebih besar dari total pajak yang dibayar sendiri
dan pajak yang dipotong atau dipungut pihak lain sebagai kredit pajak.
2. Melalui pemotongan dan pemungutan oleh pihak lain (PPh Pasal 4 (2), PPh Pasa'
15, PPh Pasal 21, 22, dan 23, serta PPh Pasal 26). Pihak lain yang dimaksud adalah
pemberi penghasilan, pemberi kerja, dan pihak lain yang ditunjuk atau ditetapkan oler
pemerintah.
3. Melalui pembayaran pajak di luar negeri (PPh Pasal 24).
4. Pemungutan PPN oleh pihak penjual atau oleh pihak yang ditunjuk pemerintar
(misalnya bendaharawan pemerintah).
5. Pembayaran paj ak-paj ak lainnya.
a. Pembayaran Pajak Bumi dan Bangungan (PBB), yaitu pelunasan berdasarkan Surai
Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Untuk daerah Jakarta, pembayaran PBE
sudah dapat dilakukan dengan menggunakan ATM di bank-bank tertentu.
b. Pembayaran Bea Perolehan Hakatas Tanah dan Bangunan (BPHTB), yaitupelunasar
pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan.
c. Pembayaran Bea Meterai, yaitu pelunasan pajak atas dokumen yang dapat dilakukar
dengan cara menggunakan benda meterai berupa meterai tempel atau kerta;
bermeterai atau dengan cara lain seperti menggunakan mesin teraan.

Pelaksanaan pembayaran pajak dapat dilakukan Kantor Penerima Pembayaran dengar menggunakan
Surat Setoran Pajak (SSP) yang dapat diambil di Kantor Pelayanan Pajal (KPP) atau KP4 terdekat, atau
dengan cara lain melalui pembayaran pajak secara elektronil (e-paymeni). Surat Setoran Pajak (SSP) adalah
surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untul melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang
ke kas negara melalui Kanto; Penerima Pembayaran. Kantor Penerima Pembayaran adalah Kantor Pos
dan atau banl Badan Usaha Milik Negara atau bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayarai
42

lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sebagai penerima pembayaran atau setoran pajak Surat setoran
pajak dapat berupa: SSP Standar, SSP Khusus, SSPCP (Surat Setoran Pabean Cukai dan Pajak Dalam
Rangka Impor), dan SSCP (Surat Setoran Cukai atas Barang Ken; Cukai dan PPN Hasil Tembakau
Buatan Dalam Negeri).

a. SSP Standar
Surat Setoran Pajak yang selanjutnya disebut dengan SSP adalah bukti pembayaran atau penyetoran
pajakyang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke
kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Formulir SSP dibuat
dalam rangkap 4 (empat), dengan peruntukan sebagai berikut:
a. lembar ke-1 : untuk arsip Wajib Pajak;
b. lembar ke-2 : untuk Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN);
c. lembar ke-3 : untuk dilaporkan oleh Wajib Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak;
d. lembar ke-4 : untuk arsip Kantor Penerima Pembayaran.

Dalam hal diperlukan, SSP dapat dibuat dalam rangkap 5 (lima) dengan peruntukan lembar ke-5
untuk arsip Wajib Pungut atau pihak lain sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
SSP berikut mulai berlaku per 1 Juli 2009. Namun demikian sampai dengan 31 Desember
2009 masih diperbolehkan menggunakan SSP lama, yaitu berdasar Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-01/PJ./2006 tentang Bentuk Surat Setoran Pajak.

Pengisian Kode Akun Pajak dan Kode Jenis Setoran dalam formulir SSP dilakukan berdasarkan Tabel
Akun Pajak dan Kode Jenis Setoran yang dapat dilihat pada Lampiran IV buku ini.

b. SSP Khusus
SSP Khusus merupakan bukti pembayaran atau penyetoran pajak terutang ke Kantor Penerima
Pembayaran yang dicetak oleh Kantor Penerima Pembayaran dengan menggunakan mesin
transaksi dan atau alat lainnya yang isinya sesuai dengan yang ditetapkan dalam Peraturan Direktur
Jenderal Pajak ini, dan mempunyai fungsi yang sama dengan SSP Standar dalam administrasi
perpajakan. SSP Khusus dicetak oleh Kantor Penerima Pembayaran yang telah mengadakan kerja
sama Monitoring Pelaporan Pembayaran Pajak (MP3) dengan Direktorat Jenderal Pajak. SSP Khusus
dicetak:
a. pada saat transaksi pembayaran atau penyetoran pajak sebanyak 2 (dua) lembar,
yang berfungsi sama dengan lembar ke-1 dan lembar ke-3 SSP Standar;
b. terpisah sebanyak 1 (satu) lembar, yang berfungsi sama dengan lembar ke-2 SSP
Standar untuk diteruskan ke KPPN sebagai lampiran Daftar Nominatif Penerimaan
(DNP).
SSP khusus dapat diperbanyak dan berfungsi sama dengan lembar ke-5 SSP Standar sebagai pengganti
bukti potong /bukti pungut dengan diberi cap dan tandatangan oleh pejabat yang berwenang oleh
Kantor penerima pembayaran. SSP Khusus paling sedikit memuat keterangan-keterangan sebagai
berikut;
a. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
b. Nama Wajib Pajak;
c. Identitas Kantor Penerima Pembayaran;
d. Mata Anggaran Penerimaan (MAP)/Kode Jenis Pajak dan Kode Jenis setoran;
e. Masa Pajak dan atau Tahun Pajak;
43

f. Nomor Ketetapan (untuk pembayaran: STP, SKPKB, atau SKPKBT);


g. Jumlah dan Tanggal Pembayaran; dan
h. Nomor Transaksi Pembayaran Pajak (NTPP) dan atau Nomor Transaksi Bank (NTB) atau
Nomor Transaksi Pos (NTP).

SSP Khusus dapat digunakan meskipun tidak memenuhi ketentuan di atas, dalam hal digunakan
untuk pembayaran sebagai berikut:
a. Pajak Penghasilan (PPh) atas pembayaran Fiskal Luar Negeri (MAP/Kode Jenis Pajak
411128, Kode Jenis Setoran 100) yang dibayar pada counter-counter di Bandar udara dan
pelabuhan laut;
b. Pajak Penghasilan Pasal 26 Subjek Pajak Luar Negeri (MAP/Kode Jenis Pajak411127,semua Kode
Jenis Setoran) baik untuk perorangan maupun badan;
c. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang terutang atas pengalihan aset dalam rangka
restrukturisasi perusahaan (MAP/Kode Jenis Pajak 411221, Kode Jenis Setoran 104);

d. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean (MAP/Kode Jenis
Pajak 411221, Kode Jenis Setoran 101 atau 102);
e. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Impor dan PPN Impor atas barang bawaan
penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas dan kiriman pos sebagaimana
ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (MAP/Kode Jenis Pajak 411123);
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 yang dipungut oleh Pemungut (MAP/Kode Jenis
Pajak 411122, Kode Jenis Setoran 900);
f. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dalam Negeri yang dipungut oleh Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai (MAP/Kode Jenis Pajak 411221, Kode Jenis Setoran 900); Pajak
Penghasilan (PPh) Final Pasal 4 ayat (2) atas pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan
yang dilakukan oleh orang pribadi yang tidak mempunyai NPWP (MAP/Kode Jenis
Pajak411128, Kode Jenis Setoran 402) sepanjang telah mendapat Surat Keterangan dari Kepala
Kantor Pelayanan Pajak setempat yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak wajib
memiliki NPWP;
g. Pajak Penghasilan (PPh) Final Pasal 4 ayat (2) atas persewaan tanah dan/atau bangunan
yang dilakukan oleh orang pribadi yang tidak mempunyai NPWP (MAP/ Kode Jenis Pajak
411128, Kode Jenis Setoran 403) sepanjang telah mendapat Surat Keterangan dari Kepala
Kantor Pelayanan Pajak setempat yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak wajib
memiliki NPWP;
h. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Kegiatan Membangun Sendiri yang dilakukan oleh orang
pribadi yang tidak mempunyai NPWP (MAP/Kode Jenis Pajak 411211, Kode Jenis Setoran
103).

Kantor Penerima Pembayaran diperkenankan melayani pembayaran atau penyetoran pajak


dengan menggunakan SSP Khusus setelah mendapatkan persetujuan khusus dari Direktur
Jenderal Pajak.

c. SSPCP (Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak dalam Rangka Impor) Adalah SSP yang
digunakan oleh Importir atau Wajib Bayar dalam rangka impor. SSPCP dibuat dalam rangka 8
(delapan) yang peruntukannya sebagai berikut:
44

a. Lembar ke-la: untuk KPBC melalui Penyetor/ Wajib Pajak;


b. Lembar ke-lb : untuk Penyetor/Wajib Pajak;
c. Lembar ke-2a: untuk KPBC melalui KPPN;
d. Lembar ke-2b dan ke-2c : untuk KPP melalui KPPN;
e. Lembar ke-3a dan ke-3b : untuk KPP melalui Penyetor/WP atau KPBC;
f. Lembar ke-4 : untuk Bank Devisa Persepsi, Bank Persepsi atau PT Pos Indonesia

Hal-hal khusus tentang SSPCP adalah:


a. SSPCP yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN adalah SSPCP lembar ke-3a.

b. Apabila dalam SSPCP tersebut terdapat pembayaran Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah (PPnBM) impor, maka SSPCP yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Penjualan Atas Barang Mewah adalah fotokopi SSPCP lembar ke-3a.
c. SSPCP yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa PPh adalah SSPCP lembar ke-3b.
d. SSPCP yang diterima KPP dari KPPN, digunakan untuk administrasi penerimaan
Pajak Penghasilan adalah SSPCP lembar ke-2b.
e. SSPCP yang diterima KPP dari KPPN, digunakan untuk administrasi penerimaan
Pajak Pertambahan Nilai adalah SSPCP lembar ke-2c.
f. Apabila dalam SSPCP tersebut terdapat pembayaran Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah (PPnBM) impor, maka untuk administrasi penerimaan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah digunakan fotokopi SSPCP lembar ke-2c.
g. Apabila terdapat kekurangan pembayaran pajak atas impor selain yang ditagih
dengan Surat Tagihan Pajak (STP) atau surat ketetapan pajak maka pelunasan
kekurangan pembayaran tersebut dilakukan dengan menggunakan SSPCP.

d. SSCP (Surat Setoran Cukai atas Barang Kena Cukai dan PPN Hasil Tembakau Buatan
Dalam Negeri)
Adalah SSP yang digunakan oleh Pengusaha untuk cukai atas Barang Kena Cukai dan PPN hasil
tembakau buatan dalam negeri.

SSCP dibuat dalam rangkap 6 (enam) yang peruntukannya sebagai berikut:


a. Lembar ke-la : untuk KPBC melalui Penyetor/ Wajib Pajak;
b. Lembar ke-lb : untuk Penyetor/Wajib Pajak;
c. Lembar ke-2a : untuk KPBC melalui KPPN;
d. Lembar ke-2b : untuk KPP melalui KPPN;
e. Lembar ke-3 : untuk KPP melalui Penyetor/ Wajib Pajak;
f. Lembar ke-4 : untuk Bank Persepsi atau PT Pos Indonesia.
Apabila terdapat kekurangan pembayaran pajak untuk cukai atas Barang Kena Cukai dan PPN hasil
tembakau buatan dalam negeri selain yang ditagih dengan Surat Tagihan Pajak (STP) atau surat
ketetapan pajak maka pelunasan kekurangan pembayaran tersebut dilakukan dengan menggunakan
SSCP.
2. Pemotongan/Pemungutan
Selain pembayaran bulanan yang dilakukan sendiri, ada pembayaran bulanan yang dilakukan dengan
mekanisme pemotongan/pemungutan yang dilakukan oleh pihak ketiga. Adapun jenis Pajak Penghasilan
yang pembayarannya melalui pemotongan/pemungutan adalah PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal
23, PPh Pasal 26, dan PPN dan PPnBM.
45

1. PPh Pasal 21 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga atas penghasilan
yang diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau
kegiatan yang dilakukan (seperti gaji yang diterim dipotong oleh perusahaan tempat pegawai
tersebut bekerja).
2. PPh Pasal 22 adalah pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak ketig
dengan pembayaran atas penyerahan barang, impor barang dan kegi
bidang-bidang tertentu (seperti penyerahan barang oleh rekanan kepada bendaharawan pemenntah).
3. PPh Pasal 23 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga
dengan penghasilan tertentu seperti deviden, bunga, royalty, sewa, dan jasa yang
diterima oleh Wajib Pajak badan dalam negeri, dan bentuk usaha tetap (BUT).
4. PPh Pasal 26 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga
dengan penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri.
5. PPh Final Pasal 4 ayat (2) merupakan pajak yang sifat pemungutannya
dimaksud final bahwa pajak yang dipotong, dipungut oleh pihak ketiga
sendiri tidak dapat dikreditkan (bukan pembayaran di muka) terhadap
pada akhir tahun dalam penghitungan pajak penghasilan pada surat pemberitahuan
(SPT) Tahunan. Beberapa contoh penghasilan yang dikenakan PPh final adalah bunga
deposito, penjualan tanah dan bangunan, persewaan tanah dan bangunan, hadiah
undian, bunga obligasi dan Iain-lain.
6. PPh Pasal 15 adalah pemotongan pajak penghasilan yang dilakukan oleh, wajib pajak tertentu yang
menggunakan norma penghitungan khusus, antara lain { pelayaran atau penerbangan international,
perusahaan asuransi luar negeri,pengeboran minyak, gas dan panas bumi, perusahaan dagang asing,
perus: melakukan investasi dalam bentuk bangun guna serah.
7. Pajak pertambahan nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas nilai tan
barang dan jasa.
8. Pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) adalah pajak khusus untt
barang mewah.

Seperti halnya PPh Pasal 25, pemotongan/pemungutan tersebut mi angsuran pajak. Untuk PPh
dikreditkan pada akhir tahun, sedangkan PPN di] pada masa diberlakukannya pemungutan dengan
mekanisme Pajak Keluaran Pajak Masukan (PM).
Apabila pihak-pihak yang diberi kewajiban oleh Ditjen Pajak untuk mi pemotongan/pemungutan
tidak melakukan sesuai dengan ketentuan yang berla dapat dikenakan sanksi administrasi berupa bunga
2% dan kenaikan 100%. Perr lebih lanjut tentang penghitungan, dan tata cara pemotongan/pemungutan
ada pada bab berikutnya.

3. Pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT)


a. Fungsi SPT
Surat Pemberitahuan (SPT) merupakan sarana bagi Wajib Pajak untuk melaporkan hal-hal yang berkaitan
dengan kewajiban perpajakan. SPT harus diisi dengan benar, lengkap, dan jelas dalam bahasa Indonesia
dengan menggunakan huruf latin dan angka arab, satuan mata uang rupiah dan menandatangani serta
menyampaikannya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.
Fungsi SPT bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan
tentang:
46

1. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui
pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian
Tahun Pajak;
2. penghasilan yang merupakan Objek Pajak dan/atau bukan Objek Pajak;
3. harta dan kewajiban; dan/atau
4. pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan
pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Bagi Pengusaha Kena Pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
1. pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran; dan
2. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena
Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, sesuai dengan ketentuar
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebaga sarana untuk
melaporkadan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atai dipungut dan disetorkannya.

b. Jenis SPT
Surat Pemberitahuan (SPT) dapat dibedakan sebagai berikut:
1. SPT Masa, yaitu SPT yang digunakan untuk melakukan pelaporan atas pembayarar pajak bulanan.
SPT Masa terdiri atas:
a. SPT Masa PPh Pasal 21 dan Pasal 26;
b. SPT Masa PPh Pasal 22;
c. SPT Masa PPh Pasal 23 dan Pasal 26;
d. SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2);
e. SPT Masa PPh Pasal 15;
f. SPT Masa PPN dan PPnBM;
g. SPT Masa PPN dan PPnBM bagi Pemungut.

2. Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan, yaitu SPT yang digunakan untuk pelaporan tahunan.
SPT Tahunan terdiri atas:
a. SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan (1771-Rupiah);
b. SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan yang diizinkan menyelenggarakan pembukuan
dalam bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat (1771 - US);
c. SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi yang mempunyai penghasilan dari
usaha/pekerjaan bebas yang menyelenggarakan pembukuan atau norma penghitungan
penghasilan neto; dari satu atau lebih pemberi kerja; yang dikenakan PPh final dan/atau
bersifat final; dan dari penghasilan lain (1770);
d. SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi yang mempunyai penghasilan dari
satu atau lebih pemberi kerja; dalam negeri lainnya; dan yang dikenakan PPh final
dan/atau bersifat final (1770 S);
e. SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi yang mempunyai penghasilan dari
satu pemberi kerja dengan penghasilan bruto tidak melebihi Rp30 juta setahun
(1770SS);
47

c. Batas Waktu Pembayaran dan Pelaporan. Batas waktu pembayaran dan pelaporan pajak
untuk setiap jenis pajak dapat dilihat pada tabel berikut.

No. Jenis SPT Masa Batas Waktu Pembayaran Batas Waktu Pelaporan
1. PPhPasal21/26 tanggal 10 bulan berikutnya 20 hari setelah akhir masa pajak

2. PPh Pasal 23/26 tanggal 10 bulan berikutnya 20 hari setelah akhir masa pajak

3. PPh Pasal 25 tanggal 15 bulan berikutnya 20 hari setelah akhir masa pajak
PPh Pasal 22, PPN,
4. dan PPnBM oleh Bea 1 hari setelah dipungut 7 hari setelah pembayaran
Cukai
PPh Pasal 22—
pada hari yang sama saat
5. Bendaharawan tanggal 14 bulan berikutnya
penyerahan barang
Pemerintah
PPh Pasal 22— sebelum Delivery Order
6.
Pertamina dibayar
PPh Pasal 22—
7. tanggal 10 bulan berikutnya 20 hari setelah akhir masa pajak
Pemungut tertentu
8. PPh Pasal 4 ayat (2) tanggal 10 bulan berikutnya 20 hari setelah akhir masa pajak
PPN dan PPnBM- akhir bulan berikutnya
9. akhir masa pajak berikutnya
PKP sebelum penyampaian SPT
PPN dan PPnBM-
10. tanggal 17 bulan berikutnya 20 hari setelah akhir masa pajak
Bendaharawan
PPN dan PPnBM—
11. Pemungut Non- tanggal 15 bulan berikutnya 20 hari setelah akhir masa pajak
Bendaharawan
• tanggal 25 bulan ketiga • paling lama 3 bulan setelah
• PPh Wajib Pajak setelah berakhirnya tahun akhir tahun pajak atau bagian
Orang Pribadi atau bagian tahun pajak tahun pajak
12.
• PPh Wajib Pajak • tanggal 25 bulan keempat • paling lama 4 bulan
Badan setelah berakhirnya tahun setelah akhir tahun pajak atau
atau bagian tahun pajak bagian tahun pajak

PKP: Pengusaha Kena Pajak.

d. Wajib Pajak dengan kriteria tertentu


Wajib Pajak dengan kriteria tertentu (antara lain Wajib Pajak usaha kecil) dapat:
1.menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk beberapa
Masa Pajak sekaligus dengan syarat pembayaran seluruh pajak yang wajib dilunasi
menurut Surat Pemberitahuan Masa tersebut dilakukan sekaligus paling lama dalam
Masa Pajak yang terakhir; dan/atau
48

2. menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa selain yang disebut pada nomor 1 untuk
beberapa Masa Pajak sekaligus dengan syarat pembayaran untuk masing-masing Masa
Pajak dilakukan sesuai batas waktu untuk Masa Pajak yang bersangkutan.

e. Perpanjangan Waktu Pelaporan SPT Tahunan


Apabila Wajib Pajak, baik orang pribadi maupun badan, ternyata tidak dapat menyampaikan
Surat Pemberitahuan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan karena luasnya kegiatan usaha
dan masalah-masalah teknis penyusunan laporan keuangan, atau sebab lainnya sehingga sulit
untuk memenuhi batas waktu penyelesaian dan memerlukan kelonggaran dari batas waktu yang
telah ditentukan, Wajib Pajak dapat memperpanjang penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara lain
misalnya dengan pemberitahuan secara elektronik kepada Direktur Jenderal Pajak. Jangka waktu
tersebut paling lama 2 (dua) bulan. Apabila sampai dengan batas perpanjangan ini, SPT tetap
belum disampaikan, dapat diterbitkan Surat Teguran.

SPT dianggap tidak disampaikan apabila:


1. Surat Pemberitahuan tidak ditandatangani;
2. Surat Pemberitahuan tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen yang
ditetapkan;
3. Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar disampaikan setelah 3 (tiga) tahun
sesudah berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dan Wajib
Pajak telah ditegur secara tertulis; atau
4. Surat Pemberitahuan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan
pemeriksaan atau menerbitkan surat ketetapan pajak.

f. Bentuk dan Isi SPT.


Untuk kepentingan keseragaman dan mempermudah pengisian serta pengadministrasian perpajakan,
bentuk dan isi SPT, keterangan, dokumen yang harus dilampirkan dan cara yang digunakan untuk
menyampaikan SPT diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Secara umum, Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sekurang-kurangnya memuat jumlah
peredaran, jumlah penghasilan, jumlah Penghasilan Kena Pajak, jumlah pajakyang terutang, jumlah
kredit pajak, jumlah kekurangan atau kelebihan pajak, serta harta dan kewajiban di luar kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas bagi Wajib Pajak orang pribadi. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan harus dilengkapi dengan laporan keuangan
berupa neraca dan laporan laba rugi serta keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak. Sedangkan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sekurang-
kurangnya memuat jumlah Dasar Pengenaan Pajak, jumlah Pajak Keluaran, jumlah Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan, dan jumlah kekurangan atau kelebihan pajak.

g. Tata Cara Pengisian dan Penyampaian SPT.


Tata cara pengisian SPT diatur sebagai berikut.
1.Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar,
lengkap, jelas, dan menandatanganinya.
2.Surat Pemberitahuan Wajib Pajak badan harus ditandatangani oleh pengurus atau
direksi.
49

3.Dalam hal Wajib Pajak menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk
mengisi dan menandatangani Surat Pemberitahuan, surat kuasa khusus tersebut harus
dilampirkan pada Surat Pemberitahuan.
4. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang wajib
menyelenggarakan pembukuan harus dilampiri dengan laporan keuangan berupa
neraca dan laporan laba rugi serta keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung
besarnya Penghasilan Kena Pajak.
5.Dalam hal laporan keuangan diaudit oleh Akuntan Publik tetapi tidak dilampirkan
pada Surat Pemberitahuan, Surat Pemberitahuan dianggap tidak lengkap dan tidak
jelas, sehingga Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan.

h. Pembetulan SPT.
Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah
disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum
melakukan tindakan pemeriksaan.
Apabila pembetulan Surat Pemberitahuan menyatakan rugi atau lebih bayar,
pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa
penetapan. Daluwarsa penetapan adalah jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak
atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak.
Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur
Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri
dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan
pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan
pemeriksaan, yang dapat mengakibatkan:

1. pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil;
2. rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih besar;
3. jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil; atau
4. jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil dan proses pemeriksaan
tetap
dilanjutkan.

Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah disampaikan,
dalam hal Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat
Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak
sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang
berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan
yang akan dibetulkan tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima Surat
Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau
Putusan Peninjauan Kembali, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan
pemeriksaan.
Contoh 1
PT A menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2016 yang
menyatakan:
Penghasilan Neto sebesar.............................................................................................Rp 250.000.000
50

'
Kompensasi kerugian berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan tahun 2016......................................................................................Rp 200.000.000 (-)
Penghasilan Kena Pajak................................................................................................Rp 50.000.000
Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2016 dilakukan pemeriksaan, dan
pada tanggal 6 Januari 2017 diterbitkan surat ketetapan pajak yang menyatakan rugi fiskal sebesar
Rp80.000.000.
Berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut, Direktur Jenderal Pajak akan mengubah
perhitungan Penghasilan Kena Pajak tahun 2016 menjadi sebagai berikut.
Penghasilan Neto Rp 250.000.000
Rugi menurut ketetapan pajak tahun 2016 Rp 80.000.000 (-)
Penghasilan Kena Pajak Rp 170.000.000

Dengan demikian, penghasilan kena pajak dari Surat Pemberitahuan yang semula Rp50.000.000
(didapat dari Rp250.000.000 – Rp200.000.000), maka setelah pembetulan menjadi Rpl70.000.000
(didapat dari Rp250.000.000 – Rp80.000.000).

Contoh 2
PT B menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2018 yang
menyatakan:
Penghasilan Neto sebesar Rp 350.000.000
Kompensasi kerugian berdasarkan
Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan Tahun 2017 Rp 240.000.000 (-)
Penghasilan Kena Pajak Rp 110.000.000

Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2017 dilakukan pemeriksaan dan
pada tanggal 6 Januari 2017 diterbitkan surat ketetapan pajak yang menyatakan rugi fiskal sebesar
Rp260.000.000.
Berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut Direktur Jenderal Pajak akan mengubah
perhitungan Penghasilan Kena Pajak tahun 2018 menjadi sebagai berikut.
Penghasilan Neto Rp 350.000.000
Rugi menurut ketetapan pajak tahun 2017 Rp 260.000.000 (-)
Penghasilan Kena Pajak Rp 90.000.000
Dengan demikian, penghasilan kena pajak dari Surat Pemberitahuan yang semula Rp
110.000.000 (didapat dari Rp300.000.000 - Rp200.000.000), maka setelah pembetulan menjadi
Rp90.000.000 (didapat dari Rp350.000.000 - Rp260.000.000).

E. SURAT KETETAPAN PAJAK


Surat ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar.
1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu
5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau
Tahun Pajak, apabila terjadi hal-hal sebagai berikut.
51

1. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang terutang tidak
atau kurang dibayar;
2. apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah
ditetapkan dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya
sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
3. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan
selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen);
4. apabila kewajiban pembukuan dan pemeriksaan (sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 atau Pasal 29) tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang
terutang; atau
5. apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan.
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana
dimaksud huruf a dan huruf e ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua
persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.

2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)


Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian
Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan
jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tidak akan mungkin diterbitkan sebelum didahului
dengan penerbitan surat ketetapan pajak. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
dilakukan dengan syarat adanya data baru termasuk data yang semula belum terungkap yang
menyebabkan penambahan pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak sebelumnya.
Apabila masih ditemukan lagi data baru termasuk data yang semula belum terungkap pada saat
diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan/atau data baru termasuk data yang
semula belum terungkap yang diketahui kemudian oleh Direktur Jenderal Pajak, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan masih dapat diterbitkan lagi.

3. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)


Surat Ketetapan Pajak Nihil diterbitkan apabila setelah dilakukan pemeriksaan, ditemukan adanya
jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau
pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak. Untuk masing-
masing jenis pajak, Surat Ketetapan Pajak Nihil diterbitkan untuk:
a. Pajak Penghasilan, apabila jumlah kredit pajak sama dengan pajak yang terutang atau pajak tidak
terutang dan tidak ada kredit pajak.

b. Pajak Pertambahan Nilai, apabila jumlah kredit pajak sama dengan jumlah pajakyang
terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. Jika terdapat pajak
52

yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, jumlah pajak yang terutang
dihitung dengan cara jumlah Pajak Keluaran dikurangi dengan pajak yang dipungut
oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
c. Pajak Penjualan atas Barang Mewah, apabila jumlah pajak yang dibayar sama dengan
jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada pembayaran
pajak.

4. Surat Ketetapan Pajak Labih Bayar (SKPLB)


Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan untuk:
1. Pajak Penghasilan, apabila jumlah kredit pajak (jumlah pajak yang dibayar) lebih besar
daripada jumlah pajak yang terutang;
2. Pajak Pertambahan Nilai, apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak
yang terutang. Jika terdapat pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan
Nilai, jumlah pajak yang terutang dihitung dengan cara jumlah Pajak Keluaran dikurangi
dengan pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut; atau
3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah, apabila jumlah pajak yang dibayar lebih besar
daripada jumlah pajak yang terutang.
Prosedur penerbitan SKPLB adalah sebagai berikut.

1. Wajib Pajak mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak.
Permohonan dapat disampaikan dengan mengisi kolom dalam SPT atau dengan surat
tersendiri.
2. Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak, harus menerbitkan SKPLB paling lambat 12 (dua belas)
bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap. Ketentuan ini tidak berlaku
terhadap Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan tindak
pidana di bidang perpajakan.
3. Apabila dalam jangka waktu tersebut (12 bulan sejak surat permohonan diterima),
Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu surat keputusan, permohonan
pengembalian kelebihan pajak dianggap dikabulkan dan SKPLB harus diterbitkan
dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir.
4. Apabila SKPLB terlambat diterbitkan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan setelah jangka
waktu tersebut berakhir, maka Wjib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua
persen) sebulan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu tersebut sampai dengan saat
diterbitkan SKPLB.
Apabila pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran paja dilakukan
terhadap Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan tinds pidana di bidang
perpajakan (huruf b), tetapi tidak dilanjutkan dengan penyidikan, ate dilanjutkan dengan penyidikan
tetapi tidak dilanjutkan dengan penuntutan tindak pidar di bidang perpajakan, atau dilanjutkan dengan
penyidikan dan penuntutan tindak pidana < bidang perpajakan tetapi diputus bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum berdasarka putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan
dalam hal kepac Wajib Pajak diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, kepada Wajib Pajak
diberika imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empa bulan
dihitung sejakberakhirnya jangka waktu 12 (duabelas) bulan sejak surat permohona diterima sampai
dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
53

5.Surat Tagihan Pajak (STP)


Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa
bunga dan atau denda. Surat Tagihan Pajak diterbitkan apabila:
1. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
2. dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis
dan/atau salah hitung;
3. Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga;
4. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak membuat
faktur pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu;
5. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi
faktur pajak secara lengkap, selain:
a. identitas pembeli; atau
b. identitas pembeli serta nama dan tandatangan, dalam hal penyerahan dilakukan oleh
Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran;
6. Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan
faktur pajak; atau
7. Pengusaha Kena Pajak gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak
Masukan.

Surat Tagihan Pajak mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan
pajak. Pengenaan sanksi berkaitan dengan Surat Tagihan Pajak diuraikan sebagai berikut.;
1. Sanksi administrasi berupa bunga 2% (dua persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan
dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun
pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak atas Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan
karena Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, atau dari hasil penelitian Surat
Pemberitahuan yang menunjukkan pajak kurang dibayar karena terdapat salah tulis dan/atau salah
hitung.

Contoh 1 Pajak Penghasilan


Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar. Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun
2012 setiap bulan sebesar Rpl00.000.000 jatuh tempo misalnya tiap tanggal 15. Pajak Penghasilan
Pasal 25 bulan Juni 2012 dibayar tepat waktu sebesar Rp40.000.000.
Atas kekurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 tersebut diterbitkan Surat Tagihan Pajak pada tanggal 18
September 2012 dengan penghitungan sebagai berikut:
a. Kekurangan bayar Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan Juni 2012
(Rpl00.000.000 - Rp40.000.000) Rp 60.000.000
b. Bunga: 3 x 2% x Rp60.000.000 Rp 3.600.000 (+)
c. Jumlah yang hams dibayar Rp 63.600.000

Contoh 2 Hasil Penelitian Surat Pemberitahuan


Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi tahun 2011 yang
disampaikan pada tanggal 31 April 2012 setelah dilakukan penelitian ternyata terdapat salah hitung
yang menyebabkan Pajak Penghasilan kurang bayar sebesar Rp5.000.000. Atas kekurangan Pajak
Penghasilan tersebut diterbitkan Surat Tagihan Pajak pada tanggal 12 Juni 2010 dengan
penghitungan sebagai berikut:
54

a. Kekurangan bayar Pajak Penghasilan Rp 5.000.000


b. Bunga: 3 x 2% x Rp5.000.000 Rp 600.000 (+)
c. Jumlah yang harus dibayar Rp 5.600.000

2. Sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari dasar pengenaan pajak dikenakan
terhadap pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak membuat
faktur pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu; atau pengusaha yang telah dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi faktur pajak secara lengkap; atau Pengusaha Kena Pajak
melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak.

3. Sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) dari jumlah pajak yang ditagih kembali,
dihitung dari tanggal penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran pajak sampai
dengan tanggal penerbitan Surat Tagihan Pajak terhadap Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi
dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan.

Surat Tagihan Pajak juga dapat diterbitkan apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali menyebabkan jumlah pajak yang masih
harus dibayar bertambah, dan pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar. Atas pajak yang
tidak atau kurang dibayar, maka dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen)
perbulan untuk seluruh masa pajak yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan
atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak.

Contoh 1
Jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebesar Rp
20.000.000 diterbitkan pada tanggal 7 Oktober 2012, dengan batas akhir pelunasan tanggal 6 November 2009.
Jumlah pembayaran sampai dengan 6 November 2012 sebesar Rp10.000.000. Pada tanggal 1 Desember
2012 diterbitkan Surat Tagihan Pajak dengan penghitungan sebagai berikut.
a. Pajak yang masih harus dibayar Rp 20.000.000
b. Dibayar sampai dengan jatuh tempo pelunasan Rp 10.000.000 (-)
Kurang dibayar RP.10.000.000
Bunga (6 Nov s.d. 1 Des 2012):
1 x 2% x Rp10.000.000 = Rp200.000

Contoh 2
Jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebesar
Rpl0.000.000 diterbitkan pada tanggal 7 Oktober 2012, dengan batas akhir pelunasan tanggal 6
November 2012. Wajib Pajak membayar sebesar Rpl0.000.000 pada tanggal 3 Desember 2012 dan pada
tanggal 5 Desember 2012 diterbitkan Surat Tagihan Pajak. Sanksi administrasi berupa bunga dihitung
sebagai berikut:
a. Pajak yang masih harus dibayar Rp 10.000.000
b. Dibayar setelah jatuh tempo pelunasan Rp.10.000.000(-)
Kurang dibayar Rp 0
Bunga (6 Nov s.d. 5 Des 2012):
1 x 2% x Rp 10.000.000 = Rp 200.000
55

6. Surat Paksa
Surat Paksa merupakan salah satu sarana penagihan pajak. Surat Paksa diterbitkan karena jumlah pajak
yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding, dan Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang
masih harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktu
yang telah ditetapkan. Jangka waktu yang dimaksud adalah 1 bulan sejak tanggal diterbitkannya Surat
Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan,
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, dan Putusan Peninjauan
Kembali, atau 3 (tiga) bulan bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu. Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa diatur tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 sebagai
perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997.

F. PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK

1. Kelebihan Pajak
Jika setelah diadakan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dengan jumla kredit pajak
menunjukkan jumlah selisih lebih (jumlah kredit pajak lebih besar daripac jumlah pajak yang
terutang) atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusn) tidak terutang, Wajib Pajak berhak
untuk meminta kembali kelebihan pembayaran pajak dengan catatan Wajib Pajak tersebut tidak
mempunyai utang pajak.
Kelebihan pembayaran pajak sebagai akibat adanya Surat Keputusan Keberataj Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Sur; Keputusan
Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapa Pajak, Surat Keputusan
Pembatalan Ketetapan Pajak, dan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, serta Surat
Keputusan Pemberian Imbalan Bunga dikembalikan kepada Wajib Pajak.
Apabila Wajib Pajak masih mempunyai utang pajak yang meliputi semua jen pajak
baik di pusat maupun cabang-cabangnya, kelebihan pembayaran tersebut hari diperhitungkan lebih
dahulu dengan utang pajak tersebut dan jika masih terdapat sis lebih, dikembalikan kepada Wajib
Pajak.

2.Batas waktu pengembalian kelebihan pembayaran pajak


Batas waktu pengembalian kelebihan pembayaran pajak ditetapkan paling lama satu bulan untuk:
a. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan
tertulis tentang pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
b. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, dihitung sejak tanggal penerbitan;
c. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, dihitung sejak tanggal
penerbitan;
d. Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi
Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan
Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, dihitung sejak tanggal
penerbitan;
e. Putusan Banding dihitung sejak diterimanya Putusan Banding oleh Kantor Direktorat
Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan putusan pengadilan; atau
f. Putusan Peninjauan Kembali dihitung sejak diterimanya Putusan Peninjauan Kembali
oleh Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan putusan
56

pengadilan sampai dengan saat diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan


Pembayaran Pajak.
Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah jangka waktu 1 (satu) bulan,
Pemerintah memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas keterlambatan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak, dihitung sejak batas waktu (yang telah disebutkan
sebelumnya) berakhir sampai dengan saat dilakukan pengembalian kelebihan.

3. Kelebihan Pembayaran Pajak bagi Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu


Wajib Pajak dengan kriteria tertentu adalah Wajib Pajak yang:
1. tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan;
2. tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak
yang telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak;
3. Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan
pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-
turut;
4. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.
Apabila permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diajukan oleh Wajib Pajak dengan
kriteria tertentu (setelah dilakukan penelitian), Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak
permohonan diterima secara lengkap (untuk Pajak Penghasilan), dan paling lama 1 (satu) bulan sejak
permohonan diterima secara lengkap (untuk Pajak Pertambahan Nilai).
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dalam jangka waktu 5 tahun setelah
melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak dengan kriteria tertentu yang telah memperoleh
pengembalian pendahuluan kelebihan pajak. Surat ketetapan pajak tersebut dapat berupa Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
Wajib Pajak harus membayar jumlah kekurangan pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak.

Contoh 1 Pajak Penghasilan


1. Wajib Pajak telah memperoleh pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebesar
Rp80.000.000.
2. Dari pemeriksaan diperoleh hasil sebagai berikut.
a. Pajak Penghasilan yang terutang sebesar Rp 100.000.000
b. Kredit pajak, yaitu:
1.) Pajak Penghasilan Pasal 22 Rp 20.000.000
2.) Pajak Penghasilan Pasal 23 Rp 40.000.000
3.) Pajak Penghasilan Pasal 25 Rp 90.000.000
Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan
penghitungan sebagai berikut.
a. Pajak Penghasilan yang terutang sebesar Rp 100.000.000
b. Kredit Pajak, yaitu:
1.) Pajak Penghasilan Pasal 22 Rp 20.000.000
2.) Pajak Penghasilan Pasal 23 Rp 40.000.000
3.) Pajak Penghasilan Pasal 25 Rp 90.000.000 (+)
57

Rp 150.000.000
c. Jumlah Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak Rp 80.000.000 (-)
d. Jumlah pajak yang dapat dikreditkan Rp.70.000.000(-)
Pajak yang tidak/kurang dibayar Rp.30.000.000
Sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% Rp.30.000.000(+)
Jumlah yang masih hams dibayar Rp.60.000.000

Contoh 2 Pajak Pertambahan Nilai


1. Pengusaha Kena Pajak telah memperoleh pengembalian pendahuluan kelebihan pajak
sebesar Rp60.000.000.
2. Dari pemeriksaan diperoleh hasil sebagai berikut.
a. Pajak Keluaran Rp 100.000.000

b. Kredit pajak, yaitu Pajak Masukan Rp 150.000.000


Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan
penghitungan sebagai berikut.
a. Pajak Keluaran Rp 100.000.000
b. Kredit Pajak:
. *Pajak Masukan Rp 150.000.000
c. Jumlah Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak Rp 60.000.000 (-)
d. Jumlah pajak yang dapat dikreditkan Rp 90.000.000 (-)

Pajak yang kurang dibayar Rp 10.000.000


Sanksi administrasi kenaikan 100% Rp 10.000.000 (+)
Jumlah yang masih harus dibayar Rp 20.000.000

4.Kelebihan Pembayaran Pajak bagi Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu
Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu adalah:
1. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
1. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan jumlah
peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu;
2. Wajib Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai
dengan jumlah tertentu; atau
3. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai dengan jumlah penyerahan dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu.
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak dari Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu, menerbitkan Surat
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan
diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima
secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai.
Setelah melakukan pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang menerima pengembalian pendahuluan
kelebihan pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak. Jika berdasarkan hasil
pemeriksaan, ternyata diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah pajak yang kurang
dibayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen).
58

4. Kelebihan Pembayaran Pajak bagi Orang Pribadi Bukan Subjek Pajak Dalam Negeri
Orang pribadi yang bukan Subjek Pajak dalam negeri yang melakukan pembelian Barang Kena Pajak di
dalam daerah pabean yang tidak dikonsumsi di daerah pabean dapat diberikan pengembalian Pajak
Pertambahan Nilai yang telah dibayar, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
Tata Cara Pembayaran Kelebihan Pajak
Tata cara pembayaran kembali kelebihan pembayaran pajak diatur sebagai berikut.
1. Pengembalian pembayaran pajak yang masih tersisa tersebut dilakukan dengan
menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP).
2. Kelebihan pembayaran pajak dikembalikan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas
nama Direktur Jenderal Pajak dengan menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian
Kelebihan Pembayaran Pajak (SKPKPP).
3. Atas dasar SKPKPP tersebut, Kantor Pelayanan Pajak atas nama Menteri Keuangan
menerbitkan SPMKP per jenis pajak dan per masa/tahun pajak.
4. SPMKP dibuat dalam rangkap 4 (empat) dengan peruntukan sebagai berikut:
a. Lembar ke-1 dan lembar ke-2 untuk Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara
mitra kerja Kantor Pelayanan Pajak yang menerbitkan SPMKP;
b. Lembar ke-3 untuk Wajib Pajak yang bersangkutan; dan
c. Lembar ke-4 untuk Kantor Pelayanan Pajak yang menerbitkan 5 PMKP.
5. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara mengembalikan lembar ke-2 SPMKP disertai
Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) lembar ke-2 kepada penerbit SPMKP setelah
dibubuhi cap tanggal dan nomor penerbitan SP2D.
6. SPMKP beserta SKPKPP wajib disampaikan Kantor Pelayanan Pajak ke Kantor
Pelayanan Perbendaharaan Negara paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum jangka
waktu 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud pada huruf b di atas terlampaui.
Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib menyampaikan spesimen tanda tangannya ke Kantor Pelayanan
Perbendaharaan Negara. Dalam hal pejabat berhalangan, maka pejabat yang ditunjuk wajib
menyampaikan spesimen tanda tangannya ke Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara.

G. KEBERATAN, BANDING, DAN PENINJAUAN KEMBALI


1. Keberatan
Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak, dan pemotongan atau pemungutan
pajak tidak sebagaimana mestinya, dapat mengajukan keberatan. Keberatan hanya ditujukan kepada
Direktur Jenderal Pajak. Keberatan tersebut diajukan atas suatu:
1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
3. Surat Ketetapan Pajak Nihil;
4. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
1. pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Tata cara pengajuan keberatan adalah sebagai berikut.
1. Satu keberatan harus diajukan terhadap satu jenis pajak dan satu masa pajak atau tahun
pajak. Misalnya, keberatan atas ketetapan Pajak Penghasilan tahun 2007 dan tahun
2008, maka harus diajukan dua buah surat keberatan untuk dua tahun tersebut.
2. Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan
jumlah pajak terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi menurut
penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar penghitungan.
59

3. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu tiga bulan sejak tanggal dikirim surat
ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak, kecuali apabila
Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi
karena keadaan di luar kekuasaannya.
4. Wajib Pajak yang masih mempunyai utang pajak, wajib melunasi pajak yang masih harus
dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan
akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan.
5. Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan di atas tidak dianggap sebagai Surat
Keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan.
6. Dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima,
Direktur Jenderal Pajak harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. Atas
keberatan yang diajukan, Direktur Jenderal Pajak dapat mengabulkan seluruhnya atau
sebagian, menolak atau menambah besar.
7. Apabila dalam jangka waktu tersebut nomor 6 telah terlampaui dan Direktur Jenderal
Pajak tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan Wajib Pajak dianggap
dikabulkan.
8. Terhadap Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat
Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, yang seharusnya dilunasi
dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan, tetapi belum dibayar pada
saat pengajuan keberatan, jangka waktu pelunasannya tertangguh sampai dengan 1
(satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
9. Terhadap Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat
Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali,
yang dialami oleh Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu, yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, yang seharusnya dilunasi
dalam jangka waktu 2 (dua) bulan sejak tanggal diterbitkan, tetapi belum dibayar pada
saat pengajuan keberatan, jangka waktu pelunasannya tertangguh sampai dengan 1
bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
10.Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain
dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan, selain data dan informasi yang
pada saat pemeriksaan belum diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data,
informasi, atau keterangan lain, dimaksud tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatannya.

2. Banding
Apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan Surat Keputusan Keberatan atas keberatan yang
diajukannya, Wajib Pajak masih dapat mengajukan banding kepada Badan Peradilan Pajak.
Tata cara pengajuan permohonan banding adalah sebagai berikut.
1. Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan
yang jelas paling lama 3 (tiga) bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterima dan
dilampiri dengan Salinan Surat Keputusan Keberatan.
2. Terhadap Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan
Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan
jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, yang seharusnya dilunasi dalam jangka
60

waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan, tetapi belum dibayar pada saat pengajuan
keberatan, jangka waktu pelunasannya tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak
tanggal penerbitan Putusan Banding.
3. Terhadap Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan
Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang dialami oleh
Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu, yang menyebabkan jumlah
pajak yang harus dibayar bertambah, yang seharusnya dilunasi dalam jangka waktu
2 (dua) bulan sejak tanggal diterbitkan, tetapi belum dibayar pada saat pengajuan
keberatan, jangka waktu pelunasannya tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak
tanggal penerbitan Putusan Banding.
4. Jumlah Pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan pada
nomor 3 tidak termasuk sebagai utang pajak.
5. Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding belum
merupakan pajak yang terutang sampai dengan Putusan Banding.
Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi
administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding
dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
Apabila putusan Pengadilan Pajak mengabulkan sebagian atau seluruh banding, kelebihan
pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

3. Peninjauan Kembali (PK)


Putusan Peninjauan Kembali adalah putusan Mahkamah Agung atas permohonan peninjauan kembali
yang diajukan oleh Wajib Pajak atau oleh Direktur Jenderal Pajak terhadap Putusan Banding atau
Putusan Gugatan dari badan peradilan pajak.
Apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan Putusan Banding, Wajib Pajak masih memiliki hak
mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat
diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak.

Pengajuan permohonan peninjauan kembali dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga)
bulan terhitung sejak diketahuinya kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan Hakim
Pengadilan pidana memperoleh kekuatan hukum tetap atau ditemukannya bukti tertulis baru atau sejak
putusan banding dikirim. Mahkamah Agung mengambil keputusan dalam jangka waktu 6 (enam)
bulan sejak permohonan Peninjauan Kembali diterima.

4. Kelebihan Pembayaran Pajak karena Keberatan, Banding, dan Peninjauan Kembali


Kelebihan pembayaran pajak ditambah imbalan bunga sebesar 2% per bulan untuk jangka waktu
paling lama 24 bulan diberikan kepada Wajib Pajak apabila:
1) Pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali
dikabulkan sebagian atau seluruhnya, selama pajak yang masih harus dibayar
(sebagaimana dimaksud dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar)
telah dibayar dan menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, dengan ketentuan sebaeai
benkut:
a. untuk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran
61

pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding,


atau Putusan Peninjauan Kembali; atau
b. untuk Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dihitung
sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sampai dengan diterbitkannya Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
2) Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat
Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak yang dikabulkan sebagian atau seluruhnya
menyebabkan kelebihan pembayaran pajak dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan
pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan,
Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan
Ketetapan Pajak;
b. untuk Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dihitung
sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sampai dengan diterbitkannya Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat
Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak; atau
c. untuk Surat Tagihan Pajak dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan
kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan
Pembatalan Ketetapan Pajak.

H. PEMBUKUAN, PEMERIKSAAN, DAN PENYIDIKAN

1. Pembukuan
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan
data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah
harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa
neraca dan laporan laba rugi pada setiap Tahun Pajak berakhir. Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan
pembukuan adalah:
1. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas di
Indonesia;
2. Wajib Pajak badan di Indonesia.

Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban pembukuan tetapi wajib melakukan pencatatan adalah:
1. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto;
2. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan pembukuan atau pencatatan:
1. Pembukuan atau pencatatan harus dilakukan dengan itikad baik dan mencerminkan
keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
2. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan
62

huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia
atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.
3. Pembukuan diselenggarakan dengan taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel
kas. Perubahan terhadap metode dan atau tahun buku, harus mendapat persetujuan
dari Direktur Jenderal Pajak.
4. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta, kewajiban,
modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian, sehingga dapat dihitung
besarnya pajak yang terutang.
5. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat
diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin dari Menteri Keuangan.

Dalam hal Wajib Pajak dikecualikan dari kewajiban pembukuan dan diwajibkan melakukan
pencatatan, pencatatan harus mencakup seluruh data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau
penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang,
termasuk penghasilan yang bukan Objek Pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.

Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain
termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara aplikasi on-line
wajib disimpan selama 10 tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang
pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak badan.
2. Pemeriksaan
Direktorat Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan tujuan lain, antara lain:
1. pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan;
2. penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak;
3. pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
4. Wajib Pajak mengajukan keberatan;
5. pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto;
6. pencocokan data dan/atau alat keterangan;
7. penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
8. penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai;
9. pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
10. penentuan saat mulai berproduksi sehubungan dengan fasilitas perpajakan; dan/atau
11. pemenuhan permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam rangka pemeriksaan adalah:


1. Pemeriksaan dapat dilakukan di kantor (Pemeriksaan Kantor) atau di tempat Wajib
Pajak (Pemeriksaan Lapangan) yang ruang lingkup pemeriksaannya dapat meliputi
satu jenis pajak, beberapa jenis pajak, atau seluruh jenis pajak, baik untuk tahun-tahun
yang lalu maupun untuk tahun berjalan.
2. Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak, termasuk terhadap instansi
pemerintah dan badan lain sebagai pemungut pajak atau pemotong pajak.
3. Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan
Wajib Pajak dilakukan dengan menelusuri kebenaran Surat Pemberitahuan, pembukuan
atau pencatatan, dan pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya dibandingkan dengan
keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya dari Wajib Pajak.
4. Petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat
63

Perintah Pemeriksaan serta memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa.


5. Wajib Pajak yang diperiksa wajib:
a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi
dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh,
kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu
dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau
c. memberikan keterangan lain yang diperlukan baik secara tertulis dan/atau lisan,
misalnya surat pernyataan tidak diaudit oleh Kantor Akuntan Publik, keterangan
bahwa fotokopi dokumen yang dipinjamkan sesuai dengan aslinya, surat pernyataan
tentang kepemilikan harta, surat pernyataan tentang perkiraan biaya hidup,
wawancara tentang proses pembukuan Wajib Pajak, wawancara tentang proses
produksi Wajib Pajak, wawancara dengan manajemen tentang transaksi-transaksi
yang bersifat khusus.
6. Buku, catatan, dokumen, data, informasi dan keterangan lain yang diminta oleh
Pemeriksa dalam rangka pemeriksaan, wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak paling lama
satu bulan sejak permintaan disampaikan.
Terhadap Wajib Pajak badan yang pernyataan pendaftaran emisi sahamnya telah dinyatakan
efektif oleh badan pengawas pasar modal dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan dilampiri
Laporan Keuangan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik dengan pendapat Wajar Tanpa
Pengecualian, yang Surat Pemberitahuan Wajib Pajak menyatakan lebih bayar atau terpilih untuk
diperiksa berdasarkan analisis risiko,dapat dilakukan pemeriksaan melalui Pemeriksaan Kantor.

3.Penyidikan
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh
penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak
pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya. Penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pengawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan
Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang
perpajakan.
Wewenang penyidik tersebut adalah:
1. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan
dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut
menjadi lebih lengkap dan jelas;
2. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan
tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di
bidang perpajakan;

3. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan
dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
4. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di
bidang perpajakan;
5. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan,
dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
6. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak
64

pidana di bidang perpajakan;


7. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat
pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda,
dan/atau dokumen yang dibawa;
8. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
9. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
10. menghentikan penyidikan; dan/atau
11. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.

Tindak pidana di bidang perpajakan dapat berupa kealpaan atau kesengajaan yang dilakukan oleh
Wajib Pajak. Kealpaan adalah Wajib Pajak alpa tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT
tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar,
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Kealpaan dapat diartikan tidak
sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajibannya. Kriteria kesengajaan
adalah:
1. tidak mendaftarkan diri, atau penyalahgunaan NPWP atau NPPKP;
2. tidak menyampaikan SPT;
3. menyampaikan SPT dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;
4. menolak untuk dilakukan pemeriksaan;
5. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu;
6. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau
tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya; atau
7. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
I. KETENTUAN BAGI PETUGAS PAJAK
Ketentuan perpajakan yang berkaitan dengan pegawai pajak diatur sebagai berikut.
1. Pegawai pajak yang karena kelalaiannya atau dengan sengaja menghitung atau menetapkan pajak
tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
2. Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya dengan sengaja bertindak di luar
kewenangannya yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, dapat diadukan ke unit internal Departemen Keuangan yang berwenang
melakukan pemeriksaan dan investigasi dan apabila terbukti melakukannya dikenai
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya terbukti melakukan pemerasan dan
pengancaman kepada Wajib Pajak agar menguntungkan diri sendiri secara melawan
hukum diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 368 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana.
4. Pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum
dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan
sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan
65

sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
perubahannya.
5. Pegawai paj ak tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, apabila dalam
melaksanakan tugasnya didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.

J. PENAGIHAN PAJAK

1. Tahap-tahap pelaksanaan penagihan.


Pelaksanaan penagihan dilakukan dengan mengikuti tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Penerbitan Surat Teguran.
Surat Teguran akan diterbitkan dan dikirimkan kepada Wajib Pajak apabila utang pajak belum
dilunasi pada saat jatuh tempo pembayaran. Surat Teguran diterbitkan 7 hari sesudah tanggal
jatuh tempo pembayaran.
b. Penerbitan Surat Paksa.
Surat Paksa akan diterbitkan oleh pejabat yang berwenang apabila utang pajak belum dilunasi
walaupun sudah ditegur. Surat Paksa akan diterbitkan 21 hari sejak terbitnya Surat Teguran dan
akan diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada Wajib Pajak/Penanggung Pajak.

c. Penerbitan Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP).


Apabila Wajib Pajak belum melunasi utang pajak, kendatipun sudah diberitahukan adanya Surat
Paksa, maka tahap penagihan dilanjutkan dengan penerbitan SPMP, yang menjadi dasar untuk
melakukan penyitaan terhadap barang atau harta kekayaan Wajib Pajak/Penanggung Pajak dalam
rangka pelunasan utang pajak, termasuk biaya penagihan pajak. SPMP diterbitkan dalam waktu 2
kali 24 jam sejak pemberitahuan Surat Paksa. Pelaksanaan penyitaan dilakukan Jurusita Pajak
disertai saksi-saksi. Dalam pelaksanaan penyitaan harus dibuatkan Berita Acara Penyitaan.
Apabila kegiatan penyitaan telah dilaksanakan tetapi Wajib Pajak belum melunasi utang pajak
dan biaya penagihan, maka tahap penagihan selanjutnya yang akan dilakukan adalah
menghubungi Kantor Lelang untuk menetapkan tanggal pelaksanaan lelang. Sudah barang tentu
sebelum meminta tanggal pelaksanaan lelang, Jurusita Pajak harus menghubungi beberapa
instansi tertentu seperti Badan Pertanahan Negara untuk memastikan status kepemilikan Harta
Tetap yang disita.

d. Pengumuman Lelang.
Sebelum melaksanakan pelelangan barang-barang/harta kekayaan yang disita, maka harus
dilakukan pengumuman tentang akan dilaksanakannya pelelangan barang/harta kekayaan Wajib
Pajak yang telah disita. Jangka waktu 14 hari Pengumuman tersebut dapat dilakukan dengan
memasang iklan pada surat-surat kabar, dengan memperhatikan urgensinya.

e. Lelang.
Kepada Wajib Pajak/Penanggung Pajak masih diberikan kesempatan untuk melunasi utang pajak
dan biaya penagihan sebelum kegiatan lelang dimulai. Apabila Wajib Pajak/Penanggung Pajak
tetap belum melunasi utang pajak dan biaya penagihan, maka pelelangan barang/harta kekayaan
yang telah disita akan dilaksanakan. Hasil pelelangan tersebut akan digunakan untuk melunasi
utang pajak dari biaya penagihan, dimana atas utang-utang tersebut Negara mempunyai Hak
66

Mendahulu.

2. Biaya penagihan.
Di atas telah disinggung tentang adanya biaya penagihan yang harus dilunasi oleh Wajib Pajak.
Biaya-biaya ini dapat berupa: biaya pemberitahuan Surat Paksa oleh Jurusita Pajak, biaya
pelaksanaan penyitaan, biaya pengumuman lelang, berupa iklan, dan biaya-biaya lain yang berkaitan
dengan penagihan utang pajak. Sebagaimana diketahui, biaya-biaya ini harus dilunasi Wajib
Pajak/Penanggung Pajak dengan menggunakan Surat Setoran Bukan Pajak. Apabila tidak dilunasi,
maka biaya penagihan tersebut dapat ditagih dengan menerbitkan Surat Paksa sampai dengan
dilaksanakannya penyitaan dan pelelangan barang/harta kekayaan Wajib PajakfPenanggung Pajak.

3. Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa


Atas jumlah pajak yang masih harus dibayar, yang berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang
menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh
Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau
ayat (3a) dilaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan. Penagihan pajak dengan surat paksa diatur dalam Pasal 20 ayat (1
s/d 3)
Ketentuan tentang dasar penagihan pajak diatur pada pasal 18, yang menjadi dasar penagihan pajak
adalah :
a. Surat Tagihan Pajak,
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
c. serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan
d. Surat Keputusan Pembetulan,
e. Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding,
f. serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar
bertambah

4. Penagihan Seketika dan Sekaligus


Ada kalanya pelaksanaan penagihan tidak perlu mengikuti tahap-tahap sebagaimana diutarakan di
atas, yakni dalam kejadian-kejadian/perbuatan seperti disebutkan di bawah. Penagihan seperti itu
disebut penagihan seketika dan sekaligus, dengan cara penerbitan Surat Perintah Penagihan Seketika
dan Sekaligus. Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus diterbitkan sebelum penerbitan Surat
Paksa.
Jurusita Pajak melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus tanpa menunggu tanggal jatuh tempo
pembayaran berdasarkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus yang diterbitkan oleh
Pejabat apabila :
1. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-
lamanya atau berniat untuk itu;
2. Penanggung Pajak menghentikan atau secara nyata mengecilkan
kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia, ataupun
memindahtangankan barang yang dimiliki atau dikuasainya;
3. Terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan
membubarkan badan usahanya atau berniat untuk itu;
4. Badan usaha akan dibubarkan oleh Negara; atau
67

5. Terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak


ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus sekurang-kurangnya memuat :
1. nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung
Pajak;
2. besarnya utang pajak;
3. perintah untuk membayar, dan
4. saat pelunasan utang pajak

Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan
Ketentuan mengenai Penagihan Pajak dengan Surat Paksa telah diatur dalam UU nomor 19 tahun
1997 juncto UU nomor 19 tahun 2000, tentang penagihan pajak dengan surat paksa.
Sesuai dengan Pasal 18 UU No.6 Tahun 1983 jo UU No.9 Tahun 1994, UU nomor 16 Tahun 2000,
sebagaimana terakhir diperbaharui dengan UU nomor 28 Tahun 2007, penagihan pajak dilakukan
untuk menagih utang pajak yang terdapat dalam:
1. Surat Tagihan Pajak (STP);
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);
3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);
4. Surat Keputusan Pembetulan yang mengakibatkan jumlah pajak yang harus dibayar
bertambah;
5. Surat Keputusan Kebertan yang mengakibatkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah;
6. Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah. Timbulnya
utang pajak pada butir I s/d 6 tersebut telah diuraikan di atas.

5. Pencegahan.
Terdapat kemungkinan bahwa Wajib Pajak/Penanggung Pajak akan pergi ke luar negeri yang
mengakibatkan utang pajak dan biaya penagihan menjadi sulit ditagih. Untuk menghindari kejadian
tersebut, dalam rangka penagihan pajak, Wajib Pajak/Penanggung Pajak dapat diminta untuk
dicegah berpergian ke Luar Negeri.
Pencegahan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang mempunyai jumlah utang
pajak sekurang-kurangnya sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan diragukan itikad
baiknya dalam mehanasi utang pajak.
Pencegahan hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan pencegahan yang diterbitkan oleh
Menteri atas permintaan Pejabat atau atasan pejabat yang bersangkutan.
Keputusan pencegahan memuat sekurang-kurangnya :

1. identitas Penanggung Pajak yang dikenakan pencegahan;


2. atasan untuk melakukan pencegahan; dan
3. jangka waktu pencegahan.
Pencegahan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak dan terhentinya
pelaksanaan penagihan pajak

6 Penyanderaan.
Dalam upaya pelaksanaan penagihan pajak, agar Wajib Pajak/Penanggung Pajak melunasi utang
pajak dan biaya penagihan, perlu dilakukan penyanderaan.
Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang mempunyai utang pajak
68

sekurang-kurangnya Rp.100.000.000; (seratus juta rupiah) dan diragukan itikad baiknya dalam
melunasi utang pajak.
Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilaksanakan berdasarkan Surat
Perintah Penyaderaan yang diterbitkan oleh Pejabat setelah mendapat ijin tertulis dari Menteri atau
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.
Masa Pemanderaan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang untuk selama-lamanya 6
(enam) bulan.
Surat Perintah Penyanderaan memuat sekurang-kurangnya :
1. identitas Penanggung Pajak;
2. atasan penyanderaan;
3. izin penyanderaan;
4. lamanya penyanderaan; dan
5. tempat penyanderaan;
Penyanderaan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak dan
terhentinya pelaksanaan penagihan pajak.

Dalam pelunasan utang pajak, Negara mempunyai hak mendahulu, sebagaimana diatur dalam
Pasal 21 UU No.6 Tahun 1983, jo UU No.9 Tahun 1994. Hak mendahulu berarti pelunasan utang
pajak, termasuk biaya penagihan diutamakan dari pelunasan utang-utang lainnya, apabila terjadi
penjualan secara lelang atas barang-barang/harta kekayaan milik penanggung pajak

K. HAK MENDAHULU
Dalam pelunasan utang pajak, Negara mempunyai hak mendahulu, sebagaimana diatur dalam Pasal
21 UU No.6 Tahun 1983, jo UU No.9 Tahun 1994. Hak mendahulu berarti pelunasan utang pajak,
termasuk biaya penagihan diutamakan dari pelunasan utang-utang lainnya, apabila terjadi penjualan
secara lelang atas barang-barang/harta kekayaan milik penanggung pajak

Ketentuan hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak diatur
dalam Pasal 21 ayat (1 s/d 3)
Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak.
Ketentuan tentang hak mendahulu meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda,
kenaikan, dan biaya penagihan pajak.

Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:

a. biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang
bergerak dan/atau barang tidak bergerak;
b. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan/atau
c. biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.

Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator, likuidator, atau
orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta Wajib
Pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya
sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut.
Hak mendahulu hilang setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal diterbitkan Surat
Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
69

Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau
Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.
Perhitungan jangka waktu hak mendahulu ditetapkan sebagai berikut:
a. dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi maka jangka waktu 5 (lima)
tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak pemberitahuan Surat Paksa; atau
b. dalam hal diberikan penundaan pembayaran atau persetujuan angsuran pembayaran maka
jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dihitung sejak batas akhir penundaan diberikan.

L.DALUWARSA PENAGIHAN PAJAK


Daluwarsa untuk melakukan penagihan pajaK diatur dalam Pasal 22 ayat (1 s/d 2)
Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak,
daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan
Kembali. Daluwarsa penagihan pajak tertangguh apabila:
1. diterbitkan Surat Paksa;
2. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung;
3. diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5),
atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat
(4); atau
4. dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

M. SANKSI PAJAK
1. Sanksi Administrasi
Sanksi administrasi sehubungan dengan surat ketetapan pajak dan surat tagihan pajak berdasarkan UU
No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana terakhir dirubah
dengan UU no 16 tahun 2010, diuraikan pada tabel berikut.
Berkaitan dengan Denda

No. Pasal Masalah Sanksi


1. 7ayat(l) SPT tidak disampaikan:
a. SPT Masa PPN a. Rp 500.000,00
b. SPT Masa lainnya b. Rp 100.000,00
c. SPT Tahunan PPh WP Badan c. Rp 1.000.000,00
d. SPT Tahunan PPh WP Orang d. Rp 100.000,00
Pribadi
2. 8 ayat (3) Pembetulan sendiri dan belum disidik 150% dari jumlah pajak yang
kurang
dibayar
3. 14 ayat (4) a. Pengusaha dikukuhkan sebagai 2% dari Dasar Pengenaan
PKP, tidak membuat faktur pajak Pajak
b. Pengusaha dikukuhkan sebagai
PKP, tidak mengisi faktur pajak
secara lengkap
c. PKP melaporkan faktur pajak
tidak sesuai masa penerbitan
70

faktur pajak
4. 14 ayat (5) PKP gagal berproduksi telah diberikan 2% dari Dasar Pengenaan
pengembalian Pajak Masukan Pajak
5. 25 ayat (9) Keberatan ditolak atau dikabulkan 50% dari jumlah
sebagian pajakberdasarkan keputusan
keberatan dikurangi dengan
pajak yang telah dibayar
6. 27 ayat (5d) Permohonan banding ditolak atau sebelum
100% darimengajukan
jumlah pajak
dikabulkan sebagian berdasarkan Putusan Banding
dikurangi pajakyang telah
dibayar sebelum mengajukan
keberatan

2.Berkaitan dengan Bunga


XT Pasal Masalah Sanksi
No.
1. 8 ayat (2) Pembetulan SPT tahunan dalam 2 tahun 2% per bulan dari jumlah
pajak yang kurang dibayar,
dihitung sejak jatuh tempo
pembayaran
2. 8 ayat (2a) Pembetulan SPT Masa dalam 2 tahun 2% per bulan dari jumlah
pajak yang kurang dibayar,
dihitung sejak jatuh tempo
3. 9 ayat (2a) Keterlambatan pembayaran pajak masa pembayaran
2% per bulans/d tanggal
dari jumlah
pajak terutang, dihitung mulai
tanggal jatuh tempo
4. 9 ayat (2b) Keterlambatan pembayaran pembayaran
2% per bulans/d tanggal
dari jumlah
pajak tahunan pajak terutang, dihitung mulai
dari berakhirnya batas waktu
penyampaian SPT Tahunan s/d
5. 13 ayat (2) SKPKB karena pajak yang terutang kurang tanggal
2% per pembayaran
bulan dari jumlah
atau tidak dibayar, dan penerbitan NPWP kurang dibayar, maksimal 24
dan pengukuhan PKP secarajabatan bulan
6. 13 ayat (5) SKPKB diterbitkan setelah lewat waktu 5 48% dari jumlah pajak yang
tahun karena adanya tindak pidana tidak atau kurang dibayar
7. 14 ayat (3) a. PPh tahunn berjalan tidak/kurang 2% per bulan dari jumlah
bayar pajak tidak/ kurang dibayar,
b. SPT kurang bayar maksimal 24 bulan
8. 15 ayat (4) SKPKBT diterbitkan setelah lewat waktu 5 48% dari jumlah pajak yang
tahun karena adanya tindak pidana tidak atau kurang dibayar
71

9. 19 ayat (1) SKPKB/T, SK Pembetulan, SK Keberatan, 2% per bulan dari jumlah pajak
Putusan Banding yang menyebabkan yang tidak atau kurang
kurang bayar terlambat dibayar dibayar, dihitung dari tanggal
jatuh tempo s/d tanggal
pelunasan atau diterbitkannya
10. 19 ayat (2) Mengangsur atau menunda pembayaran Surat
2% perTagihan Paksa
bulan dari jumlah
pajak yang masih harus
dibayar, dihitung dari tanggal
jatuh tempo s/d tanggal
11. 19 ayat (3) Kekurangan pajak akibat diterbitkannya
2% STPkekurangan
per bulan dari
- penundaan SPT pembayaran pajak, dihitung
dari batas akhir penyampaian
SPT s/d tanggal dibayarnya
kekurangan tersebut
3.Berkaitan dengan Kenaikan
No. Pasal Masalah Sanksi
1. 8 ayat (5) Pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT 50% dari pajak yang kurang
setelah lewat 2 tahun sebelum terbitnya SKP. dibayar.

2. 13 ayat (3) a. SKPKB karena SPT tidak disampaikan 50% dari PPh yang
sebagaimana disebut dalam surat teguran tidak/kurang dibayar dalam
b. PPN/PPnBM tidak seharusnya setahun.
dikompensasi atau tidak seharusnya dikenai 100% dari PPh yang tidak atau
tarif 0% c. Kewajiban pembukuan dan kurang dipotong, tidak atau
pemeriksaan tidak dipenuhi sehingga tidak kurang dipungut, tidak atau
dapat diketahui besarnya pajak yang kurang disetor, dan dipotong
terutang atau dipungut tetapi tidak atau
kurang disetor; atau 100% dari
3. 13 A Tidak menyampaikan SPT atau 200% dari jumlah pajak yang
menyampaikan SPT tetapi isinya tidak kurang dibayar yang ditetapkan
benar atau tidak lengkap, atau melampirkan melalui penerbitan SKPKB.
keterangan yang isinya tidak benar, yang
dilakukan karena kealpaan dan pertama kali.
4. 15 ayat (2) Kekurangan pajak pada SKPKBT 100% dari jumlah kekurangan
pajak.
5. 17C ayat (5) SKPKB yang terbit dilakukan pengembalian 100% dari jumlah kekurangan
pendahuluan kelebihan pajak bagi Wajib Pajak pembayaran pajak.
dengan kriteria tertentu.
6. 17Dayat(5) SKPKB yang terbit setelah dilakukan 100% dari jumlah kekurangan
pengembalian pendahuluan kelebihan pajak pembayaran pajak.
bagi Wajib Pajak dengan persyaratan tertentu.

4.Sanksi Pidana
Sanksi pidana sehubungan dengan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan
khususnya dalam Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan diuraikan dalam tabel berikut.
72

No. Pasal Masalah Sanksi


1. 38 ayat (1) Setiap orang yang karena kealpaannya: Pidana kurungan paling sedikit
a. tidak menyampaikan Surat 3 bulan atau paling lama 1
(tiga)
Pemberitahuan; atau (satu)
tahun atau denda paling sedikit
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan (satu) kali jumlah pajak terutang
tetapi isinya tidak benar atau yang tidak atau kurang dibayar
tidak lengkap, atau melampirkan dan banyak 2 (dua) kali
paling
keterangan yang isinya tidak benar jumlah
pajak terutang yang tidak atau
sehingga dapat menimbulkan kurang
dibayar.
kerugian pada pendapatan negara
dan perbuatan tersebut merupakan
perbuatan setelah perbuatan yang
pertama kali (yang telah dikenai
sanksi administrasi berupa kenaikan
sebesar 200% dari jumlah pajak
yang kurang atau tidak dibayar yang
ditetapkan melalui penerbitan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar).
2. 39 ayat (1) Setiap orang yang dengan sengaja: Pidana penjara paling singkat 6
a. tidak mendaftarkan diri untuk (enam) bulan dan paling lama 6
diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau (enam) tahun dan denda paling
tidak melaporkan sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak
usahanya untuk dikukuhkan terutang yang tidak atau kurang
1
sebagai Pengusaha Kena Pajak; dibayar dan paling banyak 4
b. menyalahgunakan atau kali jumlah pajak terutang yang
menggunakan tanpa hak tidak
atau kurang dibayar.
Nomor Pokok Wajib Pajak atau
Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak;
c. tidak menyampaikan Surat
Pemberitahuan;
d. menyampaikan Surat
Pemberitahuan dan/atau
keterangan yang isinya tidak benar
atau tidak lengkap;
e. menolak untuk dilakukan
pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29;
f. memperlihatkan pembukuan,
pencatatan, atau dokumen lain
yang palsu atau dipalsukan
seolah-olah benar, atau tidak
menggambarkan keadaan yang
sebenarnya;
No. Pasal Masalah Sanksi
73

g. tidak menyelenggarakan
pembukuan atau pencatatan di Indonesia,
tidak memperlihatkan atau tidak
meminjamkan
buku, Catalan, atau dokumen lain;
h. tidak raenyimpan buku, catatan, atau
dokumen yang menjadi dasar pembukuan
atau pencatatan dan dokumen lain termasuk
hasil pengolahan data dari pembukuan yang
dikelola secara elektronik atau
diselenggarakan
secara program aplikasi on- line di Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat
(11); atau
i. tidak menyetorkan pajak yang telah
dipotong atau dipungut sehingga
dapat menimbulkan kerugian
pada pendapatan negara.

Seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang Pidana pada nomor 1


3 39 ayat (2) perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, tersebut akan ditambahkan
terhitung sejak selesainya menjalani pidana 1 (satu) kali menjadi 2 (dua)
penjara yang dijatuhkan. kali sanksi pidana.

Setiap orang yang melakukan percobaan untuk Pidana penjara paling singkat 6
4 39 ayat (3) melakukan tindak pidana menyalahgunakan (enam) bulan dan paling lama
atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok 2 (dua) tahun dan denda
Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena paling sedikit 2 (dua) kali
Pajak, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan jumlah restitusi yang
dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau dimohonkan dan/atau
tidak lengkap, dalam rangka mengajukan kompensasi atau pengkreditan
permohonan restitusi atau melakukan yang dilakukan dan paling
kompensasi pajak atau pengkreditan pajak. banyak 4 (empat) kali jumlah
restitusi yang dimohonkan
dan/atau kompensasi atau
pengkreditan yang dilakukan.

Setiap orang yang dengan sengaja: Pidana penjara paling singkat 2


5 39A a. menerbitkan dan/atau (dua) tahun
menggunakan faktur pajak, dan paling lama 6 (enam) tahun
bukti pemungutan pajak, bukti serta
pemotongan pajak, dan/atau denda paling sedikit 2 (dua) kali
bukti setoran pajak yang tidak jumlah pajak dalam faktur
berdasarkan transaksi yang pajak, bukti pemungutan pajak,
sebenarnya; atau bukti pemotongan pajak,
b. menerbitkan faktur pajak tetapi dan/atau bukti setoran
pajak dan paling banyak 6
74

belum dikukuhkan sebagai (enam) kali jumlah pajak dalam


Pengusaha Kena Pajak. faktur pajak, bukti pemungutan
pajak, bukti pemotongan pajak,
dan/atu bukti setoran pajak.

No. Pasal Masalah Sanksi


6. 41 ayat(l) Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi Pidana kurungan paling lama 1 (satu)
kewajiban merahasiakan segala sesuatu yang tahun dan denda paling banyak
diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Rp25.000.000,00.
Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau
pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, atas
pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.

7. 41 ayat (2) Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi Pidana penjara paling lama 2 (dua)
kewajiban merahasiakan segala sesuatu yang tahun dan denda paling banyak
diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Rp50.000.000.00.
Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau
pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, atas
pengaduan
Orang yang kerahasiaannya dilanggar.

8. 41A Setiap orang yang wajib memberikan keterangan Pidana kurungan paling lama 1 (satu)
atau bukti yang diminta oleh Direktur Jenderal tahun dan denda paling banyak
Pajak pada saat melakukan pemeriksaan pajak, Rp25.000.000,00.
penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana
di bidang perpajakan, tetapi dengan sengaja tidak
memberi keterangan atau bukti, atau memberi
keterangan atau bukti yang tidak benar.

9. 41B Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi Pidana penjara paling lama 3 (tiga)
atau mempersulit penyidikan tindak pidana di tahun dan denda paling banyak
bidang perpajakan. Rp75.000.000,00.
75

10. 41C Setiap orang yang dengan sengaja tidak Pidana kurungan paling lama 1 (satu)
ayat(l) memenuhi kewajiban merahasiakan segala tahun atau denda paling banyak
sesuatu yang diketahui atau diberitahukan Rp 1.000.000.000,00.
kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan •
atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.

No. Pasal Masalah Sanksi

11. 41C ayat (2) Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan Pidana kurungan paling lama 10
tidak terpenuhinya kewajiban pejabat dan pihak (sepuluh) bulan atau denda paling
lain dalam merahasiakan segala sesuatu yang banyak Rp800.000.000,00.
diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh
Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau
pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.

12. 41C ayat (3) Setiap orang yang dengan sengaja tidak Pidana kurungan paling lama 10
memberikan data dan informasi yang diminta bulan atau denda paling banyak
oleh Direktur Jenderal Pajak dalam Rp.800.000.000,00.
menghimpun data dan informasi untuk
kepentingan penerimaan negara.

13. 41 C ayat (4) Setiap orang yang dengan sengaja Pidana kurungan paling lama 1
menyalahgunakan data dan informasi (satu) tahun atau denda paling
perpajakan sehingga menimbulkan kerugian banyak Rp500.000.000,00
bagi negara.

BAGIAN III

PAJAK PENGHASILAN (UMUM)


76

A. PENDAHULUAN
Pajak Penghasilan merupakan pajak yang dikenakan terhadap Subyek Pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam satu tahun pajak. Subyek Pajak tersebut
dikenakan pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Subyek Pajak yang menerima
atau memperoleh penghasilan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia disebut Wajib
Pajak. Dengan perkataan lain, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi
kewajiban subyektif danobyektif. Wajib Pajak dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian
tahun pajak apabila kewajiban pajak subyek-nya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak. Yang
dimaksud dengan tahun pajak dalam Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia adalah tahun
takwim, namun Wajib Pajak dapat menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun
takwim, sepanjang tahun buku tersebut meliputi waktu 12 (dua belas) bulan
Pengertian Subyek Pajak meliputi orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu
kesatuan, badan, dan bentuk usaha tetap.Subyek pajak dapat dibedakan antara Subyek Pajak dalam
negeri dan Subyek Pajak luar negeri. Subyek Pajak dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah
menerima atau memperoleh penghasilan, sedangkan Subyek Pajak luar negeri sekaligus menjadi
Wajib Pajak, sehubungan dengan penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan di Indonesia
atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of
business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesian dan
peralatan. Tempat Usaha tersebut bersifat permanent dan digunakan untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Sesuai dengan lelaziman internasional, badan perwakilan negara asing beserta pejabat-
pejabat perwakilan diplomatic, konsulat dan pejabat-pejabat lainnya, dikecualikan sebagai sebagai
Subyek Pajak di tempat mereka mewakili negaranya. Pengecualian tersebut tidak berlaku apabila
mereka memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya atau mereka adalah warga Negara
Indoensia.
Pajak Penghasilan menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang
luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau
menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut. Pengertian penghasilan dalam Undang-Undang ini
tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan
kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama
memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan
Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan
dapat dikelompokkan menjadi: penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan sebagainya,
penghasilan dari usaha dan kegiatan, penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun
harta tak gerak, seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak
yang tidak dipergunakan untuk usaha, danpenghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan
hadiah.
77

Bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek pajak
sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan,
atau hubungan penguasaan di antara pihakpihak yang bersangkutan. Zakat yang diterima oleh
badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para
penerima zakat yang berhak serta sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama
lainnya yang diakui di Indonesia yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak diperlakukan
sama seperti bantuan atau sumbangan. Yang dimaksud dengan zakat adalah zakat sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai zakat
Pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak dapat dibedakan antara
pengeluaran yang boleh dan tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Pada prinsipnya biaya yang
boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung
dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan.
Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi pengeluaran yang
sifatnya adalah pemakaian penghasilan, atau yang jumlahnya melebihi kewajaran.
Beban-beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dapat dibagi dalam 2 (dua)
golongan, yaitu beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun dan
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun. Beban yang mempunyai masa manfaat
tidak lebih dari 1 (satu) tahun merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya
administrasi dan bunga, biaya rutin pengolahan limbah dan sebagainya, sedangkan pengeluaran
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui
penyusutan atau melalui amortisasi. Di samping itu, apabila dalam suatu tahun pajak didapat
kerugian karena penjualan harta atau karena selisih kurs, kerugian-kerugian tersebut dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto
Informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak sangat penting untuk
dapat mengenakan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak.
Untuk dapat menyajikan informasi dimaksud, Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan.
Namun, disadari bahwa tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan. Semua
Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Wajib Pajak
orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran
bruto tertentu tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan. Untuk memberikan
kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan neto bagi Wajib Pajak orang pribadi yang
menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak
menerbitkan norma penghitungan
Penghasilan kena Pajak merupakan dasar penghitungan untuk menentukan besarnya Pajak
Penghasilan Terutang. Bagi Wajib Pajak dalam negeri pada dasarnya terdapat dua cara untuk
menentukan besarnya Pajak Penghasilan Kena Pajak, yaitu penghitungan dengan cara biasa daan
penghitungan dengan menggunakan Norma Penghitungan . Sedangkan bagi Wajib Pajak luar
negeri penentuan besarnya Penghasilan Kena Pajak dibedakan antara Wajib Pajak luar negeriyang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dan
Wajib Pajak luar negeri lainnya
Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri,
kepadanya diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak berdasarkan ketentuan
pasal 7 Undang-undang nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-undang nomor 36 Tahun 2008. Untuk menghitung besarnya Penghasilan
78

Kena Pajak dari Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, penghasilan netonya dikurangi dengan
jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak. Di samping untuk dirinya, kepada Wajib Pajak yang sudah
kawin diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Bagi Wajib Pajak yang isterinya
menerima atau memperoleh penghasilan yang digabung dengan penghasilannya, Wajib Pajak
tersebut mendapat tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk seorang isteri Wajib Pajak yang
mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus yang menjadi
tanggungan sepenuhnya, misalnya orang tua, mertua, anak kandung, atau anak angkat diberikan
tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk paling banyak 3 (tiga) orang. Yang dimaksud
dengan anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya adalah anggota keluarga yang
tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak.
Untuk lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak, sistem self assessment tetap
dipertahankan dan diperbaiki. Perbaikan terutama dilakukan pada sistem pelaporan dan tata cara
pembayaran pajak dalam tahun berjalan agar tidak mengganggu likuiditas Wajib Pajak dan lebih
sesuai dengan perkiraan pajak yang akan terutang. Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang
menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, kemudahan yang diberikan berupa peningkatan batas
peredaran bruto untuk dapat menggunakan norma penghitungan penghasilan neto. Peningkatan
batas peredaran bruto untuk menggunakan norma ini sejalan dengan realitas dunia usaha saat ini
yang makin berkembang tanpa melupakan usaha dan pembinaan Wajib Pajak agar dapat
melaksanakan pembukuan dengan tertib dan taat asas.
Atas penghasilan-penghasilan tertentu dikenakan Pajak Penghasilan yang perlu diberikan
perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya. Perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajak atas
jenis penghasilan tersebut termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran,
pemotongan, atau pemungutan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam rangka meningkatkan daya saing dengan negera-negara lain, mengedepankan prinsip
keadilan dan netralitas dalam penetapan tarif, dan memberikan dorongan bagi berkembangnya
usaha-usaha kecil, struktur tarif pajak yang berlaku juga perlu diubah dan disederhanakan yang
meliputi penurunan tarif secara bertahap, terencana, pembedaan tarif, serta penyederhanaan lapisan
yang dimaksudkan untuk memberikan beban pajak yang lebih proporsional bagi tiap-tiap golongan
Wajib Pajak tersebut;
Dengan makin berkembangnya ekonomi dan perdagangan internasional sejalan dengan era
globalisasi dapat terjadi bahwa Wajib Pajak dalam negeri menanamkan modalnya di luar negeri.
Untuk mengurangi kemungkinan penghindaran pajak, terhadap penanaman modal di luar negeri
selain pada badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, Menteri Keuangan berwenang
untuk menentukan saat diperolehnya dividen.
Pada prinsipnya pelunasan Pajak Penghasilan oleh Wajib Pajak dalam Tahun berjalan dapat
dikelompokan menjadi :
a.Pelunasan Pajak Penghasilan melalui Pemotongan pajak oleh pihak lain, yaitu dalam hal :
Diterima atau diperoleh penghasilan dari pekerjaan, jasa atau kegiatan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 21;
Diterima atau diperoleh penghasilan dari modal, jasa atau kegiatan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam pasal 23;
Diterima atau diperoleh penghasilan oleh Wajib Pajak luar negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26;
79

b.Pelunasan Pajak Penghasilan melalui pemungutan pajak oleh bendaharawan pemerintah


sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, dan badan-badan tertentu sehubungan
dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain sebagaimana dimaksud
dalam pasal 22;
c.Pelunasan Pajak Penghasilan melalui pembayaran pajak di luar negeri atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh dari luar negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 24;
d.Pelunasan Pajak Penghasilan melalui pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri, sebagaimana
dimaksud dalam pasal 25;
e.Pelunasan Pajak Penghasilan melalui pembayaran pajak Pelunasan Pajak Penghasilan, atas
penghasilan-penghasilan tertentu sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (2).
Pelunasan Pajak Penghasilan oleh Wajib Pajak dalam negeri, termasuk Bentuk Usaha tetap, dalam
tahun berjalan merupakan angsuran pembayaran pajak yang nantinya dapat diperhitungkan dengan
cara mengkreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang
bersangkutan. Namun demikian, dengan pertimbangan kemudahan, kesederhanaan, kepastian,
pengenaan pajak yang tepat waktu, dan pertimbangan lainnya, maka pelunasan pajak dalam tahun
berjalan ada yang ditetapkan bersifat final atas jenis-jenis penghasilan tertentu seperti dimaksud
dalam pasal 4 ayat (2), Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23. Pajak Penghasilan yang bersifat final
tersebut tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang pada akhir tahun pajak
Pada prinsipnya Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh penghasilan yang
diterima atau diperoleh baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Untuk meringankan beban
pajak ganda yang dapat terjadi karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh dari luar negeri, maka pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan
dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap
pajak yang terutang atas seluruh penghasilan wajib pajak dalam negeri. Besarnya kredit pajak
tersebut adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri, tetapi tidak
boleh melebihi penghitungan pajak terutang berdasarkan pasal 24 UU nomor 7 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU nomor 36 Tahun 2008.

Peraturan perundang-undangan perpajakan yang mengatur tentang Pajak Penghasilan yang berlaku
sejak 1 Januari 1984 adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983. Sebelum tahun 1983, pengenaan
pajak yang berhubungan dengan penghasilan diistilahkan dengan nama: Pajak Perseroan ( Ord, PPs
1925), Pajak Kekayaan (Stb. 1932), Pajak Pendapatan (Ord. PPd 1944), Pajak Penjualan (UU No. 19 Drt.
Th. 1951).
Dengan makin pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil pembangunan nasional
dan globalisasi serta reformasi di berbagai bidang, maka perlu dilakukan perubahan undang- undang
tersebut guna meniagkatkan fungsinya dan peranannya dalam rangka mendukungkebijakan pembangunan
nasional khususnya di bidang ekonomi. Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
telah beberapa kali diubah dan disempurnakan, yaitu dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991,
80

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 dan yang terakhir adalah
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Perubahan Undang-undang Pajak Penghasilan tersebut dilakukan dengan tetap berpegang
pada prinsip-prinsip perpajakan yang dianut secara universal, yaitu keadilan, kemudahan/efisiensi
administrasi dan produktivitas penerimaan negara serta tetap mempertahankan sistem self assessment.
Oleh karena itu tujuan dan arah penyempurnaan Undang-undang Pajak Penghasilan tersebut adalah
sebagai berikut:

1. lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak;


2. lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak;
3. lebih memberikan kesederhanaan administrasi perpajakan;
4. lebih memberikan kepastian hukum, konsistensi, dan transparansi;
1. lebih nienunjang kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan daya saing
dalam menarik investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun
penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah
tertentu yang mendapat prioritas.

Pokok-pokok perubahan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasiian
menjadi Undang-Undang Nomor 1.7 Tahun 2000 adalah sebagai berikut:
1. dalam rangka meningkatkan keadilan pengenaan pajak maka dilakukan perluasan
subjek dan Objek Pajak dalam hal-hal tertentu dan pembatasan pengecualian atau
pembebasan pajak dalam hal lainnya;
2. dalam rangka meningkatkan daya saing dengan negera-negara lain, mengedepankan
prinsip keadilan dan netralitas dalam penetapan tarif, dan memberikan dorongan bagi
berkembangnya usaha-usaha kecil, struktur tarif pajak yang berlaku juga perlu diubah dan
disederhanakan yang meliputi penurunan tarif secara bertahap, terencana, pembedaan
tarif, serta penyederhanaan lapisan yang dimaksudkan untuk memberikan beban pajak
yang lebih proporsional bagi tiap-tiap golongan Wajib Pajak tersebut; dan
3. untuk lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak, sistern self assessment tetap
dipertahankan dan diperbaiki. Perbaikan terutama dilakukan pada sistem pelaporan
dan tata cara pembayaran pajak dalam tahun berjalan agar tidak mengganggu
likuiditas Wajib Pajak dan lebih sesuai dengan perkiraan pajak yang akan terutang.
Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas,
kemudahan yang diberikan berupa peningkatan batas peredaran bruto untuk dapat
menggunakan norma penghitungan penghasilan neto. Peningkatan batas peredaran
bruto untuk menggunakan norma ini sejalan dengan realitas dunia usaha saat ini yang
makin berkembang tanpa melupakan usaha dan pembinaan Wajib Pajak agar dapat
melaksanakan pembukuan dengan tertib dan taat asas.

B. SUBJEK PAJAK
Pajak Penghasilan merupakan pajak yang dikenakan terhadap Subyek Pajak atas penghasilan
yang diterima atau diperolehnya dalam satu tahun pajak. Subyek Pajak tersebut dikenakan pajak
81

apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Subyek Pajak yang menerima atau memperoleh
penghasilan, dalam Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia disebut Wajib Pajak.
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan . Termasuk di dalam
pengertian Wajib Pajak adalah pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu. Wajib Pajak
dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh selama satu tahun pajak atau dapat
pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subyek-
nya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak. Yang dimaksud dengan tahun pajak dalam Undang-
undang Pajak Penghasilan Indonesia adalah tahun takwim, namun Wajib Pajak dapat menggunakan
tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim, sepanjang tahun buku tersebut meliputi waktu
12 (dua belas) bulan

1. Yang Menjadi Subjek Pajak, Pajak Penghasilan


Pengertian Subyek Pajak dalam UU Pajak Penghasilan Indonesia meliputi orang pribadi,
warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, badan, dan bentuk usaha tetap yaitu sebagai
berikut :
a.Orang pribadi;
Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia
ataupun di luar Indonesia
b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subyek pajak pengganti,
menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum
terbagi sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas
penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.
c. Badan
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha
milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana
pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik,
atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi
kolektif dan bentuk usaha tetap. Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah
merupakan subjek pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya sehingga setiap unit
tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki
oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan subjek pajak. Dalam pengertian
perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-
pihak yang mempunyai kepentingan yang sama

d. Bentuk Usaha Tetap


Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of
business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin,
peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau peralatan otomatis (automated
equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi
elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet. Tempat usaha tersebut
bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari
82

orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia.
Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang
kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan
yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi
yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia
apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas,
asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam
rangka menjalankan perusahaannya sendiri.
Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap
mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut
menerima pembayaran premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia melalui
pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak
berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang
perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau
bertempat kedudukan di Indonesia
Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan
dengan subjek pajak badan
Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari
183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. gudang;
h. ruang untuk promosi dan penjualan;
i. pertambangan dan penggalian sumber alam;
j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
l. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
m. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang
dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
n. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
o. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di
Indonesia; dan
1. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan
usaha melalui internet.
83

2. Subyek Pajak Dalam Negeri dan Subyek Pajak Luar Negeri

Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.
a. Subjek pajak dalam negeri adalah:
1. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan
mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
2. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari
badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
a. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
c. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah; dan
d. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan
3. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
b. Subjek pajak luar negeri adalah:
1. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia; dan
2. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak
dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.

Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri terletak
dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:
a. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh
dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai
pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia;
b. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum,
sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan
tarif pajak sepadan; dan
c. Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun
pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan
pajak yang bersifat final.
84

Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan
pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak badan dalam negeri sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan
umum dan tata cara perpajakanPerbedaan yang penting antara wajib pajak dalam negeri dan
wajib pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya,

3. Penentuan Saat Mulai dan Berakhirnya Kewajiban Pajak Subyektif


Pajak Penghasilan merupakan jenis pajak subyektif yang kewajiban pajaknya melekat pada
subyek pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan untuk tidak
dilimpahkan kepada subyek pajak lainnya. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan
kepastian hokum, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subyek tif menjadi
penting. Saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subyektif tersebut ditentukan sebagai
berikut :
Saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subyektif diatur dalam pasal 2A UU Pajak
Penghasilan sebagai mana terlihat dalam tabel berikut :
Saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif untuk setiap Subjek Pajak diuraikan dalam
tabel berikut ini.

Kewajiban Pajak Subjektif Kewajiban Pajak Subjektif


Jenis Subjek Pajak
Dimulai Berakhir
Dalam Negeri  Saat dilahirkan  Saat meninggal
Orang Pribadi  Saat berada di Indonesia  Saat meninggalkan
atau berniat bertempat Indonesia untuk selama-
tinggal di Indonesia lamanya
85

Kewajiban Pajak Subjektif Kewajiban Pajak Subjektif


Jenis Subjek Pajak
Dimulai Berakhir
* Saat didirikan atau bertempat • Saat dibubarkan atau tidak
Dalam Negeri-Badan kedudukan di Indonesia lagi bertempat kedudukan di
Indonesia
• Saat menjalankan usaha atau • Saat tidak lagi menjalankan
Luar Negeri Melalui melakukan kegiatan melalui BUT di usaha atau melakukan kegiatan
BUT Indonesia melalui BUT di Indonesia

• Saat menerima atau memperoleh • Saat tidak lagi menerima atau


Luar Negeri Tidak penghasilan dari Indonesia memperoleh penghasilan dari
Melalui BUT Indonesia
Warisan Belum • Saat timbulnya warisan yang belum • Saat warisan selesai
Terbagi terbagi dibagikan

Apabila kewajiban pajak subjektif orang pribadi yang bertempat tinggal atau yang berada di
Indonesia hanya meliputi sebagian dari tahun pajak, maka bagian tahun pajak tersebut
menggantikan tahun pajak.

4. Tidak termasuk subjek pajak

Yang tidak termasuk subjek pajak adalah:


1. kantor perwakilan negara asing;
2. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari
negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada
dan bertempat tinggal bersamasama mereka dengan syarat bukan warga negara
Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar
jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan
timbal balik;
3. organisasi-organisasi internasional dengan syarat:
a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan
b. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal
dari iuran para anggota;
4. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada
huruf c, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha,
kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
5. Organisasi internasional yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
 

C. OBYEK , OBYEK BERSIFAT FINAL DAN BUKAN OBYEK PAJAK


86

1. Obyek Pajak
Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
Pajak Penghasilan menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian
yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk
konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut. Pengertian penghasilan dalam
Undang-Undang ini tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi
pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan
Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah
untuk kegiatan rutin dan pembangunan

Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan
dapat dikelompokkan menjadi:
a. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji,
honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan
sebagainya;
b. Penghasilan dari usaha dan kegiatan;
c. Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti
bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak
dipergunakan untuk usaha; dan
d. Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.

Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula
ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak. Karena Undang-Undang ini menganut
pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau
diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak.
Dengan demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita
kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi
horizontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu
jenis penghasilan dikenai pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari objek
pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lainyang
dikenai tarif umum. contoh penghasilan yang disebut dalam ketentuan ini dimaksudkan
untuk memperjelas pengertian tentang penghasilan yang luas yang tidak terbatas pada
contoh-contoh dimaksud.

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang nomor 36 Tahun
2008, yang termasuk di dalam pengertian Obyek Pajak Penghasilan, antara lain adalah :
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus,
87

gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain
dalam Undang-undang ini;
b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti upah, gaji,
premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, atau
imbalan dalam bentuk lainnya adalah Objek Pajak. Pengertian imbalan dalam bentuk
lainnya termasuk imbalan dalam bentuk natura yang pada hakikatnya merupakan
penghasilan
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1) keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2) keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau
anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
3) keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam
bentuk apa pun;
4) keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan,
kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk
yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil,
yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihakpihak yang bersangkutan; dan
5) keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan;

e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak;
Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat menghitung
Penghasilan Kena Pajak merupakan objek pajak. Sebagai contoh, Pajak Bumi dan
Bangunan yang sudah dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu
sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan
penghasilan.
f.Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang;
Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya
sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya.
Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi dan
diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi

g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
88

Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang
polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota
koperasi. Termasuk dalam pengertian dividen adalah:
1) pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama
dan dalam bentuk apapun;
2) pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang
disetor;
3) pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham
bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham;
4) pembagian laba dalam bentuk saham;
5) pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;
6) jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh
pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan
yang bersangkutan;
7) pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan,
jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika
pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter)
yang dilakukan secara sah;
8) pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima
sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut;
9) bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;
10) bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
11) pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi;
12) pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang
dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara
terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh
modalnya dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga
yang melebihi kewajaran. Apabila terjadi hal yang demikian maka selisih lebih
antara bunga yang dibayarkan dan tingkat bunga yang berlaku di pasar,
diperlakukan sebagai dividen. Bagian bunga yang diperlakukan sebagai dividen
tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan

h. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak;


Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau
perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan
atas:
a. penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian
atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses
rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau
hak serupa lainnya;
b. penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial,
komersial, atau ilmiah;
c. pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial,
atau komersial;
89

d. pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan


atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak
menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian
pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3, berupa:
1) penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau
keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat
optik, atau teknologi yang serupa;
2) penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara
atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang
disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi
yang serupa;
3) penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio
komunikasi;
e. penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films),
film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan
f. pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan
atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya
sebagaimana tersebut di atas.
i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan
nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak atau
harta tak gerak, misalnya sewa mobil, sewa kantor, sewa rumah, dan sewa gudang.

j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;


Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya "alimentasi" atau tunjangan
seumur hidup yang dibayar secara berulang-ulang dalam waktu tertentu.

k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu


yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan bagi
pihak yang semula berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat
dibebankan sebagai biaya. Namun, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan
bahwa pembebasan utang debitur kecil misalnya Kredit Usaha Keluarga
Prasejahtera (Kukesra), Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Usaha Rakyat (KUR),
kredit untuk perumahan sangat sederhana, serta kredit kecil lainnya sampai dengan
jumlah tertentu dikecualikan sebagai objek pajak.

l. Keuntungan selisih kurs mata uang asing;


Keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui
berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai
dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.

m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;


Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 merupakan penghasilan
n. Premi asuransi;
90

o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri
dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
pajak;
Tambahan kekayaan neto pada hakekatnya merupakan akumulasi penghasilan baik
yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak serta yang belum
dikenakan pajak. Apabila diketahui adanya tambahan kekayaan neto yang melebihi
akumulasi penghasilan yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak,
maka tambahan kekayaan neto tersebut merupakan penghasilan.

q. Penghasilan dari usaha berbasis syariah;


Kegiatan usaha berbasis syariah memiliki landasan filosofi yang berbeda dengan
kegiatan usaha yang bersifat konvensional. Namun, penghasilan yang diterima atau
diperoleh dari kegiatan usaha berbasis syariah tersebut tetap merupakan objek
pajak menurut Undang-Undang ini.
r. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
s. Surplus Bank Indonesia.

Mengenai perlakuan PPh terhadap hadiah dan penghargaan agar tidak terdapat
keragu-raguan dalam pelaksanaannya telah dikeluarkan surat surat edaran /keputusan
Direktur Jenderal Pajak dan yang terakhir, Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak
nomor : KEP. 395/PJ. /2000 tanggal 13 Juni 2001 tentang Pengenaan Pajak
Penghasilan atas Hadiah dan Penghargaan yang mengatur hal hal sebagai berikut:
(1). Pengertian
Hadiah undian adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
diberikan melalui undian;
Hadiah atau penghargaan perlombaan adalah hadiah atau penghargaan yang
diberikan melalui suatu perlombaan atau adu ketangkasan.
Hadiah sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan lainnya adalah hadiah
dengan narna dan dalam bentuk apapun yang diberikan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh penerima hadiah.
Penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan prestasi dalam
kegiatan tertentu.
(2). Tarif dan dasar pengenaan
a. Hadiah undian dikenakan PPh sebesar 25% dari jumlah penghasilan bruto dan
bersifat final
b. Hadiah atau penghargaan perlombaan, penghargaan, dan hadiah sehubungan
dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan lainnya dikenakan Pajak Penghasilan
dengan ketentuan sebagai berikut :
 dalam hal penerima penghasilan adalah orang pribadi Wajib Pajak dalam
negeri, dikenakan PPh pasal 21 sebesar tarif pasal 17 Undang undang
Pajak Penghasilan dari jumlah penghasilan bruto;
 dalam hal penerima penghasilan adalah Wajib Pajak luar negeri selain
BUT, dikenakan PPh pasal 26 sebesar 20% dari jumlah bruto dengan
memperhatikan ketentuan dalam Perjanjian Penghindaran Pajak
91

Berganda;
 dalam hal penerima penghasilan adalah Wajib Pajak badan termasuk
BUT, dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan pasal 23 ayat (1) huruf
a. 4 Undang-undang Pajak Penghasilan, sebesar 15% dari jumlah
penghasilan bruto.

(3).Tidak termasuk pengertian hadiah dan penghargaan yang dikenakan PPh adalah
hadiah langsung dalam penjualan barang atau jasa sepanjang diberikan kepada
semua pembeli atau konsumen akhir tanpa diundi dan hadiah tersebut diterima
langsung oleh konsumen akhir pada saat pembelian barang atau jasa.
Dengan dikeluarkannya ketentuan diatas surat Edaran nomor SE02/PJ. 33/1998
tanggal 16 Maret 1998 yang mengatur tentang Pengenaan PPh atas Hadiah dan
Penghargaan dinyatakan tidak berlaku lagi. Dalam SE-02/PJ. 33/1998 tersebut
terdapat perlakuan tarif PPh yang berbeda antara Hadiah dan penghargaan
perlombaan dengan penghargaan serta hadiah sehubungan dengan pekerjaan
pemberian jasa, dan kegiatan lainnya

 Untuk hadiah dan penghargaan perlombaan, dalam hal penerimanya adalah


orang pribadi Wajib Pajak dalam negeri, dikenakan PPh pasal 21 sebesar 15%
dari jumlah bruto yang bersifat final;
 Untuk penghargaan serta hadiah sehubungan dengan pekerjaan pemberian jasa,
dan kegiatan lainnya, dalam hal penerimanya adalah orang pribadi Wajib
Pajak dalam negeri, dikenakan PPh pasal 21 dengan tarif berdasarkan pasal 17
Undang-undang Pajak Penghasilan.

2. Obyek Pajak Bersifat Final


Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat
utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota
koperasi orang pribadi;
b. penghasilan berupa hadiah undian;
c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan
modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha
jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
e. penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah
Jenis Jenis Penghasilan Yang Pengenaan Pajaknya Bersifat Final
Dalam Undang-undang Pajak Penghasilan, pasal pasal yang mengatur mengenai
jenis penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final terdapat dalam Pasal 4 ayat
(2), pasal 8 ayat (1) pasal 15, pasal 19 ayat (1), pasal 22 dan pasal 23 ayat (4).
Jenis penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final dapat dilihat pada table
dibawah ini
No Perihal Tarip Keterangan Dasar Hukum
92

1. Bunga 20% Jumlah bruto bagi Wajib Pasal 4 ayat (2) PP


Deposito/Tabungan dan Pajak Dalam Negeri No. 131/2000
Diskonto Sertifikat Bank 20% Umlah bruto bagi Wajib 51/KMK. 04/01
Indonesia (SBI) Pajak Luar negeri atau Kep. 217/PJ/01
tarif berdasarkan
perjanjian penghindaran
pajak berganda yang
berlaku (P3B)
2. Hadiah Undian 25% Jumlah bruto nilai hadiah Pasal 4 ayat (2) PP
yang dibayarkan atau nilai No. 132/2000
pasar hadiah berupa
natura atau kenikmatan.
3. Bunga Simpanan 15% Seluruh bunga yang Pasal 23 ayat (4) g
Anggota Koperasi diterima, tanpa dikurangi 522/KMK. 04/1998
batas bunga simpanan SE-43/PJ. 43/-1998
yang tidak dipotong PPh
sebesar Rp. 240.000,00

4. Penghasilan Bunga dan 20% Jumlah bruto bunga sesuai Psal 4 ayat (2) PP
Diskonto dari Obligasi dengan masa kemelikan No. 6 tahun 2002
yang diperdagangkan obligasi. 121/KMK. 03/2002
dan/atau dilaporkan 20% Dari selisih lebih harga
perdagangannya di jual atau nilai nominal
Bursa Efek diatas harga perolehan
obligasi tidak termasuk
20% bunga berjalan
Dari selisih lebih harga
jual atau nilai nominal
diatas harga perolehan
obligasi
5. Penjualan Saham Pendiri 0, 1% Jumlah bruto nilai Psal 4 ayat (2) PPNo.
dan bukan Pendiri di transaksi penjualan 41/1994
Bursa Efek saham. PPNo. 14/1997
Tambahan PPh bagi 282/KMK. 04/1997
pemilik saham pendiri, SE-06/PJ. 4-1997
dari nilai saham pada saat
penawaran umum perdana
6. Penyalur/Dealer/Agen 0, 3% Penjualan Premium/Solar/ Pasal 22 254/KMK.
Produk Pertamina dan Premix dari SPBU Swasta 03/2001
Premix 0, Penjualan Premium/Solar/
25% Premix dari SPBU 392/KMK. 03/01
Pertamina Penjualan
0, 3% minyak Tanah
0, 3% Penjualan Gas LPG
0, 3% Penjualan Pelumas
93

7. Penghasilan Penyalur/ 0, Harga bandrol penjualan Pasal 22 254/KMk.


Distribusi Rokok 15% rokok didalam negeri 03/2001
392/KMK. 03/2001
KEP-592/PJ. /2001
8. Penghasilan dari 5% Jumlah bruto nilai Psal 4 ayat (2) PPNo.
Pengalihan Hak Atas penjualan/pengalihan 27/1996 392/KMK.
Tanah dan/atau tanah dan/atau bangunan 04/-1996
Bangunan lainnya PPNo 79/199
(Bagi WP Badan, selain 566/KMK. 04/-1999
Yayasan dan sejenisnya-
tidak bersifat final)
9. Penghasilan yang 10% Jumlah bruto nilai Psal 4 ayat (2) PP
diterima atau diperoleh persewaan tanah dan/atau no. 5 Tahun 2002
dari Persewaan Tanah bangunan baik yang 120/KMK. 03/2002
dan/atau Bangunan diterima/diperoleh WP KEP-227/PJ/2002
Orang Pribadi maupun
WP Badan.
10. Usaha Jasa Kontruksi 2% Atas imbalan jasa Psal 4 ayat (2)
yang memenuhi pelaksanaan kontruksi. PP No 140/2000
kualifikasi usaha kecil 4% Atas imbalan jasa 559/KMK. 04/2000
dan nilai pengadaan s/d perencanaan Kontruksi
satu miliar Rp 4% Atas imbalan jasa
pengawasan konstruksi
11. Uang pesangon, uang 5% Penghasilan bruto di atas Psal 4 ayat (2)
tebusan pensiun yang Rp. 25 juta s/d Rp. 50 PP No. 149/2000
dibayarkan oleh dana juta Kep. 545/PJ. /2000
pensiun yang Penghasilan bruto diatas
pendiriannya telah Rp. 50 juta s. d Rp. 100
disahkan oleh Menteri juta
Keuangan; Penghasilan bruto diatas
Tunjangan hari tua atau Rp. 100 juta s. d Rp. 200
Jaminan Hari Tua yang juta
dibayarkan sekaligus Dikecualikan dari
oleh Badan pemotongan atas jumlah
Penyelenggara penghasilan bruto Rp. 25
Pensiun/Jaminan Sosial juta atau kurang
Tenaga Kerja
12 Penghasilan Wajib Pajak 1, 2% Peredaran bruto Pasal 15. 416/KMK.
yang bergerak dibidang 04/1996
usaha pelayaran dalam
negeri
13 Penghasilan Wajib Pajak 2, 64% Peredaran bruto Pasal 15. 417/KMK.
yang bergerak di bidang 04/1996
usaha pelayaran atau
penerbangan luar negeri
14 Penghasilan Wajib Pajak 0, Nilai ekspor bruto Pasal 15. 634/KMK.
94

LN yang mempunyai 44% 04/1994


kantor perwakilan Kep-667/PJ. /2001
dagang di Indonesia
berdasarkan Ps. 15 UU
PPh
15 Honorarium dan imbalan 15% Penghasilan bruto Pasal 21 ay (1)
lain dengan nama PP 45 tahun 1994
apapun atas beban Kep-545/PJ. /2000
APBN/APBD yang
diterima Pejabat Negara,
PNS, anggota TNI dan
POLRI dan pensiunan
16 Nilai bangunan yang 5% Nilai penyerahan Pasal 15. 249/KMK.
diterima dalam rangka bangunan 04/1995
Bangun Guna Serah SE-38/PJ. 4/1995
sehubungan dengan
berakhirnya masa
perjanjian
17 Penjualan Saham Milik 0, 1% Jumlah bruto nilai Psal 4 ayat (2) PP
Perusahaan Modal transaksi penjualan saham No. 4/1995.
Ventura atau pengalihan 250/KMK. 04/1995
penyertaan modal SE-33/PJ. 4-1995
18 Selisih penilaian kembali 10% Selisih lebih penilaian Psl 19 ayat 1)
aktiva tetap kembali setelah dikurangi 486/KMK. 03-/2002
dengan kompensasi Kep. 519/PJ/02 SE
kerugian fiskal 03/PJ. /02

3. Penghasilan TidakTermasuk Objek Pajak


.
Berdasarkan Pasal 4 ayat 3 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, terhadap penghasilan-1
penghasilan tertentu yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, dikecualikan dari I pengenaan
Pajak Penghasilan (bukan merupakan Objek Pajak). Penghasilan yang tidal | termasuk Objek Pajak
menurut ketentuan tersebut adalah:
1. a. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil
zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang
berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di
Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah
dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah;
b.harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat,
badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi
yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihakyang bersangkutan;
95

Bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima bukan merupakan Objek Pajak sepanjang
diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau
hubungan penguasaan di antara pihakpihak yang bersangkutan. Zakat yang diterima oleh badan
amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima
zakat yang berhak serta sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama lainnya
yang diakui di Indonesia yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan
oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak diperlakukan sama
seperti bantuan atau sumbangan.
Hubungan usaha antara pihak yang memberi dan yang menerima dapat terjadi, misalnya PT
A sebagai produsen suatu jenis barang yang bahan baku utamanya diproduksi oleh PT B.
Apabila PT B memberikan sumbangan bahan baku kepada PT A, sumbangan bahan baku yang
diterima oleh PT A merupakan Objek Pajak.
Harta hibahan bagi pihak yang menerima bukan merupakan Objek Pajak apabila diterima oleh
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan, badan
pendidikan, atau badan sosial termasuk yayasan atau orang pribadi yang menjalankan usaha
mikro dan kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang diterima
tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
2. warisan;
3. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPh sebagai pengganti saham atau sebagai
pengganti penyertaan modal;
4. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak
atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak
yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma
penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UU
PPh;
Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan berkenaan dengan pekerjaan
atau jasa merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima bukan dalam bentuk uang.
Penggantian
atau imbalan dalam bentuk natura seperti beras, gula, dan sebagainya, dan imbalan dalam bentuk
kenikmatan, seperti penggunaan mobil, rumah, dan fasilitas pengobatan bukan merupakan
Objek Pajak. Apabila yang memberi imbalan berupa natura atau kenikmatan tersebut bukan
Wajib Pajak atau Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan Wajib
Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemedprofit),
imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi yang
menerima atau memperolehnya. Misalnya, seorang penduduk Indonesia menjadi pegawai
pada suatu perwakilan diplomatik asing di Jakarta. Pegawai tersebut memperoleh kenikmatan
menempati rumah yang disewa oleh perwakilan diplomatik tersebut atau kenikmatan-
kenikmatan lainnya. Kenikmatan-kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi pegawai
tersebut sebab perwakilan diplomatik yang bersangkutan bukan merupakan Wajib Pajak.
5. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa;
Penggantian atau santunan yang diterima oleh orang pribadi dari perusahaan asuransi
96

sehubungan dengan polis asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, i asuransi
dwiguna, dan asuransi beasiswa, bukan merupakan Objek Pajak. Hal ini selaras dengan
ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d, yaitu bahwa premi asuransi j yang dibayar oleh Wajib
Pajak orang pribadi untuk kepentingan dirinya tidak boleh j dikurangkan dalam penghitungan
Penghasilan Kena Pajak.
6. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib
Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaba milik negara, atau badan usaha milik daerah,
dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan j bertempat kedudukan di
Indonesia dengan syarat:
a. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
b. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah
yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen
paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;
" Badan usaha milik negara" dan "badan usaha milik daerah" antara lain, adalah perusahaan
perseroan (Persero), bank pemerintah, dan bank pembangunan daerah, I Dalam hal penerima
dividen atau bagian laba adalah Wajib Pajak selain badan-badan j tersebut di atas, seperti orang
pribadi baik dalam negeri maupun luar negeri, firma, j perseroan komanditer, yayasan dan
organisasi sejenis dan sebagainya, penghasilan berupa dividen atau bagian laba tersebut tetap
merupakan Objek Pajak.
7. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri
Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
Dikecualikan dari Objek Pajak adalah iuran yang diterima dari peserta pensiun, baik I atas beban
sendiri maupun yang ditanggung pemberi kerja. Pada dasarnya iuran yang diterima oleh dana
pensiun tersebut merupakan dana milik peserta pensiun, yang akan dibayarkan kembali kepada
mereka pada waktunya. Pengenaan pajak atas iuran tersebut berarti mengurangi hak para peserta
pensiun, dan oleh karena itu iuran tersebut dikecualikan sebagai Objek Pajak.
8. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud
pada angka 7, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan;
Pengecualian ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan
dari Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari Objek Pajak dalam hal ini adalah penghasilan dari
modal yang ditanamkan di bidang-bidang tertentu berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.
Penanaman modal oleh dana pensiun dimaksudkan untuk pengembangan dan merupakan dana
untuk pembayaran kembali kepada peserta pensiun di kemudian hari, sehingga penanaman modal
tersebut perlu diarahkan pada bidang-bidang yang tidak bersifat spekulatif atau yang berisiko
tinggi.
9. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya
tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk
pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
10. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari
badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia,
dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
a. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan
kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan
97

Peraturan Menteri Keuangan; dan


b. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
Perusahaan modal ventura adalah suatu perusahaan yang kegiatan usahanya membiayai badan usaha
(sebagai pasangan usaha) dalam bentuk penyertaan modal untuk suatu jangka waktu tertentu.
Berdasarkan ketentuan ini, bagian laba yang diterima atau diperoleh dari perusahaan pasangan
usaha tidak termasuk sebagai Objek Pajak, dengan syarat perusahaan pasangan usaha tersebut
merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan dalam sektor-sektor tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan saham perusahaan
tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia. Apabila pasangan usaha perusahaan modal
ventura memenuhi ketentuan ini, dividen yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura
bukan merupakan Objek Pajak. Agar kegiatan perusahaan modal ventura dapat diarahkan kepada
sektor-sektor kegiatan ekonomi yang memperoleh prioritas untuk dikembangkan, misalnya untuk
meningkatkan ekspor non-migas, usaha atau kegiatan dari perusahaan pasangan usaha tersebut diatur
oleh Menteri Keuangan. Mengingat perusahaan modal ventura merupakan alternatif pembiayaan
dalam bentuk penyertaan modal, penyertaan modal yang akan dilakukan oleh perusahaan modal
ventura diarahkan pada perusahaan-perusahaan yang belum mempunyai akses ke bursa efek.
ll. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
12. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam
bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar
pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan
prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka
waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
Bahwa dalam rangka mendukung usaha peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui
pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan diperlukan sarana dan prasarana yang
memadai. Untuk itu dipandang perlu memberikan fasilitas perpajakan berupa pengecualian
pengenaan pajak atas sisa lebih yang diterima atau diperoleh sepanjang sisa lebih tersebut
ditanamkan kembali dalam bentuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana
kegiatan dimaksud. Penanaman kembali sisa lebih dimaksud harus direalisasikan paling
lama dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak sisa lebih tersebut diterima atau diperoleh.
Untuk menjamin tercapainya tujuan pemberian fasilitas ini, maka lembaga atau badan yang
menyelenggarakan pendidikan harus bersifat nirlaba. Pendidikan serta penelitian dan
pengembangan yang diselenggarakan bersifat terbuka kepada siapa saja dan telah mendapat
pengesahan dari instansi yang membidanginya.
13.bantuan atau santunanyang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada
Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
Bantuan atau santunan yang diberikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kepada
Wajib Pajak tertentu adalah bantuan sosial yang diberikan khusus kepada Wajib Pajak atau anggota
masyarakat yang tidak mampu atau sedang mendapat bencana alam atau tertimpa musibah.

D. OBJEK PAJAK PENGHASILAN BENTUK USAHA TETAP


98

1. Obyek BUT
Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Objek Pajak Bentuk Usaha Tetap
adalah:
a. Penghasilan dari usaha atau kegiatan Bentuk Usaha Tetap tersebut dan dari harta yang
dimiliki atau dikuasai oleh Bentuk Usaha Tetap;
Penghasilan kantor pusat dari objek di atas berdasarkan pertimbangan logis bahwa I
transaksi antara kantor pusat denean perusahaan lain di Indonesia harus ada bantuan
Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. Ditinjau dari segi barang yang diperdagangkan atau
jasa yang diberikan tentu sama dengan barang atau jasa yang diberikan BUT. Dasar inilah yang
sering disebut dengan Force of Attraction Concept, dengan asumsi hukum yaitu apabila barang
atau jasa dalam transaksi yang diselenggarakan kantor pusat sama dengan transaksi yang
diselenggarakan BUT. Dengan demikian transaksi yang dilakukan langsung oleh kantor pusat
BUT dianggap sebagai penghasilan dari BUT.
b. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, dan pemberian
jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh
Bentuk Usaha Tetap di Indonesia;
Penghasilan kantor pusat yang berasal dari usaha atau kegiatan, penjualan barang dan
pemberian jasa, yang sejenis dengan yang dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap dianggap sebagai
penghasilan Bentuk Usaha Tetap, karena pada hakikatnya usaha atau kegiatan tersebut
termasuk dalam ruang lingkup usaha atau kegiatan dan dapat dilakukan oleh Bentuk Usaha
Tetap. Usaha atau kegiatan yang sejenis dengan usaha atau kegiatan Bentuk Usaha Tetap,
misalnya terjadi apabila sebuah bank di luar Indonesia yang mempunyai Bentuk Usaha
Tetap di Indonesia, memberikan pinjaman secara langsung tanpa melalui Bentuk Usaha
Tetapnya kepada perusahaan di Indonesia.
Penjualan barang yang sejenis dengan yang dijual oleh Bentuk Usaha Tetap, misalnya
kantor pusat di luar negeri yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia menjual
produkyang sama dengan produkyang dijual oleh Bentuk Usaha Tetap tersebut secara langsung
tanpa melalui Bentuk Usaha Tetapnya kepada pembeli di Indonesia.
Pemberian jasa oleh kantor pusat yang sejenis dengan jasa yang diberikan oleh Bentuk Usaha
Tetap, misalnya kantor pusat perusahaan konsultan di luar Indonesia memberikan konsultasi yang
sama dengan jenis jasa yang dilakukan Bentuk Usaha Tetap tersebut secara langsung tanpa melalui
Bentuk Usaha Tetapnya kepada klien di Indonesia.
c. Penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh
oleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara Bentuk Usaha Tetap
dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan tersebut.
Sebagai contoh, X Inc. menutup perjanjian lisensi dengan PT Y untuk mempergunakan merek
dagang X Inc. Atas penggunaan hak tersebut X Inc. menerima imbalan berupa royalti dari PT
Y. Sehubungan dengan perjanjian tersebut, X Inc. juga memberikan jasa manajemen kepada
PT Y melalui suatu Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, dalam rangka pemasaran produk PT Y
yang mempergunakan merek dagang tersebut. Dalam hal demikian, penggunaan merek
dagang oleh PT Y mempunyai hubungan efektif dengan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia,
dan oleh karena itu penghasilan X Inc. yang berupa royalti tersebut diperlakukan sebagai
penghasilan Bentuk Usaha Tetap. Dengan demikian, dianggap sebagai penghasilan BUT
asalkan terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan
penghasilan termasuk juga penghasilan yang dikenakan withholding berdasar pada PPh Pasal
99

26. Konsep hubungan efektif ini berasal dari effectively connected income yang berasal dari
undang- undang Pajak Domestik Amerika Serikat (Internal Revenue Code). Undang-undang
Pajak Penghasilan di Indonesia tidak mempunyai ketentuan yang mengatur dalam hal
sebagaimana menentukan suatu penghasilan kantor pusat mempunyai hubungan | efektif
dengan BUT di Indonesia,

2. Penentuan Laba Bentuk Usaha Tetap


Dalam menentukan besarnya laba suatu Bentuk Usaha Tetap, perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut:

a. Biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan,
penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan
atau yang dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, serta biaya-biaya yang
berkenaan dengan penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau
diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif I antara Bentuk Usaha Tetap
dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan ] tersebut, diperbolehkan untuk
dibebankan sebagai biaya bagi Bentuk Usaha Tetap.
b. Biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya
yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan Bentuk Usaha Tetap, yang besarnya
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
c. Pembayaran kepada kantor pusat yang tidak diperbolehkan dibebankan sebagai biaya
adalah:
i. royalti atau imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta, paten, atau hak-
hak lainnya;
ii. imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya;
iii. bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.
d. Pembayaran sebagaimana tersebut pada butir 3 yang diterima atau diperoleh dari kantor I
pusat tidak dianggap sebagai Objek Pajak, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha j
perbankan.

3. Penghasilan Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang Ditanamkan Kembali di Indonesia


Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu Bentuk Usaha Tetapj di
Indonesia dikenakan pajak sesuai Ketentuan Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan
dengan tarif sebesar 20%. Apabila atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak
Penghasilan Pasal 26 ayat (4) tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, maka atas penghasilan
tersebut tidak dipotong pajak, dengan syarat:
a. penanaman kembali dilakukan atas seluruh Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi
b. Pajak Penghasilan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang barn didirikan
dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri;
c. penanaman kembali dilakukan dalam Tahun Pajakberjalan atau selambat-lambatnya Tahun
Pajak berikutnya dari Tahun Pajak diterima atau diperolehnya penghasilan tersebut;
d. tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut paling sedikit dalam
jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat penanaman dilakukan
100

berproduksi secara komersial.

Contoh penghitungan:
Penghasilan Kena Pajak Bentuk Usaha
Tetap di Indonesia tahun 2009 Rp 17.500.000.000
Pajak Penghasilan: 28% x Rpl7.500.000.000 Rp 4.900.000.000 (-)
Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi pajak Rp 12.600.000.000
Pajak Penghasilan yang dipotong:
20% x Rpl2.600.000.000 = Rp 2.520.000.000

Apabila Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi pajak tersebut (sebesar Rpl2.600.000.000)
ditanamkan kembali di Indonesia, maka atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak.

Pajak penghasilan dihitung dari tarif dikalikan dengan penghasilan kena pajak. Penghasilan kena pajak
bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap ditentukan berdasarkan penghasilan bruto
dikurangi dengan pengurangan atau pengeluaran tertentu. Pengeluaran tersebut dinamakan juga
biaya atau beban. Pengeluaran/beban/biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dapat
dibagi dalam 2 (dua) golongan, yaitu:
1. Pengeluaran/beban/biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu)
tahun yang merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya
administrasi dan bunga, biaya rutin pengolahan limbah dan sebagainya;
2. Pengeluaran/beban/biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu)
tahun yang pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi, misalnya
aset tetap atau harta berwujud, aset tak berwujud, dan Iain-lain.

Pengeluaran/beban/biaya dalam perpajakan tidak sepenuhnya sama dengan menurut


akuntansi komersial. Dalam perpajakan, pengeluaran/beban/biaya dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Pengeluaran/beban/biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (deductible expense).


Adalah pengeluaran/beban/biaya yang mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau
kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan
Objek Pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama
masa manfaat atas pengeluaran tersebut.

b. Pengeluaran/beban/biaya yang tidak dapat dibebankan sebagai biaya (non-deductible


expenses). Adalah pengeluaran/beban/biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yangbukan merupakan Objek Pajak atau pengeluaran dilakukan tidak
dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang baik. Oleh karena
itu, pengeluaran yang melampaui batas kewajaran yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa
tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto

E.BIAYA YANG DIPERKENANKAN SEBAGAI PENGURANG (DEDUCTIBLE EXPENSE)


Pajak penghasilan dihitung dari tarif dikalikan dengan penghasilan kena pajak. Penghasilan kena pajak
bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap ditentukan berdasarkan penghasilan bruto
dikurangi dengan pengurangan atau pengeluaran tertentu. Pengeluaran tersebut dinamakan juga
biaya atau beban. Pengeluaran/beban/biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
101

dapat dibagi dalam 2 (dua) golongan, yaitu:


Pengeluaran/beban/biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu)
tahun yang merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya
administrasi dan bunga, biaya rutin pengolahan limbah dan sebagainya;
Pengeluaran/beban/biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu)
tahun yang pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi, misalnya
aset tetap atau harta berwujud, aset tak berwujud, dan Iain-lain.

Pengeluaran/beban/biaya dalam perpajakan tidak sepenuhnya sama dengan menurut akuntansi


komersial. Dalam perpajakan, pengeluaran/beban/biaya dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Pengeluaran/beban/biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (deductible


expense). Adalah pengeluaran/beban/biaya yang mempunyai hubungan langsung dengan
usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
merupakan Objek Pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran
atau selama masa manfaat atas pengeluaran tersebut.

b. Pengeluaran/beban/biaya yang tidak dapat dibebankan sebagai biaya (non-deductible


expenses). Adalah pengeluaran/beban/biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yangbukan merupakan Objek Pajak atau pengeluaran dilakukan tidak
dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang baik. Oleh
karena itu, pengeluaran yang melampaui batas kewajaran yang dipengaruhi oleh hubungan
istimewa tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto

Berdasar Pasal 6 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, besarnya Penghasilan Kena Pajak
bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan
bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan termasuk;

a. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara
lain:
1) biaya pembelian bahan;
2) biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium,
bonus, gratinkasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang;
3) bunga,sewa,danroyalti;
4) biaya perjalanan;
5) biaya pengolahan limbah;
6) premi asuransi;
7) biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan;
8) biaya administrasi; dan
9) pajak kecuali Pajak Penghasilan.
Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran-pengeluaran tersebut harus
mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha atau kegiatan
102

untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak.
Pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
bukan merupakan Objek Pajak tidak boleh dibebankan sebagai biaya.

Contoh:
Dana Pensiun A yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan
memperoleh penghasilan bruto yang terdiri dari:

Penghasilan yang bukan merupakan


Objek Pajak sesuai Rp 100.000.000
Penghasilan bruto lainnya Rp300.000.000 (+)
Jumlah penghasilan bruto Rp400.000.000

Apabila seluruh biaya adalah sebesar Rp200.000.000, biaya yang boleh dikurangkan
untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan adalah: 3/4 x Rp200.000.000 =
Rpl50.000.000.
Demikian pula bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli saham tidak dapat
dibebankan sebagai biaya sepanjang dividen yang diterimanya tidak merupakan Objek Pajak.
Bunga pinjaman yang tidak boleh dibiayakan tersebut dapat dikapitalisasi sebagai penambah
harga perolehan saham.
Pengeluaran-pengeluaran yang tidak ada hubungannya dengan upaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, misalnya pengeluaran-pengeluaran
untuk keperluan pribadi pemegang saham, pembayaran bunga atas pinjaman yang
dipergunakan untuk keperluan pribadi peminjam serta pembayaran premi asuransi untuk
kepentingan pribadi, tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Pembayaran premi asuransi oleh
pemberi kerja untuk kepentingan pegawainya boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan, tetapi
bagi pegawai yang bersangkutan premi tersebut merupakan penghasilan.
Pengeluaran-pengeluaran sehubungan dengan pekerjaan yang boleh dikurangkan dari penghasilan
bruto harus dilakukan dalam bentuk uang. Pengeluaran yang dilakukan dalam bentuk natura atau
kenikmatan, misalnya fasilitas menempati rumah dengan cuma-cuma, tidak boleh dibebankan
sebagai biaya, dan bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan.
Namun, pengeluaran dalam bentuk natura atau kenikmatan tertentu boleh dibebankan sebagai
biaya dan bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan.
Pengeluaran-pengeluaran yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam
batas-batas yang wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang baik. Dengan demikian,
apabila pengeluaran yang melampaui batas kewajaran tersebut dipengaruhi oleh hubungan
istimewa, jumlah yang melampaui batas kewajaran tersebut tidak boleh dikurangkan dari
penghasilan bruto.
Pajak-pajak yang menjadi beban perusahaan dalam rangka usahanya selain Pajak Penghasilan,
misalnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Meterai (BM), Pajak Hotel, dan Pajak Restoran,
dapat dibebankan sebagai biaya.
Mengenai pengeluaran untuk promosi perlu dibedakan antara biaya yang benar-benar
dikeluarkan untuk promosi dan biaya yang pada hakikatnya merupakan sumbangan. Biaya yang
benar-benar dikeluarkan untuk promosi boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Besarnya
biaya promosi dan penjualan yang diperkenankan sebagai pengurang penghasilan bruto diatur
103

dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih
dari 1 (satu) tahun;
Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan harta tak berwujud serta
pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun,
pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi. Pengeluaran yang menurut
sifatnya merupakan pembayaran di muka, misalnya sewa untuk beberapa tahun yang dibayar
sekaligus, pembebanannya dapat dilakukan melalui alokasi.
c.iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan;
d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan
digunakan
dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan;
Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki tetapi tidak digunakan dalam
perusahaan, atau yang dimiliki tetapi tidak digunakan untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
e. kerugian selisih kurs mata uang asing;
f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
g. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
h. piutang yang nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat:
1) telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
2) Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada
Direktorat Jenderal Pajak; dan
3) telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi
pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis
mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur
yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau
khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan
untuk jumlah utang tertentu;
4) syarat pada huruf c) tidak berlaku untuk menghapuskan piutang tak tertagih
debitur kecil; yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan;
i. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah;
j. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia
yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
k. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah;
l. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah;
m. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dalam
Peraturan Pemerintah;
104

2. Kompensasi Kerugian.
Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan tersebut didapat erugian, kerugian tersebut
ikompensasikan
dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.

Contoh:
PT A dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar Rp 1.200.000.000 (satu miliar dua ratus juta
rupiah). Dalam 5 (lima) tahun berikutnya laba rugi fiskal PT A sebagai berikut:

2010 : laba fiskal Rp 200.000.000


2011 : rugi fiskal (Rp 300.000.000)
2012 :labafiskal RpNIHIL
2013 : laba fiskal Rp 100.000.000
2014: laba fiskal Rp 800.000.000
Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut:

Rugi fiscal tahun 2009 ( Rp. 1.200.000.000 )


Laba fiscal tahun 2010 Rp. 200.000.000 (+)
Sisa rugi fiscal tahun 2009 (Rp. 1.000.000.000)
Rugi fiscal tahun 2011 (Rp. 300.000.000)
Sisa rugi fiscal tahun 2009 (Rp. 1.000.000.000)
Laba fiscal tahun 2012 Rp. N I H I L (+)
Sisa rugi fiscal tahun 2009 (Rp. 1.000.000.000)
Laba fiscal tahun 2013 Rp. 100.000.000(+)
Sisa rugi fiscal tahun 2009 (Rp. 900.000.000)
Laba fiscal tahun 2014 Rp. 800.000.000(+)
Sisa rugi fiscal tahun 2009 (Rp. 100.000.000)
Rugi fiskal tahun 2009 sebesar Rp100.000.000 (seratus juta rupiah) yang masih tersisa pada akhir
tahun 2014 tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 2015, sedangkan rugi fiskal
tahun 2011 sebesar Rp300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) hanya boleh dikompensasikan dengan laba
fiskal tahun 2015 dan tahun 2016, karena jangka waktu lima tahun yang dimulai sejak tahun 2012
berakhir pada akhir tahun 2016.

3. Pengertian PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak)


PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) yaitu merupakan besarnya penghasilan yang menjadi
batasan tidak kena pajak bagi Wajib Pajak Orang yang Pribadi, dengan kata lain apabila
penghasilan neto Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
lainnya maka jumlahnya dibawah PTKP tidak akan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) dan
memiliki Pasal 25/29. Apabila berstatus sebagai pegawai atau penerima penghasilan sebagai
objek PPh Pasal 21, maka penghasilan tersebut tidak akan dapat dilakukan dalam pemotongan
PPh Pasal 21.

Pada saat ini pengaturan ketentuan berkaitan dengan PTKP diatur dalam PMK Nomor
101/PMK.010/2016 mengatur tentang PTKP 2016 yang naik sebesar 50% dari tarif PTKP 2015.
Kenaikan PTKP 2016 terbilang cukup cepat mengingat pada tahun 2015 pemerintah juga sempat
menaikkan besarnya tarif PTKP. Kenaikan PTKP 2016 ini tentu merupakan kabar baik, karena
105

dengan demikian pajak penghasilan yang dipotong untuk karyawan menjadi lebih kecil..
Besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak ini tidak sama dari tahun ke tahun. Pemerintah melalui
Kementerian Keuangan telah menetapkan perubahan PTKP berdasarkan sejumlah pertimbangan
seperti kondisi perekonomian nasional, pergerakan upah minimum dan biaya hidup manusia.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 101/PMK.010/2016 tentang
Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak, PTKP Indonesia yaitu sebesar Rp 54 juta.
Jika wajib pajak sudah kawin, terdapat tambahan senilai Rp 4,5 juta. Begitu pula jika wajib pajak
memiliki tambahan tanggungan untuk setiap anggota keluarga sedarahnya, maka akan dikenai
tambahan senilai Rp 4,5 juta.

Berikut ini adalah tabel jumlah PTKP yang berlaku sejak tahun 2019, yaitu antara lain:
Kode
Tahun 2016-2019
PTKP
TK/0 Rp 54.000.000
K/0 Rp 58.500.000
K/1 Rp 63.000.000
K/2 Rp 67.500.000
Rp 72.000.000
K/3
Macam – Macam Tarif PTKP 2019
PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) juga memiliki tiga golongan WP orang pribadi dalam
tarif PTKP tahun 2019, yaitu antara lain:

1. Tarif PTKP Tahun 2019 Pria/Wanita Lajang Kode TK (Tidak Kawin)


 TK/0 adalah Tarif PTKP untuk Pria/Wanita lajang tanpa adanya tanggungan atau
tanggungan sebesar Rp 54.000.000./tahun.
 TK/1 adalah Tarif PTKP untuk Pria/Wanita lajang dengan adanya 1 tanggungan(berupa
ibu, bapak, atau anak) tanggungan sebesar Rp 58.500.000./tahun.
 TK/2 adalah Tarif PTKP untuk Pria/Wanita lajang dengan adanya 2 tanggungan(berupa
ibu, bapak, atau anak) tanggungan sebesar Rp 63.000.000./tahun.
 TK/3 adalah Tarif PTKP untuk Pria/Wanita lajang dengan adanya 3 tanggungan(berupa
ibu, bapak, atau anak) tanggungan sebesar Rp 67.500.000./tahun.

2. Tarif PTKP Tahun 2019 Pria Kawin Kode K (Kawin)


 K/0 adalah Tarif PTKP untuk Pria sudah kawin tanpa adanya tanggungan hanya Pria
tersebut dan istrinya sebesar Rp 58.500.000./tahun.
 K/1 adalah Tarif PTKP untuk Pria sudah kawin mempunyai 1 tanggungan(berupa ibu,
bapak, atau anak) sebesar Rp 63.000.000./tahun.
 K/2 adalah Tarif PTKP untuk Pria sudah kawin mempunyai 2 tanggungan(berupa ibu,
bapak, atau anak) sebesar Rp 67.500.000./tahun.
 K/3 adalah Tarif PTKP untuk Pria sudah kawin mempunyai 3 tanggungan(berupa ibu,
bapak, atau anak) sebesar Rp 72.000.000./tahun.

3. Tarif PTKP Tahun 2019 Penghasilan Suami dan Istri Kode KI (Kawin + Istri)
106

 KI/0 adalah Tarif PTKP untuk Penghasilan Suami dan Istri digabung tanpa tanggungan
hanya Suami dan istrinya sebesar Rp 112.500.000./tahun.
 KI/1 adalah Tarif PTKP untuk Penghasilan Suami dan Istri digabung dengan 1
tanggungan(berupa ibu, bapak, atau anak) sebesar Rp 117.000.000./tahun.
 KI/2 adalah Tarif PTKP untuk Penghasilan Suami dan Istri digabung dengan 2
tanggungan(berupa ibu, bapak, atau anak) sebesar Rp 121.500.000./tahun.
 KI/3 adalah Tarif PTKP untuk Penghasilan Suami dan Istri digabung dengan 3
tanggungan(berupa ibu, bapak, atau anak) sebesar Rp 126.000.000./tahun.

Wajib Pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis
keturunan lurus yang menjadi tanggungan sepenuhnya, misalnya orang tua, mertua, anak
kandung, atau anak angkat diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk paling
banyak 3 (tiga) orang. Anggota keluarga tersebut dapat menjadi tanggungan sepenuhnya apabila
tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak.

Sistem pengenaan pajak berdasarkan undang-undang ini menempatkan keluarga sebagai satu
kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga digabungkan
sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak dan pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala
keluarga. Namun, dalam hal-hal tertentu pemenuhan kewajiban pajak tersebut dilakukan secara
terpisah.
Penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian
tahun pajak dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya dan dikenai pajak sebagai satu
kesatuan. Penggabungan tersebut tidak dilakukan dalam hal penghasilan istri diperoleh dari pekerjaan
sebagai pegawai yang telah dipotong pajak oleh pemberi kerja, dengan ketentuan bahwa:
1. penghasilan istri tersebut semata-mata diperoleh dari satu pemberi kerja,
2. penghasilan istri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan
usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
Contoh:
Wajib Pajak A yang memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar Rp 100.000.000 (seratus juta
rupiah) mempunyai seorang istri yang menjadi pegawai dengan penghasilan neto sebesar
Rp70.000.000 (tujuh puluh juta rupiah). Apabila penghasilan istri tersebut diperoleh dari satu pemberi
kerja dan telah dipotong pajak oleh pemberi kerja dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan
usaha suami atau anggota keluarga lainnya, penghasilan neto sebesar Rp70.000.000 (tujuh puluh juta
rupiah) tidak digabung dengan penghasilan A dan pengenaan pajak atas penghasilan istri tersebut
bersifat final. Apabila selain menjadi pegawai, istri A juga menjalankan usaha, misalnya salon kecantikan
dengan penghasilan neto sebesar Rp80.000.000 (delapan puluh juta rupiah), seluruh penghasilan istri
sebesar Rp 150.000.000 (Rp70.000.000 + Rp80.000.000) digabungkan dengan penghasilan A. Dengan
penggabungan tersebut, A dikenai pajak atas penghasilan neto sebesar Rp250.000.000 (Rp100.000.000
+ Rp70.000.000 + Rp80.000.000). Potongan pajak atas penghasilan istri tidak bersifat final, artinya dapat
dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas penghasilan sebesar Rp250.000.000 (dua ratus lima puluh
juta rupiah) tersebut yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Dalam hal suami-istri telah hidup berpisah berdasarkan keputusan hakim, penghitungan Penghasilan
Kena Pajak dan pengenaan pajaknya dilakukan sendiri-sendiri. Apabila suami istri mengadakan perjanjian
pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis atau jika istri menghendaki untuk menjalankan hak dan
kewajiban perpajakannya sendiri, penghitungan pajaknya dilakukan berdasarkan penjumlahan
penghasilan neto suami-istri dan masing-masing memikul beban pajak sebanding dengan besarnya
107

penghasilan neto.
Contoh:
Penghitungan pajak bagi suami-istri yang mengadakan perjanjian pemisahan penghasilan secara
tertulis atau jika istri menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri
adalah sebagai berikut.
Wajib Pajak A pada contoh sebelumnya, istri Wajib Pajak A menjalankan usaha salon kecantikan,
pengenaan pajaknya dihitung berdasarkan jumlah penghasilan sebesar Rp250.000.000 (dua ratus
lima puluh juta rupiah). Misalnya, pajakyang terutang atas jumlah penghasilan tersebut adalah
sebesar Rp27.550.000 (dua puluh tujuh juta lima ratus lima puluh ribu rupiah) maka untuk masing-
masing suami dan istri pengenaan pajaknya dihitung sebagai berikut:
-Suami: 100.000.000/250.000.000x27.550.000 = 11.020.000
-Istri: 150.000.000/250.000.000x27.550.000 = 16.530.000

Penghasilan anak yang belum dewasa dari mana pun sumber penghasilannya dan apa pun sifat
pekerjaannya digabung dengan penghasilan orang tuanya dalam tahun pajak yang sama. Dalam
perpajakan, anak yang belum dewasa adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan
belum pernah menikah. Apabila seorang anak belum dewasa, yang orang tuanya telah berpisah,
menerima atau memperoleh penghasilan, pengenaan pajaknya digabungkan dengan penghasilan
ayah atau ibunya berdasarkan keadaan sebenarnya.

E. PENYUSUTAN (DEPRESIASI) DAN AMORTISASI


1. Penyusutan
Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih
dari satu tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan dengan cara mengalokasikan pengeluaran tersebut selama masa manfaat harta yang
bersangkutan melalui penyusutan (depresiasi). Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh tanah
hak milik, tanah hak guna usaha, hak guna usaha dan pakai tidak boleh disusutkan, kecuali jika
tanah tersebut berkurang karena digunakan untuk memperoleh penghasilan, seperti perusahaan
genteng, perusahaan keramik, dan perusahaan batu bara.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan besarnya biaya penyusutan adalah saat
dimulainya penyusutan, metode penyusutan, kelompok masa manfaat dan tarif penyusutan, dan
harga perolehan. Penentuan besarnya harga perolehan akan dibahas dalam penentuan
perolehan/penjualan atau nilai perolehan/penjualan.

a. Saat Dimulainya Penyusutan


Penyusutan harta berwujud dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, atau pada bulan
selesainya pengerjaan suatu harta sehingga penyusutan pada tahun pertama dihitung secara
prorata. Namun berdasarkan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, saat dimulainya penyusutan
dapat dilakukan pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan atau pada bulan harta tersebut mulai menghasilkan (saat mulai
berproduksi dan tidak dikaitkan dengan saat diterimanya atau diperolehnya penghasilan).

Contoh 1
108

Pengeluaran untuk pembangunan sebuah gedung sebesar Rp 100.000.000. Pembangunan


dimulai pada bulan Oktober 2008. Bangunan tersebut selesai dan siap digunakan pada bulan
Maret 2009. Penyusutan atas harga perolehan bangunan gedung tersebut dimulai pada bulan
Maret 2009.

Contoh 2
Sebuah mesin dibeli dan ditempatkan pada bulan Juli 2009 dengan harga perolehan Rp
100.000.000, masa manfaat mesin adalah 4 (empat) tahun, tarif penyusutan 50% (lima puluh
persen). Penyusutan atas harga perolehan mesin tersebut dimulai pada bulan Juli 2009.

Contoh 3
PT X yang bergerak di bidang perkebunan membeli traktor pada tahun 2008. Perkebunan
tersebut diperkirakan mulai menghasilkan (panen) pada tahun 2009. Penyusutan traktor tersebut
dimulai pada tahun 2009. Akan tetapi dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, penyusutan
traktor tersebut dapat dilakukan mulai tahun 2008.

b. Metode Penyusutan
Metode penyusutan yang diperbolehkan untuk kelompok harta berwujud dikelompokkan
menjadi dua, yaitu penyusutan harta berwujud bangunan dan harta berwujud selain (bukan)
bangunan. Untuk harta berwujud selain (bukan) bangunan, Wajib Pajak diperbolehkan memilih
metode penyusutan, yaitu dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat
atau dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan
cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa
buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas. Dengan kata lain metode
yang diperbolehkan adalah metode garis lurus (straight-line method) atau saldo menurun
(declining balanced method) di mana pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus
(closed ended). Untuk harta berwujud bangunan, Wajib Pajak hanya dapat menggunakan metode
garis lurus.
Penghitungan penyusutan setiap tahun untuk metode garis lurus adalah harga perolehan dibagi
masa manfaat. Jika terdapat nilai residu maka tidak boleh dikurangkan dari harga perolehan.
Penghitungan penyusutan setiap tahun untuk metode saldo menurun adalah tarif penyusutan
dikalikan nilai sisa buku.

c. Kelompok Masa Manfaat Harta dan Tarif Penyusutan


Besarnya penyusutan suatu periode dipengaruhi oleh metode yang digunakan, besarnya harga
perolehan harta berwujud, dan masa manfaat dari harta berwujud tersebut. Untuk memberikan
kepastian hukum bagi Wajib Pajak dalam melakukan penyusutan atas pengeluaran harta berwujud,
Pasal 11 UU No. 36 Tahun 2008 mengatur masa manfaat harta berwujud dan tarif penyusutan, baik
menurut metode garis lurus maupun saldo menurun. Jenis harta yang termasuk dalam kelompok
harta berwujud bukan bangunan untuk keperluan penyusutan sesuai dengan Kep. Men Keu No
96/PMK.03/2009 ada pada

Lampiran 2. Masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud diatur sebagai berikut:

Tarif Penyusutan
109

Kelompok Harta Berwujud Masa Manfaat Garis Lurus Saldo Menurun


I. Bukan Bangunan:
 Kelompok I 4 tahun 25 % 50 %
 Kelompok II 8 tahun 12,5 % 25 %
 Kelompok III 16 tahun 6,25 % 12,5 %
 Kelompok IV 20 tahun 5% 10 %
II. Bangunan:
 Permanen 20 tahun 5% _
 Tidak Pemanen 10 tahun 10 %

Bangunan tidak permanen adalah bangunan yang bersifat sementara dan terbuat dari bahan yang tidak
tahan lama atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan, yang masa manfaatnya tidak lebih dari 10
(sepuluh) tahun, misalnya barak atau asrama yang terbuat dari kayu. Jenis-jenis harta berwujud untuk
setiap kelompok harta dapat dilihat pada lampiran buku ini.

Dalam hal terjadi penjualan atau pengalihan harta berwujud, maka jumlah nilai sisa buku
dibebankan sebagai kerugian, sedangkan jumlah harga jual atau penggantian asuransi dibukukan
sebagai penghasilan pada tahun terjadinya pengalihan atau penarikan harta. Kerugian sebesar nilai
sisa buku harta karena penggantian asuransi yang jumlahnya baru diketahui di masa kemudian,
dibukukan sebagai beban masa kemudian dengan persetujuan Dirjen Pajak. Jika pengalihan harta
berwujud digunakan sebagai bantuan atau sumbangan, harta hibahan atau warisan, jumlah nilai sisa
buku tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.
Contoh 1
Wajib Pajak membeli sebuah bangunan permanen dengan harga perolehan Rp 100.000.000.
Bangunan tersebut mulai digunakan pada tanggal 1 Januari 2007. Sesuai ketentuan perpaj akan,
bangunan tersebut termasuk harta berwujud dengan masa manfaat 20 tahun dan hanya diperbolehkan
menggunakan metode garis lurus.

Penyusutan setiap tahunnya adalah Rp5.000.000 (yaitu Rp100.000.000:20).


Besarnya penyusutan setiap tahun dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tahun Penyusutan Nilai Sisa Buku


2007 Rp5.000.000 Rp95.000.000
2008 Rp5.000.000 Rp90.000.000
2009 Rp5.000.000 Rp85.000.000
dst. dan seterusnya dan seterusnya
2026 Rp5.000.000 0

Contoh 2
Wajib Pajak memiliki sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Januari 2007 dengan
harga perolehan Rpl50.000.000. Mesin tersebut termasuk harta bukan bangunan kelompok I
110

dengan masa manfaat empat tahun. Wajib Pajak memilih metode saldo menurun. Berdasar
ketentuan, harta bukan bangunan kelompok I disusut 50% dari nilai sisa setiap tahunnya.
Penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut:

Tahun Tarif Penyusutan Milai Sisa Buku


- - Rpl50.000.000
2007 50% 50% x Rpl50.000.000 = Rp75.000.000 Rp 75.000.000
2008 50% 50% x Rp75.000.000 = Rp37.500.000 Rp 37.500.000
2009 50% 50% x Rp37.500.000 = Rpl8.750.000 Rp 18.750.000
2010 50% Rp 18. 750.000  = nilai sisa buku tahun Rp0 (disusutkan

2010 sekaligus)

Contoh 3
Wajib Pajak membeli sebuah kendaraan pada bulan Januari 2008 dengan harga perolehan
Rp200.000.000. Kendaraan tersebut mulai dioperasikan pada bulan April 2008. Menurut akuntansi
perkiraan umur ekonomis kendaraan tersebut adalah 10 tahun, dengan nilai sisa 10% dari harga
perolehan. Sementara menurut perpajakan kendaraan tersebut termasuk harta berwujud kelompok
II (umur ekonomis 8 tahun, tarif penyusutan 12,5% dengan metode garis lurus).

Penyusutan setiap tahunnya adalah Rp25.000.000 (yaitu 12,5% x Rp200.000.000).


Besarnya penyusutan setiap tahun dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tahun Penyusutan Nilai Sisa Buku


— Rp.200.000.000
2008 9 : 12 x Rp25.000.000= Rpl 8.750.000 Rp.l 8 1.250.000
2009 Rp25.000.000 Rp.l56.250.000
2010 Rp25.000.000 Rp.l31.250.000
2011 Rp25.000.000 Rp.l06.250.000
2012 Rp25.000.000 Rp. 81.250.000
2013 Rp25.000.000 Rp. 56.250.000
2014 Rp25.000.000 Rp. 31.250.000
2015 Rp25.000.000 Rp. 6.250.000
2016 3 : 12 x Rp25.000.000 = Rp6.250.000 -
111

d. Penyusutan Harta Berwujud Tertentu


Terhadap harta berwujud tertentu berikut ini, penyusutannya diatur secara khusus.
a. Atas biaya perolehan atau pembelian telepon seluler yang dimiliki dan digunakan perusahaan
untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya, dapat dibebankan sebagai biaya
perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah biaya perolehan atau pembelian
melalui penyusutan aset tetap kelompok I. Sedangkan atas biaya berlangganan atau pengisian
ulang pulsa dan perbaikan
telepon seluler yang dimiliki dan digunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan
atau pekerjaannya, dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh
persen) dari jumlah biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan dalam tahun
pajakyang bersangkutan.
b. Atas biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan bus, minibus, atau
yang sejenis yang dimiliki dan digunakan perusahaan untuk antar jemput para pegawai, dapat
dibebankan seluruhnya sebagai biaya perusahaan melalui penyusutan aset tetap kelompok II.
Sedangkan atas biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan bus, minibus, atau yang
sejenis yang dimiliki dan digunakan perusahaan untuk antar jemput para pegawai, dapat
dibebankan
seluruhnya sebagai biaya perusahaan dalam tahun pajakyang bersangkutan.
c. Atas biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan sedan atau yang sejenis
yang dimiliki dan digunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau
pekerjaannya, dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen) dari
jumlah biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar melalui penyusutan aset tetap
kelompok II. Sedangkan atas biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan (jenis kendaraan
bus, minibus, atau
yang sejenis) yang dimiliki dan digunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan
atau pekerjaannya dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh
persen) dari jumlah biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin dalam tahun pajak yang
bersangkutan.

2. Amortisasi
a. Penyusutan/Amortisasi untuk Penanaman Modal Bidang Tertentu
Untuk penanaman modal dalam bidang-bidang usaha tertentu dan/atau daerah-daerah tertentu
diberikan fasilitas terhadap percepatan penyusutan dan amortisasi. Sesuai PP No. 1/2007
(Amendemen PP No.148/2000), jenis usaha, tarif penyusutan, dan amortisasi yang dipercepat
adalah:

1. Jenis industri terdiri atas industri makanan lainnya; tekstil dan pakaian j adi; bubur kertas, kertas,
dan karton; bahan kimia industri; barans kimia lain, karet, dan barang dari karet; barang kimia
lain; barang dari porselen; logam dasar besi dan baja; kelompok industri logam dasar bukan
besi; mesin dan perlengkapannya; industri motor listrik, generator, dan transformator;
elektronika dan telematika; alat angkut darat; pembuatan dan perbaikan kapal dan perahu;
pembuatan logam dasar bukan besi; sembilan kelompok usaha di daerah tertentu meliputi
industri pengolahan makanan; pengelolaan sumber daya alam berbasis agro; kemasan dan
kotak dari kertas dan karton; barang dari plastik; kelompok industri semen kapur dan gips;


112

furnitur; penangkapan ikan laut dan pengolahannya dalam usaha terpadu; dan penangkapan
Crustacea laut dan pengolahannya dalam usaha terpadu. Fasilitas tersebut hanya akan
diberikan
kepada Wajib Pajak dalam negeri berbentuk perseroan terbatas dan koperasi.

2. Tarif penyusutan dan amortisasi dipercepat, dapat dilihat pada tabel berikut:

Kelompok Aset Tetap Masa manfaat Tarif penyusutan/amortisasi


Berwujud menjadi Garis lurus Garis komando
I. Bukan Bangunan:
- Kelompok I 2 tahun 50% 100%
- Kelompok II 4 tahun 25% 50%
- Kelompok III 6 tahun 16,67% 33,33%
- Kelompok IV 8 tahun 12,5% 25%
II. Bangunan:
- Permanen 10 tahun 10% -
- Tidak Permanen 5 tahun 20% -
b. Amortisasi.
Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya
termasuk perpanjangan hak-hak atas tanah yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu
tahun, diamortisasi dengan metode garis lurus (straight-line method) maupun metode saldo
menurun (declining balanced method). Dalam metode saldo menurun, nilai buku harta tak
berwujud, atau hak-hak tersebut diamortisasi sekaligus pada akhir masa manfaatnya.
Pengelompokan harta tak berwujud, masa manfaat, dan tarif amortisasi dapat dilihat pada tabel
berikut ini:

Kelompok Harta Masa Tarif Amortisasi


Tak Berwujud Manfaat Garis Lurus Saldo Menurun
• Kelompok I 4 tahun 25% 50%
• Kelompok II 8 tahun 12,5% 25%
• Kelompok III 16 tahun 6,25% 12,5%
• Kelompok IV 20 tahun 5% 10%

Pengeluaran-pengeluaran berikut ini juga akan diamortisasi sesuai dengan ketentuan kelompok
harta tak berwujud, masa manfaat, dan tarif amortisasi seperti tabel di atas:
•Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu perusahaan yang
dibebankan dalam tahun terjadinya pengeluaran.
•Pengeluaran yang dilakukan sebelum operas! komersial yang mempunyai masa manfaat
lebih dari satu tahun, seperti biaya studi kelayakan dan biaya produksi percobaan,
sedangkan biaya operasional yang bersifat rutin seperti rekening listrik dan telepon,
113

gaji pegawai, dan biaya kantor lainnya tidak boleh dikapitalisasi tetapi dibebankan sekaligus
pada tahun pengeluaran (tidak diamortisasi).
Seperti halnya dalam penyusutan, amortisasi harta tak berwujud dan pengeluaran tersebut
jika menggunakan metode saldo menurun, nilai sisa buku pada tahun terakhir masa manfaat akan
diamortisasi sekaligus dengan syarat dilakukan secara taat asas. Untuk harta tidak beujud yang masa
manfaatnya tidak tercantum pada kelompok masa manfaat yang ada, maka Wajib Pajak
menggunakan masa manfaat yang terdekat. Misalnya masa manfaat yang sebenarnya enam tahun,
maka dapat menggunakan kelompok masa manfaat delapan tahun atau empat tahun. Sedangkan
jika masa manfaat harta tak berwujud sebenarnya adalah lima tahun, maka harta tak berwujud
tersebut diamortisasi dengan menggunakan masa manfaat empat tahun. Amortisasi dimulai pada
bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk bidang usaha tertentu diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan.
Contoh 1
PT Alfiano pada tanggal 2 Januari 2008 mengeluarkan uang sebesar Rp200.000.000 untuk
memperoleh waralaba dari Kentucky Fried Chicken (KFC) selama 4 tahun untuk memroduksi
ayam goreng KFC. Penghitungan amortisasi untuk setiap metode yang diperbolehkan dipilih
sebagai berikut:

Tahun Metode Garis Lurus Metode Saldo Menurun


Amortisasi Nilai Sisa Buku Amortisasi Nilai Sisa Buku

25% x Rp200.000.000 50% x Rp200.000.000


2008 Rp 150.000.000 Rpl00.000.000
= Rp50.000.000 = Rpl00.000.000

25% x Rp200.000.000 50% x Rpl00.000.000


2009 Rpl00.000.000 Rp50.000.000
= Rp50.000.000 = Rp50.000.000

25% x Rp200.000.000 50% x Rp50.000.000


2010 Rp50.000.000 Rp25.000.000
= Rp50.000.000 = Rp25.000.000

Rp25.000.000
25% x Rp200.000.000 Rp0 (diamortisasi
2011 Rp.0 (= nilai sisa buku akhir
= Rp50.000.000 sekaligus)
tahun 2010)

c. Amortisasi di Bidang Penambangan Minyak dan Gas Bumi.


Pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat
lebih dari satu tahun di bidang penambangan minyak dan gas bumi diamortisasi dengan metode
satuan produksi. Metode satuan produksi dilakukan dengan menerapkan persentase amortisasi.
Besarnya persentase amortisasi setiap tahun sama dengan persentase perbandingan antara
114

realisasi penambangan minyak dan gas bumi pada tahun yang bersangkutan dan taksiran jumlah
seluruh kandungan minyak dan gas bumi yang dapat diproduksi di lokasi tersebut. Apabila
jumlah produksi yang sebenarnya lebih kecil dari yang diperkirakan, sehingga masih terdapat
sisa pengeluaran untuk memperoleh hak atau pengeluaran lain, sisa pengeluaran tersebut
boleh dibebankan sekaligus dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Contoh 2
Pada awal tahun 2008, PT X mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak penambangan minyak dan
gas bumi di suatu lokasi sebesar Rp500.000.000. Taksiran jumlah kandungan minyak di
daerah tersebut adalah 200.000 barel. Realisasi produksi selama lima tahun berturut-turut adalah
30.000 barel, 40.000 barel, 60.000 barel, 45.000 barel, dan 25.000 barel. Amortisasi selama lima
tahun dihitung sebagai berikut:

Tahun Persentase Amortisasi Amortisasi Nilai Sisa Buku

15% x Rp500.000.000
2009 30.000 : 200.000 x 100% = 15% Rp425.000.000
= Rp75.000.000
20% x Rp500.000.000
2010 40.000 : 200.000 x 100% = 20% Rp325.000.000
= Rpl00.000.000
30% x Rp500.000.000
2011 60.000 : 200.000 x 100% = 30% Rpl75.000.000
= Rp 150.000.000

22,5% x Rp500.000.000
2012 45.000 : 200.000 x 100% = 22,5% Rp62.500.000
= Rpl 12.500.000

2013 25.000 : 200.000 x 100% = 12,5% Rp62.500.000 -

d.Amortisasi di Bidang Penambangan Selain Minyak dan Gas Bumi.

Pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi, hak pengusahaan
hutan, atau hak pengusahaan sumber alam serta hasil alam lainnya seperti hak pengusahaan hasil laut
yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun diamortisasi berdasarkan metode satuan
produksi dengan jumlah paling tinggi 20% setahun. Jika dalam suatu tahun ternyata jumlah produksi
mencapai lebih 20% (dua puluh persen) dari jumlah potensi yang tersedia, besarnya amortisasi yang
diperkenankan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto pada tahun tersebut adalah 20% (dua
puluh persen) dari pengeluaran untuk memperoleh hak-hak tersebut

Contoh 3
PT Belantara pada tahun 2005 mengeluarkan uang sejumlah Rp500.000.000 untuk memperoleh
hak pengusahaan hutan, yang mempunyai potensi 10.000.000 ton kayu. Jumlah produksi pada
tahun 2009 dan 2010 masing-masing adalah 3.000.000 ton kayu dan 2.000.000 ton kayu.
Amortisasi maksimum yang diperbolehkan dihitung sebagai berikut:

Tahun Jumlah Amortisasi Berdasar Persentase Realisasi Jumlah Amortisasi


115

Maksimal
Produksi
Diperbolehkan (20%)
2009 (3.000.000 ton:10.000.000 ton) x 500.000.000 20% x 500.000.000
=30% x 500.000.000 = 100.000.000
= 150.000.000
2010 (2.000.000 ton:10.000.000 ton) x 500.000.000 20% x 500.000.000
=20% x 500.000.000 = 100.000.000
= 100.000.000

Walaupun jumlah produksi tahun 2009 mencapai 30% (tiga puluh persen) dari jumlah
potensi yang tersedia tetapi besarnya amortisasi yang diperkenankan untuk dikurangkan dari
penghasilan bruto pada tahun tersebut adalah 20% (dua puluh persen) dari pengeluaran, yaitu
sebesar Rpl00.000.000.

e.Amortisasi atas Pengalihan Harta Tak Berwujud/Hak.

Dalam hal terdapat pengalihan harta tak berwujud/hak, nilai sisa buku harta atau hak tersebut
dibebankan sebagai kerugian, sedangkan jumlah penggantian dibukukan sebagai penghasilan
pada tahun terjadinya pengalihan. Jika pengalihan harta tersebut digunakan sebagai bantuan
atau sumbangan, harta hibahan atau warisan, maka jumlah nilai sisa buku tidak boleh
dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.

Contoh 4
PT Ananda mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak penambangan minyak dan gas bumi
di suatu lokasi sebesar Rp500.000.000. Taksiran jumlah kandungan minyak di daerah tersebut
sebanyak 200.000.000 barel. Setelah produksi minyak dan gas bumi mencapai 100.000.000
barel, PT Ananda menjual hak penambangan tersebut kepada pihak lain dengan harga sebesar
Rp300.000.000. Penghitungan penghasilan dan kerugian dari penjualan hak tersebut adalah:

Harga perolehan Rp500.000.000


Amortisasi yang telah dilakukan:
(100.000.000 : 200.000.000) x Rp500.000.000 Rp. 250.000.000(-)
Nilai buku harta Rp. 250.000.000
Harga jual harta Rp. 300.000.000

Dengan demikian, jumlah nilai buku harta sebesar Rp250.000.000 dibebankan sebagai
kerugian dan harga jual harta sebesar Rp300.000.000 dibukukan sebagai penghasilan.

F. PENENTUAN NILAI PEROLEHAN.


Penghitungan penyusutan atau amortisasi dipengaruhi oleh metode, masa manfaat (umur
ekonomis), dan jumlah yang disusudkan (depreciable amount) atau harga perolehan. Dalam hal
perolehan harta secara umum, harga perolehan dihitung dari harga beli ditambah dengan biaya-
biaya yang dikeluarkan sampai harta tersebut siap untuk digunakan. Demikian halnya jika harta
berwujud dibangun/dibuat sendiri, maka harga perolehan merupakan akumulasi pembelian
116

material, tenaga kerja dan overhead pabrik. Jika perolehan harta dipengaruhi oleh hubungan
istimewa, maka nilai atau harga perolehan harta tersebut ditentukan secara berbeda. Penilaian
dalam hubungan istimewa tersebut meliputi jika terjadi jual beli harta; tukar-menukar; likuidasi,
penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan; persediaan dan
pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok; pengalihan harta hibahan, bantuan
atau sumbangan, dan warisan yang memenuhi syarat Pasal 4 ayat (3) huruf a UU PPh; pengalihan
harta sebagai pengganti saham atau pengganti persyaratan Pasal 4 ayat (3) huruf a dan b UU PPh;
pengalihan harta yang tidak memenuhi penyertaan modal,
1. Penilaian dalam Hal Jual Beli Harta
Dalam jual beli secara umum, harga perolehan harta bagi pihak pembeli adalah harga yang
sesungguhnya dibayar dan harga penjualan bagi pihak penjual adalah harga yang sesungguhnya
diterima. Termasuk dalam harga perolehan adalah harga beli dan biaya yang dikeluarkan dalam
rangka memperoleh harta tersebut, seperti bea masuk, biaya pengangkutan dan biaya pemasangan.
Apabila jual beli harta dipengaruhi hubungan istimewa, bagi pihak pembeli nilai perolehannya
adalah jumlah yang seharusnya dibayar dan bagi pihak penjual nilai penjualannya adalah jumlah
yang seharusnya diterima. Adanya hubungan istimewa, bagi pihak pembeli nilai perolehannya
adalah jumlah yang harus nya dibayar dan bagi pihak penjual nilai penjualannya adalah jumlah
yang seharusnya diterima. Adanya hubungan istimewa antara pembeli dan penjual dapat
menyebabkan harga perolehan menjadi lebih besar atau lebih kecil dibandingkan dengan jika jual
beli tersebut tidak dipengaruhi hubungan istimewa. Oleh karena itu, nilai perolehan atau nilai
penjualan harta bagi pihak-pihak yang bersangkutan adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan
atau yang seharusnya diterima.

2. Penilaian dalam Hal Tukar Menukar


Apabila terdapat harta yang diperoleh melalui transaksi tukar menukar dengan harta
lain, nilai perolehan atau nilai penjualannya adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan
atau diterima berdasarkan harga pasar.

Contoh:
PTA PTB
(Harta X) (Harta Y)
Nilai sisa buku Rp 10.000.000 Rpl2.000.000
Harga pasar Rp20.000.000 Rp20.000.000

Antara PT A dan PT B terjadi pertukaran harta. Walaupun tidak terdapat realisasi


pembayaran antara pihak-pihak yang bersangkutan, namun karena harga pasar harta
yang dipertukarkan adalah Rp20.000.000, maka jumlah sebesar Rp20.000.000 merupakan
nilai perolehan yang seharusnya dikeluarkan atau nilai penjualan yang seharusnya
diterima. Selisih antara harga pasar dan nilai sisa buku harta yang dipertukarkan
merupakan keuntungan yang dikenakan pajak. Dalam pertukaran ini PT A memperoleh
keuntungan sebesar RplO.000.000 (= Rp20.000.000 - Rp 10.000.000), dan PT B memperoleh
keuntungan sebesar Rp8.000.000 (= Rp20.000.000 - Rpl2.000.000).

3. Pengalihan Harta dalam Rangka Pengembangan Usaha Berupa


117

Likuidasi, Penggabungan, Peleburan, Pemekaran, Pemecahan, dan


Pengambilalihan Usaha
Apabila terjadi pengalihan harta seperti di atas, nilai perolehan atau pengalihannya
dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar. Selisih
antara harga pasar dengan nilai sisa buku harta yang dialihkan merupakan penghasilan
yang dikenakan pajak.
Contoh:
PT Akbar dan PT Hakim melakukan peleburan usaha dan membentukbadanbaru |
yaitu PT Perdana Ananda. Nilai sisa buku dan harga pasar harta dari kedua bad
tersebut adalah sebagai berikut:

PT Akbar PT Hakim
Nilai sisa buku Rp200.000.000
Rp300.000.000 Rp450.000.000
Harga pasar Rp300.000.000

Pada dasarnya penilaian harta yang diserahkan oleh PT Akbar dan PT Hakin dalam
rangka peleburan menjadi PT Perdana Ananda adalah harga pasar ha yang diserahkan.
Dengan demikian, PT Akbar mendapat keuntungan sebesar j Rpl00.000.000 (=
Rp300.000.000 - Rp200.000.000) dan PT Hakim mendapal keuntungan sebesar
Rpl50.000.000 (= Rp450.000.000 - Rp300.000.000),| Sedangkan PT Perdana
Ananda membukukan semua harta tersebut dengai jumlah Rp750.000.000 (=
Rp300.000.000 + Rp450.000.000). Namun dalam ranghj menyelaraskan dengan kebijakan di
bidang sosial, ekonomi, investasi, moneter dan j kebijakan lainnya, Menteri Keuangan diberi
wewenang untuk menetapkan nilai lain! selain harga pasar, misalnya atas dasar nilai sisa buku
(pooling of interest). Dalam hall demikian PT Perdana Ananda membukukan penerimaan
harta dari PT Akbar dan| PT Hakim tersebut sebesar Rp500.000.000 (= Rp200.000.000 +
Rp300.000.000).

Penggunaan Nilai Buku. Menurut akuntansi komersial, penggabungan, peleburan pemekaran


usaha akan melibatkan pihak yang mengalihkan harta dan pihakya: memperoleh harta,
sesuai metode yang digunakan dalam konsolidasi yaitu:
1) penyatuan kepentingan (pooling of interest).
2) pembelian (purchase).
Dalam perpajakan digunakan metode pembelian (purchase method) ataul berdasarkan
harga pasar, sedang metode penyatuan kepentingan dapat digunakaJ berdasarkan Peraturan
Harta dalam Rangka Penggabunganj Peleburan, atau Pemekaran Usaha. Wajib Pajak dapat
menggunakan nilai buku pada
saat melakukan merger. Pengertian atau batasan merger tersebut yaitu meliputi
penggabungan usaha atau peleburan usaha. Hal yang perlu dipahami terhadap Wajib Pajak
yang melakukan merger atau pemekaran usaha dalam hal menggunakan nilai buku sebagai
dasar pengalihan harta adalah sebagai berikut:
1) Wajib Pajak yang melakukan pemekaran usaha yang dapat menggunakan nilai
buku yaitu:
• Wajib Pajak yang belum Go Public yang akan melakukan penawaran umum perdana
118

(initialpublic offering); atau


•Wajib Pajak yang telah Go Public sepanjang seluruh badan usaha hasil pemekaran
melakukan penawaran umum perdana (initialpublic offering).
2) Bagi Wajib Pajak yang melakukan merger atau pemekaran usaha dalam menggunakan
nilai buku wajib memenuhi syarat:
• mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan alasan dan tujuan
melakukan merger dan pemekaran usaha;
• melunasi seluruh utang pajak dari tiap badan usaha yang terkait;dan
• memenuhi persyaratan tujuan bisnis (businesspurpose test).
3) Wajib Pajak yang melakukan merger dengan menggunakan nilai buku tidak boleh
mengompensasikan kerugian atau sisa kerugian dari Wajib Pajak yang menggabungkan
diri/Wajib Pajak yang dilebur.
4) Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta mencatat nilai perolehan harta tersebut
sesuai dengan nilai sisa buku sebagaimana tercantum dalam pembukuan pihak atau pihak-
pihak yang mengalihkan.
5) Penyusutan atas harta yang diterima pada butir 4 dilakukan berdasarkan masa manfaat
yang tersisa sebagaimana tercantum dalam pembukuan pihak atau pihak-pihak yang
mengalihkan.
6) Apabila merger atau pemekaran usaha dilakukan dalam Tahun Pajak berjalan,
maka jumlah angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 dari pihak atau pihak-pihak
yang menerima pengalihan tidak boleh lebih kecil dari jumlah angsuran yang
wajib dibayar oleh pihak atau pihak-pihak yang mengalihkan.
7) Pembayaran, pemungutan, dan pemotongan Pajak Penghasilan yang telah dilakukan
oleh pihak atau pihak-pihak yang mengalihkan sebelum dilakukannya merger atau
pemekaran usaha dapat dipindahbukukan menjadi pembayaran, pemungutan, atau
pemotongan Pajak Penghasilan dari Wajib Pajak yang menerima pengalihan.

8) Wajib Pajak yang melakukan pemekaran usaha yang akan menjual sahamnya di
bursa efek, selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah memperoleh
persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan pemekaran usaha dengan
menggunakan nilai buku, harus telah mengajukanpernyataan pendaftaran kepada Badan
Pengawas Pasar Modal (BPPM)-Lembaga Keuangan dalam rangka penawaran perdana
(initial public offering) dan pernyataan pendaftaran tersebut telah menjadi efektif.

4. Penilaian karena Hibah, Bantuan, dan Sumbangan


Dalam hal terjadi penyerahan harta karena sumbangan atau bantuan, hibah yang diterima oleh
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan
pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi sepanjang tidak ada
hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang
bersangkutan, atau warisan, nilai perolehan bagi pihak yang menerima harta adalah nilai sisa buku
harta pihak yang melakukan penyerahan. Apabila Wajib Pajak tidak menyelenggarakan
pembukuan sehingga nilai sisa buku tidak diketahui, nilai perolehan atas harta ditetapkan oleh
Menteri Keuangan. Jika penyerahan harta tersebut tidak sesuai dengan syarat yang ada, nilai
perolehan bagi pihak yang menerima harta adalah harga pasar.
119

5. Pengalihan Harta sebagai Pengganti Saham


Permodalan suatu badan dapat dipenuhi dengan setoran tunai atau pengalihan harta. Jika
permodalan tersebut dipenuhi dengan pengalihan harta, nilai harta yang diserahkan sebagai
pengganti saham atau penyertaan modal dinilai berdasarkan nilai pasar harta yang dialihkan
tersebut.
Contoh:
Wajib Pajak X menyerahkan 20 unit mesin bubut yang nilai bukunya Rp25.000.000 kepada PT Y
sebagai pengganti penyertaan sahamnya dengan nilai nominal Rp20.000.000. Harga pasar
mesin-mesin bubut tersebut adalah Rp40.000.000. Dalam hal ini PT Y akan mencatat mesin bubut
tersebut sebagai aset dengan nilai Rp40.000.000 dan sebesar nilai tersebut bukan merupakan
penghasilan bagi PT Y. Selisih antara nilai nominal saham dengan nilai pasar harta, yaitu
Rp20.000.000 ( = Rp40.000.000
- Rp20.000.000) dibukukan sebagai agio. Bagi Wajib Pajak PT X, selisih sebesar Rpl5.000.000
(= Rp40.000.000 - Rp25.000.000) merupakan Objek Pajak.

6. Penilaian Persediaan dan Harga Pokok Penjualan.


Harga pokok penjualan merupakan salah satu biaya langsung yang berkaitan dengan usaha
terutama usaha dagang dan manufaktur. Pada usaha dagang terdapat persediaan barang dagang
sedangkan pada usaha manufaktur terdapat 3 jenis persediaan, yaitu persediaan bahan baku dan bahan
penolong, persediaan barang jadi, dan persediaan barang dalam proses produksi. Persediaan
perlengkapan atau bahan habis pakai tidak termasuk dalam pembahasan ini. Penilaian persediaan
barang didasarkan pada harga perolehan. Penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan
harga pokok penjualan hanya boleh dilakukan dua cara, yaitu:
• metode rata-rata (average), atau
• metode masuk pertama keluar pertama (first in first out—FIFO)

Contoh:
1. Persediaan awal 100 unit @ Rp9
2. Pembelian 100 unit @Rpl2
3. Pembelian 100 unit @ Rpll,25
4. Penjualan/dipakai 100 unit
5. Penjualan/dipakai 100 unit
Penghitungan harga pokokpenjualan dan nilai persediaan jika digunakan metode
rata-rata:

No. Didapat/Dibeli Dipakai/Dijual Sisa/Persediaan


1. • 100@Rp9 =Rp900
2. 100@Rpl2 = Rpl.200 200@RplO,50 = Rp2.100
3. 100 @Rpl 1,25 = Rpl. 125 300 @ RplO.75 = Rp3.225
4. 100 @ RplO.75 = Rpl.075 200@RplO,75 = Rp2.150
5. 1 00 @Rp 10,75 = Rpl.075 100 @ RplO,75 = Rpl.075

Besarnya harga pokok penjualan dengan metode rata-rata adalah Rp2.150.000,


sedangkan nilai persediaan adalah Rpl.075.000.
Penghitungan harga pokok penjualan dan nilai persediaan jika digunakan metode
120

FIFO:

No. Didapat/Dibeli Dipakai/Dijual Sisa/Persediaan


1. 100 @ Rp 9 = Rp900
100 @ Rp 9 = Rp900 100
2. 100 @Rp 12 = Rp 1.200
@Rp 12= Rpl.200
100 @ Rp 9 = Rp900 100
3. 100 @Rpl 1,25 = Rpl.125 @Rp 12= Rpl.200 100 @
Rpl 1,25= Rpl.125
100 @Rp 12= Rpl.200
4. 100 @ Rp9 = Rp 900
100@Rpll,25= Rpl.125
5. 100 @Rpl2 = Rpl.200 100 @Rpl 1,25= Rpl.125

Besarnya harga pokok penjualan dengan metode rata-rata adalah Rp2.100.000, sedangkan
nilai persediaan adalah Rp 1.125.000
Wajib Pajak diperbolehkan memilih salah satu metode tersebut sepanjang dilakukan secara taat
asas, artinya sekali Wajib Pajak memilih salah satu cara penilaian pemakaian persediaan untuk
penghitungan harga pokok penjualan, maka untuk tahun-tahun selanjutnya hams digunakan
cara yang sama.

G.BIAYA YANG TIDAK DIPERKENANKAN (NON-DEDUCTIBLE EXPENSE)


Pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak dapat dibedakan antara pengeluaran
yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto (deductible expenses) dan yang tidak boleh dibebankan
sebagai biaya (non-deductible expenses). Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari
penghasilan bruto adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak.
Pembebanan tersebut dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama masa manfaat
pengeluaran tersebut. Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto (non-
deductible expenses) meliputi pengeluaran yang sifatnya sebagai pemakaian penghasilan, atau yang
jumlahnya melebihi kewajaran. Pengeluaran yang diperkenankan dikurangkan dari penghasilan bruto
diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UU PPh, dan telah dibahas pada bagian sebelumnya. Pengeluaran yang
tidak diperkenankan dikurangkan dari penghasilan bruto bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk
usaha tetap, sesuai Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2008 adalah:

1. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apa pun seperti dividen, termasuk dividen
yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa
hasil usaha koperasi.
Pembagian laba ini tidak boleh dikurangkan dari penghasilan badan yang membagikannya
karena pembagian laba tersebut merupakan bagian dari penghasilan badan yang akan dikenakan
pajak.
2. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham,
sekutu, atau anggota.
Contoh biaya ini adalah perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan, biaya premi asuransi yang
121

dibayar oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi para pemegang saham atau keluarganya.
3. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:
a. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan
kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan
anjak piutang;
b. cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial;
c. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
d. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
e. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
f. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industry untuk usaha
pengolahan limbah industri, yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Besarnya pemupukan dana cadangan atau cadangan piutang tak tertagih diatur sebagai berikut:

1) Usaha bank umum dan sewa guna usaha dengan hak opsi, Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Besarnya cadangan adalah:
• 0,5% (setengah persen) dari kredit yang digolongkan lancar, dan
• 3% (tiga persen) dari kredit yang digolongkan kurang lancar setelah dikurangi dengan nilai
agunan
yang dikuasai, dan
• 50% (lima puluh persen) dari kredit yang digolongkan diragukan setelah
dikurangi dengan nilai agunan yang dikuasai; dan
• 100% (seratus persen) dari kredit yang digolongkan diragukan setelah dikurangi
dengan nilai agunan yang dikuasai.
2) Besarnya nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang pada dana
cadangan ditetapkan atas setinggi-tingginya:
• 100% (seratus persen) dari nilai agunan yang bersifat likuid;
• 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai agunan lainnya, atau sebesar nilai yang
ditetapkan oleh perusahaan penilai.
3) Perusahaan asuransi
Besarnya cadangan premi yang dibentuk adalah 40% dari jumlah premi tanggungan sendiri yang
diterima atau diperoleh dalam tahun pajak yang bersangkutan.
4) Perusahaan pertambangan.
Perusahaan pertambangan yang menurut kontrak diharuskan melakukan reklamasi atas tanah yang
dieksploitasi dapat membentuk atau memupuk cadangan biaya reklamasi mulai tahun produksi
komersial. Besarnya dana cadangan biaya reklamasi dihitung berdasarkan metode satuan
produksi yang didasarkan pada jumlah taksiran biaya reklamasi.
4. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh
pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang
bersangkutan.
Bagi Wajib Pajak orang pribadi, premi asuransi yang dibayarkannya tersebut tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto, dan pada saat penerimaan penggantian atau santunan asuransi,
jumlah tersebut juga bukan merupakan Objek Pajak. Apabila premi tersebut ditanggung atau
122

dibayar oleh pemberi kerja, bagi pemberi kerja pembayaran tersebut merupakan pengurang
penghasilan bruto atau dibebankan sebagai biaya dan bagi pegawai yang bersangkutan
merupakan Objek Pajak.
5. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam
bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh
pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah
tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan.
Sebagaimana telah diuraikan dalam penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf d UU PPh, penggantian
atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan dianggap bukan merupakan Objek Pajak.
Selaras dengan hal tersebut, dalam ketentuan ini penggantian atau imbalan dimaksud dianggap
bukan merupakan pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja.
Namun, dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, pemberian natura dan kenikmatan
berikut ini dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan merupakan
penghasilan pegawai yang menerimanya:
a. penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan
dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tersebut dalam rangka menunjang kebijakan
pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah terpencil;
b. pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan
sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya, seperti
pakaian dan peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan (satpam),
antar jemput karyawan, serta penginapan untuk awak kapal dan yang sejenisnya; dan
c. pemberian atau penyediaan makanan dan atau minuman bagi seluruh pegawai yang berkaitan
dengan pelaksanaan pekerjaan.
6. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada
pihakyang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan
yang dilakukan.
Dalam hubungan pekerjaan, kemungkinan dapat terjadi pembayaran imbalan yang diberikan
kepada pegawai yang juga pemegang saham. Oleh karena pada dasarnya pengeluaran untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang boleh dikurangkan dari penghasilan
bruto adalah pengeluaran yang jumlahnya wajar sesuai dengan kelaziman usaha, berdasarkan
ketentuan ini jumlah yang melebihi kewajaran tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Misalnya, seorang tenaga ahli yang merupakan pemegang saham dari suatu badan memberikan
jasa kepada badan tersebut dengan memperoleh imbalan sebesar Rp50.000.000 (lima puluh juta
rupiah). Apabila untuk jasa yang sama yang diberikan oleh tenaga ahli lain yang setara hanya dibayar
sebesar Rp20.000.000 (dua puluh juta rupiah), jumlah sebesar Rp30.000.000 (tiga puluh juta rupiah)
tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Bagi tenaga ahli yang juga sebagai pemegang saham tersebut
jumlah sebesar Rp30.000.000 (tiga puluh juta rupiah) dimaksud dianggap sebagai dividen.
7. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b UU PPh, kecuali sumbangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m UU PPh serta zakat yang
diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui
di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
123

8. Pajak penghasilan
Pajak penghasilan yang dimaksud adalah Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak.
Contoh, PT Perdana selama tahun 2008 telah membayar angsuran PPh Pasal 25 sebesar
Rpl2.000.000, jumlah ini tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto tahun 2008.
9. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau
orang yang menjadi tanggungannya
Biaya untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang pribadi yang menjadi
tanggungannya pada hakikatnya merupakan penggunaan penghasilan oleh Wajib Pajak yang
bersangkutan.
10. Gaji yang dibayarkan kepada anggota pcrsekutuan, firma, atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham.
Anggota firma, persekutuan, dan perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas
saham diperlakukan sebagai suatu kesatuan, sehingga tidak ada imbalan sebagai gaji.
11. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda
yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan
Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan mengatur pula mengenai pengeluaran dan
biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak Wajib
Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap termasuk:
1. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan
Objek Pajak;
2. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang pengenaan pajaknya
bersirat final;
3. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang dikenakan
pajakberdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Norma Penghitungan Khusus
(perhatikan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang PPh);
4. Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, kecuali pajak atas
penghasilan yang dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan tetapi
tidak termasuk dividen sepanjang Pajak Penghasilan tersebut ditambahkan dalam
penghitungan dasar untuk pemotongan pajak; dan
5. Kerugian dari harta atau utang yang tidak dimiliki dan tidak dipergunakan dalam usaha atau
kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek
Pajak.

Demikian halnya yang berkaitan dengan pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (PPN dan PPnBM) selanjutnya Peraturan Pemerintah mengatur bahwa Pajak Masukan yang
tidak dapat dikreditkan (Pasal 9 ayat (8) Undang-Undang PPN dan
PPnBM) dapat dikurangkan dari penghasilan bruto tetapi terdapat unsur pengecualian.
Pengecualian tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, meliputi:
1. Pajak Masukan (Pasal 9 ayat (8) huruf f dan huruf g) sepanjang tidak dapat dibuktikan
bahwa Pajak Masukan tersebut benar-benar telah dibayar.
2. Pajak Masukan berkenaan dengan pengeluaran yang tidak dapat dikurangkan dalam
menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak (Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Pajak
Penghasilan). Terhadap Pajak Masukan, walaupun dapat dikurangkan dari penghasilan bruto tetapi
124

perlu diperhatikan apabila hal tersebut sehubungan dengan pengeluaran untuk memperoleh
harta berwujud dan atau harta tidak berwujud serta biaya lainnya yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 (satu) tahun (Pasal 11 dan Pasal 11A Undang-Undang Pajak
Penghasilan) terlebih dahulu harus dikapitalisasi dengan pengeluaran/biaya tersebut dan
dibebankan melalui penyusutan dan amortisasi.

H.MENGHITUNG PAJAK PENGHASILAN


Pajak penghasilan yang terutang dihitung dengan mengalikan tarif tertentu terhadap Penghasilan
Kena Pajak (PKP). Penghasilan Kena Pajak yang digunakan sebagai dasar menghitung PPh tersebut
dihitung dengan cara yang berbeda-beda tergantung pada jenis Wajib Pajak. Di samping cara-cara
penghitungan PKP tersebut, terdapat peghitungan PKP dengan menggunakan Norma Penghitungan
Khusus. Norma penghitungan khusus ini diperuntukkan bagi Wajib Pajak tertentu, seperti
perusahaan pelayaran atau penerbangan internasional; perusahaan asuransi luar negeri; perusahaan
pengeboran minyak, gas, dan panas bumi; perusahaan dagang asing; dan perusahaan yang
melakukan investasi dalam bentuk bangun guna serah (build, operate, and transfer). Ketentuan
penghitungan PPh ini telah dibahas pada bagian lain tentang Penentuan Pajak Penghasilan Khusus.
Dalam UU PPh Indonesia dikenal dua golongan Wajib Pajak, yaitu Wajib Pajak dalam negeri
dan Wajib Pajak luar negeri. Bagi Wajib Pajak dalam negeri pada dasarnya terdapat dua cara untuk
menentukan besarnya PKP, yaitu dengan metode pembukuan dan menggunakan Norma Penghitungan.
Bagi Wajib Pajak luar negeri, penentuan besarnya PKP dibedakan menjadi Wajib Pajak luar negeri
yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dan
Wajib Pajak luar negeri lainnya.
Menghitung pajak penghasilan dibedakan menjadi dua yaitu menghitung pajak atas
penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak yang bersangkutan dan menghitung pajak atas penghasilan
pihak lain. Menghitung pajak atas penghasilan sendiri biasanya disebut dengan menghitung pajak
penghasilan terutang. Menghitung pajak atas penghasilan pihak lain dilakukan pada saat Wajib Pajak
membayarkan penghasilan kepada pihak lain dalam bentuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, sewa,
royalti, dan Iain-lain.
Secara umum, pajak penghasilan yang terutang dihitung dengan formula sebagai berikut:

PPh Terutang = Tarif Pajak x Penghasilan Kena Pajak

1.Tar if Pajak
Tarif pajak merupakan persentase tertentu yang digunakan untuk menghitung besarnya PPh. Tarif PPh
yang berlaku di Indonesia dikelompokkan menjadi dua yaitu tarif umum sesuai Pasal 17 UU No. 7
Tahun 1983 (sebagaimana telah diubah beberapa kali dan yang terakhir adalah dalam UU No. 36 Tahun
2008) dan tarif lainnya.
Sistem penerapan tarif Pajak Penghasilan sesuai dengan Pasal 17 UU PPh dibagi menjadi dua,
yaitu Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, dan Wajib Pajak dalam negeri badan dan bentuk usaha
tetap.

a.Tarif PPh untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, yaitu:
125

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak Tarif Pajak

sampai dengan Rp50. 000.000 (lima puluh juta rupiah) 5% (lima persen)

di atas Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan


15% (lima belas persen)
Rp250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah)

di atas Rp250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai


25% (dua puluh lima persen)
dengan Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah)

di atas Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah) 30% (tiga puluh persen)

Contoh:
a. Jumlah Penghasilan Kena Pajak Tuan Akbar pada tahun 2009 adalah Rp45.000.000.
Pajak Penghasilan yang terutang:
5% x Rp45.000.000 Rp2.250.000
b. Jumlah Penghasilan Kena Pajak Tuan Chika pada tahun 2009 adalah Rp200.000.000.
Pajak Penghasilan yang terutang:
5% x Rp50.000.000 Rp 2.500.000

15% x Rpl50.000.000 Rp22.500.000(+)


Rp 25.000.000
c. Jumlah Penghasilan Kena Pajak Tuan Dedy pada tahun 2009 adalah Rp500.000.000.
Pajak Penghasilan yang terutang:
5% x Rp50.000.000 Rp 2.500.000
15% x Rp200.000.000 Rp30.000.000
25% x Rp250.000.000 Rp62.500.000 (+)
Rp95.000.000
d. Jumlah Penghasilan Kena Pajak Tuan Hakim pada tahun 2009 adalah Rp600.000.000.
Pajak Penghasilan yang terutang:
5% x Rp50.000.000 Rp 2.500.000
15% x Rp200.000.000 Rp.30.000.000
25% x Rp250.000.000 Rp 62.500.000
30% x Rpl00.000.000 Rp.30.000.000 (+)
Rp.125.000.000
Untuk keperluan penerapan tarif pajak tersebut, jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke
bawah
dalam ribuan rupiah penuh.
Contoh:
a. Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp25.650.990, maka untuk keperluan penerapan tarif Pajak
Penghasilan, Penghasilan Kena Pajak tersebut dibulatkan ke bawah menjadi Rp25.650.000
b. Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp225.990.499, maka untuk keperluan penerapan tarif Pajak
126

Penghasilan, Penghasilan Kena Pajak tersebut dibulatkan ke bawah. menjadi Rp225.990.000


Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dalam bagian tahun pajak,
dihitung sebanyak jumlah hari dalam bagian tal dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) dikalikan dengan
pajak yang terut tahun pajak. Tiap bulan yang penuh dihitung 30 (tiga puluh) hari.

Contoh:
Penghasilan Kena Pajak setahun sebesar Rp584.160.000
Pajak Penghasilan setahun:
5% x Rp50.000.000 Rp 2.500.000
15% x Rp200.000.000 Rp 30.000.000
25% x Rp250.000.000 Rp 62.500.000
30%xRp84.160.000 Rp 25.248.000 (+)
Rp 120.248.000
Pajak Penghasilan yang terutang dalam bagian tahun pajak (3 bulan):
{(3 x 30) H- 360} x Rpl20.248.000 = Rp30.062.000

b.Tarif PPh untuk Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap adalah 28% (dua puluh
delapan persen). Tarif tersebut menjadi 25% (dua puluh lima persen) berlaku mulai Tahun Pajak
2010.
Tarif pajak untuk Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling
sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di
bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar
5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif untuk Wajib Pajak Badan pada umumnya.

Berdasar Surat Edaran No. SE-66/PJ/2010 tentang penegasan atas pelaksanaan pasal 3IE ayat (1)
UU No. 7 Tahun 1083 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah diubah beberapa kali dan diubah
terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008, bahwa:
1. Wajib Pajak Badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan
tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dijelaskan pada nomor 2 paragraf
pertama (Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a)) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak
dari bagian peredaran bruto sampai dengan
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
2. Fasilitas pengurangan tersebut dilaksanakan secara self assessment pada saat penyampaian
SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan, tidak perlu menyampaikan permohonan untuk dapat
memperoleh fasilitas tersebut.
3. Peredaran bruto tersebut adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan
usaha sebelum dikurangi dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan baik berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, meliputi:
a. Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final;
b. Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan tidak bersifat final;
c. Penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak.
Fasilitas pengurangan tersebut bukan merupakan pilihan.

Contoh 1
127

Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2012 sebesar Rp4.500.000.000 dengan penghasilan
kena pajak sebesar Rp500.000.000 dengan rincian sebagai berikut:
a. Peredaran bruto dari penghasilan yang:
- dikenaiPPhbersifat final Rp 1.500.000.000
- bukan objek pajak Rp 500.000.000
- Dikenai PPh tidak bersifat final Rp 2.500.000.000
Jumlah Rp 4.500.000.000
b. Biaya untuk mendapatkan, menagih
dan memelihara penghasilan usaha yang:
- dikenai PPh bersifat final (Rp 450.000.000)
- bukan objek pajak (Rp 200.000.000)
- dikenai PPh tidak bersifat final (Rpl.350.000.000)
Jumlah (Rp2.000.000.000)
c. Laba usaha (penghasilan neto usaha) Rp 2.500.000.000
d. Penghasilan dari luar usaha yang:
- dikenai PPh bersifat final Rp 50.000.000
- dikenai PPh tidak bersifat final Rp 100.000.000
e. Biaya untuk mendapatkan, menagih
dan memelihara penghasilan usaha yang:
- dikenai PPh bersifat final (Rp 25.000.000)
- dikenai PPh tidak bersifat final (Rp 50.000.000)
Penghasilan neto dari usaha Rp 75.000.000
f. Jumlah seluruh penghasilan neto Rp 2.575.000.000
g. Koreksi fiscal:
- peredaran bruto dari penghasilan
yang dikenai PPh bersifat final (Rpl.500.000.000)
- peredaran bruto dari penghasilan
yang bukan objek pajak (Rp 500.000.000)
- biaya untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan usaha
yang dikenai PPh bersifat final Rp 450.000.000
- biaya untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan usaha
yang bukan objek pajak Rp 200.000.000
- peredaran dari luar usaha yang
dikenai PPh bersifat final (Rp 50.000.000)
- biaya untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan dari luar
usaha yang dikenai PPh bersifat final Rp 25.000.000
Jumlah (Rp. l.375.000.000) ;

h. Jumlah seluruh penghasilan neto seteleh koreksi fiscal Rp 1.200.000.000


i. Kompensasi kerugian (Rp 700.000.000)
j. Penghasilan kena pajak Rp 500.000.000

Penghitungan Pajak Penghasilan terutang:


128

Seluruh penghasilan kena pajak dikenai tarif 50% (lima puluh persen) dari tariff Pajak
Penghasilan badan yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT X (hanya Rp4.500.000.000)
tidak melebihi Rp4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Pajak Penghasilan yang terutang:
(50% x 25%) x Rp500.000.000 = Rp62.500.000

Contoh 2
Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2012 sebesar Rp30.000.000.000 dengan penghasilan
kena pajak sebesar Rp3.000.000.000 dengan rincian sebagai berikut:
a. Peredaran bruto dari penghasilan yang:
- dikenai PPh bersifat final Rp 7.000.000.000
- bukan objek pajak Rp 3.000.000.000
- dikenai PPh tidak bersifat final Rp20.000.000.000
Jumlah Rp 30.000.000.000
b. Biaya untuk mendapatkan, menagih
dan memelihara penghasilan usaha yang:
- dikenai PPh bersifat final (Rp 4.000.000.000)
- bukan objek pajak (Rp 2.000.000.000)
- dikenai PPh tidak bersifat final (Rpl8.000.000.000)
Jumlah (Rp24.000.000.000)

c. Laba usaha (penghasilan neto usaha) Rp 6.000.000.000


d. Penghasilan dari luar usaha yang:
- dikenai PPh bersifat final Rp 50.000.000
- dikenai PPh tidak bersifat final Rp 2.500.000.000
e. Biaya untuk mendapatkan, menagih
dan memelihara penghasilan usaha yang:
- dikenai PPh bersifat final (Rp 25.000.000)
- dikenai PPh tidak bersifat final (Rpl.000.000.000)
Penghasilan neto dari usaha Rp 1.525.000.000
f. Jumlah seluruh penghasilan neto Rp 7.525.000.000

g. Koreksi fiskal
- peredaran bruto dari penghasilan
yang dikenai PPh bersifat final (Rp7.000.000.000)
- peredaran bruto dari penghasilan
yang bukan objek pajak (Rp3.000.000.000)
- biaya untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan usaha
yang dikenai PPh bersifat final Rp 4.000.000.000
- biaya untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan usaha
yang bukan objek pajak Rp 2.000.000.000
- peredaran dari luar usaha yang
dikenai PPh bersifat final (Rp 50.000.000)
129

- biaya untuk mendapatkan, menagih,


dan memelihara penghasilan dari luar
usaha yang dikenai PPh bersifat final Rp 25.000.000
Jumlah ' (Rp 4.025.000.000)

h. Jumlah seluruh penghasilan neto seteleh koreksi fiskal Rp 3.500.000.000


i. Kompensasi kerugian (Rp 500.000.000)
j. Penghasilan kena pajak Rp 3.000.000.000

Penghitungan Pajak Penghasilan terutang:


a. Jumlah penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh
fasihtas:
' (Rp4.800.000.000 / Rp30.000.000.000) x Rp3.000.000.000 = Rp480.000.000
b. Jumlah penghasilan kena pajak dari bagian peredaran usaha yang tidak memperoleh
fasilitas:
Rp3.000.000.000 - Rp480.000.000 = Rp2.520.000.000
Pajak Penghasilan yang terutang:
- (50%x25%)xRp480.000.000 = Rp 60;000.000
- 25% x Rp2.520.000.000 = Rp 630.000.000
Rp 690.000.000
130

Contoh 3
Peredaran bruto PT. Z pada tahun 2012 adalah:
-Terkait PPh bersifat final Rp. 30.000.000.000
-Terkait bukan objek pajak Rp. 10.000.000.000
-Terkait PPh tidak bersifat final Rp. 20.000.000.000
Jumlah peredaran bruto Rp. 60.000.000.000
Penghasilan kena pajak sebesar Rp. 2.000.000.000

Penghitungan Pajak Penghasilan terutang:


Seluruh penghasilan kena pajak dikenai tarif berdasar Pasal 17 ayat (1) huruf b
UU PPh karena jumlah peredaran bruto PT Z sebesar Rp60.000.000.000 telah
melebihi batas maksimal peredaran bruto yang mendapat fasilitas pengurangan
(Rp50.000.000.000).
Pajak Penghasilan yang terutang;
25% x Rp. 2.000.000.000 = Rp. 500.000.000

3. TarifPPh untukpenghasilanberupa dividenyang dibagikan kepadaWajib Pajak orang pribadi dalam


adalah paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat final.

3. Penghasilan Kena Pajak (PKP)


Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif bagi Wajib Pajak dalam negeri dalam suatu tahun
pajak dihitung dengan cara penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dikurangi dengan
pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 7 ayat (1), serta Pasal 9
ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g. Pasal-pasal dan ayat-ayat tersebut telah disebut dalam bab
ini dalam sub bab berikut:

UUPPh

130
131

Sub bab dalam bab ini

Pasal 4 ayat (1) Penghasilan Termasuk Objek Pajak

Pasal 6 ayat (1) Biaya Diperkenankan sebagai Pengurang Objek Pajak

Pasal 6 ayat (2) Kompensasi

Pasal 7 ayat (1) Penghasilan Tidak Kena Pajak

Pasal 9 ayat (1): Biaya Tidak Diperkenankan sebagai Pengurang Objek Pajak:
- huruf c No. 3 -v pembentukan dan pemupukan dana cadangan dengan syarat tertentu.

- huruf d No. 4 -> Premi asuransi tertentu yang dibayar oleh pemberikerja (sebagai Wajib Pajak
orang pribadi) dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang
rnenerima.
- huruf e No. 5 -> Natura dalam bentuk makanan dan minuman bagi seluruh pegawai dan
natura & kenikmatan untuk daerah tertentu diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan
- huruf g No. 7 -> sumbangan dan zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil
zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh
lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah

Penghitungan Penghasilan Kena Pajak tersebut dihitung dengan cara tertentu berdasar pengelompokan
sebagai berikut:
1. Wajib Pajak badan;
2. Wajib Pajak orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan;
3. Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan Norma Penghitungan;
4. Wajib Pajak bentuk usaha tetap;
5. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam suatu bagian tahun pajak

a. Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Badan.

Wajib Pajak badan diwajibkan untuk melakukan pembukuan dengan cara-cara yang telah ditetapkan
dalam KUP. Penghasilan Kena Pajak untuk Wajib Pajak badan sama dengan penghasilan bruto
dikurangi dengan pengurang yang diperkenankan (sesuai Pasal 6 ayat (1) UU PPh dan kompensasi
kerugian (sesuai Pasal 6 ayat (2) UU PPh). Penghasilan bruto dikurangi dengan biaya yang
diperkenankan disebut sebagai penghasilan neto. Apabila terdapat sisa kerugian tahun sebelumnya
yang masih dapat dikompensasikan, maka PKP dihitung dari penghasilan neto dikurangi kerugian
tahun sebelumnya dengan catatan tidak lebih dari lima tahun. Penghitungan tersebut dapat
diformulasikan sebagai berikut:

131
132

PKP = Penghasilan neto


= Penghasilan bruto - pengurang/biaya diperkenankan sesuai UU PPh.

Contoh a.
Penjualan bruto Rp6.100.000.000
Retur penjualan Rp 60.000.000
Potongan penjualan Rp 40.000.000 (+)
Rpl00.000.000 (-)
Penjualan neto Rp6.000.000.000
Biaya untuk mendapatkan, menagih
dan memelihara penghasilan Rp5.400.000.000 (-)
Laba usaha (penghasilan neto usaha) Rp 600.000.000
Penghasilan di luar usaha Rp50.000.000
Biaya-biaya di luar usaha Rp30.000.000 (-)
Penghasilan neto di luar usaha Rp 20.000.000 (+)
Total penghasilan neto Rp 620.000.000
Dalam hal terdapat rugi tahun sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan, maka:
PKP = Penghasilan neto - kompensasi kerugian
= (Penghasilan bruto - pengurang/biaya diperkenankan sesuai UU PPh)
- kompensasi kerugian
Contoh 1.2.
Seperti pada Contoh 1.1. jika terdapat sisa kerugian tahun sebelumnya yang masih dapat
dikompensasikan sebesar Rp 10.000.000, PKP-nya menjadi:
Penghasilan neto Rp 620.000.000
Kompensasi kerugian Rp 10.000.000 (-)
Penghasilan Kena Pajak Rp 610.000.000

b. Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang Menyelenggarakan
Pembukuan.
Penghitungan PKP untuk Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan pembukuan sama dengan
Wajib Pajak badan tetapi dikurangi lagi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Besarnya
PTKP yang boleh dikurangkan dari penghasilan neto telah dibahas pada bagian sebelumnya.
Komponen penghasilan neto bagi Wajib Pajak orang pribadi terdiri atas penghasilan neto dari
usaha, penghasilan neto dari pekerjaan, penghasilan neto dari usaha lainnya (royalti, dividen, bunga,
dan Iain-lain), dan penghasilan neto dari luar negeri. Penghitungan PKP tersebut dapat
diformulasikan sebagai berikut:
PKP = Penghasilan neto - PTKP
= (Penghasilan brut.o - pengorang/biaya diperkenankan sesuai UU PPh) - PTKP '

Contoh
Seperti pada Contoh 2.1 jika Wajib Pajak membayar zakat atas penghasilan sebesar Rpl0.000.000
sesuai ketentuan yang ada, maka PKP-nya menjadi Rp603.004.000 (= Rp613.004.000 –
Rpl0.000.000).
Dalam hal Wajib Pajak membayar zakat atas penghasilan dan terdapat rugi tahun sebelumnya
yang masih dapat dikompensasikan, maka Penghitungan PKP selanjutnya diformulasikan sebagai

132
133

berikut:
PKP = Penghasilan neto - zakat atas penghasilan - kompensasi kerugian - PTKP
= (Penghasilan bruto - pengurang/biaya diperkenankan sesuai UU PPh) - zakat atas
penghasilan - kompensasi kerugian - PTKP
Contoh 2.3
Seperti pada Contoh 2.2. jika terdapat sisa kerugian tahun sebelumnya yang masih dapat
dikompensasikan sebesar Rp20.000.000, maka PKP-nya menjadi Rp583.004.000 (=
Rp613.004.000 –
Rpl0.000.000 - Rp20.000.000).

c. Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang Menggunakan Norma
Penghitungan.
Informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak sangat penting untuk digunakan
sebagai dasar penghitungan pajak. Informasi tersebut diperoleh jika Wajib Pajak telah
menyelenggarakan pembukuan dengan baik dan benar. Namun, disadari bahwa tidak semua Wajib
Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan. Semua Wajib Pajak badan dan Bentuk Usaha Tetap
diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha
atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran bruto tertentu tidak diwajibkan untuk
menyelenggarakan pembukuan. Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya
penghasilan neto bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan
peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma penghitungan.
Norma Penghitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan neto
yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dan disempurnakan terus-menerus. Penggunaan
Norma Penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal:
a. tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang lengkap,atau
b. pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan secara
tidak benar.
Norma Penghitungan disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian atau data lain, dan
dengan memperhatikan kewajaran. Norma Penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang
belum mampu menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan neto. Norma
Penghitungan Penghasilan Neto hanya boleh digunakan dengan syarat sebagai berikut:

a. Wajib Pajak orang pribadi melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran
brutonya kurang dari jumlah Rp4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah);
b. Wajib Pajak orang pribadi harus memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka
waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan;
c. Wajib Pajak wajib menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran brutonya sebagaimana
diatur dalam undang-undang yang mengatur mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Apabila Wajib Pajak orang pribadi yang berhak bermaksud untuk menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto, tetapi tidak memberitahukannya kepada Direktur Jenderal Pajak dalam
jangka waktu yang ditentukan, Wajib Pajak tersebut dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, wajib menyelenggarakan pencatatan,
atau dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan, tetapi:
a. tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan kewajiban pencatatan atau pembukuan; atau
b. tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya

133
134

pada waktu dilakukan pemeriksaan sehingga mengakibatkan peredaran bruto dan penghasilan neto
yang sebenarnya tidak diketahui maka peredaran bruto Wajib Pajak yang bersangkutan dihitung
dengan cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan dan
penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
Menteri Keuangan dapat menyesuaikan besarnya batas peredaran bruto dengan memperhatikan
perkembangan ekonomi dan kemampuan masyarakat Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan.
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan norma sama dengan
penghasilan neto dikurangi dengan PTKP. Penghasilan neto sama dengan jumlah peredaran usaha atau
penerimaan bruto dari usaha atau pekerjaan bebas dikalikan dengan persentase Norma Penghitungan
Penghasilan Neto (NPPN). Oleh karena tidak menyelenggarakan pembukuan (menggunakan norma
penghitungan yang dasarnya adalah peredaran usaha) maka tidak ada rugi bagi Wajib Pajak tersebut,
sehingga tidak ada pengakuan terhadap kompensasi kerugian dalam menghitung PKP. Penghitungan
PKP tsb dapat diformulasikan sbagai berikut;

PKP = Penghasilan neto - PTKP


= (Peredaran usaha x % NPPN) - PTKP

Contoh c.1
Peredaran bruto Rp4.000.000.000
Penghasilan neto (menurut Norma Penghitungan)
misalnya 20%: 20% x Rp4.000.000.000 Rp 800.000.000
Penghasilan neto lainnya Rp 5.000.000 (+)
Jumlah seluruh penghasilan neto Rp 805.000.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/3):
-DiriWP Rp 15.840.000
-tambahan kawin Rp 1.320.000
-tanggungan 2 Rp 2.640.000 (+)
Rp.21.120.000(-)
Penghasilan Kena Pajak Rp 783.880.000

Bagi Wajib Pajak orang pribadi muslim yang membayarkan zakat atas penghasilan kepada badan amil
zakat (BAZIS), jumlah zakat yang dibayarkan tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan neto
sebelum dikenakan pajak. Penghitungan PKP selanjutnya diformulasikan sebagai berikut:
-
PKP = Penghasilan neto - zakat atas penghasilan - PTKP
= (Peredaran usaha x % NPPN) - zakat atas penghasilan - PTKP

Contoh c.2
Seperti pada Contoh 3.1 jika Wajib Pajak membayar zakat atas penghasilan sebesar Rp20.000.000
sesuai ketentuan yang ada, maka PKP-nya menjadi Rp763.880.000 (= Rp783.880.000 -
Rp20.000.000).

134
135

d. Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap.

Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk
usaha tetap di Indonesia, cara penghitungan Penghasilan Kena Pajaknya pada dasarnya sama dengan
cara penghitungan Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri. Karena bentuk
usaha tetap berkewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung
dengan cara penghitungan biasa (Contoh 1.1. Wajib Pajak Badan).

Contoh d..
Peredaran bruto Rp 10.000.000.000
Biaya untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan Rp 8.000.000.000 (-)
Rp 2.000.000.000
Penghasilan bunga Rp 50.000.000
Penjualan langsung barang yang sejenis
dengan barang yang dijual bentuk usaha tetap
oleh kantor pusat Rp 2.000.000.000

Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara


penghasilan Rp1.500.000.000 (-)
Rp. 500.000.000
Dividen yang diterima atau diperoleh kantor pusat yang mempunyai hubungan
efektif dengan bentuk usaha tetap Rp1.000.000.000 (+)
Rp.3.550.000.000
Biaya-biaya menurut Pasal 5 ayat (3) Rp450.000.000 (-)
Penghasilan Kena Pajak Rp 3.100.000.000

e. Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang Terutang Pajak dalam Suatu Bagian
Tahun Pajak.

Dapat terjadi kemungkinan bahwa orang pribadi menjadi Subjek Pajak tidak dalam jangka waktu 1
(satu) tahun pajak penuh, misalnya orang pribadi yang menjadi Subjek Pajak pada pertengahan
tahun pajak atau yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya pada pertengahan tahun
pajak. Jangka waktu kurang dari 1 (satu) tahun pajak tersebut dinamakan "bagian tahun pajak" yang
menggantikan tahun pajak. PKP bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak
dalam suatu bagian tahun pajak tersebut, dihitung berdasarkan penghasilan neto yang diterima atau
diperoleh dalam bagian tahun pajak yang disetahunkan.

Contoh e.
Orang pribadi tidak kawin yang kewajiban pajak subjektifnya sebagai Subjek Pajak dalam negeri
adalah 3 (tiga) bulan dan dalam jangka waktu tersebut memperoleh penghasilan sebesar Rpl
50.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah) maka penghitungan Penghasilan Kena Pajaknya adalah
sebagai berikut.

Penghasilan selama 3 (tiga) bulan Rp 150.000.000

135
136

Penghasilan setahun sebesar:


{360 : (3 x 30)} x Rpl50.000.000 Rp600.000.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak:
- Diri Wajib Pajak Rp 15.840.000 (-)
Penghasilan Kena Pajak Rp584.160.000

Contoh Beberapa Kasus Perhitungan Pajak Penghasilan


Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pajak penghasilan dihitung dari tarif dikalikan dengan
penghasilan kena pajak. Pajak penghasilan yang terutang atas contoh-contoh sebelumnya dihitung
sebagai berikut:
Penghasilan Kena
Kasus PPh yang terutang
Pajak
PKP mendapat fasilitas pengurangan tarif: (Rp4,8 M - Rp6 M)
PKP: Rp620.000.000 x Rp620.000.000 = Rp 496.000.000 PKP tidak mendapat
Contoh 1.1. Peredaran bruto fasilitas pengurangan tarif: Rp620.000.000 - Rp496.000.000
(WP Badan) dari kegiatan usaha: =Rp 124.000.000 PPh yang terutang: (50% x 25%) x
Rp6.000.000.000 Rp496.000.000 = Rp 62.000.000 25%xRpl24.000.000=
Rp 31.000.000
Rp
93.000.000
PKP mendapat fasilitas pengurangan tarif: (Rp4,8 M H- Rp6
PKP: Rp610.000.000 M) x Rp62 10.000.000= Rp 488.000.000 PKP tidak mendapat
Contoh 1.2. Peredaran bruto fasilitas pengurangan tarif: Rp610.000.000 - Rp488.000.000 =
(WP Badan) dari kegiatan usaha: Rp 122.000.000 PPh yang terutang: (50% x 25%) x
Rp6.000.000.000 Rp488.000.000 = Rp 61.000.000 25%xRpl22.000.000=
Rp 30.500.000
Rp
91.500.000
5% x Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000
Contoh 2.1. 15% x Rp200.000.000 = Rp 30.000.000
Rp613.004.000
(WP OP) 25% x Rp250.000.000 = Rp 62.500.000
30% xRpl 13.004.000 = Rp 33.901.200
Rp
128.90 1.200
5% x Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000
Contoh 2.2. 15% x Rp200.000.000 = Rp 30.000.000
Rp603.004.000
(WP OP) 25% x Rp250.000.000 = Rp 62.500.000
30% x Rpl03.004.000 = Rp 30.901.200

Rpl25.901.200
5% x Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000
Contoh 2.3. 15% x Rp200.000.000 = Rp 30.000.000
Rp583.004.000
(WP OP) 25% x Rp250.000.000 = Rp 62.500.000
30% x Rp 83.004.000 = Rp 24.901.200
Rpl 19.901.200

136
137

5% x Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000
Contoh 3.1. 15% x Rp200.000.000 = Rp 30.000.000
Rp783.880.000
(WP OP) 25% x Rp250.000.000 = Rp 62.500.000
30% x Rp283.880.000 = Rp 85.164.000
Rp.l 80. 164.000

Rp 2.500.000
5% xRp 50.000.000 15% x Rp 30.000.000
Contoh 3.2. Rp200.000.000 25% x Rp 62.500.000
Rp763.880.000
(WP OP) Rp250.000.000 30% x Rp 79.164.000
Rp263.880.000
Rpl74.164.000
Contoh 4.1.
Rp3. 100.000.000 28% x Rp3.100.000.000 Rp243.040.000
(WP BUT)
Rp 2.500.000
5%xRp 50.000.000 15% x Rp 30.000.000
Contoh 5.1. Rp200.000.000 25% x Rp 62.500.000
Rp584.160.000
(WP OP) Rp250.000.000 30% x Rp Rp 25.248.000
84.160.000
Rpl20.248.000

Catalan:
• WP OP : Wajib Pajak orang pribadi
. WP BUT : Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap

I. PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN

Pelunasan pajak penghasilan dalam tahun berjalan dapat dilakukan dengan dua caral yaitu
pelunasan pajak melalui pihak lain dan oleh Wajib Pajak sendiri. Pelunasan pajakl penghasilan dalam
tahun berjalan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000. Dalam hal pelunasan pajak
dilakukan oleh pihak lain, penghitungan, pemotongan, I penyetoran, dan pelaporan dilakukan oleh
pihak yang memberikan/membayarkanj penghasilan. Pelunasan pajak juga bisa dilakukan tidak
dalam tahun berjalan (sesudah j tahun pajak berakhir).

1.Pelunasan Pajak dalam Tahun Berjalan Melalui Pihak Lain

Pelunasan pajak dalam tahun berjalan melalui pihak lain (pemberi penghasilan/pemoti
pajak) dikelompokkan sebagai berikut:

1. Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak lain atas penghasilan berupa gaji, upahl honorarium,
tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk J pun sehubungan dengan
pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal2l ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan
terutang pada akhir bulan dilakukannyaj pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya

137
138

penghasilan yang bersangkutai tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.


2. Pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak badan pemerintah berkenaan dengai pembayaran
atas penyerahan barang; dan badan-badan tertentu baik badan pemerinta maupun swasta berkenaan
dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usahac bidang lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, terutang pada saat pembayaran,
kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
3. Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak lain atas penghasilan berupa dividen, bunga, royalti,
penghargaan, hadiah, bonus, dan Iain-lain yang diterima oleh Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk
usaha tetap, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan, terutang pada
akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang
bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
4. Pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha
tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) Undang- Undang Pajak Penghasilan,
terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang
bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
5. Pelunasan pajak atas penghasilan-penghasilan tertentu (bunga deposito dan simpanan lain di bank,
hadiah undian, transaksi saham dan sekuritas lain, dan Iain-lain) yang diatur tersendiri dengan
Peraturan Pemerintah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak.

2.Pelunasan Pajak dalam Tahun Berjalan oleh Wajib Pajak Sendiri


Di samping melalui pihak lain, pelunasan pajak dapat dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak dengan cara
sebagai berikut:
1. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang menerima penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan dari badan-badan yang tidak wajib melakukan pemotogan, penyetoran dan
pelaporan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Pajak
Penghasilan, wajib memiliki NPWP dan melaksanakan sendiri penghitungan dan pembayaran Pajak
Penghasilan yang terutang dalam tahun berjalan serta melaporkannya dalam Surat pemberitahuan
Tahunan.
2. Wajib Pajak membayar sendiri pajak atas penghasilan yang diperoleh atau diterima
melalui angsuran Pajak Penghasilan dalam Tahun Pajak berjalan (PPh Pasal 25).

3.Pelunasan Pajak Saat Sesudah Akhir Tahun Pajak


Pelunasan pajak sesudah Tahun Pajak berakhir dilakukan dengan:
1. Membayar pajak yang kurang disetor dengan menghitung sendiri jumlah PPh yang terutang untuk
satu tahun pajak dikurangi dengan jumlah kredit pajak tahun yang bersangkutan sebagaimana
diatur dalam Pasal 29 UU PPh.
2. Membayar pajak yang kurang disetor karena menerima surat ketetapan pajak (SKPKB
atau SKPKBT) ataupun Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak.

138
132

BAGIAN IV
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)

A.Pengertian Pajak Pertambahan Nilai


Menurut Gunadi (1999), Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan kepada
pengusaha yang menyerahkan barang atau jasa kepada konsumen, sehingga pengusaha yang
menyerahkan barang atau jasa akan memperhitungkan pajaknya di dalam harga jualnya.

Menurut Waluyo (2007), Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak yang dikenakan
atas konsumsi di dalam negeri (daerah pabean), baik konsumsi barang maupun konsumsi jasa
atau adanya faktor-faktor produksi pada setiap jalur perusahaan dalam menyiapkan,
menghasilkan, menyalurkan, dan memperdagangkan barang kepada konsumen.

Menurut Muljono (2008), Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak tidak langsung,
yang dikenakan atas transaksi penyerahan barang kena pajak maupun pemanfaatan jasa kena
pajak, yang pada dasarnya pengenaan Pajak Pertambahan Nilai akan dibebankan kepada
konsumen akhir.

Menurut Dudi Wahyudi, Pajak Pertambahan Nilai


adalah salah satu jenis pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Direktorat
Jenderal Pajak (DJP), termasuk jenis pajak tidak langsung yang berarti bahwa yang
dikenakan kewajiban PPN tidak mesti yang menanggung beban pajaknya. Penanggung beban
PPN adalah konsumen akhir. Namun demikian yang dikenakan untuk memungutnya adalah
pihak-pihak yang berada dalam jalur distribusi sebelum barang/jasa sampai kepada
konsumen.
Nilai
Sifat Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
Pajak Pertambahan Nilai mempunyai beberapa sifat pemungutan yaitu:
a. PPN sebagai Pajak Objektif
Pungutan PPN ini mendasarkan objeknya tanpa memperhatikan keadan diri wajib pajak.
b. PPN sebagai Pajak Tidak Langsung
Sifat ini menjelaskan bahwa secara ekonomis beban PPN dapat dialihkan kepada pihak
lain. Namun dari segi yuridis tanggung jawab penyetoran pajak tidak berada pada
penanggung pajak.
c. Pemungutan PPN Multistage Tax
Pemungutan PPN dilakukan pada setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur
distribusi dari pabrikan, pedagang besar, sampai dengan pengecer.
d. PPN dipungut dengan menggunakan alat bukti Faktur Pajak
Credit Method sebagai metode yang digunakan dengan konsekuensi Pengusaha Kena
Pajak harus menerbitkan Faktur Pajak sebagai bukti pemungutan PPN.
e. PPN bersifat betral

132
133

Netralitas ini dapat dibentuk karena adanya dua faktor yaitu:


e.1. PPN dikenakan atas konsumsi barang dan jasa
e.2. PPN dipungut menggunakan prinsip tempat tujuan
f. PPN tidak menimbulkan pajak berganda
g. PPN sebagai pajak atas konsumsi dalam negeri penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak dilakukan atas konsumsi dalam negeri.
Menurut Soemitro (1988), tipe pemungutan atau perlakuan perolehannya barang modal dapat
diklasifikasikan dalam:
a. Consumption Type Value Added Tax
Pada tipe ini semua pembelian yang digunakan untuk produksi termasuk barang modal
dikurangkan dari nilai tambahnya sehingga memberikan sifat netral PPN atas pola
produksi.
b. Net Income Type Value Added Tax
Pada tipe ini tidak dimungkinkan adanya pengurangan pembelian barang modal dari
dasar pengenaan. Pengurangan tersebut diperkenankan hanya sebesar penyusutan yang
ditentukan pada saat menghitung net income dalam rangka penghitungan PPh. Cara ini
berakibat pengenaan pajak dua kali atas barang modal tersebut.
c. Gross Product Type Value Added Tax
Tipe ini menyatakan bahwa pembelian barang modal tidak diperkenankan sama sekali
untuk dikurangkan dari dasar pengenaan pajak. Akibatnya sama saja yaitu barang modal
dikenakan pajak dua kali yaitu pada saat pembelian dan dilakukan melalui hasil produksi
yang dijual kepada konsumen

B.Beberapa Pengertian
1. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat,
perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi
Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang
mengatur mengenai kepabeanan.
2. Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa
barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.
3. Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
4. Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak.
5. Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan
hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk
dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau
permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
6. Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
7. Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak.
8. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

133
134

9. Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean ke dalam
Daerah Pabean.
10. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean adalah setiap
kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean.
11. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud adalah setiap kegiatan mengeluarkan Barang
Kena Pajak Berwujud dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean.
12. Perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan menjual, termasuk kegiatan tukar-
menukar barang, tanpa mengubah bentuk dan/atau sifatnya.
13. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan
usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi,
dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial
politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak
investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
14. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan
usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang,
melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah
Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari
luar Daerah Pabean.
15. Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-
Undang ini.
16. Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk dan/atau
sifat suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna
baru atau kegiatan mengolah sumber daya alam, termasuk menyuruh orang pribadi atau
badan lain melakukan kegiatan tersebut.
17. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai
Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang
terutang.
18. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan
harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
19. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa
Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan
harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau
seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau
oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
20. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk
ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang

134
135

mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak, tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
dipungut menurut Undang-Undang ini.
21. Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima
penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar harga
Barang Kena Pajak tersebut.
22. Penerima Jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya
menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar
Penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut.
23. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
24. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh
Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa
Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor
Barang Kena Pajak.
25. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan
Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak.
26. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh eksportir.
27. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendahara pemerintah, badan, atau instansi
pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan
melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendahara pemerintah, badan,
atau instansi pemerintah tersebut.
28. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean di luar Daerah Pabean.
29. Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak ke luar
Daerah Pabean.
C. Objek Pajak Pertambahan Nilai
Undang-Undang Nomor 42 tahun 2009, pasal 4 tentang objek pajak yang dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai yaitu:
a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
pengusaha;
b. impor Barang Kena Pajak;
c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean;
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;

135
136

g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
h. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

D. Bukan Objek Pajak Pertambahan Nilai


Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1983 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1994 dan Undang-Undang Nomor 18
tahun 2000 dan dengan perubahan terakhir berdasarkan Undang undang nomor 42 Tahun
2009, pasal 4 tantang penetapan jenis barang yang tidak dikenakan pajak yaitu:
a. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya.
b. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat banyak.
c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung,
dan sejenisnya.
d. Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.
Penetapan jenis jasa yang tidak boleh dikenakan pajak yaitu:
a. jasa pelayanan kesehatan medis;
jasa pelayanan sosial;
b. jasa pengiriman surat dengan perangko;
c. jasa keuangan;
d. jasa asuransi;
e. jasa keagamaan;
f. jasa pendidikan;
g. jasa kesenian dan hiburan;
h. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
i. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri
yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
j. jasa tenaga kerja;
k. jasa perhotelan;
l. jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan
secara umum;
m. jasa penyediaan tempat parkir;
n. jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
o. jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
b. jasa boga atau katering.
E. Penyerahan Kena Pajak

Terrmasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:


1. penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;

136
137

2. pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau
perjanjian sewa guna usaha (leasing);
3. penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru
lelang;
4. pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;
5. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan
semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran
perusahaan;
6. penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau
penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang;
7. penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi; dan
8. penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka
perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang
penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang
membutuhkan Barang Kena Pajak.

Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah
1. penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
2. penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang;
3. penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dalam
hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat pajak terutang;
4. pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan
pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak; dan
5. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang
Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.
F. Subyek Pajak

Menurut Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai Tahun 1984, sebagaimana terakhir


telah dirubah dengan Undang undang nomor 42 Tahun 2009 pasal 4, 16C dan 16D,
Subjek Pajak Pertambahan Nilai dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1. Pengusaha Kena Pajak
a. Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena
Pajak;
b. Pengusaha yang mengekspor Barang Kena Pajak;
c. Pengusaha yang meyerahkan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan;
d. Pengusaha yang memanfatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar
daerah Pabean di dalam daerah Pabean;

137
138

e. Pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena


Pajak.
2. Bukan Pengusaha Kena Pajak
a. Siapapun yang mengimpor Barang Kena Pajak;
b. Siapapun yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar
daerah Pabean di dalam daerah Pabean;
c. Siapapun yang membangun sendiri tidak dalam lingkungan perusahaan atau
pekerjaannya.

G. Tarif Pajak

Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).


Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
a. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
b. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan
c. ekspor Jasa Kena Pajak.
Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah
5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) yang perubahan tarifnya
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah ditetapkan paling rendah 10% (sepuluh
persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen).
Ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dikenai pajak dengan tarif 0% (nol
persen).
Ketentuan mengenai kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang
dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai jenis barang yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.

H. Dasar Pengenaan Pajak

Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah harga jual atau Penggantian atau Nilai impor
maupun ekspor dan Nilai lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terhutang.
Pengertian harga jual, penggantian, nilai impor, dan nilai ekspor adalah:
a. Harga Jual
Nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk
PPN yang dipungut menurut Undang-Undang.
b. Penggantian

138
139

Nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak termasuk
pajak yang dipungut menurut Undang-Undang dan potongan harga yang
dicantumkan dalam faktur pajak.
c. Nilai Ekspor
Nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau yang seharusnya
diminta oleh eksportir. Nilai ekspor diketahui dari dokumen ekspor.
d. Nilai Impor
Nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan bea masuk ditambah
pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan Pabean untuk impor Barang Kena Pajak. Nilai impor
yang menjadi DPP adalah harga patokan impor (Cost Insurance Freight)
sebagai dasar perhitungan bea masuk.
Nilai lain yang dapat digunakan sebagai Dasar Pengenaan Pajak sesuai dengan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 251/KMK.03/2002 sebagai
penyempurnaan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 567/KMK.04/2000
tentang nilai lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak mulai tanggal 1 Juni 2002,
yaitu:
1. Untuk pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor;
2. Untuk pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor;
3. Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan
Harga Jual rata-rata;
4. Untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul
film;
5. Untuk persedian Barang Kena Pajak yang masih tersisa pada saat
pembubaran perusahaan, adalah harga pasar yang wajar;
6. Untuk aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan
sepanjang Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan aktiva tersebut menurut
ketentuan dapat dikreditkan, adalah harga pasar wajar;
7. Untuk kendaraan bermotor bekas adalah 10% (sepuluh persen) dari Harga
Jual;
8. Untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah
10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya
ditagih;
9. Untuk jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah
tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih;
10. Untuk jasa anjak piutang adalah 5% (lima persen) dari jumlah seluruh
imbalan yang diterima berupa service charge, provisi, dan diskon;
11. Untuk penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari
Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan penyerahan Barang Kena Pajak

139
140

dan/atau Jasa Kena Pajak antar cabang adalah Harga Jual atau
Penggantian setelah dikurangi laba kotor;
12. Untuk penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau
melalui juru lelang adalah harga lelang.

Menghitung Pajak

Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan Dasar Pengenaan Pajak yang
meliputi Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain.

Ketentuan mengenai nilai lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

I. Mekanisme Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai


Sesuai Undang-Undang Nomor 18 tahun 2000 bab IV pasal 9, cara menghitung
Pajak Pertambahan Nilai adalah:
1. Pajak Pertambahan Nilai yang terhutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 dengan DPP.
2. Pajak Masukan dalam suatu masa pajak dikreditkan dengan pajak Keluaran
untuk masa pajak yang sama.
2a. Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu masa pajak, maka Pajak
masukan tetap dapat dikreditkan.
3. Apabila dalam suatu masa pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak
Masukan, maka selisihnya merupakan PPN yang harus dibayar oleh
Pengusaha Kena Pajak.
4. Apabila dalam suatu masa pajak, Pajaka Masukan yang dapat dikreditkan lebih
besar daripada Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak
yang dapat dimintakan kembali atau dikompensasikan ke masa pajak
berikutnya.
5. Apabila dalam suat masa pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan
penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak
terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat
diketahui dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah pajak masukan yang
dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenan dengan penyerahan
yang terutang pajak.
6. Apabila dalam suatu masa pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan
penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak
terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang
pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, maka jumlah Pajak Masukan yang
dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan
menggunakan pedoman yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.

140
141

7. Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha yang


dikenakan Pajak Penghasilan dengan menggunakan Norma Penghitungan
Pengkreditan Neto sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 17
tahun 2000, dapat dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan
pengkreditan Pajak Masukan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

J. Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan bagi pengeluaran:


a. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
b. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai
hubungan langsung dengan kegiatan usaha
c. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor, sedan, jeep, van, dan kombi
kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan.
d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena
Pajak dari luar daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak,
e. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bukti pungutannya
berupa faktur pajak sederhana.
f. Perolehan Barang Kena Pajak atau jasa Kena Pajak yang faktur pajaknya tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 (5).
g. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena
Pajak dari luar daerah Pabean yang faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 (6).
h. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya
ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak.
i. Perolehan Barang kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya
tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai,
yang dikemukakan pada waktu dilakukan pemeriksaan.

K. Kewajiban Pengusaha Kena Pajak


Dalam Pasal 3A ayat 1 UU No 42 Tahun 2009 PKP berkewajiban untuk:
1. Melaporkan usahanya untuk di kukuhkan menjadi PKP;
2. Memungut PPN yang terutang;
3. Menyetorkan PPN yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar
dari Pajak Masukan yang dapat dikreditkan , serta menyetorkan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah yang terutang;
4. Melaporkan penghitungan pajak;
Jika tidak melaksanakan kewajiban melapor tepat pada waktunya maka dikenakan
denda administrasi 2% dari DPP (Pasal 14 UU KUP

L. Saat dan Tempat Terutang Pajak Pertambahan Nilai


1. Saat Terutang

141
142

Saat terutangnya PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 42


Tahun 2009 yang penjabarannya dilakukan lebih lanjut dalam Pasal 17 PP No 1 Tahun
2012 adalah pada saat:
1. Penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
2. Impor Barang Kena Pajak;
3. Penyerahan Jasa Kena Pajak;
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean;
5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean;
6. Ekspor Barang Kena Pajak berwujud;
7. Ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud;
8. Ekspor Jasa Kena Pajak;
9. Pembayaran, pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP atau sebelum
penyerahan JKP atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya
pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean.
10. Pada saat lain yang ditetapkan Dirjen Pajak, dalam hal saat terutangnya pajak sukar
ditetapkan atau terjadi perubahan ketentuan yang dapat menimbulkan
ketidakadilan.

2. Tempat Terutang Pajak


Tempat terutangnya PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2009 adalah pada saat:
1. Untuk menyerahkan BKP/JKP:
a. PKP orang pribadi terutang pajak di tempat tinggal dan/atau tempat kegiatan
usaha;
b. PKP badan terutang pajak di tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan
usaha.
Jika PKP mempunyai lebih dari satu tempat usaha, atas permohonan PKP
dapat ditetapkan salah satu tempat usaha sebagai tempat pajak terutang. Yang
menentukan adalah tempat administrasi penjualan.
2. Untuk impor, ditempat BKP dimasukan kedalam Daerah Pabean.
3. Untuk pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau JKP dari luar Pabean, ditempat
orang pribadi atau badan tersebut terdaftar sebagai Wajib Pajak.
4. Untuk kegiatan membangun sendiri oleh PKP yang dilakukan tidak dalam
lingkungan perusahaan atau pekerjaannya atau oleh bukan PKP, ditempat
bangunan tersebut didirikan.
5. Tempat lain yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jendral Pajak, baik atas
permohonan tertulis dari PKP atau secara jabatan.
6. Apabila PKP memiliki lebih dari satu tempat pajak terutang yang berada di
wilayah kerja 1 (satu) Kantor Direktorat Jendral Pajak, untuk seluruh tempat
terutang tersebut PKP memilih satu tempat kegiatan usaha sebagai tempat pajak
terutang yang bertanggung jawab untuk seluruh tempat kegiatan usahanya, kecuali
apabila PKP tersebut menghendaki lebih dari 1 (satu) tempat pajak terutang, PKP
wajib memberitahukan kepada Direktur Jendral Pajak.

M. Pencatatan PPN

Menurut Waluyo dan Ilyas (2000), mekanisme pencatatan Pajak Pertambahan Nilai
adalah sebagai berikut:

142
143

1. Setiap Pengusaha Kena Pajak wajib mencatat semua jumlah harga perolehan dan
penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dalam pembukuan
perusahaan;

2. Dalam pembukuan itu, harus dicatat secara terpisah dan jelas, jumlah harga
perolehan dan barang dan/atau jasa yang terutang pajak, yang mendapat fasilitas
berupa pajak yang terutang tidak dipungut, yang dikenakan tarif 0% (nol persen),
yang mendapat fasilitas berupa pembebasan dari pengenaan pajak, dan yang tidak
dikenakan pajak;

3. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak yang wajib melakukan pencatatan atau yang
wajib menyelenggarakan pembukuan, tetapi tidak melaksanakannya, dan tahun
bukunya tidak diketahui, maka tahun buku Pengusaha Kena Pajak tersebut
disamakan dengan tahun takwim;

4. Pengusaha yang berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan memilih


dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan, wajib membuat
catatan nilai peredaran bruto secara teratur yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai, sepanjang terutang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa.

N. Kewajiban Membuat Faktur Pajak


Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap:

a. penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat


(1) huruf a atau huruf f dan/atau Pasal 16D;
b. penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf c;
c. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf g; dan/atau
d. ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf h.
Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat pada:

a. saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
b. saat penerimaan pembayaran dalam hal
penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
c. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap
pekerjaan; atau
d. saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengusaha Kena Pajak
dapat membuat 1 (satu) Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada
pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama 1 (satu)
bulan kalender.

143
144

Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuat paling lama pada akhir
bulan penyerahan.

Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
1. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang
Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
2. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak
atau penerima Jasa Kena Pajak;
3. jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan
harga;
4. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
5. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
6. kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
7. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.

Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu yang kedudukannya


dipersamakan dengan Faktur Pajak.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Faktur Pajak dan tata cara
pembetulan atau penggantian Faktur Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material.

O. Penyetoran dan Pelaporan


Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai oleh Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (3) harus dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah
berakhirnya Masa Pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan
Nilai disampaikan.
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan paling lama akhir bulan
berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.

P. Pajak Tidak Dipungut


Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan
pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:
a. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;
b. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
c. impor Barang Kena Pajak tertentu;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean; dan
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah

144
145

Pabean,

diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.


Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa
Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai dapat
dikreditkan.
Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa
Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai tidak dapat dikreditkan.

Q. Restitusi Untuk Pemegang Paspor Asing


Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sudah dibayar
atas pembelian Barang Kena Pajak yang dibawa ke luar Daerah Pabean oleh orang
pribadi pemegang paspor luar negeri dapat diminta kembali.
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dapat diminta
kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
a. nilai Pajak Pertambahan Nilai paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu
rupiah) dan dapat disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah;
b. pembelian Barang Kena Pajak dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu)
bulan sebelum keberangkatan ke luar Daerah Pabean; dan
c. Faktur Pajak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (5), kecuali pada kolom Nomor Pokok Wajib Pajak dan alamat pembeli disi
dengan nomor paspor dan alamat lengkap di negara yang menerbitkan paspor atas
penjualan kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri yang tidak
mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak.
Permintaan kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat orang pribadi pemegang paspor
luar negeri meninggalkan Indonesia dan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak
melalui Kantor Direktorat Jenderal Pajak di bandar udara yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan.
Dokumen yang harus ditunjukkan pada saat meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah:

1. paspor;
2. pas naik (boarding pass) untuk keberangkatan orang pribadi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ke luar Daerah Pabean; dan
3. Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c.

Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian permintaan kembali Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

R. Soal Kasus PPN


PT. Elektronik baru , adalah perusahaan pabrikan barang mewah memproduksi barang
barang Elektronik dengan katagori Barang Mewah dengan tarif 30 %. Pada bulan Okt 2018
terjadi transaksi sbb :

145
146

1. Pada tanggal 2 Okt 2018, mengimpor bahan baku dari Jepang sebanyak 500 unit
dengan harga US$ 450/unit, ongkos angkut di Jepang 5 % dari harga, Asuransi 15 %
dari harga, selanjutnya di Pelabuhan Tanjung priok dikenakan Bea Masuk 20 %, Bea
Masuk Tambahan 5 %, Bea pabean resmi Rp Rp 7500/unit, ongkos penurunan barang
Rp 15.000.000,-, ongkos pengantaran barang sampai di pabrik Rp 25.000000,- Kurs
BI US$ 1=Rp 13.200 dan PMK US$ 1=Rp 13.300
2. Pada tanggal 4 Okt 2018, dijual barang elektronik berupa TV LCD sebanyak 100 unit
kepada toko ABC, harga sudah termasuk PPN dan PPnBM Rp 5.600.000,-/unit
3. Disumbangkan 5 buah mesin cuci kepada Yayasan Panti jompo Rambut putih, harga
jual termasuk laba 15 % Rp 2.400.000/unit
4. Pada tanggal 6 Okt 2018 dibeli bahan pembantu dari pengusaha kecil (belum PKP)
sebanyak 1000 Kg, harga Rp 15.000,-/Kg
5. Pada tanggal 8 Okt 2018, dijual kepada Pemda DKI Jakarta 150 unit TV LED,
dipasang disetiap kantor kelurahaan, harga sudah termasuk PPN dan PPnBM Rp
7.000.000/unit
6. Dipergunakan sendiri 5 buah TV LCD, untuk dipasang diruang tamu dan lobi kantor,
harga jual sudah termasuk laba 15 % Rp 8.400.000/unit
7. Pada tanggal 10 Okt 2018 diserahkan untuk dijadikan jaminan utang 15 unit TV dan
10 unit Mesin cuci kepada PT. Valas, harga jual seluruhnya Rp 125.000.000,-
8. Diserahkan 10 unit TV 40 inz harga jual sudah termasuk laba 15 % kepada BNI 46
untuk dijadikan hadiah undian dalam rangka ulang tahun ke 56, harga Rp
14.000.000/unit
9. Dibeli I2 unit mobil truck pengangkut barang dagangan, harga sudah termasuk PPN 10
% Rp 220.000.000,- dari PT Agen Tunggal
10. Dibeli I unit mobil sedan merk Toyota Camry dari agen PT Jaya Persada, harga belum
termasuk PPN Rp 500.000.000,-
11. Dibayar jasa service AC kantor pemasaran, kepada CV Dingin Sekali, Rp 7.500.000,-

Ditanyakan: hitunglah Pajak Masukan dan Pajak keluaran serta berapa PPN
kurang/lebih bayar unutk masa Okt 2018 ?

A. PT. X, mengadakan suatu perjanjian jual beli BKP dngan harga jual Rp 400.000.000,-
Pada tanggal 5 Januari 2016 PKP penjual menerima uang muka sebesar Rp 50.000.000,-.
BKP diserahkan kepada PKP pembeli pada tanggal 12 Februari 2016. Pada tanggal 27

146
147

Februari 2016 diterima pembayaran sebesar Rp 150.000.000,-. Pembayaran sisa harga


jual (Rp 400.000.000 – Rp 50.000.000,- - Rp 150.000.000,- =Rp 200.000.000,-) baru
diterima pada tanggal 27 Mei 2016.
Ditanyakan :

a. Hitung PPN terutang atas uang muka, dan kapan faktur pajak harus dibuat ?.
b. Hitung PPN terutang atas penyerahan BKP tanggal 27 Februari 2016, dan kapan
Faktur Pajak harus dibuat ?.
c. Hitung PPN terutang terhadap sisa pembayaran harga jual dan tanggal berapa paling
lambat Faktur Pajak harus dibuat ?.

B. PT. Kumal adalah PKP Pedagang Besar, dalam bulan Maret 2016 melakukan 6 kali
penyerahan BKP kepada PT Kijang PKP dengan bidang usaha pusat perbelanjaan,
adapun penyerahan dilakuakn sbb :
Penyerahan I dengan harga jual Rp 25.000.000 dilakukan pada tanggal 2 Maret 2016,
penyerahan II dengan harga jual Rp 15.000.000 tanggal 6 Maret 2016, penyerahan III
dengan harga jual Rp 35.000.000 tanggal 15 Maret 2016, penyerahan IV dengan harga
jual Rp 65.000.000 tanggal 19 Maret 2016, penyerahan V dengan harga jual Rp
45.000.000 tanggal 20 Maret 2016 dan penyerahan VI dengan harga jual Rp 28.000.000
dilakukan tanggal 25 Maret 2016. Pembayaran atas penyerahan I dan II diterima tanggal
27 Maret 2016 dan pembayaran III s/d VI diterima.bulan April 2016

Ditanyakan :

Hitung PPN terutang atas pembayaran I dan II dan tanggal berapa Faktur Pajak dibuat ?.

Kapan batas akhir Faktur pajak dibuat untuk penyerahan yang diterima bulan April 2

147
148

BAGIAN V

PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEKTOR (P3)


PERTAMBANGAN, PERKEBUNAN DAN PERHUTANAN

A. Sejarah singkat tentang Pajak Bumi di indonesia

Pajak Bumi pada dasarnya sudah mulai dilaksanakan di Indonesia sejak zaman
parsejarah, namun dasar dan ketentuan pemungutannya tidak diketahui (karena tiada bukti
berupa tulisan yang ditemukan). Pada zaman kebudayaan Hindu (zaman Indonesia Hindu)
sudah dikenal adanya pungutan pajak atas tanah dengan nama “Drwyahaji” yang artinya
bagian panen milik raja, yang menjadi objek pajak selain sawah juga tanah-tanah lain yang
menghasilkan.
Pada zaman kerajaan Islam (Raja Mataram II) pungutan pajak bumi dilaksanakan
dengan nama “Pajeg Bumi”, dipungut secara periodik atau tetap (dalam bahasa Jawa :
Pasokan Ajeg) yang karenanya disebut “Pajek sikep atau Ajeg” atau Pajeg.
Pada zaman penjajahan Inggris dikenal adanya pungutan atas tanah yang dinamakan
Landrent yang mencontoh dari kerajaan-kerajaan India dengan dasar pemikiran bahwa tanah
adalah milik Negara, rakyat dipandang sebagai penyewa (yaitu tahun 1811-1816). Kemudian
pada waktu Indonesia diserahkan kepada Belanda, pungutan ini diteruskan lagi oleh
pemerintahan kolonial Belanda dengan nama “ Land Rente “
Penjajah Belanda pergi datang Jepang menjajah Indonesia, pada masa penjajahan
Jepang pemungutan Pajak Bumi diteruskan pemungutannya dengan nam “ Pajak Atas Tanah

Sesudah Jepang menyerah kepada sekutu dan Indonesia menyatakan
kemerdekaannya, maka kemudian Pajak atas Tanah diganti namanya menjadi “Pajak Hasil
Bumi “
Sehubungan dengan itu maka pemerintah dengan Peraturan pengganti UU No.11
tahun 1959 menghidupkan kembali pajak atas tanah dengan nama “Pajak Hasil Bumi”.
Peraturan perundang-undangan ini kemudian disahkan dengan Undang-undang No.1 tahun
1961 menjadi Undang-undang No 11 Peraturan perundang-undangan tahun 1959. Peraturan
inilah yang menjadi dasar pemungutan Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA).
Pada tanggal 4 November 1985 pemerintah menyampaikan rancangan undang-undang
Pajak Bumi Bangunan kepada DPR kemudian Rancangan Undang-undang Pajak Bumi
Bangunan disetujui oleh DPR RI dan disahkan oleh Presiden RI dengan Undang-undang
No.12 tahun 1985 dan mulai efektif berlaku 1 Januari 1986. Dengan lahirnya Undang-
undang ini maka lengkaplah perwujudan pembaharuan sistem perpajakan nasional sesuai
dengan yang diamanatkan dalam GBHN.

B. Dasar hukum Pajak Bumi dan Bangunan


Dasar Hukum pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan adalah UU nomor 12 Tahun 1985
juncto UU nomor 12 Tahun 1994. beserta peraturan pelaksanaannya.

C. Pajak-pajak sebelum di undangkan PBB


Dengan berlakunya Pajak Bumi dan Bangunan (UU No.12 Tahun 1985), maka dinyatakan
bahwa beberapa jenis pemungutan pajak dicabut, yaitu :
1. Pajak Rumah Tangga 1908, yang dipungut berdasarkan Ordonansi Pajak Rumah Tangga
1908, Staatsblad Tahun 1908 No.13;
2. Verponding Indonesia 1923, yang dipungut berdasarkan Ordonansi Verponding 1923,
Staatsblad Tahun 1923 No.425;

148
149

3. Verponding 1928, yang dipungut berdasarkan Ordonansi Verponding 1928, Staatsblad


Tahun 1928 No.342;
4. Pajak Kekayaan 1932, yang dipungut berdasarkan Ordonansi Pajak Kekayaan 1932,
Staatsblad Tahun 1932 No.405;
5. Pajak Jalan 1942, yang dipungut berdasarkan Ordonansi Pajak Jalan 1942, Staatsblad
Tahun 1942 No.97;
6. Pajak Hasil Bumi, yang kemudian berubah menjadi IPEDA (Iuran Pembangunan
Daerah), yang dipungut berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–ungdang
Nomor 11 Tahun 1959 (Lembaran Negara Tahun 1959 No.104) dan ditetapkan menjadi
Undang–undang dengan UU No.1 Tahun 1961 (Lembaran Negara Tahun 1961 No.3 dan
Tambahan Lembaran Negara No.2124);

D. Subyek Pajak
Yang diwajibkan membayar Pajak Bumi dan Bangunan adalah Orang atau Badan (Subyek
Pajak) yang :
- secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau
- memperoleh manfaat atas bumi, dan atau
- memiliki, menguasai, dan atau
- memperoleh manfaat atas bangunan.
Dalam kaitannya dengan kewajiban membayar Pajak Bumi dan Bangunan perlu diperhatikan
ketentuan dalam Pasal 4 ayat (3) UU No.12 Tahun 1985, yakni : Dalam hal atas suatu obyek
pajak belum diketahui Wajib Pajaknya, maka Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan
Subyek Pajak sebagai Wajib Pajak.
Pajak Bumi dan Bangunan dikenakan terhadap Orang atau Badan yang mempunyai hak
/manfaat atas bumi dan/atau memiliki, mengusai/memperoleh manfaat atas bangunan.

E. Obyek Pajak
Yang menjadi obyek pajak adalah BUMIdan/atau BANGUNAN.
1. Yang dimaksud dengan BUMI adalah : permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di
bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah
Indonesia. Perairan pedalaman dapat berupa tambak, rawa–rawa, sungai yang diusahakan.
Dalam pengertian laut wilayah Indonesia sudah tercakup pengertian Zone Ekonomi
Eksklusif. Hal ini berkaitan erat dengan penambangan minyak lepas pantai.

2. Yang dimaksud dengan BANGUNAN adalah : konstruksi teknik yang ditanam atau
diletakkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan. Termasuk juga dalam pengertian
BANGUNAN adalah :
 jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik
dan emplasemennya, dan lain–lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks
bangunan tersebut;
 jalan tol, kolam renang, pagar mewah, tempat olahraga, galangan kapal &dermaga,
taman mewah;
 tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak;
 fasilitas lain yang memberikan manfaat.

F. Obyek pajak yang dikecualikan


Obyek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah Obyek Pajak yang :
a. digunakan semata–mataut melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial,
kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan Nasional yang tidak dimaksudkan untuk
memperoleh keuntungan;
b. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu;

149
150

c. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah
penggembalaan yang dikuasai oleh desa , dan tanah negara yang belum dibebani oleh
suatu hak;
d. digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
e. digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh
menteri keuangan;

G. Obyek pajak yang digunakan oleh negara


Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, dalam menyelenggarakan
pemerintahan memiliki, menguasai atau menggunakan juga obyek pajak.
Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan atas obyek pajak yang digunakan oleh
Negara/Pemerintah akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Mengenai BUMI dan/atau BANGUNAN milik perseorangan ataupun milik badan–badan


(hukum) yang digunakan oleh Negara, kewajiban perpajakannya (cq Pajak Bumi dan
Bangunan) tergantung kepada perjanjian yang diatur oleh kedua belah pihak.

Mengenai Rumah–rumah Dinas/Instansi, pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan akan


dilaksanakan oleh yang mendiami/penghuni Rumah Dinas, jadi tidak dapat dibebankan pada
keuangan Kantor.

H. Batas Nilai Jual Bangunan Tidak Kena Pajak (BTKP)


Obyek pajak berupa bangunan diberi batas Nilai Bangunan Tidak Kena Pajak (BTKP)
sebesar Rp.2.000.000,– untuk tiap satuan bangunan. Besarnya nilai Bangunan Tidak Kena
Pajak tersebut akan disesuaikan dengan suatu faktor penyesuaian yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan. Dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 25/KMK.04/1989 tanggal
9 Januari 1989, maka mulai 1 Januaru 1989 nilai jual Bangunan Tidak Kena Pajak telah
dinaikkan/disesuaikan menjadi Rp.3.500.000,00 dan terakhir besarnya BTKP adalah
Rp.7.500.000,00.

Adanya Batas Nilai Jual Bangunan Tidak Kena Pajak jelas memberi keringanan kepada
penduduk/masyarakat yang penghasilannya rendah/kurang memadai serta diharapkan bahwa
masyarakat akan bersedia untuk membangun tempat tinggal yang memadai/yang memenuhi
syarat kesehatan dengan Nilai Jual tersebut. Dengan berlakunya UU nomor 12 Tahun 1994,
maka pengurangan BTKP tidak ada lagi, yang ada sekarang adalah pengurangan NJOPTKP.

I. Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak. (NJOPTKP)


Sejak berlakunya UU No.12 Tahun 1994, yang mengubah UU No.12 Tahun 1985, maka
BTKP telah diganti dengan Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP).
Setiap obyek pajak dapat diberikan pengurangan NJOPTKP, namun apabila ada wajib pajak
yang memiliki obyek pajak lebih dari satu obyek dan berada dalam wilayah tempat pajak
terutang yang sama, maka penerapan pengurangan NJOPTKP hanya diberikan terhadap
obyek yang NJOP nya paling tinggi, obyek lainnya tidak ada pengurangan. Pada awalnya
NJOPTKP adalah sebesar Rp.8.000.000,00 untuk setiap Wajib Pajak. Sebagaimana halnya
dengan BTKP, maka NJOPTKP akan disesuaikan besarnya dalam waktu-waktu tertentu,
dengan keputusan Menteri Keuangan.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 201/KMK.04/2000 tanggal 6 Juni 2000
tentang Penyesuaian besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagai dasar
penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan, Menteri Keuangan telah menetapkan besarnya
NJOPTKP setinggi-tingginya Rp.12.000.000,00 untuk setiap Wajib Pajak. (Pasal 2 keputusan
tersebut). Besarnya NJOPTKP untuk setiap daerah Kabupaten/Kotamadya akan ditetapkan
150
151

oleh Kepala Kantor Wilayah DJP atas nama Menteri Keuangan dengan memperhatikan
pendapat PEMDA setempat, namun biasanya NJOPTKP yang akan ditetapkan tersebut
adalah setinggi-tinginya Rp.12.000.000,00 (Pasal 3 keputusan Menteri Keuangan tersebut).

J. Tarif Pajak
Tarif Pajak yang dikenakan atas obyek pajak adalah tarif tunggal, yakni sebesar 0,5% (lima
persepuluh persen).
Tarif efektif PBB di beberapa negara :
NAIROBI tarif 3,80 % dari NJOP
Jepang tarif 1,90 % dari NJOP
Lusaka tarif 1,10 % dari NJOP
Taiwan tarif 1.04 % dari NJOP
Korea tarif 0.90 % dari NJOP
Muangthai tarif 0.75 % dari NJOP
Malaysia tarif 0.48 % dari NJOP
Pilippina tarif 1.40 % dari NJOP
Indonesia tarif 0.5 % dari NJKP
Dengan demikian, untuk dapat menghitung besarnya Pajak Bumi dan Bangunan yang
terutang kita harus mengetahui NJKP, yang besarnya ditentukan oleh besarnya Nilai Jual
Obyek Pajak (NJOP).

K. Dasar Pengenaan Pajak (DPP)


Yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Obyek Pajak. Yang dimaksud dengan
NJOP adalah :
a. harga rata–rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar;
b. apabila tidak terdapat transaksi jual–beli, maka NJOP ditentukan melalui perbandingan
harga dengan obyek lain yang sejenis, atau
c. nilai perolehan baru, atau
d. Nilai Jual Obyek Pajak pengganti.

L. Kelasifikasi obyek pajak


Untuk memudahkan pelaksanaan perhitungan PBB, maka dalam pelaksanaannya
dikeluarkanlah keputusan klasifikasi obyek pajak berdasarkan SK Menteri Keuangan nomor
523/KMK.04/1998, saat ini telah dikeluarkan Peraturan Menteri Keuangan PMK No.
150/PMK.03/2010 dimana dalam SK tersebut diatur tentang klasifikasi NJOP untuk Tanah
dan Bangunan. Untuk obyek Bumi/tanah sector Perhutanan, sector Perkebunan, sector
Pertambangan, diatur dalam lamp I A. Untuk obyek Bangunan sector Perhutanan, sector
Perkebunan, sector Pertambangan, diatur dalam lamp I B. Untuk obyek Bumi sector
Pedesaan dan Perkotaan diatur dalam lamp II A, Untuk obyek Bangunan sector Pedesaan
dan Perkotaan diatur dalam lamp II B.

Selanjutnya ditentukan sebagai berikut :

a. Klasifikasi dan besarnya Nilai Jual Objek Pajak atas permukaan bumi berupa tanah
ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran IA dan IB Keputusan ini.
b. Klasifikasi dan besarnya Nilai Jual Objek Pajak atas permukaan bumi berupa bangunan
ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran IIA dan IIB Keputusan ini.
c. Dalam hal ada objek pajak yang nilai jual per M2 nya lebih besar dari ketentuan Nilai Jual
Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), Nilai Jual Objek Pajak yang
terjadi di lapangan tersebut digunakan sebagai dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan

151
152

d. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat atas nama Menteri Keuangan
menetapkan klasifikasi dan besarnya Nilai Jual Objek Pajak atas permukaan bumi dan/atau
bangunan di daerah-daerah dalam wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Daerah
Tingkat II di seluruh Indonesia
Berkaitan dengan Kelasifikasi PBB Sektor P3, lihat lampiran kelas

M. Dasar penghitungan pajak (NJKP)


Yang menjadi dasar penghitungan pajak adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP). Yang
dimaksud dengan NJKP adalah persentase tertentu dari NJOP. Besarnya persentase tersebut
adalah : serendah–rendahnya 20% dan setinggi–tingginya 100% dari NJOP. Penetapan
besarnya persentase NJKP tersebut ditentukan dengan Peraturan Pemerintah.
Sesuai dengan Pemerintah Pemerintah No.46 Tahun 1985 tanggal 27 Desember 1985, maka
besarnya persentase Nilai Jual Kena Pajak adalah 20% (duapuluh persen). Besarnya
prosentase NJKP telah beberapa kali mengalami perubahan yaitu dengan PP nomor 46 tahun
2000 dan terakhir sampai dengan tahun 2008 NJKP berdasarkan PP nomor 25 tahun 2002.

Berdasarkan PP nomor 25 tahun 2002, besarnya Nilai Jual Kena Pajak sebagai dasar
penghitungan pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak dan Bangunan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, ditetapkan untuk :

a. obyek pajak dan perkebunan, kehutanan dan pertambangan sebesar 40 % (empat


puluh persen ) dari Nilai jual Objek Pajak;
b. objek pajak lainnya :

sebesar 40 % ( empat puluh persen ) dari Nilai Jual Objek Pajak apabila Nilai Jual Objek
Pajaknya Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah ) atau lebih;

sebesar 20 % (dua puluh persen ) dari Nilai Jual Objek Pajak apabila Nilai Jual Pajak
Objeknya kurang dari Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)

N. Cara menghitung pajak

Setelah mengetahui unsur-unsur (NJOP, NJOPTKP, NJKP dan tariff), maka PBB dapat
dihitung dengan rumus :

PBB terhutang = 0,5 % x 20 % x NJOP

PBB terhutang = 0,5% x 40% x NJOP

Catatan: NJOP dimaksud harus dikurangi dengan NJOPTKP.

Contoh perhitungannya lihat pada lampiran.

M. PBB SEKTOR PERTAMBANGAN MINYAK BUMI DAN GAS BUMI (PBB MIGAS)

Dalam rangka pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 523/KMK.04/1998 tanggal


18 Desember 1998 jo. Keputusan Dirjen Pajak Nomor Kep-113/PJ.6/1998 tanggal 30
Desember 1998, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 451/KMK.04/1997 tanggal 28
Agustus 1997 jo. Keputusan Dirjen Pajak Nomor Kep-19/PJ.6/1997 tanggal 28 Oktober
152
153

1997, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 127/PMK.03/2007 tanggal 11 Oktober 2007,
sea adanya perubahan ketentuan di bidang Migas dan struktur organisasi PT. Pertamina
(Persero) dan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BPMIGAS), dengan ini
disampaikan petunjuk pengenaan PBB Migas dengan penjelasan sebagai berikut:

a. PengertianUmum
PBB Migas merupakan bagian dari pelaksanaan pengenaan PBB sektor pertambangan
disamping sektor lainnya yaitu pedesaan, perkotaan, perkebunan, perhutanan, dan
pertambangan non migas. Dalam pelaksanaan pengenaan PBB Migas, yang dimaksud
dengan:
1. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan
dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau
ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk
batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan
yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.
2. Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan
temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan Minyak dan
Gas Bumi.
3. Kegiatan Usaha Hulu adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pads kegiatan
usaha Eksplorasi dan Eksploitasi.
4. Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi
geologi untuk menemukan dan memperoleh perkoraan cadangan Minyak dan Gas
Bumi di Wilayah Kerja yang ditentukan.
5. Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan Minyak
dan Gas Bumi dari Wilayah Kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan
penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan
pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian Minyak dan Gas Bumi di iapangan
serta kegiatan lain yang mendukungnya.
6. Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia adalah seluruh wilayah daratan, perairan,
dan landas kontinen Indonesia,
7. Wilayah Kerja adalah daerah tertentu di dalam Wilayah Hukum Pertambangan
Indonesia untuk pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi.
8. Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain
dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan
hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
9. Areal Produktif adalah areal di dalam Wilayah Kerja baik di daratan maupun di
perairan yang telah diekspioitasi/menghasilkan minyak bumi dan atau gas bumi
(tahap eksploitasilproduksi).
10. Areal Belum Produktif adalah areal di dalam Wilayah Kerja baik di daratan maupun
di perairan yang meliputi:
a. Areal Penyelidikan Umum adalah areal yang sedang atau akan dilakukan
penyelidikan secara geologi umum, untuk membuat peta geologi dan mengetahui
tanda-tanda adanya bahan galian minyak bumi dan atau gas bumi.
b. Areal Eksplorasi adalah areal yang sudah dilakukan penyelidikan umum dan
perlu diteliti lebih seksama untuk menetapakan secara rinci adanya bahan galian
minyak bumi dan atau gas bumi.
c. Areal Non Producing open adalah areal yang sudah selesai dieksplorasi dan
sewaktuwaktu slap untuk ditambangldieksploitasi.
d. Areal Non Producing Plug and Abandon adalah yang sudah selesai
dieksploitasi dan untuk sementara ditutup/ditinggalkan.

153
154

11. Areal Tidak Produktif adalah areal di dalam Wilayah Kerja baik di daratan maupun
di perairan yang sama sekali tidak mempunyai potensi untuk menghasilkan minyak
bumi dan atau gas bumi.
12. Areal Emplasemen adalah areal di dalam maupun diluar Wilayah Kerja yang di
atasnya terdapat bangunan dan atau pekarangan.
13. Areal Pengamanan adalah areal di dalam maupun di luar Wilayah Kerja yang
digunakan sebagai pengamanan bangunan (misalnya jalur pipa) dan/atau
keselamatan lingkungan.
14. Areal Lainnya adalah areal yang berada di dalam maupun di luar Wilayah Kerja yang
tidak termasuk Areal Produktif, Areal Belum Produktif, Areal Tidak Produktif, Areal
Emplasemen, dan Areal Pengamanan.
15. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada
tanah danlatau perairan.
16. Hasil Produksi adalah produksi minyak dan atau gas bumi yang dijual dalam satu
tahun yang dinyatakan dalam ukuran barrel untuk minyak dan mscf untuk gas bumi.
17. Penjualan Hasil Produksi adalah perkalian Hasil Produksi dengan harga minyak dan
atau gas bumi dalam mata uang rupiah.

b. Objek Pajak, Subjek Pajak, dan Wajib Pajak


1. Objek PBB Migas terdiri atas permukaan bumi dan tubuh bumi.
a. Objek pajak di permukaan bumi meliputi areal di daratan dan di perairan
pedalaman (onshore) dan areal di perairan lepas pantai (offshore).
1 Objek pajak areal onshore terdiri atas Areal Produktif, Areal Belum
) Produktif, Areal Tidak Produktif, Areal Emplasemen, Areal
Pengamanan, dan Areal Lainnya serta Objek Bangunan.
2 Objek pajak areal offshore terdiri atas Areal Produktif, Areal Belum
) Produktif, Areal Tidak Produktif, dan Objek Bangunan.

b. Objek pajak tubuh bumi direpresentasikan dengan kapitalisasi Hasil Produksi.

1. Subjek Pajak PBB Migas adalah seluruh Kontraktor Kontrak Kerja Sama
(KKKS) yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, danlatau
memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, danlatau
memperoleh manfaat atas bangunan sesuai lugs Wilayah Kerja yang
dikuasainya.
2. Subjek Pajak sebagaimana butir 2 yang dikenakan kewajiban membayar pajak
menjadi Wajib Pajak PBB Migas.

c. Pendaftaran, Penilaian, dan Penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang


(SPPT)
1. Pendaftaran Objek Pajak
a. Subjek Pajak (KKKS) mendaftarkan Objek Pajaknya dengan mengisi
Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) dengan jelas, benar, lengkap,
dan ditandatangani, untuk disampaikan kepada BPMIGAS. SPOP dari
seluruh KKKS yang terkumpul diteruskan BPMIGAS kepada Ditjen Pajak
e.g. Direktorat Ekstensifikasi dan Penilaian.
b. SPOP terdiri dari SPOP Induk dan 4 (empat) jenis Lampiran SPOP yaitu:

1) Lampiran SPOP Areal Daratan (SPOP Onshore), yang menampung


data luas tanah, perairan pedalaman dan bangunan di dalam
Wilayah Kerja di daratan per kabupaten/kota.
2) Lampiran SPOP Areal Daratan di luar Wilayah Kerja (SPOP
154
155

Onshore Non WK), yang menampung data luas tanah dan


bangunan di luar Wilayah Kerja di daratan per kabupaten/kota.
3) Lampiran SPOP Areal Perairan Lepas Pantai (SPOP Offshore),
yang menampung data luas perairan laut dan bangunan di dalam
Wilayah Kerja di perairan lepas pantai.
4) Lampiran SPOP Hasil Produksi, yang menampung data Hasil
Produksi selama setahun sebelurn tahun pajak berjalan.
Bentuk formulir dan petunjuk pengisian SPOP dimaksud adalah
sebagaimana lampiran 1.

c. SPOP Induk dan Lampiran SPOP yang diterima dari BPMIGAS, oieh
Ditjen Pajak disampaikan kepada KPPBB/KPP Pratama sebagai
berikut:

1) Lampiran SPOP Onshore dan Lampiran SPOP Onshore Non WK,


disampaikan kepada KPPBB/KPP Pratama tempat objek pajak
berada.
2) Lampiran SPOP Offshore dan Lampiran SPOP Hasil Produksi
ditatausahakan berdasarkan angka perbandingan tertimbang yang
ditetapkan terlebih dahulu setiap tahun oleh Dirjen Pajak dengan
memperhatikan potensi sumber daya Migas masing-masing
kabupaten/kota serta azas pemerataan dan keseimbangan, yang
dituangkan dalam Keputusan Dirjen Pajak tentang rincian angka
perbandingan tertimbang penatausahaan data objek PBB Migas per
kabupaten/kota. Petikan angka perbandingan tertimbang dan
rincian pembagian datanya selanjutnya disampaikan kepada
masing-masing KPPBB/KPP Pratama.

2. Penilaian Objek
Pajak Penilaian objek PBB Migas dalam rangka penentuan besarnya Niiai dual
Objek Pajak (NJOP) untuk masing-masing peruntukkan objek pajak adalah
sebagai berikut:
a. NJOP Onshore dan NJOP Onshore Non WK ditentukan meialui
perbandingan harga tanah sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya
danlatau sebagaimana tatacara penilaian tanah untuk sektor lainnya.
b. NJOP Offshore ditentukan melalui perbandingan harga perairan/daratan
sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya.
c. NJOP Bangunan ditentukan melalui nilai perolehan baru sebesar biaya
pembangunan baru yang disusun berdasarkan Daftar Biaya Komponen
Bangunan (DBKB) setiap jenis bangunan setelah dikurangi penyusutan
fisik.
d. NJOP Tubuh Bumi ditentukan melalui nilai jual pengganti sebesar angka
kapitalisasi dikalikan Penjualan Hasil Produksi dalam satu tahun sebelum
tahun pajak berjalan
e. Angka kapitalisasi dalam penentuan NJOP tubuh bumi ditetapkan setiap
tahun
f. irektorat Ekstensifikasi dan Penilaian melakukan penelitian dan
memberikan persetujuan terhadap usulan perhitungan PBB sebagai dasar
bagi KPPBBIKPoleh Direktur Jenderal Pajak.

3. Penerbitan SPPT

155
156

a. Berdasarkan SPOP dan petikan angka perbandingan tertimbang Berta


rincian pembagian data objek PBB Migas per kabupaten/kota yang
diterima dari Ditjen Pajak, KPPBBIKPP Pratama melakukan perhitungan
PBB dan mengusulkannya kepada Ditjen Pajak c.q. Direktorat
Ekstensifikasi dan Penilaian.
b. Ditjen Pajak c.q. KPP Pratama untuk menerbitkan SPPT.
c. Setelah mendapatkan persetujuan dart Ditjen Pajak c q. Direktorat
Ekstensifikasi dan Penilaian, KPPBB/KPP Pratama menerbitkan SPPT
per kabupaten/kota dalam rangkap 3 (tiga). Rangkap pertama dan kedua
dikirimkan kepada Direktorat Ekstensifikasi dan Penilaian, dan rangkap
pertama setelah diteliti oleh Direktorat Ekstensifikasi dan Penilaian
diteruskan kepada Ditjen Anggaran. Rangkap ketiga untuk arsip
KPPBB/KPP Pratama yang bersangkutan.
d. Bentuk formulir Daftar Perhitungan Ketetapan PBB sebagaimana
dimaksud pada butir a adalah sebagaimana lampiran 2.

Ketentuan Lain-lain Dengan diterbitkannya Surat Edaran ini maka ketentuan butir I
dan II Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-24/PJ.6/1999 tanggal 23 April 1999 hal
Petunjuk Pengenaan PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, dinyatakan
tidak

O. PENGENAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEKTOR PERKEBUNAN

Dasar hokum pelaksanaan pemungutan PBB sector Perkebunan adalah, Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-50/PJ/2008 tanggal 30 Desember 2008. Dalam Per DJP
tersebut diatur berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:

a. Beberapa istilah dan pengertian

1. Sektor Perkebunan adalah objek pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang digunakan
untuk pengusahaan tanaman perkebunan dengan luasan paling sedikit 2 (dua)
hektar, termasuk emplasemen.
2. Standar Investasi Tanaman yang selanjutnya disebut SIT adalah jumlah biaya
tenaga kerja, bahan dan alat yang diinvestasikan untuk pembukaan lahan,
penanaman, dan pemeliharaan tanaman.
3. Surat Pemberitahuan Objek Pajak Sektor Perkebunan yang selanjutnya disebut
SPOP adalah surat yang digunakan oleh subjek pajak/Wajib Pajak untuk
melaporkan data objek pajak Sektor Perkebunan ke Direktorat Jenderal Pajak.
4. Lampiran Surat Pemberitahuan Objek Pajak Sektor Perkebunan yang selanjutnya
disebut LSPOP adalah formulir yang dipergunakan oleh subjek pajak/Wajib Pajak
untuk melaporkan data rinci objek pajak Sektor Perkebunan.
5. Formulir Data Masukan yang selanjutnya disebut FDM adalah formulir yang
digunakan sebagai sarana perekaman data ke dalam aplikasi SISMIOP untuk
Sektor Perkebunan.
6. Rincian Perhitungan Nilai yang selanjutnya disebut RPN adalah hasil keluaran
dari aplikasi SISMIOP untuk Sektor Perkebunan yang berisi informasi rinci
perhitungan nilai tanah dan nilai bangunan.
7. Nilai Dasar Tanah adalah nilai tanah areal perkebunan tidak termasuk SIT.
8. Pembentukan Basis Data adalah rangkaian kegiatan membentuk basis data objek
pajak untuk pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan ke dalam
basis data SISMIOP untuk Sektor Perkebunan.

156
157

9. Pemutakhiran/Pemeliharaan Basis Data adalah kegiatan menyesuaikan data objek


pajak untuk pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan dalam basis
data SISMIOP untuk Sektor Perkebunan.

b. Pengadministrasian dan dasar pengenaan PBB sektor perkebunan


1. Pengadministrasian pengenaan PBB Sektor Perkebunan dilakukan dengan
tahapan sebagai berikut:
a. SPOP dan LSPOP yang telah diisi oleh subjek pajak atau Wajib Pajak
digunakan sebagai dasar penghitungan nilai tanah dan nilai bangunan;
b. Hasil perhitungan nilai tanah dan nilai bangunan dituangkan ke FDM
dengan bentuk sebagaimana ditetapkan pada Lampiran I Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak ini;
c. SPOP sebagaimana dimaksud pada huruf a dan FDM sebagaimana
dimaksud pada huruf b digunakan sebagai sarana perekaman data ke dalam
aplikasi SISMIOP untuk Sektor Perkebunan.
2. Dasar pengenaan PBB Sektor Perkebunan adalah hasil penjumlahan antara
perkalian luas areal perkebunan dengan NJOP bumi per meter persegi dan
perkalian luas bangunan dengan NJOP bangunan per meter persegi, dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. NJOP bumi per meter persegi sebesar hasil konversi nilai tanah per
meter persegi ke dalam klasifikasi, penggolongan dan ketentuan nilai
jual permukaan bumi (tanah); dan
b. NJOP bangunan per meter persegi sebesar hasil konversi nilai
bangunan per meter persegi ke dalam klasifikasi, penggolongan, dan
ketentuan nilai jual bangunan.

c. Pendataan dan Penilaian objek pajak PBB sektor perkebunan


1. Dalam rangka pelaksanaan pendataan dan penilaian, areal perkebunan
dikelompokkan menjadi:
a. Areal Produktif, yaitu areal yang sudah ditanami meliputi areal tanaman
belum menghasilkan dan areal tanaman menghasilkan;
b. Areal Belum Produktif, terdiri dari:

1) Areal yang sudah diolah tetapi belum ditanami; dan/atau


2) Areal belum diolah;

c. Areal Emplasemen, yaitu areal yang digunakan untuk berdirinya


bangunan dan sarana pelengkap lainnya dalam perkebunan;
d. Areal Lainnya, terdiri dari:

1) Areal tidak produktif/tidak dapat dimanfaatkan, seperti rawa,


cadas, dan jurang; dan/atau
2) Areal jalan meliputi jalan utama yang terletak di dalam dan/atau di
luar areal perkebunan, jalan produksi yang berfungsi untuk
pengumpulan hasil dan jalan kontrol yang berfungsi untuk
pengawasan areal perkebunan.

2. Penghitungan nilai tanah areal perkebunan ditentukan sebagai berikut:


a. Nilai tanah Areal Produktif:

1) Nilai tanah Areal Produktif merupakan penjumlahan Nilai Dasar


Tanah Areal Produktif dan SIT.
157
158

2) Nilai Dasar Tanah Areal Produktif merupakan perkalian luas


dengan Nilai Dasar Tanah per meter persegi Areal Produktif.
3) Pedoman penentuan SIT ditetapkan sebagaimana pada Lampiran II
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.

b. Nilai tanah Areal Belum Produktif:

1) Nilai tanah Areal kebun yang sudah diolah tetapi belum ditanami
merupakan perkalian luas dengan nilai dasar tanah per meter
persegi areal kebun yang sudah diolah tetapi belum ditanami,
termasuk di dalamnya biaya pembukaan lahan.
2) Nilai tanah Areal kebun belum diolah merupakan perkalian luas
dengan Nilai Dasar Tanah per meter persegi areal kebun yang
belum diolah.

c. Nilai tanah Areal Emplasemen merupakan perkalian luas dengan Nilai


Dasar Tanah per meter persegi areal emplasemen, termasuk di
dalamnya biaya pematangan tanah.
d. Nilai tanah Areal Lainnya:

1) Nilai tanah Areal tidak produktif merupakan perkalian luas dengan


Nilai Dasar Tanah per meter persegi areal tidak produktif.
2) Nilai tanah Areal jalan merupakan perkalian luas dengan Nilai
Dasar Tanah per meter persegi areal jalan, termasuk di dalamnya
biaya pematangan tanah.
e. Nilai tanah per meter persegi areal perkebunan merupakan jumlah nilai
tanah Areal Produktif, Areal Belum Produktif, Areal Emplasemen dan
Areal Lainnya dibagi dengan jumlah luas Areal Produktif, Areal
Belum Produktif, Areal Emplasemen dan Areal Lainnya.

3. Penghitungan nilai bangunan ditentukan sebagai berikut:


a. Nilai bangunan tiap-tiap jenis bangunan merupakan perkalian luas
dengan nilai bangunan per meter persegi tiap-tiap jenis bangunan.
b. Nilai bangunan per meter persegi merupakan jumlah nilai seluruh
bangunan dibagi dengan jumlah luas seluruh bangunan.
4. Kegiatan pendataan dan penilaian objek pajak PBB Sektor Perkebunan
meliputi kegiatan Pembentukan Basis Data dan Pemutakhiran/Pemeliharaan
Basis Data dengan prosedur sebagaimana ditetapkan pada Lampiran III dan
Lampiran IV Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.

d. LAIN-LAIN
1. Dalam hal Wajib Pajak meminta informasi rinci perhitungan nilai tanah dan
nilai bangunan objek pajak PBB Sektor Perkebunan, KPP Pratama harus
menerbitkan RPN sebagaimana ditetapkan pada Lampiran V Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak ini.
2. Prosedur penerbitan RPN sebagaimana ditetapkan pada Lampiran IV Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
3. Untuk objek pajak yang selama ini telah ditetapkan sebagai objek pajak Sektor
Perkebunan, mulai Tahun Pajak 2009 harus diadministrasikan dalam aplikasi
SISMIOP untuk Sektor Perkebunan.

158
159

P. PENGENAAN PBB SEKTOR KEHUTANAN

Dalam rangka penyempurnaan tindak lanjut dari tata cara pengenaan PBB Sektor
Kehutanan sebagaimana telah ditetapkan oleh Keputusan Dirjen Pajak Nomor : KEP-
16/PJ.6/1998 dan diatur dengan SE-23/PJ.6/1998 dan diatur dengan SE-23/PJ.6/1999
tanggal 23 April 1999 dan SE-49/PJ.6/1999 tanggal 10 Agustus 1999, dengan ini
disampaikan hal-hal sebagai berikut :

1. Dalam pelaksanaan pengenaan PBB Sektor Kehutanan, yang dimaksud dengan :


a. Hasil bersih setahun adalah pendapatan kotor setahun dari penjualan hasil
produksi dikurangi dengan biaya eksploitasi.
b. Pendapatan kotor adalah total hasil produksi dalam tahun pajak sebelumnya
dikalikan dengan harga pasar kayu bulat sebagaimana harga pasar per 1
Januari dari tahun pajak berjalan.
c. Biaya Eksploitasi adalah biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi
meliputi :

(1) Penebangan/upah tenaga kerja dan peralatan;


(2) Pengangkutan sampai di tempat penimbunan kayu (logponds/logyards)
dalam areal hutan;
(3) Penanaman (Perhutani);
(4) Pemeliharaan hutan/perawatan (Perhutani);
(5) Pengendalian kebakaran dan pengamanan hutan;
(6) Pajak Bumi dan Bangunan dan Provisi Sumber Daya Hutan (untuk areal
blok tebangan) tahun pajak sebelumnya.

d. Areal produktif adalah areal hutan blok tebangan;


e. Areal belum produktif adalah areal hutan non blok tebangan;
f. Areal tidak produktif adalah areal hutan yang tidak ada tegakannya, seperti
areal rawa, payau, waduk/danau, atau yang digunakan pihak ketiga secara
tidak sah;
g. Areal emplasemen adalah areal yang di atasnya terdapat bangunan dan atau
pekarangan;
h. Log ponds adalah areal perairan yang digunakan untuk tempat penimbunan
kayu;
i. Log yards adalah areal daratan yang digunakan untuk penimbunan kayu;
j. Areal hutan yang tidak dikenakan PBB adalah hutan lindung, hutan suaka
alam, hutan wisata, taman nasional, dan tanah penggembalaan yang dikuasai
oleh desa;
k. Areal yang digunakan oleh pihak ke III adalah areal hutan yang digunakan
oleh pihak lain dengan pembuktian yang sah;
l. Luas areal Blok Tebangan adalah sebagaimana ditetapkan dalam Surat
Keputusan Rencana Karya Tahunan (RKT).

2. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Sektor Kehutanan atas:


(1) Hak Pengusahaan Hutan, Hak Pengusahaan Hasil Hutan, Perhutani, Izin
Pemanfaatan Kayu serta Izin Sah Lainnya selain Hak Pengusahaan Hutan
Tanaman Industri ditentukan sebagai berikut:
a. Areal produktif sebesar 8,5 x Hasil Bersih setahun sebelum tahun pajak
berjalan;
b. Areal belum produktif, tidak produktif, dan emplasemen adalah sebesar
luas areal dikalikan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah
159
160

sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah


Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan;
c. Objek Pajak berupa bangunan adalah sebesar luas bangunan dikalikan
dengan Nilai Objek Pajak berupa bangunan yang disusun berdasarkan
Daftar Biaya Komponen Bangunan sebagaimana ditetapkan dalam
Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama
Menteri Keuangan.

(2) Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri ditentukan sebagai berikut:


d. Areal produktif adalah sebesar luas areal dikalikan dengan Nilai Jual
Objek Pajak berupa tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri
Keuangan, ditambah dengan Jumlah Biaya Pembangunan hutan Tanaman
Industri menurut umur tanaman;
e. Areal tidak produktif dan areal emplasemen dalam Kawasan Hutan
Tanaman Industri, adalah sebesar luas areal dikalikan dengan Nilai Jual
Objek Pajak berupa tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri
Keuangan;
f. Objek Pajak berupa bangunan adalah sebesar luas bangunan
dikalikan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa bangunan yang disusun
berdasarkan Daftar Biaya Komponen Bangunan sebagaimana ditetapkan
dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas
nama Menteri Keuangan.

(3) Areal Log Ponds adalah sebesar luas areal dikalikan dengan Nilai Jual Objek
Pajak perairan yang ditentukan berdasarkan korelasi garis lurus ke samping,
dengan klasifikasi Nilai Jual Objek Pajak permukaan bumi berupa tanah
sekitarnya.

3. Penggolongan Wilayah, dan Besarnya Standar Biaya Pembangunan Hutan Tanaman


Industri untuk tahun pajak 1999 adalah sebagaimana tercantum pada Lampiran II
Keputusan Dirjen Pajak Nomor : KEP-16/PJ.6/1998 Tanggal 30 Desember 1998,
sedangkan penyesuaian besarnya Standar Biaya Pembangunan Hutan Tanaman
Industri untuk Tahun 2000 dan seterusnya ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan kondisi masing-masing daerah.
4. Yang dimaksud tanah sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya dalam penetapan
besarnya Nilai Jual Objek Pajak untuk areal belum produktif, tidak produktif, dan
emplasemen adalah perbandingan dengan objek yang sejenis dalam satu wilayah dan
apabila tidak ada yang sejenis dapat dibandingkan dengan objek yang sejenis pada
wilayah yang lain dengan dilakukan penyesuaian.
5. Yang dimaksud dengan penyesuaian adalah: membandingkan perbedaan karakteristik
objek yang dinilai dengan objek lainnya yang sejenis pada lokasi yang berdekatan dan
dinyatakan dalam bentuk nilai satuan rupiah.
6. Bentuk formulir Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) dan Daftar Perhitungan
adalah sebagaimana contoh pada Lampiran 2, 3, 4 dan 5 Surat Edaran ini.
7. Dengan berlakunya Surat Edaran ini, Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-
23/PJ.6/1999 dan SE-49/PJ.6/1999dinyatakan tidak berlaku.
8. Surat Edaran ini mulai berlaku sejak tahun pajak 2000.

160
161

Q. Tahun pajak , Saat menentukan dan Tempat pajak terutang


Tahun Pajak adalah jangka waktu satu tahun, yakni masa l Januari s/d 31 Desember, ini
berarti PBB terutang setahun sekali, apabila terjadi beberapa kali mutasi baik perubahan
pemilik dan obyek bangunan, seperti contoh berikut :
Per 1 Januari 2000, tanah kosong pemilik atas nama A,
Tanggal 15 Juni 2001 tanah kosong tersebut dijual kepada B,
lalu tanggal 6 Agustus 2001, B menjual lagi tanah tersebut kepada C,
tanggal 10 Desember 2001 diatas tanah kosong sudah dibangun rumah komplit dan sudah
bisa ditempati,
selanjutnya pada tanggal 30 Desember 2002 Tanah dan bangunan tersebut dijual lagi kepada
si D.
Pertanyaannya Siapa yang harus membayar PBB pada tahun yang bersangkutan, dan terhadap
obyek apa saja terhutang PBB nya.
Untuk menjawab hal tersebut, maka saat yang menentukan pajak yang terutang adalah
menurut keadaan obyek pajak pada tanggal 1 Januari, artinya Pajak Bumi dan Bangunan
dikenakan/dihitung menurut keadaan 1 Januari. Apapun terjadi setelah tanggal 1 Januari tidak
merubah siapa subyek dan terhadap obyek apa (tanah/bangunan) yang dibayar, perubahan
terjadi ditahun pajak berikutnya, Jadi yang menjadi subyek Tahun 2000 dan 2001 adalah
Tuan A, sedangkan tahun 2002 adalah Tuan D, karena keadaan per 1 Januari obyek tersebut
masih nama yang bersangkutan.
Tempat pajak terutang adalah diwilayah kabupaten/kota dimana letak obyek pajak berada,
kecuali untuk DKI Jakarta, PBB terutang di DKI Jakarta. Pengaturan ini dimaksudkan
berkaitan dengan wilayah administratif KPP mana yang berwenang menangani obyek
tersebut, seperti umpamanya pengajuan keringanan, penentuan NJOPTKP , Keberatan dan
lain-lain.

R. Cara pemungutan dan pembayaran PBB


Setelah mengetahui permasalahan OBYEK PAJAK, besarnya pajak yang terutang dan harus
dilunasi dan siapa yang harus melunasi Pajak Bumi dan Bangunan, tata cara pemungutan dan
pelunasan/pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan. PBB dapat dibayar di tempat-tempat
pembayaran yang ditunjuk, seperti pada Bank, kantor Pos dan Giro. Berdasarkan ketentuan
terbaru, PBB terutang dapat dibayar pada bank-bank yang ditunjuk untuk penerima
pembayaran, sebagai bukti pembayaran , WP akan mendapat STTS, atau SSP bila WP
membayarannya menggunakan SSP.

S. Pendaftaran obyek pajak dan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP)


Subyek Pajak wajib mendaftarkan obyek pajaknya dengan mengisi Surat Pemberitahuan
Obyek Pajak. SPOP harus diisi dengan jelas, benar, lengkap, dan ditandatangani serta
menyampaikannya kepada Kantor Ditjen Pajak (cq Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan) di wilayah mana obyek pajak berada dalam jangka waktu 30 hari setelah Subyek
Pajak menerima formulir SPOP.

T. Penetapan pajak
1. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT)
Berdasarkan data–data dalam SPOP, maka pihak Ditjen Pajak (cq Kepala Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan) akan menerbitkan SPPT. SPPT adalah surat yang
digunakan oleh Ditjen Pajak untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan
yang terutang kepada Wajib Pajak.
Pajak yang terutang dalam SPPT harus dilunasi selambat–lambatnya 6 (enam bulan)
setelah tanggal diterimanya/penerbitan SPPT.

2. Surat Ketetapan Pajak (SKP)


161
162

Surat Ketetapan Pajak akan diterbitkan dalam hal :


a. SPOP tidak disampaikan pada waktunya, walaupun sudah diterbitkan Surat Tegoran.
Dalam SKP ditetapkan jumlah Pajak Bumi dan Bangunan yang terutang dengan
ditambah sanksi berupa denda administrasi sebesar 25% dari pokok pajak.
b. Pajak yang terutang menurut hasil pemeriksaan atau keterangan lain lebih besar dari
pajak yang terutang menurut SPOP, yang telah dimuat dalam SPPT. Kekurangan
pajak tersebut ditagih dengan SKP dengan ditambah sanksi berupa denda
administrasi sebesar 25% dari pajak yang kurang dibayar.

Pajak yang harus dibayar, yang tercantum dalam SKP harus dilunasi selambat–
lambatnya 1 (satu) bulan, sejak tanggal diterimanya Surat Ketetapan Pajak (SKP).
Pembayaran/pelunasan pajak dilakukan pada Bank–bank yang ditunjuk dan Kantor
Pos & Giro dan/atau di tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

3. Penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP)


Apabila pajak yang terutang dalam SPPT dan/atau SKP tidak atau kurang
dibayar/dilunasi pada saat jatuh tempo, maka atas keterlambatan pembayaran/pelunasan
tersebut dikenakan denda administrasi sebesar 2% sebulan, dihitung dari saat jatuh tempo,
untuk janka waktu paling lama 24 bulan.
Jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dan/atau denda administrasi sebesar 2%
sebulan ditagih dengan Surat Tagihan Pajak (STP).

U. Penagihan pajak
Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT), Surat Ketetapan Pajak (SKP), dan Surat
Tagihan Pajak (STP) merupakan dasar penagihan.
Jumlah pajak yang terhutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak yang tidak dibayar pada
waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.
Menteri Keuangan dapat melimpahkan kewenangan penagihan pajak kepada Gubernur
/Kepala Daerah Tingkat I dan/atau Bupati?Walikotamadya/Kepala Daerah Tingkat II.
Berdasarkan UU Otonomi Daerah istilah Tk I dirubah menjadi Pemerintah Propinsi dan
Daerah Tk II, menjadi pemerintah Kabupaten/kota

V. Keberatan dan Banding


Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atas penerbitan :
a. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT);
b. Surat Ketetapan Pajak (SKP).

Syarat–syarat yang harus dipenuhi dalam pengajuan keberatan :


1. Keberatan diajukan secara tertulis;
2. Keberatan disusun dalam Bahasa Indonesia;
3. Dalam pengajuan keberatan harus dicantumkan alasan–alasan yang jelas yang
mengakibatkan diajukannya keberatan;
4. Dalam pengajuan keberatan Wajib Pajak harus menunjukkan besarnya pajak yang
terhutang menurut perhitungan Wajib Pajak;
5. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 bulan setelah diterimanya SPPT dan/atau
SKP.

Perlu diketahui bahwa pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar/melunasi


pajak.
Atas surat keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak memberi
keputusan, dalam jangka waktu 12 bulan. Apabila keputusan tidak diberikan dalam jangka
waktu paling lama 12 bulan, maka pengajuan keberatan Wajib Pajak dianggap diterima.
162
163

Keputusan Dirjen Pajak atas pengajuan keberatan Wajib Pajak dapat berupa :
 menerima seluruhnya atau sebagian;
 menolak pengajuan keberatan Wajib Pajak yang bersangkutan;
 menambah besarnya jumlah pajak yang terutang.
Terhadap/atas keputusan yang diberikan Dirjen Pajak, atas pengajuan keberatan oleh Wajib
Pajak, masih dapat diajukan permohonan banding kepada Badan Peradilan Pajak di Jakarta,
sebelum Badan Peradilan Pajak terbentuk. Pengajuan banding itu dilakukan apabila
keputusan yang diberikan Dirjen Pajak masih belum memuaskan bagi Wajib Pajak yang
mengajukan keberatan kepada Dirjen Pajak. Perlu dikatahui bahwa dengan UU No.17 Tahun
1997 Badan Peradilan Pajak sudah terbentuk yakni Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.,
selanjutnya telah juga diadakan perubahan dengan UU nomor 14 tahun 2002, mengenai
Pengadilan Pajak. Jadi WP yang masih keberatan terhadap SK Keputusan Keberatan dapat
menempuh upaya hokum berikutnya yaitu Banding ke Pengadilan Pajak.

Pengajuan banding harus memenuhi syarat–syarat sebagai berikut :


1. Pengajuan banding diajukan secara tertulis;
2. Pengajuan banding diajukan dalam Bahasa Indonesia;
3. Wajib Pajak melampirkan salinan Surat Keputusan Dirjen Pajak atas (berkaitan dengan)
pengajuan keberatan Wajib Pajak;
4. Pengajuan banding harus dilaksanakan dalam jangka waktu 3 bulan sejak diterimanya
Surat Keputusan Dirjen Pajak (sebagai tanggapan atas pengajuan keberatannya).
5. Telah membayar pajak terhutang sesuai % yang disepakati dalam berita acara hasil
pemeiksaan keberatan.

W. Pengurangan atau Keringanan


Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 19 UU No.12 Tahun 1985 jo UU No.12 Tahun 1994,
Menteri Keuangan dalam hal-hal tertentu dapat memberikan pengurangan pajak yang
terutang. Perlu segera dijelaskan bahwa pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan, yang
tercantum dalam SPPT sudah benar (sudah sesuai dengan ketentuan), namun karena keadaan-
keadaan tertentu pelunasan PBB yang terutang dalam SPPT tersebut agak susah
pelaksanaannya. Keadaan atau hal-hal tertentu tersebut dapat berupa:

1. karena kondisi tertentu dari Objek Pajak yang ada hubungannya dengan Subjek Pajak.
Kondisi dimaksud dapat berupa: Pembangunan jalan yang mengakibatkan Nilai lahan
menjadi naik dengan tajam pada hal pemanfaatannya oleh Wajib Pajak tidak mengalami
perubahan, demikian juga Orang pribadi dapat membangun Rumah tinggal dengan Nilai
yang cukup tinggi (pada waktu masih aktip berusaha/bekerja) namun setelah pensiun
(tidak aktip bekerja/berusaha) tidak mempunyai kemampuan untuk melunasi PBB yang
terutang, dan lain-lain keadaan.
2. karena Objek Pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa.
Bencana alam dapat berupa: gempa, banjir, tanah lonsor, dll.
Sebab lain yang luar biasa dapat berupa: kebakaran, kekeringan, wabah penyakit
tanaman, hama tanaman, dll.

Yang dimaksud dengan kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek
pajak dan atau karena sebab-sebab tertentu lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
huruf a adalah :
objek pajak berupa lahan pertanian/perkebunan/perikanan/peternakan yang hasilnya sangat
terbatas yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang pribadi;

163
164

a. objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang
pribadi yang berpenghasilan rendah yang nilai jualnya meningkat akibat adanya
pembangunan atau perkembangan lingkungan;
b. objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang
pribadi yang penghasilannya semata-mata berasal dari pensiunan, sehingga kewajiban
PBB-nya sulit dipenuhi;
c. objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang
pribadi yang berpenghasilan rendah, sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi;
d. objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak veteran
pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan termasuk janda/dudanya
e. objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak badan
yang mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas yang serius sepanjang tahun,
sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban rutin perusahaan.

Warga Negara Indonesia yang mendapat gelar Kehormatan dengan diberikan sebutan Veteran
Pejuang Kemerdekaan RI.
Warga Negara Indonesia yang mendapat gelar Kehormatan dengan diberikan sebutan Veteran
Pembela Kemerdekaan RI.

Pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 untuk masing-masing wilayah Daerah


Tingkat II Kabupaten atau Kotamadya, hanya diberikan untuk satu objek pajak yang dimiliki,
dikuasai dan atau dimanfaatkan wajib pajak.
Dalam hal wajib pajak orang pribadi memiliki, menguasai dan atau memanfaatkan lebih dari
satu objek pajak, maka objek pajak yang dapat diajukan permohonan pengurangan adalah
objek pajak yang menjadi tempat domisili wajib pajak.
Dalam hal wajib pajak yang memiliki, menguasai dan atau memanfaatkan lebih dari satu
objek pajak adalah wajib pajak badan, maka objek pajak yang dapat diajukan permohonan
pengurangan adalah salah satu objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan
wajib pajak.

Pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a dapat diberikan setinggi-


tingginya 75% (tujuh puluh lima persen) dari besarnya pajak terutang, dan ditetapkan
berdasarkan pertimbangan kondisi serta penghasilan wajib pajak;
Pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b dapat diberikan sampai dengan
100% (seratus persen) dari besarnya pajak terutang.
Pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan sebesar 75% (tujuh puluh lima
persen) dari besarnya pajak terutang.
Dalam hal permohonan pengurangan diajukan oleh janda/duda veteran yang telah
kawin/menikah lagi, maka besarnya persentase pengurangan diberikan sebagaimana
dimaksud pada ayat 1.

Permohonan pengurangan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Kantor
Pelayanan PBB yang menerbitkan SPPT atau SKP dengan mencantumkan besarnya
persentase pengurangan yang dimohonkan.
Dalam hal permohonan pengurangan diajukan terhadap SKP, maka pemberian pengurangan
PBB hanya dapat diberikan atas pokok ketetapan pajak terutang.
Permohonan pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan selambat-lambatnya
3 (tiga) bulan terhitung :

a. sejak tanggal diterima SPPT/SKP.


b. sejak terjadinya bencana alam atau sebab-sebab lain yang luar biasa.

164
165

c. Permohonan pengurangan PBB dapat diajukan secara perseorangan atau kolektif


(formulir 1/formulir 2a dan 2b/formulirB/FORMULIR 3a dan 3b).

X. Pembagian hasil penerimaan PBB


Pembagian hasil penerimaan pajak diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Sesuai
dengan Peraturan Pemerintah No.47 Tahun 1985, maka hasil penerimaan Pajak Bumi dan
Bangunan diperuntukkan sebagai berikut :
1. Untuk Pemerintah Pusat 10%, dan harus disetor sepenuhnya ke Kas Negara;
2. Untuk Pemerintah Daerah 90%;

Bagian Pemerintah Daerah, setelah dikurangi dengan biaya pemungutan sebesar 10%,
diperuntukkan :
1. Untuk Pemerintah Daerah Tingkat I sebesar 20% (duapuluh persen)
2. Untuk Pemerintah Daerah Tingkat II sebesar 80% (delapan puluh persen).

Y. Sanksi Pidana
1. Pidana Kurungan

Barang siapa karena ke alpaannya :

a. tidak mengembalikan/menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak kepada


Direktorat Jenderal Pajak;
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak, tetapi isinya tidak benar atau tidak
lengkap dan/atau melampirkan keterangan yang tidak benar;

sehingga menimbulkan kerugian Negara, di pidana dengan pidana kurungan selama-


lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya sebesar 2 (dua) kali pajak yang
terutang.

2. Pidana Penjara
1. Barang siapa dengan sengaja :
2. tidak mengembalikan/menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak kepada
Direktorat Jenderal Pajak;
3. menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak, tetapi isinya tidak benar atau tidak
lengkap dan/atau melampirkan keterangan yang tidak benar;
4. memperlihatkan surat palsu atau dipalsukan atau dokumen lain yang palsu atau
dipalsukan seolah-olah benar;
5. tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan surat atau dokumen lainnya;
6. tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan keterangan yang diperlukan;
7. sehingga menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya 2 (dua) tahun atau denda setinggi-tingginya sebesar 5 (lima) kali
pajak yang terhutang.
8. Terhadap bukan wajib pajak yang bersangkutan yang melakukan tindakan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d dan huruf e, di pidana dengan pidana
kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp.
2.000.000,- (dua juta rupiah).
9. Ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di lipatkan dua apabila
seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu)
tahun, terhitung sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang
dijatuhkan atau sejak dibayarnya denda.

165
166

Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan Pasal 25 tidak dapat dituntut
setelah lampau waktu 10 (sepuluh) tahun sejak berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan.

Z. CONTOH PERHITUNGAN PBB (sector P3)


1. PBB Perhutanan
PT. ALAM INDAH RAYA, sebuah perusahaan perseroam terbatas di bidang perhutanan,
memiliki/menguasai atau memanfaatkan Tanah dan Bangunan sebagai berikut :
A. Tanah
1. Areal produktif : tanah hutan blok tebangan= 15 Ha, klas 101,NJOP Rp 94.300/M2
2. Areal belum produktif: non blok tebangan = 23 Ha, klas 122 NJOP Rp 34.300/M2
3. Tanah :a.Log Ponds = 11 Ha, klas 122,(korelasi kesamping Rp 200/m2)
b.Log Yards = 8 Ha, klas 142, NJOP Rp 12.700/M2
4. Areal lainnya(rawa,payau) = 5 Ha, klas 143 NJOP Rp 12.100/M2
5.Areal Emplasment :
a) Pabrik = 35.000 m2, klas 103 NJOP Rp 86.000/M2
b) Gudang = 15.000 m2, klas 101 NJOP Rp 94.300/M2
c) Kantor = 5.000 m2, klas 099 NJOP Rp 103.000/M2
d) Tempat Rekreasi(tennis,bola voli ) = 15.000 m2, klas 143 NJOP Rp 12.100/M2
e) Perumahan = 23.000 m2, klas 099 NJOP Rp 103.000/M2
Catatan : Hasil penjualan kayu tahun lalu = Rp 4.000.000.000,
angka kapitalisasi: 8,5
B. Bangunan
a) Pabrik = 17.000 m2, klas 067 NJOP Rp 920.000/M2
b) Gudang = 13.000 m2, klas 067 NJOP Rp 920.000/M2
c) Kantor = 3.000 m2, klas 063 NJOP Rp 1.300.000/M2
d) Tenis court = 5.500 m2, klas 073 NJOP Rp 660.000/M2
e) Lapangan bola voli = 1.800 m2, klas 073 NJOP Rp 660.000/M2
f) Perumahan = 15,000 m2, klas 064 NJOP Rp 1.100.000/M2

Hitunglah PBB terutang atas obyek tersebut bila NJOPTKP diketahui Rp 24.000.000,-

2. PBB Perkebunan
PT. POHON NYIUR RAYA, sebuah perusahaan perseroam terbatas di bidang
perkebunan, memiliki/menguasai atau memanfaatkan Tanah dan Bangunan sebagai
berikut :
A.Tanah
1. Tanaman usia 3 tahun = 25 Ha, klas 101,NJOP Rp 94.300/M2
Standar investasi Rp 5.500.000,- per Ha
2. Tanaman sudah menghasilkan = 28 Ha, klas 122 NJOP Rp 34.300/M2
Standar investasi Rp 7.800.000,- per Ha
3 .Areal Emplasment :
a) Pabrik = 3.000 m2, klas 103 NJOP Rp 86.000/M2
b) Gudang = 1.000 m2, klas 101 NJOP Rp 94.300/M2
c) Kantor = 2.000 m2, klas 099 NJOP Rp 103.000/M2
d) Perumahan = 2.000 m2, klas 099 NJOP Rp 103.000/M2
e) Tempah Ibadah = 1.000 m2, klas 099 NJOP Rp 103.000/M2

B. Bangunan
a. Pabrik = 1.000 m2, klas 067 NJOP Rp 920.000/M2
b. Gudang = 600 m2, klas 067 NJOP Rp 920.000/M2
c. Kantor = 1.500 m2, klas 063 NJOP Rp 1.300.000/M2
166
167

d. Perumahan = 1,000 m2, klas 064 NJOP Rp 1.100.000/M2


e. Tempah Ibadah = 1.000 m2, klas 064 NJOP Rp 1.100.000/M2

Hitunglah PBB terutang atas obyek tersebut bila NJOPTKP diketahui Rp 24.000.000,-

3.PBB Pertambangan
A.Tanah
1. Areal produktif : = 25 Ha, klas 101,NJOP Rp 94.300/M2
2. Areal belum produktif :
a. General servey = 11 Ha, klas 142,NJOP Rp 12.700/M2
b. Eksplorasi = 8 Ha, klas 122, NJOP Rp 34.300/M2
4. Areal Tidak produktif = 5 Ha, klas 143 NJOP Rp 12.100/M2
5.Areal Emplasment :
a) Pabrik = 15.000 m2, klas 103 NJOP Rp 86.000/M2
b) Gudang = 5.000 m2, klas 101 NJOP Rp 94.300/M2
c) Kantor = 5.000 m2, klas 099 NJOP Rp 103.000/M2
d) Tempat Rekreasi(tennis,bola voli ) = 10.000 m2, klas 143 NJOP Rp 12.100/M2
e) Perumahan = 13.000 m2, klas 099 NJOP Rp 103.000/M2

B.Bangunan
f) Pabrik = 7.000 m2, klas 067 NJOP Rp 920.000/M2
g) Gudang = 3.000 m2, klas 067 NJOP Rp 920.000/M2
h) Kantor = 3.000 m2, klas 063 NJOP Rp 1.300.000/M2
i) Tenis court = 5.500 m2, klas 073 NJOP Rp 660.000/M2
j) Lapangan bola voli = 2.800 m2, klas 073 NJOP Rp 660.000/M2
k) Perumahan = 11,000 m2, klas 064 NJOP Rp 1.100.000/M2
C. Hasil Bersih Tahun Lalu, sebesar Rp 15.000.000.000,- angka kapitalisasi 9,5

Hitunglah PBB terutang atas obyek tersebut bila NJOPTKP diketahui Rp 24.000.000,-

LAMPIRAN I
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 150/PMK.03/2010

167
168

KLASIFIKASI DAN PENETAPAN NILAI JUAL OBJEK PAJAK SEBAGAI DASAR PENGENAAN PAJAK
BUMI DAN BANGUNAN

a. KLASIFIKASI NILAI JUAL OBJEK PAJAK BUMI UNTUK OBJEK PAJAK SEKTOR PERKEBUNAN,
OBJEK PAJAK SEKTOR PERHUTANAN, DAN OBJEK PAJAK SEKTOR PERTAMBANGAN.

Pengelompokan Nilai Jual Bumi Nilai Jual Objek Pajak Bumi


Klas
(Rp/m2) (Rp/m2)
001 > 3.064.000,00 s/d 3.136.000,00 3.100.000,00
002 > 3.010.000,00 s/d 3.064.000,00 3.037.000,00
003 > 2.948.000,00 s/d 3.010.000,00 2.979.000,00
004 > 2.902.000,00 s/d 2.948.000,00 2.925.000,00
005 > 2.850.000,00 s/d 2.902.000,00 2.876.000,00
006 > 2.804.000,00 s/d 2.850.000,00 2.827.000,00
007 > 2.754.000,00 s/d 2.804.000,00 2.779.000,00
008 > 2.710.000,00 s/d 2.754.000,00 2.732.000,00
009 > 2.662.000,00 s/d 2.710.000,00 2.686.000,00
010 > 2.618.000,00 s/d 2.662.000,00 2.640.000,00
011 > 2.574.000,00 s/d 2.618.000,00 2.596.000,00
012 > 2.530.000,00 s/d 2.574.000,00 2.552.000,00
013 > 2.486.000,00 s/d 2.530.000,00 2.508.000,00
014 > 2.426.000,00 s/d 2.486.000,00 2.456.000,00
015 > 2.382.000,00 s/d 2.426.000,00 2.404.000,00
016 > 2.324.000,00 s/d 2.382.000,00 2.353.000,00
017 > 2.260.000,00 s/d 2.324.000,00 2.292.000,00
018 > 2.206.000,00 s/d 2.260.000,00 2.233.000,00
019 > 2.146.000,00 s/d 2.206.000,00 2.176.000,00
020 > 2.094.000,00 s/d 2.146.000,00 2.120.000,00
021 > 2.038.000,00 s/d 2.094.000,00 2.066.000,00
022 > 1.988.000,00 s/d 2.038.000,00 2.013.000,00
023 > 1.936.000,00 s/d 1.988.000,00 1.962.000,00
024 > 1.888.000,00 s/d 1.936.000,00 1.912.000,00
025 > 1.836.000,00 s/d 1.888.000,00 1.862.000,00
026 > 1.794.000,00 s/d 1.836.000,00 1.815.000,00
027 > 1.742.000,00 s/d 1.794.000,00 1.768.000,00
028 > 1.702.000,00 s/d 1.742.000,00 1.722.000,00
029 > 1.642.000,00 s/d 1.702.000,00 1.672.000,00
030 > 1.602.000,00 s/d 1.642.000,00 1.622.000,00
031 > 1.544.000,00 s/d 1.602.000,00 1.573.000,00
032 > 1.496.000,00 s/d 1.544.000,00 1.520.000,00
033 > 1.438.000,00 s/d 1.496.000,00 1.467.000,00
034 > 1.394.000,00 s/d 1.438.000,00 1.416.000,00
035 > 1.340.000,00 s/d 1.394.000,00 1.367.000,00
036 > 1.300.000,00 s/d 1.340.000,00 1.320.000,00
037 > 1.248.000,00 s/d 1.300.000,00 1.274.000,00
038 > 1.214.000,00 s/d 1.248.000,00 1.231.000,00
039 > 1.164.000,00 s/d 1.214.000,00 1.189.000,00
040 > 1.130.000,00 s/d 1.164.000,00 1.147.000,00
041 > 1.080.000,00 s/d 1.130.000,00 1.105.000,00
042 > 1.050.000,00 s/d 1.080.000,00 1.065.000,00
043 > 1.004.000,00 s/d 1.050.000,00 1.027.000,00
044 > 968.000,00 s/d 1.004.000,00 986.000,00
045 > 930.000,00 s/d 968.000,00 949.000,00
046 > 902.000,00 s/d 930.000,00 916.000,00
047 > 870.000,00 s/d 902.000,00 886.000,00
048 > 844.000,00 s/d 870.000,00 857.000,00
049 > 814.000,00 s/d 844.000,00 829.000,00
050 > 790.000,00 s/d 814.000,00 802.000,00
051 > 762.000,00 s/d 790.000,00 776.000,00
052 > 740.000,00 s/d 762.000,00 751.000,00
053 > 714.000,00 s/d 740.000,00 727.000,00
054 > 692.000,00 s/d 714.000,00 703.000,00
055 > 668.000,00 s/d 692.000,00 680.000,00
056 > 646.000,00 s/d 668.000,00 657.000,00
057 > 624.000,00 s/d 646.000,00 635.000,00
058 > 604.000,00 s/d 624.000,00 614.000,00
059 > 584.000,00 s/d 604.000,00 594.000,00
060 > 566.000,00 s/d 584.000,00 575.000,00

168
169

061 > 546.000,00 s/d 566.000,00 556.000,00


062 > 528.000,00 s/d 546.000,00 537.000,00
063 > 508.000,00 s/d 528.000,00 518.000,00
064 > 492.000,00 s/d 508.000,00 500.000,00
065 > 472.000,00 s/d 492.000,00 482.000,00
066 > 456.000,00 s/d 472.000,00 464.000,00
067 > 434.000,00 s/d 456.000,00 445.000,00
068 > 420.000,00 s/d 434.000,00 427.000,00
069 > 400.000,00 s/d 420.000,00 410.000,00
070 > 388.000,00 s/d 400.000,00 394.000,00
071 > 368.000,00 s/d 388.000,00 378.000,00
072 > 358.000,00 s/d 368.000,00 363.000,00
073 > 340.000,00 s/d 358.000,00 349.000,00
074 > 330.000,00 s/d 340.000,00 335.000,00
075 > 314.000,00 s/d 330.000,00 322.000,00
076 > 304.000,00 s/d 314.000,00 309.000,00
077 > 290.000,00 s/d 304.000 ,00 297.000,00
078 > 280.000,00 s/d 290.000,00 285.000,00
079 > 268.000,00 s/d 280.000,00 274.000,00
080 > 258.000,00 s/d 268.000,00 263.000,00
081 > 248.000,00 s/d 258.000,00 253.000,00
082 > 237.000,00 s/d 248.000,00 243.000,00
083 > 227.000,00 s/d 237.000,00 232.000,00
084 > 215.000,00 s/d 227.000,00 221.000,00
085 > 205.000,00 s/d 215.000,00 210.000,00
086 > 195.000,00 s/d 205.000,00 200.000,00
087 > 184.000,00 s/d 195.000,00 190.000,00
088 > 176.000,00 s/d 184.000,00 180.000,00
089 > 164.000,00 s/d 176.000,00 170.000,00
090 > 156.000,00 s/d 164.000,00 160.000,00
091 > 146.000,00 s/d 156.000,00 151.000,00
092 > 139.000,00 s/d 146.000,00 143.000,00
093 > 131.000,00 s/d 139.000,00 135.000,00
094 > 124.000,00 s/d 131.000,00 128.000,00
095 > 120.000,00 s/d 124.000,00 122.000,00
096 > 114.000,00 s/d 120.000,00 117.000,00
097 > 110.000,00 s/d 114.000,00 112.000,00
098 > 105.000,00 s/d 110.000,00 107.500,00
099 > 100.900,00 s/d 105.000,00 103.000,00
100 > 96.300,00 s/d 100.900,00 98.600,00
101 > 92.300,00 s/d 96.300,00 94.300,00
102 > 87.900,00 s/d 92.300,00 90.100,00
103 > 84.100,00 s/d 87.900,00 86.000,00
104 > 79.900,00 s/d 84.100,00 82.000,00
105 > 76.100,00 s/d 79.900,00 78.000,00
106 > 72.300,00 s/d 76.100,00 74.200,00
107 > 68.900,00 s/d 72.300,00 70.600,00
108 > 65.500,00 s/d 68.900,00 67.200,00
109 > 62.500,00 s/d 65.500,00 64.000,00
110 > 59.500,00 s/d 62.500,00 61.000,00
111 > 56.700,00 s/d 59.500,00 58.100,00
112 > 54.100,00 s/d 56.700,00 55.400,00
113 > 51.500,00 s/d 54.100,00 52.800,00
114 > 49.100,00 s/d 51.500,00 50.300,00
115 > 46.900,00 s/d 49.100,00 48.000,00
116 > 44.700,00 s/d 46.900,00 45.800,00
117 > 42.700,00 s/d 44.700,00 43.700,00
118 > 40.700,00 s/d 42.700,00 41.700,00
119 > 38.700,00 s/d 40.700,00 39.700,00
120 > 36.900,00 s/d 38.700,00 37.800,00
121 > 35.100,00 s/d 36.900,00 36.000,00
122 > 33.500,00 s/d 35.100,00 34.300,00
123 > 32.100,00 s/d 33.500,00 32.800,00
124 > 30.500,00 s/d 32.100,00 31.300,00
125 > 29.100,00 s/d 30.500,00 29.800,00
126 > 27.700,00 s/d 29.100,00 28.400,00
127 > 26.300,00 s/d 27.700,00 27.000,00
128 > 24.900,00 s/d 26.300,00 25.600,00
129 > 23.700,00 s/d 24.900,00 24.300,00

169
170

> 22.500,00 s/d 23.700,00 23.100,00


130
> 21.500,00 s/d 22.500,00 22.000,00
131
> 20.500,00 s/d 21.500,00 21.000,00
132
> 19.500,00 s/d 20.500,00 20.000,00
133
> 18.500,00 s/d 19.500,00 19.000,00
134
> 17.600,00 s/d 18.500,00 18.100,00
135
> 16.800,00 s/d 17.600,00 17.200,00
136
> 16.000,00 s/d 16.800,00 16.400,00
137
> 15.200,00 s/d 16.000,00 15.600,00
138
> 14.400,00 s/d 15.200,00 14.800,00
139
> 13.600,00 s/d 14.400,00 14.000,00
140
> 13.000,00 s/d 13.600,00 13.300,00
141
> 12.400,00 s/d 13.000,00 12.700,00
142
> 11.800,00 s/d 12.400,00 12.100,00
143
> 11.200,00 s/d 11.800,00 11.500,00
144
> 10.700,00 s/d 11.200,00 11.000,00
145
> 10.200,00 s/d 10.700,00 10.500,00
146
> 9.700,00 s/d 10.200,00 10.000,00
147
> 9.300,00 s/d 9.700,00 9.500,00
148
> 8.900,00 s/d 9.300,00 9.100,00
149
> 8.500,00 s/d 8.900,00 8.700,00
150
> 8.100,00 s/d 8.500,00 8.300,00
151
> 7.700,00 s/d 8.100,00 7.900,00
152
> 7.300,00 s/d 7.700,00 7.500,00
153
> 7.000,00 s/d 7.300,00 7.150,00
154
> 6.600,00 s/d 7.000,00 6.800,00
155
> 6.300,00 s/d 6.600,00 6.450,00
156
> 5.900,00 s/d 6.300,00 6.100,00
157
> 2.800,00 s/d 3.000,00 2.900,00
172
> 2.600,00 s/d 2.800,00 2.700,00
173
> 2.400,00 s/d 2.600,00 2.500,00
174
> 2.220,00 s/d 2.400,00 2.310,00
175
> 2.060,00 s/d 2.220,00 2.140,00
176
> 1.910,00 s/d 2.060,00 1.990,00
177
> 1.770,00 s/d 1.910,00 1.840,00
178
> 1.620,00 s/d 1.770,00 1.700,00
179
> 1.500,00 s/d 1.620,00 1.560,00
180
> 1.380,00 s/d 1.500,00 1.440,00
181
> 1.250,00 s/d 1.380,00 1.320,00
182
> 1.150,00 s/d 1.250,00 1.200,00
183
> 1.050,00 s/d 1.150,00 1.100,00
184
> 950,00 s/d 1.050,00 1.000,00
185
> 860,00 s/d 950,00 910,00
186
> 780,00 s/d 860,00 820,00
187
> 700,00 s/d 780,00 740,00
188
> 630,00 s/d 700,00 670,00
189
> 560,00 s/d 630,00 600,00
190
> 510,00 s/d 560,00 540,00
191
> 450,00 s/d 510,00 480,00
192
> 410,00 s/d 450,00 430,00
193
> 370,00 s/d 410,00 390,00
194
> 330,00 s/d 370,00 350,00
195
> 290,00 s/d 330,00 310,00
196
> 250,00 s/d 290,00 270,00
197
> 210,00 s/d 250,00 230,00
198
> 190,00 s/d 210,00 200,00
199
> 150,00 s/d 190,00 170,00
200
< 150,00 140,00

b. KLASIFIKASI NILAI JUAL OBJEK PAJAK BANGUNAN UNTUK OBJEK PAJAK SEKTOR PERKEBUNAN,
OBJEK PAJAK SEKTOR PERHUTANAN, DAN OBJEK PAJAK SEKTOR PERTAMBANGAN

Pengelompokan Nilai Jual Bangunan Nilai Jual Objek Pajak


Klas
(Rp/m2) (Rp/m2)
001 > 15.800.000,00 s/d 16.100.000,00 16.000.000,00
002 > 15.434.000,00 s/d 15.800.000,00 15.600.000,00
003 > 15.066.000,00 s/d 15.434.000,00 15.250.000,00
004 > 14.688.000,00 s/d 15.066.000,00 14.800.000,00

170
171

005 > 14.330.000,00 s/d 14.688.000,00 14.500.000,00


006 > 13.970.000,00 s/d 14.330.000,00 14.150.000,00
007 > 13.612.000,00 s/d 13.970.000,00 13.800.000,00
008 > 13.246.000,00 s/d 13.612.000,00 13.430.000,00
009 > 12.904.000,00 s/d 13.246.000,00 13.075.000,00
010 > 12.538.000,00 s/d 12.904.000,00 12.720.000,00
011 > 12.213.000,00 s/d 12.538.000,00 12.380.000,00
012 > 11.887.000,00 s/d 12.213.000,00 12.050.000,00
013 > 11.562.000,00 s/d 11.887.000,00 11.725.000,00
014 > 11.229.000,00 s/d 11.562.000,00 11.395.000,00
015 > 10.921.000,00 s/d 11.229.000,00 11.075.000,00
016 > 10.612.000,00 s/d 10.921.000,00 10.770.000,00
017 > 10.296.000,00 s/d 10.612.000,00 10.450.000,00
018 > 10.004.000,00 s/d 10.296.000,00 10.150.000,00
019 > 9.688.000,00 s/d 10.004.000,00 9.850.000,00
020 > 9.413.000,00 s/d 9.688.000,00 9.550.000,00
021 > 9.137.000,00 s/d 9.413.000,00 9.275.000,00
022 > 8.862.000,00 s/d 9.137.000,00 9.000.000,00
023 > 8.579.000,00 s/d 8.862.000,00 8.720.000,00
024 > 8.321.000,00 s/d 8.579.000,00 8.450.000,00
025 > 8.063.000,00 s/d 8.321.000,00 8.190.000,00
026 > 7.796.000,00 s/d 8.063.000,00 7.930.000,00
027 > 7.554.000,00 s/d 7.796.000,00 7.675.000,00
028 > 7.313.000,00 s/d 7.554.000,00 7.430.000,00
029 > 7.070.000,00 s/d 7.313.000,00 7.190.000,00
030 > 6.830.000,00 s/d 7.070.000,00 6.950.000,00
031 > 6.588.000,00 s/d 6.830.000,00 6.710.000,00
032 > 6.346.000,00 s/d 6.588.000,00 6.470.000,00
033 > 6.104.000,00 s/d 6.346.000,00 6.225.000,00
034 > 5.862.000,00 s/d 6.104.000,00 5.980.000,00
035 > 5.613.000,00 s/d 5.862.000,00 5.740.000,00
036 > 5.387.000,00 s/d 5.613.000,00 5.500.000,00
037 > 5.138.000,00 s/d 5.387.000,00 5.260.000,00
038 > 4.930.000,00 s/d 5.138.000,00 5.030.000,00
039 > 4.700.000,00 s/d 4.930.000,00 4.825.000,00
040 > 4.488.000,00 s/d 4.700.000,00 4.600.000,00
041 > 4.296.000,00 s/d 4.488.000,00 4.390.000,00
042 > 4.104.000,00 s/d 4.296.000,00 4.200.000,00
043 > 3.912.000,00 s/d 4.104.000,00 4.010.000,00
044 > 3.713.000,00 s/d 3.912.000,00 3.813.000,00
045 > 3.537.000,00 s/d 3.713.000,00 3.625.000,00
046 > 3.362.000,00 s/d 3.537.000,00 3.450.000,00
047 > 3.180.000,00 s/d 3.362.000,00 3.270.000,00
048 > 3.020.000,00 s/d 3.180.000,00 3.100.000,00
049 > 2.862.000,00 s/d 3.020.000,00 2.940.000,00
050 > 2.696.000,00 s/d 2.862.000,00 2.780.000,00
051 > 2.554.000,00 s/d 2.696.000,00 2.625.000,00
052 > 2.384.000,00 s/d 2.554.000,00 2.470.000,00
053 > 2.261.000,00 s/d 2.384.000,00 2.320.000,00
054 > 2.100.000,00 s/d 2.261.000,00 2.200.000,00
055 > 1.975.000,00 s/d 2.100.000,00 2.050.000,00
056 > 1.885.000,00 s/d 1.975.000,00 1.950.000,00
057 > 1.781.000,00 s/d 1.885.000,00 1.833.000,00
058 > 1.675.000,00 s/d 1.781.000,00 1.730.000,00
059 > 1.568.000,00 s/d 1.675.000,00 1.620.000,00
060 > 1.464.000,00 s/d 1.568.000,00 1.516.000,00
061 > 1.359.000,00 s/d 1.464.000,00 1.410.000,00
062 > 1.239.000,00 s/d 1.359.000,00 1.300.000,00
063 > 1.161.000,00 s/d 1.239.000,00 1.200.000,00
064 > 1.041.000,00 s/d 1.161.000,00 1.100.000,00
065 > 993.000,00 s/d 1.041.000,00 1.020.000,00
066 > 943.000,00 s/d 993.000,00 968.000,00
067 > 895.000,00 s/d 943.000,00 920.000,00
068 > 844.000,00 s/d 895.000,00 870.000,00
069 > 802.000,00 s/d 844.000,00 823.000,00
070 > 753.000,00 s/d 802.000,00 780.000,00
071 > 718.000,00 s/d 753.000,00 730.000,00
072 > 682.000,00 s/d 718.000,00 700.000,00
073 > 647.000,00 s/d 682.000,00 660.000,00

171
172

074 > 610.000,00 s/d 647.000,00 630.000,00


075 > 580.000,00 s/d 610.000,00 595.000,00
076 > 550.000,00 s/d 580.000,00 565.000,00
077 > 518.000,00 s/d 550.000,00 530.000,00
078 > 492.000,00 s/d 518.000,00 505.000,00
079 > 461.000,00 s/d 492.000,00 480.000,00
080 > 440.000,00 s/d 461.000,00 450.000,00
081 > 418.000,00 s/d 440.000,00 429.000,00
082 > 397.000,00 s/d 418.000,00 408.000,00
083 > 374.000,00 s/d 397.000,00 385.000,00
084 > 356.000,00 s/d 374.000,00 365.000,00
085 > 338.000,00 s/d 356.000,00 347.000,00
086 > 282.000,00 s/d 338.000,00 310.000,00
087 > 278.000,00 s/d 282.000,00 280.000,00
088 > 250.000,00 s/d 278.000,00 264.000,00
089 > 230.000,00 s/d 250.000,00 240.000,00
090 > 220.000,00 s/d 230.000,00 225.000,00
091 > 185.000,00 s/d 220.000,00 191.000,00
092 > 170.000,00 s/d 185.000,00 180.000,00
093 > 136.000,00 s/d 170.000,00 162.000,00
094 > 128.000,00 s/d 136.000,00 132.000,00
095 > 104.000,00 s/d 128.000,00 116.000,00
096 > 92.000,00 s/d 104.000,00 98.000,00
097 > 74.000,00 s/d 92.000,00 83.000,00
098 > 68.000,00 s/d 74.000,00 71.000,00
099 > 52.000,00 s/d 68.000,00 60.000,00
100 > 52.000,00 50.000,00

172
173

BAGIAN VI
ATURAN BEA METERAI
A. Pendahuluan
Pembangunan Nasional menuntut keikutsertaan segenap warganya untuk berperan
menghimpun dana pembiayaan yang memadai, terutama harus bersumber dari
kemampuan dalam negeri, hal mana merupakan perwujudan kewajiban kenegaraan
dalam rangka mencapai tujuan Pembangunan Nasional;
Bea Meterai yang selama ini dipungut berdasarkan Aturan Bea Meterai 1921
(Zegelverordening 1921) tidak sesuai lagi dengan keperluan dan perkembangan keadaan
di Indonesia;
sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu diadakan pengaturan kembali tentang Bea
Meterai yang lebih bersifat sederhana dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat;
untuk mencapai maksud tersebut diatas, perlu dikeluarkan undang-undang baru
mengenai Bea Meterai yang menggantikan Aturan Bea Meterai 1921 (Zegelverordening
1921);

B. Beberapa Pengertan

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:


a. Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud
tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan/atau pihak-pihak yang
berkepentingan;
b. Benda meterai adalah meterai tempel dan kertas meterai yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Republik Indonesia;
c. Tandatangan adalah tandatangan sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk pula
paraf, teraan atau cap tandatangan atau cap paraf, teraan cap nama atau tanda lainnya
sebagai pengganti tandatangan;
d. Pemeteraian-kemudian adalah suatu cara pelunasan Bea Meterai yang dilakukan oleh
Pejabat Pos atas permintaan pemegang dokumen yang Bea Meterai-nya belum
dilunasi sebagaimana mestinya;
e. Pejabat Pos adalah Pejabat Perusahaan Umum Pos dan Giro yang diserahi tugas
melayani permintaan pemeteraian-kemudian.

C. Obyek, Tarif, Pengecualian Obyek

Dikenakan Bea Meterai atas dokumen yang berbentuk:


a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk
digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan
yang bersifat perdata;
b. akta-akta notaris termasuk salinannya;
c. akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-
rangkapnya;
d. surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah):

173
174

1) yang menyebutkan penerimaan uang;


2) yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening
di bank;
3) yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank;
4) yang berisi pengakuan bahwa hutang uang seluruhnya atau sebagiannya
telah dilunasi atau diperhitungkan;
e. surat berharga seperti wesel, promes, aksep, dan cek yang harga nominalnya
lebih dari Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah);
f. efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang harga nominalnya lebih
dari Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah).
Terhadap dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,
huruf d, huruf e, dan huruf f dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp.1.000,-
(seribu rupiah).
Dikenakan pula Bea Meterai sebesar Rp.1.000,- (seribu rupiah) atas dokumen yang
akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan:
a. surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan;
b. surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika
digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, lain dari maksud
semula;
Terhadap dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d, huruf e, dan
huruf f, yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp.100.000,- (seratus ribu
rupiah) tetapi tidak lebih dari Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) dikenakan Bea
Meterai dengan tarif Rp.500,- (lima ratus rupiah), dan apabila harga nominalnya
tidak lebih dari Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah) tidak terhutang Bea Meterai.
Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan besarnya tarif Bea Meterai dan besarnya
batas pengenaan harga nominal yang dikenakan Bea Meterai, dapat ditiadakan,
diturunkan, dinaikkan, setinggi-tingginya enam kali atas dokumen-dokumen

Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2000, tarif Bea Meterai diatur
sebagai berikut :

Dokumen yang dikenakan Bea Meterai berdasarkan Undang-Undang nomor 13


TAHUN 1985 tentang Bea Meterai adalah dokumen yang berbentuk:
a. surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk
digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau
keadaan yang bersifat perdata;
b. akta-akta Notaris termasuk salinannya;
c. akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) termasuk
rangkap-rangkapnya;
d. surat yang memuat jumlah uang, yaitu:
1)yang menyebutkan penerimaan uang;
2)yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam
rekening di Bank;

174
175

3)yang berisi pemberitahuan saldo rekening di Bank; atau


4) yang berisi pengakuan bahwa hutang uang seluruhnya atau sebagiannya
telah dilunasi atau diperhitungkan;
e. surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep; atau
f. dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan,
yaitu:
1) surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan;
2) surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan
tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh
orang lain, selain dari maksud semula.

Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a, huruf b, huruf e, dan


huruf f dikenakan Bea Meterai dengan tarif Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah).
Dokumen sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 huruf d dan huruf e :
a. yang mempunyai harga nominal sampai dengan Rp 250.000,00 (dua ratus lima
puluh ribu rupiah), tidak dikenakan Bea Meterai;
b. yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh
ribu rupiah) sampai dengan Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), dikenakan Bea
Meterai dengan tarif sebesar Rp 3.000,00 (tiga ribu rupiah);
c. yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah),
dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah).

Cek dan Bilyet Giro dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 3.000,00 (tiga
ribu rupiah) tanpa batas pengenaan besarnya harga nominal.
Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga nominal
sampai dengan Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dikenakan Bea Meterai dengan
tarif sebesar Rp 3.000,00 (tiga ribu rupiah), sedangkan yang mempunyai harga
nominal lebih dari Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dikenakan Bea Meterai dengan
tarif sebesar Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah).
Sekumpulan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tercantum dalam
surat kolektif yang mempunyai jumlah harga nominal sampai dengan Rp
1.000.000,00 (satu juta rupiah) dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp
3.000,00 (tiga ribu rupiah) sedangkan yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp
1.000.000,00 (satu juta rupiah) dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp
6.000,00 (enam ribu rupiah).
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 1995 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai, dinyatakan
tidak berlaku.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini ditetapkan
oleh Menteri Keuangan.Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Mei
2000.

175
176

D.Pengecualian Obyek

Tidak dikenakan Bea Meterai atas:


a. dokumen yang berupa:
1) surat penyimpanan barang;
2) konosemen;
3) surat angkutan penumpang dan barang;
4) keterangan pemindahan yang dituliskan di atas dokumen sebagaimana
dimaksud dalam angka 1), angka 2), dan angka 3);
5) bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang;
6) surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;
7) surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat sebagaimana
dimaksud dalam angka 1) sampai angka 6).
b. segala bentuk Ijazah;
c. tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya
yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk
mendapatkan pembayaran itu;
d. tanda bukti penerimaan uang Negara dari Kas Negara, Kas Pemerintah Daerah, dan
bank;
e. kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat
disamakan dengan itu dari Kas Negara, Kas Pemerintah Daerah, dan bank;
f. tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi;
g. dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada
penabung oleh bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang
tersebut;
h. surat gadai yang diberikan oleh Perusahaan Jawatan Pegadaian;
i. tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam bentuk
apapun.
E.Saat Terutang dan yang Terutang Bea Meterai

a. Saat terhutang Bea Meterai ditentukan dalam hal:


1. dokumen yang dibuat oleh satu pihak, adalah pada saat dokumen itu diserahkan;
2. dokumen yang dibuat oleh lebih dari satu pihak, adalah pada saat selesainya
dokumen itu dibuat;
3. dokumen yang dibuat di luar negeri adalah pada saat digunakan di Indonesia.

b. Pihak yang Terutang Bea Meterai


Bea Meterai terhutang oleh pihak yang menerima atau pihak yang mendapat manfaat
dari dokumen, kecuali pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain.

176
177

F. Bentuk, Ukuran dan Cara Pelunasan


1,Bentuk dan Ukuran
Bentuk, ukuran, warna meterai tempel, dan kertas meterai, demikian pula pencetakan,
pengurusan, penjualan serta penelitian keabsahannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

2. Cara Pelunasan
Bea Meterai atas dokumen dilunasi dengan cara:
a. menggunakan benda meterai;
b. menggunakan cara lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

1). Menggunakan Meterai Tempel


a. Meterai tempel direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di atas
dokumen yang dikenakan Bea Meterai.
b. Meterai tempel direkatkan di tempat dimana tanda tangan akan dibubuhkan.
c. Pembubuhan tanda tangan disertai dengan pencantuman tanggal, bulan, dan
tahun dilakukan dengan tinta atau yang sejenis dengan itu, sehingga sebagian
tanda tangan ada di atas kertas dan sebagian lagi di atas meterai tempel.
d. Jika digunakan lebih dari satu meterai tempel, tanda tangan harus dibubuhkan
sebagian di atas semua meterai tempel dan sebagian di atas kertas.

2). Menggunakan Kertas Meterai


Kertas meterai yang sudah digunakan, tidak boleh digunakan lagi.
Jika isi dokumen yang dikenakan Bea Meterai terlalu panjang untuk dimuat
seluruhnya di atas kertas meterai yang digunakan, maka untuk bagian isi yang
masih tertinggal dapat digunakan kertas tidak bermeterai.
Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud di atas tidak dipenuhi, dokumen
yang bersangkutan dianggap tidak bermeterai.

G. Sanksi dan cara Pelunasannya


Dokumen sebagaimana dimaksud di atas yang Bea Meterainya tidak atau kurang
dilunasi sebagaimana mestinya dikenakan denda administrasi sebesar 200% (dua ratus
persen) dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dibayar.
Pelunasannya harus melunasi Bea Meterai yang terhutang berikut dendanya dengan
cara pemeteraian-kemudian.
Dokumen yang dibuat di luar negeri pada saat digunakan di Indonesia harus telah
dilunasi Bea Meterai yang terhutang dengan cara pemeteraian-kemudian.
H. Larangan bagi Pejabat Terkait
Pejabat pemerintah, hakim, panitera, jurusita, notaris, dan pejabat umum lainnya,
masing-masing dalam tugas atau jabatannya tidak dibenarkan:
a. menerima, mempertimbangkan atau menyimpan dokumen yang Bea Meterai-nya
tidak atau kurang dibayar;
b. melekatkan dokumen yang Bea Meterai-nya tidak atau kurang dibayar sesuai
dengan tarifnya pada dokumen lain yang berkaitan;
c. membuat salinan, tembusan, rangkapan atau petikan dari dokumen yang Bea
Meterai-nya tidak atau kurang dibayar;
d. memberikan keterangan atau catatan pada dokumen yang tidak atau kurang

177
178

dibayar sesuai dengan tarif Bea Meterai-nya.


Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud di atas dikenakan
sanksi administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

I. Sanksi Pidana
Dipidana sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana:
a. barangsiapa meniru atau memalsukan meterai tempel dan kertas meterai atau
meniru dan memalsukan tanda tangan yang perlu untuk mensahkan meterai;
b. barangsiapa dengan sengaja menyimpan dengan maksud untuk diedarkan atau
memasukkan ke Negara Indonesia meterai palsu, yang dipalsukan atau yang dibuat
dengan melawan hak;
c. barangsiapa dengan sengaja menggunakan, menjual, menawarkan, menyerahkan,
menyediakan untuk dijual atau dimasukkan ke Negara Indonesia meterai yang
mereknya, capnya, tanda-tangannya, tanda sahnya atau tanda waktunya
mempergunakan telah dihilangkan seolah-olah meterai itu belum dipakai dan atau
menyuruh orang lain menggunakannya dengan melawan hak;
d. barang siapa menyimpan bahan-bahan atau perkakas-perkakas yang diketahuinya
digunakan untuk melakukan salah satu kejahatan untuk meniru dan memalsukan
benda meterai.

Barang siapa dengan sengaja menggunakan cara lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (2) huruf b tanpa izin Menteri Keuangan, dipidana dengan pidana
penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun.
Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah kejahatan.

178
179

BAGIAN VII
KUMPULAN SOAL-SOAL

SOAL PILIHAN GANDA BOBOT 20 % (JAWAB PADA KERTAS KERJA)


1. Berikut yang tidak termasuk dalam pengertian/definisi pajak adalah :
a. Pungutan resmi oleh negara kepada rakyat
b. Bersifat sukarela
c. Tidak ada kontrapretasi/imbalan langsung yang diterima wajib pajak
d. Untuk kepentingan bagi kemakmuran rakyat.
2. Hukum Pajak memiliki kedudukan sebagai salah satu dari hukum publik, yaitu hukum
yang mengatur hubungan antara negara dengan masyarakat/rakyatnya. Selain hukum
pajak, jenis hukum lain yang termasuk dalam hukum publik adalah :
a. Hukum dagang
b. Hukum waris
c. Hukum perdata
d. Hukum pidana
3. Asas pemungutan pajak menurut Adam Smith adalah :
a. Equality of ability, certainty, convinience of payment dan economic of collection
b. Asas manfaat, Asas daya pikul, Asas kesejahteraan, Asas kesamaan, Asas beban
sekecil-kecilnya.
c. Self Assessment, Official Assessment dan With holding assessment system.
d. Asas domisili, Asas sumber, Asas kebangsaan.
4. Jenis Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah Tingkat I (Propinsi) salah satu
diantaranya adalah :
a. Pajak Penghasilan
b. Pajak Bumi dan Bangunan Sektor P2
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
d. Pajak Reklame
5. Wajib pajak yang memiliki peredaran usaha melebihi 4,8 milyar pertahun, wajib
melaporkan SPT Masa/Tahunan Pajak Penghasilan dan PPN. Jenis SPT masa yang
wajib dilaporkan kecuali :
a. SPT Masa PPh Pasal 21/26
b. SPT Masa PPh Pasal 23/26
c. SPT Masa PPN
d. SPT Masa PPh Pasal 22
6. Kegiatan pemeriksaan pajak untuk tujuan menguji kepatuhan wajib pajak diantaranya
dalah (kecuali) :
a. Pemeriksaan SPT Lebih bayar
b. Pemeriksaan SPT Tahunan menunjukkan rugi
c. Pemeriksaan wajib pajak yang mengajukan keberatan pajak
d. Pemeriksaan wajib pajak yang mengajukan likuidasi/pembubaran usaha.
7. Ruang lingkup kegiatan pemeriksaan kantor diantaranya adalah :

179
180

a. Mengundang Wajib Pajak datang ke Kantor Pajak


b. Dilakukan pemeriksaan dengan mendatangi ke tempat wajib pajak
c. Dilakukan pemeriksaan lengkap
d. Pemeriksaan dilakukan meliputi seluruh jenis pajak.
8. Norma pemeriksa pajak yang harus dipatuhi oleh petugas pemeriksa pajak salah satu
diantaranya adalah :
a. Petugas Pemeriksa menunjukkan tanda pengenal hanya jika diminta wajib pajak
b. Petugas Pemeriksa meminta disediakan ruang di tempat wajib pajak selama proses
pemeriksaan
c. Pemeriksa wajib membuat laporan pemeriksaan pajak jika diminta wajib pajak
d. Pemeriksa pajak wajib memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak
tentang hasil pemeriksaan berupa hal-hal yang berbeda antara SPT dengan hasil
pemeriksaan untuk ditanggapi Wajib Pajak
9. Syarat wajib pajak mengajukan keberatan pajak diantaranya adalah (kecuali) :
a. Diajukan dalam bahasa Indonesia
b. Wajib pajak dapat mengajukan keberatan untuk beberapa masa/tahun pajak
c. Wajib pajak harus melunasi pajak terhutang minimal sejumlah yang disetujui
wajib pajak dalam pembahasan akhir pemeriksaan pajak
d. Surat Keberatan pajak ditandatangani oleh wajib pajak atau kuasanya dengan
menggunakan surat kuasa khusus.
10. Wajib Pajak Badan yang tidak menyampaikan SPT Tahunan, dan baru menyampaikan
SPT Tahunan setelah ditegur oleh Kantor Pelayanan Pajak, dikenai sanksi :
a. Denda 50% dari Pajak yang kurang dibayar dan sanksi keterlambatan sebesar Rp
1.000.000
b. Denda 50% dari Pajak yang kurang dibayar dan sanksi keterlambatan sebesar Rp
500.000
c. Denda 100% dari Pajak yang kurang dibayar dan sanksi keterlambatan sebesar Rp
100.000
d. Denda 100% dari Pajak yang kurang dibayar dan sanksi keterlambatan sebesar Rp
1.000.000

ESSAY SOAL TEORI


Jawablah 5 soal pertanyaan dari 8 soal pertanyaan dibawah ini
1. Jelaskan Pengertian dari NPWP serta fungsi dari NPWP tersebut!
2. Jelaskan mengenai Sistem Penggolongan Pajak di Indonesia
3. Jelaskan mengenai Sistem Pemungutan/Pemotongan Pajak yang berlaku di Indonesia!
4. Jelaskan mengenai Surat Pemberitahuan (SPT) dan jenis-jenis SPT!
5. Jelaskan mengenai kriteria Pembukuan dan Pencatatan (UU KUP Pasal 28)!
6. Dalam system pemungutan Pajak “Self Assessment” Wajib Pajak diberikan kepercayaan
untuk menetapkan, membayarkan dan melaporkan sendiri besarnya Pajak terutang. DJP
dalam hal ini berfungsi sebagai pengawas tepemerrhadap penyelenggaraan “Self
Assessment System” tersebut, salah satu fungsi pengawasan yang dilakukan DJP adalah
melalui Pemeriksaan Pajak.
a. Apakah dasar hukum Pemeriksaan Pajak serta Pengertian Pemeriksaan Pajak?

180
181

b. Jelaskan ruang lingkup serta Jenis-jenis Pemeriksaan Pajak!


7. Jelaskan Mengenai istilah-istilah dibawah ini:
a. SKPKB
b. SKPKBT
c. SKPLB
d. SKP NIHIL, dan
e. Keberatan, Gugatan dan Banding
8. Sebutkan dan jelaskan macam-macam tindak pidana di bidang Perpajakan?

SOAL KASUS HITUNGAN


1. PT TSM pada tanggal 12 Juli 2018 menyetorkan PPh Pasal 25 sebesar Rp 10.000.000.
Berdasarkan perhitungan dalam SPT Tahunan, seharusnya besarnya angsuran PPh
Pasal 25 setiap bulan adalah sebesar Rp 15.000.000. Pada tanggal 18 September 2018,
Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) untuk menagih
kekurangan pembayaran PPh Pasal 25 pada masa Juli 2018
.
Hitung berapa jumlah PPh kurang bayar dengan memperhitungkan sanksi
administrasi yang dibebankan kepada PT TSM!

2. PT TSM pada perhitungan pemotongan PPh Pasal 21 masa pajak Januari 2019
melakukan kesalahan perhitungan sehingga menimbulkan kekurangan PPh sebesar Rp
50.000.000. Akibat kesalahan tersebut Kantor Pelayanan Pajak pada tanggal 10 Maret
2019 menerbitkan STP. Hitung PPh beserta sanksi administrasi yang ditagih dalam
STP oleh Kantor Pelayanan Pajak!

3. PT Abadi Motor adalah salah satu perusahaan otomotif di daerah Jakarta Pusat. PT
Abadi Motor telah terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan Wajib Pajak di
KPP Gambir III, Jakarta Pusat. Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan atas
PT Abadi Motor diterbitkan SKPKB PPh BADAN PT Abadi Motor tahun 2016 pada
tanggal 20 Maret 2018 sebesar Rp 320.000.000,-
SKPKB tersebut jatuh tempo tanggal 19 April 2018
Pertanyaan:
a. PT Abadi Motor menyanggupi untuk membayar pajak yang terutang dengan
mengajukan permohonan angsuran, dan pihak KPP mengabulkan permohonan
angsuran tersebut sebanyak 8 kali angsuran (mulai dari 19 Mei 2018). Hitunglah
Pembayaran Pokok Pajak dan angsuran pajak tersebut (angsuran 1 sampai dengan
angsuran 8)
b. Apabila PT Abadi Motor mengajukan Penundaan Pembayaran Pajak, dan
dikabulkan permohonan Penundaan Pembayaran Pajak tersebut oleh pihak KPP
dengan jangka waktu penundaan selama 6 bulan. Hitunglah besarnya Pembayaran
Pajak atas Penundaan Pembayaran Pajak tersebut?

KASUS

181
182

1. SKPKB PPh Badan tahun 2013 atas nama PT. Stratakom terbit tanggal 5 Februari 2015
dengan perincian sebagai berikut :
 Pokok Pajak terutang Rp 1.100.000.000,-
 Kredit Pajak Rp 400.000.000,-
 Pajak Kurang Bayar Rp 700.000.000,-
 Sanksi Pasal 13 ayat (2) UU KUP Rp 196.000.000,-
 Pajak yang masih harus dibayar Rp 896.000.000,-
PT. Stratakom melunasi SKPKB tersebut pada tanggal 21 Februari 2015, dan pada
tanggal 24 Februari 2015 mengajukan keberatan
Keputusan Keberatan terbit tanggal 4 Agustus 2015 dengan perincian sebagai berikut:
 Pokok Pajak terutang Rp 800.000.000,-
 Kredit Pajak Rp 400.000.000,-
 Pajak Kurang Bayar Rp 400.000.000,-
 Sanksi Pasal 13 ayat (2) UU KUP Rp 112.000.000,-
 Pajak yang masih harus dibayar Rp 512.000.000,-
Berdasarkan hasil Keputusan Keberatan tersebut, saudara diminta untuk menghitung
besarnya Kelebihan Pembayaran Pajak serta hitung besarnya Imbalan Bunga yang
diperoleh PT. Stratakom?

2. KPP Pratama menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) sebesar Rp
1.100.000.000. Pada saat pembahasan akhir, Wajib Pajak hanya menyetujui sebesar Rp
450.000.000. Wajib Pajak kemudian mengajukan keberatan. Pertanyaannya :
a. Berapakah jumlah yang harus dibayar Wajib Pajak jika ingin mengajukan
keberatan ?
b. Jika sebelum mengajukan keberatan Wajib Pajak membayar sebesar Rp
500.000.000 dan SK Keberatan menyatakan jumlah ketetapan pajak menjadi Rp
750.000.000, maka berapa jumlah yang masih harus dibayar oleh Wajib Pajak
dengan asumsi Wajib Pajak tidak mengajukan banding ?

3. Bapak Satrio adalah Wajib Pajak Orang Pribadi. Untuk tahun pajak 2016 PPh
Terhutang yang harus dibayar oleh Bapak Satrio adalah Rp 5.000.000. Selama tahun
2016 Bapak Satrio telah membayar PPh Pasal 25 sebesar Rp 3.600.000. Bapak Satrio
baru membayar PPh Pasal 29 untuk tahun pajak 2016 pada tanggal 5 Juli 2017
sekaligus pada hari yang sama menyampaikan SPT Tahunan Wajib Pajak Orang
Pribadi. Pertanyaan :
a. Kapan batas waktu penyampaian SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi untuk
tahun pajak 2016 ?
b. Sanksi apa saja yang dikenakan terhadap Bapak Satrio atas keterlambatan
pembayaran dan penyampaian SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi tahun pajak
2016 ?
4. Wajib Pajak menerima Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) sebesar Rp
120.000.000,00 yang diterbitkan pada tanggal 2 januari 2009.
a. Kapan (tanggal berapa) batas akhir pelunasan SKPKB tersebut?
b. Jika Wajib Pajak tersebut diperbolehkan untuk mengangsur pembayaran pajak
dalam jangka waktu 12 bulan dengan jumlah angsuran yang tetap sebesar Rp
10.000.000,00 per bulan, apakah terhadap Wajib Pajak tersebut juga dikenakan
sanksi administrasi? Jika ya, berupa apa sanksinya dan bagaimana skema
perhitungannya?

182
183

c. Jika WP tersebut diperbolehkan untuk menunda pembayaran pajak sampai dengan


tanggal 30 juni 2009, apakah terhadap WP tersebut juga dikenakan sanksi
administrasi?

BAGIAN SOAL TEORI


Pilihlah jawaban yang benar dengan memberi tanda silang X pada jawaban a, b, c, atau d,
pada masing-masing soal berikut :

1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan Usaha atau pekerjaan bebas
dapat diberikan pengembalian pendahuluan Kelebihan Pajak Penghasilan apabila
memenuhi persyaratan berikut, kecuali....
a. Jumlah peredaran Usaha yang tercantum dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan
paling banyak Rp 4.800.000.000
b. Jumlah Lebih Bayar menurut SPT Tahunan PPh Kurang dari Rp 1.000.000
c. Jumlah Lebih Bayar menurut SPT Tahunan PPh paling banyak 0.5% dari
peredaran usaha
d. Telah terdaftar sebagai Wajib Pajak sekurang-kurangnya 2 Tahun

2. Yang bukan merupakan tugas dari Jurusita Pajak adalah


a. Memberitahukan Surat Paksa
b. Melaksanakan Penyitaan
c. Melaksanakan Penyanderaan
d. Mengusulkan Pencegahan

3. CV. Urak Arik menerima Surat Keputusan Keberatan pada tanggal 10 Juli 2016.
Tanggal berapakah paling lambat CV.Urak Arik masih dapat mengajukan banding ke
Pengadilan Pajak ?
a. 9 Agustus 2016
b. 10 September 2016
c. 9 Oktober 2016
d. 10 Januari 2017

4. Surat Keputusan Pembetulan ditertibkan dalam hal-hal sebagai berikut, kecuali...


a. Membetulkan kesalahan tulis
b. Membetulkan kesalahan hitung
c. Membetulkan putusan banding yang salah tulis
d. Membetulkan kekeliruan penerapan ketentuan tertentu.

5. Dalam hal dilakukan pemeriksaan atas kewajiban perpajakan Wajib Pajak Patuh yang
memperoleh pengembalian pendahuluan kelebihan pajak diterbitkan Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar , maka kekurangan pembayaran pajak ditambahkan dengan...
a. Sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% dari kekurangan pajak
b. Sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan
pembayaran pajak.
c. Sanksi ad ministrasi berupa denda sebesar 100% dari jumlah kekurangan
pembayaran pajak
d. Sanksi administrasi berupa bunga sebesar 100% dari jumlah kekurangan
pembayaran pajak.

183
184

6. Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat
membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau Surat Ketetapan Pajak dari hasil
pemeriksaan yang dilaksanakan :
a. Tanpa penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan.
b. Wajib Pajak menolak untuk diperiksa
c. Wajib Pajak menolak memberikan dokumen yang diminta
d. Semua Jawaban salah

7. Wajib Pajak menerima SKPKB sebesar Rp 20.400.000,- yang diterbitkan tanggal 5


Januari 2016 dengan batas akhir pelunasan tanggal 4 Februari 2016. Wajib Pajak
diperbolehkan untuk mengangsur pembayaran pajak dalam jangka waktu 6 bulan
dengan jumlah tetap sebesar Rp 3.400.000 setiap bulan.Sanksi adnministrasi berupa
bunga untuk setiap angsurang dihitung sebagai berikut :
a. Angsuran ke-1 : 2% X 20.400.000,- dan angsuran ke-2 : 2% X Rp 3.400.000
b. Angsuran ke-1 : 2% X 20.400.000,-dan angsuran ke-2 : 2% X Rp 18.000.000
c. Angsuran ke-1 : 2% X 20.400.000,-dan angsuran ke-2 : 4% X Rp 17.000.000
d. Angsuran ke-1 : 2% X 20.400.000,-dan angsuran ke-3 : 2% X Rp 13.600.000

8. Tindakan yang dapat dilakukan oleh Jurusita Pajak apabila Wajib Pajak / Penanggung
Pajak tidak mau menerima Surat Paksa yang disampaikan adalah :
a. Memaksa Wajib Pajak untuk menerima Surat Paksa
b. Membawa Kembali Surat Paksa ke Kantor Pelayanan Pajak
c. Menempelkan Surat Paksa di papan pengumuman KPP
d. Meninggalkan Surat Paksa tersebut ditempat Wajib Pajak / Penanggung Pajak

9. Pihak yang berwenang mengeluarkan keputusan pencegahan dalam rangka penagihan


pajak adalah :
a. Kepala Kantor Pelayanan Pajak
b. Direktur Jenderal Pajak
c. Menteri Keuangan
d. Kepala Kantor Imigrasi

10. Wajib pajak yang melakukan upaya Keberatan dan kemudian Banding atas Utang
Pajak Tahun 2016 yang akhirnya seluruh Banding Wajib Pajak ditolak maka terhadap
Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi bunga :
a. Denda sebesar 50%
b. Denda sebesar 50% dan 100%
c. Denda sebesar 100%
d. Bunga penagihan sebesar 2% per bulan

11. PT.Dika Menerima pemberitahuan dari Dirjen Pajak bahwa permohonan keberatan


atas SKPKB-nya tidak dapat dipertimbangkan karena disampaikan melewati jangka
waktu yang telah ditentukan. Upaya hukum dapat dilakukan PT.Dika berkaitan
dengan keberatan atas SKPKB-nya adalah…
a. Mengajukan Gugatan
b. Mengajukan Banding
c. Mengajukan Peninjauan Kembali
d. Mengajukan Permohonan Pembatalan.

184
185

12. Berdasarkan hasil penelitian SPT PPh Badan PT. Rubi untuk tahun 2016 yang
disampaikan tanggal 30 April 2017 dengan PPh Pasal 29 sebesar Rp 50.000.000
ditemukan adanya kesalahan hitung yang menyebabkan kekurangan pembayaran PPh
Pasal 29 sebesar Rp 175.000.000. Untuk menagih kekurangan
pembayaran pajak tersebut produk hukum yang diterbitkan tanggal 10 Juli 2017
adalah…
a. SKPKB dengan sanksi administrasi berupa bunga 6%
b. SKPKB dengan sanksi administrasi berupa bunga 14%
c. STP dengan sanksi administrasi berupa bunga 6%
d. STP dengan sanksi administrasi berupa bunga 14%

13. Kasus dibawah ini termasuk dalam pengertian Sengketa Pajak sebagaimana diatur
dalam Undang-undang Pengadilan Pajak, kecuali…
a. Sengketa yang timbul akibat dilaksanakanya SK Pembetulan
b. Sengketa yang timbul akibat dilakukanya penyanderaan
c. Sengketa yang timbul akibat pengumuman lelang
d. Sengketa yang timbil akibat dilakukanya penyitaan

14. Dirjen Pajak melakukan pemeriksaan Pajak terhadap PT.XYZ berdasarkan Surat
Perintah Pemeriksaan Pajak (SP3) tertanggal 16 Juni 2016. Pemeriksaan tersebut
dilakukan atas hak dan kewajiban wajib pajak untuk tahun 2015. Atas permintaan
DJP, Wajib pajak menyerahkan seluruh berkas yang diminta. Selanjutnya DJP
menerbitkan SKPKB pada tanggal 14 Februari 2017 sebesar Rp 10.000.000.000
kemudian diketahui bahwa dalam pemeriksaan tidak dilakukan pembahasan akhir
dengan wajib pajak , dengan demikian DJP dapat…
a. Menghapuskan SKPKB yang tidak benar karena dalam penerbitannya tidak
dilakukan pembahasan akhir
b. Mengurangi SKPKB yang tidak benar karena dalam penerbitanya tidak dilakukan
pembahasan akhir dengan WP
c. Membatalkan SKPKB karena dalam penerbitanya tidak dilakukan pembahasan
akhir dengan WP
d. Jawaban a, b, dan c benar

15. Wajib Pajak yang mengajukan pembetulan Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) untuk
tahun pajak 2013 yang diterbitkan pada tanggal 11 November 2017 dan
mengakibatkan kelebihan pembayaran pajak sebesar Rp 30.000.000, maka atas
kelebihan pajak tersebut dikembalikan....
a. Dan diberikan pengurangan sanksi administrasi berupa bunga dan denda
b. Tidak diberikan imbalan bunga karena produk hukum yang diterbitkan adalah
Surat Ketetapan Pajak Nihil
c. Ditambah dengan imbalan bunga sebesar 2% per bulan untuk paling lama 24
bulan
d. Tidak diberikan imbalan bunga karena yang diberikan imbalan bunga hanya
kelebihan pembayaran pajak sebagai akibat keberatan, banding atau peninjauan
kembali ke Mahkamah Agung

16. Liem Bhan Piet adalah seorang Warga Negara Indonesia yang berdomisili di
Surakarta, tetapi yang bersangkutan terdaftar sebagai Wajib Pajak di KPP Wajib
Pajak Besar Orang Pribadi. Kasus tersebut terjadi karena…

185
186

a. Liem Bhan Piet merupakan Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai


penghasilan sangat besar
b. Liem Bhan Piet merupakan wajib pajak orang pribadi yang berdasarkan Undang-
undang KUP harus terdaftar di KPP Wajib Pajak Besar Orang Pribadi karena
mempunyai penghasilan sangat besar
c. Liem Bhan Piet merupakan wajib pajak orang pribadi yang mempunyai
penghasilan sangat besar dan tempat usahanya berkedudukan di wilayah KPP
Wajib Pajak Besar Orang Pribadi
d. Liem Bhan Piet merupakan wajib pajak orang pribadi yang ditetapkan Direktur
Jenderal Pajak terdaftar di KPP Wajib Pajak Besar Orang Pribadi

17. PT.XYZ menerima Surat Keputusan Keberatan yang mengakibatkan pajak yang


masih harus dibayar sebesar Rp 500.000.000 diterbitkan pada tanggal 1 Juni 2016.
Berdasarkan UU KUP, batas akhir pelunasan Surat Keputusan Keberatan tersebut
paling lama adalah pada tanggal…
a. 30 juni 2016
b. 31 Juli 2016
c. 1 Juli 2016
d. 2 Juli 2016

18. Berdasarkan hasil penelitian SPT PPh Badan PT Mahameru untuk tahun pajak 2016
(tahun takwim) yang disampaikan tanggal 30 April 2017, ditemukan adanya
kesalahan hitung yang menyebabkan kekurangan pembayaran pajak. Untuk menagih
kekurangan pembayaran pajak tersebut produk hukum yang diterbitkan tanggal 10
Juni 2017 adalah…..
a. SKPKB dengan sanksi administrasi berupa bunga 4%
b. SKPKB dengan sanksi administrasi berupa bunga 12%
c. STP dengan sanksi administrasi berupa bunga 4%
d. STP dengan sanksi administrasi berupa bunga 12%

19. PT Ingin Patuh sebagai WP patuh telah diberikan pengembalian pendahuluan


kelebihan pembayaran pajak untuk masa pajak September 2016. Ketika dilakukan
pemeriksaan pada bulan Maret 2017 diketahui bahwa terdapat kesalahan yang
mengakibatkan kekurangan bayar untuk masa tersebut. Atas jumlah kurang bayar
tersebut PT Ingin Patuh dikenakan sanksi :
a. Bunga sebesar 2 % per bulan terhitung sejak pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak
b. Bunga sebesar 2 % per bulan terhitung sejak bulan SPT dilaporkan
c. Berupa denda sebesar 2 % dari Dasar Pengenaan Pajak
d. Berupa kenaikan sebesar 100 % dari jumlah kurang bayar

20. Wajib Pajak menerima Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang diterbitkan tanggal
10 Juni 2016 dengan jumlah yang masih harus dibayar sebesar Rp12.000.000,00.
Apabila Wajib Pajak tersebut diperbolehkan untuk menunda pembayaran pajak
sampai dengan tanggal 9 Januari 2017, maka Wajib Pajak tersebut dikenai sanksi
administrasi sebesar…..
a. 2% x 7 x Rp12.000.000,00 dan ditagih dengan penerbitan SKPKB
b. 2% x 6 x Rp12.000.000,00 dan ditagih dengan penerbitan SKPKB
c. 2% x 7 x Rp12.000.000,00 dan ditagih dengan penerbitan STP
d. 2% x 6 x Rp12.000.000,00 dan ditagih dengan penerbitan STP

186
187

Jawablah dengan benar dengan menyilang salah satu huruf a,b,c dan atau d pada kertas
jawaban saudara.
11. Yang termasuk objek pajak yang dikenakan PPh Final diantaranya adalah (kecuali)
e. Penghasilan bunga tabungan/deposito bank
f. Penghasilan bunga pinjaman yang diberikan oleh perusahaan rekanan bukan bank.
g. Penghasilan dari Hadiah Undian.
h. Penghasilan dari penjualan rumah.
12. Wajib pajak yang menyelenggarakan pembukuan, apabila mengalami kerugian usaha
dapat mengkompensasikan kerugian usahanya paling lama :
e. 8 tahun
f. 3 tahun
g. 5 tahun
h. 7 tahun
13. Bapak Slamet seorang pengusaha batik sudah berkeluarga memiliki 1 orang anak. Di
rumahnya tinggal Ibu mertua seorang pensiunan PNS. Bapak Slamet mengadopsi
seorang anak melalui kantor pengadilan. Pada tanggal 5 Januari 2019, Istri Pak Slamet
melahirkan anak kandung yang kedua. Berapa jumlah tanggungan dan PTKP Pak
Slamet untuk penghitungan PPh Tahun 2019?
e. K/3 PTKP 72.000.000
f. K/2 PTKP 67.500.000
g. K/1 PTKP 63.000.000
h. K/0 PTKP 54.000.000
14. Yang tidak termasuk sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri adalah :
e. Orang Pribadi yang lahir dan tinggal di Indonesia
f. Orang Pribadi yang lahir di Luar Negeri tetapi tinggal dan bekerja di Indonesia
g. Orang Pribadi yang lahir di Indonesia tapi tinggal di luar negeri
h. Orang Pribadi yang lahir di luar negeri tetapi tinggal di Indonesia selama 10 bulan
di Indonesia.
15. Objek Pajak Penghasilan yang dikenakan untuk wajib pajak dalam negeri adalah :
e. Penghasilan yang diperoleh dari dalam negeri saja
f. Penghasilan yang diperoleh dari luar negeri yang dikirim ke Indonesia
g. Penghasilan yang diperoleh dari dalam dan luar negeri
h. Penghasilan yang diperoleh dari usaha
16. Karakteristik dari Pajak Pertambahan Nilai diantaranya adalah (kecuali) :
e. Pajak yang sifatnya Langsung
f. Dikenakan pada rantai distribusi atau produksi
g. Dikenakan pada objek pajaknya, bukan subjek pajak
h. Dikenakan atas konsumsi di dalam negeri.
17. Ekspor yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah :
e. Ekspor Barang Kena Pajak yang sifatnya strategis
f. Ekspor Jasa Maklon yang dipesan oleh perusahaan asing yang tidak memiliki
BUT

187
188

g. Ekspor Jasa Konsultan pada perusahaan asing


h. Ekspor Barang Kena Pajak yang sifatnya konsumtif.
18. Apabila Pengusaha Kena Pajak memberikan sumbangan kepada Yayasan Sosial, atas
penyerahan barang kena pajak tersebut :
e. PKP tidak wajib memungut PPN
f. PKP wajib memungut PPN dan membebankan biaya PPN kepada pihak penerima
BKP
g. PKP wajib memungut PPN dan menanggung PPN terhutang.
h. PKP tidak wajib memungut PPN dan menyerahkan kepada Yayasan untuk
menyetor PPN sendiri
19. Objek PBB P3 meliputi Bumi dan Bangunan. Yang dimaksud bumi untuk sektor
Pertambangan meliputi :
e. Daratan di atas permukaan bumi
f. Area permukaan bumi (darat dan perairan) dan tubuh bumi
g. Permukaan darat, lautan dan udara
h. Permukaan bumi yang meliputi area daratan dan perairan
20. Pelunasan Bea Materai dapat dilakukan melalui (kecuali)
e. Benda Materai tempel dan materai kertas
f. Melalui Mesin Tera Manual
g. Melalui Teknologi Percetakan
h. Melalui Aplikasi sistem komputer yang telah didaftarkan ke KPP

1. (Perhitungan PPN), Poin = 20:


Penyerahan / Penjualan dan Perolehan / Pembelian BKP PT. Trisakti Jaya masa November
2018:
1. Tanggal 2 November, dijual 26 Set Komputer merk Samsung @ Rp.12.100.000 kepada
PT. Jaya Bahagia (harga belum termasuk sudah termasuk PPN).
2. Tanggal 6 November, dibeli dari pabrikan kulkas, 21 Unit Kulkas merk Samsung, harga
per unit Rp.5.200.000 (harga sudah termasuk PPN 10% dan PPnBM 20%).
3. Tanggal 10 November, dijual 16 Unit TV LED 60 in merk Samsung kepada
Kementerian BUMN RI, harga total Rp.12`100.000/unit (harga sudah termasuk PPN).
4. Tanggal 22 November, disumbangkan 5 Unit Televisi merk Toshiba @ Rp.4.500.000
kepada Yayasan Dompet Dhuafa (harga termasuk Keuntungan 20%).
5. Tanggal 22 November, dibeli kertas karton pembungkus barang pesanan dari CV.
Nusantara (Bukan PKP) dengan harga Rp.16.000.000.
6. Tanggal 28 November, dijual kepada Kantor Perwakilan WHO PBB di Indonesia, 6
Televisi Plasma 36 inci merk Panasonic, harga total Rp.37.400.000 (harga sudah
termasuk PPN).
7. Tanggal 30 November, dibeli 16 Set Laptop merk Toshiba dari Toko Jaya Laptop,
harga total Rp.9.900.000/unit (harga sudah termasuk PPN).
PERTANYAAN:
Hitung Pajak Keluaran (PK) dan Pajak Masukan (PM) serta KB atau LB yang terjadi masa
Nopember 2018

2. (Perhitungan BEA METERAI), Poin = 20


Berikut ini jenis dokumen yang disimpan oleh PT. Trisakti Jaya:

188
189

1. Rekening Koran (RK) Bank masa Januari s/d Desember 2018 diterbitkan oleh 6 bank
swasta, atas nama PT. Trisakti Jaya, dengan perincian:
a. 26 RK nominal diatas Rp.5.000.000.
b. 25 RK nominal kurang dari Rp.250.000.
c. 13 RK nominal kurang dari Rp.1.000.000, diatas Rp.250.000.

2. Sebanyak 80 Kuitansi pembelian barang dengan perincian:


a. 40 lembar dengan nominal kurang dari Rp.250.000.
b. 37 lembar dengan nominal diatas Rp.1.000.000.
c. 25 lembar dengan nominal diatas Rp.1.000.000 (HUT PT. Trisakti Jaya).
3. Sebanyak 17 Akta berkaitan dengan PT. Trisakti Jaya, masing-masing rangkap 3
(tiga).
4. Sebanyak 58.lembar Faktur Pajak dengan nominal diatas Rp.1.000.000.
5. Sebanyak 26 Faktur Penjualan kendaraan roda 2, digunakan oleh PT. Trisakti Jaya.
6. Surat Pernyataan peminjaman uang karyawan sebanyak 16 dokumen, dengan nominal
pinjaman rata-rata diatas Rp.1.650.000.
8. Surat Kuasa mengambil uang di Bank dengan jumlah pengambilan s/d Rp.650.000
sebanyak 26 Surat Kuasa serta jumlah pengambilan diatas Rp.1.000.000 sebanyak 16
Surat Kuasa.
9. Sebanyak 61 Set SSP dengan nominal diatas Rp.2.000.000.
10. Sebanyak 110 lembar Cek dan Giro dengan pengambilan diatas Rp.1.000.000.
PERTANYAAN:
Sebutkan Dokumen Terutang BM Rp.3.000 dan Rp.6.000 serta Tidak Terutang!

3. Hitungan PBB sektor P3


PT ADORA Batubara merupakan perusahaan di bidang pertambangan batubara di daerah
Kalimantan. Data SPOP yang disampaikan oleh Wajib Pajak untuk tahun 2018 kepada
KPP Pratama Kutai Kertanegara adalah sebagai berikut :
a. TANAH
 Area Produktif seluas 5 ha, Nilai Dasar Rp17.500/m2
 Area Belum produktif luas 2 ha, Nilai Dasar Rp 13.500/m2
 Area Tidak produktif luas 5 ha, Nilai Dasar Rp 12.750/m2
 Area Emplasement
 Pabrik, Luas 5.000, Nilai Dasar Rp 150.000/m2
 Kantor, luas 1.500 m2, Nilai Dasar Rp 165.000/m2
 Gudang, Luas 11.000 m2, Nilai Dasar Rp 165.000/m2
 Mess Karyawan luas, 5.000 m2, Nilai Dasar Rp 165.000/m2
b. BANGUNAN
 Pabrik, Luas 8.000 m2, Nilai Bangunan Rp 2.900.000/m2
 Perkantoran, Luas 2.500 m2, Nilai Bangunan Rp 3.500.000/m2
 Gudang, Luas 5.000 m2, Nilai Bangunan Rp 2.700.000/m2
 Perumahan, Luas 2.250 m2, Nilai Bangunan Rp 3.400.000/m2

Berdasarkan hasil produksi batubara selama tahun 2017, diperoleh data bahwa
produksi batubara selama 2017 adalah sejumlah 450.000 ton dengan harga pasar rata-

189
190

rata sebesar USD 35 per ton. Kurs nilai tukar rupiah USD terhadap Rupiah rata-rata
sebesar 13.300.
Hitung PBB sektor Pertambangan tahun 2018
jika NJOPTKP ditetapkan sebesar Rp 12.000.000.

4.Pajak Penghasilan point =20


PT Dita Jaya didirikan pada tahun 2010, bergerak dibidang perdagangan umum. PT
Angsana Jaya terdaftar sebagai wajib pajak di KPP Grogol Petamburan Jakarta Barat.
Selama menjalankan usahanya sejak tahun 2010, PT Angsana Jaya mengalami pasang
surut usaha. PT Angsana Jaya dikenakan tarif PPh sebesar 25%. Berdasarkan laporan
laba rugi, diperoleh data sebagai berikut :
 Tahun 2010 mengalami Rugi Usaha Rp 450.000.000
 Tahun 2011 mengalami rugi usaha Rp 150.000.000
 Tahun 2012 memperoleh laba usaha Rp 225.000.000
 Tahun 2013 memperoleh rugi usaha Rp 125.000.000
 Tahun 2014 mengalami rugi usaha Rp 250.000.000
 Tahun 2015 memperoleh laba usaha Rp 150.000.000

190
191

 Tahun 2016 memperoleh laba usaha Rp 325.000.000


 Tahun 2017 memperoleh laba usaha Rp 480.000.000
 Tahun 2018 memperoleh laba usaha Rp 575.000.000

Berdasarkan informasi tersebut, mulai tahun berapakah PT Angsana mulai membayar Pajak
Penghasilan, hitung PPh yang harus dibayar, dengan mempertimbangkan kompensasi rugi
pada tahun sebelu

I. SOAL KASUS (BOBOT 30 %)

Berikut di bawah ini adalah jenis dokumen yang simpan oleh PT ABC :
1. Sebanyak 15 akte berkaitan dengan perusahaan, masing-masing dengan 3 salinan
2. Sebanyak 55 lembar faktur pajak dengan nominal diatas 1 juta
3. Sebanyak 25 faktur penjualan kendaraan roda dua, yang digunakan oleh perusahaan
4. Surat pernyataan peminjaman uang untuk karyawan, sebanyak 15 dokumen, dengan
nominal pinjaman rata-rata di atas Rp 1.500.000
5. Ditemukan Rekening bank masa Jan s/d Desember 2014 yang diterbitkan oleh 5
Bank swasta, atas nama perusahaan, adapun rinciannya sbb :
1. Sebanyak 24 RK Bank nominal rata-rarta diatas 5 Juta
2. Sebanyak 24 RK Bank nominal saldo rata-rata kurang dari Rp 250.000,-
3. Sebanyak 12 RK Bank nominal kurang dari 1 juta diatas 250.000,-
6. Surat kuasa untuk mengambil uang di Bank, dengan jumlah pengambilan s/d Rp
500.000 sebanyak 25 Surat kuasa,dan jumlah pengambilan diata 1 juta sebanyak 15
surat kuasa ?.
7. Sebanyak 60 set SSP dengan nominal rata-rata diatas 2 juta.
8. Sebanyak 75 kwitansi internal panitia HUT TSM dengan rincian ssb:
a. 15 lembar kwitansi dengan nominal kurang daari Rp 250.000
b. 35 lembar kwitansi dengan nominal diatas 1 juta
c. 25 lembar kwitansi dengan nominal diatas 1.000.000
9. Dokumen berupa Bongol (potongan Cek/Bilyet Giro sbb :
a. Dengan nominal kurang dari Rp 250.000,- sebanyak 50 lembar
b. Dengan nominal diatas Rp 250.000 s/d Rp 1 juta, sebanyak Rp 60 lembar
c. Dengan nominal di atas Rp 1 juta sebanyak 30 lembar
10. Sebanyak 80 Kuitansi pembelian barang dengan perincian:
a. 40 lembar dengan nominal kurang dari Rp.250.000.
b. 37 lembar dengan nominal diatas Rp.1.000.000.
c. 25 lembar dengan nominal diatas Rp.1.000.000

Ditanyakan : sebutkan dokumen yang terutang Bea Meterai Rp 3000, Rp 6.000, dan
yang tidak terutang ?.

II. MULTIPLE CHOICE : (BOBOT 35 %)

Pilihlah jawaban yang paling benar diantara beberapa jawaban dengan membubuhkan
tanda lingkaran () atau tanda x pada awal huruf jawaban tersebut.

1. Sebelum berlaku Undang-undang Nomor 13 tahun 1985 pengaturan tentang


pengenaan Bea Meterai berlaku atas dokumen :

191
192

a. Bersifat publik
b. Bersifat perdata
c. Bersifat publik dan perdata
d. Semua dokumen

2. Menurut UU No. 13/1985 tentang Bea Meterai yang dimaksud dengan dokumen yang
dikenai Bea Meterai adalah :
a. Kertas yang berisikan tulisan tentang kenyataan, perbuatan, atau keadaan bagi
seseorang maupun para pihak
b. Semua media penyimpanan tulisan yang memuat tentang keadaan, perbuatan,
atau kenyataan bagi seseorang atau para pihak
c. Dokumen yang memuat semua kenyataan, perbuatan atau keadaan bagi
seseorang atau para pihak dalam bentuk elektronik
d. Dokumen yang hanya dibuat sepihak untuk kepentingan pembuktian

3. Bea Meterai adalah :


a. Salah satu jenis pajak
b. Bukan pajak
c. Tanda sahnya suatu dokumen
d. Kelengkapan dokumen

4. Kalau suatu perbuatan, atau kenyataan, atau keadaan tidak didokumentasikan dalam
bentuk tulisan pada kertas, maka :
a. Merupakan peristiwa kena pajak
b. Obyek bea meterai
c. Bukan obyek bea meterai
d. Bukan merupakan peristiwa kena pajak

5. Dokumen berupa perjanjian yang dibuat dihadapan notaris terutang bea meterai
dengan tarif :
a. Rp. 3.000
b. Rp. 6.000
c. Apabila dokumen tersebut memuat jumlah nominal uang lebih dari Rp. 1 juta,
Rp. 6.000
d. Apabila dokumen tersebut memuat jumlah nominal uang dari Rp. 250 rb s/d
Rp. 1 juta, Rp. 3.000

6. Surat-surat yang bersifat internal termasuk :


a. Dokumen yang dikenai bea meterai
b. Bukan obyek bea meterai
c. Dikenai bea meterai Rp. 6.000
d. Tidak dianggap sebagai dokumen

7. Pelunasan bea meterai umumnya menggunakan :


a. Benda meterai
b. Cara lain
c. Pengesahan oleh pejabat pajak
d. Surat Setoran Pajak (SSP)

8. Bea Meterai yang kurang atau tidak dilunasi pada suatu dokumen :

192
193

a. Dikenai sanksi administrasi 200%


b. Dokumen tidak dianggap sah
c. Dilunasi dengan cara pemetaraian kemudian
d. a dan c

9. Termasuk cara pelunasan bea meterai dengan cara lain :


a. Menggunakan mesin teraan
b. Teknologi pencetakan dan sistem komputerisasi
c. Pemeteraian kemudian
d. c salah

10. Pelunasan bea meterai dengan sistem komputerisasi adalah untuk penerbitan
dokumen:
a. Perjanjian
b. Pemeteraian rata-rata minimal 200 setiap hari untuk surat yang memuat
jumlah uang
c. Cek, bilyet giro , dan surat berharga lainnya
d. Jawaban a dan dokumen lainnya
11. Dokumen yang dibuat di luar negeri :
a. Tidak terutang bea meterai
b. Terutang bea meterai jika akan dimanfaatkan di Indonesia
c. Dilakukan dengan cara pemeteraian kemudian
d. b dan c

12. Cara melunasi denda administrasi dalam pemeteraian kemudian dilakukan dengan :
a. Melekatkan meterai tempel
b. Menyetor dengan Surat Setoran Pajak
c. Membayar ke kantor pos
d. Melalui perantaraan pejabat pos

13. Perbuatan menggunakan benda meterai yang telah digunakan seolah-olah benda
meterai tersebut belum digunakan, dikenai sanksi :
a. Sanksi administrasi
b. Sanksi pidana
c. Sanksi administrasi dan pidana
d. Sanksi pidana dengan ancaman hukuman pada Kitab Undang Undang Hukum
Pidana (KUHP)

14. Pelanggaran pelunasan bea meterai dengan cara lain, dikenai :


a. Sanksi administrasi
b. Sanksi pidana dengan ancaman hukuman paling lama 7 (tujuh) penjara
c. Sanksi pidana sesuai KUHP
d. Sanksi pidana dengan mengenakan denda

15. Dokumen yang dibuat tahun 2004 yang kurang atau tidak dilunasi bea meterainya
apabila akan dijadikan alat bukti pada tahun 2012 :
a. Terutang bea meterai dengan cara pemeteraian kemudian
b. Bukan peristiwa kena pajak lagi
c. Tidak ada kewajiban bea meterai
d. b dan c

193
194

KASUS

1. Kementerian Keuangan melakukan perjanjian dengan PT. Pembangunan


Perumahan (BUMN dengan usaha jasa konstruksi) untuk membangun gedung kantor
Kementerian Keuangan yang akan dilaksanakan PT. Pembangunan Perumahan.
Perjanjian tersebut dibuat di hadapan Notaris. Jelaskan keterkaitan dokumen tersebut
dengan Bea Meterai!

2. PT. Pertamina melakukan perjanjian dengan Chevron (perusahaan minyak Amerika


Serikat) yang pendokumentasiannya dibuat di New York, Amerika Serikat.
Perjanjian tersebut mewajibkan PT Pertamina menyuplai kebutuhan logistik Chevron
dalam explorasi minyak di daerah Riau. Beberapa saat kemudian setelah perjanjian
tersebut dilaksanakan timbul sengketa karena terjadi penasiran yang berbeda atas
perjanjian tersebut. Dokumen perjanjian tersebut merupakan salah alat bukti untuk
menyelesaikan kasus perdata tersebut di pengadilan tempat domisili Chevron, yaitu
Amerika serikat. Jelaskan apakah atas dokumen tersebut terutang Bea Meterai dan
apabila terutang kapan saat terutangnya dan bagaimana melunasinya!

MENGHITUNG PPN

PT. Elektronik baru , adalah perusahaan pabrikan barang mewah memproduksi barang barang
Elektronik dengan katagori Barang Mewah dengan tarif 30 %. Pada bulan Maret 2018 terjadi
transaksi sbb :

12. Pada tanggal 2 Maret 2018, mengimpor bahan baku dari Jepang sebanyak 500 unit
dengan harga US$ 450/unit, ongkos angkut di Jepang 5 % dari harga, Asuransi 15 %
dari harga, selanjutnya di Pelabuhan Tanjung priok dikenakan Bea Masuk 20 %, Bea
Masuk Tambahan 5 %, Bea pabean resmi Rp Rp 7500/unit, ongkos penurunan barang
Rp 15.000.000,-, ongkos pengantaran barang sampai di pabrik Rp 25.000000,- Kurs BI
US$ 1=Rp 13.200 dan PMK US$ 1=Rp 13.300
13. Pada tanggal 4 Maret 2018, dijual barang elektronik berupa TV LCD sebanyak 100 unit
kepada toko ABC, harga sudah termasuk PPN dan PPnBM Rp 5.600.000,-/unit
14. Disumbangkan 5 buah mesin cuci kepada Yayasan Panti jompo Rambut putih, harga
jual termasuk laba 15 % Rp 2.400.000/unit
15. Pada tanggal 6 Maret 2018 dibeli bahan pembantu dari pengusaha kecil (belum PKP)
sebanyak 1000 Kg, harga Rp 15.000,-/Kg
16. Pada tanggal 8 Maret 2018, dijual kepada Pemda DKI Jakarta 150 unit TV LED,
dipasang disetiap kantor kelurahaan, harga sudah termasuk PPN dan PPnBM Rp
7.000.000/unit
17. Dipergunakan sendiri 5 buah TV LCD, untuk dipasang diruang tamu dan lobi kantor,
harga jual sudah termasuk laba 15 % Rp 8.400.000/unit
18. Pada tanggal 10 Maret 2018 diserahkan untuk dijadikan jaminan utang 15 unit TV dan
10 unit Mesin cuci kepada PT. Valas, harga jual seluruhnya Rp 125.000.000,-

194
195

19. Diserahkan 10 unit TV 40 inz harga jual sudah termasuk laba 15 % kepada BNI 46
untuk dijadikan hadiah undian dalam rangka ulang tahun ke 56, harga Rp
14.000.000/unit
20. Dibeli I2 unit mobil truck pengangkut barang dagangan, harga sudah termasuk PPN 10
% Rp 220.000.000,- dari PT Agen Tunggal
21. Dibeli I unit mobil sedan merk Toyota Camry dari agen PT Jaya Persada, harga belum
termasuk PPN Rp 500.000.000,-
22. Dibayar jasa service AC kantor pemasaran, kepada CV Dingin Sekali, Rp 7.500.000,-

Ditanyakan: hitunglah Pajak Masukan dan Pajak keluaran serta berapa PPN kurang/lebih
bayar unutk masa Maret 2018 ?

SOAL ESSAY
1. Jelaskan yang dimaksud dengan penetapan NPWP dan PKP secara jabatan !
2. Jelaskan Pengertian dari NPWP serta fungsi dari NPWP tersebut!
3. Jelaskan mengenai Sistem Penggolongan Pajak di Indonesia
4. Jelaskan mengenai SistemPemungutan/Pemotongan Pajak yang berlaku di Indonesia!
5. Jelaskan mengenai Surat Pemberitahuan (SPT) dan jenis-jenis SPT!
6. Jelaskan mengenai kriteria Pembukuan dan Pencatatan (UU KUP Pasal 28)!
7. Dalam system pemungutan Pajak “Self Assessment” Wajib Pajak diberikan
kepercayaan untuk menetapkan, membayarkan dan melaporkan sendiri besarnya
Pajak terutang. DJP dalam hal ini berfungsi sebagai pengawas terhadap
penyelenggaraan “Self Assessment System” tersebut, salah satu fungsi pengawasan
yang dilakukan DJP adalah melalui Pemeriksaan Pajak.
8. Apakah dasar hukum Pemeriksaan Pajak serta Pengertian Pemeriksaan Pajak?
9. Jelaskan ruang lingkup serta Jenis-jenis Pemeriksaan Pajak!

10. Utang Pajak yang tidak dibayarkan sesuai jatuh tempo sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 9 ayat (3) dan (3a) UU KUP yaitu 1 (satu) bulan sejak diterbitkannya
Ketetapan/Keputusan maka DJP/KPP melakukan kegiatan Penagihan Pajak.
11. Apakah dasar hukum Penagihan Pajak?
12. Buatlah skema prosedur Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP)
13. Jelaskan Mengenai istilah-istilah dibawah ini:
a. SKPKB
b. SKPKBT
c. SKPLB
d. SKP NIHIL, dan
e. Keberatan, Gugatan dan Banding
14. Sebutkan dan jelaskan macam-macam tindak pidana di bidang Perpajakan?

SOAL KASUS

PT Velco Motors adalah salah satu perusahaan otomotif di daerah Jakarta Pusat. PT Velco
Motors telah terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan Wajib Pajak di KPP Gambir

195
196

II, Jakarta Pusat. Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan atas PT Velco Motors
diterbitkan SKPKB untuk Pajak Penghasilan Badan PT Velco Motors tahun 2013 sebesar Rp
240.000.000,- serta (Sanksi Adminintrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan)
SKPKB tersebut diterbitkan tanggal 20 Maret 2015

Pertanyaan:
PT Velco Motors menyanggupi untuk membayar pajak yang terutang dengan mengajukan
permohonan angsuran 12 bulan, dan pihak KPP mengabulkan permohonan angsuran tersebut
sebanyak 6 kali angsuran.
1. Hitunglah Pembayaran angsuran pajak tersebut (angsuran 1 sampai dengan angsuran 6).
2. Apabila PT.Velco Motors tidak mengajukan permohonan angsuran pembayaran Pajak
tetapi mengajukan permohonan Penundaan Pembayaran Pajak dan memperoleh jangka
waktu 6 bulan untuk Penundaan Pembayaran Pajak.

1. Daluwarsa berarti telah lewat batas waktu tertentu. Terdapat istilah Daluwarsa
Penetapan SKPKB dan SKPKBT. Ditanyakan :
a. Sejak kapan daluwarsa penetapan surat SKPKB dan SKPKBT dihitung?
b. Berdasarkan UU KUP apakah setelah melewati daluwarsa, berarti penerbitan surat
SKPKB dan SKPKBT tidak dimungkinkan sama sekali? Jelaskan!
2. Berapakah sanksi berupa denda apabila SPT terlambat disampaikan:
a. SPT Masa PPN;
b. SPT Masa Lainnya;
c. SPT Tahunan PPh WP Badan;
d. SPT Tahunan PPh WP OP.
3. Didalam UU KUP terdapat syarat subjektif Wajib Pajak.
a. Apa yang dimaksud dengan persyaratan subjektif dalam UU KUP? Jelaskan !
b. Apakah setiap WP adalah PKP? Jelaskan!

c. Jelaskan kapan paling lambat WP mendaftarkan diri? Jelaskan kapan paling


lambat pengusaha kena pajak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
menjadi Pengusaha Kena Pajak!

d. Apa sanksi yang dikenakan terhadap WP yang melanggar kewajiban


mendaftarkan diri?

4. Jelaskan apa fungsi Surat Pemberitahuan (SPT)! Jelaskan dalam hal apa SPT
dianggap tidak disampaikan ? Dengan cara apa saja SPT dapat disampaikan ?

5. Jelaskan hak apa saja yang dimiliki oleh WP berkaitan dengan penyampaian SPT?
Jelaskan sanksi apa saja yang dapat dikenakan apabila WP tidak memenuhi kewajiban
penyampaian SPT!

196
197

6. Jelaskan hak WP berkaitan dengan pembayaran pajak! Jelaskan sanksi di bidang


perpajakan yang berkaitan dengan pembayaran pajak!

7. Jelaskan Pengertian dan tujuan pemeriksaan pajak , Jelaskan jenis-jenis pemeriksaan


pajak!

a. Apa saja kewenangan yang dimiliki pemeriksa pajak dan apa saja kewajiban WP
yang diperiksa?

b. Apa saja produk pemeriksaan pajak untuk tujuan menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan WP ? Jelaskan dalam hal apa saja Dirjen Pajak dapat
menerbitkan SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN!

8. Apa yang dimaksud dengan tindak pidana di bidang perpajakan ?

9. Jelaskan pengertian penyidikan !

10. Dalam hal apa penyidik dapat menghentikan proses penyidikan ?

11. PT Maju Sejahtera memasukkan SPT Tahunan PPh Badan Tahun 2010 tepat waktu di
KPP Madya Jakarta Pusat. KPP Madya tersebut melakukan pemeriksaan terhadap
SPT Tahunan tersebut dengan hasil pemeriksaan berupa SKPKB yang dikeluarkan:
a. Apabila pada tanggal 19 September 2013 dengan Pajak yang terutang sebesar Rp
80.000.000 dan kredit pajak yang sebesar Rp 20.000.000. Hitung berapa besarnya
jumlah yang masih harus dibayar perusahaan!
b. Apabila SKPKB tersebut diterbitkan pada 25 September 2011 dengan pajak yang
terutang sebesar Rp 80.000.000 dan kredit pajak sebesar Rp 20.000.000. Hitung
berapa besarnya pajak yang masih harus dibayar perusahaan!
c. Bila dalam pemeriksaan tersebut ternyata Direktur Keuangan PT Maju Sejahtera
menolak untuk memberikan rekening koran milik perusahaan serta menolak untuk
memberikan keterangan kepada pemeriksa. Hitunglah berapa besarnya Pajak yang
masih harus dibayar perusahaan jika SKPKB tersebut diterbitkan pada 17
Desember 2011 jika diketahui bahwa besarnya PPh terutang adalah
Rp.200.000.000 dan kredit pajak adalah Rp 20.000.000.
12. Agnesmo adalah WP OP yang terdaftar pada KPP Pratama Surabaya Tegalsari.
Untuk tahun 2010, yang bersangkutan tidak menyampaikan SPT Tahunan PPh OP.
Setelah ditegur secara tertulis, Agnesmo tetap tidak menyampaikan SPT tersebut.
Karena dianggap tidak patuh, maka KPP kemudian melakukan pemeriksaan
terhadapnya. Hasil pemeriksaan menunjukkan Pokok PPh terutang adalah sebesar Rp
65.500.000 dan tanpa ada kredit pajak. Ketetapan / tagihan pajak akan diterbitkan
pada tanggal 9 Desember 2011. Tentukan ketetapan apa yang akan dikeluarkan oleh
KPP, berapa nilainya dan kapan pelunasannya!
13. Sdr. Jajang Febriana, Tax manager baru dari PT Yusuf Ahmadi menemukan data-data
penyampaian SPT Masa PPh Pasal 25 tahun 2013 sbb:

Masa Pajak Jumlah Tanggal Bayar Tanggal Lapor

197
198

Pembayaran
Januari 8.000.000 12 Februari 2014 21 Februari 2014
Februari 8.000.000 17 Maret 2014 20 Maret 2014
Maret 8.000.000 15 April 2014 20 April 2014
April 10.000.000 17 Mei 2014 21 Mei 2014

SPT Tahunan PPh Badan Tahun 2013 yang dimasukkan ke KPP pada tanggal 30
April 2014, diketahui bahwa besarnya angsuran PPh Pasal 25 Rp 10.000.000. KPP
dimana WP terdaftar menganalisa data tersebut dan menerbitkan tagihan atas semua
sanksi administrasi pada tanggal 10 Juni 2014.
Berdasarkan data tersebut, jawablah soal – soal dibawah ini :
a. Berapakah sanksi administrasi perpajakan yang harus dibayar WP?
b. Bagaimana cara atau melalui apa KPP menagih sanksi tersebut?
Jelaskan jawaban Saudara sesuai dengan ketentuan yang berlaku!
14. SPT PPh Badan tahun pajak 2010 dilakukan pemeriksaan atas PT Ismail Bersaudara.
Pemeriksa melakukan koreksi penjualan yang menyebabkan PPh menjadi kurang
bayar sebesar Rp 500 juta. Wajib Pajak tidak sepakat dengan pemeriksa dan hanya
menyetujui pajak yang masih kurang bayar sebesar Rp 100 juta. SKPKB diterbitkan
pada 10 Januari 2014.
a. Apabila WP melunasi hutang pajaknya kapan paling lambat pelunasan tersebut?
b. Jika WP melunasi hutang pajaknya tanggal 25 Maret 2014, maka berapa yang
harus dibayar WP beserta sanksinya?
c. Apabila WP mengajukan keberatan, berapa yang harus dibayar? Jelaskan disertai
dasar hukumnya!
d. Kapan WP paling lambat harus mengajukan keberatan ? Jelaskan!
e. Apabila keberatan WP dikabulkan sebagian sehingga pajak yang kurang bayar
menjadi Rp 300 juta, berapa yang masih harus dilunasi oleh WP? Sertakan rincian
penghitungannya.
15. Untuk tahun 2010, PT Sonya Namaku diterbitkan SKPKB senilai 1 Miliar Rupiah.
Dalam pembahasan akhir, Wajib Pajak hanya menyetujui koreksi atas pajak yang
masih harus dibayar sebesar Rp 200 juta. Wajib Pajak mengajukan keberatan dan
melunasi pajak sejumlah pajak minimal yang harus dibayar pada saat mengajukan
keberatan. Keputusan keberatan mengabulkan sebagian keberatan WP dan
menetapkan bahwa pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp 750 juta.
a. Persyaratan apa saja yang harus dipenuhi oleh WP ketika memutuskan hendak
mengajukan keberatan?
b. Hitung berapa jumlah yang harus dibayar saat mengajukan keberatan!
c. Hitung berapa sanksi administrasi untuk melaksanakan hasil keputusan keberatan!
d. Apabila ternyata WP mengajukan banding dan hasil putusan banding hakim
Pengadilan Pajak memutuskan besarnya pajak yang masih harus dibayar adalah
sebesar Rp 450 juta. Hitung besarnya sanksi administrasi!

198
199

PPN DAN PPnBM


PT. Mitra Jayasakti adalah perusahaan yang bergerak pada bidang industri barang-barang
elektronik, dengan kwalifikasi menghasilkan BKP mewah dengan tarif PPnBM 20 %.
Berikut transaksi penjualan dan pembelian yang terjadi pada masa bulan April 2016 sbb :
1. Untuk kebutuhan inventory stock-nya , PT. Mitra Jayasakti perusahaan PKP dan
mempunyai API mengimpor sejumlah barang dagangan dari Jepang pada tanggal 1
April 2016 (sesuai tanggal dokumen impor) dengan perhitungan harga sebagai berikut :

 Harga CIF, USD. 125,000.


 Bea Masuk15%
 Bea MasukTambahan5%
 PPh pasal 22 Impor 2,5%
 Pungutan Pabean yang sah (PNBP) sebesar Rp.4 juta
 Biaya Bongkar Muat barang di pelabuhanRp.15juta
 Biaya sewa gudang di pelabuhanRp. 20juta
 Kurs Bank Devisa pada tanggal dokumen impor, 1USD = Rp. 12.800.
 Kurs Menteri Keuangan pada tanggal dokumen impor, 1 USD = Rp. 12.700.

2. Tanggal 3 Okt 2015 Membeli bahan baku industri dari PT. Jaya Abadi (PKP)
sejulah 1000 unit @Rp 25.000,-dalam harga sudah termasuk PPN.
3. Tanggal 5 Okt 2015 menjual 25 unit BKP berupa Mesin cuci, harga Rp 13.000.000/ unit
sudah termasukPPn dan PPnBM 20 %.
4. Tanggal 7 Okt 2015, menjual 15 unit mobil bekas operasional perusahaan dengan harga
jual Rp 75.800.000,-/unit.
Hitunglah PPN Keluaran dan PPN Masukan, serta PPN Kurang/lebih bayar ?.

PAJAK PENGHASILAN

PT. Sinar mengalami kerugian fiskal tahun 2010 sebesar Rp 785.000.000,-. Laba dan rugi
fiskal untuk tahun – tahun berikutnya adalah
2011 : Laba Fiskal Rp 120.000.000
2012 : Rugi fiskal Rp 250.000.000
2013 : Laba fiskal Rp 380.000.000
2014 : Laba fiskal Rp 250.000.000
2015 : Rugi fiskal Rp 380.000.000

199
200

DAFTAR PUSTAKA

Brotodihardjo, R Santoso, 2010. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung,


Refika Aditama.
Fitriandi Primandita, Yuda Aryanto, Agus Puji Priyono, Kompilasi Undang
Undang Perpajakan Terlengkap, Jakarta : Salemba Empat.
Gunadi, 1999, Pajak Pertambahan Nilai, Jakarta

Ilyas, Wirawan B dan Rudy Suhartono, 2010, Ensiklopedia Perpajakan


Indonesia, Jakarta, Salemba Empat.
Ilyas, Wirawan Bm, Richard Burton, 2010, Hukum Pajak, Edisi 5, Jakarta,
Salemba Empat.
Mardiasmo, 2011 Perpajakan, Yogyaakarta, Andi Yogyakarta.

Priantara, Diaz, 2012, Perpajakan Indonesia, Jakarta, Mitra Wacana Media.

Purwono, Herry, 2010, Dasar Dasar Perpajakan dan Akutansi Perpajakan,


Jakarta, Erlangga.
Resmi, Siti 2011, Perpajakan Teori dan Kasus, Jakarta, Salemba Empat.

Waluyo, 2010, Perpajakan Indonesia, edisi 9, \jakarta, Salemba Empat.

Undang-Undang nomor 28 Tahun 2007, UU nomor 16 Tahun 2009, tentang


Ketentuan Umum dan Tata CaraPerpajakan
Uundang undang nomor 36 Tahun 2008, tentang Pajak Penghasilan

Undang undang nomor 42 Tahun 2009, tentang Pajak Pertambahan Nilai

Undang Undang nomor 12 Tahun 1994, tentang Pajak Bumi dan Bangunan

Undang undang nomor 13 Tahun 1985, tentang Bea Meterai

Undang undang nomor 28 Tahun 2009, tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah

.....................Peraturan Pemerintah

.....................Peraturan Menteri Keuangan

.....................Peraturan

200

Anda mungkin juga menyukai