Anda di halaman 1dari 11

TUGAS PERPAJAKAN

DOSEN PENGAMPU: Asriyani Mulia Basri, S.E, M.M

OLEH:
Annisa Dewi Islamy
A1A622063

JURUSAN PENDIDIKAN AKUNTANSI (SI)


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2023/2024
SOAL
1. Buat ringkasan sejarah peraturan Perpajakan awal kemerdekaan
2. Meringkas materi pemungutan pajak.
JAWABAN:

1. Sejarah pajak di Indonesia dimulai sejak diberlakukannya ‘huistaks’ yaitu pada tahun 1816.
Huistaks adalah pajak yang dikenakan bagi suatu warga negara yang mendiami suatu
wilayah atau tempat tertentu di atas bumi. Seperti sewa tanah,bangunan atau yang sekarang
dikenal dengan Pajak Bumi dan Bangunan. Tetapi saat itu, rakyat Indonesia harus
menyetornya ke pemerintah Belanda. Berikutnya menunjukkan bahwa jenis – jenis pajak
bertambah lagi, yaitu :

a. Tahun 1920 ada Ordonantie op de Herziene Inkomstenbelasting alias Pajak


Penghasilan.
b. Tahun 1925 ada Ordonantie op de Vennootschapbelasting alias Pajak Perseroan atau
sekarang dikenal dengan nama Pajak Penghasilan Badan.

Zaman Belanda dan saat penjajahan Jepang, mereka memungut pajak dari berbagai
hasil bumi yang ada di Indonesia. Jauh sebelum itu, kerajaan – kerajaan yang ada di
Nusantara ini juga sudah menerapkan pajak pada masyarakatnya untuk keberlangsungan
kerajaan. Hingga saat ini, pajak sudah mengalami perkembangan yang begitu pesat. Hal
ini dapat kita liat dari banyaknya jenis pajak yang ada.

Diawali dengan Pajak Bumi dan Bangunan

Sejarah pajak di Indonesia, dalam sejarah lain menerangkan bahwa Pajak pertama
kalinya di Indonesia di awali dengan Pajak Bumi dan Bangunan atau lebih kita kenal
dengan PBB. Pada waktu itu lebih dikenal sebagai pajak pertanahan. Pungutan ini
diberlakukan kepada tanah atau lahan yang dimiliki oleh rakyat. Pajak atas tanah ini
dimulai sejak Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) masuk dan menduduki Hindia
Belanda.
Pada waktu dulu, Inspektur Liefrinch dari VOC mengadakan survey atau penelitian
di daerah Parahyangan. Hasil dari penelitian tersebut membuat VOC memutuskan untuk
memberlakukan pajak pertanahan yang disebut dengan landrente. Rakyat setuju atas
keputusan Pemerintah Hindia Belanda ini. Rakyat harus membayar uang sebesar 80
(delapan puluh) % dari harga besaran tanah atau hasil lahan yang dimilikinya. Daendels,
seorang Jendral yang terkenal akan kekejamannya menyatakan bahwa tanah di Hindia
Belanda adalah milik dari Belanda. Kependudukan Inggris yang dipimpin oleh Raffles
kebijakan landrente berubah. Raffles mengenakan tarif sebesar 2,5 (dua koma lima) %
untuk golongan pribumi dan tarif 5 (lima) % untuk tanah yang dimiliki oleh bangsa lain.
Selain itu, Raffles juga mengeluarkan Surat Tanah sebagai Sertifikat Tanah Internasional
bagi penduduk yang dikenal dengan nama girik dalam bahasa Jawa.

Pajak Penghasilan oleh Hindia Belanda

Ketika, pemerintahan Hindia Belanda kembali, timbul gagasan untuk mengenakan


pajak penghasilan. Pada tahun 1920-1921 sudah ada pajak penghasilan terhadap hasil bumi
atau hasil lahan penduduk. Isitlahnya dikenal dengan nama Versponding Warde yang
berupa pajak untuk kebun-kebun teh, kelapa, jati, dan tembakau. Pengenaan tarifnya
sebesar 7,5 (tujuh koma lima) % dari hasil. Pada tahun 1934 sudah ada Pajak Kendaraan
Bermotor. Setelah itu, lahirlah jenis pajak-pajak yang lain yang berkembang hingga zaman
kemerdekaan hingga sekarang. Oleh karena itulah, kita dapat menyebut bahwa Pajak Bumi
dan Bangunan merupakan cikal bakal dari pajak di Indonesia.

Pergeseran Paradigma Upeti menjadi Pajak

Pajak secara teratur dan permanen sudah dilakukan sejak zaman kolonial. Akan
tetapi perlu juga diingat bahwa ketika wilayah nusantara masih terdiri dari kerajaan-
kerajaan pun sudah ada pungutan semacam pajak. Persembahan itu disampaikan kepada
raja dengan maksud sebagai wujud rasa hormat dan upeti, yang disampaikan oleh rakyat
di wilayah kekuasaan kerajaan maupun wilayah jajahan.

Perlu diingat bahwa pada masa kerajaan-kerajaan di tanah air, figure raja dalam hal
tertentu dapat dipandang sebagai manifestasi dari kekuasaan tunggal kerajaan (Negara).
Pemberian sukarela (upeti) dari rakyat kepada raja / penguasa, upeti berupa barang
(natura): padi, ternak, atau hasil tanaman lainnya seperti pisang, kelapa, dan lain-lain.

Pergeseran paradigma upeti dalam perkembangannya, upeti tidak hanya untuk


kepentingan raja tetapi juga untuk rakyat. Upeti mulai digunakan untuk kepentingan umum
seperti: keamanan, pembangunan jalan, saluran air, fasilitas sosial, dan lain-lain setelah ada
perubahan sifat upeti, kemudian dibuatlah peraturan agar tetap ada sifat memaksa yang
melibatkan rakyat untuk memenuhi rasa keadilan. Pembuatan aturan – aturan ini dimulai
sejak kedatangan Belanda ke Indonesia, dan sejak saat itulah dikenal istilah pajak.

Pajak Hasil Bumi Atas Nilai Tanah saat pemerintah Jepang di Indonesia

Pengenaan pajak secara sistematis dan permanen dimulai dengan pengenaan pajak
terhadap tanah. Pengenaan pajak terhadap tanah atau sesuatu yang berhubungan dengan
tanah sudah ada sejak jaman kolonial. Seperti Contingenten dan Verplichte Laverantieen
yang lebih dikenal dengan nama Tanam Paksa, yang menimbulkan perang Jawa pada tahun
1825-1830. Oleh Gubernur Jenderal Raffles, pajak atas tanah tersebut disebut Landrent
yang arti sebenarnya adalah “sewa tanah”.

Setelah penjajahan Inggris berakhir maka kemudian Indonesia dijajah kembali oleh
Belanda. Pajak tersebut kemudian diganti menjadi Landrente dengan system atau cara
pengenaan yang sama. Untuk penertiban pemungutannya, menurut Munawir, pemerintah
Belanda mengadakan pemetaan desa untuk keperluan klasiran dan pengukuran tanah milik
perorangan yang disebut rincikan. Peraturan tentang Landrente dikeluarkan tahun 1907
yang kemudian diubah dan ditambah dengan Ordonansi Landrente tahun 1939.

jaman penjajahan Jepang namanya diganti dengan Pajak Tanah, dan setelah
Indonesia merdeka namanya diubah menjadi Pajak Bumi. Istilah Pajak Bumi inipun diubah
menjadi “Pajak Hasil Bumi”.Yang dikenakan pajak tidak lagi nilai tanah, melainkan hasil
yang keluar dari tanah, sehingga timbul frustasi karena hasil yang keluar dari tanah
merupakan objek dari Pajak Penghasilan, yang pada saat itu namanya Pajak Peralihan.
Oleh karena itu Pajak Hasil Bumi ini kemudian dihapuskan pada tahun 1952 sampai
tahun 1959. Rupanya pemerintah sadar akan kekeliruannya sehingga sejak tahun 1959
dipungut lagi pajak hasil bumi atas nilai tanah, bukan atas hasil yang keluar dari tanah dan
bangunan, dengan mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 11 Prp 1959, yang dengan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 telah ditetapkan menjadi undang-undang.

Disamping pengenaan pajak terhadap tanah, pada masa penjajahan Belanda juga
dikeluarkan berbagai peraturan dibidang pajak. Pada tahun 1908 dikeluarkan Inkomsten
Belasting, yang digunakan sebagi dasar untuk mengenakan pajak pendapatan. Setelah
keluarnya Ordonasi Pajak Perseroan (PPs) tahun 1925 maka terhadap pendapatan yang
berupa laba bersih perusahaan dikenakan Pajak Perseroan (PPs).

Ordonasi tersebut mengalami perubahan beberapa kali dan terakhir diubah dan
ditambah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1968. Sementara itu pada tahun 1944
keluar Ordonasi Pajak Pendapatan (PPd) yang digunakan sebagai dasar untuk mengenakan
pajak terhadap pendapatan yang diperoleh oleh orang pribadi.

Tahun 1959, dengan Lembaran Negara 1959 No 109 disisipkan pasal baru, yaitu
Pasal 2a sehingga membuka kesempatan bagi pengenaan pajak pendapatan terhadap wajib
pajak badan. Namun, pengenaan pajak pendapatan terhadap badan ini sejak tahun 1966
telah dihapuskan.

Pada masa penjajahan, tepatnya pada tahun 1932, dikeluarkan Ordonasi Pajak
Kekayaan (PKk) yang beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 24
Tahun 1964.Yang menjadi subyek pajak dari pajak kekayaan ini pada prinsipnya adalah
orang pribadi, bukan badan. Akan tetapi menurut Pasal 3 Ordonasi Pajak Kekayaan itu ada
kemungkinan perseroan, persekutuan, atau pengkongsian dikenai PKk untuk
menggantikan kedudukan perseronya yang tidak dikenal atau diragukan. Obyek pajaknya
adalah seluruh kekayaan wajib pajak dikurangi hutang-hutang dan kewajiban pada awal
tahun pajak.

Peraturan Perpajakan Awal Kemerdekaan


Pada masa-masa awal kemerdekaan dikeluarkan peraturan dibidang pajak. Pada
tahun 1950 dikeluarkan Undang- Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1950 yang menjadi
dasar bagi Pajak Peredaran (Barang), yang dalam tahun 1951 diganti dengan Pajak
Penjualan (PPn) 1951. Pajak ini dikenakan terhadap pemakaian umum yang dapat menjadi
Pajak Penjualan Dalam Negari dan Pajak Penjualan Impor. Sebagai subyek pajaknya
adalah pihak pabrikan dan pengusaha jasa. Dalam hal pemungutan pajak, oleh UUD RI
1945 pada awalnya menetapkan Pasal 23 ayat 2: “Segala pajak untuk Negara berdasarkan
undang-undang”. Selanjutnya Pasal 23 ayat (2) UUD RI 1945 diamandemen dengan Pasal
23A Undang Undang Dasar RI 1945 yang ,menyebutkan bahwa: ”Pajak dan pungutan lain
yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”,. Adapun
ketentuan – ketentuan undang-undang dibidang perpajakan yang “dilahirkan” sesuai apa
yang dikehendaki oleh Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945,
diantaranya beberapa undang-undang :

1) Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Keempat Atas


Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.
2) Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
3) Undang-Undang RI Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Peubahan Ketiga Atas Undang
Undang RI No. 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan
jasa serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
4) Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2000 Tentang Perubahan ketiga Atas Undang
Undang RI No. 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
5) Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai.
6) Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 1997 Tentang Badan Penyelesaian Sengketa
Pajak (sudah tidak belaku lagi karena sudah dicabut berlakunya)
7) Undang-Undang RI No. 28 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang
Undang RI Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
8) Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2000 Tentang PenagihanPajak Dengan Surat
Paksa.
9) Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan.

2. Pemungutan Pajak
A. Sistem pemungutan pajak

Ada tiga jenis sistem pemungutan pajak yang digunakan di Indonesia, yaitu sistem
self-assessment, sistem official assessment, dan sistem withholding assessment.

a. Sistem Self-Assessment

Sistem ini memungkinkan wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak
yang harus mereka bayarkan. Dalam sistem ini, wajib pajak memiliki tanggung jawab
untuk menghitung, mengestimasi, membayar, dan melaporkan jumlah pajak yang mereka
haruskan. Sementara itu, institusi pemungut pajak berperan dalam mengawasi aktivitas ini
melalui berbagai tindakan pengawasan dan penegakan hukum.

b. Sistem Assessment system

Dalam sistem ini, besarnya pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak ditetapkan
sepenuhnya oleh institusi pemungut pajak. Wajib pajak hanya perlu bersifat pasif dan
menunggu untuk menerima pemberitahuan mengenai jumlah pajak yang telah ditetapkan
oleh institusi pemungut pajak.

c. Sistem Withholding tax

Sistem ini melibatkan perhitungan jumlah pajak oleh pihak ketiga yang bukan
merupakan wajib pajak atau aparatur pajak. Dalam sistem ini, pihak ketiga ini bertanggung
jawab untuk menghitung dan menahan sebagian pendapatan wajib pajak untuk kemudian
disetorkan ke institusi pemungut pajak sesuai dengan peraturan yang berlaku.
B. Cara Pemungutan Pajak

Ada tiga jenis sistem pemungutan pajak yang digunakan di Indonesia, yaitu:

a. Stelsel Rill

Stelsel Nyata merupakan salah satu jenis pemungutan pajak yang didasarkan pada
objek atau penghasilan yang diperoleh sesungguhnya (penghasilan nyata untuk Pajak
Penghasilan). Mengetahui dengan kondisi demikian, pemungutan pajak baru dilakukan
pada akhir tahun. Dengan begitu, penghasilan yang sesungguhnya dapat diketahui
kemudian atau disebut sistem pemungutan pajak di belakang (naheffing).

Kelebihan utamanya adalah perhitungan didasarkan pada penghasilan


sesungguhnya dan hasil yang diperoleh akan lebih akurat dan real. Adapun
kekurangannya adalah karena pajak dibutuhkan untuk pembiayaan sepanjang tahun,
maka pelaksanaannya pun tidak dapat dikatakan mudah.

b. Stelsel fiktif

Jenis pemungutan pajak ini yang didasarkan pada anggapan yang diatur oleh suatu
undang-undang. Anggapan yang dimaksud di sini dapat bermacam-macam jalan
pikirannya, tergantung pada peraturan perpajakan yang berlaku. Dengan demikian,
stelsel ini menerapkan sistem pemungutan pajak di depan (voor hedging). Misalnya,
penghasilan suatu tahun pajak dianggap sama dengan tahun sebelumnya. Sehingga
pada awal tahun pajak telah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun
pajak berjalan.

Keunggulan stelsel ini adalah, pajak dapat dibayar selama tahun berjalan tanpa
harus menunggu pada akhir tahun. Sedangkan kelemahan stelsel ini adalah pajak yang
telah dibayar wajib pajak tidak berdasarkan pada keadaan sesungguhnya.

c. Stelsel campuran
Jenis stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan.
Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan. Kemudian pada
akhir tahun, besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan sebenarnya. Apabila
kenyataannya besarnya pajak lebih besar daripada pajak menurut anggapan, maka
wajib pajak harus menambah pembayaran. Sebaliknya, apabila besaran pajaknya
menurut kenyataan lebih kecil daripada pajak anggapan, maka wajib pajak dapat
meminta kembali kelebihannya (direstitusi) atau dapat juga dikompensasi.

Kelebihan stelsel ini adalah, pemungutan pajak sudah dapat dilakukan pada awal
tahun pajak, dan pajak yang dipungut sesuai dengan besarnya pajak yang sesungguhnya
terutang. Kelemahan dari stelsel ini adalah adanya tambahan pekerjaan administrasi
karena penghitungan pajak dilakukan dua kali, yaitu pada awal dan akhir tahun.

C. Asas Pemungutan Pajak

a. Asas Domisili (Domicile, Residence Priciple)

Asas ini dikenal juga world wide income. Berdasarkan asas ini, negara akan
mengenakan pajak atas suatu penghasilan atau pendapatan yang diterima oleh orang
pribadi atau badan apabila orang pribadi tersebut merupakan penduduk atau
berdomisili di negara tersebut atau badan yang berkedudukan di negara tersebut. Dalam
asas tersebut, tidak dipersoalkan dari mana penghasilan atau pendapatan yang akan
dikenakan pajak itu berasal, karena asas tersebut hanya akan memperhatikan lokasi
atau tempat Wajib Pajak. Sehingga, negara yang menganut asas ini, akan
menggabungkan asas domisili (kependudukan) dengan konsep pengenaan pajak atas
penghasilan baik yang diterima di negara tersebut maupun yang diperoleh di luar
negeri. Ringkasnya, negara yang menerapkan asas domisili sebetulnya pada saat
bersamaa juga menerapkan asas sumber.

b. Asas Sumber (Source Priciple)

Asas ini sering disebut juga sebagai asas teritorial. Berdasarkan asas ini, negara
akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima oleh orang pribadi jika
penghasilan yang akan dikenakan pajak tersebut diterima oleh orang pribadi atatu
badan yang bersangkutan dari suatu negara.

Dalam asas tersebut, tidak dipersoalkan mengenai siapa dan apa status dari orang
pribadi atau badan yang menerima penghasilan tersebut karena yang menjadi landasan
pengenaan pajak ialah objek pajak yang berasal dari Negara tersebut.

c. Asas Kebangsaan

Berdasarkan asas ini, pengenaan pajak hanya akan dilakukan berdasarkan status
kewarganegaraan dari orang pribadi atau badan yang menerima penghasilan.Dalam
asas tersebut, negara tidak mempersoalkan asal penghasilan yang diterima Wajib Pajak.
Selama orang pribadi atau badan berstatus atau berkedudukan di negara tersebut maka
penghasilannya akan dikenakan pajak. Selain itu, asas ini juga tidak mempersoalkan
domisili atau tempat tinggal Wajib Pajak.

D. Syarat Pemungutan Pajak

a. Syarat keadilan (pajak harus adil)

Sistem pemungutan pajak harus berdasarkan peraturan perundang-undangan dan


keadilan dalam pelaksanaan pemungutan pajak. Landasan keadilan disini merupakan
syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai keadilan sosial yang dimaksud, yaitu wajib
Pajak mempunyai hak dan kewajiban yang telah diatur didalam undang-undang, setiap
warga negara yang menjadi wajib pajak harus membayar pajaknya, serta adanya sanksi
untuk pelaku pelanggaran pajak.

b. Syarat Yuridis (perpajakan harus berdasarkan hukum)

Sistem perpajakan diharuskan untuk selalu berdasarkan hukum yang berlaku


seperti apa yang telah tercantum dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 yang
mengatur tentang ketentuan perpajakan umum. Kenapa tercantum dalam Undang-
undang ? Karena hanya melalui peraturan perundang-undangan berupa undang-
undang sajalah pemerintah dengan mudah dapat memberikan perlindungan hukum bagi
kegiatan perpajakan.

c. Syarat Ekonomis (pajak tidak akan mempengaruhi perekonomian nasional)

Sistem perpajakan tidak boleh mengganggu kegiatan ekonomi yang malah dapat
mengakibatkan keterpurukan ataupun penurunan ekonomi nasional, seperti misal
dalam kasus pajak tidak diperbolehkan mengganggu produksi atau kegiatan
perdagangan yang sedang berlangsung.

d. Syarat Financial (perpajakan harus efisien)

Sistem pemungutan pajak yang ada harus dilakukan secara efisien dan efektif
sehingga nantinya hasil yang diperoleh dari perpajakan pun akan maksimal. Secara
efisien disini berarti mempunyai maksud bahwa pemungutan pajak harus dilakukan
dengan mudah, tepat sasaran, tepat waktu dan biaya minimal. Sedangkan secara
efektif disini berarti mempunyai maksud bahwa pemungutan pajak harus bisa
membawa hasil yang sesuai dengan perhitungan yang telah dilakukan. Dan secara
langsung dalam syarat ini juga berkaitan dengan pengelolaan biaya pemungutan
pajak harus lebih kecil daripada pemasukan pajak yang diterima kas negara.

5. Syarat Sederhana (sistem pajak harus sederhana)

Sistem penagihan dan pengelolaan pajak harus sederhana dan mudah dipahami
oleh wajib pajak. Sistem pemungutan pajak yang sederhana akan membantu wajib
pajak melaporkan pajaknya dan mendorong masyarakat untuk memenuhi
kewajiban perpajakannya. Maka dari itu penerimaan pajak nasional akan terus
menerus meningkat.

Anda mungkin juga menyukai