NIM : 201834023
KELAS :A
SEMESTER : VI
Jawaban :
Hukum Tanah mengatur tentang hubungan manusia dengan tanah. Dengan demikian, hukum
tanah Indonesia mengatur tentang hubungan antara manusia, pemerintah yang mewakili negara
sebagai badan hukum public maupun swasta ternasuk badan keagamaan/badan sosial dan
perwakillan negara asing dengan tanah di wilayah NKRI.
Pada masa pemerintahan belanda terdiri atas 10 masa pemerintahan dimana di setiap masa
atau zamannya memiliki ketentuan tentang tanah yang berbeda dan berubah-ubah.
Zaman V.O.C.
Pada tahun 1808-1811 Herman Willem Daendels yang menjadi Gubernur Jenderal di
Jawa untuk mengganti Louise pernah menulis : “eigendom atas tanah tidak dikenal
oleh rakyat, yang sejak dahulu sudah biasa bekerja di bawah perintah bupati-bupati
dan kepala-kepala lainnya, dan rakyat merasa lebih berbahagia, diperlakukan
sebagai penanam, asal menerima upah yang layak, dari pada sebagai orang yang
empunya atau yang menyewa tanah dalam keadaannya yang masih biadab itu”.
Pada zaman Herman Willem Daendels ini bahkan Ia telah menjual tanah secara besar-
besaran (Partikulaire Landrijen). Namun, tidak banyak perhatian diberikan pada
masalah-masalah penguasaan tanah, kecuali beberapa wilayah Batavia, Semarang dan
Surabaya dijual kepada orang-orang swasta sebagai suatu cara memecahkan
kesulitankesulitan keuangan.
Setelah Pemerintahan Hindia Belanda jatuh ketangan Inggris tahun 1811, disetujuilah
bahwa Inggris harus menguasai milik Hindia Belanda, dan pasukan Inggris bergerak
menguasai pulau Jawa. Ketika itu Thomas Stamford Raffles (1811-1816) yang
ditugaskan untuk menjadi penguasa di Indonesia. Setelah Gubernur Jenderal Raffles
memegang Pemerintahan, dilakukan penyelidikan dan kesimpulannya bahwa awalnya
rajalah yang menjadi pemilik semua tanah. Rakyat mendapat tanah secara pinjam
dengan penggantian berupa bahan mentah. Kecuali jika seseorang dapat
membuktikan bahwa ia adalah pemilik tanah karenanya oleh Raffles lalu diadakan
pemungutan pajak bumi.
Zaman H.W. Muntinghe.
Zaman C.Th. Elout, A.A. Buyskes, G.A.G. Baron van der Capellen
Wali Negeri baru Van der Capellen (1819-1826), mengepalai orang-orang yang
menolak perluasan tanah ditangan pengusaha Barat tersebut, dan terbukti bahwa
politiknya berlawanan sekali dengan asas-asas liberal yang dianut oleh rekan-rekan
Commissie-Generaal Elout dan Buyskes, sebagaimana tercantum dalam R.R.1818.
Dalam masa tahun 1819-1825 perkebunan Barat dengan sengaja dicegah. Dilakukan
pembelian kembali tanah partikelir (antara lain tanah Sukabumi) dengan alasan
hendak memperbaiki kesalahan dari Daendels dan Raffles. Selanjutnya Perdagangan
bebas dipersukar. “Contracten van Landverhuringen” (di Vorstenlanden) dibatalkan
mulai tanggal 1-1-1824 (tetapi keputusan ini oleh penggantinya Du Bus ditarik
kembali pada tahun 1827). Pemerintahan Van der Capellen oleh lawan-lawannya
dianggap tidak memuaskan terutama dalam hal keuangan. Elout yang mengganti
Falck sebagai Minister van Kolonien tahun 1824 mencela kebijaksanaan Falck yang
sudah membiarkan segala tindakan-tindakan Van der Capellen sekehendak sendiri itu.
Van der Capellen meninjau soal Grootgrondbezit dari sudut tujuan politikkolonial.
Keputusan yang diambil adalah sambil menghilangkan segala ketidakadilan bagi
rakyat, tetapi dapat memberi keuntungan kepada Negeri Belanda. Tujuan utama ialah
melindungi rakyat dan mendidik rakyat supaya siap sedia untuk kemerdekaan, sebab
akhirnya semua daerah jajahan menuju kearah itu. Tetapi tujuan terakhir ini masih
jauh kelihatan untuk diwujudkan.
Peraturan baru diundangkan 1829 dan tidak lama kemudian J. Graaf van den Bosch
diangkat menjadi Gubernur-Jenderal (1830-1833). Sejak tahun 1830 diadakan
peraturan baru yang terkenal dengan nama Culture Stelsel (sistem perusahaan atau
perkebunan) oleh Gubernur Jenderal V.d. Bosch. Sekalipun stelsel ini tak begitu
buruk dalam teorinya, tetapi cara pelaksanaannya jauh dari pada memuaskan. Pajak
bumi yang berupa uang diganti dengan hasil bumi, karena bagi rakyat sukar sekali
untuk mendapatkan uang yang pada waktu itu memang masih sedikit beredar. Agar
Pemerintah mendapat uang banyak, maka dalam penyetoran hasil bumi ini ditetapkan
macamnya hasil bumi yang sangat berharga di pasar Eropa (dunia). Prinsip dari
stelsel itu dalam pokoknya sebagai berikut :
J.C. Baud (1833-1836) dengan pengeluaran tanah sewa (K.B. tanggal 20-3-1831
No.80) mengambil jalan tengah antara lain :
A.J. Duymaer van Twist (liberal) (1851 -1856) diangkat menjadi Gubernur Jenderal
pada masa itu lahir Regerings-Reglement 1854 (S. 1855 No.2). Kebijaksanaan politik
Pemerintah, tetap didasarkan pada asas : bahwa kekuasaan Belanda didaerah jajahan
itu harus dipertahankan dengan jalan damai dan bahwa dengan memperhatikan
kemakmuran rakyat anak negeri, tanah jajahan itu harus tetap memberikan
keuntungan lahir (Stoffelijke Voordelen) kepada Negeri Belanda, ialah maksud
berdirinya kekuasaan Barat. Untuk mencapai tujuan tersebut rakyat asli itu selalu
diperintah menurut adat istiadatnya, dengan tidak menyimpang dari peraturan-
peraturan yang adil dan langsung dibawah pimpinan kepala-kepalanya sendiri, tetapi
selalu dijaga adanya perkosaan dan kelalaian (Misbruik en Nalatigheid).
Pada masa penjajahan Jepang (1942-1945), secara prinsip pengaturar soal pertanahan tidak
jauh berbeda dengan masa penjajahan Belanda, Jawatar Kadasteral Dient misalnya, masih
tetap di bawah Departemen Kehakiman dan hanya namanya yang diganti menjadi Jawatan
Pendaftaran Tanah dan Kantornya diberikan nama Kantor Pendaftaran Tanah. Sedangkan
pada masa penjajahan kolonial Belanda, pada saat itu Pemerintah Jepang mengeluarkan
peraturan pelarangan pemindahan hak atas benda tetap/tanah (Osamu Serey Nomor 2 Tahun
1942). Demikian pula penguasaan tanah-tanah partikelir Pemerintah Dai Nippon yang juga
dinyatakan hapus. Penduduk jepang meneluarkan suatu kebijakan yang dituangkan dalam
Osamu Serey nomor 2 tahun 1944, dan Osamu Serey yang terakhir nomor 4 dan 25 tahun
1944. Dalam pasal 10 Osamu Serey tersebut dinyatakan bahwa untuk sementara waktu
dilarang keras memindahtangankan harta benda yang tidak bergerak, suatsurat berharga,
uang simpanan dibank, dan sebagainya dengan tidak mendapat izin terlebih dahulu dari
tentara Dai Nippon. Terhadap tanah pertikelir diurus oleh kantor siryooty kanrikosya dimana
tanah-tanah pertikelir tidak lagi diusahakan atas dasar hak-hak pertuanan. Pada periode
sesudah tahun 1942, terjadi situasi yang cenderung pada :
Pengumuman Pemerintah Kota tentang wajib pendaftaran tanah pada saat itu
digalakkan yaitu pada waktu Pemerintah Nasional antara tahun 1945 sampai dengan
21 Juli 1947 Suwirjo ditangkap. Walaupun dalam keadaan sulit dan berbahaya,
pemerintah kota mengadakan pengumuman di beberapa surat kabar, yang
mengharuskan penduduk agar mendaftarkan tanah yang digarapnya di Kantor Urusan
Tanah (di Jalan Kebon Sirih No. 20). Banyak yang sudah mendaftarkan tanahnya,
tetapi banyak juga yang belum. Hal ini dapat dimengerti, berhubung dengan
kekacauan pada waktu itu, sehingga pelaksanaannya tidak dapat berjalan dengan
sempurna. Malahan hanya dengan seadanya saja hingga pada tanggal 21 Juli 1947
kantor-kantor pemerintah diduduki oleh orang-orang Belanda.
Setelah pemulihan kedaulatan dan keadaan Jakarta berangsur-angsur mulai aman dari
aksi-aksi militer Belanda, pada tanggal 30 Maret 1950 Soewirjo diangkat kembali
menjadi WalikotaJakarta. Kota Jakarta waktu itu berbentuk Pemerintah Kotapraja
Jakarta Raya,73 dan mulai ditata kembali berbagai permasalahan yang berkaitan
dengan penguasaan dan pemilikan tanah. Urusan terpenting dan sulit dalam wilayah
Jakarta Raya adalah urusan tanah. Luas wilayah seluruh kotapraja 531 Km’,
diantaranya yang termasuk tanah hak milik.
Kebijakan Pengklasifikasian Status Tanah di DKI Jakarta menjadi 4 (empat) yaitu: Tanah
Kotapraja, Tanah Negara, Tanah Individu, dan Tanah Partikelir. Pada tanggal 27 Juni 1951
Sjamsuridjal menjadi walikota Jakarta yang kedua setelah Soewirjo. Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah Kota Jakarta dijalankan oleh Dewan Perwakilan Kota Sementara,
Badan Pemerintahan Harian.dan Walikota. Walikota di zaman kemerdekaan mempunyai
tugas yang lebih berat, sesuai dengan kedudukan Jakarta sebagai Ibukota Negara. Setelah
pemulihan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia, kota Jakarta dijadikan Ibukota
Republik Indonesia Serikat. Distrik Federal Jakarta walaupun merupakan sebagian daripada
wilayah Negara (Bagian) Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta, namun tetap
tidak berada di bawah suatu Negara Bagian. Dalam menghadapi pembangunan kota Jakarta,
Walikota Sjamsuridjal menekankan 3 (tiga) masalah pokok yang sangat urgen yang
senantiasa menjadi problem Pemerintah Kotapraja Jakarta Raya, yaitu masalah pembagian
air minum, pembagian aliran listrik, dan urusan tanah. Dalam menyinggung masalah
Kekurangan aliran listrik, menjadi masalah serius ketika itu, misalnya dengan pemadaman
aliran listrik 3 (tiga) hari sekali. Kekurangan ini disebabkan Jakarta hanya mendapat jatah
dari pusat sebesar 240 kilowat, sedangkan yang diperlukan adalah 272 kilowat. Untuk
mengatasi kekurangannya itu akan dibangun pusat tenaga listrik di Ancol.96 Sama dengan
pendahulunya, Walikota baru juga menghadapi masalah pertanahan yang cukup pelik. Dalam
menghadapi masalah tersebut, Pemerintah Kotapraja mengambil kebijakan yang sedikit
berbeda dengan kebijakan pendahulunya, yakni dengan menata status tanah di Jakarta, untuk
memperjelas status hukumnya. Dalam kerangka ini maka tanah di DKI Jakarta dibagi ke
dalam 4 (empat) macam (status), yaitu (a) tanah kotapraja, (b) tanah negara, (c) tanah
individu, dan (d) tanah partikelir. Dari keempat jenis tanah tersebut, yang menjadipersoalan
khusus Kotaparaja Jakarta adalah tanah partikelir dengan luas 17.537 Ha milik 16 perusahaan
yang sangat terlantar pengurusannya. Kampungkampung yang berada di atas tanah partikelir
keadaannya memburuk dan terdapat pemukiman kumuh. seperti daerah Alaydrus, Kwitang
dan gang Arjuna.
Pada masa Sudiro Pengendalian Pemilikan dan Penguasaan Tanah Bertiri Tolak Pada
Rencana Tata Ruang Jakarta, Menertibkan dan Melegalisir Bangunan Tanpa Ijin dan
Pembangunan Rumah Rakyat dan Pegawai Negeri serta Pembangunan Tugu Monumen
Nasional (Monas) merupakan prioritas yang harus dilaksanakan. Pada masa jabatannya
sebagai Kepala Daerah Tingkat I Kotapraja Jakarta Raya, Jakarta dibagi menjadi 3 wilayah
kabupaten administratif, yaitu (i) Kabupaten Jakarta Utara, (ii) Kabupaten Jakarta Tengah,
dan (iii) Kabupaten Jakarta Selatan.111 Untuk merealisasikan berbagai pembangunan di
wilayah Kotapraja Jakarta-Raya tentunya tidak lepas dari apa yang tertuang di dalam konsep
penataan kota Jakarta. Oleh karena itu, dalam periode 1953 sampai dengan 1959 telah
dirumuskan rencana pembangunan dalam jangka panjang secara konsepsionil. Perumusan itu
dituangkan dalam bentuk Rencana Pendahuluan (Outline Plan). Rencana Pendahuluan
(Outline Plan) tersebut dilatar belakangi oleh:
a) Undang-undang Pembentukan Kota No. 168 Tahun 1948, sehingga oleh Pemerintah
Kotapraja Jakarta-Raya dianggap perlu untuk mengadakan persiapan-persiapan ke
arah penyusunan Rencana Induk, yang dikenal juga dengan nama “Master Plan”
untuk perkembangan kota Jakarta. Rencana Induk meliputi “rencana penggunaan
tanah” Secara garis besar substansinya meliputi “penetapan tempat-tempat yang akan
diperuntukkan bagi perumahan, lokasi perkantoran, tempat hiburan/wisata (a place
for home, work, and recreation).
b) Oleh karena konsep dan cara pendekatan penyusunan Master Plan merupakan hal
yang baru bagi tenaga tehnik Indonesia pada waktu itu, maka Direktur Jawatan
Pekerjaan Umum diberi kesempatan untuk menjalankan studi-tour selama 6 bulan ke
Amerika Serikat untuk mempelajari dan memperdalam ilmu pengetahuan Rencana
Perkembangan "Kota yang baru. Kemudian pada tahun 1956 bantuan teknik diberikan
lagi oleh PBB yang menugaskan K.A. Watts, untuk membantu Jawatan Pekerjaan
Umum DKI Jakarta membentuk Bagian Master Plan secara khusus, yang bekerja
langsung di bawah pimpinan tenaga ahli tersebut. Kemudian Watts melanjutkan
pekerjaan survey yang meliputi masalah penduduk, kesempatan kerja, perumahan dan
lalu lintas, sejarah perkembangan kota Jakarta, masalah “tata guna tanah,” bangunan
istimewa.
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 L.N. 1953 Nomor 14 Tentang Penguasaan
Tanah-Tanah Negara, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan tanah Negara adalah tanah
yang dikuasai penuh oleh Negara, kecualai jika penguasaan atas tanah Negara dengan
undang-undang atau peraturan lain pada waktu berlakunya Peraturan Pemerintah ini telah
diserahkan kepada suatu Kementerian, Jawatan atau Daerah Swatantra maka penguasaan atas
tanah Negara .Di dalam hal penguasaan tersebut Menteri Dalam Negeri berhak untuk:
Setelah bangsa Indonesia merdeka dan menjadi Negara yang berdaulat penuh, sudah
waktunya untuk mengeluarkan ketegasan terhadap perusahaanperusahaan milik Belanda
yang berada di wilayah Republik Indonesia, berupa nasionalisasi untuk dijadikan milik
negara. Hal ini dimaksudkan untuk memberi manfaat sebesar-besarnya pada masyarakat
Indonesia dan juga untuk memperkokoh keamanan dan pertahanan negara. Untuk itu, pada
tanggal 27 Desember 1958 dibentuklah undang-undang mengenai perusahaan-perusahaan
milik Belanda yang dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 162 yaitu Undang-
Undang Nomor 86 Tahun 1958 Tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda
yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang akan di tetapkan dengan
Peraturan Pemerintah dikenakan nasionalisasi dan dinyatakan menjadi milik penuh dan bebas
Negara Republik Indonesia. Dan kepada pemilik-pemilik perusahaan tersebut diberi
penggantian yang besarnya ditetapkan oleh sebuah panitia yang anggotaanggotanya ditunjuk
oleh Pemerintah.
f. Penguasaan Tanah-Tanah Milik Perseorangan Warganegara Belanda Lazimnya
Dikenal dengan Panitia Pelaksana Penguasaan Milik Belanda Disingkat P3MB
g. Tanah Partikelir (U.U. No.1 Tahun 1958) Tentang Penghapusan TanahTanah Partikeli
h. Pengambilan Tanah Untuk Keperluan Penguasa Perang Tahun 1959.
Produk perundang-undangan yang diterbitkan oleh kepala staf penguasa perang, bahkan
dikatakan juga sebagai kepala staf Angkatan Darat selaku Penguasa perang Pusat. Ada
beberapa produk hukum yang diterbitkan dan akan dibahas di bawah ini, antara lain : 1.
Pengambilan tanah untuk keperluan penguasa perang berdasarkan undangundang keadaan
bahaya. Undang-undang Nomor 23 Prp. Tahun 1959, mengatur tentang, pengambilan tanah
untuk keperluan penguasa perang berdasarkan undang-undang keadaan bahaya. Untuk
kepentingan pertahanan dan keamanan melalui Undang-undang Keadaan Bahaya Pemerintah
dapat melakukan pengambilan tanah. Dalam Undangundang ini diatur tentang : i. Penguasa
perang berhak mengambil atau memakai barang-barang macam apapun juga untuk
kepentingan Pertahanan dan Keamanan. ii. Dalam pengambilan untuk dimiliki, maka Hak
Milik segera dipindahkan kepada Negara, bebas dari segala Tanggungan Hak-hak Atas
Barangbarang tersebut. iii. Selain Surat Keputusan tentang Penetapan Pengambilan untuk
dimiliki mengenai barang-barang tidak bergerak dan kapal-kapal yang mempunyaisurat bukti
resmi disampaikan kepada yang berwajib yang harus memindahkan Hak Milik tersebut
menurut Peraturan yang berlaku.
Pada 1 Juni 1957, Panitia Negara Urusan Agraria selesai menyusun naskah draf
rancangan UUPA. Pada saat yang sama berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 190
Tahun 1957, Jawatan Pendaftaran Tanah yang semula masuk dalam lingkungan
Kementerian Kehakiman dialihkan dalam tugas Kementerian Agraria. Dengan begitu,
tugas Kementerian Agraria bertambah lagi:
b. Tahun 1960-1965.
Titik tolak reformasi hukum pertanahan nasional terjadi pada tanggal 24 September 1960.
Ketika itu, rancangan UUPA disetujui dan disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 (Lembaran Negara Nomor 104 Tahun 1960 dan Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2043, tentang Penjelasan UU Nomor 5 Tahun 1960). Dengan diberlakukannyaUU
No. 5 Tahun 1960 maka untuk pertama kalinya, pengaturan soal tanah menggunakan produk
hukum nasional yang bersumber dari hukum adat. Bersamaan dengan itu Agrarisch Wet
dinyatakan tidak berlaku lagi dan sekaligus menandai berakhirnya dualisir hukum Agraria di
Indonesia.
c. Tahun 1965-1988.
d. Tahun 1988-2003.
1. Badan Pertanahan Nasional (1988-1993).
Melalui Peraturan Presiden No. 17 Tahun 2015, Diundangkan Tanggal 23 Januari 2015,
Tentang Kementerian Agraria Dan Tata Ruang.