Anda di halaman 1dari 21

NAMA : LULU MAR’ATUS SHOLEHAH

NIM : 201834023

KELAS :A

SEMESTER : VI

MATA KULIAH : HUKUM PERTANAHAN

Deskripsikan tentang sejarah pertanahan di Indonesia secara periodik, antara lain :

1. Masa Sebelum Kemerdekaan


2. Masa Setelah Kemerdekaan
3. Masa Reformasi

Jawaban :

Hukum Tanah mengatur tentang hubungan manusia dengan tanah. Dengan demikian, hukum
tanah Indonesia mengatur tentang hubungan antara manusia, pemerintah yang mewakili negara
sebagai badan hukum public maupun swasta ternasuk badan keagamaan/badan sosial dan
perwakillan negara asing dengan tanah di wilayah NKRI.

Sejarah pertanahan di Indonesia dalam beberapa periode sebagai berikut :

1. Masa Sebelum Kemerdekaan


a. Zaman Pemerintahan Belanda.

Pada masa pemerintahan belanda terdiri atas 10 masa pemerintahan dimana di setiap masa
atau zamannya memiliki ketentuan tentang tanah yang berbeda dan berubah-ubah.

 Zaman V.O.C.

Sejak zaman Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) 1602-1799, pengaturan,


pemilikan dan penguasaan tanah menerapkan hukum barat dengan tidak
memperdulikan hak-hak tanah rakyat dan raja-raja di Indonesia. Hukum adat sebagai
hukum yang mempunyai corak dan sistem sendiri, tidak dipersoalkan VOC, bahkan
membiarkan rakyat Indonesia hidup menurut adat dan kebiasaannya.

 Zaman Herman Willem Daendels

Pada tahun 1808-1811 Herman Willem Daendels yang menjadi Gubernur Jenderal di
Jawa untuk mengganti Louise pernah menulis : “eigendom atas tanah tidak dikenal
oleh rakyat, yang sejak dahulu sudah biasa bekerja di bawah perintah bupati-bupati
dan kepala-kepala lainnya, dan rakyat merasa lebih berbahagia, diperlakukan
sebagai penanam, asal menerima upah yang layak, dari pada sebagai orang yang
empunya atau yang menyewa tanah dalam keadaannya yang masih biadab itu”.

Pada zaman Herman Willem Daendels ini bahkan Ia telah menjual tanah secara besar-
besaran (Partikulaire Landrijen). Namun, tidak banyak perhatian diberikan pada
masalah-masalah penguasaan tanah, kecuali beberapa wilayah Batavia, Semarang dan
Surabaya dijual kepada orang-orang swasta sebagai suatu cara memecahkan
kesulitankesulitan keuangan.

 Zaman Thomas Stamford Raffles

Setelah Pemerintahan Hindia Belanda jatuh ketangan Inggris tahun 1811, disetujuilah
bahwa Inggris harus menguasai milik Hindia Belanda, dan pasukan Inggris bergerak
menguasai pulau Jawa. Ketika itu Thomas Stamford Raffles (1811-1816) yang
ditugaskan untuk menjadi penguasa di Indonesia. Setelah Gubernur Jenderal Raffles
memegang Pemerintahan, dilakukan penyelidikan dan kesimpulannya bahwa awalnya
rajalah yang menjadi pemilik semua tanah. Rakyat mendapat tanah secara pinjam
dengan penggantian berupa bahan mentah. Kecuali jika seseorang dapat
membuktikan bahwa ia adalah pemilik tanah karenanya oleh Raffles lalu diadakan
pemungutan pajak bumi.
 Zaman H.W. Muntinghe.

H.W. Muntinghe mengemukakan pendapatnya dalam sebuah rapat (tanggal 14 Juli


1817) tentang Agrarisch-Beleid. Rapat itu membahas beberapa hal : (a) Persewaan
tanah (Stelsel Landrente) (b) Administrasi hutan Jati (tanah dianggap domain negeri
dan penuntutan kerja berat dari rakyat); (c) Kebun Kopi (pantai utara); (d) Permintaan
kaum partikelir untuk menyewa tanah dan membeli tanah (kolonisasi).

Menurut pandangan Muntinghe, tujuan berdirinya kekuasaan Belanda ialah untuk


kemakmuran Negeri Belanda dan memperoleh hasil keuangan yang cukup untuk
membiayai Pemerintahan dan pertahanan untuk melindungi rakyat jajahan. Untuk
maksud ini Belanda melihat dua jalan yaitu : Stelsel Belasting dimana rakyat menjadi
dasar bagi adanya Pemerintah; belasting yang layak dipungut dari rakyat, merupakan
sumber penghasilan dan kekayaan dan Stelsel Handel dimana Raja itu pedagang serta
rakyat itu harus mengabdi kepada kepentingan perdagangan (seperti Stelsel
Kompeni). Muntinghe memilih Stelsel Belasting (Stelsel Benggala) yang pokok
dasarnya ialah kebebasan rakyat untuk menguasai tenaga dan benda.

 Zaman C.Th. Elout, A.A. Buyskes, G.A.G. Baron van der Capellen

Setelah Conventie London (1814) Pemerintah Belanda mengangkat Commissarissen-


Generaal C.Th. Elout (liberal), A.A. Buyskes, G.A.G. Baron van der Capellen (1816-
1819) yang melanj utkan tindakan-tindakan Pemerintahan Inggris, termasuk pula
Stelsel Landrentenya. Juga Elout pernah memikirkan untuk mengeluarkan tanah
kepada pengusaha-pengusaha barat, agar exportproductie maju bagi kepentingan
perdagangan dan pelayaran, akan tetapi maksud ini tidak dapat dilaksanakan.

 Zaman Van der Capellen

Wali Negeri baru Van der Capellen (1819-1826), mengepalai orang-orang yang
menolak perluasan tanah ditangan pengusaha Barat tersebut, dan terbukti bahwa
politiknya berlawanan sekali dengan asas-asas liberal yang dianut oleh rekan-rekan
Commissie-Generaal Elout dan Buyskes, sebagaimana tercantum dalam R.R.1818.
Dalam masa tahun 1819-1825 perkebunan Barat dengan sengaja dicegah. Dilakukan
pembelian kembali tanah partikelir (antara lain tanah Sukabumi) dengan alasan
hendak memperbaiki kesalahan dari Daendels dan Raffles. Selanjutnya Perdagangan
bebas dipersukar. “Contracten van Landverhuringen” (di Vorstenlanden) dibatalkan
mulai tanggal 1-1-1824 (tetapi keputusan ini oleh penggantinya Du Bus ditarik
kembali pada tahun 1827). Pemerintahan Van der Capellen oleh lawan-lawannya
dianggap tidak memuaskan terutama dalam hal keuangan. Elout yang mengganti
Falck sebagai Minister van Kolonien tahun 1824 mencela kebijaksanaan Falck yang
sudah membiarkan segala tindakan-tindakan Van der Capellen sekehendak sendiri itu.
Van der Capellen meninjau soal Grootgrondbezit dari sudut tujuan politikkolonial.
Keputusan yang diambil adalah sambil menghilangkan segala ketidakadilan bagi
rakyat, tetapi dapat memberi keuntungan kepada Negeri Belanda. Tujuan utama ialah
melindungi rakyat dan mendidik rakyat supaya siap sedia untuk kemerdekaan, sebab
akhirnya semua daerah jajahan menuju kearah itu. Tetapi tujuan terakhir ini masih
jauh kelihatan untuk diwujudkan.

 Zaman Du Bus de Gisignies.

Du Bus de Gisignies (1826-1830) dikirimkan ke Indonesia, untuk mengadakan


perbaikan-perbaikan dan penghematan. Menurut instruksi ia antara lain harus
mempertahankan hal-hal sebagai berikut: supaya landrentestelsel dapat berjalan baik,
hendaknya diusahakan pembentukan desa-desa baru dan pembukaan lahan-lahan
baru, dimana rakyat menjadi pengusaha sendiri, tidak sebagai buruh harian di
perusahaan Barat. Hak petani atas ladangladangnya harus dijamin menurut recept
liberal; hak tanah Indonesia harus diperkuat secara Barat. Pada tahun 1816-1829,
terdapat pelbagai paham dikalangan Pemerintah kolonial tentang asas dan corak
kebijaksanaan agraria yang semuanya didasarkan kepada pandangan, bahwa negara
yang mempunyai tanah (Staatseigendom).

 Zaman J. Graaf van den Bosch

Peraturan baru diundangkan 1829 dan tidak lama kemudian J. Graaf van den Bosch
diangkat menjadi Gubernur-Jenderal (1830-1833). Sejak tahun 1830 diadakan
peraturan baru yang terkenal dengan nama Culture Stelsel (sistem perusahaan atau
perkebunan) oleh Gubernur Jenderal V.d. Bosch. Sekalipun stelsel ini tak begitu
buruk dalam teorinya, tetapi cara pelaksanaannya jauh dari pada memuaskan. Pajak
bumi yang berupa uang diganti dengan hasil bumi, karena bagi rakyat sukar sekali
untuk mendapatkan uang yang pada waktu itu memang masih sedikit beredar. Agar
Pemerintah mendapat uang banyak, maka dalam penyetoran hasil bumi ini ditetapkan
macamnya hasil bumi yang sangat berharga di pasar Eropa (dunia). Prinsip dari
stelsel itu dalam pokoknya sebagai berikut :

a) Dengan rakyat akan diadakan perjanjian untuk menyerahkan seperlima bagian


dari sawah guna ditanami bahan-bahan yang dibutuhkan bagi pasar di Eropa;
b) Tanah yang diserahkan akan dibebaskan dari pajak bumi;
c) Penanaman tanaman itu tidak boleh membutuhkan lebih banyak tenaga dari
pada tanaman padi;
d) Kemungkinan pusa akan ditanggung (menjadi beban) sendiri oleh
Gubememen;
e) Apabila harga menurut taksiran melebihi harga padi, maka kelebihan tadi
akan dikembalikan kepada rakyat;
f) Rakyat akan memperkerjakannya dibawah pimpinan kepala daerah
(Lulhoofden), sedang pegawai bangsa Eropalah yang mengawasinya.

 Zaman J.C. Baud.

J.C. Baud (1833-1836) dengan pengeluaran tanah sewa (K.B. tanggal 20-3-1831
No.80) mengambil jalan tengah antara lain :

a) Keberatan-keberatan yang banyak dikemukakan (oleh ambtenaren B.B.)


terhadap permintaan pengusaha-pengusaha partikelir, berhubung dengan
adanya hak-hak rakyat, yang menyatakan bahwa tidak ada tanah yang tidak
termasuk di dalam daerah desa (hak ulayat);
b) Cara semau-maunya mengeluarkan tanah kepada pengusaha-pengusaha
partikelir seperti dialami pada zaman Du Bus, tanpa memperhatikan hak dan
kepentingan rakyat.(menurut K.B. 20-9-1831 No.80, dengan persewaan tanah
itu memberi kemungkinan pula untuk mengeluarkan Woeste Gronden dengan
eigendom, huur dan erfpacht kepada bangsa Belanda, Eropa dan bangsa
Timur, dengan syarat untuk perluasan Culture yang berguna).

Kemudian pada tahun 1839 Pemerintah menghentikan untuk sementara rengeluaran


tanah, supaya tenaga rakyat dapat dikerahkan khusus untuk pekerjaan- pekerjaan
yang bersangkut paut dengan cultuur stelsel. Baud (1840-1848) yang mengganti Van
den Bosch sebagai Minister van Kolonien melarang sama sekali pengeluaran tanah
untuk menanam kopi, gula, indigo, tanpa izin dari Opperbestuur (Raja Belanda).

 Zaman A.J. Duymaer van Twist

A.J. Duymaer van Twist (liberal) (1851 -1856) diangkat menjadi Gubernur Jenderal
pada masa itu lahir Regerings-Reglement 1854 (S. 1855 No.2). Kebijaksanaan politik
Pemerintah, tetap didasarkan pada asas : bahwa kekuasaan Belanda didaerah jajahan
itu harus dipertahankan dengan jalan damai dan bahwa dengan memperhatikan
kemakmuran rakyat anak negeri, tanah jajahan itu harus tetap memberikan
keuntungan lahir (Stoffelijke Voordelen) kepada Negeri Belanda, ialah maksud
berdirinya kekuasaan Barat. Untuk mencapai tujuan tersebut rakyat asli itu selalu
diperintah menurut adat istiadatnya, dengan tidak menyimpang dari peraturan-
peraturan yang adil dan langsung dibawah pimpinan kepala-kepalanya sendiri, tetapi
selalu dijaga adanya perkosaan dan kelalaian (Misbruik en Nalatigheid).

b. Zaman Pemerintahan Jepang

Pada masa penjajahan Jepang (1942-1945), secara prinsip pengaturar soal pertanahan tidak
jauh berbeda dengan masa penjajahan Belanda, Jawatar Kadasteral Dient misalnya, masih
tetap di bawah Departemen Kehakiman dan hanya namanya yang diganti menjadi Jawatan
Pendaftaran Tanah dan Kantornya diberikan nama Kantor Pendaftaran Tanah. Sedangkan
pada masa penjajahan kolonial Belanda, pada saat itu Pemerintah Jepang mengeluarkan
peraturan pelarangan pemindahan hak atas benda tetap/tanah (Osamu Serey Nomor 2 Tahun
1942). Demikian pula penguasaan tanah-tanah partikelir Pemerintah Dai Nippon yang juga
dinyatakan hapus. Penduduk jepang meneluarkan suatu kebijakan yang dituangkan dalam
Osamu Serey nomor 2 tahun 1944, dan Osamu Serey yang terakhir nomor 4 dan 25 tahun
1944. Dalam pasal 10 Osamu Serey tersebut dinyatakan bahwa untuk sementara waktu
dilarang keras memindahtangankan harta benda yang tidak bergerak, suatsurat berharga,
uang simpanan dibank, dan sebagainya dengan tidak mendapat izin terlebih dahulu dari
tentara Dai Nippon. Terhadap tanah pertikelir diurus oleh kantor siryooty kanrikosya dimana
tanah-tanah pertikelir tidak lagi diusahakan atas dasar hak-hak pertuanan. Pada periode
sesudah tahun 1942, terjadi situasi yang cenderung pada :

a. Periode kacau di bidang pemerintahan mengakibatkan kebijaksanaan pemanfaatana tanah


dan penguasaan tanah tidak tertib;
b. Tujuan utama, usaha menunjang kepentingan Jepang;
c. Permulaan akupasi liar pada tanah-tanah perkebunan atau penebangan liar;
d. Usaha pengembalian kembali perkebunan milik Belanda;
e. Kerusakan fisik tanah karena politik bumi hangus dan penggunaan tanah melampaui
batas kemampuannya.
 Petani dibebani pajak bumi sebesar 40% dari hasil produksinya. Hal ini tentu
semakin memperparah kemiskinan.
 Perkebunan-perkebunan besar menjadi terlantar karena ditinggalkan oleh
pemiliknya (Belanda maupun modal asing lainnya). Dengan adanya lahanlahan
perkebunan yang terlantar dan kemiskinan yang parah di masyarakat, Pemerintah
pendudukan Jepang ternyata memberi toleransi bahkan mendorong tindakan
rakyat tersebut. Secara sosiologis, kenyataan ini telah menciptakan suatu
collective perception di antara rakyat, bahwa seolah-olah mereka telah
memperoleh kembali haknya atas tanah yang dulu dicaplok oleh Belanda (dan
modal asing lainnya melalui UU Agraria kolonial 1870.

2. Masa setelah kemerdekaan


a. Masa Pemerintahan Soewirjo 1945- 1947 dan 1950-1951
 Soewirjo, Walikota Pertama (7-9-1945). S

Setelah peristiwa Proklamasi 17 Agustus 1945 yang berlangsung di kota Jakarta,


sebagai pemyataan tekad bangsa Indonesia untuk merdeka, maka tanggal 7
September 1945 Soewirjo diputuskan sebagai Walikota pertama sebagai pejabat yang
menerima kekuasaan dan tanggung jawab atas Pemerintahan Kota Jakarta. Nama
pemerintahan “Tokubetsu Shi” diganti menjadi Pemerintahan Nasional Kota Jakarta.

 Soewirjo Ditangkap (21-7-1947).

Pengumuman Pemerintah Kota tentang wajib pendaftaran tanah pada saat itu
digalakkan yaitu pada waktu Pemerintah Nasional antara tahun 1945 sampai dengan
21 Juli 1947 Suwirjo ditangkap. Walaupun dalam keadaan sulit dan berbahaya,
pemerintah kota mengadakan pengumuman di beberapa surat kabar, yang
mengharuskan penduduk agar mendaftarkan tanah yang digarapnya di Kantor Urusan
Tanah (di Jalan Kebon Sirih No. 20). Banyak yang sudah mendaftarkan tanahnya,
tetapi banyak juga yang belum. Hal ini dapat dimengerti, berhubung dengan
kekacauan pada waktu itu, sehingga pelaksanaannya tidak dapat berjalan dengan
sempurna. Malahan hanya dengan seadanya saja hingga pada tanggal 21 Juli 1947
kantor-kantor pemerintah diduduki oleh orang-orang Belanda.

 Soewirjo diangkat kembali menjadi Walikota Jakarta (30-3-1950).

Setelah pemulihan kedaulatan dan keadaan Jakarta berangsur-angsur mulai aman dari
aksi-aksi militer Belanda, pada tanggal 30 Maret 1950 Soewirjo diangkat kembali
menjadi WalikotaJakarta. Kota Jakarta waktu itu berbentuk Pemerintah Kotapraja
Jakarta Raya,73 dan mulai ditata kembali berbagai permasalahan yang berkaitan
dengan penguasaan dan pemilikan tanah. Urusan terpenting dan sulit dalam wilayah
Jakarta Raya adalah urusan tanah. Luas wilayah seluruh kotapraja 531 Km’,
diantaranya yang termasuk tanah hak milik.

b. Masa Pemerintahan Sjamsuridjal (1951-1953)

Kebijakan Pengklasifikasian Status Tanah di DKI Jakarta menjadi 4 (empat) yaitu: Tanah
Kotapraja, Tanah Negara, Tanah Individu, dan Tanah Partikelir. Pada tanggal 27 Juni 1951
Sjamsuridjal menjadi walikota Jakarta yang kedua setelah Soewirjo. Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah Kota Jakarta dijalankan oleh Dewan Perwakilan Kota Sementara,
Badan Pemerintahan Harian.dan Walikota. Walikota di zaman kemerdekaan mempunyai
tugas yang lebih berat, sesuai dengan kedudukan Jakarta sebagai Ibukota Negara. Setelah
pemulihan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia, kota Jakarta dijadikan Ibukota
Republik Indonesia Serikat. Distrik Federal Jakarta walaupun merupakan sebagian daripada
wilayah Negara (Bagian) Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta, namun tetap
tidak berada di bawah suatu Negara Bagian. Dalam menghadapi pembangunan kota Jakarta,
Walikota Sjamsuridjal menekankan 3 (tiga) masalah pokok yang sangat urgen yang
senantiasa menjadi problem Pemerintah Kotapraja Jakarta Raya, yaitu masalah pembagian
air minum, pembagian aliran listrik, dan urusan tanah. Dalam menyinggung masalah
Kekurangan aliran listrik, menjadi masalah serius ketika itu, misalnya dengan pemadaman
aliran listrik 3 (tiga) hari sekali. Kekurangan ini disebabkan Jakarta hanya mendapat jatah
dari pusat sebesar 240 kilowat, sedangkan yang diperlukan adalah 272 kilowat. Untuk
mengatasi kekurangannya itu akan dibangun pusat tenaga listrik di Ancol.96 Sama dengan
pendahulunya, Walikota baru juga menghadapi masalah pertanahan yang cukup pelik. Dalam
menghadapi masalah tersebut, Pemerintah Kotapraja mengambil kebijakan yang sedikit
berbeda dengan kebijakan pendahulunya, yakni dengan menata status tanah di Jakarta, untuk
memperjelas status hukumnya. Dalam kerangka ini maka tanah di DKI Jakarta dibagi ke
dalam 4 (empat) macam (status), yaitu (a) tanah kotapraja, (b) tanah negara, (c) tanah
individu, dan (d) tanah partikelir. Dari keempat jenis tanah tersebut, yang menjadipersoalan
khusus Kotaparaja Jakarta adalah tanah partikelir dengan luas 17.537 Ha milik 16 perusahaan
yang sangat terlantar pengurusannya. Kampungkampung yang berada di atas tanah partikelir
keadaannya memburuk dan terdapat pemukiman kumuh. seperti daerah Alaydrus, Kwitang
dan gang Arjuna.

c. Masa Pemerintahan Sudiro (1953 -1960).

Pada masa Sudiro Pengendalian Pemilikan dan Penguasaan Tanah Bertiri Tolak Pada
Rencana Tata Ruang Jakarta, Menertibkan dan Melegalisir Bangunan Tanpa Ijin dan
Pembangunan Rumah Rakyat dan Pegawai Negeri serta Pembangunan Tugu Monumen
Nasional (Monas) merupakan prioritas yang harus dilaksanakan. Pada masa jabatannya
sebagai Kepala Daerah Tingkat I Kotapraja Jakarta Raya, Jakarta dibagi menjadi 3 wilayah
kabupaten administratif, yaitu (i) Kabupaten Jakarta Utara, (ii) Kabupaten Jakarta Tengah,
dan (iii) Kabupaten Jakarta Selatan.111 Untuk merealisasikan berbagai pembangunan di
wilayah Kotapraja Jakarta-Raya tentunya tidak lepas dari apa yang tertuang di dalam konsep
penataan kota Jakarta. Oleh karena itu, dalam periode 1953 sampai dengan 1959 telah
dirumuskan rencana pembangunan dalam jangka panjang secara konsepsionil. Perumusan itu
dituangkan dalam bentuk Rencana Pendahuluan (Outline Plan). Rencana Pendahuluan
(Outline Plan) tersebut dilatar belakangi oleh:

a) Undang-undang Pembentukan Kota No. 168 Tahun 1948, sehingga oleh Pemerintah
Kotapraja Jakarta-Raya dianggap perlu untuk mengadakan persiapan-persiapan ke
arah penyusunan Rencana Induk, yang dikenal juga dengan nama “Master Plan”
untuk perkembangan kota Jakarta. Rencana Induk meliputi “rencana penggunaan
tanah” Secara garis besar substansinya meliputi “penetapan tempat-tempat yang akan
diperuntukkan bagi perumahan, lokasi perkantoran, tempat hiburan/wisata (a place
for home, work, and recreation).
b) Oleh karena konsep dan cara pendekatan penyusunan Master Plan merupakan hal
yang baru bagi tenaga tehnik Indonesia pada waktu itu, maka Direktur Jawatan
Pekerjaan Umum diberi kesempatan untuk menjalankan studi-tour selama 6 bulan ke
Amerika Serikat untuk mempelajari dan memperdalam ilmu pengetahuan Rencana
Perkembangan "Kota yang baru. Kemudian pada tahun 1956 bantuan teknik diberikan
lagi oleh PBB yang menugaskan K.A. Watts, untuk membantu Jawatan Pekerjaan
Umum DKI Jakarta membentuk Bagian Master Plan secara khusus, yang bekerja
langsung di bawah pimpinan tenaga ahli tersebut. Kemudian Watts melanjutkan
pekerjaan survey yang meliputi masalah penduduk, kesempatan kerja, perumahan dan
lalu lintas, sejarah perkembangan kota Jakarta, masalah “tata guna tanah,” bangunan
istimewa.

d. PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 8 TAHUN 1953 TENTANG PENGUASAAN


TANAH-TANAH NEGARA

Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 L.N. 1953 Nomor 14 Tentang Penguasaan
Tanah-Tanah Negara, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan tanah Negara adalah tanah
yang dikuasai penuh oleh Negara, kecualai jika penguasaan atas tanah Negara dengan
undang-undang atau peraturan lain pada waktu berlakunya Peraturan Pemerintah ini telah
diserahkan kepada suatu Kementerian, Jawatan atau Daerah Swatantra maka penguasaan atas
tanah Negara .Di dalam hal penguasaan tersebut Menteri Dalam Negeri berhak untuk:

a) Menyerahkan penguasaan itu kepada suatu Kementerian, Jawatan atau Daerah


Swatantra untuk keperluan kepentingan tertentu dari Kementerian, Jawatan atau
daerah Swatantra dan;
b) Mengawasi agar supaya tanah Negara diperlukan sesuai dengan peruntukannya dan
bertindak mencabut penguasaan atas tanah Negara apabila penyerahan penguasaan itu
ternyata keliru/tidak tepat lagi, luas tanah yang diserahkan penguasaannya ternyata
sangat melebihi keperluannya dan tanah itu tidahk dipelihara atau dipergunakan
sebagai mana mestinya. Dalam pada itu, hal menguasai tanah Negara meliputi semua
tanah dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, baik tanah-tanah yang
tidak atau belum, maupun yang sudah dihaki dengan hak-hak perorangan oleh
U.U.P.A.disebut tanah yang langsung dikuasai oleh Negara. Untuk menyingkat
pemakaian kata-kata, dalam praktek administrasi Negara digunakan sebutan “Tanah
Negara”. Hal ini sudah barang tentu dalam arti yang berbeda benar dengan sebutan
“Tanah negera” dalam arti “landsdomein” atau “milik Negara” dalam rangka
“domeinverklaring”. Tanah yang sudah yang dipunyai dengan hak-hak atas tanah
primer disebut dengan tanah hak dengan nama sebutan haknya, unsurnya tanah hak
milik, tanah Hak Guna Usaha (HGU) dan lain-lainnya.

Dengan berkembangnya Hukum Tanah Nasional lingkup tanah-tanah yang dalam


U.U.P.A. disebut tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, yang semula disingkat
dengan sebutan Tanah Negara itu mengalami juga perkembangan, semula pengertiannya
mencakup semua tanah yang dikuasai oleh Negara, diluar apa yang disebut tanah-tanah
hak. Sekarang ini, Hukum Tanah Indonesia dari segi kewenangan penguasaannya ada
kecenderungan untuk lebih memperinci status tanah yang semula tercakup dalam
pengertian tanah Negara itu menjadi:

a) Tanah-tanah wakaf, yaitu tanah-tanah hak milik yag sudah diwakafkan,


b) Tanah-tanah hak pengelolaan, yaitu tanah-tanah yang dikuasai dengan hak
pengelolaan yang merupakan pelimpahan pelaksanaan sebagaian kewenangan Hak
Menguasai dari Negara kepada pemegang haknya,
c) Tanah-tanah Hak Ulayat, yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh masayarakat Hukum
adat tetorial dengan hak Ulayat,
d) Tanah-tanah Kaum, yaitu tanah-tanah bersama masyarakat-masyarakat hukum adat
genealogis,
e) Tanah-tanah kawasan hutan yang dikuasai oleh Departemen Kehutanan berdasarkan
Undang-Undang Pokok Kehutanan. Hak penguasaan ini pada hakekatnya juga
merupakan pelimpahan sebagian kewenanangan Hak Menguasai dari Negara,
f) Tanah-tanah sisanya yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara yang bukan tanah
hak, bukan tanah wakaf, bukan tanah hak pengelolaan, bukan tanah hak ulayat, bukan
tanah-tanah kaum dan bukan pula tanah-tanah kawasan hutan. Tanah-tanah ini tanah-
tanah yang benar-benar langsung dikuasai oleh Negara untuk singkatnya dapat
disebut tanah Negara.

e. Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda.

Setelah bangsa Indonesia merdeka dan menjadi Negara yang berdaulat penuh, sudah
waktunya untuk mengeluarkan ketegasan terhadap perusahaanperusahaan milik Belanda
yang berada di wilayah Republik Indonesia, berupa nasionalisasi untuk dijadikan milik
negara. Hal ini dimaksudkan untuk memberi manfaat sebesar-besarnya pada masyarakat
Indonesia dan juga untuk memperkokoh keamanan dan pertahanan negara. Untuk itu, pada
tanggal 27 Desember 1958 dibentuklah undang-undang mengenai perusahaan-perusahaan
milik Belanda yang dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 162 yaitu Undang-
Undang Nomor 86 Tahun 1958 Tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda
yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang akan di tetapkan dengan
Peraturan Pemerintah dikenakan nasionalisasi dan dinyatakan menjadi milik penuh dan bebas
Negara Republik Indonesia. Dan kepada pemilik-pemilik perusahaan tersebut diberi
penggantian yang besarnya ditetapkan oleh sebuah panitia yang anggotaanggotanya ditunjuk
oleh Pemerintah.
f. Penguasaan Tanah-Tanah Milik Perseorangan Warganegara Belanda Lazimnya
Dikenal dengan Panitia Pelaksana Penguasaan Milik Belanda Disingkat P3MB

Dengan berlakunya undang-undang tentang nasionalisasi perusahaanperusahaan milik


Belanda (Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958), dan telah pula ditunjuk perusahaan-
perusahaan mana yang dikenakan nasionalisasi itu serta semangat anti Belanda yang
meningkat, mengakibatkan banyaknya orang-orang Belanda pemilik benda-benda tetap
(berupa rumah dan tanah) pergi keluar Indonesia secara tergesa-gesa. Hal ini menjadikan
penguasaan atas benda-benda yang ditinggalkan itu menjadi tidak teratur. Ada yang dikuasai
oleh orang-orang yang sudah mengadakan perjanjian jual beli dengan pemiliknya berhubung
pada saat itu terdapat larangan soal ijin pemindahan haknya maka jual beli tersebut tidak
dapat dilakukan, kemudian ada yang dikuasai oleh seseorang yang ditunjuk sebagai kuasa
oleh pemiliknya dan ada pula yang ditinggalkan begitu saja tanpa ada penunjukan seorang
kuasa. Berhubung dengan itu maka oleh Pemerintah dianggap perlu diadakan ketentuan-
ketentuan yang khusus yang bertujuan agar pemindahan hak atas benda- benda (berupa
rumah dan tanah) dapat diselenggarakan dengan tertib dan teratur dan agar dapat dicegah
pula jatuhnya tanah-tanah dan rumah-rumah peninggalan warga negara Belanda ke dalam
tangan golongan tertentu saja. Pertama-tama yang dipandang perlu dilakukan oleh
Pemerintah adalah menertibkan kembali penguasaan dengan menempatkan semua benda-
benda tetap yang ditinggalkan baik yang sudah ada perjanjian jual beli yang sudah ada
kuasanya maupun yang ditinggalkan begitu saja, di bawah penguasaan Pemerintah dalam hal
ini Menteri Muda Agraria. Penguasaan tersebut di atas bukan berarti pengambilalihan
ataupun nasionalisasi sebagai yang dimaksud dalam Undang-Undang Nasionalisasi
Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda (Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958) dan oleh
karenanya tidak menghilangkan atau mengganggu gugat hak milik daripada pemiliknya.

g. Tanah Partikelir (U.U. No.1 Tahun 1958) Tentang Penghapusan TanahTanah Partikeli
h. Pengambilan Tanah Untuk Keperluan Penguasa Perang Tahun 1959.

Produk perundang-undangan yang diterbitkan oleh kepala staf penguasa perang, bahkan
dikatakan juga sebagai kepala staf Angkatan Darat selaku Penguasa perang Pusat. Ada
beberapa produk hukum yang diterbitkan dan akan dibahas di bawah ini, antara lain : 1.
Pengambilan tanah untuk keperluan penguasa perang berdasarkan undangundang keadaan
bahaya. Undang-undang Nomor 23 Prp. Tahun 1959, mengatur tentang, pengambilan tanah
untuk keperluan penguasa perang berdasarkan undang-undang keadaan bahaya. Untuk
kepentingan pertahanan dan keamanan melalui Undang-undang Keadaan Bahaya Pemerintah
dapat melakukan pengambilan tanah. Dalam Undangundang ini diatur tentang : i. Penguasa
perang berhak mengambil atau memakai barang-barang macam apapun juga untuk
kepentingan Pertahanan dan Keamanan. ii. Dalam pengambilan untuk dimiliki, maka Hak
Milik segera dipindahkan kepada Negara, bebas dari segala Tanggungan Hak-hak Atas
Barangbarang tersebut. iii. Selain Surat Keputusan tentang Penetapan Pengambilan untuk
dimiliki mengenai barang-barang tidak bergerak dan kapal-kapal yang mempunyaisurat bukti
resmi disampaikan kepada yang berwajib yang harus memindahkan Hak Milik tersebut
menurut Peraturan yang berlaku.

i. Panitia Agraria Dan Sejarah Penyusunan UUPA.204


 Bagian I : Berbagai Panitia Agraria
1) Pantia Agraria Yogya Tahun 1948 Sebagaimana telah diuraikan di atas pada tahun
1948 dimulai usahausaha yang konkret untuk menyusun dasar – dasar Hukum
Agraria / Hukum Tanah baru yang akan menggantikan hukum agrarian warisan
pemerintah jajahan. Usaha tersebut dimulai dengan pembentukan Pantia Agraria yang
berkedudukan di Yogyakarta, sebagai Ibukota Republik Indonesia pada waktu itu,
“Panitia Agraria Yogya” dibentuk dengan Penetapan Presiden Republik Indonesia
tanggal 21 mei 1948 no 16, deketuai oleh Sarimin Reksodihardjo (Kepala Bagian
Agraria Kementrian Dalam Negeri) dan beranggotakan pejabat- pejabat dari berbagai
Kementrian dan Jawatan , anggota – anggota Badan Pekerja KNIP yang mewakili
Organisasi – organisasi tani dan daerah , ahli – ahli hukum adat dan wakil dari Serikat
Buruh Perkebunan. Panitia bertugas : member pertimbangan kepada Pemerintah
tentang soal- soal yang mengenai hukum tanah seumumnya ; merancang dasar – dasar
hukum tanah yang memuat politik agrarian Negara Republik Indonesia ; merancang
perubahan , penggantian , pencabutan peraturan – peraturan lama .
2) Panitia Agraria Jakarta Tahun 1952 Atas pertimbangan bahwa “Panitia Agraria
Yogya” tidak sesuai lagi dengan keadaan Negara – terutama sesudah terbentuknya
kembali Negara Kesatuan – maka dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia
tanggal 19 Maret 1952 no 36/1951 Panitia tersebut dibubarkan dab dibentuk Panitia
Agraria baru, yang berkedudukan di Jakarta (“Panitia Agraria Jakarta”). Panitia
diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo dan beranggotakan pejabatpejabat dari berbagai
Kementrian dan jawatan sera wakil –wakil Organisasi-Organisasi tani. Sebagai wakil
ketuanya diangkat Sadjarwo, Kepala Bagian Politik Umum dan Planning Kementrian
Pertanian.
3) Panitia Soewahjo Tahun 1955 Dengan Keputusan Presiden tanggal 29 Maret 1955
No. 55/1955 dibentuk Kementrian Agraria dengan tugas antara lain mempersiapkan
pembentukan Perundang – undangan agraria nasional yang sesuai dengan Ketentuan
– Ketentuan dalam pasal 38 ayat 3, pasal 26 dan 37 ayat 1 Undang – Undang Dasar
Sementara. Dengan adanya Menteri yang khusus bertugas dalam urusan agraria dan
dengan dibentuknya Kementrian Agraria, tampaklah maksud Pemerintah untuk
dengan sungguh – sungguh akan menyelenggarakan pembaharuan Hukum Agraria
/Hukum Tanah yang telah lama dinanti-nantikan Pemerintah berpendapat, bahwa
untuk itu terlebih dahulu harus disusun suatu undang –undang yang memuat
dasardasar dan ketentuan-ketentuan pokok hukum yang baru, yaitu suatu Undang-
Undang Pokok Agraria.

 Bagian 2 : Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria.


1) Rancangan Soenarjo Tahun 1958 Dengan beberapa perubahan menngenai sistematika
dan rumusan beberapa pasalnya Rancangan “Pantia Soewahjo” tersebut diajukan oleh
Menteri Agraria Soenarjo” disetujui oleh Dewan Menteri dalam sidangnya ke-94
pada tanggal 1 April 1958 dan kemudian diajukan kepada dewan Sejarah Hukum
Tanah Indonesia 83 Perwakilan Rakyat dengan Amanat Presiden tanggal 24 April
1958 no 1307/HK. Naskah Rancangan beserta Memori Penjelasannya secara lengkap
dimuat dalam Majalah Agraria yang telah beberapa kali disebut di atas. “Rancangan
Soenarjo” telah dibicarakan dalam siding pleno DPR pada tingkat Pemandangan
Umum babak pertama . Jawaban Pemerintah atas Pemandangan Umum babak
pertama. Jawaban Pemerintah atas Pemandangan Umum babak pertama tersebut
disampaikan oleh Menteri Soenarjo dalam sidang pleno DPR tanggal 16 Desember
1958. Untuk melanjutkan pembahasannya DPR memandang perlu mengumpulkan
bahan-bahan yang lebih lengkap . Untuk itu oleh Panitia Permusyawaratan DPR
dibentuk suatu Panitia ad-hoc yang diketuai oleh Mr A.M. Tambunan . Universitas
Gajah Mada ( Seksi Agraria yang diketuai oleh Prof.Notonagoro), demikian pula
Ketua Mahkamah Agung Wirjono Prodjodikoro banyak memberikan bahan kepada
Pantia ad-hoc tersebut. Sejak itu pembicaraan RUU UUPA dalam sidang pleno
menjadi tertunda, hingga akhirnya Rancangan Soenarjo tersebut ditarik kembali oleh
kabinet.
2) Rancangan Sadjarwo Tahun 1960 Berhubung dengan berlakunya kembali Undang-
Undang Dsar 1945 maka “Rancangan Soenarjo” yang masih memakai dasar Undang-
Undang Dasar Sementara ditarik kembali dengan surat Pejabat Presiden tanggal 23
mei 1960 No. 1532/HK/1960. Setelah disesuaikan dengan Undang-Undang Dasar
1945 dan Manifesto Politik Republik Indonesia (yaitu Pidato Presiden Sukarno pada
tanggal 17 Agustus 1959), dalam bentuk yang lebih sempurna dan lengkap
diajukanlah Rancangan Undang- Undang Pokok Agraria yang baru oleh Menteri
Agraria Sadjarwo. “ Rancangan Sadjarwo” tersebut disetujui oleh kabinet inti dalam
sidangnya tanggal 22 Juli 1960 dan oleh Kabinet Pleno dalam sidangnya tanggal 1
Agustus 1960. Dengan Amanat Presiden tanggal 1 Agustus 1960 No. 2458/HK/60.
Rancangan tersebut diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong.
Berbeda dengan Rancangan Soenarjo yang tidak tegas konsepsi yang melandasinya,
rancangan Sadjarwo, secara tegas menggunakan Hukum Adat sebagai dasarnya.

 Bagian 3 : Pembahasan Dan Persetujuan Oleh DPR-GR.


Pembahasan Marathon dan Persetujuan Bulat Sejarah Hukum Tanah Indonesia 84
Dari Pidato Pengantar Acting Ketua DPR-GR Haji Zainul Arifin dalam sidang pleno
tanggal 12 September 1960. dapat diketahui jalannya pembicaraan “Rancangan
Sadjarwo” tersebut dalam siding-sidang DPRGR. Sesuai dengan ketentuan tata tertib
DPR-GR maka titik berat pembicaraan diletakkan pada pembahasannya dalam sidang
– sidang komisi. Yang sifatnya tertutup (rahasia). Dengan demikian maka apa yang
dibicarakan dalam sidang pleno pada hakikatnya sudah merupakan hasil kata sepakat
antara Pemerintah dan DPR-GR. Oleh karena itu pembahasan Rancangan Undang-
Undang Pokok Agraria dalam sidang Pleno hanya memerlukan 3 kali sidang. Yaitu
tanggal 12,13,14 September 1960 pagi, sedang pemandangan umumnya hanya
dilakukan dalam satu babak saja . Untuk itu seluruhnya hanya diperlukan 6 jam
pembicaraan. Untuk pembicaraan persiapan diperlukan 6seluruhnya lebih dari 45
jam, di antaranya lebih dari 20 jam untuk pertemuan – pertemuan informal di luar
acara sidang-sidang resmi.

 Bagian 4 : Pengesahan dan Pengundangan


Pengesahan,pengundangan dan mulai berlakunya Sejarah Hukum Tanah Indonesia 85
Pada hari sabtu tanggal 24 September 1960 rancangan undangundang yang telah
disetujui oleh DPR-GR tersebut disahkan oleh Presiden Sukarno menjadi Undang-
Undang no 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria , yang
menurut diktumnya yang kelima dapat disebut , dan selanjutnya memang lebih
dikenal sebagai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). UUPA diundangkan dalam
lembaran Negara tahun 1960 No. 104, sedang Penjelasannya dimuat dalam Tambahan
Lembaran Negara No. 2043 (Boedi Harsono, ibid A/1 dan A/2). Menurut Diktum
Kelima UUPA mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yaitu pada tanggal 24
september 1960. Demikianlah maka sejak itu setelah lima belas tahun merdeka dan
setelah sesudah berusaha selama kurang lebih dua belas tahun Bangsa Indonesia
untuk pertama kalinya mempunyai dasar perundangan untuk menyusun lebih lanjut
Hukum Agraria/Hukum Tanah Nasionalnya sebagai perwujudan dari pada Pancasila,
berlandaskan Undang-Undang Dasar Proklamasi Undang–Undang Dasar 1945.

j. Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 Dan Penjelasannya


k. Ketentuan-Ketentuan Konversi Untuk Tanah-Tanah Hak Barat dan TanahTanah Hak
Indonesia.
Peraturan Menteri Agraria No.2 Tahun 1960, Tentang Pelaksanaan Ketentuan Undang-
Undang Pokok Agraria (Pertama kali ada proses pensertipikatan tanah di Indonesia untuk
hak-hak Barat) .
3. Masa Reformasi
a. Awal Terbentuknya Struktur B.P.N.

Pada masa kemerdekaan, tekad Pemerintah untuk membenahi dan menyempurnakan


pengelolaan pertanahan makin bulat. Menyadari bahwa landasan hukum pertanahan (yang
waktu itu ada) merupakan produk hukum warisan Pemerintah jajahan Belanda, Pemerintah
melalui Departemen Dalam Negeri mulai serius mempersiapkan landasan hukum pertanahan
yang sesuai dengan UUD 1945.208 Mulanya pada tahun 1948, berdasarkan Penetapan
Presiden Nomor 16 Tahun 1948, Pemerintah membentuk Panitia Agraria Yogyakarta. Tiga
tahun kemudian, Pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1951, yang
intinya membentuk Panitia Agraria Jakarta, sekaligus membubarkan Panitia Agraria
Yogyakarta. Pembentukan kedua panitia agraria itu dimaksudkan sebagai upaya untuk
mempersiapkan lahirnya unifikasi hukum pertanahan yang sesuai dengan kepribadian bangsa
Indonesia. Selanjutnya lewat Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1955,
Pemerintahmembentuk Kementerian Agraria yang berdiri sendiri dan terpisah dari Dartemen
Dalam Negeri. Menurut Keppres tersebut, tujuan dan tugas kementerian Agraria, antara lain
sebagai berikut:

a) Mempersiapkan pembentukan perundang-undangan Agraria Nasional yang sesuai


dengan ketentuan Pasal 16,27 ayat (1) dan Pasal 3 8 Undang- Undang Sementara
Tahun 1960.
b) Melaksanakan dan mengawasi perundangan agraria pada umumnya serta memberikan
petunjuk tentang pelaksanaan pada khususnya. Menjalankan segala usaha untuk
menyempurnakan kedudukan dan kepastian hak tanah bagi rakyat. Pada tahun 1956,
berdasarkan Keputusan Presiden R.I. Nomor 1 Tahun 1956dibentuklah Panitia
Negara Urusan Agraria Yogyakarta yang sekaligus membubarkan Panitia Agraria
Jakarta. Tugas Panitia Negara Urusan Agraria ini antara lain, untuk mempersiapkan
proses pembentukan Undang-Undang Agraria Nasional.

Pada 1 Juni 1957, Panitia Negara Urusan Agraria selesai menyusun naskah draf
rancangan UUPA. Pada saat yang sama berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 190
Tahun 1957, Jawatan Pendaftaran Tanah yang semula masuk dalam lingkungan
Kementerian Kehakiman dialihkan dalam tugas Kementerian Agraria. Dengan begitu,
tugas Kementerian Agraria bertambah lagi:

 Pengukuran, pemetaan dan pembukuan semua tanah dalam wilayah R.I.


 Pembukuan hak-hak atas tanah serta pencatatan pemindahan hak-hak tersebut.

b. Tahun 1960-1965.

Titik tolak reformasi hukum pertanahan nasional terjadi pada tanggal 24 September 1960.
Ketika itu, rancangan UUPA disetujui dan disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 (Lembaran Negara Nomor 104 Tahun 1960 dan Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2043, tentang Penjelasan UU Nomor 5 Tahun 1960). Dengan diberlakukannyaUU
No. 5 Tahun 1960 maka untuk pertama kalinya, pengaturan soal tanah menggunakan produk
hukum nasional yang bersumber dari hukum adat. Bersamaan dengan itu Agrarisch Wet
dinyatakan tidak berlaku lagi dan sekaligus menandai berakhirnya dualisir hukum Agraria di
Indonesia.

c. Tahun 1965-1988.

Setelah selama 11 tahun Direktorat Agraria statusnya ditingkatkan menjadi Kementerian /


Departemen Agraria, pada tahun 1965, lembaga ini diciutkan kembali menjadi setingkat
Direktorat Jenderal. Hanya saja cakupannya ditambah dengan direktorat di bidang
transmigrasi sehingga namanya menjadi Direktorat Agraria dan Transmigrasi yang masih
bernaung di bawah Departemen Dalam Negeri. Alasannya Pemerintahan Orde Baru ingin
menyederhanakan organisasi dalam rangka efisiensi. Pada tahun itu juga terjadi perubahan
organisasi secara mendasar. Direktorat Jenderal Agraria tepat menjadi salah satu bagian dari
Departemen Dalam Negeri dan berstatus Direktorat Jenderal. Sedangkan urusan transmigrasi
ditarik kembali ke dalam lingkungan Departemen Veteran, Transmigrasi dan Koperasi.
Tahun 1972, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 145 Tahun 1969 dicabut dan
selanjutnya diganti dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 88 Tahun 1972, tentang
Penyatuan Instansi Agraria di Daerah. Berdasarkan Keputusan itu, instansi agraria di daerah
disatukan dalam satu vadah pimpinan. Untuk ditingkat Propinsi dibentuk Kantor Direktorat
Agraria Propinsi, sedangkan di tingkat Kabupaten/Kotamadya dibentuk Kantor Sub
Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya

d. Tahun 1988-2003.
1. Badan Pertanahan Nasional (1988-1993).

Sejalan dengan meningkatnya pembangunan nasional, kebutuhan akan tanah juga


semakin meningkat. Peningkatan kebutuhan tanah itu sebagian diakibatkan oleh
meningkatnya kegiatan pembangunan. pembangunan prasarana ekonomi dan sektor
Industri bagi Pemerintah dan dunia swasta, misalnya juga memerlukan penyediaan tanah
yang memadai. Akibatnya, persoalan yangdihadapi Direktorat Jenderal Agraria,
Departemen Dalam Negeri, makin bertambah berat dan rumit. Guna mengatasi
permasalahan pertanahan secara terencana dan terpadu khususnya beban yang dihadapi
Direktorat Jenderal Agraria berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988,
Status Direktorat Jenderal Agraria, Departemen Dalam Negeri, ditingkatkan menjadi
Lembaga Pemerintah Non Departemen dengan nama Badan Pertanahan Nasional.
Kemudian dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3, Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988, BPN menjalankan fungsi sebagai berikut :

 Merumuskan kebijakan perencanaan penguasaan penggunaan tanah;


 Merumuskan kebijakan dan perencanaan pengaturan pemilikan tanah
dengan prinsip-prinsip bahwa tanah mempunyai fungsi sosial sebagaimana
diatur dalam UUPA;
 Melaksanakan pengukuran dan pemetaan serta pendaftaran tanah dalam
upaya memberikan kepastian hak di bidang pertanahan;
 Melaksanakan pengurusan hak-hak tanah dalam rangka memelihara tertib
administrasi di bidang pertanahan;
 Melaksanakan penelitian dan rengembangan di bidang pertanahan serta
pendidikan dan latihan tenaga-tenaga yang diperlukan di bidang
administrasi pertanahan;
 Lain-lain yang ditetapkan oleh Presiden.
Tugas dan fungsi BPN sebagaimana yang tertuang dalam Keputusan Presiden
Nomor 26 Tahun 1988 ( Pasal 2 dan 3, khususnya huruf f) itu dapat diketahui
bahwa cakupan tugas yang diemban BPN menjadi sangat luas. Hal ini
disebabkan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus mengelola dan
mengembangkan administrasi pertanahan seperti yang diamanatkan UUPA
juga berdasarkan peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan
pertanahan serta berdasarkan kebijaksanaan dan ketetapan Presiden.

e. Struktur Terbaru Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala B.P.N.

Melalui Peraturan Presiden No. 17 Tahun 2015, Diundangkan Tanggal 23 Januari 2015,
Tentang Kementerian Agraria Dan Tata Ruang.

Anda mungkin juga menyukai