Anda di halaman 1dari 19

Tanam Paksa di Indonesia

SISTEM SEWA TANAH


Sistem sewa tanah dicetuskan oleh Letnan Gubernur Raffles. Pada hakekatnya Raffles ingin
menciptakan suatu sistem ekonomi di Jawa yang bebas dari segala unsur paksaan yang dahulu
melekat pada sistem penyerahan paksa dan pekerjaan Rodi yang dijalankan oleh Kompeni Belanda (
VOC ). Pada intinya Raffles ingin menghapuskan segala penyerahan wajib dan pekerjaan Rodi yang
dibebankan pada rakyat, khususnya para petani. Pandangan Raffles sama dengan pejabat Belanda
akhir zaman VOC yaitu Dirk van Hogendorp. Menurut mereka sistem feodal yang ada di Indonesia
pada waktu itu mematikan segala daya usaha rakyat Indonesia.
Dalam usahanya untuk menegakkan suatu kebijakan kolonial yang baru, Raffles berpatokan pada tiga
azas. Pertama, segala bentuk paksaan baik itu penyerahan wajib dan kerja Rodi dihapuskan dan
kebebasan penuh diberikan pada rakyat untuk menentukan tanaman apa yang hendak mereka tanam.
Kedua, peranan para bupati sebagai pemungut pajak dihapus dan sebagai gantinya mereka dijadikan
bagian yang integral dari pemerintahan kolonial. Ketiga, para petani menganggap tanah yang mereka
gunakan adalah milik pemerintah kolonial dan mereka harus membayar pajak atas pemakaian tanah
pemerintah.
Sistem sewa tanah tidak meliputi seluruh pulau Jawa, misalnya daerah sekitar Jakarta, daerah
Parahiyangan karena daerah tersebut umumnya milik swasta, sedangkan daerah Parahiyangan
pemerintah kolonial keberatan untuk menghapus sistem tanam paksa kopi yang memberi keuntungan
besar.
Karena Raffles berkuasa di Jawa hanya lima tahun dan mengingat pula terbatasnya pegawai-pegawai
yang cukup dan dana keuangan, maka Raffles tidak sanggup untuk melaksanakan sistem sewa tanah
tersebut. Kemudian kebijakan Raffles diteruskan oleh pemerintah kolonial Belanda yang baru.
Pertama-tama dibawah Komisaris Jendral Elout, Buyskes, dan Van der Capellen ( 1816-1819 ).
Dibawah Gubernur Jendral Vander Capellen ( 1819-1826 ) dan Komisaris Jendral du Bus de Gisignies (
1826-1830 ). Sejak kedatangan Gubernur Jendral yang baru yaitu Van den Bosch ( 1830 )
menghidupkan kembali unsur-unsur paksaan dalam penanaman tanaman dalam bentuk yang lebih
keras dan efisien dari pada di bawah VOC.
Pada waktu Van der Capellen menerima jabatan sebagai Gubernur Jendral peran bupati sudah sangat
berkurang dibanding pada zaman VOC. Namun Van der Capellen menyadari bahwa para bupati
mempunyai pengaruh yang besar bagi rakyat dan dia juga menyadari pejabat Eropa tidak akan
sanggup menggantikan kedudukan sosial dalam masyarakat Jawa.

Ditinjau dari tujuannya yaitu untuk meningkatkan kemakmuran rakyat di Jawa dan merangsang
produksi tanaman dagangan, sistem sewa tanah dapat dikatakan telah menuai kegagalan. Usahausaha untuk mengganti strukur masyarakat yang tradisional ( feodal ) dan memberikan kepastian
hukum pada para petani pun tidak berhasil. Kesalahan Raffles adalah mungkin ia terlalu melebihlebihkan persamaan yang menurut ia terdapat antara India dan Jawa. Hal ini disebabkan karena
Raffles terinspirasi dari pengalaman yang ia peroleh ketika di India.

SISTEM TANAM PAKSA


Dalam bagian pertama sistem sewa tanah yang dicetuskan oleh Raffles mengalami kegagalan, antara
lain dalam merangsang para petani untuk meningkatkan produksi tanaman perdagangan untuk
ekspor. Pada tahun 1830 pemerintah Hindia-Belanda mengangkat Gubernur Jendral baru yaitu van
den Bosch. Beliau diserahi tugas untuk meningkatkan porduksi tanaman ekspor yang terhenti selama
sistem pajak tanah berlangsung. Hal ini didorong oleh keadaan yang parah dari keuangan negeri
Belanda karena pemerintah Belanda memiliki hutang-hutang yang jumlahnya cukup besar.
Ciri utama dari sistem tanam paksa yang diperkenalkan oleh Van den Bosch adalah keharusan bagi
rakyat di Jawa untuk membayar pajak mereka dalam bentuk barang yaitu hasil pertanian.Van den
Bosch berharap dengan pungutan pajak semacam ini tanaman dagangan bisa dikirim kembali ke
negara Belanda untuk di jual kepada pembeli-pembeli dari Amerika dan Eropa.
Ketentuan-ketentuan pokok dari sistem tanam paksa tertera dalam Staatsblad ( Lembaran Negara )
tahun 1834, no. 22 yang berbunyi sebagai berikut:
1. Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk agar mereka menyediakan sebagian dari
tanahnya untuk penanaman tanaman dagangan yang dapat dijual di pasaran Eropa.
2. Bagian dari tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan ini tdak boleh melebihi seperlima
dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa.
3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagangan tidak boleh melebihi pekerjaan yang
diperlukan untuk menanam padi.
4. Bagian dari tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dari pembayaran
pajak tanah.
5. Tanaman daganganyang dihasilkan di tanah-tanah yang disediakan, wajib diserahkan kepada
pemerintah Hindia-Belanda, jika nilai hasil-hasil tanaman dagangan yang ditaksir itu melebihi pajak
tanah yang harus dibayar rakyat, maka selisih positifnya harus diserahkan kepada rakyat.
6. Panen tanaman dagangan yang gagal harus dibebankan pada pemerintah, sedikit-sedikitnya jika
kegagalan ini tidak disebabkan oleh kurang rajin atau ketekunan dari pihak rakyat.
7. Penduduk desa mengerjakan tanah-tanah mereka dibawah pengawasan kepala-kepala mereka,
sedangkan pegawai-pegawai Eropa hanya membatasi diri pada pengawasan apakah membajak tanah,
panen, dan pengangkutan tanaman-tanaman berjalan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Diatas kertas ketentuan-ketentuan diatas memang tidak kelihatan tidak terlalu menekan rakyat,
walaupun orang-orang pada prinsipnya dapat mengajukan keberatan-keberatan mengenai unsur
paksaan yang terdapat dalam sistem itu. Namun dalam prakteknya ternyata jauh sekali dari
ketentuan-ketentuan pokok, seperti yang tercantum dalam Staatsblad ( Lembaran Negara ) tahun
1834, no. 22. Sehingga banyak rakyat yang merasa dirugikan.
Sistem Tanam Paksa yang dilakukan oleh pihak Belanda memang menuai keuntungan yang melimpah.
Sebagai bukti, jika sebelum tahun 1830 pos anggaran Belanda mengalami defisit terus-menerus maka
pada tahun 1831 defisit dalam anggaran pemerintah Belanda mengalami suatu surplus sebagai akibat
berhasilnya Sistem Tanam Paksa yang diterapkan oleh Hindia-Belanda. Pemerintah Belanda sangat
puas atas berhasilnya Sistem Tanam Paksa tersebut, tetapi mereka tidak tahu bagaimana kondisi
rakyat Indonesia ketika Sistem ini diberlakukan, tetapi keadaan mulai berubah ketika tahun 1850,
rakyat Belanda lambat laun memperoleh kabar mengenai keadaan rakyat Indonesia yang sebenarnya.
Para penganut paham Liberalis ( Baron Van Hoevell, Vitalis dll ) tidak setuju atas sistem tersebut
diterapkan di Indonesia. Aliran Liberalis semakin mendesak pemerintah untuk membuka lahan di
Indonesia bagi swasta. Pada tahun 1870 Sistem Tanam Paksa dihapuskan sebagai akibat desakan dari
kaum Liberlis.
SISTEM LIBERAL
Sistem ekonomi kolonial pada tahun-tahun 1870 dan 1900 pada umumnya disebut sistem liberalisme,
artinya adalah bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah kolonial modal swasta diberi peluang
sepenuhnya untuk mengusahakan kegiatan ekonomi di Indonesia.
Meluasnya pengaruh ekonomi barat dalam masyarakat Indonesia selama zaman liberal tidak saja
terbatas pada penanaman tanaman perdagangan di perkebunan besar, akan tetapi meliputi impor
barang-barang dari industri yang sedang berkembang di Belanda. Kegiatan impor tersebut memiliki
dampak yang buruk bagi usaha-usaha kerajinan rakyat Indonesia. Karena pada umumnya hasil-hasil
produksi mereka baik dalam harga dan mutu kalah bersaing dengan barang-barang impor dari negeri
Belanda.
Satu-satunya tindakan yang diberlakukan adalah memberikan kepastian hukum dan memberikan
perlindungan dasar kepada orang-orang Indonesia agar tidak dirugikan lagi kepentingannya.
Perlindungan itu dituangkan dalam UU Agraria tahun 1870. Harapan tentang kemakmuran rakyat
Indonesia setelah diterapkannya Sistem Liberal sempat tumbuh, akan tetapi sampai pada akhir abad
ke-19 perubahan nasib rakyat Indonesia tidak mengalami perubahan yang lebih baik.

Di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur mengalami perkembangan pesat dalam bidang perkebunan
Contohnya : Tebu ( Gula ), Teh, Kopi, Kina, Tembakau dan lain-lain. Pada tahun 1885 pekembangan
dagang mulai jatuh, terjadinya kesulitan-kesulitan di perkebunan besar akibat krisis di pasar dunia.
Kemerosotan kemakmuran penduduk disebabkan beberapa faktor, yaitu :
1. Pertambahan penduduk mengkibatkan berkurangnya lahan dan produksi
2. Jawa harus menanggung finansial daerah lain
3. Adanya sistem kerja Rodi
4. Pajak yang sangat regresif ( memberatkan rakyat ).
5. Penekanan produksi oleh perkebunan besar.
Di daerah Sumatra Timur perkebunan yang berhasil adalah dalam tanaman tembakau yang paling
terkenal dari Deli. Tetapi terjadi krisis pada tahun 1891 yaitu krisis tembakau yang mengakibatkan
banyak perusahaan yang mengalami kerugian dan banyak yang gulung tikar. Selain perkebunan yang
di utamakan juga dibangun sarana dan prasarana umum seperti pembangunan jalan kereta api dan
dibangunya sarana pendidikan. Sistem liberal ini berakhir sekitar abad ke-19.

Sumber: indonesiadalamsejarah.blogspot.com

Sistem Tanam Paksa


Masa penjajahan yang sebenarnya dalam sejarah Jawa dimulai pada tahun 1830.
Pemerintah Belanda untuk pertama kalinya mampu mengeksploitasi dan menguasai seluruh
pulau ini. Tidak ada tantangan serius terhadap kekuasaan mereka sampai abad 20. Pihak Belanda
juga telah mampu terlibat langsung di Jawa sampai daerah pedalaman. Dominasi politik akhirnya
tercapai di seluruh Jawa pada tahun 1830.
Kondisi finansial Belanda pada tahun 1830 ternyata tidak semulus dengan keberhasilannya
menguasai Jawa. Keuntungan yang diperoleh dari penguasaannya di Jawa habis digunakan untuk
biaya militer dan administrasi. Sulitnya kondisi finansial Belanda kemudian mendorong
pemerintah Belanda untuk membuat berbagai kebijakan di daerah koloninya. Salah satu usaha
penyelamatan keuangan tersebut adalah diterapkannya sistem tanam paksa atau culturstelsel.
Latar Belakang Tanam Paksa
Faktor utama diberlakukannya sistem tanam paksa di Indonesia adalah adanya kesulitan
keuangan yang dialami oleh Pemerintah Belanda. Pengeluaran Belanda digunakan untuk
membiayai keperluan militer sebagai akibat Perang Belgia pada tahun 1830 di Negeri Belanda
dan Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830) di Indonesia. Perang Belgia berakhir
dengan kemerdekaan Belgia (memisahkan diri dari Belanda) dan menyebabkan keuangan
Belanda memburuk. Perang Diponegoro merupakan perang termahal bagi pihak Belanda dalam
menghadapi perlawanan dari pihak pribumi yaitu sekitar 20 juta gulden.
Usaha untuk menyelamatkan keuangan Belanda sebenarnya sudah dilakukan sejak masa
pemerintahan Van der Capellen (1819-1825). Van der Capellen menerapkan suatu kebijakan
yang menjamin orang Jawa untuk menggunakan dan memetik hasil tanah mereka secara bebas.
Kebijakan yang ditempuh saat itu diharapkan dapat mendorong orang Jawa untuk menghasilkan
produk yang dapat dijual sehingga lebih memudahkan mereka membayar sewa tanah. Kebijakan
ini menemui kegagalan karena pengeluaran tambahan akibat Perang Jawa dan merosotnya harga
komoditi pertanian tropis di dunia.

Usaha-usaha Belanda tersebut semakin mendapat hambatan karena persaingan-persaingan


dagang internasional. Persaingan dagang tersebut diantaranya dengan pihak Inggris, dan setelah
berdirinya Singapura pada tahun 1819 menyebabkan peranan Batavia dalam perdagangan
semakin kecil di kawasan Asia Tenggara. Permasalahan di kawasan Indonesia sendiri diperparah
dengan jatuhnya harga kopi dalam perdagangan Eropa, dimana kopi merupakan produk ekspor
andalan pendapatan utama bagi Belanda.
Selama Perang Jawa berlangsung, pihak Belanda memikirkan berbagai rencana untuk
memperoleh keuntungan besar dari koloni-koloninya terutama Pulau Jawa. Pada tahun 1829
Johannes Van den Bosch menyampaikan kepada Raja Belanda usulan-usulan yang kelak disebut
culturstelsel.1[4] Van den Bosch ingin menjadikan Jawa sebagai aset yang menguntungkan tanah
air dalam tempo sesingkat mungkin dengan menghasilkan komoditi pertanian tropis, terutama
kopi, gula, dan nila (indigo), dengan harga murah sehingga dapat bersaing dengan produk serupa
dari belahan dunia lain. Van den Bosch menyarankan sebuah sistem yang dia klaim lebih sesuai
dengan tradisi orang Jawa, yang didasarkan atas penanaman dan penyerahan secara paksa hasil
bumi (forced cultivation) kepada pemerintah. Raja menyetujui usulan-usulan tersebut, dan pada
bulan Januari 1830 Van den Bosch tiba di Jawa sebagai Gubernur Jenderal yang baru.
Ketentuan Tanam Paksa
Johannes Van den Bosch adalah pelaksana sistem Tanam Paksa, dia diangkat menjadi
Gubernur Jendral pada 19 Januari 1830 dan dasar pemerintahannya tertuang dalam RR 1830. 2[6]
Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835 dan
menjelang tahun 1840 sistem ini telah berjalan di Jawa.
Ciri utama dari pelaksanaan sistem tanam paksa adalah keharusan bagi rakyat untuk
membayar pajak dalam bentuk pajak in natura, yaitu dalam bentuk hasil-hasil pertanian mereka.

Ketentuan-ketentuan sistem tanam paksa, terdapat dalam Staatblad (lembaran negara) No. 22
tahun 1834. Ketentuan-ketentuan pokoknya antara lain:
1. Orang-orang Indonesia akan menyediakan sebagian dari tanah sawahnya untuk ditanami tanaman
yang laku di pasar Eropa seperti kopi, teh, tebu, dan nila. Tanah yang diserahkan itu tidak lebih
dari seperlima dari seluruh sawah desa.
2. Bagian tanah yang disediakan sebanyak seperlima luas sawah itu bebas dari pajak.
3. Pekerjaan untuk memelihara tanaman tersebut tidak boleh melebihi lamanya pekerjaan yang
diperlukan untuk memelihara sawahnya sendiri.
4. Bagian tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebasakan dari pembayaran
pajak tanah.
5. Hasil dari tanaman tersebut diserahkan kepada Pemerintah Belanda dan ditimbang. Jika harganya
ditaksir melebihi harga sewa tanah yang harus dibayar oleh rakyat, maka lebihnya tersebut akan
dikembalikan kepada rakyat. Hal ini bertujuan untuk memacu para penanam supaya bertanam
dan memajukan tanaman ekspor.
6. Tanaman yang rusak akibat bencana alam, dan bukan akibat kemalasan atau kelalaian rakyat,
maka akan ditangggung oleh pihak pememrintah.
7. Pelaksanaan tanam paksa diserahkan kepada pegawai-pegawai pribumi, dan pihak pegawai Eropa
hanya sebagai pengawas.
Ketentuan-ketentuan tersebut jika dicermati lebih lanjut nampaknya tidak terlalu
membebani rakyat. Namun dalam pelaksanaannya, ternyata sering menyimpang jauh dari
ketentuan sehingga merugikan rakyat dan sangat memberatkan beban rakyat.
Pelaksanaan Tanam Paksa
Ketentuan-ketentuan tentang tanam paksa ternyata hanya tertulis di atas kertas. Terdapat
perbedaan besar antara ketentuan yang sudah ditetapkan dengan keadaan sebenarnya di
lapangan. Penyimpangan-penyimpangan yang muncul antara lain:

1. Perjanjian tersebut seharusnya dilakukan dengan sukarela, tetapi dalam pelaksanannya dilakukan
dengan cara paksaan. Pemerintah kolonial memanfaatkan pejabat-pejabat lokal seperti bupati dan
kepala-kepala daerah untuk memaksa rakyat agar menyerahkan tanah mereka.
2. Di dalam perjanjian, tanah yang digunakan untuk culturstelsel adalah seperlima sawah, namun
dalam prakteknya dijumpai lebih dari seperlima tanah, yaitu sepertiga atau setengah sawah.
3. Waktu untuk bekerja untuk tanaman yang dikehendaki pemerintah Belanda, jauh melebihi
waktu yang telah ditentukan. Waktu yang ditentukan adalah 66 hari dalam setahun,
namun dalam pelaksanaannya adalah 200 sampai 225 hari dalam setahun.
4. Kelebihan hasil tidak dikembalikan kepada rakyat atau pemilik tanah, tetapi dipaksa untuk
dijual kepada pihak Belanda dengan harga yang sangat murah.
5. Dengan adanya sistem persen yang diberikan kepada para pejabat lokal, maka para pejabat
itu memaksa orang-orangnya supaya tanamannnya bisa menghasilkan lebih banyak.
6. Tanaman pemerintah harus didahulukan baru kemudian menanam tanaman mereka
sendiri. Kadang-kadang waktu untuk menanam tanamannya sendiri itu tinggal sedikit
sehingga hasilnya kurang maksimal.
7. Kegagalan panen tetap menjadi tanggung jawab para pemilik tanah.
Sistem tanam paksa ini agaknya menunjukkan keberhasilan dalam perbaikan keuangan,
ditunjukkan bahwa Jawa mampu menghasilkan surplus meskipun dalam paksaan. Surplus ini
hanya digunakan untuk menopang pemerintahan Belanda di Jawa, upaya-upaya penaklukannya
di daerah luar Jawa, dan perekonomian dalam negara Belanda. Investasi yang utama adalah
tenaga kerja orang Jawa dan Sunda, sedangkan teknik-teknik pertanian maupun administrasinya
bersifat tradisional. Pihak Belanda berhasil memeras perekonomian Jawa, sedangkan
keuntungan-keutungan yang berarti yang dikembalikan hanya kepada sekelompok kecil
masyarakat pribumi.
Dampak Tanam Paksa
Melihat dampak tanam paksa yang dijalankan oleh Van den Bosch, maka pihak Belanda
lah yang mendapatkan banyak keuntungan. Sejak tahun 1831 anggaran belanja kolonial
Indonesia sudah seimbang, dan sesudah itu hutang-hutang lama VOC dilunaskan. Uang dalam

jumlah yang sangat besar dikirim ke negeri Belanda, dari tahun 1831-1877 perbendaharaan
Kerajaan Belanda telah menerima 832 juta gulden. Pendapatan-pendapatan ini membuat
perekonomian dalam negeri Belanda stabil: hutang-hutang dilunasi, pajak-pajak diturunkan,
kubu-kubu pertahanan, terusan-terusan, dan jalan-jalan kereta api negara dibangun, semuanya
diperoleh dari keuntungan-keuntungan yang diperas dari desa-desa Jawa.
Akibat sistem tanam paksa ini bagi rakyat Indonesia ditunjukkan dengan kondisi yang
berbeda dengan Belanda. Tenaga rakyat diperas dan tidak mendapakan imbalan yang setimpal.
Rakyat mengalami berbagai penderitaan dan mendertita berbagai penyakit.
Segi positif bagi Indonesia yaitu rakyat Indonesia mengenal teknologi pertanian baru yaitu
multicrops. Selain itu juga mulai mengenal tanaman dagang yang laku dipasaran ekspor Eropa.
Penghapusan Tanam Paksa
Culturstelsel menghadapi berbagai masalah pada tahun 1840, tanda-tanda penderitaan di
kalangan orang Jawa dan Sunda mulai tampak, khususnya di daerah-daerah penanaman tebu.
Wabah-wabah penyakit terjangkit pada tahun 1846-1849, dan kelaparan meluas di Jawa Tengah
sekitar tahun 1850. Sementara itu, pemerintah menetapkan kenaikan pajak tanah dan pajak-pajak
lainnya secara drastis. Akibatnya rakyat menjadi semakin menderita.
Upaya menentang culturstelsel kini muncul di Negeri Belanda. Pemerintah mulai menjadi
bimbang apakah sistem itu masih dapat dipertahankan lebih lama. Pada tahun 1848 untuk yang
pertama kalinya konstitusi liberal memberikan parlemen Belanda (State-generaal) peranan yang
berpengaruh dalam urusan-urusan penjajahan. Kepentingan-kepentingan kelas menengah
Belanda menuntut diadakannya perubahan. Mereka mendesak diadakannya suatu pembaharuan
liberal: pengurangan peranan pemerintah dalam perekonomian kolonial secara drastis,
pembebasan terhadap pembatasan-pembatasan perusahaan swasta di Jawa, dan diakhirinya kerja
paksa dan penindasan terhadap orang-orang Jawa dan Sunda. Pada tahun 1860 seorang mantan
pejabat kolonial, Eduard Douwes Dekker menerbitkan sebuah novel yang berjudul Max
Havelaar dengan nama samaran Multatuli. Dampak langsung adanya buku ini masih
diperdebatkan, tetapi dalam jangka panjang buku ini menjadi sebuah senjata yang ampuh dalam
menentang rezim penjajahan dari abad 19 di Jawa.

Penghapusan tanam paksa secara radikal berlangsung sesudah tahun 1860-an. Tanaman
paksa lada dihapus pada tahun 1862. Penghapusan tanaman-tanaman paksa indigo dan teh pada
tahun 1865. Ketika Fransen van den Putte menjadi menteri jajahan (1863-1866) melakukan
berbagai perbaikan. Penanaman paksa tembakau dan tanaman lainnya, selain tebu dan kopi di
Jawa dihapuskan. Undang-undang lain menghapuskan rodi di hutan jati, melarang memukul
dengan rotan sebagai hukuman terhadap orang yang dianggap salah. Pada tahun 1864 StatenGeneraal menerima undang-undang Comptabiliteit, tetapi baru mulai berlaku tahun 1867.
Undang-undang ini menetapkan bahwa biaya tahunan untuk Indonesia harus dibuat oleh StatenGeneraal sehingga Staten-Generaal langsung mempengaruhi arah kebijaksanaan pemerintahan
di Indonesia.
Kopi dan gula merupakan tanaman yang paling penting untuk mendapatkan keuntungan
sehingga tanam paksa pada dua tanaman ini paling akhir dihapuskan. Undang-Undang Gula
tahun 1870 ditetapkan bahwa pemerintah akan menarik diri atas penanaman tebu selama 12
tahun, yang dimulai pada tahun 1878. Penghapusan penanaman kopi baru berakhir di Priangan
pada awal tahun1917, dan di beberapa daerah pesisir utara Jawa pada bulan Juni 1919.
Sumber: sejarah.kompasiana.com

Kekuasaan H.W. Daendels di Jawa (1808-1811)


Di awal Januari 1795, Napoleon menaklukkan negeri Belanda tanpa perlawanan yang berarti.
Raja Willem V melarikan diri dan bersembunyi di Kew, sebuah kota kecil di Inggris. Sebagai
ganti Willem V, Napoleon mendudukkan adiknya, Louis Bonaparte, di tahta kerajaan Belanda.
Segera ia memerintahkan untuk mengantisipasi serangan dari Inggris terhadap tanah jajahan.
Ada tiga target utama serangan Inggris yaitu; Tanjung Harapan, Jawa dan kepulauan Maluku.
Ketiga tempat tersebut berada didalam blokade angkatan laut Inggris. Napoleon pun mengirim
dua orang militer untuk tujuan itu. Jendral Jan Willem Janssen di kirim ke Tanjung Harapan
tahun 1803 dan Marshall Herman Willem Daendels ke Jawa tahun 1808.
H.W. Daendels adalah seorang jendral Belanda, pengagum Napoleon dan Jacobis. Ia memimpin
perlawanan yang gagal terhadap kerajaan Oranje pada 1787. Setelah kegagalannya, ia lari ke
Prancis. Ia kembali ke Belanda, 1795, bersama serangan Prancis. Sejak itu, Belanda terlibat
dalam perang Eropa di pihak Prancis. 1797, Daendels memimpin 30.000 pasukan Belanda di
Texel, menunggu invasi Inggris yang sedang dalam pertempuran laut di Camperdown. 1799, ia
hampir menjadi tawanan perang di pertempuran Helder.
Di awal 1800-an, Inggris dan Prancis mengkonsentrasikan kekuatan perangnya di wilayah India
dan Mesir. Secara tak terduga Tanjung Harapan sebagai pelabuhan strategis dapat di kuasai
Inggris tahun 1806, Jawa berada dalam posisi terancam. Jawa membutuhkan seorang gubernurjendral baru yang dapat memperkuat pertahanan militer. Untuk alasan itu, Napoleon tidak
mempercayai pejabat Asiatic Council, Dirk van Hogendorp, seorang liberalis yang dicalonkan
sebagai gubernur jendral. Maka pilihan jatuh pada Daendels.
Daendels menempuh perjalanan melalui Cadix, Tanger, Kepulauan Kanari dan New York.
Dengan kapal dagang berbendera Amerika, Daendels tiba di Batavia pada Januari 1808. Amerika
adalah negara netral yang tidak terlibat dalam perang Eropa. Kedatangannya seorang diri
menggunakan nama samaran van Vlierden (nama istrinya) dengan kapal tersebut, dimaksudkan
untuk mengelabui blokade kapal perang Inggris. Kedatangannya di Batavia, ia langsung
berhadapan dengan keadaan keuangan dan administrasi yang buruk. Korupsi membuat bangkrut
VOC. Keuntungan dagang lebih banyak masuk ke kantong pejabat VOC. Kekuatan pasukan
Belanda di Jawa tidak lebih dari 2.000 orang dengan kemampuan dan disiplin yang rendah.
Pada saat yang hampir bersamaan dengan dikuasainya Belanda oleh Prancis, VOC dibubarkan.
Herren XVII (dewan beranggotakan 17 orang pengusaha besar Belanda) ditiadakan. Sebagai
gantinya, seluruh jajahan Belanda langsung berada dibawah penguasaan kerajaan Belanda dan
diurus oleh kementerian jajahan (Pemerintah kolonial Belanda di Nusantara menguasai Jawa,
Palembang, Makassar dan Maluku, sisanya dikuasai oleh Inggris). Pengaruh langsung dari
pergantian itu adalah soal otonomi pengaturan keuangan dan pembentukkan angkatan perang.
Segera setelah menginjakkan kakinya di Weltevreden, Daendels mengganti bendera Belanda di
depan kantor gubernuran dengan bendera Prancis. Tak ada seorang pegawai pun yang berani
bereaksi atas tindakannya itu. Begitu pula ketika ia mengeluarkan aturan bahwa pegawai
pemerintah kolonial dilarang untuk memberi dan menerima hadiah dari pejabat pribumi. Setiap

kesalahan akan ditindak dengan keras dan tak luput dari dampratan dengan suaranya yang sangat
keras. Hobi membentak dan suaranya yang menggelegar membuatnya mendapat panggilan mas
guntur dan mas galak. Berdiri di atas ketaatan para pegawainya, ia membangun pasukan dalam
jumlah dan organisasi yang cukup mengesankan. Pasukannya terdiri dari orang-orang Belanda
dan pribumi. Ia menghentikan penggunaan orang-orang Jawa dalam pasukan inti nya dan
menggantinya dengan orang-orang dari Madura, Makasar, Bali, Ambon dan budak-budak dari
wilayah jajahan lainnya. Sistem kepangkatan dalam organisasi militer eropa diterapkan pula
dalam pasukan pribumi. Mereka mendapat latihan, pangkat, ransum, seragam, senjata dan juga
upah. Dalam dua tahun, ia berhasil membentuk 20.000 orang pasukan yang terdiri dari lima
divisi; divisi mobile, tiga divisi kota (Batavia, Semarang, dan Surabaya) dan divisi pertahanan di
luar Jawa. Ia mengatur korps tentaranya dengan gaya Prancis dan mengubah banyak industri
komersial menjadi industri militer, seperti pabrik-pabrik di Gresik menjadi senjata dan di
Semarang diubah menjadi penghasil mesiu.
Sebagai bagian dari proyek militernya, Daendels juga membangun instalasi militer seperti
pelabuhan militer di Surabaya dan benteng di Mester Cornelis serta sebuah jalan utama dari
Anyer hingga Panarukan. Sebelumnya, hanya ada jalan setapak yang diketahui oleh penduduk
setempat dan itupun selalu disertai dengan penebasan hutan. Jalur perdagangan lebih
mengutamakan penggunaan jalur laut sepanjang pantai utara.
Kesulitan jalur darat itu memang telah menjadi perhatian pihak kolonial seperti yang dituturkan
oleh Francois Tombe. Tombe adalah seorang perwira Prancis yang dikirim oleh Daendels dua
tahun sebelum kedatangannya. Tugasnya adalah membuat peta selat Bali. Sayangnya, ia
terdampar di Banyuwangi dan kemudian memutuskan melakukan perjalanan ke Surabaya.
Perjalanan itu memakan waktu enam bulan.
Dari sekian banyak proyek Daendels dalam kurun waktu tiga tahun kepemimpinannya,
pembuatan jalan utama Anyer-Panarukan adalah yang paling besar pengaruhnya. Bahkan diluar
yang dibayangkan olehnya sebagai fasilitas yang mempercepat mobilitas pasukan (Dengan
kekuatan lautnya, Inggris mempunyai kemungkinan untuk mendarat dimanapun sepanjang pantai
utara Jawa. Oleh karena itu, mustahil bagi Daendels untuk terus mengawasinya. Baginya, adalah
paling penting membangun pasukan infanteri dengan mobilitas yang tinggi untuk mengantisipasi
penyusupan lebih jauh dari pasukan Inggris). Belum diperoleh waktu yang tepat kapan
pembuatan jalan tersebut dimulai. Hanya saja, bersamaan dengan pembuatan jalan, ia juga
mendirikan jasa pos dan telegraf yang kemudian menjadi nama jalan Anyer-Panarukan, groote
postweg (jalan raya pos). Tercatat pada 1810 Daendels telah membeli 200 ekor kuda alat
pengangkut pos yang menandakan jalan Anyer-Panarukan telah selesai. Pada tahun ini juga ia
menghidupkan kembali surat kabar yang sebelumnya pernah terbit dan mati, Bataviasche
Koloniale Courant. Surat kabar ini terus terbit hingga berakhirnya kekuasaan kolonial di
Indonesia.
groote postweg di buat dalam jangka waktu sekitar satu tahun. Pembuatannya memaksa pada
penguasa pribumi setempat, yang dilewati jalan tersebut, untuk mengerahkan penduduk di
wilayah cacah-nya. Jarak yang ditempuh oleh Groote postweg adalah sekitar 800 mil. Dalam
jarak itu, dibangun 12 pesanggrahan, 126 stasiun untuk kereta, 51 stasiun untuk penggantian
kuda-kuda pos, semuanya didirikan atas tanggung jawab bupati setempat. Menurut laporan yang

didapat oleh Raffles, pembuatan jalan tersebut memakan korban sekitar 10.000 orang. Dalam
situasi perang Inggris-Prancis di Nusantara, seluruh aktivitas Daendels dipantau oleh biro urusan
intelejen Inggris yang berpusat di Penang.
Februari 1808, Du Fuy menghadap Sultan Banten untuk meminta pekerja untuk pengerjaan jalan
dan pembuatan pelabuhan militer di Merak. Sultan Banten yang berseteru dengan pemerintah
kolonial sejak masa VOC menolak. Ia melihat peperangan antara Inggris dan Prancis
memberikan kesempatan baginya untuk memberontak apalagi pasukan Daendels dianggap belum
cukup siap untuk menghadapi peperangan. Atas alasan itu, ia membunuh Du Fuy dan
menghabisi seluruh garnisun kecil pemerintah kolonial di Banten. Atas tindakannya itu, segera
Daendels mengirim 1.000 pasukan yang dipimpinnya langsung. Kesultanan Banten berhasil
dikuasai bahkan Daendels sambil duduk di tahta kerajaan berujar, akulah raja Banten.
Kesultanan Banten kemudian dihapus dan ia mengirim saudaranya untuk menjadi residen di sana
(Kemudian hari ia merehabilitasi kesultanan Banten dan menentukan siapa yang duduk di tahta
kerajaan. Banten tidak sepenuhnya aman dari gangguan karena sering adanya pemberontakan
yang dibantu oleh Inggris.)
.Sebagai penganut jacobism, Daendels menghancurkan kekuatan raja-raja Jawa. Setelah Banten,
ia mencoba mengatasi kesultanan Yogyakarta. Mangkunegara II di Surakarta telah memutuskan
untuk bekerjasama dengan Belanda. Atas perintah Daendels pada 1808, Mangkunegara II
mendapat pangkat kolonel dan membentuk Legiun Mangkunegara beranggotakan 1.150 prajurit
serta mendapat bantuan 10.000 ryksdaalders pertahun. Sementara itu, Saudara ipar Sultan
Hamengkubuwana II, Raden Rangga melancarkan pemberontakan atas Daendels yang secara
diam-diam mendapat dukungan dari Sultan Hamengkubuwana II. Dengan 3.200 pasukan,
Daendels dapat mengatasi pemberontakan. Pangeran Rangga terbunuh dan Sultan
Hamengkubuwana II diturunkan dari tahta serta digantikan oleh putra mahkota. Atas
pembangkangan itu, dua orang pangeran, Natakusuma dan Natadiningrat, dikirim ke penjara
Cirebon.
Menjelang akhir jabatannya, Daendels menghadapi banyak persoalan. Perjalanan
kepemimpinannya telah membangun tembok kebencian baik dikalangan Belanda maupun
Pribumi. Beberapa suku yang menjadi anggota pasukannya membelot dan menolak berperang di
pihaknya. Belum dapat dipastikan apakah itu ada kaitannya dengan kegiatan intelejen Inggris.
Proyek besar Daendels memakan banyak biaya. Sementara keadaan keuangannya semakin
memburuk. Blokade Inggris menyebabkan hilangnya pemasukan dari sektor perdagangan.
Bahkan untuk mata uang, Daendels harus mengeluarkan assigant (Mata uang kertas yang biasa
digunakan di Prancis) sebagai pengganti mata uang tembaga yang bahannya harus diimpor. Satusatunya pemasukan yang diperolehnya adalah dari pajak (Pajak dikenakan pada penjualan
barang, tol jalan, penjualan & penyewaan tanah, judi, rumah madat dan banyak lagi.),
pencetakan assigant, dan penjualan tanah seperti. Contoh penjualan tanah seperti yang
berlangsung pada wilayah Besuki dan Panarukan kepada Kapiten Cina di Surabaya, Han Chan
Pit. Terakhir ia menjual tanah seluas Besuki dan Panarukan di Probolinggo kepada saudara Han
Chan Pit, Han Ki Ko.

Pada masa Daendels, ia memindahkan ibukota pemerintahan dari Batavia ke Weltevreden dan
memindahkan tempat tinggal dari Batavia ke Buitenzorg (Bogor). Dengan gajinya, 130.000
guilders, ia membeli tanah Buitenzorg ke pemerintah dan membangun sebuah istana megah bagi
dirinya yaitu Istana Bogor. Tanah disekitar istana dijual kembali ke pengusaha Cina dan
istananya dijual kembali kepada pemerintah. Pada saat hendak digantikan oleh W. Janssens,
Daendels menjual istananya. Untuk penjualan itu, ia mendapat untung 900.000 guilders. Pada 27
April 1811, W. Janssens datang disertai oleh seorang mayor jenderal Prancis, Jumel. Segera
Daendels diganti dan dipulangkan. Sebagai seorang tahanan.
4 Agustus 1811 60 kapal perang Inggris muncul di Batavia. 26 Agustus seluruh wilayah disekitar
Batavia dapat dikuasai. Janssens bertahan di Semarang bersama legiun Mangkunegara dibantu
pasukan Yogyakarta dan Surakarta. 18 September 1811, Janssens menyerah di Salatiga.

Indonesia sebagai negara yang merdeka lahir dari sebuah gagasan sistematis tentang kebebasan,
penindasan dan keterlepasan dari perlakuan diskriminasi oleh pemerintah kolonial Belanda.
Gagasan yang menjadi inspirasi munculnya semangat kebangsaan. Gagasan yang melahirkan
pernyataan politis, sebuah manifesto menuntut kemerdekaan kepada pemerintah kolonial
Belanda. Manifesto itu pertama kali muncul pada azas sebuah organisasi mahasiswa Indonesia di
Belanda bernama Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) yang tertera dalam
Gedenkboek Indonesische Vereeniging, 1908-1923 (Buku Peringatan Perhimpunan Indonesia
1908-1923). Buku ini terbit pada tahun 1923 dengan sampul gambar bendera merah putih dengan
kepala banteng di tengahnya. Kemudian, Perhimpunan Indonesia mengganti nama jurnalnya dari
Hindia Poetra menjadi Indonesia Merdeka pada Maret 1924.
Apa yang terjadi di dalam tubuh organisasi Perhimpunan Indonesia dengan sebuah gagasan dan
cita-cita tentang Indonesia yang merdeka tidak muncul begitu saja. Ia berasal dari kesadaran diri
atas harga diri kultur dan tradisinya, serta pemahaman atas gagasan tentang politik modern
beserta ideologi-ideologi besar yang berkembang di Eropa. Ada masa ketika gagasan tentang
kebebasan dan perlawanan atas perlakuan yang diskriminatif hanya berkembang di masyarakat
Eropa di negeri Belanda dan Hindia Belanda dan sama sekali tidak ada keterlibatan orang-orang
bumiputera di dalamnya. Inilah masa pra-nasionalisme atau masa inkubasi ketika gagasan
tersebut masih diserap sebagai proses pembacaan wacana sebelum diterjemahkan oleh kaum
bumiputera sebagai politik perlawanan.
Politik Etis
Gagasan yang menyuarakan semangat kebangsaan dan kemerdekaan untuk lepas dari
ketertindasan tidak muncul secara tiba-tiba. Menjelang berakhirnya Cultuur Stelsel tahun 1870,
berkembang gagasan tentang emansipasi dan tuntutan otonomi pemerintahan untuk lepas dari
negara induk, Kerajaan Belanda. Gagasan tersebut muncul dari kontradiksi yang terjadi dalam
pemahaman modern atas pengelolaan negara di Hindia Belanda. Cultuur Stelsel dan proses
industrialisasi di Hindia Belanda menjadi sumber keuangan bagi kehidupan sosial-ekonomi
kerajaan Belanda. Yang terlupakan adalah pembangunan dan kesejahteraan di tanah Jawa.
Munculah permasalahan sosial yang menyangkut masalah kesejahteraan dan kemiskinan kaum
bumiputera. Sikap kritis terhadap kebijakan pemerintah kolonial menjadi artikel yang terus

muncul di media cetak, terutama yang terkait pengelolaan anggaran keuangan dan kebijakan
perekonomian modern.
Pada awalnya, gagasan ini bergema hanya dikalangan orang-orang Eropa. Hak suara yang
dimiliki oleh setiap orang Belanda, setibanya di Hindia Belanda akan hilang. Penyampaian
kehendak politik hanya disalurkan melalui surat permohonan dan sering kali tidak ada hasilnya.
Di Hindia Belanda, berturut-turut, hirarki keputusan politik berada di tangan pemerintahan di
Batavia (departemen dalam negeri), Bogor (kediaman Gubernur Jenderal) lalu Den Haag
(parlemen Belanda). Hal ini disebabkan adanya peraturan di Pasal 111 Regerings Reglement
yang melarang setiap perkumpulan, perserikatan dan rapat yang bersifat politik.
Kritik serta penentangan di masa kebijakan Cultuur Stelsel tercetus di negeri Belanda. 1848,
konstitusi liberal di negeri Belanda memberikan parlemen Belanda sebuah peranan yang cukup
berpengaruh atas urusan-urusan daerah Jajahan. Segera kelompok oposisi bersatu di parlemen
mengajukan tuntutan perubahan di Hindia Belanda. Mereka terdiri dari kelompok liberal dan
sosial demokrat. Tuntutan kaum liberal berpijak kepentingan kelas menengah Belanda yang
tumbuh besar dari keuntungan perekonomian Belanda yang diperoleh dari Hindia Belanda.
Tuntutan itu berupa: pengurangan peranan pemerintah dalam perekonomian kolonial secara
drastis, pembebasan terhadap pembatasan-pembatasan perusahaan swasta di Jawa, dan
diakhirinya kerja paksa dan penindasan terhadap orang-orang Jawa dan Sunda. Sementara bagi
kaum sosial-demokrat di parlemen, prinsipnya adalah bertujuan meningkatkan kesejahteraan dan
perkembangan moral penduduk; evolusi ekonomi; serta pertanggungjawaban moral kepada kaum
bumiputera.
Pada 1860, seorang mantan pejabat kolonial bernama Eduard Douwes Dekker menerbitkan novel
berjudul Max Havelaar di Belanda. Novel tersebut menceritakan tentang penindasan dan prilaku
korupsi yang dilakukan pemerintah kolonial beserta aparatnya di Jawa (Lebak). Max Havelaar
menjadi senjata yang cukup berpengaruh untuk menyampaikan gagasan anti-penindasan di
kalangan orang-orang Eropa. Tulisan tentang tuntutan pemenuhan kewajiban moral Belanda
terhadap Hindia pun bermunculan di media massa Belanda. Salah satunya tulisan Robert Fruin
dalam De Gids tahun 1865. Artikel yang berjudul Nederlands rechten en verplichtingen ten
opzichten van Indie. Dalam artikel tersebut, untuk pertama kalinya praktek saldo laba (Baltig
Slot) dalam Cultuur Stelsel dinyatakan sebagai kebijakan pemerintah yang berlawanan dengan
hukum kedaulatan negara modern (Belanda). Artikel ini mempengaruhi tokoh-tokoh Belanda
yang kemudian bergerak dalam lingkup Politik Etis, salah satu tokoh terpenting politik etis
tersebut adalah Mr. P. Brooshooft.
Ada pun gerakan kaum liberal di parlemen Belanda, tidak lepas dari kepentingan yang
menguntungkan bagi pihak swasta. Penghapusan Cultuur Stelsel dilakukan secara bertahap sejak
tahun 1862 dan dikenakan pada komoditi-komoditi tertentu yang memberikan keuntungan paling
sedikit. Komoditi kopi adalah yang paling terakhir yaitu tahun 1917 di Priangan dan tahun 1919
di wilayah pesisir utara Jawa. Tahun 1870 pemerintah kolonial mengeluarkan Undang-undang
Agraria yang membuka kesempatan kepada perusahaan swasta untuk melakukan investasi di
wilayah Hindia Belanda yang selama ini menjadi monopoli Nederlandsche Handelsmaatschappij.

Berbagai pemikiran di seputar tuntutan kaum liberal di negeri Belanda hadir secara berkala di
Hindia Belanda lewat surat kabar De Locomotief. Surat kabar yang berpusat di Semarang ini
berdiri tahun 1863 dan menjadi harian pada tahun 1870. De Locomotief merupakan media
pertama yang secara terus menerus menyuarakan politik etis atau politik kewajiban moral
terhadap tanah jajahan, dan pemerintahan otonom. Masa pasca Cultuur Stelsel ini merupakan
masa inkubasi pemahaman tentang nasionalisme.
Pada masa inkubasi ini, tuntutan kewajiban moril terhadap tanah Hindia Belanda yang ditujukan
kepada pemerintah kolonial belum melibatkan peranan orang-orang bumiputera. Kaum
bumiputera yang mendapat pendidikan Eropa serta berbahasa Belanda, masih terbatas sebagai
pembaca. Kalangan pembaca De Locomotief umumnya adalah pedagang, pengusaha
perkebunan, para penyewa tanah di daerah Yogya-Solo dan juga dibaca oleh kalangan pegawai
pemerintahan dalam negeri.
P. Brooshooft, redaktur utama De Locomotief merupakan bagian dari jaringan para individu
yang kemudian dikenal menyuarakan gagasan balas budi/etis baik yang berada di Hindia maupun
yang di negeri Belanda, seperti Van Deventer, J.H. Abendanon, A.W.J. Idenburg, Van Limburg
Stirum, N.P. van den Berg, Snouck Hurgronje, H.H. van Koll dan lain-lain. Secara individual,
jaringan etis melakukan diseminasi gagasan dalam berbagai bentuk tanpa adanya satu ikatan
organisasi yang ideologis.
Ada tiga momentum yang menandai bergemanya politik etis pada kebijakan pemerintah kolonial
Hindia Belanda. Pertama, artikel Van Deventer yang muncul di De Gids tahun 1899, berjudul
Een Eerschuld. Kedua, sebuah brosur politik yang ditulis Brooshooft yang berjudul De
Ethische koers in de koloniale politiek (Haluan etis dalam Politik Kolonial. Di terbitkan di
Belanda tahun 1901.
Istilah etis yang dilabelkan pada politik kebijakan kolonial Belanda di Hindia pertama kali
dicetuskan oleh Brooshooft melalui De Locomotief dan tercetus sebagai pernyataan politik
pribadi (lepas dari fungsinya sebagai redaktur satu media massa) dalam De Ethische koers in de
koloniale politiek. Brooshooft menulisnya di masa beristirahat dari tugasnya sebagai redaktur
utama De Locomotief. Ia dilingkupi rasa frustasi atas gerakan yang dilakukan hampir 25 tahun di
Hindia yang menurutnya gagal. Akan tetapi, kemudian tanpa disadari oleh Brooshooft , gagasan
Emansipasi dan politik Etis telah merambah hingga ke telinga Ratu Wilhelmina. Januari 1901, di
depan parlemen Belanda dalam sebuah pidato awal tahun, Ratu Wilhelmina mengumumkan hasil
penyelidikan yang telah dilakukan oleh Mindere Welvaarts-Commissie (Komisi untuk
penyelidikan keadan kurang sejahtera) sekaligus pengesahan kebijakan politik etis yang
diterjemahkan oleh Gubernur Jenderal Idenburg menjadi program pendidikan, irigasi, dan
emigrasi.
Di luar wacana utama politik etis, masih ada pula haluan lain yang ikut berperan dalam
penyebaran gagasan emansipasi dalam kurun inkubasi ini. Adalah gerakan theosofi yang juga
memainkan peranan dalam pertemuan pemahaman antara Timur dan Barat. Gerakan ini pertama
kali berdiri sebagai organisasi bernama The Theosophical Society pada tahun 1883 di
Pekalongan. Theosofi berpijak pada prinsip persaudaraan universal sebagai inti hakekat dari citacita tertinggi umat manusia. Gerakan ini lebih bersifat sebagai societeit (perkumpulan) yang

mendirikan sekolah, perpustakaan, serta klub-klub diskusi dengan tema utama filsafat.
Anggotanya terdiri dari orang Eropa, Bumiputera dan Cina. Ciri khasnya yang lebih cenderung
pada spiritualisme dan juga konflik internal telah membuatnya tidak bertahan lama bila
dibandingkan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh Brooshooft dan kalangan etis lainnya.
Walau demikian, gerakan theosofi telah mempertemukan kalangan berbagai bangsa dengan
status dan derajat yang sama sehingga menghapus batas-batas kebangsaan.
Masa diseminasi gagasan tentang emansipasi, politik etis, dan tuntutan pembentukan parlemen di
Hindia Belanda secara tidak langsung menjembatani gagasan politik modern (yang identik
dengan Barat) dengan pembentukan konsep nasionalisme Indonesia seperti apa yang kemudian
dilakukan oleh Perhimpunan Indonesia. Adapun penyebaran gagasan itu pun dapat dilihat
sebagai jejaring yang menghubungkan setiap individu yang ikut serta memperjuangkannya tanpa
batas asal usul kebangsaan.
De Locomotief menghubungkan Van Deventer dan P. Brooshooft dengan kalangan orang-orang
Eropa dan Bumiputera. Idenburg menjadi orang yang pertama menjalankan kebijakan politik etis
setelah berada di pihak yang menyerukan perubahan kolonial di parlemen Belanda. Van Limburg
Stirum menetapkan kebijakan tentang kebebasan berorganisasi dan pembentukan Volksraad
tahun 1916. J.H. Abendanon merupakan sahabat R.A. Kartini. Snouck Hurgronje menjadi
sponsor banyak intelektual Indonesia untuk bersekolah ke Belanda. Di masa kecilnya, Soekarno
menggunakan keanggotaan ayahnya di Theosophical Society untuk menghabiskan waktunya di
perpustakaan theosofi. Ir. Fournier dan van Leeuwen (keduanya tokoh gerakan theosofi Hindia
Belanda) telah memberikan rekomendasi bagi Mohamad Hatta untuk mendapat beasiswa belajar
di Belanda. Moh. Yamin, Abu Hanifah dan juga Agus Salim ikut memanfaatkan kursus-kursus
filsafat yang diselenggarakan oleh Theosophical Society.
Peranan orang-orang Eropa dalam bangunan nasionalisme umumnya berhenti pada masa
inkubasi ini. Gerakan emansipasi dan politik etis yang didengungkan oleh tokoh-tokohnya itu
sama sekali tidak keluar dari kerangka politik kolonial. Bahkan dari kalangan liberal dan
konservatif memperlihatkan bahwa kebijakan politik etis bertujuan sebagai usaha menjadikan
masyarakat Bumiputera sebagai masyarakat beradab, bermoral, dan modern untuk menunjang
kepentingan pemerintah kolonial. Suatu pengecualian berlaku untuk tokoh Douwes Dekker
(Setiabudi) yang mempelopori berdirinya Indische Partij bersama Tjipto Mangunkusumo dan
Suwardi Suryaningrat (akan dibahas dalam bab selanjutnya). Masa inkubasi berakhir ketika
masyarakat bumiputera menerjemahkan dan menentukan sendiri, ke mana arah gagasan-gagasan
itu. Jawabannya kemudian adalah apa yang dilakukan oleh Perhimpunan Indonesia pada tahun
1923.
Sumber: gogoleak.wordpress.com

Daendels, Perintis Infrastruktur

Gouverneur-generaal H.W. Daendels


Nederlandsindie.com Gouverneur-generaal (Gubernur Jenderal) Herman Willem Daendels adalah perintis
infrastruktur yang sangat luarbiasa dampaknya bagi kemajuan ekonomi di Jawa, yakni pembuatan Grote
Postweg (Jalan Raya Pos) atau populer disebut Jalan Daendels.Panjang jalan di sisi utara Jawa ini dari Anyer di
ujung barat sampai Panarukan di ujung Timur, dengan panjang total mencapai 1000km, terpanjang di dunia
saat itu.
Daendels membangun jalan yang membelah sepanjang Pulau Jawa ini terutama untuk tujuan strategi dan
kepentingan militer: mobilisasi pasukan dengan cepat.
Pembangunan jalan ini memakan korban jiwa sangat banyak, namun dinilai oleh para sejarawan Indonesia
sekarang sebagai kemajuan penting. Berkat jalan ini bagian-bagian terpencil di Jawa menjadi mudah dicapai
dalam hitungan hari, tidak lagi berpekan-pekan.
Ketika Daendels tiba di Jawa dia langsung memutuskan untuk membangun jalur transportasi di sepanjang
bagian utara Jawa, demi melindungi pulau penting di bawah kekuasaan Belanda ini dari serangan Inggris.
Dengan adanya jalan ini mobilisasi pasukan Belanda akan menjadi sangat cepat.
Daendels memaksa setiap penguasa lokal sepanjang jalur yang direncanakan itu untuk mengerahkan
rakyatnya membangun jalan yang diinginkan.
Dia menetapkan target produksi di mana jika target ini tidak tercapai maka para penguasa lokal dan
rakyatnya akan dibunuh. Potongan kepala mereka digantung di pohon di sepanjang jalan. Daendels
menjalankan kebijakannya ini dengan keras dan kejam.
Dengan disiplin bajanya itu akhirnya Daendels dapat menyelesaikan jalan yang diimpikannya itu hanya dalam
setahun (1808), sebuah prestasi sangat luarbiasa di zaman itu. Karena pembangunan jalan yang sangat
spektakuler dan kekejamannya itu nama Daendels tetap dikenal sampai sekarang.

Sumber: www.nederlandsindie.com

Anda mungkin juga menyukai