Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

TENTANG

TANAM PAKSA (culturstelsel)

Untuk memenuhi tugas praktek

mapel sejarah indonesia

Disusu oleh:

Irfan Maulana

Moh sulaiman

Misli

Hosman

Kelas : XI-IPA 1

MA MAMBAUL ULUM 2

PONJANAN TIMUR
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Yang menjadi latar belakang munculnya sistem tanam paksa adalah


sistem pajak tanah yang dilakukan oleh Raffles yang kemudian diteruskan
oleh Komisaris Jendral Van Der Capellen dan Du Bus De Gisignies telah
mengalami kegagalan, kegagalan yang dimaksud dalam hal ini adalah
kegagalan dalam merangsang para petani untuk meningkatkan produksi
tanaman perdagangan untuk ekspor. Pemerintah Hindia Belanda mengangkat
jendral baru untuk Indonesia dengan alasan untuk meningkatkan produksi
tanaman ekspor pada tahun 1830, peningkatan tanaman ekspor dirasa sangat
perlu oleh pemerintah Belanda karena untuk menopang keadaan ekonomi
Belanda dengan hutangnya yang sangat besar.

Karena Belanda merasa tidak mempunyai jalan lain kecuali mencari


pemecahan masalah di wilayah-wilayah koloni, akhirnya menghasilkan
gagasan sistem tanam paksa yang diintroduksi oleh gubernur Van den Bosch.
sistem tanam paksa yang dijalankan oleh Van den Bosch disebut juga
Cultuurstelsel.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam


makalah ini adalah:

Apa pengertian tanam paksa?

Bagaimana terjadinya tanam paksa?

Wilayah mana sajakah yang terpengaruhi tanam paksa?

Bagaimana reaksi terhadap sistem tanam paksa?


BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian Tanam Paksa

Sistem tanam paksa adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur


Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 yang mewajibkan setiap
desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor,
khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada
pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen
diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki
tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik
pemerintah yang menjadi semacam pajak.

Pada praktiknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena


seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya
diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk
praktik cultuurstelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki
lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian. Tanam
paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktik ekonomi Hindia Belanda.
Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli
VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat
dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada zaman VOC wajib menjual
komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan
sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset
tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada
zaman keemasan kolonialis liberal Hindia Belanda pada 1835 hingga 1940.

Akibat sistem yang memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda


ini, Van den Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja
Belanda, pada 25 Desember 1839. Cultuurstelsel kemudian dihentikan setelah
muncul berbagai kritik dengan dikeluarkannya UU Agraria 1870 dan UU Gula
1870, yang mengawali era liberalisasi ekonomi dalam sejarah penjajahan
Indonesia.

Terjadinya Sistem Tanam Paksa

Gubernur Jendral van den Bosch memberlakukan sistem ini dengan


mengambil pelajaran dari sistem pajak tanah yang gagal pada era sebelumnya
oleh Raffles, dari sistem pajak tanah yang tidak mampu membuat para
penduduk pribumi meningkatkan tanaman ekspor maka Gubernur Jendral van
den Bosch mencoba untuk meningkatkan hasil tanaman ekspor dengan
mengadakan kerja sama dengan para Bupati dan pejabat daerah yang dekat
dengan rakyat. Artinya sistem feodal di pedesaan harus dimanfaatkan agar
para petani mampu menghasilkan tanaman ekspor yang banyak, untuk itulah
Gubernur Jendral van den Bosch mencoba untuk mengadakan kerja sama
dengan para pegawai pemerintahan yang dekat dengan petani.

Hal ini dikarenakan para penduduk pribumi juga dikenakan pajak oleh
Gubernur Jendral van den Bosch, yang mana pajak yang dikenakan bukan
berupa uang melainkan berupa tanaman ekspor yang telah mereka tanam.
Pajak berupa hasil pertanian mereka ini juga menjadi ciri dari sistem Tanam
Paksa yang dilakukan oleh van den Bosch, hasil dari pajak-pajak tersebut
kemudian dikirim ke negeri Belanda untuk dijual kepada pembeli dari
Amerika dan Eropa dengan harga yang dapat menguntungkan Belanda. Sistem
pajak tanah yang berlangsung selama tahun 1810-1830, penanaman dan
penyerahan wajib telah dihapuskan kecuali daerah Parahyangan dan Jawa
Barat. Namun didaerah Parahyangan para penduduk pribumi diwajibkan
menanam kopi dan pajak yang diserahkan kepada pihak Belanda harus berupa
kopi yang telah ditanam oleh penduduk pribumi, sedangkan untuk tanaman
yang lainnya tidak terdapat wajib pajak.

Namun pajak yang menjadi beban petani kepada bupati tidaklah


termasuk dalam pembebasan pajak oleh pemerintah kolonial Belanda, hal ini
dilakukan karena dalam masyarakat terdapat beberapa pajak yaitu pajak yang
diberikan kepada pemerintah kolonial Belanda dan pajak yang diserahkan
kepada Bupati ataupun pihak pemerintah yang terdapat di daerah-daerah.
Sistem pajak tanah dengan memberikan hasil pertanian ini dianggap akan
berhasil oleh van den Bosch, karena van den Bosch berpendapat bahwa pajak
tanah yang diterapkan pada era sebelumnya sangat menyiksa petani. Hal ini
dikarenakan petani harus membayar pajak tanah hampir setengah dari
penghasilan mereka dalam bertani, sehingga sistem pajak tanah yang
diterapkan oleh Bosch ini tergolong pajak yang menguntungkan rakyat.

Ada beberapa dampak dari sistem tanam paksa yang diterapkan oleh van
den Bosch ini, salah satu dampak dari sistem tanam paksa ini adalah
kepemilikan tanah secara massal oleh satu orang (miliki komunal). Hal ini
dikarenakan oleh pegawai pemerintah kolonial yang menganggap bahwa desa
dengan keseluruhan yang ada (tanah, dan pegawai (petani)) sebagai suatu alat
yang dapat digunakan untuk menetapkan tugas penanaman paksa yang
dibebankan oleh pihak Belanda kepada tiap desa di Indonesia. Jika
dibandingkan dengan penyerahan wajib yang diterapkan oleh VOC kepada
penduduk, memang masih lebih menguntungkan rakyat pada sistem tanam
paksa ini.

Hal ini dikarenakan dalam sistem tanam paksa pegawai Belanda ada
yang ditugaskan untuk mengawasi dan turun langsung kelapangan untuk
membantu para petani dalam menanam tanaman dagang, dari pegawai
pemerintahan yang ditugaskan untuk mengawasi petani ini disebut sebagai
efisiensi karena dengan mengawasi secara langsung tanaman para petani
sehingga dapat mengurangi kecurangan yang dilakukan oleh petani di
lapangan.

Wilayah Indonesia yang Terpengaruhi oleh Tanam Paksa

Pulau Jawa

Pulau Jawa merupakan salah satu target utama sistem tanam paksa
karena di pulau Jawa terdapat sumber daya alam dan sumber daya manusia
yang sangat besar yang pastinya dapat menunjang potensi untuk mengisi
kekosongan kas Negara Belanda yang sedang kosong melompong. Berikut
ini beberapa daerah di Pulau Jawa yang menjadi tempat eksekusi sistem
tanam paksa.

Jawa Tengah dan Jawa Timur

Salah satu potensi yang sangat besar untuk daerah ini yaitu
pemanfaatan lahan untuk ditanami oleh tanaman gula, dan merupakan
daerah pengekspor gula pada waktu itu. Selain itu, tanaman yang
menjanjikan adalah teh dan tembakau untuk dijual di pasaran Eropa
dan Belanda berhasil mengeruk dan menarik keuntungan yang
sebanyak-banyaknya sehingga kas Belanda terisi bahkan berlebih
sehingga dimanfaatkan untuk memperkaya diri tanpa harus
memperhatikan nasib bangsa Indonesia yang semakin lama semakin
terpuruk serta terlindas oleh roda tanam paksa yang ditetapkan oleh
Belanda.

Jawa Barat dan Banten

Penghasilan terbesar dari daerah ini adalah kopinya yang sangat


terkenal dan salah satu tambang emas bagi Belanda yang bertujuan
menarik keuntungan sebesar-besarnya dari bangsa Indonesia. Selain
itu, tanaman lain yang dapat menunjang kualitas dari daerah ini adalah
teh dan tembakau.

Pulau Sumatera

Keterlibatan Belanda dalam kegiatan ekonomi di Sumatera Utara


diawali oleh Jacobus Nienhuys. Daerah perkebunan yaitu seperti Deli
Serdang yang pada tahun 1865 merupakan daerah penghasil tembakau
sebesar 189 bal. Belanda pun memperoleh keuntungan besar. Selain itu,
daerah lainnya yaitu seperti Asahan atau Kisaran yang merupakan
penghasil karet, sehingga merupakan pengantar ekspor Indonesia dalam
hal karet yang merupakan penghasil karet yang mumpuni atau bagus pada
saat itu. Walaupun tidak terlalu terkenal namun ada daerah penghasil yang
juga terlibat sistem tanam paksa yaitu seperti di Siak Sri Indrapura yang
merupakan penghasil sawit dan karet walaupun tidak terlalu besar
jumlahnya karena pada saat itu, Sultan Siak yaitu Sultan Syarif Khosim I
dan Sultan Syarif Khosim II menolak sistem tanam paksa pada rakyatnya.

Reaksi Terhadap Tanam Paksa

Tanam paksa mendapat reaksi yang cukup keras dari masyarakat.


Reaksi ini datang dari Douwes Dekker dan Baron Van Howvel serta Frans
Van De Putte.

Erdward Douwes Dekker (1820-1887)

Erward Douwes Dekker adalah residen di Lebak, Serang, Banten.


Pada tahun 1860 beliau menulis buku Max Havelaar yang berisi tentang
penderitaan bangsa Indonesia akibat pelaksanaan tanam paksa. Dalam
menulis buku tersebut ia menggunakan nama samaran yaitu Multattuli.

Baron Van Howvel(1812-1879) dan Frans Van De Putte

Van Howvel merupakan salah satu seseorang anggota parlemen negeri


Belanda. Ia sempat beberapa tahun menetap di Indonesia yaitu di Batavia.
Bersama dengan Frans Van De Putte ia menentang sistem tanam paksa
lewat parlemen Belanda. Van De Putte menulis buku Suiker Contracten
(Kontrak Gula).

Dampak Sistem Tanam Paksa

Tanah dan Tenaga Kerja

Pelaksanaan sistem tanam paksa telah mempengaruhi dua unsur


pokok kehidupan agraris pedesaan Jawa, yaitu tanah dan tenaga kerja.
Sistem tanam paksa pertama-tama mencampuri sistem pemilikan tanah
penduduk pedesaan, karena para petani diharuskan menyerahkan tanahnya
untuk penanaman tanaman ekspor. Tuntutan akan kebutuhan tanah
pertanian untuk penanaman tanaman ekspor yang dilakukan dengan ikatan
desa telah mempengaruhi pergeseran sistem pemilikan dan penguasaan
tanah. Ini terjadi karena berbagai hal, baik karena adanya pertukaran atau
pembagian tanah-tanah pertanian untuk pemerataan pembagian kewajiban
menyediakan tanah dan kerja kepada pemerintah, maupun karena
kecenderungan perusahaan pemilikan tanah perseorangan menjadi tanah
komunal desa.

Selain tanah, sistem tanam paksa membutuhkan pengerahan tenaga


kerja rakyat secara besar-besaran untuk penggarapan lahan, penanaman,
pemanenan, pengangkutan dan pengolahan di pusat-pusat pengelolaan atau
pabrik. Pengerahan tenaga kerja yang dibutuhkan itu dilakukan dengan
menggunakan ikatan organisasi desa. Oleh karena itu, sistem tanam paksa
menyentuh unsur tenaga kerja dari kehidupan masyarakat agraris pedesaan
Jawa. Dalam praktiknya, semua kerja yang dibutuhkan dilakukan dengan
sistem kerja paksa.

Politik Ekonomi Uang

Pelaksanaan sistem tanam paksa juga besar artinya dalam


mengenalkan ekonomi uang ke dalam lingkungan kehidupan pedesaan
agraris. Kehidupan perekonomian desa yang semula masih tradisional dan
subsisten, secara berangsur-angsur berkenalan dengan ekonomi uang,
yakni melalui proses komersialisasi produksi pertanian dan pasaran kerja.
Pengenalan penanaman tanaman ekspor dan penyerapan tenaga kerja
bebas yang berlangsung sejak sistem tanam paksa, pada dasarnya telah
menjadi pintu masuknya peredaran uang ke daerah pedesaan secara luas,
yang besar pengaruhnya dalam membawa pergeseran perekonomian desa
ke arah kehidupan ekonomi pasar. Peredaran uang itu masuk antara lain
melalui sistem pembayaran upah tanaman kepada petani penanam
(plantloon), pembayaran ”uang penggalak tanaman” (cultuurprocenten)
kepada para pejabat, pembayaran upah kerja bebas, dan dalam
perkembangan terakhir pembayaran sewa tanah pada petani.
Kelaparan

Bahaya kelaparan melanda daerah Jawa Tengah pada tahun 1849


sampai 1850, terutama terjadi di residen Semarang. Pada tahun 1850,
residen Semarang penduduknya berkurang 9% sebagai akibat dari
kematian dan pengungsian penduduk menuju daerah lain. Sebab yang
mendasari terjadinya kelaparan adalah (1) Kesewenang-wenangan
pemerintah dan penyalahgunaan para kepala pribumi, (2) Beberapa
tanaman pemerintah yang wajib dilaksanakan oleh penduduk seperti kopi,
tembakau, tebu, dan nila, (3) Perluasan tanaman nila secara besar-besaran.

Tanaman nila ini menuntut lebih banyak tenaga pengerjaan serta


memberikan upah sedikit dan lebih merugikan jika dibanding dengan
tanaman lain. Melihat kenyataan ini, maka pemerintah melakukan
penggantian tanaman nila dengan tanaman tebu. Tanaman nila bagi
penduduk menimbulkan keberatan besar dan berpengaruh pada harga padi
yang sangat mahal. Selain disebabkan oleh pelaksanaan sistem tanam
paksa, ada juga sebab lain seperti kegagalan panen, berjangkitnya wabah
penyakit dsb.

Kekurangan bahan makanan secara mengerikan sempat terjadi di


Demak dan Grobogan sebagai akibat kegagalan panen karena panen yang
ada diserang oleh hama belalang dan berbagai praktik pemerasan, di mana
tentang hal ini pihak pemerintah Belanda sendiri tidak pernah memikirkan
terhadap akibat-akibat yang mengkhawatirkannya. Di daerah Demak,
kesengsaraan terjadi karena terlalu tingginya pemungutan pajak tanah dan
pelaksanaan dinas-dinas wajib untuk pembuatan benteng yang terlalu
memberatkan.

Penyakit

Penyakit tampaknya juga berhubungan dengan tempat tinggal dan


makanan serta minuman atau kebiasaan-kebiasaan lain dalam kehidupan
sosial budaya orang-orang desa. Di kabupaten Demak, Grobogan, dan
Semarang kelaparan menyebabkan banyak kematian. Selama panen gagal
dan kelaparan, banyak penduduk-penduduk daerah ini yang menikmati
makan hanya sekali sehari ditambah dengan makanan tambahan kecil
seperti jagung, singkong, ubi. Oleh karena itu kegagalan panen dan
kelaparan di Semarang sering diikuti oleh penyakit. Pengabaian terhadap
masalah kebersihan juga menyebabkan penduduk mudah terserang
penyakit. Perubahan-perubahan yang terjadi pada tanah-tanah daratan juga
mempengaruhi penyakit, khususnya perluasan pekerjaan-pekerjaan irigasi,
pembukaan sawah-sawah baru, dan perbaikan komunikasi dan
transportasi.

Menghadapi situasi yang demikian, tidak ada pemecahan atas


permasalahan yang timbul ini, selain dengan cara-cara tradisional dan
keyakinan. Penduduk di Jawa pada umumnya meyakini dua penyebab
utama timbulnya penyakit yakni fisikal dan spiritual. Yang pertama
menyangkut penyakit yang timbul dari sebab-sebab nyata seperti sakit
perut, luka dsb. Penyakit ini biasanya diobati dengan ramuan obat lokal
yang dibuat dari tanaman yang tumbuh di halaman rumah orang desa.
Sedang yang kedua, disebabkan oleh kekuatan supranatural seperti ilmu
hitam. Dalam hal ini pasien dibawa ke dukun untuk mendapat pertolongan.

Kebijakan kesehatan pemerintah Belanda di Jawa abad ke-19 hanya


berorientasi kepada orang Eropa dan kolonial. Penekanan dan pelayanan
kesehatan lebih ditujukan untuk melindungi kesehatan orang-orang Eropa,
baik sipil maupun militer daripada untuk penduduk pribumi. Fasilitas-
fasilitas kesehatan lebih banyak dikonsentrasikan di kota-kota pusat
administratif Belanda seperti Batavia, Semarang dan Surabaya. Penduduk
di luar kota berada di luar kepentingan dan bahkan pelayanan pengobatan
untuk pribumi pun sangat terbatas, karena halangan warna kulit dan biaya.

Teknologi Baru

Secara tidak langsung pelaksanaan sistem tanam paksa, pada


dasarnya telah mengenalkan teknologi baru, terutama dalam pengenalan
biji-biji tanaman perdagangan, seperti tebu, indigo dan tembakau, beserta
cara penanamannya, meskipun pengenalan teknologi pertanian baru yang
terjadi pada masa itu belum dapat merangsang perubahan dan
pertumbuhan perekonomian rakyat pedesaan pada umumnya.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Tanam paksa adalah suatu aturan yang sengaja ditetapkan oleh Belanda untuk mengisi
kekosongan kas Negara Belanda dari pembiayaan biaya perang melawan Belgia maupun di
Indonesia, serta Karena hutang luar negeri Belanda. Namun, secara tidak langsung setelah
diutusnya Van Den Bosch, maka ia menetapkan aturan-aturan tanam paksa yang ternyata
adalah kebalikan dari aturan-aturan tanam paksa yang telah dibentuk sebelumnya di Belanda.

Jadi, intinya apabila bangsa Indonesia tidak melakukan perubahan pada aspek iptek,
bangsa Indonesia akan tergilas bangsa lain dan dapat dibodoh-bodohi dan dimanfaatkan
kelemahan Indonesia untuk keuntungan bangsa lain. Oleh karena itu, marilah kita sebagai
Bangsa Indonesia bersama-sama mewujudkan Indonesia untuk tidak dapat lagi dibodoh-
bodohi.

Saran

Demikianlah pembuatan makalah ini, penulis juga menyadari makalah ini masih
banyak kesalahan dan kekurangan maka dari pada itu penulis mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca demi perbaikan makalah yang akan datang akan lebih baik lagi. Kritik dan
saran penulis ucapkan terima kasih.

Anda mungkin juga menyukai