Anda di halaman 1dari 6

Nama: Rhamadhan Ardhi Wiranata

NIM: 22407141034
Kelas A
Prodi: S1-Ilmu Sejarah

PERKEMBANGAN SISTEM CULTUURSTELSEL PADA ASPEK


SOSIO-EKONOMI MASYARAKAT INDONESIA PADA 1830-1870

Dalam alur sejarah indonesia masa kolonialisasi yang dilakukan oleh bangsa Eropa,
akhir abad 18 sering ditandai dengan jatuhnya pemerintahan inggris yang dibawah pemerintah
Thomas Stamford Raffles ke pihak Belanda pada 1816. Raffles telah mencoba mendorong para
petani di Jawa untuk meningkatkan produksi tanaman ekspor mereka dengan jalan
membebaskan mereka dari penyerahan-penyerahan wajib dan dengan memberikan mereka
perangsang-perangsang positif, yaitu setelah mereka melunasi kewajiban pembayaran sewa
tanah (land rent) sehingga mereka dapat memperoleh hasil bersih dari penjualan hasil-hasil
pertanian mereka sendiri. akan tetapi kebijakan yang diterapkan Raffles ini pun gagal karena
ketidakjelasan dalam pemberian tagihan pajak sewanya. Tak lama berselang dari kekuasaan
Belanda di Hindia Belanda, meletuslah perang Jawa pada 1825-1830 yang dipimpin oleh
Pangeran Diponegoro. Namun perang ini dimenangi oleh pihak belanda dan menandai masa
awal diadakannya kebijakan tanam paksa atau cultuurstelsel pada 1830.

Pada tahun 1830, pemerintahan Belanda mengangkat Johannes van den Bosch sebagai
Gubernur Jendral di Hindia Belanda yang mana dirinya menetapkan kebijakan cultuurstelsel.
Cultuurstelsel atau Tanam Paksa adalah penyatuan antara sistem penyerahan wajib dengan
sistem pajak tanah. Ciri pokok sistem tanam paksa terletak pada kewajiban rakyat untuk
membayar pajak dalam bentuk hasil tanaman pertanian merekadan bukan dalam bentuk uang
seperti yang berlaku dalam sistem pajak. Adapun motif utama yang menyebabkan adanya
kebijakan Tanam Paksa ini ialah karena kesulitan finansial yang dihadapi pemerintah Belanda
sebagai akibat dari Perang Jawa sebelumnya, selain itu Belanda juga telah dibebani oleh bunga
yang berat yang berasal dari Perang Belgia yang terjadi pada 1830-1831. Hal ini tentunya
sangat membebani keuangan yang dimiliki oleh Negeri Belanda karena harus memasok
akomodasi perang dan tentara yang mana biayanya sangat besar. Untuk menutupi anggaran
yang membengkak itu, diadakanlah Sistem Tanam Paksa yang sangat membebani rakyat
Hindia Belanda dengan memaksa menanam tanaman komoditas Ekspor dan merauk
keuntungannya secara signifikan guna cepat menstabilkan keuangan Belanda kembali 1.
Melihat kebijakan Raffles yang gagal dalam sektor pertanian dengan sistem pajak tanah
meyakinkan van den Bosch bahwa pemulihan sistem penyerahan wajib dilakukan untuk
memperoleh hasil tanaman dagangan yang dapat diekspor ke luar negeri. Selain itu,
pengalaman selama sistem pajak tanah berlaku telah memperlihatkan bahwa pemerintah
kolonial tidak dapat menciptakan hubungan langsung dengan para petani yang secara efektif
dapat menjamin arus tanaman ekspor dalam jumlah yang dikehendaki tanpa mengadakan
hubungan lebih dahulu dengan para bupati dan kepala-kepala desa. Artinya, ikatan-ikatan
feodal dan tradisional yang berlaku di daerah perdesaan masih perlu dimanfaatkan jika hasil-
hasil yang diharapkan ingin diperoleh2.

Dalam Sistem Tanam Paksa (STP) pungutan yang dibebankan kepada rakyat bukan lagi
dalam bentuk uang, melainkan hasil tanaman yang dapat diekspor. Van den Bosch mewajibkan
setiap desa harus menyisihkan seperlima tanahnya (20%) untuk ditanami tanaman-tanaman
komoditi ekspor misalnya kopi, tebu, nila. Hasil tanaman-tanaman ini akan dijual kepada
pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada
pemerintah kolonial. Sedangkan bagi penduduk yang tidak memiliki tanah diwajibkan bekerja
selama 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi
semacam pajak. Pada prakteknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh
wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada
pemerintahan Belanda. Pengerahan tenaga kerja rakyat ini dilakukan oleh pimpinan kepala
desa yang diatur oleh pemerintah Belanda. Menurut pandangan van den Bosch sendiri,
pengarahan tenaga secara besar-besaran dapat berhasil dan penanaman hasil tani untuk ekspor
pemerintah dapat terjamin. Bosch pun menilai bahwa rakyat sendiri pun memperoleh hasil
lebih banyak dengan mengeluarkan tenaga lebih sedikit ketimbang pada sistem lama. Konsep
ekonomi politik yang ada dalam pemikiran van den Bosch ini tersusun berdasarkan
pengalaman-pengalaman penguasa-penguasa yang sebelum dirinya, maka dapat mencakup
beberapa gagasan pokok mereka tanpa mengabaikan realitas yang dihadapi di Jawa3. Akan

1
A. Daliman, Sejarah Indonesia Abad XIX-Awal Abad XX: Sistem Politik Kolonial Dan Administrasi Pemerintahan
Hindia-Belanda, (Yogyakarta, Penerbit Ombak, 2012), hlm. 29
2
Marwati Djoenoed Poesponogoro, Nugroho Notosusanto, “Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan
Penjajahan Di Indonesia”, (Jakarta, Balai Pusaka, 2008), hal. 352-353
3
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, (Jakarta, Gramedia, 1987), hal. 306
tetapi pada nyatanya sistem tanam paksa menimbulkan banyak penyimpangan pada prakteknya
di lapangan yang menimbulkan tekanan berat bagi masyarakat, khususnya di daerah pedesaan.
Sistem tanam paksa yang menargetkan produksi setinggi-tingginya dari bahan komoditas
ekspor membuat banyak sekali kesulitan yang dialami oleh masyarakat petani Jawa , hal ini
disebabkan adanya “kejar setoran” yang dilakukan oleh pemerintah setempat itu sendiri.

Aturan mengenai pelaksanaan sistem tanam paksa pada dasarnya masih dapat diterima
karena masih berada dalam koridor-koridor kewajaran yang masuk akal. Permasalahannya
ialah dalam praktiknya sistem tanam paksa menyimpang dari aturan yang ditetapkan. Menurut
Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo (1991:56) dalam Lembaran Negara (Staatsblad) tahun
1834, nomor 22, sistem tanam paksa dijalankan dengan ketentuan sebagai berikut :

1) Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan melibatkan penduduk agar mereka


mau menyediakan sebagian tanah milik mereka untuk penanaman tanaman
dagangan komoditi yang akan di ekspor dan dapat dijual di pasar Eropa.
2) Bagian tanah pertanian yang wajib disediakan oleh penduduk untuk tujuan sistem
tanam paksa ini tidak boleh melebihi dari seperlima (20%) tanah pertanian yang
dimiliki penduduk Desa.
3) Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman-tanaman dagangan komoditi
tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
4) Bagian tanah yang disediakan untuk menanam tanaman-tanaman dagangan
komoditi dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
5) Tanaman dagangan yang dihasilkan ditanah-tanah yang disediakan wajib
diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda, jika nilai hasil-hasil tanaman
dagangan yang ditafsirkan itu melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat,
selisih positifnya harus diserahkan kepada rakyat.
6) Panen tanaman dagangan yang gagal harus dibebankan kepada pemerintah,
sekurang-kurangnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kurang rajin atau
ketekunan dari pihak rakyat.
7) Penduduk Desa mengerjakan tanah-tanah mereka dibawah pengawasan kepala-
kepala mereka, sedangkan pegawai-pegawai Eropa hanya membatasi diri pada
pengawasan apakah membajak tanah, panen dan pengangkutan tanaman-tanaman
berjalan dengan baik dan tepat pada waktunya4.

Sistem tanam paksa yang bertumpu pada alokasi tenaga rakyat yang diatur oleh
pemerintah Belanda yang melibatkan pejabat-pejabat lokal dan pejabat yang berasal dari
kalangan orang Eropa. Pejabat pribumi mencakup para bupati hingga kepala desa.Pejabat
Eropa meliputi para Residen, Asisten Residen, Kontrolir, dan Direktur Tanaman, yang bertugas
sebagai pengawas jalannya pelaksanaan sistem tanam paksa.Ini berarti sistem tanam paksa
menyandarkan dirinya pada sistem tradisional dan feodal dengan perantaraan struktur
kekuasaan lama.

Jika kita melihat jenis-jenis tanaman yang diperintahkan wajib untuk ditanam pada
sistem tanam paksa ini ialah berupa kopi, tebu, dan indigo/nila (bahan pewarna). Sedangkan
tanaman-tanaman lain yang ikut ditanam dalam skala kecil, antara lain tembakau, lada, teh, dan
kayu manis. Jenis tanaman itu ditanam pada seperlima bagian milik tanah masyarakat, yang
mana diminta secara paksa tentunya. Pada perkembangannya sendiri praktek sistem tanam
paksa ini tidak hanya menuntut seperlima bagian tanah kepemilikan masyarakat, namun bisa
terjadi hampir seluruh tanah pertanian ditanami tanaman-tanaman wajib tersebut. Semisal kopi
lebih banyak ditanam di tanah-tanah yang belum digarap, hal ini tentunya membutuhkan
pengerahan tenaga rakyat untuk membuka dan menggarap lahan tersebut. Oleh karena itu
dalam pelaksanaan sistem tanam paksa, masyarakat masih diminta untuk menyerahkan tenaga
kerja wajib atau kerja paksa (heerendiensten) untuk melakukan pekerjaan yang dibutuhkan
pemerintah, semisal membuka lahan pertanian, pembuatan atau perbaikan jalan, saluran irigasi,
pengangkutan dan berbagai pelayanan kerja lainnya. Adapun dalam pengerahan masyarakat
pada sistem kerja paksa, ada tiga macam pelayanan, yaitu

1) kerja wajib umum (heerendiensten), mencakup pelayanan kerja untuk umum,


seperti pembuatan atau perbaikan jalan, pembuatan gedung perkantoran,
penjagaan tawanan, dan sebagainya,
2) kerja wajib pancen (pancendiesten), menyangkut tugas pelayanan kerja pertanian
di tanah milik kepala-kepala pribumi, dan
3) kerja wajib garap penanaman (cultuurdiensten), menyangkut pengerahan kerja
untuk membuka lahan perkebunan, pembuatan atau perbaikan irigasi, kegiatan

4
Hendra Kurniawan, Dampak Sistem Tanam Paksa terhadap Dinamika Perekonomian Petani Jawa 1830-1870,
SOCIA, 11(2), September 2014, hlm. 166
penanaman, pengangkutan hasil panen dari lahan panenan ke tempat penimbunan
(kopi, nila), atau ke pabrik pengolahan (tebu), dan kerja lain di perkebunan
pemerintah.

Dalam perkembangannya sejak tahun 1830, pelaksanaan sistem tanam paksa telah
dilaksanakan sebagai usaha dalam menghidupkan kembali sistem eksploitasi dari masa VOC
yang berupa penyerahan wajib dengan cara menanam tanaman tertentu dan sekaligus
menjualnya dengan harga yang ditentukan oleh pemerintah. Kebijkan ini tentunya memiliki
dampak yang cukup masif bagi masyarakat Indonesia, khususnya di Pulau Jawa yang
diwajibkan mengikuti sistem tanam paksa tersebut. Jika dilihat secara historis maka kita dapat
menyimpulkan bahwa pihak belanda lah yang paling mendapatkan keuntungan dari
dilaksanakannya sistem tanam paksa ini, sedangkan di sisi lain dimana yang diterima oleh
rakyat Indonesia hanyalah penderitaan serta menurunnya tingkat kesejahteraan. Adapun
dampak negatif dari pelaksanaan sistem tanam paksa diantaranya,

• Waktu yang diperlukan oleh para petani yang biasa dibutuhkan dalam menanam
padi menjadi tidak teratur, hal ini dikarenakan mereka diharuskan untul menanam
kopi yang merupakan komoditas tanam paksa
• Penggarapan tanaman-tanaman ekspor memerlukan lahan tanah yang cukup besar,
pertanian tanaman-tanaman ekspor ini juga menggunakan sebagian bahkan
hampir seluruhnya tanah petani yang bernilai tinggi dalam pelaksanaan sistem
tanam paksa ini
• Pelaksanaan sistem tanam paksa ini melipatgandakan kebutuhan akan hewan
ternak petani
• Timbulnya bahaya kelaparan dan wabah penyakit di berbagai daerah sehingga
angka kematian meningkat drastis

Selain itu juga terdapat dampak positif yang diambil dari pelaksanaan Sistem tanam paksa ini
antara lain, Rakyat Indonesia mengenal berbagai teknik menanam jenis-jenis tanaman baru,
Meningkatkan perputaran uang di pedesaan sehingga ekonomi berputar, munculnya tenaga
kerja ahli dalam kegiatan non pertanian, serta Penyempurnaan fasilitas yang digunakan dalam
proses tanam paksa, seperti jalan, jembatan, pengembangan fasilitas pelabuhan dan pabrik dan
gudang untuk hasil budidayanya5

DAFTAR PUSTAKA

Daliman, A. 2012. Sejarah Indonesia Abad XIX-Awal Abad XX: Sistem Politik Kolonial Dan
Administrasi Pemerintahan Hindia-Belanda. Yogyakarta: Penerbit Ombak
Kartodirdjo, S. 1987. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900. Jakarta: Gramedia
Kurniawan, H. (2014, September). Dampak Sistem Tanam Paksa terhadap Dinamika
Perekonomian Petani Jawa 1830-1870. SOCIA, 11(2), hlm. 166
Laras, M.N.S. (2021, 15 Maret). Sistem Tanam Paksa: Praktik dan Dampaknya, diakses
melalui
https://www.researchgate.net/publication/350060701_Sistem_Tanam_Paksa_Praktik_
dan_Dampaknya/citation/download
Poesponogoro, M. D., Notosusanto, N. 2008. Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan
Penjajahan Di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

5
Muhamad Naufal Shidqi Laras, Sistem Tanam Paksa : Praktik dan Dampaknya, 15 Maret 2021, diakses melalui
https://www.researchgate.net/publication/350060701_Sistem_Tanam_Paksa_Praktik_dan_Dampaknya/citati
on/download

Anda mungkin juga menyukai