Anda di halaman 1dari 8

PENGARUH SISTEM TANAM PAKSA TERHADAP PEREKONOMIAN

INDONESIA

Sitti Aliyah Surianda


1505055060

Abstrak

Tulisan ini menyoroti bagaimana pengaruh sistem tanam paksa dalam


kehidupan rakyat. Sistem tanam paksa telah mengenalkan rakyat pada sistem
ekonomi yang lebih modern. Dalam sejarahnya tanam paksa dikenal dengan
sistem yang sangat mengeksploitasi rakyat pribumi pada saat itu. Walaupun diatas
kertas sistem tanam paksa tidak terlalu membebankan rakyat namun dalam
prosesnya justru sebaliknya.

Kata kunci : dampak, eksploitasi, komoditi, proses, rakyat, tanam paksa.


PENDAHULUAN

Pada masa pemerintahan van der Capellen, Belanda sedang mengalami


kesulitan keuangan akibat perang di Barat menghadapi perlawanan-perlawanan
dari daerah jajahannya termasuk Indonesia, seperti Perang Diponegoro dan
Pedang Padri. Hal tersebut ternyata tidak mampu diatasi oleh van der Capellen
sehingga pada tahun 1825 ia digantikan oleh Du Bus de Gishingnies (1825-1830).
Namun, masalah tetap berlanjut dan baru dapat diatasi ketika Belanda mengirim
Gubernur Jendral van den Bosch. Langkah yang ditempuh oleh van den Bosch
untuk mengatasi masalah kesulitan keuangan adalah dengan melaksanakan sistem
Cultuurstelsel (Tanam Paksa) (Farid & Nurjanah, 2014: 19).

Adanya sistem tanam paksa di Jawa adalah untuk memproduksi berbagai


komoditi yang ada permintaannya di pasaran dunia. Untuk mencapai tujuan itu ia
menganjurkan pembudidayaan berbagai produk seperti kopi, gula, indigo (nila),
tembakau, teh, lada, kayu manis dan komoditi lainnya. Persamaan dari semua
komoditi itu adalah bahwa para petani di Jawa dipaksakan oleh pemerintah untuk
memproduksinya dan sebab itu tidak dilakukan secara sukarela (Leirissa et al,
2012: 51). Walaupun tidak secara sukarela namun pada dasarnya upah yang
diberikan tidak sepadan dengan kerja keras mereka.

Meskipun dapat ditarik suatu kesimpulan secara umum bahwa sistem tanam
paksa membawa penderitaan, akan tetapi sistem tanam paksa membawa dampak
besar bagi perubahan sosial ekonomi petani Jawa. Substansi yang sejak dulu
menjadi warna dalam perekonomian petani Jawa mengalami pergeseran. Secara
perlahan namun pasti sistem tanam paksa telah memperkenalkan perekonomian
uang yang kemudian semakin berkembang dengan masuknya modal asing dalam
koridor ekonomi liberal (Kurniawan, 2014: 164).

Tulisan ini akan membahas tentang :

1. Bagaimana Proses Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa ?


2. Apakah Tanam Paksa Bagian Dari Eksploitasi Rakyat ?
3. Bagaimana Dampak Sistem Tanam Paksa bagi Ekonomi Indonesia ?
Proses Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa

Gubernur Jenderal van den Bosch mendapat izin khusus melaksanakan


sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) dengan tujuan utama mengisi kas
pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah.
Penjajahan Sistem tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa
berutang sewa tanah kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai
40% dari hasil panen utama desa yang bersangkutan. van den Bosch ingin setiap
desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke Eropa
(kopi, tebu, dan nila). Penduduk dipaksa untuk menggunakan sebagian tanah
garapan (minimal seperlima luas, 20%) dan menyisihkan sebagian hari kerja
untuk bekerja bagi pemerintah. Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu
melunasi utang pajak tanahnya. Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi
ekspor itu lebih banyak daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa itu akan
menerima kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut mesti membayar kekurangan
tadi dari sumber-sumber lain.

Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai
tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan di Jawa.
Pemerintah kolonial memobilisasi lahan pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga kerja
yang serba gratis. Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di
pasar dunia sedang membubung, dibudidayakan. 1884 sekitar 75.5% penduduk
Jawa dikerahkan dalam cultuurstelsel atau tanam paksa. Penduduk di Karesidenan
Batavia dan daerah kesultanan di Jawa Tengah atau Vortsenlanden tidak
mengambil bagian dalam sistem tersebut. Jumlah tersebut kemudian berfluktuasi
tetapi tidak turun secara drastis karena pemerintah Hindia Belanda berusaha
mempertahankan eksistensi tanah untuk tanaman komoditi ekspor. Kemudian
pada tahun 1850, umpamanya jumlah tersebut telah menurun menjadi 46 %, tetapi
ditahun 1860 naik lagi menjadi 54.5% (Hermawati, 2013: 66-67).

Kendatipun demografi belum muncul pada masa ini, dan data


kependudukan yang diperoleh dari laporan-laporan para pejabat Belanda sering
simpang siur, namun dapat dikatakan bahwa sistem cultuurstelsel ini jelas-jelas
telah mengakibatkan dampak yang destruktif bagi penduduk Jawa. Luas tanah
garapan yang digunakan untuk sistem itu menurut perhitungan, pada tahun 1840
hanya 6% saja. Pada tahun 1850 menurun menjadi 4%, dan pada tahun 1860 naik
lagi sedikit menjadi 4.5%. Jenis tanah yang dibutuhkan juga berbeda-beda untuk
masing-masing tanaman (Leirissa et al, 2012: 51).

Dampaknya, semua pengawas berusaha menyetorkan hasil produksi


sebanyak-banyaknya dengan memeras rakyat. Akhirnya yang menjadi sapi
perahan adalah rakyat yang tidak memiliki otoritas dalam menetapkan hasil panen
tanamannya. Ditambah lagi dengan sikap-sikap para kepala desa yang lebih sering
menjadi kaki tangan pemerintah kolonial, sehingga kebijakannya seenaknya
dalam menetapkan luas lahan penduduk yang akan digunakan untuk areal
penanaman wajib, berapa penduduk yang harus bekerja sebagai buruh, termasuk
menetapkan berapa hasil produksi yang harus dibayar oleh penduduk.
Ketimpangan yang diwujudkan oleh pelaksanaan politik tanam paksa ini mulai
mendapat perhatian di Belanda, dimana halini berhubungan dengan kemunculan
gerakan liberal di negeri induk tersebut (Hermawati, 2013: 69).

Pada dasarnya proses pelaksanaan sistem tanam paksa Belanda tidak terjun
langsung dalam pelaksanaan sistem tanam paksa, mereka mewakilkan hal tersebut
kepada para bupati-bupati yang nantinya akan mengawasi pelaksanaan tanam
paksa, Belanda hanya menikmati keuntungan dari hasil penjualan komoditi-
komoditi yang ditanam oleh rakyat.

Tanam Paksa Bagian Dari Eksploitasi Rakyat

Secara umum dalam tanam paksa dibagi menjadi dua golongan mereka
dapat digolongkan ke dalam dua kategori yaitu golongan humanis dan golongan
kapitalis. Golongan humanis mengatakan bahwa Siatem Tanam Paksa harus
segera dihapuskan karena telah banyak menindas dan menyengsarakan penduduk
di tanah jajahan. Dalam terminologinya, padahal tanah jajahan telah memiliki
kontribusi yang sangat besar dalam menyelamatkan negara dari kebangkrutan.
Dengan demikian, perlu diupayakan perbaikan-perbaikan nasib rakyat tanah
jajahan. Sementara golongan kapitalis beranggapan bahwa Sistem Tanam Paksa
tidak menciptakan kehidupan ekonomi yang sehat. Sistem Tanam Paksa
memperlakukan rakyat tanah jajahan sebagai objek bukannya melibatkannya
dalam kegiatan ekonomi yang menambah ruwetnya sistem perekonomian Hindia
Belanda.

Dalam rangka mengikat para penguasa lokal ini, pemerintah Belanda tidak
hanya mengembalikan kekuasaan mereka saja, melainkan juga meningkatkan
prestise mereka dengan gaji berupa tanah yang akan memberi mereka tenaga kerja
dan penghasilan lain yang dihasilkannya. Di samping itu, Van Den Bosch
menerapkan sistem prosentase yakni hadiah bagi petugas yang berhasil
menyerahkan hasil tanaman yang melebihi dari yang ditentukan. Namun yang
menjadi permasalahan lanjut adalah bahwa kebijakan tersebut menjadi sember dan
ladang korupsi serta penyelewenganpenyelewengan yang merugikan rakyat.
Sistem prosentase dianggap sebagai legalisasi pemerintah kolonial terhadap segala
bentuk pemerasan seperti luas tanah yang diusahakan pemerintah tidak terbatas,
wajib kerja penduduk melebihi ketentuan yang telah ditetapkan, tanaman wajib,
pajak-pajak, dan kerja wajib . Sistem ini justru malah membuat rakyat semakin
menderita. Akan tetapi pada tahun 1870 dengan kemenangan partai liberal
menjadikan rakyat Hindia Belanda juga terkena imbasnya. Kebijakan tanam paksa
akhirnya diganti dengan kebijakan Liberal (Hermawati, 2013: 69-70).

Apakah sistem tanam paksa adalah bagian dari eksploitasi rakyat? Jika ada
pertanyaan yang demikian maka tentunya hal itu tidak dapat diabaikan begitu saja,
rakyat tidak hanya dipaksa untuk melaksanakan penanaman komoditi-komoditi
yang di inginkan oleh pemerintah Belanda namun mereka juga harus memproses
hasil panennya sendiri, mengangkut barang-barang yang kegudang dan juga
melakukan produksi sendiri. Walaupun nantinya rakyat masih dibayar atau di
upah namun hasil yang mereka dapatkan tidak sepadan dengan kerja keras mereka
ditambah lagi hasil yang diberikan bervariasi dan mereka juga harus membayar
pajak tanah yang mereka gunakan.
Dampak Sistem Tanam Paksa Bagi Ekonomi Indonesia

Pada dasarnya dampak dari sistem tanam paksa dari segi ekonomi lebih
banyak dirasakan oleh pemerintah Belanda, dimana mereka mendapatkan banyak
sekali keutungan untuk negara mereka dibandingkan rakyat. Sistem tanam paksa
telah mengubah pola yang sejak dulu diyakini oleh para petani. Mereka dipaksa
menanam tanaman ekspor untuk kepentingan ekonomi Belanda. Hal ini otomatis
mengurangi produksi tanaman pangan mereka. Peralihan dari produksi subsistensi
ke produksi komersil hampir selalu memperbesar risiko. Selain itu produksi
komersil dalam sistem tanam paksa tidak menjamin persediaan pangan bagi
keluarga. Akibat dari sistem tanam paksa maka memaksa petani untuk mengubah
pola pikirnya.

Perubahan dalam sistem kerja juga telah mengenalkan sistem ekonomi uang
(monetisasi) ke dalam lingkungan kehidupan pedesaan agraris. Kehidupan
perekonomian yang semula masih tradisional dan subsisten secara berangsur-
angsur berkenalan dengan ekonomi uang melalui komersialisasi produksi
pertanian dan pasaran kerja. Sistem tanam paksa telah menjadi pintu masuk
peredaran uang ke daerah pedesaan. Sistem ekonomi uang ini membuat para
petani mulai tergantung pada dunia luar. Produksi pertanian dirasakan sebagai
komoditi untuk ekspor dan pasar dunia. Sistem ini mulai menggoyang sistem
ekonomi subsisten sebagai ekonomi tradisional yang bersifat tertutup dan
memenuhi kebutuhan rumah tangga sendiri bagi petani.

Secara tidak langsung, pelaksanaan tanam paksa juga telah mengenalkan


teknologi baru, terutama dalam pengenalan bibit-bibit tanaman perdagangan,
seperti tebu, indigo, dan tembakau, beserta cara penanamannya. Selain itu, karena
tuntutan peningkatan produksi, maka diadakan perbaikan atau pembuatan irigasi,
jalan, dan jembatan yang memperlancar transportasi dan komunikasi antar daerah.
Mengenai pembentukan modal yang muncul akibat sistem tanam paksa, tentu
tidak lepas dari perkembangan sistem ekonomi uang di desa. Pada akhirnya,
sistem ekonomi modern yang muncul akibat tanam paksa meskipun berhasil
mendorong Jawa makin terlibat dalam perdagangan internasional karena
pertumbuhan yang mantap di bidang ekspor, namun di sisi lain telah
mengeksploitasi habis-habisan sistem ekonomi subsistens yang menjadi basis
ekonomi kaum tani. Eksploitasi lewat sistem tanam paksa bersifat brutal dan
mengakibatkan petani Jawa menderita kemiskinan dan kelaparan. Struktur sosial
dan ekonomi Jawa nyaris dihancurkan. Kemiskinan dan kelaparan menjadi
masalah pokok penduduk Jawa (Kurniawan, 2014: 170-171).

PENUTUP

Sistem Tanam Paksa atau yang juga dikenal dengan Cultuurstelsel adalah
sistem yang diberlakukan oleh Gubernur Jendral yaitu van den Bosch.
Dibentuknya sistem tanam paksa ini bertujuan untuk mengisi kas negara penjajah
(Belanda) dimana saat itu perekonomian mereka sedang terpuruk akibat perang
yang terjadi, salah satunya pun dengan Indonesia. Hal inilah kemudian yang
menyebabkan dibentuklah cultuurstelsel yang dimana rakyat dipaksa untuk
menanam komoditi-komoditi yang sedang laku di pasar internasional.

Proses pelaksanaan sistem tanam paksa ini telah berlangsung sejak 1830,
tidak hanya di pulau Jawa saja namun tanam paksa pun berlaku di luar pulau
Jawa. Yang menjadi komoditi utama yang harus ditanam oleh rakyat pribumi pada
saat itu yaitu kopi, tebu, nila dan juga komoditi lainnya. Namun dalam
pelaksanaannya tanam paksa ini sangat merugikan rakyat dimana mereka di
eksploitasi yaitu mereka dipaksa untuk patuh pada pemerintah Belanda dimana
rakyat dipaksa untuk menanam komoditi-komoditi yang di inginkan oleh
pemerintah Belanda dan juga mereka harus memproses hasil-hasil panen mereka
sendiri. Dan walaupun mereka diberikan upah namun hal itu tidak sepadan karena
mereka pun diberikan pajak tanah. Namun terlepas dari eksploitasi rakyat yang
dilakukan oleh pemerintah Belanda terhadap rakyat pribumi, tanam paksa
membawa perubahan di berbagai bidang salah satunya bidang ekonomi, dimana
yang tadinya ekonomi Indonesia bersifat tradisional dan subsitensi berubah
menjadi ekonomi yang lebih modern dan juga adanya monetasi atau yang disebut
juga sistem ekonomi uang, yaitu rakyat pada saat itu sudah mengenal adanya
uang.
DAFTAR PUSTAKA

Farid, Samsul dan Nurjanah, Enung. (2014). Sejarah Indonesia. Bandung:


Peneribit Yrama Widya

Hermawati, Mifta. (2013). Tanam Paksa Sebagai Tindakan Eksploitasi. Jurnal. 1


(1), 64-70. Diakses dari
http://dinus.ac.id/repository/docs/ajar/sistem_tanam_paksa.pdf

Kurniawan, Hendra. (2014). Dampak Sistem Tanam Paksa Terhadap Dinamika


Perekonomian Petani Jawa 1830-2870. Jurnal. 11 (2), 163-172. Diakses
dari http://journal.uny.ac.id/index.php/sosia/article/viewFile/5301/4598

Leirissa et al. (2012). Sejarah Perekonomian Indonesia. Yogyakarta: Ombak

Anda mungkin juga menyukai