NIM : 13030119130029 Matkul : Sejarah Indonesia Abad 19
Pertumbuhan Penduduk Jawa di Abad 19 hingga Awal Abad 20
Populasi penduduk Jawa mengalami peningkatan pertumbuhan penduduk
yang dimulai dari tahun 1815. Untuk mengetahui jumlah penduduk, Sir Thomas Raffles melakukan sensus penduduk dengan hasil informasi jumlah penduduk Jawa di Tahun 1815 berjumlah sekitar 4,5 Juta populasi, data tersebut tidak sepenuhnya benar dikarenakan pada masa lampau belum didukung oleh teknologi yang modern, di masa kini jumlah tersebut sama seperti jumlah penduduk Jakarta. Pertumbuhan penduduk Jawa kian mengalami peningkatan hingga tahun 1940 ketika Jepang belum masuk ke wilayah Nusantara, di tahun 1940, jumlah penduduk Jawa menembus angka 45 juta penduduk. Peningkatan penduduk yang secara signifikan menimbulkan pertanyaan yakni faktor apa yang mempengaruhi kondisi demografi masyarakat Jawa selama kurun waktu abad 19 hingga awal abad 20. Beberapa penelitian menjelaskan bahwa faktor yang berpengaruh dalam peningkatan kondisi demografi masyarakat Jawa di abad 19 hingga awal abad 20 adalah adanya vaksinasi, kemajuan teknologi, ketersediaan infrastruktur kesehatan serta pandangan untuk memiliki pola hidup sehat. Adanya vaksinasi memberikan andil untuk mengatasi dampak negatif yang dibawa oleh pandemi influenza dan cacar ketika wabah tersebut menyerang masyarakat Jawa, sehingga vaksinasi turut mencegah besarnya angka rasio kematian akibat dari bencana wabah. Dari segi teknologi, munculnya alat-alat transportasi yang menggunakan mesin seperti term dan kapal mengakibatkan isolasi penduduk Jawa yang berada di daerah terpencil semakin lama kian dapat diatasi, mereka dimudahkan dalam memenuhi kebutuhan penunjang hidup dengan mencari bahan pokok pangan untuk perbaikan nutrisi. Peningkatan rasio kehidupan dilatarbelakangi oleh tersedianya infrastruktur kesehatan yang disediakan oleh pemerintah kolonial seperti klinik, pusat kesehatan masyarakat dan akses pelayanan kesehatan yang lebih mudah dibandingkan sebelumnya. Dengan kedatangan bangsa eropa ke tanah Jawa menimbulkan pola perubahan hidup ke arah yang lebih sehat. Seperti contoh, pada awalnya masyarakat meminum air dari sumur secara langsung, namun seiring berjalannya waktu mereka memasak air terlebih dahulu sebelum diminum, selain itu, mereka juga terpengaruh budaya orang Eropa untuk menggunakan sendok ketika makan. Clifford Geertz dalam bukunya yang berjudul Involusi Pertanian berpendapat bahwa peningkatan penduduk Jawa memiliki keterkaitan dengan sistem tanam paksa yang dicetuskan oleh Van Den Bosch. Pemerintah kolonial menuntut adanya ketersediaan tenaga kerja atau buruh dalam jumlah banyak untuk kepentingan sistem tanam paksa dengan cara menerapkan sistem kuota tenaga kerja dalam kawasan lahan yang akan ditanami dengan menekan kepala daerah untuk mengeluarkan setidaknya 3 orang untuk menjadi buruh, akibatnya nilai tenaga kerja dari buruh sangat dibutuhkan oleh keluarga, desa dan pemerintah kolonial dalam rangka untuk mencari keuntungan sebanyak- banyaknya. Oleh sebab itu, pentingnya status tenaga kerja mendorong keluarga- keluarga di desa untuk memiliki banyak anak, dengan demikian hal ini mendorong munculnya pepatah yang mengatakan ‘banyak anak, banyak rezeki’. Untuk memenuhi tuntunan kewajiban dari pemerintah kolonial, masyarakat Jawa memiliki niat untuk mengatasi tuntutan tersebut dengan kemauan untuk hidup sama-sama miskin, Geertz mengenalkan istilah shared poverty. Pendapat lain dari Peter Boomgaard (Children of the Colonial State: Population Growth and Economic Development in Java, 1795-1860) menyatakan bahwa tanam paksa memberikan dampak positif. Masyarakat pribumi dapat memiliki sedikit keuntungan dari penjualan tanaman tersebut, namun para elite pribumi sedikit banyak melakukan korupsi, sehingga masyarakat pribumi khususnya para petani tetap mengalami kesengsaraan. Ekspansi ekonomi di abad 19 mengalami 3 fase perkembangan, yang pertama adalah fase trial and error yakni ajak tanah yang dicetuskan oleh Herman Wilhelm Daendels di tahun 1810-1830, fase yang kedua yaitu masa dominasi tanam paksa: pajak tenaga kerja (1830-1870), dan yang terakhir adalah fase liberal: eksploitasi tanah dan tenaga kerja. Sejak abad 16, VOC menguasai wilayah yang sangat luas di Jawa, namun kecuali wilayah Vorstenlanden yang meliputi Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta serta wilayah Gubernement yakni wilayah yang dikuasai langsung oleh Belanda. Bagi daerah yang dikuasai oleh raja atau bupati, VOC menerapkan sistem terhadap penguasa daerah untuk mengelola kekuasaan sesuai dengan kekuasaan tradisional mereka, income VOC diperoleh dari penyewaan tanah di daerah partikelir dimana penyewaan itu biasanya dilakukan oleh konglomerat pribumi yang memberikan uang sewa kepada VOC. Tidak hanya VOC yang melakukan eksploitasi terhadap penduduk pribumi, mirisnya, konglomerat pribumi yang menyewa daerah partikelir lebih kejam dalam melakukan eksploitasi. Ketika VOC runtuh, segala aset VOC diserahkan kepada Kerajaan Belanda dan kemudian Nusantara dikelola sebagai negara koloni. Selama 10 tahun pertama sejak tahun 1800an, Belanda hanya memiliki wacana-wacana saja dalam kebijakan mereka dikarenakan mereka masih berfikir dalam menentukan ramuan yang pas dalam mengelola negara koloni. Ketika Raffles menjadi gubernur di Jawa, dia mulai menetapkan nilai pajak tanah yakni 2/5 per tahun yang diserahkan kepada pemerintah kolonial, namun pajak tanah tersebut mengalami kerugian. Bupati dan penguasa daerah juga melakukan korupsi, sehingga banyak petani yang terjerat lintah darat hanya untuk membayar pajak. Setelah masa Raffles berakhir, pemerintah Belanda mengalami dilema apakah akan memberlakukan ekonomi liberal atau konservatif. Ditengah kekacauan ini, Van Den Bosch berani mengambil resiko dengan menjadi gubernur di Hindia-Belanda, ia menjadi tokoh yang mencetuskan sistem tanam paksa. Ketika waktu panen tiba, para petani menyerahlan produk tanaman mereka ke gudang-gudang milik pemerintah, pemerintah kolonial akan merekrut pegawai yang efektif dan efisien guna mengurusi kegiatan tersebut. Selain itu, untuk memacu nilai produksi tanaman, pemerintah kolonial menerapkan sistem cultuur procenteeen. Selanjutnya, pengangkatan produk tanaman tersebut dilakukan oleh Nederlandsche Handel-Maatschappij. Pada dasarnya, hakekat tanam paksa merupakan eksploitasi modern yang menggunakan nilai-nilai tradisional berupa kerja wajib dan upeti dimana hal tersebut sudah menjadi biasa bagi sistem masyarakat feodal. Petani, pengusaha pribumi, residen (kolonial di tingkat lokal), pengusaha Eropa dan China, dan pemerintah kolonial di Batavia menjadi tokoh-tokoh pelaku sistem tanam paksa. Tanam paksa merupakan transisi dimana pajak menggunakan tenaga kerja ke arah pajak yang berporos pada kepemilikan tanah yang sifatnya lokal atau tidak bisa digeneralisasikan.
Perkembangan tanam paksa mengalami kondisi pasang surut. Sepuluh tahun
pertama dari pelaksanaaan tanam paksa tidak ada hambatan serius yang mempengaruhi kegiatan tersebut, namun setelah tahun 1840-an mulai muncul berbagai masalah yang menghambat sistem tanam paksa. Hambatan tersebut berupa ketidakseimbangan antara kegiatan dan lahan tanaman eksport dengan tanaman subsisten, akibatnya para petani mengalami kondisi yang mengenaskan yakni kelaparan sebagai dampak dari korupsi yang dilakukan oleh para pejabat karena kepentingan individu mereka untuk memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya, banyak sekali perlawanan dari para petani terhadap sistem tanam paksa seperti contoh perlawanan petani Banten, sehingga di tahun 1850 timbul perdebatan oleh kaum liberal yang menentang sistem tanam paksa. Tidak hanya itu, di tahun 1850 juga mulai muncul berbagai usaha swasta yang mulai berkembang di Nusantara. Di tahun 1859, terjadi keseimbangan antara usaha yang dilakukan oleh pemerintah kolonial dengan usaha yang dilakukan oleh para pengusaha swasta. Kaum liberal yang menuntut terhapusnya sistem tanam paksa menyarankan agar parlemen Belanda segera mengganti sistem tanam paksa dengan sistem ekonomi yang lebih modern. Dengan demikian, sistem tanam paksa di tahun 1870 secara resmi dihapus dan dikeluarkannya UUPA. UUPA memiliki keterkaitan dengan sewa pajak pertanahan. Para pengusaha Eropa dimungkinkan untuk menyewa tanah secara langsung kepada penduduk, sedangkan tanah bero/woeste gronden dapat disewa dari pemerintah selama 75 tahun. Sebelum pemerintah dapat menyewakan tanah, terlebih dahulu pemerintah akan mendaftarkan tanah tersebut untuk bisa disesuaikan dengan segala kontrak dan aturan. Tanaman tebu dihapuskan secara gradual, sedangkan tanaman kopi dihapuskan dari sistem tanam paksa pada awal abad 20. Oleh karena itu, pada periode ini pemerintah kolonial bertindak sebagai perusahaan raksasa namun sebagai supervisor dalam hubungan antara pengusaha barat dengan penduduk dimana Nederlandsche Handel-Maatschappij sebagai bank perkebunan. Keberadaan UUPA tidak membuat nasib para petani menjadi semakin baik, kondisi para petani masih tergolong lemah dimana rentan terhadap konjungtur ekonomi global seperti krisis ekonomi 1880-an dan kegagalan panen akibat tebu akibat penyakit sereh. Para pemilik kebun melakukan usaha untuk memulihkan keadaaan dengan melakukan penelitian dan pengembangan pertanian disertai dengan revitalisasi sistem manajemen yang lebih modern.