VOC cukup pintar dalam memanfaatkan kondisi sosial budaya tanah air kala itu
untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dengan harga yang murah. Sehingga
kebijakan pertanahan pada masa kekuasaan VOC ditafsirkan sesuai dengan kepentingan
politik dan ekonominya, yaitu untuk mendapatkan hasil-hasil bumi yang sangat laku di
Eropa. VOC berpikir adalah sangat menguntungkan apabila mereka dapat menggantikan
kekuasaan para raja atas tanah. Dengan dasar itu, maka sistem politik yang dianut VOC
adalah menaklukan raja-raja yang diartikan sebagai keberhasilan mengambil alih
kekuasaan raja. Tiap kali VOC menguasai suatu wilayah, pola penguasaan raja atas tanah
praktis dilanjutkan. Kondisi rakyat jelata (wong cilik) yang sudah terbiasa dengan
penindasan raja dan pegawai raja praktis dapat menyesuaikan diri dengan penindas yang
baru yaitu VOC. Bagi rakyat, pergantian penguasa tidak merubah kehidupan sehari-hari,
namun bagi VOC upeti rakyat menjadi berkah luar biasa tanpa harus mengeluarkan
banyak biaya untuk mendapatkannya.
Isi dari Landrent antara lain adalah, menghapuskan segala penyerahan paksa
hasil-hasil tanah dengan harga-harga yang tidak pantas, dan penghapusan semua rodi,
dengan memberikan kebebasan penuh dalam penanaman dan perdagangan. Pengawasan
tertinggi dan langsung dilakukan oleh pemerintah atas tanah-tanah dengan menarik
pendapatan dan sewaannya tanpa perantara bupati-bupati, yang pekerjaannya selanjutnya
akan terbatas pada pekerjaan-pekerjaan umum. Menyewakan tanah-tanah yang diawasi
pemerintah secara langsung itu dalam persil-persil besar atau kecil, menurut keadaan
setempat, berdasarkan kontrak-kontrak untuk waktu yang terbatas.
Sistem sewa tanah tidak dilaksanakan di seluruh Jawa. Misalnya saja di daerah
sekitar Batavia, maupun di daerah-daerah Priangan sistem sewa tanah tidak diadakan,
karena daerah-daerah sekitar Batavia pada umumnya adalah milik swasta (tanah
partikelir), sedangkan di daerah Priangan pemerintah kolonial berkeberatan untuk
menghapus sistem tanam wajib kopi yang memberi keuntungan yang besar dan
menghasilkan hasil ekspor yang utama. Karena itu di Priangan sistem pemerintahan lama
tetap dipertahankan, dengan nama stelsel Priangan (Preangerstelsel) dan berlangsung
terus sampai tahun 1870. Hal pertama yang dilakukan Raffles dalam melaksanakan
sistem sewa tanah adalah menggantikan kekuasaan kepala daerah yang kuno dengan
suatu pemerintahan Eropa yang langsung. Jadi dalam melakukan pembayaran pajak,
rakyat langsung membayar ke pusat tidak melalui perantara penguasa daerah. Raffles
tidak menggunakan para bupati atau penguasa daerah untuk memungut pajak karena
supaya tidak terjadi korupsi dan pemerasan terhadap rakyat. Sistem ini memang sangat
bagus, tapi nantinya akan menjadi kelemahan kebijakan Raffles.
Dengan tidak digunakannya para penguasa daerah ini, maka pejabat-pejabat dari
Eropa mengisi jabatan yang dulunya diemban oleh para penguasa daerah tersebut.
Bertambahnya pengaruh dari pejabat-pejabat Eropa, pengaruh para Bupati semakin
berkurang. Bahkan diantara pejabat-pejabat Eropa timbul keinginan untuk
menghilangkan sama sekali jabatan bupati. Tidak mengherankan bahwa perkembangan
ini sangat menggelisahkan para bupati yang sebelum Raffles mempunyai kekuasaan dan
gengsi sosial yang amat besar. Ketika jaman VOC maupaun kolonial Belanda, para
Bupati diberi tanah sebagai imbalan atas jasa-jasa mereka dalam mengelola pajak atau
upeti. Bukan saja tanah yang mereka peroleh, akan tetapi menurut kebiasaan adat mereka
dapat pula menuntut peneyerahan wajib hasil-hasil pertanian maupun hasil kerja rodi dari
penduduk yang tinggal di atas tanah milik bupati tersebut. Di bawah Raffles kebiasaan ini
dihapus dan para bupati kemudian diberi gaji dalam bentuk uang untuk jasa-jasa mereka
kepada pemerintah kolonial
Meskipun masa kekuasaan Inggris tidak lama, namun Inggris telah membuat satu
perubahan fundamental terkait politik pertanahan di tanah air. Jika sebelumnya
penyerahan rakyat atas VOC berupa upeti, maka Inggris memperkenalkan pembayaran
sewa yang nilainya sebesar dua pertiga hasil panen. Menurut Raffles semua tanah adalah
eigendom (milik pemerintah), sedangkan rakyat adalah pachter (penyewa). Ia
menganggap bahwa pemerintah Inggris sebagai pengganti raja menjadi pemilik atas
tanah. Karena rakyat tidak dianggap memiliki tanah, maka pemerintah Inggris
menyewakan tanah untuk mereka dengan imbalan pembayaran sewa tanah.
Kebijakan Rafles ini juga berimplikasi pada keberadaan tanah-tanah ulayat yang
dimiliki oleh masyarakat. Raffles menganggap tanah ulayat tidak boleh dijadikan hak
milik, sehingga pemilik tanah ulayat hanya memiliki hak penguasahaan saja. Dengan kata
lain, tetap harus membayar sewa pada pemilik sebenarnya, yaitu pemerintah Inggris.
Raffles juga menetapkan bahwa pemerintah Inggris lah yang berhak untuk mengawasi
secara langsung atas tanah-tanah dengan menarik pendapatan dan sewanya, tanpa
perantaraan bupati-bupati. la tampaknya ingin menghapuskan feodalisme atas tanah
secara radikal. Serta melemahkan kekuasaan para pemimpin lokal, baik Bupati maupun
para raja.
Van den Bosch memanfaatkan adanya ikatan feodal untuk memaksakan kebijakan
Cultuurstelsel melalui pengaruh para bupati. Kebijakan ini berupaya memperbesar
kekuasaan bupati dengan cara memberi apanage berupa tanah yang diwariskan.
Cultuurstelsel sangat merugikan kepentingan petani karena membatasi pembukaan tanah-
tanah baru sementara tanah pertanian yang sudah ada terus dibagi-bagi. Akibat buruk dari
politik Cultuurstelsel ini menimbulkan kekacauan dan penderitaan di Jawa, serta
mendapat kecaman dari segolongan orang Belanda sendiri.
Daftar Pustaka
Buku:
Gunawan Wiradi, 2009. Seluk Beluk Masalah Agraria, Yogyakarta: STPN.
Prof. Dr. H. Muchsin, SH, dkk, 2010. Hukum Agraria Indonesia dalam Perspektif
Sejarah, Bandung: Refika Aditama
Sediono MP. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, 2004. Pembaruan Agraria : Antara
Negara dan Pasar dalam Jurnal Analisis Sosial vol.9 no.1 April 2004, Bandung :
Akatiga.
________, 1984. Dua abad penguasaan tanah: pola penguasaan tanah pertanian di
Jawa dari masa ke masa (edisi revisi). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Artikel :
Agung Ari Widodo. Sistem Penguasaan Tanah pada masa Pemerintahan Letnan
Gubernur Jenderal Raffles (1811-1816). http:/bung-
agung.blogspot.com/2009/2/sistem-penguasaan-tanah-pada-masa.html (diakses
pada tanggal 2 Januari 2014 pukul 19.50).