Anda di halaman 1dari 9

Sejarah Pola Penguasaan Tanah di Indonesia

Oleh: Apriliandi Damar

1. Pola penguasaan tanah pada masa VOC


Masuknya penjajah Belanda dengan sistem perkebunan barunya berciri usaha
pertanian besar dan kompleks, padat modal, teknologi modern dan ber-orientasi komersil,
membutuhkan jumlah tenaga kerja yang relatif banyak. Melalui VOC sebagai suatu
serikat dagang, pemerintah Belanda menerapkan sistem monopoli dan pungutan paksa.
Dalam menjalankan pemerintahan di tanah jajahan, pemerintah kolonial Belanda
memberlakukan politik monopoli dan pungutan paksa melalui dua cara. Pertama,
Contingenten yakni pajak yang harus dibayar secara innatura dengan hasil bumi. Kedua,
Verplicte leverentien yakni hasil bumi yang disetorkan sesuai dengan kontrak yang
ditetapkan oleh VOC.

Meningkatnya permintaan akan bahan rempah-rempah di pasar internasional


menyebabkan pemerintah kolonial Belanda mengadakan perluasan perkebunan dan tidak
hanya sebatas rempah-rempah, tetapi juga kopi di Priangan dan perkebunan tebu di Jawa
Tengah serta Jawa Timur. Perluasan areal perkebunan beserta variasi tanamannya inilah
yang menjadi awal pemicu lahirnya dualisme ekonomi. Kalangan petani dengan
paradigma konvensionalnya (ketentuan kepemilikan tanah berdasarkan adat) di satu sisi,
dengan pemerintah kolonial yang modern (model Eropa). Kubu pertama (petani) dengan
ciri ekonomi subsis-tensinya tidak setuju dengan masuknya pihak luar (Belanda) dengan
ciri ekonomi berorientasi pasar (komersil). Kubu kedua yang berhaluan ekonomi liberal
me-maksakan kehendak kepada rakyat untuk menyiapkan tanahnya guna kepentingan
penjajah.

Clifford Geertz sendiri membagi pandangan mengenai penguasaan tanah ini


menjadi dua bagian. Wilayah Jawa dan Madura yang disebutnya sebagai “Indonesia
dalam”, beranggapan bahwa tanah adalah hak milik dan alat produksi, dan demi tanah
setiap orang bersedia mempertaruhnya nyawa untuk memper-tahankan tanah tersebut. Di
sisi lain, beliau istilahkan dengan “Indonesia luar” (di luar Jawa dan Madura) yakni
kolonial beranggapan bahwa kepemilikan tanah tidak jelas dan ditentukan oleh jenis
tanaman tertentu. Dalam pengertian bahwa tanah adalah milik umum, sehingga siapa
yang mengolah itulah pemiliknya.

VOC cukup pintar dalam memanfaatkan kondisi sosial budaya tanah air kala itu
untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dengan harga yang murah. Sehingga
kebijakan pertanahan pada masa kekuasaan VOC ditafsirkan sesuai dengan kepentingan
politik dan ekonominya, yaitu untuk mendapatkan hasil-hasil bumi yang sangat laku di
Eropa. VOC berpikir adalah sangat menguntungkan apabila mereka dapat menggantikan
kekuasaan para raja atas tanah. Dengan dasar itu, maka sistem politik yang dianut VOC
adalah menaklukan raja-raja yang diartikan sebagai keberhasilan mengambil alih
kekuasaan raja. Tiap kali VOC menguasai suatu wilayah, pola penguasaan raja atas tanah
praktis dilanjutkan. Kondisi rakyat jelata (wong cilik) yang sudah terbiasa dengan
penindasan raja dan pegawai raja praktis dapat menyesuaikan diri dengan penindas yang
baru yaitu VOC. Bagi rakyat, pergantian penguasa tidak merubah kehidupan sehari-hari,
namun bagi VOC upeti rakyat menjadi berkah luar biasa tanpa harus mengeluarkan
banyak biaya untuk mendapatkannya.

2. Penguasaan Tanah pada masa Herman William Daendels


Sejak Belanda dikuasai oleh Prancis maka kaisar Napoleon mengangkat adiknya
Louis Napoleon menjadi penguasa di negeri Belanda. Louis Napoleon khawatir atas
keberadaan Pulau Jawa yang merupakan jantung jajahan Belanda di Indonesia jatuh ke
tangan Inggris. Oleh karena itu Louis Napoleon kemudian mengirimkan Herman Willem
Daendels sebagai gubernur jenderal di Indonesia dengan tugas utama mempertahankan
jawa dari ancaman Inggris. dan Daendels juga di tugaskan untuk mengatur pemerintahan
di Indonesia. Daendels dengan tugas utama yaitu mempertahankan pulau Jawa agar tidak
jatuh ke tangan Inggris dan memperbaiki keadaan tanah jajahan di Indonesia.
Sebenarnya pada masa Daendels kebijakan dari van Hogendorp masih
dipertahankan. Tapi karena ada serangan dari Inggris, maka Daendels harus
mempertahankan pulau Jawa dengan membangun Jalan Raya Pos dari Anyer-Panarukan
(Grote Postweg), membangun pelabuhan, dan membangun benteng-benteng. Otomatis
untuk keperluan proyek raksasa ini diperlukan tenaga kerja dalam jumlah besar. Oleh
karena itu wajib-kerja (verplichte diensten) dipertahankan. Disamping itu wajib-
penyerahan juga masih berlaku, sehingga pada masa pemerintahan Daendels sebenarnya
sistem tradisional masih berjalan terus.
Usaha yang dilakukan oleh Daendels membutuhkan banyak biaya untuk
menunjang jalannya program-program yang di jalankan Daendels, sehingga Daendels
menempuh jalan sebagai berikut: Melaksanakan Contingenten yaitu keharusan bagi
rakyat untuk menyerahkan pajak berupa hasil bumi, melaksanakan Verplichte Leverantie
yaitu keharusan bagi rakyat untuk menjual paksa hasil bumi kepada pemerintah dengan
harga yang telah ditetapkan pemerintah. Penjualan tanah kepada orang-orang partikelir
(orang Belanda atau Cina, sehingga lahirlah tanah-tanah milik swasta (particuliere
landerijen). Melaksanakan Preanger Stelsel yaitu keharusan bagi rakyat Priangan untuk
menanam kopi dan perluasan tanaman kopi karena hasilnya menguntungkan.
Setelah Inggris memblokade Hindia Belanda, pemerintahan Daendels mengalami
kesulita keuangan, satu-satunya pemasukan yang diperolehnya adalah dari pajak yang
dikenakan pada penjualan barang, tol jalan, penjualan & penyewaan tanah, judi, rumah
madat dan banyak lagi, pencetakan assigant, dan penjualan tanah seperti penjualan tanah
seperti yang berlangsung pada wilayah Besuki dan Panarukan kepada Kapiten Cina di
Surabaya, Han Chan Pit. Terakhir ia menjual tanah seluas Besuki dan Panarukan di
Probolinggo kepada saudara Han Chan Pit, Han Ki Ko. Yang kemudian memunculkan
istilah tanah partikelir.
Munculnya tanah partikelir berkaitan dengan praktek penjualan atau penyewaan
tanah yang dilakukan oleh orang – orang Belanda dan pemilik tanah jabatan (apanage)
kepada masyarakat swasta (partikelir). Mereka menjual atau menyewa tanahnya karena
kekurangan uang. Para pemilik tanah partikelir biasa disebut sebagai tuan tanah. Mereka
adalah orang-orang kaya yang berusaha mencari keuntungan sebesar-besarnya di tanah
jajahan. Sejak masa pemerintahan VOC, Daendels dan Raffles, para tuan tanah non
pribumi itu terdiri dari orang-orang Belanda, Cina dan Arab. Para tuan tanah partikelir
memiliki kedudukan dan kekuasaan seperti kepala desa atau bupati. Hal ini disebabkan
apabila mereka membeli atau menyewa tanah yang luas, mereka tidak saja memiliki
tanahnya, melainkan dengan segenap penduduk yang tinggal di tanah tersebut. Oleh
karena itu penduduk di tanah partikelir harus tunduk dan patuh kepada aturan – aturan
yang di berlakukan para tuan tanah.

3. Penguasaan Tanah pada masa Raffles

Kebijakan-kebijakan politik pemerintahan Raffles berdasarkan asas-asas Liberal


(kebebasan). Asas liberal amat menekankan kebebasan dan persamaan manusia. Maka,
kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Raffles di Indonesia tidak sekejam dan sekeras
pemerintah Kolonial Belanda. Pada 1811-1816, Raffles menerapkan istem pajak tanah
(landrent) sebagai pengganti kebijakan yang diterapkan oleh VOC.

Isi dari Landrent antara lain adalah, menghapuskan segala penyerahan paksa
hasil-hasil tanah dengan harga-harga yang tidak pantas, dan penghapusan semua rodi,
dengan memberikan kebebasan penuh dalam penanaman dan perdagangan. Pengawasan
tertinggi dan langsung dilakukan oleh pemerintah atas tanah-tanah dengan menarik
pendapatan dan sewaannya tanpa perantara bupati-bupati, yang pekerjaannya selanjutnya
akan terbatas pada pekerjaan-pekerjaan umum. Menyewakan tanah-tanah yang diawasi
pemerintah secara langsung itu dalam persil-persil besar atau kecil, menurut keadaan
setempat, berdasarkan kontrak-kontrak untuk waktu yang terbatas.

Sistem sewa tanah tidak dilaksanakan di seluruh Jawa. Misalnya saja di daerah
sekitar Batavia, maupun di daerah-daerah Priangan sistem sewa tanah tidak diadakan,
karena daerah-daerah sekitar Batavia pada umumnya adalah milik swasta (tanah
partikelir), sedangkan di daerah Priangan pemerintah kolonial berkeberatan untuk
menghapus sistem tanam wajib kopi yang memberi keuntungan yang besar dan
menghasilkan hasil ekspor yang utama. Karena itu di Priangan sistem pemerintahan lama
tetap dipertahankan, dengan nama stelsel Priangan (Preangerstelsel) dan berlangsung
terus sampai tahun 1870. Hal pertama yang dilakukan Raffles dalam melaksanakan
sistem sewa tanah adalah menggantikan kekuasaan kepala daerah yang kuno dengan
suatu pemerintahan Eropa yang langsung. Jadi dalam melakukan pembayaran pajak,
rakyat langsung membayar ke pusat tidak melalui perantara penguasa daerah. Raffles
tidak menggunakan para bupati atau penguasa daerah untuk memungut pajak karena
supaya tidak terjadi korupsi dan pemerasan terhadap rakyat. Sistem ini memang sangat
bagus, tapi nantinya akan menjadi kelemahan kebijakan Raffles.

Dengan tidak digunakannya para penguasa daerah ini, maka pejabat-pejabat dari
Eropa mengisi jabatan yang dulunya diemban oleh para penguasa daerah tersebut.
Bertambahnya pengaruh dari pejabat-pejabat Eropa, pengaruh para Bupati semakin
berkurang. Bahkan diantara pejabat-pejabat Eropa timbul keinginan untuk
menghilangkan sama sekali jabatan bupati. Tidak mengherankan bahwa perkembangan
ini sangat menggelisahkan para bupati yang sebelum Raffles mempunyai kekuasaan dan
gengsi sosial yang amat besar. Ketika jaman VOC maupaun kolonial Belanda, para
Bupati diberi tanah sebagai imbalan atas jasa-jasa mereka dalam mengelola pajak atau
upeti. Bukan saja tanah yang mereka peroleh, akan tetapi menurut kebiasaan adat mereka
dapat pula menuntut peneyerahan wajib hasil-hasil pertanian maupun hasil kerja rodi dari
penduduk yang tinggal di atas tanah milik bupati tersebut. Di bawah Raffles kebiasaan ini
dihapus dan para bupati kemudian diberi gaji dalam bentuk uang untuk jasa-jasa mereka
kepada pemerintah kolonial

Meskipun masa kekuasaan Inggris tidak lama, namun Inggris telah membuat satu
perubahan fundamental terkait politik pertanahan di tanah air. Jika sebelumnya
penyerahan rakyat atas VOC berupa upeti, maka Inggris memperkenalkan pembayaran
sewa yang nilainya sebesar dua pertiga hasil panen. Menurut Raffles semua tanah adalah
eigendom (milik pemerintah), sedangkan rakyat adalah pachter (penyewa). Ia
menganggap bahwa pemerintah Inggris sebagai pengganti raja menjadi pemilik atas
tanah. Karena rakyat tidak dianggap memiliki tanah, maka pemerintah Inggris
menyewakan tanah untuk mereka dengan imbalan pembayaran sewa tanah.
Kebijakan Rafles ini juga berimplikasi pada keberadaan tanah-tanah ulayat yang
dimiliki oleh masyarakat. Raffles menganggap tanah ulayat tidak boleh dijadikan hak
milik, sehingga pemilik tanah ulayat hanya memiliki hak penguasahaan saja. Dengan kata
lain, tetap harus membayar sewa pada pemilik sebenarnya, yaitu pemerintah Inggris.
Raffles juga menetapkan bahwa pemerintah Inggris lah yang berhak untuk mengawasi
secara langsung atas tanah-tanah dengan menarik pendapatan dan sewanya, tanpa
perantaraan bupati-bupati. la tampaknya ingin menghapuskan feodalisme atas tanah
secara radikal. Serta melemahkan kekuasaan para pemimpin lokal, baik Bupati maupun
para raja.

4. Penguasaan Tanah pada masa Cultuur Stelsel


Sekitar tahun 1830 pemerintah Hindia-Belanda mengalami keadaan ekonomi
yang sangat buruk, yaitu sedang mengalami kesulitan keuangan berupa kas negara
kosong yang disebabkan oleh banyaknya pengeluaran untuk biaya perang, perang
Diponegoro serta pemberontakan dari Belgia dan Belanda terlilit hutang luar negeri.
Pada tahun 1830 pemerintah kolonial Belanda menjalankan Cultuurstelsel di
Indonesia, khususnya di Jawa. Cultuurstelsel adalah istilah resmi pengganti cara produksi
yang tradisional dengan cara produksi yang rasional, disebut juga dengan istilah “tanam
paksa” oleh kaum liberal yang anti cara itu karena dianggap sebagai usaha pemerintah
yang dalam pelaksanaannya menggunakan cara-cara paksaan. Pemerintah kolonial
Belanda menjalankan tanam paksa tersebut karena kas negara kosong, akibat terjadinya
beberapa peperangan di Jawa dan kegagalan dalam pajak tanah. Cultuurstelsel sendiri
mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi
ekspor, khususnya kopi, tebu, dan nila. Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah
kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada
pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari
dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Van den Bosch mengharapkan agar dengan pungutan-pungutan pajak dalam in natura ini
tanaman dagangan bisa dikirimkan ke Belanda untuk dijual disana kepada pembeli-
pembeli dari Amerika dan seluruh Eropa dengan keuntungan yang besar bagi pemerintah
dan penguasa-pengusaha Belanda.
Pelaksanaan tanam paksa dalam kenyataannya tidak sesuai dengan peraturan yang
berlaku pada masa itu. Menurut ketentuan, pemerintahan kolonial seharusnya
mengadakan perjanjian dengan rakyat terlebih dahulu, tetapi dalam prakteknya,
dilakukan tanpa perjanjian dengan penduduk desa sebelumnya dan dengan cara paksaan.
Sehingga, banyak terjadi penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan
oleh pegawai kolonial, bupati dan kepala desa itu sendiri mengakibatkan timbul
penderitaan pada penduduk desa yang bersangkutan. Bupati dan kepala desa bekerja
bukannya mengabdi kepada kepentingan rakyat desa melainkan kepada pemerintah
kolonial atau demi kepentingan pribadi, membuat merosotnya martabat dan kewibawaan
pejabat-pejabat yang bersangkutan dan juga dianggap sebagai kaki tangan pemerintah
kolonial.
Selain pernyataan diatas penyimpangan-penyimpangan dalam sistem tanam paksa
diantaranya sebagai berikut :
1. Perjanjian tersebut seharusnya dilakukan dengan sukarela, tetapi dalam
pelaksanannya dilakukan dengan cara paksaan. Pemerintah kolonial memanfaatkan
pejabat-pejabat lokal seperti bupati dan kepala-kepala daerah untuk memaksa rakyat
agar menyerahkan tanah mereka.
2. Di dalam perjanjian, tanah yang digunakan untuk Culturstelsel adalah seperlia sawah,
namun dalam prakteknya dijumpai lebih dari seperlima tanah, yaitu sepertiga atau
setengah sawah.
3. Waktu untuk bekerja untuk tanaman yang dikehendaki pemerintah Belanda, jauh
melebihi waktu yang telah ditentukan. Waktu yang ditentukan adalah 65 hari dalam
setahun, namun dalam pelaksanaannya adalah 200 sampai 225 hari dalam setahun.
4. Orang yang dipekerjakan berasal dari tempat-tempat yang jauh dari kampungnya,
padahal manakan harus disediakan sendiri.
5. Tanah yang digunakan untuk penanaman tetap saja dikenakan pajak sehngga tidak
sesuai dengan perjanjian
6. Kelebihan hasil tidak dikembalikan kepada rakyat atau pemilik tanah, tetapi dipaksa
untuk dijual kepada pihak Belanda dengan harga yang sangat murah;
7. Dengan adanya sistem persen yang diberikan kepada para pejabat lokal, maka para
pejabat itu memaksa orang-orangnya supaya tanamannnya bisa menghasilkan lebih
banyak.
8. Tanaman pemerintah harus didahulukan baru kemudian menanam tanaman mereka
sendiri. Kadang-kadang waktu untuk menanam; tanamannya sendiri itu tinggal sedikit
sehingga hasilnya kurang maksimal.
9. Kegagalan panen tetap menjadi tanggung jawab para pemilik tanah.

Van den Bosch memanfaatkan adanya ikatan feodal untuk memaksakan kebijakan
Cultuurstelsel melalui pengaruh para bupati. Kebijakan ini berupaya memperbesar
kekuasaan bupati dengan cara memberi apanage berupa tanah yang diwariskan.
Cultuurstelsel sangat merugikan kepentingan petani karena membatasi pembukaan tanah-
tanah baru sementara tanah pertanian yang sudah ada terus dibagi-bagi. Akibat buruk dari
politik Cultuurstelsel ini menimbulkan kekacauan dan penderitaan di Jawa, serta
mendapat kecaman dari segolongan orang Belanda sendiri.
Daftar Pustaka

Buku:
Gunawan Wiradi, 2009. Seluk Beluk Masalah Agraria, Yogyakarta: STPN.
Prof. Dr. H. Muchsin, SH, dkk, 2010. Hukum Agraria Indonesia dalam Perspektif
Sejarah, Bandung: Refika Aditama

Sediono MP. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, 2004. Pembaruan Agraria : Antara
Negara dan Pasar dalam Jurnal Analisis Sosial vol.9 no.1 April 2004, Bandung :
Akatiga.

________, 1984. Dua abad penguasaan tanah: pola penguasaan tanah pertanian di
Jawa dari masa ke masa (edisi revisi). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Artikel :

Agung Ari Widodo. Sistem Penguasaan Tanah pada masa Pemerintahan Letnan
Gubernur Jenderal Raffles (1811-1816). http:/bung-
agung.blogspot.com/2009/2/sistem-penguasaan-tanah-pada-masa.html (diakses
pada tanggal 2 Januari 2014 pukul 19.50).

Ahmadin. Masalah Agraria di Indonesia masa Kolonial. http://ahmadin-


umar.blogspot.com/2012/06/masalah-agraria-di-indonesia-masa.htm (diakses
pada tanggal 2 Januari 2014 pukul 19.36).

Dwi Putro Sugiarto. SEJARAH KONFLIK AGRARIA BERKEPANJANGAN DI


MASA PRA KEMERDEKAAN. http://tnrawku.wordpress.com/2012/3/12/
sejarah-konflik-agraria-berkepanjangan-di-masa-pra-kemerdekaan/ (diakses
pada tanggal 2 Januari 2014 pukul 20.18).

Gardu Opini. “PERKEMBANGAN KEKUASAAN BARAT di INDONESIA PASCA


VOC” – resume. http://garduopini.wordpress.com2012/03/28/perkembangan-
kekuasaan-barat-di-indonesia-pasca-voc-resume/ (diakses pada tanggal 2 Januari
2014 pukul 20.14).

Iwan Nurdin. Pola Umum Penguasaan Tanah Era Kolonial Di Jawa.


http://ppijkt.wordpress.com/2007/12/17/pola-umum-penguasaan-tanah-era-
kolonial-di-jawa-1/ (diakses pada tanggal 2 Januari 2014 pukul 20.23).

Mitha Faruk. Sejarah Indonesia. http:/mithafaruk111.blogspotcom/2013/02/sejarah-


indonesia7.htm (diakses pada tanggal 2 Januari 2014 pukul 20.28).

Anda mungkin juga menyukai