Anda di halaman 1dari 11

SEJARAH PEREKONOMIAN JAWA TIMUR

SEJAK ZAMAN KOLONIAL SAMPAI SEKARANG

Paper ini disusun untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah Metodologi Penelitian Kelas AA
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Khusnul Ashar, SE., M.A.

Disusun Oleh :

1. Hosmiyati (155020101111015)
2. Siska Andriani (155020101111019)
3. Nabilah Azzah (155020101111022)
4. Renny Maykhawati (155020101111026)

JURUSAN ILMU EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
BAB I
TEORI, KONSEP, DEFINISI

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Era Kolonial
Perubahan sistem pemerintahan di suatu daerah biasanya berpengaruh
juga terhadap kehidupan ekonomi di daerah tersebut. Pada masa VOC,
disebutkan secara formal bahwa awal berdirinya organisasi tersebut
merupakan sebagai badan perniagaan, namun kemudian ia mengubah
fungsinya menjadi luas yaitu ikut dalam bidang politik.
Jenis komoditas yang paling unggul pada era colonial yaitu kopi. Pada
abad ke-19 tepatnya pada tahun 1799 permintaan kopi sampai mencapai
6.000 ton. Namun, menjelang pemerintahan Daendels yakni pada tahun 1805
persediaan kopi habis. Mulai pemerintahan Daendels penanaman kopi
disebarkan lagi sampai ke Jawa Timur, bahkan daerah Malang mulai di buka
perusahaan perkebunan besar (groote cultuur), dan terbukti daerah Malang
baik sekali untuk ditanami kopi.
Meskipun hasil kopi di Jawa Timur tersebut cukup baik, namun di akhir
pemerintahan Daendels terjadi blockade yang sangat kuat antara Inggris
terhadap Belanda. Sehingga ekspor kopi menjadi terhambat. Namun,
Daendels mulai mengubah jalan lain untuk memperlancar ekonominya
kembali dengan cara :
1. Mencari penghasilan dengan jalan mempergunakan sistem Contingenten
yaitu pembayaran pajak in natura atau keharusan membayar pajak tidak
dengan uang
2. Penjualan tanah-tanah yang luas kepada orang-orang partikelir, Daerah
Panarukan dan Probolinggo dibeli orang Cina bernama Han Ti Ko
3. Mengeluarkan uang kertas dengan jaminan penjualan tanah-tanah
tersebut. Jadi rakyat harus menjual tanahnya, kemudian dibayar dengan
uang kertas yang dikeluarkannya
4. Mengadakan monopoli dalam penjualan beras dan mengadakan
pinjaman paksa kepada orang-orang yang dianggap “berada”. Jika ia
menolak pinjaman tersebut maka ia harus di hukum
5. Pegawai-pegawai Belanda yang semula giat melakukan perdagangan kini
diberantas
6. Para bupati yang pada dasarnya ingin disingkirkan oleh Deandels,
diperkecil yakni hanya dengan menggaji sebagai pegawai negeri.
Dengan tindakan-tindakan tersebut diatas yang mana Deandels tidak
membedakan baik itu bangsa yang dijajah maupun orang-orang Belanda,
maka akibatnya dia dibenci oleh seluruh masyarakat. Akibatnya
perekonomian menjadi merosot.
Kesempatan tersebut dipergunakan oleh Inggris yang memang sudah
lama menunggunya, sehingga pada tahun 1811 ekspedisi Inggris dibawah
Lord Minto melakukan peperangan hanya dalam waktu setengah bulan,
Pada saat itu Belanda mengalami kekalahan, sehingga saat itu secara formal
Indonesia berada di bawah pemerintahan Inggris.
Berikut merupakan tindakan Inggris terhadap perekonomian di Jawa
Timur :
1. Pemerintah mengadakan monopoli garam di Madura, pembuatan arak
dan lain-lain, yang kesemuanya ini mendatangkan hasil yang sangat
besar bagi pemerintah jajahan
2. Sistem Contingenten dan penyerahan wajib yang diadakan oleh Belanda
diganti dengan sistem pajak tanah. Dasar hukum, pajak ini menurut
Raffles ialah : Bahwa dahulu tanah-tanah ini adalah milik raja. Raja-raja
itu kemudian menyerah kepada Inggris, maka dengan sendirinya tanah-
tanah itu jatuh ke tangan Inggris. Rakyat dahulu menyewa tanah itu
kepada raja dengan membayar sewanya berupa upeti, maka sekarang
sewa tanah itu diganti menjadi : pajak tanah
3. Karena Raffles juga kekurangan uang, maka ia pun meniru Daendels
yaitu menjual tanah Ciasem, Tegalwaru (Jawa Barat), kepada orang-
orang partikelir. Tetapi disamping itu ia membeli kembali tanah-tanah
partikelir di Panarukan dan Probolinggo yang dahulu dijual Daendels.
Pemebelian kembali tanah tersebut disebabkan karena adanya
kerusuhan rakyat di daerah tersebut akibat adanya tindakan yang
sewenang-wenang dari pemilik tanah partikeler tersebut. Untuk
menghindari hal itu, maka atas kebijaksanaan Raffles tanah tersebut
dibeli kembali.
Dengan dilakukannya penjualan tanah tersebut mengakibatkan adanya
tuduhan dari Gillespie yang dikemukakan kepada pemerintah Inggris, bahwa
Raffles akan memperkaya dirinya sendiri. Hal ini diterima oleh Inggris,
akhirnya dikeluarkan Konvensi London tahun 1816 sehingga kekuasaan
Inggris di Indonesia berakhir.
Kejadian tersebut mengakibatkan Indonesia dikuasai oleh Belanda,
yang pada tahun 1830 yakni masa pemerintaha Johannes Van Den Bosch
mulai lagi melaksanakan sistem Tanam Paksa. Pokok-pokok peraturan
Tanam Paksa antara lain sebagai berikut :
1. Akan dibuat suatu perjanjian dengan rakyat, tenatang pemberian
sebagian dari tanah pertaniannya (sawah), untuk ditanami dengan
tumbuhan yang berguna bagi pasar Eropa
2. Tanah yang diberikan oleh penduduk tidak lebih dari 1/5 dari semua
tanah pertanian dari suatu desa
3. Tenaga yang dipergunakan untuk menanam tumbuhan tersebut, tidak
akan lebih dari tenaga yang dipergunakan untuk menanam padi
4. Tanah yang diberikan itu akan dibebaskan dari Land Rente (Pajak tanah)
5. Hasil dari tanaman yang diserahkan kepada pemerintah, jika harganya
ditaksir melebihi pembayaran Land-Rente, kelebihannya akan diberikan
kepada penduduk
6. Salah tumbuh akan ditanggung oleh pemerintah, jika kesalahan itu tidak
disebabkan karena rakyat kurang rajin di dalam mengerjakanya
Jika dilihat dari dasar peraturan Tanam Paksa tersebut kelihatannya
tidak memberatkan rakyat. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Sistem
Tanam Paksa tersebut memaksa para petani untuk menyerahkan hasil
tanaman wajib yang berorientasi kepada bahan dagangan yang laku di pasar
luar negeri. Tanaman wajib itu antara lain berupa : Tebu, kopi, tembakau,
nila, kapas dan kayu manis. Hasil tanaman wajib itu harus dikumpulkan dan
ditimbun di salah satu pelabuhan, yang kemudian untuk diekspor. Di Jawa
Timur kota pelabuhan yang dimasksud ialah Pasuruan dan Surabaya. Akibat
dari kebutuhan itu, maka mulai dibangun jalan raya dan muncul pula pabrik-
pabrik yang didirikan oleh orang-orang partikelir (Cina).
Pelabuhan Pasuruan dan Surabaya bertambah ramai, terutama pada
saat di keluarkannya Undang-undang Pokok Agraria tahun 1870, yang berisi
tentang kebijaksanaan pemerintah Belanda mengenai status milik tanah
rakyat (bumiputra) Indonesia dan status penggunaan tanah oleh orang-orang
partikelir. Yang dimaksud dengan orang-orang partikelir ialah para kapitalis
asing (penanam modal asing). Atas dasar ini maka para kapitalis asing mulai
menanamkan modalnya di Indonesia pada beberapa bidang usaha misalnya
perkebunan, pertambangan, pengangkutan dan lain-lain.
Banyaknya para kapitalis asing yang menanamkan modalnya di
Indonesia, maka perkebunan Indoneisa mulai berkembang, misalnya coklat.
Pada mulanya pohon coklat yang ditanam di Jawa hanya berfungsi sebagai
perhiasan pekarangan rumah-rumah pejabat tinggi (kompeni), kemudian
tanaman itu dikembangkan di perkebunan partikelir. Pada tahun 1880 di
Jawa Timur tanaman coklat mulai dibudidayakan atau diperkebunkan. Jenis
coklat yang ditanam di Jawa ialah jenis coklat Criollo. Para pengusaha
perkebunan berpendapat, bahwa tanaman coklat perlu ditanam bercampur
dengan tanaman lain. Kemudian mulai diusahakan adanya tanaman pala dan
kapok di antara tanaman coklat. Demikian juga tananaman lada, koka dan
kemukus, ditanam di sebagai pelindung angin.
Tanaman serta produksi kopi yang pada awal abad ke-19 maju dengan
pesatnya di Jawa Timur, ternyata tidak tahan lama. Sebab pada akhir abad
ke-19 tepatnya pada tahun 1888 mengalami penurunan produksi ketika kopi
Afrika dan kopi Liberia diserang penyakit daun (hemileiavastatrix). Sehingga
kopi tersebut tidak dibudidayakan kembali. Namun setelah itu, ditemukan
jenis kopi yang baik yaitu kopi Robusta (robust = tegap kuat), maka kopi ini
ditanam pula di antara coklat, karena kurangnya lahan yang tersedia.
Tanaman tumpang sari yang demikian itu, mengakibatkan mudah sekali
terserang hama atau penyakit. Sedangkan tanaman coklat jenis Criollo ini
justru sangat peka terhadap hama. Sehingga pada tahun 1900 budidaya
coklat hampir mengalami kemusnahan, terutama karena adanya serangan
hama Helopeltis dan Cacao-mot (Acrocercrops Cramerella). Budidaya coklat
masih dapat dipertahankan dengan didirikannya Balai Penyelidikan Khusus
untuk Budidaya Coklat di bawah pimpinan Dr. L. Zethner pada tahun
1901/1902.
Selain kopi dan coklat, tebu juga menjadi sasaran dari penanaman
modal asing pada perkebunan besar. Tebu ini biasanya diolah menjadi gula.
Awalnya tebu hanya merupakan usaha rakyat kecil-kecilan yang pada proses
produksinya tidak menggunakan mesin, melainkan menggunakan tenaga
hewan (lembu, kerbau). Pengusaha kecil ini biasanya berasal dari bangsa
Cina dan hanya dikerjakan di pekarangan masing-masing, dan sifatya home
industry. Kemudian setelah adanya modal asing (setelah tahun 1870),
transportasi mulai berjalan dengan lancar, terutama antara Surabaya –
Pasuruan – Malang. Pada tahun 1879 hubungan kereta api antara Malang –
Surabaya dibuka, maka mulai saat itu pabrik-pabrik gula muncul meramaikan
sepanjang jalan kereta api tersebut. Perkembangan selanjutnya, produksi
gula mencapai puncak kemegahannya baru pada tahun 1900.
Dari seluruh pulau Jawa, Pasuruan merupakan daerah tebu yang paling
besar pada waktu itu. Seperlima (33.600 bau) dari areal tebu di seluruh Jawa
(17.500 bau) berada di Pasuruan. Oleh karena itu pada tahun 1900 didirikan
suatu Proefstation Tebu (tempat penyelidikan dan percobaan tebu) di
Pasuruan. Dengan demikian hasil tebu tersebut semakin besar sehingga
pajak yang masuk ke pemerintah juga besar, bahkan merupakan bagian
terbesar dari pendapatan negara. Tanpa pajak dari industry gula, keuangan
negara akan kacau. Maka tidak diherankan lagi apabila pemimpin-pemimpin
atau pemilik-pemilik pabrik gula (suiker baronen) ini memiliki kekuasaan atau
pengaruh yang besar terhadap pemerintah. Jadi, yang merajai ekonomi
Indonesia pada saat itu merupakan ondernemers-bond (gabungan
pengusaha-pengusaha) Belanda.
Besarnya penghasilan tebu ini sangat menguntungkan pemerintah
Belanda, namun tidak untuk rakyat Indonesia karena semuanya dilaksanakan
secara paksa (tanam paksa). Sehingga wajar apabila pada tahun 1833 terjadi
perlawanan dan huru-hara di perkebunan tebu Pasuruan. Bahkan tidak di
Pasuruan saja, tetapi juga di beberapa tempat di Indonesia. Namun,
perlawanan dari rakyat Indonesia ini tidak begitu dipedulikan oleh Pemerintah
Belanda.
Akan tetapi, pada saaat muncul 2 orang tokoh Humanis Belanda yakni
Eduard Douwes Dekker seorang pamong Praja dan sastrawan serta Baron
van Hoevel seorang pendeta dan politikus, pemerintah Belanda mulai
menghiraukan perlawanan rakyat Indonesia. Tantangan kedua orang ini
terhadap Tanam Paksa berdasarkan atas prinsip etika perikemanusiaan.
Kemelaratan yang luar biasa akibat adanya sistem tersebut, dirasakan
sebagai suatu perbuatan yang tidak mempunyai perikemanusiaan. Oleh
karena itu kedua orang tersebut memprotes adanya pelaksanaan Tanam
Paksa tersebut, baik melalui karangan-karangan dalam bukunya maupun
melalui parlemen di negeri Belanda. Kedua orang inilah yang merupakan
perintis dari politik etika, yang kemudian mendapat formulasi yang jelas pada
permulaan abad ke-20.
2.2 Era Orde Baru
Rencana Pembangunan Lima Tahun
Repelita atau Rencana Pembangunan Lima Tahun adalah satuan
perencanaan yang dibuat oleh pemerintah Orde Baru di Indonesia.
 Repelita I (1969–1974) bertujuan memenuhi kebutuhan dasar dan
infrastruktur dengan penekanan pada bidang pertanian.
 Repelita II (1974–1979) bertujuan meningkatkan pembangunan di pulau-
pulau selain Jawa, Bali, dan Madura, di antaranya melalui transmigrasi.
 Repelita III (1979–1984) menekankan bidang industri padat karya untuk
meningkatkan ekspor.
 Repelita IV (1984–1989) bertujuan menciptakan lapangan kerja baru dan
industri.
 Repelita V (1989–1994) menekankan bidang transportasi, komunikasi
dan pendidikan.

REPELITA II
Kegiatan perekonomian yang ada
Dari seluruh kegiatan perekonomian, sektor pertanian masih merupakan
kegiatan yang utama di Jawa Timur. Kira-kira 49% pendapatan daerah berasal
dari sektor pertanian, 15% berasal dari sektor industri/pertambangan, 31%
berasal dari sektor jasa dan 5% dari sektor pembangunan.
Dala tahun 1970 produksi padi Jawa Timur mencapai angka 4,350,114
ton dengan luas panenan 1,207,635 ha. Produksi padi sawah naik dari 3 ton per
ha dalam tahun 1960, menjadi 3,7 ton per ha dalam tahun 1970.
Dalam pada itu jagung pun merupakan tanaman yang penting bagi Jawa
Timur. Luas panenan rata-rata dalam 10 tahun terakhir ialah 1,259,682 ha,
sedangkan produksi rata-rata per tahun ialah 712,364 ton.
Hasil tanaman palawija lain yang penting ialah ketela pohon, ketela
rambat, kedelai dan kacang tanah. Poduksi datur-sayuran dan buah-buahan pun
cukup besar.
Di luar penghasilan padi dan palawija, daerah Jawa Timur juga
menghasilkan tanaman-tanaman perkebunan seperti; karet, kopi, coklat, teh,
cengkeh, kapuk, kelapa, serat, tambakau, tebu, jarak, lada, pala, panili dan
kapas.
Dari usaha kehutanan dihasilkan kayu, baik untuk keperluan bangunan,
perabot rumah tangga dan perumahan serta sebagai bahan ekspor.
Di samping usaha pertanian seperti diatas, masih dilengkapi dengan
usaha peternakan seperti: sapi, babi, kerbau, kambing, domba, ternak unggas;
kegiatan perikanan laut (tambak dan penangkapan ikan laut) serta kegiatan
perikanan darat.
Di bidang perindutrian, Jawa Timur memiliki kegiatan industri dari
berbagai jenis, antara lain perindustrian dasar, ringan, dan kerajinan rakyat.
Dalam tahun 1969 terdapat 86,404 unit perusahaan dari berbagai jenis industri,
dengan jumlah investasi Rp. 58,042 juta dan dapat menampung tenaga kerja
sebanyak 235,321 orang. Sampai tahun 1971 baik jumlah unit perusahaan
maupun jumlah investasi dan tenaga kerja yang dapat ditampung naik dengan
pesat, unit perusahaan mengalami kenaiakan sebesar 37%, jumlah tenaga kerja
naik 59% sedang investasi naik kira-kira 60%.
Hasil perindustrian di Jawa Timur yang terpenting di antaranya dialah:
semen, kertas, pupuk, tekstil, industri yang mengolah pertanian, serta
perindustrian rakyat, antara lain batik, tenunan, anyam-anyaman, keramik, dan
sebagainya. Dalam tahun 1971, jumlah tenaga kerja pada sektor perndustrian
kira-kira 5% dari jumlah angkatan kerja di Jawa Timur. Surabaya dan Malang
merupakan pusat perindustrian dasar, antara lain kimia dan industri assembling
sedang kerjainan rakyat tersebar di daerah Kediri, Madiun, dan Madura.
Di bidang pertambangan yang telah dieksploitir adalah minyak bumi di
Wonokromo. Hasil tambang yang dikerjakan oleh rakyat ialah belerang, gips, dan
kapur sebagai bahan bangunan.
Pariwisata dapat merupakan sumber penghasilan daerah. Dengan
adanya tempat peristirahatan, rekreasi, tempat peninggalan sejarah, monumen
alam, cagar alam, dn lain-lain obyek pariwisata diharapkan dapat menarik
perhatian wisatawan.

REPELITA IV
Secara umum, sektor pertanian masih meupakan sektor utama di dalam
perekonomian masyarakat Jawa Timur. 36% dari nilai pendapatan regional pada
tahun 1980 berasal dari sektor pertanian. Di samping menghasilkan bahan
makanan seperti padi, jagung, kacang tanah, ubi kayu, ubi rambat, berbagai
macam buah-buahan dan sayuran, Jawa Timur juga meupakan daerah penghasil
utama berbagai hasil perkebunan seperti tembakau, tebu, kopi, coklat, karet,
cengkeh, kapuk, kapas, dan vanili. Hasil peternakan yang menonjol dari daerah
Jawa Timur adalah sapi, kerbau, kambing/domba dan unggas, di samping itu
Jawa Timur juga merupakan hasil utama perikanan darat dan laut. Jawa Timu
juga merupakan daerah penghasil utama hasil kehutanan terutama kayu jati.
Hampir 75% dari penduduk Jawa Timur masih bekerja di dalam sektor pertanian.
Sektor-sektor perdagangan dan induatri adalah sektor-sektor yang
menonjol di Jawa Timur setelah sektor pertanian dan sumbangannya terhadap
pendapatan regional adalah masing-masing 22% dan 15%. Perdagangan besar
dan industri terutama terpusat di jota-kota Surabaya, Malang, dan beberapa kota
besar lainnya.
Agar pertumbuhan ekonomi dapat berlangsung secara lebih merata,
maka diusahakan kebijaksanaan-kebijaksanaan tata-ruang yang meyangkut
penyebaran industri, penyebaran berbagai kemudahan, serta fasilitas sosial dan
kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, Jawa Timur dikelompokkan menjadi
beberapa wilayah pembangunan sebagai berikut:
1. Wilayah Pembangunan I dengan Tuban sebagai pusatnya meliputi
Bojonegoro, Babat dan Pakah. Kegiatan utama di wilayah ini adalah
kehutanan dan perdagangan;
2. Wilayah Pembangunan II dengan Madiun sebagai pusatnya meliputi
Ponorogo, Magtan, Nganjuk, Ngawi, Trenggalek dan Pacitan. Kegiatan
utamanya di wilayah ini adalah produksi bahan galian dan hasil hutan;
3. Wilayah Pembangunan III dengan Kediri sebagai pusatnya meliputi
Tulungagung, Blitar dan Kertosono. Kegiatan utama di wilayah ini adalah
pertanian dan perkebunan.
4. Wilayah Pembangunan IV dengan Malang sebagai pusatnya meliputi daerah
dataran tinggi tengah. Kegiatan utama di wilayah ini adalah pertanian,
perkebunan dan industri pertanian;
5. Wilayah Pembangunan V dengan Jember sebagai pusatnya meliputi daerah
dataran rendah sebelah timur. Kegiatan utama di wilayah ini adalah
perkebunan;
6. Wilayah Pembangunan VI dengan Banyuwangi sebagai pusatnya meliputi
Jawa Timur bagian timur. Kegiatan utama di wilayah ini adalah perdagangan;
7. Wilayah Pembangunan VII adalah Pulau Madura dengan Sumenep sebagai
pusatnya. Kegiatan utama di wilayah ini adalah peternakan, perikanan dan
industri garam;
8. Wilayah Pembangunan VIII dengan Probolinggo sebagai pusatnya meliputi
Lumajang, Pasuruan dan Probolinggo. Pusat kegiatan di wilayah ini adalah
perdagangan;
9. Wilayah Pembangunan IX dengan Surabaya sebagai pusatnya meliputi
Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan. Kegiatan
utama di wilayah ini adalah perindustrian, perdagangan, dan jasa.

REPELITA V
Dalam PJP I, pembangunan Propinsi Jawa Timur telah meningkat dengan
cukup berarti. Pada tahun 1990, produk domestik regional bruto (PDRB) nonmiga
Propinsi Jawa Timur atas dasar harga konstan tahun 1983 adalah sebesar
Rp16.729.515 juta. Jika dilhar dari pangsa sumbangan sektoral terhadap
pembentukn PDRB nonmigas, sektor pertanian memberikan sumbangn tertinggi
(26.8 persen), diikuti oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran (21.7 persen),
serta sektor industri (20.3 persen). Dalam periode 1983-1990 laju pertumbuhan
PDRB nonmigas tercatat sebesar 6.4% per tahun. Sektor yang mengalami
pertumbuhan cukup tinggi adalah sektor bank dan lembaga keuangan lainnya
(18.5%), sektor industri pengolahan (9.8%), dan sektor bangunan (8.2%).
PDRB nonmigas per kapita tahun 1990 atas dasar harga kostan tahun
1983 mencapai Rp 515 ribu. Dibandingkan dengan angka tahun 1983 yang
besarnya 356 ribu, terjadi peningkatan dengan laju pertumbuhan rata-rata
sebesar 5.42 persen per tahun.
Laju pertumbuhan perekonomian Daerah Tingkat I Jawa Timur tersebut
didukung oleh laju pertumbuhan ekspor nonmigas rata-rata sebesar 27.85
persen per tahun antara tahun 1987 dan 1992 dengan komoditas andalan produk
tekstil, kayu, dan perikanan.
Pembangunan di bidang kesejahteraan sosial telah menghasilkan tingkat
kesejahteraan sosial yang lebih baik berdasarkan berbagai indikator. Dilihat dari
meningkatnya jumlah penduduk melek huruf dari 47.52% (1971) menjadi 77.28%
(1990) dan usia harapan hidup penduduk dari 52.5 tahun pada 1971 menjadi
62.9 tahun pada 1990. Di samping itu angka kematian bayi per seribu kelahiran
menurun dari 108 (1971) menjadi 57 (1990). Peningkatan kesejahteraan tersebut
juga didukung oleh peningkatan pelayanan keseatan yang semakin merata dan
semakin luas jangkauannya.
Tingkat pendidikan rata-rata penduduk Jawa Timur juga menunjukkan
kemajuan yang berarti seperti yang diperlihatkan oleh angka partisipasi kasar
sekolah dasar (SD) tahun 1992 telah mencapai 108.2%, dibandingkan tahu 1972
yang baru mencapai 56.8%. angka partisipasi tahun 1992 tersebut lebih tinggi
daripada tingkat nasional, yaiut sebesar rata-rata 107.5%. Tingkat partisipasi
pendidikan ini didukung oleh ketersediaan sekolah yang makin meningkat pula.
Peningkatan jumlah SD dan murid didukung oleh jumlah guru yang meningkat.
Bertambahnya kesejahteraan masyarakat tercermin pula dari makin
berkurangnya jumlah penduduk miskin. Pada 1990, penduduk miskin mencapai
angka 4,800,300 atau kurang lebih 14.8 persen dari seluruh penduduk.
Sedangkan pada tahun 1984, penduduk miskin masih berjumlah 5,982,265 orang
atau kurang lebih 19.6 persen dari jumlah penduduk.
Pembangunan daerah Jawa Timur didukung oleh pembangunan
prasarana yang dilaksanankan, baik oleh pemerintah pusat amupun oleh
pemeritah daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Di bidng prasarana transportasi
sampai dengan tahun 1992 telah dibangun dan ditingkatkan berbagai sarana
transportasi darat meliputi dermaga penyeberangan dan jaringan jalan yang
mencapai panjang 24,376 kilometer. Ketersediaan jaringan jalan telah makin
baik, sepert terlihat pada tingkat kepadatan yang mencapai ata-rata 562,3
kilometer per 1,000 kilometer persegi. Ketersediaan prasarana transportasi
lainnya dari laut dan udara juga telah meningkat.
Investasi yang dilakukan oleh Pemerintah di Jawa Timur melalui
anggaran pembangunan yang dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan
belanja neara (APBN) menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Alokasi
bantuan berupa dana bantuan pembangunan daerah (INPRES) dan dana
sektoral melalui daftar isian proyek (DIP) dalam Repelita IV dan V masing-
masing berjulah Rp 1.72 trilyun dan Rp 8.08 trilyun.
Pendapatan asli daerah (PAD) juga menunjukkan peningkatan yang
cukup berarti dengan rata-rata pertumbuhan selama Repelita V kurang lebih 9.6
persen per tahun. Dalam masa itu, PAD telah meningkat dari Rp133.9 miliar
pada 1989/90 menjadi Rp194 miliar pada tahun 1993/94. Peningkatan yang
cukup berarti dari PAD dan Bantuan Pembangunan Daerah dari tahun ke tahun
mempengaruhi pula peningaktan belanja pembangunan dalam anggaran
pendapatan dan belanja daerah (APBD) tingkat I Jawa Timur. Bagian terbesar
dari belanja pembangunan digunakan untuk sektor perhubungan dan pariwisata.

2.3 Era Reformasi


2.4 Era Baru

BAB III
MASALAH YANG PERLU DITELITI

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai