Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH STUDI ISLAM V

QARDH, RAHN DAN HIWALAH


Diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Islam
Program Studi S1 Keperawatan
STIKes YARSI SUMBAR Bukittinggi

Oleh
Kelompok II
1. Elsa Abel Nuine (1306142010012)
2. Sesar Fauza Fatimah (13061420100)
Dosen
Yulius, M.Ag

PRODI S1 KEPERAWATAN
STIKES YARSI SUMBAR BUKITTINGGI
TAHUN AKADEMIK 2015/ 2016

KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena kami dapat menyelesaikan makalah ini. Penyusunan makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas Studi Islam V. Selain itu tujuan dari
penyusunan makalah ini juga untuk menambah wawasan secara meluas.
Dalam menyelesaikan makalah ini, Kami telah banyak
mendapatkan bantuan dan masukan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
dalam kesempatan ini kami ingin menyampaikan banyak terima kasih
kepada :
1. Ustadz Yulius selaku dosen pembimbing mata kuliah Studi Islam V
yang telah membimbing kami dalam menyelesaikan makalah ini
sehingga pengetahuan kami dalam penulisan makalah ini semakin
bertambah.
2. Kedua orang tua kami, yang senantiasa memberikan doa serta
dukungan baik moril maupun materil.
3. Teman-teman kami yang telah memberikan semangat dan dukungan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
4. Pihak-pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, yang turut
membantu penyusunan makalah ini.
Kami menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak
kekurangan dalam penulisan maupun penyusunan. Oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna memperbaiki
kesalahan dimasa yang akan datang.

Bukittinggi, 21 Februari 2015

Tim Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

...................................................................................i

DAFTAR ISI

ii

BAB l Pendahuluan

..................................................................................1

Latar Belakang

..................................................................................1

Rumusan Masalah

..................................................................................1

Tujuan Penulisan

..................................................................................1

BAB ll Pembahasan

..................................................................................3

BAB lll Penutup

................................................................................29

Kesimpulan

................................................................................29

Kritik dan Saran

................................................................................29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di dalam kehidupan sehari-hari ini, kebanyakan manusia tidak terlepas dari
yang namanya hutang piutang. Sebab di antara mereka ada yang membutuhkan
dan ada pula yang dibutuhkan. Demikianlah keadaan manusia sebagaimana Allah
tetapkan, ada yang dilapangkan rezekinya hingga berlimpah ruah dan ada pula
yang dipersempit rezekinya, tidak dapat mencukupi kebutuhan pokoknya
sehingga mendorongnya dengan terpaksa untuk berhutang atau mencari pinjaman
dari orang-orang yang dipandang mampu dan bersedia memberinya pinjaman.
Dalam ajaran Islam, hutang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan, tapi
diharuskan untuk ekstra hati-hati dalam menerapkannya.
Konsep hutang piutang yang ada dalam Islam pada dasarnya adalah untuk
memberikan kemudahan bagi orang yang sedang kesusahan. Namun pada zaman
sekarang, konsep muamalah sedikit banyak telah bercampur aduk dengan konsep
yang diadopsi dari luar Islam. Hal ini sedikit demi sedikit mulai menyisihka,
menggeser, bahkan bisa menghilangkan konsep muamalah Islam itu sendiri. Oleh
karena itulah, perkara hutang piutang ini penting untuk diketahui oleh umat Islam
agar nantinya bisa melaksanakan transaksi sesuai dengan yang telah disyariatkan
oleh Allah swt. Makalah ini akan menguraikan mengenai Qardh, Rahn dan
Hiwalah.
1.2. Rumusan Masalah
1.
2.
3.
4.

Apakah pengertian dari Qardh, Rahn dan Hiwalah?


Apakah dasar hukum Qardh, Rahn dan Hiwalah?
Apa saja syarat Qardh, Rahn dan Hiwalah?
Bagaimana cara pelaksanaan Qardh, Rahn dan Hiwalah?

1.3. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari Qardh, Rahn dan Hiwalah

2. Mengetahui dasar hukum Qardh, Rahn dan Hiwalah


3. Mengetahui syarat Qardh, Rahn dan Hiwalah
4. Mengetahui cara pelaksanaan Qardh, Rahn dan Hiwalah

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. AL-QARDH
2.1.1. Pengertian Al-Qardh
Qardh secara etimologi Al-Qathu yang berarti memotong. Harta yang
diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh, karena
merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang.
Sedangkan secara terminologis makna Al-Qardh ialah menyerahkan
harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan
memanfaatkannya dan dia akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai
dengan padanannya. Atau dengan kata lain, Hutang Piutang adalah
memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada
peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan
jumlah yang sama.
Qardh adalah Akad pinjaman dari bank (Muqridh) kepada pihak
tertentu (Muqtaridh) yang wajib dikembalikan dengan jumlah yang sama
sesuai pinjaman. Muqridh dapat meminta jaminan atas pinjaman kepada
Muqtaridh.Pengembalian pinjaman dapat dilakukan secara angsuran ataupun
sekaligus.
Menurut ulama Hanafiyah:
Qaradh adalah harta yang diberikan seseorang dari harta mitsil (yang
memiliki perumpamaan) untuk kemudian dibayar atau dikembalikan. Atau
dengan ungkapan yang lain, qaradh adalah suatu perjanjian yang khusus
untuk menyerahkan harta (mal mitsil) kepada orang lain untuk kemudian
dikembalikan persis seperti yang diterimanya.
Sayyid Sabiq memberikan definisi Qardh sebagai berikut:
Al-Qardh adalah harta yang diberikan oleh pemberi hutang (muqrid)
kepada penerima utang (muqtarid) untuk kemudian dikembalikan kepadanya
(muqridh) seperti yang diterimanya, ketika ia telah mampu membayarnya.

Adapun pendapat Syafiiyah adalah sebagai berikut:

Syafiiyah berpendapat bahwa qaradh dalam istilah syara diartikan


dengan sesuatu yang diberikan kepada orang lain (yang pada suatu saat
harus dikembalikan).
2.1.2. Dasar Hukum Qardh
Hukum memberi hutang piutang bersifat fleksibel tergantung
situasi dan toleransi, namun pada umumnya memberi hutang hukumnya
sunnah. Akan tetapi memberi hutang atau pinjaman hukumnya bisa
menjadi wajib ketika diberikan kepada orang yang membutuhkan seperti
memberi hutang kepada tetangga yang membutuhkan uang untuk berobat
karena keluarganya ada yang sakit. Hukum memberi hutang bisa menjadi
haram, misalnya memberi hutang untuk hal-hal yang dilarang dalam ajaran
Islam.
Memberikan hutang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat
membutuhkan adalah hal yang dianjurkan, karena di dalamnya terdapat
unsur tolong-menolong dan akan diberikan pahala yang besar oleh Allah
SWT.
a. Al-Quran
Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik.
Maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan
dia akan memperoleh pahala yang banyak. (QS. Al-Hadiid: 11)
Yang menjadi landasan dalil dalam ayat ini adalah kita diseru untuk
meminjamkan kepada Allah, artinya untuk membelanjakan harta di jalan
Allah. Selaras dengan meminjamkan kepada Allah, kita juga diseru untuk
meminjamkan kepada sesama manusia, sebagai bagian dari kehidupan
bermasyarakat (civil society).
Dalil dari Al-Quran adalah firman Allah:
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang
baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat
gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan

Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu


dikembalikan. (QS. Al-Baqarah: 245)
Adapun yang menjadi dasar hutang piutang dapat dilihat dalam AlQuran terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 2 yang berbunyi :
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa,

dan

jangan

tolong-menolong

dalam

berbuat

dosa

dan

pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah


SWT amat berat siksa-Nya. (Q.S al-Maidah : 2)
b. Al-Hadits
Ibnu Masud meriwayatkan bahwa Nabi saw. berkata, Bukan seorang
muslim (mereka) yang meminjamkan muslim (lainnya) dua kali kecuali
yang satunya adalah (senilai) sedekah. (HR Ibnu Majah no. 2421, kitab
al-Ahkam; Ibnu Hibban dan Baihaqi)
Anas bin Malik berkata bahwa Rasulullah berkata, Aku melihat pada
waktu malam di-isra-kan, pada pintu surga tertulis: sedekah dibalas
sepuluh kali lipat dan qardh delapan belas kali. Aku bertanya, Wahai
Jibril, mengapa qardh lebih utama dari sedekah? Ia menjawab, Karena
peminta-minta sesuatu dan ia punya, sedangkan yang meminjam tidak
akan meminjam kecuali karena keperluan. (HR Ibnu Majah no.2422,
kitab al-Ahkam, dan Baihaqi)
Sedangkan dalam sunnah Rasululllah SAW. Dapat ditemukan antara
lain dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah sebagai
berikut:
Seorang muslim yang mempiutangi seorang muslim dua kali, seolaholah telah bersedekah kepadanya satu kali.
c. Ijma
Para ulama telah menyepakati bahwa al-qardh boleh dilakukan.
Kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa
pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak ada seorang pun yang
memiliki segala barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu, pinjam-

meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan didunia ini. Islam
adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan umatnya.

2.1.3. Rukun dan Syarat Qardh


Rukun qardh (hutang piutang) ada tiga, yaitu (1) shighah, (2)
aqidain (dua pihak yang melakukan transaksi), Orang yang meminjam
(Muqtaridh) & Orang yang memberikan pinjaman (muqridh) dan (3) harta
yang dihutangkan. Penjelasan rukun-rukun tersebut beserta syaratsyaratnya adalah sebagai berikut.
1. Shighah
Yang dimaksud shighah adalah ijab dan qabul. Tidak ada perbedaan
dikalangan fuqaha bahwa ijab itu sah dengan lafal hutang dan dengan
semua lafaz yang menunjukkan maknanya, seperti kata,aku memberimu
hutang atau aku menghutangimu. Demikian pula qabul sah dengan
semua lafal yang menunjukkan kerelaan , seperti aku berhutang atau
aku menerima atau aku ridha dan lain sebagainya.
2. Aqidain
Yang dimaksud dengan aqidain (dua pihak yang melakukan transaksi)
adalah pemberi hutang dan penghutang. Keduanya mempunyai beberapa
syarat berikut.

Syarat-syarat bagi Pemberi Hutang


Fuqaha sepakat bahwa syarat bagi pemberi hutang adalah termasuk
ahli tabarru (orang yang boleh memberikan derma), yakni merdeka,
baligh, berakal shat, dan pandai (rasyid, dapat membedakan yang baik
dan yang buruk). Mereka berargumentasi bahwa hutang piutang
adalah transaksi irfaq (memberi manfaat). Oleh karenanya tidak sah
kecuali dilakukan oleh orang yang sah amal kebaikannya, seperti
shadaqah.

Syafiiyyah berargumentasi bahwa al-qardh (hutang piutang)


mengandung tabarru(pemberian derma), bukan merupakan transaksi
irfaq (memberi manfaat) dan tabarru.
Syafiiyah menyebutkan bahwa ahliyah (kecakapan, keahlian)
memberi derma harus dengan kerelaan, bukan dengan paksaan. Tidak
sah berhutang kepada orang yang dipaksa tanpa alasan yang benar.
Jika paksaan itu ada alasan yang haq. Seperti jika seseorang harus
berutang dalam keadaan terpaksa, maka sah berhutang dengan
memaksa.
Hanafiyah mengkritisi syarat ahliyah at-tabarru (kecakapan
member derma) bagi pemberi hutang bahwa tidak sah seorang ayah
atau pemberi wasiat menghutangkan harta anak kecil.
Hanabilah mengkritisi syarat ahliyah at-tabarru (kelayakan
member derma) bagi pemberi hutang bahwa seorang wali anak yatim
tidak boleh menghutangkan harta anak yatim itu dan nazhir
(pengelola) wakaf tidak boleh menghutangkan harta wakaf.
Syafiiyah merinci permasalahan tersebut. Mereka berpendapat
bahwa seorang wali tidak boleh menghutangkan hartaorang yang
dibawah perwaliannya kecuali dalam keadaan darurat jika tidak ada
hakim. Adapun bagi hakim boleh menghutangkannya meskipun bukan
dalam kondisi darurat.

Syarat Bagi Penghutang


a. Syafiiyah mensyaratkan penghutang termasuk kategori orang yang
mempunyai

ahliyah

al-muamalah

(kelayakan

melakukan

transaksi) bukan ahliyah at-tabarru (kelayakan member derma).


Adapun kalangan ahnaf mensyaratkan penghutangkan mempunyai
ahliyah at-tasharrufat (kelayakan memberikan harta) secara lisan,
yakni merdeka, baligh, dan berakal sehat.
b. Hanabilah mensyaratkan penghutang mampu menanggung karena
hutang tidak ada kecuali dalam tanggungan. Misalnya, tidak sah
member hutang kepada masjid, sekolah, atau ribath (berjaga
diperbatasan dengan musuh) karena semua ini tidak mempunyai
potensi menanggung.
3. Harta yang dihutangkan

Rukun yang ketiga ini mempunyai beberapa syarat berikut.


a. Harta yang dihutangkan berupa harta yang ada padanannya,
maksudnya harta yang satu sama lain dalam jenis yang sama tidak
banyak berbeda yang megakibatkan perbedaan nilai, seperti uang,
barang-barang yang dapat di takar, ditimbang, ditahan, dan dihitung.
Tidak boleh menghutangkan harta yang nilainya satu sama lain dalam
satu jenis berbeda-beda. Yang perbedaan itu mempengaruhi harga,
seperti hewan, pekarangan dan lain sebagainya. Hal ini karena tidak
ada cara untuk mengembalikan barang dan tidak ada cara
mengembalikan harga sehingga dapat menyebabkan perselisihan
karena perbedaan harga dan taksiran nilainya. Demikian ini pendapat
kalanganhanafiyah.
Malikiyyah dan Syafiiyyah, menurut pendapat yang paling benar di
kalangan mereka, menyatakan bahwa boleh menghutangkan harta
yang ada padanya. Bahkan, semua barang yang boleh ditransaksikan
dengan cara salam, baik berupa hewan maupun lainnya, yakni semua
yang boleh diperjual belikan dan dapat dijelaskan sifat-sifatnya
meskipun harta itu berupa sesuatu yang berubah-ubah harganya.
Mereka berargumentasi bahwa nabi Muhammad saw pernah
berhutang unta muda sehingga masalah ini dikiaskan dengannya.
Tidak boleh menghutangkan sesuatu yang tidak boleh diperjualbelikan
dengan cara salam, yakni sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan
sifat, seperti permata dan lain sebagainya. Hanya saja, Syafiiyyah
mengecualikan sesuatu yang tidak boleh dijual dengan salam, yakni
hutang roti dengan timbangan karena adanya kebutuhan dan toleransi.
Hanabilah berpendapat bahwa bole menghutangkan semua benda
yang boleh dijual, baik yang ada padanannya maupun yang berubahubah harganya, baik yang dapat djelaskan dengan sifat maupun tidak.
b. Harta yang dihutangkan disyaratkan berupa benda, tidak sah
menghutangkan manfaat (jasa). Ini merupakan pendapat kalangan
Mazhab Hanafiyyah dan Hanabilah.Berbeda dengan kalangan
syafiiyyah dan malikiyyah, mereka tidak mensyaratkan harta yang
dihutangkan berupa benda sehingga boleh saja menghutangkan

manfaat (jasa) yang dapat dijelaskan dengan sifat. Hal ini karena bagi
mereka semua yang boleh diperjualbelikan dengan cara salam boleh
dihutangkan, sedangkan bagi mereka salam boleh pada manfaat (jasa).
Seperti halnya benda padaa umumnya.Pendapat yang dipilih oleh ibnu
taimiyyah dan ahli ilmu lainnya adalah bolehnya menghutangkan
manfaat (jasa).
c. Harta yang dihutangkan diketahui. Syarat ini tidak dipertentangkan
oleh fuqaha karena dengan demikian penghutang dapat membayar
hutangnya dengan harta semisalnya (yang sama).
Syarat ketiga ini mencakup dua hal, yaitu 1) diketahui kadarnya dan 2)
diketahui sifatnya. Demikian ini agar mudah membayarnya. Jika
hutang piutang tidak mempunyai syarat ketiga ini, maka tidak sah.
2.1.4. Waktu dan Tempat Pengembalian Al-Qardh
Para ulama empat mazhab telah sepakat bahwa pengembalian
barang pinjaman hendaknya di tempat dimana akad qardh itu
dilaksanakan. Dan boleh juga di tempat mana saja, apabila tidak
membutuhkan biaya kendaraan, bekal dan terdapat jaminan keamanan.
Apabila semua itu diperlukan, maka bukan sebuah keharusan bagi pemberi
pinjaman untuk menerimanya.Adapun untuk waktu pengembalian adalah
sebagai berikut:
Menurut ulama selain Malikiyah, waktu pengembalian harta
pengganti adalah kapan saja terserah kehendak si pemberi pinjaman,
setelah peminjam menerima pinjamannya. Karena qardh merupakan akad
yang tidak mengenal batas waktu. Sedangkan menurut Malikiyah, waktu
pengembalian itu adalah ketika sampai pada batas waktu pembayaran yang
sudah ditentukan diawal. Karena mereka berpendapat bahwa qardh bisa
dibatasi dengan waktu.
2.1.4. Skema Qardh

2.1.5. Harta Yang Harus Dikembalikan


Para ulama sepakat bahwa wajib hukumnya bagi peminjam untuk
mengembalikan harta semisal apabila ia meminjam harta mitsli, dan
mengembalikan harta semisal dengan bentuknya (dalam pandangan ulama
selain

Hanafiyah)

bila

pinjamannya

adalah

harta

qimiy,seperti

mengembalikan kambing yang ciri-cirinya mirip dengan domba yang


dipinjam.Atas

dasar

itu,

ulama

hanafiyah

tetap

mewajibkan

mengembalikan harta qimiy sesuai dengan apa yang sebelumnya dipinjam.


2.1.6. Hikmah Disyariatkan Al-Qardh
Hikmah disyariatkannya Al-Qardh dapat dilihat dari dua sisi, sisi
pertama dari orang yang berhutang (muqtaridh) yaitu membantu mereka
yang membutuhkan, dan sisi kedua adalah dari orang yang yang memberi
hutang (muqridh) yaitu dapat menumbuhkan jiwa ingin menolong orang
lain, menghaluskan perasaan sehingga ia peka terhadap kesulitan yang
dialami oleh orang lain.
Adapun hikmah disyariatkannya Al-Qardh (hutang piutang)
menurut Syekh Sayyid Tanthawi dalam kitabnya, Fiqh al-Muyassar adalah
sebagai berikut:[18]
1.
2.

Memudahkan kepada manusia () .


Belas kasih dan kasih sayang terhadap mereka ( ) .

3.

Perbuatan yang membuka lebar-lebar (menguraikan) kesulitan


yang mereka hadapi () .
4.
Mendatangkan kemaslahatan bagi mereka yang berhutang (

) .
2.1.7. Problematika Terkait Al-Qardh Pada Masa Sekarang
Para Ulama Fiqh sepakat bahwa akad qardh dikategorikan sebagai
akad Taawuniy (akad saling tolong menolong), bukan transaksi komersil.
Maka, dalam perbankan syariah akad ini dapat digunakan untuk
menjalankan kegiatan sosial bank syariah. Yaitu dengan memberi pinjaman
murni kepada orang yang membutuhkan tanpa dikenakan apapun.
Meskipun demikian nasabah tetap berkewajiban untuk mengembalikan
dana tersebut, kecuali jika bank mengikhlaskannya.
Jika

dengan

pinjaman

ini

nasabah

berinisiatif

untuk

mengembalikan lebih dari pinjaman pokok, bank sah untuk menerima,


selama kelebihan tersebut tidak diperjanjikan di depan. Bahkan jika terjadi
hal yang demikian, maka hal tersebut merupakan wujud dari penerapan
hadits Rasulullah SAW berikut ini:
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim dari Sufyan dari Salamah
dari Abu Salamah dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; Ada
seorang laki-laki pernah dijanjikan seekor anak unta oleh Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam lalu orang itu datang kepada Beliau untuk
menagihnya. Maka Beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Berikanlah". Maka orang-orang mencari anak unta namun mereka tidak
mendapatkannya kecuali anak unta yang lebih tua umurnya, maka Beliau
bersabda: "Berikanlah kepadanya". Orang itu berkata: "Anda telah
memberikannya kepadaku semoga Allah membalas anda". Maka Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya yang terbaik
diantara kalian adalah siapa yang paling baik menunaikan janji".
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan
kepada kami Waki' dari Ali bin Shalih dari Salamah bin Kuhail dari Abu

Salamah dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah SAW meminjam


(berhutang) kepada seseorang seekor unta yang sudah berumur tertentu.
Kemudian beliau mengembalikan pinjaman tersebut dengan unta yang
telah berumur yang lebih baik dari yang beliau pinjam. Dan beliau
berkata, sebaik-baik kamu adalah mereka yang mengembalikan
pinjamannya dengan sesuatu yang lebih baik (dari yang dipinjam).
Hadits tersebut menunjukkan bahwa seorang peminjam sebaiknya
mengembalikan pinjamannya lebih dari apa yang dia pinjam.
Dalam perbankan syariah, akad ini dijalankan untuk fungsi sosial
bank. Dananya bisa diambil dari dana zakat, infaq, dan sedekahyang
dihimpun oleh bank dari para aghniya atau diambilkan dari sebagian
keuntungan Bank. Bank kemudian membuat kriteria tertentu kepada
nasabah yang akan mendapatkan qardh. Kriteria tersebut berlandaskan
berlandaskan pada tingkat kemiskinan dan kekurang mampuan nasabah.
Akan jauh lebih efektif jika pinjaman yang diberikan adalah dipergunakan
untuk kepentingan produktif, bukan untuk konsumtif. Adapun cara
pengembaliannya dengan cara diangsur, maupun dibayar sekaligus. Jika
pinjaman sudah dikembalikan, bank dapat memutar kembali secara
bergulir.
2.1.8. Adab dalam Hutang Piutang
1. Niatan kuat untuk membayar
Seorang yang berhutang hendaknya sejak awal meniatkan untuk
membayar dengan segera dan bukan menunda-nunda, apalagi
meniatkan untuk tidak membayar, hal tersebut tergolong dalam
keburukan yang dicela dalam sabda Rasulullah SAW :
Barang siapa mengambil pinjaman harta orang lain dengan
maksud untuk mengembalikannya maka Allah akan menunaikan
untuknya, barang siapa yang meminjam dengan niatan tidak
mengembalikannya, maka Allah akan memusnahkan harta tersebut
(HR Bukhari)

2.Tidak ada perjanjian kelebihan dalam pengembalian saat akad


terjadi
Dalam kaidah dikatakan, setiap pinjaman yang mengandung unsur
kemanfaatan maka hukumnya masuk kategori riba . Karenanya, kita
perlu berhati-hati saat melakukan aktifitas hutang piutang, jangan
sampai mensyaratkan kelebihan atau tambahan saat pengembalian,
meskipun kelebihan tadi bukan uang tapi barang misalnya.
3.Menuliskan pernyataan bagi yang berhutang
Pada saat ini fungsi akuntansi atau pencatatan transaksi sudah
menjadi kebutuhan, karena begitu padat dan rumitnya jenis aktifitas
ekonomi seseorang.
Syariat Islam kita juga menganjurkan kepada kita untuk menaruh
perhatian dalam masalah pencatatan hutang piutang tersebut, Allah
SWT berfirman : Dan hendaklah orang yang berutang itu
mengimlakan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun
daripada utangnya. (QS Al Baqarah 28)
Dengan adanya pencatatan hutang piutang, maka hal ini menjadi
upaya mencegah terjadinya konflik

dan pertikaian antara pihak-

pihak yang melakuan transaksi tersebut.


4.Memperbanyak Doa bagi yang berhutang
Berhutang menumbuhkan perasaan beban dalam hati, selain upaya
untuk melunasinya dengan giat bekerja dan berusaha, kita juga
dianjurkan untuk berdoa kepada Allah SWT agar terbebas dari lilitan
hutang. Doa yang penuh kesungguhan juga akan menjadi semacam
terapi untuk meringankan beban hutang tersebut.
5.Tidak Menunda Pembayaran

Hendaknya kita berusaha untuk menyegerakan pelunasan hutang,


karena itu menjadi bagian dari komitmen seorang muslim yang harus
berusaha menepati janji yang keluar dari lisannya. Apalagi jika
kondisi benar-benar telah lapang dan mempunyai kemampuan, maka
sikap menunda-nunda hanya akan menambah sikap tercela dalam diri
kita. Rasulullah SAW bersabda :Menunda-nunda pembayaran hutang
oleh orang-orang yang mampu adalah suatu kezhaliman. (HR Abu
Daud)
6.Menunaikan dengan Sempurna
Meskipun kelebihan pengembalian yang disebutkan di awal akad
hutang piutang diharamkan dalam Islam, namun melebihkan
pengembalian pinjaman yang benar-benar atas inisiatif yang
berhutang - tanpa paksaan dan penuh dengan keridhoan- justru
merupakan akhlak mulia yang dicontohkan Rasulullah SAW. Dari
Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah telah berhutang hewan,
kemudian beliau bayar dengan hewan yang lebih tua umurnya
daripada hewan yang yang beliau hutang itu, dan Rasululloh
bersabda, Orang yang paling baik diantara kamu ialah orang yang
dapat membayar hutangnya dengan yang lebih baik. (HR. Ahmad &
Tirmidzi).
7.Bagi yang menghutangi, hendaknya memberi Tenggang Waktu
Khusus bagi yang menghutangi, adab yang harus dijaga adalah cara
penagihan yang ihsan yaitu dengan tetap menjunjung tinggi ukhuwah
sesama muslim. Jika memang kondisi yang berhutang benar-benar
tidak memungkinkan, maka anjuran Islam bagi kita adalah
memberikan toleransi waktu, Allah SWT berfirman :
Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah
tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian
atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui(QS
al Baqarah 280)

2.2. AR-RAHN
2.2.1. Pengertian ar-Rahn (Gadai)
Secara etimologi, kata ar-rahn berarti tetap, kekal, dan jaminan.
Akad ar-rahn dalam istilah hukum positif disebut dengan barang jaminan,
agunan, adan rungguhan. Dalam islamar-rahn merupakan sarana tolong
menolong bagi umat islam, tanpa ada imbalan jasa.
Ada beberapa definisi ar-rahn yang dikemukakan ulama fiqh, ulama
Malikiyah mendefinisikan bahwa harta yang dijadikan pemiliknya sebagai
jaminan hutang yang bersifat mengikat1[1].
Menurut mereka, yang dijadikan barang jaminan (agunan) bukan
saja harta yang bersifat materi, tetapi juga harta yang bersifat manfaat
tertentu. Harta yang dijadikan jaminan tidak harus diserahkan secara actual,
tetapi boleh juga penyerahannya secara hukum, seperti menjadikan sawah
menjadi jaminan, maka yang diserahkan itu adalah surat jaminannya
(sertifikatnya).2[2]
Ulama Hanafiyah mendefinisikan bahwa menjadikan suatu barang
sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai
pembayar hak (piutang) itu, baik seluruhnya maupun sebagian3[3].
Sedangkan ulama Syafiiyah dan Hanabilah mendefinisikan ar-rahn
bahwa menjadikan barang sebagai jaminan hutang, yang dapat dijadikan
pembayar hutang apabila orang yang berhutang tidak bisa membayar
hutangnya itu4[4].
Definisi

yang

dikemukakan

Syafiiyah

dan

Hanabilah

ini

mengandung pengertian bahwa barang yang boleh dijadikan hutang itu


1[1]Ad-Dardir.Asy-Syarh ash-shagir bi Syarh ash-Shawi.(Mesir: Dar al-Maarif), Jilid III, hal. 303
2[2]Ibid. hal. 325
3[3]Ibnu Abidin.Radd al-Muhtar ala ad-Durr al-Mukhtar.(Beirut: Dar al-Fikr), Jilid V, hal. 339
4[4] Asy-Syarbaini al Khatib. Mugni al-Muhtaj.(Beirut: Dar al-Fikr, 1978), Jilid II, hal. 121

hanyalah harta yang bersifat materi; tidak masuk manfaat sebagaimana yang
dikemukakan ulama Malikiyah, sekalipun manfaat itu, menurut mereka
(Syafiiyah dan Hanabilah), termasuk dalam pengertian harta.
Ar-rahn ditangan al-murtahin (pemberi hutang) hanya berfungsi
jaminan hutang ar-rahin (orang yang berhutang).Barang jaminan itu baru
boleh dijual apabila dalam waktu yang disetujui kedua belah pihak.
Sifat Rahn secara umum dikategorikan sebagai akad yang bersifat
derma,sebab apa yang diberikan penggadai (rahin) kepada penerima gadai
(murtahin) tidak ditukar dengan sesuatu. Yang diberikan murtahin kepada
rahin adalah utang,bukan penukar ataas barang yang digadaikan5[5].
Rahn juga termasuk akad yang bersifat ainiyah,yaitu dikatakan
sempurna sesudah menyerahkan benda yang dijadikan akad,seperti
hibah,pinjam meminjam,titipan,dan qirad. Semua termasuk akad tabarru
(derma) yang dikatakan sempurna setelah memegang (al-qabdu),sesuai
kaidah: "Tidak sempurna tabarru,kecuali setelah pemegangan."
2.2.2. Dasar Hukum ar-Rahn
1. Dalam Al Quran
Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad ar-rahn dibolehkan
dalam islam berdasarkan al-Quran dan sunnah Rasul. Dalam surat alBaqarah ayat 283 Allah berfirman :
Artinya : Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak
secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang6[6] (oleh yang
berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan
persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka
5[5] Rachmat Syafei. Fiqih Muamalah. (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001) 160
6[6]Barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai.

sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah


Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al Baqarah : 283)
Para ulama fiqh sepakat bahwa ar-rahn boleh dilakukan dalam
perjalanan dan dalam keadaan hadir di tempat, asal barang jaminan itu
bisa

langsung

dipegang/dikuasai

secara

hukum

oleh

si

piutang.Maksudnya, karena tidak semua barang jaminan bisa


dipegang / dikuasai oleh si pemberi piutang secara langsung, maka
paling tidak ada semacam pegangan yang dapat menjamin bahwa
barang dalam status al-Marhun (menjadi jaminan hutang). Misalnya,
apabila barang jaminan itu berbentuk sebidang tanah, maka yang
dikuasai adalah surat jaminan tanah itu.
2. Hadist
Kemudian dalam sebuah Hadist Rasulullah dikatakan bahwa :
Artinya : Telah menceritakan kepada kami Yusuf bin
'Isa telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah
telah menceritakan kepada kami Al A'masy dari
Ibrahim dari Al aswad dari 'Aisyah radliallahu 'anha
berkata:

"Rasulullah

shallallahu

'alaihi

wasallam

membeli makanan dari orang Yahudi secara angsuran


dan menjaminnya dengan menggadaikan baju besi
Beliau".
Menurut kesepakatan pakar fiqh, peristiwa Rasul saw. merahn-kan baju besinya itu, adalah kasus ar-rahn pertama dalam islam
dan dilakukan sendiri oleh Rasulullah saw. Berdasarkan ayat dan
hadis-hadis diatas, para ulama fiqh sepakat mengatakan bahwa akad
ar-rahn itu dibolehkan, karena banyak kemaslahatan yang terkandung
di dalamnya dalam rangka hubungan antar sesama manusia.7[7]

7[7] Ibnu Qudamah. Al-Mugni.(Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Haditsah), Jilid IV, hal.
337

3. Ijma
Para ulama telah menyepakati bahwa

ar rahn

boleh dilakukan.Kesepakatan ulama ini didasari tabiat


manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan
bantuan saudaranya. Tidak ada seorang pun yang
memiliki segala barang yang ia butuhkan. Oleh karena
itu, pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian dari
kehidupan di dunia ini. Islam adalah agama yang
sangat memperhatikan segenap kebutuhan umatnya.
2.2.3. Rukun dan Syarat ar-Rahn
Menurut jumhur ulama rukun ar-rahn itu ada empat, yaitu :8[8]
1. Shigat (lafal ijab dan qabul)
Syarat syarat Shighat menurut ulama Hanafiyah berpendapat bahwa
shighat rahn tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan
sesuatu.Hal ini karena sebab rahn jual beli, jika memakai syarat tertentu,
syarat tersebut batal dan rahn tetap sah.
2. ar-Rahin (orang yang hutang) dan al-Murtahin (pemberi hutang)
Syarat seorang ar Rahin dan al Murtahin yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.

Tidak gila, mabuk, tidak dalam pengampuan dan anak kecil.


Dewasa, baligh
Berakal
Mumayyis
Cakap hukum

3. al-Marhun (harta yang dijadikan jaminan)


Para ulama fiqih sepakat mensyaratkan marhun sebagaimana persyaratan
barang dalam jual beli. Menurut ulama Hanafiyah mensyaratkan marhun
sebagai berikut:
a. Dapat diperjualbelikan
b. Bermanfaatdapat diperjualbelikan
c. Bermanfaat, jelas
8[8]Al-Bahuti.Kasysyaf al-Qina.Jilid III, hal. 304

d.
e.
f.
g.
h.

Milik rahin
Dipegang (dikuasai) oleh rahin
Bisa diserahkan
Tidak bersatu dengan harta lain
Harta yang tetap atau dapat dipindahkan

4. al-Marhun bih (hutang)


Ulama Hanafiyah memberikan syarat yaitu9[9]:
a. Marhun bih hendaklah barang yang wajib dikembalikan
b. Marhun bih memungkinkan dapat dibayarkan
c. Hak atas marhun bih harus jelas
Ulama Hanabilah dan Syafiiyah memberikan tiga syarat yaitu:
a. Berupa hutang yang tetap dan dapat dimanfaatkan
b. Hutang harus lazim pada waktu akad
c. Hutang harus jelas dan diketahuioleh rahin dan murtahin.
2.2.4. Jenis Jenis Rahn
Dalam prinsip syariah, gadai dikenal dengan istilah rahn, yang diatur
menurut prinsip syariah, dibedakan atas 2 macam, yaitu:
1. Rahn Iqar/Rasmi
Merupakan bentuk gadai, dimana barang yang digadaikan hanya
dipindahkan kepemilikannya.Namun, barangnya sendiri masih tetap dikuasai
dan dipergunakan oleh pemberi gadai.
Contoh : A memiliki hutang kepada B sebesar Rp.

10 juta. Sebagai

jaminan tersebut, A menyerahkan BPKB mobilnya kepada B secara Rahn


Iqar. Walaupun surat surat kepemilikan mobil diserahkan kepada B, namun
mobil tersebut tetap berada di tangan A dan dipergunakan olehnya untuk
keperluannya sehari hari. Jadi, yang berpindah hanyalah kepemilikan atas
mobil tersebut.
2. Rahn Hiyazi
Konsep ini hampir sama dengan konsep Gadai. Pada Rahn Hiyazi
barangnya pun dikuasai dengan kreditur. Contoh pada point 1 di atas, jika akad
yang digunakan adalah Rahn Hiyazi, maka mobil milik A tersebut diserahkan

9[9] Rachmat Syafei. Fiqih Muamalah. (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001) 163-164

kepada B sebagai jaminan pelunasan hutangnya. Apabila hutang A kepada B


sudah lunas maka, A bisa mengambil kembali mobil tersebut.
Dari pengertian kedua Janis rahn tersebut dapat disimpulkan bahwa
prinsip pokok dari Rahn adalah :
a. Kepemilikan atas barang yang digadaikan tidak beralih selama masa gadai.
b. Kepemilikan baru beralih pada saat terjadinya wanprestasi pengembalian
dana yang diterima oleh pemilik barang. Pada saat itu, penerima gadai
berhak untuk menjual barang yang digadaikan berdasarkan kuasa yang
sebelumnya pernah diberikan oleh pemilik barang.
c. Penerima gadai tidak boleh mengambil manfaat dari barang yang
digadaikan, kecuali atas seijin dari pemilik barang. Dalam hal demikian,
maka penerima gadai berkewajiban menanggung biaya penitipan /
penyimpanan dan biaya pemeliharaan atas barang yang digadaikan
tersebut.

2.2.5. Hukum Memanfaatkan Barang Jaminan (ar-Rahn)


Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa segala biaya yang
dibutuhkan untuk pemeliharaan barang-barang jaminan itu menjadi tanggung
jawab pemiliknya, yaitu orang yang berhutang. Hal ini sejalan dengan sabda
Rasulullah :

... } .





{
pemilik barang jaminan (agunan) berhak atas segala hasil barang jaminan
dan ia juga bertanggung jawab atas segala biaya barang jaminan itu. (HR.
asy-SyafiI dan ad-Daruquthni)
Para ulama fiqh juga sepakat mengatakan bahwa barang yang dijadikan
barang jaminan itu tidak boleh dibiarkan begitu saja, tanpa menghasilkan tanpa

sekali, karena tindakan itu termasuk menyia-nyiakan harta yang dilarang


Rasulullah saw. (HR. at-Tirmizi).
Jumhur ulama fiqh,10[10] selain ulama Hanbilah, berpendapat bahwa
pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu,
karena barang itu bukan miliknya secara penuh. Hak pemegang barang jaminan
terhadap barang itu hanyalah sebagai jaminan piutang yang ia berikan, dan
apabila orang yang berhutang tidak mampu melunasi hutangnya, barulah ia
boleh menjual barang itu untuk melunasi hutangnya itu. Alasan jumhur ulama
adalah sabda Rasulullah saw
Barang jaminan disembunyikan dari pemiliknya, karena hasil dari barang
jaminan dan resiko yang timbul atas barang itu menjadi tanggung
jawabnya.(HR. al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ibn Hibban dari Abu Hurairah)
Akan tetapi, apabila pemilik barang mengizinkan pemegang barang
jaminan memanfaatkan barang itu selama di tangannya, maka sebagian ulama
Hanafiyah membolehkan,11[11] karena dengan danya izin, maka tidak ada
halangan bagi pemegang barang jaminan untuk memanfaatkan barang itu.
Akan

tetapi

sebagian

ulama

Hanafiyah,12[12]

Malikiyah,13[13]

dan

Syafiiyah14[14] berpendapat, sekalipun pemilik barang itu mengizinkannnya,


pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu.
Karena apabila barang jaminan itu dimanfaatkan, maka hasil
pemanfaatan itu merupakan riba yang dilarang oleh syara; sekalipun diizinkan
10[10] Ibnu Rushd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-muqtashid. (Beirut: Dar al-Fikr), Jilid II,
hal.272

11[11]Ibnu Abidin.Op. cit., Jilid V, hal. 478


12[12]Imam al-Kasni.Al-Badaiu ash-Shanaiu. (Mesir: al-Muniriyah), Jilid II, hal. 145
13[13]Ad-Dardir dan ad-Dasuqi.Asy-Syarh al-Kabir ala Matn Sayyidi Khalil.(Mesir: alAmiriyah), Jilid III, hal. 248

14[14]Imam asy-Syafii.al-Umm. (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), Jilid III, hal. 147

pemilik barang. Bahkan, menurut mereka ridha dan izin lebih cenderung dalam
keadaan terpaksa, karena khawatir tidak akan mendapatkan uang yang akan
dipinjam itu. Di samping itu, dalam masalah riba, izin dan ridha tidak
berlaku.Hal ini sesuai dengan hadis Abu hurairah yang diriwayatkan al-Hakim,
al-Baihaqi, dan Ibn Hibban diatas.
2.2.6. Skema Ar-Rahn

2.2.7. Risiko ar-Rahn


Adapun risiko yang mungkin terdapat pada rahn apabila
diterapkan sebagai produk adalah:
a. Risiko tak terbayarnya utang nasabah (wanprestasi)
b. Risiko penurunan nilai aset yang ditahan / rusak.
2.2.8. Manfaat Rahn
Manfaat yang dapat diambil oleh bank dari prinsip rahn adalah
sebagai berikut:
a. Menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai atau bermainmain dengan fasilitas pembiayaan yang diberikan bank.
b. Memberikan keamanan bagi semua penabung dan
pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang
begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena ada
suatu aset atau barang (marhun) yang dipegang oleh bank.

c. Jika rahn diterapkan dalam mekanisme pegadaian, sudah


barang tentu akan sangat membantu saudara kita yang
kesulitan dana, terutama di daerah-daerah.
2.2.9.

Penyelesaian Gadai

Untuk menjaga supaya tidak ada pihak yang dirugikan,


dalam gadai tidak boleh diadakan syarat-syarat, misalkan
ketika akad gadai diucapkan, "Apabila rahin tidak mampu
melunasi utangnya hingga waktu yang telah ditentukan,
maka marhunmenjadi

milik murtahin sebagai

pembayaran

utang", sebab ada kemungkinan pada waktu pembayaran


yang

telah

ditentukan

untuk

membayar

utang

hargamarhun akan lebih kecil daripada utang rahin yang harus


dibayar,

yang

mengakibatkan

ruginya

pihak murtahin.

Sebaliknya ada kemungkinan juga hargamarhun pada waktu


pembayaran yang telah ditentukan dan lebih besar jumlahnya
daripada utang yang harus dibayar, yang akibatnya akan
merugikan pihak rahin.
Apabila syarat seperti diatas diadakan dalam akad gadai,
akad gadai itu sah, tetapi syarat-syaratnya batal dan tidak
perlu diperhatikan.Apabila pada waktu pembayaran yang telah
ditentukan rahin belum
hak murtahin adalah

membayar
menjual marhun,

utangnya,
pembelinya

boleh murtahinsendiri atau yang lain, tetapi dengan harga


yang umum berlaku pada waktu itu dari penjualan marhun
tersebut. Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya, dengan
akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar daripada
jumlah utang, sisanya dikembalikan kepada rahin. Apabila
sebaliknya,

harga

penjualan marhunkurang

dari

jumlah

utang, rahin masih menanggung pembayaran kekurangannya.


2.3. HIWALAH

2.3.1. Pengertian Hiwalah


Menurut bahasa, yang dimaksud dengan hiwalah ialah
al-intiqal dan al-tahwil, artinya ialah memindahkan atau
mengoperkan.

Maka

Aburrahman

Al-Jaziri, 15

berpenapat

bahwa yang dimaksud dengan hiwalah menurut bahasa ialah :










Pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lain
Sedangkan pengertian hiwalah menurut istilah,16 para ulam berbeda-beda
dalam mendefinisikannya, antara lain sebagai berikut :
1. Menurut Hanafiyah, yang dimaksud hiwalah ialah :

Memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang
lain yang punya tanggung jawab kewajiban pula.
2. Al-Jazir sendiri sendiri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
hiwalah ialah :

Pernikahan utang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung
jawab orang lain.
3. Syihab Al-Din Al-Qalyubi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
hiwalah ialah :


Akad yang menetapkan pemindahan bebean utang dari seseorang kepada
yang lain.17
4. Ibrahim Al-Bajuri berpendapat bahwa hiwalah ialah :

Pemindahan kewaikban dari beban yang memindahkan menjadi beban
yang menerima pemindahan. 18
5. Menurut Taqiyuddin, yang dimaksud dengan hiwalah ialah :

15Lihat,al-Fiqh Ala Madzahib al-Arbaah, hal. 210.
16Ibid.
17 Lihat,Qulyubi wa Umaira, Dar al-Ihya- al-Kutub al-Arabiyah Indonesia, tth. 318.
18 Lihat, al-Bajuri, Usaha Keluarga, Semaran g. Tth. Hal. 376.

Pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain.19


2.3.2. Landasan Hukum Hiwalah
1. Al-Quran

Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah20tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar
2. Hadits

:



"Menunda (pembayaran hutang) oleh orang yang telah mampu membayar
itu suatu penganiayaan. Apabila salah seorang di antara kamu hutangnya
dilimpahkan kepada orang yang mampu, hendaklah kamu menerima.21

3. Ijma
Kesepakatan ulama (ijma) menyatakan bahwa hiwalah boleh dilakukan
2.3.3. Rukun dan Syarat Hiwalah
Menurut Hanafiyah, rukun hiwalah hanya satu yaitu ijab dan
kabul yang dilakukan antara yang menghiwalahkan dengan yang
menerima hiwalah.

Syarat-syarat hiwalah menurut Hanafiyah ialah :

19 Lihat, Kifayah al-Akhyar, hal. 274.


20 Bermuamalh ialah seperti jual beli, hutang-piutang, sewa-menyewa dan lain
sebagainya.
21 HR.Bukhari Muslim.

1. Orang yang memindahkan utang (muhil), adalah orang yang berakal,


maka batal hiwalah yang dilakukan muhil dalam keadaan gila atau
masih kecil.
2. Orang yang menerima hiwalah (rah al-dayn), adalah orang yang
berakal, maka batallah hiwalah yang dilakukan oleh orang yang tidak
berakal.
3. Orang yang dihiwalahkan (muhal alaih) juga harus orang berakal dan
disyaratkan juga ia meridhainya.
4. Adanya utang muhil kepada muhal alaih.22
Menurut Syafiiyah, rukun hiwalah itu ada empat, sebagai berikut :
1. Muhil, yaitu orang yang menghiwalahkan atau orang yang
memindahkan utang.
2. Muhtal, yaitu orang yang dihiwalahkan, yaitu orang yang mempunyai
utang kepada muhil.
3. Muhal alaih, yaitu orang yang menerima hiwalah.
4. Ada piutang muhal alaih kepada muhil.
5. Shigat hiwalah, yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya: aku
hiwalahkan utangku yang hak bagi engkau kepada fulan dan kabul
dari muhtal dengan kata-katanya : aku terima hiwalah engkau.23
2.3.4.
1.

Jenis-jenis Hiwalah
Hiwalah Muthlaqoh
Hiwalah

Muthlaqoh

terjadi

jika

orang

yang

berhutang (orang pertama) kepada orang lain (orang


kedua) mengalihkan hak penagihannya kepada pihak
ketiga tanpa didasari pihak ketiga ini berhutang kepada
orang pertama. Jika A berhutang kepada B dan A
mengalihkan hak penagihan B kepada C, sementara C
tidak punya hubungan hutang pituang kepada B, maka
hiwalah

ini

disebut

Muthlaqoh.

Ini

hanya

dalam

madzhab Hanafi dan Syiah sedangkan jumhur ulama


mengklasifikasikan jenis hiwalah ini sebagai kafalah.
22Liahat, Abd al-Rahman al-Jazairi, Fiqh Ala Madzahib al-Arbaah, 1969 hal. 212-213.
23 Ahmad Idris dalam, Fiqh al-Syafiiyah, Karya Indah, Jakarta, 1986. Hal. 57-58.

2.

Hiwalah Muqoyyadah
Hiwalah Muqoyyadah terjadi jika Muhil

mengalihkan hak penagihan Muhal kepada Muhal Alaih


karena yang terakhir punya hutang kepada Muhal. Inilah
hiwalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para
ulama.
Ketiga madzhab selain madzhab hanafi
berpendapat

bahwa

muqayyadah

dan

hanya

membolehkan

menyariatkan

pada

hiwalah
hiwalah

muqayyadah agar utang muhal kepada muhil dan utang


muhal alaih kepada muhil harus sama, baik sifat
maupun

jumlahnya.

Jika

sudah

sama

jenis

dan

jumlahny, maka sahlah hiwalahnya. Tetapi jika salah


satunya berbeda, maka hiwal
ah tidak sah.
3.

Hiwalah Haq
Hiwalah ini adalah pemindahan piutang dari satu

piutang kepada piutang yang lain dalam bentuk uang


bukan dalam bentuk barang. Dalam hal ini yang
bertindak sebagai Muhil adalah pemberi utang dan ia
mengalihkan haknya kepada pemberi hutang yang lain
sedangkan orang yang berhutang tidak berubah atau
berganti, yang berganti adalah piutang. Ini terjadi jika
piutang A mempunyai hutang kepada piutang B.
4.

Hiwalah Dayn
Hiwalah ini adalah pemindahan hutang kepada

orang lain yang mempunyai hutang kepadanya. Ini


berbeda dari hiwalah Haq. Pada hakekatnya hiwalah

dayn sama pengertiannya dengan hiwalah yang telah


diterangkan di depan.
Hiwalah Dayn dan Haqq sesungguhnya sama saja,
tergantung dari sisi mana melihatnya. Disebut Hiwalah
Dayn jika kita memandangnya sebagai pengalihan
hutang,

sedangkan

memandangnya

sebutan

sebagai

Haqq,

pengalihan

jika

kita

piutang.

Berdasarkan definisi ini, maka anjak piutang (factoring)


yang terdapat pada praktik perbankan, termasuk ke
dalam kelompok Hiwalah Haqq, bukan Hiwalah Dayn.
2.3.5.

Beban Muhil Setelah Hiwalah

Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab


muhil gugur. Andaikata muhal alaih mengalami kebangkrutan atau
membantah hiwalah atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kembali
lagi kepada muhil. Hal ini adalah pendapat jumhur ulama.
Menurut madzhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal, ternyata muhal
alaih orang kafir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar, maka
muhal boleh kembali lagi kepada muhil.Menurut Imam Malik, orang yang
menghiwalahkan utang kepada orang lain, kemudian muhal alaih mengalami
kebagnkrutan atau meniggal dunia ia belum membayar kewajiban, maka
muhal tidak boleh kembali kepada muhil.
Abu Hanifah, Syarih, dan Utsman berpendapat bahwa dalam keadaan
muhal alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia maka orang yang
mengutangkan (muhal) kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya.24
2.3.6. Hiwalah dalam Perbankan Syariah
Al-Hiwalah,

yaitu

jasa

pengalihan

tanggung

jawab

pembayaran utang dari seseorang yang berutang kepada


orang lain.25 Contoh : Tuan A karena transaksi perdagangan
berutang kepada Tuan C. Tuan A mempunyai simpanan di
Bank, maka atas permintaan tuan A, bank dapat melakukan
24 Lihat, Syyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, hal. 44.

pemindahbukuan

dana

pada

rekening

tuan

untuk

keuntungan rekening C. Atas jasa pengalihan utang ini bank


memperoleh fee.

Muhal Alaih
(Factor/Bank)
2. invoice

5. Bayar
3. Bayar

4. Tagih

Muhal al-hiwalah ini diatur dalam


MuhilFatwa DSN No.
Ketentuan umum
(Penyuplai)
(Pembeli)
Suplai Barang
12/DSN-MUI/IV/2000, dengan isi1.
ketentuannya
sebagai berikut :
1) Rukun hiwalah adalah muhil yaitu orang yang berutang dan sekaligus
berpiutang kepada muhal, muhal atau muhtal adalah orang yang
berpiutang kepada muhil, muhal alaih yaitu orang yang berutang kepada
muhil dan wajib membayar utang kepada muhtal, dan sighat (ijab kabul).
2) Pernyataan ijab dan kabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk
menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
3) Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau menggunakan
cara-cara komunikasi modern.
4) Hiwalah dilakukan harus dengan persetujuan muhil, muhal/muhtal, dan
muhal alaih.
5) Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan kdlam akad secara
tegas.
6) Jika transaksi hiwalah telah dilakukan, pihak-pihak yang terlibat
hanyalahmuhal dan muhal alaih dan hak penagihan muhal berpindah
kepada muhal alaih.
2.3.7. Hikmah dan Dalil Disyariatkannya Hiwalah
Hiwalah ini disyariatkan oleh Islam dan dibolehkan olehnya karena
adanya masalahat, butuhnya manusia kepadanya serta adanya kemudahan
25 Wirdyaningsih, SH., MH. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. (Prenada Media :
Jakarta). 2005. Hal. 164.

dalam bermuamalah. Dalam hiwalah juga terdapat bukti sayang kepada


sesama, mempermudah muamalah mereka, memaafkan, membantu memenuhi
kebutuhan mereka, membayarkan utangnya dan menenangkan hati mereka.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallambersabda:
Menunda membayar utang bagi orang kaya adalah kezaliman dan apabila
seorang dari kalian utangnya dialihkan kepada orang kaya, hendaklah dia
ikuti.
Dalam hadis tersebut Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
memerintahkan agar pemberi utang apabila diminta oleh pengutangnya
menagih kepada orang yang mampu hendaknya menerima hiwalahnya, yakni
hendaknya ia meminta haknya kepada orang yang dihiwalahkan kepadanya
sampai haknya terpenuhi. Tetapi jika pengutang memindahkan utangnya
kepada orang yang bangkrut, maka si pemberi pinjaman berhak mengalihkan
penagihan kepada si pengutang pertama.
Perintah menerima pengalihan penagihan utang menurut sebagian
ulama adalah wajib, namun jumhur ulama berpendapat bahwa hukumnya sunat.
2.3.8. Berakhirnya Akad Hiwalah
1. Apabila kontrak

hiwalah telah terjadi, maka tanggungan muhil

menjadi gugur.
2. Jika muhalalaih bangkrut (pailit) atau meninggal dunia, maka
menurut pendapat Jumhur Ulama, muhal tidak boleh lagi kembali
menagih hutang itu kepada muhil. Menurut Imam Maliki, jika muhil
menipu muhal, di mana ia menghiwalahkan kepada orang yang
tidak memiliki apa-apa (fakir), maka muhal boleh kembali lagi
menagih hutang kepada muhil.
3. Jika Muhal alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada Muhal.
Ini berarti akad hiwalah benar-benar telah dipenuhi oleh semua
pihak.

4. Meninggalnya Muhal sementara Muhal alaih mewarisi harta hiwalah


karena pewarisan merupakah salah satu sebab kepemilikan. Jika
akad ini hiwalah muqoyyadah, maka berakhirlah sudah akad hiwalah
itu menurut madzhab Hanafi.
5. Jika Muhal menghibahkan atau menyedekahkan harta hiwalah
kepada Muhal Alaih dan ia menerima hibah tersebut.
6. Jika Muhal menghapusbukukan kewajiban membayar hutang kepada
Muhal Alaih.
2.3.9. Fatwa MUI Tentang Hiwalah
Seiring dengan berkembangnya institusi keuangan Islam di
Indonesia, maka suatu aturan hukum turut pula dikembangkan untuk
melegalisasi serta melindungi akad-akad yang sesuai Syariah Islam
diterapkan dalam Sistem Keuangan Islam di Indonesia. Maka dari itu,
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan
fatwa No: 12/DSN-MUI/IV/2000 tentangHawalah disebutkan bahwa :
1. Rukun hawalah adalah muhil, yakni orang yang berutang dan
sekaligus berpiutang, muhal atau muhtal, yakni orang berpiutang
kepada muhil, muhal alaih, yakni orang yang berutang kepada muhil
dan wajib membayar utang kepada muhtal, muhal bih, yakni utang
muhil kepada muhtal, dan sighat (ijab-qabul).
2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk
menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
3. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau
menggunakan cara-cara komunikasi modern.
4. Hawalah dilakukan harus dengan persetujuan muhil, muhal/muhtal,
dan muhal alaih.
5. Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad
secara tegas.
6. Jika transaksi hawalah telah dilakukan, pihak-pihak yang terlibat
hanyalah muhtal dan muhal alaih; dan hak penagihan muhal
berpindah kepada muhal alaih.
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika
terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan

melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan


melalui musyawarah.

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Hutang piutang sudah menjadi hal yang lumrah, namun dalam aplikasi
yang nyata alangkah lebih baiknya bila kita menjalankannya sesuai syariat Islam.
Dimana, bila kita menjalankannya sesuai syariat agama akan memberikan nilai
tambah yang lebih baik seperti, tidak memberatkan pihak peminjam, pahala yang
akan diberikan Allah SWT lebih besarnya nilainya dibanding dengan pahala
sedekah.
Barang gadai adalah milik orang yang menggadaikannya. Namun bila
telah jatuh tempo, maka penggadai meminta kepada Murtahin untuk
menyelesaikan permasalah hutangnya, dikarenakan hutangnya yang sudah jatuh
tempo, harus dilunasi seperti hutang tanpa gadai. Dengan adanya barang gadai
tidak menjadikan keraguan pihak pemberi pinjaman untuk memberikan hutang
karena adanya jaminan yang diberikan penerima hutang kepadanya. Pada hiwalah
dan kafalah, penanggung hutang yang menjamin hutang hukumnya adalah sunah.
Dalam pelaksanaan kaalah harus ada kerelaan dan keikhlasan dari
penjamin hutang, tanpa ada paksaan serta memenuhi syarat-syarat yang berlaku
sesuai syariat agama Islam. Bila salah satu syariat tersebut tidak terpenuhi maka
penjamin tidaklah berhak menjadi seorang penjamin hutang yang sah.

3.2. Saran
1. Sebagai umat Islam, sangatlah dianjurkan menolong sesama tanpa
memberatkan dengan meminta imbalan.
2. Memberikan hutang lebih tinggi pahalanya dibanding dengan memberi
sedekah, dan pemberian hutang dianjukan oleh agama.
3. Walau memberi hutang sangatlah dianjurkan, namun melakukan atau
menerima hutang lebih baik untuk menghindarinya.
4. Untuk menjamin hutang yang diberikan alangkah lebih baiknya
menggunakan jaminan.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, dkk. Ensiklopedi Fiqih Muamalah, terj. Miftahul
Khair, (Cet. 1; Yogyakarta: Maktabah al-Hanif, 2009), hal. 153.
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia,
2012), hal. 178.
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 273.

http://uin-jkt.blogspot.co.id/2010/12/googlef80e854ba6498f40html.html
http://massukron.blogspot.co.id/2013/04/jasa-wakalah-kafalah-hawalah-rahn-qardh_5209.html

Anda mungkin juga menyukai