Oleh
Kelompok II
1. Elsa Abel Nuine (1306142010012)
2. Sesar Fauza Fatimah (13061420100)
Dosen
Yulius, M.Ag
PRODI S1 KEPERAWATAN
STIKES YARSI SUMBAR BUKITTINGGI
TAHUN AKADEMIK 2015/ 2016
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena kami dapat menyelesaikan makalah ini. Penyusunan makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas Studi Islam V. Selain itu tujuan dari
penyusunan makalah ini juga untuk menambah wawasan secara meluas.
Dalam menyelesaikan makalah ini, Kami telah banyak
mendapatkan bantuan dan masukan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
dalam kesempatan ini kami ingin menyampaikan banyak terima kasih
kepada :
1. Ustadz Yulius selaku dosen pembimbing mata kuliah Studi Islam V
yang telah membimbing kami dalam menyelesaikan makalah ini
sehingga pengetahuan kami dalam penulisan makalah ini semakin
bertambah.
2. Kedua orang tua kami, yang senantiasa memberikan doa serta
dukungan baik moril maupun materil.
3. Teman-teman kami yang telah memberikan semangat dan dukungan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
4. Pihak-pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, yang turut
membantu penyusunan makalah ini.
Kami menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak
kekurangan dalam penulisan maupun penyusunan. Oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna memperbaiki
kesalahan dimasa yang akan datang.
Tim Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
...................................................................................i
DAFTAR ISI
ii
BAB l Pendahuluan
..................................................................................1
Latar Belakang
..................................................................................1
Rumusan Masalah
..................................................................................1
Tujuan Penulisan
..................................................................................1
BAB ll Pembahasan
..................................................................................3
................................................................................29
Kesimpulan
................................................................................29
................................................................................29
BAB I
PENDAHULUAN
1.3. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari Qardh, Rahn dan Hiwalah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. AL-QARDH
2.1.1. Pengertian Al-Qardh
Qardh secara etimologi Al-Qathu yang berarti memotong. Harta yang
diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh, karena
merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang.
Sedangkan secara terminologis makna Al-Qardh ialah menyerahkan
harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan
memanfaatkannya dan dia akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai
dengan padanannya. Atau dengan kata lain, Hutang Piutang adalah
memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada
peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan
jumlah yang sama.
Qardh adalah Akad pinjaman dari bank (Muqridh) kepada pihak
tertentu (Muqtaridh) yang wajib dikembalikan dengan jumlah yang sama
sesuai pinjaman. Muqridh dapat meminta jaminan atas pinjaman kepada
Muqtaridh.Pengembalian pinjaman dapat dilakukan secara angsuran ataupun
sekaligus.
Menurut ulama Hanafiyah:
Qaradh adalah harta yang diberikan seseorang dari harta mitsil (yang
memiliki perumpamaan) untuk kemudian dibayar atau dikembalikan. Atau
dengan ungkapan yang lain, qaradh adalah suatu perjanjian yang khusus
untuk menyerahkan harta (mal mitsil) kepada orang lain untuk kemudian
dikembalikan persis seperti yang diterimanya.
Sayyid Sabiq memberikan definisi Qardh sebagai berikut:
Al-Qardh adalah harta yang diberikan oleh pemberi hutang (muqrid)
kepada penerima utang (muqtarid) untuk kemudian dikembalikan kepadanya
(muqridh) seperti yang diterimanya, ketika ia telah mampu membayarnya.
dan
jangan
tolong-menolong
dalam
berbuat
dosa
dan
meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan didunia ini. Islam
adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan umatnya.
ahliyah
al-muamalah
(kelayakan
melakukan
manfaat (jasa) yang dapat dijelaskan dengan sifat. Hal ini karena bagi
mereka semua yang boleh diperjualbelikan dengan cara salam boleh
dihutangkan, sedangkan bagi mereka salam boleh pada manfaat (jasa).
Seperti halnya benda padaa umumnya.Pendapat yang dipilih oleh ibnu
taimiyyah dan ahli ilmu lainnya adalah bolehnya menghutangkan
manfaat (jasa).
c. Harta yang dihutangkan diketahui. Syarat ini tidak dipertentangkan
oleh fuqaha karena dengan demikian penghutang dapat membayar
hutangnya dengan harta semisalnya (yang sama).
Syarat ketiga ini mencakup dua hal, yaitu 1) diketahui kadarnya dan 2)
diketahui sifatnya. Demikian ini agar mudah membayarnya. Jika
hutang piutang tidak mempunyai syarat ketiga ini, maka tidak sah.
2.1.4. Waktu dan Tempat Pengembalian Al-Qardh
Para ulama empat mazhab telah sepakat bahwa pengembalian
barang pinjaman hendaknya di tempat dimana akad qardh itu
dilaksanakan. Dan boleh juga di tempat mana saja, apabila tidak
membutuhkan biaya kendaraan, bekal dan terdapat jaminan keamanan.
Apabila semua itu diperlukan, maka bukan sebuah keharusan bagi pemberi
pinjaman untuk menerimanya.Adapun untuk waktu pengembalian adalah
sebagai berikut:
Menurut ulama selain Malikiyah, waktu pengembalian harta
pengganti adalah kapan saja terserah kehendak si pemberi pinjaman,
setelah peminjam menerima pinjamannya. Karena qardh merupakan akad
yang tidak mengenal batas waktu. Sedangkan menurut Malikiyah, waktu
pengembalian itu adalah ketika sampai pada batas waktu pembayaran yang
sudah ditentukan diawal. Karena mereka berpendapat bahwa qardh bisa
dibatasi dengan waktu.
2.1.4. Skema Qardh
Hanafiyah)
bila
pinjamannya
adalah
harta
qimiy,seperti
dasar
itu,
ulama
hanafiyah
tetap
mewajibkan
3.
) .
2.1.7. Problematika Terkait Al-Qardh Pada Masa Sekarang
Para Ulama Fiqh sepakat bahwa akad qardh dikategorikan sebagai
akad Taawuniy (akad saling tolong menolong), bukan transaksi komersil.
Maka, dalam perbankan syariah akad ini dapat digunakan untuk
menjalankan kegiatan sosial bank syariah. Yaitu dengan memberi pinjaman
murni kepada orang yang membutuhkan tanpa dikenakan apapun.
Meskipun demikian nasabah tetap berkewajiban untuk mengembalikan
dana tersebut, kecuali jika bank mengikhlaskannya.
Jika
dengan
pinjaman
ini
nasabah
berinisiatif
untuk
2.2. AR-RAHN
2.2.1. Pengertian ar-Rahn (Gadai)
Secara etimologi, kata ar-rahn berarti tetap, kekal, dan jaminan.
Akad ar-rahn dalam istilah hukum positif disebut dengan barang jaminan,
agunan, adan rungguhan. Dalam islamar-rahn merupakan sarana tolong
menolong bagi umat islam, tanpa ada imbalan jasa.
Ada beberapa definisi ar-rahn yang dikemukakan ulama fiqh, ulama
Malikiyah mendefinisikan bahwa harta yang dijadikan pemiliknya sebagai
jaminan hutang yang bersifat mengikat1[1].
Menurut mereka, yang dijadikan barang jaminan (agunan) bukan
saja harta yang bersifat materi, tetapi juga harta yang bersifat manfaat
tertentu. Harta yang dijadikan jaminan tidak harus diserahkan secara actual,
tetapi boleh juga penyerahannya secara hukum, seperti menjadikan sawah
menjadi jaminan, maka yang diserahkan itu adalah surat jaminannya
(sertifikatnya).2[2]
Ulama Hanafiyah mendefinisikan bahwa menjadikan suatu barang
sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai
pembayar hak (piutang) itu, baik seluruhnya maupun sebagian3[3].
Sedangkan ulama Syafiiyah dan Hanabilah mendefinisikan ar-rahn
bahwa menjadikan barang sebagai jaminan hutang, yang dapat dijadikan
pembayar hutang apabila orang yang berhutang tidak bisa membayar
hutangnya itu4[4].
Definisi
yang
dikemukakan
Syafiiyah
dan
Hanabilah
ini
hanyalah harta yang bersifat materi; tidak masuk manfaat sebagaimana yang
dikemukakan ulama Malikiyah, sekalipun manfaat itu, menurut mereka
(Syafiiyah dan Hanabilah), termasuk dalam pengertian harta.
Ar-rahn ditangan al-murtahin (pemberi hutang) hanya berfungsi
jaminan hutang ar-rahin (orang yang berhutang).Barang jaminan itu baru
boleh dijual apabila dalam waktu yang disetujui kedua belah pihak.
Sifat Rahn secara umum dikategorikan sebagai akad yang bersifat
derma,sebab apa yang diberikan penggadai (rahin) kepada penerima gadai
(murtahin) tidak ditukar dengan sesuatu. Yang diberikan murtahin kepada
rahin adalah utang,bukan penukar ataas barang yang digadaikan5[5].
Rahn juga termasuk akad yang bersifat ainiyah,yaitu dikatakan
sempurna sesudah menyerahkan benda yang dijadikan akad,seperti
hibah,pinjam meminjam,titipan,dan qirad. Semua termasuk akad tabarru
(derma) yang dikatakan sempurna setelah memegang (al-qabdu),sesuai
kaidah: "Tidak sempurna tabarru,kecuali setelah pemegangan."
2.2.2. Dasar Hukum ar-Rahn
1. Dalam Al Quran
Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad ar-rahn dibolehkan
dalam islam berdasarkan al-Quran dan sunnah Rasul. Dalam surat alBaqarah ayat 283 Allah berfirman :
Artinya : Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak
secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang6[6] (oleh yang
berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan
persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka
5[5] Rachmat Syafei. Fiqih Muamalah. (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001) 160
6[6]Barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai.
langsung
dipegang/dikuasai
secara
hukum
oleh
si
"Rasulullah
shallallahu
'alaihi
wasallam
7[7] Ibnu Qudamah. Al-Mugni.(Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Haditsah), Jilid IV, hal.
337
3. Ijma
Para ulama telah menyepakati bahwa
ar rahn
d.
e.
f.
g.
h.
Milik rahin
Dipegang (dikuasai) oleh rahin
Bisa diserahkan
Tidak bersatu dengan harta lain
Harta yang tetap atau dapat dipindahkan
10 juta. Sebagai
9[9] Rachmat Syafei. Fiqih Muamalah. (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001) 163-164
... } .
{
pemilik barang jaminan (agunan) berhak atas segala hasil barang jaminan
dan ia juga bertanggung jawab atas segala biaya barang jaminan itu. (HR.
asy-SyafiI dan ad-Daruquthni)
Para ulama fiqh juga sepakat mengatakan bahwa barang yang dijadikan
barang jaminan itu tidak boleh dibiarkan begitu saja, tanpa menghasilkan tanpa
tetapi
sebagian
ulama
Hanafiyah,12[12]
Malikiyah,13[13]
dan
14[14]Imam asy-Syafii.al-Umm. (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), Jilid III, hal. 147
pemilik barang. Bahkan, menurut mereka ridha dan izin lebih cenderung dalam
keadaan terpaksa, karena khawatir tidak akan mendapatkan uang yang akan
dipinjam itu. Di samping itu, dalam masalah riba, izin dan ridha tidak
berlaku.Hal ini sesuai dengan hadis Abu hurairah yang diriwayatkan al-Hakim,
al-Baihaqi, dan Ibn Hibban diatas.
2.2.6. Skema Ar-Rahn
Penyelesaian Gadai
pembayaran
telah
ditentukan
untuk
membayar
utang
yang
mengakibatkan
ruginya
pihak murtahin.
membayar
menjual marhun,
utangnya,
pembelinya
harga
penjualan marhunkurang
dari
jumlah
Maka
Aburrahman
Al-Jaziri, 15
berpenapat
Pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lain
Sedangkan pengertian hiwalah menurut istilah,16 para ulam berbeda-beda
dalam mendefinisikannya, antara lain sebagai berikut :
1. Menurut Hanafiyah, yang dimaksud hiwalah ialah :
Memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang
lain yang punya tanggung jawab kewajiban pula.
2. Al-Jazir sendiri sendiri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
hiwalah ialah :
Pernikahan utang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung
jawab orang lain.
3. Syihab Al-Din Al-Qalyubi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
hiwalah ialah :
Akad yang menetapkan pemindahan bebean utang dari seseorang kepada
yang lain.17
4. Ibrahim Al-Bajuri berpendapat bahwa hiwalah ialah :
Pemindahan kewaikban dari beban yang memindahkan menjadi beban
yang menerima pemindahan. 18
5. Menurut Taqiyuddin, yang dimaksud dengan hiwalah ialah :
15Lihat,al-Fiqh Ala Madzahib al-Arbaah, hal. 210.
16Ibid.
17 Lihat,Qulyubi wa Umaira, Dar al-Ihya- al-Kutub al-Arabiyah Indonesia, tth. 318.
18 Lihat, al-Bajuri, Usaha Keluarga, Semaran g. Tth. Hal. 376.
Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah20tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar
2. Hadits
:
"Menunda (pembayaran hutang) oleh orang yang telah mampu membayar
itu suatu penganiayaan. Apabila salah seorang di antara kamu hutangnya
dilimpahkan kepada orang yang mampu, hendaklah kamu menerima.21
3. Ijma
Kesepakatan ulama (ijma) menyatakan bahwa hiwalah boleh dilakukan
2.3.3. Rukun dan Syarat Hiwalah
Menurut Hanafiyah, rukun hiwalah hanya satu yaitu ijab dan
kabul yang dilakukan antara yang menghiwalahkan dengan yang
menerima hiwalah.
Jenis-jenis Hiwalah
Hiwalah Muthlaqoh
Hiwalah
Muthlaqoh
terjadi
jika
orang
yang
ini
disebut
Muthlaqoh.
Ini
hanya
dalam
2.
Hiwalah Muqoyyadah
Hiwalah Muqoyyadah terjadi jika Muhil
bahwa
muqayyadah
dan
hanya
membolehkan
menyariatkan
pada
hiwalah
hiwalah
jumlahnya.
Jika
sudah
sama
jenis
dan
Hiwalah Haq
Hiwalah ini adalah pemindahan piutang dari satu
Hiwalah Dayn
Hiwalah ini adalah pemindahan hutang kepada
sedangkan
memandangnya
sebutan
sebagai
Haqq,
pengalihan
jika
kita
piutang.
yaitu
jasa
pengalihan
tanggung
jawab
pemindahbukuan
dana
pada
rekening
tuan
untuk
Muhal Alaih
(Factor/Bank)
2. invoice
5. Bayar
3. Bayar
4. Tagih
menjadi gugur.
2. Jika muhalalaih bangkrut (pailit) atau meninggal dunia, maka
menurut pendapat Jumhur Ulama, muhal tidak boleh lagi kembali
menagih hutang itu kepada muhil. Menurut Imam Maliki, jika muhil
menipu muhal, di mana ia menghiwalahkan kepada orang yang
tidak memiliki apa-apa (fakir), maka muhal boleh kembali lagi
menagih hutang kepada muhil.
3. Jika Muhal alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada Muhal.
Ini berarti akad hiwalah benar-benar telah dipenuhi oleh semua
pihak.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Hutang piutang sudah menjadi hal yang lumrah, namun dalam aplikasi
yang nyata alangkah lebih baiknya bila kita menjalankannya sesuai syariat Islam.
Dimana, bila kita menjalankannya sesuai syariat agama akan memberikan nilai
tambah yang lebih baik seperti, tidak memberatkan pihak peminjam, pahala yang
akan diberikan Allah SWT lebih besarnya nilainya dibanding dengan pahala
sedekah.
Barang gadai adalah milik orang yang menggadaikannya. Namun bila
telah jatuh tempo, maka penggadai meminta kepada Murtahin untuk
menyelesaikan permasalah hutangnya, dikarenakan hutangnya yang sudah jatuh
tempo, harus dilunasi seperti hutang tanpa gadai. Dengan adanya barang gadai
tidak menjadikan keraguan pihak pemberi pinjaman untuk memberikan hutang
karena adanya jaminan yang diberikan penerima hutang kepadanya. Pada hiwalah
dan kafalah, penanggung hutang yang menjamin hutang hukumnya adalah sunah.
Dalam pelaksanaan kaalah harus ada kerelaan dan keikhlasan dari
penjamin hutang, tanpa ada paksaan serta memenuhi syarat-syarat yang berlaku
sesuai syariat agama Islam. Bila salah satu syariat tersebut tidak terpenuhi maka
penjamin tidaklah berhak menjadi seorang penjamin hutang yang sah.
3.2. Saran
1. Sebagai umat Islam, sangatlah dianjurkan menolong sesama tanpa
memberatkan dengan meminta imbalan.
2. Memberikan hutang lebih tinggi pahalanya dibanding dengan memberi
sedekah, dan pemberian hutang dianjukan oleh agama.
3. Walau memberi hutang sangatlah dianjurkan, namun melakukan atau
menerima hutang lebih baik untuk menghindarinya.
4. Untuk menjamin hutang yang diberikan alangkah lebih baiknya
menggunakan jaminan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, dkk. Ensiklopedi Fiqih Muamalah, terj. Miftahul
Khair, (Cet. 1; Yogyakarta: Maktabah al-Hanif, 2009), hal. 153.
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia,
2012), hal. 178.
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 273.
http://uin-jkt.blogspot.co.id/2010/12/googlef80e854ba6498f40html.html
http://massukron.blogspot.co.id/2013/04/jasa-wakalah-kafalah-hawalah-rahn-qardh_5209.html