Anda di halaman 1dari 5

ARTIKEL PENGANTAR AGRIBISNIS

SUBSISTEM BUDIDAYA
TANAMAN UBI KAYU
DOSEN PENGAMPU : Ir. SUSI EDWINA M,Si

Disusun Oleh :
Eli susanti (1806124902)
Gina nashara (1806113440)
Novia ripayati sihotang (1806113610)
Patika riki darmayanti (1806111430)
Wilda rahayu (1806112996)

JURUSAN AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS RIAU

2018/2019
Jakarta - Minat petani menanam singkong di Indonesia makin rendah. Pasalnya, harga jual
singkong (ubi kayu) yang tiarap. Rendahnya harga ditambah lamanya masa panen singkong
membuat para petaninya erat dengan kemiskinan.

"Saat ini kita punya petani singkong, mereka tetap banyak menanam singkong tetapi miskin
karena singkong ini 8 bulan baru panen. Harga singkong masih sangat rendah," ungkap Direktur
Pasca Panen, Kementerian Pertanian (Kementan) Pending Dadih Permana saat berdiskusi
tentang 'Roundtable Singkong' di Menara Kadin, Kuningan, Jakarta Selatan.

Terkait turunnya harga singkong yang saat ini mencapai harga terendah, yakni Rp500 per
kilogram, sedangkan harga yang selayaknya diterima petani Rp800 per kilogram, sehingga
mengakibatkan petani merugi. "Salah satu merosotnya harga ubi kayu antara lain masuknya
impor tapioka dalam jumlah besar," ujarnya. Sementara itu, beberapa kesimpulan dihasilkan
dalam rapat yang dihadiri oleh KTNA, pelaku usaha pabrik tapioka, BPS, Bulog, dan satuan
kerja perangkat daerah terkait harga ubi kayu itu. Kesimpulan rapat adalah mengklarifikasi
faktor penyebab turunnya harga singkong karena pengaruh ekonomi global, impor tapioka dari
Thailand, kelebihan suplai dari produksi lokal.

Kemudian, perlu dilakukan pembinaan pola tanam dan peningkatan produktivitas dan kualitas
untuk meningkatkan daya saing petani singkong, perlu dilakukan komunikasi yang
berkesinambungan antara petani, asosiasi pabrik tapioka dan pemerintah dalam rangka
pembinaan dan pemantauan. Selanjutnya, pengembangan dan diversifikasi produk olahan,
pembinaan tata niaga singkong dengan melibatkan BUMD, dan mengupayakan adanya harga
pembelian pemerintah singkong.

Menurut data Kementan, harga singkong di tingkat grosir dari tahun ke tahun memang
mengalami peningkatan tapi terbilang cukup rendah. Di tahun 2013 harga singkong Rp 1.466/kg,
tahun 2012 Rp 1.319/kg, tahun 2011 Rp 1.306/kg, tahun 2010 Rp 695/kg, dan di tahun 2009 Rp
499/kg.

"Jadi rata-rata harga singkong di tingkat grosir adalah terendah Rp 499, tertinggi Rp 1.466/kg.
Ini yang menyebabkan bertanam singkong on off," imbuhnya.

"Kepemilikan lahan sempit menjadi masalah klasik membuat produk tani menjadi rendah. Modal
menjadi keterbatasan juga. Teknologi inovatif juga, penyebaran benih juga belum optimal dan ke
depan menjadi perhatian dari pemerintah," imbuhnya.

Ke depan, pemerintah punya banyak konsep untuk mengembangkan serta menggenjot produksi
singkong di dalam negeri. Pemerintah berjanji akan memberikan perlakukan yang sama antara
singkong dengan komoditas pertanian penting lainnya seperti beras dan kedelai.
"Ada program akselerasi kebun singkong sebanyak 9.300 hektar di tahun 2015 mendatang.
Produksi singkong saat ini antara 18-20 ton/hektar seharusnya bisa ditingkatkan menjadi 30-40
ton/hektar. Kami mencoba dengan mikoriza yaitu campuran udang, terasi, usus yang menjadi
mikroorganisme yang dapat bersimbiosis dengan singkong sehingga mencoba untuk
meningkatkan profitas ubi kayu kita," jelasnya.

Dari sisi lain,biasanya tanaman singkong hanya dapat menghasilkan 2 sampai 10 kilogram
singkong per pohon, tetapi dengan dilakukannya sistem dari pemerintah salah satunya yaitu
sambung batang (grafting) bisa menghasilkan singkong berlipat-lipat. sistem ini dilakukan
dengan cara menyambung antara batang singkong jenis karet dan singkong lokal pada batang
bawah. "Sebenarnya sistem ini sudah dilakukan dari tahun 1970 lalu.

Namun, karena sistemnya harus menyambung terlebih dulu, membuat kebanyakan petani enggan
melakukannya,". Demi membuktikan kepada petani bahwa hasil dari sistem ini luar biasa,
budidaya singkong di lahan dengan luasan 500 meter persegi. Caranya, batang singkong karet
ditempatkan sebagai batang pada lapisan atas, sedangkan batang singkong jenis varietas lokal
yang ditanamkan di dalam tanah (batang bawah). Batang singkong karet harus sebagai batang
atas, sedangkan untuk batang atas bisa dipilih dari tanaman singkong varietas unggul atau super.

Tanaman sambungan ini juga akan memiliki dahan dan ranting, sedangkan daunnya akan
tumbuh seperti singkong karet. "Kalau singkong karet sendiri tidak boleh dimakan buahnya
karena itu pemanfaatannya dengan cara penyambungan,". Panjang pohon ini ternyata bisa lebih
dari 1 meter, melebihi singkong armona biasa yang hanya 20 sentimeter. Masa panen tanaman
singkong pada umumnya 9 bulan. Membesarnya umbi pada singkong hasil penyambungan karet
dan singkong lokal itu dikarenakan kedua jenis singkong itu saling mendukung. Singkong karet
memiliki ciri pohon yang lebih rindang sehingga baik untuk fotosintesis makanan pada pohon,
sedangkan singkong gatot kaca, misalnya, memiliki ciri umbi yang bulat dan tekstur daging yang
pulen.

"Hasil panen rata-rata kemarin bisa mencapai 40 kilogram, yang biasanya hanya kurang dari 10
kilogram satu batangnya," tuturnya. Sebagian besar masyarakat melakukan pembudidayaan
singkong. Demi mendukung produksi singkong, petani harus beralih ke sistem penyambungan
agar didapatkan hasil yang lebih banyak. Hanya saja, kendalanya adalah masalah penyambungan
yang membutuhkan waktu.

Ada pun tindakan lain yang bisa diterapkan adalah pemilihan bibit,bibit singkong Formula Satu
(F-1) yang ditanam dengan menggunakan media serbuk sabut kelapa mampu menghasilkan
singkong siap jual 80 kilogram per batang atau 800 ton per hektar.

Satu lagi rahasia pemanfaatan serbuk sabut kelapa, yang dalam perdagangan internasional
disebut coco peat, terungkap.
Selain efektif mempercepat kinerja pertumbuhan tanaman dan menghemat penggunaan pupuk,
ternyata hasil samping dari usaha pengolahan serat sabut kelapa (coco fiber) ini, mampu
meningkatkan produktivitas lahan hingga 50 persen.

Berbekal informasi tentang manfaat serbuk sabut kelapa yang dapat meningkatkan produktivitas,
Pemanenan singkong siap jual sebanyak 800 ton di lahan seluas satu hektar. Ini luar biasa. Bibit
singkong yang ditanam langsung ke dalam tanah hanya menghasilkan singkong 50 kilogram per
batang atau 500 ton per hektar. Tapi, bibit singkong yang menggunakan media tanam serbuk
sabut kelapa, hasilnya di luar dugaan. Ada peningkatan sekitar 30 kilogram per batang atau 300
ton per hektar. Bibit singkong yang dibudidayakan dalam teknik menggunakan serbuk sabut
kelapa ini bukanlah bibit singkong biasa, tapi bibit hasil inkubasi DNA (deoxyribosenucleid
acid) singkong dari Taiwan dan singkong asli Indonesia. Hanya masa panen, daun, dan warna
singkong yang beda. Kualitas dan rasanya sama dengan singkong lokal, empuk dan gurih saat
digoreng, di berharapkan bibit singkong F-1 dapat menjawab kekhawatiran pemerintah akan
ancaman ketahanan pangan nasional.

Sebagaimana diketahui, untuk dapat berproduksi optimal, tanaman singkong membutuhkan


curah hujan 150-200 mm pada umur 1-3 bulan, 250-300 mm pada umur 4-7 bulan, dan 100-150
mm pada fase menjelang dan saat panen. Namun, dengan kemampuan serbuk sabut kelapa yang
dapat menyerap dan menyimpan air 300 persen lebih dari kemampuan lahan, menjadikan
tanaman singkong dapat tumbuh survive di musim kemarau.

Kesimpulan :

Sub-sistem agribisnis hulu

Masalah:

 Kualitas singkong pasca panen kurang memuaskan


 penyebaran benih juga belum optimal

Penyebab :

 Bibit yang digunakan petani kurang berkualitas


 Kurangnya perhatian dari pemerintah terhadap komoditas singkong

Solusi :

 Pemerintah memberikan fasilitas berupa bibit unggul yaitu formula satu (f-1) yang
merupakan hasil inkubasi DNA (deoxyribosenucleid acid) singkong dari Taiwan dan
singkong asli Indonesia.
 Pemerintah berjanji akan memberikan perlakukan yang sama antara singkong dengan
komoditas pertanian penting lainnya seperti beras dan kedelai.

Sub-sistem agribisnis on farm

Masalah:

 Tanaman singkong hanya dapat menghasilkan 2 sampai 10 kilogram singkong per


pohon.
 Sulitnya ketersediaan air pada daerah tertentu
 Kepemilikan lahan sempit

Penyebab :

 Kurangnya pengetahuan para petani tentang bercocok tanam yang baik


 Cuaca yan tidak menentu dan letak geografis lahan
 Keterbatasan modal
Solusi :

 Pemerintah melakukan penyuluhan salah satunya yaitu teknik sambung batang (grafting)
 Pemerintah memfasilitasi pembangunan embung di desa yang berdataran rendah dan
memiliki iklim kering tersebut, petani tak lagi terkendala soal ketersediaan air.
 Berbekal informasi tentang manfaat serbuk sabut kelapa yang dapat meningkatkan
produktivitas , serbuk sabut kelapa yang dapat menyerap dan menyimpan air 300 persen
lebih dari kemampuan lahan, menjadikan tanaman singkong dapat tumbuh survive di
musim kemarau.
 Pemerintah punya banyak konsep untuk mengembangkan serta menggenjot produksi
singkong di dalam negeri

Sub-sistem agribisnis marketing

Masalah:
 Harga jual ubi kayu sangat rendah

Penyebab:
 Pengaruh ekonomi global,tingginya angka impor tapioka
 Kelebihan suplai dari produksi lokal.

Solusi :
 Pembinaan pola tanam
 Pembinaan tata niaga ubi kayu yang melibatkan BUMD.

Anda mungkin juga menyukai