Anda di halaman 1dari 12

RESUMAN

“Bandit-bandit Pedesaan di Jawa”

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

Sejarah Indonesia Masa Kolonial

Dosen Pengampu: Dra. Carolina Santi Muji Utami, M.Hum.

Disusun oleh :

1. Sabilah Nur Hikmah (3101417006)


2. Eni Kiryani (3101417008)
3. Deni Danasari (3101417011)

Rombel : 3A Pendidikan Sejarah

JURUSAN SEJARAH

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

TAHUN 2018

1
BAB 3
PERLUASAN PERKEBUNAN

Perluasan Areal Dan Produksi

Asal mula tanah partikelir berawal dari penjualan tanah-tanah oleh VOC
kepada pihak swasta sampai dengan perempatan abad XIX. Setelah J.P. Coen
menguasai Jakarta, pada tahun 1619 tanah yang terdapat di sekitar Batavia
diberikan menurut plakat tanggal 1 April 1627 dengan si pemakai tanah tersebut
memperoleh hak milik. Kemudian pada masa pemerintahan Daendels telah dijual
tanah-tanah di Karawang, Priangan, Semarang, Probolinggo, dan Besuki. Banyak
tuan tanah di daerah tersebut yang meguasai tanah-tanah pertikelir. Sampai pada
dasawarsa pertama abad XX terdapat beberapa tanah pertikelir di sekitar Jakarta,
Pamanukan dan Ciasem. Peningkatan tanah pertikelir berkembang baik setiap
tahunnya. Tanah-tanah partikelir menghasilkan tanaman yang multiproduksi, baik
produksi pasar lokal maupun pasar Eropa dengan menghasilkan padi, gula, kopi,
teh, tembakau, cokelat, kina, fuli, lada, dan indigo.

Disebutkan bahwa Vorstenlanden merupakan daerah subur yang


dikembangkan sebagai agroindustri oleh pemerintah kolonial, dapat dikatakan
pula sebagian produksi ekspor berasal dari Vorstenlanden. Tahun 1800-1830
menjadi masa uji coba mencari bentuk baru untuk mendapatkan eksploitasi
keuntungan. Daendels (1808-1811) mencoba menerapkan administrasi dan
keuangan baru tetapi tidak berhasil karena pemerintahannya singkat dan
mempertahankan serangan Inggris. Selanjutnya pada masa Raffles (1811-1816)
pun sama yaitu pembaharuan administrasi keuangan dengan sewa tanah yang
diintroduksikannya juga tidak berhasil. Seperti yang diketahui bersama, bahwa ide
Raffles adalah ide liberal yang memberikan kebebasan pada penduduk dengan hak
tanah secara individual dengan penduduk yang membayar pajak tanah kepada
pemerintah. Namun, pada masa Gubernur Jenderal van de apellen (1819-1826)
terjadi adanya keraguan dari penyewaan tanah yang sudah dilakukan dengan
menarik kembali sewa yang dilakukan oleh para bangsawan yang menjadi salah
satu penyebab timbulnya Perang Diponegoro (1825-1830). Setelah Perang

2
Diponegoro selesai, pemerintah Belanda mempraktikkan Tanam Paksa
(cultuurstelsel). Tanam paksa ini sudah berjalan sejak akhir abad XVII karena
pada waktu itu di Vorstenlanden sudah terjadi persewaan tanah para bangsawan
pada orang-orang Cina.

Perluasan area perkebunan dilegalkan sejak keluarnya undang-undang


persewaan tanah pada tahun 1839,1857, dan 1884. Dengan berkembangnya
perkebunan berarti tenaga kerja petani juga dipekerjakan secara maksimal. Kuli
harian (daglooner) di perkuat oleh peraturan glidig stelsel, yang mengatur
pengerahan tenaga kerja upahan dan konsekuensinya. Sejak tahun 1850 kopi
ditanam di lereng barat daya Merapi. Masyarakat setempat juga mengena tanaman
indigo sebagai pewarna benang tenun yang didukung oleh kegiatan masyarakat
setempat.

Pada tahun 1860 di Yogyakarya didirikan pabrik gula yang digerakkan


oleh tenaga air terus meningkat sebanding dengan permintaan pasar Eropa,
disebabkan oleh faktor biaya produksi yang rendah sehingga keuntungan kolonial
berlipat ganda. Adapun tanam paksa yang diarsiteki oleh Bosch dipraktikkan di
Pasuruan, karena Pasuruan merupakan daerah makmur dengan sawah yang
membentang luas. Tanam paksa di sini tidak mendapatkan kesulitan karena
sebelumnya telah ada industri gula rakyat.

Patron Baru

Di Indonesia, khususnya masyarakat Jawa berlaku hubungan patron-klien,


sering pula disebut hubungan gusti-kawula. Antara raja dan rakyat terjadi
hubungan simbiotik, dalam artian keduanya mempunyai hubungan seimbang dan
timbal balik. Namun, jika dilihat dari hierarkinya maka raja mempunyai
kedudukan lebih tinggi dari pada rakyat. Raja adalah patron yaitu penguasa
wilayah dan penguasa politik, sedangkan rakyat adalah klien yang memiliki
hubungan harmonis karena keduanya saling memerlukan bantuan. Fungsi patron
sebenarnya adalah pelindung masyarakat dengan tujuan agar kepentingan rakyat
terpenuhi, hidup tenteram tanpa gangguan. Dapat diambil contoh dalam sejarah

3
kuno misalnya seorang raja mendirikan suatu proyek kerajaan dengan membuat
bendungan untuk mengairi sawah petani. Tentunya seteah masa panen maka
sebagian hasilnya diserahkan kepada raja sebagai pajak.

Dengan adanya tanah partikelir dan perkebunan di Jawa maka terjadilah


pergantian patron. Kedudukan raja diganti oleh para penyewa tanah yang berhak
atas pajak, upeti, dan sumbangan untuk kepentingan penyewanya. Pada dasarnya
patron lama mendapatkan upeti secara tradisional dalam volume pasar lokal dan
konsumsi kerajaan. Sedangkan penyewa tanah memanfaatkan tanah dan tenaga
kerja yang disewanya dengan mengeksploitasi secara maksimal.

Pencaplokan Tanah dan Tenaga Kerja Petani

Sesuai dengan usaha baru yang ditempuh oleh para penyewa tanah orang
Belanda dan Cina berusaha menguasai dua faktor produksi tersebut yaitu tanah
dan tenaga kerja. Dalam Koloniaal Verslag tanah yang disewa dikelompokkan
menjadi tanah pemerintah, tanah partikelir, tanah yang disewa, konsesi
perkebunan, dan persewaan bebas oleh petani.

Sejak tahun 1912, dimulainya reorganisasi tanah apanage di


Vorstenlanden, sedangkan sewa tanah dari para bangsawan sudah berlangsung
lama. Tujuan adanya reorganisasi paralel dengan liberal yang memudahkan
penyewa tanah untuk melakukan kontrak persewaan tanah secara individual.
Sejalan dengan perluasan perkebunan maka pencaplokan tanah juga meningkat.
Di Vorstenlanden apanage selalu diincar karena merupakan tanah pilihan paling
subur dan jumlah sewa semakin meningkat sejak tahun 1850-an.

Pada masa pemerintahan kerajaan berlaku kerja wajib bagi sikep yang
dibedakan menjadi a) kerigaji, kerja wajib untuk para raja dan para patuh, b)
kerigan, kerja wajib untuk desa, c) gugur gunung, kerja wajib untuk desa jika
terjadi bencana alam. Kerja wajib tersebut diperluas menjadi kerja intiran atau
cultuurdiensten yang jumlah jam kerjanya diatur oleh perkebunan. Menurut
Brooshooft, pada tahun 1888, kerigan dilakukan lima hari selama lima jam dan
dines kemit, yaitu menjaga rumah “tuan-tuan” dilakukan dua minggu sekali.

4
Sedangkan kerja gugur gunung tidak dapat dipastikan kapan dilakukan tetapi yang
jelas dalam sebulan pasti terjadi gangguan alam.

Bagi daerah Pasuruan dan Probolinggo yang didominasi oleh perkebunan


tebu tampaknya lebih mudah dalam pengelolaannya. Rekruitmen tanah dan tenaga
kerja di perkebunan tebu berlangsung sampai dengan akhir tahun 1870-an, sebab
pada tahun 1850-1860 perkebunan tebu mengalami kendala yang tidak dibantu
oleh pemerintah, apalagi sejak munculnya undang-undang Gula dan program
liberal maka perkebunan pemerintah mulai diganti oleh perkebunan swasta.

Kehidupan Subsisten

Kondisi sosial masyarakat tradisional yang diteruskan oleh masyarakat


kolonial pada dasarnya berlaku sistem bioekonomi yaitu ekonomi yang berlaku di
desa dan di atas desa (supra village sphere). Tanah partikelir Banten-Batavia
dikuasai oleh tuan-tuan tanah partikelir. Di Vorstenlanden kehidupan rakyat
ditekan oleh ekonomi kerajaan dan perkebunan. Di pedesaan sendiri sebenarnya
terjadi eksploitasi kelompok yang menduduki stratifikasi sosial tertinggi yaitu
para sikep dan kuli kenceng terhadap kuli lain yang lebih rendah kedudukannya.

Kehidupan petani di tanah partikelir memang berat karena berbagai pajak


dan layanan, disebut cuke, harus diserahkan kepada tuan-tuan tanah Belanda dan
Cina. Besarnya cuke yang harus diserahkan yaitu seperlima dari hasil panen. Akan
tetapi kerap kali pajak ditarik melebihi ketentuan. Selain itu, petani dikenakan
layanan kerja yang disebut kompenian yaitu kerja wajib yang dilakukan lima hari
dalam sebulan. Akan tetapi para tuan tanah tidak kekurangan akal untuk
merekayasa dengan menambah kompenian dari hasil kerja rakyat. Seperti halnya
petani dituntut untuk kerja umum yang disebut a) garol, tiga hari setiap bulan, b)
kroyo, hanya untuk orang dewasa, dan c) kemit, berupa ronda atau jaga. Kondisi
sosial seperti inilah yang menyebabkan kehidupan petani di tanah-tanah partikelir
selalu ada di bawah subsisten. Hal ini tidak dialami pada satu daerah saja, banyak
daerah lain seperti Vorstenlanden juga mengalami hal serupa.

5
Buruh dan petani memang menerima uang sebesar upah sebagai imbalan
tenaga kerja yang dilakukan. Namun kenyataannya, buruh dan petani tersebut
menerima uang fiktif, mereka bahkan terlilit hutang (indebted) selama sistem
ekonomi yang berlaku di pedesaan tidak berubah. Petani tidak menerima uang
karena peredaran uang direkayasa dengan menyediakan barang-barang konsumtif.
Banyak berdiri warung madat (amfioen kitten) disekitar perkebunan, tempat
mereka mengonsumsi upahnya. Di pedesaan banyak beroperasi warung cina
klonthong yang menjual barang kebutuhan penduduk dengan kredit atau mindring.
Masih banyak ditemukan lintah darat yang menyedot upah penduduk, bukan
hanya rentenir Cina tetapi juga pribumi, orang kaya desa dan kepala desa.
Tempat-tempat yang menjadi arena perjudian dan prostitusi yang merupakan
rendez-vouz para bandit untuk menghabiskan hasil rampokannya.

Dominasi Terhadap Lembaga Tradisional

Masuknya perkebunan ke pedesaan berarti lembaga desa yang mengatur


kehidupan masyarakat mulai terdesak eksistensinya. Kekuatan kultural eksternal
mampu mendisorganisasikan lembaga masyarakat yang ada. Masuknya ekonomi
perkebunan juga menambah faktor produksi berupa tanah, tenaga kerja,
perdagangan, pajak, dll. Dengan masuknya birokrasi kolonial, kondisi kerja
sangat tergantung pada perkebunan dan pabrik.

Desakkan lembaga kolonial menyingkirkan eksistensi lembaga tradisional


berada di luar bahkan menggantikan birokrasinya langsung yang mengawasi.
Kekuatan eksternal yang dibawa budaya perkebunan menimbulkan reaksi
masyarakat pedesaan. Di alam masyarakat kolonial sendiri enggan berbagi
kepuasan dan mau menampungnya. Wajar bila masyarakat mencari jalan keluar
dengan cara fisik untuk mengembalikan kulturnya yang didominasi dan tidak
diberi hak hidup.

6
BAB 4

SIFAT DASAR PERBANDITAN

Terminologi

Istilah mengenai perbanditan dipandang sangat subjektif, dari sudut mana


istilah itu diberikan. Istilah itu datang dari penguasa yang merasa dirugikan oleh
perbuatan seorang atau kelompok. Namun akhirnya istilah itu diterima oleh
masyarakat karena perbuatan perbanditan bertentangan dengan kepentingan
pemerintah. Bandit mencakup pengertian: 1) perampok berkawan (kolektif); 2)
seorang yang mencuri, membunuh dengan cara kejam dan tanpa rasa malu
(gangster); 3) seorang yang mendapat keuntungan dengan tidak wajar; 4) musuh.
Bandit dibedakan bandit biasa (ordinary bandit), yang melakukan kejahatan
dengan merampok tanpa latar belakang apapun dan bandit sosial (social bandit)
adalah perbuatan seseorang untuk merampok yang dilatarbelakangi kepentingan
sosial-politik.

Hobsbawn, seorang sejarawan sosial Inggris menyebutkan bahwa


perbanditan tidak lepas dari 1) perasaan tidak puas, 2) sukar melepaskan
perbanditan sesungguhnya dengan gerakan sosial, dan 3) gambaran situasi yang
masih primitif. Sedangkan gerakan perbanditan itu dilakukan untuk
menghilangkan ketidakadilan, penekanan dan eksploitasi, khususnya untuk
perbanditan di Jawa belum mengarah pada gerakan politik.

Adapun perbanditan sosial yang dikemukakan oleh O’Malle dengan


merangkum bahwa pada dasarnya ciri khas bandit adalah: 1) tidak meninggalkan
komunitasnya, 2) mencerminkan nilai moral dan ideologi kelompoknya, 3)
perbuatannya yang ganas karena konsisten dengan ideologinya, korban dianggap
musuh komunitasnya, dan 4) ia dibantu baik kata maupun perbuatannya oleh
masyarakat. George Rude mengklasifikasikan perbanditan menjadi 1) kejahatan
akuisitif (ketamakan), 2) kejahatan sosial dan survival, 3) kejahatan protes.

Perbanditan pedesaan yang merupakan manifestasi protes sosial terjadi di


tanah partikelir, tanah kerajaan, dan tanah gubernemen. Di tanah partikelir

7
Banten-Batavia disebut rampok, perusuh, di Vorstenlanden dikenal dengan istilah
kecu, kampak, sedangkan di Pasuruan-Probolinggo disebut rampok untuk bandit
dalam jumlah kecil disebut koyok. Pemerintah kolonial menyebutnya kecupartij,
roofpartij, dan roverbende yang pada dasarnya menggangu rust en orde
(ketenangan dan ketertiban) pemerintah kolonial. Istilah lain sering digunakan
oleh masyarakat bagi tindak kejahatan adalah brandhal, durjana, dan lun yang
lebih mengacu pada latar belakang ekonomi. Perbanditan pedesaan merupakan
protes petani yang tidak memiliki latar belakang keagamaan, kesadaran politiknya
masih rendah dan pada tingkat ini masih diperjuangkan kebebasan sosial
ekonomi.

“Dunia bawah tanah” Pedesaan

Gambaran tentang dunia yang harmonis dalam budaya Jawa dilukiskan


adanya keseimbangan hubungan gusti-kawula. Dinamika aktor tersebut tidak
lepas dari pusat budaya yaitu kraton dan pedesaan. Kraton menjadi pusat budaya
besar, semarak, halus, dan predikat lain yang menunjukkan kelebihan. Budaya
kraton berpusat di kuthagara memancarkan konsentris sehingga pengaruhnya
menyebar keluar, di daerah apanage yang subur sebagai pusat logistik, bangsawan
dan birokrat kerajaan, tetapi juga mancanegara. Budaya kraton mempunyai
lingkup yang jauh lebih sempit dari pada budaya pedesaan. Di pihak lain,
pedesaan menjadi pusat budaya kecil yang merupakan poros tersendiri yang
menyimpan budaya golongan bawah yang rendah, polos, dan kasar karena budaya
pedesaan tidak diadakan refinisasi. Ekologi kulturalnya sebagai budaya yang
heterogen sehingga sifat budayanya populis dan demokratis.

Dunia bawah tanah pedesaan banyak dikenal dengan istilah rural


underworld identik dengan dunia alam peteng. Selama dunia bawah tanah
merupakan Lebensraum yang sudah terasosiasikan maka kehidupan dunia bawah
tanah berjalan tanpa dicurigai dan diketahui alam padhang yang bertentangan
aturan dan kepentingannya. Dunia bawah tanah adalah dunia yang penuh misteri
dan diliputi oleh kerahasiaan, tertutup dan sulit dijangkau. Untuk mengetahui
semua aktivitas dalam alam peteng, sejak masa kerajaan Jawa Kuna sudah ada

8
ekor birokrat rendahan yang disebut kapetengan. Bertugas mengetahui segala
perkembangan dunia bawah tanah. Sampai sekarang di Yogyakarta dan Surakarta
masih ada desa kapetengan dan desa padhangan yang saling mengontrol dalam
bentuk desa.

Situasi kultural, kultur Barat di satu sisi dan kultur Jawa di sisi lain dalam
kondisi cengkah, saling berhadapan. Kultur Jawa makin dipersempit dengan
datangnya kultur Barat, oleh karena itu kultur Jawa dijaga agar tetap hidup.
Identitas yang dialamatkan pada pemerintah kolonial maupun perkebunan yang
diwujudkan dalam gerakan dunia bawah tanah. Sikap menentang protes ini
ditunjukkan dalam heroisme perbanditan pedesaan.

Dunia bawah tanah penuh rahasia, bohong, dusta, tipuan, jebakan, dll.
Informasi mengenai dunia luar diperoleh melalui telik, seorang bertugas
mengamati dunia luar sebelum operasi yang sebenarnya dengan komunikasi
tersendiri. Hal ini dimaksudkan agar usahanya sukses dan tidak terbongkar
sebelum dan sesudah menjalankan aksi.

Kepemimpinan dan Ideologi

Peranan seorang pemimpin dalam gerakan perbanditan sangat penting.


Yang diangkat menjadi pimpinan gerakan bawah tanah adalah elite kultural yang
mengetahui seluk beluk kultural pedesaan. Ia adalah tempat bertanya semua
masalah di pedesaan baik yang bersifat spiritual maupun fisik. Seorang pemimpin
harus ramah, mampu membuat suasana persuasif dan suka memberikan
pertolongan kepada masyarakat guna mendapatkan simpati dengan bertindak
sebagai dukun dalam “ilmu tua” atau kasepuhan. Seorang pemimpin dalam dunia
bawah tanah mempunyai ilmu kebal, yang tahan dan merasa tidak sakit terhadap
pukulan dan sabetan. Mereka juga mempelajari ngelmu bagaimana cara
melepaskan diri dari kejaran, kepungan, dan siksaan. Misalnya menggunakan aji-
aji, welut putih, saput angina, wungkal bener, sirep begananda, dll. Tentunya
harus mematuhi aturan dan pantangan agar ilmunya tidak sirna.

9
Perbanditan sosial merupakan kombinasi antara everyday forms of peasant
resistance dan peasant revolt. Gerakan antipenguasa yang ekstraktif dengan latar
belakang sekuler dari pada religius. Gerakan ini bertujuan mengembalikan
miliknya yang telah diserobot penguasa. Sedangkan perbanditan pedesaan lebih
menitikberatkan hal-hal yang sifatnya riil dan ekonomis, artinya menghadapi
kepentingan primer yang merupakan hajat hidup bersama dalam pedesaan. Karena
itu, tindakan mereka untuk mengadakan pembalasan dengan tindakan keras,
kejam, brutal, dan destruktif.

Situasi Budaya Kondusif

Perubahan sosial yang terjadi harus dihadapi dengan pandangan


Javanosentris, suatu pandangan yang mencari penyelesaian menurut sudut
pandang orang Jawa. Jika ingin memahani perbanditan pedesaan Jawa harus
mendalami iklim budaya Jawa yang tidak lain adalah apa yang menyelimuti
perasaan masyarakat pedesaan dalam menghadapi terdesaknya budayanya. Di
dalam masyarakat berlaku pendalaman ilmu kebal, kadigdayan, pemakaian jimat,
dll.

Perbanditan pedesaan adalah etos kultural pedesaan yang dinyatakan


dalam tradisi masyarakat yang mencakup hal-hal seperti pemujaan orang-orang
keramat, pemakaian jimat, rite, loyalitas suku, keluarga maupun wilayah. Faktor
tersebut kemudian dikombinasikan dengan perlawanan pedesaan. Mereka juga
menyiapkan senjata tajam seperti sabit, keris, golok, pedang, linggis, pethel,
dhandhang, wadung, dan bermacam tali. Iklim perbanditan yayng meluas
menimbulkan aktivitas perbanditan terus-menerus yang dilakukan oleh suatu
kelompok menjadi sangat akut.

Organisasi dan Operasi

Perbanditan mempunyai organisasi dengan struktur yang hierarkis.


Kedudukan paling tinggi dipegang oleh seorang pimpinan yang menjadi “boss”.
Sebutan pemimpin di Batavia adalah jagoan, jawara di Banten, atau benggol di
Vorstenlanden dan Pasuruan. Jabatan penting di bawahnya adalah wakil benggol

10
yang dipilih di antara para senior atau anak-anaknya sendiri. Jabatan di bawahnya
adalah pemegang harta rampokan yang bertanggungjawab dan berlaku adil dalam
mendistribusikan kepada anggota lain. Adapun telik sandi, bertugas memata-matai
keadaan dan lingkungan korbannya. Yang terakhir ada canguk, bertugas
memberikan aba-aba mulai dan berakhir, dan juga terjadi bahaya berupa kepungan
atau perlawanan korban.

Pada perempatan kedua abad ke XX di Banten dikenal luas seorang jawara


bernama Saniin Gede. Salah seorang jawara (boofd der boeven) yang dikenal
pemerintah kolonial dan tuan tanah partikelir merupakan “raja” jawara yang
mendominasi. Adapula di Vorstenlanden khususnya daerah Yogyakarta masa
pemerintahan Sultan Hamengku Buwono V, terdapat beberapa nama benggol kecu
ulung yang melakukan aksinya di daerah Bantul. Di daerah Surakarta juga banyak
benggol kecu, di antaranya adalah Jodongso, di Sragen bernama Singabarong.

Sasaran dalam perbanditan pada umumnya dibedakan menjadi dua.


Pertama, bangunan dan lahan antara lain, gedung gudang, kebun, barak, bedeng,
saluran irigasi, dll. Kedua yaitu orang-orang baik asing maupun pribumi yang
melakukan eksploitasi dan membantunya. Mereka adalah tuan tanah partikelir,
penyewa tanah, rentenier dan pachter Cina, serta para kepala desa. Mengapa para
bandit menjadikan mereka sasaran, karena mereka yang merugikan petani dan
menyebabkan kemiskinan. Ditambah lagi dengan berbagai tekanan kerja dan
pajak.

Para bandit tidak menetap tetapi berpindah-pindah dari satu tempat ke


tempat lain yang dikenal sebagai wong bara (volksomloop). Para kuli juga
mengalami kehidupan yang tidak menentu,upah sangat rendah, kebutuhan
meningkat, dan kebutuhan konsumtif menjerat. Koplakan menjadi tempat yang
sangat aman bagi para bandit untuk istirahat sambil menikmati perolehannya.
Beberapa tempat yang dijadikan koplakan, Tangerang dan Jatinegara di Batavia,
di Vorstenlanden antara lain disebutkan Prambanan, Sungginan (Boyolali), dan
Klakah di Probolinggo.

11
Pemerintah pun berusaha mencegah dengan berbagai aturan. Seperti setiap
rumah harus memiliki pagar, di perempatan jalan atau jalan masuk desa didirikan
gardu, patrolan, atau cakruk untuk pos ronda. Ada dua cara ronda yaitu rondha
thekthek dan rondha clengep. Para peronda juga dilengkapi: gembel (kayu keras
untuk memukul), tali dhadhung (tali besar dan kuat), tumbak (tombak),
granggang (tombak dari kayu aren), dll.

Seperti dalam laporan kolonial, untuk menghadapi perbanditan pedesaan,


maka pemerintah kolonial selalu waspada dengan meningkatkan penjagaan dan
reorganisasi polisi. Memperkuat penjagaan dan kerjasama dengan ambtenar
pemerintah yaitu wedana dan asisten wedana dengan komandan datasemen polisi
lapangan, juga kejaksaan yang bekerjasama dengan kepala desa. Mereka disebut
Mordkommission yang bertugas melakukan represi terhadap perbanditan
pedesaan. Meskipun demikian, represi tersebut tidak pernah berhasil, bahkan
sampai dengan bangkrutnya Pemerintah Hindia Belanda perbanditan masih terus
hidup dan bebas.

Sumber : Pratono.W Suhartono. 2010.“Jawa, Bandit-Bandit Pedesaan. Studi


Historis 1850-1942”.Yogyakarta.Graha Ilmu

12

Anda mungkin juga menyukai