Disusun oleh :
JURUSAN SEJARAH
TAHUN 2018
1
BAB 3
PERLUASAN PERKEBUNAN
Asal mula tanah partikelir berawal dari penjualan tanah-tanah oleh VOC
kepada pihak swasta sampai dengan perempatan abad XIX. Setelah J.P. Coen
menguasai Jakarta, pada tahun 1619 tanah yang terdapat di sekitar Batavia
diberikan menurut plakat tanggal 1 April 1627 dengan si pemakai tanah tersebut
memperoleh hak milik. Kemudian pada masa pemerintahan Daendels telah dijual
tanah-tanah di Karawang, Priangan, Semarang, Probolinggo, dan Besuki. Banyak
tuan tanah di daerah tersebut yang meguasai tanah-tanah pertikelir. Sampai pada
dasawarsa pertama abad XX terdapat beberapa tanah pertikelir di sekitar Jakarta,
Pamanukan dan Ciasem. Peningkatan tanah pertikelir berkembang baik setiap
tahunnya. Tanah-tanah partikelir menghasilkan tanaman yang multiproduksi, baik
produksi pasar lokal maupun pasar Eropa dengan menghasilkan padi, gula, kopi,
teh, tembakau, cokelat, kina, fuli, lada, dan indigo.
2
Diponegoro selesai, pemerintah Belanda mempraktikkan Tanam Paksa
(cultuurstelsel). Tanam paksa ini sudah berjalan sejak akhir abad XVII karena
pada waktu itu di Vorstenlanden sudah terjadi persewaan tanah para bangsawan
pada orang-orang Cina.
Patron Baru
3
kuno misalnya seorang raja mendirikan suatu proyek kerajaan dengan membuat
bendungan untuk mengairi sawah petani. Tentunya seteah masa panen maka
sebagian hasilnya diserahkan kepada raja sebagai pajak.
Sesuai dengan usaha baru yang ditempuh oleh para penyewa tanah orang
Belanda dan Cina berusaha menguasai dua faktor produksi tersebut yaitu tanah
dan tenaga kerja. Dalam Koloniaal Verslag tanah yang disewa dikelompokkan
menjadi tanah pemerintah, tanah partikelir, tanah yang disewa, konsesi
perkebunan, dan persewaan bebas oleh petani.
Pada masa pemerintahan kerajaan berlaku kerja wajib bagi sikep yang
dibedakan menjadi a) kerigaji, kerja wajib untuk para raja dan para patuh, b)
kerigan, kerja wajib untuk desa, c) gugur gunung, kerja wajib untuk desa jika
terjadi bencana alam. Kerja wajib tersebut diperluas menjadi kerja intiran atau
cultuurdiensten yang jumlah jam kerjanya diatur oleh perkebunan. Menurut
Brooshooft, pada tahun 1888, kerigan dilakukan lima hari selama lima jam dan
dines kemit, yaitu menjaga rumah “tuan-tuan” dilakukan dua minggu sekali.
4
Sedangkan kerja gugur gunung tidak dapat dipastikan kapan dilakukan tetapi yang
jelas dalam sebulan pasti terjadi gangguan alam.
Kehidupan Subsisten
5
Buruh dan petani memang menerima uang sebesar upah sebagai imbalan
tenaga kerja yang dilakukan. Namun kenyataannya, buruh dan petani tersebut
menerima uang fiktif, mereka bahkan terlilit hutang (indebted) selama sistem
ekonomi yang berlaku di pedesaan tidak berubah. Petani tidak menerima uang
karena peredaran uang direkayasa dengan menyediakan barang-barang konsumtif.
Banyak berdiri warung madat (amfioen kitten) disekitar perkebunan, tempat
mereka mengonsumsi upahnya. Di pedesaan banyak beroperasi warung cina
klonthong yang menjual barang kebutuhan penduduk dengan kredit atau mindring.
Masih banyak ditemukan lintah darat yang menyedot upah penduduk, bukan
hanya rentenir Cina tetapi juga pribumi, orang kaya desa dan kepala desa.
Tempat-tempat yang menjadi arena perjudian dan prostitusi yang merupakan
rendez-vouz para bandit untuk menghabiskan hasil rampokannya.
6
BAB 4
Terminologi
7
Banten-Batavia disebut rampok, perusuh, di Vorstenlanden dikenal dengan istilah
kecu, kampak, sedangkan di Pasuruan-Probolinggo disebut rampok untuk bandit
dalam jumlah kecil disebut koyok. Pemerintah kolonial menyebutnya kecupartij,
roofpartij, dan roverbende yang pada dasarnya menggangu rust en orde
(ketenangan dan ketertiban) pemerintah kolonial. Istilah lain sering digunakan
oleh masyarakat bagi tindak kejahatan adalah brandhal, durjana, dan lun yang
lebih mengacu pada latar belakang ekonomi. Perbanditan pedesaan merupakan
protes petani yang tidak memiliki latar belakang keagamaan, kesadaran politiknya
masih rendah dan pada tingkat ini masih diperjuangkan kebebasan sosial
ekonomi.
8
ekor birokrat rendahan yang disebut kapetengan. Bertugas mengetahui segala
perkembangan dunia bawah tanah. Sampai sekarang di Yogyakarta dan Surakarta
masih ada desa kapetengan dan desa padhangan yang saling mengontrol dalam
bentuk desa.
Situasi kultural, kultur Barat di satu sisi dan kultur Jawa di sisi lain dalam
kondisi cengkah, saling berhadapan. Kultur Jawa makin dipersempit dengan
datangnya kultur Barat, oleh karena itu kultur Jawa dijaga agar tetap hidup.
Identitas yang dialamatkan pada pemerintah kolonial maupun perkebunan yang
diwujudkan dalam gerakan dunia bawah tanah. Sikap menentang protes ini
ditunjukkan dalam heroisme perbanditan pedesaan.
Dunia bawah tanah penuh rahasia, bohong, dusta, tipuan, jebakan, dll.
Informasi mengenai dunia luar diperoleh melalui telik, seorang bertugas
mengamati dunia luar sebelum operasi yang sebenarnya dengan komunikasi
tersendiri. Hal ini dimaksudkan agar usahanya sukses dan tidak terbongkar
sebelum dan sesudah menjalankan aksi.
9
Perbanditan sosial merupakan kombinasi antara everyday forms of peasant
resistance dan peasant revolt. Gerakan antipenguasa yang ekstraktif dengan latar
belakang sekuler dari pada religius. Gerakan ini bertujuan mengembalikan
miliknya yang telah diserobot penguasa. Sedangkan perbanditan pedesaan lebih
menitikberatkan hal-hal yang sifatnya riil dan ekonomis, artinya menghadapi
kepentingan primer yang merupakan hajat hidup bersama dalam pedesaan. Karena
itu, tindakan mereka untuk mengadakan pembalasan dengan tindakan keras,
kejam, brutal, dan destruktif.
10
yang dipilih di antara para senior atau anak-anaknya sendiri. Jabatan di bawahnya
adalah pemegang harta rampokan yang bertanggungjawab dan berlaku adil dalam
mendistribusikan kepada anggota lain. Adapun telik sandi, bertugas memata-matai
keadaan dan lingkungan korbannya. Yang terakhir ada canguk, bertugas
memberikan aba-aba mulai dan berakhir, dan juga terjadi bahaya berupa kepungan
atau perlawanan korban.
11
Pemerintah pun berusaha mencegah dengan berbagai aturan. Seperti setiap
rumah harus memiliki pagar, di perempatan jalan atau jalan masuk desa didirikan
gardu, patrolan, atau cakruk untuk pos ronda. Ada dua cara ronda yaitu rondha
thekthek dan rondha clengep. Para peronda juga dilengkapi: gembel (kayu keras
untuk memukul), tali dhadhung (tali besar dan kuat), tumbak (tombak),
granggang (tombak dari kayu aren), dll.
12