Komunitas Petungkriyono: Potret Komunitas Desa yang Rasional
Petungkriyono merupakan bagian dari Kabupaten Pekalongan. Wilayah ini terbagi
menjadi sembilan desa. Sembilan desa tersebut adalah Tlagapakis, Kayupuring, Kasimpar, Yosorejo, Songgodadi, Curugmuncar, Simego, Gumelem, dan Tlagahendro. Keseluruhan kawasan ini merupakan hamparan pegunungan dengan ketinggian bervariasi antara 500-1.634 m di atas permukaan laut. Seluruh kecamatan ini merupakan daerah dengan kelembaban udara yang relatif tinggi. Sebuah laporan penelitian telah menuliskan bahwa suhu rata-rata di Petungkriyono berkisar antara 12-18 derajat celcius, dengan curah hujan rata-rata 5000-6000 mm/tahun. Dengan iklim yang relatif basah inilah tak heran jika hampir 70 % wilayah Petungkriyono merupakan hutan yang terus dijaga hingga sekarang . Dengan iklim basah ini sebagian besar masyarakat sekitar hutan di Petungkriyono bekerja sebagai petani kecil. Populasi terus meningkat dari tahun ke tahun, tapi lahan mereka tidak bertambah menyebabkan akses petani Petungkriyono terhadap lahan semakin kecil. Di Tlagapakis misalnya, pada tahun 1990 hanya terdapat 315 KK yang tinggal di kawasan ini. Di tahun 1997 jumlah tersebut meningkat menjadi 346 KK, dan pada tahun 2007 ini 448 KK telah tinggal di Tlagapakis. Dengan peningkatan populasi tersebut lahan pertanian tiap keluarga di Petungkriyono pun tidaklah lebih dari 0,4 ha Dengan lahan yang sempit tersebut selain menanam padi, ketela, ubi dan jagung sebagai sumber makanan sehari-hari, mereka juga menanam bermacam tanaman komoditas seperti bawang daun, kopi, cabai, tomat, ataupun wortel. Dari lahan tegalan, pohon aren yang sering tumbuh terutama di daerah yang tak terlalu tinggi seperti Kasimpar dan Kayupuring pun dimanfaatkan masyarakat dengan mengolahnya menjadi gula aren. Sementara di daerah yang relatif tinggi seperti Gumelem dan Simego tanaman teh dan tembakau banyak ditanam sebagai penyokong perekonomian masyarakat. Pemeliharaan sapi turut berperan penting pula dalam perekonomian orang Petungkriyono1. Selain memelihara sapi peranakan Ongole yang telah ada di Jawa dan Sumatra sejak awal tahun 1900-an, kini orang Petung juga banyak memelihara sapi peranakan Kobis , Charolais, Simmental, dan Brahman. Sapi-sapi ini dikandangkan di sekitaran rumah, sedang tidak semua sapi yang dipelihara oleh sebuah keluarga di Petunkriyono merupakan milik keluarga yang bersangkutan. Seringkali satu keluarga di Petung hanya memeliharakan sapi orang lain. Dengan sistem ini baik pemilik ataupun pemelihara sapi akan memperoleh 50% dari laba penjualan jika sapi tersebut dijual. Orang Petung biasa menyebutnya dengan maro bathi. pakannya diperoleh dari merumput di lahan tegalan ataupun hutan pinusan. Di Petungkriyono, usaha pemeliharaan sapi hanya diupayakan untuk pembesaran sapi. Sapi yang masih kecil diberi makan terus hingga besar, dan setelah besar ditukar dengan dua ekor pedet demikian berulang seterusnya. Sementara itu, gerbang penelusuran sejarah masyarakat Petungkriyono dapat dimulai dari lingga-yoni Nagapertala, sebuah peninggalan arkeologis yang berada di sebelah timur laut pusat perkampungan Desa Tlagapakis, Petungkriyono. Lingga-yoni yang diperkirakan dibuat sejak masa Mataram Hindu pada abad ke 9 masehi ini menunjukkan bahwa Petungkriyono telah berkembang menjadi pemukiman besar dan komplek baik dari segi sosial maupun keagamaannya sejak masa prakolonial . Analisis Semedi akan keberadaan peninggalan arkeologis di wilayah petungkriyono ini bahkan menunjukkan bahwa selain sebagai tempat pemujaan agama Hindu, kawasan Di samping peranan pentingnya dalam konstelasi politik Mataram Hindu, masyarakat di kawasan Petungkriyono masa itu telah berkembang menjadi masyarakat petani. Mereka membuka lahan di tempat yang relatif datar dan dekat sumber air untuk menanam padi, ubi, talas, dan sayur-sayuran dengan teknik rotasi tanam . Beberapa kebutuhan lain yang tidak dapat dihasilkan di lahan pertanian mereka dapatkan dari hutan di sekitar pemukiman. Sayangnya, tidak banyak informasi yang mampu didapatkan dari peninggalan-peninggalan arkeologis di kawasan Tlagapakis ini. Sumber informasi mengenai kawasan ini yang lain diperoleh dari data tertulis yang baru berasal dari era 1860-an , masa ketika kebijakan tanam paksa hampir berakhir. Mengenai tanam paksa sendiri, diperkirakan kebijakan pemerintah kolonial Belanda ini turut membawa perubahan besar di Petungkriyono. Deskripsi Hüsken yang memaparkan adanya migrasi penduduk yang besar di pedesaan Jepara yang terkena kebijakan tanam paksa tampaknya terjadi juga di kawasan Pekalongan dan sekitarnya. Untuk kasus di Pekalongan, migrasi ini terjadi dalam dua arah: sebagian dari mereka lari ke pesisir dan hidup sebagai nelayan , sedang sebagian yang lain lari ke pegunungan seperti Petungkriyono untuk terlepas dari jerat tanam paksa. Dengan datangnya para pendatang dari utara ini maka penduduk di Petungkriyono mengalami peningkatan pesat. Perubahan penting kedua di masa ini adalah mulai dikenalnya budidaya tanaman kopi di kawasan Petungkriyono . Perubahan ini sangatlah penting karena di kemudian hari biji kopi ini menjadi satu dari tiga komoditas utama yang mendukung perekonomian masyarakat Petungkriyono. Dua komoditas lain adalah daun bawang yang oleh masyarakat disebut dengan selong dan aren yang diolah menjadi gula. Benih permasalahan kelangkaan lahan mulai muncul di Indonesia atas tanah-tanah yang ditempatinya, sehingga memungkinkan penjulan dan penyewaan tanah . Padahal, ketika kebijakan ini diberlakukan kemungkinan besar masyarakat Petungkriyono masih melakukan aktivitas pertanian perladangan. Dengan sistem perladangan ini, tentu terdapat lahanlahan yang dibiarkan menganggur untuk memperoleh kesuburannya kembali. Berdasar kebijakan liberasi ekonomi, tanahtanah bero ini dianggap pemerintah sebagai tanah tak bertuan dan kemudian dianggap menjadi milik pemerintah untuk dijadikan hutan. Pembukaan hutan untuk pemukiman, serta penebangan hutan untuk perkebunan yang intensif di awal abad ke-20 juga menghadirkan masalah baru. Setiap tahun daerah Pekalongan dilanda banjir kiriman dari dataran tinggi Petungkriyono. Bertolak dari masalah ekologi ini kebijakan baru pun diterapkan bagi wilayah Petungkriyono. Pada tahun 1930-an pemerintah kolonial menyusun satu kebijakan perbaikan hutan dengan menutup sebagian lahan pertanian dan pemukiman milik penduduk untuk dijadikan lahan reboisasi 2. Tahun 1942 hingga 1945, ketika pemerintah pendudukan Jepang berkuasa, kondisi ekonomi masyarakat Petungkriyono tidaklah lebih baik. Beberapa orang di Tlogopakis masih ingat begitu sulitnya hidup di jaman pendudukan Jepang. Setiap 10 pocong hasil panen padi masyarakat masa itu dua pocong di antaranya harus diserahkan ke pemerintah. Pakaian mereka terbuat dari goni, sehingga kalau kehujanan tangan mereka harus tetap memegang celananya agar tak lepas. Untuk mendapatkan dua buah sarung, mereka harus menjual seekor kambing jawa 3 Dinamika sosial, ekonomi di Petungkriyono terus bergerak. Agustus 1945 Indonesia menyatakan diri sebagai bangsa yang merdeka. Paparan orang-orang tua di Tlogopakis menyebutkan bahwa areal lahan yang kini di pakai sebagai hutan pinus PERHUTANI dahulu merupakan tanah milik. Tlogopakis tidak kuat membayar seluruh tanggungan pajak tanah. Orang-orang yang tidak mampu membayar seluruh tanggungan pajak ini akan mendapat dluwang srip atas tanah yang tidak terpajaki. Tanah-tanah sitaan inilah yang kini dipakai PERHUTANI sebagai lahan hutan pinus. Paparan seorang informan menyebutkan pula bahwa sebuah sarung di zaman pendudukan Jepang ini harus dibeli dengan harga 50 perak. Padahal, harga beras kala itu hanya 5 sen/kg. Masa-masa sulit terus terjadi di Petungkriyono hingga dekade Kartosuwirjo. Hampir tiada beda, kedua kekuatan militer «lokal» ini justru seringkali menjarah harta rakyat. Mereka menjarah apa saja, «ada padi diangkat padi, ada jagung diangkat jagung, ada kambing siangkat kambing, bahkan ada sisa nasi dalam periuk juga diangkat bersama periuknya», demikian deskripsi Semedi untuk melukiskan kondisi Petungkriyono masa itu. Pertengahan 1960 geger gerakan 30 September terjadi di negeri ini. Walau dalam skala yang tidak besar, beberapa ketegangan sempat terjadi di wilayah Petungkriyono. Dimulai sebelum tahun 1965, PKI telah berusaha menggalang masa di daerah ini. «Orang-orang yang ikut PKI dijanjikan boleh membuka hutan tanpa biaya sedikit pun,» demikian cerita mbah Tawirja. Rahmat dari Kayupuring adalah mereka yang masuk PKI. Menuju tahun 1966 tiga nama pertama pun diciduk dalam sebuah operasi pembersihan anggota PKI. Mereka dibawa ke Pekalongan dan tak pernah kembali hingga saat ini . Sementara nama terakhir, Rahmat, bernasib lebih baik. Dia hanya diwajibkan lapor di koramil Petungkriyono. Akhir 1965, keadaan mulai relatif lebih tenang. Era pembangunan pun dimulai. Melalui strategi pembangunan lima tahunnya, pemerintah Orde Baru melakukan proyek «perubahan wajah» di Jawa. Daerah-daerah terpencil seperti Petungkriyono pun merasakan imbasnya. Tahun 1971, dibuka sebuah jalan tembus yang menghubungkan Petungkriyono dan Lebakbarang Prodjodirdjo, 1973 Keadaan peternakan di Petungkriyono baru mulai membaik ketika PERHUTANI membuka peluang masyarakat untuk menanam rumput gajah di lahan hutan pinus pada tahun 1986 . Untuk meningkatkan produksi pertanian pemerintah juga membangun sebuah saluran irigasi yang mampu mengairi lahan seluas 325,290 ha. Di Mudal, bak-bak penampungan air juga dibangun untuk memudahkan kebutuhan MCK masyarakat. Seiring berbagai perubahan fisik tersebut, perubahan besar dalam sistem pertanian pun terjadi. Untuk pertanian padi, masyarakat mulai mengenal bibit padi kucir . Dengan masa panen yang hanya 4-5 bulan masyarakat mampu panen dua kali setahun yaitu dengan tetap menanam varietas padi Jawi dalam masa tanam pertama dan menanam padi kucir di masa tanam kedua. Akibatnya, kebutuhan tenaga kerja pun semakin besar. Apalagi jika masa tanam dan masa panen tiba. Untuk mengatasi permasalahan tenaga kerja ini masyarakat membangun sebuah mekanisme kerja bersama bernama sambatan. Melalui sambatan seseorang yang hendak menggarap lahannya dapat minta bantuan kerabat dan tetangganya untuk turut dalam kerja di lahan pertaniannya. Konsekuensinya, ia pun harus bersedia membantu menggarap lahan kerabat dan tetangganya. Tak ada upah dalam sistem sambatan. Sambatan untuk menggarap lahan di Petungkriyono tidaklah menyentuh pada tanaman komoditas. Sambatan untuk menggarap tanaman komoditas dianggap ora ilok . Selong ke pasar Doro hingga dua kali sebulan. Di samping itu, setiap hari orang Petung masih dapat mengambil 10-20 lingget selong di ladang untuk ditukar dengan kebutuhan sehari-hari yang tidak dapat dipenuhi dari lahan sendiri. Intensifnya masa panen selong ini dimungkinkan karena hingga tahun 1980-an tak ada sistem musim dalam penanaman selong. Setiap ingin memanen seseorang hanya akan memetik anakan dari serumpun selong. Induk rumpun yang masih hidup akan tumbuh terus hingga tiap bulan seseorang dapat memetik selong secara reguler. Sebagai tanaman komoditas, peran selong dalam perekonomian masyarakat Petung sangatlah tinggi.