Anda di halaman 1dari 15

EBIJAKAN PANGAN DAN PEMBANGUNAN PERTANNIAN DI INDONESIA

PADA MASA KEMERDEKAAN ( ORBA / ORLA )

Kebijakan pangan di Indonesia pada masa Kemerdekaan


Setelah satu abad, teori Malthus akhirnya terbantahkan. Malthus memprediksi
akan terjadinya kelaparan karena tidak seimbangnya kemampuan lahan untuk pangan
dengan pertambahan penduduk. Karena pesatnya ilmu pengetahuan, kemudian
terjadilah revolusi hijau (green revolution). Revolusi hijau dimulai dengan penemuan
persilangan jenis gandum yang responsif terhadap pupuk yang kemudian disilangkan
dengan varietas asal Jepang, dihasilkanlah tanaman pangan yang dapat dimanfaatkan
secara lebih efisien.
Selanjutnya pada awal 60-an, IRRI (International Rice Research Institute)
sebagai lembaga riset dan penelitian beras mengembangkan rekayasa genetika dengan
mengembangkan "padi ajaib", di mana ditemukan padi dengan umur pendek dan
jumlah produksi relatif besar. Inilah tonggak revolusi hijau di tahun 60-70-an. Dengan
penemuan semacam ini, prediksi bencana kelaparan dapat diminimalisasi.
Di era Orde Baru, pada saat pemerintah bercita-cita mewujudkan swasembada
pangan, pengembangan rekayasa genetika sungguh sangat membantu untuk
mewujudkannya.  Pada masa penjajahan Belanda dulu, bidang pertanian banyak
dikembangkan untuk kepentingan pemerintah penjajah dengan menerapkan metode
tanam paksa. Banyak hasil pertanian yang favorit dan legendaris di pasaran
internasional, seperti rempah-rempah, tembakau, kopi, tebu, dan lain-lain. Di masa
penjajahan Jepang, dengan metode kerja rodi, Jepang memaksa para petani menanam
berbagai hasil pertanian untuk kepentingan mereka, seperti beras, jagung, dan pohon
jarak sebagai bahan bakar.
Di awal kemerdekaan, pembangunan pertanian dipengaruhi semangat
nasionalisme dan untuk mencukupi seluruh kebutuhan rakyat, terutama kebutuhan
pokok, seperti beras, jagung, kedelai, ketela, kacang tanah, dan kebutuhan akan ikan
serta daging. Masih di era ekonomi Soekarno tahun 60-an, pendekatan perencanaan
pembangunan mulai dicanangkan seperti intensifikasi, ekstensifikasi untuk
mendukung memenuhi kebutuhan pangan nasional. Walaupun dalam jangka pendek
pemerintah tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan secara penuh, bahkan terjadi
lonjakan inflasi yang cukup tinggi.
Pembangunan Pertanian pada masa Kemerdekaan
Pada awalnya pertanan masih bersifat primitif, dengan hanya memanafaatkan
kondisi alam saja. Sebenarnya pertanian di Indonesi sudah mengenal padi sebagai
varietas utama yang di tanam untuk memenuhi kebutuhan pangan. Budidaya padi di
lahan yang basah pun sudah di lakukan sejak dulu di daerah Jawa dan Bali.
Sedagakan metode pertanian di lahan yang kering sudah di lakukan di daerah
Sumatra, Kalimantan, dan Sulawasi. Tetapi dengan seiring berkembangnya zaman,
pertanian di Indonesia suah semakin modern. Seperti yang bisa kita lihat sekarang,
jika zaman dahulu para petani hanya menggunakan sapi untuk membajak sawah.
Tetapi jika dilihat sekarang, para petani sudah menggunakan alat traktor untuk
membajak sawah. Jika dibandingkan dengan dulu, dari cara membajaknya saja sudah
bisa dilihat perkembangannya. Selain dapat mempercepat pekerjaan, hal ini tentu akan
membuat para petani menjadi ringan dalam melakukkan pekerjaannya.
Pertanian pada Masa Kemerdekaan
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, pemerintah Indonesia langsung
berkonsentrasi untuk membangun sektor pertanian di segala bidang. Departemen yang
mengurusi bidang perikanan laut itu pun sudah ada sejak kabinet pertama dibentuk.
Melalui Kementrian Kemakmuran Rakyat yang dipimpin oleh Menteri Mr. Sjafruddin
Prawiranegara dibentuklah Jawatan Perikanan yang mengurusi kegiatan-kegiatan
perikanan darat dan laut. Program swasembada beras sesungguhnya pula sudah
dicanangkan di era Soekarno, tepatnya selama periode 1952-1956.
Mengenai diversifikasi tanaman pangan itu pun sudah dipikirkan di era Soekarno.
Program swasembada beras paska 1956 tetap dilanjutkan melalui program sentra padi
yang diatur oleh Yayasan Badan Pembelian Padi (YBPP). Pada 1963, Soekarno
memasukkan jagung sebagai bahan pangan pengganti selain beras, dan pada 1964
menerapkan Panca Usaha Tani. Hal ini menyesuaikan dengan kultur bercocok tanam
dari petani yang biasanya memvariasikan antara tanaman padi dan jagung. Institusi
pendukung di bidang pertanian maupun sub-sub sektor pertanian lebih banyak
ditopang oleh kelembagaan inti yang dulunya pernah digunakan oleh pemerintahan
Hindia Belanda. Bedanya, orientasi pemerintahan republik bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri, lalu orientasi untuk ekspor.

Tidak seperti sekarang yang sudah memiliki sumber daya manusia dan infrastruktur
yang lebih baik, pembangunan di sektor pertanian di era Soekarno menemui jauh
lebih banyak kesulitan dan tantangannya di dalam negeri. Tingkat ketergantungan
terhadap jenis tanaman beras masih tergolong tinggi. Sekalipun demikian, Indonesia
di masa itu belum pernah tercatat mengalami krisis pangan yang menyebabkan kasus
kelaparan seperti yang pernah dialami oleh India dan China. Dalam beberapa periode,
harga kebutuhan pokok sempat mengalami lonjakan harga yang cukup tinggi. Tetapi
lonjakan harga tersebut tidak banyak berimbas di wilayah pedesaan yang relatif masih
menerapkan pola diversifikasi bahan makanan. Pola kebijakan pertanian di masa
Soekarno memang lebih menitikberatkan pada jenis tanaman lokal sebagai komoditi
utama. Misalnya seperti jenis sagu di Maluku dan Papu atau nasi jagung di Sulawesi.
Untuk pertama kalinya, pemerintahan republik membentuk badan penyangga pangan
yang disebut Badan Urusan Logistik atau Bulog pada tanggal 14 Mei 1967. Tugas
pokok dari Bulog adalah berfungsi sebagai agen pembeli beras tunggal. Berdirinya
Bulog sejak awal diproyeksikan untuk menjaga ketahanan pangan Indonesia melalui
dua mekanisme yakni stabilisasi harga beras dan pengadaan bulanan untuk PNS dan
militer. Pada prinsipnya, Bulog nantinya akan menjadi lumbung nasional yang tugas
utamanya untuk menjaga pasokan (supply) komoditi pangan dan menjaga stabilitas
harga tanaman pangan utama.

Pertanian pada Masa Orde Baru


Setelah masuk ke era Orde Baru, pembangunan di sektor pertanian tetap
menjadi prioritas program kerja kabinet. Selama dua periode PELITA (Pembangunan
Lima Tahun) dari tahun 1969-1979, kebijakan pembangunan lebih banyak
dikonsentrasikan untuk memperkuat basis sektor pertanian. Program revolusi hijau
(green revolution) guna mendukung percepatan pencapaian swasembada beras pada
tahun 1974. Pada tahun 1971, Bulog mendapatkan tugas/peran baru, yaitu mempunyai
tugas sebagai pengimpor gula dan gandum. Biaya besar untuk mendukung program
pertanian tersebut ditopang oleh ekspor migas yang mencapai puncak harga tertinggi
pada pada pertengahan dekade 1970an.
Soeharto punya ambisi yang kuat untuk mempercepat swasembada beras yang
belum pernah dicapai sejak masa kemerdekaan. Salah satunya adalah dengan
mengadopsi program revolusi hijau sejak tahun 1974. Sayangnya, program yang
berbiaya mahal tersebut ternyata hanya menghasilkan swasembada beras pada tahun
1984, 1985, dan 1986 (berdasarkan laporan statistik pertanian dari BPS). Sesudahnya,
Indonesia kembali menjadi pengimpor beras, bahkan menjadi pengimpor beras
terbesar di Asia Tenggara. Program revolusi hijau ini pun hanya menguntungkan
petani kaya atau pemilik lahan dengan luas lahan lebih dari 1 hektar.
Setelah beras, pemerintah berusaha untuk menutupi kekurangan pasokan
dalam negeri dan impor dengan mendatangkan (impor) gandum. Bila semula
diberikan kewenangan ke Bulog, maka kewenangan untuk mengimpor gandum itu
pun akhirnya diserahkan ke Bogasari (swasta). Awalnya, pemerintah mencoba untuk
membudidayakan jenis tanaman gandum, tetapi upaya ini sulit terwujud, karena
tanaman gandum memang kurang cocok untuk jenis tanah pertanian di Indonesia.
Dalam rangka untuk mendukung program pertanian pangan, pemerintah di era
Orde Baru membuat cukup banyak pembangunan infrastruktur pendukung. Misalnya
seperti pembangunan irigasi, pendirian pabrik pembuatan pupuk urea, dan
pembangunan pusat-pusat penelitian tanaman pangan. Sayangnya, keseluruhan saran
dan prasarana pendukungnya masih difokuskan pada jenis tanaman beras. Tanaman
beras disosialisasikan di seluruh wilayah yang dianggap cocok untuk ditanami jenis
tanaman padi seperti di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Ternate, NTT,
NTB, bahkan sampai ke Papua. Program transmigrasi pun digerakkan seluas-luasnya
untuk mendukung perluasan lahan tanaman padi di luar Pulau Jawa. Tujuannya tidak
lain untuk mendorong peningkatan produksi beras di dalam negeri.

3. ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN


Persoalan kepemimpinan senantiasa menarik untuk dibahas karena berhubungan
dengan perannya sebagai pemimpin dalam membawa perubahan pada masyarakat
yang dipimpin.    Peran kepemimpinan selalu memberikan daya tarik yang kuat pada
setiap orang.    Literatur tentang kepemimpinan senantiasa memberikan penjelasan
bagaimana menjadi pemimpin yang baik, sikap dan gaya yang sesuai dengan situasi
kepemimpinan, dan syarat-syarat pemimpin yang baik.  
Peran kepemimpinan hanya dapat dilihat dari keberpihakan kebijakan terhadap
apa yang diyakini sebagai kebenaran dan dapat membawa kemaslahatan terhadap
yang dipimpin.   Pemimpin saat ini selayaknya tidak hanya mampu dalam
menentukan kebijakan untuk mengantisipasi berbagai perubahan global lalu tunduk
kepada arus trend globalisasi, tetapi justru harus mampu proaktif, mengukir sejarah
masa depan dan mendesain wujud globalisasi serta percaturan ekonomi dunia pangan,
maka Pemimpin memiliki legitimasi penuh guna mewujudkan tatanan kehidupan
masyarakat, khususnya bidang ketahanan pangan.   Peran Pemimpin harus mampu
menyediakan ruang kreatif bagi peningkatan ketahanan pangan nasional melalui
kebijakan jangka pendek, menengah dan jangka panjang (Dale Timpe 1993 : 109). 
Pemimpin bukanlah manajer sehingga unsur pertama dari kepemimpinan
adalah memanfaatkan kekuasaan dalam melakukan perubahan yang
transformatif.   Pemimpin dapat berperan dengan baik dalam membuat kebijakan
strategis terhadap terwujudnya ketahanan pangan nasional apabila memiliki pandang
yang luas tentang pentingnya pembangunan ketahanan pangan bagi keberlanjutan
kehidupan bangsa.   
Pandangan tersebut harus dapat dikomunikasikan sehingga dapat meyakinkan
tentang keadaan yang dinginkan dan memerlukan kegigihan, konsistensi dan fokus
pada persoalan kebutuhan pangan masyarakat yang sampai saat ini ditangani dengan
cara membeli bukan dengan memproduksi walaupun segalanya ada dinegara yang
subur akan SKA.
Peran yang konsisten dari seorang pemimpin yang fokus dan gigih dalam
pembangunan pada sektor pangan juga harus mampu menyerap tenaga kerja guna
mengatasi pengangguran dan persoalan urbanisasi, sehingga dapat menyejahterakan
masyarakat.   Pemimpin harus memiliki peran strategis sebagai pengambil kebijakan
dalam bentuk regulasi, penyiapan infrastruktur pertanian, memiliki akses kepada
jaminan perbankan sampai kepada penyiapan lahan, bibit unggul dan penggunaan
teknologi pertanian modern, sehingga dapat memainkan peran yang lebih signifikan
terhadap kemajuan dan kedaulatan pangan nasional
Peran kepemimpinan dengan pola baru memerlukan pemahaman suatu
pendekatan tiga dimensi dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional, yaitu (1)
Seorang pemimpin harus memiliki wawasan sebagai langkah awal dalam peran
kepemimpinan yang menyeimbangkan perencanaan strategis dengan pelaksanaan
yang sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai; (2) Penyelarasan merupakan langkah
kedua dalam peran kepemimpinan dengan mewujudkan kebersamaan dalam tindakan
melalui keterikatan dalam sistem (perangkat unsur yang teratur dan saling berkaitan
sehingga membentuk totalitas), struktur dan proses dalam pembangunan sistem
ketahanan pangan yang tanggu; (3) Pemberdayaan sebagai hal penting dan strategis
dalam peran kepemimpinan untuk mempersatukan wujud kepentingan yang seimbang
antara individu, kelompok dan organisasi sebagai daya untuk memotivasi perubahan
sikap melalui pemberdayaan bakat, kecerdikan emosional dan membangkitkan pikiran
kreativitas.
a.       Kebijakan Strategis Bidang Pangan.
Sebagai  negara yang memiliki posisi strategis dari sisi geografis, geopolitis dan
geoekonomi, Indonesia memiliki peluang dalam meningkatkan ketahanan pangan
nasional dan memperkuat kedaulatan bangsa.    Posisi indonesia yang dipengaruhi
iklim tropis dapat membantu setiap pemimpin dalam menetapkan kebijakan yang
berdampak kepada peningkatan ketahanan pangan nasional.
b.       Mewujudkan Ketahanan Pangan.
Sebagai negara yang memiliki SKA berlimpah serta komoditas pangan yang beraneka
ragam semestinya Indonesia memiliki keunggulan dalam bidang pertanian.   Namun
sampai saat ini kebutuhan pangan Indonesia masih dicukupi dengan impor dari
Vietnam dan Thailand atau Australia dan New Zealand.   Indonesia pernah berhasil
mencapai swasembada beras pada tahun 1984.  
Keberhasilan produksi ini merupakan suatu alasan utama Indonesia cukup berhasil
dalam menjaga ketahanan pangan pada saat itu, sehingga tidak terjadi insiden
kelaparan skala besar.   Peningkatan produksi dalam negeri telah berhasil mengurangi
ketergantungan terhadap impor beras untuk meningkatkan kemandirian dan
mengurangi pengadaan beras akibat gejolak pasar dan politik luar negeri.   
Persoalan mendasar yang dihadapi dalam pembangunan ketahanan pangan terfokus
pada dua hal pokok.   Pertama, adanya pertumbuhan permintaan pangan yang lebih
cepat daripada pertumbuhan produksi pangan domestik.   Kedua, besarnya proporsi
kelompok masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan.    Arah pembangunan
ketahanan pangan yaitu : (1) mewujudkan kemandirian pangan guna menjamin
ketersediaan pangan ditingkat nasional, daerah hingga rumah tangga yang cukup,
aman, bermutu, dan bergizi seimbang; dan (2) perwujudan ketahanan pangan
merupakan tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat, termasuk
swasta.  Pembangunan ketahanan pangan bertujuan untuk memperkuat ketahanan
pangan di tingkat mikro (rumah tangga serta individu) yang bermakna stragegis  dan
ditingkat makro (nasional).
Terdapat banyak kebijakan-kebijakan lain dalam meminjam dana dari pihak luar
negeri dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang diambil guna membangun
pembangunan daerah dan nasional.
Perlu kita perhatikan, dalam meminjam dana dari pihak luar negeri diperlukan
kebijakan yang harus diambil agar Negara dapat menefisiensi kan dana yang di
pinjam dengan dana yang harus dikeluarkan, agar hutang luar negeri nantinya tidak
memberatkan Negara.
Jadi, dilihat secara garis besar dalam melakukan kebijakan-kebijakan pembangunan
Indonesia baik kebijakan pembangunan nasional maupun kebijkan pembangunan
daerah kaitannya erat sekali dengan kebijakan hutang luar negeri dan aman tentang
Ketahanan Pangan Bab I  Pasal 13.

4. Perubahan Struktur Ekonomi


Teori perubahan sturktur ekonomi bertujuan pada mekanisme transformasi yang
dialami oleh negara-negara berkembang yang menitikberatkan pada sektor tradisional
menuju ke sektor modern.
Cheneri meminjam istilah Kuznets, mengatakan bahwa perubahan sturktur ekonomi,
secara umum disebut sebagai transformasi struktur yang diartikan sebagai suatu
rangkaian perubahan yang saling terkait satu sama lain dalam komposisi agregat
demand (AD), ekspor-impor (X - M), Agregat supplay (AS) yang merupakan dalam
penggunaan faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja dan  modal guna mendukung
proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Ada dua teori utama yang umum digunakan dalam menganalisis perubahan sturktur
ekonomi, yakni dari Arthur Lewis tentang migrasi dan Hollis Chenery tentang teori
transportasi struktural. Teori Lewis pada dasarnya membahas tentang proses
pembangunan ekonomi yang terjadi di daerah pedesaan dan di daerah perkotaan.
Didalamnya Lewis memberitahukan bahwa perekonomian suatu negara pada dasarnya
terbagi atas dua, yaitu perekonomian tradisional di pedesaan yang didominasi sektor
pertanian dan perekonomian modern di perkotaan yang di dominasi oleh sektor
industri.
`      Struktur Perekonomian Indonesia
Menurut Dumairy struktur perekonomian suatu negara dapat dilihat dari
berbagai sudut tinjauannya. Struktur perekonomian dapat dilihat dari empat sudut
tinjauan, yaitu tinjauan makro-sektoral, tinjauan keuangan, tinjauan penyelenggaraan
kenegaraan, dan tinjauan birokrasi pengambilan keputusan.
Tinjauan makro-sektoral dan keuangan merupakan tinjauan ekonomi murni
sedangkan tinjauan kenegaraan dan tinjauan birokrasi pengambilan keputusan adalah
tinjauan di bidang politik. Berikut penjelasannya:

A.       Struktur Ekonomi Dari Tinjauan Makro-Sektoral


Berdasarkan tinjauan makro-sektoral perekonomian suatu negara dapat
berstruktur agraris, industri, atau niaga. Hal ini tergantung pada sektor apa/mana yang
dapat menjadi tulang punggung perekonomian negara yang bersangkutan. Dilihat
secara makro sektoral dalam bentuk produk domestik bruto maka struktur
perekonomian Indonesia pada tahun 1990-an masih menggunakan sektor agraris,
namun sekarang sudah menjadi sektor industri.
Struktur perekonomian Indonesia yang industrialisasi pada saat ini
sesungguhnya belum mutlak, tetapi masih sangat dini. Industrialisasi di Indonesia
barulah berdasarkan kontribusi sektoral dalam membentuk PDB atau pendapatan
nasional. Industrialisasi yang ada belum didukung dengan kontribusi sektoral dalam
penerapan tenaga dan angkatan kerja. Apabila kontribusi sektoral dalam
menyumbangkan pendapat dalam penerapan tenaga kerja diperbandingkan, maka
struktur ekonomi Indonesia ternyata masih dualisme.
Boeke seorang ilmuan asal Belanda mengatakan bahwa perekonomian
Indonesia berstruktur dualistis. Sebab dari segi penyerapan tenaga kerja dan sumber
kehidupan rakyat (53,69%), sedangkan sektor industri pengolahan hanya menyerap
10,51% tenaga kerja.

B.     Struktur Ekonomi Dari Tinjauan Keruangan


Pergeseran struktur ekonomi secara makro-sektoral hampir sama dengan
pergeseran keruangan. Ditinjau dari sudut pandang keruangan, struktur perekonomian
di Indonesia telah bergeser dari struktur pedesaan menjadi struktur perkotaan. Hal ini
dapat kita lihat dan kita rasakan sejak era Orde Baru hingga era reformasi sekarang
ini. Kemajuan perekonomian di daerah perkotaan jauh lebih pesat dibandingkan
dengan di daerah pedesaan. Hal ini disebabkan oleh pembangunan di daerah
perkotaan lebih pesat perkembangannya, terutama di sektor industri mulai dari sarana
dan prasarana transportasi dan komunikasi.

C.     Struktur Ekonomi Dari Tinjauan Penyelenggaraan Kenegaraan


Struktur ekonomi dengan tinjauan penyelenggaraan kenegaraan. Ditinjau dari
sisi struktur perekonomian dapat dibedakan menjadi struktur etatis,
egaliter, atau borjuis.
Struktur ekonomi Indonesia sejak awal Orde Baru hingga pertengahan
dasawarsa 1980-an berstruktur etatis  dimana pemerintah atau BUMN sebagai tolak
ukur negara, merupakan pelaku utama perekonomian Indonesia. Mulai pertengahan
dasawarsa 1990-an peran pemerintah dalam perekonomian berangsur-angsur
dikurangi, yaitu sudah secara eksplisit dituangkan melalui GBHN 1988/1989
mengundang kalangan swasta untuk berperan lebih besar dalam perekonomian
nasional.
Struktur ekonomi untuk sementara mengarah pada perekonomian yang
berstruktur borjuis, dan belum mengarah ke struktur perekonomian yang egaliter,
karena baru kalangan pemodal dan usahawan kuatlah yang dapat dengan cepat
menanggapi undangan dari pemerintah tersebut. Maka akibatnya terjadi ekonomi
konglomerasi dimana hanya beberapa orang pemodal kuat yang mengendalikan
sektor-sektor ekonomi di Indonesia, yang dampaknya kita rasakan sekarang yaitu
ambruknya perekonomian Indonesia karena tidak terkendalinya investasi-investasi
yang dananya berupa pinjaman dari luar negeri.
Pada era reformasi ini struktur ekonomi Indonesia diarahkan pada strruktur
ekonomi egaliter dimana seluruh penggerak roda perekonomian dilibatkan dalam
membangun perekonomian Indonesia. Misalnya dengan memperkuat peran usaha-
usaha koperasi, pengusaha mikro kecil dan menengah karena mereka dianggap
pelaku-pelaku ekonomi yang tahan menghadapai krisis ekonomi dan dianggap
sebagai pelaku-pelaku ekonomi yang mampu menjadi penyangga perekonomian
Indonesia.

D.    Struktur Ekonomi Dari Tinjauan Birokrasi Pengambilan Keputusan


Struktur ekonomi dapat pula dilihat berdasarkan tinjauan birokrasi pengambilan
keputusan. Dilihat dari sudut tinjauannya, struktur ekonomi dapat dibedakan menjadi
struktur ekonomi yang terpusat sentralisasi dan desentralisasi.
Berdasarkan tinjauan birokrasi pengambilan keputusan, dapat dikatakan bahwa
struktur perekonomian Indonesia selama era pembangunan jangka panjang tahap
pertama adalah sentralistis. Dalam struktur ekonomi yang sentralistis pembuatan
keputusannya lebih banyak ditetapkan oleh pemerintah pusat atau kalangan atas
pemerintahan. Pemerintah daerah atau kalangan pemerintahan dibawah, beserta
masyarakat dan mereka yang tidak memiliki akses ke pemerintahan pusat, cenderung
hanya menjadi pelaksana saja dan hanya sebagai pendengar saja.
Struktur birokrasi pengambilan keputusan yang sentralistis ini terpelihara rapih
selama pemerintahan orde baru. Hal ini disebabkan oleh budaya atau kultur
masyarakat Indonesia yang paternalistik. Walaupun Indonesia sudah merdeka dan
menuju ke arah era globalisasi namun budaya ini masih sulit untuk ditinggalkan, dan
bahkan cenderung dipertahankan.
Struktur perekonomian yang etatis dan sentralistis berkaitan erat. Pemerintah
Pusat menganggap bahwa Pemerintah Daerah belum cukup mampu untuk menjalani
tugas untuk melaksanakan pembangunan ekonomi. Argumentasi yang sering
dijadikan legitimasi adalah karena sebagai negara sedang berkembang yang barau
mulai melakukan proses pembangunan. Sehingga dalam kondisi yang demikian
diperlukan peran sekaligus dukungan pemerintah sebagai agen pembangunan,
sehingga menjadikannya etatis, dan sekaligus dibutuhkan pemerintahan yang kuat.
Namun  demikian sejak awal pembangunan jangka panjang tahap kedua (PJP II)
struktur perekonomian yang etatis dan sentralistis tersebut secara berangsur mulai
berkurang.

5. Analisa Strategi Pembangunan Sektor Industri Pengembangan Impor


Permasalahan di Indonesia yang cukup mendasar mengenai perdagangan
Internasional ,salah satunya adalah impor. Apabila kita melihat di negara negara
berkembang, peran industrialisasi substitusi impor dalam pembangunan ekonomi
sangat  penting sehingga sektor industri sangat berperan dalam substitusi impor.
Substitusi impor merupakan salah satu upaya yang tepat dalam mengganti berbagai
macam kebutuhan yang sebelumnya diimpor dengan produk-produk buatan dalam
negeri.
Data statistik BPS menyebutkan pada 2004 belanja impor Indonesia mencapai
angka US$46,52 miliar dan semakin lama semakin meningkat. Bahkan pada 2008 saja
sudah mencapai US$128,79 miliar. Dengan komposisi impor migas US$30,49 miliar
dan nonmigas US$98,32 miliar. Nilai sebesar itu artinya devisa yang seharusnya
dapat dihemat dan dibelanjakan di dalam negeri terpaksa dibelanjakan keluar negeri.
 Industri manufaktur berupa otomotif, tekstil, garmen, dan industri alas kaki
merupakan sektor industri yang paling terancam. Industri ini merupakan sektor padat
karya yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak. Dengan berlimpahnya
produk China yang cenderung lebih murah, hal itu dikhawatirkan mematikan produk
lokal. Biaya  produksi di Indonesia tergolong tinggi sehingga harga pasar domestik
pun lebih tinggi dibandingkan harga produk China
Dalam hal impor, Kementerian Perdagangan berupaya mengelola impor yang
berorientasi pada kepentingan nasional, yaitu sesuai standar kesehatan, keamanan,
keselamatan, lingkungan, dan moral bangsa. Pertumbuhan impor selama periode
2004- 2008, khususnya nonmigas,meningkat rata-rata 26,5 persen per tahun. Impor
nonmigas sebagianbesar merupakan impor bahan baku atau penolong dan barang
modal untuk memenuhi kebutuhan investasi dan produksi di dalam negeri, termasuk
yang berorientasi ekspor. Pengelolaan impor juga diarahkan untuk menciptakan iklim
persaingan yang sehat dan transparan di dalam negeri, sehingga tidak terjadi
perdagangan yang t idak adil dan memast ikan impor yang masuk melalui perjanjian
perdagangan bebas (FTA) memenuhi syarat. Negara yang menj adi sumber impor
nonmigas terbesar Indonesia adalah RRT, Jepang, dan Singapura. Ketiga negara
tersebut memberikan kontribusi sebesar 41,5 persen dari total impor nonmigas
Indonesia tahun 2008.

Berikut analisa strategi pembangunan sektor industri pengembangan impor menurut


beberapa ahli :
1.      Teori Kebijakan Strategi Negara Berkembang
Masalah kebijakan perdagangan sangat berpengaruh dalam pembangunan ekonomi di
negara-negara berkembang. Untuk itu teori-teori mengenai impor untuk
pembangunan diperlukan kebijakan khusus dalam konteks strategi negara
berkembang ada yang berorientasi ke luar dan ke dalam. Kebijakan pembangunan
berorientasi ke luar ( outward-looking development policies) adalah suatu rangkaian
kebijakan yang tidak hanya mendorong berlangsungnya  perdagangan bebas tetapi
juga memungkinkan pergerakan secara bebas atas faktor-faktor  produksi
(modal,tenaga kerja), perusahaan-perusahaan dan para pelajar,perusahaan
multinasional,dan suatu sistem komunikasi yang terbuka.

Kebijakan pembangunan berorientasi ke dalam (inward- looking development


policies) adalah suatu kebijakan yang lebih menekankan pada usaha-usaha negara
berkembang untuk menciptakan suatu pendekatan pembangunan mandiri yang benar-
benar sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi pembangunannya agar mereka lebih
mampu mengendalikan ataupun menentukan nasib mereka sendiri

2.      Strategi Pengembangan Sektor Industri


Hasibuan (1986) mengemukakan bahwa untuk mengurangi ketergantungan
pembangunan industri di negara berkembang terhadap negara maju dapat ditempuh
strategi industri pengganti impor yang disertai dengan politik proteksi. Ditempuhnya
strategi  pengganti impor tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa :
1. sumber-sumber ekonomi relatif tersedia di dalam negeri
2. respon permintaan barang-barang industri dari negara maju masih rendah
3. mengurangi akibat-akibat ketidakstabilan pasar internasional terhadap pasar di
dalam negeri 4. mendorong industri di dalam negeri supaya lebih berkembang,
5. adanya potensi permintaan di dalam negeri yang memadai
6. membuka kesempatan kerja, meningakatkan nilai tambah dan menghemat devisa.
7. mempercepat proses pengalihan teknologi,
8. oleh karena strategi tersebut akan diikuti dengan proteksi yang tinggi, sedangkan
potensi permintaan dalam negeri cukup luas, maka lebih menarik investasi dari dalam
dan luar negeri.

3.      Selain itu menurut Zain (1986)


Dalam Sahara (1999) strategi yang perlu dilakukan untuk pengembangan industri
dimasa yang akan datang adalah :
1.Keunggulan komparatif, yaitu dilihat dari sumber daya alam yang tersedia di
Indonesia
2.Keterkaitan antar sektor terutama sektor hulu hilir. Efek selanjutnya adalah
terciptanya penghematan devisa, meningkatkan pendapatan, keahlian dan kesempatan
kerja.
3.Teknologi yang tinggi dan selalu berkembang untk pembangunan industri hulu
secara simultan.
Faktor untuk industri hulu harus merupakan pertimbangan yang dominan
karena apabila industri hulu menggunakan teknologi yang tinggi dan efisien maka
industri hilirnya tidak akan mengalami biaya yang tinggi dan ini sesuai dengan
sasaran untuk mengembangkan industri yang kompetitif untuk ekspor

4.      Subtitusi Impor  (inward-looking)
a.Strategi industrialisasi
1.Strategi Subtitusi Impor
 - Lebih menekankan pada pengembangan industry yang berorientasi pada
pasar       domestic
  -Strategi subtitusi impor adalah industry domestic yang membuat barang
menggantikan impor
  - Dilandasi oleh pemikiran bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi
dapat   dicapai dengan mengembangkan industry dalam negeri yang memproduksi
barang pengganti impor

Pertimbangan yang lajim digunakan dalam memilih strategi ini adalah:


a. SDA dan factor produksi lain (terutama tenaga kerja) cukup tersedia
b. Potensi permintaan dalam negeri memadai
c.  Pendorong perkembangan sector industry manufaktur dalam negeri
d. Dengan perkembangan industry dalam negeri, kesempatan kerja lebih luas
e. Dapat mengurangi ketergantungan impor
5.  Kebijakan industrialisasi
o Dirombaknya system devisa sehingga transaksi luar negeri lebih bebas dan
sederhana
o Dikuranginya fasilitas khusus yang hanya disediakan bagi perusahaan Negara dan
kebijakan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan sector swasta bersama-sama
dengan BUMN
o Diberlakukannya Undang-undang PMA

Anda mungkin juga menyukai