Anda di halaman 1dari 3

NAMA : I PUTU WIDYANGGA ARISYA PUTRA

NPM : 202033121206
ABSEN :
KELAS : D5/D8
PEREKONOMIAN INDONESIA
1. Analisis Kebijakan Pangan Dan Pembangunan Pertanian Pada Jaman
Penjajahan, Orde Lama, Orde Baru Dan Masa Reformasi
Setelah satu abad, teori Malthus akhirnya terbantahkan. Malthus memprediksi akan
terjadinya kelaparan karena tidak seimbangnya kemampuan lahan untuk pangan dengan
pertambahan penduduk. Karena pesatnya ilmu pengetahuan, kemudian terjadilah revolusi
hijau (green revolution). Revolusi hijau dimulai dengan penemuan persilangan jenis gandum
yang responsif terhadap pupuk yang kemudian disilangkan dengan varietas asal Jepang,
dihasilkanlah tanaman pangan yang dapat dimanfaatkan secara lebih efisien. Rekayasa
genetika ini dipelopori oleh pemenang hadiah nobel bidang pangan dari AS, Borlaug.
Pengembangan rekayasa genetika yang memberi manfaat ini kemudian banyak
disebarluaskan di berbagai belahan dunia, seperti di India, Pakistan, Meksiko maupun
beberapa belahan dunia lainnya
Selanjutnya awal 60-an, IRRI (International Rice Research Institute) sebagai lembaga riset
dan penelitian beras mengembangkan rekayasa genetika dengan mengembangkan "padi
ajaib", di mana ditemukan padi dengan umur pendek dan jumlah produksi relatif besar. Itulah
yang kita kenal IR 5 dan IR 8. Inilah tonggak revolusi hijau di tahun 60-70-an. Dengan
penemuan semacam ini, prediksi bencana kelaparan dapat diminimalisasi.
Di era Orde Baru, pada saat pemerintah bercita-cita mewujudkan swasembada
pangan, pengembangan rekayasa genetika sungguh sangat membantu untuk mewujudkannya.
Pada masa penjajahan Belanda dulu, bidang pertanian banyak dikembangkan untuk
kepentingan pemerintah penjajah dengan menerapkan metode tanam paksa. Banyak hasil
pertanian yang favorit dan legendaris di pasaran internasional, seperti rempah-rempah,
tembakau, kopi, tebu, dan lain-lain. Di masa penjajahan Jepang, dengan metode kerja rodi,
Jepang memaksa para petani menanam berbagai hasil pertanian untuk kepentingan mereka,
seperti beras, jagung, dan pohon jarak sebagai bahan bakar.
Di awal kemerdekaan, pembangunan pertanian dipengaruhi semangat nasionalisme
dan untuk mencukupi seluruh kebutuhan rakyat, terutama kebutuhan pokok, seperti beras,
jagung, kedelai, ketela, kacang tanah, dan kebutuhan akan ikan serta daging. Masih di era
ekonomi Soekarno tahun 60-an, pendekatan perencanaan pembangunan mulai dicanangkan
seperti intensifikasi, ekstensifikasi untuk mendukung memenuhi kebutuhan pangan nasional.
Walaupun dalam jangka pendek pemerintah tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan secara
penuh, bahkan terjadi lonjakan inflasi yang cukup tinggi.
Di masa Orde Baru, dengan anggaran APBN cukup besar yang melanjutkan program
intensifikasi dan ekstensifikasi dengan semangat swasembada pangan, akhirnya secara umum
tercapai. Program pengembangan infrastruktur begitu intensif seperti pembangunan irigasi,
waduk dan bendungan, pabrik pupuk di mana-mana dan berdiri berbagai lembaga penelitian
pangan. Kita masih ingat pemberdayaan petani cukup dominan, seperti kelompencapir,
sebagai media penyambung antara program pemerintah dengan petani. Banyak program lain
yang dijalankan, seperti kredit untuk tani, subsidi pupuk, benih dan lain-lain. Hal itu
didukung program transmigrasi serta pemanfaatan lahan tidur yang disulap sebagai lahan
pertanian. Terlepas dari dampak negatif program-program tersebut, tetapi kebutuhan akan
bahan pokok makan terpenuhi. Tentu program ini berhasil, walaupun nasib dan derajat petani
belum sepenuhnya terangkat.
Pada era reformasi sekarang ini, pembangunan pertanian terbawa arus eforia dan
warna sosial politik. Ada kecenderungan kebijakan pemerintah di bidang swasembada
pangan mulai terabaikan. Terbukti pada awal reformasi sampai sekarang ini anggaran di
sektor pertanian tidak terlalu besar. Untuk APBN terakhir hanya sebesar Rp 9 triliun.
Disamping itu ada indikasi karena hiruk pikuknya kebijakan desentralisasi sehingga program
swasembada pangan justru terabaikan. Isu-isu lainnya juga membuat kebijakan ini tidak
optimal, karena alasan partisipasi rakyat serta mekanisme pasar sudah berjalan, artinya petani
sudah menyadari mana komoditas yang menguntungkan maka mereka akan menanamnya.
Ada permintaan tinggi maka mereka secara otomatis akan memenuhi supply-nya. Tetapi
kenyataannya berbeda, petani Indonesia masih perlu dibimbing yang sejalan dengan program
pemerintah.
Kalau kita cermati selama ini, kebijakan-kebijakan pemerintah yang diambil terkait
dengan berbagai isu lonjakan harga komoditi pangan sungguh membingungkan. Kebijakan
pemerintah yang ditempuh selama ini cenderung hanya responsif yang mempunyai implikasi
jangka pendek, padahal permasalahannya menyangkut jangka panjang. Kita ambil contoh
kebijakan mengenai minyak goreng tahun lalu, pemerintah kemudian tergopoh-gopoh dengan
menaikkan pungutan ekspor crude palm oil (CPO). Kebijakan ini akhirnya tidak juga efektif,
sampai akhirnya pemerintah merelakan merogoh kocek anggarannya dengan mengambil
kebijakan klasik berupa subsidi minyak goreng, sebagai pro poor. Alangkah sederhananya
menyetel sebuah paket kebijakan yang kelihatan grabak-grubuk itu. Padahal
permasalahannya tidak sesederhana itu. Akhirnya kebijakan ini tidak tuntas. Kita yakin suatu
saat permasalahan ini akan muncul kembali. Dan, instrumen klasik seperti subsidi digunakan
lagi sebagai senjata pamungkasnya, sehingga beban anggaran juga semakin berat. Sekarang
pemerintah disibukkan lagi dengan melonjaknya berbagai harga komoditas pangan kita,
termasuk harga kedelai. Kita berharap kebijakan pemerintah yang diambil akan tuntas. Tidak
hanya kebijakan jangka pendek, tetapi semestinya pemerintah mengambil kebijakan yang
lebih permanen dan menyeluruh. Karena secara jangka panjang kebutuhan masyarakat terus
meningkat seiring kesadaran masyarakat untuk hidup sehat. Jadi, swasembada pangan selalu
menjadi prioritas. Jangan sampai pemerintah seolah gengsi untuk melanjutkan kebijakan
pemerintah Orde Baru, apalagi kebijakan-kebijakan Orde Baru tidak selalu jelek.
2. Analisa Kebijakan Pembangunan Non Pangan
Direktur Eksekutif CIDES (Center for Information and Development Studies) Indonesia
Rudi Wahyono menuturkan, perencanaan produksi tanaman pangan dan non pangan tidak
seimbang. Pemerintah cenderung menggenjot produksi tanaman pangan, sementara tanaman
non pangan terabaikan. Akibatnya, produksi tanaman non pangan mengalami tren penurunan.
Dia mencontohkan, berdasarkan data Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), tren
produksi tembakau mengalami penurunan tajam akibat cuaca ekstrim dan penyusutan lahan
sebesar 28% sejak 2012. "Jawa Timur yang menjadi sentra produksi tembakau 50% dari
produksi nasional, sekarang sudah turun. Begitu pula dengan teh. Padahal, ini terkait hajat
hidup orang banyak," tutur dia ketika membuka dialog publik pembangunan berkelanjutan
Revitalisasi Tanaman Non Pangan Sebagai Upaya Peningkatan Kesejahteraan Rakyat
Menghadapi Perubahan Iklim dan Dinamika Global di Kementerian Riset Teknologi Dan
Pendidikan Tinggi, Jakarta Rabu (26/7).
Senada, Menteri Pertanian pada 2004-2009 Anton Apriyantono mengatakan,
perhatian pemerintah terhadap komoditi perkebunan belum sebaik seperti pada tanaman
pangan. Belum banyak upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim
terhadap pertanian non pangan. Diantara dampak perubahan iklim yakni musim tanam
menjadi tidak menentu. "Padahal, potensi Indonesia ada di perkebunan, bukan tanaman
pangan. Maka, kenapa penjajah datang karena ada perkebunan seperti, rempah-rempah,"
katanya dalam kesempatan yang sama. Keterlambatan melakukan inovasi menyebabkan
produksi tanaman non pangan semakin mengalami penurunan. Riset perkebunan juga tidak
banyak dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai