Anda di halaman 1dari 3

BELUM NASI, BELUM MAKAN?

Okki Trinanda Miaz


Dosen Fakultas Ekonomi UNP

Dari 50.000 jenis tumbuhan yang bisa dimakan didunia ini, hanya beberapa ratus saja
diantaranya yang menjadi menu makanan manusia sehari-hari. Dari sekian ratus
tersebut, hanya tiga yang menjadi makanan pokok dua pertiga populasi dunia, yaitu
beras, gandum, dan jagung. Dan diantara ketiganya itu, beras adalah makanan yang
paling banyak dikonsumsi, beras menjadi makanan utama 3,5 milyar orang atau
setengah dari keseluruhan populasi dunia.

Dengan kata lain, beras adalah jenis makanan yang sangat penting. Bahkan, sedikit saja
terjadi “gangguan” pada beras (misalnya pada cara penanaman, penjualan, dll) akan
segera membawa dampak besar pada perekonomian secara global. Sebagai contoh,
awal tahun lalu Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha berencana untuk membeli
beras petani dengan harga di atas pasaran dunia, akibatnya langsung terjadi kepanikan
massal. langsung terjadi kenaikan harga beras secara global. Harap dimaklumi, 30
persen beras dunia berasal dari Thailand. Atau contoh lain ketika terungkap beras
China ternyata mengandung bahan yang berbahaya, berarti selama ini dua pertiga
rakyat China memakan makanan beracun setiap hari. Demikian dahsyatnya pengaruh
beras.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Indonesia yang memiliki wilayah yang sangat luas
dan terdiri dari banyak suku bangsa aslinya dulu memiliki panganan pokok yang sangat
beragam. Sebut saja daerah-daerah seperti Mentawai, Madura, Nusa Tenggara, Maluku
dan lain-lain pada masa lalu sebenarnya lebih suka mengkonsumsi kentang dan sagu
sebagai makanan pokok. Namun saat ini beragam jenis makanan tersebut rata-rata
telah tergantikan dengan beras. Masyarakat kita terbiasa makan nasi tiga kali sehari,
bahkan belum dianggap sudah makan jika belum menyantap nasi.

Sejarah ‘penyeragaman’ makanan pokok masyarakat Indonesia Timur bermula dari


kebijakan Presiden RI kedua, Soeharto. Pak Harto sangat menyadari bahwa ia
memimpin suatu negara yang sangat Bhinneka. Agar lebih mudah mempersatukan,
maka ia bermaksud agar masyarakat Indonesia memiliki lebih banyak kesamaan, salah
satunya dengan jalan homogenisasi pangan. Maka pada era 1980an Soeharto memiliki
kebijakan ketahanan dan kemandirian pangan dengan beras sebagai makanan pokok
bagi masyarakat Indonesia.

Kebijakan dari Soeharto ini juga ikut didorong perpindahan masyarakat Jawa yang
berprofesi sebagai karyawan, guru, atau petani ke daerah-daerah luar Jawa. Biarpun di
daerah terpencil, mereka selalu mempertahankan budaya memakan nasi sebagai menu
utama. Akibatnya masyarakat tradisional seperti di Papua menganggap nasi sebagai
makanan orang maju dan berpendidikan, dan sagu adalah makanan orang yang
ketinggalan jaman. Maka sedikit demi sedikit terjadi perubahan budaya.

Celakanya daerah seperti Papua tidak cocok untuk bercocok tanam padi. Padi susah
ditanam di daerah pegunungan seperti Papua, padahal masyarakatnya sudah terlanjur
bergantung pada beras. Belum lagi sarana transportasi disana belum bagus. Akibatnya
pasokan beras sering tersendat, tentunya hal ini bisa mengakibatkan kelaparan. Padahal
sebenarnya makanan pokok tradisional Papua seperti keladi, kentang dan sagu akan
lebih efisien bagi masyarakatnya. Namun yang terjadi sebaliknya. Beras terus di subsidi
sementara harga sagu selalu tinggi.

Secara nasional kondisi pangan di Indonesia pun tidak pula terlalu baik. Walaupun
sempat di anugerahi penghargaan oleh FAO, saat ini kita adalah net importir untuk
seluruh komoditas panganan pokok. Sebagai konsumen beras ketiga terbesar dunia,
pemerintah Indonesia mengimpor 1,5 juta ton beras setiap tahunnnya. Wajar saja
mengingat konsumsi beras masyarakat Indonesia adalah 139 kilogram perkapita. Coba
dikalikan dengan jumlah penduduk Indonesia yang hampir 270 juta jiwa.

Oleh karena itu, sebenarnya saat ini sudah dibutuhkan gerakan diversifikasi pangan di
Indonesia. Agar ketergantungan terhadap beras, bisa sedikit banyak dikurangi.
Diversifikasi pangan dimaksudkan untuk memvariasikan konsumsi masyarakat
Indonesia agar tidak terfokus pada nasi. Indonesia memiliki beragam hasil pertanian
yang sebenarnya bisa difungsikan sebagai makanan pokok seperti sukun, ubi, talas,
jagung, kentang dan sebagainya yang dapat menjadi faktor pendukung utama
diversifikasi pangan.

Diversifikasi pangan pada pemerintahan Indonesia menjadi salah satu cara untuk
menuju swasembada beras dengan minimalisasi konsumsi beras sehingga total
konsumsi tidak melebihi produksi. Selain itu, karena kita pengimpior beras,
diversifikasi beras juga bisa menghemat belanja negara. Pada dasarnya diversifikasi
pangan mencakup tiga lingkup pengertian yang saling berkaitan, yaitu diversifikasi
konsumsi pangan, diversifikasi ketersediaan pangan, dan diversifikasi produksi pangan.
Keppres No. 68 tentang Ketahanan Pangan pasal 9 disebutkan bahwa diversifikasi
pangan diselenggarakan untuk meningkatkan ketahanan pangan dengan
memperhatikan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal .

Diversifikasi pangan diartikan sebagai pengurangan konsumsi beras yang dikompensasi


oleh penambahan konsumsi bahan pangan non-beras diiringi dengan ditambahnya
makanan pendamping. Diversifikasi konsumsi pangan juga dapat didefinisikan sebagai
jumlah jenis makanan yang dikonsumsi, sehingga semakin banyak jenis makanan yang
dikonsumsi akan semakin beranekaragam. Dimensi diversifikasi konsumsi pangan tidak
hanya terbatas pada pangan pokok tetapi juga pangan jenis lainnya, karena konteks
diversifikasi tersebut adalah meningkatkan mutu gizi masyarakat secara kualitas dan
kuantitas, sebagai usaha untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.

Sebenarnya sudah ada kebijakan atau program secara langsung dan tidak langsung yang
terkait dengan diversifikasi konsumsi pangan terus dirintis oleh pemerintah melalui
berbagai kegiatan dan dilakukan oleh banyak instansi. Sebagai contoh gerakan sadar
pangan dan gizi yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan, program diversifikasi
pangan dan gizi oleh Departemen Pertanian (1993-1998) dan lain-lain. Dari sisi
kelembagaan, pada tahun 1989 pada kabinet Pembangunan VI juga dibentuk Kantor
Menteri Negara Urusan Pangan yang meluncurkan slogan “Aku Cinta Makanan
Indonesia (ACMI)”. Pada tahun 1996 telah lahir Undang-undang no. 7 tentang Pangan,
kemudian pada tahun 2002 muncul Kepres No. 68 tentang Ketahanan Pangan. Pada
tahun 2001, pada era Kabinet Gotong Royong telah dibentuk Dewan Ketahanan Pangan
(DKP) yang dipimpin langsung oleh Presiden. Kepres ini kemudian diperbaharui
melalui Perpres No 83 tahun 2006 tentang Dewan ketahanan pangan, dimana
mempunyai tugas untuk mengkoordinasikan program ketahanan pangan termasuk
tujuan untuk mengembangkan diversifikasi pangan. Namun memang kendala
terbesarnya adalah dari selera masyarakat yang sudah cenderung menggemari nasi
sebagai makanan pokoknya.

Ketergantungan kepada satu bahan makanan pokok bagi ratusan juta masyarakat di
negara seluas Indonesia agak kurang masuk akal sebenarnya. Sudah saatnya belajar
diversifikasi pangan. Bisa saja suatu saat nanti makanan pokok Indonesia beragam dari
jagung, kentang, singkong, sagu dan lain-lain, seperti nenek moyang kita dahulu.
Pemerintah pun bisa melakukan himbauan kepada masyarakat untuk mengurangi
konsumsi beras dan mulai mencoba makanan pokok yang lain. Jika ada “car free day”,
kenapa tidak diadakan “rice free day”?

Anda mungkin juga menyukai