Belajar dari Pengelolaan Kebijakan Terigu Oleh: Sapuan Gafar
RINGKASAN
Tulisan ini menjelaskan perkembangan kebijakan terigu selama kurang lebih 40
tahun dalam berbagai keadaan pasang surutnya ekonomi pangan kita. Dari berbagai kebijakan tersebut, diharapkan dapat dipetik pelajaran untuk merumuskan kebijakan diversifikasi pangan berbasis tepung nonberas dan nonterigu, terutama yang bersumber dari dalam negeri. Walaupun tujuan semula pengenalan terigu untuk mengurangi permintaan beras, tetapi impor gandum sebagai bahan baku terigu saat ini jumlahnya sudah cukup besar dan diperiukan devisa cukup banyak. Oleh karena itu, sudah saatnya ada upaya untuk mengerem laju pertumbuhan kenaikan impor gandum. Salah satu kebijakan yang perlu ditempuh adalah dengan menaikkan bea masuk impor gandum dan terigu pada tingkat yang merangsang berkembangnya bahan baku tepung dalam negeri baik dari gandum domestik maupun dari tanaman nongandum. Untuk menunjang kebijaksanaan tersebut perlu didukung oleh gerakan masyarakat pengembangan bahan baku tepung baik yang berasal dari biji-bijian dan umbi-umbian, maupun dari tanaman pohon-pohonan dan buah-buahan. Indonesia kaya akan sumber bahan baku tepung, maka dengan komitmen semua pihak, baik pemerintah, DPR maupun masyarakat diharapkan terwujud gerakan masyarakat pengembang bahan baku tepung nonterigu.
I. PENDAHULUAN Diversifikasi pangan di Indonesia
D rogram diversifikasi pangan kita dinilai sebenarnya ada yang berhasil, yaitu terigu ' gagal oleh banyak pihak. Indikasinya atau tepung gandum sebagai substitusi atau konsumsi beras tidak mengalami penurunan. pangganjal beras dan buah sebagai Dalam berbagai kesempatan diskusi juga peningkatan mutu gizi penduduk. Indikasinya muncul pertanyaan menggelitik, "Mengapa adalah peningkatan impor gandum. Pada akhir penduduk Papua, Maluku, Nusa Tenggara tahun 1960-an, pada saat terigu digalakkan Timur "dipaksa" mengkonsumsi beras?, sebagai substitusi beras, impor terigu masih sekitar 150.000 ton, tetapi saat ini kebutuhan padahal makanan pokoknya bukan beras". Dalam hal diversifikasi pangan, pada dasarnya terigu sudah mencapai lebih dari empat juta ton. Pada saat ini tidak ada anak di Indonesia suatu barang dapat menjadi substitusi atau penggunaannya menjadi pengganti barang yang tidak mengenal mie instant dan roti yang lain apabila barang tersebut lebih murah dibuatdari terigu. Demikian juga buah-buahan, harganya, tersedia dalam jumlah yang cukup saat ini pedagang buah menjamur di mana- dan mudah memperolehnya, kualitas mana, di semua kota. Sayangnya buah-buahan mendekati atau lebih baik dari pesaingnya, yang dijual sebagian besar juga berasal dari tidak terkesan sebagai barang inferior dan impor. Dari kenyataan di atas terdapat dua didukung oleh kebijakan pengembangan yang model program diversifikasi pangan yaitu terigu tepat. dan buah-buahan. Terigu diperkenalkan melalui
campur tangan pemerintah yang terencana Tulisan ini menjelaskan perkembangan dalam jangka panjang. Sedangkan buah- kebijakan terigu selama kurang lebih 40 tahun buahan digalakkan melalui mekanisme pasar dalam berbagai keadaan pasang surutnya dengan melonggarkan peraturan-peraturan ekonomi pangan kita. Dari berbagai kebijakan impor buah tahun 1990-an. Dua-duanya dapat tersebut, diharapkan dapat dipetik pelajaran berkembang karena pasar menerima dan untuk merumuskan kebijakan diversifikasi membutuhkannya. pangan berbasis tepung nonberas dan Tulisan ini berusaha mengeksplorasi nonterigu, teaitama yang bersumber dari dalam diversifikasi pangan berbasis tepung dengan negeri. pembelajaran dari model penyebaran terigu. Diversifikasi pangan dengan basis tepung lebih II. PELAJARAN DARI PENGELOLAAN mudah diterima oleh masyarakat. Dengan KEBIJAKAN TERIGU bentuk tepung penggunaannya juga lebih fleksibel karena dapat dipakai sebagai bahan 2.1. Kebijakan Harga Terigu dan baku atau campuran (composite flour) dalam Dampaknya terhadap Kebutuhan pembuatan roti, mie, kue, jajan pasar dan Terigu sebagainya. Di samping itu, teknologi Terigu merupakan bahan baku untuk pembuatan tepung sendiri sudah dikenal industri makanan skala besar yang masyarakat, baik skala kecil maupun skala menghasilkan produk seperti mie instant, biskuit sedang. Teknologi pembuatan roti dan mie dan Iain-Iain. Terigu juga sebagai bahan baku juga telah memasyarakat dan pasar produk industri kecil dan menengah yang olahan tepung cukup luas. Jika kita perbatikan menghasilkan antara lain mie basah, kue dengan saksama, jagung, sebagai makanan kering, roti tawar, dan Iain-Iain. Selain itu, terigu pokok sebagian penduduk kita, juga mulai juga sebagai bahan baku industri rumah tangga ditinggalkan karena cara memasaknya sulit yang menghasilkan aneka makanan jajan dan memerlukan bahan bakar lebih banyak. pasar dan industri nonpangan untuk Makanan dari gaplek dianggap inferior, bahkan pembuatan lem dan Iain-Iain. kalau ada penduduk yang makan tiwul dari Secara agregat total peningkatan gaplek dianggap kekurangan pangan. Dengan kebutuhan untuk memenuhi sektor-sektor demikian, diversikasi pangan yang memiliki tersebut ditunjukkan oleh volume impor prospek secara ekonomi adalah diversifikasi gandum dan hasil pengolahan atau penyaluran pangan yang berbasis tepung. terigu yang mengalami kecenderungan naik. Indonesia kaya akan sumber daya alam Untuk melihat dinamika perubahan kebijakan hayati yang dapat dijadikan sebagai bahan dan dampaknya terhadap permintaan {agregat) baku tepung. Indonesia kaya berbagai jenis terigu mulai awal Pemerintahan Soeharto umbi-umbian dan biji-bijian yang dapat sampai sekarang, dalam tulisan ini disajikan dikembangkan dalam berbagai keadaan periodisasi perkembangan kebijakan di bidang agroklimat sebagai bahan baku tepung. terigu dan gandum yang diharapkan dapat Indonesia memiliki jenis pohon yang memberikan pemahaman terhadap dampak menghasilkan tepung seperti pohon sagu dan dari kebijakan tersebut dan implementasi aren. Indonesia juga memiliki pohon buah kebijakan diversifikasi pangan berbasis tepung. seperti sukun yang dapat dijadikan bahan baku a. Periode 1967 sampai dengan 1972 tepung untuk diolah menjadi makanan. Jenis tanaman garut dan ganyong yang tumbuh Dalam periode ini seluruh kebutuhan terigu subur di bawah tegakan pohon yang dapat dalam negeri dipenuhi dari impor dalam bentuk ditanam di kebun atau di bawah pohon di hutan terigu terutama berasal dari Grant dan bantuan menghasilkan tepung yang dapat diolah PL 480. Kebijakan utama saat itu ditujukan menjadi makanan yang cukup terkenal bagi untuk menyediakan pangan dengan harga bayi dan orang sakit. murah, menanggulangi infiasi, dan menggalang
Edisi No. 56/XVIH/Oktober-Desember/2009 PANGAN 33
sumber keuangan untuk pembiayaan tingginya harga minyak dunia. Kebijakan pembangunan. Dengan kebijakan penetapan subsidi terhadap terigu tetap dilanjutkan dalam harga terigu yang murah, rasio harga terigu bentuk subsidi impor dan subsidi penyaluran. (T) terhadap harga beras (B) terdapat Jumlah subsidi riil mengalami fluktuasi dan kecenderungan menurun. Rasio harga T/B mulai tahun 1976/1977 cenderung diperlonggar tahun 1966 sebesar 3,02; pada tahun 1967 atau meningkat cukup besar. Pada tahun turun menjadi 1,5; dan tahun 1969 turun lagi 1976/1977 subsidi riil untuk impor gandum menjadi 1 (Timmer, 1971). Kebijakan harga sekitar Rp 3 milyar, tahun 1978/1979 meningkat terigu murah tersebut juga diarahkan untuk menjadi sekitar Rp 17 milyar, dan pada tahun mendorong penggunaan atau konsumsi terigu 1980/1981 telah mencapai Rp 67,3 milyar. sebagai substitusi beras karena ketersediaan Rasio antara harga terigu terhadap beras beras waktu itu sedang sulit. masih berkisar 1. Namun, dengan elastisitas Apabila harga terigu internasional pendapatan terhadap permintaan terigu sekitar dibandingkan dengan harga terigu yang dijual 1,2 (hasil studi tahun 1988) maka peningkatan di dalam negeri, maka harga terigu pendapatan dalam situasi boom ekonomi internasional lebih tinggi sekitar 50%. Jadi, tersebut menyebabkan respon peningkatan selisih harga internasional dan dalam negeri permintaan terigu yang cukup tinggi. Hal ini ini merupakan subsidi kepada konsumen dalam dapat dilihat dari rata-rata pertumbuhan impor negeri. Dengan kebijakan untuk "mengobral" gandum dalam periode tersebut yang terigu di dalam negeri tersebut, mengakibatkan meningkat sekitar 18,6% per tahun. konsumsi terigu per kapita meningkat cukup c. Periode 1981 sampai dengan 1990 tajam. Konsumsi atau ketersediaan terigu tahun 1966 baru sebesar 0,43 kg per kapita per Pada masa ini, kondisi APBN kita mulai tahun, tahun 1967 meningkat menjadi 1,36 kg mengalami pengetatan karena penurunan per kapita per tahun, dan tahun 1969 telah penerimaan dari ekspor migas, sementara mencapai 3,2 kg per kapita per tahun, sehingga ekspor nonmigas baru mulai digalakkan. dalam waktu tiga tahun konsumsi terigu Kebijakan di bidang terigu dilakukan dengan meningkat hampir tujuh kali lipat. upaya mengurangi subsidi terigu dengan cara menaikkan harga tebus terigu (harga pembelian Secara agregat kebutuhan atau oleh penyalur) secara bertahap dalam waktu permintaan terigu nasional dalam periode itu atau frekuensi yang relatif cepat, bahkan untuk juga tumbuh cukup tinggi yaitu sekitar 29,3% tahun 1981 sampai dengan 1983 hampirsetiap per tahun. Pada saat itu tampaknya pemerintah bulan terjadi perubahan harga tebus. Karena tidak memiliki banyak pilihan, selain sedang adanya kebijakan untuk mendorong kenaikan mengalami kesulitan penyediaan beras, harga terigu di pasaran, rasio harga terigu sumber pangan nonterigu lain sebagai alternatif terhadap harga beras (T/B) pada masa itu bahan substitusi juga belum berkembang. meningkat menjadi sekitar 1,28. Dalam kurun b. Periode 1973 sampai dengan 1980 waktu inilah pernah terjadi "negatif subsidi" Periode ini ditandai dengan berdirinya mulai tahun 1987 yang berarti bahwa industri pengolahan gandum {Flour mill) di pemerintah justru memperoleh keuntungan Jakarta, Surabaya, dan Ujung Pandang. Selain atau penerimaan dari tata niaga terigu ini. impor gandum dalam bentuk grant dan bantuan Implikasi kebijakan untuk menekan subisidi melalui PL 480, juga mulai ada pengadaan terigu dengan menaikkan harga tersebut gandum melalui jalur komersial. Jumlah menyebabkan terjadinya kontraksi permintaan gandum grant cenderung menurun, sementara terigu secara agregat, sehingga dalam periode impor komersial meningkat cukup tajam. ini pertumbuhan permintaan terigu, yang Pada masa itu perekonomian Indonesia ditunjukkan oleh jumlah impor gandum, mengalami booming karena pendapatan dari mengalami penurunan menjadi 2,3% per tahun. sektor minyak yang cukup besar akibat Suatu penurunan yang cukup signifikan apabila
dilihat dari pertumbuhan impor sebesar 29,3% gandum yang pada tahun 1990 baru sekitar per tahun sebelum tahun 1970, menjadi 18,6% 1,7 juta ton pada tahun 1997 telah mencapai per tahun antara tahun 1970-1980 dan hanya hampir 4 juta ton suatu angka yang cukup menjadi 2,37% pada tahun 1980-an. Kondisi fantastis. Membengkaknya impor gandum ini tentunya juga didukung oleh keberhasilan memang dapat dicarikan alasan yaitu sebagai produksi beras nasional, di mana pada periode instrumen untuk membantu mengurangi ini merupakan "puncak" keberhasilan tekanan terhadap permintaan beras karena peningkatan produksi dengan tercapainya kedekatan pengaruh substitusi antara terigu swasembada beras tahun 1984. Akan tetapi, dan beras. dengan laju pertumbuhan permintaan terigu e. Periode krisis moneter (1997,1998,1999) yang masih di atas laju pertumbuhan penduduk menyebabkan total impor gandum pada tahun Krisis moneter melanda Indonesia pada 1990 telah mencapai 1,7 juta ton, di mana pertengahan tahun 1997 menjungkir balikkan sebagian besar (hampir seluruhnya) berasal perkiraan orang atas nilai tukar rupiah terhadap dari impor komersial. mata uang asing terutama dolar Amerika. Pada awal krisis moneter tidak pernah terbayangkan d. Periode 1991 sampai dengan 1996 bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Dalam periode ini ekspor nonmigas mulai akan mencapai angka diatas Rp 10.000 per 1 menggeser sektor migas dalam perolehan USS karena nilai tukar saat itu hanya sekitar devisa dan penerimaan dari ekspor nonmigas Rp 2.500 per 1 USS. Dengan kenaikan nilai menunjukkan kecenderungan yang terus tukar dolar Amerika terhadap rupiah yang meningkat. Kebijakan harga terigu pada saat mencapai lebih dari 5 kali lipat tersebut sangat itu dikaitkan dengan upaya untuk membantu membebani devisa yang harus disediakan mengerem laju inflasi sehingga kebijakan untuk untuk impor gandum. menaikkan harga terigu secara kontinu seperti Menurut data BPS, nilai impor gandum periode sebelumnya mulai berubah. Hal ini dan komoditi terdekat dengan gandum pada menyebabkan rasio antara harga terigu tahun 1996 sudah mencapai sekitar 1 milyar terhadap beras juga mengalami penurunan, US$. Dalam kondisi cadangan devisa yang sehingga dalam periode ini rasio harga T/B terbatas pada saat itu, maka penyediaan devisa turun menjadi sekitar 1,19. untuk impor gandum memang menjadi Sementara itu, kondisi produksi beras masalah. Apalagi dengan semakin pesatnya nasional juga kurang menggembirakan antara ekspor produk olahan terigu, seperti mie instant. lain karena terjadinya kemarau panjang tahun Hal itu berarti terjadi ekspor yang bersubsidi 1992 dan 1997 yang menyebabkan produksi sehingga di saat krisis ekonomi kita justru beras nasional menurun sehingga memberi subsidi untuk konsumen negara lain. mengharuskan kran impor beras dibuka lagi. Persoalan dalam krisis moneter saat itu, Dalam periode ini industri pangan yang terutama yang berkaitan dengan kebutuhan berbahan baku terigu tumbuh cukup pesat, makanan pokok, memang cukup sulit. Dalam seperti industri mie instant dan snack karena kondisi cadangan devisa yang terbatas, nilai ditunjang oleh promosi lewat media elektronik tukar rupiah yang terus merosot, produksi padi dan media cetak yang cukup gencar. nasional juga turun cukup besar apabila akan Dengan kebijakan subsidi yang masih memanfaatkan instrumen terigu sebagai berjalan dan semakin berkembangnya pangan substitusi beras juga menghadapi kendala olahan terigu, serta kebijakan yang cenderung keuangan negara yang terbatas. menekan harga, menyebabkan permintaan Berdasarkan kesepakatan dari IMF impor terigu agregat dalam periode ini kembali gandum dideregulasikan pada akhir tahun meningkat cukup tinggi yang ditandai dengan 1998 bersamaan dengan komoditi BULOG peningkatan rata-rata impor gandum sekitar yang lain. Pada saat itu impor gandum dan 13,6% per tahun. Dengan demikian, impor terigu dibebaskan impornya dengan tanpa
dipungut bea masuk (0%). Namun demikian, tetapi kemudian melonjak menjadi 1,38 pada dalam keadaan ekonomi yang sulit impor tahun 2008 pada saat harga gandum dunia gandum tahun 1998 hanya mengalami melonjak 2 kali lipat. Angka perbandingan penurunan menjadi 3,4 juta ton dari impor tahun lain sebagai berikut: tahun 2000 sebesar tahun 1997 sebanyak 3, 959 juta ton, dan 1,04; 2001 (1,15); 2002 (1,11); 2003 (1,23); tahun 1999 impor gandum menurun lagi 2004 (1,28); 2005 (1,20); 2006 (0,99); dan menjadi sekitar 2,7 juta ton. Pada saat itu 2009(1.27). mulailah terjadi persaingan di pasar domestik Pada tahun 2001 pangsa pasar industri antara terigu eks produksi lokal dengan terigu tepung tetap dikuasai oleh PT Bogasari eks impor terutama dari Singapura dan walaupun impor gandum dan terigu Philipina. Impor dalam bentuk terigu meningkat dibebaskan. Pangsa pasar Bogasari (Jakarta dari rata-rata 3000 ton menjadi sekitar 400 dan Surabaya) mencapai 70,3%, PT Berdikari ribu ton pertahun. Sari Utama Flour Mills Ujung Pandang 8,3 %, f. Periode pascakrisis moneter (2000- PT Sriboga Raturaya Semarang 6,3%, PT 2009) Panganmas Inti Persada Cilacap 5,5 % dan terigu yang berasal dari impor 9,6% (Welirang, Pada periode ini, impor gandum dan terigu dibebaskan, artinya tidak dikendalikan lagi 2002). oleh pemerintah melalui BULOG. Pemerintah Permintaan terigu setelah ditimpa dampak menggunakan tarif bea masuk sebagai alat krisis moneter 1997-1999, ternyata sudah pulih untuk menstabilkan harga terigu dalam negeri. kembali sejak tahun 2000. Pada tahun 2000 Pada saat harga terigu di pasar internasional impor gandum telah mencapai 3,5 juta ton naik, pemerintah meniadakan bea masuk dan ditambah impor dalam bentuk terigu sebesar pada saat persediaan dalam negeri cukup 450.000 ton ( Welirang, 2002). Yang dikenakan bea masuk 5%. Kebijakan tarif yang mengejutkan lagi impor gandum tiga tahun naik-turun tersebut termanifesikan seperti pada terakhir telah mencapai rata-rata 5,5 juta ton Peraturan Menteri Keuangan No.05/PMK. per tahun seperti yang dicatat oleh United 011/2008 yang menurunkan tarif bea masuk States Departement of Agriculture (USDA) tepung gandum menjadi 0% dengan alasan dalam laporannya Agustus 2002. Di samping harga gandum dunia yang naik cukup tinggi itu, ada impor dalam bentuk tepung yang pada tahun 2008. Kemudian peraturan tersebut jumlahnya kurang lebih 700.000 ton setara dicabut lagi dengan peraturan No. gandum. 07/PMK.011/2009 yang menaikkan tarif bea 2.2. Karakteristik Pasar terigu masuk tepung gandum menjadi 5% dengan alasan harga gandum dunia sudah normal. Permintaan terigu sebagian besar Perlu ditambahkan pada tahun 2000 Indonesia merupakan permintaan turunan {derived merupakan negara yang paling "bebas" di demand) karena yang dikonsumsi sebagian bidang perdagangan gandum dibanding negara besar dalam bentuk pangan hasil olahan. Asia lainnya. Thailand menetapkan bea masuk Menurut beberapa studi, penggunaan terigu impor gandum 40 %, Filipina 7 %, Sri Lanka pada garis besarnya adalah untuk industri 25 %, China 71%, dan India 10%. (besar, menengah, kecil, dan rumah tangga), konsumsi rumah tangga langsung, dan Perbandingan harga terigu dan beras penggunaan lainnya. Konsumsi rumah tangga pada periode ini cukup menarik untuk diamati dihitung dari data Susenas. Industri besar dan karena impor terigu tidak lagi diatur oleh sedang berdasarkan Sensus Ekonomi. dan BULOG, tetapi dikendalikan lewat tarif bea industri kecil merupakan residu. Proporsi ini masuk saja. Perbandingan harga T/B rata- tentunya masih dapat dikembangkan lagi rata tahun 2000 sampai tahun 2009 (angka terutama untuk merinci penyerapan, baik oleh sampai bulan Juli) sebesar 1,16. Angka industri kecil maupun industri sedang dan terendah terjadi tahun 2007 sebesar 0,98, besar.
Studi lain menggambarkan bahwa pasar yang juga cukup luas terutama untuk penyerapan pasar terhadap terigu konsumsi dalam negeri. Walaupun mutu fisik dikelompokkan ke dalam industri roti, mie atau kenampakan produk juga menjadi instant, biskuit, dan lainnya. Menurut data pertimbangan atau diperhatikan, tetapi tahun 1993, proporsi penyerapan terigu biasanya mutu gizi kurang diperhatikan. Dari tersebut adalah sebagai berikut: (1) Industri aspek bahan baku sektor ini lebih fleksibel, roti 19,04%; (2) Industri mie instant 23,76%; tidak seketat persyaratan yang ditetapkan (3) Industri biskuit 7,28%; dan (4) Penggunaan untuk memenuhi bahan baku industri besar. lainnya 49,92%. (Sumber: Indocommercial Dengan demikian, dalam memenuhi bahan dalam Laporan Akhir Penelitian tentang baku masih akan mempertimbangkan keandaian saluran distribusi terigu). Dari ketersediaan bahan yang ada serta faktor gambaran angka proporsi tersebut masih harga. belum dapat diungkapkan secara nyata berapa c. Industri rumah tangga proporsi kebutuhan terigu oleh industri kecil dan rumah tangga. Padahal kelompok ini Sektor industri rumah tangga memiliki diperkirakan mempunyai pengaruh yang sangat segmen pasar yang khusus dan dari segi besar dalam pasar terigu. produk lebih mengutamakan faktor rasa. Segi kenampakan fisik mungkin juga diperhatikan, Angka yang dipublikasikan oleh Welirang tetapi tidak ada standar tertentu karena (2002), proporsi penyerapan terigu sebagai beragamnya produk yang dihasilkan oleh begitu berikut : (1) Industri mie instant 25%;(2) banyak rumah tangga. Dari segi bahan baku Industri cake dan bakery 20%; (3) Industri akan sangat fleksibel, dalam arti pertimbangan biskuit dan snack 15%; (4) Industri mie kering harga bahan baku sangat menentukan dalam dan basah 30%; (5) Konsumsi rumah tangga rangka memaksimalkan keuntungan. Industri 5%; dan (6) Konsumsi gorengan 5%. yang termasuk dalam sektor ini antara lain Berdasarkan pengamatan di lapangan kelompok makanan jajan pasar yang sangat tahun 1998 dan pengelompokan terhadap beragam, kue-kue basah, gorengan dan skala usaha, maka karakteristik segmen pasar sebagainya. Segmen ini merupakan penyerap terigu dapat dikelompokkan sebagai berikut: tenaga kerja yang cukup besar walaupun tidak a. Industri besar terlihat secara nyata, tetapi memiliki ketangguhan yang cukup dalam menghadapi Industri ini mempunyai karakteristik sangat gejolak perubahan ekonomi karena memperhatikan mutu bahan baku maupun kemampuannya untuk dapat segera produk yang dihasilkan. Faktor kandungan menyesuaikan dengan tuntutan konsumen. nutrisi/gizi juga ikut diperhatikan dalam rangka memenuhi standar yang ditetapkan. Karena d. Industri nonpangan procesing dalam industri besar umumnya Sektor industri nonpangan yang menyerap sudah mengandalkan peralatan mesin industri terigu sebagai bahan baku antara lain pada secara penuh, sektor ini juga sangat industri lem untuk plywood, industri kertas, dipengaruhi atau tergantung pada kontinuitas tekstil dan sebagainya. Penggunaan bahan bahan baku. Dengan pola dan skala produksi terigu dalam industri ini biasanya karena alasan yang besar maka peluang pasamya juga luas, karakteristik tertentu dari segi sifat fisika-kimia menjangkau baik pasar di dalam maupun di terigu tersebut. Namun, tidak menutup luar negeri. Industri yang termasuk golongan kemungkinan karena alasan harga terigu lebih ini antara lain industri mie instant, biskuit, snack murah (pada waktu yang lalu) seperti dalam dan sebagainya. pembuatan campuran lem untuk plywood. Sektor ini juga sangat peka terhadap b. Industri menengah dan kecil perubahan harga terigu sehingga akan sangat Sektor ini mencakup industri seperti mie dipengaruhi oleh harga bahan susbtitusinya kering dan basah, kue kering, roti tawar, roti dengan catatan masih dalam batas toleransi manis dan sebagainya. Industri ini mempunyai
Edisi No. 56/XVHL'Oktober-Desember/2009 PANGAN 37
atau tidak mengurangi kualitas produk. Harga Ketiga, Dengan momentum penyediaan bahan substitusi tersebut antara lain harga beras dalam negeri yang cukup berhasil dua kaolin atau tapioka sebagai bahan substitusi tahun terakhir, sudah saatnya kita berupaya terigu pada pembuatan lem untuk plywood menekan jumlah impor gandum dengan dan sebagainya. mengembangkan tepung nonterigu di dalam negeri. Cara yang dipakai adalah dengan menetapkan perbandingan harga antara terigu 2.3. Catatan atas Pembelajaran Kebijakan dan beras sebesar 1,5. Pada tingkat rasio Terigu tersebut diperkirakan dapat mendorong Kita memiliki pengalaman yang panjang penyediaan tepung dalam negeri maupun dalam mengelola terigu dalam berbagai produk tepung nonterigu. Untuk dapat keadaan ekonomi. Pengalaman ini dapat menunjang rasio T/B sebesar 1.5, maka impor dipakai sebagai pembelajaran untuk gandum perlu dinaikkan bea masuknya dari mengembangkan tepung nonterigu. Kalau dulu 0% menjadi 10% dan terigu dinaikkan dari kita menggunakan terigu untuk mengganjal 5% menjadi 15%. konsumsi beras, saat ini sudah saatnya mengganjal terigu dengan tepung nonterigu III. DIVERSIFIKASI PANGAN BERBASIS untuk memperlambat peningkatan impor TEPUNG gandum. Beberapa catatan yang dapat diambil sebagai berikut: 3.1. Referensi Penggunaan Campuran Pertama, Ternyata impor gandum dan Tepung Terigu dan Tepung Nonterigu terigu dapat digunakan untuk berbagai tujuan Tidak banyak publikasi penelitian tentang tergantung keadaan ekonomi secara penggunaan campuran tepung terigu dan keseluruhan. Tujuan semula impor gandum nonterigu yang biasa disebut composite flour. adalah untuk menekan lajunya konsumsi beras Akan tetapi, jika diamati lebih jeli ternyata dan untuk memperoleh devisa di kala negara pencampuran terigu dengan tepung lain telah kita kesulitan keuangan di awal Pemerintahan banyak dilakukan di lapangan untuk berbagai Soeharto. Saat itu Indonesia menerima bantuan keperluan. Salah satu mie instant produk pabrik dalam bentuk grant dan soft loan antara lain PT Indofood mencantumkan komposisi tepung berupa gandum dan terigu. Pada keadaan lain tapioka sebagai salah satu campurannya. tujuan tersebut bergeser bentuk, yaitu Bahkan di Yogyakarta ada perusahaan yang menambah persediaan pangan dalam negeri membuat mie dengan 100% bahan bakunya dalam rangka stabilisasi harga atau menekan dari tepung tapioka. Produk mie tersebut sudah inflasi. puluhan tahun berjalan, dikenal dengan nama "mie lethek". Kedua, Implementasi dari kebijakan tersebut adalah dengan membuat harga terigu Referensi yang ditemukan dalam tulisan murah pada saat cadangan devisa cukup. ini adalah penelitian yang dilakukan BULOG Pada saat cadangan devisa kurang, harga tahun 1977 bekerja sama dengan UGM dan dinaikkan untuk mengerem kenaikan laju impor pabrik roti Mirota Yogyakarta. Penelitian ini gandum. Cara yang dipakai adalah dengan diketuai oleh Prof. Ir. Winoto. Disamping itu pengaturan perbandingan antara terigu dan penggunaan composite flouruntuk pembuatan beras. Dengan memainkan rasio harga terigu roti sebenarnya sudah lama menjadi perhatian dan beras dapat digunakan untuk "memainkan" dunia. Food Agricultural Organization (FAO) persediaan terigu/gandum. Kalau dulu menerbitkan buku Composite FlourProgramme pengaturannya melalui BULOG dengan tahun 1973. menaikkan harga tepung terigu, saat ini cukup a. Studi BULOG-UGM-Mirota Bakery dengan menaikkan atau menurunkan tarif bea tahun 1977 masuk terigu. Studi yang pernah dilakukan tentang
pemanfaatan jagung untuk composite flour Studi ini juga menemukan bahwa menunjukkan bahwa untuk membuat roti tawar penggunaan composite flour antara tepung agar tidak brittle (mudah remuk) dapat dibuat jagung dan tepung terigu lebih baik untuk roti dengan composite flour dengan susunan: manis. Dengan komposisi 90% tepung terigu tepung jagung 15%, tepung beras ketan 1,5% dan 10% tepung jagung ditemukan roti manis dan tepung terigu 83,5%. Hanya saja ada yang tahan lama dan tidak mudah basi sedikit kelemahan dari roti tawar yang meskipun disimpan selama tiga sampai empat menggunakan composite flour tersebut yaitu hari. roti tawar hanya baik dalam waktu kurang lebih Studi ini tidak meneliti lebih lanjut 36 jam setelah dimasak. Setelah waktu tersebut bagaimana kemampuan pemasaran roti ini mudah basi dan menjadi brittle.
Tabel 1. Beberapa macam jenis roti yang menggunakan composite flour
perusahaan roti terutama perusahaan besar menggunakan composite flour. tentang kemampuan pemasaran mereka Dari beberapa daftar di atas tampak dipandang dari aspek waktu penjualan. Dalam bahwa penggunaan composite flour banyak arti bagaimana kemampuan waktu sekali, sekarang tinggal melihat bagaimana menghabiskan produksinya dalam pasar potensi dan cara memasarkannya dengan sampai di meja konsumen sehingga perkiraan seefisien mungkin. pemasaran composite flour dapat makin jelas prospeknya. Namun, secara umum dari studi ini didapati suatu kenyataan bahwa potensi 3.2. Sumber-sumber Bahan Baku Tepung pemasaran penggunaan tepung jagung di Indonesia sebagai composite flour untuk bakeryproducts Sumber-sumber bahan baku tepung untuk {composite flour), jauh lebih baik dibandingkan substitusi terigu di Indonesia sangat banyak dengan penjualan berasan jagung yang saat dan sebenarnya sudah dikenal masyarakat itu cukup banyak dikonsumsi oleh masyarakat sebelum meluasnya pemakaian terigu di kita. Indonesia. Masyarakat Jawa mengenal Sapuan dan Muharto (1982) melakukan kelompok tanaman "polo pendem" yaitu perhitungan regresi penjualan roti dengan tanaman umbi-umbian sumber bahan baku composite flour di Yogyakarta, hasilnya dapat tepung yang berasal dari dalam tanah. Selain ditarik kesimpulan bahwa roti dengan itu, dikenal juga tanaman "polo gemantung" composite flour mempunyai potensi permintaan yaitu sumber bahan baku tepung yang berada yang cukup kuat, tergantung intensitas promosi di atas tanah seperti sukun.. dan pencarian segmen atau daerah pemasarannya. Terutama yang paling menarik Berdasarkan pengelompokan jenis adalah roti manis dengan distribusi responden tanaman terdapat sumber-sumber bahan yang membeli 71,62% dibanding roti tawar tepung pangan yang sangat potensial untuk besar yang hanya 48,41% dan roti tawar kecil dikembangkan, yaitu: 56,57% dari sejumlah roti yang ditawarkan. Pertama, Dari sumber biji-bijian non Di samping itu, dengan pemakaian tepung beras, seperti jagung, sorghum, kanjeli, jagung sebanyak 10% untuk composite flour juwawut, dan jenis gandum sendiri sudah berbasis tepung terigu, biaya produksi sangat kita kenal. Untuk menggunakan jagung olahannya dapat dihemat sekitar 1% sebagai substitusi terigu, saingan utamanya sedangkan secara nasional sudah barang adalah untuk pakan ternak, sedangkan untuk tentu produk komposit ini dapat menghemat mencukupi pakan ternak saja kita sudah lebih besar lagi. Dengan demikian, impor kewalahan. Untuk komoditas sorghum, gandum dapat ditekan peningkatannya dan walaupun secara teknis mempunyai sifat dapat digantikan dengan sedikit tepung jagung tepung yang baik untuk substitusi terigu, tetapi yang sampai saat itu masih belum terarah kenyataannya tidak dapat berkembang pemasarannya. Pada saat studi ini walaupun sudah diprogramkan sejak tahun dilaksanakan, produksi jagung sedang 1970-an. Hal ini mungkin ada masalah digalakkan dan penyerapan industri pakan persaingan penggunaan lahan dengan belum sepesat saat ini. Pada saat ini, hasil komoditas lain yang lebih baik harganya. produksi jagung sebagian besar terserap pabrik Demikian juga tanaman gandum, menurut pakan ternak. Studi Gandum oleh Direktorat Produksi b. Composite flour programme dari FAO Tanaman Pangan 1976, terdapat potensi areal Di samping penggunaan tepung jagung 250.000 ha di dataran tinggi, tetapi program untuk composite flour, di negara barat sudah pengembangan yang dimulai sejak tahun 1970- banyak dikembangkan berbagai jenis roti yang an juga belum dapat berkembang karena hams menggunakan composite flour dengan bersaing dengan tanaman sayuran. Kalau ada berbagai macam tepung. Berikut ini dapat yang akan mengembangkan sorghum ataupun dilihat bebarapa macam jenis roti yang jagung sebaiknya dipusatkan di luar Jawa
secara perkebunan {estate). Tanaman gandum kebutuhan untuk terigu saja lebih dari 4 juta telah dicoba kembali untuk dikembangkan ton equivalent tepung. Hanya tepung tapioka pada tahun 2002 dengan dukungan dari PT produksi dalam negeri yang tercatat secara Bogasari, tetapi perkembangannya belum rutin. Tepung yang lain berupa tepung beras, seperti yang diharapkan. tepung singkong, tepung sagu dan sebagainya tidak tercatat secara baik. Kedua, Dari sumber pohon-pohonan, jenis tanaman yang telah banyak diseminarkan Pengguna terbesar bahan baku tepung adalah pengembangan pengolahan tepung di Indonesia adalah industri kecil dan sagu untuk substitusi terigu. Kendala utama menengah serta industri rumah tangga. Sapuan dalam pengembangan tanaman sagu adalah (1998) menghitung ketiga segmen pasar perlunya areal yang luas. Selain itu, tersebut saat ini diperkirakan menyerap pengelolaan aci sagu harus menjaga kebutuhan lebih dari 50%, oleh karena itu saat kelestarian lingkungan dan belum ditemukan ini kebutuhan terigu diperkirakan sekitar 2,0 sistem budidaya sagu. Pengolahan sagu rakyat juta ton. Sedangkan ciri khas dari industri kecil, yang berkembang adalah di Riau yang aci menengah, dan industri rumah tangga adalah sagunya dipasarkan ke Jawa terutama ke fleksibilitasnya dalam penggunaan bahan baku. Cirebon dan Jakarta. Di Pontianak juga Dalam rangka melayani segmen pasar mereka, terdapat pabrik pengolahan sagu, tetapi penggunaan campuran antara bahan baku kesulitan mendapatkan bahan baku. PT terigu dan nonterigu secara teknis bukan suatu Inhutani dan PT Berdikari pada tahun 1980- masalah. Umumnya industri jenis ini sangat an juga pernah diminta membuat pabrik sagu peka terhadap perubahan harga, khususnya di Maluku dan Irian Jaya, tetapi tidak perubahan harga terigu. Pengamatan Sapuan berkembang. (1998) dengan wawancara terhadap para Ketiga, Dari sumber buah-buahan, jenis produsen makanan jajanan, mie basah, dan tanaman yang sangat potensial adalah buah roti kering menyatakan bahwa mereka dapat sukun. Sistem pembibitan sukun yang sudah mencapai produksinya dengan nonterigu sebesar 50-70%, bahkan untuk makanan maju terdapat di Cilacap, tetapi harga bibit per pohon masih sangat mahal. Sukun dapat tertentu pada industri rumah tangga dapat diprogramkan secara massal untuk ditanam digantikan 100%. Dengan perhitungan di pekarangan, reboisasi lahan kritis, dan kebutuhan terigu 2,0 juta ton maka dapat program penanaman di hutan tanaman industri. dihitung potensi pasar dari sektor ini saja Dalam program hutan cadangan pangan sukun diperkirakan mencapai 1,00-1,40 juta ton tepung. termasuk salah satu jenis tanaman yang dianjurkan. Penggunaan untuk industri sedang dan Keempat, Dari sumber umbi-umbian, besar seperti mie instant, biskuit, termasuk di sini roti tawar umumnya sangat ketat selain singkong dan ubi jalar, jenis tanaman persyaratan mutu bahan baku sehingga yang sangat potensial dikembangkan adalah kemungkinan substitusi dari industri ini relatif garut dan ganyong. Kelebihan untuk garut dan kecil. Sapuan (1998) memperkirakan ganyong adalah dapat ditanam di sela-sela penggunaan tepung untuk industri ini sekitar pohon di bawah tegakan, di lahan pekarangan 30% dari total penggunaan tepung dan dan hutan, umur panen relatif pendek yaitu 6- kemungkinan substitusinya hanya sekitar 10- 8 bulan. Demikian juga perbanyakan bibit 20%. Untuk pangsa pasar industri ini sangat mudah dan dapat dilakukan oleh petani memerlukan kualitas yang standar, kontinuitas sendiri. bahan baku, dan harga yang tidak fluktuatif. Pangsa pasar industri ini kemungkinan hanya 3.3. Potensi Pasar Tepung Substitusi Terigu dapat dilayani oleh industri tepung yang besar. Tidak diketahui secara pasti berapa Dengan demikian, jenis industri ini hanya dapat kebutuhan tepung di Indonesia, diperkirakan dilayani oleh agroindustri yang relatif mapan
yang dapat mengendalikan mutu secara baik beberapa hal yang perlu diperhatikan: dan efisien dalam pengelolaannya. Dari Pertama, Kebijakan yang konsisten dan perhitungan kebutuhan untuk sektor ini sebesar berjangka panjang terhadap pengembangan 30% atau kemungkinan substitusinya 10-20%, bahan baku tepung substitusi terigu. maka potensi pasar tepung nonterigu Maksudnya, dalam keadaan apapun program diperkirakan 150 ribu sampai 300 ribu ton. yang berkaitan dengan pengembangan tepung Penggunaan lain adalah untuk industri substitusi terigu tersebut harus dijaga agar nonpangan seperti untuk industri perekat berjalan. Kedua, Dukungan kebijakan plywood, untuk industri tekstil, industri kertas, penetapan bea masuk impor gandum dan bioetanol dan sebagainya. Seperti halnya untuk terigu yang kondusif bagi pengembangan industri sedang dan besar, dalam industri ini budidaya tananaman yang menghasilkan memerlukan spesifikasi khusus dalam tepung sebagai substitusi terigu Ketiga, penggunaan tepung sebagai bahan bakunya, Dukungan kebijakan makro yang kondusif seperti untuk tekstil memerlukan "modified seperti nilai tukar dan perpajakan serta starch". Masalah mutu, kontinuitas bahan baku, perkreditan yang mendorong pengembangan dan harga merupakan pertimbangan yang tepung subsitusi terigu. Keempat, Dukungan utama. Dengan demikian, jenis industri ini terpadu antar departemen untuk kegiatan hanya dapat dilayani oleh agroindustri yang (produksi atau ketersediaan, pascapanen atau sudah mapan juga. Sapuan (1998), pengolahan, perdagangan atau distribusi, memperkirakan pangsa pasar untuk industri penggunaan atau divesifikasi konsumsi). ini sekitar 15-20% dari penggunaan tepung di Kelima, Dukungan penyediaan teknologi, Indonesia dan potensi pasar tepung nonterigu penelitian, dan pengembangan. Keenam, untuk industri ini relatif besar sekitar 30-50% Didukung oleh masyarakat yang mencintai dari pangsa pasar industri nonpangan. Dari produk dalam negeri. angka-angka tersebut dapat dihitung potensi Selanjutnya dari prinsip-prinsip pasarnya sekitar 300 ribu ton. pengembangan tersebut perlu juga didukung Sapuan (1998) juga menghitung oleh suatu gerakan masyarakat, yaitu strategi kebutuhan lain yang tidak dapat disubstitusi yang digarap di segala lini: adalah keperluan stok cadangan dalam Pertama, Untuk mencukupi kebutuhan perdagangan, susut, dan rusak. Keperluan sendiri (dan industri rumah tangga) untuk stok cadangan dan Iain-Iain berkisar dikembangkan tanaman pekarangan yang antara 10-15% dari total penggunaan tepung menghasilkan umbi-umbian (tepung) seperti atau untuk satu sampai dengan dua bulan singkong, ubi jalar, garut, ganyong dan kebutuhan. sebagainya. Dari uraian di muka, maka dapat Kedua, Untuk mencukupi kebutuhan disimpulkan bahwa potensi pasar tepung industri kecil, menengah dan industri rumah nonterigu sebagai substitusi terigu adalah dari tangga dikembangkan tanaman yang industri kecil, menengah, dan industri rumah menghasilkan tepung seperti singkong,ubi tangga, sedangkan untuk industri lainnya jalar, kanjeli, jewawut, sorghum, garut, ganyong menunggu tumbuhnya industri tepung dan sebagainya di tanah tegalan, areal hutan nonterigu yang relatif besar yang memenuhi rakyat, hutan produksi, hutan tanaman industri, syarat kualitas tepung. Potensi pasar untuk dan areal perkebunan rakyat sebagai tanaman tepung nonterigu diperkirakan 1-1,5 juta ton. sela.
Ketiga, Untuk mencukupi industri sedang
3.4. Strategi Pengembangan Bahan Baku dan besar dikembangkan tanaman yang Tepung Substitusi Terigu menghasilkan tepung di areal perkebunan Belajar dari pengalaman pengembangan sebagai tanaman sela. Diharapkan pengelola penggunaan terigu di Indonesia, maka ada perkebunan yang sudah berpengalaman
mengelola secara estate, tertarik untuk pengembangan bahan baku tepung baik yang investasi yang dapat menghasilkan tepung berasal dari biji-bijian dan umbi-umbian, sesuai spesifikasi yang diperlukan oleh industri maupun dari tanaman pohon-pohonan dan sedang dan besar. buah-buahan. Indonesia kaya akan sumber Dengan strategi menjadi gerakan bahan baku tepung, maka dengan komitmen masyarakat, diharapkan dalam waktu yang semua pihak, baik pemerintah, DPR maupun relatif singkat sudah dapat ditanam berbagai masyarakat diharapkan terwujud gerakan sumber bahan baku tepung substitusi terigu masyarakat pengembang bahan baku tepung yang cukup luas. Dengan gerakan ini nonterigu. diharapkan dapat menekan kebutuhan terigu Potensi pasar tepung sebagai bahan baku secara substansial dan bahkan dapat campuran terigu cukup besar. terutama untuk menghasilkan devisa. industri rumah tangga, industri kecil, industri sedang, dan industri nonpangan. Industri besar pun mempunyai peluang untuk menggunakan IV PENUTUP campuran tepung nonterigu asal tersedia bahan Walaupun tujuan semula pengenalan baku yang berkualitas, persediaannya tersedia terigu untuk mengurangi permintaan beras, setiap saat dengan harga yang bersaing. tetapi impor gandum sebagai bahan baku Diperkirakan potensi pasar tepung nonterigu terigu saat ini jumlahnya sudah cukup besar untuk campuran terigu sekitar 1,0 sampai 1,5 dan diperiukan devisa yang digunakan untuk juta ton. mengimpor gandum nilainya sudah cukup Program diversifikasi pangan berbasis banyak. Oleh karena itu, sudah saatnya ada tepung (nonterigu dan nonberas) perlu upaya untuk mengerem pertumbuhan laju didukung oleh semua pihak. Pemerintah perlu kenaikan impor gandum. Momentum didorong untuk berani menaikkan bea masuk peningkatan produksi beras akhir-akhir ini yang dan memberikan fasilitas penyediaan teknologi sudah mendekati swasembada beras budidaya dan pengolahan. Disamping itu, tidak merupakan waktu yang tepat untuk mengerem kalah pentingnya penelitian dan penamaan konsumsi dengan menggalakkan pemakaian varietas yang unggul yang cocok dengan bahan baku tepung-tepungan nonterigu agroklimat setempat. Masyarakat juga perlu produksi dalam negeri. disadarkan akan pentingnya gerakan Salah satu kebijakan yang perlu ditempuh diversifikasi pangan berbasis tepung. adalah dengan menaikkan bea masuk impor gandum dan terigu pada tingkat yang merangsang berkembangnya industry bahan baku tepung dalam negeri baik dari gandum DAFTAR PUSTAKA
domestik maupun dari tanaman nongandum.
Tarif bea masuk impor gandum Anonim, 1973. Composite Flour Programme. Food Agricultural Organization. Rome. direkomendasikan untuk dikenakan bea masuk Anonim,1976. "Studi GAndum/ Himpunan Laporan 10% dari yang sebelumnya 0%, sedangkan Survei dan Kertas Kerja Seminar Gandum, terigu dikenakan bea masuk 15% dari Direktorat Bina Produksi Tanaman Pangan. sebelumnya 5%. Dengan tingkat bea masuk Anonim,1977. "Penelitian Kemungkinan tersebut, harga terigu yang terjadi dipasar akan Pemanfaatan Jagung" Laporan Penelitian memiliki rasio 1,5 dibanding harga beras. Bulog, UGM dan PT.Mirota Yogyakarta. Rasio T/B sebesar 1,5 diperkirakan sudah Anonim. 1987."Kemungkinan penyempurnaan cukup merangsang produksi bahan baku Sistem Tataniaga Terigu" (paper tidak tepung dalam negeri. dipublikasikan) Anonim. 1991. Profil Komoditi BULOG : Terigu Untuk menunjang kebijaksanaan tersebut (Tidak dipublikasikan). perlu didukung oleh gerakan masyarakat Anonim. 1991. The Wheat Flour Industry In
Indonesia (Unpublished). Soemitro Djojohadikusumo. 1972. Kebijaksanaan Anonim.. 1995. Laporan Akhir Penelitian Tentang dibidang Ekonomi Perdagangan. Yayasan keandaian Saluran Distribusi Terigu. Penyuluh Penerangan Perdangan. Jakarta. Bambang Djanuardi, dkk. 1990. "Permintaan terigu Tlmmer, C.P. 1971. Konsumsi Terigu di Indonesia di Indonesia". Agro Ekonomi, Mei 1990. dalam Bunga Rampai Ekonomi Mikro. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Magiera. S.L. 1980. Wheat In Indonesia (Preliminary Draft). Welirang, Franciscus. 2001. "Kebijakan dan Strategi Bogasari dalam Menghadapi Perubahan Mansur, F. 1983. "Beberapa Aspek Subsidi Pangan" Lingkungan Strategis". Kuliah Umum di STIE (Paper). Ganesha Jakarta, 15 September 2001. Sapuan dan Muharto.1982. " Penggunaan Composite Flour Untuk menunjang Swasembada Terigu/gandum". Warta Intra BIODATA PENULIS : Bulog N0.2/th.VII/September/1982. Sapuan. 1998. "Implementasi Kebijakan Sapuan Gafar menyelesaikan Pendidikan Gandum/Terigu di Indonesia". Seminar Sarjana teknologi Pertanian dari Universitas PERHEPI tgl 13 Agustus 1998 di Jakarta. Gadjah Mada (UGM) tahun 1970, dan S3 Sapuan. 1998. "Pengembangan Tepung Aiternatif Bidang Ekonomi Pertanian UGM tahun 1991. dan Potensi Pasarnya". Seminar Nasional Pernah menjabat Wakil Kepala Badan Urusan Pengembangan Tanaman Garut sebagai Logistik tahun 1999-2000. Sekarang menjabat Sumber Bahan Baku Tepung Aiternatif untuk Direktur Litbang PT. BP Kedaulatan Rakyat ndustri Pangan di Universitas Brawijaya, Yogyakarta. Malang, tanggal 27-28 Agustus 1998.