Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH SEJARAH

GURU PEMBIMBING
Syamsul Ma’arif S.kom

DiSUSUN OLEH
Naila
XII IIS 1
KATA PENGANTAR:
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas semua limpahan
rahmat dan karunianya sehingga makalah dengan tema ‘Revolusi Hijau’
ini selesai dengan waktu yang tepat. Saya mengucapkan terimakasih
kepada Bapak selaku guru pengajar mata pelajaran Sejarah
Kewarganegaraan yang telah memberikan tugas ini kepada Bapak
Syamsul Ma’arif S.Kom kami sehingga Saya mendapatkan banyak
tambahan ilmu pengetahuan khususnya tentang Indonesia dalam
Perdamaian Dunia Kami selaku penyusun makalah ini, berharap semoga
makalah yang telah Kami susun ini bisa memberikan banyak manfaat
serta menambah ilmu pengetahuan terutama dalam hal Indonesia dalam
Perdamaian Dunia Karena keterbatasaan ilmu maupun pengalaman Saya,
saya yakin makalah ini masih banyak memiliki kekurangan yang
membutuhkan perbaikan,oleh karena itu Saya sangat berharap saran dan
kritik yang membangun berasal dari Bapak pengajar serta teman-teman
sekalian demi kesempurnaan makalah ini.
SEJARAH INDONESIA
REVOLUSI HIJAU

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian


Revolusi hijau pertama kali muncul karena adanya kekhawatiran terjadinya
kemiskinan massal di dunia yang diakibatkan oleh ketidakseimbangan pertumbuhan
penduduk dengan peningkatan produksi pangan. Kemudian revolusi hijau menjadi
proyek penelitian dalam rangka meningkatkan produksi pertanian terutama pangan di
berbagai negara di dunia. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan di Meksiko, Filipina,
India, dan Pakistan dengan disponsori oleh lembaga Ford and Rockefeller
Foundation. Perubahan yang disebut revolusi itu dimulai dari Meksiko yang
mengubah sistem pertaniannya secara radikal pada tahun 1945. Salah satu alasannya
karena berbanding terbaliknya pertambahan jumlah penduduk dengan kapasitas
produksi gandum. Hasilnya yaitu delapan tahun kemudian Meksiko dapat
mengekspor gandum. Setelah Meksiko berhasil meningkatkan produksi gandum,
kemudian didirikan badan penelitian IRRI (International Rice Research Institute) di
Filipina yang menghasilkan varietas padi baru dengan hasil produksi yang lebih
tinggi dibanding varietas padi lokal di Asia
Tahun 1965, Indonesia mengalami masa peralihan kekuasaan dari Soekarno
ke Soeharto. Keadaan sosial, politik, serta ekonomi Indonesia pada saat itu sangat
labil. Hal ini yang menyebabkan Soeharto berusaha untuk mengkondusifkan kembali
keadaan Indonesia melalui perbaikan dalam bidang ekonomi. Seperti yang
diungkapkan oleh Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (1993,
hlm. 430) pada awal pemerintahannya, Soeharto mengarahkan program pemerintah
kepada usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama penyelesaian masalah inflasi,
penyelamatan keuangnegara, dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat.
Terjadinya inflasi di Indonesia pada tahun 1965, diperparah dengan adanya
krisis pangan yang ditandai dengan gudang-gudang beras BPUP (Badan Pelaksana
Urusan Pangan) sebagian besar kosong. Sementara jumlah penduduk semakin
meningkat sehingga kebutuhan akan beras juga bertambah. Banyaknya permintaan
tidak berimbang dengan jumlah persediaan beras, akibatnya harga beras meningkat
tajam tahun 1965 (Arifin, 1994, hlm. 41). Sementara itu, tingkat PDB (Penghasilan
Domestik Bruto) yang setengahnya bertumpu pada pertanian, sangat rendah. Menurut
M. C. Ricklefs dalam bukunya yang berjudul Sejarah Indonesia Modern 1200-2008,
(2008, hlm. 581) struktur sosial, politik, dan ekonomi Indonesia hampir runtuh.
Inflasi sangat tinggi dengan harga barang-barang yang naik sekitar 500% selama
tahun 1965. Pada saat itu, yang menjadi fokus pemerintah yaitu bagaimana
menghentikan terjadinya inflasi serta memenuhi kebutuhan masyarakat akan pangan
(beras).
Tahun 1968, menjelang Repelita ke I, pemerintah kemudian memfokuskan
pembangunan dalam rangka memperbaiki keadaan perekonomian Indonesia terutama
dalam bidang pangan. Seperti pendapat yang dikemukakan oleh Marwati Djoened
Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (1993, hlm. 444) bahwa inti program dari
Pelita I yaitu menitikberatkan terhadap peningkatan produksi pangan, sandang,
perbaikan sarana, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Salah satu
pembangunan tersebut yaitu pembangunan di bidang pertanian. Dilakukannya
pembangunan dalam bidang pertanian yaitu dengan tujuan untuk menaikan komoditi
pangan terutama produksi beras yang merupakan bahan makanan utama masyarakat
Indonesia. Pembangunan dalam bidang pertanian juga ditujukan untuk mengatasi
krisis beras berkepanjangan yang terjadi sebelum tahun 1967.
Mengacu kepada keberhasilan revolusi hijau dalam meningkatkan produksi
pangan di negara-negara berkembang baik itu di wilayah Asia maupun Afrika,
Indonesia kemudian menerapkan juga program tersebut di daerah-daerah yang dirasa
tepat untuk melaksanakan program itu. Di Indonesia sendiri, pelaksanaan program
revolusi hijau ditandai dengan dilaksanakannya program-program yang
mengharuskan petani meninggalkan cara bertani dengan menggunakan model lama
dan beralih ke cara-cara bertani yang lebih modern. Tujuannya sendiri yaitu untuk
meningkatkan hasil produksi sehingga mampu menstabilkan kembali keadaan
perekonomian Indonesia yang kacau. Hasil yang dicapainya pun tidak
mengecewakan, selama Pelita I dicapai kenaikan produksi padi sebesar 6% per tahun,
dimana kenaikan tertersebut terutama adalah berkat usaha-usaha dibidang
intensifikasi produksi padi yang pelaksanaanya dititikberatkan di Pulau Jawa
(Soewardi, 1976, hlm. 13). Puncak dari kesuksesan revolusi hijau ini yaitu
tercapainya swasembada beras di tahun 1984. Seperti yang dikatakan Ricklefs (2008,
hlm. 632) pada tahun 1960-an, tingkat ketersediaan beras diperkirakan kurang dari
100 kilogram per kapita, namun pada tahun 1983 angka itu berubah menjadi 146
kilogram. Meskipun kesuksesan tersebut pernah diwarnai dengan terjadinya krisis
beras dimana tahun 1972 Indonesia diharuskan kembali mengimpor beras dalam
jumlah besar akibat adanya serangan hama sehingga menyebabkan gagal panen di
sejumlah daerah. Akan tetapi, seperti yang dikatakan oleh Mubyarto (1983, hlm. 73),
walaupun terjadi krisis beras 1972, namun secara keseluruhan produksi beras
meningkat dengan rata-rata 4,7 persen per tahun. Hal tersebut sejalan dengan yang
diungkapkan oleh Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (1993,
hlm. 446) bahwa produksi beras naik karena adanya perluasan areal panen dan
kenaikan rata-rata hasil per hektar. Areal persawahan meningkat disebabkan oleh
bertambah baiknya sarana pengairan sedangkan kenaikan hasil per hektar disebabkan
oleh terlaksananya program intensifikasi melalui BIMAS (Bimbingan Massal) dan
INMAS (Intensifikasi Massal), serta pemakaian bibit unggul, pupuk dan obat
pembasmi hama.
Daerah-daerah yang menjadi sasaran pelaksanaan program revolusi hijau di
Jawab Barat diantaranya yaitu daerah Cianjur, Karawang, Pandeglang, Serang,
Kuningan, Tasikmalaya, serta lainnya. Daerah Panumbangan, yang merupakan salah
satu daerah di Kabupaten Ciamis, diharuskan untuk menerapkan program revolusi
hijau karena merupakan salah satu daerah yang potensial mengingat daerahnya yang
beriklim tropis dan berada tepat di ketinggian 600 dpl (di atas permukaan laut)
sehingga cocok untuk tanaman seperti padi maupun jagung. Selain itu juga daerah
Panumbangan dialiri oleh aliran air dari Sungai Citanduy sehingga memungkinkan
program tersebut dapat berhasil dalam upayanya meningkatkan produksi beras
sehingga mampu mencapai swasembada pangan (beras) dan menghentikan kegiatan
impor beras dari luar, sesuai dengan cita-cita pemerintah. Seperti yang dijelaskan oleh
Leon A. Mears (1982, hml. 28) bahwa di daerah-daerah yang mempunyai pengairan
dan persediaan air yang dapat digunakan, hasil per hektar yang secara tradisional
rendah dapat dinaikan dengan cepat, seperti yang terjadi di daerah Jawa selama 10
tahun sesudah 1968. Masyarakat Panumbangan yang mayoritas merupakan petani,
diharuskan untuk mengubah sistem bertani mereka, yaitu dari yang tradisional ke
sistem bertani yang lebih modern dengan mengikuti penyuluhan melalui BIMAS
(Bimbingan Massal).
Pelaksanaan revolusi hijau membawa perubahan yang besar bagi masyarakat
Panumbangan, baik itu dalam bidang sosial maupun ekonomi. Seperti yang
diungkapkan oleh Schiller (dalam Admihardja, 1999, hlm. 182) bahwa paket-paket
teknologi yang tidak diintroduksikan dengan sejumlah permasalahan yang muncul
kemudian serta tidak diduga sebelumnya oleh para pelaksana program, telah
menimbulkan perubahan yang sangat mendasar dalam berbagai bidang kehidupan
petani. Adanya modernisasi pertanian baik itu dalam sistem bercocok tanam maupun
penggunaan alat-alat pertanian telah membuka pemikiran masyarakat Panumbangan
khususnya petani untuk lebih maju dalam rangka menyambut era globalisasi.
Pengadaan mesin penggiling padi (huller) telah membantu petani yang mempunyai
sawah luas untuk menggiling padi menjadi beras tanpa menghabiskan banyak waktu.
Meskipun di sisi lain hal tersebut akan menghilangkan penghasilan dari jasa
penumbuk padi yang menggunakan lesung dan alu. Seperti yang dijelaskan oleh
Collier dkk. (1996, hlm. 61), sebelum adanya alat-alat pertanian modern, pada saat
panen perkiraan jumlah buruh pemanen sebanyak 500-1000 orang per hektar.
Berbeda setelah digunakannya alat-alat modern, jumlah buruh jauh berkurang, dari
mulai persiapan menanam padi sampai proses padi menjadi beras. Semakin
berkurangnya penyerapan tenaga kerja di wilayah pedesaan menyebabkan terjadinya
urbanisasi. Masyarakat di daerah Panumbangan mencari penghasilan lain ke luar
daerah dan yang menjadi tujuannya adalah kota-kota besar.
Roadhes dkk. (dalam Sadono, 2008, hlm. 66) menyatakan bahwa selain lebih
berfokus pada peningkatan produksi, revolusi hijau juga mempunyai paradigma
pembangunan pertanian yang dominan pada waktu itu menekankan pada pendekatan
yang sangat sentralistik, dengan dukungan dana dari pusat yang bersumber dari
negara donor, statis dan mekanis, masing-masing pihak berperan secara spesifik
sehingga kurang luwes, pola komunikasi linear, bahkan cenderung bersifat
instruksional dengan sistem target yang kaku. Selanjutnya mengacu pada pendapat
Chambers dalam jurnal Dwi Sadono yang berjudul Pemberdayaan Petani:
Paradigma Baru Penyuluhan Pertanian di Indonesia (2008, hlm. 67), dampak yang
ditimbulkan dari paradigma konvensional tersebut adalah: a) Menurunkan kreativitas
petani dan menumbuhkan sikap ketergantungan pada bantuan pemerintah, b)
Kreativitas dan kearifan lembaga-lembaga lokal tidak berkembang bahkan banyak
yang hilang, c) Program pembangunan agribisnis menjadi tidak efisien dan efektif
karena biaya birokrasi pemerintah yang relatif tinggi, d) Program pembangunan
sentralistik tidak sesuai dengan kondisi lokal, sehingga komoditi unggulan lokal
terdesak pilihan dari atas atau pusat. Selain itu, penggunaan pupuk buatan serta
pestisida akan mempengaruhi kesuburan tanah serta menyebabkan kerusakan pada
lahan pertanian. Di Panumbangan sendiri, perbedaan yang dapat terlihat yaitu petani
mulai bergantung pada pupuk buatan yang terdapat di KUD, penggunaan pupuk
kompos sudah jarang ditemui. Kearifan lokal seperti kepercayaan terhadap tradisi
leluhur yaitu diantaranya membagi-bagikan nasi dari padi yang baru dipanen kepada
tetangga dengan tujuan panen berikutnya akan lebih berlimpah sudah mulai
ditinggalkan.
Kajian mengenai perkembangan revolusi hijau ini sebelumnya sudah dibahas
dalam bentuk karya ilmiah oleh Rina Anggraeni dengan judul “Politik Beras di
Indonesia pada Masa Orde Baru (1969-1998): Dari Subsistensi, Swasembada Pangan,
hingga Ketergantungan Impor”, dimana isi dari tulisan tersebut lebih menitikberatkan
terhadap kebijakan pemerintah selama kurun waktu tersebut. Karya ilmiah lainnya
berjudul “Pelaksanaan Revolusi Hijau di Sukawening-Garut (Tinjauan Sosial Budaya
Tahun 1970-1990)” oleh Irpansyah Rijal Al Fikri. Tulisannya sendiri membahas
mengenai pengaruh revolusi hijau terhadap perubahan sosial budaya dan pola hidup
masyarakat Garut.
Peneliti sendiri merasa tertarik untuk mengkaji lebih jauh mengenai
pelaksanaan revousi hijau di daerah Panumbangan dengan judul “Perubahan Sosial
Ekonomi Masyarakat di Kecamatan Panumbangan-Ciamis (Pelaksanaan Revolusi
Hijau Tahun 1970-1984)”, melihat dari kondisi masyarakatnya sendiri yang
cenderung bersifat tertutup. Berbeda dengan daerah-daerah Jawa Barat lainnya seperti
misalnya daerah Cianjur maupun Tasikmalaya dimana daerah ini merupakan daerah
yang terbuka sehingga adopsi mengenai inovasi-inovasi baru relatif cepat diterima
(Soewardi, 1976, hlm. 32). Hal tersebut terlihat pada awal pelaksanaan penyuluhan
banyak petani yang bersikap acuh tak acuh dan beranggapan bahwa kegiatan tersebut
tidak akan memberikan pengaruh apa-apa terhadap hasil produksi pertanian dan
menganggap penggarapan sawah secara tradisional sudah nyata hasilnya karena
mereka sudah menerapkannya dalam waktu yang lama dibanding dengan
menggunakan cara modern yang hasilnya belum terlihat. Ketakutan akan gagal panen
menjadi alasan petani kurang responsif terhadap program revolusi hijau ini. Selain itu
penggunaan bibit padi unggul yang berumur pendek mengakibatkan perubahan masa
panen dengan biasanya jarak tanam enam bulan sekali, yaitu satu tahun dua kali
panen menjadi tiga kali panen dalam satu tahun (jarak tanam empat bulan). Hal
tersebut membuat petani merasa kewalahan karena jarak tanam yang relatif pendek
mengakibatkan perawatan tanaman dari mulai menanam sampai memanen lebih cepat
dari biasanya. Selain itu, masyarakat Panumbangan sendiri masih menganut nilainilai
tradisional. Dimana setelah mereka selesai memanen biasanya mereka mengadakan
selametan dengan cara membagi-bagikan nasi hasil panen kepada masyarakat sekitar.
Kegiatan ini dilakukan agar pada panen berikutnya diperoleh hasil yang lebih
berlimpah. Nilai tradisional lainnya terlihat dari mulai petani menabur benih padi
(tebar), dimana sebelumnya mereka menghitung dulu hari apa yang cocok untuk
menabur benih padi tersebut.
Kurun waktu yang diambil yaitu tahun 1970-1984, dimana tahun 1970
program revolusi hijau mulai secara intensif diterapkan di wilayah Panumbangan
dengan sifat top down, yaitu kebijakan pemerintah yang berasal dari atas (pusat) ke
bawah (masyarakat). Peningkatan-peningkatan produksi beras di Panumbangan
menunjukan perubahan yang signifikan sampai pada tahun 1984. Selain itu, pada
tahun tersebut Indonesia juga mencapai swasembada pangan terutama dalam produksi
beras, yang menjadi titik puncak keberhasilan revolusi hijau, karena beberapa tahun
kemudian kondisi ini tidak dapat bertahan sehingga mengharuskan Indonesia kembali
mengimpor beras dan tidak dapat lagi mencapai swasembada beras sampai sekarang.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan dari pemaparan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
beberapa pemasalahan yang akan dijadikan sebagai pembahasan. Permasalahan utama
yang menjadi pokok kajian yaitu “Sejauh mana perubahan sosial ekonomi masyarakat
di Kecamatan Panumbangan-Ciamis tahun 1970-1984 setelah adanya program
revolusi hijau?”. Berdasarkan rumusan tersebut maka pemasalahan yang akan dikaji
harus mengacu pada permasalahan pokok, maka penulis merumuskan fokus kajian
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kondisi sosial ekonomi masyarakat di Kecamatan
PanumbanganCiamis sebelum revolusi hijau?
2. Bagaimanakah penerapan revolusi hijau di Kecamatan Panumbangan-Ciamis
tahun 1970-1984?
3. Bagaimanakah dampak yang ditimbulkan akibat revolusi hijau terhadap
perubahan sosial ekonomi masyarakat di Kecamatan Panumbangan-Ciamis tahun
1970-1984?

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah, sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat di Kecamatan
Panumbangan-Ciamis sebelum revolusi hijau.
2. Mendeskripsikan secara rinci mengenai perkembangan revolusi hijau di
Kecamatan Panumbangan-Ciamis tahun 1970-1984.
3. Mengkaji dampak yang ditimbulkan akibat revolusi hijau terhadap perubahan
sosial ekonomi masyarakat di Kecamatan Panumbangan-Ciamis tahun 19701984.
1.4 Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, manfaat dari dilaksankannya penelitian
ini yaitu, sebagai berikut:
1. Memberikan informasi mengenai sejarah sosial dan ekonomi yaitu pada saat
diterapkannya revolusi hijau di Indonesia.
2. Memberi gambaran menyeluruh mengenaipengaruh revolusi hijau terhadap
perubahan sosial ekonomi masyarakat di Kecamatan Panumbangan Kabupaten
Ciamis tahun 1970-1984 .
3. Memperkaya pembelajaran di sekolah pada SK/KD kelas XII semester I yaitu
menganalisis proses berakhirnya pemerintah Orde Baru dan terjadinya reformasi
pada materi ajar mengenai perkembangan pemerintah Orde Baru yang
berhubungan dengan Revolusi Hijau.
4. Bagi daerah penelitian yaitu untuk menambah kepustakaan mengenai sejarah
lokal daerah Panumbangan.

1.5 Struktur Organisasi


Bab I Pendahuluan
Bab ini berisi latar belakang masalah mengenai perubahan sosial ekonomi
masyarakat di Kecamatan Panumbangan-Ciamis tahun 1970-1984 akibat dari revolusi
hijau. Kemudian dicantumkan rumusan masalah yang menjadi pembatas guna
memfokuskan kajian agar tidak melebar. Di bagian akhir, dicantumkan juga metode
dan teknik penelitian, serta struktur organisasi yang merupakan kerangka dan
pedoman penulis dalam menyusun karya ilmiah ini.
Bab II Kajian Pustaka
Bab ini berisi mengenai topik permasalahan dengan mengacu kepada suatu
kajian pustaka melalui studi kepustakaan, sehingga dapat memperjelas isi
pembahasan mengenai pendapat-pendapat serta analisa dari berbagai studi
kepustakaan tentang permasalahan yang berhubungan dengan perubahan sosial
ekonomi akibat adanya revolusi hijau.
Bab III Metode Penelitian
Bab ini menjelaskan mengenai langkah-langkah maupun cara-cara yang
dilakukan dalam melaksanakan penelitian untuk mendapatkan sumber yang relevan
dengan permasalahan yang sedang dikaji oleh penulis. Tahapan-tahapannya yaitu
dimulai dari heuristik, kritik sumber baik internal maupun eksternal, interpretasi, dan
historiografi.
Bab IV Dampak Revolusi Hijau terhadap Masyarakat Kecamatan Panumbangan-
Ciamis Tahun 1970-1984
Bab ini memaparkan mengenai bagaimana revolusi hijau diterapkan di
Panumbangan. Kemudian bagaimana respon masyarakat dalam menanggapi
pelaksanaan revolusi hijau. Selain itu juga melihat sejauh mana dampak yang
ditimbulkan akibat pengaruh revolusi hijau terhadap keadaan sosial ekonomi
masyarakat di Kecamatan Panumbangan-Ciamis selama rentang waktu dari tahun
1970 sampai dengan tahun 1984.
Bab V Simpulan dan Rekomendasi
Pada bab ini dipaparkan mengenai inti dari pembahasan-pembahasan yang
telah dikaji sebelumnya mengenaiperubahan sosial ekonomi masyarakat di
Kecamatan Panumbangan-Ciamis tahun 1970-1984 sebagai akibat dari revolusi hijau,
sebagai jawaban dari permasalahan-permasalahan yang menjadi rumusan masalah.
SEJARAH PEMINATAN
BAB I PENDAHULUAN 1.1

Latar Belakang Perang Dingin (Cold War) merupakan istilah yang digunakan
untuk menjelaskan peta politik dunia Pasca Perang Dunia II, yang secara umum
dapat dikatakan berakhir pada tahun 1945. Kekalahan Jerman dalam Perang Dunia II
memunculkan struktur perimbangan kekuatan baru dalam politik internasional.
Keseimbangan bipolar1 yang ditandai dengan pembagian blok yang kentara dalam
politik internasional yakni antara Blok Timur yang dikomandani Uni Soviet (US)
dan Blok Barat yang dikomandani Amerika Serikat (AS). Dominasi kedua kutub Uni
Soviet dan Amerika Serikat ini menyebabkan hubungan internasional sangat
dipengaruhi oleh kepentingan kedua negara tersebut. Hampir seluruh negara-negara
di dunia kemudian terseret atau terpengaruh oleh pola keseimbangan ini. Misalnya
Perang Korea yang terjadi pada tahun 1950 sampai 1953 yang menjadi perang yang
dimandatkan artinya Korea Selatan dan Korea Utara yang sama-sama mempunyai
sekutu yakni Korea Selatan yang bersekutu dengan Amerika Serikat dan Canada
sedangkan Korea Utara dengan Republik Rakyat Tiongkok dan Uni Soviet.2 Padahal
belum ada sumber yang jelas mengenai mengapa Perang korea terjadi sehingga
banyak sejarawan yang mengatakan bahwa Perang Korea tersebut adalah penunjukan
kekuatan antara blok liberal Amerika Serikat dan blok komunis Uni Soviet, yang
menarik adalah aktor-aktor perang Korea yang terlibat adalah sama-sama anggota
PBB akan tetapi PBB mengalami kebuntuan dalam menyelesaikan konflik tersebut.3
Walaupun konflik bipolaritas ini menyebar keseluruh penjuru dunia, Eropa masih
merupakan jantung dari pertikaian atau persaingan kekuatan bipolar ini. Eropa
menjadi pusat ketegangan Perang Dingin karena di benua inilah sebagian besar
kekuatan militer kolektif kedua Blok yang saling bersaing dipusatkan di benua ini.
Uni Soviet menggelar kekuatan nuklirnya mengancam Negara-negara liberal
demokratis di Eropa Barat sementara Negara-negara Eropa Barat dengan bantuan
AS, mengimbangi dengan cara yang sama. Sebagaimana diketahui bahwa guna
penyeimbang kekuatan pada masa Perang Dingin, AS adalah pendukung dan
penggerak utama dalam North Atlantic Treaty Organization (NATO) yaitu
organisasi keamanan bersama negara-negara di kawasan Atlantik Utara dalam
menghadapi kemungkinan adanya ancaman serius dari Negara-negara Blok Timur
yang dikomandani oleh Uni Soviet.4 NATO didirikan pada tahun 1949 dan
ditandatangani di Washington DC pada 4 april 1949.5 NATO didirikan oleh Belgia,
Canada, Denmark, Perancis, Islandia, Italia, Luxemburg, Belanda, Norwegia,
Portugal, Britania Raya, dan Amerika Serikat. Pasal yang menarik dalam proses
kerjasama NATO ini yaitu para anggotanya setuju apabila salah satu anggota yang di
Eropa maupun Amerika Utara yang mengalami serangan bersenjata maka akan
dianggap sebagai serangan terhadap seluruh anggota NATO.6 Pasal ini diberlakukan
agar anggota Pakta Warsawa7 melancarkan serangan terhadap para sekutu Eropa
Barat, hal tersebut akan dianggap sebagai serangan terhadap seluruh anggota, akan
tetapi hal ini tidak menjadi kenyataan. Disamping mencegah meluasnya kekuatan
Uni Soviet dengan NATO, Amerika Serikat juga menggunakan Doktrin Truman
(1947) dan Marshall Plan untuk membendung luasnya pengaruh komunis. Presiden
Amerika Serikat Harry S. Truman yang menjabat pada masa itu menyampaikan
doktrinnya yang kemudian dikenal dengan Doktrin Truman. Doktrin Truman ini
menjadi pedoman politik luar negeri AS untuk 40 tahun berikutnya. Isi dari doktrin
ini adalah Policy of Containment yakni membendung atau mengisolasi Uni Soviet
secara politik dan ideologi, dan AS akan menghadang komunisme dimanapun di
seluruh dunia.8 Pada bulan Juni 1947, AS menyusun Marshall Plan yang dirancang
oleh Menteri Luar Negeri AS, George Marshall sebagai bagian dari kebijakan untuk
membendung upaya Uni Soviet dalam mempengaruhi negara-negara Eropa yang
sedang dalam kesulitan finansial.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang dirumuskan oleh
penulis adalah ”Bagaimana Dampak Perkembangan atau Perluasan keanggotaan Uni
Eropa ke Eropa Timur bagi Keamanan Kawasan Eropa?”.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui dinamika perluasan Uni Eropa terutama proses perluasan hingga ke


negara-negara bekas Uni Soviet di Eropa Timur
2. Mengetahui dampak perluasan keanggotaan Uni Eropa bagi keamanan keamanan
kawasan Eropa secara keseluruhan.

1.3.2. Manfaat Penelitian

Kajian penelitian ini menjadi salah satu upaya untuk menunjukkan


perkembangan regionalisme dan integrasi Eropa hingga dewasa ini. Keberhasilan
Uni Eropa menciptakan kestabilan regionalnya dimulai dari Eropa Barat pasca
Perang Dunia ke II menjadi contoh bagi banyak upaya regionalisme lain termasuk
ASEAN. Secara akademis kajian ini akan bermanfaat memperkuat pandangan
terhadap upaya-upaya kerjasama regional yang akan berdampak positif bagi
perdamaian dan kestabilan kawasan.

1.4 Kerangka Pemikiran

1.4.1 Penelitian Terdahulu

Sebelum penulis melakukan penelitian fenomena ini, telah ada penelitian yang
dilakukan oleh Kartika Devi dalam tulisannya mengenai bagaimana penanganan
wabah Avian Influenza di uni eropa dengan ditinjau dari perspektif Human Security,
dalam tulisannya keamanan tidak lagi diartikan sempit sebagai hubungan konflik atau
perang antar negara, tetapi juga berpusat untuk keamanan masyarakat. Kajian
keamanan tidak hanya diartikan sebagai perlombaan senjata akan tetapi meluas pada
aspek keamanan yang berkaitan dengan isu ketahanan pangan, kesehatan, lingkungan
hidup, perdagangan manusia, narkoba, terorisme, bencana alam dan sebagainya.
Dalam perluasan isu keamanan ini, kajian keamanan tidak hanya diwarnai keamanan
Negara melainkan dapat menyangkut keamanan manusia (human security).

18 Keamanan negara tidak hanya muncul dari ancaman militer negara lain,
akan tetapi bisa dari virus yang menyebabkan kematian dalam jumlah besar serta
terjadi di banyak Negara. Untuk itu rasa aman tidak dapat diukur dari canggih atau
tidaknya persenjataan melainkan ulkuran-ukuran lain yang lebih merujuk pada aspek
keamanan manusia. Hasil penelitian tersebut Uni eropa sangat tanggap dengan
masalah yang berkaitan dengan human security terutama dalam menangani virus flu
burung, karena virus ini menyerang ke level manusia sehingga butuh penanganan
yang intensif dari Uni Eropa.

1.4.2 Konsep Integrasi Regional Proses memecahkan masalah yang dihadapi


dalam suatu penelitian, memerlukan suatu kerangka konsep yang membantu penulis
dalam penyusunan penjelasan yang tepat. Selain itu kerangka konsep sebagai sarana
kerangka berfikir juga dibutuhkan agar penelitian memiliki fokus yang jelas dalam
menganalisa suatu fenomena. Sebelum penulis menyajikan beberapa konsep perlu
diperhatikan definisi konsep terlebih dulu. Konsep adalah abstraksi yang mewakili
suatu obyek,sifat suatu obyek, atau suatu fenomena tertentu.20 Konsep regionalisme
atau disebut dengan konsep kawasan, merupakan konsep dari hubungan internasional
yang dapat menjelaskan tentang kerjasama

Anda mungkin juga menyukai