Anda di halaman 1dari 7

UTS Sosiologi Pembangunan Universitas Diponegoro

7 April 2022

Urbanisasi Indonesia dan Modernisasi Pertanian Era Orde Baru

Ghata Kemal Fragdinda

13030121410003

a. Pendahuluan

Kepulauan Indonesia secara geografis adalah sebuah kepulauan yang dilewati dalam ring
of fire, atau cincin api. Letak Indonesia yang berada dalam cincin api tersebut tentu dapat menadi
sebuah berkah maupun musibah bagi masyarakat yang tinggal didalamnya. Sisi negatif dari letak
geografis tersebut adalah Indonesia menjadi rawan bencana vulkanik dan tektonik, yaitu letusan
gunung berapi dan sering terjadinya gempa bumi bahkan juga dapat menyebabkan bencana
tsunami. Catatan sejarah menyebutkan bahwa kepulauan Indonesia pernah mengalami bencana
bencana ini seperti, peristiwa vulkanik besar yang telah terjadi di dalam lingkup Cincin Api sejak
tahun 1800 adalah letusan Gunung Tambora (1815), Gunung Krakatau (1883), erupsi merapi
serta gempa yang memicu tsunami Samudera Hindia (2004) dan gempa Poso (2004). Namun
adapula sisi positif yang disebabkan oleh ring of fire ini, yaitu tanah kepulauan Indonesia
menjadi tanah yang subur, bahkan jika kita tidak asing dengan grup music koes plus dalam
lagunya menyebutkan dalam lagunya yang berjudul kolam susu, “Orang bilang tanah kita tanah
surga, Tongkat kayu dan batu jadi tanaman”. Sajak ini merupakan sebuah ekspresi bahwa tanah
kepulauan Indonesia adalah tanah yang subur dan dapat memakmurkan masyarakatnya.

Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang agraris. Hal ini dibuktikan
dengan banyaknya peradaban-peradaban Indonesia yang berada di pedalaman dan unggul dalam
sektor pertanian. Salah satu contohnya adalah masyarakat kepulauan Indonesia memiliki sistem
penanggalan tradisional yang digunakan juga untuk membantu menentukan masa yang baik
untuk menanam tanaman agar tanaman yang ditanam dapat memperoleh hasil yang
maksimal.Salah satunya adalah sistem penanggaan Pranata Mangsa yang ada di Jawa. Pranata
Mangsa dibutuhkan pada saat itu sebagai penentuan atau patokan bila akan mengerjakan sesuatu
pekerjaan. Contohnya
melaksanakan usaha tani seperti bercocok tanam atau melaut sebagai nelayan, merantau mungkin
juga berperang. Sehingga mereka dapat mengurangi risiko dan mencegah biaya produksi tinggi.
(Wiriadiwangsa:2005)

Bahkan saat masuknya imperialism bangsa asing kepulauan Indonesia juga tidak lepas
dari keagrariaannya, kesuburan tanah Indonesia pun dapat menjadikan Belanda sebagai hegemon
dan penjajah kepulauan Indonesia dapat menjadi negara yang kaya di benua Eropa namun
berbanding terbalik dengan semakin tertindas dan miskinnya masyarakat pribumi waktu itu.
Salah satu program belanda yang “berhasil” meningkatkan kekayaannnya adalah dengan
culturstelsel atau tanam paksa. Selain program tersebut politik Politik pintu terbuka juga
membuat belanda semakin kaya di tanah Indonesia yang agraris. Politik Pintu Terbuka adalah
sebuah sistem di mana pemerintah memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi pihak swasta
untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Pada periode ini, tanah dan tenaga kerja dianggap
sebagai milik perorangan (pribadi), tanah rakyat dapat disewakan dan tenaga kerja dapat dijual.
Pada era ini juga membuat semakin banyak dan menjamurnya pabrik-pabrik gula di Indonesia.
Perkembangan Industri gula memberikan keuntungan yang besar untuk pemiliknya dan
memberikan pajak untuk pemerintah kolonial. Berkat keuntungan dari perdagangan gula,
beberapa kota di Pulau Jawa berkembang pesat, seperti kota pelabuhan Semarang dan Surabaya,
dan kota-kota lainnya. Melalui perkebunan tebu, masyarakat Pulau Jawa mengenal upah yang
diberikan dalam bentuk alat pembayaran yang sah atau uang. (Poesponegoro&Notosusanto,
1984: 185).

Setelah dikumandangkannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Indonesia


yang muda tetap pada sektor agrarisnya. Bahkan bapak pendiri bangsa yaitu Ir. Soekarno
mendapat pencerahan sebuah ideology dari seorang petani yang bernama Marhaen. Bahkan
dalam pidatonya sang Bung besar menyebut petani adalah akronim dari Penyangga Tatanan
Negara Indonesia. Pembangunan pertanian pada masa orde lama menitik beratkan upaya
peningkatan produksi beras yang dimulai dengan “Rencana Kasimo” pada periode 1945-1950,
kemudian dilanjutkan dengan pembentukan Komando Operasi Gerakan Makmur atau KOGAM
pada tahun 1959, dan disempurnakan lagi melalui program intensifikasi pola Demonstrasi
Massal (DEMAS) pada tahun 1964/65.

Bergantinya arah angin politik tidak mengubah arah pandang Indonesia dalam
kehidupannya. Setelah lengsernya Soekarno dan digantikan oleh Soeharto dalam pertistiwa
Gestok, pemerintahan Indonesia membuat program-program pertanian yang digunakan untuk
mengatasi permasalahan ekonomi yang morat-marit akibat kebijakan ekonomi yang disebabkan
oleh proyek mercusuar era orde lama.
b. Kebijakan Orde Baru dalam Bidang Pertanian

Pertanian di Indonesia pada saat itu adalah pertanian yang masih tradisional. Tidak
seperti pertanian-pertanian negara maju pada umumnya yang sudah modern dan maksimal.
Sedangkan pertanian di negara-negara berkembang mempunyai produktivitas yang sangat
rendah, yakni kapasitas produksi yang substansial serta keluaran buruh yang rendah dengan
jumlah petani yang sangat banyak tetapi tidak cukup untuk memberikan makan seluruh
penduduk negara (R. Managara 2004:1-4). Sistem pertanian Indonesia pada saat itu masih
menggunakan sistem-sistem tradisional dari pembagian kerja maupun dari segi pengolahannya.
Contohnya seperti sistem pembagian hasil paron dan mertelu. Secara garis besar sistem pertanian
tradisional adalah sistem pertanian ini merupakan model pertanian yang masih sangat sederhana
yang sifatnya ekstensif dan tidak memaksimalkan penggunaan input seperti teknologi, pupuk
kimia dan pestisida. Petani Indonesia sebagian besar bertempat tinggal di desa. Desa dicirikan
dengan masih rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja dan masih tingginya tingkat
kemiskinan

Setelah naiknya Soeharto ke tumpu kekuasaan, pemerintah era orde baru juga memiliki
program untuk mengentaskan dan menumbuhkan geliat pertanian agar pertanian Indonesia
menjadi maksimal dan dapat mengadopsi sistem pertanian yang modern. Pemerintah orde baru
saat itu kemudian membuat kebijakan berupa Bimbingan Massal (BIMAS), Bimas adalah
bimbingan massal dalam pengertian resmi yaitu suatu sistem bimbingan ke arah usaha tani yang
lebih baik dan lebih maju, sehingga mampu meningkatkan usaha taninya, selain itu ada pula
program serta Intensifikasi Massal (INMAS). Pengembangan produksi tanaman pangan tetap
dilaksanakan melalui empat usaha pokok yaitu: intensifikasi, ekstensifikasi, diversifikasi, dan
rehabilitasi. Program intensifikasi tersebut didukung dengan berbagai kebijaksanaan, antara lain:
penyediaan sarana dan prasarana pendukung produksi, penyediaan dan penyebaran benih unggul,
penggunaan pupuk kimia, obat-obatan pemberantasan hama dan penyakit. Prioritas pertama
diberikan untuk pembangunan sektor pertanian, khususnya subsektor tanaman beras. Menurut
para teknokrat ekonomi, prioritas kepada pembangunan sektor tersebut penting sekali diambil
pada tahap awal pembangunan ekonomi Indonesia. Hal ini dikarenakan pada waktu itu mayoritas
penduduk Indonesia masih bekerja dan hidup di daerah pedesaan (Wie, 2012: 157).
Pembangunan pertanian mulai terencana dengan adanya program Rencana Pembangunan Lima
Tahun (Repelita) mulai tahun 1969 yang merupakan pembangunan jangka panjang yang dibagi
ke dalam pembangunan berjangka setiap lima tahun. Inti dari program-program yang dilakukan
Presiden Soeharto adalah bertujuan untuk menaikkan produksi beras dari pertanian tradisional ke
pertanian modern. Selain itu pemerintah juga mengatur logistic beras dengan membentuk
BULOG. Struktur organisasi Bulog disesuaikan dengan tugas barunya sebagai pengelola
cadangan beras (buffer stock) dalam rangka mendukung upaya nasional untuk meningkatkan
produksi beras.

Sasaran kebijakan beras merupakan bagian dari sasaran pembangunan nasional yaitu
mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Konsisten
dengan hal tersebut maka sasaran kebijakan beras dapat digolongkan sebagai berikut: (i)
meningkatkan produksi beras sampai dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri (aspek
kecukupan), (ii) meningkatkan pendapatan petani tanaman beras (aspek pendapatan), (iii)
mengendalikan kecukupan beras sehingga tersedia diseluruh wilayah dalam waktu dan jumlah
yang cukup serta dalam batas harga yang layak bagi masyarakat (aspek stabilisasi harga) dan (iv)
memperbaiki mutu produksi beras (Amang & Sawit, Op.Cit.,: 58).

c. Modernisasi Tanpa Pembangunan dan Urbanisasi Masyarakat Desa

Dengan adanya swasembada beras pada tahun 1984, membuktikan bahwa adanya
keberhasilan program-program pemerintah orde baru dalam kebijakannya dalam bidang
pertanian terutama beras.Bahkan jika dilihat pada masa itu ketika belahan bumi Afrika
mengalami krisis pangan, Indonesia mampu memberikan bantuan berupa 100.000 ton padi yang
merupakan sumbangan dari kaum petani Indonesia. Pencapaian ini merupkan pencapaian yang
prestisius bagi Indonesia dikancah internasional dan juga dalam bidang kemanusiaan.

Sayangnya setiap hal yang gemerlap pasti memiliki sisi gelap, sisi gelap yang dimaksud
adalah berbagai masalah yang menerpa dalam program-program pertanian milik orde baru
tersebut. Dalam perjalanannya program-program yang diusung oleh pemerintah, menurut
Sajogyo dalam tesisnya menimbulkan apa yang disebut “modernization without development”.
Modernisasi tanpa pembangunan secara ringkas adalah bertambah majunya sistem baik dalam
segi pengolahan atau produksi, namun tidak membuahkan perkembangan bagi masyarakat yang
melakukan proses tersebut. Pada program Bimas, petani dibimbing dan dirangsang untuk
meningkatkan produksinya sesuai dengan rekomendasi yang dianjurkan seperti benih dan pupuk
yang digunakan, tata cara peneglolaan,hingga pemasaran. Namun bimbingan tersebut tidak
memperhatikan kondisi masyarakat Indonesia yang minim literasinya. Hal ini tentu membuat
adanya penyelewengan dalam program Bimas. Bimas menurut Sajogyo (1973) justru
menunjukkan ada kerapuhan dalam hal iregularitas dalam pengelolaan kredit, bantuan pupuk dan
bibit serta prioritas penanaman yang dikelola secara terintegratif justru menyebabkan petani
terbebani dengan target produksi, alih-alih meningkatkan kesejahteraannya. Pada akhirnya
program-program ini membawa dampak negatif yang menurut Sajogyo (1973) “Modernization
without Development” dalam proses intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian skala besar yang
ditopang oleh mekanisasi serta pengerahan berbagai program terintegrasi semata hanya bertujuan
untuk menggenjot target produksi pangan tanpa memperhatikan kesejahteraan rumah tangga
petani pada program Bimas.

Urbanisasi juga diakibatkan oleh adanya mekanisasi pertanian yang pada zaman dahulu
masih bersifat tradisional dengan menggunakan sistem patron klien dan sistem pembagian hasil
dengan kesepakatan menggunakan sistem “poverty-sharing”nya berganti dengan penggunaan
mesin-mesin modern, sedangkan pada masa sebelumnya petani menggunakan tenaga kerja
manusia dan ternak, bibit, dan pupuk kandang buatan rumah tangga petani. Akan tetapi selama
kebijakan ini berjalan, selain terjadi mekanisasi pertanian, juga telah mendorong perubahan pola
tanam karena paket kredit pupuk dan bibit diperuntukkan bagi para petani pemilik lahan minimal
dengan luas 1 ha. Akibatnya, jumlah pengangguran meningkat. Hal ini menyebabkan banyaknya
petani yang tidak memiliki lahan atau memiliki lahan sempit memutuskan hijrah ke kota demi
penghidupan yang lebih baik. Para petani kecil menjual tanahnya karena antara biaya produksi
dan hasil yang diperolehnya tidak sesuai atau merugi. Biaya produksi tinggi diakibatkan
penggunaan pupuk kimia yang harus digunakan secara terus menerus, penyebabnya adalah
penurunan tingkat kesuburan tanah sebagai akibat penggunaan pupuk dan pestisida yang
berlebihan sehingga terjadi proses endapan atau residu pupuk kimia terhadap tanah jika tidak
digunakan maka hasil panen akan sedikit. Selain itu adanya tunggakan pembayaran kredit
membuat bank semakin kaku untuk memberikan pinjaman petani yang membuat banyak petani
tidak dapat mengambil modal dan memutuskan meninggalkan kampung halamannya.

d. Simpulan

Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang agraris. Hal ini dibuktikan
dengan banyaknya peradaban-peradaban Indonesia yang berada di pedalaman dan unggul dalam
sektor pertanian.Disetiap zaman, sistem masyarakat agrarian di Indonesia terus lestari dan
Berjaya. Adanya dukungan pemerintah dalam melangsungkan kegiatan bergagraria tentu
berpengaruh dalam kelangsungan hidup para pelaku agraria di Indonesia. Salah satunya pada
masa orde baru yang dapat mencapai swasembada pangan pada tahun 1984. Namun pencapaian
tersebut menyebabkan adanya urbanisasi yang disebabkan oleh adanya “modernization without
development” yang membuat petani tidak sejahtera dan beralih menjadi kaum urban.

Refrensi

Febriyani, Rahayu, Sri Martini, M.Hasmi Yanuardi. 2020. Kebijakan Pemerintah dalam
Swasembada Beras dan Dampaknya Bagi Petani di Kabupaten Karawang 1969-1985.
PERIODE: Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah Vol. 2 No.1 Maret 2020

https://tirto.id/swasembada-beras-ala-soeharto-rapuh-dan-cuma-fatamorgana-c2eV
diakses pada 4 April 2022

Rostati. 2019. Modernisasi Dalam Involusi Pertanian Pada Masyarakat Petani Di Desa
Soki Kecamatan Belo Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat. Desertasi. Universitas Negeri
Semarang

Sajogyo 1973, Modernization without development in rural Java, Bogor.

Syahrie, Sugeng P. 2009. Politik Pembangunan Orde Baru: Industrialisasi, Swastanisasi,


Dan Pertumbuhan Ekonomi. Jurnal Sejarah Lontar Vol.6

Widyawati, Millary A. Faktor-Faktor Urbanisasi Di Indonesia. Universitas Pendidikan


Indonesia

Wiryadiwangsa, Dedik. 2005. Pranata Mangsa, Masih Pentinguntuk Pertanian Tabloid


Sinar Tani

Anda mungkin juga menyukai