Oleh :
a. Revolusi Hijau
Revolusi Hijau merupakan perubahan cara bercocok tanam dari cara
tradisional ke cara modern. Revolusi Hijau (Green Revolution) merupakan suatu
revolusi produksi biji-bijian dari hasil penemuan-penemuan ilmiah berupa benih
unggul baru dari berbagai varietas, gandum, padi, dan jagung yang mengakibatkan
tingginya hasil panen komoditas tersebut. Tujuan Revolusi hijau adalah mengubah
petani-petani gaya lama (peasant) menjadi petani-petani gaya baru (farmers),
memodernisasikan pertanian gaya lama guna memenuhi industrialisasi ekonomi
nasional. Upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk menggalakan revolusi
hijau ditempuh dengan cara:
1) Intensifikasi Pertanian
Intensifikasi Pertanian di Indonesia dikenal dengan nama Panca Usaha Tani yang
meliputi pemilihan bibit unggul, pengolahan tanah yang baik, pemupukan, irigasi,
pemberantasan hama
2) Ekstensifikasi Pertanian
Ekstensifikasi pertanian, yaitu Memperluas lahan tanah yang dapat ditanami
dengan pembukaan lahan-lahan baru (misal mengubah lahan tandus menjadi lahan
yang dapat ditanami, membuka hutan, dsb).
3) Diversifikasi Pertanian
Usaha penganekaragaman jenis tanaman pada suatu lahan pertanian melalui
sistem tumpang sari. Usaha ini menguntungkan karena dapat mencegah kegagalan
panen pokok, memperluas sumber devisa, mencegah penurunan pendapatan para
petani.
4) Rehabilitasi Pertanian
Merupakan usaha pemulihan produktivitas sumber daya pertanian yang kritis,
yang membahayakan kondisi lingkungan, serta daerah rawan dengan maksud
untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di daerah tersebut. Usaha pertanian
tersebut akan menghasilkan bahan makanan dan sekaligus sebagai stabilisator
lingkungan.
b. Pelita (Pembangunan Lima Tahun)
Pemerintah lalu melakukan Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang (25-30
tahun) dilakukan secara periodik lima tahunan yang disebut Pelita(Pembangunan
Lima Tahun). Pelita berlangsung dari Pelita I-Pelita VI.
1) Pelita I (1 April 1969 – 31 Maret 1974)
Sasaran yang hendak di capai pada masa ini adalah pangan, sandang, perbaikan
prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.
Pelita I lebih menitikberatkan pada sektor pertanian. Keberhasilan dalam Pelita I
yaitu produksi beras mengalami kenaikan rata-rata 4% setahun., banyak berdiri
industri pupuk, semen, dan tekstil, perbaikan jalan raya, banyak dibangun pusat-
pusat tenaga listrik.
5. Kebijakan Pangan dan Sektor Pertanian pada Masa Reformasi Hingga Sekarang
Pada masa reformasi hingga sekarang, permasalahan pangan masih menjadi perhatian
dari pemerintah. Hal ini dapat dilihat pada Nawacita yang merupakan sembilan agenda
prioritas pemerintah Indonesia dimana dari sembilan butir Nawacita tersebut, setidaknya
empat butir bersentuhan langsung dengan politik pangan dan swasembada beras.
Nawacita poin ke-3 yang berbunyi, membangun Indonesia dari pinggiran dengan
memperkuat daerah-daerah dan desa; Nawacita poin ke-5 yang berbunyi, meningkatkan
kualitas hidup manusia Indonesia; Nawacita poin ke-6 yang berbunyi, meningkatkan
produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa
maju dan bangkit; dan Nawacita poin ke-7 yang berbunyi, mewujudkan kemandirian
ekonomi dengan menggerakkan ekonomi domestik. Dalam rangka mewujudkan empat
dari sembilan agenda prioritas tersebut pemerintah tentunya membuat serta menerapkan
berbagai macam kebijakan dalam bidang pangan, kebijakan-kebijakan tersebut
diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Kebijakan Harga Pokok Pembelian (HPP) Multikualitas
Penetapan Harga Pembelian Pemerintah untuk kualitas tunggal yang selama
ini diterapkan memang telah mampu melindungi petani dari kejatuhan harga saat
panen raya tiba. Namun disisi lain, kebijakan HPP Multikuaitas ini belum dapat
meningkatkan kualitas gabah dan beras yang dihasilkan petani. Menurut Mohammad
Maulana (2012) kebijakan HPP multikualitas pada gabah diperkirakan mampu
meningkatkan produksi gabah dengan kualitas lebih baik dan keuntungan usaha tani
melalui peningkatan produktivitas dan adanya insentif petani meningkatkan kualitas
gabahnya dari kualitas medium ke premium. Sementara kebijakan HPP multikualitas
pada beras juga diyakini mampu mendorong pedagang/penggiling untuk
meningkatkan produksi beras berkualitas yang berasal dari proses penggilingan gabah
berkualitas lebih baik, perbaikan mesin dan operator (meningkatkan rendemen beras),
dan adanya insentif melakukan penggilingan lebih sempurna untuk gabah kualitas
medium untuk menghasilkan beras berkualitas premium.
b. Kebijakan Harga Dasar Gabah (HDG)
Menurut Nizwar Syafaat (2017) Pengendalian pasokan dan harga gabah dan
beras yang dikuasai oleh pedagang besar, dan kondisi produksi yang berfluktuatif
membutuhkan intervensi pemerintah untuk menstabilkan harga gabah. Hal itu
bermanfaat untuk meningkatkan efisiensi ekonomi agribisnis perberasan, sekaligus
meningkatkan produksi beras dalam negeri guna pemantapan ketahanan pangan dan
pengembangan perekonomian desa. Selama Indonesia masih berstatus sebagai negara
importir beras maka kebijakan stabilisasi harga gabah/beras dapat menguntungkan,
baik bagi petani produsen maupun konsumen beras. Disarankan kebijakan stabilisasi
harga gabah/beras menggunakan rentang harga yang banyak diterapkan oleh negara-
negara sedang berkembang lainnya. Kebijakan rentang harga tersebut diwujudkan
dalam bentuk kebijakan ambang bawah harga gabah untuk melindungi petani dan
kebijakan ambang atas harga beras untuk melindungi konsumen.
Agar kebijakan ambang bawah harga gabah lebih memberikan jaminan kepada
petani, maka perlu dipertimbangkan oleh pemerintah untuk kembali kepada kebijakan
HDG (Harga Dasar Gabah). HPP dipandang kurang memberikan jaminan harga gabah
kepada petani. Besarnya HDG adalah memberikan jaminan profitabilitas kepada
petani minimal sebesar 30%, dan juga dengan memperhatikan perkembangan harga
beras serta biaya hidup. Kedua komponen yang terakhir tersebut merupakan faktor
yang menuntut perlunya penyesuaian HDG secara berkala atau tahunan. Sedangkan
dasar penetapan ambang atas harga beras adalah memberikan insentif bagi pedagang
secara wajar sebesar 15% dari harga dasar beras.
c. Kebijakan menakan Harga Eceran Terendah (HET) Pupuk
Ditunjau secara makro, kebijakan HET dinilai mampu memperbaiki kinerja
produksi beras saat ini. Namun pemerintah juga harus dapat menjamin HPP gabah
aman hingga tiba di petani. Terdapat empat manfaat apabila HET pupuk Urea
dinaikan: (1) Menghindari penggunaan pupuk urea berlebih, (2) Produksi dan
rendemen gabah ke beras meningkat, (3) Subsidi pupuk menjadi berkurang, dan (4)
Petani akan mulai beralih ke pupuk organik. Tanpa mengurangi keuntungan petani,
jika efektivitas kebijakan HPP gabah bisa mencapai 100%, maka pemerintah
sebenarnya masih relevan menaikkan HET pupuk urea melihat bahwa kebijakan ini
juga memberikan empat manfaat positif dalam penerapannya.
2. Perubahan Struktur
Menurut Ketut Nehen (2016), perubahan struktur suatu perekonomian biasanya
ditandai oleh besarnya sumbangan dari masing-masing sektor terhadap penghasilan
nasional atau terhadap Produk Domestik Bruto. Semakin besar sumbangan dari setiap
sektor maka akan menambahkan Produk Domestik Bruto dan berpengaruh terhadap
perubahan struktur ekonomi suatu negara atau daerah.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mariana, Made Suyana Utama dan Ida
Bagus Purbadharmaja (2014) bahwa pertumbuhan investasi, pertumbuhan penyerapan
tenaga kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap perubahan struktur ekonomi, namun
pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap perubahan struktur
ekonomi. Analisis data menunjukkan bahwa pertumbuhan penyerapan tenaga kerja tidak
berpengaruh signifikan terhadap perubahan struktur ekonomi karena serapan tenaga kerja
tidak terjadi terlalu signifikan pada sektor pertanian sehingga tidak mempengaruhi
perubahan stuktur ekonomi.
Perubahan struktur biasanya di mulai dari negara sistem agraris-industri-jasa,
tergantung dari data PDB suatu negara. Jika sektor pertanian yang mendominasi suatu
negara, maka negara tersebut adalah negara agraris, dan jika sektor industri yang
mendominan, maka negara tersebut adalah negara industri, begitu pula dengan negara
jasa. Indonesia pada abad ke-20 adalah negara agraris yaitu dengan penyumbang terbesar
dari sektor pertanian. Namun saat ini Indonesia di dominasi oleh sektor jasa, dengan kata
lain, Indonesia sudah merubah struktur ekonominya dari negara agraris menjadi negara
jasa.
Dari data di atas dapat dilihat dari tahun 2016 sampai 2017 di dominasi oleh sektor
jasa, sehingga dapat dikatakan Indonesia adalah negara jasa. Diikuti oleh sektor pertanian dan
sektor industri. Setiap tahun sektor pertanian mengalami fluktuasi, peningkatan di triwulan II
tahun 2016 (21,23%) dan meningkat lagi di triwulan I tahun 2017 (21,53%) namun
mengalami penurunan di triwulan II tahun 2017 (21,28%). Pada sektor industri selalu
mengalami penurunan, dari triwulan I tahun 2016 hingga triwulan II 2017 dengan angka
mencapai 20,26% dari 21,05% yaitu penurunan sebesar 0,75%. Dilihat dari sektor jasa yaitu
sebagai sektor dominan juga mengalami fluktuasi di setiap triwulan dengan range 57,99%-
58,47%.
Daftar Pustaka