Anda di halaman 1dari 13

KEBIJAKAN PANGAN DAN PEMBANGUNAN PERTANIAN,

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN TANAMAN NON-PANGAN, DAN


PERUBAHASAN STRUKTUR EKON OMI INDONESIA
(SAP 7)
PEREKONOMIAN INDONESIA (EKU307 A2)
Dosen Pengampu : Ni Luh Karmini, SE., M.Si

Oleh :

I Made Manu Parisuda


1506205001
I Made Suhartana Putra 1506205003
Putu Dion Aditya Chandra 1506205052

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS UDAYANA
2017
A. Kebijakan Pangan dan Pembangunan Pertanian pada Jaman Penjajahan, Orla,
Orba, Reformasi
1. Kebijakan Pangan dan Sektor Pertanian pada Masa Penjajahan Belanda
Kebutuhan dan ketersediaan pangan sering bertolak belakang. Jika ketersediaan
pangan melebihi kebutuhan pangan maka akan terjadi surplus. Sebaliknya, jika kebutuhan
pangan melebihi ketersediaan pangan maka akan terjadi krisis pangan. Jawa pernah
mengalami krisis pangan hebat pada tahun 1665. Krisis ini disebabkan oleh musim kering
yang berkepanjangan. Akibatnya, beras mengalami kelangkaan. Untuk mengatasi
permasalahan ini, Sultan Amangkurat I melarang ekspor beras ke luar Jawa.
Krisis pangan juga terjadi pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda. Dalam waktu
tertentu seperti pada tahun 1911 expor beras dilarang untuk mempertahankan stabilitas
harga beras dalam negeri. Selain kebijakan, pemerintah Belanda juga melakukan program
penyuluhan yang disebut Olie Vlek. Olie Vlek adalah program penyuluhan percontohan
cara bertani yang lebih baik. Caranya adalah dengan membentuk petak-petak di tempat
tertentu di mana pegawai pertanian Belanda melakukan cara bercocok tanam padi yang
baik agar ditiru oleh para petani di sekitarnya.
Masa depresiasi tahun 30an merupakan awal kebijaksanaan pengendalian
langsung.harga beras. Buktinya adalah ketika pemerintah berusaha menggalakkan
perdagangan beras antar pulau/provinsi dengan tujuan agar daerah-daerah defisit beras
mendapat tambahan beras dari daerah-daerah surplus beras. Hal ini akan menyebabkan
harga beras tetap stabil di daerah difisit beras, yang berimplikasi pada biaya hidup yang
stabil pula. Kebijaksanaan baru ini kemudian berkembang ke arah pengawasan langsung
perusahaan penggilingan beras dengan maksud menjaga para penggiling agar tidak
melakukan hal-hal yang mengakibatkan goyahnya pasar beras lokal.
Menjelang tahun 1939, makin terasa perlunya dibentuk satu badan pemerintah khusus
untuk melaksanakan dan mengawasi kebijaksanaan pemerintah yang sudah menjadi
begitu luas dalam pemasaran beras. April 1939, dibentuk badan bernama Stichting Het
Voedingsmidlenfons (VMS) yang bergerak di bidang pengendalian pangan. Namun,
Belanda belum sempat menyempurnakan VMF, Jepang sudah masuk ke Indonesia dan
mengambil alih VMS sampai akhir perang dunia II.

2. Kebijakan Pangan dan Sektor Pertanian pada Masa Penjajahan Jepang


Pemerintah pendudukan Jepang mengeluarkan beberapa kebijakan yang berkaitan
dengan pemenuhan kebutuhan pangan. Misalnya dalam sektor pertanian, pemerintah
pendudukan Jepang melakukan upaya perbaikan yang tidak dilakukan pada masa
pemerintahan kolonial sebelumnya. Pada November 1943, Pemerintah pendudukan
Jepang mengeluarkan beberapa program yang disebut dengan Kinkyu Shokuryo Taisaku
(tindakan-tindakan mendesak mengenai bahan pangan). Program ini dipusatkan pada
peningkatan produksi dengan cara-cara seperti pengenalan jenis padi baru, inovasi teknik-
teknik penanaman, peningkatan infrastruktur pertanian, perluasan sawah, dan latihan serta
propaganda para petani.
Dalam hal pengenalan bibit baru, Pemerintah Pendudukan Jepang merekomendasikan
beras horai dari Taiwan karena masa pertumbuhannya yang cenderung pendek.
Kemudian, untuk mendukung proses produksi padi, pemerintah melakukan pembangunan
irigasi dan drainase yang berguna untuk mencukupi kebutuhan pengairan selama proses
penanaman. Dalam hal inovasi teknik pertanian, Jepang memiliki teknik penanaman padi
tersendiri. Caranya adalah dengan melakukan pemindahan bibit tanaman padi pada garis-
garis lurus dengan jarak tanam sekitar 20 cm di antara bibit tersebut.
Upaya perluasan sawah juga dilakukan dengan cara mengubah fungsi lahan yang
sebelumnya digunakan untuk penanaman tanaman ekspor, seperti yang terjadi di daerah
Priangan (Jawa Barat) yang sebelumnya sangat terkenal dengan komoditas kopi diubah
menjadi daerah persawahan padi. Namun, dalam hal perluasan sawah ini, pemerintah
Jepang lebih memfokuskannya di luar Jawa, seperti Sumatra dan Kalimantan. Selain itu,
pemerintah pendudukan Jepang juga membuka beberapa sekolah pertanian yang dikenal
dengan sebutan Nomin dojo.
Sejak April 1943, petani diharuskan menyerahkan sejumlah tertentu dari hasil panen
mereka kepada Pemerintah Pendudukan Jepang. Padi yang diserahkan tersebut akan
digiling dan didistribusikan melalui tangan-tangan pemerintah. Proses distribusi ini
ditangani langsung oleh sebuah organisasi bentukan Jepang yang bernama Shokuryo
Kanri Zimusho (Kantor Pengelolaan Makanan). Organisasi ini merupakan sebuah
organisasi yang dibentuk di bawah Departemen Perindustrian Gunseikanbu, yang
memiliki cabang di Semarang dan Surabaya. Organisasi ini dibuat untuk memperlancar
proses distribusi pangan, namun, segala upaya yang dilakukan Jepang dalam proses
peningkatan pangan tidak secara signifikan mampu mengatasi krisis pangan di Indonsia.
3. Kebijakan Pangan dan Sektor Pertanian pada Pemerintahan Orde Lama
Pada masa ini, keadaan perberasan mengalami penurunan dalam hal kualitas dan
kuantitas. Pada 1952, diadakan program kesejahteraan Kasimo yang bertujuan mencapai
swasembada beras sebelum 1956. Program ini menggunakan pendekatan penyuluhan
percontohan. Pendekatan semacam ini mengikuti sistem penyuluhan Pemerintah
penjajahan Belanda, dengan apa yang disebut dengan Olie Vlek, yakni bertujuan
menyebarluaskan cara-cara bertani yang lebih baik. Terdapat pula program padi sentra
yang dimulai sejak tahun 1959 namun belum berhasil menciptakan swasembada.
Sedangkan program Bimas selama 1960-an mencakup dan menyempurnakan pendekatan
penyuluhan percontohan ini.
Presiden Soekarno mengatasi kekurangan beras dengan cara mencanangkan gerakan
mengganti beras dengan jagung pada 1963. Gerakan ini dicerminkan pada perubahan
jatah kepada pegawai sipil dan militer yang semula memperoleh jatah beras, kemudian
diubah menjadi jatah 25 persen jagung dan 75 persen beras. Program ini mengalami
banyak kesulitan dari segi bagaimana menjamin agar aliran jagung ke daerah-daerah
konsumsi dapat lancar, dan ternyata program tersebut menimbulkan reaksi negatif dari
kalangan masyarakat, sehingga kemudian dihentikan.
Hal ini menimbulkan rasa ketidakpuasan masyarakat terhadap jalannya pemerintahan
Demokrasi Terpimpin. Puncaknya adalah pada saat terjadi krisis nasional di 1965 dan
demonstrasi secara besar-besaran dilancarkan. Para demonstran ini memperjuangkan Tiga
Tuntutan Rakyat (Tritura) yang satu tuntutannya adalah turunkan harga kebutuhan pokok
masyarakat.
Hal ini merupakan salah satu penyebab runtuhnya pemerintahan Demokrasi
Terpimpin. Pertumbuhan ekonomi pada masa Demokrasi Terpimpin dianggap mandeg.

4. Kebijakan Pangan dan Sektor Pertanian pada Pemerintahan Orde Baru


Orde Baru merupakan masa Indonesia setelah turunnya Presiden Soekarno dan
digantikan oleh kepemimpinan Soeharto. Dalam masa kepemimpinannya yang
berlangsung selama lebih dari tiga puluh tahun, Indonesia mengalami masa-masa yang
menurut masyarakat secara umum merupakan masa pembangunan ekonomi. Kemajuan
pembangunan ekonomi ini dirasakan sangat signifikan oleh masyarakat karena
sebelumnya pada tahun 1966 Indonesia mengalami gejolak ekonomi yang luar biasa
dimana inflasi mencapai 650%. Adapun beberapa hal positif yang didapatkan dari
pembangunan ekonomi secara umum pada masa Orde Baru ini antara lain pertumbuhan
ekonomi, pembangunan infrastruktur, serta perkembangan sektor pertanian. Prestasi luar
biasa yang diperoleh dari perkembangan sektor pertanian ini adalah Indonesia bisa
mengubah status dirinya dari Negara pengimpor beras terbesar di dunia menjadi Negara
pengekspor beras terbesar di dunia dan mencapai swasembada pangan pada tahun 1980-
an.
Krisis ekonomi dan pangan yang sedang terjadi di Indonesia pada masa orde lama
tidak membuat pemerintah menyerah untuk tetap membuat kebijakan-kebijakan guna
mengatasi permasalahan tersebut. Hal ini terbukti dengan pada pertengahan tahun 1966,
Komando Logistik Nasional (Kolognas) diberi tugas tambahan untuk menyalurkan dana
kepada para pengikut program Bimbingan Masyarakat (Bimas).
Berbagai program kebijakan pangan disusun dan dilaksanakan yang berkaitan dengan
pangan, seperti Bimas (Bimbingan Massal), Inmas (Intensifikasi Massal), Insus
(Intensifikasi Khusus), dan Supra Insus. Selain itu, Pemerintah Orde Baru juga
membentuk berbagai Kelembagaan pangan, seperti Badan Usaha Unit Desa/Koperasi
Unit Desa (BUUD/KUD)131, Badan Urusan Logistik (Bulog) di tingkat Pusat, Depot
Logistik (Dolog) di Tingkat Provinsi, dan Sub Depot Logistik (Subdolog) di tingkat
kabupaten/kotamadya. Penggunaan pupuk kimia, pestisida, dan bibit unggul seperti
varietas unggul tahan wereng (VUTW) juga diperkenalkan dengan tujuan meningkatkan
hasil produksi pertanian. Pada Masa Orde Baru, pembangunan pertanian di Indonesia
yang dilaksanakan dengan program Bimas, Insus dan Supra Insus telah mengantarkan
Indonesia pada swasembada beras pada tahun 1984.Pemerintah terus melakukan evaluasi
terhadap program pembangunan pertanian yang telah dijalankan. Tahun 1964, pemerintah
mengeluarkan kebijakan yang diberi nama program Bimbingan Massal (Bimas),
kemudian program intensifikasi khusus dan supra insus pada tahun 1980-1995. Namun
Bimas dinilai berkembang dengan lambat maka pemerintah mengeluarkan program
Intensifikasi Khusus (Insus) dan Supra Insus.
Berbagai perubahan kebijakan beras pemerintah telah diadakan dalam upaya
memelihara keseimbangan penawaran dan permintaan pada tingkat harga yang stabil.
Kebijakan-kebijakan pertanian pada masa Orde Baru diantarnya adalah;

a. Revolusi Hijau
Revolusi Hijau merupakan perubahan cara bercocok tanam dari cara
tradisional ke cara modern. Revolusi Hijau (Green Revolution) merupakan suatu
revolusi produksi biji-bijian dari hasil penemuan-penemuan ilmiah berupa benih
unggul baru dari berbagai varietas, gandum, padi, dan jagung yang mengakibatkan
tingginya hasil panen komoditas tersebut. Tujuan Revolusi hijau adalah mengubah
petani-petani gaya lama (peasant) menjadi petani-petani gaya baru (farmers),
memodernisasikan pertanian gaya lama guna memenuhi industrialisasi ekonomi
nasional. Upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk menggalakan revolusi
hijau ditempuh dengan cara:
1) Intensifikasi Pertanian
Intensifikasi Pertanian di Indonesia dikenal dengan nama Panca Usaha Tani yang
meliputi pemilihan bibit unggul, pengolahan tanah yang baik, pemupukan, irigasi,
pemberantasan hama
2) Ekstensifikasi Pertanian
Ekstensifikasi pertanian, yaitu Memperluas lahan tanah yang dapat ditanami
dengan pembukaan lahan-lahan baru (misal mengubah lahan tandus menjadi lahan
yang dapat ditanami, membuka hutan, dsb).
3) Diversifikasi Pertanian
Usaha penganekaragaman jenis tanaman pada suatu lahan pertanian melalui
sistem tumpang sari. Usaha ini menguntungkan karena dapat mencegah kegagalan
panen pokok, memperluas sumber devisa, mencegah penurunan pendapatan para
petani.
4) Rehabilitasi Pertanian
Merupakan usaha pemulihan produktivitas sumber daya pertanian yang kritis,
yang membahayakan kondisi lingkungan, serta daerah rawan dengan maksud
untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di daerah tersebut. Usaha pertanian
tersebut akan menghasilkan bahan makanan dan sekaligus sebagai stabilisator
lingkungan.
b. Pelita (Pembangunan Lima Tahun)
Pemerintah lalu melakukan Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang (25-30
tahun) dilakukan secara periodik lima tahunan yang disebut Pelita(Pembangunan
Lima Tahun). Pelita berlangsung dari Pelita I-Pelita VI.
1) Pelita I (1 April 1969 – 31 Maret 1974)
Sasaran yang hendak di capai pada masa ini adalah pangan, sandang, perbaikan
prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.
Pelita I lebih menitikberatkan pada sektor pertanian. Keberhasilan dalam Pelita I
yaitu produksi beras mengalami kenaikan rata-rata 4% setahun., banyak berdiri
industri pupuk, semen, dan tekstil, perbaikan jalan raya, banyak dibangun pusat-
pusat tenaga listrik.

2) Pelita II (1 April 1974 – 31 Maret 1979)


Sasaran yang hendak di capai pada masa ini adalah pangan, sandang, perumahan,
sarana dan prasarana, mensejahterakan rakyat, dan memperluas lapangan kerja .
Pelita II berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata penduduk 7%
setahun. Perbaikan dalam hal irigasi. Di bidang industri juga terjadi kenaikna
produksi. Lalu banyak jalan dan jembatan yang di rehabilitasi dan di bangun.
3) Pelita III (1 April 1979 – 31 Maret 1984)
Pelita III lebih menekankan pada Trilogi Pembangunan. Asas-asas pemerataan di
tuangkan dalam berbagai langkah kegiatan pemerataan, seperti pemerataan
pembagian kerja, kesempatasn kerja, memperoleh keadilan, pemenuhan kebutuhan
sandang, pangan, dan perumahan,dll.
4) Pelita IV(1 April 1984 – 31 Maret 1989)
Pada Pelita IV lebih dititik beratkan pada sektor pertanian menuju swasembada
pangan dan meningkatkan ondustri yang dapat menghasilkan mesin industri itu
sendiri. Hasil yang dicapai pada Pelita IV antara lain; Swasembada Pangan. Pada
tahun 1984 Indonesia berhasil memproduksi beras sebanyak 25,8 ton. Hasil-nya
Indonesia berhasil swasembada beras. kesuksesan ini mendapatkan penghargaan
dari FAO(Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985. hal ini
merupakan prestasi besar bagi Indonesia.
5) Pelita V (1 April 1989 – 31 Maret 1994)
Pada Pelita V ini, lebih menitik beratkan pada sektor pertanian dan industri untuk
memantapakan swasembada pangan dan meningkatkan produksi pertanian lainnya
serta menghasilkan barang ekspor.
6) Pelita VI (1 April 1994 - 31 Maret 1999)
Pada masa ini pemerintah lebih menitikberatkan pada sektor bidang ekonomi.
Pembangunan ekonomi ini berkaitan dengan industri dan pertanian serta
pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai
pendukungnya.

5. Kebijakan Pangan dan Sektor Pertanian pada Masa Reformasi Hingga Sekarang
Pada masa reformasi hingga sekarang, permasalahan pangan masih menjadi perhatian
dari pemerintah. Hal ini dapat dilihat pada Nawacita yang merupakan sembilan agenda
prioritas pemerintah Indonesia dimana dari sembilan butir Nawacita tersebut, setidaknya
empat butir bersentuhan langsung dengan politik pangan dan swasembada beras.
Nawacita poin ke-3 yang berbunyi, membangun Indonesia dari pinggiran dengan
memperkuat daerah-daerah dan desa; Nawacita poin ke-5 yang berbunyi, meningkatkan
kualitas hidup manusia Indonesia; Nawacita poin ke-6 yang berbunyi, meningkatkan
produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa
maju dan bangkit; dan Nawacita poin ke-7 yang berbunyi, mewujudkan kemandirian
ekonomi dengan menggerakkan ekonomi domestik. Dalam rangka mewujudkan empat
dari sembilan agenda prioritas tersebut pemerintah tentunya membuat serta menerapkan
berbagai macam kebijakan dalam bidang pangan, kebijakan-kebijakan tersebut
diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Kebijakan Harga Pokok Pembelian (HPP) Multikualitas
Penetapan Harga Pembelian Pemerintah untuk kualitas tunggal yang selama
ini diterapkan memang telah mampu melindungi petani dari kejatuhan harga saat
panen raya tiba. Namun disisi lain, kebijakan HPP Multikuaitas ini belum dapat
meningkatkan kualitas gabah dan beras yang dihasilkan petani. Menurut Mohammad
Maulana (2012) kebijakan HPP multikualitas pada gabah diperkirakan mampu
meningkatkan produksi gabah dengan kualitas lebih baik dan keuntungan usaha tani
melalui peningkatan produktivitas dan adanya insentif petani meningkatkan kualitas
gabahnya dari kualitas medium ke premium. Sementara kebijakan HPP multikualitas
pada beras juga diyakini mampu mendorong pedagang/penggiling untuk
meningkatkan produksi beras berkualitas yang berasal dari proses penggilingan gabah
berkualitas lebih baik, perbaikan mesin dan operator (meningkatkan rendemen beras),
dan adanya insentif melakukan penggilingan lebih sempurna untuk gabah kualitas
medium untuk menghasilkan beras berkualitas premium.
b. Kebijakan Harga Dasar Gabah (HDG)
Menurut Nizwar Syafaat (2017) Pengendalian pasokan dan harga gabah dan
beras yang dikuasai oleh pedagang besar, dan kondisi produksi yang berfluktuatif
membutuhkan intervensi pemerintah untuk menstabilkan harga gabah. Hal itu
bermanfaat untuk meningkatkan efisiensi ekonomi agribisnis perberasan, sekaligus
meningkatkan produksi beras dalam negeri guna pemantapan ketahanan pangan dan
pengembangan perekonomian desa. Selama Indonesia masih berstatus sebagai negara
importir beras maka kebijakan stabilisasi harga gabah/beras dapat menguntungkan,
baik bagi petani produsen maupun konsumen beras. Disarankan kebijakan stabilisasi
harga gabah/beras menggunakan rentang harga yang banyak diterapkan oleh negara-
negara sedang berkembang lainnya. Kebijakan rentang harga tersebut diwujudkan
dalam bentuk kebijakan ambang bawah harga gabah untuk melindungi petani dan
kebijakan ambang atas harga beras untuk melindungi konsumen.
Agar kebijakan ambang bawah harga gabah lebih memberikan jaminan kepada
petani, maka perlu dipertimbangkan oleh pemerintah untuk kembali kepada kebijakan
HDG (Harga Dasar Gabah). HPP dipandang kurang memberikan jaminan harga gabah
kepada petani. Besarnya HDG adalah memberikan jaminan profitabilitas kepada
petani minimal sebesar 30%, dan juga dengan memperhatikan perkembangan harga
beras serta biaya hidup. Kedua komponen yang terakhir tersebut merupakan faktor
yang menuntut perlunya penyesuaian HDG secara berkala atau tahunan. Sedangkan
dasar penetapan ambang atas harga beras adalah memberikan insentif bagi pedagang
secara wajar sebesar 15% dari harga dasar beras.
c. Kebijakan menakan Harga Eceran Terendah (HET) Pupuk
Ditunjau secara makro, kebijakan HET dinilai mampu memperbaiki kinerja
produksi beras saat ini. Namun pemerintah juga harus dapat menjamin HPP gabah
aman hingga tiba di petani. Terdapat empat manfaat apabila HET pupuk Urea
dinaikan: (1) Menghindari penggunaan pupuk urea berlebih, (2) Produksi dan
rendemen gabah ke beras meningkat, (3) Subsidi pupuk menjadi berkurang, dan (4)
Petani akan mulai beralih ke pupuk organik. Tanpa mengurangi keuntungan petani,
jika efektivitas kebijakan HPP gabah bisa mencapai 100%, maka pemerintah
sebenarnya masih relevan menaikkan HET pupuk urea melihat bahwa kebijakan ini
juga memberikan empat manfaat positif dalam penerapannya.

B. Pembangunan Tanaman Non Pangan


Perhatian pembangunan tak hanyanya meliputi tanaman pangan saya, tetapi juga
memperhatikan perkembangan tanaman non pangan lainnya. Penerapan teknologi pun
juga diperhatikan dan juga paket kebijakan lain seperti itensifikasi dalam bibit unggul
maupun pengolahan lahan dengan sumberdaya yang memadai serta di dukung oleh
teknologi maju.
Tanaman non pangan sering disebut juga tanaman pohon, tanaman tahunan, tanaman
perkebunan, tanaman kas. Tanaman non pangan meliputi jeruk, mangga, teh, tembakau,
kelapa, kelapa sawit, vanili, coklat (kakau), lada dan lainnya. Sejak tahun 1970
pemerintah mulai memperhatikan tanaman non pangan dengan mengembangkan bibit
unggul dan dan tanaman perkebunan baru, diantaranya tanaman kakao, vanili, jeruk,
kelapa sawit dan sebagainya.
Tanaman non pangan kemudian produksinya meningkat secara dramatis pertahunnya.
Tetapi tidak seperti padi yang memiliki lembaga pemasaran seperti gedung, transportasi
dan lain-lain, sehingga hasil panen rakyat yang melimpah itu untuk pemasaran diserahkan
seutuhnya kepada rakyat. Hal ini menimbulkan permasalahan baru yaitu dengan
meningkatnya produksi tanaman non pangan semakin melimpah maka banyak hasil panen
yang terlantar karena rakyat kesulitan untuk memasarkan sendiri. Kemudian muncul
gagasan untuk membuat pabrik rokok baru sehingga produksi cengkeh rakyat dapat
tertampung. Juga mendirikan gagasan badan penyangga harga untuk komoditas tertentu.
Yang telah terbentuk dengan iisiatif swasta yaitu BPPC (badan penyangga pemasaran
cengkeh). Akan tetapi karena masalah keuangan dan masalah teknis lainnya BPPC tidak
mampu menangani masalah pemasaran cengkeh sehingga menyarankan para petani untuk
menebah pohon cengkeh dengan biaya sendiri untuk menjaga kestabilan harga.
Laju pertumbuhan sektor non pangan adalah salah satu subsector dengan
pertumbuhan yang konsisten yaitu pertumbuhan mencapai 4-5 % pertahun. Baik ditinjau
dari areal maupun produksi. Secara keseluruhan produksi tanaman tahunan mengalami
peningkatan yang didukung oleh kebijakan pemerintah untuk mendorong perluasan lahan
untuk jenis tanaman non pangan tersebut.

Jenis tanaman 2012 2013 2014 2015


C. Karet kering 582,80 581,50 569,70 587,80
Minyak sawit 16 817,80 17 771,30 19 072,80 20615,90
Biji sawit 3 363,60 3 554,30 3 814,60 4123,20
Coklat 53,30 55,50 30,00 29,80
Kopi 29,30 30,50 31,00 32,00
Teh 91,70 94,10 103,50 103,90
Kulit kina 0,50 0,20 0,10 0,20
Gula tebu 1 147,50 1 185,30 1 062,60 1050,20
tembakau 2,38 3,10 2,00 2,20
Perubahan Struktur Ekonomi
1. Peran Sektor Pertanian
Sektor pertanian adalah sektor awal kehidupan suatu bangsa atau negara. Namun saat
ini sektor pertanian semakin mengalami kemunduran karena semakin majunya sektor
industri dan sektor jasa. Setiap negara pasti akan melakukan suatu perubahan mengenai
potensi negaranya yaitu kemungkinan beralih dari sektor pertanian menjadi industri
maupun jasa.
Menurut Ketut Nehen (2016), sektor pertanian pada umumnya memegang peran
yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Peran tersebut, antara
lain adalah:
a. Menyediakan surplus pangan yang semakin besar kepada penduduk yang kian
meningkat.
b. Meningkatkan permintaan akan produk industri dan dengan demikian mendorong
keharusan diperluasnya sektor sekunder dan tersier.
c. Menyediakan tambahan penghasilan devisa untuk impor barang modal bagi
pembangunan melalui ekspor hasil pertanian.
d. Meningkatkan pendapatan desa untuk dimobilisasi oleh pemerintah.
e. Memperbaiki kesejahteraan masyarakat pedesaan.

2. Perubahan Struktur
Menurut Ketut Nehen (2016), perubahan struktur suatu perekonomian biasanya
ditandai oleh besarnya sumbangan dari masing-masing sektor terhadap penghasilan
nasional atau terhadap Produk Domestik Bruto. Semakin besar sumbangan dari setiap
sektor maka akan menambahkan Produk Domestik Bruto dan berpengaruh terhadap
perubahan struktur ekonomi suatu negara atau daerah.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mariana, Made Suyana Utama dan Ida
Bagus Purbadharmaja (2014) bahwa pertumbuhan investasi, pertumbuhan penyerapan
tenaga kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap perubahan struktur ekonomi, namun
pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap perubahan struktur
ekonomi. Analisis data menunjukkan bahwa pertumbuhan penyerapan tenaga kerja tidak
berpengaruh signifikan terhadap perubahan struktur ekonomi karena serapan tenaga kerja
tidak terjadi terlalu signifikan pada sektor pertanian sehingga tidak mempengaruhi
perubahan stuktur ekonomi.
Perubahan struktur biasanya di mulai dari negara sistem agraris-industri-jasa,
tergantung dari data PDB suatu negara. Jika sektor pertanian yang mendominasi suatu
negara, maka negara tersebut adalah negara agraris, dan jika sektor industri yang
mendominan, maka negara tersebut adalah negara industri, begitu pula dengan negara
jasa. Indonesia pada abad ke-20 adalah negara agraris yaitu dengan penyumbang terbesar
dari sektor pertanian. Namun saat ini Indonesia di dominasi oleh sektor jasa, dengan kata
lain, Indonesia sudah merubah struktur ekonominya dari negara agraris menjadi negara
jasa.

Produk Domestik Bruto menuru Sektor Asal (dalam %)


2016 2017
No Keterangan Triwulan Triwulan
I II I II
1 Pertanian, Pertambangan dan Penggalian 20,48 21,23 21,53 21,28
2 Industri Pengolahan 21,05 20,66 20,48 20,26
Jasa (Listrik, Kontruksi, Pengangkutan,
3 58,47 58,11 57,99 58,46
dll)
Jumlah 100 100 100 100

Dari data di atas dapat dilihat dari tahun 2016 sampai 2017 di dominasi oleh sektor
jasa, sehingga dapat dikatakan Indonesia adalah negara jasa. Diikuti oleh sektor pertanian dan
sektor industri. Setiap tahun sektor pertanian mengalami fluktuasi, peningkatan di triwulan II
tahun 2016 (21,23%) dan meningkat lagi di triwulan I tahun 2017 (21,53%) namun
mengalami penurunan di triwulan II tahun 2017 (21,28%). Pada sektor industri selalu
mengalami penurunan, dari triwulan I tahun 2016 hingga triwulan II 2017 dengan angka
mencapai 20,26% dari 21,05% yaitu penurunan sebesar 0,75%. Dilihat dari sektor jasa yaitu
sebagai sektor dominan juga mengalami fluktuasi di setiap triwulan dengan range 57,99%-
58,47%.
Daftar Pustaka

Nehen, Ketut. 2016. Perekonomian Indonesia. Denpasar : Udayana University Press


Mariana, dkk. 2014. Pengaruh Pertumbuhan Investasi, Pertumbuhan Penyerapan
Tenaga Kerja Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Dan Perubahan Struktur
Ekonomi di Provinsi Bali.E-Jurnal Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.
Vol 3 (6), 330-344.
Tersedia di : http://id.portalgaruda.org
Badan Pusat Statistika
Badan Pusat Statistik. 2017.Produksi Perkebunan Besar menurut Jenis Tanaman, Indonesia
(Ton), 1995 - 2015.www.bps.go.id.
Kementrian Pertanian Republik Indonesia. 2016 . Outlook Tanaman Pangan.
http://epublikasi.setjen.pertanian.go.id/arsip-outlook/81-outlook-tanaman-pangan.
Mufti. Hikmah Rafika. 2009. “Analisis Kebijakan Pangan”. Jakarta. Halaman 29.
Maulana, Mohammad. 2012. Prospek Implementasi Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah
(HPP) Multikualitas Gabah dan Beras di Indonesia. Jurnal Analisis Kebijakan
Pertanian Vol 10, No 3
Syafaat, Nizwar. 2017. Mengkaji Ulang Kebijakan Harga Beras.Jurnal Analisis Kebijakan
Beras Vol 7, No 4

Anda mungkin juga menyukai