Disusun Oleh:
UNIVERSITAS UDAYANA
TAHUN 2021
KEBIJAKAN PANGAN DAN PEMBANGUNAN PERTANIAN
I. Pengantar
Pembangunan sector pertanian ini sangat penting terutama pertanian tanaman pangan
di Indonesia. Pada masa penjajahan Belanda telah dijalankan berbagai kebijaksanaan di
bidang tanaman pangan, sehingga dengan persediaan yang stabil tidak akan
mengakibatkan kenaikan biaya hidup yang tajam di kota-kota besar. Terjadi krisis beras
yang merupakan salah satu pemnicu mengapa pad encana pembangunan lima
pada masa Orde Baru menitikberatkan pada sektor pertanian dengan pengutamaan
swasembada beras. Bahwa jaman penjajahan Belanda pemerintah telahmembentuk badan
yang bernama Stichting Het Voedingsmidlenfons (VMF), yang kemudian dilanjutkan
menjadi padi sentra pada masa Orde Lama dan menjadi Badan Urusan Logistik (Bulog)
pada masa Orde Baru, yang tidak lain dari satu badan pengendalian
di bidang pangan dan berperan penting sampai sekarang. Kebijaksanaan di bidang pangan
pada masa penjajahan Belanda dilanjutkan oleh pemerintahan Orde Lama dan Order Baru
untuk menuju swasembada pangan atau beras. Setelah dicapai swasembada beras pada
tahun 1984, Produksi beras agak melandai. Satu-satunya cara meningkatkan
produksi dalam situasi konversi lahan yang tidak terbendung adalah dengan meningkatkan
indeks pertanaman dan perbaikan cara tanam untuk akhirnya dicapai swasembada beras
dan ekspor beras pada 2008.
Pembangunan tanaman pohon pada dasarnya diserahkan kepada swasta pada jaman
penjajahan Belanda dan pada Orde Lama. Tetapi sejak Orde Baru, seirama dengan
perhatian pemerintah terhadap masalah pangan, pemerintah telah melancarkan berbagai
kebijaksanaan mengenai tanaman nonpangan. Subsektor perkebunan mempunyai
kontribusi yang penting dalam pembangunan ekonomi di Indonesia.
Peran penting sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi yang dapat mengantarkan
perubahan struktur dalam perekonomian Indonesia dari negara agraris menjadi negara
industri.
II. Kebijakan Pangan dan Sektor Pertanian pada Masa Penjajahan Belanda
Di masa penjajahan Belanda sector pertanian Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan
sistem perekonomian Belanda, yang berarti kapitalistik, tidak banyak perhatian
pemerintah terhadap sektor ini. Dengan kata lain, perkembangan di sektor pertanian
diserahkan sepenuhnya kepada kekuatan permintaan dan penawaran. Kebijakan seperti ini
2
didukung oleh keadaan negara Belanda yang tidak memiliki lahan yang cukup luas untuk
kegiatan pertanian. Di sisi lain, pihak di daerah jajahannya (Indonesia) mempunyai
wilayah pertanian yang sangat luas. Oleh karena itu, pemerintah penjajah Belanda
membiarkan perkembangan sektor ini atas kekuatan pasar, terutama untuk subsektor
perkebunan. Pemerintah negara jajahan Belanda mempunyai kepentingan agar harga beras
selalu murah. Dengan politik harga beras murah ini dikatakan bahwa beras adalah
komoditas politik, di samping sebagai komoditas ekonomi. Dalam tahun 1863 bea masuk
beras impor dihapus demi mengekang kenaikan harga beras yang tajam setelahterjadi
kegagalan panen.
Ketika penghasilan petani jatuh akibat depresi dunia, Pemerintah merurunkan pajak
tanah. Di bidang produksi, pemerintah Jajahan Belanda menjalankan kebijaksanaan yang
disebut Olie Viek, yakni satu program penyuluhan percontohan yang bertujuan untuk
menyebarluaskan cara-cara bertani yang lebih baik. Caranya adalah dengan membentuk
petak-petak percontohan di tempat-tempat tertentu di mana pegawai pertanian
Belandamelakukan cara bercocok tanam padi yang baik agar ditiru oleh para petani di
sekitarnya. Namun program semacam ini sangat terbatas. Masa depresi merupakan awal
kebijaksanaan pengendalian langsung harga beras. Pada awal tahun 1933, impor dibatasi
dengan cara lisensi dan harga-harga diawasi langsung oleh Pemerintah yang
menggalakkan perdagangan beras antar pulau/provinsi dengan tujuan agar daerah-daerah
defisit beras di iuar Jawa memperoleh tambahan beras dari daerah-daerah surplus seperti
Jawa, Bali, dan Sulawesi Selatan. Ini berarti para pejabat Pemerintah turut campur tangan
secara lebih luas dalam bidang organisasi, pengawasan produksi beras dan pengangkutan,
sehingga dengan persediaan beras yang stabil tidak akan mengakibatkan kenaikan biaya
hidup di kota-kota besar.
Kebijaksanaan baru ini kemudian berkembang ke arah pengawasan langsung
perusahaan penggilingan beras, dengan maksud menjaga para penggiling agar tidak
melakukan hal-hal yang mengakibatkan goyahnya pasar beras lokal. Pada April 1939
dibentuk badan yang bernama Stichting Het Voedingsmidlenfons (VMF), yang
merupakan pendahuluan dari Bulog, yang berupa badan pengendalian di bidang pangan
yang sangat penting dalam masa Orde Baru. Pendirian VMP pada tahun 1939 merupakan
cerminan pandangan Pemerintah Belanda (dan ternyata juga menjadi pandangan berbagai
pemerintahan Indonesia setelah merdeka sampai sekarang) bahwa masalah beras sangat
penting dan memerlukan pengaturan khusus dari Pemerintah.
3
III. Kebijakan Pangan Pada Pemerintahan Orde Lama
Pada masa pemerintaha Orde Lama perkembangan ekonomi, termasuk perkembangan
subsektor perkebunan masih tetap seperti sebelumnya, kecuali bahwa subsektor
perkebunan besar dinasionalisasi dari milik swasta Belanda menjadi perusahaan
perkebunan milik negara, Dalam subsektor tanaman pangan (khususnya beras),
kebijaksanaan yang sebelumnya ditempuh Pemerintah Jajahan Belanda yang terutama
sekali untuk menjaga stabilitas harga beras selama masa-masa kekurangan maupun
kelebihan, dialihkan menjadi kebijaksanaan yang ditujukan untuk mempertahankan
penghasilan tertentu bagi mereka yang diserahi tugas mengelola administrasi dan kearanan
negara muda ini (PNS).
Di bidang produksi, beberapa program swasembada dilaksanakan dalam tahun 50an
dan 60an. Terbatasnya devisa untuk membeli beras impor guna mengisi kekurangan
produksidalam negeri melatarbelakangi masa ini Program Padi Sentra, dimulai 1959, yang
bertujuan mencapai swasembada sebelum 1963 adalah satu program yang gagal.
Namundemikian program tersebut mewariskan satu contoh organisasi bagi BUUD (badan
usaha unit desa) dan KUD (koperasi unit desa) serta BRI unit desa dalam fungsinya
sebagai penyedia dana kredit untuk pembelian sarana produksi dan sebagai saluran
pemasaran bagisarana produksi dan hasil produksi pertanian. Dalam rangka mengatasi
kekurangan beras, pada tahun 1963 Presiden Sukarno memulai gerakan mengganti beras
dengan jagung. Gerakan ini dicerminkan pada perubahan jatah pada pegawai sipil dan
militer yang semula memperoleh jatah beras, kemudian diubah menjadi 75 persen beras
dan 25 persen jagung. Program ini menimbukkan reaksi negative dari masyarakat dan
dihentikan.
Pada tahun 1963, program penyuluhan yang dilakukan para mahasiswa Fakul tas
Pertanian Universitas Indonesia yang kemudian menjadi Institut Pertanian Bogor,
merupakan sumber inspirasi bagi berkembangnya Program Bimas (Bimbingan Massal).
Program Bimas yang diperluas dimulai 1964 dan menjadi terkenal karena semboyan Panca
Usaha, yakni lima cara ke arah usaha tani yang baik. Kelima cara ini mencakup
penggunaan dan pengendalian air yang lebih baik, penggunaan bibit pilihan, pupuk dan
pestisida, cara bercocok tanam yang baik dan koperasi yang kuat. Panca usaha tetap
merupakan pegangan kebijaksanaan selama Pemerintahan Orde Baru.
Saat pemerintahan Orde Baru mulai memegang kekuasaan, sektor perberasan di
Indonesia berada dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Produksi beras di Jawa hanya
2 persen lebih tinggi daripada produksi tahun 1954; tingkat produksi yang terakhir ini
4
hanya kurang lebih sama dengan tingkat produksi perang Dunia II. Hasil beras per hektar
untuk seluruh Indonesia tiduk menunjukkan kenaikan selama sepuluh tahun. Yang lebih
parah adalah menurunnya kesediaan beras per kapita untuk dikonsumsi yang jauh di
bawah tingkat cukup untuk kebutuhan gizi. Selama tahun 1960an, lebih dari satu juta ton
beras diimpor setiap tahun untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri. Harga beras
yang terus menerus naik cenderung mengerem impor. Tetapi harga-harga pangan yang
terus naik memperkuat tekanan inflasi
IV. Kebijakan Pangan dan Sktor Pertanian pada Pemerintahan Orde Baru
Di awal pemerintahan Orde Baru menyadari pentingnya penyediaan beras yang cukup.
Dalam usaha memperbaiki pelaksanaan progm Bimas,beberapa kebijaksanaan baru
diambil untuk mempermudah pembiayaan sarana produksi; BRI (yang pada waktu itu
bernama Bank Koperasi, Tani, dan Nelayan) memerlukan bantuan dalam usahanya
memenuhi kebutuhan dana para petani. Pertengahan 1966, Kolognas, satu badan yang
dibentuk untuk menangani masalah logistic distribusi barang-barang kebutuhan pokok,
diberi tugas tambahan untuk menyalurkan dana kepada pengikut Bimas. Bulognas
kemudian dibubarkan pada tahun 1967, diganti dengan Bulog, sebuah badan yang
mengelola persediaan pangan dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Di tahun1967 panen ternyata gagal dan produksi menurun drastis akibat musim kering
yang melanda Asia Tenggara. Beras impor pun sangat sulit didapat karena menurunnya
persediaan beras dunia. Harga beras melonjak tajam sekali, sampai 300% dalam tahun itu.
kebijaksanaan beras pemerintah, dan perubahan ini merupakan awal kebijaksanaan harga
produksidan mengimpor beras yang cukup untuk memelihara keseimbangan penawaran
dan permintaan pada tingkat harga yang stabil. Pada waktu itu dicetuskan "rumus Tani".
Program Bimnas terus dilaksanakan dan disempurnakan. Pemerintah menerapkan Bimas
Gotong Royong di samping Birnas Biasa pada awal musim tanam 1968.
Meluasnya Teknologi Bibit Unggul.
Dimana program Bimas terbukti cukup efektif dalam menyebarluaskan teknologi baru
yang dilandasi penggunaan bibit unggul dan pupuk. Program Bimas kemudian dikaitkan
dengan konsep Unit Desa
Repelita I – V
Perhatian pemerintah dalam kebijaksanaan pangan dipusatkan pada tercapainya
kenaikan produksi beras dengan menutup kekurangan-kekurangan dan melakukan
perbaikan program Bimas dan progtam-program yang menyangkut produksi beras
lainnya. Pemerintah juga melancarkan program Keluarga Berencana Nasional dengan
5
tujuan mengurangi tingkat fertilitas penduduk, dengan demikian pula laju pertumbuhan
kebutuhan manusia akan bahan makanan beras jugadapat dikekang.
Periode Setelah Swasembada Beras.
Setelah dicapainya swasembada beras di tahun 1984, perekonomian Indonesia malah
mengalami kemajuan pesat yang semu, sehingga akhirnya dilanda krisis pada tahun 1998.
Sejak itu sampai dengan pergantian emerintahan ke Presiden Habibie, Presiden Gus Dur,
dan Presiden SBY, kebijaksanaan pangan telah dikelabui (over shadowed) oleh
kebijaksanaan perbaikan ekonomi masa krisis, Kondisi ini diperburuk oleh adanya
konversi lahan subur di Jawa, sehingga pertumbuhan produksi padi agak melandai. Tahun
2005, luas sawah irigasi dan tadah hujan yang ditanami padi adalah 6,84 juta ha, dengan
indeks pertanamanrata-rata 1,dimana menunjukkan masih adanya potensi untuk
meningkatkan produksi padi melalui peningkatan indeks pertanaman. Penerapan
kebijakan ini yang didukung oleh pembangunan dan renovasi infrastruktur disertai
penyediaan sumber modal agar memungkinkan petani mengadopsi teknologi maju telah
mengakibatkan dalam 4 tahun terakhir (2005-2008) produksi padi menaik dengan
persentase kenaikan yang meninggi dari tahun ke tahun
VII. Kesimpulan
Kebijaksanaan sektor pangan pada pemerintahan jajahan Belanda merupakan pelajaran
yang berharga bagi pemerintahan selanjutnya, sehingga dengan penyesuaian tertentu
kebijaksanaan tersebut diperbaiki dan dilanjutkan pada masa orde Lama. Misalnya, pada
tahun 1952 Program Kesejahteraan Kasino yang bertujuan mencapai swasembada beras
sebelum tahun 1956, menggunakan pendekatan program penyuluhan percontohan. Namun
program tersebut gagal. Kemudian, Program Padi Sentra dimulai 1959 dan bertujuan
mencapai swasembada sebelum 1963; satu program yang juga mengalami kegagalan,
Keadaan perberasan makin menyedihkan pada saat krisis beras yang terjadi tahun 1966/67
yang memicu pemerintahan Orde Baru untuk memberikan prioritas utama pada sektor
pertarian untuk mencapai swasembada beras dalam rencana pembangunan lima
tahunannya.
Swasembada beras tercapai di tahun 1984, namun, perekonomian Indonesia malah
mengalami kemajuan pesat yang semu, sehingga akhirnya dilanda krisis pada tahun 1998.
Pada tahun 2008 swasembada beras diraih kembali dan pada tahun 2009 Indonesia telah
siap untuk melakukan ekspor beras. Sementara tanaman padi mendapat perhatian khusus
dari pemerintah, tanaman pangan non padi (seperti jagung, kedelai, dan ubi jalar) dan
tanaman perkebunan rakyat (seperti kakao, vanili, cengkeh, dan kelapa) juga mendapatkan
perhatian pemerintah hanya saja dalam skala yang lebih kecil.
8
DAFTAR PUSTAKA
Nehen, Ketut. 2012. PEREKONOMIAN INDONESIA. Kampus Universitas Udayana
Denpasar Jl. PB Sudirman. Udayana University Press.