Anda di halaman 1dari 17

TUGAS

PENYULUHAN DAN PEMBANGUNAN PERIKANAN

Disusun Oleh :
YOHANES ANGWARMASE
NIM. 2019-63-019

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


JURUSAN MANAJEMAN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2022
A. Sejarah Penyuluhan Pertanian di Indonesia

Penyuluhan Pertanian di Indonesia memiliki sejarah yang panjang seiring dengan


proses perubahan kebijakan yang berlaku pada masanya. Bermula dari upaya peningkatan
produksi pertanian, kebutuhan akan komoditas baru, kebutuhan ilmu pengetahuan baru yang
dihasilkan melalui penelitian, dan kebutuhan penyampaian hasil penelitian kepada sasaran
melalui proses pendidikan dan pelatihan, serta yang lebih penting adalah upaya perubahan pada
diri petani.
Berikut Sejarah Penyuluhan Pertanian di Indonesia yang terbagi dalam beberapa masa
terkait dengan kebijakan pemerintah yang berlaku pada waktu itu.

1. Masa Sebelum Kemerdekaan (1817-1945)


Kebun Raya di Bogor pada 17 Mei 1817 oleh C.G.L.Reinwardt dianggap sebagai awal
dari usaha pembangunan pertanian di Indonesia. Pada saat itu diperkenalkan banyak jenis
tanaman baru, antara lain kelapa sawit dan 50 jenis ketela pohon.

Gambar 1.1 Gambar 1.2


Kebun Raya di Bogor pada 17 Mei 1817 Caspar Georg Karl Reinwardt

Berawal dari kebutuhan perbaikan produksi pertanian oleh penjajah, pada tahun 1831
dimulai sistem tanam paksa (cultuurstelsel) untuk tanaman nila/tarum, kopi, tebu, dan
tembakau. Petani diwajibkan menanam tanaman tersebut. Selama sistem tanam paksa,
Pangreh Praja merupakan satu-satunya badan yang berhadapan langsung dengan rakyat.
Pangreh Praja adalah penguasa lokal pada masa penjajahan Belanda untuk menangani daerah
jajahannya. Usaha memperbaiki pertanian lebih didasarkan atas perintah atau paksaan kepada
rakyat untuk menanam tanaman yang telah ditentukan.

Gambar 1.3
Sistem Tanam Paksa
Gambar 1.4
Republik Pangreh praja

Usaha-usaha memperbaiki jenis dan jumlah produksi tanaman diwujudkan dengan


mendirikan Kebun Tanaman Dagang (cultuurtuin) pada tahun 1876, pusat-pusat penyelidikan
(sekarang lembaga penelitian) pada tahun 1880, dan sekolah pertanian (Land-en Tuinbouw
Cursus) pada tahun 1877 (tahun 1884 ditutup dan dibuka lagi tahun 1903). Meskipun begitu,
sistem tanam paksa hanya berupaya meningkatkan produksi pertanian untuk kepentingan
penguasa, bukan memperbaiki kesejahteraan masyarakat tani pada saat itu.
Setelah berjalan hampir tiga perempat abad (1817-1900), pemerintahan pada waktu itu
menyadari sistem tanam paksa tidak memberikan hasil sesuai harapan. Kemudian, dilakukan
perubahan administratif dalam pengelolaan pertanian yang lebih terdesentralisasi, yaitu dengan
dibentuknya Departemen Pertanian yang mulai berfungsi pada 1 Januari 1905 dengan tujuan
memajukan pertanian rakyat. Mula-mula Departemen Pertanian berlokasi di Kebun Raya di
Bogor, dengan adanya 4 lembaga didalamnya yaitu: Kebun Raya dan Laboratoriumnya; Balai
Penelitian Padi dan Palawija; Sekolah Pertanian; dan Kebun Percobaan Tanaman Tahunan
yang dilengkapi dengan kursus-kursus serta latihan praktisnya.
Pada tahun 1910-1918, direktur Departemen Pertanian adalah Dr.N.J.Lovink yang
memiliki pandangan bahwa pendidikan pertanian merupakan salah satu cara yang bermanfaat
untuk memajukan dan memperbaiki pertanian. Sehingga, pada tahun 1911 dibentuklah Dinas
Penyuluhan Pertanian (Landbouw Voorlichtings Dienst/LVD) dan pada tahun 1913 didirikan
Sekolah Pertanian Menengah Atas (Middelbare Landbouw School/MLS).

Gambar 1.5
Dr.Johannes Lovink
Gambar 1.6
Sekolah Pertanian Menengah
Atas (SPMA)

Pada tahun 1918-1922 Departemen Pertanian dipimpin oleh Sibinga Mulder,


melakukan inventarisasi dan evaluasi terhadap kinerja Departemen Pertanian setelah 13 tahun
berdiri. Kemudian dibentuklah Balai Besar Penelitian Pertanian (het Algemeene Proefstation
voor den Landbouw/APL) yang merupakan penyatuan dari beberapa balai penelitian yang ada.
Dengan demikian, pada masa kepemimpinan Mulder, terlihat mulai ada perhatian terhadap
sistem penyuluhan pertanian yaitu dengan menggalang hubungan di antara pihak-pihak yang
terkait dalam kegiatan penyuluhan pertanian.
Sementara itu, Dinas Penyuluhan Pertanian yang dibentuk tahun 1911 dan telah
berusaha untuk bisa berhubungan langsung dengan petani atas dasar pendidikan dan
kesukarelaan ternyata memberikan hasil nyata yang lebih baik. Maka pada tahun 1921 Dinas
Penyuluhan Pertanian bekerja lepas dari Pangreh Praja, dan mengarah pada perbaikan individu
petani, menumbuhkan kesadaran petani, dan bukan memaksa petani.

2. Masa Kemerdekaan (1945-1966)


Setelah proklamasi kemerdekaan, salah satu upaya penting dalam pengembangan
pertanian adalah dengan rencana mendirikan pusat pendidikan bagi masyarakat pedesaan di
tiap kecamatan. Pada tahun 1948 rencana tersebut ditetapkan menjadi Balai Pendidikan
Masyarakat Desa (BPMD). Ketetapan tersebut tercantum dalam Rencana Kemakmuran
Indonesia atau Rencana Kasimo (Kasimo Plan), yang merupakan rencana produksi pertanian
jangka 3 tahun (1948-1950). Akan tetapi rencana tersebut tidak dapat dilakukan sepenuhnya
karena terjadi agresi militer Belanda pada tahun 1948 dan 1949.

Gambar 2.1
Ignatius Joseph Kasimo
Hendrowahyono
Setelah pengakuan kembali kedaulatan RI pada Desember 1949, pemerintah memulai
kembali usaha pembangunan pertanian secara lebih sistematis, dengan melaksanakan Rencana
Kesejahteraan Istimewa yang merupakan gabungan antara Rencana Kasimo dengan Rencana
Wisaksono. Pada tahun 1958 dilakukan kegiatan intensifikasi produksi padi, dan petani yang
menerapkan kegiatan tersebut akan mendapat bantuan kredit dalam bentuk bibit dan pupuk
serta uang. Dalam perjalanannya kegiatan ini tidak berhasil dengan baik, karena sistem kredit
yang diterapkan telah memungkinkan terjadi penyelewengan, harga padi yang rendah yang
mempengaruhi pengembalian kredit, serta kurangnya tenaga pendukung yang sesuai.
Pada tahun 1959-1968, mendasarkan pada kegagalan-kegagalan sebelumnya maka
pendekatan penyuluhan pertanian mengalami pergeseran dari prinsip-prinsip semula yang
seharusnya didasari oleh upaya meningkatkan kesadaran petani melakukan perbaikan kegiatan
pertanian, disebabkan oleh sistem yng digunakan membuat petani makin menjauhi penyuluh,
karena kegiatan penyuluhan dianggap lebih sebagai perintah.

3. Masa Orde Baru (1966-1998)


Keberhasilan pembangunan pertanian di masa orde baru tidak lepas dari keberhasilan
kegiatan uji coba Panca Usahatani Lengkap di Karawang, Jawa Barat pada tahun 1963-1964.
Kegiatan tersebut dilakukan oleh dosen dan mahasiswa tingkat akhir Institut Pertanian Bogor
bekerja sama dengan petani setempat pada lahan seluas 104 Ha. Kegiatan yang merupakan
Demonstrasi Massal gerakan Swasembada Bahan Makan (SSBM) tersebut secara nyata
meningkatkan produksi padi dua kali lipat dan terus diperluas pada 11.000 Ha, dan berikutnya
150.000 Ha. Pendekatan yang dilakukan adalah setiap dua mahasiswa menangani satu unit
areal sawah seluas 50 Ha dan hidup selama enam bulan bersama keluarga tani untuk
membimbing petani menerapkan Panca Usahatani tersebut. Pendekatan ini dapat dianggap
sebagai kegiatan penyuluhan pertanian.

Gambar 3.1
Panca Usaha Tani

Pada akhirnya, “Panca Usahatani” dijadikan kebijakan nasional menjadi sistem


Bimbingan Massal (BIMAS), yaitu suatu paket masukan (input) yang terdiri dari: penyediaan
kredit (oleh BRI), pelayanan penyuluhan pertanian secara intensif (oleh PPL dari Dinas
Pertanian), sarana produksi yang murah dan mudah diperoleh petani (dikelola oleh penyalur,
kios, dan KUD), serta pengolahan dan pemasaran hasil usahatani (oleh KUD, kelompok tani,
maupun swasta perorangan). Sistem BIMAS didasarkan kepada usaha pembinaan petani oleh
Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dengan pendekatan kelompok tani, dengan tujuan akhir
petani mampu berdiri sendiri.

Gambar 3.2
Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL)

Penyempurnaan juga dilakukan terhadap kelembagaan penyuluhan, baik jumlah


maupun kualitasnya. Misal: pembangunan Sekolah Pertanian Pembangunan, Balai Latihan
Pegawai Pertanian, Balai Informasi Pertanian, Balai Penyuluhan Pertanian, Balai Benih, dan
Balai Proteksi Tanaman. Sampai dengan akhir PELITA V tahun 1994 telah dibangun dan
disempurnakan sejumlah 1.300 BPP. BPP merupakan lembaga tempat bernaung PPL di tingkat
kecamatan. Dengan makin banyak BPP berarti makin dekat jarak petani dengan penyuluh,
maka makin intensif penyuluh dalam memberikan bimbingan kepada petani dan membantu
penyelesaian masalah petani. Pada tahun 1986, jabatan fungsional penyuluh pertanian
mendapat pengakuan dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara Nomor 73/Menpan/1985.
Tahun 1986-1991 telah terjadi perubahan dalam pengorganisasian penyuluh, peran
penyuluh telah berubah dari yang bersifat polivalen menjadi monovalen. Penyuluh pertanian
yang semula di bawah Dinas Pertanian Pangan selanjutnya menjadi bagian dari Dinas
Pertanian, Dinas Peternakan, Dinas Perikanan, dan Dinas Perkebunan sesuai bidang tugas
monovalennya.

4. Masa Setelah Reformasi atau Otonomi Daerah (1998-sekarang)

Reformasi menandai berakhirnya pemerintahan orde baru pada tahun 1998, yang telah
mengubah suasana otokrat dan sentralistis menjadi demokratis, yang dalam prakteknya
mengharapkan adanya kebebasan dalam berpikir, berbicara, dan bertindak secara bertanggung
jawab. Pada masa orde baru, masyarakat sudah terbiasa dengan suasana penyeragaman yang
terpusat.
Reformasi juga berpengaruh terhadap penyuluhan pertanian di Indonesia, baik individu
penyuluh dengan lembaga penyuluhan, kegiatan penyuluhan, kebijakan pemerintah, serta
masyarakat petaninya. Salah satunya adalah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Otonomi Daerah. Dengan undang-undang ini, pemerintah daerah memiliki
kewenangan untuk mengatur dan mengurus peningkatan kualitas sumber daya manusianya
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah (terutama masyarakatnya).
Sejarah penyuluhan pertanian di Indonesia mengalami pasang surut. Berawal dari
pengangkatan 5 penasihat pertanian pada tahun 1908 yang tidak memiliki kewenangan
pengawasan terhadap petani, kemudian berkembang dan mencapai masa kejayaan pada tahun
1984. Saat itu dicapai swasembada pangan dengan pendekatan keseragaman program “panca
usahatani” dan penyuluh mendapat pengakuan petani, lalu penerapan otonomi daerah yang
memperhatikan keragaman wilayah sehingga membutuhkan program penyuluhan pertanian
bersifat lokal spesifik serta menuntut kemampuan penyuluh pertanian yang makin tinggi.
Petani sebagai pelaku di garis depan sektor pertanian perlu inovasi secara kontinu yang
diadopsi melalui kegiatan penyuluhan, agar mampu berperan dan mau melakukan perbaikan
dalam pembangunan pertanian. Dengan demikian, penyuluhan pertanian merupakan
komponen yang harus ada dalam pembangunan pertanian suatu negara.
B. Tempat-tempat Bersejarah yang Berkaiatan dengan Sejarah

1. Kebun Raya Bogor

Kebun Raya Bogor pada mulanya adalah bagian dari 'samida' (hutan hasil pekerjaan
atau taman buatan) yang sangat tidak telah hadir pada pemerintahan Sri Baduga Maharaja
(Prabu Siliwangi, 1474-1513) dari Kerajaan Sunda, sebagaimana tertulis dalam prasasti
Batutulis. Hutan hasil pekerjaan itu ditujukan sebagai kebutuhan menjaga kelestarian sekeliling
yang terkait sebagai tempat memelihara benih benih kayu yang langka. Di samping samida itu
dibuat pula samida yang serupa di perbatasan Cianjur dengan Bogor (Hutan Ciung Wanara).
Hutan ini pengahabisan dibiarkan setelah Kerajaan Sunda takluk dari Kesultanan Banten,
sampai Gubernur Jenderal van der Capellen membangun rumah peristirahatan di salah satu
sudutnya pada pertengahan ratus tahun ke-18.
Pada awal 1800-an Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles, yang mendiami Istana
Bogor dan memiliki minat mulia dalam botani, tertarik mengembangkan halaman Istana Bogor
menjadi sebuah kebun yang cantik. Dengan bantuan para mahir botani, W. Kent, yang ikut
membangun Kew Garden di London, Raffles menyulap halaman istana menjadi taman bergaya
Inggris klasik. Inilah awal mula Kebun Raya Bogor dalam wujudnya sekarang.
Prof. Caspar Georg Karl Reinwardt adalah seseorang warga negara Jerman yang
berpindah ke Belanda dan menjadi ilmuwan botani dan kimia. Dia lalu ditinggikan menjadi
menteri bagian pertanian, seni, dan ilmu ilmu di Jawa dan sekitarnya. Dia tertarik menyelidiki
beragam tanaman yang dipergunakan sebagai pengobatan. Dia memutuskan sebagai
mengumpulkan semua tanaman ini di sebuah kebun botani di Kota Bogor, yang masa itu
dinamakan Buitenzorg (dari bahasa Belanda yang berfaedah "tidak perlu khawatir"). Reinwardt
juga menjadi perintis di bagian pembuatan herbarium. Dia pengahabisan dikenal sebagai
seorang pendiri Herbarium Bogoriense.
Sekitar 47 hektare tanah di sekitar Istana Bogor dan bekas samida menjadi lahan
pertama sebagai kebun botani. Reinwardt menjadi pengarah pertamanya dari 1817 sampai
1822. Kesempatan ini dipergunakannya sebagai mengumpulkan tanaman dan benih dari bagian
lain Nusantara. Dengan segera Bogor menjadi pusat pengembangan pertanian dan hortikultura
di Indonesia. Pada masa itu diperkirakan sekitar 900 tanaman hidup ditanam di kebun tersebut.
Pendirian Kebun Raya Bogor bisa dituturkan mengawali perkembangan ilmu ilmu di
Indonesia. Dari sini lahir beberapa institusi ilmu ilmu lain, seperti Bibliotheca Bogoriensis
(1842), Herbarium Bogoriense (1844), Kebun Raya Cibodas (1860), Laboratorium Treub
(1884), dan Museum dan Laboratorium Zoologi (1894).
Pada tanggal 30 Mei 1868 Kebun Raya Bogor secara resmi terpisah pengurusannya
dengan halaman Istana Bogor.
Pada mulanya kebun ini hanya akan dipergunakan sebagai kebun percobaan untuk
tanaman perkebunan yang akan dikenalkan ke Hindia-Belanda (kini Indonesia). Namun pada
perkembangannya juga dipergunakan sebagai wadah penelitian ilmuwan pada 100 tahun itu
(1880 - 1905).
Kebun Raya Bogor selalu merasakan perkembangan yang berfaedah di bawah
kepemimpinan Dr. Carl Ludwig Blume (1822), JE. Teijsmann dan Dr. Hasskarl (zaman
Gubernur Jenderal Van den Bosch), J. E. Teijsmann dan Simon Binnendijk, Dr. R.H.C.C.
Scheffer (1867), Prof. Dr. Melchior Treub (1881), Dr. Jacob Christiaan Koningsberger (1904),
Van den Hornett (1904), dan Prof. Ir. Koestono Setijowirjo (1949), yang adalah orang
Indonesia pertama yang menjabat suatu pimpin lembaga penelitian yang bertaraf internasional.
Pada masa kepemimpinan tokoh-tokoh itu telah diterapkan perkara pembuatan katalog
tentang Kebun Raya Bogor, pencatatan lengkap tentang koleksi tumbuh-tumbuhan
Cryptogamae, 25 spesies Gymnospermae, 51 spesies Monocotyledonae dan 2200 spesies
Dicotyledonae, usaha pengenalan tanaman ekonomi penting di Indonesia, pengumpulan
tanam-tanaman yang bermanfaat untuk Indonesia (43 jenis, di selangnya vanili, kelapa sawit,
kina, getah perca, tebu, ubi kayu, jagung dari Amerika, kayu besi dari Palembang dan
Kalimantan), dan mengembangkan kelembagaan internal di Kebun Raya yaitu:
• Herbarium
• Museum
• Laboratorium Botani
• Kebun Percobaan
• Laboratorium Kimia
• Laboratorium Farmasi
• Cabang Kebun Raya di Sibolangit, Deli Serdang dan di Purwodadi, Kabupaten
Pasuruan
• Perpustakaan Fotografi dan Tata Usaha
• Pendirian Kantor Perikanan dan Akademi Biologi (cikal bakal IPB).
Kebun Raya Bogor sepanjang perjalanan sejarahnya mempunyai beragam nama dan
julukan, seperti
• ’s Lands Plantentuin
• Syokubutzuer (zaman Pendudukan Jepang)
• Botanical Garden of Buitenzorg
• Botanical Garden of Indonesia
• Kebun Gede
• Kebun Jodoh
2. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi)

Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) mempunyai sejarah yang panjang sejak
didirikan tahun 1972 dengan nama Lembaga Pusat Penelitian Pertanian (LP3) Cabang
Sukamandi.
Pada tahun 1980, Presiden Suharto meresmikan institusi ini dengan nama Balai
Penelitian Tanaman Pangan (Balittan) Sukamandi yang menangani penelitian padi dan
palawija.
Sejak tahun 1994, lembaga ini memperoleh mandat khusus untuk padi dengan nama
Balai Penelitian Tanaman Padi (Balitpa) dengan status Eselon IIIa.
Sejalan dengan kontribusi dan tanggung jawabnya, Balitpa kemudian ditingkatkan
statusnya menjadi Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) pada tahun 2006 dengan
status eselon IIb dalam lingkup Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian.

3. Kementerian Pertanian

Sumber daya alam Indonesia yang kaya dipengaruhi oleh faktor keadaan alam
Indonesia yang beriklim tropis dan letak geografis di antara dua benua, Asia dan Australia serta
dua samudra, Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Sehingga sektor pertanian di Indonesia
menjadi sektor penting bagi perekonomian bangsa. Oleh karena itu, Indonesia dikenal sebagai
negara agraris dengan berbagai produk dari usaha pertanian, perkebunan, peternakan,
perikanan dan kehutanan.
Pada masa pendudukan Belanda, pada tanggal 1 Januari 1905 didirikan sebuah
Departemen yang menangani bidang pertanian berdasarkan Surat Keputusan Gubernur
Jenderal Hindia Belanda tanggal 23 September 1904 No. 20 Staatsblaad 982 yang didasarkan
pada Surat Keputusan Raja Belanda No. 28 tanggal 28 Juli 1904 (Staatsblaad No. 380).
Direktur Pertama Departemen Pertanian adalah Dr. Melchior Treub. Pada masa penjajahan
Belanda urusan pertanian ditangani oleh Departement van Landbouw (1905), Nijverheid en
Handel (1911) dan Departement van Ekonomische Zaken (1934).
Sedangkan pada masa pendudukan Jepang, Gunseikanbu Sangyobu yang berperan
dalam menangani urusan pertanian.
Sejak 19 Agustus 1945, sektor pertanian berada di bawah Kementerian Kemakmuran
yang merupakan kabinet pertama Republik Indonesia setelah kemerdekaan, dengan Ir. R. P.
Surachman Tjokroadisurjo sebagai Menteri Kemakmuran pertama. Dikarenakan situasi
Indonesia pada saat itu masih kacau oleh kedatangan tentara Belanda, Kementerian
Kemakmuran mendirikan cabang di Magelang yang dipimpin oleh R. M. Reksohadiprojo. Pada
bulan Juli 1947, kantor dipindahkan ke Borobudur kemudian beralih ke Yogyakarta.
Dengan adanya Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan
Organisasi Kementerian Negara, maka Departemen Pertanian berubah menjadi Kementerian
Pertanian.

4. Balai Pengkajian dan Teknologi Pertanian (BPTP) Maluku

BPTP Maluku semula bemama BPTP Ambon yang dibentuk berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Pertanian No. 798/1994, dengan tugas utama melaksanakan kegiatan
penelitian komoditas, pengujian dan perakitan teknologi tepat guna spesifik lokasi. Di awal
pembentukan BPTP, Badan Litbang Pertanian hanya membentuk 17 BPTP diantarannya
adalah BPTP Ambon, 4 Loka dan Instalasi dibeberapa provinsi, saat ini disemua Provinsi
telah di bentuk BPTP kecuali Provinsi Maluku Utara dan Gorontalo.
BPTP Ambon adalah penggabungan dari Sub Balai Penelitian Perikanan Laut, Sub
Balai Penelitian Tanaman Pangan Makariki, Kebun Percobaan Kelapa Makariki, Kebun
Percobaan Tanaman Rempah dan Obat Bacan, dan Balai Informasi Pertanian (BIP) Maluku.
Di tahun 2001, Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BP2TP) dibentuk
dimana penge]olaan instalasi KP Bacan berada di BP2TP walaupun sampai saat ini
administrasi penggajian dan Dana Rutinnya masih dari BPTP Maluku. Perjalanan sejarah
BPTP Maluku dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2015 mempunyai arti yang tersendiri
dimulai dengan fasilitas SDM, Sarana – prasarana dan Dana Pengkajian yang semula dapat
dikatakan membanggakan dan dapat disejajarkan dengan BPTP yang ada di pulau Jawa dan
Sulawesi Selatan tiba-tiba musnah dengan adanya kerusuhan Maluku dari tahun 1999-2003.

5. Balai Besar Pelatihan Pertanian (BBPP) Lembang

Balai Besar Pelatihan Pertanian (BBPP) Lembang Berdiri Sejak Tahun 1962, Yang
Pada Awalnya Bernama Pusat Latihan Pertanian (PLP) Milik Pemda Provinsi Jawa Barat.
Kemudian Pada Tanggal 28 Januari 1978 Berdasarkan SK Menteri Pertanian No.
52/Kpts/Org/1/1978 Pengelolaannya Diambil Alih Oleh Badan Pendidikan Dan Latihan
Penyuluhan Pertanian Dan Berubah Menjadi Balai Latihan Pegawai Pertanian (BLPP)
Kayuambon Dengan Tingkatan Eselonering IIIB Meliputi Wilayah Kerja Jawa Barat Bagian
Timur Dan DKI Jakarta.
Pada Tahun 2000, Dengan Keluarnya SK Menteri Pertanian Nomor
84/Kpts/OT.210/2/2000, Tanggal 29 Januari 2000 Berubah Menjadi Balai Diklat Pertanian
(BDP) Lembang. Dengan Keluarnya SK Mentan Nomor: 355/Kpts/OT.210/5/2002, Tanggal 8
Mei 2002 BDP Mendapatkan Kenaikan Eselon Menjadi IIIA Dan Berganti Nama Menjadi
Balai Diklat Agribisnis Hortikultura (BDAH).
Dengan Adanya Perkembangan IPTEK Dan Era Globalisasi Serta Kebutuhan Dari
Wilayah Binaan Yang Semakin Kompleks Secara Nasional, Berdasarkan SK Mentan No.
487/Kpts/OT.160/10/2003 Tanggal 14 Oktober 2003 BDAH Lembang Berkembang Menjadi
Tingkatan Eselon II Dengan Nama Balai Besar Diklat Agribisnis Hortikultura (BBDAH) Yang
Mempunyai Tugas Melaksanakan Diklat Keahlian Dan Pengembangan Teknik Diklat
Dibidang Agribisnis Hortikultura Dalam Rangka Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia
Pertanian.
Dalam Rangka Meningkatkan Daya Guna Dan Hasil Guna Pelaksanaan Pelatihan Di
Bidang Pertanian, Dilakukan Penataan Kembali Organisasi Dan Tata Kerja Dengan Perubahan
Nama Lembaga Menjadi Balai Besar Pelatihan Pertanian (BBPP) Lembang Berdasarkan
Peraturan Mentan No. 15/Permentan/OT.140/2/2007 Dengan Tugas Melaksanakan Dan
Mengembangkan Teknik Pelatihan Teknis, Fungsional Dan Kewirausahaan Di Bidang
Pertanian Bagi Aparatur Dan Non Aparatur Pertanian. Kini, Dengan Adanya Peraturan Baru
Menteri Pertanian Tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja BBPP Lembang, Melalui
Peraturan Menteri Pertanian No. 101/Permentan/OT.140/10/2013 Tanggal 9 Oktober 2013,
Bahwa Tugas BBPP Lembang Yaitu Melaksanakan Pelatihan Fungsional Bagi Aparatur,
Pelatihan Teknis Dan Profesi, Mengembangkan Model Dan Teknik Pelatihan Fungsional Dan
Teknis Di Bidang Pertanian Bagi Aparatur Dan Non Aparatur Pertanian.
C. Sejarah Perkembangan Penyuluhan Perikanan di Indonesia Sampai
Saat Ini

1. Perikanan Indonesia pada Tahun 1400 – 1600an


Periode 1450-1680 menjadi periode emas ekonomi pesisir, atau Reid menyebut “age of
commerce” . Puncak keemasan ekonomi nusantara merupakan hasil dari spesialisasi ekonomi
yang tinggi (misalnya produk pangan untuk pasar domestik dan beberapa hasil pertanian,
hutan dan hasil laut, serta emas untuk pasar global), jaringan perdagangan yang luas,
merebaknya monetisasi dan urbanisasi.
Perdagangan mutiara dan kerang-kerangan cukup penting, namun keterangan Zuhdi
tentang perikanan Cilacap yang hanya menggunakan alat tangkap sederhana dan nelayan
mengolah hasilnya untuk dibarter dengan wilayah pedalaman menjadi panduan kondisi lain
perikanan di era ini.

2. Perikanan Indonesia pada Tahun 1800 – pertengahan 1900an


Pada masa ini politik sangat berperan penting dalam perkembangan ekonomi di suatu
wilayah. Seperti contohnya di Jawa yang mana dibagi menjadi tiga periode yakni :
• 1600-1755. Naik turunnya kekuasaan Mataram berpengaruh dalam perubahan orientasi
politik dari pesisir menuju pedalaman atau dari perdagangan menuju pertanian.
• 1755-1830. Belanda menguasai daerah pedalaman Jawa dengan memanfaatkan momen
dimana Jawa terpecah belah karena perang, melalui kerjasama dengan para penguasa
Jawa dalam pengembangan pertanian tanaman ekspor.
• 1830-1870. Kolonialisme semakin kuat ditandai dengan tanam paksa yang diberlakukan
tepatnya pada tahun 1830
Pemerintah membangun pelabuhan untuk mendukung kegiatan ekspor dan impor
tanaman, namun cenderung mengurangi potensi alam yang ada, terlebih lagi kebijakan tanam
paksa yang diberlakukan hanya menguntungkan pihak asing.
Sejak akhhir tahun 1800an, sektor perikanan mulai berjalan bersamaan dengan sektor
perikanan yang juga dapat dilihat dari meningkatnya usaha pengolahan dan pemasaran ikan.
Bahkan kota Bagansiapiapi yang saat ini berada di Provinsi Riau, pada awal abad ke-20
menjadi salah satu pelabuhan peikanan terpenting di dunia dalam hal ekspor perikanan. Pulau
Jawa dengan ¼ dari total penduduk Asia Tenggara pada tahun 1850 telah menjadi pasar
terpenting untuk produk perikanan khususnya ikan kering (asin) dan terasi.
Pasang surut perikanan tidak terlepas dari kebijakan pemerintah kala itu terkait
ketersediaan sumberdaya, ekologi, ekonomi, dan sosial. Kebijakan monopoli garam oleh
pemerintah menghasilkan stagnasi dan penurunan peran industri perikanan yang ditandai
dengan penurunan ekspor dari 25.900 ton menjadi 20.000 ton (1904-1910). Kota Bagansiapiapi
juga telah mengalami kemunduran dalm sektor perikanan pada tahun 1912.
Pertumbuhan industri perikanan periode 1870-1930an dikatakan sebagai periode
dengan penangkapan ikan yang lebih banyak dengan teknologi yang sama, serta diikuti oleh
perubahan teknologi dan perluasan daerah penangkapan sebagai akibat modernisasi perikanan
dan semakin langkanya ikan di daerah pesisir (1890-1930an). Nelayan-nelayan Jepang yang
masuk di wilayah perairan yang ada juga berperan dalam tingginya ekspolitasi ikan di wilayah
tersebut karena mendapat keuntungan dari teknologi perikanan yang lebih maju.

3. Perikanan Indonesia pada Awal Kemerdekaan


Pergolakan politik yang terjadi pada era ini menyebabkan kebijakan ekonomi yanga
ada tidak terealisasikan secara penuh. Hingga tahun 1957 strategi pemulihan terus
dilaksanakan, namun mengalami penurunan antara tahun 1940-1965.
Jatuh bangunnya kabinet semasa pemerintahan parlementer mengakibatkan Presiden
Soekarno menganggap bahwa sistem parlementer tidak cocok dengan kepribadian bangsa
Indonesia. Pada 5 Juli 1957, presiden mengeluarkan dekrit untuk kembali pada UUD 1945.
Istilah kementerian pada masa sebelum dekrit berubah menjadi departemen dan posisi istilah
direktorat kembali menjadi jawatan. Pada 1962, terjadi penggabungan Departemen Pertanian
dan Departemen Agraria dan istilah direktorat digunakan kembali. Pada masa kabinet
presidensial paska dekrit, Direktorat Perikanan telah mengalami perkembangan menjadi
beberapa jawatan, yakni Jawatan Perikanan Darat, Perikanan Laut, Lembaga Penelitian
Perikanan Laut, Lembaga Penelitian Perikanan Darat, Lembaga Pendidikan Usaha Perikanan
dan BPU Perikani.
Sejak ekonomi terpimpin dilaksanakan pada tahun 1959 bersamaan dengan minyak
bumi serta hasil hutan, sektor perikanan menjadi harapan dalam pergerakan ekonomi nasional
seperti tertuang dalam Perencanaan Pembangunan Delapan Tahunan yang disusun oleh dewan
Perantjang Nasional (Depernas, sekarang Bappenas) pada tahun 1961. Target pendapatan dari
ekstraksi sumberdaya perikanan mencapai 500 juta dollar Amerika, namun diturunkan menjadi
12,5 juta dollar Amerika dalam sidang kabinet karena dirasa terlalu berlebihan.
Kondisi politik dan keamanan yang belum stabil mengakibatkan pemerintah merombak
kembali susunan kabinet dan terbentuklah KABINET DWIKORA pada 1964. Pada Kabinet
Dwikora ini, Departemen Pertanian mengalami dekonstruksi menjadi 5 buah departemen dan
pada kabinet ini terbentuk Departemen Perikanan Darat/Laut di bawah Kompartemen
Pertanian dan Agraria. Pembentukan Departemen Perikanan Darat/Laut merupakan respon
pemerintah atas hasil Musyawarah Nelayan I yang menghasilkan rekomendasi perlunya
departemen khusus yang menangani pemikiran dan pengurusan usaha meningkatkan
pembangunan perikanan. Melalui pembentukan Kabinet Dwikora yang Disempurnakan,
Departemen Perikanan Darat/Laut tidak lagi di bawah Kompartemen Pertanian dan Agraria
melainkan mengalami reposisi dan bernaung di bawah Kompartemen Maritim. Di bawah
Kompartemen baru, departemen tersebut mengalami perubahan nama menjadi Departemen
Perikanan dan Pengelolaan Kekayaan Laut. Keadaan ini tidak berlangsung lama, pada 1965
terjadi pemberontakan Gerakan 30 September dan Kabinet Dwikora diganti dengan Kabinet
Ampera I pada 1966.
4. Perikanan Indonesia pada Orde Baru
Pada tahun 1986, produksi perikanan meningkat dari 721 ribu ton pada tahun 1966
menjadi 1,923 ribu ton. Pada tahun 1998, Produksi ikan meningkat menjadi 3.724 ribu ton. laju
pertumbuhan produksi perikanan meningkat dari 3,5% (1968-1973) menjadi 5,3% per tahun
(1974-1978), Setelah mengalami pertumbuhan negatif dalam periode peralihan (1966-1967).
Periode berikutnya pertumbuhan produksi perikanan cenderung menurun. Produktivitas
perikanan dalam era ini walaupun tumbuh dengan laju yang berfluktuasi (khususnya kapal),
secara nomimal meningkat dari rata-rata 4,3 ton/kapal periode 1974-1978 menjadi 8,4 ton per
kapal periode 1994-1998.
Salah satu penyebab peningkatan produksi sektor ini yakni motorisasi perikanan.
Motorisasi hanya meliputi 1.4% dari total armada perikanan sebanyak 239.900 unit pada tahun
1966, kemudian meningkat menjadi 5,8% pada tahun 1975, dan mencapai 16% dari total
armada pada tahun 1980. Pada tahun 1998 armada perikanan bermotor telah mencapai 45,8%
dari total sebanyak 412.702 unit, namun data tahun ini menunjukkan hanya 21% berupa kapal
motor (“inboard motor”), dan bagian terbesar adalah perahu motor tempel dan perahu tanpa
motor. Dengan demikian, basis perikanan masih dominan di wilayah pantai.
Konflik antara perikanan skala besar dan skala kecil mewarnai sejarah perikanan laut
orde baru sebagai akibat dualisme struktur perikanan. Ketika nelayan skala kecil dengan
produktivitas rendah (1,4-6,7 ton/unit alat) semakin tersingkirkan oleh nelayan skala besar
(trawl dan purse seine) dengan produktivitas masing-masing mencapai 70,4 ton/unit dan 38
ton/unit di tahun 1980, respon nelayan skala kecil adalah melawan dengan berbagai cara
termasuk menggunakan bom molotov. Kondisi ini yang mendorong pemerintah melarang
penggunaan trawl secara bertahap melalui Keppres 39/1980 yang diikuti Inpress 11/1982 dan
SK Menteri Pertanian No. 545/Kpts/Um/8/1982 tentang penghapusan jaring trawl di seluruh
perairan Indonesia terhitung mulai 1 Januari 1983.

5. Perikanan Indonesia pada Pasca Reformasi


Struktur perikanan laut di era terakhit ini juga belum banyak bergeser dimana perikanan
skala kecil masih mendominan dengan 75 % armada perikanan adalah perahu tanpa motor dan
perohu motor tempel. Dalam periode 1999-2001, produksi perikanan tumbuh menjadi 25% tiap
tahun, sedangkan armada perikanan mulai tumbuh terbatas yaitu dibawah 1% tiap tahum .
Pertumbuhan nelayan lebih tinggi dari armada perikanan dan mendekati pertumbuhan produksi
yakni 2,1 %
Jika dibandingkan antara periode sebelumnya dengan dengan periode saat ini, (1994-
1998), produksi perikanan memiliki pertumbuhan yang rendah yakni 2,5%. Demikian juga
dengan produktivitas kapal baik secara nominal maupun laju pertumbuhan. Rata-rata
produktivitas perikanan periode 1993-1998 mencapai 8,4 ton/ kapal dan 1,7 ton/nelayan turun
menjadi 8,3 ton/kapal dan 1,5 ton/ nelayan pada periode tahun 1999-2001.
Berdasarkan Nota Keuangan dan APBN tahun 2000-2005, Pendapatan Negara Bukan
Pajak (PNBP) perikanan meningkat sangat pesat dari Rp. 52 milliar pada tahun 2000 menjadi
Rp. 450 milliar dan diperkirakan target PNBP sebesar Rp.700 milliar pada tahun 2005 juga
tidak tercapai karena belum optimalnya perjanjian bilateral dengan Cina, Filipina, dan
Thailand.

Daftar Referensi :
https://bbpadi.litbang.pertanian.go.id/index.php/tentang-bbpadi/sejarah-bbpadi Diakses pada
tanggal 16 April 2022
https://pertanian.go.id//home/?show=page&act=view&id=4 Diakses pada tanggal 16 April
2022
https://www.manggurebeekspor.com/bptp-maluku/ Diakses pada tanggal 16 April 2022
https://kelembagaan.kemnaker.go.id/home/companies/f274086f-b971-4873-9316-
df97214790e2/profiles Diakses pada tanggal 16 April 2022
Sejarah BBPP Binuang (pertanian.go.id) Diakses pada tanggal 16 April 2022
http://p2k.itbu.ac.id/ind/2-3066-2950/Kebun-Raya-Bogor_23812_itbu_kebun-raya-bogor-
itbu.html Diakses pada tanggal 16 April 2022
https://www.sejarahone.id/sejarah-perikanan-indonesia-dari-masa-ke-masa/ Diakses pada
tanggal 16 April 2022
https://duniakumu.com/sejarah-perikanan-indonesia-undang-undang-perikanan-tahun-
pertumbuhan-ekspor-ikan-industri-ekonomi/ Diakses pada tanggal 16 April 2022

Anda mungkin juga menyukai