Anda di halaman 1dari 3

Pengaruh Revolusi Hijau terhadap Perubahan Sosial Ekonomi di Pedesaan dan Perkotaan

pada Masa Orde Baru - Sebelum Revolusi Hijau, produksi padi yang merupakan bahan
pangan utama di Indonesia masih bergantung pada cara pertanian dengan mengandalkan luas
lahan dan teknologi yang sederhana. Pada periode kemudian, intensifikasi pertanian menjadi
tumpuan bagi peningkatan produksi pangan nasional. Usaha peningkatan produksi pangan di
Indonesia sudah dilakukan sejak tahun 1950-an. Pada waktu itu, pemerintah menerapkan
kebijakan Rencana Kemakmuran Kasimo. Program itu dilakukan pada kurun waktu tahun 1952
1956. Keinginan mencapai produksi pangan yang tinggi kemudian dilanjutkan. Beberapa
program baru dilaksanakan, seperti program padi sentra pada tahun 19591962 dan program
bimbingan masyarakat (bimas) pada tahun 19631965.

Program-program tersebut telah merintis penerapan prinsip-prinsip Revolusi Hijau di Indonesia


melalui pelaksanaan kegiatan Pancausaha Taniyang mencakup intensifikasi dan mekanisasi
pertanian. Berbagai usaha telah dilakukan oleh pemerintah (departemen pertanian), seperti
Bimas (Bimbingan Massal), Intensifikasi Masal (Inmas), Insus (Intensifikasi Khusus), Opsus
(Operasi Khusus). Insus dan Opsus lebih menekankan pada peningkatan partisipasi petani secara
kelompok dan aparat pembina dalam meningkatkan produksi. Insus merupakan upaya
intensifikasi kelompok guna meningkatkan potensi lahan, sedangkan opsus merupakan upaya
menjangkau lahan yang belum diintensifikasi dan mencoba memberi rangsangan dalam
peningkatan produksi.
Berbagai usaha yang telah dilakukan belum berhasil menutupi kebutuhan pangan yang besar.
Produksi beras per tahun menunjukkan kenaikan dari 5,79 juta ton pada tahun 1950 menjadi 8,84
juta ton pada tahun 1965. Namun, jumlah beras yang tersedia per jiwa masih tetap rendah
sehingga impor beras masih tetap tinggi. Ketika ekonomi nasional memburuk pada awal tahun
1960-an, persediaan beras nasional juga menurun. Akibatnya, harga beras meningkat dan
masyarakat sulit mendapatkan beras di pasar. Ketika Pelita I dimulai pada tahun 1969, sebuah
rencana peningkatan hasil tanaman pangan khususnya beras dilakukan melalui program
intensifikasi masyarakat (inmas). Program inmas tersebut untuk melanjutkan program bimbingan
masyarakat (bimas).
Pusat-pusat penelitian itu tidak hanya bergantung pada pembudidayaan jenis padi yang telah
dikembangkan oleh IRRI. Para peneliti Indonesia juga melakukan penyilangan terhadap jenis
padi lokal. Mereka berhasil menemukan jenis padi baru yang lebih berkualitas, baik dalam

penanaman, tingkat produksi, maupun rasa dengan memanfaatkan teknologi baru yang ada.
Hasilnya, beberapa jenis benih unggul yang dikenal sebagai padi IR, PB, VUTW, C4, atau Pelita
ditanam secara luas oleh para petani Indonesia sejak tahun 1970-an. Perkembangan Revolusi
Hijau di Indonesia mengalami pasang surut karena faktor alam ataupun kerusakan ekologi. Hal
ini tentu saja memengaruhi persediaan beras nasional. Pada tahun 1972, produksi beras Indonesia
terancam oleh musim kering yang panjang. Usaha peningkatan produksi beras nasional sekali
lagi terganggu karena serangan hama dengan mencakup wilayah yang sangat luas pada tahun
1977. Produksi pangan mengalami kenaikan ketika program intensifikasi khusus (insus)
dilaksanakan pada tahun 1980. Hasilnya, Indonesia mampu mencapai tingkat swasembada beras
dan berhenti mengimpor beras pada tahun 1984. Padahal, pada tahun 1977 dan 1979 Indonesia
merupakan pengimpor beras terbesar di dunia. Selain memanfaatkan jenis padi baru yang
unggul, peningkatan produksi beras di Indonesia didukung oleh penggunaan pupuk kimia,
mekanisasi pengolahan tanah, pola tanam, pengembangan teknologi pascapanen, penggunaan
bahan kimia untuk membasmi hama pengganggu, pencetakan sawah baru, dan perbaikan serta
pembangunan sarana dan prasarana irigasi. Selain kebijakan intensifikasi, Indonesia juga
melakukan pencetakan sawah baru. Sampai tahun 1985, sudah terdapat 4,23 juta hektar sawah
beririgasi terutama di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Barat dibandingkan sekitar 1,8 juta hektar
pada tahun 1964. Selama empat pelita, telah dibangun dan diperbaiki sekitar 8,3 juta hektar
sawah beririgasi.
Dengan demikian Revolusi Hijau memberikan pengaruh yang positif dalam pengadaan pangan.
Sejak tahun 1950 Indonesia masuk menjadi anggota FAO (Food and Agricultur Organization).
FAO telah banyak memberi bantuan untuk pengembangan pertanian. Keberhasilan Indonesia
dalam swasembada pangan dibuktikan dengan adanya penghargan dari FAO pada tahun 1988.
Hal ini berarti Indonesia telah dapat mengatasi masalah pangan.
Pengembangan Sektor Industri dan Dampaknya
Sesuai tahapan yang ada dalam pelita, sektor industri juga mengalami penargetan dan pencapaian
sasaran, seperti berikut ini.
1. Pelita I (1 April 196931 Maret 1974) sektor pertanian dan industri dititikberatkan pada
industri yang mendukung sektor pertanian.
2. Pelita II (1 April 197431 Maret 1979) sektor pertanian dan industri dititikberatkan pada
industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku.
3. Pelita III (1 April 197931 Maret 1984) sektor pertanian dan industri dititikberatkan pada
pengolahan bahan baku menjadi barang jadi.
4. Pelita IV (1 April 198431 Maret 1989) sektor pertanian dan industri dititikberatkan pada
industri yang menghasilkan mesin-mesin industri baik untuk industri berat maupun
ringan.
5. Pelita V (1 April 198931 Maret 1994) sektor pertanian dan industri diprogramkan untuk
dapat menghasilkan barang ekspor industri yang menyerap banyak tenaga kerja, industri
yang mampu mengolah hasil pertanian dan swasembada pangan dan industri yang dapat
menghasilkan barang-barang industri.

6. Pelita VI (1 April 199431 Maret 1998) sektor pertanian dan industri dititikberatkan pada
pembangunan industri nasional yang mengarah pada penguatan dan pendalaman struktur
industri didukung kemampuan teknologi yang makin meningkat.
Dengan penargetan dan pencapaian hasil teknologi yang dimaksudkan, Indonesia tumbuh
menjadi kawasan industri di berbagai tempat. Lahan-lahan pertanian banyak berubah menjadi
kawasan industri, baik oleh pemodal asing (PMA) maupun pemodal dalam negeri (PMDN).
Mental pejabat Orde Baru yang korup menambah parah dampak industrialisasi di Indonesia.
Banyak industri yang tidak mempunyai atau tidak lolos dalam penyampaian analisis dampak
lingkungan (AMDAL), tetapi karena mampu menyuap pejabat berwenang yang mengeluarkan
izin pendirian kawasan industri, akhirnya mampu membangun industri tersebut. Jika semua
unsur pendirian industri yang mengarah pada ramah lingkungan itu terpenuhi, tentu dampak
negatifnya dapat ditekan seminimal mungkin. Dengan demikian, kelestarian lingkungan hidup
akan dapat selalu dijaga.

Anda mungkin juga menyukai