Anda di halaman 1dari 9

1.

Masa Demokrasi Liberal


Pada kurun waktu 1950-1959 Indonesia melaksanakan sistem demokrasi liberal.
Pada kurun waktu tersebut merupakan masa berkiprahnya partai-partai politik pada
pemerintahan Indonesia. Dua partai terkuat pada masa itu adalah PNI dan Masyumi
yang silih berganti memimpin kabinet.

Hampir setiap tahun terjadi pergantian kabinet, keadaan ini menimbulkan


ketidakstabilan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan keamanan. Kabinet-
kabinet yang pernah berkuasa setelah penyerahan kedaulatan dai tangan Belanda
adalah sebagai berikut.

1. Kabinet Natsir (6 September 1950 sampai 21 Maret 1951).

2. Kabinet Sukiman (27 April 1951 sampai 2 April 1952).

3. Kabinet Wilopo (3 April 1952 sampai 3 Juni 1953).

4. Kabinet Ali Sastroamidjoyo I (31 Juli 1953 sampai 12 Agustus 1955).

5. Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 sampai 3 Maret 1956).

6. Kabinet Ali Sastroamidjoyo II (20 Maret 1956 sampai 4 Maret 1957).

7. Kabinet Djuanda (9 April 1957 sampai 5 Juli 1959).

2. Pemilihan Umum Tahun 1955


Pemilihan umum merupakan salah satu prasyarat agar sistem pemerintahan yang
demokratis dapat berfungsi. Dalam program Kabinet Burhanuddin Harahap,
masalah pemilihan umum menjadi masalah khusus yang mendapat perhatian
serius.
Akhirnya pada tanggal 29 September 1955 pemilihan umum dapat terlaksana. Lebih
dari 39 juta rakyat Indonesia memberikan hak suaranya, Hasil dari pemilihan umum
pertama itu dimenangkan oleh empat partai yaitu PNI, Masyumi, NU, dan PKI.
Sementara partai-partai yang lainnya mendapatkan suara yang jauh lebih kecil dari
keempat partai tersebut.

Kemudian pada tanggal 15 Desember 1955, di selenggarakan pemilihan umum


untuk memilih anggota Konstituante. Suasana pemilihan Konstituante ini lebih
tenang dibandingkan ketika pemilihan anggota DPR.

Dengan keberhasilan pelaksanaan pemilihan umum tahun 1955, maka tugas


Kabinet Burhanuddin Harahap dianggap selesai, namun keadaan politik dalam
negeri sesudah pemilihan umum tetap belum stabil.

3. Masa Demokrasi Liberal


a. Dekret Presiden dan Tindak Lanjutnya

1. Latar belakang Dekret Presiden 5 Juli 1959

Kehidupan kenegaraan pada masa Demokrasi Liberal tidak pernah stabil.


Sementara itu kehidupan ekonomi masih sangat menyedihkan. Selain itu
Konstituante yang dibentuk oleh pemilu tahun 1955 yang mendapat tugas
menyusun UUD baru untuk menggantikan UUDS 1950 mengalami jalan buntu.

Melihat gejala yang demikian, maka pada tanggal 22 April 1959 di depan sidang
Konstituante, presiden Soekarno menyarankan untuk kembali kepada UUD 1945.

2. Dekret Presiden 5 Juli 1959


Pada tanggal 3 Juni 1959 Konstituante mengadakan reses dan muncul desa-desu
bahwa anggota konstituante tidak akan menghadiri sidang. Situasi politik menjadi
tidak menentu, ditambah lagi munculnya beberapa pemberontakan.

Untuk tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, Presiden Soekarno


mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959 yang isinya sebagai berikut.

1. Membubarkan Konstituante.

2. Berlakunya kembali UUD 1945.

3. Tidak berlakunya UUDS 1950.

4. Membentuk MPRS dan DPAS.

Dengan berlakunya kembali UUD 1945 maka kekuasaan kepala negara dan
pemerintah di tangan presiden.

3. Tindak Lanjut Dekret Presiden

Dengan dikeluarkannya Dekret Presiden 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno maka
berakhirlah masa Demokrasi Liberal di Indonesia dan digantikan dengan demokrasi
terpimpin.

Pada mulanya demokrasi terpimpin diartikan demokrasi yang dipimpin oleh


kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan (menurut UUD 1945). "Dalam
permusyawaratan/perwakilan" berarti di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR).

Akan tetapi oleh presiden Soekarno pengertian terpimpin ditafsirkan terpimpin oleh
presiden sendiri, untuk itu kemudian muncul atribut "Pemimpin Besar Revolusi".
Dengan kata lain, demokrasi terpimpin menjadi demokrasi yang dipimpin oleh
Presiden Soekarno selaku Pemimpin Besar Revolusi.
Sebagai tindak lanjut dari Dekret Presiden 5 Juli 1959, presiden membentuk
lembaga-lembaga negara seperti MPRS, DPAS, DPR-RG, Kabinet Kerja, dan Front
Nasional.

b. Politik Luar Negeri Masa Demokrasi Terpimpin

Pada masa Demokrasi Terpimpin, politik luar negeri Indonesia tidak spenuhnya
diabadikan untuk kepentingan dalam negeri (kepentingan nasional). Sebagian dari
pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif, untuk kepentingan politik 'mercusuar'
(mengejar kemegahan di tengah-tengah pergaulan antarbangsa). Hal ini jelas
merupakan penyimpangan dari politik luar negeri yang bebas aktif.

Beberapa tindakan pemerintahan yang mengarah ke politik mercusuar, antara lain.

1. Membagi kekuatan politik didunia menjadi dua yaitu Old Established Forces
(Oldefo) dan New Emerging Forces (Nefo).

2. Pemerintah menyelenggarakan pesta olahraga negara-negara Nefo, yang


dikenal dengan nama Game of The Emerging Forces (Ganefo) di Jakarta pada
tanggal 10-12 November 1963. Ganefo merupakan pesta olahraga akbar di
Indonesia yang diikuti oleh negara-negara Nefo.

3. Memasuki tahun 1965, Indonesia membentuk poros Jakarta-Peking dan


poros Jakarta-Phnompenh-Hanoi-Peking-Pyongyang yang menyeret Indonesia
semakin dekat kepada negara-negara komunis.

c. konfrontasi dengan Malaysia

Pada masa Demokrasi Terpimpin pemerintah menjalankan politik konfortansi


dengan Malaysia. Hal ini di sebabkan pemerintah tidak setuju dengan pembentukan
negara federasi Malaysia yang dianggap proyek neokolonisme Inggris yang
membahayakan Indonesia dan negara-negara Blok Nefo.

Dalam rangka konfrontasi itu, presiden Soekarno mengumumkan Dwi Komando


Rakyat (Dwikorja) pada tanggal 2 Mei 1964 yang isinya sebagai berikut.

1. Perhebat ketahanan revolusi Indonesia.

2. Bantulah perjuangan rakyat di Malaysia, Singapura, Sabah, dan Serawak


untuk menggagalkan negara boneka Nekolim, Malaysia.

Ad v e r t i s e r

Pelaksanaan Dwikora itu diawali dengan pembentukan Komando Siaga yang


dipimpin oleh Marsekal Omar Dani. Komando Siaga ini bertugas untuk mengirimkan
sukarelawan ke Malaysia Timur dan Barat.

Hal ini menunjukkan adanya campur tangan Indonesia pada masalah dalam negeri
Malaysia. Bila berpegangan pada politik luar negeri yang bebas aktif, seharusnya
Indonesia turut aktif menjaga perdamaian dunia bukan justru melakukan konflik.

d. Indonesia Keluar dari Keanggotaan PBB

Ketika konfrontasi Indonesia-Malaysia masih berlangsung, Malaysia dicalonkan


menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Padahal ketika itu Indonesia
sedang berkonfrontasi dengan Malaysia, Indonesia jelas tidak menyetujui
pencalonan itu.

Hal ini disampaikan dalam pidatonya pada tanggal 31 Desember 1964, Pernyataan
presiden ini disertai dengan ancaman akan keluar dari keanggotaan PBB
seandainya PBB menerima Malaysia menjadi anggota tidak tetap Dewan
Keamanan.
Pada kenyataannya Malaysia terpilih menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan
PBB. Dalam menyikapi kenyataan tersebut Presiden Soekarno menyatakan
Indonesia keluar dari keanggotaan PBB. Pernyataan itu diumumkan oleh presiden
Soekarno di Jakarta pada tanggal 7 Januari 1965.

e. Perjuangan Pengembalian Irian Barat

pada masa Demokrasi Terpimpin masalah pengembalian Irian Barat ini kembali
ditegaskan dengan perjuangan, perjuangan untuk mengembalikan Irian Barat
ditempuh melalui jalur diplomasi, konfrontasi politik dan ekonomi, serta konfrontasi
militer.

1. Perjuangan melalui Jalur Diplomasi

Upaya diplomasi untuk merebut kembali Irian Barat dilakukan baik secara bilateral,
multilateral maupun internasional. Diplomasi secara bilateral dilakukan langsung
dengan pihak Belanda mulai tahun 1950 semasa Kabinet Natsir.

Usaha ini dilakukan oleh kabinet-kabinet berikutnya, akan tetapi usaha ini
mengalami kegagalan sebagai akibat dari ambisi Belanda untuk tetap menguasai
wilayah Irian Barat.

Setelah diplomasi secara bilateral gagal, maka Kabinet Ali Sastroamijoyo I


menempuh diplomasi multilateral, yakni memperjuangkan masalah Irian Barat di
forum solidaritas Asia-Afrika seperti konferensi Asia-Afrika. Disamping itu, Kabinet
Ali Sastroamijoyo juga memperjuangkan melalui diplomasi internasional, yakni
forum PBB.

2. Perjuangan melalui Jalur Konfrontasi Politik dan Ekonomi


Oleh karena melalui jalan diplomasi tidak ada hasilnya, pemerintah Indonesia
menggunakan jalan lain, yakni mengambil sikap keras dan tegas terhadap Belanda,
yaitu sebagai berikut.

1. Pada tanggal 13 Februari 1956 Indonesia membatalkan ikatan Uni Indonesia-


Belanda.

2. Pada tanggal 3 Mei 1956 Indonesia membatalkan persetujuan KMB.

3. Pada tanggal 17 Agustus 1956 membentuk Provinsi Irian Barat dengan ibu
kota Soa Siu, dan Sultan Tidore, Zainal Abidin Syah diangkat sebagai
gubernurnya.

4. Pada tanggal 195 dilakukan aksi-aksi pembebasan Irian Barat di seluruh


tanah air. Pada tanggal 18 November 1957 di Jakarta diadakan rapat umum
pembebasan Irian Barat.

5. Pada tanggal 17 Agustus 1960 pemerintah RI secara sepihak memutuskan


hubungan diplomatik dengan Pemerintah Kerajaan Belanda.

3. Perjuangan Melalui Jalur Konfrontasi Militer

Dalam rangka perjuangan pembebasan Irian Barat, Presiden Soekarno di depan


rapat raksasa di Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1961 mengeluarkan suatu
komando yang dikenal dengan Tri Komando Rakyat (Trikora) yang berisi sebagai
berikut.

1. Gagalkan pembentukan "Negara Boneka Papua" buatan Kolonial Belanda.

2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia.

3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan dan


kesatuan tanah air dan bangsa.
Langkah pertama untuk melaksanakan Trikora adalah membentuk suatu komando
operasi, yang diberi nama Komando Mandala Pembebasan Irian Barat yang
dibentuk pada tanggal 2 Januari 1962. Sebagai Panglima Komando Mandala adalah
Mayor Jenderal Soeharto.

Sebelum Komando Mandala bekerja aktif, unsur militer yang tergabung dalam Motor
Torpedo Boat (MTB), telah melakukan penyusupan ke Irian Barat. Akan tetapi mata-
mata Belanda mengetahuinya, sehingga pada tanggal 15 Januari 1962 terjadi
pertempuran di Laut Aru yang dikenal dengan "Peristiwa Aru".

Dalam pertempuran yang tidak seimbang itu, kapal MTB beserta Macan Tutul
beserta pasukannya terbakar dan tenggelam. Komodor Yos Sudarso, Deputi KSAL
dan Kapten Wiratno juga gugur bersama tenggelamnya MTB Macan Tutul.

4. Akhir Perjuangan Pengembalian Irian Barat

Diplomat Amerika Serikat Ellsworth Bunker mengajukan usul perdamaian yang


dituangkan dalam Bunker Proposal (Rencana Bunker) yang isinya:

1. Meminta pihak Belanda untuk menyerahkan kedaulatan Irian Barat kepada RI


dengan perantara PBB.

2. Sesudah sekian tahun dibawah pemerintah RI, rakyat Irian Barat diberi
kesempatan untuk menentukan pendapatnya.

Rencana Bunker ini diterima baik oleh kedua belah pihak. Akhirnya pada tanggal 15
Agustus 1962, Indonesia dan Belanda sepakat mengadakan perundingan di Markas
Besar PBB, New York.
Hasilnya dikenal dengan Persetujuan New York, yang isinya antara lain sebagai
berikut.

1. Belanda akan menyerahkan Irian Barat kepada United Nations Temporary


Executive Authority (UNTEA) atau Penyelenggara Pemerintah Sementara PBB
paling lambat 1 Oktober 1962.

2. Bendera Indonesia mulai dikibarkan di Irian Barat tanggal 31 Desember 1962


di samping bendera PBB.

3. Pemerintah RI secara resmi akan menerima pemerintahan atas Irian Barat


dari UNETA paling lambat tanggal 1 Mei 1963.

4. Pemerintah RI wajib menyelenggarakan penentuan pendapatan rakyat


(perpera) paling lambat akhir tahun 1969.

Anda mungkin juga menyukai