Melihat gejala yang demikian, maka pada tanggal 22 April 1959 di depan sidang
Konstituante, presiden Soekarno menyarankan untuk kembali kepada UUD 1945.
1. Membubarkan Konstituante.
Dengan berlakunya kembali UUD 1945 maka kekuasaan kepala negara dan
pemerintah di tangan presiden.
Dengan dikeluarkannya Dekret Presiden 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno maka
berakhirlah masa Demokrasi Liberal di Indonesia dan digantikan dengan demokrasi
terpimpin.
Akan tetapi oleh presiden Soekarno pengertian terpimpin ditafsirkan terpimpin oleh
presiden sendiri, untuk itu kemudian muncul atribut "Pemimpin Besar Revolusi".
Dengan kata lain, demokrasi terpimpin menjadi demokrasi yang dipimpin oleh
Presiden Soekarno selaku Pemimpin Besar Revolusi.
Sebagai tindak lanjut dari Dekret Presiden 5 Juli 1959, presiden membentuk
lembaga-lembaga negara seperti MPRS, DPAS, DPR-RG, Kabinet Kerja, dan Front
Nasional.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, politik luar negeri Indonesia tidak spenuhnya
diabadikan untuk kepentingan dalam negeri (kepentingan nasional). Sebagian dari
pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif, untuk kepentingan politik 'mercusuar'
(mengejar kemegahan di tengah-tengah pergaulan antarbangsa). Hal ini jelas
merupakan penyimpangan dari politik luar negeri yang bebas aktif.
1. Membagi kekuatan politik didunia menjadi dua yaitu Old Established Forces
(Oldefo) dan New Emerging Forces (Nefo).
Ad v e r t i s e r
Hal ini menunjukkan adanya campur tangan Indonesia pada masalah dalam negeri
Malaysia. Bila berpegangan pada politik luar negeri yang bebas aktif, seharusnya
Indonesia turut aktif menjaga perdamaian dunia bukan justru melakukan konflik.
Hal ini disampaikan dalam pidatonya pada tanggal 31 Desember 1964, Pernyataan
presiden ini disertai dengan ancaman akan keluar dari keanggotaan PBB
seandainya PBB menerima Malaysia menjadi anggota tidak tetap Dewan
Keamanan.
Pada kenyataannya Malaysia terpilih menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan
PBB. Dalam menyikapi kenyataan tersebut Presiden Soekarno menyatakan
Indonesia keluar dari keanggotaan PBB. Pernyataan itu diumumkan oleh presiden
Soekarno di Jakarta pada tanggal 7 Januari 1965.
pada masa Demokrasi Terpimpin masalah pengembalian Irian Barat ini kembali
ditegaskan dengan perjuangan, perjuangan untuk mengembalikan Irian Barat
ditempuh melalui jalur diplomasi, konfrontasi politik dan ekonomi, serta konfrontasi
militer.
Upaya diplomasi untuk merebut kembali Irian Barat dilakukan baik secara bilateral,
multilateral maupun internasional. Diplomasi secara bilateral dilakukan langsung
dengan pihak Belanda mulai tahun 1950 semasa Kabinet Natsir.
Usaha ini dilakukan oleh kabinet-kabinet berikutnya, akan tetapi usaha ini
mengalami kegagalan sebagai akibat dari ambisi Belanda untuk tetap menguasai
wilayah Irian Barat.
3. Pada tanggal 17 Agustus 1956 membentuk Provinsi Irian Barat dengan ibu
kota Soa Siu, dan Sultan Tidore, Zainal Abidin Syah diangkat sebagai
gubernurnya.
Sebelum Komando Mandala bekerja aktif, unsur militer yang tergabung dalam Motor
Torpedo Boat (MTB), telah melakukan penyusupan ke Irian Barat. Akan tetapi mata-
mata Belanda mengetahuinya, sehingga pada tanggal 15 Januari 1962 terjadi
pertempuran di Laut Aru yang dikenal dengan "Peristiwa Aru".
Dalam pertempuran yang tidak seimbang itu, kapal MTB beserta Macan Tutul
beserta pasukannya terbakar dan tenggelam. Komodor Yos Sudarso, Deputi KSAL
dan Kapten Wiratno juga gugur bersama tenggelamnya MTB Macan Tutul.
2. Sesudah sekian tahun dibawah pemerintah RI, rakyat Irian Barat diberi
kesempatan untuk menentukan pendapatnya.
Rencana Bunker ini diterima baik oleh kedua belah pihak. Akhirnya pada tanggal 15
Agustus 1962, Indonesia dan Belanda sepakat mengadakan perundingan di Markas
Besar PBB, New York.
Hasilnya dikenal dengan Persetujuan New York, yang isinya antara lain sebagai
berikut.