Penyuluhan pertanian di Indonesia telah dimulai sejak tanggal 17-5-1817, ketika Dr.
CGL Reinwardt, mendirikan Kebun Raya Bogor dan memperkenalkan 50 jenis tanaman
baru, antara lain: kelapa sawit, ketela pohon, dll. Pada tahun 1831, dilaksanakan Sistem
Tanam Paksa (cultuurstelsel) yang memaksa pribumi menanam nila/tarum, kopi, gula dan
tembakau. Selanjutnya Direktur ke III Kebun Raya Bogor, Dr. R.H.C.C. Scheffer, tahun
1876, mendirikan Kebun Tanaman Dagang (Cultuurtuin) seluas 75 ha (bagian Kebun Raya
Bogor) di Desa Cikeumeuh, dan menyebarkan ke seluruh pelosok Indonesia tanaman
perkebunan dan tanaman makanan, seperti karet, serat (roselia, rami, dll), berbagai jenis
padi, kacang tanah, kedelai, jagung, ubi jalar dan ketela pohon.
Tahun 1877, Scheffer mendirikan Sekolah Pertanian di Kebun Raya. Tahun 1884
Sekolah Pertanian di Kebun Raya ditutup, karena kekurangan dana, kurang perhatian dan
kurang dukungan politis. Tahun 1903, Direktur ke V Kebun Raya Bogor, Dr. Melchior Treub,
mendirikan Sekolah Pertanian, yang selanjutnya berkembang menjadi Sekolah Pertanian
Menengah Atas (SPMA), lulusannya banyak menjadi penyuluh pertanian, pegawai
kehutanan dan sinder perkebunan.
Tahun 1908, diangkat lima orang penasehat pertanian (Landbouw Adviseur) dan
beberapa pembantunya (Asisten Landbouw Adviseur) sebagai pegawai Departemen
Pertanian, yang diperbantukan kepada Pangreh Praja setempat. Tugasnya memberi
nasehat pertanian dan menyelenggarakan pendidikan pertanian kepada petani. Mereka
merupakan perintis pendidikan pertanian, yang berkembang menjadi penyuluh pertanian
yang tidak berdasarkan atas perintah-perintah.
Tahun 1921, LDV dilepas dari Pangreh Praja dan dijadikan Dinas Daerah Provinsi,
karena hasil nyata yang dicapainya. Sejak itu petugas-petugas Dinas Penyuluhan berdiri
sendiri dan bertanggung jawab kepada Departemen Pertanian, disamping tetap bertindak
sebagai penasehat Pangreh Praja. LDV menangani penyuluhan tanaman pangan dan
perkebunan, dan ikut dalam bidang perkreditan.
Pada periode 1921-1942, Dinas Penyuluhan terus berkembang sampai datang tentera
Jepang. Penyuluh pribuminya berasal dari lulusan Meddlebare Landbouw
School/MLS (SPMA) Bogor, Cultuur School/CS (SPMP/Sekolah Pertanian Menengah
Pertama) Sukabumi dan Malang.
Penyuluhan pada masa pendudukan Jepang dapat dikatakan tidak ada. Para petani
dipaksa untuk mengusahakan/memproduksi bahan makanan dan bahan strategis
lainnya. Son Sidoing (Mantri Pertanian Kecamatan) dan Nogyo Kumiai (Koperasi Pertanian
di setiap kecamatan) ditugaskan memperlancar usaha produksi dan mengumpulkan
hasilnya bagi keperluan angkatan perang Jepang.