Anda di halaman 1dari 40

BAHAN KULIAH REKAYASA PERTANIAN

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

REKAYASA
MIKROBIOREAKTOR
TANAMAN
MENGGUNAKAN KOMPOS DAN
MIKROORGANISME LOKAL
oleh
Dr.Ir.Mubiar Purwasasmita
Ketua Umum Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda
Staf Pengajar Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri ITB
Kelompok Keahlian Perancangan dan Pengembangan Proses Teknik Kimia
E-mail : mubiar@che.itb.ac.id

DPKLTS
DEWAN PEMERHATI KEHUTANAN DAN LINGKUNGAN TATAR SUNDA
SEKRETARIAT: JL. R.E. MARTADINATA NO. 189A BANDUNG 40132
TELP/ FAX: 022-7234652, e-mail: dpklts@yahoo.com dan dpklts@gmail.com

PROGRAM STUDI TEKNIK KIMA, PROGRAM STUDI REKAYASA PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI, SEKOLAH ILMU DAN TEKNOLOGI HAYATI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG, JALAN GANESHA NO.10 BANDUNG
BANDUNG, 25 JANUARI 2009

1
BAHAN KULIAH REKAYASA PERTANIAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

REKAYASA
REAKTORMIKRO HAYATI
TANAMAN
MENGGUNAKAN KOMPOS DAN
MIKROORGANISME LOKAL
oleh
Dr.Ir.Mubiar Purwasasmita
Ketua Umum Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda
Staf Pengajar Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri ITB
Kelompok Keahlian Perancangan dan Pengembangan Proses Teknik Kimia
E-mail : mubiar@che.itb.ac.id

DPKLTS
DEWAN PEMERHATI KEHUTANAN DAN LINGKUNGAN TATAR SUNDA
SEKRETARIAT: JL. R.E. MARTADINATA NO. 189A BANDUNG 40132
TELP/ FAX: 022-7234652, e-mail: dpklts@yahoo.com dan dpklts@gmail.com

PROGRAM STUDI TEKNIK KIMA, PROGRAM STUDI REKAYASA PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI, SEKOLAH ILMU DAN TEKNOLOGI HAYATI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG, JALAN GANESHA NO.10 BANDUNG
BANDUNG, 25 JANUARI 2009

2
Kata Pengantar
Hipotesa menuju keterbatasan sumberdaya karena pertambahan penduduk tidak sepenuhnya
benar dan cenderung menyesatkan. Keberlanjutan keberadaan umat manusia di dunia
memerlukan bertambahnya kehidupan tanaman dan binatang. Sehingga hipotesa yang
seharusnya dirujuk adalah menuju terjaminnya keseimbangan antara pertambahan penduduk
dengan pertambahan kehidupan lainnya yaitu tanaman dan binatang. Bertambahnya kehidupan
yang pada pokoknya berupa tanaman bukanlah memerlukan luasan lahan namun lebih
memerlukan pertambahan ruang-hidup untuk tumbuh, begerak, serta fasilitasi pasokan air dan
udara sebagai fasilitasi utama kehidupannya. Dengan demikian dapat diidentifikasi perlu adanya
dua siklus utama yang akan berinteraksi kuat dalam suatu ekosistem yaitu siklus-ruang dan
siklus-kehidupan yang seharusnya menjadi sasaran utama dari semua upaya keilmuan.
Pada olahlahan pertanian keterkaitan kedua siklus ini direalisasikan dengan penggunaan bahan
kompos sebagai generator siklus ruang dan penggunaan mikroorganisme lokal sebagai pemicu
siklus kehidupan dalam ruang yang disediakan tadi. Penggunaan kompos pada lahan tanah
merupakan input ruang skala mikro dalam jumlah, bentuk, dan ukuran, yang bertambah dan
beraneka, berubah dari waktu ke waktu secara berkelanjutan, yang disebut sebagai siklus ruang.
Sementara itu jumlah dan keanekaragaman hayati dalam ruang kompos dipicu oleh semaian
mikroorganisme lokal yang kemudian berkembang menjadi kehidupan yang pada gilirannya
akan merupakan siklus nutrisi bagi tanaman. Struktur ruang intensif dan efektif yang dibangun
dengan menggunakan kompos memungkinkan sekaligus fasilitasi air, udara, dan bahan organik,
dengan perkembangan sistem perakaran yang sistemik, dan sistem kehidupan anekaragam biota
tanah yang dinamik, yang secara bersamaan membangun mikrobioreaktor tanaman yang
menyelenggarakan intensifikasi proses dan mekanisme production on demand antara
tanaman dengan bioreaktornya, menjadikannya sebuah ekosistem yang utuh dengan tingkat
kemandirian yang sangat tinggi, layaknya sebuah pabrik mikro. Rujukan hipotesa baru ini
memberi peluang meningkatkan produksi biomassa secara berkelanjutan dalam jumlah dan
kualitas yang terkendali sehingga mampu mencetuskan berbagai kegiatan ramah lingkungan
seperti pertanian, peternakan, pengembangan wilayah, perindustrian bahkan perekonomian
dengan paradigma baru. Dengan demikian tiga prinsip keterkaitan untuk keberlanjutan
peradaban manusia dapat dipenuhi, yaitu keterkaitan ekosistem (alami), keterkaitan
keanekaragaman (hayati), dan keterkaitan kesejahteraan (insani), seperti yang telah diajarkan
secara utuh dalam kearifan budaya lokal Nusantara : siliasih, siliasah, dan siliasuh, menuju
siliwangi.
Bahasan tentang penggunaan kompos pada dasarnya adalah merancang dan membuat
mikrobioreaktor yang sepenuhnya terbuat secara hayati.

Kata Kunci: Hipotesa Baru Keilmuan, Siklus-Ruang, Siklus-Kehidupan, Mikroorganisme Lokal


(MOL), Kompos, Ekosistem Bioreaktor-Tanaman, Intensifikasi Proses (PI), Production on
demand (POD), Keterkaitan Alami Ekosistem, Keterkaitan Hayati Keanekaragaman, Keterkaitan
Insani Kesejahteraan, Model Budaya Nusantara, Siliasih, Siliasah, Siliasuh, Siliwangi.

3
1. Tani Tidak Lagi Ramah Lingkungan dan Tidak Berkelanjutn

Pada mulanya semua kegiatan pertanian di Indonesia dianggap sangat ramah lingkungan. Upaya
pertanian bangsa Indonesia sangat memperhatikan keseimbangan ekosistem, memelihara
keanekaragaman hayati dan berbagi kesempatan kerja diantara sesama. Secara akademik dikenal
sebagai upaya ecofarming. Namun pada akhir abad ke-20 hampir tidak ada lagi upaya pertanian
yang ramah lingkungan karena secara teknis lebih merujuk kegiatan pertanian dari luar negeri
yang beriklim bukan tropika, bukan kepulauan, bukan sumber keanekaragaman, semata-mata
karena pertimbangan ekonomi yang ekspansif. Menggunakan irigasi buatan, pupuk dan bahan
kimia buatan, bahkan bibit tanaman buatan, membuat ketergantungan pertanian kepada minyak
dan gas bumi yang sangat tinggi hingga 60% dan menimbulkan dampak negatif yang serius.
Seiring dengan berjalannya waktu semua upaya buatan tersebut menghancurkan siklus ruang dan
siklus kehidupan dalam tanah, menurunkan keanekaragaman hayati, menghambat peningkatan
produktivitas selama waktu yang panjang, yang berakhir pada hilangnya semua peluang ekonomi
pertanian Indonesia dan runtuhnya kesejahteraan para petani. Upaya tani di sawah sudah tidak
dapat diandalkan, kegagalan panen datang setiap saat, terutama karena serangan hama dan
penyimpangan iklim. Pembakaran jerami menjadi gas karbondioksida CO2, perendaman jerami
menjadi gas metana CH4, pembasahan pupuk menjadi gas dinitrogenoksida N2O, dan
penggunaan bahan kimia senyawa halokarbon untuk mencegah hama, semuanya adalah
pelepasan gas-gas rumah kaca yang jumlahnya tidak kurang dari 3,6 milyar ton setara CO2
pertahun, penyebab pemanasan bumi yang berujung pada perusakan lahan dan hilangnya daya
tahan tanaman.

Lebih lanjut antisipasi perkembangan jaman tahun 2000-2050 peradaban manusia akan
menghadapi pertambahan penduduk dunia hingga 1,5 kalinya, yang berarti kebutuhan
sumberdaya akan naik 10,8 kali dan beban lingkungan untuk pengembangan produk serta
layanannya akan naik 32,4 kali. Pertambahan kebutuhan ini diyakini para ahli tidak akan mampu
dipenuhi hanya dengan ekstrapolasi kemampuan teknologi yang sudah diterapkan selama ini,
sehingga diperlukan suatu upaya lompatan teknologi yang nyata agar peradaban manusia ini

4
tidak tergulung oleh penimbunan masalah yang berlarut-larut, serta tingkat krisis dan frekwensi
krisis yang semakin tinggi.

2. Koreksi Hipotesa Keilmuan

Anggapan keilmuan selama ini yang melandaskan diri pada keterbatasan sumberdaya alam
akibat pertambahan penduduk perlu dipertanyakan. Bila hipotesa ini benar berarti Gusti Allah
Yang Maha Kuasa tidak adil, karena hanya memberikan yang lebih baik kepada generasi
terdahulu dari pada kepada generasi terkemudian, padahal keyakinan agama mengajarkan
Kemahaadilan Allah melampaui batas-batas tersebut. Berarti adanya hipotesa keilmuan yang
lebih benar harus menjadi keyakinan agar dapat diperoleh jawabannya. Caranya adalah dengan
kembali bertanya : Apalagi yang bisa bertambah di muka bumi ini selain manusia, karena
memang jumlah tanah, air dan udara adalah tetap, tidak bertambah. Ternyata yang bisa
bertambah hanyalah tanaman dan binatang, sementara keberlanjutan kehidupan manusia justru
memerlukan pertambahan kedua jenis kehidupan tersebut, yaitu tanaman dan binatang. Maka
hipotesa keilmuan yang seharusnya diterapkan adalah upaya menjamin terjadinya keseimbangan
antara pertambahan penduduk dengan pertambahan tanaman dan binatang.
Upaya konvensional untuk menambah tanaman dan binatang adalah dengan menambah luasan
lahan. Upaya ini keliru karena akan terjebak pada anggapan lama tentang keterbatasan
sumberdaya alam, yaitu terbatasnya luas lahan. Pertambahan kehidupan akan memerlukan
pertambahan ruang-hidup untuk tumbuh, begerak, menyimpan pasokan air dan udara sebagai
sumber kehidupan, bukan sekedar pertambahan luasan lahan. Fenomena rekayasa pembentukan
ruang-hidup ini secara alami diajarkan oleh tanaman, yang tumbuh, berdahan, bercabang,
beranting, dan berdaun pada dasarnya adalah menciptakan ruang-hidup untuk memberi
kesempatan hidup bagi banyak mahluk hidup lainnya. Sehingga dengan ruang hidup yang
dibangun oleh tanaman tersebut baik ulat, burung maupun semut bisa hadir secara bersamaan,
sementara anak manusia bisa bermain di bawah naungan keteduhan pohon tersebut.
Lebih lanjut ketika tanaman
tumbuh, tanaman tersebut juga
membentuk ruang-ruang kecil di
dalam dirinya berupa kapiler-
kapiler yang biasa digunakan
sebagai fasilitas ruang untuk
aliran fluida. Oleh karena itu
pada saat tanaman mati,
bekasnya tidak boleh dibakar
namun harus dikompos lalu
dikubur dalam tanah untuk
memberikan banyak ruang kecil
dalam dirinya bagi kehidupan
mikro di dalam tanah. Ruang-
ruang kecil ini dibentuk dan
disimpan dalam tanaman
sepanjang hidupnya tanaman.
Semakin besar ruang kecil yang
disediakan akan lebih banyak

5
kehidupan kecil yang akan difasilitasinya. Memang kehidupan kecil ini tidak akan ada kalau
ruang hidupnya tidak disediakan, dan kalau kehidupan berskala kecil ini tidak ada maka
kerhidupan berskala besar pun akan tidak ada pula.
Dengan demikian dapat diidentifikasi adanya dua siklus utama yang berinteraksi kuat di alam ini
yaitu siklus-ruang dan siklus-kehidupan, yang seharusnya kedua siklus utama ini menjadi
sasaran utama semua upaya keilmuan. Rujukan hipotesa baru ini akan mencetuskan berbagai
kegiatan ramah lingkungan, seperti pertanian, peternakan, perindustrian, pengembangan wilayah,
bahkan perekonomian dengan paradigma baru.

3. Keberadaan Bioreaktor Tanaman


Keberadaan tanaman dengan bioreaktornya dapat
ditunjukkan pada pengamatan berikut ini. Pada hari ke-40
setelah tanam di pot dengan isian kompos serta tanah
dalam jumlah dan komposisi yang sama dan ukuran pot
yang sama, rumpun padi dari cara tanam bibit satu
beranak 43 dan dari cara tanam tiga beranak 45. Pada saat
tersebut padi yang ditanam satu daunnya masih berwarna
hijau dan yang ditanam tiga menguning menunjukkan
tanaman tersebut kekurangan nutrisi. Kejadian ini sering
dijelaskan bahwa tanaman yang ditanam banyak akan
berkompetisi dalam mengambil nutrisi dari tanah, padahal
pada kenyataan ini baik jumlah anakan maupun ukuran dan komposisi tanah yang digunakan
dalam pot adalah sama, berarti penjelasan tersebut kurang seksama. Kejadian tersebut
justrumenunjukkan bahwa tanaman hanya mengambil nutrisi dari bioreaktornya, bukan langsung
dari tanah. Rumpun dari cara tanam satu hanya membuat satu bioreaktor sehingga terbentuk
secara sempurna, dan cara tanam tiga justru akan membuat 3bioreaktor karena masing-masin
bibit tanaman akan membuat bioreaktornya sendiri, sehingga akan terbentuk 3 bioreaktor yang
kurang sempurna karena keterbatasan ruang, yang pada akhirnya akan berimplikasi
berkurangnya ketersediaan nutrisi bagi tanaman.
Lebih lanjut dapat ditunjukkan pula bahwa dengan keseksamaan pemenuhan ketiga rujukan
penting di atas terjadi peningkatan produksi sampai 3 atau 4 kali secara langsung tanpa perlu
waktu penyesuaian seperti pada penerapan tani organik pada umumnya. Sering para pengamat
pertanian menganggap apa yang terjadi dalam SRI-Indonesia sama dengan cara tani organik
biasa, padahal hanya bisa dijelaskan dengan mekanisme intensifikasi proses. Jadi cara tani
organik belum tentu SRI-Indonesia, tetapi SRI-Indonesia pasti tani organik. Kalau peningkatan
produksi yang dicapai SRI-Indonesia tidak mencapai 3-4 kali lipat dapat dipastikan terjadi
ketidak seksamaan dalam pemenuhan ketiga rujukan teknis yang diminta sehingga landasan
mekanisme intensifikasi prosesnya belum tercapai.

4. Interaksi Ekosistem Tanaman dengan Bioreaktornya

Pengendalian sistem semi-tertutup antara tanaman dengan bioreaktornya dalam ruang mikro
bekas kapiler tanaman di dalam tanah dilakukan oleh tanaman itu sendiri dengan menggunakan
mekanisme eksudasi. Eksudat yang secara fisik berupa bahan kimia padat atau cairan adalah
komunikator antara tanaman dengan sistem biota dalam tanah sehingga terjadi kesesuaian antara

6
bahan yang diperlukan oleh tanaman dan bahan yang diproduksi oleh biota tanah. Siklus
kehidupan dalam tanah cenderung menghasilkan jenis nutrisi tertentu sesuai dengan
interpretasinya atas informasi yang dibawa oleh komunikator yang berasal dari tanaman secara
berkesesuaian dan berkesepadanan. Oleh karena itu penggunaan bahan kimia buatan terhadap
tanaman baik sebagai pupuk atau pestisida harus dihilangkan, terutama untuk menghindarkan
terjadinya pengikatan kimiawi dan menghilangkan fungsi komunikasi dari bahan komunikator
dalam eksudat sehingga informasi dari tanaman tidak dapat sampai kepada kehidupan di dalam
tanah, yang akhirnya baik tanaman maupun kehidupan dalam tanah hidup sendiri-sendiri tanpa
sinergi dan memutus siklus kehidupan yang merupakan siklus nutrisinya.
Berbagai hasil riset yang telah dilakukan dalam ilmu yang berkaitan banyak yang sangat
mendukung gagasan ke arah penerapan Intensifikasi Proses (IP) dan produksi yang
berkesesuaian dan berkesepadanan (POD), sekalipun riset tersebut tidak dirancang khusus untuk
maksud tersebut, antara lain mengenai:
 Aktivitas mikrobiologi dalam tanah yang pada kenyataannnya sangat berlebih dan beraneka.
 Biological nitrogen fixation terjadi di akar dan ruang akar, dalam campuran tanah secara
aerob dan anaerob.
 Rhizobia dalam ruang akar menaikkan kadar dan yield protein lewat proses katalitik biologis
(auksin), tidak hanya melalui biological nitrogen fixation.
 Protozoa memangsa bakteri dan membiarkan exudat N di atas akar, karena mahluk ini hanya
memerlukan rasio C/N lebih kecil dari bakteri.
 Simbiose dengan jamur mycorhiza menaikkan akses nutrisi ke akar, karena mycellium jamur
mampu masuk ke ruang sangat kecil yang akar bulu tanaman tidak bisa lakukan.
 Eksudasi akar yang berlebih menaikkan rhizodeposition.
 Eksudasi dari sistem perakaran sangat kompleks.
 Penggunaan pestisida dan bahan kimia memblokir komunikasi antara tanaman dengan
mikroba dalam tanah karena saling berikatan, sehingga reseptor spesifik dalam mikroba
gagal berkoneksi.
 Pelarutan unsur tanah naik dengan pembasahan dan pengeringan tanah secara berulang.
 dan lain sebagainya, yang dengan uraian di atas menjadi lebih mudah diidentifikasi
peranannya

5. Status Teknologi Intensifikasi Proses

Penerapan intensifikasi proses pada budidaya tanaman memiliki status teknologi yang jauh lebih
maju dibandingkan dengan teknologi budidaya dengan berbagai cara pemupukan.
Teknologi pemupukan menggunakan pupuk kimia buatan secara intensif yang mendorong
terjadinya revolusi hijau dan telah mampu meningkatkan produktivitas tanaman padi secara
berarti hingga mantap pada harga tertentu untuk beberapa saat, namun kemudian menurun
karena akumulasi dampak negatif yang dibawanya terhadap kualitas tanah secara menyeluruh.
Teknologi pemupukan yang dilakukan secara intensif ini juga dilakukan bersamaan dengan
praktek penanaman padi secara terendam, sehingga secara lingkungan memberikan dampak
negatif yang sangat besar karena memproduksi aneka bahan gas rumah kaca seperti gas CH4 dari
perendaman jerami, gas CO2 dari pembakaran jerami, dan gas N2O dari perendaman pupuk
kimia nitrogen. Secara sosial ekonomi semua beban biaya untuk pemupukan, perendaman dan
pencemaran ini ditanggung sepenuhnya oleh para petani. Status teknologi pemupukan seperti ini

7
diberi simbol masing-masing bintang satu baik untuk aspek produktivitas, lingkungan, maupun
sosialnya, lalu akan dipakai sebagai basis pembandingan terhadap status teknologi yang lainnya.
Lebih lanjut karena harga bahan baku dan energi untuk pembuatan pupuk semakin mahal maka
dilakukan upaya penghematan dengan pilihan teknologi pemupukan berimbang. Status teknologi
ini satu tahap lebih baik daripada teknologi pemupukan sebelumnya, terutama dalam mengurangi
dampak pencemaran lingkungan karena penggunaan pupuk yang berlebihan. Dampak perbaikan
produktivitas dan pengurangan beban sosialnya tidak terlalu signifikan. Status teknologi ini
diberi simbol bintang dua untuk ekologi, namun masing-masing tetap bintang satu untuk
produktivitas maupun sosialnya.
Lebih lanjut disadari perlu adanya penambahan bahan organik ke dalam tanah, dan ternyata
penerapan teknologi organik ini memiliki status teknologi yang lebih baik karena berdampak
cukup signifikan terutama untuk aspek lingkungan dan aspek sosialnya. Masyarakat tani mulai
memanfaatkan limbah organik seperti kotoran hewan dan sejenisnya untuk memenuhi keperluan
bahan organik di kebunnya. Sementara dari aspek peningkatan produktivitas kurang signifikan
bahkan seringkali terjadi penurunan produktivitas pada tahap awal penerapannya, dan sering
dikeluhkan tidak terjadi pengisian bulir padi seperti yang diharapkan karena keterbatasan ruang
dalam tanah yang membatasi pasokan udara bagi tanaman. Status teknologi ini tetap bintang satu
untuk tingkat produktivitasnya atau kadang-kadang bisa terjadi kenaikan hingga dua kalinya,
sementara untuk aspek lingkungan bintang tiga, dan untuk aspek sosial pun naik menjadi bintang
dua.

Dengan demikian status teknologi intensifikasi proses yang penulis kemukakan secara gamblang
dalam tulisan ini berada pada tingkat teknologi yang jauh lebih baik bahkan nyaris lebih
sempurna dari pada sekedar teknologi organik apalagi bila dibandingkan terhadap teknologi
pemupukan sebelumnya. Dari sisi peningkatan produktivitasnya teknologi ini bisa diberi simbol
bintang dua bahkan bintang tiga, sementara untuk aspek lingkungan dan sosialnya dapat
dianggap mendapatkan bintang tiga pula. Dalam penerapannya teknologi intensifikasi proses
memerlukan perubahan polafikir yang sangat mendasar seperti telah diuraikan, dan hal ini
mampu membuka peluang peningkatan produktivitas yang sangat signifikan baik dari aspek
lingkungan maupun sosial, namun yang paling utama adalah dari kenyataan peningkatan
produktivitasnya yang bisa naik secara berkelipatan dari produktivitas teknologi sebelumnya.
Teknologi intensifikasi proses alami ini sangat handal, sangat bisa diandalkan. Dari penjelasan

8
di atas kembali dapat dikatakan bahwa teknologi intensifikasi proses pasti merupakan teknologi
organik, tetapi teknologi organik belum tentu merupakan teknologi intensifikasi proses.

6. Siklus Ruang Menggunakan Kompos

Sesungguhnya semua kehidupan memerlukan upaya rekayasa ruang-hidup untuk menjamin


keberadaan air dan udara sebagai pasokan bagi kehidupannya. Sehingga penulis menilai temuan
rekayasa yang sangat mendasar bagi peradaban manusia adalah penggunaan kompos sebagai
generator siklus ruang
pada olahlahan pertanian.
Penggunaan kompos pada
tanah merupakan input
ruang berskala mikro
bekas pipa kapiler
tanaman dalam jumlah
yang banyak dengan
bentuk dan ukuran yang
beraneka sesuai dengan jenis biomassa asalnya dan berubah dari waktu ke waktu secara
berkelanjutan membangun siklus ruang.
Gumpalan kompos yang nampaknya seperti tanah sesungguhnya memiliki banyak ruang mikro
yang berbentuk seperti bekas potongan-potongan pipa, yang sama sekali tidak akan dimiliki oleh
butiran dan agregat tanah.
Struktur ruang intensif ini memungkinkan sekaligus fasilitasi air, udara, perkembangan sistem
perakaran tanaman, dan sistem kehidupan berbagai biota tanah dalam ruang tersebut secara
bersamaan dan berketerkaitan, menyelenggarakan intensifikasi proses dan menciptakan
mekanisme production on demand untuk tanaman. Rekayasa ruang-hidup dalam tanah hanya

bisa dilakukan dengan menggunakan bahan kompos yang merupakan bahan organik dan
mengandung anekaragam unsur lain. Ruang antar-pori, antar-akar, antar-agregat dalam tanah
akan sangat diperkaya oleh rekayasa ruang menggunakan bahan kompos yang mengandung
banyak bekas pipa-pipa kapiler tanaman, bagaikan membangun ruang pabrik mikro dengan
segala fungsi dan peralatannya.
Membandingkan hasil uji daya
kapiler, uji pengikatan air dan
uji aerasi untuk masing-masing
bahan tanah, pasir dan kompos
menujukkan bahwa
karakteristik ruang mikro yang
dimiliki kompos sama sekali
tidak dimiliki oleh butir tanah maupun pasir. Naiknya permukaan air yang cepat pada kolom
tanah dan pasir pada uji daya kapiler menunjukkan tidak ada lagi ruang tersedia untuk udara di

9
dalam tanah atau pasir, sementara muka air pada kompos naik sangat lambat karena air harus
naik melalui potongan pipa kapiler bekas tanaman yang berukuran jauh lebih kecil, sementara
itu tetap menyisakan ruang-ruang yang lebih besar untuk fasilitasi udara. Pada uji pengikatan air
ditunjukkan ruang-ruang antara butir tanah dan pasir tidak mampu mengikat air, sementara
potongan pipa bekas kapiler tanaman di kompos bisa mengikat air secara efektif, bahkan air yang
terikat jumlahnya lebih besar dari berat komposnya itu sendiri. Pada uji aerasi dapat ditunjukkan
bahwa aliran udara tidak dapat menembus kolom tanah maupun pasir sekalipun tingginya tidak
lebih dari 10 cm, sementara dengan mudah udara dapat menembus kolom kompos yang
ditunjukkan dengan laju mengecilnya ukuran balon udara yang terhubung di atasnya.
Ruang mikro bekas pipa
kapiler tanaman dalam
tanah dapat dipandang
sebagai mikrobioreaktor
karena menyediakan ruang
bagi terjadinya berbagai
peristiwa fisika, reaksi
kimia maupun biokimia oleh mikroba yang hidup di dalamnya. Letak ruang skala mikro ukuran
pipa kapiler bekas tanaman ini dapat ditunjukkan pada daerah microchannels, dibandingkan
dengan ruang skala nano untuk material teknologi informatik dan komputer pada umumnya di
daerah micropores. Aliran pada microprocessor komputer adalah elektron sehingga tidak
memerlukan ruang, tetapi dalam bioreaktor mikro tanaman alirannya berupa gas dan cairan
sehingga memerlukan ruang.
Ada beberapa parameter yang bisa menunjukkan unjuk kerja ruang mikro bioreaktor ini, antara
lain berfungsi sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya berbagai jenis mikroba, juga sebagai
fasilitasi terjadinya pergerakan dan peristiwa perpindahan air dan udara antara ruang mikro di
dalam tanah dengan ruang makro di
permukaan tanah, serta kemampuan untuk
menahan dan mengikat air.
Ruang mikro dari bekas pipa kapiler

tanaman ini memperpendek jarak perpindahan massa atau panas, dan memberikan laju
perpindahan lebih cepat. Menurut rumus Einstein dan Smoluchovski jarak perpindahan menjadi
x2 = 2 D t (1,1) dengan D sebagai difusivitas udara 10-5–10-6 m2/s, atau difusivitas air 10-9-10-10
m2/s. Ruang berukuran sentimeter akan memberikan sruktur fluida 100 mikrometer hingga 1

10
milimeter, dan memberikan waktu difusi udara dan air lebih lambat, yaitu pada selang waktu 1
milidetik hingga 1 detik. Ruang mikro dengan ukuran panjang 100 mikrometer hingga 1 mm
akan memberikan struktur fluida 1mikrometer, dan waktu pencampuran lebih singkat, untuk gas
100 mikrodetik dan untuk air 1 mikrodetik. Fenomena ini menyebabkan high yield dan
selectivity dalam bioreaktor mikro, yang akan berdampak langsung pada tanaman menjadi
peningkatan produktivitas secara berkelipatan dan memberikan kualitas produk yang lebih baik
sesuai dengan ukuran ruang yang difungsikan dan kemampuan genetika bawaan yang dimiliki
tanaman.
Perkembangan intensifikasi proses dalam teknik kimia yang menjadi sumber gagasan dalam
bahasan tulisan ini, memberikan arah pengembangan peralatan di pabrik kimia berskala makro
bergeser dari bentuk bejana dan kolom yang berskala meso menjadi bentuk microreactor atau
struktur ruang intensif seperti membran dan unggun-tetap berbutiran kecil. Skala ruang ini
tentunya setara dengan skala ruang yang bisa diberikan oleh kompos, oleh karena itu pada
dasarnya kompos lebih merupakan reaktormikro alami.
Lebih lanjut dalam bidang teknik kimia perkembangan dalam tampilan dan ukuran pabriknya
pun akan sangat mencengangkan. Kalau dalam kurun waktu dari abad ke-16 sampai abad ke-20
pabrik hanya berganti material konstruksinya saja dari kayu menjadi dari logam, maka dengan
intensifikasi proses hanya dalam hitungan tahun, pada awal abad ke-21 ini, tampilan pabrik besar
seperti sebuah pabrik pupuk dapat berubah menjadi hanya sekelompok pabrik berukuran mikro,
seperti kebun dengan aneka ragam tanamannya sebagai pabrikmikro alami.

7. Penyediaan Kompos

Menyediakan sumber biomassa menjadi kompos sebagai generator siklus-ruang merupakan


langkah awal paling penting untuk
meningkatkan kegiatan pertanian,
baik kualitas maupun
produktivitasnya, untuk menjamin
ketersediaan pasokan pangan dan
energi bagi umat manusia.
Teknik pengomposan, saung
kompos dan pembudayaan
kembali pembuatan dan
penggunaan kompos secara
mandiri pada lokasi yang
terdistribusi adalah langkah
strategis yang harus digarap
dengan baik. Saung kompos disediakan pada skala kebun atau lingkungan wilayah. Produksi
biomassa berlebih di kebun dipanen lalu diproses di saung kompos dengan penyesuaian ukuran
dan penambahan decomposer.
Pada skala rumah untuk tani di halaman penyediaan kompos cukup menggunakan kotak
kompos menggunakan bahan batako yang sudah tersedia atau kotak karton bekas seperti teknik
Takakura. Pemenuhan kebutuhan akan kompos ini secara sekaligus akan memecahkan masalah
sampah rumah, lingkungan atau kota hanya dengan mengolahnya sendiri untuk keperluan sendiri
tani di pot, di halaman, maupun di kebun. Pada skala wilayah perkebunan atau hutan, jumlah
biomassa yang akan diolah menjadi lebih besar lagi sehingga saung kompos yang terdistribusi

11
bisa digantikan oleh sebuah pabrik kompos untuk luas wilayah tertentu. Peralatan besar untuk
pencacahan biomassa serta untuk penyimpanan dan penyampaiannya perlu dirancang.
Limbah pengerjaan pembukaan hutan seharusnya tidak dibakar yang dapat mengakibatkan
pencemaran udara, melainkan cukup dikomposkan seperti terlihat pada gambar di atas ini. Bahan
organik kompos yang terbuat dari limbah kayu tentunya akan memiliki kualitas dan kestabilan
ruang mikro yang sangat baik, sehingga penggunaannya pada lahan perkebunan atau kegiatan
pertanian lainnya akan sangat bermanfaat.
Lebih lanjut limbah produksi kelapa sawit yang berupa tandan buah kosong juga sebaiknya
dikomposkan menggunakan mikroorganisme lokal dan cacing, sehingga sebuah pabrik kompos
berkapasitas 150 ton perhari bisa dibangun untuk maksud tersebut.
Demikian juga upaya memperbanyak dan memperkaya jenis dan ukuran tanaman di hutan dan

perkebunan harus dijadikan rujukan utama dalam pengelolaannya, karena upaya ini akan
memperkuat kehadiran fungsi infrastruktur alamnya sebagai generator siklus ruang dan siklus
biomassa pada skala ekosistem diatas maupun dibawahnya, yang pada akhirnya akan mampu
meningkatkan produktivitas dan kualitas produk yang dihasilkannya. Dengan beragam fungsinya
sebagai generator siklus udara, siklus air, siklus biomassa dan siklus ruang, hutan dan semak
belukar benar-benar merupakan infrastruktur alam yang sangat menentukan dan harus menjadi
prioritas penataan dalam pengembangan sistem pertanian dan pembudayaannya.
Dalam kerangka fikir kesinambungan, teknologi intensifikasi proses yang dikemukakan penulis
untuk diterapkan pada bidang pertanian dapat memberikan rujukan prosedur kerja, menyangkut
massalah teknis dan tampilan fisik rekayasa ruang mikro bioreaktor tanaman, dan untuk
aplikasinya secara lebih menyeluruh akan memerlukan penyesuaian aktivitas semua sektor
pertanian yang ada, yang tentunya harus sejalan dengan upaya pengembangan kelembagaan
upaya tani yang semestinya. Juga memerlukan rujukan upaya inisiatif pengembangan yang
harus sejalan dengan rencana pengembangan pembudayaan upaya tani yang semestinya juga. Hal
ini merupakan arah pengembangan pasca-industri yang menggali kembali nilai dasar pertanian
untuk peningkatan, penguatan dan penyempurnaan aktivitas perindustrian. Tentunya hal ini
akan menjadi peluang besar bagi peran Indonesia untuk maju secara menyeluruh dengan konsep
alam cerdas dan kearifan budayanya.

8. Siklus Kehidupan Menggunakan Mikroorgamisme Lokal

Jumlah dan keanekaragaman hayati yang hidup dalam ruang mikro bekas tanaman di dalam
tanah berfungsi sebagai para pekerja pabrik penyedia nutrisi sesuai kebutuhan bagi tanaman atau

12
mahluk lainnya. Pertumbuhan dan perkembangan biota tanah ini dipicu oleh semaian
mikroorganisme lokal (MOL) yang beraneka ragam yang diaplikasikan pada ruang kompos
dalam tanah yang telah tersedia. Sistem kehidupan di dalam ruang kompos dalam tanah ini
kemudian berkembang menjadi suatu siklus-kehidupan yang pada gilirannya merupakan siklus
nutrisi yang dapat diandalkan bagi tanaman, menjadikan tanaman dengan mikrobioreaktornya
sebagai ekosistem terkecil pada tingkat kemandirian yang sangat tinggi.
Secara rinci peran dari berbagai
mikroorganisme dan biota tanah dapat
dijelaskan secara singkat sebagai
berikut : Bakteri merupakan pabrik
kimia yang mengubah bahan menjadi
nutrisi, berupa cairan dalam tubuhnya.
Jamur mengubah bahan asal kayu
menjadi senyawa yang dapat dicerna
oleh bakteri. Sementara virus dapat
menumbur, membunuh dan memaksa
bakteri melepaskan cairan badannya
sebagai nutrisi. Amuba memangsa
bakteri dan jamur. Nematoda bertugas
memburu amuba, menyerang akar dan memakan jamur. Antropoda memakan semua diatas.
Cacing memakan tanah dan daun jatuh, membangun infrastruktur saluran mikro, mengangkut
tanah dari bawah ke permukaan, dan
menimbun bahan organik. Siklus
kehidupan di dalam tanah ini juga
terkait dengan binatang ternak
berskala meso diatas lahan seperti
kelinci, domba dan sapi yang akan
membantu dan memperkaya
penyediaan kompos dari bahan
hijauan hasil pemanenan biomassa
yang berlebih.
Berbasis berat bahan kering, neraca
kehidupan pada satu meter persegi
model lahan pertanian tanpa
petaninya, akan melibatkan kira-kira 50 gram bakteri, 100 gram jamur, 5 gram amuba, 0,2
gram nematoda, 0,5 gram antropoda, 1,20 gram cacing; 50 gram ternak; dan virus (?gram).
Nampaknya keberadaan virus dalam ruang mikro di dalam tanah merupakan keniscayaan alami
juga. Adanya virus dalam tanah memfasilitasi probabilitas gerak yang terkendali di dalam ruang
mikro untuk memenuhi lonjakan keperluan nutrisi bagi tanaman pada saat-saat tertentu.
Keberadaan ruang mikro bekas tanaman dalam tanah merupakan cara pengendalian
pertumbuhan virus itu sendiri sehinga tidak tersebar meluas dan beradaptasi ke dalam ruang
berskala lebih tinggi seperti ruang meso, makro dan mega.
Keterkaitan siklus kehidupan dengan budidaya tanaman dapat dikemukakan sebagai berikut :
Mula pertama tanaman akan mendapatkan nutrisi yang bersumber dari keping biji bekal
makanan yang dibawanya sendiri sampai tumbuh perakaran awalnya, lalu sumber nutrisi
berikutnya adalah dari bahan organik yang telah tersedia di dalam tanah untuk meneruskan

13
pertumbuhan akar maupun anakannya, tetapi untuk pertumbuhan berikutnya seperti untuk
membesarkan tanaman beserta anakannya, berbunga dan mengisi buahnya, akan sangat
bergantung kepada berfungsinya bioreaktor yang dibangun oleh kompos dan MOL dengan
pasokan air dan udara yang tersedia secara leluasa, dan dikendalikan oleh tanaman itu sendiri
secara interaktif dengah anekaragam kehidupan dalam bioreaktor, sehingga didapatkan
mekanisme production on demand sesuai dengan potensi genetik atau rancangan dasar yang
dimiliki tanaman untuk membangun fasilitasi kehidupan dan kesinambungannya.

9. Penyediaan Mikroorganisme Lokal (MOL)

Para petani meracik larutan MOL berdasarkan pengalaman atau pemahaman yang diambil dari
pelatihan yang diberikan oleh para inisiator SRI. Berbagai larutan MOL dibuat oleh para petani
dari berbagai bahan yang tersedia setempat dan petani mampu membanding-bandingkan
efektivitas dan kinerja aplikasinya untuk maksud yang diinginkannya.
Larutan MOL adalah larutan hasil fermentasi yang berbahan dasar berasal dari berbagai
sumberdaya yang tersedia setempat. Larutan MOL mengandung unsur hara mikro dan makro,
juga mengandung mikroba yang berpotensi sebagai perombak bahan organik, perangsang
pertumbuhan, dan sebagai agen pengendali penyakit maupun hama tanaman. Sehingga MOL
digunakan baik sebagai dekomposer, pupuk hayati, pestisida organik terutama sebagai fungisida,
dan yang utama adalah sebagai semaian mikrorganisme pemicu siklus kehidupan.
Berbagai larutan mikroorganisme lokal yang dibuat dan diaplikasikan para petani antara lain :
 MOL buah-buahan untuk membantu malai (bulir padi) agar lebih berisi.
 MOL daun cebreng untuk penyubur daun tanaman, disemprotkan pada padi umur 30 hari.
 MOL bonggol pisang untuk dekomposer saat pembuatan kompos, dan disemprotkan di
sawah pada usia padi 10,20,30 dan 40 hari.
 MOL sayuran untuk merangsang tumbuhnya malai (bulir padi), disemprotkan pada usia padi
60 hari.
 MOL rebung untuk merangsang pertumbuhan tanaman, disemprotkan pada usia padi 15 hari.
 MOL limbah dapur untuk memperbaiki struktur fisik, biologi, dan kimia tanah, disemprotkan
pada saat olah tanah.
 MOL protein untuk nutrisi tambahan pada tanaman, disemprotkan pada usia 15 hari.
 MOL nimbi dan surawung untuk mencegah penyakit tanaman.
 dll.
Kabelan dkk. di Pusat Penelitian Bioteknologi
ITB melakukan analisis atas sampel larutan
MOL berenuk dan larutan MOL sampah
dapur. Ditunjukkan larutan MOL berenuk
mengandung bacillus sp, sacharomyces sp,
azospirillum sp, dan azotobacter. MOL
sampah dapur mengandung pseudomonas,
aspergilus sp, dan lactobacillus sp.
Sementara Hersanti dkk. di Fakultas Pertanian
Unpad mengisolasi bakteri dari berbagai
larutan MOL. Bakteri yang berhasil diisolasi
ada 19 isolat terdiri atas 3 isolat dari MOL
daun cebreng, 1 isolat dari MOL pucuk waluh,

14
7 isolat dari MOL berenuk, 1 isolat dari MOL rebung, 3 isolat dari MOL bonggol pisang, 4 isolat
dari MOL pisang. Karakterisik isolat bakteri dilakukan dengan mengamati morfologi koloni,
yaitu warna, bentuk, permukaan, dan
tepi koloni. Morfologi koloni 19 isolat
bakteri diperoleh pada media nutrien
agar. Lalu dilakukan uji antagonisme
bakteri hasil isolasi terhadap
Rhyzoctonia oryzae, diketahui ada 6
isolat bakteri yang mempunyai
kemampuan sebagai agen antagonis
untuk jamur Rhyzoctonia oryzae, 1
isolat dari MOL Berenuk, 1 isolat dari
MOL bonggol pisang, 3 isolat dari
MOL daun Cebreng, 1 isolat dari mol pucuk waluh. Uji antagonisme bakteri 19 isolat hasil dari
isolasi MOL terhadap Cercospora oryzae menunjukkan 4 isolat bakteri memiliki kemampuan
sebagai agen antagonis untuk menekan jamur Cercospora oryzae., 2 dari MOL berenuk, 1 dari
MOL daun cebreng, 1 dari MOL pisang. Uji antagonism bakteri hasil isolasi terhadap daya
kecambah padi menunjukkan ada 7 yang menurunkan daya kecambah benih padi, ada 4 isolat
yang tidak berpengaruh terhadap perkecambahan padi, dan ada 5 isolat bakteri yang mampu
meningkatkan daya kecambah padi. Kemampuan kelima isolate bakteri dalam merangsang daya
kecambah padi diikuti pula dengan kemampuan meningkatkan pertumbuhan semai padi, diduga
kelima isolat ini mempunyai kemampuan sebagai Plant Growth Promoting Rizhobacteria
(PGPR) atau mempunyai kemampuan untuk merangsang pertumbuhan tanaman. Hasil uji
kemampuan isolat bakteri dari MOL ini menunjukkan bahwa : Isolat bakteri asal MOL bonggol
pisang mempunyai kemampuan sebagai agen antagonis untuk Rhizoctonia oryzae. Isolat bakteri
asal MOL daun cebreng mempunyai kemampuan sebagai agen antagonis untuk Rhizoctonia
oryzae , Cercospora oryzae , dan meningkatkan daya kecambah dan pertumbuhan semai padi.
Isolat bakteri asal MOL berenuk mempunyai kemampuan meningkatkan daya kecambah dan
pertumbuhan semai padi. Isolat bakteri asal MOL rebung mempunyai kemampuan meningkatkan
daya kecambah dan pertumbuhan semai padi.
Terlihat dari tabel hasil analisis unsur hara bahwa MOL bukanlah pupuk cair. Pemberiannya
tidak dimaksudkan untuk memenuhi sepenuhnya unsur hara yang diperlukan tanaman,
melainkan untuk menyemai pemicu terbangunnya siklus kehidupan dalam bioreaktor tanaman
yang pada akhirnya akan menjadi siklus nutrisi untuk memenuhi kebutuhan tanaman sesuai
dengan interaksi kuat yang dibangun diantaranya. Pupuk cair didasarkan pada upaya seleksi
untuk mendapatkan mikroorganisme tertentu saja yang pada akhirnya dapat saja berdampak
negatif pada keanekaragaman mikroorganisme yang ada dalam bioreaktor tanaman. Sementara
MOL didasarkan pada upaya kolaborasi dan adaptasi beragam mikroorganisme, sehingga
menjamin ketersediaan lengkap nutrisi yang diperlukan tanaman baik nutrisi makro maupun
nutrisi mikronya.

10. Hutan dan Semak Belukar sebagai Infrastruktur Alam

Sejalan dengan peran kompos sebagai generator siklus ruang mikro dalam tanah maka peran
tanaman besar adalah sebagai pemicu siklus ruang pada skala makro untuk menegakkan fungsi
konservasi baik di hutan maupun di kebun. Keberadaan tanaman besar yang bisa mencapai

15
ketinggian dan diameter naungan tanaman hingga 10 meter, bercabang banyak dan berdaun lebat
dengan ukuran perlembar daun hingga 11-12 cm, maka tanaman besar akan mampu berfungsi
sebagai tajuk puncak atau kanopi utama tutupan hutan, yang memungkinkan fasilitasi siklus
kehidupan yang lebih banyak dan beranekaragam. Dalam kerangka fikir kesinambungan yang
seutuhnya, aplikasi aneka ragam tanaman seperti ini akan membangun ekosistem skala makro
sebagai infrastruktur alam untuk menjamin keberlanjutan skala ekosistem berikutnya yang lebih
kecil. Terdapat dua jenis infrastruktur yaitu infrastruktur buatan seperti jalan, jembatan,
bangunan, bendungan, dst, dan infrastruktur alam seperti hutan dan semakbelukar, danau,
sungai, lembah, puncak-puncak bukit, dst. Hal pertama dan utama yang harus direalisir adalah
infrastruktur alam, karena infrastruktur buatan tidak akan pernah bisa menggantikannya
melainkan hanya untuk memperkuat dan menambah manfaat dari peran infrastruktur alam itu.

Dalam kegiatan pertanian untuk pencapaian semua sasarannya peran infrastruktur alam sangat
menentukan. Semua masukan primer sistem semitertutup pertanian baik pada skala tanaman,
skala kebun, maupun skala global sumbernya hanya dari infrastruktur alam berupa hutan dan
semakbelukar.
Terdapat tiga peran hutan dan semakbelukar yang tidak tergantikan, pertama sebagai generator
siklus oksigen atau udara, kedua sebagai generator siklus air, dan ketiga sebagai generator siklus
karbon atau biomassa yang akan menjadi sumber bahan kompos dalam jumlah yang senantiasa
tersedia dan dalam ketersebaran yang diperlukan, sebagai pembangkit siklus ruang dan siklus
kehidupan untuk kegiatan pertanian. Hutan dan semak belukar, terutama di puncak-puncak bukit
dan gunung merupakan generator siklus air yang sangat handal. Tiga perempat dari hujan yang
jatuh di hutan dan semakbelukar akan kembali diuapkan sebagai awan yang menggantung di
atasnya, sementara seperempatnya lagi secara berkesinambungan akan diatur sebagai pasokan air
yang keluar sepanjang tahun dari mata air. Jadi gudang air yang sebenarnya adalah di awan di
puncak bukit dan gunung itu, yang hanya bisa dikendalikan dengan menurunkan temperatur
muka bumi dan memanfaatkan pengaruh topografi bumi terhadap aliran awan rendah tersebut.
Satu-satunya upaya untuk dapat melakukan itu adalah dengan menjaga hutan dan semak belukar
dalam ruang yang memadai di puncak bukit dan gunung, lembah dan daerah-daerah antarmuka
dimana awan dapat ditimbulkan.

16
Kenyataan pentingnya infrastruktur alam ini sudah sangat difahami dan disadari sejak lama,
yang kemudian dibudayakan sebagai kearifan alam Nusantara Sunda dengan konsep Leuweung.
Leuweung pada dasarnya adalah keadaan penutupan lahan dengan anekaragam tumbuhan dan
kehidupan berbagai skala dengan tingkat produktivitas biomassa yang maksimal. Kearifan lokal
Sunda membagi leuweung berdasarkan ketinggian relatifnya, 1/3 bagian paling atas dianggap
sebagai bagian hak alam agar fenomena alam yang sangat penting seperti regulasi awan dapat
berlangsung secara alami tanpa intervensi manusia, bagian ini disebut leuweung tutupan atau
leuweung larangan. Sepertiga bagian yang
berada di tengah disebut leuweung titipan,
bagian ini dianggap sebagai hak kehidupan
tempat dimana tanaman dan binatang secara
bebas bisa berkembang dengan intervensi
manusia yang minimal. Sementara itu hak buat
manusia ada pada 1/3 bagian paling bawah,
yang disebut leuweung baladaheun, yang dapat
dikembangkan secara budidaya. Kualitas
tutupan pada ketiga bagian ini tentunya dapat
dibedakan secara jelas sesuai dengan sifat alam
dan sifat kehidupannya.
Demikianlah hal ini merupakan potensi alam cerdas Indonesia yang merupakan amanah dan
berkah dari Allah Yang Maha Kuasa bagi bangsa Indonesia.

11. Multiskala Ekosistem Pertanian

Dalam sistem semitertutup kriteria yang diukur bukan lagi nilai tambah melainkan nilai manfaat
yang didasarkan pada pertukaran aliran di dalam sistem, yang secara termodinamika merujuk
neraca exergetik.
Pada ekosistem skala awal (NA), yang mencakup interaksi antara tanaman dengan bioreaktornya,
maksimasi keluaran berupa produk panen didasarkan pada maksimasi masukan berupa make-up
kompos yang ditambahkan. Hal ini sesuai dengan pemahaman di lapangan, karena kegiatan
pertanian tidak pernah menghasilkan panen NPK tetapi memanen CxHyOz berupa pati atau gula
atau selulosa dan sebangsanya. Berarti kalau ada input yang diperlukan maka seharusnya adalah
penambahan xC, yH, dan zO juga, yaitu berupa penambahan xC sebagai bahan kompos yang
juga berfungsi sebagai generator siklus ruang yang memberikan pasokan energi dan massa secara
setempat pada jumlah dan
kecepatan yang bersesuaian
dengan kebutuhan tanaman.
Penambahan yH diberikan
berupa air H2O yang tersimpan
dalam ruang mikro bekas
kapiler tanaman bahan
kompos, dan penambahan zO
berasal dari udara yang bisa
masuk ke dalam ruang mikro
di dalam kompos. Sementara kebutuhan NPK dan nutrisi mikro dipenuhi sepenuhnya oleh siklus
kehidupan yang beranekaragam yang tumbuh dan berkembang dalam siklus ruang yang

17
diciptakan oleh kompos dan MOL, yang merupakan sistem semitertutup antara tanaman dengan
bioreaktornya.
Pada ekosistem skala paling besar (Nz), yang mencakup bumi dan cahaya matahari yang masuk
ke dalam atmosfir bumi, juga merupakan sebuah sistem semitertutup. Dengan masukan cahaya
matahari ini biomassa berupa hutan dan semak-belukar dapat tumbuh dan berkembang sebagai
sumber bahan kompos untuk menciptakan siklus ruang di dalam tanah, yang pada gilirannya
memfasilitasi tumbuh kembangnya siklus kehidupan yang dapat mengimbangi kebutuhan nutrisi
atau energi yang diperlukan manusia dan pertambahannya. Terbukanya peluang upaya untuk
penyeimbangan kebutuhan karena pertambahan penduduk ini adalah akibat dimungkinkannya
pertambahan siklus kehidupan yang diawali oleh kemampuan pertambahan siklus ruang dalam
tanah dengan menggunakan kompos yang bersumber dari pertambahan produksi biomassa di
muka bumi ini, yang juga dibangun oleh generator siklus ruang pada skala meso atau makro,
tanaman dan kebun, pepohonan dan semak belukar yang beragam ukuran, bentuk dan
ketinggiannya dalam biosfir di atas permukaan bumi.
Dengan intensifikasi proses setiap tanaman dapat dianggap sebagai suatu pabrik mikro, sehingga
defisit pada neraca umpannya harus dapat dipenuhi oleh produksi pabrik mikro yang lain artinya
tanaman lain. Dengan demikian budidaya tanaman harus dilakukan secara multikultur, berarti
rancangan suatu kebun sebagai skala ekositem yang kedua pada dasarnya adalah rancangan
suatu industrial estate. Pada skala ekosistem yang ketiga, misalnya wilayah pertanian, maka
kehadiran infrastruktur alam seperti hutan dan semak belukar menjadi sangat diperlukan untuk
menjamin terpeliharanya siklus air, udara dan biomassa bagi peningkatan produktivitas kebun-
kebun di dalamnya. Skala ekosistem diatasnya adalah ekosistem skala Nusantara yang mencakup
ribuan pulau dan aliran fluida udara, uap air dan arus laut antar benua. Ekosistem skala ini
seharusnya memiliki peluang untuk bertahan pada kondisi alam paling kritis berskala nasional,
misalnya kekeringan karena El
Nino. Pengembangan lahan
petanian di wilayah Merauke
Irian Jaya pada dasarnya bukan
untuk sekedar menambah luas
lahan garapan, melainkan lebih
merupakan upaya memanfaatkan
infrastruktur alam Merauke yang
masih dapat dirancang untuk
menangkap uap air di udara yang
tersedot kearah timur Indonesia
pada saat terjadinya El Nino.
Artinya Indonesia masih akan
memiliki lahan pertanian yang
produktif pada saat Indonesia
dilanda gelombang kekeringan
yang meluas sekalipun.
Skala ekosistem diatasnya lagi
adalah ekosistem global.
Keberadaan ekosistem global ini telah mengalami degradasi yang telah sangat berlarut-larut,
yaitu berupa penyimpangan iklim dan penyimpangan pasar yang serius, sehingga hanya akan
menjadi ancaman yang nyata bagi ekosistem nasional Indonesia dan ekosistem skala dibawahnya

18
dengan tekanan monopoli dan monokulturnya. Justru penataan kembali ekosistem Nusantara,
wilayah pertanian, kebun-kebun, bahkan budidaya tanaman secara benar akan menjadi pilihan
utama untuk penyelamatan ekosistem dunia. Artinya pertanian di Indonesia harus meninggalkan
benchmark pertanian dari negara lain, menghindari monokultur dan monopoli, untuk kembali
memanfaatkan polikultur, menangkap peluang keanekaragaman, sesuai dengan konsep alam
cerdas Indonesia dan kearifan budaya Nusantara.
Dengan potensi penerapan intensifikasi proses pada tanaman dapat diantisipasi rancangan proses
pada pabrik makro pengolahan pasca panen yang menghasilkan berbagai produk hilir. Pabrik
makro ini tidak perlu memaksakan diri untuk menggunakan biomassa berkualitas rendah atau
produktivitas rendah, tetapi dapat menggunakan terlebih dahulu bahan tersebut sebagai kompos
pada skala ekosistem yang lebih tinggi untuk memproduksi jenis biomassa tanaman pada kualitas
dan produktivitas yang lebih tinggi lagi. Misalnya dalam upaya menyediakan sumber energi
terbarukan tidak perlu memaksakan penggunaan bioreaktor buatan berukuran makro dengan
volume 100 m3 atau lebih untuk membudidayakan mikroorganisme ganggang tertentu. Karena
dengan hanya menghasilkan kadar dibawah 10% upaya tersebut masih akan memerlukan biaya
yang sangat besar dalam proses pemisahannya. Nampaknya masih akan sangat menguntungkan
bila memanfaatkan larutan MOL dan bahan kompos untuk meningkatkan produktivitas tanaman
jarak atau kelapa sawit 3-4 kali dengan kadar minyak yang dikandung buahya diatas 60%. Jelas
terlihat bahwa pemecahan masalah keterkaitan multiskala antara pabrik mikro dengan pabrik
makro akan merupakan garapan penting ilmu teknik kimia mendatang.
Lebih bersifat umum lagi perlu diperhatikan peluang yang dibawa oleh sistem kegiatan pertanian
yang berbasis perangkat hayati dan kualitas produk panen yang sempurna, agar mampu menjadi
generator ekonomi yang non-depresiasi dan anti-inflasi, membuka gerbang menuju paradigma
baru perekonomian dunia.

12. Keniscayaan Tani Ramah Lingkungan : Tani Abad ke-21

Upaya swadaya rakyat yang dikawal oleh semangat serta kiprah DPKLTS selama tahun 2000-
2010 untuk mengangkat kesejahteraan petani melalui perbaikan produktivitas pertanian padi
dengan system of rice intensification atau SRI mampu memanen banyak manfaat yang sangat
berarti. Selain berhasil meningkatkan produktivitas padi rata-rata dari 4-5 ton/hektar menjadi 8-
12 ton/hektar, evaluasi pengalaman, pemahaman serta peningkatan kapasitasnya dinilai mampu
menjadikannya pilihan terbaik yang paling dapat diandalkan untuk mencapai swasembada dan
surplus beras 10 juta ton pertahun dengan percepatan. Secara strategis bahkan dapat dijadikan
sebagai batu pijakan melakukan lompatan teknologi pertanian bukan saja untuk padi namun
untuk pertanian secara menyeluruh sebagai upaya tani ramah lingkungan, tani abad ke-21.
Berbeda dengan SRI yang semula
berkembang dari Madagaskar dan
dikenal melalui internet, SRI yang
diterapkan di Jawa Barat kemudian
dikembangkan keberbagai pelosok
Indonesia, dan evaluasinya menyebut
diri sebagai SRI-Indonesia, yang
selengkapnya merujuk 3 landasan
pengembangan.
Rujukan pertama adalah bagaimana

19
membuat tanaman padi memiliki banyak anakan. Hal ini dilakukan dengan menanam bibit padi
muda berumur 7 hari yang masih membawa keping biji bekal makanannya. Bibit padi ditanam
secara dangkal, tunggal atau satu bibit untuk satu titik tanam, berjarak renggang antara titik
tanam satu ke titik tanam lainnya diatas 30 cm. Hal ini mengacu model pyllochrone dari
Katayama yang menunjukkan bahwa pada hari ke-12 tanaman padi mengeluarkan tunasnya yang
pertama yang menjadi sumber 2/3 dari jumlah total anakan, sehingga penanaman bibit padi yang
telah berumur 24 hari atau hampir sebulan sebagaimana biasa dilakukan saat ini akan merusak
atau menghilangkan tumbuhnya tunas awal ini. Implikasi besar dari upaya ini adalah jumlah bibit
padi yang diperlukan akan turun drastis, dari 30-50 kg/hektar bakan ada yang sampai 70-90
kg/hektar menjadi hanya 3-5 kg/hektar saja sehingga dapat dipenuhi dengan sistem penyediaan
bibit cara seksama tradisional seperti ngalean.
Rujukan kedua adalah menghilangkan
genangan air di sawah, karena
sekalipun tanaman padi mampu
beradaptasi baik dengan air tetapi padi
bukanlah tanaman air, padi tidak
dilengkapi snorkel seperti layaknya
tanaman air. Dengan adanya genangan
air, kebutuhan udara untuk akar akan
dipenuhi dari daun dengan mengubah
pipa kapiler yang biasa membawa
cairan dari akar ke daun menjadi ruang
yang lebih besar untuk membawa
udara dari daun ke akar (mekanisme arenchyme). Implikasinya yaitu fungsi akar tinggal ¼ - ½
nya saja, dan siklus hidup mahluk-mahluk kecil di dalam tanah sangat terganggu sehingga
ketersediaan makanan terputus dan hadirnya mahluk predator yang akan menolong tanaman
ketika ada ketidakseimbangan hayati juga akan sangat berkurang bahkan hilang. Nampaknya
kebiasaan merendam sawah dilakukan sebagai upaya untuk menghambat pertumbuhan gulma,
yang ternyata berfungsi sangat efektif, namun kurang diantisipasi bahwa secara otomatis upaya
tersebut juga akan menekan laju pertumbuhan tanaman padinya itu sendiri.
Rujukan ketiga adalah menggantikan
konsep pemupukan dengan konsep
baru yaitu melengkapi setiap tanaman
dengan bioreaktornya sendiri dengan
menggunakan bahan organik kompos
sebagai generator siklus ruang dan
mikroorganisme lokal (MOL) sebagai
generator siklus kehidupan yang
akhirnya menjadi siklus nutrisi yang
sangat handal. Hal ini sudah dapat
ditunjukkan di lapangan dengan 24
musim tanam padi di sawah secara
berturut-turut tanpa menggunakan
pupuk dan bahan kimia buatan apapun, bahkan tanaman padinya masih mampu meningkatkan
produktivitas dan kualitas produknya dengan sangat berarti dan berkelanjutan. Hal ini hanya bisa
dijelaskan dengan mekanisme rekayasa intensifikasi proses yang menyediakan ruang proses yang

20
lebih kecil sehingga mampu mempercepat proses meningkatkan produktivitas dan membuka
peluang proses menjadi lebih selektif sehingga mampu meningkatkan kualitas produk.
Mekanisme yang terjadi juga mampu menjadikan bioreaktor tanaman berproduksi sesuai dengan
kebutuhan (production on demand). Rujukan yang ketiga ini sepenuhnya merupakan
pengembangan yang dilakukan DPKLTS sebagai upaya penyempurnaan pemahaman SRI yang
dilakukan, sehingga cara ini bisa disebut sebagai SRI-Indonesia.

13. Pengalaman Penerapan SRI-Indonesia

SRI atau System of Rice Intensification yang diterapkan di Jawa Barat dan berbagai tempat lain
di Indonesia mengacu pada teknologi yang jauh lebih maju dari SRI yang semula diperkenalkan
di Madagaskar atau negara-negara lain sebelumnya yang bisa diakses informasinya dari internet.
Atas inisiatif Ir.Alik Sutaryat, Solihin GP dan Dr.Mubiar Purwasasmita dari Dewan Pemerhati
Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) penerapan SRI selama lebih dari 24 musim
secara berturut-turut sama sekali tidak menggunakan tambahan pupuk buatan apapun namun
memberikan tingkat produktivitas dan kualitas yang tetap tinggi, sebesar 8-14 ton/ha. Saat ini
produk beras yang dihasilkannya sudah dapat disertifikasi secara internasional sebagai produk
organik, dan berhasil diekspor menembus pasar berbagai negara di Amerika, Eropa dan Asia.

Secara keseluruhan SRI memberikan hasil lebih baik, dalam arti lebih produktif (tanaman lebih
tinggi, anakan lebih banyak, malai lebih panjang, dan bulir lebih berat), lebih sehat (tanaman
lebih tahan hama dan penyakit), lebih kuat (tanaman lebih tegar, lebih tahan kekeringan, dan
tekanan abiotik), lebih menguntungkan (biaya produksi lebih rendah), dan memberikan risiko
ekonomi yang lebih rendah. Adapun landasan baru yang dirujuk untuk aplikasi SRI diatas adalah
menerapkan prinsip-prinsip ekosistem antara tanaman dengan bioreaktornya, serta melakukan
rekayasa ruang bioreaktornya dengan prinsip intensifikasi ruang dengan menggunakan Kompos.
Revitalisasi biota tanah terjadi dengan meningkatnya aktivitas mikrobiologi tanah yang sangat
berlebih dan beranekaragam.
Penelitian Satyanarayana dan Tiyagarayan (TNAU-India,2003) menunjukkan penggunaan
kompos meningkatkan populasi mikroorganisme (azospirillum, azotobacter, phosphobacteria,
dll) dalam rhizosphere secara berlipat ganda dibandingkan dengan cara konvensional. Pada cara
tanam tradisional populasi Azospirillum dalam akar 65 ribu/mg memberikan 20 anakan dan
hasilan padi 2 ton/ha, sementara dengan cara SRI yang menggunakan kompos populasi
Azospirillum menjadi 1,5 juta/mg memberikan 80 anakan dan hasilan diatas 10 ton/ha.
Penggunaan pupuk NPK pada cara SRI justru menurunkan populasi azospirillum dalam akar
21
menjadi kurang dari 0,5 juta/mg sekalipun masih memberikan 70 anakan dan hasilan maksimum
9 ton/ha.
Penerapan intensifikasi proses pada
tanaman padi selama 24 musim secara
berturut-turut (tanpa menggunakan pupuk
kimia sama sekali) memberikan hasil panen
yang selalu meningkat dan bertahan pada
produktivitas yang tinggi. Sementara itu
juga terjadi peningkatan perbandingan berat
jerami yang dihasilkan terhadap padi yang
dipanen, hingga mencapai angka diatas 2,5.
Hal ini menunjukkan bahwa pada interaksi
kuat antara tanaman dan bioreaktornya
yang bersesuaian, tanaman akan berupaya
untuk menjamin keberlanjutan kehidupan
keturunannya dengan memaksimumkan produksi biomassanya. Penambahan kompos yang
dihawatirkan akan terus meningkat menjadi beban petani ternyata tidak terjadi, bahkan yang
semula perlu penambahan kompos 7 ton/hektar, setelah kondisi bioreaktor mikro di dalam tanah
pulih cukup dengan menambahkan 2-3 ton/hektar saja.
Lebih lanjut pengalaman menunjukkan bahwa upaya aplikasi SRI-Indonesia ini di lapangan
mampu membangkitkan kembali inisiatif, kreativitas bahkan inovasi para petani untuk
meningkatkan kinerja dan keandalan teknologi ini, baik pada tanaman padi maupun pada
tanaman lainnya.
Ketersediaan bibit unggul setempat dilakukan dengan cara ngalean, yaitu bibit diambil dari lahan
pertaniannya sendiri dengan mengambil bulir padi dari malai rumpun padi terbaik, baik dari segi
tampilan fisik maupun produktivitasnya. Setelah bulir padi ini diambil dan disimpan secara
khusus baru digunakan pada selang musim berikutnya. Tugiman, petani SRI-Indonesia di
Lakbok-Kabupaten Ciamis, mampu memperbaiki kinerja bibit unggul jenis Sintanur yang biasa
digunakannya dengan melakukan penyilangan terhadap jenis Ciherang dan jenis padi lokal
lainnya sehingga diperoleh bibit sendiri yang disebut Ngaos untuk mampu mempertahankan
tingkat produktivitas padinya diatas 12 ton/hektar. Sementara itu Ir.Surono Danu, penangkar padi
dari Lampung, berhasil mengembangkan bibit unggul sendiri yang dinamai Seriti dari upaya
penyilangan padi lokal Dayang Rindu dengan Sirendah, yang diharapkan mampu mengatasi
kinerja bibit padi hibrida impor dari Cina.
Upaya petani mengembangkan decomposer untuk melakukan pengomposan dilakukan dengan
mengambil mikroorganisme lokal berasal dari daun bambu kering. Sepuluh kepalan nasi
berukuran bola pimpong dimasukkan dalam dus berisi daun bambu kering hingga tumbuh pada
permukaan bola nasi tersebut semacam jamur berwarna kebiruan. Lalu bola nasi dimasukkan
dalam campuran air kelapa , air cucian beras dan gula untuk proses fermentasi menjadi larutan
MOL. Larutan MOL ini dengan pengenceran 15-30 kali digunakan sebagai bahan pengompos di
saung kompos atau disemprotkan di sawah yang baru dibajak untuk penguraian bekas dapuran
(rumpun) padi yang tersisa.
Larutan MOL untuk mempercepat pertumbuhan dibuat petani dengan menggunakan bahan
berasal dari bonggol pisang, 5 kg bonggol pisang digerus lalu dicampurkan ke dalam 20 liter air
kelapa dan 20 liter air cucian beras ditambahkan 0,5 kg gula, dalam 10 hari sudah menunjukkan

22
hasil fermentasi beraroma seperti tape atau bir. Larutan MOL ini setelah disaring dan diencerkan
15-30 kali cukup untuk diaplikasikan pada 1 hektar tanaman padi.
Lebih lanjut dapat dikemukakan pula pengalaman diluar tanaman padi. Penggunaan kompos
dalam jumlah yang memadai dan aplikasi larutan MOL secara teratur pada tanaman singkong
memberikan kenaikan produksi yang meningkat hingga 3 – 5 kali, untuk jenis singkong Darul
Hidayah mencapai 50-55 kg per tanaman.
Penerapan intensifikasi proses pada tanaman keras, seperti kayu kamper dan pohon karet,
dilakukan dengan aplikasi kompos dan larutan MOL secara terukur dan teratur memberikan
kecenderungan peningkatan pertumbuhan diameter batang hingga 2-3 kali lebih cepat dari cara
yang biasa dilakukan.
Penerapan intensifikasi proses pada tanaman padi di polibag dengan berbagai varietas
memberikan produksi nyata padi 0,3 - 0,7 kg perpolibag atau perrumpun, berarti setara dengan
produksi 30 hingga 70 ton perhektar di sawah.

14. Pengembangan Tani Kota di Pot atau Polibag

Ujicoba tani di pot atau polibag yang ukurannya bersesuaian selalu memberikan hasil yang lebih
baik, karena memang bioreaktor yang dikembangkan oleh tanaman dengan sendirinya akan lebih
sempurna, sementara di lapangan akan melibatkan lebih banyak faktor lain yang tidak terkendali
dengan baik. Pada kenyataannya penggunaan teknologi intensifikasi proses untuk tanaman di
pot mampu memberikan peningkatan produktivitas yang sangat berarti hingga 10 kalinya,
sehingga merupakan sesuatu yang bisa dipertimbangkan untuk mengembangkan gagasan
pertanian produktif baru, yang lebih dapat diandalkan, lebih mandiri dengan sumber pasokan
lokal, dan lebih menjamin kesinambungan. Untuk maksud tersebut memerlukan perancangan
gagasan yang lebih menyeluruh dengan polafikir yang telah diubah.
Memanfaatkan sampah rumah/lingkungan/kota untuk kompos, dan menggunakan kompos yang
dihasilkannya untuk pertanian di pot dapat dilaksanakan oleh masyarakat di rumah/kota/desa,
dan bukan saja untuk maksud tanaman hias (estetika) atau bahan racikan obat atau bahan
bumbu makanan tetapi untuk menjaga ketersediaan dan keanekaragaman pangan sebagai bagian

dari program ketahanan pangan dan kesehatan di kota maupun di desa. Dengan demikian
penulis sedang mulai membangun kembali budaya pertanian kota yang baru, baru dari sisi
argumentasi ilmiah namun lebih sesuai dengan kearifan budaya dan kecerdasan lokal yang ada.

23
Pengembangan pertanian produktif di pot bukan saja membuka peluang pembudayaan pertanian
di kota, tetapi juga membawa kegiatan produktif secara terdistribusi ke wilayah konsumen,
sehingga prinsip production on demand dapat juga dikembangkan secara multiskala, ke skala
yang lebih tinggi, kebun dan wilayah pertanian.
Penerapan tani-kota atau agrohome ini
bisa disertai dengan upaya membangun
kembali budaya tani pada skala rumah
tangga, yang penulis harapkan mampu
membangun kembali budaya tani skala
nasional sebagai upaya yang paling bisa
diandalkan untuk membangun ketahanan pangan keluarga dan nasional Indonesia. Gambar di
sebelah ini adalah alat penggerus jagung yang dapat dimodifikasi menjadi alat gilingan padi
manual untuk skala dapur rumah tangga. Rumah tangga bisa menyimpan persediaan pangannya
dalam bentuk padi, lalu dengan
mengunakan alat tadi 2-3 kg padi
digiling manual dalam 3-5 menit saja,
menghasilkan beras pecah kulit, dedak
dan sekam. Dedak yang masih segar dan
sangat kaya dengan orizanol dan
tochoperol yang dianggap dapat
menyehatkan badan dan menghambat
penaan dapat langsung digunakan dalam
makanan penyerta yang siap hidang juga.
Sementara sekam yang diperoleh dapat
digunakan sebagai bahan bakar kompor
sekam yang telah teruji pula kinerjanya.
Dengan demikian pemahaman kearifan lokal budaya Sunda yang menunjuk leuweung sebagai
infrastruktur alam menjadi lebih realistis, karena akan lebih banyak lahan pertanian tersedia yang
akan beralih fungsi justru untuk penguatan infrastruktur alam menjadi hutan dan semak belukar
atau leuweung, yang bisa diterapkan secara lebih terdistribusi baik di dataran tinggi, rendah
maupun perkotaan. Leuweung ruksak, cai beak, manusa balangsak, atau no forest, no water , no
future.

15. SRI Datang Membawa Peluang

Catatan statistik Indonesia menunjukkan data realisasi produksi beras tahun 2000 mencapai
51,89 juta ton gabah kering giling (GKG), produksi beras tahun 2001 sebesar 29 juta ton, dan
terjadi impor beras tahun 2000 sebesar 2 juta ton beras, pada saat itu data luas panen 11,86 juta
hektar. Atas dasar data statistic yang pernah mencatat total panen sawah Indonesia 11,86 juta
hektar ini maka bisa dianggap paling tidak ada 6 juta hektar sawah di Indonesia yang bisa
berpengairan baik. Kebutuhan beras tahun 2003 adalah 33.372.000 ton atas dasar jumlah
penduduk 250 juta dengan konsumsi beras perkapita 133 kg, dan dapat diperkirakan tahun 2035
kebutuhan beras akan mencapai 36 juta ton atas dasar jumlah penduduk 400 juta dengan
konsumsi beras perkapita 90 kg. Bila implementasi SRI di Indonesia dapat dilaksanakan di
lahan berpengairan baik sekitar 6 juta hektar ini, maka akan dapat dihasilkan produksi padi
6.000.000 hektar x 6 ton GKG/hektar/musim x 2 musim/tahun = 72 juta ton GKG, atau setara

24
dengan produksi beras 72.000.000 ton GKG x 60% = 43.000.000 ton beras. Dengan sederhana
bisa ditunjukkan bisa terjadi surplus produksi beras sebesar 9.628.000 ton (22,4%) untuk tahun
2003, dan sebesar 7.000.000 ton (16,3%) untuk tahun 2035.
Dengan demikian implementasi SRI-Indonesia memungkinkan pada setiap musim tanam para
petani dapat meraih perolehan nilai rupiah paling tidak dari penghematan penggunaan pupuk
6.000.000 ha x 250 kg/ha x 1.150 Rp/kg = Rp 1,725 Trilyun, dari penghematan penggunan benih
sebesar 6.000.000 ha x 35 kg/ha x 4000 Rp/kg = Rp 0,84 Trilyun, dari penghematan
penggunaan pestisida 6.000.000 ha x 150.000 Rp/ha = Rp 0,9 Trilyun, dan tambahan
pendapatan petani 6.000.000 ha x 6.683.625 Rp/ha = Rp 40,1 Trilyun, sehingga terbuka
peluang total perolehan bagi petani setiap musim tanam Rp 43,565 Trilyun atau sama dengan Rp
87,13 Trilyun setiap tahunna.
Sementara itu dengan implementasi SRI-Indonesia Negara juga paling tidak akan mendapatkan
penghematan dari subsidi pupuk urea sebesar 6.000.000 ha x 250 kg/ha x 400 Rp/kg = Rp 0,6
Trilyun, kalau pupuk tersebut atau gasnya diekspor akan mendapatkan tambahan setara harga
urea atau gas setara 6.000.000 ha x 250 kg/ha x Rp2500/kg = Rp 3,75 Trilyun. Sehingga
pendapatan bagi negara dalam setahun akan mencapai nilai Rp 8,7 Trilyun.
Lebih lanjut dengan implementasi SRI-Indonesia akan diraih pula keuntungan bagi lingkungan,
paling tidak dari penghematan penggunaan air sebesar 6.000.000 ha x 6.000 kg/ha x 3000 liter x
60% = 64,8 Tilyun liter air, dan dari penghilangan emisi gas rumah kaca sebesar 6.000.000 ha x
12 ton jerami/ha x 1,2 ton CH4/ton jerami = 86,4 juta ton CH4 = 1,814 Milyar ton CO2eq =
1,814 Milyar Carbon Credits, atau bisa menjadi CERs (Certified Emission Reduction @ 8 -16
US$/TON CO2eq). Anggap saja bisa memperoleh Rp 80.000 per ton setara CO2 maka perolehan
dari penghilangan emisi gas metana ini bisa mencapai Rp 145,12 Trilyun per musim tanam atau
sebesar Rp 290,24 Trilyun setiap tahunnya.
Implementasi SRI-Indonesia memungkinkan produktivitas padi pada tingkat yang lebih tinggi
sehingga membuka peluang untuk dapat melakukan kebijakan harga yang lebih menguntungkan
banyak pihak, baik konsumen maupun produsen, tidak seperti selama ini yang selalu merugikan
pihak petani produsen. Perhitungan berikut dapat diterapkan untuk provinsi Jawa Barat. Luas
sawah di Jawa Barat yang memiliki luas sawah paling tidak ada 760.000 hektar, sesuai dengan
amanah Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jawa Barat Tahun 2003. Bila luas lahan
ini dikelola dengan cara lama menggunakan konsep pemupukan akan memproduksi padi 760.000
ha x 4,5 ton/ha/musim x 2 musim/tahun = 6.840.000 ton GKG/tahun. Namun bila dikelola
dengan cara SRI-Indonesia akan menghasilkan 760.000 ha x 7 ton/ha/musim x 2 musim/tahun =
10.640.000 ton GKG/tahun, berarti produksi padi naik dari 4,5 ton/ha menjadi 7 ton/ha
(kenaikan 55%).
Sementara itu kebutuhan konsumsi beras untuk penduduk Jawa Barat adalah 40.000.000 orang x
0,4 kg/orang/hari x 365 hari/tahun = 5.840.000 ton/tahun, berarti kebutuhannya akan padi
5.840.000 ton/ tahun x 100/60 = 9.733.000 ton GKG/tahun. Hitungan ini menunjukkan bahwa
bila hanya menggunakan cara lama dengan konsep pemupukan Jawa Barat akan kekurangan
produkdi padi sebesar 2.893.000 to GKG/tahun, sementara bila menerapkan SRI-Indonesia bisa
surplus produksi padi 907.000 ton GKG/tahun.
Lebih lanjut bila harga beras di pasar Rp 5000/kg dianggap tidak terbeli oleh konsumen
kemudian harus diturunkan menjadi Rp 4000/kg, maka pendapatan petani produsen 10.640.000
ton/tahun x 60% x 4000 Rp/kg = Rp 25.536.000.000,- Bila Petani produsen dengan cara lama
menjual produk berasnya dengan harga mahal Rp 5000/kg akan memperoleh penghasilan
6.840.000 ton/tahun x 60% x 5000 Rp/kg = RP 20.520.000.000,- Berarti dengan menerapkan

25
SRI-Indonesia petani produsen masih bisa menikmati kenaikan pendapatan penjualannya sebesar
Rp 5.016.000.000,- (kenaikan 24,4%), sekalipun harga jual berasnya diturunkan dari Rp
5000/kg menjadi Rp 4000/kg (penurunan 20%).
Lebih lanjut lagi bila petani produsen SRI bisa menjual 50% dari produksi berasnya dengan
harga tinggi Rp 5000/kg, maka dengan raihan keuntungan yang sama sisa jumlah berasnya 50%
bisa diturunkan harganya sampai Rp 1800/kg. Apalagi bila bisa menjual 20% dari produksi
berasnya seharga Rp 10.000/kg misalnya di supermarket, maka sisanya 80% bisa diturunkan
hingga Rp 1500/kg. Bahkan bila sebagian produksi berasnya berhasil dijual ke pasar dunia
seharga Rp 40.000/kg maka harga sisanya bisa diturunkan lebih rendah dari Rp 1000/kg, berarti
bisa diterapkan beras untuk orang miskin (raskin) juga berkualitas premium setara beras SRI.
Hal ini tentunya hanya dapat dilaksanakan bila para petani mampu menguasai produk berasnya
secara kelembagaan, seperti dengan Badan Usaha Logistik (BULOG) milik petani, sehingga
memungkinkan pengaturan dua ingkat harga ini agar bisa menguntungkan baik pihak produsen
maupun konsumen. Dukungan pemerintah bagi petani cukup dilakukan dengan fasilitasi Storage
dan delivery produknya saja, serta jaminan hidup pada saat paceklik dengan program Raskin
Sehat menggunakan beras kualitas SRI-Indonesiaiakan oleh para petani sendiri.

15.Peran Politik Memasifkan Gerakan SRI-Indonesia

Penerapan SRI di Indonesia dari waktu ke waktu hingga saat ini memberikan data perkembangan
sebagai berikut: tahun 2011 telah dicapai jumlah petani terlatih hingga 42.279 orang dengan luas
areal garapan SRI 16.440 hektar, dan tingkat produktivitas rata-rata 7,4 ton gabah kering giling
perhektar, jauh diatas rata-rata nasional. Pada awal tahun 2009 jumlah petani terlatih SRI
masih 37.252 orang dengan luas areal garapannya 10.440 hektar. Sementara di kabupaten
Tasikmalaya SRI mulai diterapkan tahun 2002, saat ini sudah mencapai luas garapan 5539 hektar
dengan produktivitas rata-rata 77,44 kwintal GKG perhektar.

Perkembangan yang berpercepatan ini terjadi karena adanya partisipasi program pengembangan
dari berbagai pihak dalam bentuk community development dari perusahaan untuk meningkakan
pendapatan masyarakat disekitarnya yang memanfaatkan keunggulan aplikasi teknologi SRI-
Indonesia di lapangan. Posisi ini diharapkan dapat menjadi batu pijakan untuk melakukan
lompatan teknologi di lapangan bila
terjadi keinginan politik pemerintah
untuk menjadikan implementasi SRI-
Indonesia ini sebagai gerakan nasional
reformasi pertanian di Indonesia secara
masif.
Pada saat panen perdana SRI di Desa
Bojong Kabupaten Cianjur tanggal 30
Juli 2007 Presiden RI Susilo Bambang
Yudoyono dalam pidatonya menyatakan
penilaiannya bahwa SRI adalah satu-
satunya cara untuk meningkatkan
produktivitas padi tanpa merusak
lingkungan, oleh karena itu memerintahkan Menteri Pertanian serta berbagai pihak untuk
mengembangkan SRI seluas-luasnya di Indonesia. Namun pada penurunannya di lapangan

26
menjadi hanya sebatas pilihan dan anjuran bahkan termodifikasi kedalam program yang telah ada
dengan meninggalkan landasan keunggulan produktvitas SRI dan keramahlingkungannya.
Demikian pula Gubernur Provinsi Jawa Barat Ahmad Heryawan pada awal jabatannya bertekad
untuk memasifkan upaya pengembangan SRI di Jawa Barat, namun pada turunannya dinas
terkait masih meneruskan program-programnya terdahulu tidak memfokuskan diri pada raihan
keunggulan-keunggulan SRI di lapangan. Memang terjadi peningkatan produktivitas padi di
lapangan namun dengan mamasifkan dan meluaskan SRI seharusnya dapat dicapai tingkat yang
lebih tinggi lagi dan lebih dapat diandalkan sehingga berkesinambungan.
Kenyataan diatas menunjukkan betapa lemahnya peran politik dan mekanisme birokrasi yang
ada untuk dapat melakukan terobosan intensifikasi proses pertanian di lapangan. Agar upaya ini
dapat berlangsung secara berkesinambungan perlu ada upaya pembudayaan membangun kembali
rujukan nilai kearifan dan kecerdasan lokal menegakkan paradigma baru pertanian di Indonesia.
Upaya lain yang perlu dilakukan adalah penataan kembali dan pemungsian kelembagaan, bukan
saja yang menyangkut lembaga pemerintahann tetapi juga yang menyangkut bidang strategis
akademik, pengkajian dan penelitian, Storage and Delivery, pemasaran dan pendanaan, secara
lebih seksama, menyeluruh, terstruktur dan terukur.

16. Model Budaya untuk Pengembangan Tani Abad-21

Pengembangan SRI-Indonesia secara masif memerlukan basis pembudayaan yang kuat. Upaya
ini hendaknya mengikuti main streaming budaya, dilakukan baik di desa maupun di kota,
mampu membangun kembali jatidiri bangsa berbasis keunggulan budaya pertanian. Dalam hal
ini perlu rujukan pengembangan model budaya yang akan menjadi sumber inspirasi dan aspirasi
bagi tumbuh kembangnya kreativitas dan evolusi nilai dalam kehidupan manusia sehari-hari.
Tanpa sumber inspirasi dan aspirasi, peradaban yang dibangun seperti tidak memiliki arah dan
tidak memiliki dorongan kuat untuk meraih cita-citanya. Model budaya ini dapat dibangun
dengan merujuk langkah-langkah berikut :
1. Mengidentifikasi ciri kunci budaya;
2. Mendefinisikan lingkup wilayah;
3. Menciptakan budaya kerja sendiri;
4. Mengevaluasi dengan memperbandingkannya terhadap standar global;
5. Menyempurnakan dan melakukan percepatan dengan koreksi pada langkah 1, 2 dan 3.
Ciri kunci budaya bagaikan unsur genetika dalam mahluk hidup, artinya merupakan rancangan
hidup, ciri hidup, daya hidup, bahkan ketahanan untuk mampu menangkal potensi penyimpangan
yang ada disekitarnya.
Ciri kunci budaya Sunda
yang sangat berharga
untuk upaya ini adalah
rujukan siliasih, siliasah,
dan siliasuh yang
sebenarnya merupakan
kesadaran keterkaitan
ekosistem (globalisasi),
keterkaitan multiskala
(keanekaragaman), dan
keterkaitan kesejahteraan

27
(ekonomi jasa), yang sangat sesuai dengan kecenderungan perkembangan peradaban
pascamodern, membangun keterkaitan alami, hayati dan insani, yang diharapkan mampu
memberi dasar kemampuan bersinergi saling mewangikan, siliwangi.

17. Paradigma-1 Keterkaitan Ekosistem (Alami)

Keterkaitan alami atau keterkaitan ekosistem mendefinisikan batas alam interaksi keberadaan
seluruh unsur alam, kehidupan dan manusia dalam satu ruang alam yang sama. Keterkaitan
ekosistem ini atau sering diungkapkan sebagai fenomena globalisasi adalah peristiwa alami yang
menggeser pendekatan sistem-terbuka menjadi sistem-semitertutup atau sistem-tertutup.
Mengubah pandangan konsep nilai-tambah ke nilai-manfaat, yang meminimumkan masukan
sumberdaya alam dan keluaran limbah, dan memelihara hak-hak alam sehingga kesinambungan
dijamin oleh terkaitnya siklus rangkai manfaat, bukan oleh penguasaan hulu hilir secara sepihak.
Suatu rancangan siklus rangkai tertutup dari berbagai usaha yang saling terkait dilakukan untuk
memaksimumkan nilai manfaat dan meminimumkan penggunaan sumberdaya alam serta
buangan limbahnya, yang sekaligus akan menjamin berlangsungnya semua aktivitas secara
berkesinambungan.

Dalam bahasa sehari-hari pendekatan sistem terbuka ini menyatakan bahwa : “saya dan yang
lain berada dalam satu sistem yang sama, sehingga saya dan yang lain harus sama-sama
beruntung dan saling menarik manfaat ”. Pernyataan ini identik dengan pesan kearifan lokal
budaya Sunda : Siliasih yaitu saling mengasihi karena berada bersama dalam satu sistem alam
yang sama.

18. Paradigma-2 Keterkaitan Keanekaragaman (Hayati)

Secara alami penganekaragaman terjadi karena adanya interaksi multikomponen dan multiskala
dari berbagai entitas yang membawa ciri khasnya masing-masing pada suatu ekosistem yang
terdefinisi. Kehadiran banyak skala dan banyak entitas justru untuk saling menguatkan dan
menstabilkan dinamika ekosistem pada tingkat efisiensi dan kinerja yang paling baik untuk suatu
ketersediaan sumberdaya tertentu, sehingga lebih menjamin keberlanjutan peradaban.
Contoh alam pada aliran sungai akan terlihat memiliki banyak pusaran besar atau kecil yang
masing-masing berputar pada porosnya selain mengikuti aliran utama sungai itu sendiri.
Keterkaitan keanekaragaman juga dapat ditunjukkan dengan cara putaran perekonomian mikro,
makro dan global yang tidak bisa dibiarkan semata-mata hanya berputar pada satu poros
perputaran ekonomi global saja, karena hal tersebut hanya akan meperbesar beban dan
menyebabkan keruntuhan putaran ekonomi secara keseluruhan, semakin cepat berkembang akan
semakin sering mengalami krisis. Hal yang sama juga terjadi pada fenomena perobahan iklim
global akibat keseimbangan ekosistem pada skala mikro dan regionalnya tidak tercapai sehingga

28
semua penyimpangan terakumulasi pada skala yang paling besar yang mengakibatkan terjadinya
bencana yang semakin sering dan semakin besar daya rusaknya.

Inilah yang melahirkan kesadaran think globaly but act locally, berfikir harus dengan wawasan
global tapi dalam bertindak harus dalam keterkaitan utuh setempat secara lokal. Memulai dari
yang kecil, dari diri sendiri, pada saat ini juga. Secara sosial-budaya paradigma ini merupakan
upaya untuk mencegah terjadinya upaya sentralisasi dan penyeragaman yang selalu akan
membuat kerdil dan tidak bertahan lama. Tuntutan kebebasan, otonomi dan perlindungan hak
asasi manusia adalah bentuk pengungkapan paradigma ini dalam bahasa sosial-budaya, seperti
juga ungkapan pesan kearifan budaya Sunda Siliasah, artinya kalau ada gagasan baru tidak
saling mematikan tetapi saling menajamkan untuk mendukung dan memberi peluang seluas-
luasnya berkembang mencapai nilai kemandirian terbaik.

19. Paradigma-3 Keterkaitan Kesejahteraan (Insani)

Keterkaitan kesejahteraan ditunjukkan dengan kenyataan tumbuh-kembangnya ekonomi jasa.


Pentingnya usaha jasa dapat diukur dengan kenyataan keberhasilan ekonomi di suatu tempat
sangat ditentukan oleh usaha jasanya yang efisien dan efektif. Hampir 70% kegiatan ekonomi
adalah usaha jasa. Peluang kerja yang dapat diciptakan usaha jasa sangat luas baik jenis maupun
jumlahnya. Raihan kesejahteraan dalam saha jasa meningkatkan secara berarti karena saling
memberi kesempatan kerja bukan karena pemerataan kekayaan. Berkembangnya usaha jasa
dalam masyarakat akan meningkatkan layanan publik oleh masyarakat, yang berarti menciptakan
privatisasi layanan publik secara spontan, serta menciptakan birokrasi pemerintahan yang lebih
ramping, efisien dan efektif.
Harapan kesejahteraan pada kesempatan kerja usaha jasa menyangkut kemampuan atau
keterampilan yang khas pada setiap individu atau kelompok, sehingga sebenarnya pengangguran
itu tidak perlu terjadi bila keterkaitan usaha jasa bisa dibangun secara spontan, yang pada
akhirnya juga akan membangun keterkaitan kesejahteraan masyarakat seluas mungkin.
Kesempatan tersebut terbuka selama kualitas dan kemampuan diri manusianya tersedia dan
memenuhi kualifikasi yang diharapkan. Terbukanya peluang kesempatan kerja tidak karena
ketiadaan melainkan karena kesiapan manusianya yang dapat diantisipasi oleh pendidikan dan
perencanaan kerja. Ekonomi jasa tidak dapat dipaksakan dengan kemampuan yang tidak teruji,
melainkan timbul secara spontan karena kesiapan manusianya baik secara kemampuan maupun
kemauan.

29
Demikianlah keterkaitan kesejahteraan timbul bukan karena membagi-bagikan uang atau
kekayaan melainkan dengan keterbagian kesempatan kerja yang saling berkaitan diantara
manusia yang ada. Paradigma ini sangat mendasar bagi kesejahteraan rakyat, yang dalam pesan
kearifan budaya Sunda disebut siliasuh, saling membuka peluang atau fasilitasi agar semua
orang dapat bekerja atau berkiprah sesuai dengan kemampuannya untuk sejahtera bersama.

20. Kerangka Fikir Kesinambungan

Terdapat tiga aspek penataan yang diperlukan untuk menjamin kesinambungan, yaitu : Struktur
Ekosistem, Perkembangan Nilai, dan Perkembangan Kelembagaan.
Membangun struktur keterkaitan ekosistem memerlukan pemahaman ekologi yang baik, yang
secara operasional perlu ditunjang oleh infrastruktur yang diperlukan. Investasi infrastruktur
sangat mahal, namun merupakan suatu kemestian, sehingga perlu difahami adanya infrastruktur
alam dan infrastruktur buatan agar penyediaannya bisa efektif dan efisien. Perbedaan mendasar
antara infrastruktur alam dan infrastruktur buatan adalah pada keandalan proses alam yang harus
ditegakkannya. Infrastruktur alam seperti hutan, sungai, danau dan sebagainya memberikan
jaminan agar siklus alam yang dihasilkannya benar-benar ditunjang oleh proses alam yang utuh
sehingga biaya operasi dan investasinya dapat ditekan seminimum mungkin. Peran infrastruktur
alam umumnya tidak tergantikan, sehingga infrastruktur buatan hanya dibuat untuk menguatkan
peran infrastruktur alam, dan tidak akan pernah mampu menggantikannya. Oleh karena itu
pembangunan infrastruktur harus dimulai dengan pemulihan fungsi infrastruktur alam terlebih
dahulu. Dalam hal tertentu peran infrastruktur alam ini sangat menentukan sehingga
pengabaiannya akan menjadi sumber bencana, menutup peluang peningkatan kapasitas dan nilai
manfaat, inilah yang biasa disebut dengan konsep pusaka alam atau warisan alam yang harus
dinilai utamakan.
Kearifan budaya Sunda membagi ketinggian topografis gunung atau bukit menjadi tiga bagian,
yaitu : 1/3 pada bagian puncak sebagai wilayah hak alam tempat awan sumber air terikat, bagian
ini sama sekali tidak boleh diganggu oleh aktivitas manusia, disebut leuweung tutupan; 1/3 pada
bagian tengah sebagai wilayah hak kehidupan agar tanaman dan binatang dapat tumbuh dan
berkembang, disebut leuweung titipan; dan wilayah hak manusia untuk memanfaatkannya secara
komersial berada pada 1/3 bagian paling bawah, disebut leuweung baladaheun. Budaya Sunda
mengartikan leuweung dengan penuh makna sehingga mampu menjamin kesinambungan dan
keberlanjutan. Oleh karena itu kearifan Sunda menginginkan sebuah kota di leuweung bukan
sekedar hutan kota. Tatar Sunda memang berbasis budaya leuweung, baik untuk lahan pertanian,
pemukiman, desa, kota maupun infrastruktur buatan lainnya tidak boleh mengurangi atau
meniadakan makna yang kaya dari leuweung tersebut : leuweung ruksak, cai beak, manusa
balangsak (no forest, no water, no future).
Sementara dalam penanganan infrastruktur pada umumnya terdapat tiga hal yang harus
diperhatikan : yang pertama harus menyangkut semua sektor aktivitas, tidak ada dominasi atau
monopoli sektor tertentu, yang kedua menyangkut cara yaitu menetapkan pilihan alat dan
prosedur, dan yang ketiga adalah inisiatif yang merupakan inti dari upaya pengembangan yang
berkesinambungan
Berarti menata research and developement (R&D) pada dasarnya adalah mengelola inisiatif
terutama dari sumber daya manusianya, oleh karena itu pengelolaan sumberdaya manusia
menjadi sangat penting (vital). Ketiga unsur keberlanjutan akan bermuara pada mutu
kemampuan manusianya, bukan saja dalam inisiatif operasional namun juga dalam inisiatif

30
pengembangan nilai, maupun pengembangan kelembagaannya. Kemampuan orang seorang akan
selalu lebih rendah dari kemampuan terorganisir dan kerjasama. Demikian juga nilai yang
berkembang secara bersama dalam pembudayaan masyarakat akan lebih dapat diandalkan dari
pada peningkatan nilai individual semata.

21. Evolusi Nilai dan Kelembagaan

Agar proses keterkaitan berlangsung kearah keutuhan dan kesinambunga, harus didukung oleh
tumbuh kembangnya kelembagaan yang diperlukan yaitu lembaga pemberdayaan dan lembaga
pembudayaan. Upaya pemberdayaan sekurang-kurangnya memerlukan tiga lembaga, yaitu
lembaga keuangan, lembaga pasar, serta
lembaga penyimpanan dan penyampaian.
Ketiga lembaga ini akan bergantung pada
skala ruang dan waktu yang berbeda.
Penggabungan kelembagaan secara vertikal
untuk semua skala akan menghasilkan
mekanisme sentralisasi dan penyeragaman
yang bertentangan dengan paradigma
multiskala atau keanekaragaman.
Lembaga Keuangan terdiri atas lembaga
keuangan mikro di perekonomian rakyat,
lembaga keuangan makro di perekonomian
nasional, dan lembaga keuangan dunia dalam
perekonomian global. Keterkaitan vertikal
yang sentralistis diantara lembaga ketiga
skala tersebut membuat praktek ekonomi sangat bergantung pada putaran global, yang
mengakibatkan kerentanan atas krisis kemandekan yang semakin sering terjadi. Lembaga pasar
juga seharusnya memperhatikan paradigma multiskala, sehingga antara pasar dunia, pasar
regional, pasar nasional, dan pasar tradisional harus jelas perbedaan mekanismenya. Secara fisik
pasar saat ini masih merupakan tempat tercampur baurnya berbagai kegiatan mulai dari tempat
menjajakan, menyimpan hingga tempat tinggal pedagangnya sekaligus. Padahal dalam
perkembangannya ke masa depan pasar bukan
lagi untuk menjadi gudang atau pusat pengepakan
barang melainkan akan lebih merupakan pusat
pertukaran informasi, sementara barangnya
sendiri bisa langsung dikirim dari gudang atau
produsen ke konsumen. Pasar modern akan
menjadi pusat informasi bagi putaran skala
ekonominya, sementara pasar tradisional akan
tetap bertahan sebagai sarana pertukaran barang
disamping pertukaran yang lainnya sehingga
tampilan fisiknya perlu dirancang kembali agar
fasilitas dan fungsi layanannya lebih cepat,
efisien dan efektif. Lembaga penyimpanan dan
penyampaian (storage and delivery), khususnya untuk barang, praktis belum difahami secara
luas terutama berkaitan dengan paradigma multiskala. Hilangnya pengertian lumbung rumah

31
atau lumbung desa untuk putaran perekonomian desa juga adalah akibat hilangnya kesadaran
akan keberadaan paradigma multiskala ini.
Upaya pembudayaan atau evolusi nilai merupakan upaya untuk proses kesinambungan yang
akan berfungsi membangun kepekaan aspiratif untuk meningkatkan potensi manfaat. Upaya ini
juga sekurang-kurangnya memerlukan tiga lembaga, yaitu lembaga keyakinan, lembaga
silaturahmi dan lembaga pembelajaran atau pendidikan. Lembaga keyakinan berfungsi seperti
bank aspirasi yang akan memelihara arah evolusi nilai mulai dari keyakinan ilahiyah (takwa,
moral dan akhlak) menjadi keikhlasan dan kearifan yang lebih operasional dalam aktivitas
pembudayaan sehari-hari. Lembaga silaturahim atau kenduri berfungsi seperti pasar aspirasi
untuk membangun nilai kebersamaan dan sinergi secara berkesinambungan dalam aktivitas
pembudayaan sehari-hari. Lembaga pembelajaran atau pendidikan berfungsi sebagai gudang
dan wahana perpindahan aspirasi, tempat tumbuh kembangnya aspirasi secara berkesinambungan
dalam aktivitas pembudayaan sehari-hari.

22. Konsep Alam Cerdas Indonesia

Fenomena pergeseran lempeng bumi dan kerentanan pergerakan tanah merupakan konsep alam
cerdas Indonesia yang pertama yang
harus difahami, karena akan melandasi
rancangan peradaban kemanusiaan yang
akan dibangun di Indonesia. Kearifan
budaya Sunda sudah merespon dengan
baik kenyataan alam ini dengan memilih
bahan bangunan dari bambu yang ringan
dan lentur, dan tidak meletakan
pemukiman di lereng bukit yang labil,
sehingga mampu meredam bencana
ketika gempa bumi terjadi. Kealpaan atas
hal ini akan mengundang bencana alam
yang besar dan memaksa penduduk untuk
mengkaji ulang ketahanan papan dalam
perjalanan peradabannya.
Konsep alam cerdas yang kedua adalah pergerakan aliran udara dan air di Indonesia yang
dalam kenyataan alamnya berpulau-pulau
besar-kecil dan banyak, yang terbentang
di antara dua benua dan dua lautan serta
dilintasi garis katulistiwa. Hal ini
menempatkan Nusantara sebagai pusat
sirkulasi udara dan aliran air di muka
bumi yang terjadi secara bersamaan,
yang akan berperan penting dalam
perobahan iklim dan cuaca di dunia baik
global, regional maupun lokal pada
tingkat kepekaan yang tinggi. Sangat
layak Indonesia ditempatkan di tengah
peta dunia sebagai pusar dunia sehingga

32
mampu menyadarkan masyarakat global maupun lokal akan peran penting alam Nusantara dalam
menjaga kesinambungan kehidupan di muka bumi.
Konsep alam cerdas yang ketiga berkaitan dengan kenyataan percepatan pertumbuhan berbagai
jenis kehidupan yang tinggi di alam Indonesia. Pertambahan penduduk yang justru memerlukan
pertambahan tanaman dan binatang akan mendapat fasilitasi yang memadai di alam Indonesia
sehingga keseimbangan pertambahan penduduk dengan pertambahan kehidupan dengan mudah
dapat dicapai. Pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan intensifikasi proses
yang menjamin ketersediaan ruang hidup pada berbagai tingkat kehidupan. Indonesia dapat
diidentifikasi sebagai tempat terjadinya interaksi kuat dua siklus utama ekosistem yaitu siklus
ruang dan siklus kehidupan. Dengan tingginya potensi produktivitas biomassa di Indonesia ini
bisa dirancang pengelolaan keseimbanganya untuk menghasilkan sumberdaya terbarukan lainnya
seperti minyak dan karbon untuk energi terbarukan, serat untuk bahan sandang, kayu dan
bambu untuk bahan konstruksi, berbagai bahan obat-obatan dan bahan kimia alami lainnya.
Dengan tiga ke khasanalam Indonesia di atas semua rancangan dan rencana pertanian di
Indonesia yang surplus dan ramah lingkungan, diversifikasi memanfaatkan keanekaragaman
tanaman secara maksimal menjadi sangat mungkin, bahkan untuk membangun cadangan pangan
dunia sekalipun.

23. Rujukan Nilai Kearifan Budaya Nusantara

Kenyataan pesatnya pertambahan informasi baru keilmuan menyebabkan tidak mudahnya


melangsungkan koreksi keilmuan secara spontan apalagi bila hal tersebut harus dlakukan secara
antar disiplin keilmuan. Namun upaya ini sangat perlu karena perkembangan permasalahan dan
tantangan di lapangan juga akan sangat cepat meningkat. Maka sambil menunggu dan menguji
munculnya kemampuan tersebut kepekaan atas rujukan nilai dan observasi lapangan yang telah
teruji perlu dijadikan pegangan.
Meletakkan diri pada upaya pembudayaan (cultural main streaming), masyarakat Indonesia
masih beruntung dapat memanfaatkan kemampuannya menilai keadaan dengan kearifan yang
dimilikinya selama ini, yang nyaris tenggelam karena karena tekanan monopoli ekonomi dan
penyalahgunaan kekuasaan maupun keilmuan yang bertubi-tubi. Budaya masyarakat Indonesia
pada dasarnya berlandaskan pada budaya pertanian, sehinga penyimpangan yang terjadi pada
keseharian praktek pertanian di lapangan pada akhirnya akan berakumulasi pada rapuhnya
landasan budaya pada umumnya. Sudah sejak lama kearifan budaya lokal bisa membedakan
adanya makhluk cicing (tanaman), makhluk ulin (binatang) dan makhluk mimpin (manusia), lalu
diantara ketiganya makhluk yang paling mungkin memiliki kemampuan untuk menyiapkan
makanannya sendiri adalah tanaman karena selalu diam di tempat tidak bisa berpindah-pindah.
Hal ini sejalan dengan bahasan makalah menggali blue print ilahiyah atau rancangan penciptaan
kehidupan dan berkembangnya tanaman secara berkelanjutan.
Bersyukur penulis bisa berkesempatan mengungkapkan kebenaran ilmiah terbaru dan
perkembangan teknologi paling canggih dalam bidang pertanian ini, yang ternyata sangat sejalan
dengan rujukan nilai dan kearifan budaya yang selama ini diajarkan dan dianjurkan oleh para
leluhur bangsa. Dengan runtuhnya kerajaan Pakuan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebagai raja yang
masih merasa bertanggungjawab atas masa depan rakyatnya, sebelum menghiang menyampaikan
pesan terakhir yang disebut Wangsit Siliwangi. Pesan ini tersebar luas dan terbuka bagi
rakyatnya mengenai masa depan kesejahteraannya yang tentunya akan sangat dilandasi oleh
budaya berbasis pertanian mengenai masalah yang akan dihadapi dan kearifan apa yang harus

33
dirujuk agar bisa melakukan kebangkitannya lagi. Sangat menarik untuk mencermati pesan raja
ini karena menjelaskan dengan baik akan hadirnya fenomena pemanasan bumi yang akan
diikuti oleh penyimpangan iklim dan berbagai penyimpangan dalam bidang pertanian sehingga
menghawatiran kesejahteraan rakyatnya karena kekurangan pangan dan sumberdaya. Namun
sekaligus pesan ini juga menyampaikan rujukan nilai yang harus ditegakkan agar dapat keluar
dari permasalahan yang akan berlarut-larut yaitu dengan melakukan pengaturan berbasis
pengelolaan biomassa bekas tanaman yang secara cerdas dan cermat digunakan sebagai bahan
organik kompos, serta pengelolaan tanaman pertanaman sebagai strategi awal ekosistem.
Mengenai pemanasan global Wangsit Siliwangi mempertanyakan : Apakah kalian tidak sadar
bahwa langit sudah memerah atau memanas karena asap dan debu dari pembakaran, itulah
sebenarnya yang menjadi sebab terjadinya perobahan musim kadang hujan kadang tidak dan
segalanya mengikuti itu. (Arinyana teu arengeuh, langit enggeus semu beureum, haseup ngebul
tina pirunan…. saenyana anu jadi gara-gara sagala jadi dangdangrat).
Mengenai pertanian Wangsit Siliwangi memperingatkan : Ujung-ujungnya akan terjadi salah
urus, aparat pemerintahan berkutat dengan berbagai penyimpangan (korupsi). Apa lacur yang
membajak tanah bukan lagi tukang tani yang hasilnya tanaman air buahnya sebagian tidak berisi
bahkan tanaman tegalan tidak berbuah, buah padi rendemennya sangat rendah sehingga tidak
sampai ke penanakan nasi. Salah sendiri karena pengelola kebunnya tidak jujur, dan petaninya
pinter kebelinger.
(… bubuntut salah nu ngatur, panarat pabeulit dina cacadan. Da nu ngawulukuna lain jalma
tukang tani nya karuhan, tarate hapa sawareh, kembang kapas hapa buahna.Buah pare loba nu
teu asup kana aseupan.Da bonganna nu ngebonna tukang ngabarohong,nu tanina ngan pinter
kabalinger).
Mengenai peluang solusinya Wangsit Siliwangi menyampaikan harapan berikut : Aya anu wani
ngorehan terus, teu ngahiding kana panglarang. Ngorehan bari ngalawan, ngalawan bari seuri.
Nyaeta budak angon. Imahna dibirit leuwi, pantona batu satangtung, Kahieuman ku
handeuleum, karimbunan ku hanjuang. Ari ngangonna? Lain kebo lain embe, lain meong lain
banteng, tapi kalakay jeung tutunggul.
Penulis akan terjemahkan pesan ini secara bebas sebagai penutup bahasan sebagai berikut: Ada
yang berani dan terus meneliti, tidak takut dengan hambatan dan larangan. Mencari terus sambil
melawan, melawan sambil tersenyum. Itulah penggembala atau calon pemimpin yang
sebenarnya, yang tempat tinggalnya di tepi lubuk sehingga faham benar masalah ketersediaan
air, yang pintu rumahnya dari batu setinggi orang sehingga orang bisa melongok ke dalam
rumahnya meyakini ia tidak menyembunyikan sesuatu bagi dirinya, ia transparan tidak punya
agenda terselubung. Lalu apa yang digembala atau dikelolanya. Bukan binatang piaraan seperti
kerbau atau kambing, bukan pula binatang liar seperti harimau kecil atau banteng, yang
digembala atau dikelolanya tidak lain hanyalah bekas tanaman daun-daun yang berjatuhan
sebagai kompos pembentuk siklus ruang, dan tanaman pokok-pokok pepohonan sebagai
pembentuk ekosistem awal.

24. KESIMPULAN

Kesimpulan secara umum dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut :


 Peningkatan produktivitas biomassa (bunga, buah, akar, batang, dan daun) dapat dilakukan
secara sangat berarti (berkelipatan) dengan menerapkan teknologi intensifikasi proses

34
menggunakan bahan kompos sebagai generator siklus ruang dan MOL sebagai generator
siklus hidup pada interaksi ekosistem tanaman dengan bioreaktornya.
 Intensifikasi proses pada dasarnya menggunakan ruang proses yang lebih kecil (ukuran
mikro) sebagai bioreaktor tanaman, yang akan memberikan percepatan dan selektivitas
proses, yang justru dapat berlangsung secara alami pada ekositem tanaman dengan
bioreaktornya.
 Hipotesa keilmuan yang seharusnya diterapkan adalah memelihara dan menjamin terjadinya
keseimbangan antara pertambahan penduduk dengan pertambahan tanaman dan binatang.
Pertambahan kehidupan memerlukan pertambahan dan keanekaragaman ruang hidup untuk
memfasilitasi siklus kehidupan yang berkembang dan beraneka ragam pula.
 Peran hutan dan semakbelukar sebagai infrastruktur alam sangat menentukan dan tidak
tergantikan, sebagai generator siklus oksigen, siklus air, dan siklus karbon atau biomassa
yang akan menjadi sumber bahan kompos dalam jumlah yang senantiasa tersedia dan dalam
ketersebaran yang meluas, yang menjamin pembangkitan siklus ruang dan siklus kehidupan
untuk kegiatan pertanian dan turunannya.
 Percepatan produksi biomassa dan keanekaragamannya merupakan salah satu keunggulan
hayati alam Indonesia yang harus direspon secara cerdas dengan penuh kearifan untuk
kesejahteraan kemanusian, memenuhi kebutuhan pangan dan sumberdaya terbarukan lainnya.

Kesimpulan yang dapat diambil dari bahasan tentang kompos sebagai pembangkit siklus-ruang
dalam tanah antara lain:
 Kompos mampu memperbaiki dan mengubah struktur ruang dalam tanah menjadi lebih baik,
menjadikan kompos sebagai cara yang menjanjikan untuk keperluan intensifikasi proses
terutama dalam bidang pertanian.
 Karakteristik fisik kompos cenderung lebih baik dibandingkan tanah biasa, ditandai dengan
permeabilitas, kandungan air, daya ikat air, porositas, serta penetrasi udara yang meningkat
dengan penambahan kompos pada tanah.
 Faktor yang mendefinisikan bioreaktor adalah keberadaan ruang untuk berlangsungnya
reaksi, perpindahan massa, dan pertumbuhan. Hanya bahan kompos yang mampu
mendukung peran ini dengan karakteristik yang bersesuaian.

Kesimpulan dari bahasan tentang peran MOL dalam membangkitkan siklus kehidupan di dalam
siklus ruang yang dibangun oleh kompos dalam tanah antara lain :
 Larutan MOL adalah larutan hasil fermentasi yang berbahan dasar berbagai sumberdaya
yang tersedia setempat.
 Larutan MOL mengandung unsur hara mikro dan makro, dan juga mengandung mikroba
yang berpotensi sebagai perombak bahan organik, perangsang pertumbuhan, dan sebagai
agen pengendali penyakit maupun hama.
 Larutan MOL digunakan baik sebagai dekomposer, pupuk hayati, dan sebagai sebagai bahan
pestisida organik.
 Penggunaan secara maksimal sumberdaya setempat seperti kompos dan mikroorganisme
lokal sangat strategis untuk memecahkan masalah ketersediaan, distribusi dan membangun
kembali budaya kemandirian petani.
 Penelitian lebih lanjut atas larutan MOL yang dikembangkan para petani perlu dilakukan
untuk memberikan arah pengembangan yang lebih tepat.

35
Untuk pengembangan lebih lanjut peningkatan produktivitas dan kualitas produk pertanian,
khususnya untuk meningkatkan ketahanan pangan dan kesejahteraan petani, dapat penulis
kemukakan hal-hal sebagai berikut :
 Membangun kembali kesuburan tanah dengan menggunakan kompos sebagai generator
siklus ruang dan MOL sebagai generator siklus kehidupan serta keterkaitan ekosistem
tanaman dengan bioreaktornya.
 Memulihkan infrastruktur alam untuk menjamin kesinambungan, ketersediaan dan
kemanfaatan daur alami air, udara dan biomassa agar siklus ruang dan siklus kehidupan
berlangsung menunjang keandalan kinerja pertanian.
 Menggunakan potensi keanekaragaman hayati untuk keandalan ketersediaan, manfaat dan
kesinambungan.
 Menggunakan secara maksimal bahan setempat yang strategis seperti kompos dan MOL,
serta penguasaan ilmunya untuk membangun kembali kemandirian petani.
 Revitalisasi organisasi dan pengembangan kelembagaan pada semua tahap kegiatan
pertanian untuk meningkatkan kecepatan, ketepatan dan kecermatan layanan kerja pada
semua sektor kegiatan sehingga mampu mengantisipasi kompleksitas permasalahan dengan
upaya penyempurnaan yang berkelanjutan.
 Mengelola secara seksama potensi pasar domestik dan upaya cerdas untuk menembus pasar
dunia. Mengembangkan lembaga pemasaran dan penyimpanan milik petani untuk meraih
harga tertinggi di pasar dunia dan menyediakan produk terbaik yang murah untuk raskin.
 Membangun keterbagian yang cerdas dan bijak antara kegiatan pertanian untuk memenuhi
kebutuhan bahan pangan, bahan energi, bahan bangunan, bahan serat dan bahan kimia
terbarukan.
 Membangun metodologi pertanian adaptif yang sesuai dengan kegiatan pertanian di luar
pulau Jawa yang kurang penduduk dengan di pulau Jawa yang rapat penduduk.
 Melakukan upaya pembudayaan kembali kegiatan pertanian ramah lingkungan pada
berbagai lapisan masyarakat dan wilayah Indonesia di desa maupun di kota.
 Memberikan Pendidikan Lingkungan Hidup untuk membangun perilaku sehari-hari generasi
muda menjadi lebih pro-lingkungan, pro-kehidupan, dan pro-kemanusian. Sehingga mampu
mengidentifikasi konsep alam cerdas dan kearifan budaya lokal untuk memecahkan masalah
lingkungan yang dihadapi sebagai wawasan kebangsaan baru Indonesia.

Daftar Pustaka

1. Mubiar Purwasasmita, “Konsep Teknologi”, ITB, 1990.


2. Mubiar Purwasasmita, ”Kajian Fenomenologi Nilai”, Pascasajana UPI, 2000.
3. Mubiar Purwasasmita, “System of Rice Intensification (SRI) : Olahlahan sebagai Bioreaktor-
Menerapkan Process Intensification dan Production on Demand dalam Bidang pertanian”,
Bahan Seminar yang disampaikan di BALITPA Bogor, Kamis,24 Mei 2007.
4. Mubiar Purwasasmita, ”Membangun Kemandirian Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal”,
Seminar Teknik Kimia Suhadi Reksowardoyo, Bandung, Desember 2007.
5. Mubiar Purwasasmita, “Peranan Mikroorganisme Lokal (MOL) dalam budidaya tanaman
Padi Metode System of Rice Intensification (SRI)”, Workshop Nasional SRI, Dirjen PLA-
Deptan, Jakarta 21 Oktober 2008.

36
6. Mubiar Purwasasmita, ”Wawasan Lingkungan Hidup Kota Bandung”, Semiloka Muatan
Lokal Pendidikan Lingkungan Hidup untuk sekolah dasar dan menengah sekota Bandung,
UNPAS, 2008.
7. Mubiar Purwasasmita, ”Wanatani - Upaya Konservasi DAS Hulu Melalui Pemberdayaan
Kelompok Tani”, Lokakarya PLA - Departemen Pertanian, SOLO 15 April 2008.
8. Mubiar Purwasasmita, ”Menerapkan Intensifikasi Proses (PI) dan Produksi sesuai Kebutuhan
(POD) dalam bidang Pertanian”, Teknik Kimia ITB, 2009.
9. Mubiar Purwasasmita, ”Hutan dan Semak belukar sebagai Infrastruktur Alam”, Ciomas-
Ciamis 2009.
10. Dr.Hersanti, Ir.MP, ”Isolasi Bakteri Asal Larutan Mikroorganisme Lokal, Uji Antagonis, Uji
Pertumbuhan Semai Padi”, Faperta UNPAD, Jatinangor 2007.
11. Pradesh, Andra, System of Rice Intensification: An Emerging Alternative, India, 2005.
12. Standard Nasional Indonesia, Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik, SNI 19-
7030-2040.
13. Matthieu Calame, ”Une Agriculture pour le XXIe siècle, manifeste pour un Agronomie
Biologique” , Editions Charles Leopold Mayer, 38-Rue Saint Sabin, Paris, France 2007.
14. Christian V.Stevens and Roland Verhe, “Renewable Bioresources, Scope and Modification
for non-food application”, Wiley, 2004.
15. P Morrisey, JM Dow, GL Mark, FO Gary, “Are microbe at the root of a solution to world
food production : Rational exploitation of interactions between microbes and plants can help
to transform agriculture”, European Molecular Biology Organization Reports vol.5, No. 10,
2004.
16. N. Kockmann, “Transport Phenomena in Micro Process Engineering”, Springer-Verlag,
Berlin Haidelberg, 2008.
17. Stankievics, Moulijn, Reengineering the Chemical Processing Plant: Process Intensification,
Marcel Dekker Inc, New York, 2004.
18. Settle,W., “Living Soil, Training exercise for integrated soils management”, 2000
19. Diaz, L.F. et al. Compost Science and Technology. UK: Elsevier Ltd. 2007
20. Lal, Rattan, Manoj K.Shukla, Principle of Soil Physics. New York: Marcel Dekker Inc. 2004.

Ucapan terima kasih

Disampaikan kepada teman-teman dan lembaga swadaya masyarakat yang secara konsisten
memelopori dan memberikan pemahaman baru tentang keterkaitan alami, hayati, dan insani di
berbagai pelosok Indonesia.

37
Biodata Penulis

Mubiar Purwasasmita lahir di Sumedang tanggal 27 Desember


1951, anak ketujuh dari sepuluh bersaudara Keluarga Bapak Hajar
Purwasasmita (alm), guru dan pendiri Sekolah Guru B dan Sekolah
Guru A di Sumedang serta pernah guru di Sekolah Tani Tanjungsari,
dan ibu Rd.Robiah Soemawisastra (alm), guru Sekolah Menengah
Pertama di Sumedang. Penulis mengikuti pendidikan dasar dan
menengah sepenuhnya di kota Sumedang, lulus sarjana Teknik Kimia
ITB tahun 1975 dan lulus Doktor Teknologi Pemrosesan dari Institut
Nationale Polytechnique de Lorraine (INPL) di Nancy – Perancis
tahun 1985.
Setelah lulus sarjana bekerja di Pabrik Keramik PT KIA sebagai
insinyur proses dengan jabatan terakhir sebagai Kepala Produksi.
Tahun 1978 kembali ke Kampus ITB menjadi dosen Teknik Kimia
ITB hingga saat ini. Penulis menikah tahun 1979 dengan Mintarsih
binti H.Iyon, Sarjana Ekonomi UNPAD 1981.

Pernah menjabat:
 Pembantu Rektor Bidang Perencanaan, Pengembangan, dan Pengawasan ITB (1992-
1997),
 Ketua Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat LPM-ITB (1997-2000).
 Anggota Panjatap Kodam Siliwangi (1995-2000)
 Ketua Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda DPKLTS
(2001-2007), dan
 Ketua Umum DPKLTS (sejak tahun 2007).

Sebagai dosen tetap di ITB dan dosen luar biasa di UNPAD dan UPI penulis mengampu
beberapa mata kuliah berikut :
 Mata Kuliah Peristiwa Perpindahan, Proses Pemisahan, dan Kapita Selekta Teknik
Reaktor Kimia di program studi Teknik Kimia ITB,
 Mata Kuliah Konsep Teknologi di Psiklogi UNPAD, dan
 Mata Kuliah Kajian Fenomenologi Nilai di program pasca sarjana UPI.
 Pernah Dosen Luar Biasa di Akademi Jendral Ahmad Yani Cimahi.

Sebagai dosen, peneliti dan pengabdi kepada masyarakat penulis telah melakukan banyak hal
nyata yang bermanfaat, antara lain :
 Mengembangkan bahan tahan api asal lokal untuk membuat reaktor gasifikasi (1975-
1978)
 Mengembangkan reaktor kimia baru : Reaktor unggun tetap dengan aliran gas dan cairan
yang sangat cepat searah ke bawah dengan butir katalis kecil untuk cairan organic
maupun air (Disertasi Doktor 1980-1985).
 Studi Penyediaan Air Baku Skala Industri PT Pupuk Kujang (1979 dan 1985)
 Mengembangkan Sistem Pengolah Sampah Terpadu dengan berbagai alat yang
dikembangkan sendiri (1987-1992).

38
 Mengembangkan dan merancang alat ekstraksi bahan alam hayati untuk minyak atsiri,
pestisida alami, minyak nabati, dll. (1988-1990)
 Mengembangkan Konsep Multiskala Usaha Desa, Nasional dan Global (1996-2000)
 Mengembangkan Teknologi Bersih (Ecotechnology) untuk tambak udang superintensif,
usaha pertanian terpadu, dll. (1997-2000).
 Mengembangkan Sistem Pabrik Skala Kecil dengan penerapan tersebar berbasis
komunitas : Pabrik gula mini, Pabrik air minum, Pabrik pengolah ikan, dll. (1999-2000).
 Mengembangkan metoda dialog partisipatif masyarakat untuk menentukan strategi
pembangunan kota, Kawasan lindung regional, Budaya perusahaan, dll. (1997-2002).
 Menyelenggarakan Dewan Pakar untuk memecahkan berbagai masalah lingkungan yang
kritis : infrastruktur alam hutan, sungai danau, pesisir, pulau kecil, iklim mikro, dll.
(2000-2003).
 Merancang dan melaksanakan penghutanan kembali lahan kritis berbasis masyarakat
setempat (2003-2005).
 Kajian Fenomenologi Nilai untuk membangun kepekaan aspirasi guna meningkatkan
potensi manfaat iptek (1983-2003).
 Menerapkan olah lahan pertanian sebagai bioreaktor tanaman, System of Rice
Intensification (2005-2007).
 Menerapkan Intensifikasi Proses dalam bidang pertanian : SRI-Indonesia, Tani di
Pot/Polibag, Tani Kota, Revitalisasi Perkebunan, Percepatan pertumbuhan tanaman
keras, Meningkatkan produktivitas tanaman padi, Meningkatkan produktivitas tanaman
Singkong, dll. (2007-2012).

Biodata Penulis

Alik Sutaryat, lahir di Garut 22 Juni 1960.


Lulus Sekolah Dasar (SD) tahun 1973, Sekolah Menengah Pertama (SMP) tahun 1976, Sekolah
Pertanian Menegah Atas (SPMA) tahun 1979, tahun 1983 diangkat menjadi Pegawai Negeri
Sipil (PNS) sebagai Pengamat Hama Penyakit (PHP).
Status menikah, isteri Bidan Yeti Sungkawati, anak 3 orang, yaitu :
dr.Rianti Maharani, Ilsya Asti Naraswati (Mahasiswa Kedokteran
UGM semester 4), Gia Megananda Al-Ramdan (Siswa SMP kelas 3).
Pendidikan D1 Pengendalian Hama Terpadu (PHT) tahun 1989 di
Institut Pertanian Bogor (IPB).
Training for the Trainer (TOT) Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
1992.
Pendidikan D3 Pengendalian Hama Terpadu tahun (PHT) di
Universitas Brawijaya Malang tahun 1993.
Pendidikan S1 di Institut Pertanian Malang (IPM) tahun 1995.
Tahun 1995 sampai dengan 1998 melatih PHT bagi Pengamat Hama
Penyakit (PHP) dan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) di Provinsi
Jawa Barat dan Provinsi Sumatera Selatan.
Pendidikan Soil Ecological di Chyangmay Thailand tahun 1998
sampai dengan tahun 2000.
Pengembang Pembelajaran Ekologi Tanah (PET) dan System of Rice

39
Intensification (SRI) dukungan FAO di IPPHTI (Ikatan Pengendalian Hama Terpadu Indonesia)
tahun 2000 sampai dengan 2004.
Trainer SRI Organik bagi petugas DinasPertanian dan PPL sebanyak 17 angkatan se Indonesia
tahun 2005 sampai dengan 2011.

Mp.11072011.

40

Anda mungkin juga menyukai