Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gula merupakan komoditi penting bagi masyarakat bahkan bagi
masyarakat dunia. Kebutuhan akan gula dari setiap Negara tidak hanya untuk
memenuhi kebutuhan pokok, tetapi juga karena gula merupakan bahan pemanis
utama yang digunakan sebagai bahan baku pada industry makanan dan minuman.
Kondisi geografis Indonesia yang cukup berpotensi untuk menghasilkan tanaman
tebu menjadikan Indonesia sebagai Negara yang berpotensi sebagai produsen gula
terbesar di dunia.
Sejarah gula di Indonesia di mulai ketika Belanda membuka koloni di
Pulau Jawa. Banyak tuan-tuan tanah pada abad ke-17 membuka perkebunan
monokultur yang pertama kalinya di Batavia. Industry gula pada masa colonial
Belanda lebih berorientasi pada ekspor, dimana bidang pemasarannya dikuasai
oleh badan pemerintah yang independent dalam upaya mengamankan penerimaan
pemerintah Kolonial Belanda dari cukai dan pengawasan jumlah konsumsi dalam
negeri untuk meningkatkan ekspor tersebut.
Lahan perkebunan di Jawa sangat menguntungkan, terutama gula yang
merupakan perusahaan milik colonial Belanda. Keuntungan yang diperoleh
pendudukan ialah segi perekonomiannya. Industri gula dan perkebunan tebu telah
membuka kesempatan kerja yang luas bagi penduduk desa di kala itu. Keuntungan
eksportir gula Jawa adalah nomor dua terbesar setelah Cuba dalam pasar dunia.
Keuntungan ini tidak hanya menutupi biaya-biaya administrasi di Jawa, tetapi
juga diperlukan untuk mendukung posisi keuangan di negeri Belanda yang sedang
memburuk. Sebagai akibat dari perang-perang napoleon hutang dalam negeri
Belanda dan pembayaran bunga atas hutangnya itu membumbung tinggi.
Pada tahun 1830, atas inisiatif van den Bosch, di Jawa di mulailah
cultuurstelsel. Tujuannya van den bosch memberlakukan system tanam paksa
ialah selain mentransformasi Pulau Jawa menjadi eksportir besar-besaran dari
produk agrarian, dengan keuntungan dari penjualannya terutama mengalir ke kas
Belanda juga untuk memproduksi berbagai komoditi yang ada permintaannya
dipasaran dunia. Untuk mencapai tujuan itu ia menganjurkan pembudidayaan
berbagai tanaman, kopi, gula, indigo (nila), tembakau, the, lada dan kayu manis.
Persamaan dari semua tanaman perkebunan yang diusahakan oleh petani
dilaksanakan karena mendapat paksaan dari pemerintah untuk memproduksinya
dan sebab itu tidak dilakukan secara voluntary atau sukarela.
Pada masa system tanam paksa, tebu mulai di tanam oleh pemerintah di
Kabupaten Kendal – Krasidenan Semarang. Pada tahun 1832 tebu mulai di tanam
di Distrik Perbuan, sebagai percobaan tanaman perkebunan. Beberapa tahun
kemudian, perkebunan diperluas di Distrik Truka, Kendal dan Kaliwungu, yang
semuanya terletak di Kabupaten Kendal. Penanaman tebu di empat Distrik di
Semarang tidak tidak menunjukkan peranan yang penting dibandingkan dengan
daerah lainnya di Jawa, akan tetapi beban penanaman tebu adalah yang terberat di
Jawa, yaitu di Distrik Kendal, Truka, Perbuan dan Kaliwungu. Kendal, Truka dan
Perbuan pada tahun 1845 tiap keluarga menanam rata-rata mengerjakan 0,33 bau,
sedangkan di Kaliwungu rata-ratanya 0,38 bau. Beban kewajiban bila
dibandingkan dengan keresidenan lainnya di seluruh Jawa dalam periode tanam
paksa bahwa beban kewajiban tersebut yang paling berat di empat Distrik
tersebut.
Sejak berdiri tegak setelah Revolusi berakhir, Republik Indonesia
menghadapi keadaan ekonomi yang kurang menguntungkan, antara lain mewarisi
keuangan Federal dan RI Yogyakarta dengan deficit besar, kecenderungan inflasi
kuat, bahkan tidak seimbang antara ekspor dan impor. Proses pemulihan
perkebunan berjalan dengan lambat dan selama perang, Indonesia telah
kehilangan sebagaian besar pasarannya sebelum perang. Kemerosotan produksi
tidak mendukung untuk segera mengejar ketinggalan atau memulihkan pasaran
dunia.
Sejak tahun 1950 pemerintah Indonesia menghadapi permasalahan yaitu
difungsionalkan kembali perkebunan untuk memperoleh devisa di satu pihak dan
di pihak lain menata kembali urusan tanah dan tenaga sehingga da[at menalrik
investasu modal perusahaan perkebunan. Dampak yang dihadapi setelah perang
dunia kedua adalah kerusakan berat pada perkebunan, maka diperlukan usahan
pemugaran secara besar-besaran. Berdasarkan ketentusn perundingan Meja
Bundar akhir 1949 perkebunan milik asing perlu dikembalikan sedang
perkebunan milik pemerintah Kolonial di ambil alih oleh pemerintah RI, begitu
pula milik asing yang tidak akan di eksploitasi lagi oleh pemiliknya.
Mulai tahun 1957 pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri
Pertahanan RI saat itu melakukan pengambilalihan semua perusahaan dan
perkebunan milik Belanda. Pada bulan November 1958, cabinet mengajukan
rancangan undang-undang Nasionalisasi nomor 86 tahun 1958 tentang
“Nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda di Indonesia”. Untuk
pengelolaan selanjutnya didirikan Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda
(BANAS) yang ada didalamnya bernaung empat badan usaha yaitu Badan Usaha
Dagang (BUD), Badan Penguasaan Perusahaan Pharmasi (BAPHAR), Pusat
Perkebunan Negara Baru (PPN Baru) dan Badan Penguasaan Industri dan
Tambang (BAPPIT).
Nasionalisasi tanpa persiapan matang membuat industry gula terguncang
dengan hebat. Tidak hanya manajemen yang mengalami kemandekan, produksi
gula pun menurun. Penutupan usaha dagang china membuat jaringan distribusi
terputus. Menghadapi kondisi seperti itu, tiada cara selain menata manajemen
industri dan perdagangan gula. Strategi kebijakan yang kemudian di ambil adalah
“sentralisasi” industry dan perdagangan gula, managemen industry dan tata niaga
gula di atur oleh pemerintah. Masalah ketersedian lahan tebu untuk pabrik gula
diatasi dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(Perpu) Nomor 38 Tahun 1960. Peraturan tersebut memberi kuasa dan
kewenangan kepada Menteri Agraria untuk menetapkan luas lahan minimum yang
harus disediakan oleh satu desa untuk ditanami tebu.
Ketika masa revolusi usai dan situasi ekonomi Indonesia belum
menampakkan perkembangan yang menguntungkan, maka dalam perusahaan
perkebunan tebu tercipta organisasi produksi baru guna menyesuaikan perubahan
kondisi di pedesaan. System tersebut adalah pemberian kepercayaan kepada
petani untuk menjaga tanaman tebu pada lahan yang telah disewakan. System
demikian kemudian melaahirkan system Tebu Rakyat Intesifikasi atau lebih
dikenal sebagai TRI.
Program Tebu Rakyat Intensifikasi di Kabupaten Kendal dimulai pada
tahun 1981 di Kecamatan Pegandon dan dilanjutkan ke Kecamatan Gemuh,
Cepiring, Weleri, Patebon dan Kendal. TRI di Kabupaten Kendal di bagi menjadi
dua yaitu TRI Jasa dan TRI Murni. Pelaksanaan TRI dilakukan secara bertahap
dan menggunakan system glebagan. Dipilihnya tahun 1990 sebagai batasan akhir
pada penelitian ini adalah pada tahun tesebut TRI berakhir di Kabupaten Kendal
Provinsi Jawa Tengah. Banyak masyarakat yang tidak mau menanam tebu dan
lebih memilih menanam tembakau dan padi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan, dapat ditarik mejadi
beberapa rumusan masalah.
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Kendala lahan baru untuk penanaman tebu
2. Manajemen Keuangan pada Indutri Gula
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Kendala Pembukaan Lahan Baru untuk Menanam Tebu


Pemerintah menargetkan swasembada gula bisa terwujud pada tahun 2029.
Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Kasdi Subagyono
mengatakan untuk mencapai swasembada gula diperlukan areal kebun tebu seluas
735 ribu hectare.
Permasalahan kesediaan lahan menjadi hambatan yang cukup serius, apa
lagi dengan ditambah petani kita semakin hari semakin tidak tertarik menanam
tebu. Mungkin saja karena factor hasil yang kurang menggiurkan, petani kita lebih
tertarik menanam komoditas lain, seperti halnya tembakau, padi dan jagung.
Berdasarkan yang pernah saya tahu pemerintah melalui PTPN XI mencoba
membuka lahan baru milik Kementerian Kehutanan dan Lingkungan hidup, lahan
garapan petani dekat hutan mencoba dialih fungsikan untuk ditanami tanaman
tebu. Tentu hal tersebut banyak penolakan dari para penggarap tanah milik Negara
yang dikelola oleh Perum Perhutani.
Keterbatasan lahan tersebutlah yang menjadi hambatan Indonesia dalam
swasembada gula kedepan.

2.2. Manajemen Keuangan pada Industri Gula


Menata keuangan pada sebuah usaha industry menjadi faktor penting
dalam keberhasilan suatu usaha. Apalagi usaha industry tersebut berhubungan
dengan kebutuhan pokok sehari-hari, seperti halnya gula. Di Indonesia gula
menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat luas, oleh sebab itu Industri gula
ditanah air terus digenjot guna mencapai swasembada gula pada tahun 2029
mendatang.

Anda mungkin juga menyukai