Nim :A1A220007
Angkatan :2020
Resume
System kapitalisme belanda
1. Pertumbuhan Perkebunan besar milik swasta di Jawa dan Sumatera sejak 1870
a.jawa
Pada masa pemerintahan kolonial terdapat tiga fase sejarah perkembangan industri gula di Jawa. Fase
pertama, yaitu industri gula yang didirikan pada abad XVII-XVIII. Pada fase ini gula belum dianggap
sebagai barang dagangan yang menguntungkan akibat tipisnya kesempatan untuk mendominasi pasar
internasional. Selain itu adanya keengganan atau ketidakmampuan dari organisasi perdagangan VOC
untuk berkompetisi di pasaran Eropa sehingga gula hanya diproduksi dalam batas-batas permintaan
tertentu saja. Mundurnya VOC dari perdagangan gula ke Eropa tidak menurunkan semangat orang-
orang Cina dalam pengusahaan dan penggilingan gula di Jawa. Pada masa itu usaha penanaman dan
penggilingan tebu banyak dijumpai di desa persewaan, misalnya di daerah Jepara, Juana, Cirebon, dan
sekitar Batavia. Fase kedua, industri gula di Jawa terjadi antara tahun 1830-1870. Fase ini dikenal
dengan kurun Cultuurstelsel (tanam paksa). Sistem ini dicetuskan oleh Van den Bosch pada tahun 1830.
Sistem ini dilakukan pada dasarnya untuk memenuhi kas negeri Belanda yang keadaan keuangannya
sangat parah. Negeri Belanda pada waktu itu memiliki beban hutang yang besar dan tidak dapat
ditanggulangi sendiri, sehingga mereka mencari solusinya di daerah jajahan. Perkebunan tebu mulai
ditingkatkan pasca diberlakukannya kebijakan tanam paksa semenjak tahun 1830. Pada masa sistem
tanam paksa tahun 1830 pemerintah kolonial menetapkan bahwa seperlima tanah penduduk wajib
ditanami tebu guna memenuhi pasaran Eropa dan hasilnya dijual kepada pemerintah dengan harga yang
telah ditentukan. Seperti pada masa sebelumnya, maka dalam proses produksinya banyak melibatkan
petani pemilik lahan, misalnya dengan memasok kayu bakar untuk penggilingan gula, menyediakan
ternak 2 untuk membajak lahan, mengangkat gula dari penggilingan ke gudang dan dari gudang ke
pelabuhan. Pada tahun1850-1860 komoditas tebu khususnya gula sangat menanjak di pasar
international, sehingga mengakibatkan ketertarikan banyak orang untuk berinvestasi di bidang
perindustrian dan perkebunan tebu. Saat itu, Hindia Belanda merupakan salah satu negara yang
memproduksi gula atau tebu terbanyak di pasar Internasional. Melihat hal demikian pada periode liberal
banyak orang yang ingin berinvestasi di Hindia Belanda. Namun terdapat beberapa halangan orang-
orang asing yang ingin berinvestasi di Hindia Belanda karena Undang-Undang untuk mengurus tanah
milik pribumi yang dapat disewakan kepada perusahaan asing belum diatur, sebelumnya kepemilikan
tanah lebih banyak bersifat komunal, dengan adanya peran swasta dalam pengusahaan usaha
perkebunan maka diatur secara tegas oleh negara maka dibuatlah Undang-Undang Agraria 1870. Fase
ketiga, industri gula berkembang pasca tahun 1870. Dengan adanya Undang-Undang Agraria pada tahun
1870, yang mengganti tanam paksa dengan tanam bebas, pada tahun ini ditetapkan juga Ekonomi
Liberal. Adapun beberapa poin dalam Undang-Undang Agraria 1870 yaitu: pertama, Gubernur Jendral
dilarang menjual tanah pribumi. Kedua, di dalam larangan ini tidak termasuk tanah-tanah yang tidak
luas, yang untuk perluasan kota dan desa serta mendirikan bangunan-bangunan kerajinan atau industri.
Ketiga, Gubernur Jendral dapat menyewakan tanah, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan
dengan ordonansi. Adapun tanah yang telah dibuka oleh pribumi asli atau yang dipunyai oleh desa
sebagai tempat penggembalaan umum atau dasar lainnya, tidak boleh disewakan. Keempat, menurut
peraturan yang ditetapkan dengan ordonansi diberikan tanah dengan hak erfacth ( Tanah milik pribumi
kemudian disewakan dengan jangka waktu 75 tahun yang dapat diperpanjang dan dipindah tangankan).
b.sumatra
Sejak awal abad ke-19 lalu, masuknya investasi perkebunan di Sumatera Timur telah merubah
kehidupan rakyat. Pembukaan perkebunan secara besar-besaran dimulai tepatnya setelah tahun 1870,
saat UU Agraria kolonial Pemerintah Hindia Belanda tetapkan. Keluarnya Undang-undang tersebut
adalah tonggak bagi liberalisasi ekonomi pemerintah kolonial dan menjadi pendorong investasi besar-
besaran asing di sektor perkebunan di Hindia Belanda, khususnya di Sumatera Timur. Pada saat itu,
perkebunan menjadi alat untuk menghasilkan devisa bagi Hindia Belanda.
Setelah pemberlakukan UU Agraria 1870, investasi asing di perkebunan masuk secara masif. Di Pulau
Jawa, investasi asing bergerak di sektor perkebunan tebu, sementara di Sumatera Timur, perusahaan-
perusahaan asing ini bergerak di sektor perkebunan tembakau. Pembukaan perkebunan tembakau milik
swasta di Sumatera Timur pada pertengahan abad ke-18 dan akhir abad ke-19 menandai sebuah era
baru dalam usaha perkebunan tidak hanya tembakau, tetapi juga komoditas karet dan kelapa sawit.
Hadirnya investasi besar-besaran pada sektor perkebunan telah memperkerjakan buruh Tiongkok, India,
dan pada awal abada ke-20, Perkebunan secara besar-besaran menghadirkan buruh atau pada saat itu
disebut kuli kontrak dari Pulau Jawa. Pada saat itu, jumlah kuli mencapai ratusan ribu pada saat itu, untuk
mengaturnya, pemerintah menerbitkan Koeli Ordonantie. Munculnya berkala, dari yang
pertama Staatsblad No. 133 tahun 1880 sampai staatsblad No. 421 tahun 1915. Dalam butir-butir
ordonansi tersebut tertuang aturan para kuli tidak boleh membangkang perintah perusahaan.
Kuli bekerja selama 10 jam sehari dengan gaji sangat kecil. Tidak heran banyak kuli mencoba melarikan
diri, melakukan pencurian, dan menyerang mandor yang enggan menaikkan gaji. Kuli yang melarikan diri
dari perkebunan akan dikejar polisi perkebunan dan apabila tertangkap mereka akan dikembalikan ke
perkebunan. Dan hukuman pun menanti mereka, misalnya kerja tanpa dibayar atau perpanjangan
kontrak. Hukuman bagi para kuli seperti digambarkan oleh Van den Brand. “Mereka diseret kuda dengan
tangan terikat, dicambuk dengan daun jelantang kemudian disiram air, digantung, ditusuk bagian bawah
kukunya dengan serpihan bambu, dan untuk kuli perempuan –maaf– digosok kemaluannya dengan
merica halus,” tulisnya dalam De Millioenen uit Deli. Butir-butir hukuman tersebut dikenal dengan poenale
sanctie (sanksi pidana). Semua kuli dianggap menyetujui ordonansi itu meski kebanyakan dari mereka
buta huruf.
Berbagai literarur telah menjelaskan bahwa, pada saat itu pemerintah kolonial dan pihak perkebunan
tidak menganggap buruh dengan status yang paling rendah, diperlakukan seperti budak yang tidak dapat
berpikir, dihukum cambuk jika melakukan kesalahan, bahkan selalu diperlakukan tidak seperti manusia.
Perkebunan secara penuh mengontrol kehidupan buruh selama 24 jam demi lancarnya aktivitas
perkebunan mereka dan memaksimalkan keuntungan.
Tidak hanya itu, kondisi tersebut lebih-lebih juga dialami buruh perempuan. Ann Stoller dalam
bukunya “Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera 1870-1979” menuliskan bahwa
kuli perempuan didatangkan dari Jawa. Mereka didatangkan dalam kondisi belum menikah. Mereka ditipu
akan dipekerjakan sebagai kuli dengan penghasilan yang cukup tinggi. Tetapi sebenarnya, mereka juga
dipekerjakan sebagai pelacur untuk membuat betah pekerja laki-laki – terutama kuli asal Jawa – untuk
memperpanjang kontraknya. Sebagaimana Breman tuliskan (dalam Menjinakkan Sang Kuli) bahwa
betapa sulit bertahan hidup di perkebunan tanpa kehadiran perempuan.