Anda di halaman 1dari 8

Tanam Paksa di Sumatera Barat

Karya professor Fasseur yang menyatakan, terlihat bahwa sistim tanam paksa itu bukan merupakan suatu sistim yang tunggal, melainkan berupa berbagai cara untuk mencari dana. Dan semua itu tergantung pada intervensi politik, serta pengawasan terhadap sektor-sektor utama produksi pertanian, dan pada pasarannya. Perlu diingat bahwa sistim tanam paksa itu juga diterapkan di daerah-daerah di luar Jawa. Di pantai barat pulau sumatera, ranah minang, penanaman dan penyerahan kopi secara paksa berhasil dilembagakan pada tahun 1847, dan berlanjut menjadi faktor politik dan ekonomi yang penting selama lebih dari enam dasawarsa. Sistim tanam paksa diterapkan di sumatera barat, dan menunjukkan bagaimana paksaan itu melahirkan stagnasi dalam ekonomi masyarakat minangkabau yang sebelumnya sangat giat dan aktif, suatu keadaan yang ditambah lagi dengan kemacetan politik pada dasawarsa terakhir dari abad ke 19. Pengaruh dan akibat dari sistim itu di dalam kampung-kampung di minangkabau dan daerah sekitarnya, dan adanya kontradiksi-kontradiksi dalam monopoli itu, yang menyebabkan kegagalan, dan menimbulkan stagnasi ekonomi serta jalan buntu dalam bidang politik selama lebih dari dua dasawarsa pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20. suatu jalan buntu yang hanya dapat diatasi dengan membubarkan sistim tanam paksa itu dan melahirkan liberalisasi dalam bidang ekonomi, serta memperkenalkan suatu pajak penghasilan rendah pada tahun 1908. Sebelum abad ke 19, pemerintah belanda tidak pernah berani menjamah pusat daerah minangkabau yang berpenduduk padat,yang terletak di wilayah pegunungan Sumatera Barat. Selama dua abad sebelum itu, kehadiran VOC atau de Verenigde Oost-Indische Compagnie, hanya diperbolehkan di beberapa kantong di daerah pesisir, di mana ia berusaha mendominasi perdagangan lada, emas, dan pada akhir abad ke 18, juga perdagangan kopi. Sesudah tahun 1795, kantong-kantong di tepi pantai di ambil alih oleh Inggris dan baru sesudah inggris menarik diri dari daerah itu, pada tahun 1819, petugas-petugas Belanda (yang pada waktu itu telah menjadi pegawai negeri karena VOC pailit) kembali ke daerah pesisir. Waktu Belanda kembali, mereka melihat bahwa perang agama yang berkepanjangan berkecamuk di sana, yakni perang Padri, sedang menggerogoti daerah pegunungan itu. Konflik tersebut merupakan kesempatan baik bagi bangsa Belanda untuk mengadakan intervensi.

Sebagai penentang Gerakan Pembaharuan Islam Padri, mereka dapat bergerak untuk menguasai seluruh daerah itu. Dengan mencampuri konflik tersebut pada tahun 1820, mereka baru dapat menaklukan benteng pertahanan padri yang terakhir pada tahun 1837. Johannes van den Bosch, arsitek utama sistem tanam paksa di pulau jawa, berkunjung ke sumatera barat pada tahun 1833 dengan tujuan mengatur perdagangan hasil bumi di sumatera barat, demi keuntungan kerajaan belanda. Banyak rencana Van Den bosch gagal, tetapi akhirnya ia berhasil melancarkan suatu sistem pada tahun 1847. Tahun 1908, daerah itu dibuka untuk perdagangan dan penanaman modal. Tahun-tahun itu juga merupakan masa berjangkitnya dan meluasnya organisasiorganisasi politik pribumi, suatu masa dimana gerakan-gerakan berkembang, dan pengaruhnya terasa berlanjut sampai dengan masa perjuangan kemerdekaan indonesia. Malahan sampai sesudah kemerdekaan. Minangkabau di Ambang Berlakunya Sistem Tanam Paksa Kopi yang berasal dari pegunungan Minangkabau itu merupakan faktor utama dalam usaha belanda untuk menguasai daerah tersebut. Perdagangan yang sangat menguntungkan inilah yang merangsang keinginan Belanda, dan karena hasil produksi rumah tangga dan perorangan inilah, mereka getol sekali untuk mengaturnya di bawah sistem tanam paksa itu. Untuk mencapai tujuan-tujuan politik dan ekonomi itu, Belanda harus mematahkan pengaruh para pemimpin gerakan padri yang memiliki kemampuan besar untuk memobilitir perlawanan orang Minangkabau terhadap tuntutan-tuntutan Belanda. Kelemahan kaum padri, walaupun para pemimpin mereka secara moral bersatu dalam menghadapi penjajahan belanda, terletak pada kenyataan, bahwa wewenang pribadi masing-masing pemimpin padri itu terbatas hanya pada bagian tertentu dari alam Minangkabau. Kelompok-kelompok komunitas padri di bawah pimpinan yang berlainan, satu par satu dilayani oleh Belanda, sehingga, tidak lama sesudah itu, Belanda memperoleh kemenangan karena tidak adanya perlawanan efektif kaum padri yang menyeluruh di Minangkabau. Sebelum intervensi Belanda pada tahun-tahun 1820an, para pemimpin Islam ini menjadi pusat dari kekuasaan teritorial yang paling efektif di Minangkabau, pada awal abad ke 19. inti dari penyokong kaum padri terdapat di berbagai kalangan sosial dan kampung-kampung yang paling terlibat dalam perdagangan hasil buminya, teristimewa biji kopi. Namun, berlawanan dengan ini wibawa kaum elit lainnya, yaitu kalangan yang akrab dengan kaum ningrat

Minangkabau, sangat merosot, terutama karena persediaan biji emas di daerah itu hampir habis. Penerimaan dari pertambangan emas dan dari perdagangan sejak lama merupakan soko guru ekonomi sistem kerajaan, dengan sisa-sisa para penyokongnya berpusat di kampung-kampung penghasil padi di daerah dataran tanah datar. Kampung-kampung yang setia kepada kaum padri, maupun yang bergabung dengan sistem kerajaan (dan sebenarnya banyak pula kampung yang tetap bersikap netral), tidak dapat dikatakan memiliki suatu hirarki politik yang cukup matang dan mempunyai pusat kewibawaan / teritorial. Selain dari agama dan ideologi mereka, juga tergantung dari kemampuan untuk melindungi dan mengatur perdagangan serta jalur perdagangan, demi kepentingan komunitas Minangkabau tertentu. Sesudah Belanda menaklukan kaum padri, mereka berusaha mengadakan kerja sama dengan para pemuka lokal yang paham mengatur tanah dan buruh, untuk kepentingan mereka (Belanda). Namun, mereka segara menyadari, bahwa strata yang dimaksudkan itu tidak ada dan untuk menyedot surplus tenaga kerja sebagai mana dilakukan di pulau Jawa, memang sukar untuk dijalankan, karena tidak ada sekutu setempat yang dapat mengerahkan buruh untuk diperkerjakan. Untuk mengadakan persekutuan dengan salah seorang pemimpin padri tidaklah mungkin, dan secara ideologis tidak dapat diterima. Yang dapat dilakukan Belanda hanyalah mempergunakan wibawa para pemuka adat turun-temurun dalam masing-masing komunitas, suatu kekuasaan yang bersendikan perserikatan, mufakat dan dat timbal balik, yang tidak cocok untuk mengatur perburuhan dalam jenis sistem yang hendak didirikan oleh Belanda di sana. Secara politis tidak da pilihan lain bagi Belanda, selain mengadakan pemerintahan tidak langsung melalui kepala-kepala adat turun-temurun (penghulu). Dengan danya hubungan harta kekayaan dan organisasi gotong-royong di alam masyarakat Minangkabau, setiap rumah tangga petani memiliki otonomi yang cukup luas dalam kehidupan ekonomi masing-masing. Rumah Tangga Petani Minangkabau Umumnya, rumah tangga petani dilukiskan sekaligus sebagai kesatuan dasar dari produksi maupun dari konsumsi. Yang sangat menonjol dalam rumah tangga Minangkabau, adalah walaupun ia merupakan suatu kesatuan konsumsi, produksinya lebih terinci, dengan masing-masing anggota rumah tangga memusatkan perhatian pada pekerjaan dan tugas khusus yang berbeda-beda.

Dalam sektor mencari nafkah, mendapatkan lahan untuk persawahan yang diatur oleh sistem dat pusaka menurut garis matrilinial. Di sektor perdagangan di mana pengawasan kampung dan suku agak longgar, hak milik pribadi yang diatur melalui pasar, tetap ada. Pekerjaan yang dilakukan unit-unit produksi nafkah dalam bertanam padi, umumnya dilakukan oleh kaum wanita dalam rumah tangga, di mana masing-masing memiliki sebidang sawah untuk digarap selama hidupnya, sebagai sebidang sawah warisan. Kaum lelaki dapat dikatakan bebas dari pekerjaan mencari nafkah untuk kehidupan sehari-hari sehubungan dengan pengerjaan tanah warisan pusaka, dan karena itu mereka dapat bergiat dalam pekerjaan-pekerjaan lain. Pengamat-pengamat Belanda sering menyatakan bahwa pola ekonomi bersifat sangat individualis dan kegotong-royongan kurang ada, baik di kampung, maupun dalam kelompokkelompok antar suku. Diaturlah suatu penyelesaian secara Ad Hoc dan buruh diberi ganti rugi in natura. Rumah tangga juga memiliki ladang, pekarangan-pekarangan berkebun, kolam ikan, pohon buah-buahan, binatang piaraan, dan lain-lain. Oleh karena itu, sektor komersial cukup baik berkembang dan sangat vital bagi kehidupan rumah tangga di daerah pedesaan. Operasionalnya Sistem Tanam Paksa Awal perkebunan kopi bebas di sumatera barat pada akhir abad ke 18 dan awal abad ke 19, dan meliputi ekspansi perkebunan itu serta artinya bagi keadaan sosial yang lebih luas. Antara tahun 1820 dan akhir 1840an Belanda berusaha mengawasi perdagangan kopi di Minangkabau, baik secara langsung maupun tidak langsung. Van den Bosch menganjurkan penggunaan pajak dan uang perangsang untuk menggalakkan penjualan kopi kepada kantor dagang Belanda (NIIM). Upaya mereka untuk membangun perkebunan-perkebunan besar yang dikerjakan oleh pekerja wajib secara komunal yang diawasi, semua itu gagal.

Karakteristik pada awal penanaman kopi bebas : Boros dalam menggunakan tanah. Cukup hemat dalam jumlah tenaga kerja. Spesialisai rumah tangga daalam penanaman kopi tak pernah bersifat menyeluruh. Kopi hanya di tanam di daerah pegunungan yang secara ekologi cocok dengan lingkungannya.

Harga pasar kopi di daerah pantai sedikit lebih tinggi daripada yang diterima oleh para petani dari pedagang kecil, yang mengangkut kopi itu dari daerah pegunungan.

Sistem tanam paksa pada akhir tahun-tahun 1840an berusaha mempertahankan tiga karakteristik pertama tersebut di atas untuk menjamin kesinambungan produksi, dan menyelesaikan dua karakteristik terakhir demi keuntungan pemerintah. Kopi tetap di usahakan oleh orang-orang yang bukan ahli dari rumah-rumah tangga dengan menggunakan banyak lahan dan sedikit pekerja. Tetapi sekarang ia harus di tanam oleh setiap kampung di pegunungan, dan tidak hanya oleh kampung-kampung dengan lahan yang sesuai untuk penanaman kopi, dan selisih antara harga pasar dunia dan jumlah uang yang diterima oleh para produsen setempat tidak mengalir kepada para pedagang kecil, tetapi masuk kantong pemerintah. Belanda menamakan kopi tersebut hasil panen rakyat, namun, tujuan utama dari penanamannya di bawah sistem tanam paksa itu bukanlah demi keuntungan rakyat. Pentingnya sistem tanam paksa di sumatera barat terletak pada hubungan yang terjalin antara pemerintah kolonial Belanda dan para petani Minangkabau, tetapi bukan unsur-unsur itu saja yang dijamah oleh penanaman kopi secara paksa di daerah pegunungan itu. Para pemimpin agama tidak terpengaruh, tetapi para penghulu merasakan kedudukan mereka agak terjepit karena hubungan mereka dengan sistem itu. Sebab Sistem Itu Berhasil Selama 20 tahun pertama, sesudah sistem tanam paksa mulai dijalankan di sumatera barat, mengalami sukses yang cukup besar. Sukses sistem tanam paksa pada dasawarsadasawarsa awalnya disebabkan oleh tiga faktor utama, yang ketiga-tiganya berkaitan dengan ekonomi di Minangkabau.

Faktor pertama, adalah harga kopi yang ditetapkan. Faktor kedua, sukses produksi kopi tanam paksa di sumatera barat adalah untuk seterusnya kebutuhan akan pekerja sedikit. Faktor ketiga, berkaitan erat dengan ekonomi di sumatera barat pada waktu itu. Di mana jualbeli barter barang merupakan hal yang penting sekali.

Kegagalan Sistem Tanam Paksa Dalam satu dasawarsa setelah mencapai puncak ini, produksi kopi menurun secara dasyat, dan pemerintah ternyata tidak mampu membendung penurunan ini. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor : Petama, tanah yang paling baik untuk kopi mulai berkurang. cara yang digunakan di Minangkabau adalah pengelolahan areal lahan yang luas, yang cocok sekali untuk menanam kopi dan mengesplolitir pohon-pohon kopi selama mungkin Kedua, penyakit daun yang berat menghinggapi pohon-pohon kopi. Di tahun-tahun 1870-an, penyakit hemilia vestatrix menyerang kopi jenis Arabica yang ditanam di Sumatra Barat dan memusnakan sebagian besar dari perkebunan-perkebunan dan untuk daerah baru ditanami dengan jenis Liberica, yang tahan hama tersebut. Ketiga, sesudah tahun 1873 pemerintah kolonial Belanda terlibat dalam peperangan yang panjang, mahal dan sengit di Aceh. Karena perlawanan orang Aceh kuat dan di bakar oleh sentimen agama islam kemauan dan kemampuan orang Belanda untuk menggunakan kekerasan untuk mengubah sikap orang Minangkabau dengan paksa lebih terbatas lagi daripada seperempat abad sebelumnya. Selain itu, usaha pemerintah untuk mengatasi kemunduran dalam produksi tidak dibantu oleh kesalahan-kesalahan teknis dari mereka yang dipercayai untuk mengubah cara menanggulangi produksi kopi Minangkabau. Sebab utama dari kegagalan sistem tanam paksa kopi dalam jangka panjang, adalah karena satu-satunya cara yang mungkin dapat berlaku di sumatera barat, tidak dapat diterapkan di antara orang Minangkabau yang tinggal di sana. Bukan hanya pendekatan yang ilmiah, tetapi juga pandangannya bahwa kopi harus ditanam dengan cara yang berbeda sama sekali. Penanaman harus dilakukan secara konstan diatas tanah yang paling sesuai, melalui siklus yang

berkesinambungan untuk mengadakan peremajaan pohon-pohon kopi yang sudah kurang produktif, serta pemeliharaan teliti terhadap pohon-pohon dan kebun-kebun kopi itu. Kesimpulan Sistem tanam paksa di daerah Sumatra Barat yang berlangsung selama enam dasarwarsa, cukup berpengaruh dalam perubahan di Minangkabau. Dalam komunitas setempat, orang Minangkabau tidak mengalami perubahan. Hubungan dengan luar seperti perdagangan terjalin jauh sebelum tanam paksa kopi diterapkan. namun, di kampung-kampung terjadi perubahan, bagi kepala keturunan lebih banyak mengalami kerugian karena ikatannya dengan pemerintah kolonial. Pengaruh mereka mulai memudar dan kedudukan aktifnya menjadi melemah, apalagi setelah Belanda mencoba mengatur dan menyusun lembaga adat. Sistem Tanam Paksa membuat produksi dan perdagangan beras terganggu. Banyak orang kampung khawatir dan enggan mengambil resiko dengan mengadakan penanaman baru, dan mereka takut campur tangan Belanda akan membuat keuntungan mereka menurun. Para pemuka pscudo-tradisional yang dibentuk Belanda untuk membantu dalam menjalankan sistem tanam paksa mendapatkan kedudukan yang tidak seperti yang diharapkan, pada tahun 1980 mereka masih menjabat. Orang Minangkabau yang menjabat sebagai pegawai administrasi justru mendapatkan status yang lebih tinggi. Kerani, Inspektur, mandur gudang mendapat pendidikan dan mendapatkan posisi sebagai amtenar Padang. Sistem tanam paksa membuat Padang sebagai tempat terakhir pengumpulan kopi dan penampungan barang yang membantu mengubah orientasi dagang di Sumatra Barat. Perubahan yang terjadi di masyarakat Minangkabau tidak selalu berjalan dengan lancar, kesulitan disebabkan oleh tiga kontradiksi yang berkaitan dengan ekonomi, politik, da harta kekayaan dan yang terkandung dalam Sistem Tanam Paksa di Sumatra Barat. Di bidang ekonomi, orang kampung semakin tergantung pada barang-barang dagang, terutama pada garam dan tekstil yang harus dibeli dengan uang. Di bidang politis, Sistem Tanam Paksa dapat berjalan dengan kekerasan yang murah, hanya bila para pemuka kampung bia mengerahkan tenaga kerja yang dibutuhkan. tetapi, baik para penghulu tradisional maupun para pejabat yang pseudo tradisiona, tidak kuasa memaksa petani untuk bekerja. Terakhir inti keterlibatan Minangkabau dalam penanaman kopi adalah sistem harta kekayaan.

politik regional dan keadaaan sosio-ekonomi yang dihadapi pemerintah Sumatra Barat, justru menjauhkan Sistem Tanam Paksa dari model yang ideal daripada berbagai kasus-kasus di pulau Jawa. Orang Minagkabau merupakan petani sawah yang tetap tinggal di suatu tempat, dalam menghadapi mereka, Belanda mengalami bahwa mekanisme yang digunakan di Jawa untuk memperoleh keuntungan, tidak luwes dan tidak efektif. Pada abad 19 di Sumatra Barat sistem muncul saat terjadi perkembangan pengangkutan, urbanisasi, pendidikan, standarisasi, dan administrasi. Semua itu, turut membantu perubahan orientasi daerah dan arti sesungguhnya tentang hakikat Minangkabau. Beberapa dari perkembangan itu disebabkan oleh Sistem Tanam Paksa dan yang lain tanpa Sistem Tanam Paksa.

Anda mungkin juga menyukai